32
Zakat Profesi dan Perbedaan UU Nomor 38 tahun 1999 dan UU Nomor 23 Tahun 2011 OPINI | 31 August 2012 | 11:56 Dibaca: 104 Komentar: 0 Nihil A. Pengertian Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun ketiga dari rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap sebagai (ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari Islaman seseorang). Dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dijelaskan : Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam1 [1] Di dalam al Qur’an terdapat 27 ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum terkumpulnya 1

Zakat profesi dan perbedaan uu nomor 38 tahun 1999 dan uu nomor 23 tahun 2011

  • Upload
    fallova

  • View
    8.070

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Zakat Profesi dan Perbedaan UU Nomor 38 tahun 1999 dan UU Nomor 23 Tahun 2011OPINI | 31 August 2012 | 11:56 Dibaca: 104   Komentar: 0   Nihil

A. Pengertian

Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang

sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam

maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok,

zakat termasuk salah satu rukun ketiga dari rukun Islam, sehingga keberadaannya

dianggap sebagai (ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara

otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari Islaman seseorang).

Dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan

zakat dijelaskan :

“ Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan

usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat

Islam” 1[1]

Di dalam al Qur’an terdapat 27 ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat

berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum terkumpulnya zakat

secara optimal di lembaga pengumpul zakat, karena pengetahuan masyarakat

terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas.

Berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy

Center) mengatakan potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya sekitar 87

persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada tahun 2007.

Potensi ini meningkat 4,67 triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya

hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa

potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 20 Triliun per tahun. Namun dari jumlah

1

itu, yang tergali baru Rp. 500 milyar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006)2

[2]

Zakat mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan

berkah. Digunakan kata “zaka” dengan arti membersihkan itu, untuk ibadah

pokok rukun Islam dan hikmahnya untuk mebersihkan jiwa dan harta orang yang

berzakat. Dalam terminologi hukum (Syara’) zakat diartikan “ pemberian tertentu

dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang

ditentukan”3[3]

Hukum zakat adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan

untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun

dalam pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada orang lain.

Tujuan disyariatkan zakat diantaranya adalah untuk jangan harta itu hanya

beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Rukun zakat yaitu orang yang

berzakat, harta yang dizakatkan dan orang yang menerima zakat. Syarat harta

yang dizakatkan adalah harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat,

berjumlah satu nisab atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun qamariyah

atau haul.

B. Zakat Profesi

Yusuf al Qaradawi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting

untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau

pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang

dilakukannya secara sendiri, maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan

secara sendiri misalnya : dokter, bidan, guru, penjahit, mubaligh dan lain

sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama misalnya pegawai pemerintah

maupun swasta, pejabat Negara dan hakim.4[4]

2

3

4

Wahbah al Zuhaili mengemukakan pendapatan yang diterima seseorang

dalam waktu relatif tetap, seperti sebulan sekali dalam fikih dikenal dengan nama

(al maal al mustafaad).

Landasan hokum kewajiban zakat profesi adalah firman Allah dalam surat

at Taubah ayat 103, al Baqarah 267 dan firman Allah dalam surat Adz dzaariyat

ayat 19 :

Artinya : “ Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang

meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”

Semua penghasilan melalui kegiatan professional tersebut apabila telah

capai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Pada saat Muktamar Internasional

Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30

April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah capai

nisab, meskipun pesertanya berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.5[5]

Dalam Bab IV Pengumpulan Zakat pada pasal 11 ayat 2 huruf (f) UU

nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dijelaskan bahwa harta yang

dikenai zakat adalah (hasil pendapatan dan jasa).6[6]

Kemudian pada tahun 2011,DPR beserta pemerintah merevisi UU Nomor

38 Tahun 1999 dan mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan

zakat. Pada pasal 4 ayat 2 huruf (h) UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan “Zakat

Mal meliputi (pendapatan dan jasa)”.7[7]

Dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi

dalam hal ini ada 2 pendapat :8[8]

1. Jika zakat profesi dianologikan kepada zakat perdagangan, maka nisab, kadar dan

waktu mengeluarkan sama dengan zakat emas dan perak. Nisabnya senilai 85

5

6

7

8

gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan waktu mengeluarkan setahun sekali,

setelah dikeluarkan kebutuhan pokok.

Contoh : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan

dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka

besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp. 2.000.000 = Rp. 600.000

(enam ratus ribu ) per tahun atau Rp. 50.000 (lima puluh ribu) per bulan.

2. Jika dianalogikan kepada zakat pertanian, maka nisabnya senilai 5 ausaq atau 653

kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap

mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh

kasus : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan dan

kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka

kewajiban zakat si A adalah sebesar 5 % x 12 x Rp. 2.000.000 =

Rp. 1.200.000 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per tahun atau Rp. 100.000 (seratus

ribu perbulan). Kalau dianalogikan kepada zakat pertanian, maka bagi zakat

profesi tidak ada ketentuan haul, ketentuan waktu menyalurkan adalah pada saat

menerima, misalnya tiap bulan. Karena itu profesi yang menghasilkan pendapatan

setiap hari (seperti : dokter yang membuka praktek sendiri aau para da’i yang

setiap hari berceramah) zakatnya dikeluarkan sebulan sekali. Sama dengan zakat

pertanian yang dikeluarkan saat pada panen (sesuai firman Allah Surat al

An’aam : 141).

Kedua pendapat di atas menggunakan qiyas yang ilat hukumnya

ditetapkan berdasarkan metode syabah. Contoh (qiyas syabah) yang dikemukakan

oleh Muhammad al Amidi adalah hamba sahaya yang dianalogikan pada 2 hal

yaitu pada manusia (nafsiyyah) menyerupai orang yang merdeka (al hur) dan

dianalogikan pada kuda karena dimiliki dan dapat diperjual belikan di pasar.

Pada tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa

tentang zakat penghasilan sesuai dengan “Keputusan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang zakat penghasilan. Dalam fatwa tersebut

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap pendapatan

seperti gaji, honorium, upah, jasa dan lain-lain yang diperoleh dengan cara yang

halal, baik rutin seperti pejabat Negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak

rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan yang

diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara

Yusuf Qardhawi dan Majelis Ulama Indonesia dalam mengartikan penghasilan

atau pendapatan. Kalau menurut Yusuf Qardawi penghasilan adalah didasarkan

berdasarkan keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama.

Sedangkan dalam fatwa MUI tersebut penghasilan diartikan sebagai pendapatan

rutin atau tidak rutin. Namun pemakalah lebih memilih mengikuti pendapat

berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam fatwa MUI juga dijelaskan bahwa semua bentuk penghasilan yang

halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab satu tahun

yaitu senilai emas 85 gram. Adapun kadar zakat penghasilan adalah 2,5 %. Waktu

pengeluaran zakat yaitu :

1. Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima, jika sudah

cukup nisab.

2. Jika tidak mencapai nisab, maka semua penghasilan dikumpulkan

selama satu tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan

bersihnya sudah cukup nisab.

Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat bahwa setiap keahlian dan

pekerjaan apapun yang halal, apabila telah mencapai nisab, maka wajib

dikeluarkan zakatnya. Hal ini didasarkan :

1. Ayat al a Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua harta

untuk dikeluarkan zakatnya.

2. Berbagai pendapat ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan

menggunakan istilah berbeda. Sebagian menggunakan istilah bersifat

umum yaitu (al amwaal), sementara sebagian lagi secara khusus

memberikan istilah dengan istilah (al maal al mustafaad) seperti

terdapat dalam fikih zakat dan al fiqh al Islamy wa ‘adillatuhu.

3. Dari sudut keadilan yang merupakan cirri utama ajaran Islam, penetapan

kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat

jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada

komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang

saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus

berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nisab. Karena itu

sangat adil pula, apabila zakat ini pun bersifat wajib pada penghasilan

yang didapatkan para dokter, para dosen dan profesi lainnya.

4. Sejalan dengan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang

ekonomi, kegiatan melalui keahlian dan profesi akan semakin

berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan kewajiban zakat

kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan

responsif terhadap pekembangan zaman.

Pada kesempatan ini penulis juga akan menyampaikan perbedaan cukup

mendasar antara UU Nomor 38 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 tahun 2011

tentang pengelolaan zakat :

1. Pada pasal 6 ayat 1 UU Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan bahwa

Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh

pemerintah. Kemudian dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) dijelaskan

bahwa di daerah dapat dibentuk Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten

(BAZDA). Namun, dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011

tidak dikenal lagi dengan BAZDA, namun disebutkan adalah

BAZNAS Kabupaten. Jadi ada perubahan penyebutan, artinya mesti

ada perubahan nama dari BAZDA Kabupaten menjadi BAZNAS

Kabupaten.

2. Mengenai masalah pembentukan juga terdapat perbedaan. Dalam pasal

6 ayat 1 UU Nomor 38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa pembentukan

BAZDA Kabupaten adalah oleh Bupati atau Walikota atas usul

Departemen Agama Kabupaten atau Kota. Namun dalam pasal 15 ayat

3 UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan bahwa BAZNAS Kabupaten

dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul

Bupati/Walikota setelah mendapat pertimbangan ke BAZNAS.

Artinya UU Nomor 23 Tahun 2011menjelaskan bahwa pembentukan

BAZNAS Kabupaten dan Kota mesti dibentuk oleh Menteri atas usul

Bupati dan Walikota. Kalau dalam UU Nomor 38 Tahun 1999

dijelaskan bahwa BAZDA Kabupaten dan Kota dibentuk oleh Bupati

dan Walikota. Artinya pengelolaan zakat ada peningkatan dalam UU

Nomor 23 Tahun 2011, karena mesti dibentuk oleh Menteri.

3. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tidak dikenal lagi Badan Amil Zakat

(BAZ) Kecamatan, padahal dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) UU

Nomor 38 Tahun 1999 dikenal Badan Amil Zakat Kecamatan.

Kemudin jika terjadi sengketa masalah zakat, maka menurut pasal 49

huruf ( f ) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka

mesti diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan Agama.

Pointer Penting Undang-Undang Zakat Baru No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pengganti UU No.38 Tahun 1999

Pengesahan Undang Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono  pada 25

November 2011 disikapi beragam oleh para praktisi dan pemerhati

pengelola zakat. Perbedaan ini sah-sah saja dan merupakan dinamika

yang lazim dalam setiap pengambilan sebuah keputusan politik termasuk

pengesahan UU tentang Pengelolaan Zakat. Walau demikian, kejelasan

kondisi atau permasalahan perlu dipahami bersama agar pensikapan

selanjutnya tidak masuk pada area perselisihan bahkan perpecahan yang

berdampak pada kontra produktif dalam dunia perzakatan.

Pemahaman yang perlu dibangun diantara para pengelola zakat

agar dapat secara obyektif melihat UU Pengelolaan Zakat adalah

memahami karakteristik pengelolaan zakat. Dengan memahami

karakteristik pengelolaan zakat maka kita akan melihat dari sisi pandang

yang sama dan insya Allah benar sehingga melahirkan pemahaman dan

pensikapan yang tidak bertentangan secara diametral.

Beberapa pointer perubahan yang signifikan dari Undang-Undang zakat

yang baru antara lain:

1.      Adanya Penguatan Kelembagaan BAZNAS yang terintegrasi sampai ke

BAZNAS tingkat Kota/kabupaten (dahulu BAZ Kota/Kabupaten). BAZ

Kecamatan menjadi UPZ Kecamatan

Penguatan kelembagaan BAZNAS  akan menciptakan keteraturan,

sinergitas dan harmoni dengan aktivitas pengumpulan zakat yang sudah

berjalan di masjid-masjid dan di tempat lainnya dengan memberi wadah

UPZ supaya terkoordinir dengan baik. Sebab itu, undang-undang yang

baru tidak menggunakan kata ”pengorganisasian” seperti  pada undang-

undang yang lama, melainkan ”pengoordinasian” dalam ketentuan umum

pengelolaan zakat.   

2.      Lebih diperjelasnya ikatan hubungan BAZNAS dengan pemerintah

Daerah.

Dalam kerangka otonomi daerah, walaupun agama termasuk urusan

pemerintahan yang tidak diotonomikan, namun dalam undang-undang

pengelolaan zakat,  Pemerintah Daerah memiliki peran yang strategis

seperti yang berjalan selama ini. Berikut empat klausul yang mengikat

secara permanen hubungan BAZNAS dengan Pemerintah Daerah, ialah:

(a) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri

Agama atas usul Gubernur atau Bupati/Walikota. (b) BAZNAS

kabupaten/kota dan BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan

pengelolaan zakat, infaq, shadaqah dan dana sosial keagamaan lainnya

kepada BAZNAS setingkat di atasnya dan kepada Pemerintah Daerah

secara berkala. (c) Dalam melaksanakan tugasnya BAZNAS provinsi dan

BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan anggaran pendapatan dan

belanja daerah (APBD). (d) Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan

pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi dan BAZNAS

kabupaten/kota.

3.      Kepengurusan BAZNAS yang dibentuk langsung oleh menteri atas usul

kepala daerah mengindikasikan sebuah tanggung jawab yang lebih besar

bagi kepengurusan BAZ. Kepengurusan BAZ yang lebih ramping

berjumlah sebanyak-banyaknya (11 orang) terdiri dari 8 (delapan) orang

dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah. Dalam

melaksanakan tugasnya Pengurus dibantu oleh sekretariat.

4.      Adanya Pengaturan terhadap izin pendirian LAZ (lembaga Amil Zakat)

antara lain paling sedikit memenuhi syarat (1) terdaftar sebagai organisasi

kemasyarakat Islam yang mengelola pendidikan, dakwah dan sosial, (2)

Berbentuk badan hukum, (3) mendapat rekomendasi BAZNAS, (4)

memiliki pengawas syariat, (5) memiliki kemampuan teknis, administrasi,

dan keuangan dll. Untuk LAZ yang sudah resmi dikukuhkan oleh Menteri

dinyatakan LAZ yang resmi.

5.   undang-undang pengelolaan zakat tidak menghambat masyarakat untuk

berbuat baik melalui pemberdayaan infaq, shadaqah, dan sebagainya.

Khusus mengenai zakat, bahwa menunaikan zakat bukan hanya urusan

manusia dengan Tuhan. Tetapi ada bagian-bagian yang memang harus

dilembagakan. Pemerintah dan lembaga legislatif (dalam hal ini DPR-RI)

telah mengambil langkah yang bijak ketika memutuskan nama undang-

undang, yaitu Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, dan bukan

Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah.

6. Adanya sanksi bagi orang yang dengan sengaja bertindak sebagai amil

melakukan pengumpulan dan pendistribusian  zakat tanpa izin pejabat

yang berwenang dengan sanksi kurungan (1) tahun atau denda sebanyak-

banyaknya Rp.50.000.000 juta rupiah.

7. akan dialokasikannya dana operasional BAZNAS dalam APBN melalui

DIPA Kementerian Agama.

Regulasi atau undang-undang bukanlah tujuan, melainkan alat yang

kita gunakan bersama untuk mencapai tujuan pengelolaan zakat.

Sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Nasaruddin Umar bahwa

“regulator sejati dalam hukum zakat ialah Allah SWT”.  Wallahualam

(Haryati/ Sekretaris BAZ)

Penjelasan UU RI no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat

1. Latar Belakang MasalahUndang-undang RI no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat merupakan Undang-undang yang baru. Sesuai dengan dengan namanya, undang-undang No 38 Tahun 1999 ini lebih menekankan pada aspek pengelolaan zakat, yakni kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan dana zakat. Di dalam undang-undang tersebut, kita tidak akan menemukan ketentuan nisab, kadar, dan waktu pengeluaran zakat. Hal yang terbanyak diungkapkan di dalam undang-undang no 38 tahun 1999 ini adalah tentang prinsip-prinsip dan teknis pengelolaan zakat.Sebenarnya gagasan untuk membuat undang-undang tentang pengelolaan dana zakat ini sudah ada pada zaman orde baru. Karena, zakat merupakan suatu ibadah yang dapat memperkuat rasa persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, maka pemerintah secara akomodatif membuat suatu aturan-aturan yang berproses untuk mengakomodir ibadah ini.Adapun latar belakang dikeluarkannya undang-undang nomor 38 tahun 1999 ini tentang pengelolaan zakat adalah:1. Adanya pasal 19 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.2. Penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam di Indonesia yang mampu dan berhasil mengumpulkan dana zakat yang merupakan sumber dana yang berpotensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan umat.3. Zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan masyarakat yang kurang mampu.4. Upaya sistem pengelolaan dana zakat perlu harus ditingkatkan agar hasil guna dan berdaya, untuk itu diperlukan undang-undang pengelolaan dana zakat.Dengan dibentuknya undang-undang pengelolaan zakat ini diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran Muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka penyucian diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat Mustahiq dan meningkatkan keprofesionalan lembaga zakat dalam mengelola zakat itu sendiri, yang semuanya untuk mendapatkan ridha dari Allah Swt.

Maka patut kita syukuri telah lahir undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Ketentuan ini semakin mengokohkan eksistensi BAZIS di Negara kita.Hal ini merupakan dukungan terhadap tuntunan Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang

miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.Adapun pengelolaan zakat adalah meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama Islam, meningkatkan fungsi dan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatkan hasil guna dan daya guna dana zakat itu sendiri.Dalam perspektif Islam salah satu wujud meningkatkan peran serta umat Islam dalam pembangunan nasional yang sejalan dengan rukun Islam adalah, dalam bentuk pemberian zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Sehingga, zakat merupakan sumber dana potensial yang perlu dikelola secara profesional dan bertanggungjawab untuk memajukan kesejahteraan umum.Untuk menjadi badan pengelolaan zakat yang dapat dipercaya masyarakat, keadaan ini akan memaksa pengelolaan zakat untuk mempunyai manajemen pengelolaan zakat yang baik. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai tentang terlaksananya fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta pengawasan terhadap pendayagunaan atau pendistribusian dana zakat.Akan tetapi pola manajemen dan pengelolaan zakat di Indonesia dinilai belum optimal dikelola dengan baik, karena kurangnya tenaga ahli yang profesional, sehingga zakat yang memiliki banyak fungsi, bahkan belum diatur oleh pemerintah dengan benar sesuai syariah, adapun fungsi zakat tersebut adalah:a. Zakat itu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt.b. Zakat merupakan sarana pencintaan kerukunan hidup antara golongan kaya dengan golongan fakir miskin.c. Membersikan harta yang kotor, karena telah telah tercampur dengan harta Mustahiq (Golongan orang yang menerima zakat).

d. Memberikan modal kerja kepada golongan lemah untuk menjadi manusia yang mampu hidup secara layak.e. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam.f. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan.Zakat umumnya yang kita kenal hanya Zakat Fitrah, Zakat Maal (emas dan perak), zakat perdagangan dan pertanian, padahal zakat di dunia perekonomian modern memiliki sumber lebih beragam seperti zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, dan lainnya yang membutuhkan sebuah lembaga dengan para pengelola (Amil) yang profesional agar dapat mengatur dan mengembangkan sumber zakat tersebut.Pengelolaan zakat yang profesional terutama dalam manajemen zakat di Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagaimana dirumuskan menjadi lebih teknis, operasional dan terukur yaitu usaha bersama untuk menanamkan keyakinan, menumbuhkan sikap dan prilaku umat manusia baik perorangan maupun kelompok dengan cara lisan dan perbuatan menurut nilai-nilai ajaran Islam untuk dihayati dalam kehidupan sehari-hari secara pribadi, keluarga dan masyarakat sehingga menjadi ummat yang sejahtera lahir dan batin, bahagia dunia dan akhirat.

2. Teori Pengelolaan ZakatZakat, sebagai salah satu bentuk peribadatan yang lebih mengedepankan nilai-nilai sosial disamping pesan-pesan ritual, tampak memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Bisa diduga hampir sepanjang usia umat manusia itu sendiri (generasi Nabi Adam As) atau paling sedikit mulai generasi beberapa Nabi Allah sebelum Nabi Muhammad Saw.Akan halnya empat rukun Islam yang lain, yakni : Syahadat, Shalat, Puasa, dan Haji, zakat umum diposisikan sebagai rukun ketiga, pada dasarnya juga telah disyariaatkan Allah sejak generasi para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Bahkan tidak menutup kemungkinan sejak zaman Nabi Adam As. Hal-hal yang dikemukakan di atas jelas-jelas mengindikasikan wujud persyariatan zakat kepada para Nabi Allah yang terdahulu. Hanya saja, umat mereka (umat Nabi sebelum Nabi Muhammad) mengingkari persyariatan zakat ini. Pengingkaran itu, sesungguhnya tidak hanya terjadi pada masa-umat sebelum Nabi Muhammad Saw.Dalam pengelolaan zakat secara produktif (dimensi sosial ekonomi) banyak menghadapi permasalahan, diantaranya :a) Fiqh zakat yang berkembang dan dipahami oleh umat Islam Indonesia merupakan hasil rumusan para Ulama terdahulu sehingga banyak yang tidak sesuai dengan perkembangan keaadaan zaman.b) Belum adanya persamaan persepsi dan langkah dalam pengelolaan zakat, sehingga mereka melakukannya secara sendiri-sendiri baik perorangan maupun kelompok sesuai dengan kepentingannya.c) Belum adanya pola (manajemen) pengelolaan zakat yang standar untuk menjadi

pedoman.d) Kurangnya motivasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pengelolaan zakat.Pada masa yang akan datang, perlu sebuah rumusan dan langkah pengelolaan zakat yang profesional dan bertanggungjawab serta mendapat dukungan dari semua kelompok umat Islam, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pendayagunaan diarahkan untuk usaha-usaha produktif.Secara demografik dan kultural, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Muslim sebenarnya memiliki potensi strategi yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan, yaitu institusi zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Karena secara demografik, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan secara kultural, kewajiban zakat, dorongan untuk berinfaq, dan bershadaqah di jalan Allah telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia, secara ideal, bisa terlihat dalam mekanisme pengelolaan zakat. Apabila semua itu bisa terlaksana dalam aktivitas sehari-hari umat Islam, maka secara hipotetik, zakat berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi nasional.

Secara substantif, zakat, infaq, dan shadaqah merupakan bagian dari mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambilkan dari harta orang yang berkelebihan dan disalurkan kepada orang-orang yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan memiskinkan orang kaya, juga tidak melecehkan jerih payah orang kaya. Hal ini disebabkan karena zakat diambil dari sebagian kecil harta yang wajib dizakati. Jadi, alokasi dana zakat dapat disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu.Seperti halnya dengan zakat, walaupun infaq dan shadaqah tidak wajib, dua institusi ini merupakan media pemerataan pendapatan bagi umat Islam yang sangat dianjurkan. Artinya, infaq dan shadaqah merupakan media untuk memperbaiki taraf kehidupan, selain kewajiban zakat bagi orang Islam yang mampu. Dengan demikian, dana zakat, infaq, dan shadaqah bisa diuapayakan secara maksimal untuk memperdayakan ekonomi masyarakat.Pengembangan pemaknaan zakat semacam ini perlu dilakukan karena pemaknaan zakat oleh seseorang atau lembaga dapat mempengaruhi orientasi dan model pengelolaan dana zakat dalam kehidupan bermsyarakat dan bernegara. Secara teologis, zakat adalah memberikan sebagian kekayaannya untuk orang lain atas dasar kepatuhannya kepada Allah Swt. Sedangkan secara sosial ekonomi, zakat diharapkan dapat membantu dan memperbaiki taraf sosial-ekonomi penerimanya serta mempererat hubungan si kaya dan si miskin. Selain itu, apabila zakat dimaknai secara politis strategis, maka zakat juga diharapkan mampu memberikan implikasi yang besar pada penguatan daya tahan bangsa dalam melangsungkan kehidupannya. Demikian pula dengan pengembangan pemaknaan infaq dan shadaqah.Dalam perspektif nasional, lembaga amil zakat diharapkan tidak hanya terpaku untuk memikirkan kebutuhan sendiri, melaikan juga harus peduli terhadap warga masyarakat untuk mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Kehadiran lembaga amil zakat selain bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita

bangsa, yaitu membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, da makmur. Jadi, peningkatan daya guna lembaga amil zakat, khususnya dalam melakukan pembangunan ekonomi masyarakat, mesti dilestarikan.Sebagaimana telah diketahui, bahwa dua undang-undang penting yang berkenaan dengan soal perzakatan ditanah air dilahirkan, yakni UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dan salah satu tahap penting setelah proses legislasi selesai dilakukan adalah tahap implementasi termasuk didalamnya adalah proses institusionalisasi. Institusionalisasi dari UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat tersebut kiranya akan lebih banyak mengenai lembaga pengelolaan zakat (LPZ). Sebagaimana telah dimaklumi juga, LPZ-LPZ sebelum UU Pengelolaan Zakat dilahirkan bukannya tidak ada. Sudah ada, bahkan jumlahnya baik yang dibentuk atas prakarsa masyarakat atau pemerintah, juga cukup banyak.Berlakunya undang-undang tersebut jelas akan memberikan implikasi yang cukup banyak terhadap Lembaga Pengelola Zakat baik yang sudah ada maupun yang akan diadakan.Entah harus dimulai dari mana mengurus terabaikannya zakat selama ini. Kalau ditelusuri ke belakang pada masa penjajahan, memang zakat tidak akan menjadi sesuatu yang missal mengingat perbedaan kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan menurut penelitian Aqib Sumito dalam karyanya, Politik Islam Hindia Belanda, dana kas Masjid di sebuah daerah Jawa Timur, digunakan untuk merehab rumah seorang pejabat Hindia Belanda. Lantas bila diusut jauh lagi kebelakang, juga masih ada tanda tanya besar, apakah zakat sudah menjadi bagian keseharian dari budaya Indonesia dimasa kerajaan-kerajaan Islam?. Informasi tentang sejarah zakat di Indonesia memang sangat minim. Tetapi bila di tinjau dari sosial, berlangsungnya dakwah sedikit lebih banyak telah ditopang oleh sistem zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) yang tumbuh dimasyarakat.Berbeda dengan perkembangan perbankan syariah, pertumbuhan lembaga pengelola zakat (LPZ) pun berjalan seolah tanpa persiapan yang matang. Pada tahun 1968, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), menggelar seminar zakat. Seusai seminar, Presiden mendukung pembentukan Lembaga Amil Zakat berdasarkan SK No. 07/Prin/1968. Berdasarkan SK itu, Guberbur DKI Jakarta, segera membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) dengan SK Gubernur GB/14/8/18/68 tahun 1973. Dari nama BAZ dirubah menjadi BAZIS, karena juga menghimpun dana Infaq dan Shadaqah.Artinya jelas, tanpa pendidikan mengelola zakat, BAZ berjalan hanya berdasarkan surat keputusan saja. Maka hingga awal tahun 90-an, secara resmi bicara zakat adalah bicara BAZIS. Karena ditopang lebih serius oleh Pemda DKI, maka BAZIS DKI menjadi satu-satunya referensi perusahaan bermunculan Baitul Maal (BM) yang menghimpun dana ZIS karyawan setempat.Pada tahun 1990, DPR menyetujui rancangan UU tentang zakat yang kemudian tersahkan menjadi UU. Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Artinya disahkannya UU itu, sedikit banyak tak lepas kaitannya dengan peran dan eksistensi LPZ non-pemerintah. Dan memang dalam UU itu, keberadaan LPZ non-pemerintah diakui eksistensinya. Pada saat yang bersamaan, dengan kelahiran UU No. 38 tahun 1999, di masyarakat sendiri sudah terdengar kabar, bahwa akan

lahir sebuah lembaga yang khusus berkiprah dalam penyiapan SDM LPZ. Maka di awal tahun 2000, lembaga bernama Institut Manajemen Zakat (IMZ) itu lahir.

Dasar-dasar hukum pengelolaan zakat adalah :a) Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;b) Perundang-undangan RI Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;c) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;d) Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan Nasional Negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembentukan Undang-undang dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan Nasional tersebut, perlu dilakukan upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat. Zakat merupakan sumber dana potensial. Agar zakat dapat dimanfaatkan bagi pembangunan Bangsa dan ketahanan Negara, terutama dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.B. Deskripsi DataPerdebatan mengenai UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat merupakan sesuatu hal yang menarik. Hal menarik inilah yang melatar belakangi penelitian ini. Setelah membaca UU No 38 Tahun 1999 ini tentang pengelolaan zakat tentu banyak persepsi masyarakat yang menyikapi tentang pengelolaan zakat ini terlebih lagi warga masyarakat Kelurahan Palmerah Jakarta Barat.Dalam hal ini, objek penelitiannya berasal dari kalangan masyarakat, yaitu masyarakat Kelurahan Palmerah Jakarta Barat. Mengingat bahwa masyarakat Kelurahan Palmerah yang sangat rajin membayar zakat, dan nalar tentang keagamaannya sangat tinggi, yang diimbangi akhlak dan moral yang baik, baik hal menerima, meresap, menyaring, dan memanfaatkan segala bentuk berita dan informasi yang didapat.

Penjelasan UU No 23 Tahun 2011 Prasetyo

Naskah asli dapat diunduh dari http://www.djpp.kemenkumham.go.id

PENJELASANATASUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 2011TENTANGPENGELOLAAN ZAKAT

I. UMUMNegara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.

Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalampengelolaan zakat.

Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.

Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.

Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan.

Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.

Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat

Islam dan dilakukan sesuai denganperuntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.

Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

 

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Cukup jelas.

Pasal 2Huruf a. Cukup jelas.Huruf bYang dimaksud dengan asas “amanah” adalah pengelola zakat harus dapat dipercaya.Huruf cYang dimaksud dengan asas “kemanfaatan” adalah pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi mustahik.Huruf dYang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil.Huruf eYang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah dalam pengelolaan zakat terdapat jaminan kepastian hukum bagi mustahik dan muzaki.Huruf fYang dimaksud dengan asas “terintegrasi” adalah pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.Huruf gYang dimaksud dengan asas “akuntabilitas” adalah pengelolaan zakat dapat dipertanggungjawabkan dan diakses oleh masyarakat.

Pasal 3Cukup jelas.

Pasal 4Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)

Huruf aCukup jelas.Huruf bCukup jelasHuruf cCukup jelas.Huruf dCukup jelas.Huruf eCukup jelas.Huruf fCukup jelas.Huruf gCukup jelas.Huruf hCukup jelas.Huruf iYang dimaksud dengan “rikaz” adalah harta temuan.Ayat (3)Yang dimaksud dengan “badan usaha” adalah badan usaha yang dimiliki umat Islam yang meliputi badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti firma dan yang berbadan hokum seperti perseroan terbatas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 5Cukup jelas.

Pasal 6Cukup jelas.

Pasal 7Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau lembaga luar negeri.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 8Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10Cukup jelas.

Pasal 11Cukup jelas.

Pasal 12Cukup jelas.

Pasal 13Cukup jelas.

Pasal 14Cukup jelas.

Pasal 15Ayat (1)Di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota dapat menggunakan istilah baitul mal.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 16Ayat (1)Yang dimaksud “tempat lainnya” antara lain masjid dan majelis taklim.Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 17Cukup jelas.

Pasal 18Cukup jelas.

Pasal 19Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21Cukup jelas.

Pasal 22Cukup jelas.

Pasal 23Cukup jelas.

Pasal 24Cukup jelas.

Pasal 25Cukup jelas.

Pasal 26Cukup jelas.

Pasal 27Ayat (1)Yang dimaksud dengan “usaha produktif” adalah usaha yang mampu meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan kesejahteraan masyarakat.Yang dimaksud dengan “peningkatan kualitas umat” adalah peningkatan sumber daya manusia.Ayat (2)Kebutuhan dasar mustahik meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 28Cukup jelas.

Pasal 29Cukup jelas.

Pasal 30Cukup jelas.

Pasal 31Cukup jelas.

Pasal 32Cukup jelas.

Pasal 33Cukup jelas.

Pasal 34Cukup jelas.

Pasal 35Cukup jelas.

Pasal 36Cukup jelas.

Pasal 37Cukup jelas.

Pasal 38Cukup jelas.

Pasal 39Cukup jelas.

Pasal 40Cukup jelas.

Pasal 41Cukup jelas.

Pasal 42Cukup jelas.

Pasal 43Cukup jelas.

Pasal 44Cukup jelas.

Pasal 45Cukup jelas.

Pasal 46Cukup jelas.

Pasal 47Cukup jelas.