3
TANPA LISTRIK = MATI GAYA ? Artikel oleh : Lili Andajani Manusia hidup di jaman modern tidak lepas dari kebutuhannya akan listrik. Hampir semua kegiatan membutuhkan listrik. Bisa dikatakan ketergantungan terhadap listrik. Saya sendiri dari pengalaman pribadi. Suatu hari, saya pulang agak malam. Sekitar pk 19.00 WIB baru sampai rumah. Jarak yang harus ditempuh dari Surabaya sampai ke rumah saya di Sidoarjo berkisar 26 km. Di sepanjang perjalanan pulang saya sudah merasa lapar, gerah ingin mandi, dan ingin rebahan di tempat tidur. Sesampai di depang gang rumah, saya dapati gelap gulita. Ada pemadaman lampu. Tetap saja saya parkir mobil di depan rumah. Setelah membuka pintu rumah, saya mulai bingung. Bagaimana mau makan, saya harus masak nasi pakai magic jar, tidak punya dandang (saya tidak tahu, apa bahasa Indonesianya dandang). Bagaimana mau mandi, air di rumah saya hanya bersumber dari air sumur pompa listrik. Bagaimana mau rebahan, banyak nyamuk dan panas sekali tanpa kipas angin di dalam kamar. Dengan uring-uringan, saya kemasi pakaian untuk kebutuhan satu hari besok. Dengan mengomel, saya tancap gas mobil, melaju kembali ke Surabaya, menginap di rumah orang tua, yang jauhnya 26 km dari rumah saya tadi. Tanpa listrik, saya tidak bisa melakukan apa-apa di rumah. Tanpa listrik benar-benar mati gaya. Tetapi sebagai guru tidak boleh mati gaya. Memang listrik juga kebutuhan yang urgen bagi sekolah. Di ruang kelas butuh

Tanpa listrik = mati gaya ?

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tanpa listrik = mati gaya ?

TANPA LISTRIK = MATI GAYA ?

Artikel oleh : Lili Andajani

Manusia hidup di jaman modern tidak lepas dari kebutuhannya akan listrik. Hampir

semua kegiatan membutuhkan listrik. Bisa dikatakan ketergantungan terhadap listrik. Saya

sendiri dari pengalaman pribadi. Suatu hari, saya pulang agak malam. Sekitar pk 19.00 WIB

baru sampai rumah. Jarak yang harus ditempuh dari Surabaya sampai ke rumah saya di

Sidoarjo berkisar 26 km. Di sepanjang perjalanan pulang saya sudah merasa lapar, gerah

ingin mandi, dan ingin rebahan di tempat tidur.

Sesampai di depang gang rumah, saya dapati gelap gulita. Ada pemadaman lampu.

Tetap saja saya parkir mobil di depan rumah. Setelah membuka pintu rumah, saya mulai

bingung. Bagaimana mau makan, saya harus masak nasi pakai magic jar, tidak punya

dandang (saya tidak tahu, apa bahasa Indonesianya dandang). Bagaimana mau mandi, air di

rumah saya hanya bersumber dari air sumur pompa listrik. Bagaimana mau rebahan, banyak

nyamuk dan panas sekali tanpa kipas angin di dalam kamar. Dengan uring-uringan, saya

kemasi pakaian untuk kebutuhan satu hari besok. Dengan mengomel, saya tancap gas mobil,

melaju kembali ke Surabaya, menginap di rumah orang tua, yang jauhnya 26 km dari rumah

saya tadi. Tanpa listrik, saya tidak bisa melakukan apa-apa di rumah. Tanpa listrik benar-

benar mati gaya.

Tetapi sebagai guru tidak boleh mati gaya. Memang listrik juga kebutuhan yang urgen

bagi sekolah. Di ruang kelas butuh lampu listrik, butuh kipas angin atau AC, butuh LCD.

Beberapa guru sudah mulai ketergantungan memakai power point dan LCD untuk mengajar.

Ketika pemakaian listrik sekolah mulai dihemat, sehemat-hematnya, maka timbulah rasa

tidak nyaman. Padahal ini term terakhir. Sungguh berat sekali perjuangannya.

Term terakhir, konsumsi listrik di STANSA harus lebih sedikit dari 82.57 KWh, kalau

mau masuk gold level. Semakin mendekati tanggal 30 April 2012, semakin sering meteran

listrik ditengok, untuk mengetahui berapa banyak lagi listrik yang boleh dikonsumsi. Setiap

hari selalu diingatkan dan mengingatkan untuk semakin hemat listrik. Jadi otomatis, hari-hari

tambah panas. Bukan cuma keringat yang menetes-netes karena kepanasan, hati juga mulai

panas. Kalau hati mulai panas, tensi juga cepat naik. Ini jelas membuktikan bahwa

penurunan pemakaian listrik berkaitan erat dengan kenaikan tensi darah.

Page 2: Tanpa listrik = mati gaya ?

Sampai dengan hari Sabtu ini, pk 07.00 WIB, listrik yang sudah terpakai 66,39 KWh.

Sampai dengan Senin, 30 April 2012, pk 11.00, listrik yang boleh dikonsumsi harus kurang

dari 16,18 KWh. Pasti bisa lebih sedikit dari 82,57.....pasti, asal tidak ada hal-hal di luar

dugaan. Ini sungguh menghibur. Memang untuk tujuan yang satu ini, ada 3 hal yang harus

diingat, yaitu : 1. Harus saling mengingatkan, 2. Harus saling menghibur.... (dalam

kesengsaraan ini), 3. Harus saling mendukung dan membantu.

Sehubungan dengan saling menghibur, ada satu pengalaman. Ketika sedang

bimbingan belajar UNAS, saya sangat kepanasan. Keringat menetes-netes, mulai dari kepala

sampai leher. Bicara harus agak keras, karena membahas soal tanpa LCD. Murid yang paling

nakal, dengan penuh empati mengipasi saya, sambil mengatakan, ”Kasihan.... ibu

kepanasan.... keringatnya banyak sekali....saya kipasi ya....” Wah.... kalau begini, hati

rasanya terhibur.... listrik matipun tidak apa-apa....

Solusi menghindari kepanasan yang lain, ya berada di ruang terbuka. Mengajar di

ruang terbuka membutuhkan kemampuan tersendiri. Tetapi tidak masalah, karena ternyata

siswa juga lebih senang. Bukan cuma mengajar di ruang terbuka, bahkan trend untuk duduk

di ruang guru juga mulai berkurang. Lebih baik duduk di depan kolam. Lebih sejuk dan

banyak angin. Makan di depan kolam juga lebih enak, karena sambil melihat ikan dan laba-

laba.

Yaaaa begitulah kondisinya. Guru harus berlaku sebagai motivator. Tidak boleh ada

kata mati gaya. Baik dalam mengajar maupun dalam berperilaku di hadapan siswa.