Upload
aulia-hamunta
View
660
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK
OTONOMI KHUSUS PAPUA
DI SUSUN OLEH
NAMA :
RAHMADHIAN AULIA HAMUNTA
NIM :
1 1 3 1 9 0 0 2
SEMESTER / KELAS :
V (LIMA) / A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
B A B I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memahami Papua
Papua adalah salah satu bagian dari Indonesia yang mempunyai ironi paling besar memiliki
kekayaan alam begitu melimpah di satu sisi, kemiskinan dan keterbelakangan yang nampak
dengan mata telanjang di sisi lain. Kawasan ini adalah kawasan yang paling akhir
mendapatkan pengakuan internasional sebagai bagian dari Indonesia setelah Persatuan
Bangsa Bangsa (PBB) menyerahkan Papua ke Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963
melalui negosiasi yang berat berhadapan dengan Pemerintah penjajah Belanda. Pembangunan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dinilai oleh masyarakat Papua sebagai
pembangunan yang tidak berhasil. Salah satu indikatornya adalah adanya gejolak disintegrasi
di kawasan ini, dengan digerakkan oleh berbagai kelompok separatis. Indikator lain yang
memperkuat penilaian tersebut adalah munculnya gerakan besar dari masyarakat Papua untuk
menjadikan Papua sebagai kawasan dengan perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia.
Bersama Aceh, Papua menjadi kawasan yang paling bergejolak setelah reformasi digulirkan
pada tahun 1998.
Kekecewaan yang mendalam terhadap perjalanan selama 35 tahun (1963-1998) menjadi
bagian dari Republik Indonesia ditengarai menjadi bagian inti dari gejolak tersebut.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan ruang baru bagi Papua untuk melakukan
exercise model baru pembangunan untuk kawasan ini. Upaya tersebut dijalankan dengan
berbagai cara, termasuk melakukan “pembangkangan politik” dalam bentuk gerakan-gerakan
yang mendekati arah ke separatisme. Tidak mengherankan jika Papua menjadi salah satu
kawasan yang menjadi perhatian utama dari Pemerintah Jakarta setelah reformas Sebelum
reformasi, kawasan yang berupa bagian barat dari Pulau Papua karena sebelah timur adalah
Negara Papua New Guinea bernama Irian Jaya, sebuah nama yang dipilih oleh Pemerintah
Indonesia setelah kawasan ini resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1 Mei
1962, melalui negosiasi yang alot dan sengit di forum Internasional (Bachtiar, 1994: 88).
Nama “Irian” diperkenalkan pada Konferensi Malino pada tahun 1946. Dalam bahasa Biak,
kata itu berarti “sinar matahari menghalau kabut di laut”. Presiden Soekarno menjadi
penganjur utama penggunaan nama Irian, dengan mengakronimkan IRIAN sebagai “Ikut
Republik Indonesia Anti Nederland” (Koentjaraningrat, 1994: 3-5).
Sebelum diberi nama “Irian Jaya”, kawasan ini dikenal dengan nama “Papua”. Nama “Papua”
pada awalnya dipergunakan oleh pelaut Portugis Antonio d’Arbrau, yang mendarat di pulau
ini pada tahun 1521. Diperkirakan, kata “papua” berasal dari kata dalam bahasa Melayu kuno
“pua-pua”, yang berarti “keriting”. Nama ini kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta yang
ikut dalam pelayaran dengan Ferdinand Magellan mengelilingi bumi. Versi lain dari
penamaan papua adalah dari Papua bagian Timur, kini menjadi Papua Nieuw Guinea.
Sebutan “Nieuw Guinea” digunakan oleh para pelaut Belanda, menggunakan penamaan dari
seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes, yang mengunjungi kawasan utara pulau ini
pada tahun 1545. Dinamakan “Nieuw Guinea” karena penduduk yang ditemui berwarna
hitam, seperti penduduk di Pantai Guinea, Afrsika.
Papua mempunyai kondisi sosial-budaya-politik yang khas. Ciri-ciri fisiologi Tanah Papua
yang beragam menyebabkan diferensiasi sistem mata pencaharian. Bukan hanya itu,
perkembangan struktur sosial masyarakat juga turut dipengaruhi oleh proses-proses adaptasi
manusia terhadap lingkungan alam. Sifat kemajemukan penduduk Papua juga dapat dilihat
dari prinsip hak ulayat tanah. Di antara masyarakat Papua terdapat kolektif-kolektif etnik
yang mengatur sistem hak ulatnya melalui klan (merupakan hak komunal). Selain itu terdapat
pula kolektif-kolektif lain yang mengatur hak ulayatnya melalui keluarga inti atau hak
individu.
M.T. Walker dan J.R. Mansoben mencatat bahwa keanekaragaman orang Papua bertalian erat
dengan pola adaptasi sosio-ekonomi penduduk pada zona ekologi utama. Setidaknya ada
empat zona ekologi utama :
Pertama, ekologi rawa,daerah pantai, dan muara sungai.
kedua, dataran pantai.
ketiga, kaki gunung dan lembah-lembah kecil.
keempat pegunungan tinggi.
Lingkungan ekologi yang berpengaruh terhadap pola-pola adaptasi tercermin dalam sistem
mata pencaharian hidup meliputi teknologi dan sistem pembagian kerja. Semakin kompleks
inovasi teknologi dan sistem pembagian kerja, maka aspek budaya lain seperti organisasi
sosial dan sistem ideologi (ritual agama) juga kian rumit.
Di zona ekologi pegunungan tengah, misalnya, masyarakat hidup dalam rumah-rumah besar
dalam hubungan keluarga yang luas, dengan jaringan luas dari sistem klan, gabungan klan,
dan federasi yang kompleks. Contoh penduduk yang menganut pola ini adalah suku Dani.
Tipe ini menghasilkan ikatan horisontal yang kuat. Pada zona ekologi muara sungai,
kepulauan dan pesisir pantai, penduduk hidup dalam keluarga-keluarga inti kecil yang amat
bersifat individualis. Karena wilayah pesisir dan kepulauan relatif sulit dijadikan lahan
pertanian, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mendorong mereka untuk berdagang.
Contoh masyarakat ini adalah penduduk pantai utara.
Kedua tipe ini menghasilkan relasi yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap ikatan
kolektif yang terbentuk. Di sinilah kemudian makna keluarga mendapat tempat dalam struktur
hierarki masyarakat. Di satu sisi, keluarga mempunyai fungsi produktif, di sisi lain keluarga
merupakan identitas untuk sarana reproduksi kekuasaan. Aktifitas perang lantas menjadi
bagian dari persaingan produksi, sedangkan perkawinan sebagai sarana reproduksi kekuasaan.
Tidak mengherankan jika ritual ini menyedot konsumsi besar untuk keperluan pesta adat.
Kebutuhan pesta adat inilah yang di kemudian hari memberikan porsi bagi munculnya pola
patron-klien dimana patron merupakan pihak yang mensponsori pesta.
Lebih jauh, Antroplog J. van Baal mencermati bahwa ekologi muara, dengan aktifitas
produksinya meramu sagu, pada umumnya menyelenggarakan upacara keagamaan jauh lebih
meriah dibanding dengan penduduk yang menggantungkan dirinya dari bertani umbi-umbian.
Kompleksitas sistem ritus dan keagaman yang berbeda ini dipengaruhi oleh lingkungan alam
yang berbeda.
1.2 Identifikasi Masalah
Penelitian evaluatif tentang kinerja Otsus selama lima tahun pelaksanaan (2002-2007) yang
dilaksanakan, memberikan gambaran penting untuk pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana
kinerja kebijakan Otsus selama ini, khususnya berkenaan dengan transfer dana Otsus dalam
jumlah yang cukup memadai untuk percepatan pembangunan di Papua. Arti penting evaluasi
ini karena hingga hari ini “wajah Otsus” lebih berupa besaran Rupiah yang ditransfer Pusat ke
otoritas lokal di Papua. Data berikut ini menggambarkan besaran “wajah otsus” tersebut.
Tabel 8.1 Dana Otsus Dari Tahun ke Tahun
Tahun Dana Otsus
2002 1.382.300.000.000
2003 1.539.560.000.000
2004 1.642.617.943.000
2005 1.775.312.000.000
2006 2.913.218.000.000
2007 3.274.230.000.000
Permasalahannya adalah, bagaimana kinerja Papua setelah dilaksanakannya.
Kebijakan Otonomi Khusus?. Pertanyaan ini mengemuka karena isu tentang keberlimpahan
sumber daya alam dan semua potensi yang dimiliki Papua yang tidak sepenuhnya bisa
dinikmati oleh penduduknya muncul kembali di era otonomi khusus. Situasi ini yang
menyebabkan Papua mengalami kondisi yang biasa disebut sebagai problems of plenty atau
masalah dari keberlimpahruahan. Sebuah ironi tentang tetap miskinnya penduduk Papua di
tengah keberlimpahan sumber daya alam yang dimilikinya, meskipun status Otonomi Khusus
telah diberikan. Jawaban dari pertanyaan inilah yang menjadi permasalahan.
1.3 Rumusan Masalah
1. Mengapa Harus Ada Otonomi Khusus Papua.
Sebagian besar dari aktor masyarakat sipil yang kami wawancarai berpendapat bahwa
Otonomi Khusus Papua muncul sebagai reaksi terhadap aksi politik, dalam hal ini tuntutan
merdeka yang dikumandangkan sebagian kalangan masyarakat sipil di Papua. Tuntutan itu
sendiri muncul sebagai akumulasi dari berbagai ketidakpuasan yang terdiferensiasi dalam
berbagai konteks historis. Tokoh-tokoh organisasi massa masih mempermasalahkan masalah
proses Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 yang dinilai tidak partisipatif dan representatif.
Ini berdampak kemudian pada kebijakan represif orde baru dalam menghadapi apa yang
disebut dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masalah distribusi ekonomi yang tidak
menyentuh penduduk asli Papua hanyalah salah satu pilar yang menumbuhkan aspirasi
merdeka. Artinya, mereka masih memandang bahwa penuntasan masalah Papua lebih kental
unsur politis yang diikuti dengan pendekatan keamanan oleh TNI-Polri. Beberapa tokoh
malah memberikan pendapat lebih keras dengan menyatakan, Otsus tidak lebih dari gula-gula
dari Jakarta untuk melenakan penduduk Papua dari perut yang lapar. Mereka menangkap
kesan tidak serius pemerintah pusat dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan di Papua
dengan kebijakan Otsus ini. Yang kentara terlihat malah keinginan Jakarta untuk memastikan
bahwa Papua masih berada dalam lingkup NKRI. Tetapi ada juga tokoh yang coba berpikir
positif, bahwa disamping kental unsur politisnya, Otsus Papua sebenarnya memberi peluang
besar bagi masyarakat Papua untuk menata dirinya sendiri dengan kewenangan yang lebih
luas. Hanya saja mereka melihat, kewenangan yang luas ini tidak diikuti oleh reformasi
struktural aparat pemerintahan daerah yang menjadi aktor dalam pelaksanaan Otsus.
Akibatnya seringkali pelaksanaan kebijakan masih menunggu hasil “konsultasi” pemerintah
daerah ke Jakarta.
2. Pelaksanaan Otsus
Kesan yang kami dapatkan dari sebagian besar tokoh, adalah bahwa mereka tidak sepenuhnya
terlibat aktif selama pelaksanaan Otsus. Memang ada beberapa tokoh yang masih terlibat
dalam penyusunan kebijakan selama pelaksanaan Otsus tetapi lebih banyak yang mengambil
jarak dan pesimis terhadap pelaksanaan Otsus. Ini bisa dipahami dalam berbagai kerangka
berpikir, ada tokoh yang ingin mempertahankan independesinya, ada pula kalangan akademisi
yang memang berkutat di kampus dan ada pula yang memang tidak pernah dilibatkan atau
diajak bicara oleh pemerintah provinsi yang menjadi aktor utama pelaksanaan Otsus. Tetapi
pada dasarnya, mereka memberikan jawaban yang hampir seragam dalam menanggapi
pelaksanaan Otsus Papua.
3. Peran Lembaga dan Hubungan Dengan Lembaga Lain dan Pemerintah
Pertanyaan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam jaringan antar lembaga non pemerintah
di kota dan kabupaten serta interaksi dan hubungan mereka dengan pemerintah setempat
dalam era Otsus.
4. Revisi Mengenai UU Otsus Papua
Terkait dengan pertanyaan terakhir, pendapat dari narasumber terhadap pertanyaan mendalam
ini terbelah. Pertama, ada yang memandang perlu diadakan revisi karena ada beberapa pasal
yang tidak kontekstual serta tidak menjawab kebutuhan masyarakat Papua. Di samping itu
UU Otsus perlu direvisi terkait dengan dinamika kewilayahan dengan pemekaran provinsi
Irian Jaya Barat.
Kedua, revisi perlu dilakukan tetapi dengan syarat dilakukannya terlebih dahulu dialog
terbuka antara Jakarta dengan Papua sebagaimana dialog yang dilakukan antara Jakarta dan
Aceh. Ketiga, tidak perlu dilakukan revisi sebab Otsus telah gagal.
Dalam nada yang lebih ekstrem mereka menyatakan bahwa pada prinsipnya masyarakat
Papua sebenarnya telah mengembalikan Otsus Papua ke Jakarta. Yang perlu dilakukan
hanyalah dialog terbuka antara Jakarta dan Papua sebagaima dialog Jakarta dan Aceh.
Perbedaaan pandangan para tokoh ini bisa dimengerti dengan melihat latar belakang
organisasi, kegiatan dan interaksi yang mereka lakukan. Apapun pandangan yang muncul dari
tokoh masyarakat sipil Papua terkait revisi UU Otsus ini, semuanya patut diperhatikan sebab
semuanya berangkat dari realitas yang mereka lihat dalam sudut pandang yang berbeda.
1.4 Tujuan
Tujuan penulisan riset ini adalah untuk melihat pencapaian hasil maupun kelemahan-
kelemahan implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Capaian hasil dapat digunakan
sebagai motivasi untuk meningkatkan keberhasilan yang telah diperoleh, maupun untuk
meningkatkan target manfaat implementasi kebijakan otonomi khusus di masa yang akan
datang. Di sisi lain, berbagai kekurangan maupun kelemahan kebijakan Otonomi Khusus
dapat dimanfaatkan sebagai dasar penyempurnaan kelemahan kebijakan.
Akan didapatkan sebuah dasar yang bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan tindak lanjut
kebijakan yang tepat, akan berguna untuk menentukan langkah tindak lanjut yang dapat
dilakukan oleh semua level pemerintahan, dalam hal ini adalah pemerintah nasional,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Penulisan ini dengan demikian diharapkan
dapat menjadi salah satu referensi dan instrumen evaluasi bagi segenap orang yang terlibat
untuk mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat dan kondisi umum di Papua yang lebih
baik melalui kebijakan Otonomi Khusus.
Dengan dukungan sumber penulisan yang cukup, hasil penelitian ini dapat menyajikan
informasi yang terkait dengan evaluasi kebijakan otonomi khusus di Papua. Hasil penulisan
ini memberikan gambaran masalah kinerja kota sorong dan masyarakat Papua dalam
kebijakan Otonomi Khusus, dan alternatif kebijakan strategis yang bisa dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
1.5 Kegunaan Riset
Kilas Balik Kota Sorong
Nama Sorong berasal dari kata SOREN dalam bahasa Biak Numfor yang berarti laut yang
terdalam dan bergelombang, kata Soren digunakan pertama kali oleh suku Biak Numfor yang
berlayar pada zaman dahulu dengan perahu-perahu layar dari satu pulau ke pulau yang lain
hingga tiba dan menetap di kepulauan Raja Ampat.
Suku Biak Numfor inilah yang memberi nama “Daratan Maladum” dengan sebutan SOREN
yang kemudian dilafalkan oleh para pedagang tionghoa, misionaris dari Eropa, Maluku dan
Sangihe Talaud dengan sebutan Sorong.
Awal mulanya kota sorong adalah salah satu kecamatan yang dijadikan pusat pemerintahan
Kabupaten Sorong. Namun dalam perkembangannya telah mengalami perubahan, sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1996 tanggal 3 Juni 1996 menjadi Kota
Administratif. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Kota
Administratif ditingkatkan menjadi Kota Otonom, yakni Kota Sorong pada tanggal 21
Oktober 1999 dengn batas-batas administrative Kota Sorong bersamaan dengan
Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong ( Lembaran Negara RI Nomor
173 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3894).
1. Implementasi di Tingkat Kabupaten/ Kota Kabupaten Sorong
Kabupaten Sorong termasuk daerah kepala burung Papua, dengan mempunyai luas wilayah
1.10945 km2 dan jumlah penduduk 78.806 jiwa. Komitmen pemerintah kabupaten Sorong
dalam memberikan pelayanan kepada masayarakat sebaik mungkin di era Otonomi Khusus
terus dilakukan melalui peningkatan sarana dan prasarana dan peningkatan sumber daya
manusia dibidang kesehatan, hal ini tertuang dalam berbagai program yang bersumber dana
Otsus tahun 2002- 2006
.
Kebijakan pembangunan kesehatan di kabupaten Sorong di bawah Otsus pada tahun 2002
sampai tahun 2006 menyerap anggaran sebesar Rp 51,96 milyar, dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan pembangunan kesehatan sebagai berikut:
Pembangunan Puskesmas dan Rumah Jabatan Kepala Puskesmas di ibukota distrik,
Peningkatan Pelayanan Kesehatan Dasar di kabupaten Sorong,
Operasional dan Pemeliharaan RSUD Sorong,
Proyek Pelayanan Kesehatan Dasar di kabupaten Sorong,
Pendidikan Tenaga Keseahatan di kabupaten Sorong,
Penanggulangan gizi buruk dan Pengembangan Posyandu di kabupaten Sorong,
Pencegahan penanggulangan penyakit menular dan HIV/AIDS di kabupaten Sorong,
Pembangunan Puskesmas dan Rumah Jabatan Kepala Puskesmas di ibuklota Distrik,
Peningkatan Pelayanan Kesehatan Dasar,
Operasional Puskesmas,
a) Pelayanan Kesehatan Dasar,
b) Operasional Puskesmas,
c) Pelayanan KIA.
Pembangunan Rumah Sakit Rujukan,
Operasional dan Pemeliharaan RSUD Sorong,
Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (Rumah Sakit Rujukan Kabupaten
Sorong) di Aimas.
2. Kinerja di Tingkat Kabupaten/ Kota Kabupaten Sorong
1. Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Kabupaten Sorong
mempunyai dua rumah sakit yaitu rumah sakit Pertamina dan rumah sakit umum.
Sejak tahun 2005 pemerintah telah membangun rumah sakit rujukan yang saat ini
masih dalam tahap penyelesaian. Dengan selesainya rumah sakit rujukan diharapkan
masyarakat memperoleh pelayanan lebih baik. Jumlah Puskesmas di Kabupaten
Sorong sebelum dan diera otsus tidak bertambah, sedangkan Puskesmas rawat ginap
dari tahun 2001 hingga tahun 2006 terjadi peningkatan. Pustu cenderung menurun
secara drastis demikian halnya dengan polindes dan posyandu sedangkan pusling
bertambah 2 unit. Dari target tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang
memadai, Kabupaten Sorong telah berhasil mencapai kemajuan yang penting.
2. Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular dan Menurunnya angka
kesakitan masyarakat. Penyakit malaria merupakan penyakit dominan di Kabupaten
Sorong, dan merupakan penyakit endemik di Papua, kemudian ISPA, penyakit kulit,
kecacingan, scabies, serta penyakit telinga dan frambosia. Pada tahun 2003 total
penderita jenis penyakit menular sebesar 24.916 jiwa, dan dapat diturunkan menjadi
24.486 pada tahun 2004. Data tahun 2005 dan 2006 tidak didapatkan. Jika
mempergunakan data 2003-2004, dari target upaya penurunan persebaran penyakit
infeksi dan menular, telah terjadi pencapaian sebagaimana dihrapkan.
3. Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata. Pada
tahun 2006, Kabupaten Sorong mempunyai dokter spesialis sebanyak 15, dokter
umum 35,dokter gigi 5, perawat 392, bidan 135, non perawat 110 serta apoteker 5.
Jika dilihat dari perkembangan tenaga kesehatan, maka cenderung meningkat setiap
tahun. Jika dibandingkan dengan ratio penduduk dan dokter, maka untuk tenaga
dokter, perawat, bidan di Kabupaten Sorong termasuk baik. Dari target terpenuhinya
tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata, Kabupaten Sorong telah
berhasil mencapai taget dalam jumlah, namun masih perlu peningkatan dalam
kemerataan tenaga medis.
4. Kesadaran kesehatan, Kesehatan Ibu dan Anak, dan Angka Kesakitan. Untuk
mencegah adanya penyakit infeksi dan menular untuk anak-anak, antara tahun 2001-
2005 Pemerintah telah melakukan 41.052 imunisasi yang terdiri dari imunisasi BCG,
DPT, polio, campak, TT, dan BUMIL.
5. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sorong adalah memberikan keringanan biaya
serendah-rendahnya kepada masyarakat, menyebabkan animo masyarakat berobat
secara medis cenderung meningkat. Hasil dari kebijakan ini adalah meningkatnya
kesehatan publik secara relatif, termasuk di antaranya kesehatan ibu dan anak, dan
menurunnya angka kesakitan masyarakat. Namun kebijakan ini masih perlu untuk
ditingkatkan di tingkat pelaksanaannya, karena masih ditemukan laporan yang
menyebutkan adanya oknum petugas medis dan pengurus Askeskin yang memungut
biaya secara tidak sah dari masyarakat.
6. Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat. Dari data
penyakit terbesar diderita adalah ISPA, penyakit kulit, kecacingan, scabies, serta
penyakit telinga dan frambosia dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran kesehatan
lingkungan oleh masyarakat masih belum tinggi.
3. Implementasi dan Kinerja Kebijakan Kota Sorong
Pertanian. Pada masa Otsus dilaporkan terdapat kemajuan dalam produksi pertanian di Kota
Sorong. Perkembangan produksi pertanian meningkat untuk semua komoditi, dengan
pertumbuhan paling tinggi pada produksi buah-buahan, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tiga
komoditi terakhir merupakan kelompok makanan pokok lokal. Pada tahun 2001 (sebelum
Otsus) produksi buah-buahan hanya 56 ton/tahun, meningkat menjadi 304 ton/tahun pada
tahun 2005. Produksi ubi kayu pada tahun 2001 adalah 339 ton, meningkat menjadi 550 ton
pada tahun 2005. Produksi ubi jalar pada tahun 2001 adalah 92 ton, meningkat menjadi 262
ton pada tahun 2005. Produksi jagung pada tahun 2001 adalah 3,75 ton, meningkat menjadi
66 ton pada tahun 2005. Tidak terdapat laporan luas lahan pertahun dan perkembangannya
sebelum dan setelah Otsus.
Perkebunan. Pada masa Otsus dilaporkan terdapat kemajuan yang terbatas dalam produksi
perkebunan di Kota Sorong. Perkembangan produksi perkebunan mengalami peningkatan
penting hanya untuk komoditi kelapa, di mana produksi pada tahun 2001 adalah 4 ton,
meningkat menjadi 156 ton pada tahun 2005. Komoditi jambu mete, hingga tahun 2004 tidak
ada produksi, namun pada tahun 2005 dilaporkan memproduksi 125 ton. Komoditi penting,
yaitu coklat merosot dari 34 ton pada tahun 2001 menjadi 3 ton pada tahun 2005.
Perikanan. Komoditas perikanan di Kota Sorong adalah udang beku, ikan kaleng, tuna,
cakalang, tepung ikan, dan ikan kayu. Pada tahun 2000 total produksi untuk seluruh komoditi
mencapai 1.187,62 ton, meningkat menjadi 1.193,83 ton di tahun 2001, menurun drastis pada
tahun 2002 menjadi 331,48 ton. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 341,91 ton, dan tahun
2004 meningkat kembali menjadi 439 ton.
Peternakan. Populasi ternak potong –sapi, babi, kambing—mengalami fluktuasi sepanjang
implementasi Otsus. Pada tahun 2001 populasi ternak potong mencapai 2.960 ekor,
meningkat menjadi 3.447 pada tahun 2002, meningkat kembali menjadi 4.212 pada tahun
2003, pada tahun 2004 menurun menjadi 1.612 ekor. Pada tahun 2005 dilaporkan meningkat
kembali menjadi 4.634. Untuk populasi ternak unggas mengalami kemajuan penting, dari
populasi 36.175 pada tahun 2001 menjadi 360.766 pada tahun 2005.
Industri. Industri kecil mengalami peningkatan setelah Otsus, dari 463 unit usaha pada tahun
2001 menjadi 447 pada tahun 2005. Nilai investasi meningkat dari Rp 16,39 milyar menjadi
Rp 21,62 milyar pada tahun 2005. Nilai produksi meningkat dari Rp 9,87 juta menjadi Rp
16,51 juta. Secara keekonomian, dapat dikatakan terdapat pertumbuhan, tetapi masih di
bawah potensi yang dapat dicapai maupun terhadap rerata laju pertumbuhan ekonomi dan laju
inflasi selama 5 tahun berjalan
BAB II
TEORI / TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori-Teori Tentang Tema yang Dipilih
1. Papua dan Indonesia
Wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketika diproklamirkan
kemerdekannya pada tanggal 17 Agustus 1945, secara de jure mencakup seluruh wilayah
bekas jajahan Kerajaan Hindia Belanda. Berdasarkan nota kesepakatan antara pemerintah
Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB), maka
wilayah Irian Barat (Papua sekarang) akan diserahkan kemudian. Namun nota kesepakatan itu
diingkari oleh pihak Kerajaan Belanda yang memunculkan reaksi dari pemerintah Indonesia
pada tahun 1963 dengan melahirkan kebijakan melalui Komando Mobilisasi Umum, -yang
terkenal dengan sebutan Tiga Komando Rakyat (Trikora)- untuk merebut kembali wilayah
Irian Barat (Papua sekarang). Wilayah Irian Barat akhirnya terintegrasi ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada bulan Mei 1963. Dengan latar seperti itu, maka kebijakan
pembangunan di wilayah ini berbeda dengan wilayah lain yang berimplikasi luas dalam aspek
pembangunan sosial, ekonomi dan politik.
Provinsi Papua yang didirikan dengan dasar hukum UU No. 12 Tahun 1969 dan UU No. 45
Tahun 1999, mempunyai luas wilayah 317.062 km2, atau sekitar 20% dari luas daratan
Indonesia.
Provinsi Papua ditandai oleh tiga ekologi wilayah utama, yakni; (1) ekologi wilayah rawa-
rawa, dataran rendah, dan kaki gunung; (2) ekologi wilayah pesisir, pantai, dan kepulauan;
dan (3) ekologi wilayah pegunungan tinggi. Sekitar 70% penduduk asli Papua bertempat
tinggal di kampung-kampung yang terpencil, pedalaman, pulau-pulau kecil, dan perbatasan
negara, dengan kondisi topografis yang sulit diakses oleh pelayanan pembangunan,
pemerintahan, dan pelayanan jasa kemasyarakatan.
Pada dasarnya, proses pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua baru efektif
dimulai pada awal tahun 1980an. Itupun masih sangat bersifat sporadis, belum sempat
terencana secara matang seperti yang telah dilakukan di provinsi lainnya dengan format
REPELITA-GBHN. Terlambatnya mengawali proses pembangunan tersebut lebih disebabkan
oleh kesibukan Pemerintah dalam hal penyelesaian masalah politik kembalinya Irian Barat ke
Pangkuan Ibu Pertiwi. Berbarengan dengan itu, akselerasi pertumbuhan yang terjadi di
berbagai daerah di Indonesia tidak dapat diimbangi oleh kemajuan pembangunan di Tanah
Papua Kondisi ini, diperburuk oleh pola anutan sentralistik di bawah pengaruh kekuasaan
Orde Baru, yang ternyata telah menggiring eksistensi masyarakat Papua ke dalam situasi
enclave. Praktis, hal ini menjadi motif utama bagi munculnya ketidakpuasan yang
menyuburkan intensitas pergerakan kemerdekaan politik bagi sebagian komponen
masyarakat, setelah merasa dikecewakan dalam peristiwa Pepera Tahun 1969.
Desakan untuk menggunakan kembali nama “Papua” berangkat dari kekecewaan elit politik
lokal karena selama 36 tahun (1962-1998) menjadi bagian dari Indonesia di bawah tatanan
Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998), kawasan ini tetap menjadi kawasan
terbelakang dan semakin tertinggal dibanding kawasan lain.
Meskipun merupakan kawasan yang secara kategori pembangunan disebut terbelakang,
namun Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah. Ada proven deposit 2,5 milyar ton
bahan tambang emas & tembaga (konsesi Freeport saja); 540 juta m3 potensi lestari kayu
komersial; dan 9 juta ha hutan konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar. Panjang
pantai wilayah ini mencapai 2.000 mil, luas perairan 228.000 km2, dengan tidak kurang dari
1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Namun demikian, di balik semua
keberlimpahan tersebut, Papua juga dikenal sebagai provinsi dengan jumlah masyarakat
miskin terbanyak. Dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, kawasan ini tetap menjadi
kawasan paling terbelakang dan paling miskin, tidak berbeda dengan posisinya pada saat
bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1963.
Papua merupakan provinsi yang paling terbelakang di Indonesia. Pada tahun 1997 –sebelum
krisis-- tingkat kemiskinan Papua dilaporkan di atas 50%, sementara rerata tingkat
kemiskinan nasional telah mendekati 14%. Papua menjadi provinsi dengan populasi miskin
terbesar di Indinesia. Pada tahun 1999 dilaporkan persentase penduduk miskin Papua adalah
54,75%, yang menjadikan Papua tetap sebagai provinsi dengan populasi miskin terbesar,
disusul Nusa Tenggara Timur 46,73%, dan Maluku 46,14%. Tahun 2000, persentase
kemiskinan menurun menjadi 41,80%, tetapi masih yang terbesar di Indonesia, disusul
Maluku 46,14%,dan Nusa Tenggara Timur 36,52%.
Kemiskinan dan keterbelakangan yang mendalam di Papua, sudah pada tempatnya, diakui
sebagai kegagalan pendekatan pembangunan Papua selama masa Orde Baru. Dibanding
kawasan Indonesia lainnya, Papua merupakan kawasan dengan kondisi keterbelakangan yang
paling tinggi. Kondisi keterbelakangan ini, secara internal, disebabkan 5 hal utama, yaitu
bahwa pada saat menjadi bagian dari Indonesia:
1. sebagian besar masyarakat Papua hidup dalam kondisi keterbelakangan, atau dalam bahasa
akademis disebut keprimitifan
2. tidak terdapat infrastruktur fisik, dalam arti transportasi dan telekomunikasi, yang memadai,
bahkan pada tingkat paling minimal
3. rendahnya tingkat kesejahteraan dan kesehatan karena rendahnya tingkat pendidikan
4. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di kawasan ini untuk dapat secara langsung
masuk ke dalam “mesin” pembangunan yang berjalan dengan “mode” masyarakat dengan
kondisi seperti di Jawa dan kawasan lain yang lebih maju dari Papua
5. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di jajaran elit lokal untuk menjadi bagian
dari sistem kepemerintahan modern.
Simpulan yang dapat diambil adalah meskipun keputusan politik penyatuan Papua menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur
yaitu membangun rakyat di Papua (Barat) menjadi masyarakat modern dan makmur,
kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Paling tidak, dua hal mendasar yang
mendesakkan keinginan untuk memperoleh Otonomi khusus sebagai salah satu varian konsep
desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization),
sebagai “pilihan antara” atas pilihan biner yang ada.
Pertama, pendekatan dalam kebijakan pembangunan Papua (atau Irian Jaya, pada saat itu)
selama masa Orde Baru lebih ditentukan oleh Pusat daripada aspirasi setempat. Pendekatan
ini biasanya disebut sebagai “pendekatan sentralistik”. Sebuah pendekatan yang dinilai lazim
pada awal tahun 1970n hingga 1980an, di mana Indonesia merupakan negara berkembang
yang sedang “membangun”, di dalam arti sedang melakukan “perubahan sosial yang
dipercepat”, yang memerlukan pola yang “satu ide, satu komando”, atau perencanaan dan
pengendalian pembangunan yang terpusat. Terlepas dari upaya dari Pemerintah Pusat untuk
melakukan pemahaman permasalahan pembangunan di tingkat lokal, namun kebijakan
pembangunan di Papua lebih banyak ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana
kebijakan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia pada umumnya. Selain berasal dari
paradigma pembangunan yang ada dan diyakini pada saat itu, pendekatan yang sentralistik
juga didukung oleh elit politik di tingkat nasional dan elit politik Papua yang berkepentingan
dengan pemusatan kebijakan pembangunan Papua di Jakarta. Pendekatan pembangunan yang
dijalankan, yang berpola sentralistik tidak cukup berhasil membuat Papua menjadi kawasan
yang maju dan makmur. Kemakmuran cenderung lebih dinikmati perusahaan-perusahaan
multinasional dan nasional yang beroperasi di Papua, yang melakukan eksploitasi alam, dan
para pendatang dari luar Papua.
Kedua, momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan
kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam
menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menetapkan perlunya pemberian
status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun
1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain
menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus
tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya
dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang
positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus
merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kokoh bagi berbagai
upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Dapat disimpulkan, pembangunan Irian Jaya dipersepsikan oleh masyarakat lokal belum
sesuai dengan keinginan dan aspirasinya, karena dibanding seluruh provinsi di Indonesia,
Irian Jaya merupakan kawasan yang paling tertinggal dari berbagai sisi pembangunan.
Ironisnya, Irian Jaya merupakan salah satu kawasan Indonesia yang memberikan sumbangan
pendapatan nasional yang tinggi, terutama dari hasil eksploitasi pertambangan.
2. Papua dan Reformasi Indonesia
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1998 mendorong lahirnya gerakan
reformasi yang merubah peta politik, sosial, dan ekonomi nasional. Momentum perubahan
besar ini dipergunakan oleh masyarakat dan elit di Irian Jaya bagi reformasi hubungan Pusat-
Irian Jaya, dengan tujuan meletakkan Irian Jaya sebagai sebuah daerah yang mendapatkan
prioritas pembangunan yang sama besar dengan daerah lain di Indonesia. Berbeda dengan
gerakan sebelumnya yang bersifat separatis seperti gerakan Organisasi Papua Merdeka
(OPM), maka gerakan rakyat dan elit Irian Jaya mengarah kepada dua isu, yaitu:
(1) penggantian nama Irian Jaya, dadan.
(2) perlakuan khusus dalam kebijakan otonomi daerah yang diberikan Pusat kepada Irian
Jaya.
Momentum pertama diperoleh pada tahun 2000. Presiden Abdurrahman Wahid memberikan
dukungannya untuk merubah nama Irian Jaya menjadi Papua, sebagaimana aspirasi lokal
yang disampaikan ke Pusat. Perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua ini tertuang dalam
Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang
Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua.
Perubahan nama ini merupakan instrumen penting untuk mendorong perlakuan khusus Papua
sebagai daerah otonom. Pada tahun 2000-2001, delegasi Papua memperjuangkan adanya
kebijakan “otonomi khusus” bagi Papua. Setelah melalui pengkajian yang komprehensif dan
melibatkan berbagai pihak yang terkait, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan
Presiden memberikan persetujuan untuk menerbitkan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus),
dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang
ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 November 2001.
Pada tahun 2003, Presiden Megawati menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 1
Tahun 2003 yang membagi Provinsi Papua menjadi dua: Papua dan Irian Jaya Barat. Pada
saat ini, berkembang wacana untuk membagi Papua menjadi dua provinsi baru, Papua Barat
dan Papua Tengah. UU Otsus merupakan hasil tawar-menawar antara rakyat Papua dengan
Pemerintah RI tanggal 26 Februari 1999 di Istana Negara ketika 100 delegasi resmi, yang
mewakili elemen di Papua dengan dipimpin Thomas Beanal, menemui Presiden BJ Habibie.
Namun Presiden Habibie tidak memberikan dukungan kepada pemintaan tersebut. Desakan
ini akhirnya mendapatkan “angin segar” ketika Presiden Abdurrahman Wahid memberikan
dukungan untuk menggunakan kembali nama Papua sebagai ganti Irian Jaya, dan pemberian
ijin untuk mempergunakan bendera Bintang Kejora sebagai bendera provinsi.
Pada tahun 2000, desakan integrasi semakin menguat dan memuncak pada Kongres Papua II
di Jayapura tanggal 29 Mei – 3 Juni 2000. Presiden Megawati, yang menggantikan Presiden
Abdurrahman Wahid pada tahun 2001, merespon tuntutan merdeka untuk Papua dengan
menandatangani UU No. 21 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001 tentang otonomi khusus.
Lahirnya undang-undang tentang otonomi khusus ini dapat dilihat sebagai penyelesaian
konflik, win-win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan terlepas dari NKRI serta
Pemerintah RI yang kokoh-teguh mempertahankan kedaulatan NKRI.
Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Nomor 21 tahun 2001 merupakan
pengakuan Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan
kekayaan Papua. Sebuah prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan
dibanding saudaranya di kawasan tengah dan timur.
Pada tahun 2003, terjadi perubahan signifikan, yaitu pemekaran provinsi Papua menjadi dua:
Provinsi Papua, yang berada di timur, dan Provinsi Irian Jaya Barat, yang merupakan Papua
bagian barat, atau disebut sebagai bagian “Kepala Burung”, melalui Keputusan Presiden
(Keppres) No. 1 Tahun 2003. Sebuah eksekusi dari wacana yang berkembang pada tahun
1999. Otonomi khusus untuk Papua menjadi fakta bagi sketsa baru dari tata hubungan pusat-
deerah pasca reformasi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, presiden terpilih pada Pemilu 2004, mengembangkan
pemahaman bahwa membangun Papua harus komprehensif, demokratis, dan bermartabat.
Karenanya, masalah Papua hanya terselesaikan melalui kompromi dengan didasarkan pada
nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap rakyat Papua.
Dengan demikian, Presiden Yudhoyono mendukung kebijakan Otsus, yang pada saat
dirumuskannya beliau menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan menjadi salah
satu pemikir utama kebijakan otsus bagi Papua.
3. Papua dan UU Otsus
Sebagaimana dikemukakan pada UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua, maka yang dimaksud Provinsi Papua adalah Provinsi yang sebelumnya
bernama Irian Jaya, yang diberi status Otonomi Khusus, yang merupakan bagian dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250
bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia.
Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 Kabupaten dan dua Kota, yaitu:
Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire,
Kabupaten Sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten Manokwari,
Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua memiliki luas kurang lebih 421.981 km2
dengan topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang ber-rawa sampai dengan
pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah
utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafura,
di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan
Negara Papua New Guinea.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang
lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan
rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan
alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai
bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini
berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian
masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua
melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta
merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta
lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua,
lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati
diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan
hukum adat.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:
pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta
penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya
secara strategis dan mendasar;
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui
keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan
dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya
dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan
berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;
c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan
bertanggungjawab kepada masyarakat. pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab
yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat
Papua (MRP) sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan
kewenangan tertentu
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,
penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan
ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka
kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.
Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya
sebagai subjek utama pembangunan. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk
memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-Undang ini juga
mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan
memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.
Pada UU No. 21 Tahun 2001 ini juga disebutkan agenda-agenda yang mendasari
penerbitannya, yaitu berkenaan dengan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, yaitu membangun masyarakat Indonesia
yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam agenda ini dipahami bahwa masyarakat Papua memiliki hak untuk menikmati hasil
pembangunan secara wajar. Dari segi yuridis, sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam
undang-undang. Dari sisi politik, Pemerintah menilai bahwa integrasi bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan
daerah Otonomi Khusus.
Dengan melihat bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras
Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki
keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri, maka kebijakan otonomi
khusus dapat diberikan.
Pertimbangan tersebut juga didasari oleh pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi
rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum
sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya
menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya
masyarakat Papua, termasuk bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam
Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah
lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.
Di sisi lain, hal yang utama adalah otonomi khusus diberikan dalam konteks untuk
mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli
Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pemberian kebijakan Otsus sendiri diberikan dengan melihat sisi penegakan hak-hak dasar di
Papua. Pada UU ini disebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan khusus didasarkan pada nilai-
nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak
dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta
persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Pemberian otonomi khusus
dengan demikian juga diletakkan pada keyakinan bahwa telah lahir kesadaran baru di
kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional
pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan
dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.
Pemberian Otsus didukung oleh masyarakat dan elit Papua, khususnya untuk merespon
kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua pada saat itu –sebelum pemekaran—
JP Solosa, menyampaikan bahwa sekitar 75% warga Papua diperkirakan masih hidup di
bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan
udara di daerah10 itu. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat program-
program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat di
seluruh Papua. Gubernur Solosa menyatakan optimis dengan pemberlakuan UU No. 21 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus. Dengan Otsus, Papua dapat mengatasi persoalan
ketertinggalan dan kemiskinan.
4. Evaluasi Kinerja Otsus
Laporan ini merupakan sintesa hasil implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi
Papua. Dasar pemikirannya adalah bahwa Kebijakan Otonomi Khusus merupakan kebijakan
yang bertujuan untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di
Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi di wilayah timur Indonesia yang
menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan wilayah. Daerah
yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam (SDA) ternyata pada tataran
riil menghadapi fakta yang bertolak belakang. Ketertinggalan perekonomian masyarakat,
minimnya penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, jaringan infrastruktur yang
masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM)
merupakan permasalahan mendasar di wilayah ini. Kontradiksi seperti ini lambat laun
menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat dirasakan oleh masyarakat Papua.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata justru membawa dampak negatif
yang sangat besar, mulai dari kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat
asli.
Berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua
telah lama disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan
aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak jarang
berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan. Masyarakat asli
Papua mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencari solusi berbagai
persoalan mendasar di Papua.
Terlebih lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat terkait dengan
kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran masyarakat
lokal yang berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka. Intensitas konflik fisik
maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin tinggi akhirnya membuat pemerintah mau tidak
mau harus secara serius memperhatikan perkembangan aspirasi masyarakat Papua. Seiring
dengan semakin populernya konsep desentralisasi pemerintahan sejak UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif
terhadap konteks lokal mulai menjadi mainstream utama reformasi pemerintahan.
Konsep desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah Papua.
Penyelenggaraan pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang
diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua.
Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah pilihan kebijakan pemerintah pusat
dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk langkah kompromistis antara kepentingan nasional dan
desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua.
Sebagaimana dikemukakan di depan, otonomi khusus merupakan salah satu varian konsep
desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization).
Kebijakan otonomi khusus akhirnya diambil oleh pemerintah pusat guna menyelesaikan
berbagai persoalan di Papua.14 Kebijakan ini diterapkan secara resmi melalui Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU No. 21
Tahun 2001).
Mekanisme baru penyelenggaraan pemerintahan ini dimaksudkan sebagai jalan tengah untuk
memfasilitasi aspirasi masyarakat daerah dengan kepentingan pemerintah nasional.
Pada dasarnya kebijakan otonomi khusus dimaksudkan untuk memberikan ruang dan otoritas
yang lebih luas dan adil bagi pemerintah daerah dan masyarakat Papua untuk mengelola
wilayahnya sesuai dengan karakter dan keunikan lokal. Otoritas yang diberikan mencakup
jaminan hak agar provinsi ini dapat mengelola kekayaan alam di Papua sehingga dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat asli. Dengan kata lain,
kebijakan Otonomi Khusus menciptakan sebuah tata pemerintahan daerah Papua yang unik
dan berbeda dengan wilayah lain.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 merupakan kerangka kebijakan umum yang menjadi
pedoman dalam melaksanakan Otonomi Khusus di Tanah Papua. UU ini mengatur berbagai
sektor dasar yang menjadi bagian dari pelaksanaan Otonomi Khusus. Sektor-sektor yang
diatur dalam undang-undang ini menciptakan karakter spesifik pada arah kebijakan daerah di
tanah Papua yang membedakannya dengan daerah lain di NKRI.
Sebagai bentuk kebijakan umum di tanah Papua, UU No. 21 Tahun 2001 ini memiliki filosofi
perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan.16 Filosofi ini diharapkan dapat menjadi solusi
untuk berbagai persoalan di Papua.17 Harapannya, kebijakan ini dapat menjadi instumen
efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih proporsional serta
menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti kemiskinan, keterbelakangan,
masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi. Dengan demikian,
kebijakan Otonomi Khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang
dimaksudkan untuk mengakomodasi tiga hal; menjawab kebutuhan peningkatan dan
perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari jalan tengah
terhadap berbagai kemelut selama ini.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kebijakan otonomi khusus mulai diimplementasikan
setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (UU No. 21 Tahun
2001). Artinya, saat tulisan ini sedang dibuat pada April 2008, kebijakan otonomi khusus
telah berjalan kurang lebih tujuh tahun. Dari rentang waktu tersebut, berbagai langkah nyata
telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan implementasi otonomi khusus
di atas. Kebijakan-kebijakan strategis di bidang pelayanan dasar telah diimplementasikan
dengan melibatkan mobilisasi sumberdaya dan sumberdana yang jumlahnya sangat
signifikan. Kebijakan strategis tersebut meliputi bidang kebijakan umum, bidang
perekonomian, bidang infrastruktur, bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang masyarakat
sipil.
Terkait dengan hal ini, untuk menilai efektivitas implementasi kebijakan ini, diperlukan
sebuah instrumen evaluasi yang dapat digunakan sebagai tolok-ukur keberhasilan maupun
kekurangan implementasi kebijakan ini. Kemitraan bekerjasama dengan Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia (Depdagri) telah melakukan penelitian yang terkait dengan
evaluasi implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Penelitian yang dilakukan
meliputi evaluasi:
1. kebijakan umum,
2. kebijakan bidang kesehatan,
3. kebijakan bidang pendidikan,
4. kebijakan bidang infrastruktur,
5. kebijakan pengembangan masyarakat sipil.
Evaluasi tersebut dilakukan untuk melihat efektifitas implementasi kebijakan otonomi khusus
dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat asli Papua.
2.2 Daftar Pustaka
Koentjaraningrat (ed) 1993, Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta:
Djambatan
Ricklefs, MC, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi
Vlekke, BHM, 2008, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG/Gramedia
Laporan Studi Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Bidang Kebijakan Umum,
Departemen Dalam Negeri,
Salah satu tulisan yang mengelaborasi sejarah atau latar belakang implementasi kebijakan
Otonomi Khusus di Papua menyebutkan bahwa kebijakan ini dilatarbelakangi antara lain
oleh ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat, konflik yang muncul di
dalamnya yang akhirnya membuat kebijakan Otonomi Khusus dipilih sebagai solusi. Lihat
dalam Arifah Rahmawati, Papua Ethno-Political Conflict: Causes, Context, and Policy
Implication, Thesis, 2004, Naval Post Graduate School Menterey, California.
Democratic Center Cenderawasih University, Principal Thoughts Concerning Development
Policies in Papua Province, Jayapura, June 2003. halaman 8.
Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, “Ketentuan Umum”
Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Kebijakan Umum, 2008, Jakarta:
Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik.
Kategori: Selayang Pandang
Diterbitkan pada Jum'at, 13 Juli 2012 02:13
Ditulis oleh Administrator
Dilihat: 213
Cetakan Pertama, Desember 2008
Kinerja Otonomi Khusus Papua Cet. I - Jakarta: Kemitraan, 2008;