Upload
eriska-ahmad
View
2.273
Download
5
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Peningkatan Kinerja Mesin Penanam dan Pemupuk Jagung Terintegrasi @InstitutPertanianBogor
Citation preview
PENINGKATAN KINERJA UNIT PEMUPUK PADA MESIN
PENANAM DAN PEMUPUK JAGUNG TERINTEGRASI
SKRIPSI
AHMAD ERISKA DWI HUTAMA PUTRA
F14080122
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
a
PERFORMANCE IMPROVEMENT OF FELTILIZER APPLICATOR
UNIT OF INTEGRATED MACHINE FOR TILLAGE, CORN
PLANTING AND FERTILIZING
Ahmad Eriska and Wawan Hermawan
Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering
Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor West Java,
Indonesia
Phone 62 853 19875137, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
A prototype of integrated machine for tillage, planting and fertilizer application for corn cultivation has been developed. However, the prototype still had many lacks. The level of jamming in the driving wheel was too high which could make the fertilizing was not uniform and not appropriate by the doses, the jam-packed of fertilizer in the fertilizer channel frequently happened, and the fertilizer placement depth could not be reached. The objective of this research was to improve the fertilizing performances by modifying the fertilizer applicator unit. The fertilizer applicator unit was modified to reduce the level of jamming in the driving wheel, improve the uniformity and accuracy of fertilizer metering, reduce the jam-packed of fertilizer in the fertilizer channel, and deepen the placement of fertilizer. The metering device was modified using an edge-cell type rotor and placed at frontward position of the hopper bottom. For cutting the excessive fertilizer in the metering rotor, a brush was placed at upper side of the rotor. The fertilizer channel was redesigned in a proper size and the material was changed. The modified prototype has been tested in the stationary condition and field condition. Several tests were conducted to measure the level of uniformity and accuracy of fertilizer metering. The rotating torque of driving wheel was measured to ensure a lower rotating torque. The level of jamming in driving wheel, and fertilizer placement depth were also measured in field test. The result of the test showed that the level of jamming in the driving wheel could be decreased from 31 % to 23 %. The metering device could meter the fertilizer in uniform and accurate metering.The jam-packed of fertilizer in the fertilizer channel could be reduced, and the optimum fertilizer placement depth could be reached.
Keywords: fertilizer applicator, corn planter, metering device, modification
b
Ahmad Eriska Dwi Hutama Putra. F14080122. Peningkatan Kinerja Unit Pemupuk Pada Mesin
Penanam dan Pemupuk Jagung Terintegrasi. Di bawah bimbingan Wawan Hermawan. 2012
RINGKASAN
Konsumsi jagung oleh masyarakat Indonesia cukup besar. Sebagian besar kebutuhan jagung
masih berasal dari impor karena produksi dalam negeri masih belum memenuhinya. Produksi dapat
ditingkatkan dengan cara memperbaiki sistem budidaya jagung. Sebagian besar petani jagung masih
menggunakan tugal untuk menanam jagung dan menaburkan pupuk secara manual di samping alur
benih. Dengan menggabungkan beberapa proses dalam satu mesin diharapkan dapat menghemat
waktu dan biaya dibandingkan dengan cara penanaman dan pemupukan manual.
Salah satu mesin yang telah dikembangkan adalah mesin penanam dan pemupuk jagung
terintegrasi. Mesin ini adalah mesin penanam sekaligus pemupuk jagung yang diintegrasikan dengan
alat pembuat guludandan rotaridengan tenaga penggerak traktor roda dua. Setelah dilakukan
pengujian dan beberapa kali perbaikan dihasilkan prototipe-2. Namun, prototipe-2 juga masih
memiliki kekurangan, diantaranya tingkat kemacetan roda penggerak yang cukup tinggi yang
menyebabkan pemupukan tidak seragam dan tidak sesuai dosis, sering terjadinya penumpukan pada
penyalur pupuk pada saat pemupukan, dan kedalaman penempatan pupuk yang belum terpenuhi.
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja mesin penanam dan pemupuk jagung
terintegrasi dalam hal unit pemupuk dengan memperkecil tingkat kemacetan roda penggerak,
meningkatkan keseragaman penjatahan pupuk, meningkatkan ketepatan pengaturan penjatahan pupuk,
mengurangi penumpukan pupuk pada saluran pupuk, dan memperdalam penempatan pupuk pada
tanah. Peningkatan kinerja ini dilakukan dengan cara memodifikasi unit pemupuk. Modifikasi yang
dilakukan meliputi: 1) mengganti bentuk dan bahan metering device dari yang sebelumnya, 2)
mengganti bahan hopper dan memperluas ruang putar rotor, 3) menambahkan komponen sikat
pembatas pada metering device, 4) merancang saluran pupuk agar tidak terjadi penumpukan pupuk
dan mencapai kedalaman pupuk yang diinginkan.
Alat dan perlengkapan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 1) peralatan untuk
perancangan, 2) peralatan untuk pembuatan prototipe mesin, dan 3) peralatan instrumen untuk
pengujian kinerja mesin. Peralatan untuk perancangan berupa komputer dan beberapa software untuk
merancang dan menghitung. Peralatan untuk pembuatan prototipe mesin meliputi: mesin bor, mesin
gerinda duduk, mesin gergaji listrik, mesin gerinda tangan, mesin bubut, gunting, penggaris, busur,
dan pembengkok akrilik. Sedangkan peralatan instrument untuk pengujian kinerja mesin meliputi:
patok, stopwatch, timbangan, timbangan pegas, tali, alat tulis dan penggaris.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan prototipe mesin adalah: silinder polietilen, akrilik tebal 5
mm, mika siku, porors stainless steel, sok pipa PVC, sikat, lem aseton, lem araldite, mur dan baut.
Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengujian prototipe adalah: pupuk urea, pupukKCl, pupuk SP-
36, bahan bakar solar, dan oli mesin. Pembuatan mesin dilakukan di bengkel Departemen Teknik
Mesin dan Biosistem Institut Pertanian Bogor.
Mekanisme kerja dari mesin unit pemupuk ini melibatkan beberapa komponen seperti roda
penggerak, poros metering device, hopper pupuk, metering device pupuk, dan penyalur pupuk. Roda
penggerak yang berputar akibat menerima gaya gesek dari tanah menggerakkan poros metering device
pupuk yang disalurkan dengan sprocket dan rantai. Perputaran poros metering device pupuk juga akan
memutar metering device pupuk sehingga isi pupuk yang ada di dalam hopper akan keluar berdasarkan
c
volume celah dari rotor penjatah. Pupuk yang keluar akan melalui penyalur pupuk dan akan dijatuhkan
ke dalam tanah.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Putra pada tahun 2011 unit pemupuk
dirancang untuk dapat memupuk urea 150 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Hopper pupuk
dibagi menjadi dua yaitu hopper sebelah kanan untuk pupuk SP-36+KCl (2:1) dan hopper sebelah kiri
untuk pupuk urea. Sedangkan hopper ditengah untuk benih.
Pada penelitian ini dilakukan beberapa pengujian, meliputi: 1) pengujian tingkat keseragaman
penjatahan, 2) ketepatan penjatahan pupuk, 3) torsi putar roda penggerak, 4) keseragaman penjatahan
pupuk di pengujian lapangan, 5) ketepatan penjatahan pupuk di pengujian lapangan, 6) tingkat
kemacetan roda penggerak, dan 7) kedalaman penempatan pupuk. Pengujian 1, 2 dan 3 dilakukan
dengan cara stasioner, dengan memutar roda penggerak dan mengukur laju pengeluaran pupuknya
(nomor 1 dan 2), serta mengukur kebutuhan torsi putarnya (untuk nomor 3). Sedangkan pengujian 4,
5, 6, dan 7 dilakukan dengan menjalankan mesin penanam dan pemupuk di lahan, dan diukur
kinerjanya.
Hasil pengujian prototipe-3 menunjukan bahwa: 1) kemacetan roda penggerak berhasil dikurangi dari 31 % menjadi 23 %, 2) dosis pemupukan pada pengujian stasioner dan pemupukan di lapangan seragam, 3) dosis yang dikeluarkan pada pengaturan penjatahan terbukti akurat dengan pengaturan dapat dilakukan secara langsung dan mudah, 4) penumpukan pupuk pada saluran pupuk berhasil dikurangi, dan 5) kedalaman penempatan pupuk sudah tercapai. Dari hasil pengujian pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi telah berhasil ditingkatkan performanya, khususnya kinerja pemupukannya.
d
PENINGKATAN KINERJA UNIT PEMUPUK PADA MESIN
PENANAM DAN PEMUPUK JAGUNG TERINTEGRASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Boogor
Oleh
AHMAD ERISKA DWI HUTAMA PUTRA
F14080122
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
e
Judul Skripsi : Peningkatan Kinerja Unit Pemupuk Pada Mesin Penanam dan
Pemupuk Jagung Terintegrasi
Nama : Ahmad Eriska Dwi Hutama Putra
NRP : F14080122
Menyetujui
Dosen Pembimbing Akademik
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS.
NIP. 19630329 198703 1 002
Mengetahui
Ketua Departemen
(Dr. Ir. Desrial, M.Eng)
NIP. 19661201 199103 1004
Tanggal Lulus:
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Peningkatan Kinerja
Unit Pemupuk pada Mesin Penanam dan Pemupuk Jagung Terintegrasi adalah hasil karya saya
sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum disajikan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
Yang membuat pernyataan
Ahmad Eriska Dwi Hutama Putra
F14080122
iii
© Hak Cipta milik Ahmad Eriska Dwi Hutama Putra, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
iv
BIODATA PENULIS
Ahmad Eriska Dwi Hutama Putra. Lahir di Jakarta, 13 Oktober 1990 dari
ayah Ahmad Iskandar dan ibu Suhaerah, sebagai putra kedua dari dua
bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1
Tangerang Selatan dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis
memilih program studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan
Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama perkuliahan, penulis juga
aktif sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi
Pertanian pada tahun 2010-2011. Pada tahun 2011 dan 2012 penulis menjadi asisten mata kuliah
Gambar teknik dan pada tahun 2012 penulis menjadi asisten mata kuliah Teknik Mesin Budidaya
Pertanian.
Pada tahun 2011 penulis melakukan praktik lapangan di PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh,
Majalengka, Jawa Barat dengan judul “Aspek Keteknikan Pertanian pada Aplikasi dan Pemeliharaan
Mesin Budidaya Tebu di PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh, Majalengka”.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peningkatan Kinerja Unit Pemupuk Pada Mesin Penanam dan Pemupuk Jagung
Terintegrasi”.
v
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Peningkatan Kinerja Unit Pemupuk Pada Mesin
Penanam dan Pemupuk Jagung Terintegrasi”. Dalam skripsi ini penulis mencoba menjelaskan latar
belakang dan tujuan yang dipilih penulis dalam hal memilih judul penelitian serta dibahas juga hasil
dari penelitian yang telah dilakukan. Latar belakang dan tujuan pun didampingi dengan literatur –
literatur yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian dan menyusun metode yang akan
digunakan pada saat penelitian.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu
dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Sri Mudiastuti M.Eng dan Ir. Agus Sutejo, M.Si sebagai dosen penguji pada saat ujian
skripsi berlangsung.
3. Kedua Orangtua penulis serta kakak yang senantiasa memberikan doa dan tiada berhenti
memberikan dukungan terhadap penulis selama ini.
4. Bapak Parma, Bapak Darma, Bapak Wana beserta seluruh teknisi yang telah membantu
selama penelitian ini berlangsung.
5. Saudara Pandu Gunawan, Tahir Sapsal, Ignatius Indrawan, Salman Al-Farisi, Bintarjo Agus,
Galih Brahmadi, Angga Herviona, Bareth Juanda yang tanpa pamrih membantu selama
penelitian berlangsung.
6. Teman – teman TPB (Diara Mutiarani, Anggi, Wahyu, dan Syakir) yang sudah memberikan
semangat dan mengirimkan doa kepada penulis.
7. Teman – teman wisma ZERO yang memberikan inspirasi dalam proses pembuatan skripsi.
8. Teman – teman Teknik Mesin dan Biosistem angkatan 45 yang sudah sangat banyak
membantu dan memberikan dukungan terhadap penulis.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi nyata
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pertanian.
Bogor, Oktober 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISIHalaman
KATA PENGANTAR............................................................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................................viii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................................................xi
I. PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................................1
B. Tujuan.........................................................................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................4
A. Budidaya Jagung.........................................................................................................................4
B. Pupuk..........................................................................................................................................4
C. Mesin Penanam...........................................................................................................................7
D. Alat dan Mesin Pemupuk Butiran.............................................................................................10
E. Penjatah Pupuk..........................................................................................................................12
F. Sistem Transmisi Rantai Rol dan Sproket................................................................................16
G. Kotak Pupuk (Hopper)..............................................................................................................16
H. Polietilen...................................................................................................................................17
III. METODE PENELITIAN.............................................................................................................18
A. Waktu dan Tempat....................................................................................................................18
B. Alat dan Bahan..........................................................................................................................18
C. Tahapan Penelitian....................................................................................................................18
D. Identifikasi dan Analisis Masalah.............................................................................................19
E. Konsep Modifikasi....................................................................................................................22
F. Analisa Perancangan.................................................................................................................24
G. Metode Pengujian Kinerja........................................................................................................31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................................................36
A. Konstruksi Unit Pemupuk hasil Modifikasi..............................................................................36
B. Kinerja Unit Pemupuk..............................................................................................................42
V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................................................50
A. Kesimpulan...............................................................................................................................50
B. Saran..........................................................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................51
vii
DAFTAR GAMBARHalaman
Gambar 1. Prototipe-1 mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi
Gambar 2. Prototipe-2 mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi
Gambar 3. Konstruksi alat tanam sebar (a) dan hasil penempatannya (b)
Gambar 4. Mesin tanam acak (a) dan hasil penempatannya (b)
Gambar 5. Proses penempatan benih
Gambar 6. Roda pemadat (a) dan jenis pembuka alur (b)
Gambar 7. Mesin tanam presisi (a) dan hasil penempatan nya (b)
Gambar 8. Diagram proses pemupuk butiran
Gambar 9. Penabur tipe gravitasi sebar acak (a), dan alur barisan (b)
Gambar 10. Penebar tipe rotari
Gambar 11. Tipe penabur pneumatik
Gambar 12. Penjatah roda bintang
Gambar 13. Penjatah piringan berputar
Gambar 14. Penjatah tipe ulir rapat
Gambar 15. Rotor bercelah
Gambar 16. Penjatah sabuk berputar
Gambar 17. Penjatah rol beralur
Gambar 18. Penjatah aliran gravitasi
Gambar 19. Tahapan penelitian
Gambar 20. Rotor pupuk prototipe-2
Gambar 21. Rotor dan selubung rotor prototipe-2
Gambar 22. Jarak sudu dan dinding hopper terlalu sempit
Gambar 23. Butiran pupuk yang dihimpit dan mengganjal putaran sudu rotor
Gambar 24. Hopper pupuk prototipe-2
Gambar 25. Penyalur pupuk prototipe-2
Gambar 26. Rotor penjatah
Gambar 27. Mekanisme penjatahan pupuk
Gambar 28. Mekanisme perputaraan rotor penjatah
Gambar 29. Bentuk penampang celah rotor penjatah pupuk
Gambar 30. Pembebanan sudu rotor untuk perhitungan minimum tebal sudu ...................................... 27
Gambar 31. Rotor dan selubung rotor
viii
Gambar 32. Gambar isometric hopper prototipe-3
Gambar 33. Sketsa celah rotor penjatah
Gambar 34. Penyalur pupuk prototipe-3
Gambar 35. Sketsa pengujian tingkat keseragaman penjatahan
Gambar 36. Sketsa pengujian torsi putar roda penggerak
Gambar 37. Rotor penjatah
Gambar 38. Selubung rotor penjatah
Gambar 39. Konstruksi sikat pembatas
Gambar 40. Bagian – bagian hopper
Gambar 41. Alat penekuk akrilik dengan besi pemanas
Gambar 42. Bentuk hopper pupuk
Gambar 43. Poros penjatah pupuk dan benih
Gambar 44. Penyalur pupuk prototipe-3
Gambar 45. Gambar keseluruhan prototipe-3
Gambar 46. Hopper prototipe-2 (a) dan hopper prototipe-3 (b)
Gambar 47. Rotor penjatah prototipe-2 (a) dan rotor penjatah prototipe-3 (b)
Gambar 48. Selubung rotor prototipe-2 (a) dan selubung rotor prototipe-3 (b)
Gambar 49. Slauran pupuk prototipe-2 (a) dan saluran pupuk prototipe-3 (b)
Gambar 50. Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk urea
Gambar 51. Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan campuran pupuk SP-36+KCl
Gambar 52. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk urea
Gambar 53. Hasil pengujian ketepatan penjatahan campuran pupuk SP-36+KCl (2:1)
Gambar 54. Hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk di lapangan pupuk urea
Gambar 55. Hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk di lapangan SP-36+KCl
Gambar 56. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan pupuk urea
Gambar 57. Hasil pengujian ketepatan penjatahan di lapangan campuran pupuk SP-36+KCl (2:1)
Gambar 58. Perbandingan torsi putar pupuk urea
Gambar 59. Perbandingan torsi putar pupuk SP-36+KCl
Gambar 60. Sketsa perhitungan tegangan geser pupuk pada SP-36………………………………......61
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pertumbuhan luas lahan dan produksi jagung
Tabel 2. Data Bulk density pupuk
Tabel 3. Karakteristik pupuk urea
Tabel 4. Karakteristik pupuk SP-36
Tabel 5. Sifat polietilen menurut masa jenis
Tabel 6. Dasar modifikasi prototipe-2
Tabel 7. Hasil perhitungan penjatahan pupuk per putaran rotor
Tabel 8. Perhitungan panjang rotor
Tabel 9. Hasil perhitungan kebutuhan volume hopper pupuk
Tabel 10. Perbandingan kinerja prototipe-2 dan prototipe-3
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data hasil pengujian keseragaman penjatahan
Lampiran 2. Data hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk
Lampiran 3. Hasil pengujian kebutuhan torsi untuk prototipe-2
Lampiran 4. Hasil pengujian kebutuhan torsi untuk prototipe-3
Lampiran 5. Hasil pengujian keseragaman penjatahan di lapangan
Lampiran 6. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan
Lampiran 7. Data tingkat kemacetan roda penggerak dan slip roda traktor
Lampiran 8.Hasil pengujian penempatan kedalaman pupuk
Lampiran 9. Perhitungan kekuatan tekan pupuk SP-36
Lampiran 10. Gambar teknik unit pemupuk mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi
xi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan jagung di Indonesia semakin lama semakin meningkat, namun produksi jagung di
Indonesia masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tercatat kebutuhan jagung di dalam
negeri pada tahun 2012 mencapai 22 juta ton namun produksi jagung pada 2011 turun 1.1 juta
ton atau 5.99 % menjadi 17.23 juta ton pipilan kering dibandingkan produksi sepanjang 2010.
Maka pemerintah harus mengimpor jagung agar bisa memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri.
(sindonews.com).
Data produksi jagung di Indonesia sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan produksi jagung
Tahun Produksi Jagung (juta ton)
2007 13.28
2008 16.31
2009 17.62
2010 18.32
2011 17.23
Sumber: Deptan (2011)
Proses budidaya jagung di Indonesia mayoritas masih dilakukan secara manual. Pengolahan
tanah, penanaman, dan pemupukan masih dilakukan dengan menggunakan cara manual dengan
tenaga manusia pada umumnya. Penanaman jagung mayoritas masih menggunakan cara
penugalan, yaitu menempatkan benih pada lubang yang dibuat dengan menancapkan batang
kayu berujung tajam pada tanah. Lubang penempatan benih kemudian ditutup kembali dengan
tanah menggunakan tangan atau kaki. Jadi penanaman jagung dengan cara tugal terbagi menjadi
tiga bagian yang terpisah, yaitu melubangi tanah, meletakkan benih, dan menutup kembali
dengan tanah. Selain itu pemupukan juga masih dilakukan dengan cara manual yaitu dengan
membuat alur di samping lubang penanaman benih lalu pupuk ditaburkan secara merata dari
awal sampai akhir alur menggunakan tangan.
Proses budidaya jagung dengan cara manual membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang
tinggi. Selain itu cara ini tidak menjanjikan hasil yang efektif dan akurat. Dengan menggunakan
cara manual jarak tanam yang dihasilkan akan tidak seragam dan dosis pemupukan akan tidak
merata karena dioperasikan secara manual oleh manusia. Dengan menggunakan tenaga traktor
tangan, implemen pengolah, alat penanam dan pemupuk terbukti mampu meningkatkan
kapasitas kerja lima hingga enam kali lipat dibandingkan dengan cara manual (Sembiring et al.,
2000; Virawan, 1989; Pitoyo et al., 2007). Bahkan dilaporkan bahwa penggunaan alat tanam
yang ditarik dengan traktor tangan mampu menyelesaikan penanaman dalam satu hari kerja per
ha, yang biasanya diselesaikan dalam 20 hari orang kerja (Hendriadi et al., 2008) dalam (Syafri,
2010). Selain itu telah dikembangkan pula metode dan peralatan yang efektif dan efisien dalam
penyiapan lahan untuk penanaman palawija dan sayuran di lahan kering menggunakan bajak 1
singkal, garu rotari dan furrower yang digerakan oleh traktor tangan (Hermawan et al., 2004)
dalam (Syafri, 2010). Bahkan untuk bisa lebih menghemat waktu proses pengolahan tanah,
penanaman, dan pemupukan jagung sebenarnya bisa dilakukan secara bersamaan.
Mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi adalah salah satu alat yang dapat menjadi
solusi untuk masalah diatas, yaitu dalam hal meningkatkan efisiensi kerja dan menghemat waktu
budidaya jagung. Mesin ini menggabungkan tiga kegiatan sekaligus, yaitu pengolahan tanah,
penanaman, dan pemupukan yang akan ditarik oleh traktor tangan (Syafri, 2010). Prototipe yang
sudah dikembangkan saat ini masih memiliki performa yang kurang baik. Prototipe-1 dirancang
untuk menanam benih jagung pada jarak tanam jagung 75 x 20 cm dengan penanaman benih
sebanyak 1-2 benih per lubang pada kedalaman 2.5-5 cm, serta memupuk dengan dosis 150
kg/ha urea, 200 kg/ha SP-36, dan 100 kg/ha KCl (Syafri, 2010). Prototipe-1 dapat dilihat pada
Gambar1. Prototipe-1 sudah mengalamai modifikasi untuk meningkatkan kinerja penanaman
dan pemupukan. Hasil dari modifikasi (prototipe-2) dapat dilihat pada Gambar 2.
Walaupun sudah dimodifikasi prototipe-2 ini juga masih memiliki kekurangan. Kekurangan
mesin yang sudah dikembangkan ini antara lain: 1) unit pemupuk yang masih sering macet dan
berhenti menjatah pupuk sehingga proses pemupukan tidak merata dan tidak berjalan seperti
yang diharapkan, 2) kedalaman pupuk yang kurang tercapai, 3) bahan unit pemupuk yang
digunakan tidak transparan sehingga tidak diketahui dengan cepat jumlah pupuk yang berada di
dalam hopper pupuk, dan 4) volume hopper yang perlu ditingkatkan kapasitasnya.
Sistem penjatahan pupuk pada unit pemupuk menggunakan mekanisme rotor penjatah yang
diputar oleh tenaga putar dari putaran roda penggerak. Penyebab kemacetan putaran roda
penggerak yang dialami unit pemupuk dikarenakan oleh beberapa hal. Penyebab yang pertama,
posisi rotor penjatah yang berada persis di bagian tengah dasar hopper yang menumpu tekanan
dari pupuk yang berada di atasnya. Karena tekanan pupuk yang berada di atasnya, rotor
menerima beban gesek yang cukup besar saat berputar. Penyebab kedua, sempitnya ruang putar
rotor. Jarak antara sudu dan dinding hopper yang terlalu sempit mengakibatkan kemacetan
apabila pupuk masuk ke ruang kosong tersebut. Penyebab ketiga, sering terbenturnya pembatas
hopper dan sudu rotor yang mengakibatkan butiran pupuk terjepit sehingga menahan laju putar
dari rotor. Kemacetan putaran roda penggerak yang dialami ini berakibat tidak seragamnya
penjatahan pupuk. Kemacetan putaran roda penggerak yang dialami prototipe-2 ini mencapai
31.33 %.
Tidak tercapainya kedalaman penempatan pupuk disebabkan oleh konstruksi saluran pupuk
dan posisi kedalaman pembuka alur pupuk yang kurang memenuhi syarat kedalamannya.
Konstruksi saluran pupuk dan pembuka alur pupuk pada prototipe-2 tidak menembus tanah,
sehingga pupuk yang keluar hanya berada di kedalaman 1 – 3 cm saja, bahkan ada yang tidak
tertanam dan masih di atas tanah.
Bahan yang digunakan pada hopper pupuk menyebabkan kesulitan pada operator untuk
mengetahui jumlah isi pupuk dalam hopper dengan cepat karena bahan yang digunakan tidak
transparan. Sementara itu volume hopper pupuk juga masih dinilai sedikit. Volume hopper
pupuk pada prototipe-2 sekitar 5.06 liter untuk memupuk lahan seluas 182 m2 dalam sekali
pengisian hopper. Untuk mempersingkat waktu proses penanaman dan pemupukan dapat
dilakukan dengan cara mengurangi waktu pengisian hopper pupuk. Dengan memperbesar
kapasitas hopper pupuk maka waktu pengisian hopper pupuk juga akan berkurang dan dapat
mempersingkat waktu dalam proses penanaman dan pemupukan jagung. Selain itu masih
terdapat ruang kosong di sekitar hopper pupuk, dengan memanfaatkan ruang yang ada volume
hopper pupuk seharusnya masih bisa ditingkatkan.
2
Gambar 1. Prototipe-1 mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi (Putra, 2011)
Gambar 2. Prototipe-2 mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi (Putra, 2011)
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan kinerja mesin penananam dan pemupuk
jagung terintegrasi dalam hal memodifikasi unit pemupuk. Adapun kinerja yang diperbaiki
adalah: 1) memperkecil tingkat kemacetan pada putaran roda penggerak, 2) meningkatkan
keseragaman penjatahan pupuk, 3) meningkatkan ketepatan pengaturan penjatahan pupuk, 4)
mengurangi penumpukan pupuk pada saluran pupuk dan mencapai kedalaman penempatan
pupuk.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Budidaya Jagung
Budidaya jagung terbagi menjadi beberapa kegiatan, yaitu penyiapan lahan, penanaman,
pemupukan, penyiangan, dan pengairan.
Penyiapan lahan untuk tanaman jagung adalah pengolahan tanah. Pengolahan tanah bertujuan
untuk menggemburkan tanah, memperbaiki drainase, dan mematikan bibit penyakit. Secara
umum pengolahan tanah untuk jagung di lahan kering terbagi menjadi tiga, yaitu pengolahan
tanah sempurna, pengolahan tanah minimum, dan tanpa pengolahan tanah. Pengolahan tanah
sempurna dilakukan dengan mencangkul atau membajak tanah sebanyak dua kali dengan
kedalaman 15 – 20 cm, gulma dan sisa tanman dibenamkan serta tanah di garu sampai rata.
Pengolahan tanah minimum dilakukan hanya pada barisan persiapan tanam saja dengan
kedalaman 15 – 20 cm dengan menggunakan cangkul atau bajak sebanyak dua kali. Sedangkan
pengolahan tanah yang dilakukan hanya mencangkul untuk membuat lubang tanam saja disebut
tanpa pengolahan tanah (Adisarwanto dan Widyastuti, 2002).
Penanaman dilakukan dengan cara penugalan dengan jarak tanam 75 x 40 cm atau 75 x 20
cm. Kedalaman lubang tanam tergantung kelembapan tanah. Kedalaman lubang tanam pada
tanah lembap dapat sedalam 2.5 cm, sedangkan pada tanah kering dapat sedalam 5 cm. Jumlah
benih untuk setiap lubang dapat sebanyak 2 – 3 biji untuk varietas nonhibrida, sedangkan
varietas hibrida dapat sebanyak 1 - 2 biji (Adisarwanto dan Widyastuti, 2002).
Pemupukan dilakukan dan diberikan pada saat tanam dan susulan setelah tanam. Jenis pupuk
yang diberikan pada jagung adalah pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik berupa
pupuk kandang yang diberikan pada lahan yang kurang subur. Dosisnya sekitar 15 – 20 ton/ha.
Pupuk anorganik yang digunakan adalah pupuk urea, SP-36, dan KCl. Dosis pupuk untuk jagung
hibrida sedikit berbeda dengan jagung nonhibrida. Untuk jagung hibrida, per hektarnya di
butuhkan urea 300 kg, SP-36 100 kg, dan KCl 50 kg. Sementara untuk jagung nonhibrida, per
hektarnya dibutuhkan urea 250 kg, SP-36 75 – 100 kg, dan KCl 50 kg. Adapun untuk
penempatan pupuk dasar berupa urea, SP-36, dan KCl ditugal sedalam 10 cm (Adisarwanto dan
Widyastuti, 2002).
Penyiangan merupakan upaya pengendalian atau pengurangan gulma yang tumbuh di areal
penanaman. Penyiangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu manual dan kimia. Penyiangan
secara manual dilakukan dengan tangan, cangkul, atau alat lain. Sedangkan secara kimia
dilakukan dengan menggunakan herbisida (Adisarwanto dan Widyastuti, 2002).
Pengairan jagung pada musim kemarau dapat dilakukan minimum empat kali setiap hari.
Jumlah air yang diberikan untuk setiap pemberian sebanyak 60 mm tinggi air. Jumlah air ini
dapat mempertahankan tanah menjadi cukup jenuh selama pertumbuhan tanaman. Sedangkan
pada musim hujan kebutuhan air dapat dipenuhi dari air hujan, namun harus tetap dijaga agar
jangan sampai tergenang air (Adisarwanto dan Widyastuti, 2002).
B. Pupuk
Menurut Hakim (1986) penggunaan pupuk buatan pada tanah pertanian sudah dilakukan
sejak seratus tahun silam. Penggunaan pupuk buatan bertujuan untuk mendapatkan hasil
pertanian yang lebih tinggi dan menutupi kekurangan pupuk alam yang dimiliki. Tanaman untuk
4
hidupnya membutuhkan paling tidak 13 unsur hara esensial yang diperoleh dari tanah. Unsur
kalsium dan magnesium biasanya diberikan ke dalam tanah sebagai kapur. Belerang dijumpai
dalam berbagai pupuk sehingga hal ini kurang mendapat perhatian. Ketiga unsur tersebut bila
ditinjau secara umum tidaklah kritis terdapat didalam tanah.
Hingga sekarang yang selalu menjadi permasalahan adalah unsur nitrogen, fosfor, dan
kalium. Unsur-unsur ini sering sekali mengalami defisiensi di dalam tanah, sehingga sering
ditambahkan ke dalam tanah melalui pemupukan yang mengandung unsur-unsur tersebut.
Berdasarkan kandungan unsur haranya pupuk dibedakan menjadi dua yaitu pupuk tunggal
dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal merupakan pupuk yang mengandung satu jenis hara
tanaman saja. Sedangkan pupuk majemuk adalah pupuk yang mengandunglebih dari satu unsur
hara tanaman, seperti gabungan antara N dan P, P dan K, dan N, P dan K. Pupuk yang
digunakan untuk jagung hibrida adalah pupuk urea yang mengandung unsur N, pupuk SP-36
yang mengandung unsur fosfor, dan KCl yang mengandung unsur kalium (Hakim, 1986). Ketiga
pupuk tersebut memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda. Adapun data bulk density dari
ketiga pupuk dan campuran nya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Bulk density pupuk
Jenis pupuk dan
perbandingan massa
Bulk density
(g/cm3)
Urea 0.715
KCl 0.987
SP-36 1.130
SP-36+KCl (2 : 1) 1.076
SP-36+Urea (2 : 1.5) 0.8
SP-36+Urea+KCl (2 : 1.5 : 1) 0.863
Sumber: Syafri (2010)
1. Urea
Urea adalah pupuk buatan hasil persenyawaan NH4 dengan CO2, bahan dasarnya
biasanya berupa gas alam dan merupakan hasil tambang minyak bumi. Urea memiliki sudut
curah 36o (Syafri 2010).
Karakteristik pupuk urea dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik pupuk urea
5
KeteranganJenis pupuk
Urea
Kadar N (%) 42-46
Reaksi Agak masam
Higroskopisitas Tinggi
Granulasi (mm) 1 – 3.35
Titik Cair (oC) 132
Warna Putih dan merah jambu
Sumber: http://www.pusri.co.id
Urea memiliki kadar air maksimal 0.5 %, kadar biuret maksimal 1 %, bentuknya butiran
tidak berdebu, dan terdapat warna putih dan merah muda (petrokimia-gresik.com). Manfaat
pupuk urea untuk tanaman adalah membuat tanaman lebih hijau dan segar, mempercepat
pertumbuhan, dan menambah kandungan protein hasil panen. Sedangkan gejala-gejala
tanaman yang mengalami kekurangan unsur hara nitrogen yang terkandung dalam urea
adalah warna seluruh tanaman pucat kekuningan, pertumbuhan tanaman lambat dan kerdil,
daun tua berwarna kekuningan dan pertumbuhan buah tidak sempurna. Efisiensi pemupukan
menggunakan pupuk urea juga dipengaruhi oleh pH tanah. Pupuk urea tidak efisien pada pH
tanah rendah, karena pembentukan nitrat akan terhambat. Akibatnya terdapat penumpukan
nitrit dalam tanah yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986).
2. SP-36
Penggunaan pupuk fosfat dalam bentuk superfosfat telah dimulai setelah adanya
penemuan dan demonstrasi yang dilakukan oleh Liebig di Jerman tahun 1840 dan Lawes di
Inggris tahun 1842. SP-36 memiliki kadar P2O5 total minimal 36 %, kadar P2O5 larut dalam
asam nitrat minimal 34 %, kadar P2O5 larut dalam air minimal 30 %, kadar air maksimal 5
%, dengan bentuk butiran dan warna abu-abu serta memiliki sudut curah sebesar 30o. Sifat
SP-36 adalah tidak higroskopis dan mudah larut dalam air. Kegunaan SP-36 adalah sebagai
sumber unsur hara fosfor bagi tanaman, memacu pertumbuhan akar dan sistem perakaran
yang baik, memacu pertumbuhan bunga, mempercepat panen, memperbesar presentase
terbentuknya bunga menjadi buah/biji, dan menambah daya tahan tanaman terhadap
serangan hama (Hakim, 1986).
Karakteristik dari SP-36 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik pupuk SP-36
Keterangan Jenus pupuk
6
SP-36
Kadar P2O5 (%) 36
Harga lain: S (%) 5
Reaksi Agak masam
Higroskopisitas -
Granulasi (mm) 1 – 4
Sumber: http://www.pusri.co.idMenurut Hakim (1986) efektifitas yang tinggi dari pupuk ini sangat dipengaruhi oleh
ukuran butir, cara, dan waktu pemberian pupuk itu sendiri. Pupuk ini sangat dianjurkan
untuk pupuk dasar, yaitu digunakan pada saat tanam. Hal ini disebabkan karena pupuk ini
merupakan pupuk yang unsurnya tidak cepat tersedia dan juga dibutuhkan pada fase
permulaan tumbuh. Pemberiannya sangat lebih baik bila ditempatkan pada daerah
rangkuman akar.
3. KCl
Pupuk KCl memiliki kandungan K2O sebesar 60 % dengan warna merah atau putih,
berbentuk Kristal, dan mudah larut dalam air serta memiliki sudut curah 42o. Pengaruh
pupuk ini terhadap tanaman adalah dapat membuat tanaman lebih tegak dan kokoh,
meningkatkan daya tahan tanaman dari serangan hama, meningkatkan pembentukan gula
dan pati, dan meningkatkan hasil panen selama pengangkutan dan penyimpanan (Hakim,
1986).
C. Mesin Penanam
Mesin penanam adalah peralatan tanam yang mengatur dan menempatkan benih dengan
jumlah yang tepat serta posisi yang sesuai. Sedangkan Smith dan Wilkes (1977) mengartikan
alat penanam sebagai alat yang dioperasikan dengan daya yang digunakan untuk menempatkan
biji atau bagian tanaman ke dalam atau di atas tanah untuk perkembangbiakan, produksi
pangan, serat, dan pakan. Kinerja alat penanam jagung dipengaruhi oleh keseragaman benih,
bentuk hopper bagian bawah, kecepatan piringan penjatah, bentuk dan ukuran lubang
penyalur, serta volume hopper. Sementara itu metode penanaman benih dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
1) Mesin tanam sebar (broadcast seeder)
Pada alat ini penjatahan benih dari hoper melalui satu lubang variabel (variable orifice).
7
Suatu agitator ditempatkan diatas lubang variabel tersebut untuk menceagah kemacetan
karena benih-benih saling mengunci (seed bridging), juga agar aliran benih dapat
kontinyu. Centrifugal spreader merupakan alat yang cukup fleksibel karena dapat
dipergunakan untuk menyebar benih, pupuk, pestisida dan material lain yang berupa
butiran. Setelah operasi tanam sebar kemudian dilakukan operasi pengolahan tanah kedua
untuk menutup benih dengan tanah. Alat tanam sebar dan hasil penempatannya dapat dilihat
pada Gambar 3.
-
(a) (b)
Gambar 3. Konstruksi alat tanam sebar (a), dan hasil penempatannya (b) (Srivastava et al.,
1996)
2) Mesin tanam acak dalam lajur (drill seeder)
Biasanya pada setiap alur tanam, benih dijatah dari hoper oleh suatu silinder bercoak
yang digerakkan dengan roda tanah (ground wheel). Jumlah benih per satuan waktu atau
laju benih dikontrol melalui lebar bukaan yang dapat diatur. Benih tersebut melewati
tabung penyalur benih jatuh secara gravitasi ke lubang tanam yang dibuat oleh pembuka
alur, bisa berupa disk atau bentuk lain. Umumnya jarak antar benih berkisar antara 150 –
400 mm. Metoda penutupan benih dapat dilakukan dengan rantai tarik, yang ditempatkan
dibelakang pembuka alur (furrow opener). Setelah benih tertutup tanah, maka tanah diatas
dan disamping benih tersebut akan diperkeras menggunakan roda tekan. Mesin tanam acak
dan hasil penempatannya dapat dilihat pada Gambar 4. Proses penempatan benih dan jenis
pembuka alur dan roda pemadat dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
(a) (b)
Gambar 4. Mesin tanam acak (a), dan hasil penempatannya (b) (Srivastava et al., 1996)
8
Gambar 5. Proses penempatan benih (Srivastava et al., 1996)
(a) (b)
Gambar 6. Roda pemadat (a) , dan jenis pembuka alur (b) (Bainer et al., 1960)
3) Mesin tanam presisi (precision seeder)
Mesin tanam presisi memberikan penempatan yang tepat dari setiap benih pada interval
yang sama dalam setiap alur tanam. Jarak antar alur tanam atau sering juga disebut jarak
antar barisan, umumnya dibuat cukup lebar untuk keperluan penyiangan. Sumber tenaga
tarik yang digunakan dapat menggunakan manusia, hewan, traktor roda-2 maupun traktor 4-
roda. Secara umum ada 4 bagian utama yang selalu ada dalam alat tanam presisi, yaitu 1)
pembuka alur (furrow opener) untuk mengontrol kedalaman tanam, 2) penjatah benih
(metering seed) untuk menjaga interval jarak benih dalam alur dapat seragam, 3) penutup
alur, untuk menutup alur tanam, dan 4) roda tekan (pressing wheel), untuk memadatkan
tanah disekitar benih agar kontak antara benih dan tanah cukup baik (Srivastava et al.,
1996).
Mesin tanam presisi dan hasil penempatannya dapat dilihat pada Gambar 7.
9
Kotak pupuk
Bagian penjatah Tabung penyalur
Difuser
(a) (b)
Gambar 7. Mesin tanam presisi (a) , dan hasil penempatannya (b) (Srivastava et al.,
1996)
D. Alat dan Mesin Pemupuk Butiran
Pemupukan menggunakan pupuk butiran memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan mesin pupuk cair, diantaranya: peralatannya lebih sederhana karena tidak memerlukan
pengaduk, pencampur, dan pemompa, tidak membutuhkan air untuk pencampuran, tidak banyak
terjadi pelayangan, dan bahan kimia lebih aman apabila dibandingkan dengan pupuk cair
(Srivastava et al., 1996).
Proses fungsional pada pemupuk tipe butiran dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram proses pemupuk butiran (Srivastava et al., 1996)
Pemupukan menggunakan butiran pupuk dapat dilakukan dengan cara sebar acak (broadcast
application) atau disebarkan secara merata di seluruh lahan, atau diaplilaksikan dalam alur
barisan yang disebut banded application (Srivastava et al., 1996).
Menurut Srivastava et al (1996) peralatan untuk mengaplikasikan pemupukan pupuk butiran
terbagi menjadi tiga, yaitu: penebar tipe gravitasi (drop type), rotari (centrifugal), dan tekanan
udara (pneumatic).
Penebar tipe gravitasi dapat diaplikasikan dengan cara sebar acak atau berdasarkan alur
barisan. Penebar tipe gravitasi dengan cara sebar acak menggunakan poros putar yang berada di
dalam dekat dasar hopper dan dilengkapi dengan pengaduk. Pengaduk ini berfungsi untuk
membantu aliran pupuk mengalir ke bawah dengan cara mengaduk pupuk. Pintu geser
digunakan untuk mengendalikan bukaan dan untuk menutup aliran pada saat membelok.
Sedangkan penebar tipe gravitasi untuk aplikasi barisan menggunakan beberapa hopper kecil.
Pupuk dijatah dan dijatuhkan melalui sebuah tabung dan ditebarkan pada alur lebar dengan
sebuah difusser. Beberapa penebar pupuk memiliki pembuka alur untuk menempatkan pupuk
dibawah permukaan tanah. Penabur tipe ini sering dikombinasikan dengan unit mesin penanam
(Srivastava et al., 1996). Adapun gambar tipe gravitasi sebar acak dan baris alur dapat dilihat
pada Gambar 9.
10
Bahan PenempatanPenyebaranPenjatahan
(a) (b)
Gambar 9. Penabur tipe gravitasi sebar acak (a), dan alur barisan (b) (Srivastava et al., 1996)
Penebar tipe rotari memiliki satu atau dua buah piringan berputar dengan beberapa sudu
untuk menyalurkan energi kepada butiran. Penebar rotari ini cocok untuk aplikasi sebar acak.
Pupuk dijatah dan dijatuhkan pada permukaan piringan dan ditebarkan melebar akibat gaya
sentrifugal. Penebar tipe rotari ini umumnya digandeng dengan traktor, tetapi beberapa yang
berukuran besar digandeng dengan truk dengan spiner kembar (Srivastava et al., 1996). Adapun
gambar penebar tipe rotari dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Penebar tipe rotari (Srivastava et al., 1996)
Penebar tipe pneumatik menebarkan pupuk dengan hembusan udara pada tabung – tabung
pada lebar alat, serta disebar dan diarahkan pada deflector. Tipe penebar pneumatik juga
memiliki hopperdi tengah dimana butiran pupuk dijatah. Penebar tipe ini memiliki beberapa
kelebihan, seperti memungkinkan pengisian tangki di tengah, lebih mudah dipasang pada
implemen pengolahan tanah, distribusi yang baik, dan mudah dalam transportasi untuk penebar
yang digandeng. Tipe penebar ini bisa digunakan untuk sebar acak ataupun aplikasi dalam alur
(Srivastava et al., 1996). Adapun gambar tipe penabur pneumatik dapat dilihat pada Gambar 11.
11
Gambar 11. Tipe penabur pneumatik (Srivastava et al., 1996)
Atas dasar sumber tenaga yang dipergunakan untuk menggerakkan alat, alat pemupukan
dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu dengan sumber tenaga manusia, sumber tenaga
hewan, dan sumber tenaga traktor. Sementara itu alat/mesin pemupukan di Indonesia masih
belum berkembang begitu pesat. Umumnya pemupukan masih dilakukan secara tradisional oleh
para petani. Namun sudah banyak juga inovasi dan penelitian mengenai desain alat dan mesin
pemupuk seperti desain dan uji teknis alat penanam dan pemupuk tipe dorong sumber daya
manusia yang dilakukan Hermawan (1985). Selain dengan sumberdaya manusia terdapat juga
desain alat pemupuk tenaga tarik hewan yang dilakukan oleh Hermawan dengan kerja sama
antara PT Rajawali Nusantara Indonesia dan Departemen Teknik Pertanian Institut Pertanian
Bogor (2004). Terdapat pula penelitian mengenai desain dan uji teknis alat penanam dan
pemupuk dengan tenaga tarik traktor tangan yang dilakukan oleh Virawan (1989). Alat ini di
desain untuk melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu penanaman dan pemupukan. Alat
penanam dan pemupuk ini merupakan pengembangan dari alat penanam dan pemupuk tipe
dorong tenaga manusia yang telah didesain dan diuji oleh Hermawan (1985), (Virawan, 1989).
E. Penjatah Pupuk
Berbagai jenis penjatah telah dikembangkan untuk menghasilkan penjatahan bahan yang
konsisten dan seragam. Srivastava et al., (1996) membagi jenis-jenis penjatah pupuk sebagai
berikut:
1. Roda bintang (star wheel feed)
Pupuk yang akan didistribusikan ditempatkan di antara roda-roda binatang Gambar12,
kemudian jatuh ke dalam tabung pengeluaran secara gravitasi. Sebelum bahan masuk ke
dalam tabung pengeluaran bahan yang terbawa di atas roda bintang di potong oleh pintu
pengeluaran. Kapasitas pengeluaran (feed rate) diatur dengan mengatur tinggi rendahnya
lubang pemasukan di atas roda bintang (Srivastava et al., 1996).
12
Gambar 12. Penjatah roda bintang (Srivastava et al., 1996)
2. Piringan berputar (rotating bottom)
Penjatah piringan berputar seperti pada Gambar 13 dapat digunakan untuk pemupukan
dalam beberapa jumlah barisan. Penjatah tipe ini terdiri dari sebuah pacul stasioner yang
memisahkan pupuk dari piringan berputar di bawah tangki pupuk, mengarahkannya ke sisi
mangkuk, dan memasukkannya ke saluran pupuk. Banyaknya pupuk yang dikeluarkan diatur
dengan menyetel pintu pengeluaran di sisi lubang pengeluaran. Terkadang ada dua pintu
pengeluaran yang dapat memberikan pemupukan dua baris dengan satu hopper pupuk
(Srivastava et al., 1996).
Gambar 13. Penjatah piringan berputar (Srivastava et al., 1996)
3. Ulir (auger)
Penjatah tipe ulir dibagi menjadi dua, yaitu penjatah tipe ulir rapat dan ulir longgar.
Gambar 14 menunjukkan bentuk auger dengan tabung yang rapat dengan ulirnya dan
ulir tersebut memiliki displacement yang cukup besar tiap putarannya (Srivastava et al.,
1996).
13
Gambar 14. Penjatah tipe ulir rapat (Srivastava et al., 1996)
4. Rotor bercelah (edge cell)
Penjatah tipe ini ditunjukkan oleh Gambar 15. Roda penjatah dipasangkan pada jarak
yang diperlukan sepanjang hopper dan diputar oleh poros berpenampang segiempat. Lebar
rotor antara 6 mm hingga 32 mm digunakan untuk pemberian dosis yang berbeda. Laju
pengeluaran pupuk diatur dengan merubah kecepatan putar porosnya (Srivastava et al., 1996).
Gambar 15. Rotor bercelah (Srivastava et al., 1996)
5. Sabuk berputar (belt type)
Penjatah tipe sabuk Gambar16 digunakan untuk aplikasi pupuk dalam jumlah besar,
seperti penebar pupuk tipe broadcaster dengan hopper yang besar. Sabuk berupa sebuah
sabuk kawat (bahan stainless steel) atau bahan kain berkaret. Pengeluarannya dapat dipisah ke
dalam dua atau lebih aliran pengeluaran sesuai kebutuhan (Srivastava et al., 1996).
14
Gambar 16. Penjatah sabuk berputar (Srivastava et al., 1996)
6. Rol beralur (fluted roll)
Penjatah tipe ini terdiri dari sebuah rotor bersudu atau rol beralur di atas
pintumpengeluaran yang dapat diatur Gambar 17 dan rotor tersebut digerakkan oleh
roda penggerak (ground wheel). Bagian hopper memiliki dua atau empat pintu pengeluaran
yang pengeluarannya dapat digunakan secara terpisah atau digabungkan. Rotor-rotor cukup
rapat dengan dasar hopper sehingga menghasilkan penutupan positif ketika rotor tidak
berputar (Srivastava et al., 1996).
Gambar 17. Penjatah rol beralur (Srivastava et al., 1996)
7. Aliran gravitasi (gravity flow)
Penjatah tipe gravitasi biasa digunakan pada drop type broadcaster Gambar 18. Penjatah
diatur dengan menyetel ukuran lubang pengeluaran. Sebuah agitator berputar memecah
gumpalan dan menggerakkan bahan menuju lubang pengeluaran untuk membantu
pengumpanan. Broadcaster berputar memiliki hopper yang dapat diruncingkan ke arah
dasarnya yang memiliki luasan yang kecil dan biasanya menggunakan penjatah tipe bukaan
stasioner. Penjatahan tipe gravitasi sensitif terhadap kecepatan majunya (Srivastava et al.,
1996).
15
Gambar 18. Penjatah aliran gravitasi (Srivastava et al., 1996)
F. Sistem Transmisi Rantai Rol dan Sproket
Menurut Sularso dan Suga (1987) rantai sebagai transmisi mempunyai keuntungan -
keuntungan seperti: mampu meneruskan daya besar karena kekuatannya yang besar, tidak
memerlukan tegangan awal, keausan kecil pada bantalan, dan mudah memasangnya. Karena
keuntungan-keuntungan tersebut, rantai mempunyai pemakaian yang luas seperti roda gigi dan
sabuk.
Di pihak lain, transmisi rantai mempunyai kekurangan, yaitu variasi kecepatan yang tak
dapat dihindari karenan lintasan busur pada sproket yang mengait mata rantai, suara dan
getaran karenan tumbukan antara rantai dan dasar kaki gigi sproket, dan perpanjangan rantai
karena keausan pena dan bus yang diakibatkan oleh gesekan dengan sproket.Karena kekurangan
kekurangan ini maka rantai tidak dapat dipakai untuk kecepatan tinggi, sampai ditemukan dan
dikembangkannya rantai gigi (Sularso dan Suga, 1987).
Rantai rol dipakai bila diperlukan transmisi positif (tanpa slip) dengan kecepatan sampai 600
m/min, tanpa pembatasan bunyi, dan murah harganya (Sularso dan Suga, 1987).
G. Kotak Pupuk (Hopper)
Mehring dan Cummings dalam Bainer et al., (1960) menyatakan bahwa salah satu faktor
penting yang mempengaruhi besarnya keluaran pupuk adalah kemudahan pupuk untuk mengalir
yang dipengaruhi oleh higroskopisitas, bentuk dan ukuran partikel, penggumpalan, berat spesifik
pupuk, kelembaban relatif tempat menyimpan, dan kerapatan benda.
Sehubungan dengan hal di atas, yang perlu diperhatikan pada pembuatan hopper pupuk
adalah sudut repose (sudut curah) pupuk. Hopper pupuk sebaiknya memiliki sudut curah 40o,
pupuk campuran yang lolos pada ayakan 20 mesh akan lebih cocok beradaptasi dengan hopper
pupuk (Mehring dan Cummings dalam Bainer et al., 1960).
Mehring dan Cummings dalam Bainer et al., (1960) juga menemukan bahwa kedalaman
pupukpada hopper pupuk memiliki pengaruh kecil terhadap keluaran dosis pada penjatah tipe
sabuk dan auger (kedalaman anara 2-14 inci). Sedangkan pada penjatah tipe star wheel
revolving bottom terdapat sedikit variasi pada kedalaman 3 atau 4 inci, sedangkan pada
kedalaman 2 inci dosis berkurang sebanyak 8-14%.
16
Satu hal lagi yang penting pada pembuatan hopper pupuk adalah bahan pembuatannya,
mengingat pupuk memiliki fase yang korosif. Sebaiknya hopper pupuk terbuat dari bahan
plastik, karet, stainless steel, atau fiberglass (Champbell, 1990).
H. Polietilen
Menurut Surdia dan Saito (1999) polietilen (PE) termasuk ke dalam polimer termoplastik
atau polimer yang memiliki sifat akan mencair dan mengalir apabila dikenakan oleh kenaikan
suhu. Polietilen dibuat dengan jalan polimerasi gas etilen, yang dapat diperoleh dengan memberi
hydrogen gas petroleum pada pemecahan minyak (nafta), gas alam atau asetilen.
Polietilen digolongkan menjadi tiga, yaitu polietilen tekanan tinggi, polietilen tekanan
medium dan polietilen tekanan rendah. Sifat tekanan yang dimiliki polietilen berkebalikan
dengan masa jenisnya karena sifat-sifatnya lain nya sangat berkaitan erat dengan massa jenisnya
(kristalinitasnya). Adapun sifat-sifat polietilen menurut masa jenisnya menurut Surdia dan Saito
(1999) dijabarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Sifat polietilen menurut massa jenis.
SifatMasa Jenis
RendahMasa Jenis Medium
Masa Jenis
Tinggi
Masa jenis (g/cm3) 0.92 0.94 0.96
Kristalinitas (%) 65 75 95
Temperatur Lunak
(oC)105 118 127
Kekuatan Tarik
(kgf/cm2)144 175 335
Perpanjangan (%) 500 300 100
Kekuatan Impak
(kgf.cm/cm2)42 21 13
Sumber: Surdia dan Saito (1999)
Polietilen mempunyai sifat-sifat kimia yang cukup stabil tahan berbagai bahan kimia
termasuk sifat kimia yang ditimbulkan oleh pupuk urea, KCl, dan SP-36. Pada temperature
rendah bahan ini bersifat fleksibel tahan impak dan tahan dari berbagai bahan kimia (Surdia dan
Saito, 1999). Selain itu polietilen juga mudah dibentuk atau dimanufaktur sehingga
memudahkan untuk pembuatan-pembuatan bahan seperti metering device.
17
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Pembuatan prototipe
dilaksanakan di Bengkel Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor.
Sedangkan pengujian prototipe dilakukan di Laboratorium Lapangan Departemen Teknik Mesin
dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor.
B. Alat dan Bahan
Alat – alat dan perlengkapan utama yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini meliputi 1)
peralatan untuk perancangan, 2) peralatan untuk pembuatan prototipe mesin, dan 3) peralatan
instrumen untuk pengujian kinerja mesin. Peralatan untuk perancangan adalah komputer dan
softwarenya (untuk penggambaran dan perhitungan desain). Sedangkan peralatan untuk
pembuatan prototipe mesin adalah: mesin bor, mesin gerinda duduk, mesin gergaji listrik, mesin
gerinda tangan, mesin bubut, gunting, penggaris, busur, dan pembengkok akrilik.
Bahan – bahan yang digunakan untuk pembuatan prototipe mesin adalah:
1) silinder polietilen berdiameter 60 mm dan panjang 60 cm,
2) akrilik tebal 5 mm,
3) mika siku,
4) poros stainless steel diameter 12 mm,
5) sok pipa PVC berdiameter 1 inchi,
6) sikat,
7) lem aseton,
8) lem araldite,
9) mur dan baut.
Bahan – bahan yang digunakan untuk pengujian prototipe adalah: pupuk urea, pupukKCl,
pupuk SP-36, bahan bakar solar, dan oli mesin.Peralatan yang digunakan untuk pengujian
prototipe terdiri dari: meteran, patok, stopwatch, timbangan, timbangan pegas, tali, alat tulis dan
penggaris.
C. Tahapan Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode pendekatan rancangan secara
umum yaitu berdasarkan pendekatan fungsional dan struktural dengan tahapan penelitian pada
Gambar 19.
18
ya
ya
Gambar 19. Tahapan penelitian
D. Identifikasi dan Analisis Masalah
Identifikasi masalah merupakan langkah awal dalam perancangan alat. Pada alat penanam
dan pemupuk jagung terintegrasi ditemukan beberapa masalah seperti: 1) roda penggerak tidak
mampu memutar metering device dengan baik, 2) bentuk metering device yang tidak sesuai
dengan hopper, dan 3) konstruksi penyalur pupuk yang tidak memenuhi kebutuhan kedalaman
pupuk dan terjadinya penumpukan pupuk.
Setelah diketahui permasalahan yang ada pada alat penanam dan pemupuk maka dilakukan
analisis permasalahan. Pada tahapan ini dilakukan analisis untuk mendapatkan solusi
19
Konsep modifikasi
Identifikasimasalah
Analisis masalah
Uji fungsional
Analisa perancangan dan pembuatan gambar kerja
Modifikasi
Modifikasi
Uji kinerja
Berhasil
Berhasil
Mulai
Selesai
Pembuatan prototipe
ya
ya
tidak
tidak
permasalahan yang sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan. Solusi inilah yang akan menjadi
dasar konsep desain alat penanam dan pemupuk jagung terintegrasi hasil modifikasi.
Pada prototipe-2 penjatah pupuk berbentuk rotor yang memiliki empat sudu dan empat celah
seperti pada Gambar 20. Bentuk rotor seperti ini memiliki beberapa kelemahan yaitu mudah
rusaknya rotor penjatah karena sifat kimia pupuk dan pengaturan penjatahan pupuk sulit
dilakukan karena selubung rotor sulit digeser. Adapun gambar rotor dan selubung rotor dapat
dilihat pada Gambar 21.
Gambar 20. Rotor pupuk prototipe-2
Gambar 21. Rotor dan selubung rotor prototipe-2
Metering device pada prototipe-2 ditempatkan berada di dasar tengah tumpukan pupuk. Hal
ini mengakibatkan rotor sulit berputar dikarenakan terdapat gaya gesek yang besar antara sudu
rotor dengan pupuk. Sempitnya ruang putar rotor yang dikarenakan terlalu dekatnya jarak sudu
dan dinding hopper juga salah satu penyebab terjadinya kemacetan putaran rotor. Gambar
sempitnya ruang putar rotor dapat dilihat pada Gambar 22. Selain itu pembatas hopper dan sudu
rotor juga sangat berdekatan, hal ini menyebabkan butiran pupuk sering tersangkut diantara
pembatas dan sudu, sehingga rotor berhenti berputar. Adapun sketsa gambar butiran pupuk yang
dihimpit dan mengganjal putaran sudu rotor dapat dilihat pada Gambar 23.
20
Gambar 22. Jarak sudu dan dinding hopper terlalu sempit (Putra, 2011)
Gambar 23. Butiran pupuk yang dihimpit dan mengganjal putaran sudu rotor (Putra,
2011)
Hopper pupuk yang digunakan pada prototipe-2 menggunakan bahan plat stainless steel.
Penggunaan bahan ini menyebabkan kesulitan operator untuk melihat isi pupuk pada saat di
lapangan. Bahan plat stainless steel tidak transparan, maka isi pupuk tidak bisa terlihat dari luar.
Adapun gambar hopper pupuk prototipe-2 dapat dilihat pada Gambar 24. Selain itu volume
hopper pupuk masih bisa ditingkatkan. Volume hopper pupuk pada prototipe-2 sebesar 5.06 liter
untuk memupuk lahan seluas 182 m2 dalam satu kali pengisian hopper. Dengan memanfaatkan
ruang yang ada pada prototipe-2 volume hopper pupuk masih sangat mungkin untuk
ditingkatkan, serta dengan penambahan kapasitas hopper pupuk proses penanaman dan
pemupukan akan berjalan lebih singkat.
Gambar 24. Hopper pupuk prototipe-2
Permasalahan juga terjadi pada sistem penyaluran pupuk. Penyalur pupuk pada prototipe-2
sering mengalami penumpukan pupuk dikarenakan lubang penyaluran yang terlalu kecil. Selain
21
itu panjang saluran pupuk juga tidak menembus tanah sehingga kedalaman pupuk tidak tercapai.
Adapun gambar penyalur pupuk dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Penyalur pupuk prototipe-2 (Putra, 2011)
E. Konsep Modifikasi
Dasar-dasar dan konsep modifikasi prototipe-2 dijelaskan pada Tabel 6.
Tabel 6. Dasar modifikasi prototipe-2
No. Kelemahan Prototipe- 2Komponen yang
Harus DiperbaikiKonsep Modifikasi
1 Bentuk rotor yang tidak
sesuai dengan hopperpupuk
dan sulitnya menggeser
selubung rotor.
Rotor dan selubung
rotor.
Bentuk rotor dimodifikasi dan
disesuaikan dengan hopperpupuk dan
selubung rotor dimodifikasi berdasarkan
bentuk rotor.
2 Beban pupuk yang diterima
metering device terlalu besar.
Hopperpupuk dan
metering device.
Posisi metering device dimodifikasi
sehingga tidak berada di tengah dasar
hopperpupuk.
3 Jarak sudu rotordengan
dinding hopperpupuk terlalu
dekat.
Hopperpupuk dan rotor. Memperluas jarak antara sudu rotor
dengan dinding hopperpupuk.
4 Jarak sudu rotor dengan
pembatas rotor terlalu sempit.
Hopperpupuk dan rotor
penjatah.
Memperluas jarak antara sudu dengan
batas hopperpupuk agar rotor bisa
berputar bebas.
5 Volume hopperpupuk terlalu
sedikit.
Hopperpupuk Membuat hopperpupuk yang mampu
menampung lebih banyak pupuk.
6 Sulitnya mengetahui isi
jumlah pupuk dari luar.
Hopperpupuk Mengganti bahan hopperpupuk menjadi
akrilik transparan.
7 Terjadi penumpukan pupuk
dan kedalaman pupuk tidak
tercapai
Penyalur pupuk Merubah desain penyalur pupuk
22
Konsep modifikasi yang dilakukan adalah sebagai berikut ini. Tipe rotor yang digunakan
pada unit pemupuk ini adalah tipe edge cell atau rotor bercelah. Rotor ini digerakkan oleh poros
stainless steel berdiameter 12 mm dan memiliki bentuk penampang poros lingkaran. Selubung
rotor pada prototipe-2 sulit digeser. Hal ini dikarenakan ruas dari selubung rotor sangat sempit
untuk sudu rotor, sehingga pengaturan dosis sulit untuk dilakukan secara tepat.
Rotor ditempatkan tidak di tengah dasar hopper. Dengan penempatannya yang tidak di
tengah dasar hopper, rotor tidak menerima tekanan langsung dari tumpukan pupuk yang ada di
atasnya. Penempatan rotor ini bertujuan untuk mengurangi beban gesek rotor pada saat berputar
dimana pada prototipe-2 sudu rotor mengalami gesekan pada pupuk dan juga gesekan pada
dinding hopper. Dengan meletakkan rotor tidak tepat di tengah dasar hopper maka gesekan
antara sudu rotor dengan pupuk akan berkurang dan dan beban putar rotor juga akan berkurang
serta dengan perluasan ruang putar rotor diharapkan gesekan antara sudu rotor dengan dinding
hopper bisa dikurangi.
Perluasan ruang putar rotor pada hopper pupuk juga dilakukan. Perluasan ini dilakukan
dengan cara mengubah desain hopper pupuk yang semula memiliki ruang yang sempit bagi
rotor untuk berputar menjadi lebih luas, sehingga rotor bisa berputar secara leluasa. Dengan
luasnya ruang perputaran rotor maka akan terdapat ruang kosong yang akan menyebabkan
pupuk jatuh berlebihan dan tidak dapat dikontrol oleh rotor. Sikat pembatas ditambahkan untuk
mengatasi masalah tersebut. Sikat pembatas bertujuan untuk memotong aluran pupuk berlebih
pada alur rotor, sehingga pupuk yang akan melewati ruang kosong akan ditahan oleh sikat
pembatas yang bersifat lentur. Selain itu sikat pembatas juga berfungsi untuk memperkecil
gesekan pada sudu rotor, karena pada desain sebelumnya sudu rotor akan bergesekan dengan
pembatas hopper yang terbuat dari stainless steel. Dengan menggunakan sikat pembatas yang
memiliki sifat lebih lentur diharapkan rotor penjatah akan berputar dengan lancar dan ringan.
Hal ini juga yang nantinya akan mengurangi kebutuhan torsi putar roda penggerak.
Modifikasi juga dilakukan pada keseluruhan hopper pupuk, yaitu mengganti bahan hopper
pupuk menjadi akrilik dan memperbesar kapasitas hopper pupuk. Penggantian bahan hopper
pupuk menggunakan akrilik yang transparan ditujukan untuk lebih mudahnya operator melihat
isi hopper pupuk pada saat di lapangan. Bahan akrilik yang transparan akan memudahkan
operator untuk melihat isi pupuk didalam hopper dan akan membantu operator untuk
mengetahui apabila pupuk sudah habis. Sedangkan memperbesar kapasitas hopper pupuk
dilakukan dengan cara mendesain ulang hopper pupuk dengan kapasitas yang lebih besar.
Peningkatan kapasitas hopper pupuk diharapkan bisa mempersingkat waktu proses penanaman
dan pemupukan jagung.
Penyalur pupuk pada prototipe-2 juga memiliki kelemahan, yaitu sering terjadinya
penumpukan pupuk yang keluar dari bagian penjatah pupukdan kedalaman pemupukan yang
tidak tercapai. Penumpukan pupuk terjadi karena ruang saluran pupuk terlalu sempit
dibandingkan dengan jumlah pupuk yang keluar dari penjatah pupuk. Selain itu kedalaman
pupuk juga tidak tercapai dikarenakan saluran pupuk tidak menembus tanah. Penyalur pupuk
akan dimodifikasi dengan memperluas ruang penyaluran, dan memperpanjang saluran pupuk
hingga menembus tanah.
Setelah dilakukan analisis permasalahan yang ada dan pengumpulan ide-ide
pemecahan masalah yang mempertimbangkan beberapa aspek yang terkait, dilakukan
perumusan untuk menghasilkan beberapa konsep desain fungsional maupun struktural yang
23
dilengkapi dengan gambar sketsa, analisis teknik, prasarat dan sistem yang mendukung
efektifitas operasional alat di lapangan.
Modifikasi dalam desain struktural dilaksanakan dengan mengubah bentuk sudu rotor dan
mengganti bahan rotor, serta mengubah bentuk hopper pupuk yang akan disesuaikan dengan
bentuk metering device nya dan menambah sikat pembatas pada bagian metering device yang
ditempelkan pada dinding hopper. Gambar modifikasi pada rotor penjatah dapat dilihat pada
Gambar 26. Sedangkan untuk mekanisme penjatahan pupuk dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 26. Rotor penjatah
Gambar 27. Mekanisme penjatahan pupuk
F. Analisa Perancangan1. Perancangan Rotor Penjatah
Pada prototipe-2 rotor penjatah digerakkan dengan memanfaatkan putaran roda
penggerak yang ditransmisikan oleh rantai dan sproket. Roda penggerak berputar dengan
cara memanfaatkan gaya gesekan pada tanah yang dilaluinya. Putaran tersebut akan
menggerakkan poros rotor penjatah yang ditransmisikan melalui rantai dan sproket. Poros
rotor yang berputar secara bersamaan akan memutar rotor penjatah yang ditahan
menggunakan baut sebagai pasak. Adapun gambar mekanisme perputaran rotor penjatah
dapat dilihat pada Gambar 28.
24
Gambar 28. Mekanisme perputaraan rotor penjatah
Perancangan penjatah pupuk disesuaikan dengan kebutuhan pupuk untuk tanaman
jagung (150 kg/ha urea, 200 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl) serta jarak tanam yang digunakan
sebesar 75 cm. Menurut Putra (2011) pada penelitian sebelumnya jumlah gigi sproket pada
poros rotor adalah 18 buah dan jumlah gigi sproket pada poros roda penggerak sebanyak 14
buah.
Rotor yang dibuat pada prototipe-3 berbeda dengan prototipe-2, dimana sudu yang
dibuat menjadi enam buah dan bentuk disesuaikan dengan hopper pupuk yang ada. Dalam
merancang ukuran unit penjatah, dalam hal ini adalah rotor penjatah, dilakukan perhitungan
jumlah pupuk yang harus dijatahkan oleh rotor penjatah dengan tahapan berikut ini. Pertama,
untuk menghitung jumlah pupuk yang harus dijatahkan per panjang alur, digunakan rumus
berikut ini.
Pp 1m=Dp×a
10 (1)
di mana:
Pp1m : jumlah pupuk yang harus dijatahkan per meter panjang alur pupuk (g/m),
Dp : dosis pemupukan (kg/ha), dan
a : jarak antarbaris tanaman (m).
Selanjutnya, dengan memperhatikan mekanisme perputaran rotor penjatah oleh roda
penggerak melalui transmisi rantai dan sproket dan memasukkan tingkat kemacetan roda
25
lca
dc
lcb
penggerak, dapat dihitung jumlah pupuk yang harus dijatahkan dalam setiap putaran rotor
penjatah dengan rumus berikut ini.
P1 prt=Pp 1 m×(π×drp×(1+krp ))×( Grt
Grp)
(2)
di mana:
P1prt : jumlah pupuk yang harus dijatahkan per putaran rotor penjatah (g),
drp : diameter roda penggerak (m),
krp : tingkat kemacetan roda penggerak (desimal),
Grt : jumlah gigi sproket pada poros rotor, dan
Grp : jumlah gigi sproket pada roda penggerak.
Hasil perhitungan penjatahan pupuk per putaran rotordperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil perhitungan penjatahan pupuk per putaran rotor
Pupuk Dp (kg/ha) a(m) Pp1m(g/m) P1prt(g/putaran)
Urea 150 0.75 11.25 16.74
SP-36+KCl 300 0.75 22.5 33.49
Bentuk rotor penjatah pupuk adalah silinder beralur. Agar putaran rotor dapat membawa
butiran pupuk untuk dijatahkan, dengan memperhatikan arah aliran kedatangan pupuk yang
akan masuk ke celah rotor, maka pada modifikasi ini bentuk celah (alur) dan sudu rotornya
seperti diperlihatkan pada Gambar 19. Butiran pupuk yang akan dijatahkan dalam satu
putaran rotor penjatah merupakan volume dari seluruh celah pada rotor. Volume pupuk yang
harus dijatahkan dalam satu putaran rotor (V1prt dalam cm3) dihitung menggunakan data
kerapatan isi pupuk (p dalam g/cm3) dengan rumus:
V 1 prt=P1 prt
ρp (3)
Dengan memperhatikan bentuk penampang celah rotor seperti pada Gambar 29, maka
luas penampangnya dapat didekati dengan rumus:
Apc=(0 .5×(lca+ lcb)×dc )−( (1−0 .25 π ) dc2
4 )(4)
di mana:
Apc : luas penampang celah rotor penjatah (cm2),
lca : panjang sisi celah atas (cm),
lcb : panjang sisi celah bawah (cm), dan
dc : diameter lingkaran celah (cm).
26
Gambar 29. Bentuk penampang celah rotor penjatah pupuk
Bila digunakan rotor berdiameter 4 cm (keliling = 12.6 cm), jumlah celah 6, dan
tebal sudu (dinding antarcelah) minimal 4 mm, maka panjang sisi celah atas (lca) sekitar 1.7
cm. Bila diameter lingkaran celah digunakan 1 cm, dan panjang sisi celah bawah 0.7 cm,
maka dapat dihitung luas penampang celahnya. Kalau digunakan enam celah pada sekeliling
rotor, maka panjang rotor Lrt dapat ditentukan dengan rumus:
(5)
Hasil perhitungan panjang rotor disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Hasil perhitungan panjang rotor
Pupuk P1prt(g/putaran) V1put(cm3) Apc(cm2) Lrt (cm)
Urea 16.74 24.4 0.81 4.81
SP-36+KCl 33.49 31.12 0.81 6.40
Dengan mempertimbangkan kemungkinan penggunaan pemupuk pada dosis yang lebih
besar, maka dalam rancangan ini digunakan panjang rotor 8 cm. Untuk keperluan dosis yang
lebih kecil, maka panjang celah diperpendek menggunakan selubung penutup celah yang
dapat digeser-geser sesuai kebutuhan.
Selubung rotor dibuat dengan menggunakan sok pipa PVC yang berdiameter sesuai
dengan rotor. Sok pipa PVC dibentuk dan dibuat celah sesuai dengan bentuk sirip rotor agar
bisa mengatur dosis pupuk dengan cara di geser.
Selain menganalisis kebutuhan panjang rotor, dilakukan juga analisis kebutuhan
minimum tebal sudu rotor penjatah. Sketsa pembebanan pada sudu rotor untuk perhitungan
kebutuhan tebal sudu minimum rotor dapat dilihat pada Gambar 30.
27
Lrt=V 1 prt
6 A pc
Gambar 30. Sketsa pembebanan pada sudu rotor untuk perhitungan kebutuhan minimum tebal
sudu rotor
Dalam mengetahui kekuatan sudu rotor, perlu diketahui gaya yang bekerja menekan
sudu, sehingga kemungkinan mematahkan bagian kritisnya. Butiran pupuk yang terjepit
diilustrasikan sebagai hambatan terbesar rotor untuk berputar. Kondisi kritis pada kekuatan
sudu adalah ketika butiran – butiran pupuk terjepit oleh sudu rotor dan bagian pembatas
sehingga terjadi stress maksimum di bagian pangkal sudunya. Bending stress yang terjadi
pada bidang kritis (lihat Gambar 24), dapat dihitung dengan persamaan (6). Penampang
bidang kritis pada sudu adalah persegi panjang dengan tebal t (tebal sudu) dan panjang Lrt
(panjang rotor).
σ a=MC
I (6)
M=FL (7)
I=Lrt×t 3
12 (8)
di mana :
σa : tegangan ijin bahan rotor (kg/mm2),
M : momen (kg mm),
I : inersia (mm4),
C : centroid balok (mm),
F : gaya (kg),
L : panjang sudu rotor (mm)
Lrt : panjang rotor (mm), dan
t : tebal sudu rotor (mm).
Untuk menentukan gaya F dalam perhitungan kebutuhan tebal minimum sudu rotor,
maka diasumsikan yang paling besar adalah gaya yang menahan sudu akibat adanya butiran
pupuk yang terjepit pembatas. Untuk itu, dilakukan pengukuran kekuatan potong butiran
pupuk SP-36 (butiran besar-besar) seperti dijelaskan pada Lampiran 9.
Dari hasil pengukuran diperoleh gaya geser satu butir pupuk SP-36 adalah 5.14 kgf
(50.42N). Dengan panjang rotor 80 mm dan diameter pupuk 9.2 mm kemungkinan akan ada
sekitar 9 butir pupukyang mengganjal sekaligus secara bersamaan. Ini diasumsikan sebagai
28
gaya hambatan maksimum yang akan terjadi. Dengan dasar ini diperoleh gaya F untuk
persamaan (7) sebesar 5.14 kg dikalikan dengan 9 (jumlah butir pupuk yang tersangkut
sekaligus) menjadi 46.26 kg atau 453.8 N. Lalu dengan tegangan ijin bahan polietilen yaitu
1.75 kg/mm2 dibagi dengan faktor keselamatan 4 adalah 0.43 kg/mm2, dihitung kebutuhan
tebal sudu minimum dengan persamaan (6). Ketebalan sudu minimum didapatkan sebesar
2.52mm.Pada desain tebal sudu yang dipakai sebesar 4.2 mm. Adapun gambar rotor dengan
selubung nya dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31. Rotor dan selubung rotor
2. Perancangan Hopper Pupuk
Bentuk dan posisi hopper cenderung sama dengan dengan prototipe-2 hanya saja bahan
dasar yang digunakan untuk hopper pada prototipe-3 ini menggunakan akrilik.
Kebutuhan volume hopper berdasarkan luas lahan yang diolah, dosis pemupukan, serta
jumlah unit pemupuk menurut Syafri (2010) dapat dihitung menggunakan persamaan (9).
V hp=A1×D p
u×ρp×104(9)
di mana :
Vhp : volume hopper pupuk (liter),
A1 : luas lahan pemupukan sekali mengisi hopper (m2),
Dp : dosis pemupukan (kg/ha),
u : jumlah unit mesin pemupuk (1 unit), dan
ρp : kerapatan isi pupuk (g/cm3).
Hasil perhitungan tersebut disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Hasil perhitungan kebutuhan volume hopper pupuk
Pupuk A1(m2) Dp(kg/ha)Kerapatan isi
pupuk(g/cm3)Vhp(liter)
Urea
250
150 0.715
5.244
500 10.5
750 15.73
1000 20.97
29
Rotor penjatah
Selubung rotor
SP-36 +
KCl (2:1)
250
300 1.076
6.97
500 13.94
750 20.91
1000 27.88
Pada prototipe-2 hopper pupuk memiliki volume sebesar 5.06 liter yang mampu
memupuk lahan seluas 182 m2dengan sekali pengisian hopper pupuk. Dengan memanfaatkan
ruang yang ada di sekitar unit pemupuk kapasitas volume hopper pupuk dapat ditingkatkan
menjadi 6.9 liter yang mampu memupuk lahan seluas 248.18 m2 sekali mengisi hopper
pupuk. Kapasitas volume tersebut adalah batas dari peningkatan kapasitas pada prototipe-3,
karena ruang kosong yang tersedia sudah tidak ada lagi di sekitar unit pemupuk. Adapun
sketsa hopper dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32. Gambar isometri hopper prototipe-3
3. Perancangan Saluran Pupuk
Saluran pupuk yang dimodifikasi terbuat dari plat stainless steel dengan tebal 2 mm dan
selang plastik dengan diameter 4 cm. Hal yang diperhitungkan dalam pembuatan penyalur
pupuk adalah luas penampang saluran pupuk yang bertujuan untuk menghindari penumpukan
pupuk dan panjang selang penyalur yang disesuaikan agar kedalaman bisa terpenuhi.
Rotor penjatah memiliki celah dimana panjangnya 80 mm dan jarak antara sudu sebesar
17 mm. Adapun sketsa celah rotor penjatah dapat dilihat pada Gambar 33. Dengan data ini
dapat dihitung luas permukaan pupuk yang akan jatuh pada saluran dengan menggunakan
persamaan (10).
30
Lrt
Gambar 33. Sketsa celah rotor penjatah
Acr=Lrt×lca (10)
di mana :
Acr : luas permukaan pada celah rotor penjatah (mm2),
Lrt : panjang rotor penjatah (mm), dan
lca : panjang sisi celah atas (mm).
Luas penampang celah rotor penjatah didapatkan 1280 mm2. Pupuk yang jatuh dari celah
rotor akan masuk ke mulut saluran penempatan pupuk. Bentuk penampang mulut saluran
penempatan pupuk adalah bujur sangkar. Agar tidak terjadi penumpukan, maka luas
penampang mulut ini tidak boleh lebih kecil dari luas penampang celah rotor. Dengan
menggunakan persamaan (11) didapatkan sisi minimum penyalur pupuk agar tidak terjadinya
penumpukan pada penyaluran pupuk.
sp=√ A p (11)
di mana:
Ap : luas mulut penyalur pupuk (mm2), dan
sp : sisi mulut penyalur pupuk (mm).
Dari persamaan (11) didapatkan sisi minimum untuk penyalur pupuk sebesar 35.7 mm.
Penyalur pupuk yang dibuat menggunakan sisi sepanjang 40 mm. Adapun gambar penyalur
pupuk dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34. Penyalur pupuk prototipe-3
Perancangan selang dalam penyaluran pupuk hanya menyesuaikan panjang selang agar
pupuk dapat terbenam didalam tanah dan kedalaman terpenuhi.
G. Metode Pengujian KinerjaPengujian yang dilakukan meliputi: 1) pengujian tingkat keseragaman penjatahan, 2)
31
ketepatan penjatahan pupuk, 3) torsi putar roda penggerak, 4) keseragaman penjatahan pupuk di
pengujian lapangan, 5) ketepatan penjatahan pupuk di pengujian lapangan, 6) tingkat kemacetan
roda penggerak, dan 7) kedalaman penempatan pupuk.
1. Pengujian Tingkat Keseragaman Penjatahan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keseragaman jumlah pupuk yang
dikeluarkan oleh unit penjatah pupuk dari hopper pupuk, pada variasi jumlah pupuk yang
berbeda dalam hopper pupuk. Untuk itu, penjatahan pupuk diukur pada beberapa tingkat
volume pupuk dalam hopper, yaitu: 25%, 50%, 75%, dan 100% dari volume hopper pupuk.
Pengujian ini dilakukan dalam kondisi stasioner, dengan cara memutar roda penggerak untuk
memutar rotor penjatah pupuknya, tanpa mengoperasikan mesin di lapangan. Pupuk yang
digunakan adalah pupuk urea dan campuran pupuk SP-36 + KCl dengan perbandingan massa
2:1.
Pengujian ini dilakukan dengan cara memutar roda penggerak sebanyak sepuluh kali
putaran lalu pupuk yang keluar dari penjatahditampung dengan menggunakan kantong
plastik. Setelah sepuluh kali putaran pupuk yang sudah tertampung ditimbang beratnya
menggunakan timbangan. Setelah itu dilakukan lagi pengambilan data sebanyak tiga kali.
Setelah tiga kali pengambilan data volume hopper pupukditingkatkan dan pengukuran
dilakukan lagi sama seperti cara sebelumnya. Data yang diambil setiap volume adalah
sebanyak tiga kali ulangan, jadi total data yang didapatkan pada pengujian ini sebanyak 24
data dosis pupuk untuk pupuk urea dan campuran pupuk SP-36 + KCl (2;1). Adapun sketsa
pengujian ini dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35. Sketsa pengujian tingkat keseragaman penjatahan
2. Ketepatan Penjatahan Pupuk
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan penjatahan pupuk yang dilakukan
oleh rotor dan pengatur dosisnya. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan volume
pupuk dalam hopper 100% namun dengan lebar bukaan rotor yang berbeda-beda yaitu: 50%,
60%, 70%, 80%, 90%, dan 100%.
Pengujian ini dilakukan hampir sama dengan pengujian tingkat keseragaman penjatahan
yaitu dengan memutar roda penggerak sebanyak sepuluh kali putaran, menampung pupuk
yang keluar dari penjatah pupuk dan menimbangnya dengan timbangan. Lebar bukaan rotor
diset hanya dengan menggeser selubung rotor saja ke jarak yang sudah ditentukan dan sudah
ditandai. Pengujian ini mengambil tiga data di setiap lebar bukaan rotor, sehingga pada
pengujian ini terdapat 36 data untuk pupuk urea dan campuran pupuk SP-36 + KCl (2:1).
3. Torsi Putar Roda Penggerak
32
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan kebutuhan torsi pada
unit pemupuk prototipe-2 dan prototipe-3. Volume hopper pupukyang digunakan pada
pengujian ini yaitu: 25%, 50%, 75%, dna 100%. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea
dan campuran pupuk SP-36+KC dengan perbandingan massa 2:1.
Pengukuran torsi pemutaran roda penggerak dilakukan dengan cara melilitkan tali ke
roda penggerak sebanyak tiga lilitan, lalu ujung tali diikatkan ke timbangan pegas. Setelah itu
pupuk dimasukkan kedalam hopper dengan volume yang disesuaikan dan timbangan pegas
ditarik sampai roda penggerak berputar. Beban tarik yang terukur di timbangan pegas, yang
tertinggi dari tiap perlakuan digunakan untuk menghitung kebutuhan torsi untuk
menggerakkan roda penggerak. Torsi putar roda penggerak dihitung dengan rumus:
T rp=F t×rrp
(12)
di mana:
Trp : torsi pemutaran roda penggerak (N.m),
Ft : beban tarik pemutaran roda penggerak (N), dan
rrp : jari-jari roda penggerak (m).
Pengukuran dilakukan tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan, jadi pada pengujian ini
didapatkan data sebanyak 48 untuk pupuk urea dan campuran pupuk SP-36+KCl. Pengujian
ini dilakukan secara bergantian. Pengujian pertama dilakukan untuk mengetahui torsi putar
unit pemupuk prototipe-2, setelah itu baru dilakukan pengujian untuk prototipe-3. Adapun
sketsa pengujian torsi putar roda penggerak dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36. Sketsa pengujian torsi putar roda penggerak
4. Keseragaman Penjatahan Pupuk di Pengujian Lapangan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keseragaman pupuk yang dijatahkan
pada volume pupuk dalam hopper berbeda-beda di saat mesin dioperasikan di lapangan.
Dalam pengujian ini, mesin pemupuk dan penanam jagung terintegrasi (prototipe-3) dengan
penggerak traktor tangan dioperasikan di lahan yang telah disiapkan. Traktor dioperasikan
dalam tingkat kecepatan maju Low-1, dan pengolah tanah rotari diset pada tingkat kecepatan
33
High. Pengukuran dilakukan pada beberapa tingkat jumlah pupuk dalam hopper: 25%, 50%,
75%, dan 100%. Hopper kiri diisi pupuk Urea, dan hopper kanan diisi campuran pupuk SP-
36+KCl dengan perbandingan massa 2:1. Dalam pengukuran, pupuk yang dikeluarkan unit
penjatah dalam sepuluh kali putaran roda penggerak, ditampung dalam kantong
plastik.Pengukuran dilakukan tiga kali ulangan, untuk tiap perlakuan. Pupuk yang digunakan
adalah pupuk urea dan campuran pupuk SP-36+KCl.
Setelah mesin berjalan dan roda penggerak sudah berputar selama sepuluh kali putaran
mesin dihentikan dengan menarik tuas kopling. Setelah itu pupuk yang tertampung di
kantong plastik ditimbang menggunakan timbangan. Setelah tiga kali ulangan, isi pupuk
dalam hopper ditingkatkan dan dilakukan pengukuran dengan cara yang sama seperti yang
sebelumnya.
5. KetepatanPenjatahan Pupuk di Pengujian Lapangan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan penjatahan pupuk yang dilakukan
oleh rotor dan pengatur dosisnya pada kondisi di lapangan. Volume hopper pupukyang
digunakan pada pengujian ini adalah tetap yaitu sebesar 100%, namun lebar bukaan rotor
yang akan diatur pada pengujian ini. Lebar bukaan celah rotor yang diuji sebesar 50%, 60%,
70%, 80%, 90%, dan 100%. Bahan yang digunakan adalah pupuk urea dan campuran pupuk
SP-36+KCl (2:1).
Pengujian ini dilakukan dengan cara menghidupkan mesin dan membawanya ke
lapangan, lalu mengisi hopper pupukdengan pupuk sebanyak 100% dan memberikan kantong
plastik di bawah hopper untuk menampung pupuk yang dijatahkan. Setelah mesin
dihidupkan tuas kopling dimajukan kedepan dan traktor akan berjalan maju. Setelah roda
penggerak sudah berputar sebanyak sepuluh putaran mesin dihentikan dan pupuk yang
tertampung di kantong plastik segera ditimbang menggunakan timbangan. Setelah tiga kali
pengambilan data selubung rotor digeser ke jarak yang ditentukan untuk mengatur dosis
penjatahan pupuk. Pada pengujian ini digunakan kecepatan High pada kecepatan rotari dan
gigi Low-1 pada traktor roda dua.
6. Tingkat Kemacetan Roda Penggerak
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemacetan roda penggerak pada
prototipe-3 serta membandingkannya dengan tingkat kemacetan pada prototipe-2. Pengujian
ini dilakukan di lahan dengan menggunakan volume hopper pupuktetap yaitu 100%.
Pengujian ini dilakukan dengan cara menyalakan mesin terlebih dahulu dan
memasukkan pupuk kedalam hopper. Setelah itu mesin dijalankan dengan gigi Low-1 dan
kecepatan High untuk rotari. Setelah mesin berjalan roda penggerak ditandai dengan patok 1
dan setelah berputar selama lima putaran mesin dihentikan dan roda penggerk ditandai lagi
dengan patok 2. Jarak antara patok 1 dan patok 2 diukur menggunakan meteran, dan
perlakuan ini dilakukan lagi sebanyak tiga kali ulangan.
Dari data yang sudah didapatkan akan dibandingkan dengan perputaran roda penggerak
tanpa beban dengan cara menghitung kelilingnya yang dikalikan dengan 5. Setelah itu data
akan dibandingkan dengan data sebelumnya yaitu data pada prototipe-2. Adapun perhitungan
tingkat kemacetan roda penggerak dapat digunakan persamaan berikut:
M rp=(1−K rp×5
Srp)×100 %
(13)
34
di mana:
Mrp : tingkat kemacetan roda penggerak (%),
Krp : keliling roda penggerak (m), dan
Srp : jarak tempuh roda penggerak dalam lima putaran (m).
7. Kedalaman Penempatan Pupuk
Pengujian kedalaman pupuk dilakukan di lapangan pada saat setelah mesin melintas dan
memupuk lahan. Pengukuran dilakukan dengan cara menggali alur tanah yang sudah dipupuk
oleh mesin pemupuk dan mengukurnya dengan penggaris. Data yang diambil adalah
ketinggian kedalaman pupuk dari permukaan tanah. Pengambilan data ini dilakukan
sebanyak tiga kali ulangan.
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Unit Pemupuk hasil Modifikasi
1. Penjatah Pupuk (Metering Device)
Penjatah pupuk pada prototipe-3 memiliki bentuk yang berbeda dari prototipe-2.
Penjatah pupuk prototipe-3 terdiri dari tiga bagian, yaitu rotor penjatah, selubung rotor
penjatah, dan sikat pembatas.
Rotor penjatah dibuat dengan panjang 80 mm, diameter luar sebesar 40 mm dan
diameter poros sebesar 12 mm. Untuk menampung pupuk yang dijatah terdapat enam buah
celah dan enam sudu yang dapat dilihat pada Gambar 37. Tebal dari setiap sudu sebesar 4.2
mm dengan jarak antar setiap sudu sebesar 1.7 cm. Rotor penjatah terbuat dari polietilen
yang berbentuk silinder pejal. Polietilen merupakan bahan yang memiliki massa jenis rendah
dan mudah untuk dimanufaktur, sehingga dipilih menjadi bahan utama untuk pembuatan
rotor penjatah. Selain itu polietilen juga tahan terhadap sifat kimia pupuk, sehingga tidak ada
masalah apabila bersentuhan langsung dengan pupuk. Salah satu ujung dari rotor penjatah
ditempelkan potongan akrilik berbentuk lingkaran sesuai diameter luar dari rotor penjatah
dan diameter poros. Untuk pengunci rotor dengan poros dibuat dua lubang untuk baut dengan
menggunakan ulir M4 pada sisi rotor, tepatnya jarak 1.5 cm dari tepi rotor.
Gambar 37. Rotor penjatah
Selubung rotor penjatah dibuat mengikuti ukuran rotor penjatah yaitu berdiameter 40
mm dan dibuat enam celah yang mengikuti alur sudu rotor penjatah sehingga selubung bisa
bergeser sesuai keinginan. Salah satu ujung selubung ditempelkan potongan akrilik yang
berbentuk menyerupai celah rotor yang bertujuan untuk menahan pupuk agar tidak keluar
saat penjatahan dilakukan. Ujung lainnya ditempelkan akrilik berdiameter 40 mm dan lubang
ditengah sebesar 12 mm untuk tempat poros. Selubung ini terbuat dari sok pipa PVC yang
dipotong menggunakan gerinda duduk untuk membuat alur sudu rotor penjatah. Kendala dari
pembuatan selubung rotor ini adalah dalam hal pembuatan penutup celah rotor penjatah yang
terbuat dari akrilik. Bentuk celah yang kecil menyulitkan dalam hal pemotongan dan
pembentukannya sehingga beberapa ada yang tidak presisi menutupi celah rotor penjatah.
Selain itu bagian depan selubung rotor atau ruang putar rotor penjatah yang berbentuk
seperempat lingkaran yang terbuat dari akrilik sangat sulit dibuat dan ditekuk. Maka
sebaiknya bagian depan selubung rotor penjatah dibuat dengan bentuk siku agar tidak sulit
36
dalam proses manufaktur. Adapun gambar selubung rotor penjatah dapat dilihat pada
Gambar 38.
Gambar 38. Selubung rotor penjatah
Sikat pembatas dibuat berdasarkan modifikasi dari unit penjatah pupuk. Sikat pembatas
ini berfungsi untuk memotong aliran pupuk yang berlebih yang akan keluar dari hopper.
Sikat pembatas ini terbuat dari sikat gigi. Susunan sikat sepanjang 75 mmdiperkuat dengan
frame dari plat akrilik agar dapat dipasngkan pada bagian hopper. Lem aseton dan araldite
digunakan untuk merekatkan sikat dengan frame sikat. Terdapat dua lubang beralur 3 mm
untuk mengencangkan frame sikat ke dinding hopper. Adapun gambar sikat pembatas dapat
dilihat pada Gambar 39.
Adapun gambar teknik dari metering device pupuk dapat dilihat pada Lampiran 10.
Gambar 39. Konstruksi sikat pembatas
2. Hopper Pupuk
Desain dan bentuk hopper pupuk tidak memiliki perbedaan yang jauh pada prototipe-2.
Perbedaan bentuk hopper pupuk pada prototipe-3 hanyalah pada bagian bawah atau tempat
metering device. Namun bahan yang digunakan pada prototipe-3 berbeda dengan prototipe-2
serta kapasitas pada prototipe-3 juga ditingkatkan.
Hopper pupuk memiliki sudut sudut kemiringan sebesar 45o dengan kapasitas 6.9 liter.
Adapun gambar teknik hopper pupuk dapat dilihat pada Lampiran. Hopper pupuk dibuat dari
bahan akrilik dengan tebal 5 mm. Hopper yang dibuat berjumlah dua buah untuk
37
menampung pupuk urea dan campuran pupuk TSP+KCl (2:1). Pembuatan hopper pupuk ini
terdiri dari pembuatan pola, pemotongan, penekukan, dan pengeleman. Pembuatan pola
akrilik dengan skala 1:1 ditujukan untuk memudahkan pemotongan dan meminimalisir
kesalahan panjang dan sudut yang sudah di desain. Ada empat bagian dari hopper ini yaitu
bagian depan, kanan, kiri, dan belakang. Bagian – bagian hopper yang sudah dipotong dapat
dilihat pada Gambar 40.Penekukan akrilik dilakukan dengan cara dipanaskan menggunakan
alat pemanas (Gambar 41). Setelah dipanaskan akrilik ditekuk sesuai arah dan besar sudut
tekukannya, lalu didinginkan dengan semprotan air agar cepat mengeras.
Setelah penekukan selesai akrilik di lem dengan lem aseton sesuai dengan bentuk yang
direncanakan. Pengeleman ini memerlukan bantuan mika siku untuk menguatkan akrilik
yang membentuk sudut. Serta digunakan juga lem araldite untuk mengisi apabila bagian –
bagian akrilik ada yang tidak tertempel.
Untuk menyatukan hopper pupuk dengan rangka traktor digunakan akrilik yang di tekuk
dan membentuk sudut dengan cara ditempel pada dinding hopper menggunakan lem aseton
dan lem araldite. Mur dan baut digunakan untuk mengencangkan hopper dengan rangka agar
dapat menahan getaran yang ditimbulkan pada saat mesin bekerja. Kesulitan dalam
pembuatan hopper terdapat pada saat pengeleman hopper. Pengeleman hopper harus presisi
antara sisi kanan dan sisi kiri hal ini akan berdampak pada penempatan metering device
dalam satu poros yang lurus. Apabila sisi kanan dan sisi kiri tidak sejajar maka metering
device tidak akan sejajar dan akan melenceng dari garis poros.
Peningkatan kapasitas hopper pupuk sudah dilakukan dengan cara memanfaatkan ruang
yang ada. Hopper pupuk berhasil ditingkatkan dari volume 5.06 liter menjadi 6.9 liter.
Dengan volume 6.9 liter hopper pupuk dapat memupuk lahan seluas 328.94 m2 untuk urea
dan 247 m2 untuk campuran pupuk TSP+KCl (2:1) sekali mengisi hopper. Untuk
mempermudah operator dalam mengisi hopper pupuk dan juga mengurangi seringnya
mengisi hopper dapat ditambahkan penampung pupuk sementara di atas cover rotari yang
disalurkan langsung ke hopper pupuk.
Gambar 40. Bagian – bagian hopper
Gambar 41. Alat penekuk akrilik dengan besi pemanas
38
Gambar 42. Bentuk hopper pupuk
3. Poros Penjatah Pupuk dan Benih
Poros Penjatah pupuk dan benih dibuat dari stainless steel dengan diameter 12 mm.
Panjang yang digunakan yaitu 60 cm. Terdapat tujuh lubang yang ada di badan poros.
Lubang ini bertujuan untuk mengunci komponen lain seperti bevel gear, sproket, dan
penjatah pupuk. Untuk bevel gear dilubangi dengan diameter 8 mm, untuk sproket 6 mm,
dan untuk penjatah pupuk sebesar 4 mm. Lubang yang terdapat pada poros tidak tembus
tetapi hanya sedalam 3 mm dari permukaan poros. Gambar poros dapat dilihat pada Gambar
43.
Gambar 43. Poros penjatah pupuk dan benih
4. Penyalur pupuk
Penyalur pupuk pada prototipe-3 terdidiri dari dua bahan yaitu plat stainless steel dan
selang plastic. Modifikasi yang dilakukan pada penyalur pupuk adalah dengan cara
memperluas saluran pupuk agar tidak mengalami penumpukan pupu dan memperpanjang
saluran pupuk agar kedalaman tercapai. Plat stainless steel dibuat menjadi saluran dengan
bentuk penampang persegi empat dengan sisi nya sebesar 4 cm. Selang plastik yang panjang
nya disesuaikan ditempelkan dengan mulut saluran stainless steel dengan menggunakan lem
dextone dan ujung selang dipastikan akan menembus tanah sesuai dengan kedalaman yang
diharapkan. Adapun gambar penyalur pupuk dapat dilihat pada Gambar 44.
39
Gambar 44. Penyalur pupuk prototipe-3
5. Hasil Modifikasi Prototipe Mesin Penanam dan Pemupuk Jagung
Prototipe-3 mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi adalah penyempurnaan dari
prototipe sebelumnya. Modifikasi yang dilakukan pada prototipe- 3 ini adalah bagian hopper,
metering device, poros penjatah pupuk dan benih, dan penyalur pupuk. Gambar keseluruhan
dari mesin penanam dan pemupuk jagung dapat dilihat pada Gambar 45.
Letak hopper pupuk masih sama seperti sebelumnya yaitu di samping kanan dan kiri
hopper benih. Hopper sebelah kanan digunakan untuk campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) dan
sebelah kanan digunakan untuk pupuk urea. Namun bahan yang digunakan pada prototipe-3
ini adalah akrilik dengan ketebalan 5 mm. Kapasitas hopper prototipe-3 juga lebih besar
dibanding dengan sebelumnya. Kapasitas hopper pada prototipe-3 ini mencapai 6.9 liter atau
lebih banyak 1.84 liter dari kapasitas prototipe-2. Perbandingan hopper prototipe lama dan
prototipe-3 dapat dilihat pada Gambar 46.
Rotor penjatah yang dibuat menggunakan polietilen dan bentuk rotor penjatah juga
berbeda dengan prototipe sebelumnya. Selain bentuk nya yang berbeda penempatan rotor
penjatah juga berbeda yaitu tidak ditengah dasar hopper melainkan agak kedepan sedikit. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi beban yang diterima metering device dalam memutar pupuk.
Perbandingan bentuk rotor penjatahprototipe-2 dengan prototipe-3 dapat dilihat pada Gambar
47.
Selubung rotor yang dibuat menggunakan sok pipa PVC dengan celah yang sama
dengan sudu dari rotor penjatah. Perbandingan gambar selubung prototipe-2 dengan
prototipe-3 dapat dilihat pada Gambar 48. Selain itu pada metering device juga ditambahkan
sikat pembatas yang terbuat dari sikat gigi. Sikat pembatas ini bertujuan untuk memotong
aliran pupuk yang berlebihan yang akan keluar dari hopper.
Penyalur pupuk juga dimodofikasi dengan menggunakan bahan plat stainless steel dan
selang plastic. Modifikasi pada saluran pupuk adalah memperbesar ruang saluran agar tidak
terjadi penumpukan pupuk dan pemanjangan saluran agar kedalaman pupuk tercapai.
Perbandingan saluran pupuk prototipe-2 dan prototipe-3 dapat dilihat pada Gambar 49.
40
Gambar 45. Gambar keseluruhan prototipe-3
(a) (b)
Gambar 46. Hopperprototipe-2 (a) dan hopperprototipe-3 (b)
(a) (b)
Gambar 47. Rotor penjatah prototipe-2 (a) dan rotor penjatahprototipe-3 (b)
41
(a) (b)
Gambar 48. Selubung rotor penjatah prototipe-2 (a) dan selubung rotor penjatah
prototipe-3 (b)
(a) (b)
Gambar 49. Slauran pupuk prototipe-2 (a) dan saluran pupuk prototipe-3 (b)
B. Kinerja Unit Pemupuk
1. Pengujian Tingkat Keseragaman Penjatahan
Dosis yang dijatahkan oleh metering device memiliki jumlah yang konstan dan tidak
dipengaruhi oleh isi dari hopper selama bukaan rotor penjatah dibuka pada jarak yang sama.
Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk urea dan campuran pupuk SP-
36+KCl (2:1) dapat dilihat pada Gambar 50 dan Gambar 51.
Gambar 50. Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk urea
42
25 50 75 10020.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
32.49
34.60
32.1332.13
Volume hopper (%)
Do
sis
pu
pu
k (
g/m
)
25 50 75 10040.00
45.00
50.00
55.00
60.00
65.00
70.00
56.85
58.09
57.20
58.97
Volome Hopper (%)
Dos
is P
upuk
(g/m
)
Gambar 51. Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan campuran pupuk SP-
36+KCl
Hasil pengujian tingkat keseragaman penjatahan pupuk urea menunjukkan hasil yang
cukup konsisten terhadap perubahan volume hopper. Range yang didapatkan pada volume
25% sampai 100% sebesar 32.12 g – 34.60 g. Perbedaan ini tidak terlalu jauh pada setiap
perubahan volume. Begitu pula dengan pengujian campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) yang
memiliki range 56.85 g – 58.97 g. Ini menandakan bahwa metering device yang diusulkan
dapat menjatah pupuk dengan seragam dengan tidak terpengaruh oleh jumlah pupuk di dalam
hopper pupuk. Adapun data lengkap dari pengujian tingkat keseragaman penjatahan dapat
dilihat pada Lampiran 1.
2. Ketepatan Penjatahan Pupuk
Ketepatan penjatahan pupuk sangat bergantung pada bukaan rotor penjatah oleh
selubung rotor penjatah. Secara teori apabila rotor penjatah dibuka 100% maka dosis pupuk
yang dikeluarkan oleh penjatahan akan lebih banyak dibandingkan dengan bukaan yang
hanya 90%, 80%, 70%, 60%, dan 50% serta begitu juga sebaliknya. Hasil pengujian
ketepatan penjatahan pupuk urea dapat dilihat pada Gambar 52.
Gambar 52. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk urea
Dari Gambar dapat dilihat dosis pupuk yang dikeluarkan penjatah meningkat seiring
dibukanya selubung rotor penjatah yang lebih besar. Hal ini sudah memenuhi dengan teori
linearitas, ditambah lagi nilai R2 didapatkan sebesar 0.955 (mendekati satu). Nilai R2 yang
cukup besar ini juga membuktikan bahwa kinerja metering device dalam hal menjatah pupuk
urea sudah baik dan tepat. Rata-rata kenaikan dosis pupuk urea terhadap 10 % bukaan rotor
pada pengujian ini sebesar 3.18 g.Adapun persamaan korelasi yang diperoleh adalah
y=0.3481x – 0.8575.
43
25 50 75 10040.00
45.00
50.00
55.00
60.00
65.00
70.00
56.85
58.09
57.20
58.97
Volome Hopper (%)
Dos
is P
upuk
(g/m
)
40 50 60 70 80 90 100 1105.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.0050.00
f(x) = 0.348062953995152 x − 0.857546408393564R² = 0.95498856661451
Lebar Bukaan Rotor (%)
Dos
is P
upuk
(g/m
)
Hasil pengujian ketepatan penjatahan campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) dapat dilihat
pada Gambar 53.
Gambar 53. Hasil pengujian ketepatan penjatahan campuran pupuk SP-36+KCl
(2:1)
Hasil pengujian ketepatan penjatahan campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) memiliki nilai
R2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan urea. Nilai R2 sebesar 0.98 menunjukkan
penjatahan yang dilakukan pada campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) lebih tepat dan lebih
baik. Rata-rata kenaikan dosis campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) sebesar 5.37 g. Persamaan
korelasi yang didapat pada pengujian ketepatan penjatahana campuran pupuk SP-36+KCl
(2:1) adalah y=0.5559x + 2.6231. Adapun data lengkap hasil pengujian ketepatan penjatahan
pupuk dapat dilihat pada Lampiran 2.
3. Keseragaman Penjatahan Pupuk di Lapangan
Hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk di lapangan untuk pupuk urea dan
campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) ditampilkan pada Gambar 54 dan Gambar 55.
Gambar 54. Hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk di lapangan pupuk urea
44
40 50 60 70 80 90 10020.0025.0030.0035.0040.0045.0050.0055.0060.00
f(x) = 0.555891848264728 x + 2.62308313155784R² = 0.980037768129496
Lebar Bukaan Rotor (%)
Do
sis
Pu
pu
k (
g/m
)
25 50 75 10010.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
23.08
24.42
23.6223.89
Volume Hopper (%)
Dos
is P
upuk
(g/m
)
25 50 75 10020.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
34.08
36.50
36.7734.62
Volume Hopper (%)
Dos
is P
upuk
(g/m
)
Gambar 55. Hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk di lapangan campuran pupuk
SP-36+KCl (2:1)
Hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk urea di lapangan menunjukkan hasil
yang cukup konsisten dan seragam. Dosis yang keluar berkisar antara 23.8 g – 24.42 g. Hasil
ini lebih seragam dibandingkan dengan hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk pada
keadaan stasioner. Untuk campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) didapatkan dosis yang berkisar
antara 34.8 g – 36.50 g. Sama hal nya dengan pupuk urea, hasil yang didapatkan untuk
campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) di lapangan juga lebih seragam dibandingkan dengan hasil
pada keadaan stasioner. Namun hasil pengujian keseragaman penjatahan pupuk di lapangan
lebih rendah dibandingkan dengan pengujian pada keadaan stasioner, hal ini diduga akibat
getaran yang berlebihan pada saat pengoperasian di lapangan sehingga pupu yang ada
didalam hopper tidak menentu arah alirannya.
4. Ketepatan Penjatahan Pupuk di Lapangan
Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan untuk pupuk urea ditampilkan
pada Gambar 56.
Gambar 56. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan untuk pupuk urea
Dari Gambar 56 ditunjukkan hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan
untuk pupuk urea yang sudah memenuhi teori linearitas. Dari hasil pengujian didapatkan
nilai R2 yang cukup besar yaitu 0.9698 dengan persamaan korelasinya y=0.2615x – 0.8691.
Rata – rata kenaikan dosis pupuk terhadap bukaan rotor 10% sebesar 2.47 g.
45
40 50 60 70 80 90 1005.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
f(x) = 0.261483015106203 x − 0.869054009150613R² = 0.96982999485676
Lebar Bukaan Rotor (%)
Do
sis
Pu
pu
k (
g/m
)
25 50 75 10020.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
34.08
36.50
36.7734.62
Volume Hopper (%)
Dos
is P
upuk
(g/m
)
Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan untuk campuran pupuk SP-
36+KCl (2:1) dapat dilihat pada Gambar 57.
Gambar 57. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan untuk campuran pupuk
SP-36+KCl (2:1)
Hasil pengujian pada campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) menunjukkan bahwa metering
device memberikan keluaran pupuk yang konsisten dan proporsional berdasarkan lebar
bukaan rotor penjatah. Kenaikan rata-rata pada lebar bukaan rotor 10% sebesar 2.52 g.
Sebagaimana dapat dilihat, bahwa pengujian untuk campuran pupuk SP-36+KCl (2:1)
memiliki nilai R2 sebesar 0.991 dengan persamaan korelasi y = 0.2408x + 10.569. Dengan
nilai R2 yang cukup besar menandakan hasil yang cukup baik untuk menilai tingkat ketepatan
penjatahan pupuk dengan metering device yang diusulkan. Dengan menggunakan persamaan
korelasi yang didapat pada pengujian ketepatan penjatahan pupuk dapat diketahui lebar
bukaan rotor yang sesuai dengan dosis yang direncanakan.
Dari hasil pengujian yang didapatkan bagian penjatah pupuk dapat menjatah pupuk dari
selang 157.86 kg/ha sampai 322.06 kg/ha urea dan 297.01 kg/ha sampai 478.53 kg/ha
campuran pupuk SP-36+KCl.
Pada aplikasinya di lapangan mesin ini juga membutuhkan penutup berbahan karet yang
ditempatkan di cover belakang rotari. Penambahan penutup karet ini ditujukan agar pada saat
pengoperasian di lahan kering tanah yang terolah tidak jauh terpental dan tidak terpental
mengenai operator yang berdiri tepat dibelakangnya.
5. Tingkat Kemacetan Roda Penggerak
Permasalahan utama pada prototipe-2 adalah terlalu besarnya tingkat kemacetan roda
penggerak. Kemacetan roda penggerak ini disebabkan oleh penyebab yang saling berkaitan
antara metering device dan roda penggerak.
Pada prototipe-2 rotor sering tersangkut pupuk karena sempitnya ruang perputaran dan
beban yang diterima oleh rotor. Macetnya rotor ini akan menimbulkan gaya yang sangat
besar untuk kembali memutar rotor secara normal. Sedangkan sumber gaya untuk memutar
rotor terdapat di roda penggerak yang berhubungan langsung dengan tanah. Maka apabila
rotor mengalami kemacetan, roda penggerak akan membutuhkan lebih banyak gaya untuk
memutar kembali rotor yang tersangkut. Namun tanah yang berhubungan langsung dengan
roda penggerak adalah tanah gembur yang sudah di garu dengan rotary tiller sehingga gaya
tahanan yang diberikan tanah untuk roda penggerak sangatlah terbatas. Apabila gaya reaksi
46
40 50 60 70 80 90 10010.0015.0020.0025.0030.0035.0040.00
f(x) = 0.240779081358791 x + 10.5692303759937R² = 0.990980970249263
Lebar Bukaan Rotor (%)
Do
sis
Pu
pu
k (
g/m
)
tanah tidak mampu menggerakan roda penggerak atau dengan kata lain gaya yang
dibutuhkan roda penggerak tidak terpenuhi maka kemacetan akan terjadi dan roda penggerak
akan menjadi tergusur. Hal ini yang sering dialami oleh prototope-2, bahkan kemacetan
mencapai 31.33 %.
Tingkat kemacetan putaran roda penggerak sanggat berkaitan dengan kebutuhan torsi
putar roda penggerak. Semakin besar kebutuhan torsi putar roda penggerak maka gaya reaksi
tanah yang dibutuhkan juga akan semakin besar, namun apabila kebutuhan torsi putar roda
penggerak dapat dikurangi maka kebutuhan gaya reaksi tanah juga akan menjadi kecil dan
kemacetan putaran roda penggerak dapat berkurang. Hasil pengujian untuk perbandingan
unit pemupuk lama dan baru dapat dilihat pada Gambar 58 dan Gambar 59.
Gambar 58. Perbandingan torsi putar pupuk urea
Gambar 59. Perbandingan torsi putar pupuk SP-36+KCl
Dari hasil pengujian torsi putar roda penggerak yang telah dibandingkan antara
protoripe-2 dan prototipe-3 didapatkan hasil bahwa prototipe-2 memiliki kebutuhan torsi
yang lebih besar dari prototipe-3. Untuk pupuk urea kebutuhan torsi paling besar pada
prototipe-3 sebesar 0.125 kg m, sedangkan pada prototipe-2 kebutuhan torsi paling besar
sebesar 0.173 kg m. Pada pengujian pupuk urea kemacetan yang dialami prototipe-2 jarang
terjadi, kemacetan yang ditimbulkan hanya kemacetan sesaat yang berlangsung beberapa
detik saja sehingga anggka yang ditunjukkan di timbangan pegas naik lalu turun lagi.
47
25 50 75 1000.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
0.153
0.173
0.142 0.142
0.0970.106
0.125 0.12
Metering device prototipe-2
Metering device prototipe-3
Volume Hopper (%)
Tor
si (K
g m
)
25 50 75 1000
0.10.20.30.40.50.60.70.8
0.696
0.47 0.48 0.51
0.153 0.186 0.189 0.237
Metering device prototipe-2
Metering device prototipe-3
Volume Hopper (%)
Tor
si (k
g m
)
Untuk pengujian pada campuran pupuk SP-36+KCl (2:1) didapatkan perbedaan yang
cukup jauh antara kebutuhan torsi prototipe-2 dan prototipe-3. Kebutuhan torsi maksimum
pada prototipe-3 terjadi pada volume hopper 100% yaitu sebesar 0.237 kg m, sedngkan torsi
maksimum pada prototipe-2 terjadi pada volume hopper 25% sebesar 0.696 kg m. Pada saat
pengujian dilakukan sering sekali prototipe-2 mengalami kemacetan, bahkan gaya yang
dibuthkan untuk memutar roda penggerak bisa sampai 3 kg dan 5 kg. Hal ini yang
menyebabkan kebutuhan torsi putar pada prototipe-2 sangat besar.
Dari hasil pengujian torsi putar dapat dikatakan bahwa prototipe-3 memiliki kebutuhan
torsi putar yang lebih rendah dibandingkan dengan prototipe-2. Hal ini yang akan
berpengaruh pada tingkat kemacetan pada kondisi lapangan. Semakin besar torsi yang
dibutuhkan maka akan semakin sering roda putar mengalami kemacetan yang dikarenakan
tidak terpenuhinya torsi dari gaya reaksi tanah.
Berdasarkan hasil pengujian torsi putar didpat pula hasil pengujian kemacetan roda yang
berhasil diturunkan dari 31.33% menjadi 22.97%. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh
pada pengujian torsi putar roda penggerak. Dengan demikian maka unit pemupuk yang
dimodifikasi telah berhasil mengatasi masalah pada prototipe-2 yaitu kemacetan putaran roda
penggerak. Adapun data lengkap pengujian torsi putar roda penggerak dan tingkat kemacetan
dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 7. Selain memodifikasi bentuk metering device
kebutuhan torsi roda penggerak juga dapat dikurangi dengan cara mengayak pupuk terlebih
dahulu sebelum melakukan pemupukan, karena dengan mengayak pupuk akan dihasilkan
butiran-butiran yang seragam dan tidak terdapat pupuk yang tergumpal. Pupuk yang
tergumpal yang akan masuk ke metering device akan menambah beban kerja dari rotor
penjatah dan akan menambah kebutuhan torsi roda putar. Maka dengan tidak adanya pupuk
yang tergumpal dan butiran pupuk seragam akan meringankan beban kerja dari rotor penjatah
untuk menjatah pupuk.
6. Kedalaman Pupuk
Penempatan kedalaman pupuk Bergantung pada penyalur pupuk yang digunakan.
Permasalahan pada prototipe-2 adalah pupuk yang menyangkut pada penyalur pupuk dan
kedalaman yang tidak tercapai. Dengan memodifikasi penyalur pupuk penumpukan pupuk
sudah tidak terjadi lagi namun kedalaman pupuk masih belum bisa tercapai. Dari hasil
pengujian kedalaman pupuk didapat 2.5 – 4 cm. Sedangkan menurut Adisarwanto dan
Widyastuti (2002) kedalaman pupuk dasar sekitar 10 cm. Dengan kata lain kedalaman pupuk
pada prototipe-3 masih belum tercapai. Kedalaman ini bisa tercapai apabila selang yang
digunakan sebelumnya diganti dengan ukuran yang lebih panjang dan dengan menggunakan
pembuka alur yang lebih panjang juga agar pupuk bisa terjatuh lebih dalam di tanah.
7. Perbandingan Kinerja Prototipe-2 dan prototipe-3
Perbandingan kinarja prototipe-2 dan prototipe-3 dapat dilihat pada Tabel 10.
48
Tabel 10. Perbandingan kinerja prototipe-2 dan prototipe-3
No. Kinerja Prototipe-1 Prototipe-2 Prototipe-3
1 Volume
HopperUrea1.18 kg 3.62 kg 5 kg
2 VolumeHopper
SP-36+KCl2.66 kg 5.45 kg 7.5 kg
3 Range
Penjatahan Dosis
Urea
7.69 g/m 3.76-12.65 g/m 11.8-24.15 g/m
4 Range
Penjatahan Dosis
SP-36+KCl
15.39 g/m 16.13-33.85 g/m 22.3-35 g/m
5 Jarak antaralur
benih dan pupuk10-13 cm 10-12 cm 10 – 12 cm
6 Kedalaman
penempatan
pupuk
2.5 – 4 cm
7 Kemacetan roda
penggerak38 % 31.33 % 22.97 %
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan1. Prototipe-3 unit pemupuk pada mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi sudah diuji
coba. Secara umum kinerja unit pemupukan sudah berhasil ditingkatkan.
2. Pada prototipe-3 tingkat kemacetan putaran roda penggerak sudah berhasil diperkecil dari
31% menjadi 23%.
3. Kinerja metering device dalam penjatahan pupuk sudah seragam dimana metering device
dapat menjatah pupuk sebanyak 322.06 kg/ha urea dan 478.53 kg/ha urea di lapangan dalam
keadaan rotor dibuka 100%.
4. Ketepatan penjatahan pupuk sudah baik dengan menggunakan metering device yang
diusulkan dan metering device pupuk dapat menjatah urea dari selang 157.86 kg/ha sampai
322.06 kg/ha, sedangkan untuk campuran pupuk SP-36+KCl dari selang 297.01 kg/ha
sampai 478.53 kg/ha.
5. Volume hopper pupuk berhasil ditingkatkan dari 5.06 liter menjadi 6.9 liter serta dapat
menampung urea sebanyak 5 kg dan campuran SP-36+KCl sebanyak 7.5 kg.
6. Kedalaman pupuk masih belum tercapai dimana kedalaman hanya didapat sekitar 3.17 cm.
B. Saran1. Untuk pemupukan urea dan SP-36 disarankan agar menggunakan mekanisme pemupukan
pada prototipe-3 karena terbukti dapat mengurangi kemacetan roda penggerak dan dapat
menyeragamkan dosis pemupukan.
2. Penggunaan selang plastik yang lebih panjang agar kedalaman pupuk bisa tercapai dan sesuai
yang direncanakan.
3. Ditambahkan penampung pupuk sementara di atas cover rotari yang disalurkan langsung ke
hopper pupuk agar mempermudah pengisian hopper pada saat proses pemupukan dan tidak
terlalu sering mengisi hopper pupuk.
4. Bagian depan dari selubung rotor penjatah agar dibuat siku atau tidak dengan seperempat
lingkaran agar mempermudah dalam proses pemupukan.
5. Dilakukan pengayakan pupuk terlebih dahulu sebelum memulai pemupukan agar
memastikan pupuk tidak ada yang tergumpal demi melancarkan putaran rotor penjatah.
6. Ditambahkan penutup berbahan karet di cover belakang rotari agar tanah yang terolah tidak
jauh terpental dan mengenai operator.
50
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto T dan Widyastuti YE. 2002. Meningkatkan Produksi Jagung. Depok: PT Penebar Swadaya
Bainer R, Kepner RA, and Barger EI. 1960. Principles of Farm Machinery. New York: John
Wiley and Sons, Inc.
BALLITSEREAL Maros. 2012. Teknologi Budidaya Jagung Hibrida.
http://www.penyuluhpertanian.com/teknologi-budidaya-jagung-hibrida. [23 Januari 2012].
Campbell J.K. 1990. Dibble Stick, Donkeys, and Machines in Crop Production. Manila, Philiphines:
International Rice Research Institute.
Departemen Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Query Indikator. 2011.
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/prodjgg.pdf . [ 24 Juli 2012].
Hakim M dan Nyakpa Y. 1986. Dasar-dasar Ilmu tanah. Lampung: Universitas Lampung.
Hermawan W. 1985. Disain dan Uji Teknis Alat Penanam dan Pemupuk Tipe Dorong Sumber Tenaga
Manusia [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Koran Sindo. 2012. Produksi Turun Indonesia Impor Jagung.
http://www.sindonews.com/read/2012/01/11/450/555104/produksi-turun-indonesia-impor-
jagung. [23 Januari 2012].
PT Petrokimia Gresik Official Website [Homepage of PT Petrokimia Gresik], [Online]. 2012, last
update. http://www.petrokimia-gresik.com/Pupuk. [12Juli 2012].
Pupuk Sriwijaya. 2010. Pengembangan Pertanian Pemupukan Kelapa sawit: Jenis dan sifat pupuk.
http://www.pusri.co.id/indexC030204.php [18 Juli 2012].
Putra PM. 2011. Peningkatan Kinerja Unit Penanam dan Pemupuk pada Mesin Penanam dan
Pemupuk Jagung Terintegrasi [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Richey CB, Jacobuson P, and Hall CW. 1961. Agricultural Engineer’s Hand Book. New
York: Mc Graw Hill.
Smith HP and Lambert HW. 1977. Farm Machinery and Equipment. New Delhi: Mc Graw
Hll.
Srivastava AK, Goering CE, Rohrbach RP. 1996. Engineering Principles of Agricultural
Machines. Michigan: ASAE.
Sularso dan Suga K. 1987. Dasar Perencanaan dan Elemen Mesin. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Surdia T dan Saito S. 1999. Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Syafri Edi. 2010. Disain Mesin Penanam Jagung Terintegrasi Dengan Penggerak Traktor Roda Dua
[tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Virawan G. 1989. Disain dan Uji Teknis Alat Penanam dan Pemupuk dengan Tenaga Tarik Traktor
Tangan [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 1. Data hasil pengujian keseragaman penjatahan
Hasil pengujian untuk pupuk urea pada bukaan rotor 100%
Volume pupuk
dalam hopper (%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 3 Rata-rata
25 320 300 300 306.67 32.49
50 330 320 330 326.67 34.60
75 300 300 310 303.33 32.13
100 300 310 300 303.33 32.13
Rata-rata 32.84
Hasil pengujian untuk pupuk SP-36+KCl pada bukaan rotor 100%
Volume pupuk
dalam hopper (%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 3 Rata-rata
25 540 530 540 536.67 56.85
50 540 535 570 548.33 58.09
75 550 530 540 540.00 57.20
100 570 550 550 556.67 58.97
Rata-rata 57.78
53
Lampiran 2. Data hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk
Hasil pengujian untuk pupuk urea
Lebar Bukaan Rotor
(%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 Rata-rata
50 170 150 160 16.95
60 200 170 185 19.60
70 210 200 205 21.72
80 270 280 275 29.13
90 300 290 295 31.25
100 300 320 310 32.84
Hasil pengujian untuk pupuk SP-36+KCl
Lebar Bukaan Rotor
(%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 3 Rata-rata
50 300 300 270 290 30.72
60 340 350 350 346.67 36.72
70 360 370 370 366.67 38.84
80 450 450 470 456.67 48.38
90 510 490 520 506.67 53.67
100 570 530 530 543.33 57.56
54
Lampiran 3. Hasil pengujian kebutuhan torsi untuk prototipe-2
Urea
Volume pupuk
dalam hopper (%)
Gaya (kg) R roda
(m)Torsi (kg m)
1 2 3 rata-rata
25 0.75 1 1 0.92 0.167 0.153
50 0.85 0.75 1.5 1.03 0.167 0.173
75 0.75 0.8 1 0.85 0.167 0.142
100 1 0.75 0.8 0.85 0.167 0.142
Rata-rata 0.152
SP-36+KCl
Volume pupuk dalam hopper
(%)
Gaya (kg) R roda
(m)
Torsi (kg
m)1 2 3 rata-rata
25 4 5 3.5 4.17 0.167 0.696
50 51.
52 2.83 0.167 0.473
75 2 51.7
52.92 0.167 0.487
1001.7
54 3.5 3.08 0.167 0.515
Rata-rata 0.543
55
Lampiran 4. Hasil pengujian kebutuhan torsi untuk prototipe-3
Urea
Volume pupuk dalam hopper
(%)
Gaya (kg) R roda
(m)
Torsi (kg
m)1 2 3 rata-rata
250.7
50.5 0.5 0.58 0.167 0.097
500.5
50.6
0.7
50.63 0.167 0.106
75 0.7 10.5
50.75 0.167 0.125
100 0.80.7
50.6 0.72 0.167 0.120
Rata-rata 0.112
SP-36+KCl
Volume pupuk dalam hopper
(%)
Gaya (kg) R roda
(m)
Torsi (kg
m)1 2 3 rata-rata
25 10.7
51 0.92 0.167 0.153
501.2
51.1 1 1.12 0.167 0.186
751.0
5
1.2
5
1.
11.13 0.167 0.189
100 1.51.2
5
1.
51.42 0.167 0.237
Rata-rata 0.191
56
Lampiran 5. Hasil pengujian keseragaman penjatahan di lapangan
Hasil untuk pupuk urea
Volume pupuk
dalam hopper
(%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 3 Rata-rata
25 300 290 270 286.67 23.08
50 290 320 300 303.33 24.42
75 320 270 290 293.33 23.62
100 270 320 300 296.67 23.89
Rata-rata 23.75
Hasil untuk pupuk SP-36+KCl
Volume pupuk
dalam hopper (%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 3 Rata-rata
25 400 420 450 423.33 34.08
50 500 420 440 453.33 36.50
75 440 500 430 456.67 36.77
100 450 440 400 430.00 34.62
Rata-rata 35.49
57
Lampiran 6. Hasil pengujian ketepatan penjatahan pupuk di lapangan
Urea
Bukaan Rotor (%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 3 Rata-rata
50 150 140 150 146.67 11.81
60 180 200 160 180 14.49
70 210 240 200 216.67 17.44
80 280 270 250 266.67 21.47
90 300 290 270 286.67 23.08
100 310 300 290 300 24.15
SP-36+KCl
Bukaan Rotor (%)
Massa pupuk yang dijatahkan dalam 10 putaran roda
penggerak (gram) g/m
1 2 3 Rata-rata
50 260 270 300 276.67 22.28
60 320 340 300 320 25.76
70 330 340 340 336.67 27.11
80 370 350 390 370.00 29.79
90 400 390 400 396.67 31.94
100 420 440 440 433.33 34.89
58
Lampiran 7. Data tingkat kemacetan roda penggerak dan slip roda traktor
Data untuk slip roda traktor
Jarak tempuh 5 putaran roda
traktor (m) beban penanaman dan
pemupukan
Jarak Roda Tanpa Beban/5
Putaran (m)
Slip Roda
Traktor (%)
8.68 8.4 3.22
8.92 8.4 5.82
8.78 8.4 4.32
Rata-rata= 8.79 4.45
Data untuk kemacetan roda penggerak
Jarak tempuh lima putaran
roda penggerak (m) dengan
hoper terisi pupuk
Jarak tempuh lima putaran roda
penggerak (m) dengan
perhitungan lima kali keliling
roda
Kemacetan Roda
Penggerak (%)
6.09 4.72 22.5
6.1 4.72 22.6
6.25 4.72 23.8
Rata-rata= 6.21 Rata-rata= 4.72 22.97
Data kedalaman pupuk dan jarak pupuk dengan benih
UlanganJarak pupuk dengan alur tanam
(cm)
Kedalaman pupuk
(cm)
1 10 2
2 12 2.5
3 10.5 4
rataan 10.83 2.83
Slip roda traktor Kemacetan roda penggerak
Sl = (1-(S0/Sb)) x 100 Kemacetan = (1-(S0/Sb)) x 100
= (1-(8.4/8.68)) x 100 = (1-(4.72/6.09)) x 100
= 3.22 % = 22.5%
59
Lampiran 8. Hasil pengujian penempatan kedalaman pupuk
Data penempatan kedalaman pupuk
UlanganJarak pupuk dengan alur tanam
(cm)Kedalaman pupuk (cm)
1 10 2.5
2 12 4
3 10.5 3
rataan 10.83 3.17
60
Lampiran 9. Perhitungan kekuatan tekan pupuk SP-36
Gambar 60. Sketsa perhitungan tegangan geser pupuk pada SP-36
Dari hasil percobaan menggunakan prinsip sketsa diatas dengan L1 sebesar 71 mm dan
L2 15.5 mm didapatkan gaya maksimum (F1) sebesar 1.123 kg atau 11.01 N dengan diameter
pupuk 9.2 mm. Untuk mendapatkan F2 atau kekuatan geser pada butiran pupuk dapat
menggunakan persamaan (14).
F2 L2=F1 L1 (14)
di mana :
F1 : gaya tekan pada timbangan (kg),
F2 : gaya geser pupuk (kg),
L1 : jarak 1 dari pusat momen (mm),
L2 : jarak 2 dari pusat momen (mm).
Dari hasil perhitungan, F2 didapatkan sebesar 5.14 kg. Dengan demikian gaya
maksimum yang dibutuhkan rotor dalam keadaan macet atau tersangkut pupuk sebesar 5.14
kg atau 50.42 N.
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71