Upload
leobudiman
View
3.272
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
PANCASILA MENURUT SOEKARNO (ANALISIS HERMENEUTIKA DILTHEY PADA PIDATO
“LAHIRNYA PANCASILA” I JUNI 1945)
SKRIPSI
Nama : Leo Budiman NIM : 0541500450
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Peminatan : Public Relations
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS BUDI LUHUR
JAKARTA 2010
PANCASILA MENURUT SOEKARNO (ANALISIS HERMENEUTIKA DILTHEY PADA PIDATO
“LAHIRNYA PANCASILA” I JUNI 1945)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I.Kom)
Nama : Leo Budiman NIM : 0541500450
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Peminatan : Public Relations
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS BUDI LUHUR
JAKARTA 2010
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Setelah dilakukan bimbingan, maka skripsi dengan judul ” PANCASILA MENURUT SOEKARNO (ANALISIS HERMENEUTIKA DILTHEY PAD A PIDATO “LAHIRNYA PANCASILA” I JUNI 1945) yang diajukan oleh Leo Budiman-0541500450 disetujui dan siap untuk dipertanggungjawabkan di hadapan penguji pada saat sidang skripsi strata satu (S-1), program studi komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur. Dosen Pembimbing (Liza Dwi Ratna Dewi, M.Si)
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Budi Luhur Jakarta, guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) program studi ilmu komunikasi.
Jakarta, Desember 2010
Tim Penguji :
1. Rusmulyadi, M.Si (.................................)
2. Murdiani, M.Si (.................................)
3. Liza Dwi Ratna Dewi, M.Si (.................................)
Ketua Program Studi
Ilmu Komunikasi
(Bambang Pujiyono, S.Sos, MM., M.Si.)
iv
v
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip, maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Leo budiman
NIM : 0541500450
Tanda Tangan : ......................
Tanggal : 17 Desember 2010
v Universitas Budi Luhur
ABSTRAK
Nama : Leo Budiman NIM : 0541500450 Jurusan : Ilmu Komunikasi Bidang Konsentrasi : Public Relations Jumlah Halaman : xi + 70 halaman Jumlah Literatur : 27 Buku, 2 Jurnal dan sumber dari situs internet Judul : Pancasila Menurut Soekarno
(Analisis Hermeneutika Dilthey pada Pidato “Lahirnya Pancasila” 1 Juni 1945)
Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia telah mengalir di dalam
darah Bangsa Indonesia sejak dulu kala karena memang berasal dari kebudayaan bangsa ini. Namun sayangnya, Pancasila yang pertama kali diutarakan oleh Ir. Soekarno pada rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang merupakan hasil penggalian kembali dari budaya dan nilai-nilai bangsa, mengalami pergeseran makna pada masa Orde Baru. Proses pendoktrinan Pancasila pada masa Orde Baru menjadikan keseragaman pemahaman yang sesungguhnya justru berbeda dengan apa yang dimaksudkan Ir. Soekarno saat menawarkan konsep Pancasila kepada peserta rapat BPUPKI.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru, banyak tokoh masyarakat yang menafsirkan Pancasila berbeda-beda dan menawarkannya kembali kepada masyarakat untuk mendapatkan dukungan dalam panggung politik. Lalu Bagaimana interpretasi Ir. Soekarno Mengenai Sistem Demokrasi Pancasila di dalam Pidatonya pada Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945? Hal inilah yang ingin dicari tahu oleh peneliti. Penelitian ini bermaksud untuk memahami konsep Pancasila yang sesungguhnya seperti yang diinginkan oleh Ir. Soekarno.
Penelitian ini menggunakan metode Hermeneutika Dilthey dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan tujuan dari penelitian. Metode Hermeneutika Dilthey memahami teks dengan menggunakan autobiografi dari komunikator agar mendapatkan pandangan yang sesubjektif mungkin dari komunikator.
Kesimpulan yang peneliti dapatkan dalam penelitian ini adalah bahwa konsep Pancasila yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno merupakan hasil penggaliannya terhadap kebudayaan Bangsa Indonesia sejak masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Konsep Pancasila yang ditawarkan Ir. Soekarno dapat kita pahami dengan menyelami autobiografi Ir. Soekarno dan menganalisisnya dengan menggunakan metode Hermeneutika Dilthey.
vi Universitas Budi Luhur
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera,
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya, lalu kepada
orang tua dan seluruh keluarga saya, yang telah memberikan segalanya dalam
kehidupan ini, sehingga saya bisa menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
”Pancasila Menurut Soekarno (Analisis Hermeneutika Dilthey Pada Pidato
“Lahirnya Pancasila” 1 Juni 1945)”. Penulisan skripsi ini adalah untuk
memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kesarjanaan Strata (S-1) pada program
studi ilmu komunikasi.
Dalam penulisan skripsi ini, saya telah banyak mendapatkan
bimbingan, bantuan serta dorongan baik berupa moril maupun materil dari
berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Liza Dwi Ratna Dewi, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur Jakarta dan Dosen Pembimbing dalam penelitian
ini. Terima kasih ibu atas kesabarannya selama membimbing saya dalam
penelitian ini.
2. Bambang Pujiyono, S.Sos, MM., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Budi Luhur Jakarta. Terima kasih atas
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyusun skripsi ini
walaupun telah memakan waktu yang terlalu lama.
vii Universitas Budi Luhur
3. Ibu Nawiroh Vera dan ibu Riyodina G. Pratikto dan seluruh dosen serta
staf sekretariat FIKOM Univesitas Budi Luhur yang berbaik hati
menyemangati, membuka wacana, dan bimbingan kepada saya selama ini.
4. Keluarga besar KM Universitas Budi Luhur yang selalu bersedia menjadi
teman diskusi dan mengingatkan serta menyemangati saya selama
penyusunan skripsi ini.
5. Ketiga kakak penulis yang dengan senantiasa bersabar mengingatkan
penulis untuk menyelesaikan kuliah secepatnya.
6. Khusus kepada Irwansyah Nuzar, Parlin Siagian, Helsusandra Syam, Tina
Dornauli dan seluruh keluarga KM Jakarta yang telah membuka wacana
saya tentang Pancasila.
7. Rekan-rekan organisasi Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia
(IMIKI) dan Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) yang telah
memberikan pengalaman dan pemahaman kepada saya selama ini.
8. Kepada Lisa Andriyani yang telah menjadi pasangan yang setia
menyemangati dan mengerti dengan sabar sifat dan karakter saya.
9. Terakhir kepada semua teman-teman dan pihak yang telah disebutkan
maupun yang tidak disebutk an, terima kasih banyak atas pengertian dan
dukungan kalian selama ini.
Penulis merasa bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak kekurangan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya pengetahuan
penulis. Namun, hal ini bukanlah penghalang bagi penulis untuk berusaha
menyempurnakan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan penuh
viii Universitas Budi Luhur
kerendahan hati penulis akan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
agar segala langkah yang akan datang dapat lebih baik.
Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, bagi pihak Universitas Budi Luhur maupun Fakultas Ilmu Komunikasi
(FIKOM). Penulis juga berharap agar penulisan skripsi ini berguna sebagai acuan
dan masukan bagi pembacanya.
ix Universitas Budi Luhur
DAFTAR ISI Lembar Persetujuan ............................................................................................... ii
Lembar Pengesahan............................................................................................... iii
Lembar Pernyataan Orisinalitas.……...…………………………………………. iv
Abstraksi ................................................................................................................ v
Kata Pengantar ...................................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................................... ix
Daftar Gambar ....................................................................................................... xi
Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
1.2. Permasalahan ……........................................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian …...................................................................................... 6
1.5. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 7
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1. Kajian Teori ………….................................................................................... 9
2.1.1. Komunikasi ……………….......................................................................... 9
2.1.2. Retorika ……….......................................................................................... 12
2.1.3. Demokrasi ….............................................................................................. 15
2.1.4. Hermeneutik................................................................................................ 17
2.2. Tinjauan Penelitian......................................................................................... 22
2.3. Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 27
Bab III Metodologi Penelitian
x Universitas Budi Luhur
3.1. Paradigma Penelitian ..................................................................................... 29
3.2. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 31
3.3. Metode Penelitian .......................................................................................... 32
3.4. Objek Penelitian ............................................................................................ 33
3.5. Sumber Data ……………………………………………..………………... 33
3.6. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 34
3.7. Teknik Analisis Data ..................................................................................... 35
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1. Hasil Penelitian …......................................................................................... 38
4.1.1 Sejarah Indonesia ………............................................................................ 38
4.1.2 BPUPKI dan Rapat BPUPKI ….................................................................. 42
4.1.3 Ir. Soekarno …………………………………............................................. 45
4.2. Pembahasan ……………………................................................................... 49
4.2.1. Analisis Dasar Pertama ......……………………………………………… 51
4.2.2. Analisis Dasar Kedua …………………………………………………… 57
4.2.3. Analisis Dasar Ketiga …………………………………………………… 60
4.2.4. Analisis Dasar Keempat ………………………………………………… 63
4.2.5. Analisis Dasar Kelima ……………….………………………………….. 67
Bab V Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan .................................................................................................. 70
5.2. Saran ............................................................................................................ 71
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
xi Universitas Budi Luhur
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................. 28
2. Gambar 4.1 Hasil Keputusan Kongres Pemuda ............................................ 40
1 Universitas Budi Luhur
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia, sebagai mahluk sosial dan mahluk individu, memiliki kebutuhan
untuk hidup bersama dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu,
manusia cenderung hidup berkelompok. Salah satu bentuk pengelompokkan
manusia di dunia adalah bangsa. Manusia di dunia terbagi ke dalam bangsa-
bangsa dimana dia lahir dan membawa nilai-nilai yang dipercaya atau dianut oleh
bangsa tersebut. Bangsa menurut Ernest Renan (1968)1 adalah sekelompok
manusia yang telah mengalami pengalaman historis bersama dalam waktu yang
cukup lama. Setiap bangsa memiliki nilai-nilai yang dipegang dalam menjalani
kehidupan sehari-hari selama berabad-abad. Hal ini termasuk bagaimana seorang
individu memandang individu lain baik di dalam bangsanya ataupun di dalam
bangsa lain, juga termasuk didalamnya bagaimana bangsa tersebut memandang
alam disekitarnya. Nilai-nilai inilah yang disebut juga Philosofisch grondslag2.
Philosofisch grondslag lahir dari proses pemikiran yang mendalam sebagai upaya
manusia memahami kodratnya berada di dunia ini, yang tentu saja setiap bangsa
memiliki Philosofisch grondslag yang berbeda tergantung pada keadaan yang
dialami oleh bangsa tersebut dalam lahir dan berkembang di dunia ini.
1 Ernest Renan adalah seorang pujangga besar berkebangsaan Perancis. Penjelasan mengenai bangsa disampaikan oleh Ernest Renan dengan judul : “Qu’est ce qu’une nation ?” di Universitas Sorbonne (Paris) pada 11 Maret 1882 yang disalin kembali kedalam Bahasa Indonesia oleh Prof. Sunario S.H 2 Philosaofiche Grondslag (Bahasa Belanda) atau disebut juga Weltanschauung (Jerman) yang berarti dasar pemikiran, fondasi, dasar falsafah, jiwa, pikiran dan hasrat yang sedalam-dalamnya.
2
Universitas Budi Luhur
Bangsa Indonesia, yang dalam sejaranya, pernah mengalami masa
keemasan lama sebelum para penjajah datang bersama VOC. Tercatat dalam
sejarah Bangsa Indonesia, yang menempati wilayah nusantara, pernah ada paling
tidak dua kerajaan besar disamping ratusan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.
Terdapat ribuan raja besar yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit termasuk kerajaan yang memiliki wilayah yang
terluas, luas wilayah Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Pulau Sumatera dan
sekitarnya sampai dengan wilayah Malaysia dan Filiphina. Sedangkan Wilayah
Kerajaan Majapahit berpusat di Pulau Jawa sampai dengan pantai barat Afrika.
Nusantara pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit memiliki wilayah
kekuasaan yang sangat luas hingga meliputi dari kepulauan Nusantara sampai ke
Madagaskar pantai Afrika Timur. Seperti Romawi dan Yunani, bangsa Indonesia
saat itu telah memiliki Philosofisch grondslag sendiri yang merupakan hasil
pemikiran mendalam dari para Empu (filsuf) yang ada. Philosofisch grondslag ini
pertama kali dikemukakan Empu Prapanca dengan sebutan Pancasila yang
disebutkan dalam karya sastra Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara
Krtagama3. Kemudian seiring dengan berjalannya sejarah bangsa Indonesia yang
jatuh dan bangkit serta terjajah oleh bangsa lain selama berabad-abad,
Philosofisch grondslag ini (Pancasila) digali dan diperkenalkan lagi oleh Ir.
3 Di dalam kitab diceritakan tentang masa kejayaan majapahit yang dipimpin oleh raja Hayam Wuruk dan dapat memiliki wilayah yang luas berkat patih Gajah mada. Selain itu, diceritakan pula sejarah raja-raja majapahit dan penyebab kejayaan majapahit di bawah pimpinan hayam wuruk yang bijaksana.nilai-nilai yang dirumuskan oleh empu prapanca diteruskan secara turun temurun melalui cerita-cerita rakyat yang sering ditampilkan sebagai hiburan rakyat melalui cerita wayang
3
Universitas Budi Luhur
Soekarno pada Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik
Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945.
Pancasila dari kelahirannya kembali dalam Rapat BPUPKI tersebut
mampu merasuk ke dalam jiwa Bangsa Indonesia karena bukan merupakan hal
yang baru bagi Bangsa Indonesia. Pancasila juga mampu bersaing dan bertahan
dari besarnya pengaruh dari dua Philosofisch grondslag yang ada di dunia saat itu
dan Indonesia pada saat Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
mampu bertahan dari derasnya tekanan bangsa-bangsa lain yang menganut
Kapitalisme dan Sosialisme yang pada saat itu sedang bersaing menanamkan
pengaruh pada negara-negara yang ada di dunia dengan porosnya negara-negara
Eropa Barat dan Amerika untuk Kapitalisme serta Uni Soviet dan China untuk
Sosialisme.
Pancasila, sebagai sebuah pesan yang disampaikan dengan tehnik retorika
yang disampaikan oleh Ir. Soekarno pada rapat BPUPKI tersebut, menjadi sebuah
jawaban bagi upaya untuk mempersatukan Bangsa Indonesia yang terpecah belah
karena politik devide et impera (adu domba) yang dijalankan oleh para penjajah
untuk memecah belah bangsa Indonesia. Negara dan Bangsa Indonesia yang pada
saat itu sudah sangat merindukan kemerdekaan setelah lebih dari 350 tahun
dijajah bangsa lain masih memiliki pertanyaan besar yang harus dijawab para
pemimpin bangsa, yaitu mengenai Dasar Negara Indonesia setelah merdeka, dasar
negara dan bangsa yang bersatu dan merdeka. Dalam pidatonya, Ir. Soekarno
menyampaikan penjelasan yang sangat mendalam mengenai kebutuhan dan
4
Universitas Budi Luhur
tantangan yang akan dihadapi oleh Bangsa Indonesia setelah merdeka, dan Ir.
Soekarno juga menjelaskan bagaimana Pancasila menjadi jawaban atas segala
kebutuhan dan tantangan tersebut.
Dalam pidato tersebut juga dijelaskan bentuk demokrasi yang sesuai
dengan Bangsa Indonesia. Bukan Demokrasi Liberal, juga bukan Demokrasi
Sosialis-Komunis tapi melainkan Demokrasi Pancasila yang berasal dari nilai-
nilai Bangsa Indonesia. Pada saat itu, para tokoh perjuangan yang mewakili
kelompok-kelompoknya4 bangsa percaya dan yakin bahwa Pancasila merupakan
jalan yang paling tepat untuk Bangsa Indonesia sehingga kemudian Pancasila
ditetapkan sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Penjelasan lebih rinci
mengenai Pancasila diperjelas lagi oleh Ir. Soekarno pada buku Pancasila Sebagai
Dasar Negara yang ditulis dari kumpulan kuliah umum yang diberikan oleh Ir.
Soekarno pada tahun 1958 sampai tahun 1959.
Namun pada pelaksanaannya selama perjalanan Bangsa Indonesia
Merdeka, Pancasila yang dipercaya sebagai dasar pendirian Bangsa tidak
dijalankan dengan benar. Hal ini disebabkan oleh terjadinya beberapa kali proses
penyeragaman pemahaman tentang Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah
sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada masa Orde Lama, proses indoktrinasi
(penyeragaman pemahaman) terhadap Pancasila dilakukan oleh Ir. Soekarno
melalui kuliah umum-kuliah umum yang diadakan di beberapa universitas besar
4 Rapat BPUPKI tanggal 1 juni 1945 dihadiri oleh tokoh-tokoh besar dari kelompok-kelompok social yang ada di Indonesia saat itu, setidaknya terdapat Soetardjo, Dr. Soekiman, Ki Bagoes Hadikoesomo, M. Yamin, Ki Hajar Dewantara, Sanoesi, Abi Koesno, Lim Koen Hian, dan perwakilan dari kerajaan-kerajaan yang ada.
5
Universitas Budi Luhur
di tanah air. Selanjutnya pada masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto
sebagai presiden, proses indoktrinasi dilakukan melalui suatu sistem pendidikan
yang kita kenal dengan sebutan P4 (Pendidikan Pelatihan Pengamalan Pancasila)
yang diadakan dengan satu tujuan politis yaitu desoekarnoisasi (penghancuran
citra Soekarno di masyarakat). Pancasila sebagai sebuah dasar negara dan sebagai
sebuah pesan, memberikan ruang interpretasi yang sangat luas bagi siapa saja
untuk menafsirkannya, terutama bagi pemerintah yang memegang kekuasaan. Hal
ini menyebabkan interpretasi dan pemahaman tengtang Pancasila yang sesuai
dengan apa yang dimaksudkan oleh komunikatornya semakin bias.
Pancasila yang disampaikan sebagai sebuah pesan dalam retorika yang
dikomunikasikan oleh Ir. Soekarno pada Rapat BPUPKI tersebut telah sejak lama
dipikirkan olehnya. Pesan tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh perjalanan
hidup dan nilai-nilai yang dipercaya oleh Ir. Soekarno sebagai komunikatornya,
oleh karena itu untuk dapat memahami dengan benar Pancasila dan untuk dapat
menjalankannya dengan tepat di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka
sebaiknya kita memahami arti Pancasila dari sudut pandang Ir. Soekarno sebagai
komunikator dalam proses komunikasi tersebut.
1.2. Permasalahan
Melihat latar belakang yang peneliti buat, maka peneliti mengangkat
rumusan permasalahan di penelitian ini adalah: Bagaimana Interpretasi Ir.
Soekarno mengenai Pancasila di komunikasikan melalui Pidatonya dalam rapat
BPUPKI 1 Juni 1945?
6
Universitas Budi Luhur
1.3. Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan yang peneliti kemukakan di atas, maka tujuan
dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari interpretasi Pancasila yang
dimaksudkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada Rapat BPUPKI 1 Juni
1945.
1.4. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
Ilmu Komunikasi khususnya dalam bidang Fenomenologi Komunikasi. Dalam hal
ini memberikan pemahaman tentang Pancasila yang dipresentasikan oleh Ir.
Soekarno melalui retorikanya tanggal 1 Juni 1945 pada Rapat BPUPKI.
2) Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap wawasan ilmu dan
pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi pada umumnya dan pengetahuan dalam
bidang Hermeneutika Komunikasi pada khususnya. Terutama dalam aplikasinya
terhadap proses interpretasi dan pemahaman terhadap teks sebagai pesan yang
disampaikan pada komunikasi publik, maupun aplikasinya secara pribadi. Serta
untuk menggali dan mengenalkan kembali nilai-nilai luhur bangsa yang terdapat
di dalam Pancasila kepada masyarakat luas khususnya kaum muda intelektual
yang menjadi penentu perubahan dan kemajuan bangsa ini.
7
Universitas Budi Luhur
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini mempunyai tujuan memberikan gambaran
kepada pembaca mengenai uraian yang akan dibahas, sehingga pembaca akan
mudah memahami isi dari karya tulis ini. Penulisan karya tulis ini terdiri dari lima
bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini peneliti menjelaskan secara singkat mengenai
latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan
penelitian.
BAB II : KERANGKA TEORI
Dalam bab ini peneliti menjabarkan teori-teori yang digunakan
sebagai landasan berfikir untuk memahami permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini peneliti menjelaskan tentang Paradigma
Penelitian, Pendekatan Penelitian, Metode Penelitian, Objek
Penelitian, Sumber Data, Teknik Pemilihan Informan, Teknik
Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data.
8
Universitas Budi Luhur
BAB IV : PEMBAHASAN
Dalam bab ini peneliti menjelaskan hasil penelitian
berdasarkan data yang diperoleh serta pembahasan hasil
analisis penelitian.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran–saran
yang diberikan peneliti untuk dijadikan sebagai bahan
masukan.
9 Universitas Budi Luhur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Mengacu pada pokok permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya,
peneliti menggunakan beberapa tinjauan pustaka sebagai landasan pemikiran
dalam melakukan penelitian sebagai berikut:
2.1.1 Komunikasi
Komunikasi dapat diartikan oleh J. B Wahyudi (1986:19) sebagai:
Proses komunikasi yaitu bila seseorang atau kelompok melempar lambang atau ide yang ditunjukkan kepada orang lain atau kelompok lain, dengan tujuan agar terjadi persamaan pendapat diantara yang terlibat komunikasi, di dalam mengartikan lambang atau ide itu. Komunikasi ini dapat dilakukan secara langsung dengan atau tanpa media, dan dapat pula berlangsung secara rutin tetapi dapat pula secara tidak rutin.
Bernard Berelson dan Gary Steiner menyatakan bahwa komunikasi
adalah “Transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya
dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik dan
sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut
dengan komunikasi.”(dalam Mulyana, 2000:54)
Menurut Everret M. Rogers dan D. Lawrence Kincaid, komunikasi
adalah “Suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau
melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya
terjadi pengertian yang mendalam.”(Cangara, 2005:19)
10
Universitas Budi Luhur
Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi. Dia
berkata “Komunikasi merupakan: (1) transmisi informasi; (2) transmisi
pengertian; yang (3) menggunakan simbol-simbol yang sama. Jadi, kalau satu
komponen kurang maka komunikasi tidak akan terjadi.”(Liliweri, 2007:7)
Komunikasi memiliki beberapa tipe atau bentuk yang telah di
kelompok-kelompokan oleh para pakar. Pengelompokan tersebut berdasarkan
pada sudut pandang masing-masing pakar menurut pengalaman dan bidang
studi para pakar, dan masing-masing pihak memiliki sumber yang cukup
beralasan.
Dengan memperhatikan pandangan para pakar, Hafid Cangara,
(2005:34) dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi membagi komunikasi
ke dalam empat tipe, yakni komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi
antarpribadi, komunikasi publik dan komunikasi massa.
Peneliti di sini hanya akan menjelaskan mengenai komunikasi publik
yang berhubungan dengan penelitian ini.
Komunikasi publik biasa disebut komunikasi pidato, komunikasi kolektif, komunikasi retorika, public speaking, dan komunikasi khalayak (audience communication). Apa pun namanya, komunikasi publik menunjukan suatu proses komunikasi di mana pesan-pesan disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan khalayak yang lebih besar. (Cangara, 2005:34)
11
Universitas Budi Luhur
Berdasarkan penjelasan mengenai komunikasi publik yang diutarakan
oleh Hafid Cangara, dapat disimpulkan bahwa komunikasi publik, pada
umumnya, ditemui dalam berbagai aktifitas seperti kuliah umum, khotbah,
rapat akbar, pengarahan, ceramah, dan sebagainya.
Lebih lanjut Hafid Cangara mengatakan,
Ada kalangan tertentu menilai bahwa komunikasi publik bisa digolongkan komunikasi massa bila melihat pesannya yang terbuka Tetapi terdapat beberapa kasus tertentu di mana pesan yang disampaikan itu terbatas pada segmen khalayak tertentu, misalnya pada rapat anggota, diskusi panel, seminar, dan pengarahan. Karena itu komunikasi publik dapat juga dikatakan sebagai komunikasi kelompok jika dilihat dari segi tempat dan situasi (Cangara, 2005:34)
Melihat dari keterbukaan pesan yang disampaikan dalam komunikasi
publik, maka hal ini dapat juga digolongkan ke dalam komunikasi massa,
namun pada beberapa keadaan, komunikasi publik tidak dapat dikategorikan
ke dalam komunikasi massa bila khalayaknya terbatas pada segmen tertentu.
Dari beberapa definisi dan penjelasan mengenai komunikasi publik
yang telah disampaikan, peneliti menyimpulkan, bahwa komunikasi adalah
proses antara dua orang atau lebih dalam melakukan transmisi informasi, ide,
atau gagasan melalui simbol-simbol yang dapat berupa bahasa, gambar,
grafik, figur, dan sebagainya, guna mencapai pengertian yang mendalam di
antara mereka, baik secara langsung atau pun menggunakan media perantara.
12
Universitas Budi Luhur
2.1.2 Retorika
“Craig membagi dunia komunikasi ke dalam tujuh tradisi pemikiran:
(1) Semiotik; (2) Fenomenologis; (3) Sibernetika; (4) Sosiopsikologis; (5)
Sosiokultural; (6) Kritis; (7) Retoris.”(Litlejohn, 2009:53)
Craig meletakkan retorika sebagai tradisi pemikiran dalam ilmu
komunikasi, namun Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai:
Someone who is always able to see what is persuasive. Correspondingly, rhetoric is defined as the ability to see what is possibly persuasive in every given case. This is not to say that the rhetorician will be able to convince under all circumstances. Rather he is in a situation similar to that of the physician: the latter has a complete grasp of his art only if he neglects nothing that might heal his patient, though he is not able to heal every patient. Similarly, the rhetorician has a complete grasp of his method, if he discovers the available means of persuasion, though he is not able to convince everybody.(www.plato.stanford.edu, 2002)
Jadi dapat dikatakan bahwa retorika adalah kemampuan untuk
berkomunikasi secara persuasif. Seorang retoris harus mampu memahami dan
menempatkan dirinya baik sebagai komunikator atau pun sebagai komunikan
untuk dapat menjadi persuasif sehingga dapat mempengaruhi lawan
bicaranya.
Retorika dalam perkembangannya, mengalami banyak perubahan
penggunaan yang mengakibatkan berubahnya definisi retorika mengikuti
penggunaannya dalam setiap periode sejarah peradaban manusia. Hal ini
disebabkan karena perbedaan penggunaan retorika pada setiap periodenya.
Oleh karena itu muncul keragaman dalam tradisi retorika antara lain : Periode
13
Universitas Budi Luhur
Klasik, Periode Pertengahan, Periode Renaissance, Periode Pencerahan,
Periode Kontemporer, dan Periode Post-Modern.
Saat ini, retorika sering mengalami penyempitan makna--kosong atau kata-kata ornamen yang berlawanan dengan tindakan. Kajian retorika secara umum didefinisikan sebagai simbol yang digunakan manusia. Pada awalnya ilmu ini berhubungan dengan persuasi, sehingga retorika adalah seni penyusunan argumen dan pembuatan naskah pidato. Kemudian, berkembang sampai meliputi proses “adjusting ideas to people and people to ideas” dalam segala jenis pesan.(Littlejohn, 2009:73)
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya Theories of
Human Communication (2009:74-76), menjelaskan Retorika dari sejarah
penggunaannya dari masa ke masa. Penulis merangkum penuturan sejarah
retorika sebagai berikut:
1. Retorika di zaman klasik (abad ke-5 sampai abad ke-1 sebelum masehi), didominasi oleh usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menyusun peraturan dari seni retorika. Instruksi retorika paling awal diajarkan oleh para guru-guru pengembara, Sophist, dengan mengajarkan seni berdebat di kedua sisi pada sebuah kasus.
2. Pada Zaman pertengahan (400-1400 Masehi) retorika berfokus pada permasalahan penyusunan dan gaya. Secara pragmatis, kegunaan retorika pada zaman pertengahan adalah untuk penulisan surat karena pada abad ini banyak keputusan yang dibuat secara pribadi dalam dekrit dan surat. Sedangkan permasalahan tentang gaya ditekankan dalam pengajaran mengadaptasi pelapisan, bahasa, dan format untuk audiensi khusus.
3. Pada Zaman Renaissance (1300-1600 Masehi) disokong oleh Zaman Pertengahan, memandang kembali retorika sebagai filosofi seni. Yang menjadi tren pada zaman ini adalah Rasionalisme, sehingga para pemikir seperti Rene Descartes mencoba untuk menentukan apa yang dapat diketahui secara absolut dan objektif oleh pikiran manusia. zada zaman ini pun, logika atau pengetahuan juga terpisah dari bahasa dan retorika hanya menjadi cara untuk menyampaikan kebenaran ketika kebenaran tersebut diketahui.
4. Zaman Pencerahan (1600-1800 Masehi), retorika dibatasi karena gayanya, sehingga memunculkan pergerakan belles lettres-yang arti harfiahnya surat-surat indah atau menarik. Dengan adanya ketertarikan dalam gaya, selera, dan estetika tidak mengherankan jika sebuah gerakan seni
14
Universitas Budi Luhur
deklamasi mengajarkan pelafalan serta sistem gerak tubuh dan gerakan pembicara juga muncul ke permukaan.
5. Retorika Kontemporer (beriringan pada abad ke-20), dimana abad ini pengaruh simbol-simbol meningkat sehingga retorika bergeser fokusnya dari pidato ke semua jenis penggunaan simbol. Dengan kata lain secara harfiah, tidak ada bentuk penggunaan simbol yang tidak dapat diteliti oleh para akademisi retorika. Selain itu, hal yang paling penting pada periode ini adalah adanya sebuah pemahaman mengenai retorika sebagai epistemika – sebagai sebuah cara untuk mengetahui dunia, bukan hanya sebuah cara untuk menyampaikan sesuatu tentang dunia.
6. Retorika post-modern (akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21). Retorika zaman ini mengistimewakan pendirian akan ras, kelas, gender, dan seksualitas ketika mereka masuk ke dalam pengalaman kehidupan khusus seseorang daripada mencari teori-teori yang luas dan penjelasan-penjelasan mengenai retorika.
Berdasarkan kutipan penggunaan retorika dalam beberapa periode
sejarah, dapat disimpulkan bahwa secara umum retorika ialah seni
manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan
menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar
melalui pidato.
“Selanjutnya, retorika jauh berbeda dengan tanpa arti, kosong, atau
pembicaraan ornamental. Hal ini merupakan seni dasar dan praktik
komunikasi manusia.” (Littlejohn, 2009:76)
Dari kutipan di atas, maka dalam keberagaman konteks komunikasi
yang ada, tradisi retorika tidak memiliki bagian tersendiri karena teori-teori
retorika banyak yang tercakup dalam tradisi lain yang sesuai. Dengan ini, ada
perbedaan antara retorika klasik dan praktek kontemporer dari retorika yang
termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
15
Universitas Budi Luhur
Berdasarkan pada penjelasan yang telah disampaikan, peneliti menarik
kesimpulan bahwa retorika adalah seni berbicara secara manipulatif atau
teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan
lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato,
dengan tujuan membuat orang lain memiliki pandangan dan pemikiran yang
sama dengan kita sehingga bertindak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Untuk itu, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam
merumuskan nilai, kepercayaan dan pengharapan mereka. Retorika dapat
dilakukan pada komunikasi kelompok dan juga komunikasi antarpribadi
melalui komunikasi langsung ataupun menggunakan media.
2.1.3 Demokrasi
Demokrasi, sebuah kosakata politik yang begitu sering digunakan dan
diperdengarkan dalam wacana sosial politik kenegaraan. Demokrasi yang
dijalankan oleh negara-negara di dunia sangatlah beragam jenisnya, ada
demokrasi liberal, demokrasi sosialis, demokrasi komunis, demokrasi rakyat,
demokrasi terpimpin, dan lain sebagainya.
“Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata yang berasal dari
bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat
dan “creatain” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan
rakyat.”(www.hminews.com) Dengan bahasa lain demokrasi adalah
pemerintahan rakyat: pemerintahan yang diikuti oleh rakyat secara suka rela
dan bukan karena takut atau paksa.
16
Universitas Budi Luhur
Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority). Dalam demokrasi kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyats. Ada 4 jenis kebebasan yang dianut: (1) kebebasan beragama (freedom of religion), (2) kebebasan berpendapat (freedom of speech), (3) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan (4) kebebasan berperilaku (personal freedom).(www.hminews.com)
Demokrasi dalam konteks kontemporer, Harris Soche, “Demokrasi
adalah pemerintahan rakyat karena itu kekuasaan melekat
pada rakyat.” (Elvani, 2007)
Dapat disimpulkan demokrasi mengakui kehendak rakyat sebagai
landasan bagi legitimasi dan kewenangan pemerintahan (kedaulatan rakyat)
dan kehendak itu akan dinyatakan dalam sebuah iklim politik yang terbuka
melalui pemilihan umum yang bebas dan berkala.
Sedangkan menurut C.F. Strong (seperti yang di kutip oleh Malkian
Elvani, 2007) , “Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana
mayoritas anggota dewan dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem
perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya
mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.”
Menurut Henry B. Mayo, system politik demokratis adalah
menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-
wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dan didasarkan atas kesamaan
politik dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. (Elvani, 2007)
17
Universitas Budi Luhur
International Commision for Jurist, merumuskan “Demokrasi adalah
suatu bentuk pemerintahan untuk membuat keputusan politik diseleng-
garakan oleh wakil wakil yang dipilih dan bertanggung jawab kepada mereka
melalui pemilihan yang bebas.” (Elvani, 2007)
Sedangkan, Samuel Huntington, “system politik sebagai demokratis
sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu
dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan semua orang dewasa
mempunyai hak yang sama memberikan suara.” (Elvani, 2007)
Maka dapat disimpulkan, Sistem Demokrasi adalah sistem
pemerintahan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang
sepenuhnya dan seutuhnya baik melalui sistem perwakilan ataupun secara
langsung. Sebuah sistem demokrasi bertujuan untuk mensejahterakan
rakyatnya.
2.1.4 Hermeneutik
Engkus Kuswarno (2008:25) dalam bukunya Etnografi Komunikasi
mengatakan “Hermeneutik adalah cabang filsafat yang menguji teori tentang
pemahaman dan penafsiran.” Selanjutnya, beliau juga mengatakan “Sebuah
proses dipandang sebagai sesuatu yang sirkuler, jadi orang hanya dapat
memahami sesuatu dalam kaitannya dengan bagian-bagiannya. Namun
bagian-bagian tersebut juga hanya dapat dipahami dari keseluruhannya.”
18
Universitas Budi Luhur
“Secara etimologis, Hermeneutik berasal dari kata Yunani
Hermeneuein yang berarti menafsirkan, kata bendanya Hermenia dapat
diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.”(Steve JM, 2008:3)
Dalam mitologi Yunani, kata hermeneutik sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata Hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.(Saidi, 2008)
Ada banyak tokoh dalam Hermeneutika. Sebut saja, misalnya,
Friedrich Ernst Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans
George Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur. Peneliti tidak akan
menjelaskan pemikiran Hermeneutik semua tokoh tersebut. Dalam penulisan
penelitian ini, penjelasan Hermeneutika yang akan disarikan adalah yang
dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey.
2.1.4.1 Hermeneutik Wilhelm Dilthey
Wilhelm Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset
historisnya dalam bidang hermeneutik. “Ia berambisi menyusun dasar
epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang
memandang dunia sebagai wajah interior dan eksterior.” (Steve JM, 2008:8)
Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher dan kehidupan intelektualnya, tertanam pada kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan, serta kagum pada karya terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato. (Steve JM, 2008:8)
19
Universitas Budi Luhur
Pemikiran Dithey banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan
Schleiermacher. Dia memandang hidup dan kehidupan adalah “sebuah proses
yang sedang berlangsung, suatu entitas yang secara kodrat mengalir
(Bergson). Sejarah tidak dapat dipahami kecuali melalui teori-teori dan
sebaliknya teori juga tidak dapat dipahami kecuali melalui sejarah.” (Steve
JM, 2008:11)
Menurut Dilthey, “Hermenuetik sendiri pada dasarnya bersifat
menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah ‘berhenti pada
satu masa’ saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.” (Steve
JM, 2008:11)
Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam
tiga proses:
• Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.
• Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah.
• Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup.
Menurut Dilthey, “memahami berarti menggabungkan semua daya
pikiran kita dalam pengertian.” (Steve JM, 2008:11). Dapat dikatakan bahwa
dalam memahami kita mengikuti proses mulai dari sistem keseluruhan yang
kita terima dalam pengalamana hidup sehingga kita dapat mengerti, sampai
ke pemahaman tentang diri sendiri.
20
Universitas Budi Luhur
Proses pemahaman terdiri dari dua bagian; pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya dan kedua, rekosntruksi berbagai peristiwa. Tentang sistem penyebaban, Dilthey membagi menjadi dua jenis Kausalzusammenhang (nexus sebab dan akibat yang bersifat mekanis) dan Wirkungszusanmmenhang (sistem dinamis).
Pemikiran filsafat Dilthey dikenal dengan ’filsafat hidup’ karena ia
berupaya untuk menganalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat
mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kejiwaan orang
lain. Tugas hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori
pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari
oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
Interpretasi nampaknya niscaya berupa suatu proses yang melingkar,
yaitu setiap bagian dari suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap lewat
keseluruhannya, adapun sebaliknya keseluruhannya hanya dapat ditangkap
lewat bagian-bagiannya. Dengan demikian kita dihadapkan pada suatu
lingkaran logis. Lingkaran yang sama juga dijumpai manakala kita mencoba
memahami pengaruh-pengaruhnya yang dialami oleh pengarang atas suatu
karyanya. Kita dapat memahami situasi apa yang terdapat di benaknya hanya
jikalau kita telah mengetahui apa yang sudah dipikirkan. Lingkaran tersebut
secara logis berpautan, tidak terpecahkan, akan tetapi dalam praktek dapat
kita pecahkan setiap saat kita memahaminya.
Proses hermeneutika selanjutnya bahwa arti suatu karya dapat
terungkap secara lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang, dan arti
karya-karya lain tersebut dapat dibaca lewat hidup dan watak si pengarang.
Dari pengertian inilah dapat diperoleh suatu pemahaman keadaan-keadaannya
21
Universitas Budi Luhur
sewaktu dia masih hidup, kemudian dipahami tulisan-tulisannya sebagai
suatu kejadian dalam suatu proses sejarah budaya atau sejarah sosial yang
jauh melampaui dirinya dan merupakan suatu bagian besar kisah umat
manusia. (Kaelan, 1998: 190-193)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dilthey memperlakukan
teks tertulis dalam sebuah karya sastra di hadapannya sebagai sebuah objek
interpretasi. Ia melihat teks sebagai ekspresi dari si pengarang dan interpretasi
adalah sebuah upaya untuk memahami maksud dari pengarang tersebut. Ia
percaya bahwa dengan menyelami teks kita dapat menemukan intensi dari
pengarang tersebut, dan dapat ditemukan metode untuk menyelami teks
tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi makna
adalah hal yang mungkin dalam kehidupan kita. Bagi Dilthey, pemahaman
akan ungkapan orang lain mengikuti logika yang sama sebagaimana
seseorang memahami kegiatan dalam autobiografinya sendiri. Autobiografi
merupakan alat yang paling baik dalam memahami hidup dan kejadian dalam
hidup kita
Penjelasan Autobiografi menurut Dilthey:
Autobiography is the roots of all historical comprehension. Autobiography is all about understanding one’s self and the meaning of events in one’s own life. We understand how events and meanings are related in our own lives through reflection on our autobiographies. We understand why we did this or said that because we know the history that led up to those events and the consequences that arose as a result of them.
22
Universitas Budi Luhur
Autobiografi mencerminkan akar dari semua pemahaman sejarah. Autobiografi berkaitan dengan pemahaman diri seseorang dan makna berkaitan dengan hidup kita sendiri melalui refleksi atas autobiografi kita. Kita dapat mengerti mengapa kita melakukan sesuatu karena kita tahu dari sejarah yang menuntun kita pada kejadian-kejadian tersebut. (Radford, 2005:163)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi objek interpretasi
dalam penelitian ini adalah teks tertulis yang merupakan transkrip dari sebuah
pidato yang disampaikan dalam sebuah rapat. Untuk menerjemahkan dan
menginterpretasikan aspek-aspek tersebut, peneliti harus menginduksi
autobiografi si retoris. Jadi, kegunaan hermeneutik atau interpretasi dalam
penelitian ini adalah untuk memahami obyek dalam konteks ruang dan waktu
dimana obyek tersebut berada, terkait di dalamnya keseluruhan aspek kondisi
sosial, ekonomi, budaya, pandangan hidup maupun sejarahnya.
2.2 Tinjauan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti turut memberikan beberapa penelitian
pendahulu yang memiliki kesamaan baik metodologi, metode, teori, ataupun
objek penelitian. Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini antara
lain:
2.2.1 Konstruksi Argumentasi dalam Retorika Soekarno (Kasus: Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI)
Oleh Liza Dwi Ratna Dewi dalam Tesis S2 Universitas Indonesia tahun 2007
Di dalam penelitian ini, peneliti (Liza Dwi Ratna) meneliti dan
menjelaskan mengenai proses penyusunan bahasa dan kata-kata yang
digunakan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya di Rapat BPUPKI tanggal 1
23
Universitas Budi Luhur
Juni 1945. Peneliti beranggapan bahwa penyusunan bahasa dan kata-kata
yang disampaikan sebagai pesan oleh Ir. Soekarno saat itu dilakukan
dengan penuh pertimbangan dan maksud. Berdasarkan pada teori bahasa
Bakhtin, terdapat dua objek yang dituju oleh seorang komunikator dalam
mengeluarkan pesannya, objek yang nyata disebut addressee dan objek
yang abstrak adalah supperaddressee. Lebih jauh, peneliti menjelaskan
bahwa yang dimaksud addressee adalah orang yang dituju dari proses
komunikasi yang dilakukan (komunikan) sedangkan supperaddressee
adalah latar belakang komunikan seperti ideologi, pendidikan, paradigm,
nilai-nilai budaya, dll. yang mempengaruhi respon komunikan dalam
menerima dan menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam proses
komunikasi.
Peneliti mengambil pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945
sebagai penelitiannya karena Ir. Soekarno sangat terkenal dengan
kemampuannya dalam berpidato. Selain itu, peneliti juga berpendapat
bahwa pidato tanggal 1 Juni 1945 mempunyai isu yang dimainkan dengan
piawai oleh Ir. Soekarno karena pada saat itu sedang dilakukan
pembahasan mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka dan dihadiri oleh
tokoh-tokoh pemimpin pergerakkan kemerdekaan yang berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda.
Untuk memahami dan mencapai tujuan penelitian, peneliti
menggunakan paradigma konstruktivis yang memandang bahwa realitas
24
Universitas Budi Luhur
kehidupan sosial bukanlah realitas yang netral, tetapi hasil dari konstruksi.
Peneliti juga menggunakan pendekatan kualitatif yang memahami realitas
yang diteliti secara menyeluruh dan berfokus pada hubungan-hubungan
antara bagian-bagian yang terpisah. Selain itu peneliti juga menggunakan
metode Hermeneutika Wilhelm Dilthey yang mengatakan bahwa individu
membentuk ddan dibentuk oleh konteks budaya di mana dia hidup.
2.2.2 Kedai Tiga Nyonya Sebagai Representasi Budaya Peranakan Cina-
Jawa
Oleh Lisa Andriani dalam Skripsi S1 FIKOM Universitas Budi Luhur tahun 2009
Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu
dan saling mempengaruhi disebut akulturasi (acculturation). Salah satu
akibat dari proses akulturasi adalah hibriditas. Hibriditas budaya (budaya
peranakan) adalah budaya baru yang dihasilkan melalui proses perkawinan
silang dari dua jenis budaya yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat dan menggambarkan salah satu jenis hibriditas budaya di Indonesia,
yaitu budaya peranakan Cina-Jawa yang terwujud dalam Kedai Tiga
Nyonya.
Kedai Tiga Nyonya bisa dikatakan sebagai pemain kuliner pertama
di Jakarta yang merangkul makanan Cina peranakan. Dengan demikian,
yang dikaji dalam penelitian ini adalah “Kedai Tiga Nyonya Sebagai
Representasi Budaya Peranakan Cina-Jawa”.
25
Universitas Budi Luhur
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme yang
memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially
meaningful action melalui pengamatan langsung. Teori representasi yang
digunakan untuk menginterpretasikan data penelitian ini adalah
Hermeneutika Wilhelm Dilthey. Pendekatan dari penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif, karena secara umum digunakan untuk memperoleh
hasil penelitian yang bersifat deskriptif berupa kata-kata dari suatu objek
penelitian. Metodologi penelitian ini adalah metode etnografi, karena
metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan dan membangun hubungan
dari kategori-kategori dan data yang ditemukan. Selain itu, ciri khas
penelitian lapangan etnografi adalah bersifat holistik, integratif, thick
description, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan native’s point of
view.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kedai Tiga Nyonya
merepresentasikan budaya peranakan Cina-Jawa. Budaya peranakan Cina-
Jawa yang terwujud dalam Kedai Tiga Nyonya, ditampilkan dan diartikan
sesuai latar belakang atau riwayat hidup dari pemilik Kedai. Kedai Tiga
Nyonya selain menjadi bangunan secara utuh, juga berperan pada
pembentukan ruang-ruang sosial dan simbolik, sebuah “ruang” menjadi
cerminan dari perancang dan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pendek
kata, Kedai Tiga Nyonya menjadi cerminan budaya dari pemilik Kedai -
Paul B. Nio yaitu budaya Peranakan Cina-Jawa (Semarang).
26
Universitas Budi Luhur
2.2.3 Wacana feminism dalam Novel Ayu Manda (Studi Analisis
Hermeneutika)
Oleh Fitria Lestari dalam Skripsi S1 FIKOM Universitas Budi Luhur tahun 2010
Novel merupakan salah satu media massa cetak yang dapat member
banyak inspirasi bagi para pembacanya. Alur cerita dalam sebuah novel dapat
membentuk sebuah imajinasi dan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda
dari masing-masing pembaca. Oleh karena itu, teks bersifat polisemis, yaitu dapat
mengandung dan menimbulkan banyak makna. Dalam novel ini, diangkatnya
tema feminism membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian.
Permasalahan yang terdapat dalam novel ini berkaitan dengan feminism adalah
masalah poligami, posisi perempuan dalam budaya Bali, seperti dalam hal hokum
waris dan dalam struktur kasta, serta budaya patriarki dalam kaitannya dengan
ketidaksetaraan gender.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana wacana
feminism ditampilkan dalam novel Ayu Manda.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah hermeneutika dari Paul
Ricouer. Metode hermeneutika dilakukan melalui sebuah proses interpretasi untuk
mengetahui makna dari sebuah makna. Ada berbagai segi yang diperhatikan
dalam meneliti suatu teks yaitu dari segi bahasa, segi latar belakang penulis, segi
lingkungan teks, segi kaitan dengan teks lain, serta “dialog” dengan pembaca.
Dalam hermeneutika, pembaca secara sengaja dan hati-hati melakukan interpretasi
serta penafsiran tentang apa yang dibacanya, dalam hal ini teks novel Ayu Manda.
27
Universitas Budi Luhur
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu mengenai bagaimana masalah
poligami dalam perspektif dua orang tokoh perempuan dalam novel ini, yaitu
sebagai istri pertama dan istri kedua. Selain itu novel ini juga menggambarkan
bagaimana budaya patriarki telah melahirkan ketidakadilan gender terhadap
perempuan serta posisi perempuan dalam kebudayaan Bali yang direpresentasikan
lewat seorang tokoh utama dalam novel ini yaitu Ayu Manda.
Kesimpulan yang penulis buat berdasarkan hasil penelitian di atas adalah
tentang budaya patriarki yang sangat erat kaitannya dengan lahirnya sebuah
gerakan feminism. Patriarki dianggap sebagai sumber dimana perempuan
ditempatkan tidak sejajar dalam tatanan masyarakat. Kemudian saran yang dapat
penulis sampaikan adalah ditujukan kepada seluruh perempuan Indonesia agar
terus berjuang menunjukan eksistensi dirinya dengan semangat feminism.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada penjelasan landasan teori yang telah peneliti
jelaskan di atas, maka kerangka pemikiran peneliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
28
Universitas Budi Luhur
GAMBAR 2.1 KERANGKA PEMIKIRAN
Gambar 2.1 menunjukan bahwa penelitian ini akan menjelaskan
interpretasi dari Sistem Demokrasi Pancasila yang berdasarkan pada teks
retorika Ir. Soekarno pada Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Sistem Demokrasi
Pancasila yang sebenarnya menurut Ir. Soekarno dengan mendeskripsikan
dan menganalisis tanda-tanda verbal maupun non verbal dari naskah retorika
Ir. Soekarno pada rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Perspektif teori yang
digunakan untuk menginterpretasikan data yang diperoleh dalam penelitian
ini adalah teori interpretasi Hermeneutika Wilhelm Dilthey yakni dengan cara
menginduksi autobiografi Ir. Soekarno dan menganalisa teks retorika Ir.
Soekarno pada Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Konsep ide Pancasila Ir. Soekarno
Pada Rapat BPUPKI
(Tanggal 1 Juni 1945)
Hermeneutika Wilhelm Dilthey
Interpretasi Sistem Demokrasi Pancasila
38 Universitas Budi Luhur
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Sejarah Indonesia
Pra Kolonial
Bangsa Indonesia yang telah menetap di wilayah kepulauan
nusantara selama beribu-ribu tahun, hal ini ditandai dengan ditemukannya
fosil manusia tertua di dunia yang di kenal dengan sebutan paleo javanicus5,
mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi.
Bangsa Indonesia sejak dahulu telah memiliki sistem pemerintahan
dengan bukti adanya kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara. Kerajaan yang tertua adalah Kerajaan Kutai yang berada di Pulau
Kalimantan. Selain itu juga dikenal banyak kerajaan-kerajaan lainnya seperti
Singosari, Samudra Pasai, Sriwijaya, Mataram, Demak, Majapahit dan lain
sebagainya. Dua kerajaan yang memiliki wilayah kekuasaan terbesar adalah
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang juga dikenal dengan sebutan Kerajaan
Nusantara.
5 Berasal dari bahasa latin yang artinya Manusia Jawa
39
Universitas Budi Luhur
Kerajaan-kerajaan nusantara sangat membuka diri dengan bangsa
lain dalam semangat perdagangan. Banyak pedagang bangsa lain yang dating
dan kemudian menetap di wilayah nusantara seperti China, India, Arab, dan
Eropa.
Jaman Kolonial
Bangsa Asing yang pertama kali menjajah nusantara adalah
Belanda. Belanda atau lebih tepatnya VOC6 pertama kali datang ke Indonesia
pada abad ke 16 di Semenanjung Malaka. Setelah itu VOC langsung
memonopoli perdagangan dan menjajah Bangsa Indonesia selama kurang
lebih tiga setengah abad lamanya. VOC bangkrut pada abad ke 18, dan
setelah pemerintahan kolonial Inggris yang pendek, Belanda mengambil alih
kembali penjajahan atas Indonesia. Penjajahan Belanda atas Indoensia
berangsung dengan banyak pasang surut, dengan banyaknya perlawanan di
setiap daerah dan beberapa kali terjadi pergantian gubernur jendral.7
Kebangkitan Nasional
Bangsa Indonesia di bawah kolonialisme Belanda sangatlah
menderita. Terdapat banyak pembatasan yang diberlakukan oleh
pemerintahan kolonialisme. Salah satunya adalah pembatasan pendidikan
dimana hanya keturunan para raja dan priyai saja yang dapat memperoleh
6 VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) merupakan sebuah kamar dagang atau perusahaan pemerintah Belanda. Diberikan hak untuk memonopoli perdagangan dan aktivitas kolonial oleh parlemen Belanda pada tahun 1602. Bermarkas di Batavia yang sekarang bernama Jakarta 7 Gubernur Jendral adalah sebutan untuk pimpinan tertinggi pemerintah kolonial di daerah jajahannya yang merupakan perwakilan langsung dari Ratu Belanda.
40
Universitas Budi Luhur
pendidikan formal. Selain itu Bangsa Indonesia juga dilarang untuk berserikat
dan berkumpul. Namun pada tanggal 2 Mei 19088, berdiri serikat pertama
yang bernama Boedi Oetomo yang dideklarasikan oleh tiga orang yang
dikenal sebagai Tiga Serangkai. Organisasi Boedi Oetomo bergerak dalam
dunia pendidikan terutama untuk rakyat kecil yang tidak dapat masuk ke
dalam sekolah-sekolah buatan belanda.
Setelah itu, kejadian besar yang perlu disoroti dalam garis sejarah
Bangsa Indonesia adalah Kongres Pemuda9 yang menjadi tanda dari
persatuan perjuangan kemerdekaan di seluruh wilayah nusantara. Kongres
Pemuda ini lalu mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan Sumpah
Pemuda.
Gambar 4.1 Hasil Keputusan Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta.
8 Kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 9 Sumpah Pemuda, (28 Oktober 1928) deklarasi yang di gagas oleh para pemuda Indonesia untuk bersatu dalam perjuangan memerdekakan Bangsa Indoensia dari penjajahan. Di tandai dengan pembacaan sumpah untuk mengakui Tanah air, kebangsaan, dan Bahasa yang digunakan.
41
Universitas Budi Luhur
Selanjutnya perjuangan kemerdekaan berlangsung terus menerus
disetiap daerah dengan semangat yang baru, bukan lagi semangat kedaerah
melainkan semangat persatuan se Indonesia.
Pada tahun 1942, bangsa Jepang yang ingin menaklukan negara-
negara sekutu berhasil menghancurkan pangkalan militer Amerika di Pearl
Harbour. Kejayaan Bangsa Jepang saat itu sampai ke Indonesia dengan
memukul mundur Belanda dari Nusantara. Namun hal ini tidak menjadikan
Bangsa Indonesia merdeka melainkan mendapat penjajah baru yaitu Bangsa
Jepang. Pada awal penjajahannya, Bangsa Jepang begitu baik sehingga para
pejuang kemerdekaan menjadi kooperatif. Bangsa Jepang menjanjikan
kemerdekaan Bangsa Indonesia jika membantu peperangan melawan sekutu
pada perang dunia kedua. Pada tahun 1945 pemerintahan kolonial Jepang
membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. BPUPKI yang
hanya berumur beberapa bulan saja lalu digantikan oleh Panitia persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada pertengahan tahun 1945 Amerika membom atom kota
Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang menyerah tanpa syarat
ke[ada sekutu dan mengakhiri perang. Dengan kekalahan Jepang dari sekutu,
maka terjadi kekosongan pemerintahan kolonial di Indonesia, hal inilah yang
dimanfaatkan oleh para pemuda Indonesia untuk mendesak Ir. Soekarno dan
Mohammad Hatta yang pada saat itu merupakan tokoh sentral perjuangan
42
Universitas Budi Luhur
kemerdekaan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Para
pemuda menculik ke dua tokoh tersebut dan membawanya ke daerah Rengas
Dengklok dengan tujuan agar tidak mendapat pengaruh dari pihak-pihak yang
dapat menghalangi usaha kemerdekaan.
4.1.2 BPUPKI dan Rapat BPUPKI
Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan
tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia
membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji
kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana
Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus
terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji
kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan
tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar
Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura) No. 23.
Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk
selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat
dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
43
Universitas Budi Luhur
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan
mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 - 1 Juni 1945. Dalam
sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara
untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota
yang berbicara dan menyampaikan pandangannya mengenai pendirian Negara
Indonesia Merdeka namun kemudian pada tahun 1984, Lembaga Soekarno –
Hatta menerbitkan buku Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila, yang mengatakan bahwa hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 tidak
bisa dilepaskan dari Soekarno. Sebab Soekarno adalah satu-satunya orang
yang mengemukakan Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang
BPUPKI 29 Mei - 1 Juni 1945.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai
calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu: (1) Nasionalisme
(Kebangsaan Indonesia), (2) Internasionalisme (Perikemanusiaan), (3)
Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan yang
Berkebudayaan.
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih
lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas
menjadi Trisila, yaitu: 1. Sosio-nasionalisme, 2. Sosio-demokrasi, 3.
Ketuhanan. Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi
Ekasila yaitu Gotong Royong.
44
Universitas Budi Luhur
Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota
BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya
adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta
melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi
kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan
tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan
orang, yaitu Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasjim, Mr.
Muh. Yamin, M. Sutardjo Kartohadikusumo, Mr. A.A. Maramis, R. Otto
Iskandar Dinata, dan Drs. Muh. Hatta.
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia
Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang
dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik
Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul
Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Ahmad
Subardjo, dan Mr. Muh. Yamin.
Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal
itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah
Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam
Jakarta”. Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 Juli 1945, hasil yang
dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus.
Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
45
Universitas Budi Luhur
(PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia,
yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17
Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan
sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar
dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
4.1.3 Ir. Soekarno
Penjelasan tentang Ir. Soekarno pada sub bab ini merupakan
ringkasan peneliti dari berbagai sumber yang didapat seperti buku Soekarno
Penjambung Lidah Rakjat Indonesia tulisan Cindi Adams yang ditulis dari
hasil wawancaranya dengan Ir. Soekarno. Wawancara yang dilakukan
merupakan permintaan langsung dari Ir. Soekarno untuk menuliskan riwayat
hidupnya pada masa akhir hidup Soekarno. Selain buku tersebut ada pula
beberapa sumber lain yang digunakan oleh peneliti dengan upaya untuk
benar-benar dapat memahami alam pikiran Ir. Soekarno semasa ia hidup.
Ir. Soekarno lahir di Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 6 Juni 1901
dan wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Beliau adalah
Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia
memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda. Ia adalah menggali kembali Pancasila dari sari pati
46
Universitas Budi Luhur
Bangsa Indonesia. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama
dengan Mohammad Hatta yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno semenjak kecil sudah sangat cerdas dan mempunyai
kemampuan memimpin yang terbawa sejak lahir. Kedua orang tuanya sangat
percaya bahwa dia akan menjadi seorang pemimpin besar karena dilahirkan
pada saat fajar tiba. Sejak keccil ayahnya sudah merencanakan pendidikan
yang akan diberikan kepada Soekarno agar ia dapat menjadi orang besar.
Ayahnya menggunnakan haknya sebagai keturunan dari keluarga raja untuk
memasukan Soekarno ke sekolah untuk anak-anak Belanda, karena hanya
dari sekolah itulah Soekarno dapat melajutkan pendidikan formalnya sampai
ke perguruan tinggi seperti yang direncanakan oleh ayahnya.
Pekerjaan ayahnya sebagai seorang guru menjadikan Soekarno
sangat dekat dengan ruang pendidikan dan menganggap bahwa pendidikan
sangatlah penting untuk menjadi sukses dalam hidup. Hal ini mempengaruhi
Soekarno sehingga ia sangat gemar membaca dan mendengarkan orang
berdiskusi, ia juga sangat gemar belajar dan lebih meluangkan waktunya
semasa remaja untuk belajar.
Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya
bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa.
Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali. Ketika
kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada
47
Universitas Budi Luhur
usia 14 tahun, seorang kawan dari ayahnya yang bernama Oemar Said
Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke
Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat
Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para
pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu.
Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School
(sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung,
Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes
Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische
Partij10.
Semasa kecilnya, Soekarno sangat gemar dengan pertunjukan
wayang. Dengan tinggal bersama dengan kakeknya, Soekarno kecil sering
diajak untuk ikut menonton pertunjukan wayang. Soekarno kecil dengan
kecerdasannya dapat memahami inti dari cerita wayang yang ia tonton.
Di usia muda, Soekarno dititipkan kepada Tjokroaminoto yang saat
itu sangat aktif dalam Serikat Islam (SI). Soekarno mendapatkan pemahaman
tentang Islam yang lebih mendalam dari Tjokroaminoto dan teman-temannya
di SI. Selain mendapatkan pengetahuan tentang Islam, Soekarno juga
mendapatkan kemudahan dalam membaca buku-buku pengetahuan yang
dimiliki oleh Tjokroaminoto, terutama yang menjadi kesukaannya adalah
buku-buku tentang filsafat. 10 Partai Nasional Indonesia (Bahasa Belanda)
48
Universitas Budi Luhur
Selanjutnya Soekarno meneruskan sekolahnya di TBS di Bandung.
Di sana dia tinggal di rumah temannya Tjokroaminoto. Ketika bersekolah di
TBS, Soekarno memulai aktifitas pergerakan politiknya untuk menentang
penjajah. Ia mulai menulis artikel-artikel perlawanan, selain aktif dalam
kelompok-kelompok diskusi. Salah satu tulisannya yang terkenal berjudul
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang di muat dalam Suluh
Indonesia. Sedangkan kelompok diskusi yang ia buat berkembang menjadi
Partai Nasional Indonesia (PNI).
Karena aktifitas politiknya, Soekarno ditangkap dan diadili oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itulah Soekarno menyampaikan
pledoinya yang terkenal dengan judul Indonesia Menggugat di hadapan
hakim dari Belanda. Berdasarkan keputusan pengadilan, Soekarno pun di
penjara di rumah tahanan di Bandung. selain di penjara, Soekarno juga
beberapa kali diasingkan, namun semua hal itu tidak menurunkan semangat
Soekarno untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan.
Soekarno juga memimpin organisasi Putera pada masa penjajahan
Jepang. Hal ini karena janji Perdana Mentri Jepang yang akan memberikan
kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia di kemudian hari jika bersedia
membantu Jepang dalam perang. Namun pada saat Jepang mengalami
kekalahan perang, para pemuda Indonesia segera menemui dan
mengamankan Soekarno dan Hatta dengan membawa mereka ke Rengas
Dengklok. Di sana, para pemuda Indonesia mendesak Soekarno untuk segera
49
Universitas Budi Luhur
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya pada tanggal
17 Agustus 1945, Soekarno bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia dan tidak lama setelah itu mereka berdua di tetapkan sebagai
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama.
4.2 Pembahasan
Dalam penelitian ini, hasil penelitian dan pembahasan merupakan
hasil dari interpretasi yang penulis lakukan terhadap teks-teks dalam pidato Ir.
Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Ada beberapa alasan mengapa penulis memilih
teks-teks yang akan diteliti kemudian adalah yaitu pertama adalah karena teks
ini merupakan sebuah momen sejarah yang sangat penting karena dikenal
juga sebagai Kelahiran Pancasila. Kedua, pidato ini disampaikan dan menjadi
jawaban dalam rapat BPUPKI yang pada saat itu sedang membahas persoalan
bangsa mengenai Dasar Indonesia Merdeka.
Proses pemaknaan tersebut menggunakan metode hermeneutika
Wilhelm Dilthey. Berikut ini adalah hasil penelitian dan pembahasan untuk
mengetahui seperti apa pemahaman Pancasila yang dimaksud oleh Ir.
Soekarno.
Ir. Soekarno memberikan lima dasar yang disebut Pancasila untuk
menjadi Dasar Negara Indonesia Merdeka, kelima dasar itu adalah:
1. Kebangsaan,
2. Internasionalisme,
50
Universitas Budi Luhur
3. Musyawarah mufakat, perwakilan,
4. Keadilan sosial, dan
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Penjelasan makna kelima dasar di atas adalah sebagai berikut:
1. Nasionalisme, yang memiliki pemahaman bahwa perlu adanya
kecintaan Bangsa Indonesia terhadap tanah airnya yang meliputi
seluruh wilayah nusantara dari utara Pulau Sumatera sampai
selatan Pulau Irian dan rasa persatuan dengan memahami bahwa
semua suku di dalamnya merupakan satu bangsa yang sama yaitu
Bangsa Indonesia. Dasar ini di kemudian hari kita kenal sebagai
sila Persatuan Indonesia.
2. Peri Kemanusiaan atau Internasionalisme, dasar ini memiliki
pemahaman bahwa perlu adanya perilaku menghargai bangsa lain
dan menghindari pemahaman yang meninggikan bangsa sendiri di
atas bangsa lain, memahami bahwasannya setiap bangsa setara
dan sejajar kedudukannya. Dasar ini kita kenal sebagai sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Permusyawaratan perwakilan, dasar ini dapat dipahami sebagai
demokrasi yang dalam mengambil keputusan lebih
mengedepankan musyawarah untuk mufakat dan dengan
persamaan hak untuk setiap golongan untuk memberikan
perwakilan-perwakilannya di lembaga parlemen yang ada. Dasar
51
Universitas Budi Luhur
ini kita kenal sebagai sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
4. Keadilan Sosial, dasar ini melengkapi dan menyempurnakan sistem
demokrasi Indonesia yang dapat dipahami bahwa demokrasi
Indonesia bukan hanya memberikan keadilan dalam politik tetapi
juga menjamin keadilan dalam ekonomi. Demokrasi yang
menjamin akan terciptanya kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia. Dasar ini kemudian kita kenal sebagai sila Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar ini dapat kita pahami bahwa
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, tetapi Tuhan
yang berkebudayaan. Ketuhanan yang saling menghargai
perbedaan pendapat dan keyakinan dalam semangat persatuan
Kebangsaan Indonesia. Ketuhanan yang saling menghormati dan
saling menghargai antar umat beragama.
4.2.1 Analisis Dasar Pertama
Di bawah ini merupakan teks yang memberikan gambaran
mengenai dasar pertama Pancasila yaitu dasar Kebangsaan yang di
maksudkan oleh Ir. Soekarno pada pidato di dalam rapat BPUPKI tanggal 1
Juni 1945:
52
Universitas Budi Luhur
… itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat11, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk�datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan Negara Indonesia…(Lahirnya Pancasila)
Dalam kutipan di atas, Ir. Soekarno menghendaki adanya rasa
Kebangsaan di antara seluruh rakyat Indonesia. Kebangsaan dalam arti yang
luas yaitu yang telah terjalin sejak masa leluhur kita. Lebih lanjut, Ir.
Soekarno mengatakan:
Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan�kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun – jikalau ia melihat peta dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau�pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pacific dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau�pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain�lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.(Lahirnya Pancasila)
Di sini disampaikan dan ditekankan bahwa kesatuan Bangsa
Indonesia dan merupakan tanah air Bangsa Indonesia sejak jaman leluhur
yang mencakup seluruh Kepulauan Nusantara, dari ujung utara Sumatera
sampai ujung selatan Irian, merupakan sebuah kesatuan yang telah
11 Nationale staat, berasal dari Bahasa Belanda yang artinya Negara Nasional
53
Universitas Budi Luhur
ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya perkataan di atas
diperkuat lagi dengan logika ilmiah dari ilmu Geopolitik melaui perkataan:
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia�lah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita!(Lahirnya Pancasila)
Penekanan selanjutnya untuk menegaskan maksud maksud di atas
disampaikan melaui kalimat:
Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia – bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble”12 di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia�manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau�pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!(Lahirnya Pancasila)
Perkataan selanjutnya yang menerangkan mengenai maksud dari
dasar kebangsaan yang diinginkan oleh Ir. Soekarno adalah:
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama�sama. Karena itu, jikalau Tuan�tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain�lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama�sama menjadi dasar satu nationale staat.(Lahirnya Pancasila)
12 le desir d’etre ensemble atau l’ame et le desir, bahasa Perancis yang berarti persatuan jiwa dan kehendak
54
Universitas Budi Luhur
Kalimat di atas menegaskan bahwa Negara Indonesia harus
dibangun bersama-sama oleh seluruh Bangsa Indonesia, bukan hanya
penduduk Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali atau pun suku bangsa lainnya
tetapi keseluruhan penduduk kepulauan nusantara seperti yang pernah
dibangun oleh leluhur bangsa pada masa Sriwijaya dan Majapahit.
Selanjutnya, untuk merangkul pula rakyat Indonesia yang merupakan
keturunan Tionghoa, pada rapat itu diwakili oleh Liem Koen Hian, Ir.
Soekarno menyampaikan:
Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun”. Itu terjadi pada tahun ’17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat�hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, � sampai masuk ke lobang kubur.(Lahirnya Pancasila)
Kutipan di atas dimaksudkan untuk merangkul rakyat Indonesia
keturunan Tionghoa yang sejak lama menjadi bagian dari Bangsa Indonesia.
Pada teks di atas juga menerangkan bahwa paham kebangsaan yang dimaksud
oleh Ir. Soekarno sama seperti yang dimaksudkan oleh Sun Yat Sen di dalam
55
Universitas Budi Luhur
prinsipnya yang terkenal sebagai San Min Chu I atau The Three People’s
Principles13.
Keseluruhan kutipan pidato di atas yang peneliti sajikan
menjelaskan dasar pertama dari Pancasila yaitu dasar Kebangsaan atau
Nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksud adalah rasa cinta, rasa memiliki,
serta rasa persatuan terhadap tanah air yang ada di hati seluruh rakyat
Indonesia dari utara Sumatera sampai selatan Irian. Bukan lagi terpisah-pisah
berdasarkan kerajaan-kerajaan atau suku-suku bangsa. Melainkan
keseluruhan kepulauan Nusantara seperti yang terjadi pada masa Sriwijaya
dan majapahit. Selain itu Ir. Soekarno juga menekankan perlunya dan
pentingnya rasa persatuan dan persamaan tanah air di antara setiap suku
bangsa dan golongan yang ada di Indonesia untuk membangun Negara
Indonesia Merdeka.
Metode analisa Hermeneutika Dilthey menggunakan autobiografi
komunikator sebagai dasar analisis, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan autobiografi Ir. Soekarno. Berikut ini adalah kutipan dari buku
autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams.
… Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, asalnja dari keturunan bangsawan. Radja Singaradja jang terachir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Djawa. Nama lengkapnja Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal~dari kieturunan Sultan Kediri ….
13 San Min Chu I atau The Three People’s Principles adalah tiga prinsip yang dibuat oleh Dr. Sun Yat Sen untuk membentuk Negara China yang demokratis (Taiwan). Berisi tiga pedoman yaitu Nasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme.
56
Universitas Budi Luhur
Kutipan berikutnya dari buku yang sama yang menguatkan
pandangannya mengenai dasar pertama ini adalah:
… Mengapa nasib kita tidak berobah djika rakjat kita telah berdjoang melawan sistim ini sedjak berabad-abad ?” “Karena pahlawan-pahlawan kita selalu berdjoang sendiri-sendiri. Masing-masing berperang dengan pengikut jang ketjil didaerah jang terbatas," Alimin mendjawab. “0., mereka kalah karena tidak bersatu," kataku …
Maka pendapat Ir. Soekarno mengenai dasar pertama ini dapat
dimengerti dengan mengingat bahwa dia merupakan anak dari perkawinan
campuran antara dua suku yang berbeda yaitu Suku Jawa dan Suku Bali.
Selain itu, jika kita ingat bahwa dia seringkali diasingkan ke pulau
terpencil oleh Pemerintah Kolonial, Ir. Soekarno selalu diterima dengan baik
oleh penduduk setempat tanpa memandang dari suku apa dia berasal. Lalu
dapat kita lihat juga melalui tulisannya yang berjudul Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme yang dia buat di atas keprihatinannya terhadap
keadaan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang pada saat itu terpecah belah
di dalam tiga golongan yaitu golongan nasionalis, islamis dan komunis. Ir.
Soekarno menginginkan persatuan di ketiga golongan karena ia berpendapat
bahwa hanya dengan bersatulah Indonesia merdeka dapat tercapai karena
dengan tidak adanya persatuan maka setiap perlawanan menjadi lemah dan
situasi itulah yang diinginkan oleh Penjajah agar Bangsa Indonesia tetap
terpecah belah.
57
Universitas Budi Luhur
4.2.2 Analisis Dasar Kedua
Dasar Kebangsaan yang dijadikan dasar pertama oleh Ir. Soekarno
memiliki kelemahan yang disadari olehnya, oleh karena itu Ir. Soekarno
menjadikan Internasionalisme atau Kemanusiaan sebagai dasar kedua untuk
mengimbangi dan menyempurnakan dasar yang pertama. Hal ini dijelaskan
dalam pidato yang sama, seperti yang dikutip oleh peneiti di bawah ini:
Saudara�saudara. Tetapi........ tetapi........... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme14, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles15". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!(Lahirnya Pancasila)
Selanjutnya Ir. Soekarno juga menambahkan penjelasan:
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar�kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan “Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru � bangsa Aria � yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain�lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan�tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.(Lahirnya Pancasila)
Dalam kutipan pidato di atas, Ir. Soekarno menjelaskan bahwa
sebagai sebuah bangsa kita tidak boleh memandang bangsa kita yang tertinggi
karena pada dasarnya semua bangsa terlahir sejajar dan setara, tidak ada yang
14 Chauvinisme berarti rasa cinta tanah air yang berlebihan 15 Berarti Indonesia berada di atas semua bangsa
58
Universitas Budi Luhur
lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Lalu ia memberikan penegasan
kembali dengan mengatakan:
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa�bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan�tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain�lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman�sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara�saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama�tama saya usulkan kepada tuan�tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.(Lahirnya Pancasila)
Kalimat-kalimat di atas sangat menegaskan bentuk kebangsaan
yang dimaksud pada dasar pertama dan bentuk paham kemanusiaan sebagai
dasar kedua yang diinginkan Ir. Soekarno sebagai dasar Negara Indonesia
Merdeka. Dia menginginkan Bangsa Indonesia yang nasionalis tapi tidak
berlebihan, dengan pengertian, tetap menganggap semua bangsa sejajar
martabatnya. Ir. Soekarno menginginkan Bangsa Indonesia tergabung dalam
kekeluargaan bangsa-bangsa di dunia untuk menjaga perdamaian dunia.
59
Universitas Budi Luhur
Jika kita memahami perjalanan hidupnya, dengan menganalisis
autobiografinya, maka dasar kedua ini dapat dimengerti dengan mudah.
Terutama jika kita melihat kecerdasan yang ditampilkan olehnya yang
mendapatkan pengakuan dari guru-gurunya seperti dalam kutipan yang
diambil dari autobiografinya berikut ini.
… Ditahun kedua kami disuruh menggambar kandang-andjing. Sementara jang lain masih mengukur-ukur dan menaksir-naksir dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang jang lengkap, didalamnja seekor andjing jang dirantai dan sepotong tulang. Guru perempuan kami memperlihatkan gambarku kepada seluruh kelas. Ia mengatakan, ,,Gambar ini begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut mendapat nilai jang setinggi mungkin." Tapi apakah aku memperoleh angka jang paling tinggi itu ? Tidak. Selalu orang kulitputih lebih pandai. Lebih tjerdas. Orang kulitputih lebih banjak tahu. Alat kolonial tidak akan berhasil, ketjuali djika ia memupuk keunggulan kulitputih terhadap sawomatang ….
… Salah-seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warnakulit. Baginja tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginja tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanja menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang. ,,Saja menghargai ketjakapanmu," katanja. ,,Dan saja tidak ingin ketjakapan ini tersia-sia. Engkau mempunjai pikiran jang kreatif. Djadi saja minta supaja engkau bekerdja dengan pemerintah ….
Ketika ia dititipkan untuk tinggal bersama dengan Tjokroaminoto
dan mendapatkan banyak pelajaran tentang kemanusiaan dalam sudut
pandang Islam yang memandang semua manusia adalah saudara, sesama
keturunan dari Nabi Adam AS, walaupun berbeda bangsa, bahasa, dan
agama. Seperti kutipan percakapan dengan Tjokroaminoto ketika makan
malam bersama, “… Tapi apakah baik untuk membentji seseorang sekalipun
60
Universitas Budi Luhur
ia orang Belanda ?" ,,Kita tidak membentji rakjatnja," dia memperbaiki,
,,Kita membentji sistim pemerintahan Kolonial ..."
Selain dari pandangan Islam, mengenai dasar kedua ini, Ir.
Soekarno juga terpengaruh oleh Mahatma Gandhi yang pernah mengatakan
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan. My nationalism is humanity" yang berarti seorang yang
nasionalis haruslah juga berperikemanusiaan.
Tetapi paham kemanusiaan yang dimaksudkan bukan berarti
menghapuskan kebangsaan, melainkan kekeluargaan bangsa-bangsa yang
berarti semua bangsa yang ada saling menghormati dan menghargai.
Menurutnya paham kebangsaan dan paham kemanusiaan haruslah berjalan
seiring karena keduanya saling melengkapi dan menguatkan.
4.2.3 Analisis Dasar Ketiga
Paham yang dijadikan sebagai dasar ketiga adalah paham tentang
mufakat, paham tentang perwakilan, paham tentang permusyawaratan.
Kalimat-kalimat penjelasan dalam pidato Ir. Soekarno mengenai dasar ini
seperti:
Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa�apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
61
Universitas Budi Luhur
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan�tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin�pemimpin rakyat, apa�apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan…(Lahirnya Pancasila)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana proses penyelesaian
masalah-masalah yang muncul saat Indonesia telah merdeka. Kutipan di atas
menjelaskan kepada kita bagaimana Bangsa Indonesia seharusnya
menyelesaikan masalah di masayarakat yaitu dengan cara musyawarah untuk
mufakat. Musyawarah untuk mufakat menekankan proses persetujuan
bersama dengan cara saling memahami, menghormati, dan menghargai antar
sesama. Selain itu, kutipan di atas juga menjelaskan bahwa dalam tingkatan
yang lebih tinggi, negara, maka yang terlibat dalam musyawarah adalah
perwakilan-perwakilan dari golongan-golongan. Hal ini dimaksudkan untuk
efektifitas proses pengambilan keputusan dalam permasalahan yang lebih
luas seperti permasalahan bangsa dan negara yang tidak mungkin melakukan
musyawarah secara menyeluruh untuk semua individu yang ada.Pendapat dan
kepentingan disampaikan melalui perwakilan yang dipercaya seperti yang
terjadi pada rapat BPUPKI.
Lebih lanjut, Ir. Soekarno menekankan:
Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat�hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul�betul hidup, jikalau di dalam badan�perwakilannya tidak seakan�akan bergolak mendidih kawah Candra�dimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. (Lahinya Pancasila)
62
Universitas Budi Luhur
Ir. Soekarno mengharapkan adanya pertarungan faham dan ide
dalam permusyawaratan yang ada. Karena, menurutnya itulah tanda adanya
semangat membangun bersama dari setiap golongan yang berbeda-beda. Ir.
Soekarno juga menegaskan bahwa setiap golongan mempunyai hak yang
sama dalam berpolitik di dalam permusyawaratan perwakilan ini. Setiap
golongan dan individu mempunyai hak dan kewajiban yang setara. Yaitu hak
berkumpul dan menyatakan pendapat serta kewajiban untuk membangun
Indonesia melalui proses yang benar yaitu musyawarah.
Selanjutnya, untuk menguatkan maksudnya, Ir. Soekarno
menegaskan dengan:
Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari�hari, kita selalu bergosok, seakan�akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik�baiknya.(Lahirnya Pancasila)
Menurutnya sebuah negara yang hidup haruslah terjadi persaingan
dan pergeseran paham di dalamnya. Harus adanya pergeseran pemikiran di
dalam permusyawaratan merupakan keadaan yang perlu dibentuk dan dijaga
agar tidak sampai menjadi perpecahan. Oleh karena itu pergeseran paham
yang terjadi haruslah dalam semangat membangun Indonesia bersama dengan
semangat persatuan dan kebangsaan.
63
Universitas Budi Luhur
Jika kita mengamati autobiografi Ir. Soekarno, mudahlah kita lihat
bagaimana pemikiran ini didapat olehnya. Semenjak remaja Ir. Soekarno
telah berdekatan dengan lingkungan organisasi yang sangat mengedepankan
proses musyawarah dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah
yang ada. Seperti Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, Partai Nasional
Indonesia, dan lainnya. Selain itu, di dalam masa pengasingan yang dia jalani,
Ir. Soekarno mengamati bahwa musyawarah dalam mengambil keputusan
merupakan kebiasaan dan menjadi adat di seluruh wilayah nusantara.
4.2.4 Analisis Dasar Keempat
Selanjutnya untuk menerangkan maksud demokrasi yang
diinginkannya, Ir. Soekarno menjelaskannya di dalam dasar yang keempat,
dasar Keadilan dan Kesejahteraan Sosial. Dasar ini dijelaskan oleh Ir.
Seokarno dengan kalimat-kalimat:
Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang�pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara�saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara�negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?(Lahirnya Pancasila)
Di dalam dasar ini Ir. Soekarno menjelaskan cita-citanya dalam
kemerdekaan yaitu tidak adanya lagi Rakyat Indonesia yang miskin dan
melarat. Hal ini berarti ia menginginkan pembangunan yang merata dan dapat
64
Universitas Budi Luhur
mensejahterakan seluruh rakyat. lebih menegaskan lagi dalam kalimat-
kalimat:
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan� badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie16. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah politieke democratie saja; semata�mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, �� tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali. Saudara�saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. “Di dalam Parlementaire Democratie”, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap�tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap�tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister17. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja � di dalam pabrik � sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos18, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara�saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek�economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!(Lahirnya Pancasila)
Dalam teks di atas, dapat dimengerti dengan mudah bahwa
demokrasi yang diinginkan oleh Ir. Soekarno bukanlah demokrasi ala Eropa
yang tidak dapat menjamin adanya kesejahteraan sosial. Ir. Soekarno
16 Revolusi Perancis (Bahasa Balanda) 17 Menteri (Bahasa Inggris atau Belanda) 18 Kehilangan pekerjaan, Menganggur (Bahasa Belanda)
65
Universitas Budi Luhur
menjelaskan secara singkat mengapa demokrasi di Eropa tidak dapat
menjamin adanya kesejahteraan sosial dan oleh karena itu tidak tepat untuk
diterapkan di Indonesia yang mencita-citakan kesejahteraan sosial. Menurut
Ir. Soekarno, demokrasi yang ada di Indonesia haruslah bukan sekedar
demokrasi politik melainkan juga demokrasi ekonomi. Hal ini karena politik
dan ekonomi merupakan dua bidang yang saling berkaitan dan
mempengaruhi. Seperti dijelaskan di bawah ini:
Saudara�saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid19 dan sociale rechtvaardigheid20.
Kita akan bicarakan hal�hal ini bersama�sama, Saudara�saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “vooronderstelt erfelijkheid"21, � turun�temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng�hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap�tiap kepala negara pun dipilih.(Lahirnya Pancasila)
Ir. Soekarno menginginkan demokrasi di seluruh kehidupan
masyarakat. Demokrasi yang dapat menjamin adanya keadilan politik dan
keadilan ekonomi di semua lappisan dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Termasuk di dalamnya urusan pemilihan presiden Indonesia haruslah melalui
proses yang demokratis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penguasaan
19 Keadilan Politik 20 Keadilan Ekonomi 21 Arti harafiahnya: pewarisan yang diketahui terlebih dahulu (bhs. Belanda)
66
Universitas Budi Luhur
dari satu golongan saja sehingga dapat mengancam persatuan Indonesia yang
berkeadilan sosial.
Latar belakang pengajuan dasar keadilan sosial yang diinginkan Ir.
Soekarno dapat kita mengerti jika kita menganalisis autobiografinya.
Perjalanan hidupnya sejak kecil yang hidup dengan di kelilingi penderitaan
rakyat. Semasa kecil Ir. Soekarno mempunyai teman bermain yang berasal
dari keluarga yang sangat miskin, oleh karena itu sudah menjadi cita-citanya
sejak dulu untuk dapat mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Seperti
dalam kutipan berikut.
… Aku menghadapi kenjataan bahwa negeriku miskin, malang dan dihinakan. Aku berdjalan-djalan seorang diri dan merenungkan tentang apa jang sedang berputar dalam otakku. Satu djam lamanja aku berdiri tak bergerak diatas diambatan ketjil jang melintasi sungai ketjil dan memandangi iring-iringan manusia jang tak henti-hentinja. Aku melihat rakjat tani dengan kaki-ajam berdjalan lesu menudju pondoknja jang buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mentjekam diatas kereta terbuka jang ditarik oleh dua ekor kuda jang mengkilat. Aku melihat keluarga orang kulitputih kelihatan bersih-bersih, sedang saudara-saudaranja jang belkulit sawomatang begitu kotor, badannja berbau, badjunja tjompang-tjamping, anak-anak mereka djorok-djorok. …
Pemahaman mengenai kesejahteraan sosial Ir. Soekarno juga
banyak dipengaruhi oleh pandangan Marxisme yang merupakan anti-tesis
dari kapitalisme. Namun pemahaman marxisme Ir. Soekarno tidak serupa
seperti pemahaman negara sosialis atau pun negara komunis yang telah ada.
Pemahaman sosialisme Ir. Soekarno tidak sama dengan pemahaman Lenin,
dan oleh karena itu dasar keempat ini dikenal juga sebagai paham sosialisme
Indonesia yang berarti berasal dan mengakar pada kebudayaan Indonesia.
67
Universitas Budi Luhur
4.2.5 Analisis Dasar Kelima
Dasar kelima dan yang terakhir yang diajukan oleh Ir. Soekarno
adalah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun Ketuhanan yang
dimaksudkan bukanlah dalam arti yang sempit seperti dalam penjelasannya di
bawah ini:
Bukan saja bangsa Indonesia Bertuhan, tetapi masing�masing orang Indonesia hendaknya Bertuhan Tuhannya sendiri.(Lahirnya Pancasila)
Lebih menegaskan akan maksud dasar Ketuhanan ini dalam:
Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap�tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber�Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme�agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber�Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat�menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama� agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid22. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat�menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara�saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa! (Lahirnya Pancasila)
22 Memahami perbedaan pendapat (Bahasa Belanda)
68
Universitas Budi Luhur
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Ir. Soekarno ingin Bangsa
Indonesia Bertuhan yang saling menghargai dan menghormati. Ia
menginginkan setiap umat beragama saling menghormati dan tidak
memaksakan kepercayaannya kepada orang lain.
Berdasarkan analisis terhadap autobiografinya, dapat kita lihat
bagaimana latar belakang untuk dasar kelima ini didapat oleh Ir. Soekarno
seperti dalam kutipan berikut.
… Nenekku memberiku kebudajaan Djawa dan Mistik. Dari bapak datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan-kawannja datang Nasionalisme.Aku menambah renungan-renungan dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku beladjar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku beladjar kebaikan dari Gandhi….
Maka dapat disimpulkan bahwa dasar kelima ini di dapat karena Ir.
Soekarno telah banyak berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda suku
ataupun agamanya. Dia menginginkan adanya persatuan di atas semua
perbedaan karena kedua orang tuanya sendiri berasal dari dua suku yang
berbeda. Persatuan di atas segala perbedaan hanya dapat terjadi jika setiap
individu saling menghargai dan menghormati.
Kelima dasar negara yang disebut Pancasila ini diberikan dan
dijelaskan secara singkat oleh Ir. Soekano sebagai prinsip dasar berbangsa
dan bernegara dalam Indonesia merdeka.
69
Universitas Budi Luhur
Selanjutnya kelima dasar negara ini dapat diringkas menjadi tiga
dasar dengan dasar pertama, Nasionalisme, dan Kedua, Peri Kemanusiaan
dijadikan satu menjadi Sosio-Nasionalisme yang memiliki pemahaman rasa
Nasionalisme yang tidak berlebihan dan tetap menghargai bangsa lain.
Dasar ketiga, Permusyawaratan, dan dasar keempat, keadilan
sosial, dijadikan satu menjadi sosio-demokrasi yang memiliki pemahaman
demokrasi yang tidak hanya memberikan keadilan politik tapi juga keadilan
ekonomi melalui proses permusyawaratan perwakilan. Ketiga tetaplah
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelima dasar, Pancasila yang kemudian diringkas menjadi Trisila
dapat dijadikan Ekasila yaitu satu dasar saja. Satu dasar yang menurut Ir.
Soekarno harus kita jalankan dalam membangun Indonesia merdeka adalah
Gotong Royong. Gotong royong yang dimaksudkan adalah mengerjakan
segalanya bersama-sama untuk kepentingan bersama. Hal ini dikarenakan Ir.
Soekarno sangat mengedepankan Indonesia yang untuk semua, Indonesia
yang milik semua rakyat. Maka membangun Indonesia merdeka merupakan
tanggung jawab semua rakyat dan golongan.
29 Universitas Budi Luhur
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan prosedur yang dipergunakan dalam
upaya untuk mendapatkan data atau informasi guna memperoleh jawaban atas
penelitian. Metodologi penelitian bukan sekadar kumpulan metode atau teknik
penelitian.
Metodologi terkait dengan suatu kesatuan landasan nilai-nilai (khususnya
yang menyangkut filsafat keilmuan), asumsi-asumsi, etika, dan norma-norma
yang menjadi aturan-aturan standar yang digunakan untuk menafsirkan serta
menyimpulkan data penelitian. Dalam bab ini, peneliti menjabarkan paradigma
penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, objek penelitian, sumber
data, teknik pemilihan informan, teknik pengumpulan data dan teknik analisis
data.
3.1 Paradigma Penelitian
Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan
kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar
kebenaran dilakukan oleh para peneliti melalui model-model tertentu. Model
tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma, menurut Bogdan dan
Biklen (1982), adalah “kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang
bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.”
(Moleong, 2006;49)
30
Universitas Budi Luhur
Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat
paradigma: positivism, postpositivism, critical theories, dan constructivism.
Keempat paradigma tersebut menuntun dan menuntut kita mengenai (1) cara atau
teknik pengumpulan data, (2) jenis data yang diperoleh, dan (3) cara melaporkan
data agar memenuhi goodness or quality criteria paradigma masing-masing. (Ibnu
Hamad, 2004;1-2)
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma constructivism
(konstruktivisme) yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis
terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan rinci
terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu
memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan
menciptakan dan mengelola dunia sosial mereka. (Hidayat, 2004;xi)
Dengan berparadigma konstruktivisme, maka penelitian ini dalam teknik
pengumpulan data menggunakan studi literatur. Data yang diperoleh “bersifat
subyektif” dalam arti didasarkan atas pandangan pihak yang diteliti. Dengan
demikian, data haruslah mencerminkan “apa yang dirasakan dan yang ingin
disampaikan oleh subyek penelitian”, bukan apa yang ingin diceritakan peneliti.
Di sini peneliti menyelami alam pikiran subyek penelitian agar memperoleh
perspektif yang subyektif itu. Dalam melaporkan data yang dikumpulkan,
menggunakan teknik yang menceritakan ulang pandangan (konstruksi) subyek.
31
Universitas Budi Luhur
3.2 Pendekatan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang peneliti tetapkan, yaitu untuk
menginterpretasikan Pancasila dari naskah Retorika Ir. Soekarno pada Rapat
BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Maka dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan kualitatif karena secara umum pendekatan ini digunakan untuk
memperoleh hasil penelitian yang bersifat deskriptif berupa kata-kata dari suatu
objek penelitian.
Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai:
Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. (Moleong, 2006;4)
Rachmat Kriyantono (2007;58) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif:
Bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau sampling nya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data.
Selain itu, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam
penelitian ini, peneliti sebagai insider yang berempati (atau berkemampuan
memproyeksikan diri ke dalam peran dan persepsi obyek) agar bisa sebaik-
baiknya merefleksikan penghayatan subyektif obyek.
32
Universitas Budi Luhur
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang
bersifat deskriptif karena mencoba memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian
ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau
membuat prediksi. Penelitian deskriptif ditujukan untuk: (1) mengumpulkan
informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2)
mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku, (3) membuat perbandingan atau evaluasi, (4) menentukan apa yang
dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari
pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang
akan datang.(Rakhmat, 2005;24-25)
3.3 Metode Penelitian
Untuk melihat dan menggambarkan pemahaman akan Sistem Demokrasi
Pancasila sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Ir. Soekarno dalam
pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, peneliti menggunakan metode Studi
Hermeneutika Wilhelm Dilthey.
Metode Hermeneutika Dilthey adalah metode penelitian yang bekerja
dengan cara menginterpretasi teks atah naskah dengan menyelami alam
pemikiran sang komunikator pada saat pesan itu dibuat. Keistimewaan dari
metode ini adalah peranan autobiografi komunikator dari pesan yang diteliti
sangat penting untuk mengetahui makna pesan yang dimaksud. Dilthey
mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses yaitu (1)
Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli, (2) Memahami arti atau
33
Universitas Budi Luhur
makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan
dengan peristiwa sejarah, dan (3) Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan
gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup.
Selain menggunakan autobiografi, untuk memahami alam pikiran sang
komunikator, kita juga dapat menggunakan karya-karya lain dari sang
komunikator. Dalam penelitian ini peneliti juga akan menginduksi tulisan-tulisan
dari Ir. Soekarno yang lainnya guna memahami alam pikirannya seperti yang
termuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I dan II yang memuat
artikel-artikel karya Ir. Soekarno selama masa perjuangan kemerdekaan.
3.4 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah tanda-tanda verbal yang
terdapat dalam naskah pidato Ir. Soekarno dalam Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni
1945 dan hal-hal abstrak yang tertulis dalam autobiografi dan tulisan-tulisan lain,
seperti pengalaman, kepercayaan, norma, dan sistem nilai yang dipegang oleh Ir.
Soekarno.
3.5 Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland (1984), sumber data yang utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. (Moleong, 2006;157) Sehingga berbeda
sekali dengan penelitian kuantitatif yang datanya berupa angka-angka untuk
kemudian diolah dengan proses statistik.
34
Universitas Budi Luhur
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan tiga jenis
sumber data yaitu :
a. Tanda-tanda verbal yang terdapat dalam naskah pidato Ir. Soekarno
dalam Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
b. Dokumen dan arsip cetak, serta artikel-artikel dan karya tulis digital
yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Untuk keperluan analisis data, peneliti memerlukan sejumlah data
pendukung yang nantinya akan dapat memperkuat hasil penelitian. Penulis
menggunakan dua macam teknik pengumpulan data, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek
penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data primer berupa
teks pidato yang sekaligus merupakan objek penelitian dan autobiografi
dari Ir. Soekarno.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan metode
Studi Kepustakaan (Library Research) dan analisis dokumen. Studi
kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara mempelajari berbagai
literatur, sumber bacaan, internet, teks-teks, dan buku-buku yang berkaitan
35
Universitas Budi Luhur
dengan permasalahan penelitian. Analisis dokumen artinya mencoba
menemukan gambaran mengenai pengalaman hidup atau peristiwa yang
terjadi, beserta penafsiran subjek penelitian terhadapnya. Dokumen ini
dapat berbentuk buku harian, kliping surat kabar, surat-surat pribadi, dan
sebagainya. Tidak semua dokumen dapat menjadi bahan analisis, dokumen
yang dimaksud haruslah dokumen yang dapat mengungkapkan bagaimana
subjek penelitian mendefinisikan dirinya sendiri, lingkungan dan situasi
yang dihadapinya pada suatu saat, dan bagaimana kaitan antara definisi
diri tersebut dalam hubungannya dengan orang-orang disekelilingnya
dengan tindakan-tindakannya itu (Kuswarno, 2008;59). Dalam penelitian
ini, dokumen yang menjadi bahan analisis adalah tulisan-tulisan karya Ir.
Soekano dan catatan sejarah yang melatarbelakangi terjadinya Rapat
BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
3.7 Teknik Analisis Data
Setiap penelitian pasti bertujuan untuk mencari kebenaran. Upaya
mencapai kebenaran dalam penelitian dilakukan melalui kegiatan mengumpulkan
fakta-fakta, menganalisisnya, menginterpretasikannya dan menarik kesimpulan.
Peneliti akan menjawab pokok permasalahan ini secara kualitatif dengan
menggunakan analisis data dari hasil wawancara dan studi pustaka yang telah
dideskriptifkan.
36
Universitas Budi Luhur
Lexy J. Moleong (2006;11), menyatakan “analisis deskriptif adalah data
yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambaran dan bukan angka-angka. Selain itu
dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti”.
Tahap analisis data sebenarnya terdiri dari upaya-upaya meringkaskan
data, memilih data, menerjemahkan, dan mengorganisasikan data. Dengan kata
lain, upaya mengubah kumpulan data yang tidak terorganisir menjadi kumpulan
kalimat singkat yang dapat dimengerti oleh orang lain.
Berikut ini adalah tahapan analisis data yang peneliti gunakan,
1. Deskripsi
Deskripsi menjadi tahap pertama bagi peneliti dalam menuliskan
laporan penelitiannya. Pada tahap ini, peneliti mempresentasikan hasil
penelitiannya dengan menggambarkan secara detil objek penelitiannya.
Dengan membuat deskripsi, peneliti mengemukakan latar belakang dari
masalah yang diteliti, dan tanpa disadari merupakan persiapan awal
menjawab pertanyaan penelitian.
2. Analisis
Pada bagian ini, peneliti mengemukakan beberapa data akurat
mengenai objek penelitian yang dapat menggambarkan objek penelitian.
Analisis yang dipakai ialah analisis data kualitatif dengan menggunakan
37
Universitas Budi Luhur
pendekatan logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada
hal-hal khusus atau data di lapangan dan bermuara pada hal-hal umum.
Prinsip pokok teknik analisis kualitatif adalah mengolah dan menganalisis
data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematis, teratur, terstruktur
dan mempunyai makna. Kemudian, peneliti juga menganalisis sejarah
hidup (autobiografi) Ir. Soekarno selaku komunikator. Analisis
autobiografi menggunakan analisis deskripsi untuk mengungkapkan
domain-domain sejarah penting dan jati diri seseorang yang menjadi objek
analisis. Objek kajian dalam menganalisis autobiografi seseorang adalah
orang tersebut dan seluruh pengalaman hidupnya, mulai dari kelahirannya,
menjadi dewasa, sampai dengan masa tuanya, bahkan sampai orang
tersebut meninggal dunia.(Bungin, 2007;233)
3. Interpretasi
Interpretasi menjadi tahap akhir analisis data dalam penelitian ini.
Pada tahap ini, peneliti mengambil kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan. Pada tahap ini, peneliti menggunakan kata orang pertama
dalam penjelasannya, untuk menegaskan bahwa apa yang peneliti
kemukakan adalah murni hasil interpretasinya.
70 Universitas Budi Luhur
BAB V
KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk memahami Pancasila sesuai dengan apa
yang dimaksudkan dalam pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Proses
analisis data menggunakan metode hermeneutika Wilhelm Dilthey yang berarti
peneliti harus masuk ke dalam kehidupan Ir. Soekarno yaitu melaui
autobiografinya untuk memahami latar belakang pemikirannya. Berdasarkan hasil
penelitian dan analisis yang peneliti lakukan, maka peneliti akan memberikan
kesimpulan dan saran pada bab ini.
5.1 Kesimpulan
Pancasila yang diajukan oleh Ir. Soekarno pada Rapat BPUPKI pada
tanggal 1 Juni 1945 untuk menjadi Dasar Negara Indonesia merupakan hasil
pemikiran yang telah berlangsung sejak lama dengan memperhatikan budaya
dan karakter Bangsa Indonesia yang telah berlangsung sejak lama. Maka
dapat dikatakan bahwa Pancasila yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno
merupakan sari pati dari pemikiran Bangsa Indonesia. Ir. Soekarno
menawarkan lima dasar untuk menjadi dasar Indonesia merdeka, kelima dasar
itu adalah Kebangsaan, Internasionalisme, Permusyawaratan, Keadilan
Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelima dasar ini merupakan
merupakan suatu turunan dari Gotong Royong yang merupakan suatu budaya
yang menjadi ciri khas dari Bangsa Indonesia sejak ratusan tahun lamanya.
71
Universitas Budi Luhur
1.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti memiliki beberapa saran yang
diharapkan dapat berguna dan bermanfaat:
1. Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia kita haruslah mencintai
bangsa dan negara kita dengan sepenuh hati, namun rasa
nasionalisme kita tidak boleh berlebihan dan menjadi chauvinis
(menganggap bangsa sendiri yang paling tinggi dan bangsa lain
lebih rendah kedudukannya). Semua bangsa pada dasarnya setara
dan sejajar kedudukannya maka tidaklah dibernarkan untuk
memandang rendah bangsa lain apalagi sampai menjajah bangsa
lain.
2. Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali terjadi pertentangan
dan perbedaan pendapat, sedapat mungkin kita saling menghargai
dan menghormati perbedaan pendapat di dalam kerangka
persatuan. Dalam menyelesaikan konflik yang ada, lebih baik
dengan menggunakan musyawarah untuk mufakat agar tercapai
kemajuan yang diinginkan bersama dan agar tercapainya keadilan
bagi semua.
3. Sebagai bagian dari umat beragama marilah kita saling menghargai
dan menghormati dalam kerangka Ketuhanan kita seperti yang
telah di contohkan para leluhur kita.
xii
xii
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, Kebijak an
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005. Dewi, Liza Dwi Ratna, Teori Komunikasi-Pemahaman Dan Penerapan,
Renata Pratama Media, Jakarta, 2008. Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi , PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003. Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta,
2008. Kaelan, Filsafat Bahasa-Masalah Dan Perkembangannya, “PARADIGMA”,
Yogyakarta, 1998. Kasenda, Peter, Soekarno Muda-Biografi Pemikiran 1926-1933, Komunitas
Bambu, Jakarta, 2010 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta,
2007. Kuswarno, Engkus, Metode Penelitian Komunikasi - Etnografi Komunikasi,
Widya Padjadjaran, Bandung, 2008. Littlejohn, Stephen dan Karen A. Foss, Theories of Human
communication, Salemba Humanika, Jakarta , 2009 Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, 2007. 136 Moleong, Lexy. J, Metodologi Penelitian Kualitatif – Edisi Revisi, PT. Remaja
RosdaKarya, Bandung, 2006. Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosda
Karya, Bandung, 2000.
xiii
xiii
.............................., Metodologi Penelitian Kualitatif – Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001.
Radford, Gary P., On The Philosophy Of Communication, Thomson
Wadsworth, Singapore, 2005. Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, PT. Remaja RosdaKarya,
Bandung, 2005. Renan, Ernest, Apakah Bangsa Itu? (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1968 Riana, I Ketut, Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama-Masa
Keemasan Majapahit, Kompas, Jakarta, 2009 Rousyidiy, T.A. Lathief, Dasar-Dasar Rhetorica Komunikasi dan Informasi,
Firma Rimbow, Medan, 1989 Salim, Abdul Bar dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1966. Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press, Jakarta, 1986 ……………., Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Antara, Jakarta, 1963 ……………., Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Antara, Jakarta, 1964 ……………., LAHIRNYA PANCASILA Cetakan kedua, Penerbit Guntur,
Jogjakarta, 1949 Vardiansyah, Dani, Filsafat Ilmu Komunikasi-Suatu Pengantar, PT. INDEKS,
Jakarta, 2005. Wahyudi, J.B, Media Komunikasi Massa Televisi, Alumni, Bandung, 1986. Yin, Robert K., Studi Kasus (Desain dan Metode), RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002. B. Artikel Online Hayadin, Artikel-Pengambilan Keputusan untuk Profesi pada Siswa Jenjang Pendidikan Menengah (Survei pada SMA, MA, dan SMK di DKI Jakarta), http://petamasadepanku.net/about/artikel/ oleh (diakses pada tanggal 14/05/09, pukul 20.05) Kasenda, Peter, Sketsa Sosok Soekarno, www.peterkasenda.worldpress.com
xiv
xiv
Saidi, Acep Iwan, Hermeneutika Sebuah Cara Untuk Memahami Teks, Jurnal Sosioteknologi Edisi 13 Tahun 7, FSRD ITB, Bandung, April 2008, http://www.fsrd.itb.ac.id/wp-content/uploads/5%20HERMENEUTIKA%20nya%20P.%20Acep.pdf (diakses pada tanggal 01/05/09, pukul 22.30)
Steve JM, Hermeneutik - Last Updated Thursday, 04 December 2008 14:53 http://jiwangga.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10%3Ahermenutik&catid=14%3Acatatan&Itemid=4&limitstart=1 (diakses tanggal 14 Juli 2010 pukul 14.20) C. Jurnal Hamad, Ibnu, Membumikan Kriteria Kualitas Penelitian , Jurnal Thesis Penelitian Ilmu Komunikasi, Volume IV No.1 (Januari-April 2005), Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Hidayat, Dedy Nur, Menghindari Quality Criteria yang Monolitik dan Totaliter , Jurnal Thesis Penelitian Ilmu Komunikasi, Volume III No.3 (September-Desember 2004), Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. D. Situs Internet http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-rhetoric/ (diakses tanggal 11 Juni 2010 pukul 13.18 wib)
http://hminews.com/news/diskursus-islam-dan-demokrasi/ (diakses tanggal 14 Juni 2010 pukul 16.35)
http://yanel.wetpaint.com/page/Demokrasi (diakses tanggal 23 november 2010 pukul 09.47)
bab5-pancasila_dalam_konteks_sejarah_perjuangan_bangsa_indonesia.pdf (Objek application/pdf) (diakses tanggal 22 November 2010 pukul 09.52)
PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCA SILA
Paduka tuan Ketua yang mulia! Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini. Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o f i sc h e g r o n d s l a g" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan „merdeka". Merdeka buat saya ialah: „ p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e „, p o l i t i e k e o n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma’afkan perkataan ini - „zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. „Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- „njelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu. Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi
Arabia merdeka! Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama „Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s . Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s a t u m a l a m, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d a h „jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya k e m u d i a n d a r i p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan. Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff*), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda
ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan „INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n g , s e k a r a n g ! (Tepuk tangan riuh). Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu j e m b a t a n ! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam! Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka? (Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, s e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a n g p u n kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka! (Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a n k a n negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka. (Tepuk tangan riuh) *) Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu kawasan industri di mana terdapat bendungan
raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - LSSPI)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin. Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu „meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur. Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara! (Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: k i t a i n i b e r a n i m e r d e k a a t a u t i d a k?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (Tepuk tangan riuh). D i d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a n hatinya bangsa kita! D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud m e m e r d e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e r d e k a - k a n hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu. Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka". Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m
Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n e m a s, inilah, baru kita l e l u a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi. Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadlirin: Mau!) Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka",maka sekarang saya bicarakan tentang hal d a s a r. Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu „Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu. Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu„Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas „national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu „Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu „Weltanschauung", yaitu yang dinamakan „Tennoo Koodoo Seishin". Diatas „Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu „Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah „Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam „Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan"„Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang
terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:„Ten days that shook the world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi „Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas „Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 „Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,Weltanschauung itu „dicobakan", di „generale-repetitie-kan". Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri „generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, „Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya „Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar„Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi „Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas „Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun. Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’ apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a s e m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki
Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r -s a m a - s a m a setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi „semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar k e b a n g s a a n.
K i t a m e n d i r i k a n s a t u n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a. Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n . Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu n a s i on a l e s t a a t, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya „Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine
Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd",„sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah „verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik. Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan „Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, „l’ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r . Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana„kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai„golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan. Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan. Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita! Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada „desir d’entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5
milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa „le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S e l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada „le desir d’etre enemble", sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u ! (Tepuk tangan hebat). Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat. Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat. Nationale staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b a n g s a a n I n d o n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab:
„Saya tidak mau akan kebangsaan". T U A N L I M K O E N H I A N : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi. T U A N S O E K A R N O : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu I" atau „The Three People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a n, oleh pengaruh „The Three People"s Principles" itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan „My nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang
saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan„i n t e r n a s i o n a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i t i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua", „satu buat semua, semua buat satu". S a y a y a k i n s y a r a t y a n g m u t l a k u n t u k k u a t n y a n e g a r a I n - d o n e s i a i a l a h p e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n . Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan
Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip k e s e j a h t e r a a n , p r i n s i p : t i d a k a k a n a d a k e m i s k i n a n d i d a l a m I n d o n e s i a M e r d e k a. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat #sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah p o l i t i e- k e democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p o l i t i e k yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: „Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister.
Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k - e c o m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang b e r sa m a d e n g a n m a -s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu. Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan. 3. Mufakat, - atau demukrasi. 4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama". Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang b e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m a t - m e n g h o r m a t i s a t u s a m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin). Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah K e t u h a n a n y a n g b e r k e b u d a y a a n, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya azas atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuktangan riuh). Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah „perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan s o c i o - n a t i o n a l i s m e .
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan s o c i o -d e m o c r a t i e.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang k i t a s e m u a harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - s em u a b u a t s e m u a ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan „ g o t o ng - r o y o n g „. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g r o y o n g! Alangkah hebatnya! N e g a r a G o t o n g R o y o n g ! (Tepuk tangan riuh rendah).
„Gotong Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis dari„kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b e r s a m a- s a m a ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g a t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah). Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya,
isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n ! Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! „D e Mensch", -- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen. Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: D i - d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad „Merdeka, -- merdeka atau mati"! (Tepuk tangan riuh) Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta
tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap„verschrikkelijk zwaarwichtig" itu. Terima kasih!
Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta, Cetakan kedua, 1949 Publikasi 28/1997 LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA
Sumber: http://www.munindo.brd.de Koleksi: Perpustakaan Nasional RI, 2006.