Upload
kartikapanjaitan
View
1.698
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
1
TEORI SOSIAL BUDAYA
“EVOLUSIONISME”
Nama Kelompok :
1. Nurkhasanah (4915122553)
2. Silvia Radita (4915122560)
3. Subur (4915122559)
Prodi : Pendidikan IPS 2012 A
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JL.Rawamangun Muka, Jakarta 13220.
Telp. : (021)4890046, 489 3982.
Fax. : (021)489 3726
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Seiring dengan perkembangan zaman kebiasaan hidup setiap individu maupun
kelompok akan menyesuaikan diri terhadap perubahan, baik itu perubahan secara lambat
(evolusi) ataupun perubahan secara cepat (revolusi). Namun pada hakikatnya tidak ada
perubahan yang terjadi secara instan tetapi pastinya suatu perubahan itu akan
membutuhkan proses yang lama. Sehingga dalam proses perubahan (evolusi) tersebut
terdapat tahap-tahap dari teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam
kesempatan kali ini, kita akan mencoba menguraikan berbagai penjelasan mengenai
pengertian dan prinsip-prinsip dasar evolusionisme, beberapa teori tentang evolusi
seperti evolusi sosial universal, kebudayaan, religi, dan keluaraga melalui makalah dan
diskusi kelompok di dalam kelas
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dengan demikian telah dapat kita
rumuskan berbagai permasalahan yang akan menjadi subpokok bahasan, yaitu:
2. Apa definisi dan pengertian evolusionisme?
3. Apa saja prinsip-prinsip dasar evolusionisme?
4. Sebutkan dan jelaskan dari beberapa teori evolusi !
5. Bagaimana sejarah berkembangnya teori evolusi ?
1.3 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini, antara lain ;
1. Mengetahui berbagai definisi dan pengertian evolusionisme
2. Mengetahui berbagai macam prinsip-prinsip dasar evolusionisme
3. Mengetahui beberapa teori evolusi, serta
4. Mengetahui sejarah perkembangan teori evolusi tersebut
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DESKRIPSI TEORI
2.1.1 PENGERTIAN TEORI EVOLUSI
Teori Evolusi menganggap bahwa keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk,
pola, logika atau makna unik yang melandasi banyak kejadian yang tampaknya
serampangan dan tak berkaitan. Rekontruksi memberikan pemahaman tentang sejarah
masa lalu dan membuka jalan untuk memprediksi masa depan. Obyek yang mengalami
perubahan adalah keseluruhan manusia. Evolusi juga merupakan perubahan masyarakat
dipandang sebagai sesuatu alamiah, terjadi dimana saja, niscaya dan merupakan ciri tak
terhindarkan dari realita sosial.1 Masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan yang
mengalami perubahan secara dinamis.
Perubahan evolusi dibayangkan berpola unilinier, mengikuti pola atau lintasan
tunggal dan dilakukan secara bertahap,terus-menerus, meningkat dan komulatif. Evolusi
mempunyai penyebab yang bisa menggerakkan proses kedepan seperti mendorong
perubahan evolusi. Perubahan evolusi adalah sifat masyarakat yang mempunyai
kebutuhan dasar “Perubahan”. Perubahan evolusi juga dianggap spontan karena terjadi
secara tidak sengaja yang tidak disadari oleh anggota masyarakat sekitarnya. Perubahan
evolusi dianggap dengan kemajuan, menghasilkan perbaikan, kehidupan manusia yang
lebih baik.
Menurut kerangka berpikir evolusi, masyarakarat dan kebudayaan manusia telah
berkembang dari tingkat yang rendah pada tingkat yang tinggi, terdorong oleh kekuatan
dari dalam untuk berevolusi. Proses perkembangan itu melalui tingkat-tingkat tertentu,
1 http://iis-cantik.blogspot.com/2011/10/evolusionisme-sosiologi-klasik.html di akses tanggal 10
September 2013 pukul 21.30
4
dan tingkatan itu akan dialami oelh semua kelompok manusia. Menurut aliran evolusi
kebudayaan, semua masyarakat dan kebudayaan mengalami kemajuan atau berkembang
secara progresif, adapun jalan yang ditempuhnya bersifast uniline.
Jika ditinjau dari sudut pandang evolusi, manusia yang sederhana kebudayaannya dan
manusia yang sudah kompleks atau moder tidak berbeda secara kualitatif, melaikan
berbeda secara graduil, terutama dalam alam pikirannya. Perbedaan terebut disebabkan
oleh perkembangan yang lebih intensif dari potensi mental dan intelegensi manusianya
sendiri. Dengan cara kerja seperti ini, maka tiap-tiap kebudayaan yang ada di dunia
dapat ditempatkan di tempatnya masing-masing dan dapat diramalkan tingkat yang
didudukinya kemudian. Dengan menggunakan kriteria psychologi rasional dapatlah
disusun sejarah kebudayaan manusia tanpa menggunakan bahan-bahan tertulis, karena
anggapan dasar yang dipergunakan oleh teori ini adalah, bahwa semakin rasional
manusia itu, semakin tinggi pula kedudukannya di dalam tangga evolusi.
a. Asal mula teori evolusi
Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistik yang muncul bersamaan
dengan kebangkitan filsafat-filsafat materialistik kuno dan kemudian menyebar luas di
abad ke 19. Paham materialisme berusaha menjelaskan alam semesta melalui faktor-
faktor materi. Karena menolak pencipta, pandangan ini menyatakan bahwa segala
sesuatu yang hidup ataupun tak hidup, hal tersebut muncul tidak melalui pencipta tetapi
dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan tetapi,
akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu memahami keberadaan sebuah
kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraruran. Filsafat materialistis,
yang bertantangan dengan karakteristik paling mendasar akal manusia ini,
memunculkan “ teori evolusi” di pertengahan abad ke 19. Serta Teori Evousi telah
menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.
Namun demikian, Charles Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan
teori evolusi yang telah banyak terbukti menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini,
teori Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh
mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.
Darwin melengkapi teori evolusinya dengan menerapkan prinsip yang sama dengan
asal-usul spesies kepada asal-usul manusia dan memberikan tempat kepada manusia
5
melakukan proses evolusi dalam rangka seleksi alam dan mempertahankan
eksistensinya di alam.
Teori evolusi ini sangat sulit untuk meninggalkan teori Darwinisme yang sudah
berusia lebih dari 150 tahun, tetapi dalam ilmu pengetahuan yang terus berkembang, tak
terkecuali teori Darwin yang sudah melegenda itu, serta dapat dibuktikan dengan
penelitian terbaru seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Karena ilmu
pengetahuan pada zaman modern sekarang ini berkembang dengan sangat pesat, bukan
hanya dalam hitungan tahun dan bulan, tetapi dalam hitungan hari dan bahwa teori
evolusi ini hanyalah sebuah kebohongan
2.1.2 PRINSIP-PRINSIP EVOLUSI
Berbagai macam teori evolusi yang dicetuskan oleh para tokoh tersebut, akan
menjadi dasar pemikiran tentang evolusi selanjutnya. Proses evolusi dapat dibedakan
atas dasar faktor-faktor berikut.2
1. Evolusi Berdasarkan Arahnya
Berdasarkan arahnya evolusi dibedakan menjadi dua:
a. Evolusi Progresif
Evolusi progresif merupakan evolusi menuju pada kemungkinan yang dapat
bertahan hidup (survival). Proses ini dapat dijumpai melalui peristiwa evolusi yang
terjadi pada burung Finch.
b. Evolusi Regresif
Evolusi regresif merupakan proses menuju pada kemungkinan kepunahan. Hal
ini dapat dijumpai melalui peristiwa evolusi yang terjadi pada hewan dinosaurus. 2 http://zaifbio.wordpress.com/2009/11/15/menjelaskan-teori-prinsip-dan-mekanisme-evolusi-
biologi/ di akses tanggal 10 September 2013 pukul 21.05
6
2. Evolusi Berdasarkan Skala Perubahannya
Berdasarkan skala perubahannya, evolusi dapat dibedakan menjadi dua:
a. Makroevolusi
Makroevolusi adalah perubahan evolusi yang dapat mengakibatkan perubahan
dalam skala besar. Adanya makroevolusi dapat mengarah kepada terbentuknya spesies
baru.
b. Mikroevolusi
Berkebalikan dengan makroevolusi, mikroevolusi adalah proses evolusi yang
hanya mengakibatkan perubahan dalam skala kecil. Mikroevolusi ini hanya mengarah
kepada terjadinya perubahan pada frekuensi gen atau kromosom.
3. Evolusi Berdasarkan Hasil Akhir
Berdasarkan hasil akhir, evolusi dapat dibedakan menjadi dua:
a. Evolusi Divergen
Evolusi divergen merupakan proses evolusi yang perubahannya berasal dari satu
spesies menjadi banyak spesies baru. Evolusi divergen ditemukan pada peristiwa
terdapatnya lima jari pada vertebrata yang berasal dari nenek moyang yang sama dan
sekarang dimiliki oleh bangsa primata dan manusia.
b. Evolusi Konvergen
Evolusi konvergen adalah proses evolusi yang perubahannya didasarkan pada
adanya kesamaan struktur antara dua organ atau organisme pada garis sama dari nenek
moyang yang sama. Hal ini dapat ditemukan pada hiu dan lumba-lumba. Ikan hiu dan
lumba-lumba terlihat sama seperti organisme yang berkerabat dekat, tetapi ternyata
hiu termasuk dalam pisces, sedangkan ikan lumba-lumba termasuk dalam mamalia.
7
2.1.3 PROSES EVOLUSI SOSIAL SECARA UNIVERSAL
Etnografi dan etnografika telah menimbulkan suatu kesadaran di antara para
cendekiawan dan para ahli filsafat di Eropa Barat mengenai besarnya keanekaragaman
dari ciri-ciri ras, bahasa, dan kebudayaan umat manusia di dunia. Di samping itu
kerangka cara berpikir evolusionisme universal tidak hanya diterapkan dalam ilmu
biologi saja, tetapi juga telah menyebabkan timbulnya konsepsi tentang proses evolusi
sosial secara universal. Konsepsi itu terutama dalam bagian kedua abad ke-19 sangat
mempengaruhi cara berpikir para cendekiawan para ahli hukum, para ahli sejarah
kebudayaan , para ahli folklor, dan ahli filsafat mengenai beberapa soal, misalnya soal
asal-mula dan evolusi kelompok keluarga, asal-mula dan evolusi konsep hak milik,
asal-mula dan evolusi negara, asal mula dan evolusi religi dan sebagainya.
Menurut konsepsi tentang proses evolusi sosial universal semua hal tersebut
harus dipandang dalam rangka masyarakat manusia yang telah berkembang dengan
lambat (berevolusi) dari tingkat-tingkat yang rendah dan sederhana, ke tingkat –
tingkat yang makin lama makin tinggi dan komplex.3 Proses evolusi seperti itu akan
dialami oleh semua masyarakat manusia di muka bumi, walalupun dengan kecepatan
yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pada masakini masih ada juga kelompok-
kelompok manusia hidupdalam masyarakat yang bentuknya belum banyak berubah
dari sejak zaman makhluk manusia baru timbul di muka bumi, artinya mereka baru
berada pada tingkat-tingkat permulaan dari proses evolusi sosial mereka. Bangsa-
bangsa lain berada pada tingkat-tingkat pertengahan dari proses itu, sedangkan ada
pula bangsa-bangsa yang telah mencapai tingkat evolusi sosial yang tertinggi, yaitu
bangsa-bangsa di Eropa Barat.
3 Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI Press
8
Diantara para cendekiawan dan ahli filsafat sosial yang telah menulis berbegai
karangan yang berusaha mendeskripsi jalannya proses evolusi sosial itu, ada beberapa
yang secara luas dan sangat sistematis telah mempergunakan bahan etnografi dan
etnografika itu. Terbitnya karya-karya mereka itulah yang dapat kita anggap sebagai
permulaan dari adanya ilmu antropologi di dunia ilmiah. Karya-karya ahli filsafat H.
Spencer, para ahli hukum J.J. Bachofen, H. Maine dan L.H. Morgan, ahli sejarah
kebudayaan E. B. Tylor dan ahli folklor J. Frazer itu, akan dibicarakan dengan lebih
men dalam dalam sub-sub bab di bawah ini
2.1.4 KONSEP EVOLUSI SOSIAL-UNIVERSAL H. SPENCER
Ahli filsafat Inggris H. Spencer (1820-1903) bersama dengan ahli filsafat
Perancis A. Comte termasuk aliran cara berpikir positivisme, yaitu aliran dalam ilmu
filsafat yang bertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan
dalam ilmu fisika dan alam, dalam studi masyarakat manusia.4 Agak berbeda dengan
A. Comte, dalam studi-studinya Spencer mempergunakan bahan etnografi dan
etnografika secara sangat luas dan sangat sistematis. Maka walaupun dalam tulisan-
tulisannya ia selalu menyebut ilmu pengetahuan yang dilaksanakannya itu “ilmu
sosiologi”, yaitu istilah yang diciptakan oleh A. Comte, ia dapat juga kita anggap salah
seorang tokoh utam dalam timbulnya ilmu antropologi.
Semua karya Spencer berdasarkan konsepsi bahwa seluruh alam itu, baik yang
terwujud nonorganis, organis, maupun superorganis, berevolusi karena didorong oleh
kekuatan mutlak yang disebutnya evolusi universal (Spencer 1876:I, 434). Ia
menghasilkan suatu buku raksasa yang bermaksud melukiskan proses evolusi
universal itu di antara semua bangsa di dunia. Secara garis besar Spencer melihat
perkembangann masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu telah atau
akan mengabaikan fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub
kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang berbeda-
beda.
4 ibid
9
Sebuah contoh dari teori Spancer mengenai asal-mula religi. Pangkal pendirian
menganai hal itu adalah bahwa semua bangsa di dunia religi itu mulai karena manusia
sadar dan takut akan maut. Serupa dengan pendirian ahli sejarah kebudayaan E.B.
Tylor, ia juga berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan
kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah
meninggal, terutama nenek moyangnya. Bentuk religi yang tertua ini pada semua
bangsa di dunia akan berevolusi ke bentukk religi yang menurut Spencer merupakan
tingkat evolusi yang lebih komplex, dan berdiferensiasi, yaitu penyembahan kepada
dewa-dewa, seperti dewa kejayaan, dewi kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa maut
dan sebagainya. Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia
dalam tingkat evolusi religi seperti itu mempunyai ciri-ciri yang mantap dalam
bayangan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah
berada dalam bentuk tulisan. Namun, walaupun religi dari semua bangsa di dunia garis
besar evolusi universal akan berkembang dari tingat penyembahan roh nenek moyang
ke tingkat penyembahan dewa-dewa, secara khusus tiap bangsa dapat mengalami
proses evolusi yang berbeda-beda.
Contoh lain yaitu anggapan Spencer tentang perbedaan antara proses evolusi
universal yang seragam dan proses evolusi khusus yang berbeda-beda, tampak dalam
teorinya tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Dalam hubungan itu Spencer
berpendirian bahwa hukum dalam masyarakat manusia pada mulanya adalah hukum
keramat, karena merupakan aturan-aturan hidup dan bergaul, yang berasal dari pada
nenek moyang. Dengan demikian kekuatan dari hukum dalam masyarakat pada zaman
permulaan itu. Secara sosiologi, maka ketaatan warga masyarakat pada zaman itu
kepada aturan-aturan yang mereka anggap berasal dari para nenek moyang itu adalah
karena mereka saling butuh-membutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Azas timbal
balik inilah yang menjaga bahwa seorang individu tidak akan merugikan atau berbuat
jahat terhadap sesamanya.
Pada tingkat evolusi sosial, waktu timbul masyarakat beragama, maka
masyarakat telah menjadi sedemikian besarnya hingga kekuasaan otoriter raja pun
tidak lagi cukup. Kekuasaan itu perlu dibantu dengan sifat keramat raja. Karena itu
10
ditanamkan keyakinan pada warga masyarakat bahwa raja adalah keturunan dan
bahwa hukum yang dipelihara adalah hukum keramat.
Pada tingkat evolusi sosial selanjutnya timbul masyarakat industri, dimana
manusia menjadi bersifat lebih individualis, dan dimana kekuasaan raja dan
keyakinan terhaddap raja keramat berkurang. Maka timbul lagi suatu sistem hukum
yang baru, yang kembali berdasarkan azas saling butuh-membutuhkan antara warga
masyarakat secara timbal-balik. Prosedur terjadinya undang-undang adalah dengan
perundingan antara wakil-wakil warga masyarakat dalam badan-badan legislatif.
Dalam maslah tersebut terakhir Spencer sempat mangajukan juga pandangannya
mengenai proses evolusi pada umumnya.manurut Spencer, seperti dalam evolusi
biologi di mana jenis-jenis mahkluk yang bisa hidup langsung itu adalah jenis-jenis
yang paling cocok dengan persyaratan lingkungan alamnya, maka dalam evolusi sosial
aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam
masyarakat, adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang
paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka hidup, yaitu : kebutuhan
warga masyakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu.
Pandangan ini adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest “, yaitu
daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok
dengan lingkungannya.
2.1.5 TEORI EVOLUSI KELUARGA J.J. BACHOFEN
J.J. Bachofen adalah ahli hukum Jerman terbentuknya teori tentang evolusi
bentuk keluarga yang diuraikan dalam bukunya Das Mutterrecht (1861) dengan
banyak bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Yunani dan Rum
Klasik, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan
suku-suku bangsa Indian di Amerika. Menurut Bachofen, di seluruh dunia keluarga
manusia berkembang mlelalui empat tingkat evolusi.5 Dalam zaman yang telah jauh
lampau dalam masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, di mana manusia hidup
hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan
5 Ibid.
11
dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti
sebagai inti masyarakat bellum ada pada waktu itu. Keadaan inti dianggap merupakan
tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Lambat laun
manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu
kelompok keluarga inti dalam masyarakat, karena anak-anak hanya mengenal ibunya,
tetapi tidak menganal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu,
ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki
dihindari, dengan demikian timbul adat exogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu
tadi itu menjadi luas karena garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui
garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu
disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam pproses perkembangan
masyarakat manusia. Tingkat kemudian terjadi karena para pria tak luas dengan
keadaan ini, lalu mengambil calon-calon isteri mereka dari kelompok-kelompok lain
dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan
demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap tinggal dalam kelompom pria. Kejadian
ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan
ayah sebagai kepala, dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah
keadaan partriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan
masyarakat manusia. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok
yaitu exogami, berubah menjadi endogami karenna berbagai sebab. Endogami atau
perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak sekaranga
senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan
demikian patriachate lambat laun hilang dan berubah menjadi suatu susunan
kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
2.1.6 TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN DI INDONESIA
G.A. Wilken merumuskan teori-teori tentanng sejumlah gejala kebudayaan dan
kemasyarakatannya,misalnya tektonimi (1875), tentang hakekat maskawin, yang
menurut wilken pada mulanya hanya merupakan alat untuk mengadakan perdamaian
antara pengantin pria dan wanita setelah berlangsung kawin lari, suatu kejadian yang
sering terdapat dalam masa peralihan antara matriarkhat ke tingkat patriarkhat (1880 :
12
662, 665-659, 662-664) dan tentang sejumlah masalah serta gejala sosial dan
kebudayaan lain.6 Pada umumnya masalah-masalah serta gejal-gejala masyarakat dan
kebudayaan ini selalu ada hubungannya dengan teori dasarnya mengenai evolusi
keluarga, anggapannya tentang animisme adalah berdasarkan konsepsi seorang ahli
yang menganut konsepsi evolusi kebudayaan bernama E.B. Tylor.
2.1.7 TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN L.H. MORGAN
Lewis H. Morgan (1818-1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama
tinggal di antara suku-suku bangsa Indian. Ia mendapat pengetahuan mengenai
kebudayaan orang-orang Indian itu. Karangan-karangannya tentang orang iroquois itu
terutama berpusat kepada soal-soal susunan kemasyarakatan dan sistem kekerabatan,
dan dalam hal ini Morgan terutama berpusat kepada soal-soal susunan kemasyarkatan
dan sistem kekerabatan kepada ilmu antropologi pada umumnya. Dalam
memperhatikan sistem kekerabatan tersebut Morgan mempunyai cara untuk mengupas
semua sistem diambil dari gejala kesejajaran yanng seringkali ada di antara sistem
istilah kekerabatan dan sistem kekerabatan. Menurut Morgan, masyarakat dari semua
bangsa di dunia sudah atau masih akan menyelesaikan proses evolusinya melalui
kedelapan tinngkat evolusi sebagai berikut :7
1. Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia
menemukan api, dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-
akar dan tumbuh-tumbuha liar.
2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai
ia menemukan senjata busur-panah, dalam zaman ini manusia mulai merubah
mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-sungai
atau menjadi pemburu.
6 Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI Press
7 Ibid.
13
3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata
busur-panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-barang
tembikar, dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih berburu.
4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian
membuat tembikar sampai ia mulai berternak atau bercocok tanam.
5. Zaman Barbar Madya yaitu zaman sejak manusia berternak atau
bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari
logam.
6. Zaman Barbar Muda yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian
membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal tulisan.
7. Zaman Peradaban Purba
8. Zaman Peradaban Masakini.
Rangka mengenai kedelapan tingkat evolusi tersebut di atas oleh Morgan
dipakai untuk menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsure-unsur
kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian di Amerika Serikat, dari penduduk asli
Australi, dari bangsa-bangsa Yunani dan Rum Klasik dan dari beberapa bangsa di
Eropa sekarang. Walaupun demikian kita jangan menyangka bahwa Morgan sama
sekali mengabaikan kekhususan dan keistimewaan dari perkembangan tiap masyarakat
atau mengabaikan gejala pengaruh luar, tetapi mengenai beberapa unsure yang
terpenting seperti mata pencaharian hidup dan susunan masyarakat, tiap masyarakat di
dunia melewati kedelapan tingkat evolusi tersebut.
Teori Morgan mengenai evolusi kebudayaan mendapat kecaman yang sangat
tajam dari para ahli antropologi di Inggris dan Amerika pada awal abad ke-20 ini, dan
walaupun ia seorang warganegara Amerika yang mempunyai pengetahuan yang luas
mengenai kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indian, ia toh tidak di anggap
sebagai pendekar ilm antropologi Amerika. Tetapi L.H. Morgan sampai sekarang
masih dihormati sebagai tokoh pendekar ilmu antropologi di Uni Sovyet yang
disebabkan karena teorinya mengenai evolusi kebudayaan itu sangat cocok dengan
ajaran K. Marx dan F. Engels mengenai evolusi masyarakat manusia, dan juga cocok
dengan gagasan kedua tokoh pendekar komunis yang tercantum dalam Manifesto
Komunis (1848) mereka itu. Teori Morgan kemudian menjadi terkenal di kalangan
14
cendikiawan komunis berkat F. Engels yang sebagai seorang pengarang bergaya
lancar, telah berfungsi membuat populer gagasan-gagasan Marx yang sering terlalu
ilmiah sifatnya itu.
2.1.8 TEORI EVOLUSI RELIGI
A. TEORI EVOLUSI RELIGI E.B. TYLOR
Edward B. Tylor (1832-1917) adalah orang Inggris yang mula-mula
mendapatkan pendidikan dalam kesustateraan dan peradaban Yunani dan Rum Klasik,
dan baru kemudian tertarik akan ilmu arkeologi. Menurut uraiannya sendiri, seorang
ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan yang beraneka
ragam di dunia, mencari unsure-unsur persamaan itu sedemikian rupa, sehingga
tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia itu sendiri dari satu tingkat ke tingkat
yang lain.
Suatu penelitian serupa itu dilakukan sendiri dengan mangambil sebagai pokok,
unsure-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesustateraan, adat-
istiadat, upacara, dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan karyanya yang terpenting
yaitu dua jilid Primitive Culture : Researches into the Development of Mythology,
Philosophy, Religion, Language, Art and Custom (1874). Dalam buku itu ia juga
mengajukan teorinya tentang asal-mula religi yang berbunyi sbb : Asal mula religi
adalah kesadaran manusia kan adanya jiwa. Kesadaran akan faham jiwa itu disebabkan
karena dua hal, yaitu :8
1) Perbadaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-
hal yang mati. Dan manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang
menyebabkan gerak itu yaitu jiwa.
2) Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-
tempat lain bukan di tempat di mana ia sedang tidur. Maka manusia mulai
membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian
lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang disebut
jiwa.
8 Ibid.
15
Sifat bastrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa
dapat hidup langsung , lepas dari tubuh jasmaninya. Pada waktu hidup, jiwa itu masih
tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu
manusia tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat serupa itu kekuatan hidup pergi
melayang, maka tubuh berada dalam keadaan lemah. Tetapi Taylor berpendirian
bahwa walaupun sedang melayang hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau
pingsan tetap ada. Hanya apabila manusia mati, jiwanya melayang terlepas, dan
terputuslah hubungan dengan jasmani untuk selama-lamanya. Jiwa yang telah merdeka
dan terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat sekehendaknya. Alam semesta penuh
dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh Taylor tidak disebut soul, atau jiwa lagi
tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah
mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada
makhluk-makhluk halus.
Pada tingkat tertua dalam evolusi religinya, manusia percaya bahwa makhluk-
makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhluk-
makhluk yang bertubuh halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia, yang tidak
dapat tertangkap leh pancaindera manusia, yang mampu berbuat yang tidak dapat
dilakukan manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
sehingga menjadi objek penghormatan dan penyembahannya, yang disertai berbagai
upacara berupa doa, sajian, atau korban. Religi serupa itulah yang oleh Taylor disebut
animism.
Kemudian Tylor melanjutkan teorinya tentang asal mula religi yang berdasarkan
cara berfikir evolusionalisme. Katanya, animisme yang pada dasarnya merupakan
keyakinan kepada roh-roh yang mendiam alam semesta sekeliling tempat tinggal
manusia, merupakan bentuk religi yang tertua. Pada tingkat kedua dalam evolusi
religi, manusia yakin bahwa gerak alam yang hidup itu juga disebabkan adanya jiwa di
belakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam itu. Gunung-gunung meletus,
gempa bumi, angin topan, gerak matahari, dan seluruh gerak alam, disebabkan oleh
makhluk-makhluk halus yang menempati alam.
Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap seperti makhluk yang
memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran, yang disebut dewa-dewa
16
alam. Pada tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama dengan timbulnya susunan
kenegaraan, serupa dengan manusia. Maka terdapat pula suatu susunan pangkat dewa-
dewa, mulai dari raja dewa-dewa tertinggi sampai dewa-dewa yang terendah
pangkatnya. Susunan tersebut menjadikan manusia berfikir dan menarik kesimpulan
bahwa semua dewa itu adalah penjelmaan dari satu dewa saja. Akibat dari keyakinan
itu adalah berkembangnya keyakinan bahwa Tuhan itu satu, dan timbulnya religi-religi
yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.
Penelitian Tylor mengenai tingkat-tingkat evolusi kebudayaan manusia telah
menimbulkan adanya konsep survivals. Tylor memecahkan suatu persoalan dengan
suatu pendirian bahwa unsure-unsur itu adalah unsure-unsur sisa-sisa dari
kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari suatu tingkat evolusi sebelumnya. Unsur-
unsur itu merupakan survivals. Dengan demikian, faham survival itu menjadi alat yang
penting sekali bagi para penganut evolusionalisme dalam menganalisa kebudayaan-
kebudayaan dan dalam menentukan tingkat-tingkat evolusi dari tiap kebudayaan itu.
Kecuali sebagai survivals, Tylor sering juga menerangkan adanya unsure-unsur
kebudayaan yang tidak termasuk kebudayaan teladan sebagai akibat persebaran dan
pengaruh kebudayaan lain. Tylor menerangkan adanya unsure-unsur kebudayaan
seperti : dongeng mitologi, permainan, bentuk bajak, bentuk tiang keramat(tiang
totem), motif perhiasan, dsb. Sebagai akibat dari persebaran pengaruh kebudayaan-
kebudayaan tetangga.
B. TEORI J.G. FRAZER MENGENAI ILMU GAIB DAN RELIGI
Teori Frazer mengenai asal mula ilmu gaib dan religi itu dapat diringkas sbb :
Manusia memecahakan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan itu
ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia makin sempit lingkaran batas
akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya
dengan magic, ilmu gaib. Menurut Frazer, Magic adalah semua tindakan manusia
untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam serta
complex anggapan yang ada dibelakangnya.9 Mula-mulanya manusia memecahkan
setiap persoalan hidup dengan ilmu gaib tetapi lambat laun terbukti bahwa banyak dari
9Ibid.
17
tindakan magic itu tidak ada hasilnyam maka mulailah ia yakin bahwa alam didiami
oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripadanya, lalu mulailah ia
mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. Dengan demikian timbullah
religi.
Menurut Frazer memang ada suatu perbedaan besar antara ilmu gaib, dan religi.
Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu
maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah
gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya religi adalah segala sistem tingkah laku
manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada
kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dsb
yang menempati alam.10
10 Ibid.
18
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam kehidupan masyarkat tidak dapat dipungkiri dalam setiap zamannya
terjadi evolusi yang melingkupi aspek agama, keluarga, sosial yang universal, serta
budaya.. Dengan demikian, evolusi merupakan perubahan kehidupan manusia
melalui beberapa tahapan-tahapan tertentu. Perubahan tersebut tidak selalu kearah
kemajuan, akan tetapi perubahan itu dapat ke arah sebaliknya. Karena evolusi itu
mengikuti tingkah laku dari setiap tindakan manusia. Hal itu mempengaruhi kegiatan
manusia dalam segala bidang kehidupannya. Proses sosial yang terjadi di masyarakat
selalu dinamis jadi , evolusi akan selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Oleh karena
itu, ada evolusi keluarga yang menjelaskan tentang asal-usul terbentuknya keluarga.
Evolusi sosial universal dan kebudayaan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial
manusia dalam segi berinteraksi, maupun yang lainnya. Begitupun dengan kebudayaan
yang menjadi cirri khas dari suatu daerah.
19
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI Press
http://zaifbio.wordpress.com/2009/11/15/menjelaskan-teori-prinsip-dan-mekanisme-
evolusi-biologi/ di akses tanggal 10 September 2013 pukul 21.05
http://iis-cantik.blogspot.com/2011/10/evolusionisme-sosiologi-klasik.html di akses tanggal 10
September 2013 pukul 21.30