15

Click here to load reader

Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

floow

Citation preview

Page 1: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations

Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-

negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan

untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.

Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru

dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah

memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita,

mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya

memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang

nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan

kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak

tidak bisa diarahkan.

Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik

membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan

pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi,pendidikan tidak mampu

menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak

memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak

pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.

Kualitas pendidikanIndonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari

badanpendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari

14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah

Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan

membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input

quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara

yang tidak serius untuk meningkatkan kualitaspendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk

membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.

B. Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di

Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan

“Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi

Pendidikan di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Page 2: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui

masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas

pendidikannya semakin hari semakin menurun.

2. Manfaat

Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta

wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat

mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi

kualitas maupun kuantitas yang diberikan.

BAB II

LANDASAN TEORI

Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahanpendidikan di Indonesia, sebaiknya

kita melihat definisi dari pendidikanitu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia,pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi

latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.

Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat

pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang

merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :

Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan

batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan

bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan

penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)

Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat

dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan

jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.

Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini,

keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini)

adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalampendidikan, maka dituntut suatu

tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia

itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka

perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai

subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi , yang

bertanggung jawab.

Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-

subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan

dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan

Page 3: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-

perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.

Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak

terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya

mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu

mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari

akar tradisinya.

BAB III

PEMABAHASAN

A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa

dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini

disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam

kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkalipendidikan tidak memanusiakan manusia.

Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.

Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”.

Kami katakan demikian karenapendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain

tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang

berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin

hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang

sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan,

seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang

sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru

kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai

“pendidikanyang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan

tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.

Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang

sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan

mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas

tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh

banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau

menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)

adalah pendidikan gaya bank. Sistempendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta

didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi

mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang

diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe

deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu

diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang

disampaikan guru.

Page 4: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak

membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa

dalam pendidikangaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh

mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai

pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini

hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.

Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru

bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar

budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum

muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu

strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini

telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial,

budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan.

Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah

tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai

sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta

keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi,

budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya diIndonesia yaitu :

- Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik

itu DepartemenPendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis

depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan

agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

- Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan

ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek daripendidikan.

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-

faktor tersebut yaitu :

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak,

kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara

laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan

masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak

memiliki laboratorium dan sebagainya.

2. Rendahnya Kualitas Guru

Page 5: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki

profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39

UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil

pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan

melakukan pengabdian masyarakat.

Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru

di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa

memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka,

khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah

guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya

cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal

distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau

sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru.

Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka

harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.

Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkutpendidikan minimal maupun kesesuaian

bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang

tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).

Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di

SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki.

Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK.

Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi

kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung

di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan

budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan

kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi,

pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga

pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.

Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat

kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya

kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa

melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore

hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan

sebagainya.

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak l umayan.

Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan

dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok,

Page 6: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan

lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus

juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di

lingkungan pendidikanswasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan

Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak

sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.

4. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru)

pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika

dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in

Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke -35

dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi

sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara

tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP)

juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia

melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini

Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara

tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional

Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa

keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes

membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan

51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata

mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini

mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999

(IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2

Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam

dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik

ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke -61, ke-68, ke-73

dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang

Departemen PendidikanNasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000

menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%

(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi

Page 7: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu

layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya

tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu

diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah

ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang

dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan

SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode

yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing

tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999,

setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga

menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara

hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang

funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang

harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya

biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat

miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan

ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang

menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai

sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite

Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah

terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada

tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota

Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya

menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan

tanggung jawab negara terhadappermasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).

Berubahnya statuspendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi

ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat

melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang

sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara

(BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang

kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biayapendidikan di beberapa

Perguruan Tinggi favorit.

Page 8: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari

tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia

sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong

privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar

sepertipendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas,

10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untukpendidikan. Bandingkan dengan dana untuk

membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah

memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang

SistemPendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)

tentang PendidikanDasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada

privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang

Sistem PendidikanNasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau

satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan

hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam

operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar

(Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah

melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab

penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk

menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya

setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang

kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin

terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,

privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh

negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan

Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua

satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukumpendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber

dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik

Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal,

maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara

berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.

Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis.

Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang

berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses

masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah

justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan

bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

Page 9: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

C. Solusi Pendidikan di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru,

dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:

- Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan

sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi

yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem

ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan

tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

- Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung

dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi

siswa.

Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan

kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan

kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang

lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya

prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,

meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikandi Indonesia dapat bangkit dari

keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi,

berkepribadian pancasila dan bermartabat.

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitaspendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang

bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya

biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya

relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun

sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah

sistempendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia

yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman

dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara

pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.

Citizen6, Jakarta: Permasalahan kepegawaian telah terjadi diberbagai daerah mencakup kekurangan

tenaga, belum jelasnya status kepegawaian, tingkatan dan besarnya serta keteraturan penerimaan

gaji mereka. Diantara bidang permasalahan yang cukup rumit adalah sektor pendidikan, yakni

tenaga guru, karena sifat dari sektor pembangunan ini.

Sektor pendidikan merupakan sasaran pembangunan yang penting, mengingat: pertama, merupakan

masalah yang secara khusus disebut oleh Pembukaan UUD, yaitu kewajiban negara untuk

Page 10: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

mencerdaskan bangsa. Kedua, tenaga terdidik adalah kunci keberhasilan dikuasainya sesuatu

profesionalisme yang diperlukan oleh setiap WN mewujudkan kesejahteraan hidupnya. Ketiga,

sektor pendidikan ditangani oleh sebuah Kementerian yang mengelola anggaran yang sangat besar

dalam struktur APBN, sehingga secara analisis sudah dari awal disadari rumitnya masalah

pendidikan. Keempat, di dalam Kabinet terdapat Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat yang

membidangi juga sektor pendidikan, oleh karena kesulitan Kementerian Pendidikan yang bersifat

interdep bisa ditangani oleh Menko Kesra.

Berdasarkan uraian di atas, masalah-masalah pendidikan yang menyangkut beberapa kepentingan

dan persoalan diderah, apabila tidak dapat dipecahkan persoalannya ditingkat daerah, jelas harus

sampai ketingkat Kementerian dan apabilapun diperlukan koordinasi dengan bidang-bidang lain,

maka persoalan semacam ini adalah tugas dan tanggung jawab Menko Kesra untuk menanganinya,

karena harus disadari masalah bernegara hakikatnya adalah mengurus kepentingan warga negara

(WN).

Sangat mungkin karena banyaknya masalah-masalah strategis yang harus diputuskan oleh

Pemerintah mengakibatkan tingkat Menteri apalagi Menko tidak menjangkau perseoalan-persoalan

kelas teri yang terjadi di daerah. Oleh sebab itu pada masa Orde Baru, sistem Pemerintahan RI

didukunbg oleh satu deretan Forum Koordinasi yang bersifat tetap dan rutin mulai Sidang Kabinet

yang dipimpin Presiden, Rakor tingkat Menko dipimpin Menko, Rakor tingkat Sesmenko, Rakor

Kementerian dipimpin Menteri, Rakor tingkat Dirjen dan Sekjen dst, apabila perlu Rakor tingkat

Direktur, dan Rapat Kordinasi khusus yang lebih rendah dengan mengundang instansi lain dapat

dilakukan. Hanya dengan birokrasi yang rapi seperti ini, maka masalah-masalah “teri” yang terjadi di

ujung tanah air bisa dipecahkan. Sebagai sebuah sistem tentunya birokrasi ini masih tetap dilakukan

hingga saat ini atau kalau sudah ditinggalkan ada baiknya disarankan diaktifkan kembali.

Badan Intelijen Negara (BIN) dalam berbagai event rapat tersebut harus hadir, untuk memberikan

informasi atau analisa terkait ancaman-ancaman ke depan serta langkah untuk meminimalisirnya.

Persoalan Kurikulum 2013

Kementerian Pendidikan adalah Kementerian yang paling terkenal dengan kebiasaan setiap kali

berganti Menteri, maka berganti pula kurikulum pelajaran bagi anak didik, khususnya tingkat SMA ke

bawah. Namun demikian sejak jaman Orde Lama dan Orde Baru, pada dasarnya Kementerian

Pendidkan yang juga beberapa kali berrubah sebutan itu, sangat berhati-hati dalam hal kurikulum.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada umumnya lebih mengarah pada kebakatan murid atau

siswa tidak menghapus atau menambah mata pelajaran. Di tingkat Sekolah MeEnengah Keatas

kebawah.

Pandangan atau analisa yang terpercaya mengenai seluk beluk kurikulum baru haruslah dilakukan

oleh mereka yang menguasai dan memang berkecimpung dibidang pendidikan. Tentu ada yang

berargumen, bahwa tidak mengherankan kalau seseorang tidak hafal lirik lagu Indonesia Raya,

karena mata pelajaran menyannyi sudah lama dihapus dari kurikulum.

OIeh sebab itu untuk menanggapi berbagai keluhan yang terjadi terhadap kurikulum baru 2013

haruslah pandangan, kesimpulan dan saran diberikan oleh Lembaga kajian yang kredibel (menguasai

materi) dan terpercaya (tidak memiliki subyektifitas dengan masalah pendidikan). Salah satu yang

Page 11: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

sudah esensial dalam masalah ini adalah Kementerian Pendidikan harus sudah sadar dan bersedia

menerima kenyataan apilkasi kurikulum baru bagi Lembaga Pendidikan Menengah Keatas kebawah,

ada feed back yang serius, artinya secara prinsipiil perlu ditinjau kembali, karena ada masalah.

Hal inilah yang nampaknya perlu segera sampai kepada Kementerian Pendidikan sehingga ada

tanggapan yang proporsional, yaitu perlu dibentuk Lembaga Penelitian yang secara khusus meneliti

aplikasi dari Kurikulum 2013. Meskipun gagasan menyempurnakan Lembaga Pendidikan di Indonesia

sudah muncul sejak Pemerintahan Orde Baru, ketika tantangan bakal berlakunya perdagangan bebas

di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik setelah tahun 2000 merupakan kenyataan yang tidak bisa

dihindari, namun belum tentu konsep Kurikulum 2013 yang dewasa ini diberlakukan adalah pilihan

yang benar.

Perubahan kurikulum harus jelas GBHN-nya, tetapi kita tahu sejak reformasi bahkan GBHN tersebut

tidak ada. Oleh sebab itu memutusakan perubahan kurikulum dengan begitu saja memberlakukan

Kurikulum 2013, secara konstitusional tidak benar dan secara teknis tidak cermat.

Dengan urutan berfikir ini kesimpulannya, Kementerian Pendidikan harus tidak main-main dan

sekedar berdalih sudah dibahas oleh para ahli dan sudah dicetak sekian juta buku untuk siap dibagi

atau sekedar sebuah peluang terjadinya kasus korupsi baru dengan Proyek Pencetakan Buku

Kurikulum Baru.

Oleh sebab itu salah satu langkah yang bisa diambil adalah menyatakan bahwa pemberlakuan

Kurikulum 2013 dewasa ini masih merupakan bagian dari penelitian untuk menghasilkan kurikulum

baru yang paripurna, sesuai dengan perkembangan dinamika umat manusia dewasa ini kedepan.

Lebih mutlak urgensinya dari bidang lain adalah perlunya ditetapkan GBHN Bidang Pendidikan dan

Pembentukan Lembaga Peneliti untuk meneliti kembali konsep Kurikulum 2013. (Soedibyo/kw)

*) Penulis adalah Letnan Jenderal TNI (Purn) dan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara

(BAKIN).

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa pendidikan

merupakan hak setiap warga negara yang bertujuan mencerdaskan kehidupan

bangsa. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan yang besar pada

kemajuan sosial ekonomi suatu bangsa. Adanya program wajib belajar yang

mengharuskan anak usia sekolah mendapat pendidikan yang sesuai minimal

sampai jenjang pendidikan tertentu adalah wujud peran serta pemerintah dalam

melaksanakan pembangunan dibidang pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar

untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau

Page 12: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Kesadaran akan pendidikan

dapat digambarkan melalui partisipasi masyarakat dalam menyekolahkan anaknya

sampai jenjang pendidikan tertentu. Namun kondisi yang terjadi saat ini adalah

belum semua masyarakat sadar dan ikut mendukung program pendidikan tersebut,

terutama masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan yang masih kurang

memperhatikan kebutuhan akan pendidikan dan manfaatnya dimasa mendatang

Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun

bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah

menengah pertama yang masih belum bersekolah dan adanya perbedaan

partisipasi sekolah antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2009, sebagai

contoh Angka Partisipasi Murni (APM) pada jenjang Sekolah Dasar sebesar

82,90 persen di Provinsi Papua dan 96,16 persen di Provinsi Aceh. Pada jenjang

Sekolah Menengah Pertama, Angka Partisipasi Murni berkisar antara 49,56

persen di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan 74,42 persen di Provinsi Yogyakarta

dan pada jenjang Sekolah Menengah Atas berkisar antara 33,74 persen di Provinsi

Sulawesi Barat dan 54,84 persen di Provinsi Sumatera Utara, ini mengambarkan

bahwa belum adanya pemerataan pendidikan.

Bangsa Indonesia berusaha membangun manusia Indonesia seutuhnya,

tidak hanya memfokuskan pada pembangunan di bidang ekonomi. Salah satu

indikator dari Human Development Report (HDR) global yang telah

mengembangkan dan menyempurnakan pengukuran statistik dari pembangunan

manusia yaitu berupa Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator tersebut

melihat tiga masalah pokok yang menjadi ukuran yaitu kesehatan, pendidikan

serta pendapatan melalui separitas daya beli.

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Gorontalo menduduki rangking 24

di Indonesia, ini menggambarkan bahwa kualitas penduduk Gorontalo masih

tergolong rendah. Sebagai Propinsi baru, sejak awal berdirinya Provinsi Gorontalo

Page 13: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

dalam pembangunan berusaha memprioritaskan pembangunan Sumber Daya

Manusia (SDM), karena pembangunan SDM memiliki peranan penting dalam

pembangunan suatu daerah. Tetapi pembangunan SDM tidak lepas dari

permasalahan - permasalahan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional

(Susenas) tahun 2009 memperlihatkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM)

Provinsi Gorontalo untuk jenjang Sekolah Dasar mencapai 90,40 persen, ini

menggambarkan bahwa penduduk usia Sekolah Dasar (SD) telah banyak yang

bersekolah. Tetapi untuk jenjang Sekolah Menengah (SMP) APM sebesar 53,05

persen, sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk jenjang Sekolah Menengah

Atas (SMA) hanya mencapai 38,47 persen. Kabupaten Boalemo merupakan salasatu Kabupaten di

Provinsi Gorontalo, dimana di Kabupaten Boalemo pada tahun

2009 memperlihatkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah Murni (APM) untuk

jenjang Sekolah Dasar mencapai 90,17 persen, ini menggambarkan bahwa

penduduk usia Sekolah Dasar (SD) telah banyak yang bersekolah. Tetapi untuk

jenjang Sekolah Menengah (SMP) APM sebesar 51,32 persen, sedangkan Angka

Partisipasi Murni untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya mencapai

37,82 persen. Hal ini menggambarkan bahwa penduduk Provinsi Gorontalo

khususnya Kabupaten Boalemo masih kurang sadar untuk mendapatkan

pendidikan yang lebih tinggi dan banyak permasalahan - permasalahan la

Selain itu dari Angka Rata - Rata Lama Sekolah Kabupaten Boalemo

Provinsi Gorontalo adalah 5,5 Tahun. Sehingga dengan demikian perlu diketahui

apakah yang menyebabkan seseorang mengalami putus sekolah dan perlu di teliti

lebih lanjut tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi lama sekolah

seseorang. Diharapkan dengan diperolehnya pengetahuan dan gambaran

permasalahan tentang pencapaian lama sekolah di Kabupaten Boalemo Provinsi

Gorontalo dapat diambil langkah dan kebijakan dalam rangka memberikan

kesadaran untuk meningkatkan pendidikan di Provinsi Gorontalo pada umumnya

dan khususnya Kabupaten Boalemo agar dicapai kualitas penduduk yang lebih

Page 14: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

baik.

Penelitian tentang partisipasi sekolah pernah dilakukan Sugiyanto (1996)

yang melakukan studi tentang faktor-faktor sosio ekonomi demografi rumah

tangga dalam pemilihan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan menengah di

Pulau Jawa. Supriyadi (2006) juga pernah melakukan penelitian mengenai

partisipasi sekolah dengan menerapkan regresi logistik dimana penelitiannya

mengaitkan variabel demografi (pendidikan ibu, pengeluaran rumahtangga dan

jenis kelamin anak) dengan variabel respon proporsi bersekolah anak usia 7-18

tahun. Selain itu, Santoso (2009) telah melakukan penelitian dengan metode

spline multivariabel, dimana hasil dari penelitian tersebut bahwa variabel

topografi wilayah, umur anak, status pekerjaan anak, pendidikan kepala

rumahtangga, pengeluaran perkapita, banyaknya anggota rumah tangga, lapangan

pekerjaan kepala rumah tangga, dan status desa/kota mempengaruhi lama sekolah

di Provinsi Papua

Penelitian-penelitian tentang partisipasi sekolah yang dihubungkan dengan

partisipasi bekerja anak telah banyak dilakukan. Leme dan Wajnman (2000)

dalam Muniz (2001) mempelajari hubungan sekolah dan pekerja anak dan

menyimpulkan bahwa keputusan untuk sekolah dipengaruhi oleh variabel

pendidikan orangtua, pendapatan rumah tangga, jumlah anak dalam keluarga dan

jenis kelamin, begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Arifatus (2009) tentang

rata rata lama sekolah yang juga dipengaruhi oleh faktor jumlah anggota rumah

tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan pendapatan rumah tangga. Dalam statistika dikenal

metode analisis survival yaitu suatu metode

statistika yang mempelajari lamanya suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi

atau biasa dikenal dengan nama failure event. Dalam analisa survival dikenal

dengan istilah waktu ketahanan hidup (survival time) atau T merupakan waktu

dari awal perlakuan sampai terjadinya respon pertama kali yang ingin diamati.

Respon dimaksud adalah berupa waktu yang diperlukan hingga suatu

Page 15: Makalah permasalahan pendidikan di indonesia

peristiwa atau kejadian yang diharapkan terjadi dan mungkin saja belum

ditemukan pada saat pengumpulan data berakhir sehingga waktu survival-nya

tidak dapat diamati. Pada kondisi demikian, pengamatan disebut sebagai

pengamatan tersensor (Collet, 1994). Sedangkan metode regresi survival adalah

metode regresi yang digunakan untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya suatu peristiwa atau kejadian (biasa dikenal dengan nama time

dependent covariate) dengan variabel responnya adalah waktu ketahanan hidup.

Salah satu metode regresi survival yang sering digunakan adalah regresi cox

proportional hazard.

Analisis survival telah banyak digunakan di berbagai bidang baik dengan

metode parametrik maupun non parametrik, seperti Rahayu (2003) telah

melakukan penelitian masalah penyakit jantung koroner dengan menggunakan

model regresi cox proportional hazard. Selain itu, Ata dan Sozer (2007) yang

meneliti tentang model regresi cox nonproportional hazard pada kasus data

kanker paru-paru. Analisa survival banyak dilakukan pada bidang kesehatan,

tetapi analisa survival juga dapat dilakukan pada bidang lain seperti sosial yaitu

mengenai lama sekolah seseorang menyelesaikan studinya. Penelitian yang

dilakukan oleh Rahim (2006) tentang faktor - faktor yang mempengaruhi

kegagalan pencapaian standar kelulusan minimal pada siswa SMP dengan

menggunakan analisis survival. Model mixture merupakan suatu model yang

khas, dan data yang ada biasanya terdiri dari beberapa subpopulasi atau grup.

Setiap subpopulasi merupakan suatu komponen dari mixture tertentu dengan

proporsi yang bervariasi untuk setiap komponennya (McLachlan dan Basford,

1988) dan (Gelman, et. al., 1995).