Upload
novi-hendra
View
440
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Oleh Novi Hendra S. IP ([email protected])
Citation preview
HUBUNGAN LIBRALISME KLASIK,
NEOLIBERALISME, GLOBALISASI
Ekspansi global dengan berbagai sistem nilai yang dibawanya
memberikan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi
kelangsungan sebuah negara. Globalisasi bagaikan pisau bermata dua
bagi negara. Ia bisa saja memperkuat sistem negara dan
masyarakatnya, atau sebaliknya, prosesnya akan melemahkan
legitimasi negara sebagai akibat lahirnya kebijakan liberalisme pasar
serta membuat masyarakat terfragmentasi ke dalam semangat dan
sentimen-sentimen identitas komunal.
Globalisasi yang merupakan kredo inti dari ajaran
neoliberalisme memunculkan model baru bagi mekanisme kebijakan
sebuah negara hubungannya dengan pasar. Kredo inti itu meliputi
prioritas pertumbuhan ekonomi, pentingnya perdagangan bebas untuk
merangsang pertumbuhan; pasar bebas yang tak terbatas; pilihan
individual, pemangkasan regulasi pemerintah; dan dukungan pada
model pembangunan sosial yang evolusioner sesuai dengan
pengalaman barat yang diyakini dapat diterapkan di seluruh dunia.
Pada konteks ini menarik membahas relasi negara dengan pasar
dalam bingkai diskusi globalisasi seraya melihat konsekuensi-
konsekuensi sosiologis yang ditimbulkan dari persinggungan dua kubu
besar itu (negara vis a vis pasar). Masyarakat yang terfragmen dalam
semangat individualitas merupakan salah satu konsekuensi logis dari
proses yang tengah berlangsung. Sampai pada titik ini, menarik untuk
membahas peran kaum intelektual dalam melakukan penguatan ide-
ide bersama sebagai masyarakat sehingga mereka tidak terpolarisasi
lebih jauh dari berbagai kepentingan karena globalisasi.
Pembahasan pada tulisan ini pun akan melihat model hubungan
negara dan pasar di Indonesia secara khusus serta kondisi masyarakat
yang menjadi bagian dari globalisasi, di samping, akan memotret pula
peran para kaum intelektualnya dalam menjaga integrasi dan nilai-nilai
solidaritas sosial di antara masyarakat. Upaya terakhir ini penting
menurut penulis, terlebih relevansinya dengan kondisi Indonesia yang
tengah menyiapkan menjadi negara demokrasi, atau ada dalam masa
transisi demokrasi.
Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa sub tema pokok, yaitu
diawali dengan tinjauan konsep teoritik terhadap hubungan negara
dengan pasar, artikulasi pengalaman Indonesia, dilanjutkan dengan
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari hubungan negara dan
pasar itu. Tulisan ini akan diakhiri dengan analisa konsekuensi-
konsekuensi itu relevansinya dengan perkembangan demokrasi serta
peran intelektual dalam memperkuat ide-ide kultural masyarakat civil
society.
PASAR DAN NEGARA
Pemikiran tentang ekonomi dan sub sistem-sub sistem di
dalamnya merupakan diskursus yang sangat panjang dan lama. Sejak
manusia mengenal dan melakukan kerja bersama untuk mencapai
tujuannya, pemikiran tentang ekonomi dan pasar sudah mulai
berkembang. Varian-varian pemikirannya sangatlah banyak, dari
model yang sangat tradisional hingga yang paling canggih. Meski
demikian, paling tidak untuk menelusuri penjelasan menyangkut dua
tema besar itu, pasar dan hubungannya dengan negara, tidak terlepas
dari empat mainstream besar pemikiran, yaitu teori ekonomi Klasik
(Liberal), Marxian, Keynesian, dan Neoliberal.
Dalam perspektif teori ekonomi klasik, pasar merupakan salah
satu sistem besar yang bisa dijalankan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ekonominya yang meliputi produksi, konsumsi,
dan distribusi. Pasar dengan mekanismenya mampu berjalan sendiri
dengan mengikuti logika hukumnya, permintaan dan penawaran.
“Invisible hand”, pasar diatur oleh tangan yang tidak terlihat,
mengatur sendiri. Pasar dianggap sebagai mekanisme otomatis (self-
regulating) yang selalu mengarah pada neraca keseimbangan,
equilibrium, sehingga terwujud alokasi sumberdaya dengan cara yang
paling efektif dan efisien.
Adam Smith memaklumatkan liberalisme pasar secara luas
dalam mekanismenya. Melalui ajarannya, Laissez faire (biarkan saja),
Smith menahbiskan “absolutisme pasar,” atas lembaga-lembaga
lainnya di masyarakat. Menurutnya ekonomi pasar akan berkembang
dengan bebas jika negara tidak menghalanginya dengan memberi
batasan-batasan. Peranan pemerintah sebaiknya ditekan seminimal
mungkin dalam mekanisme ekonomi pasar.
Adalah pasar dapat mengatur dirinya sendiri merupakan
argumentasi terkuat kapitalisme liberal dan menentang campur
tangan negara. Smith mengatakan, jika seluruh sistem yang
memberikan hak istimewa dan memberikan batasan dihapuskan maka
dengan sendirinya akan terbentuk suatu sistem kebebasan alamiah
yang jelas dan sederhana. Selama setiap pribadi tidak melanggar
aturan ini, ia akan diberikan kebebasan sepenuhnya agar dapat
mengikuti kepentingannya dengan caranya sendiri serta dapat
mengembangkan modalnya di bidang lain.
Kendati demikian, bukan berarti pasar sama sekali imun dari
peran negara, melainkan pada kondisi-kondisi tertentu masih
memungkinkan negara melakukan campur tangan terhadap pasar.
Hanya saja upaya itu sejauh mengamankan kemungkinan-
kemungkinan terjadinya kompetisi yang tidak fair di antara sub sistem
di dalam pasar, seperti munculnya gejala destruksi yang berpotensi
mengancam kebebasan ekonomi individu yang lain atau yang lebih
terjauh lagi problem sanitasi lingkungan yang akan menggangu alur
pasar.
Kompetisi yang terjadi di pasar berlangsung secara terbuka bagi
siapapun yang mampu bersaing. Proses persaingan di antara individu
itu mendapat jaminan dari pemerintah. Negara dalam konsep ini hanya
bertugas menyediakan kerangka hukum untuk kontrak, pertahanan
serta ketertiban dan keamanan. Ia hanya menjadi “stempel” bagi
mekanisme pasar yang berjalan. Karena, dalam keyakinan ekonomi
klasik, intervensi negara yang besar terhadap pasar akan
memperburuk lajunya pasar.
Menurut Smith, negara hubungannya dengan pasar memiliki tiga
tugas utama, yaitu melakukan proteksi masyarakat dari pelanggaran
yang dilakukan masyarakat lainnya. Kedua, proteksi itu dimungkinkan
sejauh melindungi dari tekanan atau ancaman individu masyarakat
atas masyarakat lain; negara juga menjaga kondisi agar tetap ada
dalam keadilan. Ketiga, menjaga institusi-institusi publik agar tetap
aman dari tindak kerusakan yang dilakukan oleh komunitas.
Dari penjelasan Smith tampak bahwa negara semaksimal
mungkin tidak melakukan intervensi terhadap pasar. Negara diberikan
tugas pada bidang-bidang tertentu seperti menjaga kemungkinan
terjadinya pelanggaran. Mekanisme pasar dibiarkan berjalan sendiri.
Pada konteks ini pasar menjadi sub sistem dari sebuah masyarakat
yang sangat kuat, berdiri di atas sub lainnya. Negara hanya menjadi
subordinasi dari pasar dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya.
Pasar steril dari kepentingan negara. Kenyataan ini pun telah
menegaskan bahwa ada gejala baru dari proses tersebut, yaitu
“fundamentalisme pasar”. Pasar dengan hukum-hukumnya menguasai
seluruh kehidupan masyarakat.
Kritik atas paham “absolutisme pasar” muncul dari para pemikir
yang dikenal dengan Marxian. Pemikiran komunitas ini bermula dari
tokoh utamanya yaitu Karl Marx. Melalui mahakaryanya, Das Kapital,
Marx menjelaskan bahwa pasar adalah realitas bentukan dari kelas-
kelas kapitalis penguasa. Pasar menjadi arena perjuangan (champ),
bagi kelas-kelas sosial untuk saling menguasai. Di dalamnya, struktur
pertentangan kelas dilanggengkan. Hukum pasar dalam bentuknya
penawaran dan permintaan terjadi dalam relasi yang tidak seimbang.
Pasar dikendalikan para pemilik modal besar dengan cara
memproduksi barang secara besar-besaran, dari keringat para pekerja.
Nilai barang yang diproduksi pekerja ditukarkan tidak sama di pasaran.
Melainkan mereka menerima lebih rendah dari nilai barang yang dijual.
Disparitas itu disebabkan karena pemanfaatan yang dilakukan para
pemilik modal.
Marx menjelaskan tentang pertentangan yang terjadi di pasar
antara kaum kapital besar dengan kelas-kelas kapital kecil. Kemajuan
industri yang ditandai oleh penemuan teknik-teknik yang lebih baru,
canggih, dan mahal tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh perusahaan
dengan modal kecil. Mereka (pemilik modal kecil) tetap memproduksi
barang-barangnya dengan alat-alat tradisional, menjadikan produk-
produk mereka tidak masuk ke pasaran, karena kalah oleh produk
buatan perusahaan-perusahaan dengan modal besar yang diproduksi
dengan alat-alat canggih. Akan terus terjadi pertentangan di antara
dua kelas kapital itu, sampai-sampai para kapital kecil itu menyatukan
diri agar tidak terkalahkan oleh para pemilik modal yang lebih besar.
Dalam konteks yang lain, penguasaan kapital yang besar-
besaran dibarengi dengan kemajuan alat-alat produksi berteknologi
canggih menuntut pergantian tenaga-tenaga buruh oleh mesin-mesin.
Akibat itu selalu menimbulkan endapan pengangguran yang
memungkinkan pengusaha untuk memperketat syarat kerja buruh dan
menurunkan upah buruh yang sedang bekerja. Dengan bertambah
besarnya kapital, tumbuh juga penghisapan, penderitaan, penindasan,
perbudakan yang menimbulkan kemarahan kelas. Pada gilirannya
akan terjadi revolusi, dan kaum kapitalis tengah menggali liang
kuburnya sendiri. Pada akhirnya, sistem perekonomian liberal-kapitalis
harus digantikan dengan sistem lain yang lebih memperhatikan
masalah pemerataan bagi semua untuk semua, yaitu sistem
perekonomian sosialis-komunis.
Negara dalam hubungannya dengan pasar, oleh Marx, dilihat
tidak jauh bedanya dengan pasar, yaitu sebagai instumen kelas yang
berkuasa untuk mengukuhkan dominasinya terhadap kelas yang
tertindas (pekerja). Negara adalah organ bagi dominasi kelas, organ
bagi penindasan kelas sosial atas kelas lainnya; yang memiliki tujuan
untuk penciptaan keteraturan yang di dalamnya melegalisasi dan
melenggengkan penindasan melalui mekanisme pelunakan
ketegangan-ketegangan antarkelas. Negara dan pasar, sama-sama
alat legitimasi para pemilik modal.
Baik Smith maupun Marx ditengarai tidak mampu menjelaskan
persoalan dengan utuh, di mana ekonomi pasar dan negara di
andaikan ada dalam kondisi yang melulu antagonis. Respon terhadap
dualisme itulah kemudian muncul dari pemikir kelahiran Inggris, Jhon
Maynard Keynes. Pemikir ini menilai Smith keliru dengan mengatakan
bahwa ekonomi pasar akan berjalan otomatis, dan akan stabil kembali
ketika terjadi goncangan-goncangan internal dalam pasar. Menurut
Smith, keseimbangan ideal terutama sekali termasuk kesempatan
kerja penuh untuk manusia dan mesin, tidak merupakan sebuah
aturan tetapi merupakan sesuatu yang kebetulan saja. Karenanya,
negara sebagai sebuah kekuatan di luar sistem itu harus menyediakan
pekerjaan yang cukup.
Kritik yang sama juga ditujukan Smith kepada Marx. Menurut
Smith, Das Kapital merupakan buku teori yang usang, karena Marx
sendiri tidak pernah sungguh-sungguh membahas pendapat mengenai
penghisapan buruh yang terjadi di dalam bukunya sendiri. Smith
mengatakan, dalam perjuangan kelas orang yang menemukan dirinya,
Keynes, di pihak kaum borjuis yang berpendidikan itu, sedangkan
dalam politik ia berada di pihak kaum liberal, karena kaum konservatif
tidak menawarkan baik makanan, minuman, hiburan intelektual
maupun spiritual. Kritik lain mengambil bentuknya pada tuduhan
bahwa teori nilai lebih (surplus value) Marx tidak mampu menjelaskan
secara tepat tentang nilai komoditas, karenanya dapat diabaikan.
Pasar dalam sistemnya, menurut Keynes, tidak bisa dilepaskan
dari peran negara. Keynes merekomendasikan agar perekonomian
tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. hingga batas
tertentu peran pemerintah diperlukan. Bila terjadi pengangguran,
misalnya, pemerintah dapat memperbesar pengeluarannya untuk
proyek-proyek padat karya. Langkah itu agar sebagian tenaga kerja
yang menganggur bisa bekerja dan pada akhirnya akan meningkatkan
pendapat masyarakat. Begitupun halnya ketika harga-harga naik
cepat, pemerintah bisa menarik jumlah uang beredar dengan
mengenakan pajak yang lebih tinggi sehingga inflasi yang tak
terkendali pun tidak sampai terjadi.
Analisa Keynes bertolak dari kenyataan objektif yang terjadi
pada awal tahun 30-an, di mana perekonomian negara-negara
pertama mengalami goncangan yang mengakibatkan pada depresi
besar laju ekonomi. Kondisi itu pun menandai runtuhnya tesis yang
pernah dikembangkan para tokoh ekonomi Klasik tentang otonomi
pasar atas negara. Kondisi ini pun menandai gerak pendulum
pertumbuhan ekonomi yang kemudian beralih pada pandangan
pentingnya memperbesar peran pemerintah terhadap pasar.
Demikianlah, dapat secara jelas dikatakan, bila kaum klasik pada
umumnya menganggap tabu campur tangan pemerintah, tapi bagi
Keynes, upaya pemerintah dalam menentukan arah perkembangan
pasar merupakan sebuah keniscayaan. Campur tangan diperlukan
kalau perekonomian berjalan tidak sesuai dengan baik. Meski Keynes
mengkritik liberalisme pasar yang dikembangkan Smith, tapi ia tampak
masih berusaha ingin menyelamatkan sistem liberalisme dengan lebih
mempercantiknya. Lain halnya yang berusaha menghancurkan sistem
tersebut karena dituduh sebagai representasi penguasaan kapitalis,
dan harus diganti dengan sosialis.
Pasar dalam penjelasan Keynes bukan realitas objektif yang
imun dari guncangan, fluktuasi, dan krisis, melainkan ia akan
menemukan hukumnya dalam bentuk yang dinamis. Karenanya
negara bertugas untuk melindungi dan menjaga dari kemungkinan
guncangan itu berakibat lebih jauh terhadap perkembangan ekonomi
masyarakat. Negara menjamin stabilitas pasar dan berkembangnya
masyarakat. Melalui regulasi-regulasi, pembebanan pajak kepada
pemilik modal besar, serta jaminan kesejahteraan sosial bagi
masyarakat, maka negara itu berjalan. Konsep negara dalam bentuk
ini pun sering disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Pandangan Keynes tersebut telah menciptakan revolusi sosial
dalam diskursus ekonomi. Selama tiga atau empat decade sejak tahun
30-an hingga 70-an pandangan Keynes diterima secara luas di negara-
negara berkembang. Sikap itu didasari pada harapan perbaikan sistem
ekonomi pada negara itu. Hingga pada masa selanjutnya tesis tentang
negara kesehateraan pun mulai dipertanyakan menyusul dengan
stagnasi pertumbuhan ekonomi. Stagnasi diduga akibat proteksi pasar
oleh negara, adanya kebijakan keadilan sosial, dan kesejahteraan bagi
rakyat.
Pendulum sejarah pun kembali bergerak ke arah yang
berlawanan, di mana muncul kembali gagasan liberalisme dalam
bentuknya yang baru atau yang dikenal dengan Neoliberalisme.
Kesepakatan Washington (Washington Consensus) merupakan
menifestasi dari pembelaan ekonomi privat terutama yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai
ekonomi internasional. Pokok-pokok ajaran neoliberalisme tergambar
pada: pertama, biarkan pasar bekerja, kedua, kurangi pemborosan
dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif
seperti subsidi pelayanan sosial, ketiga, lakukan deregulasi ekonomi,
keempat, keyakinan terhadap privatisasi, kelima, keyakinan pada
tanggung jawab individual.
Tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah Milton
Friedman. Pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik itu
berpendapat bahwa urusan negara hanyalah masalah tentara dan
polisi, yang melindungi hidup dan milik penduduknya (negara sebagai
penjaga). Terutama sekali negara tidak boleh mencampuri
perekonomian dan menarik pajak dari rakyatnya. Karena menurutnya
telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk jika negara
berusaha untuk mengatasinya.
Ide neoliberalisme sejak penemuannya kali pertama hingga
sekarang seakan menjadi jargon utama bagi perkembangan negara-
negara di dunia. Neoliberalisme meminjam istilah Mansour Fakih telah
menjadi semacam “agama baru” bagi banyak masyarakat negara-
negara di dunia. Berbagai preskripsi diyakini mampu mengatasi
berbagai kemacetan pertumbuhan ekonomi. Ide ini pun
memaklumatkan akan signifikansi pasar bebas antarnegara dengan
menghilangkan berbagai batasan dan regulasi yang akan menghambat
proses globalisasi ekonomi.
PASAR INDONESIA
Keempat mainstream besar pemikiran itu diadopsi secara luas
oleh masyarakat dunia ketiga. Model-model pembangunan ekonomi
yang telah berhasil dikembangkan di dunia-dunia pertama, diyakini
akan menjadi “obat mujarab” bagi ketertinggalan yang dialami
masyarakat pinggiran. Dengan mencontoh model kebijakan dunia
pertama, dipercaya kemajuan akan dengan cepat mengikuti
perkembangan di dunia ketiga. Globalisasi yang menyebabkan negara-
negara berada dalam satu kesatuan, memungkinkan ekspor pemikiran
terjadi secara luas. Bersamaan dengan itu, maka tidak salah bila
kemudian pada kenyataannya banyak negara-negara dalam
mengembangkan ekonomi masyarakatnya dengan menganut prinsip-
prinsip yang ditawarkan para pemikir ekonomi negara dunia pertama,
tidak terkecuali Indonesia.
Indonesia dalam berbagai rumusan kebijakan ekonomi
negaranya tidak terlepas dari arus utama perkembangan diskursus itu.
Tulisan ini akan menelaah secara lebih jauh perkembangan kebijakan
negara terhadap pasar serta pertumbuhan ekonomi pasar terhadap
masyarakat. Di samping itu akan lebih memberikan penekanan yang
pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal ini penting, karena pada
masa ini ditandai fase dimulainya puncak tertinggi dari krisis moneter.
Perkembangan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru sering
dinilai oleh sejumlah kalangan lebih berorientasi pada pasar dan
kepentingan para pemilik modal. Artinya kebijakan perekonomiannya
lebih mementingkan kepada para pemilik modal dibanding berpihak
kepada kepentingan rakyat banyak. Seperti diketahui melalui pinjaman
yang diberikan lembaga-lembaga internasional, pemerintah Indonesia
kemudian membangun bidang ekonominya. Pinjaman yang
diberikannya pun bukan tanpa beban, melainkan harus dibayar oleh
pembuatan regulasi-regulasi yang lebih berpihak kepada kepentingan
pasar. Di antaranya menuntut untuk melakukan deregulasi dan
liberalisasi terhadap asset-aset negara. Upaya itu pun sejalan dengan
keinginan agar masuknya “tangan-tangan” asing ke Indonesia.
Pada sisi yang lain, kebijakan itu pun bertolak belakang dengan
undang-undang yang telah digariskan dalam UUD 1945, di mana
pemerintah Indonesia bertanggungjawab untuk mensejahterakan dan
melindungi rakyatnya. Seperti yang tertera jelas dalam UUD pasal 34
yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara. Dan pasal 33 menyatakan bahwa bumi, air dan
semua yang memenuhi hajat orang banyak dimiliki oleh negara. Dalam
pada kenyataannya, negara memiliki kecenderungan yang sangat
minim perannya terhadap perkembangan kesejahteraanya, sebaliknya
ia lebih memilih berpihak kepada ekonomi pasar dan lembaga
internasional.
Ekspansi dan intervensi yang besar-besaran lembaga-lembaga
internasional terhadap penentuan arah kebijakan pemerintah
Indonesia, ternyata harus ditanggung oleh mayoritas masyarakat
Indonesia dengan munculnya krisis moneter yang puncaknya terjadi
pada 1997. Intervensi pasar yang begitu besar terhadap negara pada
gilirannya harus diterima oleh Indonesia dengan terjadinya krisis di
berbagai bidang, mulai dari ekonomi, sosial, politik, budaya, hingga
krisis kepercayaan.
Indonesia ternyata tidak hanya mengalami problem ekonomi,
tapi juga menghadapi persoalan yang cenderung lebih serius, yaitu
mengendurnya negara-bangsa (nation-state). Seperti diketahui bahwa
Ide negara-bangsa mulai mendapati persoalannya setelah ekspansi
besar-besaran yang dilakukan globalisasi. Negara bangsa diyakini
semakin kurang berdaulat ketimbang masa sebelumnya dalam
konteks kontrol atas urusan dalam negeri mereka. Bahkan bersamaan
dengan mengendurnya ide-ide itu muncul pula ramalan atas hilangnya
ide negara bangsa, diganti dengan negara-dunia (nation-global).
Interkoneksi yang menimbulkan saling ketergantungan
antarnegara dalam bingkai kebutuhan bersama melahirkan kebijakan
yang membebaskan ekonomi dari berbagai hambatan sosial:
privatisasi perusahaan publik, deregulasi control negara, liberalisasi
perdagangan dan industri, potongan pajak yang besar, kontrol keras
atas organisasi buruh, serta pengurangan belanja publik.
Semua negara dan masyarakat sama-sama tunduk pada logika
pasar internasional yang pada jangka panjang akan menguntungkan
dan tak terelakan, dan bahwa masyarakat tidak punya pilihan lain
kecuali menerima kekuatan pembentuk dunia itu. Negara-negara tidak
dapat menghindari dari kebijakan lembaga-lembaga ekonomi
internasional seperti IMF dan World Bank. Kepentingan ekonomi
negara dalam posisinya seringkali dikendalikan oleh kepentingan
ekonomi kapitalisme. Negara sepenuhnya menyerahkan mekanisme
pengaturannya kepada pasar.
Pada fase itulah negara mengalami devisit legitimasinya. Ketika
peran negara dalam tidak mampu melindungi ekonomi nasional dari
gurita ekonomi kapitalis maka pada titik itulah konsep negara-bangsa
mulai mengalami problem sosiologis. Apa yang dialami Indonesia, tidak
lebih dari artikulasi praktik dari sebuah ramalan dan kekhawatiran para
pemikir sebelumnya. Pemerintah Indonesia dalam bentuknya harus
menerima kekalahan dari arogansi pasar yang begitu kuat.
KRISIS LEGITIMASI
Gelombang globalisasi dengan berbagai ajarannya telah
membawa dampak begitu besar dalam kelangsungan sebuah negara
dan kehidupan masyarakat. Bagi negara, krisis legitimasi menjadi
sangat memungkinkan dihadapi. Pasalnya, negara akan diklaim gagal
memenuhi kebutuhan hajat dari rakyatnya setelah orientasinya lebih
beralih kepada mekanisme ekonomi pasar. Orientasi itulah yang
kemudian mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi atau moneter yang
puncaknya pada 1997. Hingga sekarang krisis itu masih terasa
dampaknya.
Krisis ekonomi diramalkan oleh Jurgen Habermas akan
melahirkan krisis legitimasi. Kondisi ini (legitimation crisis) dijelaskan
oleh Habermas melalui pendekatan konsep adaptip (Adaptation),
pencapaian tujuan (Goal Attainment), integrasi (Integration), dan pola
pemeliharaan (Latency) atau dikenal AGIL yang dikembangkan oleh
pemikir sebelumnya, yaitu Talcott Parsons. Adaptation adalah fungsi
bagi sebuah sistem yang menjamin terpenuhinya apa yang dibutuhkan
dari lingkungan dan mendistribusikannya. Sistem ini mengambil
bentuknya pada sistem ekonomi. Goal Attainment adalah fungsi yang
menjamin bagi terpenuhinya tujuan sistem yang diwakili oleh sistem
politik atau pemerintahan. Integration adalah fungsi dari sebuah sistem
yang menjamin berlangsungnya hubungan antarindividu yang diwakili
oleh komunitas sosial. Latencyadalah prasyarat yang menunjuk pada
cara bagaimana menjamin kesinambungan tindakan sesuai dengan
norma.
Legitimasi merupakan output yang lahir dari komunitas
sosial meliputi kepercayaan sosial (social trust) dan solidaritas.
Pengakuan yang lahir dari masyarakat terhadap pemerintah
merupakan input, masukan dari fungsi yang dimainkan sendiri oleh
pemerintah sebagai penjamin tercapainya tujuan dari sistem
masyarakat. Keberadaan negara diakui sejauh memberikan
sumbangan positif bagi pelindungan hak-hak ekonomi warga dalam
memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, bila tidak mampu melindungi
pengakuan dan kepercayaan itu akan luntur.
Dalam konteks ini bagaimana pun menurut Habermas
negara tidak dapat terlepas dari perannya terhadap ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi menjadi persoalan pengakuan politik dari
masyarakat. Begitupun sebaliknya krisis ekonomi yang akan terjadi
pun akan menjadi krisis politik. Keadaan ini pada gilirannya akan
memaksa negara untuk menghimpun berbagai sumber dari sistem
sosial budaya untuk memulihkan keseimbangan fungsi. Akan tetapi
karena krisis politik itu sekali lagi mencerminkan konflik kepentingan
mendasar dalam masyarakat kelas, maka mustahil menyelesaikan
persoalan ini langsung melalui mekanisme integrasi sosial. Hal ini
menyebabkan negara semakin kesulitan menjustifikasi kebijakan-
kebijakannya. Kesulitan inilah yang kemudian menciptakan defisit
legitimasi.
Ramalan Habermas mendapat artikulasinya dalam bentuk
yang lebih konkrit pada krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang
puncaknya pada 1997. Pemerintah Indonesia yang lebih berpihak
kepada kepentingan pasar ternyata harus mengaku kalah dari
kekuatannya konsekuensinya adalah krisis moneter yang
berkepanjangan. Kedudukan pasar yang begitu besar dalam
menentukan kehidupan masyarakat pada satu sisi, dan lemahnya
sistem pengaturan negara pada sisi yang lain, maka berakibat kuat
pada munculnya destruksi pasar terhadap rakyat kecil atau para
pemilik modal kecil. Negara diklaim tidak mampu menjaga kestabilan
harga dan melindungi warganya yang memiliki kapital kecil dari
hisapan kapital besar. Puncaknya adalah hilangnya trust masyarakat
terhadap pemerintah. Kondisi menghilangnya trust kemudian
berakibat lanjut pada krisis legitimasi terhadap pemerintah.
Fakta ini dapat kita saksikan dari munculnya sejumlah aksi
demontrasi menentang setiap kebijakan pemerintah, bahkan beberapa
bulan yang lalu sempat muncul “cabut mandat” yang dilakukan oleh
sejumlah tokoh nasional terhadap pemerintah yang tengah berjalan
sekarang. Masyarakat seakan berjalan masing-masing, tanpa kendali
pemerintah. Masyarakat tampak seakan memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri dengan bersaing dipasaran. Masyarakat cenderung
tidak lagi percaya dengan keberadaan pemerintah. terlebih lagi pada
masyarakat kecil, yang dewasa ini seringkali menjadi “korban
kebijakan” yang merugikan.
Dalam analisa yang lebih jauh, ternyata ekspansi pasar dalam
dunia kehidupan masyarakat tidak hanya menyebabkan munculnya
krisis legitimasi kepada sistem politik atau pemerintah yang tidak
mampu melindungi dan menjaga dari pemenuhan kebutuhan ekonomi,
melainkan juga menimbulkan konsekuensi bagi krisis yang lain, yaitu
lahirnya krisis motivasi, krisis solidaritas, hingga krisis identitas.
Mengendurnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
Indonesia mengakibatkan pada lahirnya gejala krisis motivasi yang
ditandai mulai meredupnya komitmen setiap individu masyarakat
terhadap kerja yang dilakukan selama ini. Masyarakat akhirnya lebih
memiliki motivasi untuk mementingkan kebutuhannya dibanding untuk
mengabdi pada negara. Masyarakat dewasa ini cenderung memiliki
kepercayaannya lebih kepada hukum-hukum yang telah ditentukan di
pasar.
Pada dimensi yang lain, ternyata pengaruh itu tidak berjalan
mulus, ekspansi pasar yang begitu besar dalam menentukan
kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata melahirkan destruksi bagi
munculnya krisis dalam bentuk lain, yaitu krisis solidaritas dan krisis
identitas. Masyarakat civil society, dengan berbagai sub sistem di
dalamnya memiliki fungsi perlindungan dan jaminan bagi terjadinya
keberlangsungan dan kesinambungan tindakan setiap komponen di
dalamnya agar sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Melalui
norma maupun aturan yang diciptakan baik dari konvensi maupun
secara formal, maka civil society saling memperkuat di antara mereka.
Ikatan yang kuat di antara mereka sendiri melahirkan solidaritas sosial
yang berfungsi memiliki sistem integratif di dalamnya.
Ikatan-ikatan solidaritas tersebut akan berada di dalam
ancaman, di mana antara masyarakat akan dengan mudah terjadi
pertentangan. Solidaritas adalah hasil dalam bentuknya yang normatif
dari sebuah hubungan antarmasyarakat yang diatur berdasarkan
sebuah norma. Ikatan-ikatan lama yang mewujud pada terjalinnya
kekerabatan (kinship) akan dengan sendirinya tergantikan dengan
ikatan-ikatan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional. Konsekuensi
ekonomi pasar dalam masyarakat berakibat pada tergantikannya
modus relasi antara masyarakat yang sebelumnya diukur berdasarkan
solidaritas primordial dan kekeluargaan kemudian diganti oleh pola
hubungan yang lebih didasarkan modus produksi ekonomi.
Asumsi itu bisa dibuktikan dengan kenyataan yang terjadi di
banyak masyarakat kita. Hubungan antarmasyarakat cenderung lebih
mempertimbangkan rasionalitas ekonomi atau kalkulasi untung-rugi,
jarang lebih mengedepankan semangat kebersamaan dan
kekeluargaan. Logika-logika ekonomi pasar seringkali digunakan oleh
kebanyakan masyarakat kita dalam membangun hubungan di antara
sesamanya. Institusi-institusi kultural tidak luput dari pengaruh ini,
bahkan hingga ke subsistem yang paling terkecil dalam masyarakat,
seperti keluarga.
Krisis identitas mengambil bentuknya yang lain yang terjadi di
masyarakat. Berbagai ragam nilai dan produk yang ditawarkan oleh
pasar, dan masyarakat memungkinkan mendapat akses secara bebas
terhadap produk-produk itu Nilai-nilai yang lebih mengedepankan
kebebasan, seperti konsumerisme, instans, dan serba cepat kerapkali
direspons secara berlebihan dari masyarakat. Globalisasi yang
menawarkan sejumlah nilai itu pada akhirnya menimbulkan gagap.
Komunitas mengalami meminjam istilah Karl Marx teralienasi, atau
terasing dari kondisi barunya.
Identitas yang dimiliki masyarakat relevansinya dengan ekspansi
globalisasi pasar tengah diuji; apakah akan memilih kooperatif dan
menyesuaikan dengan identitas yang baru atau sebaliknya resistensi
terhadap identitas baru itu. Gejala yang ada di masyarakat sekarang
ditemukan bahwa muncul kecenderungan menguatnya identitas-
identitas kultural seperti dengan munculnya organsasi-organisasi
primordial atau berbasis pada agama tertentu seperti FBR atau FPI.
Identitas masyarakat menjadi lebih sangat beragam dan terpolarisasi
kepada berbagai komunitas tertentu, pada gilirannya kondisi ini akan
mengancam pada masa depan demokrasi yang tengah berkembang di
Indonesia.
PENGARUH LIBERALISME KLASIK TERHADAP
PERKEMBANGAN NEOLIBERALISME DAN GLOBALISASI
Ekonomi Politik
Oleh :
FIDEL
06193078
JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2008