Upload
ekpd
View
6.930
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan Akhir EKPD 2009 Provinsi Sumatera Utara oleh Universitas Sumatera Utara
Citation preview
Kata Pengantar
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) atas pelaksanaan RPJMN 2004-2010
Tahun 2009 adalah evaluasi yang ke empat terhadap kinerja pelaksanaan RPJMN
tersebut. Tujuan dari evaluasi ialah mendapatkan gambaran yang jelas dan akurat
tentang tingkat capaian pembangunan nasional di daerah sehingga dapat digunakan
sebagai salah satu masukan berharga untuk penyusunan rencana pembangunan
berikutnya. Sebagaimana halnya di provinsi-provinsi lain di Indonesia, pelaksanaan
evaluasi di Provinsi Sumatera Utara dilakukan oleh tim Universitas Sumatera Utara yang
dipimpin langsung oleh Rektor USU.
Sesuai dengan ketentuan dan tahapan yang ditetapkan oleh Bappenas selaku pemberi
tugas kepada USU, tim telah melakukan survai / pengumpulan data ke berbagai instansi
pemerintah antara lain ialah Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Bappeda Provinsi
Sumatera Utara termasuk berbagai SKPD dan sumber-sumber lain yang relevan.
Laporan ini adalah Laporan Akhir yang telah disempurnakan oleh Tim EKPD USU
berdasarkan masukan yang diperoleh dari hasil seminar EKPD 2009 yang
diselenggarakan di Jakarta November 2009.
Kepada seluruh anggota tim yang telah bekerja keras dalam mengumpulkan data,
berdiskusi dan mempersiapkan laporan ini saya mengucapkan terima kasih. Semoga
laporan ini memberi banyak manfaat sebagai masukan kepada pemerintah khususnya
Bappenas dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menyusun RPJMN 2010-
2014.
Medan, Desember 2009
Rektor,
Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp A(K)
NIP. 19450318 197302 1001
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang dan Tujuan ---------------------------------------------------------- 1 1.2. Keluaran ----------------------------------------------------------------------------------- 3 1.3. Metodologi --------------------------------------------------------------------------------- 3 1.4. Sistematika Penulisan Laporan ------------------------------------------------------ 5
BAB II HASIL EVALUASI 6
2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 6 2.1.1. Capaian Indikator 6
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa Analisis Relevansi Analisis efektifitas
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 19 Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang outcomes yang spesifik dan menonjol
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan 20 2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 20
2.2.1. Capaian Indikator 20 Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa Analisis Relevansi Analisis efektifitas
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 39 Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik dan menonjol
2.2.3. Rekomendasi Kebijakan 39 2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI 40 2.3.1.Capaian Indikator 41
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa Analisis Relevansi Analisis efektifitas
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 59 Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik dan menonjol
2.3.3.Rekomendasi Kebijakan 59 2.4 KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 61
2.4.1 Capaian Indikator 61 Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa Analisis Relevansi Analisis efektifitas
2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 68 Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang outcomes yang spesifik dan menonjol
2.4.3 Rekomendasi Kebijakan 69 2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT 69
2.5.1. Capaian Indikator 69 2.5.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol 75 2.5.3. Rekomendasi Kebijakan 76
BAB III. KESIMPULAN 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dan Tujuan
Pembangunan daerah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan
nasional, pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas
daerah dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi daerah tersebut khususnya
bagi masyarakat dalam semua lapisan dan bagian wilayah. Karena tanggung jawab
utama keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah berada pada Pemerintah
Daerah maka kepada setiap Pemerintah Daerah diberikan kewenangan sesuai dengan
kebutuhannya untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan di daerahnya
masing-masing seperti dinyatakan oleh UU No. 32 Tahun 2004. Namun demikian, peran
Pemerintah Pusat dalam pembangunan daerah juga tidak kalah pentingnya yaitu
menjamin bahwa pembangunan di daerah-daerah akan tetap terintegrasi satu dengan
yang lain dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk pencapaian kondisi
yang demikian, Pemerintah Pusat menyusun berbagai rencana berskala nasional yang
menjadi pemersatu seluruh rencana pembangunan yang disusun oleh masing-masing
Pemerintah Daerah.
Salah satu rencana pembangunan yang disusun oleh Pemerintah Pusat ialah Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Provinsi Sumatera
Utara yang merupakan salah satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
telah telah pula memiliki RPJM-D Tahun 2004-2009 yang salah satu rujukan utamanya
ialah RPJMN Tahun 2004-2009 disamping dokumen-dokumen perencanaan lain.
Implementasi RPJMN Tahun 2004-2009 telah berjalan selama 4 tahun. Evaluasi
terhadap capaian / keberhasilan implementasi RPJMN Tahun 2004-2009 di setiap
Provinsi termasuk Provinsi Sumatera Utara telah dilakukan setiap tahun mulai tahun
2005, dan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya yaitu 2006, 200 dan 2008. Derajad
capaian kinerja pembangunan setiap tahun telah dievaluasi dan berbagai masalah dan
isu-isu strategis juga telah berhasil diidentifikasi.
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 di Provinsi Sumatera Utara
dilaksanakan sebagai lanjutan terhadap evaluasi tahun-tahun sebelumnya. Berbeda
2
dengan cara evaluasi sebelumnya, evaluasi tahun 2009 mencakup penilaian terhadap
relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan Daerah Sumatera Utara dalam rentang
waktu 2004-2008. Evaluasi tentang relevansi dan efektifitas dilakukan untuk melihat
apakah pelaksanaan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara telah sinkron dengan
rencana pembangunan nasional serta efektif atau tidak dalam mencapai tujuan /
sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat dalam semua lapisan dan bagian
wilayah benar-benar telah mendapatkan manfaat dari pembangunan tersebut
sebagaimana dinyatakan dalam tujuan pembangunan nasional.
Seperti halnya dengan evaluasi tahun-tahun lalu, evaluasi ini secara kuantitatif
diharapkan akan memberikan informasi penting yang berguna sebagai alat untuk
membantu pemangku kepentingan dan pengambil keputusan pembangunan dalam
memahami, mengelola dan memperbaiki apa yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil
evaluasi ini akan digunakan sebagai bahan rekomendasi yang spesifik sesuai dengan
kondisi Sumatera Utara guna mempertajam perencanaan dan penganggaran
pembangunan pusat dan daerah Sumatera Utara untuk periode berikutnya termasuk
untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Konsentrasi (Dekon)
bagi Daerah Sumatera Utara.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diadakannya evaluasi kinerja pembangunan
daerah tahun 2009 ini, tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kegiatan ini ialah
untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan akurat tentangan tingkat capaian hingga
tahun ke empat pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2004-2009 di Daerah Sumatera Utara dengan sasaran sebagai berikut:
1) Tersedianya data dan informasi yang akurat dan objektif tentang evaluasi
kinerja pembangunan hingga tahun ke empat RPJMN 2004-2009 di Provinsi
Sumatera Utara
2) Teridentifikasinya sinkronisasi arah dan tujuan pembangunan daerah
Sumatera Utara dan pembangunan nasional
3) Teridentifikasinya isu-isu strategis daerah Sumatera Utara
4) Tersusunnya berbagai rekomendasi tindak lanjut dalam perumusan kebijakan
nasional dan daerah.
3
1.2. Keluaran Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2009 ini meliputi:
1) Data dan informasi serta analisis tentang upaya, capaian dan permasalahan
dalam pelaksanaan tahun ke empat RPJMN Tahun 2004-2009 di Sumatera
Utara
2) Identifikasi konsistensi arah dan tujuan pembangunan Sumatera Utara
dengan pembangunan nasional
3) Isu-isu strategis daerah Sumatera Utara
4) Rekomendasi tindak lanjut untuk perbaikan pelaksanaan tahun ke lima
RPJMN 2004-2009 dan bahan masukan untuk penyusunan RPJMN Tahun
2010-2014
1.3 Metodologi Metode yang digunakan untuk menentukan capaian 5 kelompok indikator hasil yang
telah dijelaskan diatas adalah sebagai berikut:
1) Indikator hasil (outcomes) disusun dari beberapa indikator pendukung terpilih
yang memberikan kontribusi besar untuk pencapaian indikator hasil (outcomes)
2) Pencapaian indikator hasil dihitung dari nilai rata-rata indikator pendukung yang
dinyatakan dalam persentase sebagai nilai satuan.
3) Indikator pendukung yang satuannya bukan berupa persentase, tidak
dimasukkan dalam rata-rata, dan ditunjukkan dalam tampilan tersendiri.
4) Apabila indikator hasil (outcomes) dalam satuan persentase memiliki makna
negatif maka sebelum dirata-ratakan nilainya harus dirubah atau dikonversikan
terlebih dahulu menjadi (100%) – (persentase pendukung indikator negatif). Hal
seperti ini akan ditemui misalnya pada perhitungan nilai indikator pendukung
kemiskinan. Jika persentase kemiskinan tinggi maka kesejahteraan sosialnya
akan semakin rendah.
5) Pencapaian indikator hasil adalah jumlah nilai dari penyusunan indikator hasil
dibagi jumlah dari penyusunan indikator hasil (indikator pendukungnya). Sebagai
contoh, indikator tingkat kesejahteraan sosial disusun oleh:
4
a. Persentase jumlah penduduk miskin
b. Tingkat pengangguran terbuka
c. Persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak
d. Persentase pelayanan sosial bagi orang lanjut usia
e. Persentase pelayanan dan rehabiliasi sosial
Semua penyusun komponen indikator hasil ini bermakna negatif seperti dijelaskan
dalam butir 4) diatas.
Untuk menilai kinerja pembangunan daerah Sumatera Utara, pendekatan yang
digunakan ialah relevansi dan efektifitas.
Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauh mana tujuan / sasaran pembangunan
yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama dan tantangan. Dalam hal
ini, relevansi pembangunan daerah dilihat dari tren capaian pembangunan daerah,
apakah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan
dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas pembangunan
dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah membaik dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang digunakan ialah:
a. Pengamatan langsung
Pengamatan langsung kepada masyarakat sebagai subjek dan objek
pembangunan di daerah, diantaranya dalam bidang sosial, ekonomi,
pemerintahan, politik, lingkungan hidup dan permasalahan lainnya yang terjadi di
wilayah provinsi Sumatera Utara
b. Pengumpulan data primer
Data primer diperoleh melalui Focus Group Discussion dengan pemangku
kepentingan pembangunan daerah. Tim Evaluasi Provinsi Sumatera Utara
memfasilitasi diskusi tersebut untuk menggali data dan informasi dari pemangku
kepentingan terkait.
5
c. Pengumpulan data sekunder
Data dan informasi sekunder yang telah tersedia pada instansi pemerintah
seperti BPS di Sumatera Utara, Bappeda dan Satuan Kerja Perangkat Daerah
merupakan sumber-sumber yang sangat potensial untuk disurvei.
1.4. Sistematika Penulisan Laporan Bab I : Pada bagian ini dijelaskan latar belakang, tujuan, keluaran dan metodologi
dilakukannya kajian terhadap knerja pembangunan daerah dari Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah yang kemudian diselaraskan dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasioanl melalui prinsip relevansi dan efektivitas,
sehingga didapatkan gambaran yang jelas dan akurat tentangan tingkat capaian hingga
tahun ke empat pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2004-2009.
Bab II : Bagian ini menjelaskan capaian dari masing-masing indikator dari
pengelompokan 5 kategori indikator hasil (outcomes) yang mencerminkan
tujuan/sasaran pembangunan daerah meliputi:Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi,
Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia, Tingkat Pembangunan Ekonomi, Kualitas
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Tingkat Kesejahteraan sosial. Kemudian dianalisis
relevansi dan efektifitas capaian indikator-indikator tersebut secara komposit dengan
membandingkannya dengan tren nasional untuk mengetahui apakah capaian dalam
masing-masing kelompok indikator untuk mengetahui seberapa relevan dan efektif
capaian tersebut. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol juga dilakukan untuk
mendapatkan gambaran indikator apa yang cukup spesifik dan menonjol diantara
semua indikator yang dianalisis. Berdasarkan analisis di atas akhirnya diberikan
Rekomendasi Kebijakan.
Bab III : Bagian ini berisikan kesimpulan apakah capaian tujuan/sasaran pembangunan
daerah telah relevan dan efektif terhadap tujuan/sasaran pembangunan nasional.
6
BAB II HASIL EVALUASI
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 2.1.1. Capaian Indikator Kasus Korupsi
Korupsi adalah salah satu tindak kejahatan yang dipandang sebagai masalah yang
sangat serius di Indonesia. Kepekaan masyarakat terhadap tindak kejahatan korupsi
serta proses penanganan/penindakan para pelaku kejahatan oleh aparat penegak
hukum telah demikian peka. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, aparat
penegak hukum di Sumatera Utara telah menunjukkan kesigapan yang semakin tinggi
dalam melakukan penangan setiap tindak pidana korupsi. Berdasarkan data yang
terhimpun dari Kejaksaan Tinggi (Kajati) Provinsi Sumatera Utara, dalam periode 2004-
2009, hampir separuh kasus korupsi yang masuk tertangani serta dijatuhi hukuman.
Jumlah kasus korupsi yang dilaporkan dalam periode 2004-2009 sangat berfluktuasi
yaitu sebagai berikut: Tahun 2004 terdapat 40 kasus dan 100 % telah/sedang diproses
dengan rincian 35 % dijatuhi vonis dan 65 % sedang diproses; tahun 2005 terdapat 34
kasus dan juga 100 persen telah ditangani dengan rincian 35,3 % sudah dijatuhi vonis
dan 64,7 % sedang diproses; tahun 2006 terdapat 41 kasus dan 100 % tertangani
dengan rincian 21,9 % dijatuhi vonis, 2,4 % divonis bebas, dan 75,7 % sedang
ditangani/proses; tahun 2007 terdapat 53 kasus dan 100 % tertangani dengan rincian
50,9 % dijatuhi vonis dan 49,1 % sedang ditangani; tahun 2008 terdapat 121 kasus dan
100 % tertangani dengan rincian 45,5 % dijatuhi vonis dan 54,5 % sedang ditangani .
Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat relevansi penanganan kasus korupsi di
Sumatera Utara dengan tujuan nasional, dimana Sumatera Utara menunjukkan angka
penanganan kasus korupsi yang lebih baik dari tingkat nasional, dimana pada tingkat
nasional kasus korupsi yang tertangani masih di bawah angka 100 % bila dibanding
dengan kasus korupsi yang masuk (lihat Gambar 2.1).
Jumlah kasus korupsi yang masuk ke Kajati Sumatera Utara tahun 2004-2008
mengalami fluktuasi dari tahun 2004-2006, dan mengalami peningkatan dari tahun
2006-2008. Dibandingkan dengan angka nasional dalam hal pemberantasan korupsi di
Provinsi Sumatera Utara relatif lebih baik, meskipun jumlah kasus korupsi yang ada
7
pada tahun 2007 menempatkan Sumatera Utara menjadi daerah terkorup ketiga setelah
DKI Jakarta dan Jawa Timur, dan pada tahun 2008 menjadi urutan kedua.
Analisis Relevansi dan Efektivitas
Trend peningkatan kasus korupsi yang masuk / terungkap ke Kajati sejak tahun 2006-
2008 antara lain disebabkan oleh: 1) Semakin efektifnya para penegak hukum
(Kejaksaan, Kepolisian) dalam mengejar kasus-kasus korupsi; 2) Kultur masyarakat
Sumatera Utara yang terbuka, tegas, dan berani untuk melaporkan kasus-kasus korupsi
yang mereka ketahui; 3) Semakin efektifnya LSM dan media massa mengawasi
tindakan korupsi; 4) Putusan pengadilan yang belum menimbulkan efek jera bagi para
pelaku korupsi karena hukumannya masih relatif ringan; dan 5) Mentalitas masyarakat
Sumatera Utara (khususnya aparat) yang masih terbelenggu dengan mentalitas korup.
Gambar 2.1 : Kasus Korupsi yang Tertangani Dibandingkan yang Dilaporkan
Penanganan kasus korupsi di Sumatera Utara sangat baik, hal ini terlihat kemampuan
dan pekanya aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan terhadap masalah korupsi
yang dilaporkan sehingga selalu mengupayakan penanganan tindak pidana korupsi 100
persen setiap tahunnya, meskipun angka kasus korupsi yang dilaporkan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Tertanganinya kasus karupsi yang dilaporkan ini
disebabkan antara lain: 1) Kerja keras yang dilakukan aparat penegak hukum,
khususnya Kajati Sumatera Utara; dan 2) Ketersediaan SDM yang semakin memadai
walupun masih tetap dirasakan belum mencukupi untuk menangani kasus-kasus korupsi
yang dilaporkan
8
Meskipun semua (100 %) kasus yang dilaporkan tertangani oleh Kajatisu, namun
penanganan kasus korupsi yang dapat diselesaikan hingga jatuhnya vonis di Sumatera
Utara juga mengalami fluktuasi. Fluktuasi kemampuan menangani kasus korupsi
dipengaruhi antara lain: 1) Jumlah kasus korupsi yang meningkat; 2) Keterbatasan
jumlah aparat penegak hukum dibandingkan dengan kasus korupsi yang dilaporkan; 3)
Kapasitas SDM yang masih sangat terbatas; dan 4) Keterbatasan dana, baik untuk
peningkatan kapasitas SDM maupun biaya operasional penanganan kasus korupsi.
Aparat yang Berijazah Minimal S1
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor yang menentukan
bagi kualitas pelayanan publik (public services). Tingkat pendidikan pegawai birokrasi
pemerintah (Pegawai Negeri Sipil-PNS) merupakan salah satu indikator untuk melihat
kualitas SDM yang tersedia. Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Provinsi Sumatera Utara
pada tahun 2008 berjumlah 184.381 orang. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumatera Utara, diketahui bahwa jumlah
pegawai yang berijazah minimal S1 dalam periode 2004-2008 mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 jumlah pegawai yang berijazah minimal S1
berjumlah 19,97 %, pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 terus yang masing-masing
adalah 24,71 %, 28,58 % (2006), 29,88 % dan 32,07 %.
Analisis Relevansi dan Efektivitas Bila dibandingkan dengan persentase Pegawai Negeri Sipil secara Nasional yang
berkualifikasi S1, maka trend peningkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
berkualifikasi S1 di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan persentase yang terus
meningkat, bahkan pada tahun 2008 sudah mampu melampaui persentase nasional,
meskipun hingga tahun 2007 Provinsi Sumatera Utara masih berada di bawah
persentase nasional. Jumlah Pegawai Negeri Sipil tingkat nasional juga berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Pada Juni 2009, keseluruhan Pegawai Negeri Sipil tingkat nasional
berjumlah 4.192.602 orang. Pada tahun 2004 jumlah PNS yang berijazah S1 berjumlah
29,9 %, mengalami peningkatan pada tahun berikutnya menjadi sebesar 31 % (2005)
dan 31,93 % (2006). Namun pada tahun berikutnya (2007) mengalami penurunan
menjadi 30,6 persen, dan pada tahun 2008 kembali mengalami peningkatan menjadi
30,99 % (lihat Gambar 2.2). Dari uraian di atas terlihat bahwa program peningkatan
9
pendidikan aparat untuk mencapai ijazah S1 di Sumatera Utara cukup relevan dengan
pembangunan nasional dan juga cukup efektif karena telah melampaui tingkat nasional.
Gambar 2.2 : Aparat yang Berijazah Minimal S1
Trend peningkatan jumlah PNS yang berkualifikasi S1 di Provinsi Sumatera Utara antara
lain disebabkan oleh: 1) Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk
meningkatkan kualitas SDM-nya, yang antara lain ditunjukkan melalui indikator tingkat
pendidikan minimal S1; 2) Munculnya kesadaran para pegawai untuk meningkatkan
kapabilitasnya melalui jalur pendidikan sejalan dengan tuntutan global yang terus
berubah dan tuntutan promosi jabatan, sehingga sebagain pegawai yang pada awalnya
hanya berkualifikasi pendidikan setingkat SLTA, banyak diantara mereka yang
melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 (izin kuliah) tanpa mengganggu pekerjaan
mereka sehari-hari dengan cara mengambil kuliah pada sore hari dan malam hari
setelah selesai jam kerja; dan 3) Kebijakan Pemprov dalam rekrutmen pegawai baru
yang memberi porsi lebih besar untuk calon yang berpendidikan S1 dibandingkan
dengan calon yang berpendidikan SLTA atau sederajat merupakan faktor lain yang
menyebabkan trend peningkatan jumlah PNS yang berkualifikasi S1 di Provinsi
Sumatera Utara.
10
Pelayanan Satu Atap
Sesuai dengan Permendagri nomor 24 tahun 2006, setiap kabupaten/kota diharuskan
membentuk Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Melalui
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu seperti terlihat dalam Tabel 2.1,
diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat,
sehingga pelayanan dapat menjadi lebih efisien dan efektif. Di Sumatera Utara
Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini telah terbentuk di beberapa Kabupaten/Kota, yaitu:
Tabel 2.1 : Kabupaten Kota yang Memiliki Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
No. Kabupaten/Kota Dasar Pembentukan
1. Mandailing Natal Perda Nomor 6 Tahun 2007 2. Tapanuli Tengah Perda Nomor 30 Tahun 2007 3. Nias Perda Nomor 5 Tahun 2007 4. Serdang Bedagai Perda Nomor 3 Tahun 2007 5. Tapanuli Utara Perda Nomor 22 Tahun 2006 6. Binjai Perda Nomor 3 Tahun 2007 7. Padang Sidempuan Peraturan Walikota Padang Sidempuan
Nomor 47 tahun 2007 8. Asahan Perda Nomor 3 Tahun 2003 9. Deli Serdang Peraturan Bupati Deli Serdang Nomor 997
Tahun 2007 10. Padang Lawas Peraturan Bupati Nomor 060/110/208 11. Nias Selatan Peraturan Daerah Kabupaten Nias Selatan
Nomor 24 Tahun 2008 12. Tebing Tinggi Perda Nomor 17 Tahun 2008 13. Samosir Perda Nomor 21 Tahun 2007 14. Tanjung Balai Peraturan Walikota Nomor 13 Tahun 2007 15. Simalungun Perda No.36 Tahun 2008 16. Padang Lawas Utara • Perbup No.3 Tahun 2008
• Perbup No.38 Tahun 2008 • Per Gub No.6 Tahun 2008
Dari 25 Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara, sampai dengan tahun 2009
sebanyak 64 % telah membentuk Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PPTSP), dan hanya 40 % saja yang sudah menjadi Peraturan daerah (Perda),
sedangkan 24 % kabupaten/kota yang lain baru membentuknya dalam bentuk Peraturan
Bupati/Walikota. Sebanyak 36 % lainnya belum membentuk atau masih dalam proses
pembentukan. Banyaknya PPTSP di Sumatera Utara masih berada di bawah angka
nasional (tahun 2008) yang mencapai 74,31 %.
11
Gambar 2.3 : Kabupaten/Kota yang Memiliki Peraturan Daerah Pelayanan Satu Atap
Analisis Relevansi dan Efektivitas Kewajiban Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan “Pelayanan Satu Atap”
Permendagri N0. 24 /2006 adalah sebagai upaya pelayanan publik secara terpadu atau
populer dengan istilah Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Meskipun terjadi peningkatan,
jumlah Kabupaten/Kota yang belum menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu,
masih belum relatif rendah yaitu sekitar 36 %. Beberapa faktor yang menyebabkan
masih rendahnya respons Kabupaten/Kota terhadap Permendagri No. 24 /2006 tersebut
antara lain ialah: 1) Pelayanan Satu Pintu masih dianggap oleh sebagian Pemerintah
Kabupaten/Kota akan menurunkan potensi PAD; 2) Banyaknya pihak-pihak di
Pemerintahan Kabupaten/Kota yang merasa dirugikan dengan Pelayanan Satu Atap
karena akan menghilangkan sumber-sumber dana bagi instansinya; dan 3)
Keterbatasan Sumber Daya Manusia yang ada. Alasan-alasan tersebut sebenarnya
merupakan gambaran bahwa beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota belum menyadari
sepenuhnya substansi dari Pelayanan Satu Atap dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik bagi masyarakat.
Jika tren capaian indikator-indikator pelayanan publik dievaluasi secara komposit maka
diperoleh gambaran bahwa tingkat capaian indikator pelayanan publik di Sumatera
Utara menunjukkan tren yang terus menurun yaitu pada tahun 2005 mencapai
pertumbuhan 0.85 % dan tahun 2006 sebesar 0.31 %. Selanjutnya pada tahun 2007 dan
2008 menunjukan angka negatif yaitu masing-masing -0.61 % dan -0.46 %. Tren
12
capaian ini jauh berbeda dengan tren nasional yang menunjukkan tren positif yang terus
meningkat yaitu 2.87 % pada tahun 2005 yang kemudian meningkat menjadi 8.38 %
pada tahun 2006 dan selanjutnya menjadi 28.40 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008
menurun menjadi 8.25 %. Berdasarkan gambaran ini jelas terlihat bahwa capaian
indikator pelayanan publik di Sumatera Utara tidak relevan dan juga tidak efektif seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4:Tren Capaian Kualitas Pelayanan Publik
Gender Development Index (GDI)
Permasalahan gender yang dihadapi sampai saat ini adalah masih rendahnya kualitas
hidup perempuan dan kesenjangan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan
perempuan. Permasalahan ini dapat dilihat antara lain dari gambaran peringkat
Gender-related Development Index (GDI) Indonesia yang diukur dari variable angka
harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi sekolah dan GDP riil per-kapita
antara laki-laki dan perempuan di Sumatera Utara seperti terlihat dalam Gambar 2.5.
13
Gambar 2.5 : Gender-related Development Index
GDI Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 yaitu 61,70 %, 62,96 % (2005), 63 %
(2006), 63,50 % (2007), 64 % (2008), dan 64,4 % (2009). Dari tahun ke tahun GDI
Sumatera Utara terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, Sumatera Utara
menduduki peringkat 7 GDI nasional, dan pada tahun 2006 telah naik menduduki
peringkat 4 nasional. Jika dibandingkan dengan angka GDI nasional dalam rentang
periode yang sama yaitu 63,94 % (2004); 65,13 % (2005); 65,3 % (2006); 65,8 %
(2007); 65,8 % (2008) terlihat bahwa kenaikan angka GDI Sumatera Utara masih berada
secara signifikan dibawah GDI nasional.
Analisis Relevansi dan Efektivitas Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.5, angka GDI Sumatera Utara dalam periode 2004-
2008 secara terus-menerus mengalami peningkatan seperti halnya yang juga terjadi
secara nasional. Peningkatan angka GDI adalah disebabkan antara lain: 1) Adanya
perbaikan terhadap indikator-indikator angka harapan hidup, angka melek huruf, angka
partisipasi sekolah dan GDP riil per-kapita antara laki-laki dan perempuan. Artinya,
angka harapan hidup di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. 2) Angka melek huruf yang terus membaik dari tahun ke tahun. Kedua indikator
tersebut menunjukkan adanya peningkatan kualitas kesehatan dan pelayanan
pendidikan di Sumatera Utara, khususnya yang bagi kaum perempuan.
14
Kenaikan angka GDI Sumatera Utara secara berkelanjutan seperti halnya kenikan GDI
nasional menunjukkan bahwa pembangunan sumberdaya manusia di Sumatera Utara
dilihat dari GDI sangat relevan dengan pembangunan nasional. Namun demikian,
karena angka GDI Provinsi Sumatera Utara masih terus berada dibawah angka GDI
nasional. Situasi ini menunjukkan bahwa program peningkatan angka GDI Sumatera
Utara dalam periode 2004-2008 dinilai masih tidak efektif.
Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement/GEM) meliputi
variabel partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik dan pengambilan keputusan.
Artinya, bagaimana tingkat partisipasi perempuan pada ketiga bidang tersebut. Angka
Gender Empowerment Meassurement (GEM) Sumatera Utara menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun (2004-2008), yaitu 49,49 % (2004); 51,21 % (2005);
54,8 % (2006); 56,50 % (2007); dan 58 % (2008); dan 60% pada tahun 2009. Artinya,
tingkat partisipasi perempuan pada bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan
di Sumatera Utara juga mengalami peningkatan.
Analisis Relevansi dan Efektivitas Angka Gender Empowerment Meassurement (GEM) Sumatera Utara menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun (2004-2008), yaitu 49,49 % (2004); 51,21 % (2005);
54,8 % (2006); 56,50 % (2007); dan 58 % (2008); dan 60 % pada tahun 2009.
Peningkatan angka GEM di Sumatera Utara tidak terlepas dari: 1) Keberhasilan
Pemerintah Sumatera Utara dalam mengimplementasikan program-program
pengarusutamaan gender (perempuan) khususnya yang terkait dengan partisipasi
perempuan pada bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan di Sumatera
Utara; 2) Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara yang sudah responsif gender.
Bila angka GEM Provinsi Sumatera Utara dibandingkan dengan angka GEM nasional,
dimana pada tahun 2004 GEM nasional berada pada angka 59,67 %; 61,32 % (2005);
61,8 % (2006); 62,1 % (2007); dan 62,1 % pada tahun 2008, maka GEM Sumatera
Utara masih berada di bawah GEM nasional. Ini menunjukkan bahwa Sumatera Utara
masih harus terus berupaya untuk melakukan pemberdayaan terhadap kaum
perempuan.
15
Gambar 2.6 : Gender Empowerment Measurement
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pilkada Gubernur Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tanggal 16 April 2008, diikuti oleh 8,482 juta lebih
pemilih di 22.992 TPS yang tersebar di 25 kabupaten dan kota. Dalam pemilihan
gubernur ini tingkat partisipasi pemilih mencapai 63,08 %. Partisipasi pemilih tertinggi
berasal dari Kota Binjai yaitu 85 % dan terendah berasal dari Kabupaten Pakpak Bharat
yaitu sebesar 40 %. Bila dibandingkan dibandingkan dengan angka partisipasi politik
masyarakat pada pemilihan kepala daerah (gubernur) secara nasional yang berada
pada angka 75,31 %, maka tingkat partisipasi di Sumatera Utara masih relatif rendah.
Analisis Relevansi dan Efektivitas Rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun
2008 antara lain disebabkan: 1) Sosialisasi yang kurang baik dari berbagai pihak
(KPUD, Parpol, dan Calon Gubernur serta timnya); 2) Kejenuhan pemilih akibat
seringnya dilakukan pemilihan (Pemilihan Bupati/Walikota; Pemilihan Legislatif; dan
Pemilihan Presiden); dan 3) Tidak adanya perubahan yang signifikan dirasakan oleh
masyarakat (pemilih) melalui sistem Pemilihan Langsung.
16
Gambar 2.7: Partisipasi Politik Masyarakat dalam pemilihan Gubernur
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Legislatif Partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Legislatif tahun 2004 di Sumatera Utara
mencapai 70-75 % Pemilu tahun 2004 ini merupakan Pemilu pertama di masa
Reformasi. Dalam Pemilu ini, pada tahap pertama rakyat memilih wakilnya di DPR,
DPRD, dan DPD. Setelah itu, pada tahap kedua, memilih presiden dan wakil presiden.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2009, terjadi penurunan tingkat partsisipasi masyarakat
Sumatera Utara menjadi hanya 42,21 % dibanding pada Pileg tahun 2004 yang sebesar
70-75 %.
Analisis Relevansi dan Efektivitas Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan tingkat partisipasi
tersebut antara lain: 1) Euporia dan harapan yang begitu besar dari masyarakat
merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk memberikan
partisipasinya pada Pileg 2004, namun melihat hasil yang tidak banyak berubah selama
kurun lima tahun dari 2004 – 2009, membuat masyarakat menjadi enggan untuk
menggunakan hak pilihnya di Pileg 2009; 2) Kejenuhan masyarakat karena seringnya
dilakukan pemilihan yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres),
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bupati/Walikota dan Gubernur; 3) Kurang
berhasilnya sosialisasi dan pendidikan politik masyarakat terkait dengan demokrasi.
17
Penurunan partisipasi Pemilu Legislatif juga terjadi secara nasional, meskipun tidak
setajam penurunan di tingkat Provinsi Sumatera Utara, dimana pada Pileg 2004 angka
partsisipasinya sebesar 75,19 %, dan menurun pada tahun 2009 menjadi 71 % secara
nasional.
Gambar 2.8 : Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Legislatif
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Presiden
Partrisipasi Politik Masyarakat pada Pemilihan Presiden tahun 2004 di Sumatera Utara
mencapai 65 - 75 %. Pemilu ini diikuti oleh 5 pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Pilpres yang dilakukan pada tanggal 5 Juli 2004 ini, pada putaran pertama
dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, serta
pasangan Megawati Sukarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi. Pada putaran kedua
Pilpres ini dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
dan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden RI untuk masa bakti 2004 - 2009.
Pemilu tahun 2004 sukses dilaksanakan dan didukung oleh partipasi masyarakat yang
besar. Pemilu ini menjadikan Indonesia menjadi negara demokrasi nomor 3 terbesar di
dunia. Sama halnya dengan Pileg, pada pemilihan presiden juga terjadi penurunan
partisipasi politik masyarakat Sumatera Utara pada tahun 2009, yang hanya 63,96 %.
Penurunan partisipasi Pemilu Presiden juga terjadi secara nasional, meskipun tidak
setajam penurunan di tingkat Provinsi Sumatera Utara, dimana pada Pileg 2004 angka
partsisipasinya sebesar 75,98 %, dan menurun pada tahun 2009 menjadi 73 % secara
nasional.
18
Gambar 2.9 : Partisipasi Politik Masyarakat dalam pemilihan Gubernur
Analisis Relevansi dan Efektivitas Faktor penyebab terjadinya penurunan partisipasi dalam pemilihan presiden ini sama
dengan dengan faktor penyebab penurunan pada pemilu legislatif, yaitu: 1) Keadaan
yang tidak banyak berubah selama kurun lima tahun dari 2004 – 2009, membuat
masyarakat menjadi enggan untuk menggunakan hak pilihnya di Pileg 2009;
2) Kejenuhan masyarakat karena seringnya dilakukan pemilihan (Pileg, Pilpres, Pilkada
(Bupati/Walikota dan Gubernur); 3) Kurang berhasilnya sosialisasi dan pendidikan politik
masyarakat terkait dengan demokrasi.
Bila tren Capaian Indikator Outcome dalam pelayanan demokrasi di Sumatera Utara
dibandingkan dengan tren nasional maka diperoleh hasilnya seperti terlihat dalam
Gambar 2.10. Dari tiga indikator demokrasi yang dievaluasi dalam periode 2004-2009
yaitu Gender Development Index, Gender Empowerment Measurement dan Pertisipasi
Politik Masyarakat, secara komposit menunjukkan tren yang tetap positif walaupun terus
menurun. Pada tahun 2005-2007, tren pembangunan demokrasi di Sumatera Utara
berturut-turut 4.74 %, 3.60 %, dan 1, 86 % dan kemudian pada tahun 2008 meningkat
kembali menjadi 2.62 %. Untuk mengevaluasi relevansi pembangunan demokrasi di
Sumatera Utara dengan tren nasional tidak dapat dilakukan karena tren nasional tidak
dapat dihitung karena data tidak tersedia. Namun demikian jika capaian indikator
19
partisipasi politik masyarakat secara nasional diukur hanya dari partisipasi dalam
Pemilihan Presiden maka dapat diketahui bahwa capaian indikator demokrasi di
Sumatera Utara cukup relevan. Tetapi karena memiliki tren yang menurun maka dapat
disimpulkan bahwa pembangunan demokrasi di Sumatera Utara tidak efektif.
Gambar 2.10: Tren Capaian Kualitas Pelayanan Demokrasi
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Walaupun secara umum terlihat bahwa tren capaian indikator pelayanan publik
menurun, capaian indikator yang menonjol ialah penanganan kasus-kasus korupsi
berjalan dengan sangat baik. Seperti telah dijelaskan di atas, capaian indikator
penangnan kasus-kasus korupsi mencapai 100 %. Masalah yang masih belum
mendapat penanganan yang baik ialah pembentukan sistem pelayanan publik satu atap
karena sebagian besar Pemerintahan Kabupaten dan Kota di daerah ini masing enggan
membuat Perda tentang pelaksanaan pelayanan satu atap.
Capaian indikator demokrasi di Sumatera Utara pada dasarnya menunjukkan angka
yang cukup baik dan secara berkesinambungan mengalami peningkatan secara terus
menerus ke arah yang lebih baik. Capaian Sumatera Utara yang cukup menonjol di
daerah ini ialah Gender Development Index dan Gender Empowerment Measurement
yang terus mengalami perbaikan
20
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas maka dalam bidang pelayanan dan
demokrasi di sumatera Utara perlu dilakukan beberapa hal antara lain:
1. Perlu upaya-upaya yang sifatnya lebih kepada upaya preventif (pencegahan)
dari aparat penegak hukum, sehingga tingkat korupsi di Sumatera Utara terus
dapat dieliminasi.
2. Terus mendorong kabupaten/kota yang belum menerapkan Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) untuk segera mengeluarkan Perda, dan
terus meningkatkan profesionalisme dalam penerapan sistem PPTSP.
3. Mendorong para stakeholders politik untuk melakukan pendidikan politik kepada
masyarakat sehingga angka partsispasi politik masyarakat dapat meningkat.
4. Membuat kebijakan-kebijakan pembangunan yang responsif gender.
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 2.2.1. Capaian Indikator A. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan gambaran komprehensif mengenai
tingkat pencapaian pembangunan manusia di suatu daerah sebagai dampak dari
kegiatan pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Perkembangan angka IPM
memberikan indikasi peningkatan atau penurunan kinerja pembangunan manusia pada
suatu daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah melakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan kualitas SDM di wilayahnya, baik dari aspek fisik
(kesehatan), aspek intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (berdaya
beli), serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan) sehingga partisipasi rakyat dalam
pembangunan akan dengan sendirinya meningkat.
Salah satu alat ukur untuk melihat aspek-aspek yang relevan dengan pembangunan
manusia adalah melalui Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu ukuran yang secara tidak langsung
digunakan sebagai nikator dalam melihat besarnya keberhasilan pembangunan yang
telah dilaksanakan oleh suatu pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun pada
tingkat pemerintahan di daerah. Berikut ini perkembangan tingkat capaian IPM
21
Sumatera Utara selama periode 2004 – 2008 seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.11.
Gambar 2.11 : Perkembangan IPM Sumatera Utara dan Indonesia Periode 2004 – 2008
Berdasarkan Gambar 2.11 di atas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan
IPM Sumatera Utara selama periode 2004 - 2008 mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Peningkatan IPM ini seiring dengan perkembangan ekonomi Sumatera Utara
selama periode tersebut. Pada tahun 2004, tingkat IPM Sumatera Utara mencapai
angka 71,40 dan meningkat menjadi 72,70 pada tahun 2008 atau mengalami
peningkatan sebesar 1,30 poin. Sementara itu, dibandingkan dengan angka capaian
IPM nasional, maka angka capaian IPM Sumatera Utara masih lebih tinggi dibandingkan
dengan angka capaian IPM nasional. Akan tetapi bila dibandingkan dengan tingkat
perkembangannya, IPM Sumatera Utara masih lebih kecil (1,30) dibandingkan dengan
perkembangan IPM nasional yang mencapai 2,40 poin selama kurun waktu 2004 –
2008.
B. Pendidikan
Salah satu upaya paling strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia
adalah melalui pendidikan. Pendidikan sangat penting karena merupakan dasar untuk
pengembangan pola berpikir konstruktif dan kreatif. Dengan pendidikan yang cukup
memadai, maka seseorang akan bisa berkembang secara optimal baik secara ekonomi
maupun sosial. Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk
mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur
22
hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan
kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan adalah tanggung jawab
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Beberapa aspek yang berkaitan dengan indikator
tingkat keberhasilan pada bidang pendidikan di Sumatera Utara, antara lain adalah :
1. Angka Partisipasi Murni (APM) Untuk Tingkat SD/MI Kualitas sumber daya manusia suatu daerah sangat tergantung dari tingkat
pendidikan penduduknya. Oleh karena itu pendidikan dapat dijadikan sebagai salah
satu indikator kemajuan suatu daerah karena dengan pendidikan maka kualitas
penduduk akan menjadi lebih baik dan salah satu indikator keberhasilan tingkat
pendidikan adalah Angka Partisipasi Murni (APM).
Angka Partisipasi Murni menggambarkan tingkat partisipasi penduduk usia sekolah
atau kelompok usia 7 – 18 tahun di Sumatera Utara dengan formulasi perbandingan
antara jumlah penduduk usia sekolah yang bersekolah dengan jumlah penduduk
usia sekolah pada semua jenjang pendidikan pada waktu tertentu. Secara umum
kondisi tingkat pendidikan di Sumatera Utara berdasarkan APM menunjukkan
peningkatan yang lebih baik.
Gambar 2.12 : Perkembangan Angka Partisipasi Murni Untuk Tingkat SD/MI di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Pada tahun 2004, indikator APM di Sumatera Utara untuk tingkat SD/MI sebesar
93,53 persen dan terus mengalami peningkatan hingga 94,81 persen pada tahun
2008. Berdasarkan data tersebut, kondisi APM Sumatera Utara relatif masih lebih
23
baik dibandingkan kondisi APM nasional. Hal ini membuktikan bahwa tingkat
partisipasi penduduk usia sekolah untuk tingkat SD/MI di Sumatera Utara masih
lebih baik dibandingkan dengan tingkat partisipasi sekolah untuk tingkat nasional.
2. Rata-Rata Nilai Akhir Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah
menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam
menentukan kelulusan peserta didik. Salah satu kriteria yang digunakan untuk
indikator bidang pendidikan tersebut adalah rata-rata nilai akhir untuk jenjang
pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA.
Gambar 2.3 : Perkembangan Rata-Rata Nilai Akhir SMP/MTs di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Berdasarkan gambar 2.11 di atas memperlihatkan bahwa rata-rata nilai akhir untuk
jenjang pendidikan SMP/MTs di Sumatera Utara mengalami peningkatan selama
periode 2004 – 2008. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir untuk jenjang pendidikan
SMP/MTs mencapai 5,51 dan meningkat menjadi 6,78 pada tahun 2008. Sedangkan
untuk rata-rata nilai akhir pada tingkat nasional sebesar 4,80 pada tahun 2004 dan
meningkat menjadi 6,05 pada tahun 2008. Dari data tersebut menggambarkan
bahwa rata-rata nilai akhir untuk jenjang pendidikan SMP/MTs di Sumatera Utara
masih lebih baik dari rata-rata nilai akhir secara nasional.
24
Gambar 2.14 : Perkembangan Rata-Rata Nilai Akhir SMA/SMK/MA di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMA/SMK/MA (Gambar 2.12), tingkat rata-rata
nilai akhir di Sumatera Utara pada tahun 2004 sebesar 4,85 dan masih lebih baik
dari rata-rata nilai akhir secara nasional yang mencapai 4,77. Demikian juga halnya
pada tahun 2008, rata-rata nilai akhir baik di Sumatera Utara maupun secara
nasional sama-sama mengalami peningkatan yang signifikan. Untuk rata-rata nilai
akhir di Sumatera Utara pada tahun 2008 sebesar 6,73 dan masih berada diatas
rata-rata nilai akhir secara nasional yang mencapai 6,35. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan yang telah dijalankan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara sudah
sesuai dengan arah dan tujuan dari bidang pendidikan secara nasional.
3. Angka Putus Sekolah (APS) Salah satu indikator capaian kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah untuk
urusan pendidikan adalah Angka Putus Sekolah (APS). APS mencerminkan anak-
anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan
suatu jenjang pendidikan tertentu. Pada umumnya penyebab utama putus sekolah
antara lain karena kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan
anak, kondisi ekonomi orang tua yang miskin dan keadaan geografis yang kurang
menguntungkan.
25
Gambar 2.15 : Perkembangan Angka Putus Sekolah SD/MI di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Berdasarkan Gambar 2.15 dibawah menunjukkan bahwa pada tahun 2004,
persentase APS di Propinsi Sumatera Utara untuk jenjang SD/MI mencapai 3,76 %
dan memperlihatkan tren yang terus menurun sampai tahun 2007 hingga mencapai
1,27 %. Penurunan angka putus sekolah ini disebabkan kebijakan Pemerintah
Propinsi Sumatera Utara yang memberikan beasiswa terarah dan adanya bantuan
operasional sekolah (BOS) untuk semua jenjang pendidikan sehingga melalui
kebijakan ini diharapkan akan menekan persentase angka putus sekolah.
Untuk jenjang pendidikan SMP/MTs (Gambar 2.16) menunjukkan angka putus
sekolah (APS) di Propinsi Sumatera Utara selama periode 2004 – 2008 mengalami
tren yang meningkat, walaupun pada tahun 2005 mengalami sedikit penurunan.
Untuk tahun 2004, angka putus sekolah mencapai 3,04 % dan sedikit mengalami
penurunan pada tahun 2005 menjadi 2,94 %. Namun pada tahun 2006, angka putus
sekolah untuk jenjang SMP/MTs kembali mengalami peningkatan menjadi 3,23
persen dan kembali meningkat pada tahun 2007 menjadi 4,85 % serta mencapai
7,41 pada tahun 2008.
26
Gambar 2.16 : Perkembangan Angka Putus Sekolah SMP/MTs di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Peningkatan angka putus sekolah untuk jenjang SMP/MTs ini juga terjadi pada
tingkat nasional, dimana pada tahun 2004 mencapai 2,38 persen dan meningkat di
tahun 2007 menjadi 3,94 %. Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa
angka putus sekolah di propinsi Sumatera Utara relatif masih tinggi bila
dibandingkan dengan angka putus sekolah secara nasional. Tingginya persentase
APS untuk jenjang SMP/MTs di Sumatera Utara umumnya lebih disebabkan pada
alasan-alasan faktor ekonomi keluarga dan belum tumbuhnya kesadaran orang tua
akan pentingnya pendidikan bagi anaknya.
Gambar 2.17 : Perkembangan Angka Putus Sekolah SMA/SMK/MA di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
27
Sementara itu, untuk angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SMA/SMK/MA di
Sumatera Utara (Gambar 2.17) sebesar 4,76 % pada tahun 2004 dan mengalami
penurunan secara signifikan pada tahun 2007 sehingga menjadi 1,79 %. Begitupun
tingkat putus sekolah secara nasional juga mengalami penurunan selama periode
tersebut, dimana pada tahun 2004 sebesar 3,14 % dan menjadi 2,68 % pada tahun
2007. Namun demikian, keberhasilan untuk menekan angka putus sekolah pada
jenjang SMA/SMK/MA di Sumatera Utara tidak terlepas dari visi gubernur Propinsi
Sumatera Utara yang mengupayakan agar masyarakat tidak bodoh.
4. Angka Melek Aksara 15 Tahun Keatas Kemampuan membaca dan menulis tercermin dari angka melek huruf yang
didefinisikan sebagai persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat
membaca dan menulis huruf latin maupun huruf lainnya. Semakin tinggi persentase
melek huruf disuatu daerah maka semakin tinggi mutu sumber daya manusia di
daerah tersebut.
Secara rata-rata angka melek huruf di Sumatera Utara tahun 2008 sebesar 97,55
persen, yang berarti masih terdapat 2,45 % penduduk usia 15 tahun ke atas yang
masih buta huruf, terutama untuk penduduk usia tua. Angka melek huruf tersebut
mengalami peningkatan dibanding tahun 2004 yang mencapai 96,60 %. Dengan
demikian, mutu pembangunan pendidikan berdasarkan indikator angka melek huruf
di Sumatera Utara selama periode empat tahun terakhir menunjukkan
kecenderungan semakin meningkat. Sebaliknya indikator angka buta huruf
menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun.
28
Gambar 2.18 : Perkembangan Angka Melek Huruf di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Sementara itu, apabila dibandingkan dengan indikator melek huruf tingkat nasional
menunjukkan kondisi melek huruf di Sumatera Utara relatif masih lebih baik dari
tingkat capaian nasional. Hal ini terlihat dari perkembangan persentase penduduk
dewasa yang melek huruf di tingkat nasional yang mencapai 90,40 % pada tahun
2004 dan meningkat menjadi sebesar 92,19 % pada tahun 2008.
Selanjutnya, dilihat dari mutu SDM yang ada di Sumatera Utara tersebut, pada
umumnya di daerah perkotaan cenderung relatif lebih baik dibandingkan daerah
perdesaan. Hal ini terjadi karena akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan
masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pendidikan lebih mudah diperoleh.
Disamping itu, kondisi ekonomi juga cenderung lebih baik sehingga kesempatan
untuk meningkatkan mutu SDM lebih terbuka bagi penduduk yang berada
diperkotaan.
5. Persentase Jumlah Guru yang Layak Mengajar Persentase jumlah guru yang layak mengajar menggambarkan angka relatif
banyaknya guru yang memenuhi tingkat pendidikan atau ijazah yang dimiliki dan
kompetensi mengajar dibandingkan dengan jumlah guru yang ada disuatu daerah.
Berdasarkan Gambar 2.17, persentase jumlah guru yang layak mengajar pada
jenjang pendidikan SMP/MTs di Sumatera Utara menunjukkan tren perkembangan
yang meningkat dari tahun ke tahun selama kurun waktu 2004 – 2008. Hal ini terlihat
dari persentase jumlah guru yang layak mengajar di Sumatera Utara pada tahun
29
2004 mencapai 74,16 % dan meningkat menjadi 86,28 % pada tahun 2008 atau
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,13 % per tahun.
Sementara itu, bila dibandingkan antara persentase jumlah guru yang layak
mengajar di Sumatera Utara masih lebih rendah dengan jumlah guru yang layak
mengajar secara nasional. Namun pada tahun 2008, jumlah kualitas guru yang layak
mengajar di Sumatera Utara pada jenjang pendidikan SMP/MTs relatif sama
dengan jumlah kualitas guru secara nasional. Disamping itu, berdasarkan tren
perkembangannya menunjukkan bahwa jumlah guru yang layak mengajar di
Sumatera Utara memiliki tren perkembangan yang sejalan dengan tren
perkembangan secara nasional selama kurun waktu 2004 - 2008.
Gambar 2.19 : Jumlah Guru yang Layak Mengajar SMP/MTs di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Selanjutnya, untuk persentase jumlah guru yang layak mengajar pada jenjang
pendidikan SMA/SMK/MA di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun
ke tahun selama kurun waktu 2004 – 2008. Pada tahun 2004, persentase jumlah
guru yang layak mengajar sekitar 61,65 % dan meningkat menjadi 79,46 % pada
tahun 2008 atau meningkat rata-rata sebesar 6,79 % per tahun. Apabila
dibandingkan secara nasional, persentase jumlah guru yang layak mengajar di
Sumatera Utara pada jenjang pendidikan SMA/SMK/MA relatif masih lebih rendah
dari persentase secara nasional.
30
Akan tetapi, berdasarkan tren perkembangnya menunjukkan bahwa tren
perkembangan persentase jumlah guru yang layak mengajar di Sumatera Utara
memiliki tren yang sejalan dengan tren perkembangan secara nasional, walaupun
dilihat dari perkembangan jumlah guru yang layak mengajar di Sumatera Utara
secara rata-rata per tahun sebesar 6,79 % atau masih lebih baik dari perkembangan
rata-rata secara nasional yang mencapai 5,01 % per tahun untuk jenjang pendidikan
SMA/SMK/MA.
Gambar 2.20 : Jumlah Guru yang Layak Mengajar SMA/SMK/MA di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
B. Kesehatan
Kesehatan dan gizi merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk dalam hal
kualitas fisik dan sekaligus indikator keberhasilan dari program pembangunan.
Kesehatan dan gizi berimplikasi pada produktifitas perorangan dan kelompok, sehingga
pembangunan dan berbagai upaya di bidang kesehatan diharapkan dapat menjangkau
semua lapisan masyarakat serta tidak diskriminatif dalam pelaksanaannya, baik
program kesehatan untuk laki-laki maupun perempuan haruslah sama.
Berdasarkan UU No. 23/1992 tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan yang tinggi. Salah satu program pemerintah dalam mewujudkan
derajat kesehatan bagi seluruh penduduk adalah peningkatan pelayanan kesehatan
yang didukung oleh sarana dan prasarana kesehatan yang memadai di tiap kecamatan.
Selain itu, hal pokok yang juga harus diperhatikan adalah perluasan akses kesehatan,
31
khususnya kepada rakyat miskin dan perempuan di seluruh pelosok daerah. Untuk itu
pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan manusia.
1. Umur Harapan Hidup Angka harapan hidup adalah rata-rata lamanya hidup yang akan dicapai oleh
penduduk. Dengan diketahuinya angka kematian pada setiap kelompok umur
penduduk, maka dapat diketahui rata-rata umur harapan hidup. Berdasarkan gambar
9 di bawah diperlihatkan bahwa selama periode tahun 2004 – 2008, angka harapan
hidup di Sumatera Utara cenderung mengalami peningkatan. Angka harapan hidup
di Sumatera Utara meningkat dari 68,20 tahun pada tahun 2004 menjadi 71,48
tahun pada tahun 2008. Seiring dengan teori yang ada, angka harapan hidup
berbanding terbalik dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah
1 tahun, kematian anak dibawah lima tahun dan kematian ibu). Makin tinggi kualitas
kesehatan menyebabkan makin rendahnya angka kematian dan berakibat kepada
meningkatnya harapan untuk hidup.
Gambar 2.21 : Perkembangan Umur Harapan Hidup di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
2. Angka Kematian Bayi (AKB) Kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu dapat memberi gambaran
perkembangan derajat kesehatan masyarakat atau dapat digunakan sebagai
indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program
pembangunan kesehatan lainnya. Tingkat kematian secara umum berhubungan erat
32
dengan tingkat kesakitan, karena biasanya merupakan akumulasi akhir dari berbagai
penyebab terjadinya kematian baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu alat
untuk menilai keberhasilan program pembangunan kesehatan di Sumatera Utara
yang telah dilaksanakan selama ini adalah dengan melihat perkembangan angka
kematian bayi dari tahun ke tahun.
Gambar 2.22 : Perkembangan Angka Kematian Bayi (AKB) di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Berdasarkan data BPS, angka kematian bayi pada tahun 2004 di Sumatera Utara
adalah sebesar 36,70 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 angka
kematian bayi sudah berhasil ditekan hingga mencapai 23,52 bayi per 1000
kelahiran hidup. Artinya sepanjang rentang waktu lima tahun angka kematian bayi
mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan
pembangunan disegala bidang. Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir
tersebut memberi gambaran adanya peningkatan kualitas hidup dan pelayanan
kesehatan masyarakat. Penurunan AKB tersebut antara lain disebabkan oleh
peningkatan cakupan imunisasi bayi, peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan dan ditunjang dengan program penempatan bidan di desa.
3. Angka Kematian Ibu (AKI) Salah satu faktor penting untuk menciptakan sumber daya perempuan yang
berkualitas adalah dengan meningkatkan derajat kesehatan perempuan itu sendiri.
Pembangunan di bidang kesehatan khususnya pelayanan untuk kaum perempuan,
33
seharusnya tidak boleh tertinggal dibandingkan pembangunan di sektor lain. Secara
nasional, permasalahan kesehatan perempuan masih sangat menonjol.
Salah satu indikator yang dapat dijadikan alat untuk mengukur kualitas kesehatan
perempuan adalah dengan melihat angka kematian ibu, terutama dalam program-
program kesehatan reproduksi. Sehingga tidaklah mengherankan jika para ahli
berpendapat bahwa kematian ibu merupakan jurang pemisah antara negara maju
dan berkembang. Adapun aspek-aspek yang dapat dijadikan sebagai gambaran
tinggi/rendahnya angka kematian ibu adalah kehamilan, melahirkan dan nifas.
Gambar 2.23 : Perkembangan Angka Kematian Ibu (AKI) di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, pada tahun 2004
tercatat sebanyak 322 orang ibu yang meninggal karena melahirkan. Dan angka
kematian ini mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 302 orang. Tingginya
angka kematian ibu ini disebabkan masih rendahnya kesadaran kaum ibu untuk
memeriksakan kesehatannya selama kehamilan. Indikator angka kematian ibu di
Sumatera Utara relatif masih tinggi bila dibandingkan dengan angka kematian ibu
untuk tingkat nasional. Untuk tahun 2004, angka kematian ibu secara nasional
mencapai 307 orang dan pada tahun 2008, angka kematian ibu dapat ditekan
secara nasional, yakni menjadi 218 orang.
4. Prevelensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang Indikator ini menggambarkan persentase jumlah balita yang memiliki status gizi
buruk dan gizi kurang. Untuk melihat prevelensi gizi buruk yang diukur berdasarkan
34
jumlah balita dengan status gizi buruk dibagi dengan total jumlah balita yang ada
disuatu daerah. Sedangkan untuk pengukuran pada prevelensi gizi kurang disuatu
daerah didasarkan pada jumlah balita dengan status gizi kurang dibagi dengan total
jumlah balita yang ada didaerah tersebut.
Berdasarkan gambar 14 di bawah, prevelensi gizi buruk dan gizi kurang di Sumatera
Utara menunjukkan perkembangan yang berfluktuatif selama periode 2004 – 2008.
Pada tahun 2004, prevelensi gizi buruk mencapai 10,45 dan mengalami penurunan
pada tahun 2005 menjadi 8,82 serta 7,80 pada tahun 2006. Sedangkan pada tahun
2007 dan 2008, prevelensi gizi buruk di Sumatera Utara mengalami peningkatan
menjadi 8,40. Namun demikian, secara rata-rata untuk prevelensi gizi buruk di
Sumatera Utara selama periode 2004 – 2008 sebesar 8,77. Hal ini menggambarkan
bahwa dari 100 balita yang ada di Sumatera Utara, terdapat sekitar 8 – 9 balita yang
masih mengalami gizi buruk.
Gambar 2.24 : Perkembangan Prevelensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Selanjutnya, untuk perkembangan prevelensi gizi kurang di Sumatera Utara tidak
jauh berbeda dengan kondisi perkembangan prevelensi gizi buruk yang ada. Pada
tahun 2004, terdapat 16,55 balita di Sumatera Utara yang mengalami gizi kurang
dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 12,86 atau selama
periode 2004 – 2008, rata-rata banyaknya balita yang mengalami gizi kurang di
35
Sumatera Utara sekitar 16,0. Angka ini mengindikasikan bahwa dari 100 balita yang
ada di Sumatera Utara masih terdapat 16 balita yang mengalami gizi kurang.
5. Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk Pemenuhan akan kebutuhan tenaga kesehatan merupakan salah satu hal yang
penting dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional khususnya
Propinsi Sumatera Utara. Pemenuhan tenaga kesehatan yang handal dan
profesional tidak hanya dilakukan melalui penambahan jumlah tenaga tetapi juga
melalui pemerataan dengan distribusi tenaga kesehatan yang rasional serta
pendayagunaan tenaga kesehatan itu sendiri guna memenuhi kebutuhan dalam
pencapaian tujuan. Oleh karenanya diperlukan suatu perencanaan kebutuhan
tenaga yang efektif dan efisien baik secara kualitas maupun kuantitas guna
pelaksanaan tugas dan terutama untuk menjawab tantangan dimasa depan.
Gambar 2.25 : Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk
di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Dilihat dari Gambar 2.23 di atas, persentase tenaga kesehatan per penduduk di
Sumatera Utara relatif kecil, walaupun selama periode 2004 – 2008 selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata sekitar 0,14. Artinya
dengan 14 orang tenaga kesehatan harus menangani penduduk sebanyak 100
orang. Hal ini relatif masih lebih kecil bila dibandingkan dengan persentase tenaga
kesehatan per penduduk di Indonesia yang mencapai sekitar 0,23. Kecilnya
persentase tenaga kesehatan per penduduk di Sumatera Utara dikarenakan
pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi, sedangkan ketersediaan tenaga
kesehatan relatif masih kecil pertumbuhannya.
36
C. Keluarga Berencana
Program Keluarga Berencana (KB) yang mempunyai slogan 2 anak cukup! Dicanangkan
pemerintah sebagai usaha untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk serta
meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Dengan KB, keluarga Indonesia atau pasangan
usia subur didorong untuk merencanakan kehamilan/kelahiran, menjarangkan kelahiran
agar kualitas kesehatan anak, ibu dan keluarga mencapai hasil yang maksimal.
1. Persentase Penduduk ber-KB Untuk urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera umumnya diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembudayaan pola keluarga kecil
berkualitas dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Untuk
tingkat prevalensi peserta KB aktif dinilai berdasarkan proporsi jumlah peserta
program KB aktif dengan jumlah pasangan usia subur (PUS) yang ada disuatu
daerah.
Gambar 2.26 : Persentase Penduduk ber-KB di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Berdasarkan diatas menunjukkan bahwa persentase penduduk ber-KB di Sumatera
Utara mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama periode 2004 – 2008,
kecuali pada tahun 2006 yang mengalami sedikit penurunan. Menurunnya
persentase penduduk ber-KB di Sumatera Utara pada tahun 2006 disebabkan
jumlah pasangan usia subur (PUS) yang meningkat lebih besar dibandingkan
dengan meningkatnya kesadaran dari pasangan usia subur yang ikut ber-KB.
37
Sementara itu, dilihat dari trend perkembangannya, persentase penduduk ber-KB di
Sumatera Utara cenderung relatif sejalan dengan trend perkembangan persentase
penduduk ber-KB secara nasional, yaitu mengalami trend yang menurun. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran dari PUS untuk mengikuti program keluarga
berencana dengan sedikit anak akan lebih baik masih perlu ditingkatkan dan
disosialisasikan secara intensif sebagai upaya meredam laju perkembangan jumlah
penduduk di Sumatera Utara yang relatif masih tinggi.
2. Persentase Laju Pertumbuhan Penduduk
Dalam pelaksanaan pembangunan, penduduk merupakan faktor yang sangat
dominan karena penduduk tidak saja menjadi pelaku pembangunan tetapi juga
menjadi sasaran atau tujuan dari pembangunan itu sendiri. Oleh sebab itu, guna
menunjang keberhasilan pembangunan maka perkembangan penduduk perlu
diarahkan sehingga mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang menguntungkan
pembangunan. Pembangunan kependudukan diarahkan pada pengendalian
kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk dan pengarahan mobilitas
penduduk sebagai potensi sumber daya manusia agar menjadi kekuatan
pembangunan bangsa dan ketahanan nasional.
Berdasarkan Gambar 2.27, selama kurun waktu 2004 – 2008 dapat dilihat bahwa
laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang
fluktuatif dan masih lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk secara
nasional. Untuk tahun 2004, laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara sebesar
1,57 % dan ternyata masih lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk secara
nasional yang mencapai 1,29 % untuk kurun waktu yang sama.
38
Gambar 2.27 : Laju Pertumbuhan Penduduk di Sumatera Utara Periode 2004 – 2008
Sedangkan pada tahun 2008, laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara
mengalami peningkatan menjadi 1,58 % dan jauh diatas laju pertumbuhan penduduk
nasional yang mencapai 1,28 %. Hal ini menunjukkan bahwa program KB yang
dijalankan di Sumatera Utara belum menunjukkan keberhasilannya untuk menekan
laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2004 – 2008. Tingginya laju
pertumbuhan penduduk ini tidak hanya disebabkan belum berhasilnya program
keluarga berencana, akan tetapi dipengaruhi oleh perkembangan jumlah pasangan
usia subur yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu, berdasarkan
rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun di Sumatera Utara (1,49 persen)
relatif masih lebih tinggi dari rata-rata laju pertumbuhan penduduk secara nasional
(1,29 %).
Bila tren capaian Indikator Kualitas Sumberdaya Manusia di Provinsi Sumatera Utara
dibandingkan dengan tren nasional maka hasilnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tren indikator sumberdaya manusia di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2005-
2007 meningkat setiap tahun yaitu 0.55 % pada tahun 2005, 0.67 % pada tahun
2006 dan meningkat tajam menjadi 1.37 % pada tahun 2007, tetapi pada tahun 2008
merosost tajam mjadi -0.95 %. Tren indikator sumberdaya manusia nasional
memperlihatkan pola yang sama yaitu dalam periode 2005-2007 menunjukkan
pertumbuhan kulitas sumberdaya manusia masing-masing 0.55 %, 1.04 %, 1.37 %
39
dan pada tahun 2007 merosot sangat tajam menjadi -3.2 %. Gambaran tren indikator
ini menunjukkan bahwa capaian indikator sumberdaya manusia di Provinsi Sumatera
Utara sangat relevan. Namun, dilihat dari besarnya angka tren yang relatif rendah,
maka capaian indikator tersebut relatif tidak efektif seperti ditunjukkan dalam
Gambar 2.28.
Gambar 2.28 Tren Capaian Indikator Kualitas Sumberdaya Manusia
2.2.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Berdasarkan analisis capaian masing-masing indikator pembangunan sumberdaya
manusia, ada empat indikator yang menunjukkan capaian yang menonjol yaitu pelayan
keluarga berencana, persentase guru sekolah menengah layak mengajar, angka
kematian bayi dan persentase prevalensi gizi kurang. Pada pelayanan keluarga
berencana dan angka kematian bayi, tren capaian di Sumatera Utara jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan nasional sedangkan tren capaian indikator guru sekolah
menengah layak mengajar dan prvalensi gizi kurang masih terlihat cukup tinggi.
2.2.3. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan analisis di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Sumatera Utara melalui rekomendasi
kebijakan yang antara lain :
40
1. Perlu dilakukan pemerataan terhadap kualitas sumber daya manusia (IPM) antar
daerah di Sumatera Utara sehingga tidak terjadi ketimpangan kualitas SDM yang
berdampak pada terjadinya ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota.
2. Adanya kesadaran bagi daerah untuk meningkatkan alokasi anggaran pada bidang
pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas pembangunan di masing-masing daerah
dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah.
3. Perlunya menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat khususnya generasi muda
untuk memahami program keluarga berencana sejak dini.
4. Adanya program berkesinambungan yang berkaitan dengan upaya untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah sehingga akan mempercepat
pemerataan kualitas SDM dan pembangunan antar daerah.
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
2.3.1. Capaian Indikator
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2004 tingkat pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara adalah 5,74 % dan
pada tahun 2006 meningkat menjadi 6,18 %, kemudian di tahun 2007 menjadi 6,90 %
dan tahun 2008 menurun sedikit yaitu menjadi 6.38 %. Pada tahun 2009 tingkat
pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara ditargetkan mencapai 7,79 %. Walaupun
pertumbuhan ekonomi tahun 2008 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun
2007, akan tetapi pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara masih lebih tinggi dari
pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sebesar 6,1 %. Perkembangan PDRB Sumatera
Utara pada tahun 2008 sebagian besar nilainya merupakan kontribusi dari sektor
industri pengolahan sebesar 25,04 %, sektor pertanian sebesar 22,56 % dan sektor
perdagangan dan jasa lainnya sebesar 19,17 %. Namun demikian di sisi lain 56,13 %
PDRB Sumatera Utara digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga sedangkan
untuk pembentukan modal adalah 19,97 %. Dari segi jumlah PDRB Sumatera Utara
pada tahun 2008 ADHB meningkat dibandingkan dari tahun 2007 yaitu Rp 14,17 juta
menjadi Rp 16,4 juta pada tahun 2008.
41
Laju Pertumbuhan Eonomi
0
1
2
3
4
5
6
7
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Per
sen
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
Sumatera Utara Nasional Trend Sumut Tren Nasional
Gambar 2.29 : Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara Sedangkan struktur ekonomi masih tetap didominasi oleh sektor pertanian, 24,94 %
diikuti sektor industri pengolahan 33,22 % dan sisanya sektor jasa 41,84 % pada tahun
2003, dan angka ini akan mengalami perubahan sejalan dengan semakin membaiknya
sektor riil, kondisi tersebut mendorong perbaikan pada sektor industri pengolahan dan
mengalami peningkatan pada tahun 2004 mencapai 24,47 %, 33,49 % dan 42,04 %
untuk sektor pertanian, industri pengolahan dan jasa sedang untuk tahun 2006 sebesar
23,42 %, 33,26 % dan 43,32 % serta tahun 2009 ditargetkan akan 22,91 %, 33,58 %
dan 43,51 %.
Untuk kontribusi industri manufaktur terhadap PDRB Sumatera Utara mulai dari tahun
2004 yaitu 25,36 % dan terus mengalami kenaikan pada tahun 2005 sebesar 25,47 %,
25,68 % tahun 2006, dan menurun di tahun 2007 menjadi 25,04 % dan meningkat lagi
pada tahun 2008 menjadi 26,45 %.
Di Wilayah Barat Sumatera Utara umumnya memiliki basis ekonomi pada sektor
pertanian dan sektor pelayanan atau jasa-jasa. Pada tahun 2000 sektor pertanian
Kabupaten Nias memiliki lahan pertanian cukup luas sehingga mampu meningkatkan
kontribusi sektor pertanian. Disamping itu sektor pengolahan tidak/kurang menunjukkan
keunggulannya dalam pembentukan output dan tidak dapat dijadikan sebagai potensi
42
ekonomi. Selain itu sektor-sektor pelayanan juga memiliki keunggulan yang berarti
bahwa di Nias sektor ini merupakan potensi yang cukup besar, selain sektor pertanian.
Sampai dengan tahun 2008, di Kabupaten Nias perkembangan perekonomian yang
terjadi tidak membawa perubahan dalam potensi ekonominya. Sektor unggulannya
tetap pada sektor pertanian dan sektor pelayanan. Di Nias pertanian andalannya
adalah perkebunan kelapa, ternak babi, ikan tangkap dan hasil kehutanan. Sektor
pelayanan yang menjadi andalan adalah perhotelan terutama di daerah wisata,
perdagangan eceran, dan jasa sosial serta pemerintahan.
Kabupaten Mandailing Natal merupakan kabupaten yang baru terpisah dari induknya,
Tapanuli Selatan, tahun 1997. Analisis terhadap potensi ekonomi kabupaten ini yang
dilakukan untuk tahun 2005 dan 2008 menunjukkan bahwa peranan dari sektor
pertanian sangat penting dan merupakan potensi ekonomi daerah ini. Sedangkan
sektor lainnya tidak atau kurang memiliki potensi ekonomi. Kondisi alam Kabupaten
Mandailing Natal yang luas dan sedikit bergelombang memiliki potensi sebagai wilayah
perkebunan dan tanaman keras lainnya. Demikian pula dengan sub-sektor perikanan
budidaya karena banyak sungai dan danau di daerah ini, serta perikanan tangkap
dengan panjangnya garis pantai yang dimiliki. Sama halnya dengan Mandailing Natal,
Kabupaten Tapanuli Selatan hanya memiliki potensi ekonomi pada sektor pertanian.
Dari tahun 2005 hingga 2008, menunjukkan sektor pertanian yang memiliki potensi yang
cukup baik, sedangkan sektor lainnya kurang unggul. Sub-sektor pertanian yang paling
unggul di daerah ini adalah pertanian bahan makanan, terutama padi sawah. Sub
sektor perkebunan saat ini menjadi andalan bagi pertumbuhan ekonomi Tapanuli
Selatan dengan tanaman utama adalam kelapa sawit dan karet rakyat.
Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2005 memiliki potensi ekonomi hanya pada sektor
pertanian. Namun pada tahun 2008, sektor pelayanan juga menjadi sektor potensi bagi
daerah ini. Pertanian utama daerah ini adalah perkebunan, dan pertanian bahan
makanan. Seperti halnya daerah yang berada di pesisir barat Provinsi Sumatera Utara,
perkebunan menjadi primadona karena kontur lahan yang bergelombang. Sektor
pelayanan yang utama adalah perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa sosial
dan pemerintahan.
Di Wilayah Barat, kota utama adalah Kota Sibolga. Pada tahun 2005, potensi ekonomi
kota ini adalah sektor pertanian dan pelayanan. Namun di tahun 2008, sektor pertanian
tidak lagi potensial untuk dikembangkan. Sektor perdagangan, hotel dan restoran
43
kemudian menjadi penyumbang terbesar menyusul sektor transportasi dan komunikasi
serta jasa-jasa sosial dan pemerintahan.
Karakteristik geografis Wilayah Dataran Tinggi adalah pegunungan dengan lahan-lahan
yang subur. Di wilayah ini juga di jumpai beberapa lahan yang datar yang cocok untuk
dijadikan pertanian bahan makanan dan pemukiman. Sektor pertanian merupakan
potensi ekonomi semua kabupaten yang ada di Wilayah Dataran Tinggi. Tahun 2005,
sektor pengolahan memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan. Tahun 2005,
Kabupaten Karo dan Tapanuli Utara juga memiliki keunggulan dalam sektor pengolahan
sedangkan pada tahun yang sama di Dairi sektor basisnya adalah pertanian dan
pelayanan.
Di Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2005, sektor pertanian merupakan sektor yang
berpotensi bagi semua kabupaten yang ada di wilayah ini. Demikian pula dengan sektor
pelayanan juga menjadi basis kecuali di Kabupaten Simalungun. Sedangkan Kota
Pematang Siantar, selama tahun 2005 hingga tahun 2008 memiliki potensi ekonomi
pada sektor pengolahan dan pelayanan. Di daerah ini banyak terdapat industri
pengolahan hasil pertanian dari daerah yang ada di sekitarnya, demikian pula dengan
jasa perdagangan, hotel dan restoran, transportasi dan komunikasi dan jasa sosial
lainnya.
Wilayah Timur merupakan dataran rendah dengan kondisi lahan yang subur dan sangat
cocok untuk tanaman bahan makanan dan perkebunan. Di wilayah ini terdapat Kota
Medan yang menjadi pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, dan pusat
perekonomian untuk Provinsi Sumatera bagian Utara. Wilayah Timur terdiri dari 2 (dua)
kabupaten yakni Langkat dan Deli Serdang yang memiliki basis ekonomi pada sektor
pertanian. Selama periode 2005 hingga 2008, tidak terjadi perubahan yang berarti
dalam pengembangan sektor ini. Tahun 2008, di Deli Serdang sektor industri
pengolahan memiliki potensi ekonomi yang besar, yang berarti pada tahun tersebut
potensi ekonomi daerah tersebut juga bertumpu pada sektor industri pengolahan.
Pertanian utama di Kabupaten Langkat adalah perekebunan dan pertanian bahan
makanan, termasuk palawija dan sayuran. Untuk Kabupaten Deli Serdang, sub-sektor
perkebunan merupakan pertanian utama dengan beberapa perkebunan milik negara
serta perkebunan milik asing. Pertanian bahan makanan yang utama adalah tanaman
palawija dan padi. Di Kabupaten Deli Serdang sektor industri pengolahan, merupakan
44
sektor unggulan utama, yang sumbangannya terhadap pembentukan output atau PDRB
terus mengalami peningkatan.
Untuk Kota Tebing Tinggi, Kota Medan dan Kota Binjai sektor pertanian bukanlah basis
ekonomi. Pada ketiga kota tersebut potensi utama perekonomian adalah sektor industri
pengolahan dan pelayanan. Tahun 2005 sampai dengan 2008, di Binjai dan Medan,
sektor industri pengolahan merupakan potensi ekonomi yang baik untuk diembangkan.
Kota Tebing Tinggi memiliki keunggulan dalam sektor industri dan pelayanan, terutama
perdagangan, hotel dan restoran serta jasa sosial lainnya. Di Kota Binjai sektor
perdagangan, hotel dan restoran menjadi pilar utama ekonominya, ditambah dengan
transportasi dan komunikasi. Induatri kecil meubel dan makanan juga menjadi bagian
penting dalam kegiatan ekonomi Kota Binjai.
Kota Medan sebagai pusat perkonomian dan pemerintahan, memiliki keunggulan dalam
berbagai bidang ekonomi. Sektor konstruksi dan bangunan berkembang dengan pesat
seiring dengan permintaan yang terus meningkat. Demikian pula dengan perdagangan,
hotel dan restoran, di Kota Medan terdapat banyak usaha perdagangan besar, grosir
dan eceran dalan skala yang besar, seperti plaza, mal, toko berlangganan dan lainnya.
Juga memiliki hotel yang beragam dari kelas melati hingga bintang lima, sehingga
output yang tercipta relatif besar.
Jasa transportasi dan komunikasi di Kota Medan menjadi bagian penting yang
kontribusinya terus meningkat. Sebagai pusat perekonomian, di kota ini terdapat
pelabuhan laut dan udara yang mampu melayani arus kapal internasional. Terdapat
pula berbagai perguruan tinggi, rumah sakit dan jasa profesional lainnya, serta lembaga
keuangan sebagai basis perekonomian.
Hampir semua kondisi geografis Wilayah Timur, memiliki dataran yang subur dan luas.
Perkebunan negara dan asing banyak ditemui di wilayah ini, sehingga sektor pertanian
juga merupakan sektor basis disamping industri pengolahan. Di Kabupaten Labuhan
Batu, terdapat perkebunan rakyat dengan luas relatif besar. Kondisi alam yang
sebagian besar datar dan berada di daerah sedang menyebabkan pertanian
perkebunan tumbuh dengan subur hingga ke perbatasan Provinsi Riau. Demikian pula
dengan Kabupaten Asahan, alam dan kondisi geografisnya mirip dengan Kabupaten
Labuhan Batu sehingga hasil buminya juga mengalami kemiripan. Ditambah pula
dengan banyaknya industri pengolahan hasil-hasil pertanian, menyebabkan Kabupaten
Asahan memiliki keunggulan ekonomi pada sektor pertanian dan industri pengolahan.
45
Sedangkan untuk sektor pelayanan, kedua daerah ini tidak memiliki keunggulan. Kota
Tanjung Balai merupakan pintu gerbang perekonomian Wilayah Timur Provinsi
Sumatera Utara di sebelah selatan. Tahun 2000 potensi ekonomi utama di daerah ini
adalah pertanian, karena hasil perikanannya yang besar dan juga hasil-hasil
perkebunan. Sejak tahun 2005, perekonomian Tanjung Balai semakin terbuka dan
sektor perdagangan dan pelayanan sudah menjadi potensi bagi perekonomian.
Persentase Ekspor Terhadap PDRB
Sejalan dengan meningkatnya perekonomian Sumatera Utara, volume ekspor juga
mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, volume ekspor mencapai 5,49 juta ton
dengan nilai 2,69 milyar US$. Pada tahun 2004, volume ekspor mencapai 7,51 juta ton
dengan nilai 4,24 milyar US$, sedangkan untuk tahun 2006 volume ekspor mencapai
8,70 juta ton dengan nilai ekspor sebesar 5,52 milyar US$. Sementara itu, volume impor
tahun 2003 sebesar 2,34 juta ton dengan nilai 0,68 milyar US$, tahun 2004 volume
impor mencapai 3,22 juta ton dengan nilai 0,95 milyar US$, sedang untuk tahun 2006
volume impor sebesar 4,40 juta ton dengan nilai sebesar 1,46 milyar US$. Nilai ekspor
tahun 2008 adalah sebesar US $ 9,3 milyar.
Persentase Ekspor Terhadap PDRB
0.005.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.00
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Per
sen
0.005.0010.0015.0020.0025.0030.0035.00
Sumatera Utara Nasional Trend Sumut Trend Nasional
Gambar 2.30 : Persentase Ekspor Terhadap PDRB
Pada tahun 2005, nilai ekspornya mencapai US$ 4,56 miliar lebih baik dari tahun 2004
berjumlah US $ 4,24 milyar, disumbang dari Minyak Lemak, Minyak Nabati dan Hewani
sebesar US$ 1,76 juta, bahan baku senilai US$ 987 juta, barang hasil industri senilai
46
US$ 623 juta, bahan makanan dan binatang hidup senilai US$ 606 juta. Tahun 2007
nilai ekspor mencapai US $4,45 miliar. Tanaman Palawija juga menjadi salah satu
andalan ekspor. Terdapat 2 (dua) unggulan di provinsi ini untuk sektor pertanian yaitu
sub sektor perkebunan dan perikanan. Untuk sub sektor perkebunan terdapat 5 (lima)
komoditi unggulan, antara lain kakao, karet, kelapa sawit, kopi dan tebu. Sedangkan dari
sub sektor perikanan. Akan tetapi dikarenakan kelesuan ekonomi dunia dan ditambah
lagi oleh krisis keuangan di Amerika Serikat berdampak terhadap perekonomian
nasional, maka terjadi penurunan terhadap permintaan ekspor barang-barang di
Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara mempunyai unggulan untuk perikanan laut
danbudidaya. Sebagai pendukung kegiatan perekonomian, provinsi ini memiliki 4
(empat) kawasan industri yaitu Kawasan Industri Medan, Medan Star Industrial estate,
Binjai dan Pulahan Seruai Industrial Estate dengan dukungn sarana perhubungan yang
memadai berupa pelabuhan laut sebanyak 22 (dua puluh dua) pelabuhan dan 7 (tujuh)
Bandar Udara baik nasional maupun perintis yaitu Bandara Sibisa, Binaka, Silangit,
Pulau Batu, Aek Gondang, Pinang Sori, dan Bandara Polonia sebagai bandar udara
utama.
Analisis Relevansi dan Efektivitas
Perkembangan ekspor Sumatera Utara sangat relevan bila dibandingkan dengan trend
perkembangan ekspor di tingkat nasional. Sebagai penyumbang terbesar ekspor
Sumatera Utara adalah berasal dari ekspor produk industri yaitu sebesar US $ 7,1
milyar dan diikuti oleh produk pertanian sebesar US $ 2,2 milyar dan ekspor produk
pertambangan dan penggalian sebesar US $ 5,4 juta. Dengan demikian surplus neraca
perdagangan Sumatera Utara adalah sebesar US 5,6 milyar. Dilihat dari komoditas yang
diekspor, maka nilai ekspor terbesar Sumatera Utara adalah berasal dari minyak lemak
nabati dan hewan (47,09 %) kemudian diikuti ekspor bahan baku (20,15 %) dan bahan
makanan dan binatang hidup (13,21 %).
Persentase Manufaktur Terhadap PDRB Di Indonesia, sektor industri dikelompokkan atas industri skala besar, sedang, kecil dan
rumah tangga, Pengelompokan didasarkan pada jumlah tenaga kerja yang bekerja pada
industri tersebut. Data mengenai industri besar dan sedang (BS) tersedia setiap tahun.
Jumlah usaha industri besar dan sedang di Sumatera Utara pada tahun 2005 tercatat
sebanyak 966 perusahaan, yang berarti mengalami penambahan 37 perusahaan jika
dibandingkan dengan tahun 2004 yangberjumlah 929 perusahaan.
47
Pada tahun 2005, nilai output industri besar dan sedang mencapai 49,57 triliun rupiah
dengan nilai tambahatas dasar harga pasar sebesar 15,98 triliun rupiah. Nilai tambah
terbesar pada tahun 2005 terdapat pada golongan industri makanan, minuman dan
tembakau golongan (31) yaitu sebesar 8,11 triliun rupiah. Kemudian diikuti oleh industri
kimia, batu bara, karet, dan plastik (golongan 35) sebesar 2,40 triliun rupiah. Nilai
tambah terkecil pada tahun yang sama terdapat pada golongan 39 yaitu industri
pengolahan lainnya sebesar 9,96 milyar rupiah.
Hingga tahun 2008 sektor industri pengolahan di Sumatera Utara merupakan sektor
yang cukup strategis dalam perekonomian makro. Hal ini terlihat dari besarnya peranan
sektor ini dalam pembentukan PDRB Sumatera Utara yakni sebesar 26,33 %. Demikian
juga dalam hal upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, sektor ini
memberikan peranan yang cukup signifikan karena pada tahun 2004 pertumbuhan
sektor ini adalah mencapai 5,08 %.Bila dilihat menurut golongan industri, maka industri
besar dan sedang merupakan subsektor yang terbesar menyumbang terhadap PDRB
yakni mencapai 95,70 %, industri kecil 3,05 % dan industri kerajinan rumah tangga
sebesar 1,25 %.
Banyaknya perusahaan industri besar dan sedang sektor pengolahan yang aktif di
Sumatera Utara pada tahun 2004 adalah 947 perusahaan terdiri dari 28 perusahaan
besar dan 619 perusahaan sedang, tersebar di 21 Kabupaten/Kota dan bergerak di 36
jenis industri menurut Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).enis industri
tersebut adalah industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan,
sayuran, minyak dan lemak (KKI 151) dengan jumlah 150 perusahaan (15,83%), disusul
industri tersebut adalah industri makanan lainnya (KKI 154) dengan jumlah 128
perusahaan (13,52%) dan industri susu dan makanan dari susu, penggilingan padi-
padian, jagung dan makanan ternak (KKI 153) dengan 80 perusahaan (8,45%).
Selama tahun 2004 jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri pengolahan
besar dan sedang di Sumatera Utara adalah 158.598 orang, terdiri dari pekerja produksi
sebanyak 126.656 orang (79,86%) dan tenaga kerja lainnya sebanyak 31.942 orang
(20,14 %).
Permasalahan sektor industri terutama agroindustri ialah bahwa produk Sumatera
Utara masih sangat dekat dengan beragam produk murni sehingga produk primer belum
memberikan nilai tambah yang tinggi. Sementara itu, ekspor Sumatera Utara pada tahun
48
2002 masih juga berbentuk produk primer yang nilai tambahnya relatif rendah.
Rendahnya investasi dan kapasitas produksi yang diakibatkan belum pulihnya fungsi
intermediasi perbankan. Masih terbatasnya kemampuan industri dalam negeri untuk
mengantisipasi perubahan-perubahan didunia bisnis serta belum optimalnya
pemanfaatan pasar dalam negeri. Berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
peranan sektor industri manufaktur di Sumatera Utara beberapa langkah yang ditempuh
adalah sebagai berikut :
1). Meningkatkan penerapan standarisasi dan memanfaatkan teknologi yang sesuai dan
tepat yang didukung sistem pelayanan pemerintahan yang prima;
2) Meningkatkan pembinaan pengembangan industri kecil dan rumah tangga;
3) Membangun pola kemitraan antar pelaku ekonomi dalam kegiatan produksi dan
pemasaran;
4). Mengembangkan jaringan informasi peluang usaha, sistem informasi teknologi dan
meningkatkan nilai tambah teknologi dari berbagai industri sesuai dengan
karakteristik sumberdaya lokal dan struktural industri kecil, menengah dan koperasi
daerah;
5) Mengembangkan Industri CPO dan turunannya serta industri karet berbasis Klaster
Persentase Manufaktur Terhadap PDRB
23.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Per
sen
23.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
Sumatera Uara Nasional Trend Sumut Trend Nasioanl
Gambar 2.31 : Persentase Manufaktur Terhadap PDRB
49
Konsentrasi industri sedang dan besar secara absolut terbanyak jumlahnya di Wilayah
Timur dibandingkan dengan Wilayah Barat. Total industri yang berada di Wilayah Timur
berjumlah 15.554 unit industri dibandingkan dengan di Wilayah Barat yang hanya
berjumlah 698 unit industri. Konsentrasi industri di Wilayah Timur terutama berada di
Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Asahan yaitu kabupaten/kota
dengan jumlah industri berada di atas 500 unit industri. Dari kenyataaan tersebut dapat
dinyatakan penyebaran industri di kedua wilayah sangat timpang dan hal tersebut akan
berdampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah.
Dari nilai tambah yang dihasilkan sudah tentu industri di Wilayah Timur
menyumbangkan lebih besar yaitu berjumlah 64,708 milyar rupiah dibandingkan dengan
Wilayah Barat hanya Rp 2,495 milyar. Begitu pula dalam hal penyerapan tenaga kerja di
Wilayah Timur menyerap tenaga kerja sebesar 1.514.157 orang sedangkan di Wilayah
Barat menyerap tenaga kerja sebesar 50.073 orang. Adanya penurunan kontribusi dari
sektor industri terhadap PDRB juga seperti halnya permintaan ekspor diakibatkan pula
oleh kelesuan ekonomi dunia dan krisis finansial di Amerika Serikat. Karena hal tersebut
mempengaruhi produksi sektor industri, dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan
pun akan menurun dan pada akhirnya berdampak menurunnya kontribusi sektor industri
terhadap PDRB.
Tabel 2.2 : Penyebaran Jenis Industri PMDN di Wilayah Barat dan
Wilayah Timur Provinsi Sumatera Utara1983 – 2008
Wilayah Kabupaten/Kota Jenis Industri
Wilayah Timur
1. Medan
Industri Barang Logam Industri Farmasi Industri Kayu Industri Kertas Industri Kimia Industri Logam Dasar Industri Makanan Industri Mineral Nonlogam Industri Tekstil Jasa Konstruksi Pengangkutan Perhotelan Perumahan Peternakan
2. Deli Serdang Industri Barang Logam
50
Industri Kayu Industri Kertas Industri Kimia Industri Logam Dasar Deli Serdang Industri Makanan Industri Mineral Nonlogam Jasa Konstruksi Pengangkutan Perhotelan Perikanan Perkebunan Peternakan
3. Tebing Tinggi Industri Barang Logam Industri Makanan Perkebunan
4. Asahan
Industri Kayu Industri Kimia Industri Makanan Jasa Konstruksi Perkebunan Perikanan Perkebunan
5. Langkat
Industri Kayu Industri Kimia Industri Makanan Kehutanan Perikanan Industri Mineral Nonlogam Perkebunan
6. Labuhan Batu Industri Kimia Industri Makanan
7. Binjai Industri Makanan Industri Kimia
8. Tanjung Balai Industri Makanan Industri Kimia
Wilayah Barat
1.Tapanuli Tengah Industri Kayu Industri Makanan Perkebunan
2.Tapanuli Selatan
Industri Kayu Industri Makanan Kehutanan Perkebunan
3. Sibolga
Industri Kimia Perikanan
4. Nias Perhotelan Perkebunan
Sumber : Data diolah dari BKPMD dari beberapa tahun
51
Analisis Relevansi dan Efektifitas Perkembangan sektor industri manufaktur di Sumatera Utara sangat relevan bila
dibandingkan dengan trend perkembangan di tingkat nasional. Hal ini menunjukkan
bahwa sasaran dan tujuan yang dicapai dalam pembangunan sektor ini sangat sejalan
dengan tingkat nasional. Sejalan dengan relevansi perkembangan di tingkat daerah
dibandingkan dengan tingkat nasional , maka perkembangan manufaktur terhadap
PDRB setiap tahun mengalami peningkatan baik dari nilai tambah yang dihasilkan
maupun dari sisi pertumbuhannya.
Persentase output UMKM terhadap PDRB Struktur perekonomian di Provinsi Sumatera Utara pada dasarnya didominasi Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peran strategis UMKM dalam perekonomian
Sumatera Utara dapat dilihat dari konstribusinya dalam pembentukan PDRB, penciptaan
lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Selain itu pada masa krisis usaha mikro
kecil dan menengah telah terbukti tangguh sebagai jaring pengaman perekonomian
Sumatera Utara.
Pada tahun 2006 jumlah UKM di Sumatera Utara sebanyak 34.084 unit dengan volume
usaha sebesar Rp 1.358.065.400 dan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak
204.524 orang. Angka ini kemudian mengalami pertumbuhan pada tahun 2007 menjadi
36.888 unit dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 221.226 orang, volume usaha
sebesar Rp. 2.803.347.081. Kemudian berkembang lagi pada tahun 2008 menjadi
37.384 unit, jumlah tenaga kerja 224.366 orang dengan volume usaha sebesar
Rp 2.913.674.000.
Namun demikian terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang antara lain sebagai berikut :
rendahnya produktifitas diakibatkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia
UMKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi dan
pemasaran serta rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM; terbatasnya akses
UMKM kepada sumber daya produktif terutama terhadap permodalan, teknologi,
informasi dan pemasaran; masih rendahnya kinerja; serta kurang kondusifnya iklim
usaha. Disamping hal tersebut otonomi daerah belum memberikan kontribusi yang nyata
terhadap kemajuan dalam upaya mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif
bagi KUMKM
52
Kontribusi UMKM
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.00
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Per
sen
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.00
Sumatera Utara Nasional Trend Sumut Trend Nasional
Gambar 2.32 : Kontribusi UMKM Terhadap PDRB Analisis Relevansi dan Efektifitas
Perkembangan konstribusi UMKM terhadap PDRB di Sumatera Utara sangat relevan
bila dibandningkan dengan trend perkembangan di tingkat nasional. Hal ini
menunjukkan bahwa sasaran dan tujuan yang dicapai dalam pembangunan sektor ini
sangat sejalan dengan kebijakan di tingkat nasional. Sejalan dengan relevansi
perkembangan di tingkat daerah dibandingkan dengan tingkat nasional, maka
perkembangan manufaktur terhadap PDRB setiap tahun mengalami peningkatan baik
dari nilai tambah produksi yang dihasilkan maupun dari sisi pertumbuhan unit usahanya.
Pendapatan Perkapita Demikian pula terhadap Pendapatan Perkapita pada tahun 2003 berdasarkan atas
harga berlaku sebesar Rp. 8,67 juta meningkat menjadi Rp.9,74 juta pada tahun 2004
sedangkan untuk tahun 2006 sebesar Rp. 12,11 juta serta tahun 2009 ditargetkan
menjadi Rp 17,93 juta.
53
Pendapatan Perkapita
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Rupi
ah
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Sumatera Utara Nasional Trend Sumut Trend Nasional
Gambar 2.33 : Pendapatan Perkapita Sumatera Utara
Tingkat Inflasi
Laju Inflasi di Sumatera Utara tahun 2003 berada pada posisi satu digit atau sebesar
4,23 %, sedangkan tahun 2004 naik menjadi 6,80 %, dan untuk tahun 2006 mencapai
6,11 %, tahun 2007 sebesar 6,50 %. Tahun 2008 inflasi di Sumatera Utara adalah
sebesar 10,72 % lebih rendah bila dibandingkan dengan angka inflasi nasional sebesar
11,06 %. Inflasi tetinggi terjadi pada kelompok bahan makanan mencapai 17,76 %
kemudian diikuti kelompok makanan jadi, minuman dan tembakau sebesar 9,15 % dan
kelompok pendidikan, rekreasi sebesar 8,83 %.
.
Inflasi
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Pers
en
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Sumatera Utara Nasional Trend Sumut Trend Nasional
Gambar 2.34 : Laju Inflasi di Sumatera Utara
54
Analisis Relevansi dan Efektifitas Secara umum dapat disimpulkan bahwa perkembangan inflasi di Sumatera Utara cukup relevan dibandingkan dengan trend nasional. Angka inflasi yang meningkat disebabkan
oleh kenaikan harga secara umum pada kelompok bahan makanan, makanan jadi,
minuman dan tembakau, kelopmpok pendidikan dan rekreasi. Peningkatan angka inflasi
yang cukup tajam menunjukkan kurang efektifnya kebijakan yang ada dalam hal
pengendalian laju inflasi oleh pemerintah dan ditambah pula oleh ekspekstasi
masyarakat terhadap kondisi ke depan yang relatif kurang menguntungkan.
Pertumbuhan PMDN Salah satu sebab utama dari lambatnya pemulihan ekonomi sejak krisis 1997 adalah
buruknya kinerja investasi akibat sejumlah permasalahan yang mengganggu pada
setiap tahapan penyelenggaraannya. Keadaan tersebut menyebabkan lesunya
kegairahan melakukan investasi, baik untuk perluasan usaha yang telah ada maupun
untuk investasi baru. Masalah ini akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan
perekonomian yang selama ini lebih didorong oleh pertumbuhan konsumsi ketimbang
investasi atau ekspor. Rendahnya investasi dalam beberapa tahun terakhir sejak krisis
ekonomi juga telah mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dalam maupun
luar negeri. Investasi sangat dibutuhkan untuk memacu perekonomian yang pada
akhirnya dapat mengatasi berbagai permasalahan di daerah, baik dibidang ekonomi
maupun sosial. Dinamika investasi sangat mempengaruhi tinggi rendahnya
pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2005 nilai realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar
US $ 59,94 milyar dan kemudian angka ini menurun hingga tahun 2008 menjadi US $
39,13 milyar Program Peningkatan Iklim Investasi Dan Realisasi Investasi bertujuan
menciptakan iklim investasi usaha yang berdaya saing global dan upaya untuk
membuka lapangan kerja. Dilihat dari pertumbuhan investasi PMDN, maka pada Tahun
2004 bertumbuh sebesar 73,44 %, kemudian mengalami pertumbuhan yang negatif
pada Tahun 2005. Pertumbuhan investasi PMDN ini kemudian meningkat lagi di Tahun
2006 menjadi 33,01 %, walaupun pada Tahun 2007 dan Tahun 2008 mengalami
penurunan bahkan negatif yaitu -50,73 % dan -0,38 %.
55
Pertumbuhan PMDN
-100.0
-50.0
0.0
50.0
100.0
150.0
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Pers
en
-100.0
-50.0
0.0
50.0
100.0
150.0
Sumatera Utara Nasional Trend Sumut Trend Nasinal
Gambar 2.35 : Pertumbuhan PMDN di Sumatera Utara
Investasi terbesar PMDN terdapat disektor industri yaitu sebanyak Rp 3,11 triliun
(52,11%), selanjutnya sektor pertanian menerima investasi sebesar Rp 2,15 triliun
(35,99 %).
Penanaman Investasi Dalam Negeri di Provinsi Sumatera Utara menggunakan tenaga
kerja Indonesia berdasarkan berdasarkan lokasi di kota Medan sebanyak 151 proyek
dengan nilai investasi Rp 55,7 triliun terdiri dari sektor industri makanan, industri kimia,
industri kayu, industri tekstil, industri barang logam dan non logam, industri kertas dan
industri lainnya. Kemudian di Deli Serdang sebanyak 95 proyek dengan nilai investasi
Rp 44,24 triliun yang terdiri dari sektor perkebunan, peternakan, perikanan, pertanian
tanaman pangan, jasa konstruksi, jasa rekreasi dan perhotelan.
Peringkat selanjutnya adalah Kabupaten Labuhan Batu sebanyak 35 proyek dengan
nilai investasi Rp 1,49 triliun yang sebagian bergerak disektor perkebunan indusitri,
pertambangan dan jasa. Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Madina, Kota Padang
Sidempuan sebanyak 23 proyek dengan nilai investasi 1,190 triliun rupiah yang meliputi
sektor perkebunan, kehutanan, industri, pertanian tanaman pangan dan jasa
perhotelan. Sedangkan Kabupaten Langkat 21 proyek dengan nilai investasi 1,524 triliun
rupiah meliputi perkebunan industri, perikanan dan kehutanan.
56
Kabupaten Karo sebanyak 12 proyek dengan nilai investasi Rp 1,43 triliun yang terdiri
dari sektor pertanian tanaman pangan, industri, jasa perhotelan dan pertambangan.
Kabupaten Tapanuli Utara, Tobasa, Humbang Hasundutan, Simalungun, Tapanuli
Tengah, Sibolga, Nias, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Tanjung Balai dan Binjai
proyek investasi PMDN terdiri dari 10 proyek kebawah dengan jumlah keseluruhannya
36 proyek, total nilai investasi sebesar Rp 1,6 triliun.
Analisis Relevansi dan Efektifitas Perkembangan investasi PMDN di Sumatera Utara kurang relevan bila dibandingkan
dengan perkembangan pada tingkat nasional, artinya pada awal tahun 2004 ke tahun
2005 trend nasional mengalami peningkatan dan trend PMDN di Sumatera Utara
menunjukkan penurunan. Akan tetapi setelah tahun 2005 ke tahun 2006 trend nasional
terjadi penurunan dan trend Sumatera Utara meningkat. Begitu pula selanjutnya di
tahun 2006 ke tahun 2007 trend nasional mengalami kenaikan sedangkan trend
Sumatera Utara mengalami penurunan. Hal yang sama terjadi pula untuk tahun 2007 ke
tahun 2008, dimana trend Sumatera Utara mengalami peningkatan sedangkan trend
nasional mengalami penurunan.
Perkembangan investasi PMDN di Sumatera Utara mengalami fluktuasi yang cukup
tajam. Walaupun demikian perkembangan investasi PMDN yang menonjol terjadi di
sektor industri makanan, industri kimia, industri kayu, industri tekstil, industri barang
logam dan non logam, industri kertas dan industri lainnya dan perkebunan.
Perkembangan investasi PMDN di Sumatera Utara tidak terlepas dari kondisi umum
perekonomian Indonesia, adanya dampak krisis ekonomi dan finansial di perekonomian
dunia serta masih panjangnya birokrasi dan perizinan. Berfluktuasinya investasi PMDN
di Sumatera Utara menujukkan kurang tercapainya sasaran investasi yang diharapkan
meningkat setiap tahunnya.
Pertumbuhan PMA
Tidak jauh berbeda dengan perkembangan PMDN yang relative berfluktuasi, maka PMA
di Sumatera Utara juga mengalami hal yang sama. Artinya perekembangan kedua
investasi tersebut sangat bergantung kepada kondisi perekonomian dalam negeri dan
ekonomi global. Bahkan pada tahun 2007 perkembangan PMA mengalami pertumbuhan
yang negatif sebesar -1,59 %. Pertumbuhan investasi PMA tertinggi di Sumatera Utara
57
terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 118,20 % hal ini terjadi dikarenakan persetujuan
sejumlah investasi pada tahun sebelumnya baru terealisasi dengan dikeluarkannya
perizinan oleh pemerintah pada tahun 2006.
Pertumbuhan PMA
-50.0
0.0
50.0
100.0
150.0
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Pers
en
-50.0
0.0
50.0
100.0
150.0
Sumatera Utara Nasional Trend Sumut Trend Nasional
Gambar 2.36 : Pertumbuhan PMA di Sumatera Utara
Secara umum kondisi umum investasi PMA di Sumatera Utara menunjukkan trend yang
sejalan dengan kondisi nasional, artinya perkembangan investasi PMA Sumatera Utara
memiliki relevansi yang cukup baik dengan investasi PMA di tingkat nasional, walaupun
di tingkat nasional mengalami pertumbuhan negatif pada Tahun 2006 dan tahun 2008.
Disisi lain perkembangan investasi PMA di Sumatera Utara sangat relevan dibandingkan
dengan perkebangan investasi PMA di tingkat nasional, artinya pertumbuhan investasi
PMA di Sumatera Utara mengalami fluktuasi sesuai dengan apa yang juga terjadi di
tingkat nasional.
Analisis Relevansi dan Efektifitas
Secara umum perkembangan PMA di Sumatera Utara kurang relevan bila
dibandingkan dengan perkembangan pada tingkat nasional, artinya pada awal tahun
2004 ke tahun 2005 trend nasional dan Sumatera Utara menunjukkan kenaikan. Akan
tetapi setelah tahun 2005 ke tahun 2006 trend nasional terjadi penurunan justru trend
Sumatera Utara meningkat. Begitu pula selanjutnya di tahun 2006 ke tahun 2007 trend
nasional mengalami kenaikan sedangkan trend Sumatera Utara mengalami penurunan.
Hal yang sama terjadi pula untuk tahun 2007 ke tahun 2008.
58
Dilihat dari sisi efektifitas, maka perkembangan investasi PMA di Sumatera Utara
mengalami fluktuasi. Perkembangan investasi PMA di Sumatera Utara tidak terlepas
dari kondisi umum perekonomian Indonesia, adanya dampak krisis ekonomi dan
finansial di perekonomian dunia. Berfluktuasinya investasi PMA di Sumatera Utara
menujukkan kurang tercapainya sasaran investasi yang diharapkan meningkat setiap
tahunnya.
Jika tren dari ke tujuh indikator laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor terhadap
PDRB, persentase output manufaktur terhadap PDRB, persentase output UMKM
terhadap PDRB, laju inflasi, persentase pertumbuhan realisasi investasi PMA dan
persentase realisasi PMDN dijadikan tren indikator komposit dan dibandingkan dengan
tren nasional maka dapat dijelaskan sebagai berikut: Tren capaian indikator
pembangunan ekonomi Sumatera Utara menunjukkan pola yang sama dengan tren
pembangunan ekonomi nasional yaitu drop sangat tajam pada tahun 2005 yaitu 914.10
%, kemudian meningkat tajam pula pada tahun 2006 dan 2007 yaitu masing-masing
9.28 % dan 7.42 % dan tahun 2008 kembali drop tajam menjadi -15.8 %.
Gambar 2.37: Tren Capaian Indikator Pembangunan Ekonomi
Tren nasional menunjukkan drop sampai -13.78 pada tahun 2005 dan pada tahun 2006
dan 2007 meningkat tajam menjadi masing-masing 4.67 % dan 8.38 %. Pada tahun
2008 drop tajam menjadi -21.17 % seperti terlihat dalam Gambar 2.37. Gambaran ditas
59
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Sumatera Utara sangat relevan dengan
pembangunan ekonomi secara nasional. Mengingat besarnya tingkat capaian
khususnya hingga tahuan 2007 maka pembangunan ekonomi di daerah ini dipandang
cukup efektif.
2.3.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Secara umum kondisi perekonomian Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang
cukup baik. Dibandingkan dengan dengan kondisi perekonomian nasional, pertumbuhan
perekonomian Sumatera Utara bahkan melebihi pertumbuhan perekonomian nasional.
Investasi yang sampai saat ini masih menunjukan trend yang tinggi terjadi di sektor
industri pengolahan dan perkebunan.
Industri pengolahan di Sumatera Utara merupakan sektor yang cukup strategis dalam
perekonomian. Hal ini terlihat dari besarnya peranan sektor ini dalam pembentukan
PDRB Sumatera Utara yakni sebesar 26,33 % dan cenderung meningkat setiap
tahunnya.
Bila dilihat menurut golongan industri, maka industri besar dan sedang merupakan
subsektor yang terbesar menyumbang terhadap PDRB yakni mencapai 95,70 %,
industri kecil 3,05 % dan industri kerajinan rumah tangga sebesar 1,25 %.
2.3.3 Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan upaya yang lebih serius peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan kualaitasnya, dapat menciptakan lapangan pekerjaan serta
berkurangnya penduduk miskin dan terjadi peningkatan kondisi sosial masyarakat
secara umum.
Agar dapat mengantisipasi dampak krisis keuangan global, maka sejalan dengan
kebijakan pemerintah yang telah menetapkan 7 (tujuh) langkah prioritas erekonomian
nasional yaitu :
- mengatasi kemingkinan pengangguran baru
- mengelola inflasi
- menjaga pergerakan sektor riil dengan insentiif fiskal
- mempertahankan daya beli
- melindungi masyarakat miskin
- menjaga kecukupan pangan dan energi
60
- menjaga pertumbuhan ekonomi
perlu mendapat perhatan serius dari pemerintah daerah dan pelaku ekonomi.
Peningkatan ekspor dengan mencari pasar – pasar baru ke negara yang tidak terkena
dampak krisis global harus didorong dengan meningkatkan daya saing dan diversifikasi
produk ekspor terus dikembangkan. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi ke
depan adalah : rendahnya diversifikasi dan kualitas produk, terbatasnya akses pasar,
adanya praktek ekspor dan impor illegal, dan kurangnya promosi dan kemampuan untuk
bernegosiasi di forum internasional sehigga hal ini meyebabkan potensi yang dimiliki
Sumatera Utara kurang dikenal oleh pihak lain.
Untuk itu Iklim usaha yang lebih kondusif harus terus menerus diupayakan dan
dipertahankan dengan memberikan insentif yang tepat sasaran dalam menarik para
investor dan mendorong ekspor, sehingga akan memperkuat posisi Sumatera Utara
bagi para penanam modal untuk berinvestasi.
Kondisi perkembangan investasi di Indonesia sejak terjadinya krisis moneter telah
mengalami stagnasi dan kelesuan bahkan cenderung menjadi tidak kondusif sehingga
berpengaruh terhadap perkembangan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu
indikator yang dapat dilihat adalah dari turunnya jumlah proyek dan investasi PMDN
yang telah disetujui dan realisasinya.
Dengan mengenyampingkan permasalahan nasional, ada beberapa hal yang perlu
dibenahi untuk mendorong investasi di Provinsi Sumatera Utara.
1. Menyangkut pada ketersediaan energi listrik, keterbatasan energi listrik sangat
mengurangi minat investor melekukan investasi, baik baru maupun perluasan
karena investor yang lama harus mengurangi pemakaian mesin-mesin karena
keterbatasan energi listrik. Jadi jika Provinsi Sumatera Utara mau mendorong
investasi , maka permasalahan energi listrik perlu dibenahi.
2. Menyangkut pada aktivitas penyelundupan yang marak di Provinsi Sumatera
Utara, dengan maraknya penyelundupan menyangkut maka hasrat berinvestasi
menjadi turun apalagi jika barang yang dihasilkan tidak mampu bersaing dengan
barang buatan luar negeri. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan adanya
61
koordinasi serta itikad yang tulus dari kita semua. Namun harus disponsori oleh
pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara.
3. Menyangkut pada kondisi jalan dan jembatan yang tidak mulus dan tidak merata
di Provinsi Sumatera Utara. Potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah Provinsi
Sumatera Utara tidak terjangkau oleh jalan dan jembatan secara ekonomis
sehingga potensi itu tidak dapat diolah. Oleh sebab itu investasi hanya terjadi di
Wilayah Timur Provinsi Sumatera Utara, khususnya di kota Medan dan
Kabupaten Deli Serdang.
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 2.4.1. Capaian Indikator Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Hasil-hasil yang dicapai selama tahun 2005, melalui berbagai program dan kegiatan
bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Utara telah
berhasil memformulasikan berbagai permasalahan lingkungan dalam kerangka
implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan di daerah. Eksistensi lingkungan
hidup sebagai modal dasar pembangunan semakin dirasakan. Kemerosotan dan
penurunan kualitas lingkungan perairan, udara, tanah, pantai dan laut dengan berbagai
implikasinya terhadap kehidupan manusia, flora dan fauna serta masalah lingkungan
sosial lainnya menjadi fokus perhatian yang semakin serius untuk ditangani secara
terpadu melibatkan berbagai komponen masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.
Kualitas udara semakin menurun dengan indikator meningkatnya konsentrasi ambien
polutan udara sejalan dengan peningkatan sarana tranportasi dan pembangunan
industri serta masih banyaknya jumlah titik api (hot spot) akibat kebakaran hutan dan
lahan. Kondisi lahan semakin mengkhawatirkan dengan indikator semakin berkurangnya
luas kawasan hutan dan meningkatnya ketandusan (lahan kritis) akibat aktivitas
dibidang kehutanan dan perkebunan yang kurang memperhatikan aspek keseimbangan
lingkungan terutama di daerah pedesaan. Sementara di daerah perkotaan, penurunan
kondisi lahan berkaitan dengan pengelolaan kebersihan (sampah) dan penataan
estetika juga belum maksimal dilakukan. Kawasan pantai mengalami penurunan kualitas
yang terlihat dari indikator luas hutan bakau (mangrove) yang terus menurun. Hal ini
sangat mempengaruhi perubahan ekosistem pantai dan kehidupan masyarakat nelayan
yang kurang menguntungan. Kualitas air sungai terutama di perkotaan mengalami
62
gangguan yang tidak kecil jika dilihat dari indikator BOD, COD, TSS, DO, dan pH air
sungai yang semuanya menunjukkan situasi di atas ambang batas mutu lingkungan.
Demikian juga halnya Danau Toba, walaupun parameter kualitas airnya belum
melampaui ambang batas, tetapi beberapa parameter kimia dan biologi menunjukkan
indikasi adanya peningkatan pencemaran dari limbah organik dari sumber domestik,
peternakan dan perikanan. Institusi lingkungan belum dapat berperan sebagaimana
yang dapat diharapkan karena berbagai keterbatasan-keterbatasan antara lain,
eksistensi instansi PLH belum sepenuhnya ada di Kab/Kota, jumlah SDM yang
berkualifikasi LH, PPLHD dan PPNS Lingkungan sangat terbatas, serta jumlah
perusahaan yang memiliki Dokumen Lingkungan dan ISO 14000 EMS masih jauh dari
yang diharapkan.
Salah satu kasus kerusakan lingkungan yang cukup serius yang sedang terjadi di
Kawasan Danau Toba ialah DAS Renun dengan 11 anak sungai yang terkait dengan
wilayah Kabuaten Dairi. Sejak beberapa tahun terakhir DAS ini mengalami kerusakan
serius sehubungan dengan kegiatan masyarakat yang melakukan penambangan pasir
di perbukitan sekitar dan mencuci pasir menggunakan air sungai dan mengalirkan
kembali air cucian yang telah kotor kedalam sungai. Aibatnya, sungai mengalami
pendangkalan dan mengancam operasi PLTA yang berada di bagian hilir. Jika kegiatan
ekonomi masyarakat tersebut tidak segera ditanggulangai maka operasi PLTA sebesar
2 x 41 MW yang memanfaatkan air sungai Renun tersebut akan segera berhenti
beroperasi.
Kondisi lingkungan seperti diuraikan di atas merupakan dampak dari peningkatan
pertumbuhan pendududk yang menimbulkan tuntutan ekonomi yang semakin
memeningkat serta melemahnya kordinasi dalam pengawasan lingkungan oleh
pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Selain itu, belum berkembangnya teknologi
lingkungan dan lemahnya penegakan hukum dalam pelanggaran terhadap upaya
pelestarian lingkungan ikut berperan terhadap semakin parahnya kerusakan lingkungan
di Sumatera Utara.
63
Kehutanan Luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara menurut fungsinya yaitu hutan produksi
seluas 1.788.016,19 ha, hutan lindung seluas 1.481.737,69 ha, hutan konservasi
362.333,36 ha dan hutan produksi konversi seluas 47.251,24 ha. Keadaan luasan
tersebut sudah sesuai dengan RTRW Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Perda No.
7 Tahun 2003. Produksi hasil hutan Sumatera Utara tahun 2003 menurut jenis
produksinya yaitu log rimba 70.900,76 m3, log primer 1.011.910,61 m3, kayu gergajian
52.448,45 m3, kayu lapis 148.094,25 m3, pulp 113.266,77 ton dan Block Board 199,13
m3. Sedangkan produksi hasil ikutan hutan pada tahun 2003 yaitu rotan 672.955 batang,
arang 185,57 ton dan getah tusam 174.067 kg. Masalah yang utama dalam
pembangunan kehutanan di Sumatera Utara antara lain illegal logging masih terus
berlangsung, tingkat keberhasilan reboisasi dan konservasi sumber daya hutan masih
rendah dan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan hutan di sekitar kawasan
hutan masih rendah.
Berdasarkan data BP DAS 2008, luas lahan kritis dan sangat kritis di Sumatera Utara
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan telah mencapai 30.19 % sedangkan luas
lahan yang agak kritis dan potensial menjadi kritis mencapai 51.80 % (lihat Tabel 2.3).
Dengan demikian, persentase luas lahan yang tidak kritis relatif kecil yaitu hanya
18.01 %. Persentase lahan kritis yang berhasil di rehabilitasi dalam kawasan hutan
tahun 2005-2008 berturut-turut ialah 0.42 % (2005), 0.45 % (2006), 0.52 % (2007) dan
0.30 % (2008).
Tabel 2.3: Kondisi Lahan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008
Kabupaten/Kota Kondisi Lahan (ha)
Tidak Kritis Potensial Kritis
Agak Kritis Kritis Sangat Kritis
Deli Serdang 123,32 4.590,98 14.681,10 41.414,33 25.717,98
Langkat 11.896,41 106.343,66 64.322,32 143.300,34 17.196,55
Simalungun 318,30 6.489,74 27.719,58 70.234,02 33.274,26
Karo 2,65 3.948,13 11.247,04 76.297,31 37.537,95
Asahan 3.835,61 17.561,41 96.571,50 10.451,86 7.230,32
Dairi 6.683,34 5.468,40 25.557,81 59.441,85 24.031,24
Pakpak Bharat 5.764,27 9.162,57 4.003,67 90.432,57 26.263,38
64
Humbang H. - 152,76 97.652,49 49.316,88 16.206,11
Mandailing N. 2,65 19.730,41 164.854,08 70.128,76 768.332,18
Toba Samosir 5.111,10 6.078,91 217.921,24 52.179,51 24.546,16
Labuhan Batu 14.968,07 72.317,88 544.013,13 112.067,97 24.546,16
Tapanuli Tengah 3.494,43 61.216,59 88.101,12 410.344,09 20.493,00
Tapanuli Selatan 52.170,05 172.036,05 466.094,31 90.355,90 37.384,78
Medan - 44.10 80.92 - --
Binjai - - - - -
P. Siantar - - - - -
Tebing Tinggi - - - - -
Tanjung Balai - - - - -
Sibolga - 490,92 280,01 746,00 778,48
P. Sidempuan - 407,36 26.946,28 1.817,50 1.701,44
Jumlah 105.559,64 571.741,90 2.166.687,69 1.441.931,67 1.130.932,69
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
450000
2004 2005 2006 2007 20080
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
450000
Sumatera Utara Nasional Trend Sumatera Utara Trend Nasional
Gambar 2.38 : Rehabilitasi lahan luar hutan
65
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
2004 2005 2006 2007 20080
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
Sumatera Utara NasionalTrend Sumatera Utara Trend Nasional
Gambar 2.39 : Luas kawasan konservasi
Perikanan dan Kelautan
Produksi perikanan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2005 sebesar 401.527,2 ton
yang terdiri dari Produksi perikanan budidaya sebesar 44.730,9 ton dan produksi
tangkap sebesar 356.796,3 ton. Potensi perikanan laut Sumatera Utara cukup besar
dengan potensi lestari Selat Malaka 276.030 ton dan Samudera Hindia sebesar
1.076.890 ton. Jenis-jenis ikan yang potensial adalah ikan pelagis, ikan demersal, ikan
karang,udang, cumi-cumi dan lobster, sedangkan luas perairan umum adalah 155.797
ha, yang terdiri dari danau, sungai, rawa dan waduk. Potensi budi daya air tawar adalah
84.912 ha dan tambak adalah 20.000 ha. Permasalahan utama dalam pembangunan
perikanan di Provinsi Sumatera Utara adalah pencurian ikan oleh kapal asing,
penggunaan alat tangkap yang dilarang, keterbatasan fasilitas Pangkalan Pendaratan
ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), teknologi dan peralatan tangkap yang
terbatas, zonasi budidaya yang belum jelas dan terbatasnya bibit/benur ikan yang
diproduksi daerah Sumatera Utara. Penyakit udang/ikan yang belum tuntas diatasi dan
keterbatasan permodalan nelayan dan pembudidaya ikan.
Sebagai salah satu sumberdaya alam, perhatian masyarakat untuk memanfaatkan
sumberdaya ekonomi yang terkandung di dalamnya cukup tinggi. Selain ikan yang
memiliki keragaman dan nilai ekonomi yang tinggi, berbagai sumberdaya ekonomi lain
seperti rumput laut, terumbu karang dan lain-lain sering kali sangat menggiurkan
sehingga berbagai cara dilakukan masyarakat untuk mengeksploitasi yang sebagian
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Illegal fishing, pencurian
terumbu karang dan berbagai biota laut lainnya adalah beberapa contoh pelanggaran
66
yang sering terjadi baik oleh masyarakat lokal maupun domestik dan asing.
Berdasarkan data tahun tahun 2004, jumlah tindak pidana perikanan yang terjadi di
perairan Sumatera Utara ada sebanyak 7 kasus, dan pada tahun 2005 meningkat tajam
menjadi 17 kasus. Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara dengan bekerjasama dengan Lantamal, jumlah tindak pidana
perikanan kemudian menurun kembali menjadi 8 kasus pada tahun 2006 dan 4 kasus
pada tahun 2007.
0
50
100
150
200
250
2004 2005 2006 2007 20080
50
100
150
200
250
Sumatera Utara NasionalTrend Sumatera Utara Trend Nasional
Gambar 2.40: Jumlah Tindak Pidana Perikanan
Salah satu permasalahan yang dihadapi di sektor perikanan dan kelautan di Provinsi Sumatera Utara seperti juga halnya dengan provinsi lain yang mempunyai kawasan pantai di Indonesia selain pencurian terumbu karang ialah kerusakan terumbu karang. Kerusakan terumbu karang di kawasan pesisir Sumatera Utara terutama terjadi di Kabupaten Nias seluas 6.700 ha, Nias Selatan 7.400 ha dan Tapanuli Tengah 3.640 ha yang secara keseluruhan berjumlah 177.400 ha. Persentase termbu karang yang masih dapat dikategorikan cukup baik pada tahun 2008 di masing-masing wilayah tersebut adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.6.
Tabel 2.6: Persentase Terumbu Karang Dalam Keadaan Baik Tahun 2008
Kabupaten /Lokasi 2006 2007 2008
Nias (%) 48.31 17.20 19.82
Nias Selatan (%) 7.82 6.25 8.35
Tapanuli Tengah (%) 43.63 38.31 40.66
Sumber P2O LIPI
67
Sedangkan luas kawasan konservasi laut menurut data tahun 2008 ialah 189.704 ha yang tersebar di tiga lokasi yaitu Nias seluas 54.000 ha, Nias Selatan seluas 56.000 ha dan Tapanuli Tengah seluas 79.704 ha
05
1015202530354045
2004 2005 2006 2007 2008051015202530354045
Sumatera Utara NasionalTrend Sumatera Utara Trend Nasional
Gambar 2.41: Persentase Terumbu Karang Dalam Keadaan Baik
Analisis Relevansi dan Efektivitas
Jika tren Capaian Indikator Pengelolaan Sumberdaya Alam secara komposit di
Sumatera Utara dibandingkan dengan tren nasional maka hasilnya dapat dijelaskan
sebagai berikut: Tren capaian indikator kualitas pengelolaan sumberdaya alam di
Sumatera Utara menunjukkan penurunan yaitu pada tahun 2005 sebesar 5.44 %
kemudian menurun drastis menjadi -7.15 % pada tahun 2006, -2.46 % pada tahun 2007
dan -3.66 % pada tahun 2008. Tren nasional menunjukkan gambaran yang sedikit lebih
baik yaitu pada tahun 2005 adalah -0.22 % dan tahun 2006 menurun drastis menjadi -
5.96 %. Tetapi pada tahun 2007 dan 2008 menunjukkan tren yang cukup baik yaitu
masing-masing 2.73 % dan 3.63 %. Perbandingan ini menunjukkan bahwa capaian
indikator kualitas pengelolaan sumberdaya alam di Sumatera Utara relevan dengan
capaian indikator nasional. Melihat gambaran tren negatif yang diperlihatkan oleh
capaian indikator di Sumatera Utara maka pengelolaan sumberdaya alam di daerah
dinilai tidak efektif.
68
Gambar 2.42: Tren Capaian Indikator Pengelolaan Sumberdaya Alam
2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik Dari dua indikator hasil pembangunan/pengelolaan sumberdaya alam kehutanan dan
dan kelautan, tidak terlihat suatu keberhasilan yang cukup menonjol. Pada sub-sektor
kehutanan, mengingat demikian luasnya lahan yang tergolong lahan kritis dan sangat
kriitis yaitu 2.572.864,36 ha, tingkat capaian rehabilitasi yang hanya berkisar 0.14 - 0.15
% per tahun dinilai masih sangat rendah. Jika prestasi atau capaian ini tidak dapat
dipacu pada tahun-tahun mendatang, maka lahan-lahan hutan yang agak kritis dan
potensial kritis seluas 2.38.429,95 ha akan menjadi lahan kritis sehingga persentase
lahan kritis bukan berkurang tetapi akan semakin meningkat secara tajam. Dalam hal
konservasi lahan di berbagai kawasan, walaupun terlihat capaian mengalami tendensi
yang menurun, tingkat capaian dinilai cukup baik. Secara rata-rata luas kawasan
konservasi per tahun cukup lumayan yaitu 490.890 ha per tahun.
Pada sub-sektor kelautan, seperti halnya pada sub-sektor kehutanan, belum ada
capaian yang menonjol. Dalam hal tindak pidana perikanan, jumlah tindak pidana yang
ditangani berfluktuasi tetapi menunjukkan tendensi yang penurunan. Demikian juga
halnya dengan rehabilitasi terumbu karang, persentase terumbu karang yang dalam
keadaan baik semakin merosost yang pada tahun 2004 sebesar 40 %, tetapi pada tahun
2008 turun menjadi hanya 35 %. Karena program-program penanggulangan terumbu
69
karang setiap tahun diadalkan, maka dapat diduga bahwa tingkat kerursakan terumbu
karang di Sumatera Utara semakin meningkat.
2.4.3 Rekomendasi Kebijakan Melihak keadaan sumberdaya alam khususnya sub-sektor kehutanan dan kelautan dan
sub-sektor perikanan dan kelautan yang keadaannya demikian kritis, maka pemerintah
daerah khususnya Pemerintah Kabupaten Nias, Nias Selatan dan Tapanuli Tengah
perlu lebih serius mengembangkan program-program dan kegiatan rehabilitasi lahan-
lahn kritis, konservasi lahan, pengamanan terumbu karang dan konservasi lautan.
Masalah yang terkait rendahnya tren capaian indikator kualitas pengelolaan sumberdaya
alam di kedua sub-sektor tersebut ialah terbatasnya dana untuk membiayai program /
kegiatan serta besarnya kerusakan yang sudah terjadi. Dengan demikian, pemberian
dan bantuan program yang lebih besar merupakan sebuah keharusan. Mengingat begit
luasnya lahan hutan dan bukan hutan yang sudah berada dalam kondisi kritis seperti
halnya juga dengan terumbu karang yang rusak pengelolaan harus dialkukan
berdasarkan prioritas berdasarkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Oleh karena itu pemerintah daerah terutama Pemerintah Kabupaten Nias, Nias Selatan
dan Tapanuli Utara perlu menyusun lokasi prioritas serta secara erat bekerjasama
dengan Departemen Kehutanan dan Depatemen Kelautan/Perikanan melakukan
program-program penanggulangan secara sinergis.
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL
2.5.1. Capaian Indikator
Proses pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap dan terus-menerus bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Berbagai pola dan
kebijakan terbaik telah dan sedang dilakukan dengan mengoptimalkan peran semua
pihak untuk mewujudkan tujuan tersebut. Semua pihak mengharapkan agar
kesejahteraan sosial dapat terwujud secara adil dan seksama baik di wilayah perkotaan
maupun pedesaan tanpa memandang suku, agama, ras dan sebagainya karena hidup
sejahtera merupakan hak azasi semua orang. Oleh sebab itu upaya peningkatan
kesejahteraan ini terus dilakukan dengan menggunakan semua potensi yang ada secara
maksimal.
70
Tingkat kesejahteraan sosial dapat diukur dari berbagai indikator seperti persentase
pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap masyarakat penyandang cacat, tuna sosial,
korban penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Secara teori, semakin sedikit jumlah
anak jalanan, anak-anak terlantar, tuna sosial, dan sebagainya merupakan indikator
yang menunjukkan keberhasilan penangangan masalah sosial di suatu daerah atau
negara dan sebaliknya. OLeh sebab itu berbagai bantuan penyuluhan, pembinaan dan
bantuan fisik lainnya terus dilakukan pemerintah untuk menekan dan mengatasi
masalah sosial yang terjadi walaupun masalah sosial ini sebenarnya terjadi disetiap
negara termasuk di negara-negara maju.
Selain indikator di atas, indikator yang paling sering dan paling utama digunakan dalam
mengukur tingkat kesejahteraan ialah adalah persentase penduduk miskin dan tingkat
pengangguran terbuka, dan pelayanan sosial bagi lanjut usia. Kemiskinan sering
dianggap sebagai musuh utama pembangunan dan kemiskinan ini terjadi salah satunya
disebabkan tingkat pengangguran terbuka yang tinggi di tengah masyarakat. Oleh
sebab itu, kedua masalah sosial ini sering dianggap memiliki keterkaitan yang erat dan
kuat. Penanganan masalah ini diupayakan oleh pemerintah dengan menyalurkan
berbagai bantuan dan subsidi serta membuka lapangan kerja dengan meningkatkan
inisiatif dan kreatifitas masyarakat di samping memperluas kesempatan investasi
langsung bagi semua pihak.
Berbagai upaya dalam menangani masalah kemiskinan dan pengangguran ini telah dan
terus dilakukan pemerintah Sumatera Utara sehingga masalah sosial ini dapat
diperkecil. Persentase penduduk miskin Sumatera Utara tahun 2004 adalah 14,93%
yang kemudian dapat diturunkan menjadi 14,68% pada tahun 2005. Tahun 2006
persentase penduduk miskin Sumatera Utara sedikit bertambah atau semakin buruk
yakni 15,01%. Namun demikian untuk tahun 2007 dan 2008 masalah ini dapat ditangani
lebih baik sehingga persentase penduduk miskin di Sumatera Utara kembali turun
masing-masing 13,90% dan 12,55%. Secara keseluruhan, persentase penduduk miskin
Sumatera Utara dari tahun 2004 sampai tahun 2008 terjadi penurunan walaupun upaya-
upaya perbaikan selanjutnya tetap harus dilakukan sungguh-sungguh.
Ditinjau dari sudut pertumbuhan ekonomi, walaupun Sumatera Utara mengalami
pertumbuhan yang moderat yaitu 4.00 % - 5.00 % per tahun, dampaknya terhadap
masyarakat bawah kurang terasa karena tingkat pertumbuhan tersebut dicapai bukan
71
karena peningkatan investasi tetapi karena kenaikan harga komoditi perkebunan yang
sebagian besar adalah BUMN dan perusahaan swasta. Dengan demikian, faktor utama
yang menyebabkan menurunnya persentase penduduk miskin ialah pelaksanaan
bantuan subsidi bahan bakar yang dikenal sebagai Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang
bagi kelompok masyarakat bawah sangat menolong.
14.9316.66
14.6816.6915.01
17.7513.916.58
12.5515.42
0
5
10
15
20
2004 2005 2006 2007 2008
Sumut Nasional
Gambar 2.43 : Persentase Penduduk Miskin di Propinsi Sumatera Utara
Analisis Relevansi dan Efektivitas
Gambar 2.43 menunjukkan keadaan penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara
dibandingkan dengan keadaannya secara nasional. Seperti terlihat dalam Gambar 2.38,
tren persentase penduduk miskin di Sumatera Utara menunjukkan tren yang sangat
mirip dengan tren nasional. Misalnya, pada tahun 2006 sama-sama menunjukkan
adanya kenaikan persentase jumlah penduduk miskin baik di Sumatera Utara maupun
di tingkat nasional. Kemudian untuk dua tahun selanjutnya yaitu tahun 2007,dan 2008
sama-sama menunjukkan tren yang semakin menurun. Ini menunjukkan adanya
keberhasilan upaya dan pendekatan penanganan dalam masalah kemiskinan baik di
tingkat Propinsi Sumatera Utara maupun di tingkat nasional.
Berdasarkan kenyataan ini, khusus untuk indikator kemiskinan, tren kemiskinan yang
terjadi di Propinsi Sumatera Utara terlihat mengacu atau relatif mengikuti kondisi tingkat
72
kemiskinan secara nasional. Kondisi ini diyakini terjadi antara lain karena berbagai
program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat relatif
berpengaruh terhadap jumlah dan persentase kemiskinan di Sumatera Utara.
Sebaliknya, kondisi buruk yang mengakibatkan persentase tingkat kemiskinan
bertambah secara nasional, juga berpengaruh kepada peningkatan persentase
kemiskinan di Propinsi Sumatera Utara sehingga tern peningkatan dan penurunan
persentase kemiskinan terlihat sama. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa
penanggulangan kemiskinan di Sumatera Utara memiliki sangat relevan dengan dengan
penanggulangan kemiskinan secara nasional. Namun demikian, program-program
penanggulangan kemiskinan ini dipandang tidak cukup efdektif karena bersifat kurang
mendasar tetapi hanya berjangka pendek karena lebih menghandalkan BLT.
Di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka di Sumatera Utara secara keseluruhan juga
mengalami penurunan. Untuk tahun 2004, tingkat pengangguran terbuka di Sumatera
Utara tercatat sebesar 11,08% yang kemudian meningkat menjadi 14,55% pada tahun
2005 atau terjadi penambahan sebesar 3,47%. Namun demikian untuk tahun-tahun
berikutnya sampai tahun 2008 justru terjadi penurun seperti diharapkan. Tahun 2006
tingkat pengangguran terbuka di Sumatera Utara adalah 11,51 % sedangkan untuk
tahun 2007 dan 2008 masing-masing 10,10% dan 9,60 %.Jika data-data yang ada
dilihat secara bersamaan dengan data-data tingkat pengangguran terbuka secara
nasional juga menunjukkan tren yang sama. Menurunnya persentase pengangguran
juga lebih banyak disebabkan oleh kebijakan rekrutmen pegawai negeri yang sejak
tahun 2006 hingga 2009 dilakukan rekrutmen dalam jumlah besar dan meliputi sebagian
besar kabupaten / kota di Sumatera Utara. Menurunnya jumlah pengangguran karena
pertumbuhan investasi di sektor riel masih kurang terasa di Sumatera Utara.
Tahun 2005 persentase pengangguran terbuka baik di tingkat Propinsi Sumatera Utara
maupun di tingkat nasional sama-sama menunjukkan sedikit peningkatan. Selanjutnya
untuk tahun-tahun berikutnya yaitu tahun 2006, 2007 dan 2008 sama-sama
menunjukkan tren penurunan persentase pengangguran. Sejauh ini, penanganan dua
kategori masalah sosial ini yakni kemiskinan dan pengangguran terbuka terdapat tren
kesamaan pencapaian antara Propinsi Sumatera Utara dan tingkat nasional. Lebih jelas
hal ini ditunjukkan dalam bentuk grafik Gambar 2. 44 berikut:
73
11.089.86
14.55 14.22
11.5110.28 10.1
9.11 9.68.46
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2004 2005 2006 2007 2008
Sumut Nasional
Gambar 2.44: Tingkat Pengangguran Terbuka di Sumatera Utara
Gambar 2.44 di atas menunjukkan bahwa mulai tahun 2004 sampai 2008 persentase
tingkat pengangguran terbuka di Sumatera Utara terus berada di atas persentase
secara nasional namun trennya kelihatan sama yakni sama-sama menunjukkan
penurunan sejak tahun 2006. Berdasarkan data dan gambar di atas juga terlihat bahwa
mulai tahun 2006 sampai 2008 baik pemerintah Propinsi Sumatera Utara maupun
Pemerintah Pusat sama-sama mampu menurunkan persentase pengangguran terbuka
di tengah masyarakat sekitar 1%. Hal ini bermakna pertambahan lapangan kerja relatif
lebih baik berbanding pertambahan jumlah tenaga kerja baik di tingkat Propinsi
Sumatera Utara maupun di tingkat nasional.
Pelayanan kesejahteraan sosial baik bagi anak telantar/jalanan/nakal maupun bagi
lanjut usia serta rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat, tunasosial dan korban
narkoba menunjukkan tren yang meningkat secara tajam. Misalnya pada pelayanan
kesejahteraan sosial bagi anak telantar/jalanan/nakal, persentase pelayanan hanya 2.70
% tetapi pada tahun 2008 meningkat menjadi 10,09 %. Demikian pula dengan
pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia yang pada tahun 2004 hanya1.43 %,
pada tahun 2008 melonjak menjadi 11.02 %. Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi
74
penyandang cacat, tunasosial dan korban narkoba juga menunjukkan hal yang tidak
berbeda yaitu pada pada tahun 2004 hanya mencapai 0.84 % tetapi pada 2009
melonjak menjadi 9.97 %. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ke tiga pelayanan
sosial terakhir di Sumatera Utara sangat relevan dengan dengan kebijakan penanganan
sosial secara nasional dan juga cukup efektif karena setiap tahun menunjukkan capaian
yang meningkat secara signifikan.
2.7
1.430.84
3.012.7
1.2
4.7
3.6
2.1
5.6
3.93.07
1.39
2.53
0.44
10.09
11.02
9.97
0
2
4
6
8
10
12
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Anak Lansia Rehabilitasi
Gambar 2.45 : Tingkat Pelayanan Kesejahteraan Anak, Lanjut Usia dan Rehabilitasi Sosial
Analisis Relevansi dan Efektivitas
Jika tren Capaian Indikator Kesejahteraan Sosial secara komposit di Sumatera Utara
dibandingkan dengan tren nasional maka hasilnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tren capaian indikator kesejahteraan sosial di Sumatera Utara hingga tahun 2007
mengalami penurunan dari tingkat pertumbuhan sebesar 0.39 % pada tahun 2005,
menjadi -1.92 %,pada tahun 2006 dan -1.47 % pada tahun 2007. Tetapi pada tahun
2008 meningkat menjadi 2,02 %. Tren nasional menunjukkan keadaan yang sebaliknya
yaitu tren capaian pada tahun 2005 sebesar -0,98 % dan kemudian naik terus menjadi
0.70 % pada tahun 2006, 0.84 % pada tahun 2007 dan kemudian merosost sedikit
75
menjadi - 0.30 %. Dari gambaran tren tersebut terlihat bahwa capaian indikator
kesejahteraan sosial antara Provinsi Sumatera Utara dan nasional tidak menunjukkan
relevansi yang jelas karena pola pertumbuhan antara keduanya tidak sinkron. Dari
Gambar 2.46 juga terlihat bahwa capaian indikator kesejahteraan sosial di Sumatera
Utara juga demikian rendah sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan
kesejahteraan sosial di Sumatera Utara tidak efektif
Gambar 2.46: Tren Capaian Indikator Kesejahteraan Sosial
2.5.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Dari lima indikator kesejahteraan sosial, semua indikator memperlihatkan capaian yang
cukup menggembirakan karena keduanya menunjukkan tren yang positif. Tiga indikator
terakhir yaitu pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak telantar/nakal/jalanan/balita
telantar, pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dan pelayanan dan rehabilitasi
sosial penyandang cacat/tunasosial dan korban narkoba merupakan capaian cukup
menonjol karena menunjukkan tren yang positif yang cukup besar. Capaian terbesar
dapat disebutkan dalam hal pelayanan dan rehabilitasi sosial khususnya bagi korban
penyalahgunaan narkoba. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memiliki program dan
kegiatan yang sangat jelas dan terarah dalam pembasmian jaringan pengedar
/penyalahgunaan narkoba serta membuka pos-pos pelayanan informasi tentang sumber
dan korban narkoba. Jika program tersebut dilanjutkan maka dapat diharapkan jaringan
pengedar narkoba di Sumatera Utara akan dapat dihapus.
76
Berkaitan dengan indikator sosial lainnya yakni persentase pelayanan kepada anak-
anak yang bermasalah, golongan lanjut usia, dan pelayanan rehabilitasi sosial di
Sumatera Utara terus meningkat sejak tahun 2004 sampai 2007 (Data berdasarkan
diskusi). Namun demikian untuk tahun 2008 terjadi penurunan untuk semua jenis
pelayanan sosial yang ada. Menurut pihak Dinas Sosial Sumatera Utara, salah satu
faktor penyebab turunnya intensitas pelayanan ini adalah kebijakan pengurangan
anggaran pada tahun tersebut. Untuk tahun 2009, pelayanan kesejahteraan sosial di
Sumatera Utara kembali membaik secara signifikan untuk semua jenis pelayanan.
Perbaikan pelayanan ini selain karena faktor anggaran yang kembali bertambah, juga
disebabkan pihak Dinas Sosial melakukan berbagai perbaikan kebijakan yang lebih
efektif termasuk reposisi pegawai tertentu.
Sebagai gambaran ringkas berdasarkan Sumatera Utara Dalam Angka 2007 (SUDA
2007), anak-anak terlantar di Sumatera Utara berjumlah 266.592 orang sedangkan
balita terlantar berjumlah 64.740 orang. Anak jalanan dan anak nakal tercatat masing-
masing 4.525 dan 18.741 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah Propinsi
Sumatera Utara mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat dalam menangani
masalah-masalah sosial yang ada.
2.5.3 Rekomendasi Kebijakan
Dalam penanganan masalah tingkat kesejahteraan ini, perlu ada keselarasan format
indikator keberhasilan penangangan antara pemerintah Propinsi Sumatera Utara
dengan pemerintah pusat khususnya menyangkut format indikator keberhasilan
penanganan masalah sosial berkaitan dengan masalah anak-anak jalanan, anak
terlantar anak nakal, balita terlantar, golongan lanjut usia, penyandang cacat, tuna sosial
dan korban narkoba. Selain itu, diversifikasi penanganan masalah sosial harus terus
diupayakan dengan terlebih dahulu meningkatkan anggaran pelaksanan setiap
tahunnya.
77
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap capaian indikator komposit output dan outcome pada
lima sektor pembangunan berdasarkan RPJMN 2004-2009 di Sumatera Utara dalam
periode 2004-2008 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelayanan Publik dan Demokrasi
Pembangunan dalam peningkatan pelayanan publik di Sumatera Utara tidak relevan
dengan tujuan pembangunan sektor pelayanan publik secara nasional. Demikian juga
jika capaian indikator pelayanan publik di Provinsi Sumatera Utara dibandingkan
dengan tujuan / sasaran pembangunan nasional maka capaian indikator pelayanan
publik juga terlihat tidak cukup efektif. Namun demikian, jika dilihat dalam beberapa
elemen pelayanan, pelayanan dalam penanganan korupsi memiliki capaian indikator
yang sangat menonjol sedangan dan aparat yang berijazah S1 dan kesiapan
pemerintah kabupaten / kota dalam melaksanakan pelayanan satu atap masih rendah.
Disamping itu, capaian indikator pembangunan politik masyarakat di Sumatera Utara,
hasil-hasil yang dicapai relevan dengan tujuan pembangunan nasional namun kurang
efektif. Beberapa komponen pembangunan politik yang dininai cukup relevan dan efektif
ialah Gender Development Index dan Gender Empowerment Measurement.
2.Kualitas Sumberdaya Manusia
Pembangunan sumberdaya manusia di Sumatera Utara sangat relevan dengan tujuan
pembangunan secara nasiona. Pada tahun 2008, tren capaian indikator kualitas
sumberdaya manusia di Provinsi Sumatera Utara ternyata lebih tinggi dari tren nasional.
Namun demikian, berdasarkan besaran capaian indikator pembangunan sumberdaya
manusia di Sumatera Utara terlihat tidak efektif. Ditinjau dari masing-masing komponen
kualitas sumberdaya manusia, peningkatan persentase guru sekolah menengah layak
mengajar, tingkat kematian bayi, prevalensi gizi kurang dan prevalensi gizi buruk terlihat
cukup efektif.
78
3.Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara terlihat sangat relevan dengan
tujuan pembanguan ekonomi secara nasional. Baik di Sumatera Utara maupun secara
nasional, tren capaian indikator secara komposit memperlihatkan penurunan pada
periode 2004-2006, kemudian sama-sama menunjukkan peningkatan yang cukup tajam
dan kemudian menurun lagi dalam periode 2007-2008. Melihat fluktuasi capaian
indikator yang berakhir pada penurunan yang cukup drastis pada tahun 2008 maka
dapat dikatakan pembanguan ekonomi di Sumatera Utara belum cukup efektif.
Beberapa elemen atau komponen pembangunan ekonomi yang terlihat efektif ialah
pertumbuhan ekonomi, dan investasi industri pengolahan
4. Pengelolaan Sumberdaya Alam
Pembangunan sektor sumberdaya alam yang bertujuan peningkatan kualitas
pengelolaan sumberdaya alam juga memperlihatkan relevansi dengan tujuan
pembangunan nasional. Namun demikian, tren capaian indikator pengelolaan
sumberdaya alam di Sumatera Utara yang awalnya lebih tinggi dibandingkan dengan
tren nasional tetapi pada tahun 2007-2008 menjadi jauh lebih rendah. Dengan demikian,
pembanguan sumberdaya alam di Sumatera Utara dapat dikatakan masih kurang
efektif. Tidak ada salah satu komponen dalam indikator sumberdaya alam yang cukup
efektif ditinaju dari tujuan pembangunan nasional.
5. Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Pembangunan kesejahteraan sosial di Provinsi Sumatera Utara memperlihatkan tren
capaian yang terus merosot jauh dibawah capaian indikator kesejahteraan sosial secara
nasional. Walaupun dalam periode 2007-2008 capaian indikator mengalami kenaikan
besarannya masih jauh berada dibawah capaian secara nasional. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pembangunan kesejahteraan sosial di Provinsi Sumatera Utara
terlihat tidak relevan dan juga tidak efektif. Beberapa komponen kesejahteraan sosial
yang masih dapat dipandang efektif ialah pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak
terlantar, dan pelayanan orang tua lanjut usia.