38
Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 1

Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 1

Page 2: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 2

Page 3: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 3

PENGANTAR PENYUNTING

Jurnal Studi Islam dalam aspek kajiannya selalu menarik untuk dikaji karena ia

berkaitan dengan aspek ketuhanan, kemanusiaan, dan alam semesta sebagai objek yang

dimaknai, dijelaskan, dan dibahasakan melalui perspektif keilmuan yang dibingkai oleh

perspektif multikultural sebagai spirit dari visi dan misi IAIN Ambon. Saat ini laju

perkembangan pendidikan seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, budaya,

sebagai tren keilmuan. Berkaitan dengan kajian tersebut Idham meneliti Pergumulan

Budaya Lokal Dengan Islam di Baubau ia menemukan bahwa budaya lokal Indonesia

termasuk budaya yang sangat terbuka terhadap budaya luar. Prosesi integrasi budaya

luar yang datang dengan budaya setempat, terdapat kompromi budaya lokal dengan

budaya pendatang.

Untuk menjaga kesucian sistem budaya tersebut maka tawaran Asni Nurdin

dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa arah pengembangan kajian hukum

Islam di Indonesia disesuaikan dengan prinsip-prinsip pokok hukum Islam seperti

tauhid, persamaan, keadilan, rahmah yang bersifat inklusif-humanis. Sifat

ingklusifisme ini tampak dalam temuan Syarifudin bahwa nilai-nilai ritual budaya di

maluku yang tampak dalam ritual pukul sebagai pesan simbolik efek sosial dalam

menggerakkan masyarakat di Maluku. Inilah gagasan pendidikan multikultural Imam

Rijali sebagai model percontohan pendidikan multikultural yang berwawasan

Pembelajaran yang humanis. Pendidikan multikultural humanis ini menurut Gusti

Ketut Abdul Kahar menemukan bahwa media penunjang dalam proses pembelajaran

yang membutuhkan peningkatan mutu ICT yang handal meningkatkan inisiasi,

inovatif, dan kreativitas peserta didik yang progresif melalui kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual ini juga ditemukan dalam kajian Duriana mengungkapkan

bahwa keruhanian yang diajarkan dalam dunia tasawuf sebagai pembentuk kesadaran

untuk melahirkan kesalehan individual dan kesalehan sosial dalam mencegah

perbuatan negatif. Dalam mencegah harmonisasi itu Subair Abdullah juga menemukan

bahwa kesadaran multikultural, pluralisme budaya niscaya dapat bersemai dalam corak

kehidupan masyarakat yang harmonis. Hal ini direkomendasikan Muhaemin dalam

Page 4: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 4

temuan risetnya bahwa pendidikan Islam sebagai pola yang berfungsi sebagai

pembentukan kepribadian mutmainnah.

Inilah yang disebut Ach. Zayadi dalam kajiannya konsep pendidikan yang

berbasis kemanusiaan dengan merujuk pada membangun karakter Islami untuk

mencerahkan dan memperbaiki kualitas Guru, Materi ajar sesuai kebutuhan publik.

Ketika pemikiran ini diterapkan maka hasil temuan Suleman tentang diskriminasi

profesi jurnalis, karena profesi jurnalis dianggap oleh sebagian laki-laki. Lingkungan

budaya dapat diminimalisasi dengan pencerdasan karakter menerima perbedaan

sebagai kekuatan untuk menciptakan kondisi humanis dan ingklusif sesuai dengan

temuan Hayati Nufus bahwa pendidikan sebagai fasilitas dan karunia Allah swt untuk

menata kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual yang perluditradisikan dalam

keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Ambon, 17 Desember 2014

Penyunting.

Page 5: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 5

Page 6: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 6

WAWASAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL IMAM RIJALI

DALAM PERSPEKTIF DAKWAH

Oleh: Syarifudin

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon

email: [email protected]

Kata Kunci: Pendidikan, Multikultural, Imam Rijali, Pembelajaran.

ABSTRAK; Penelitian ini berkaitan dengan Tokoh dan ulama Maluku yang

menyebarkan Islam pada tahun 1539. Penelitian ini bercorak kualitatif, menggunakan

artefak sebagai sumber data yang dipotret dengan Perspektif Dakwah. Kajian ini

menemukan bahwa seorang guru yang dapat mengajarkan pendidikan multikultural

ketika guru memiliki kompetensi AISYATEK (Kecerdasan Aqidah, Kecerdasan

Intelektual, Kecerdasan Syari’ah, Kecerdasan Akhlaq, Kecerdasan Entrepreneurship dan

Kecerdasan Teknologi. Kompetensi ini temua disertasi Syarifudin yang biasanya

digunakan dalam mengkur komptensi mubalig. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa

nilai-nilai pendidikan dalam ritual pukul sebagai pesan simbolik yang digelar dalam

ritual pemukulan fisik setiap selesai bulan suci Ramadhan. Tradisi puku sapu sebagai

simbol pendidikan untuk mencegah manusia melakukan kemungkaran. Kemungkaran

menurut Ibnu Suleman adalah mencegah manusia untuk berprilaku negatif pada diri

sendiri dan orang lain. Efek sosial dari ritual ini adalah media untuk menggerakkan

masyarakat di Maluku menjadi terhormat. Ajaran pedidikan Imam Rijali ini sebagai

sang pencerah di tengah masyarakat. Gagasan Pendidikan multikultural Imam Rijali

sebagai model percontohan pendidikan multikultural yang dapat menjadi pilihan

akademik bagi pengembangan wawasan Pembelajaran secara simbolik.

Key word; Education, Multicultural Society,The Priest Rijali, Learning.

ABSTRAC This Research connected with this figure and scholars who spread Islam

Maluku in 1539. This Research striped qualitative research, using artifacts as source that

is seen through the perspective. This study found that a teacher who can teach

multicultural education when teachers have competency AISYATEK (intelligence

Creeds, Intellectual, intelligence Shari'a, the intelligence morality, intelligence

Entrepreneurship and intelligence Technology. This Order temua dissertation Syarifudin

that usually used in mengkur komptensi mubalig could stifle. This research proved that

the values education in rituals at as a message that was held to celebrate the symbolic

ritual beatings physical holy month of Ramadan after. Tradition puku broom as a

symbol education to prevent people cut off. According to Ibnu Suleman Denial is to

prevent people to acted very modestly negative impact on themselves and others. Social

Effects of this ritual is to move media community in Maluku to honor. Equip teaching

priest Rijali this as the pencerah in the middle of society. Multicultural Education ideas

Priest Rijali as a model that can be a pilot multicultural education become the first

choice for development of the vision academic learning in a symbolic manner.

1

Page 7: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 7

PENDAHULUAN

model peradaban Islam Maluku didesain oleh berbagai unsur budaya sehingga

membentuk citra yang sangat kompleks dengan paradigma dan perspektif

masing-masing. Kekayaan khazanah peradaban Islam Maluku ketika tidak di jaga,

dirawat, dan dilestarikan dengan baik maka akan berwajah buruk dalam proses

pengembangan budaya kedepan dengan ancaman imprealisme budaya global dan aliran

transnasional yang mengkonstruksi struktur masyarakat Maluku sangat kuat dengan

berbagai macam faslitas teknologi, gaya hidup, dan model penataan Negara dengan

sistem demokrasi yang akan berimplikasi pada spirit peradaban Islam yang

berwawasan pancasila dalam bingkai multikultural yang diakomodir dalam perspektif

pemikiran dakwah Imam Rijali.

Dominasi imprealisme budaya global ini membutuhkan metode adabtasi budaya

dengan tidak meninggalkan budaya timur sebagai identitas diri dan wajah budaya

Maluku. Perjumpaan panca indra budaya inilah sebagai wawasan untuk mendapatkan

rumusan baru jejak pergerakan peradaban Islam melalui arefak budaya berupa naskah

kuno, tarian, yang dikonstruksi secara turun-temurung kepada umat Islam yang

bermukim di Maluku dewasa ini.

Kekayaan khazanah peradaban ini membutuhkan ilmuan budaya untuk

mengungkap kronologis yang membentuk citra sebuah peradaban. Karena pentingnya

rekaman jejek-jejak tersebut sebagai khazanah keilmuan dari para ulama masa lalu

sebagai kerangka dasar mendesain sebuah peradaban di masa yang akan datang.

Tulisan ini akan berupaya menginventarisasi dan memotret peradaban Islam Maluku

sebagai paradigm budaya yang bercorak multikultural yang ber-wawasan Islam

kepulauan dan kemaritiman dalam bingkai multikultural.

Secara historiografi peradaban Islam Maluku yang datang dari timur tengah dan

melintasi ruang, waktu, teknologi, dan berbagai macam daratan budaya sehingga

membentuk karakter baru dengan berakulturasi dengan budaya lokal sehingga lahirlah

peradaban Islam Maluku. Peradaban Panca indra budaya peradaban Islam yang tinggal

di Maluku saat ini adalah Islam yang ingklusif dari Timur Tengah yang melintasi

berbagai macam perjumpaan budaya, bahasa dengan melalui berbagai daratan, laut, dan

corak pemikiran.1

Selain itu Islam berakulturasi dengan budaya setempat sehingga membentuk

karakter baru yang disebut oleh Rektor IAIN Ambon adalah corak Islam Mazhab

Maluku. Islam Maluku ini dikenal dengan budaya Salam-Sarani sebagai buah dari

peradaban Maluku dalam menjaga kerukun-an antar umat beragama di Maluku.

Peradaban Maluku juga dikenal dengan Seni Budaya Qasidah dan artikulasi religi

melalui sajak-sajak atau dikenal dengan kapata-kapata yang sarat dengan spirit

wawasan pendidikan multikultural warisan pemikiran Imam Rijali.

Petuah bijak sang Ulama Maluku Imam Rijali tampak dalam konten kapata yang

mengndung nilai-nilai dakwah dalam liriknya mengandung spirit multikultural,

penulis mengduga kuat cerminan masyarakat hari ini sangat tergantung pada karya

1Azyumardi Azrah, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII

(Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 44.

M

Page 8: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 8

pemikiran masa lalu termasuk tokoh Maluku yaitu Imam Rijali untuk menjaga

ekosistem publik dalam mealuka interaksi sosial antar umat Bergama.

Islam Maluku terkenal dengan pantong, nyanyian, cigulu-cigulu, kapatah tentang

rasa, serta kearifan lokal lainnya yang diduga kuat bersumber dari akulturasi budaya

lokal dengan Islam yang datang dari tanah Arab.2 Perjumpaan budaya inilah yang

memberikan keunikan bagi Islam di Maluku yang ada di negeri Raja-Raja ini.

Selain pemahaman tersebut Islam yang ada di Maluku memiliki tradisi yang

sampai saat ini menjadi khazanah budaya antara lain; Pemancangan Tiang Alif Masjid

di Maluku, Masjid Tua Wapauwe, Abda’u di Tulehu Maluku Tengah, Pukul Sapu di

Morella dan Mamala, Aroha di Pelauw Maluku Tengah, Dabus di Geser Seram bagian

Timur, Ritul Memandikan Kain Gajah dan Kora-Kora di Banda, Naskah Kuno di

Morella dan Hila, dan tarian Sawat dari kabupaten Tual (Maluku Tenggara).

Peradaban Islam nusantara ini yang ada di Maluku menjadi bukti atau fakta

sejarah bahwa Maluku perlu dieksplorasi budaya keislamannya untuk menjelajahi

factor apa saja yang mengkonstruksi corak Islam di Maluku sehingga memiliki banyak

peradaban dan ritual keagamaan yang sampai saat ini belum mendapat penjelasan

secara komprehensip melalui metodologi dan kajian filosofi-historiy yang mendalam.

PEMBAHASAN

Wawasan pendidikan multikultural Imam Rijali dalam lintasan sejarah sangat

sedikit kecuali karya monumen-talnya hikayat Tanah Hitu. Tetapi fakta lisan di tengah

masyarakat sangat banyak yang dikonstruksi sebagai bagian dari pemikiran pendidikan

multikultural Imam Rijali yang diwariskan secara lisan turun-temurun sampai saat ini.3

Sebelum memberikan pengertian terhadap istilah yang digunakan dalam kajian

ini perlu dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan peradaban Islam Maluku adalah

Umat Islam yang tinggal selama lima tahun berturut-turut sehingga ia beradabtasi dan

berinteraksi dengan budaya lokal dan budaya migrasi dari berbagai etnis, suku, dan

corak pemikiran sehingga ia terbentuk satu budaya Islam yang disebut peradaban Islam

mazahab Maluku.4

Pengertian peradaban yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah semua karya

umat Islam yang ada di Maluku yang dijadikan sebagai ritual yang tidak bertentangan

dengan syari’at, akal, budaya, dan agama Islam. Islam Maluku adalah agama yang

telah beradabtasi dengan budaya lokal dan membentuk corak pemahaman baru sesuai

dengan nilai-nilai syari’ah Islam.

Dari pengertian tersebut maka dapat digambarkan bahwa cerminan peradaban

Islam Maluku menurut data klasik/kuno yang didapatkan di Morella, Hila, dan Seram

Bagian Timur, memberikan gambaran bahwa corak Islam Maluku adalah Islam Syiah-

Sunny yang memiliki pemahaman Islam tasawuf dengan keunikan dalam berbagai

2Kementerian Agama Republik Indonesia: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

(Jurnal Al-Qalam Volume 19 Nomor 2 November 2013), h.232 3Lating(Sejarawan Masjid Tua Wapauwe) wawancara di Hila, 13 Desember 2014.

4Jafar Laein(Imam Masjid Tua Wapauwe) wawancara di rumanya 23 Oktober 2014.

Page 9: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 9

aspek kepercayaannya dalam melakukan ritual-ritual dalam berbagai aspek.5 Misalnya

aspek pemahaman tentang Haji, Khutbah Jumat, dan budaya lainnya yang

diupacarakan saat datang bulan suci ramadhan, pasca bulan suci ramadhan dan bulan-

bulan tertentu yang dianggap sakral berdasarkan warisan dari tuang Guru yang

dianggap ‘alim oleh masyarakat Maluku.

Buah pena para ulama klasik di Maluku yang telah menorehkan peradaban Islam

sampai saat ini belum pernah dipentaskan secara akademik sehingga warisan

pendidikan secara simbolik masih sangat kurang di Maluku. Sistem pendidikan

simbolik di Maluku perlu dikaji dan dikembangkan untuk memberikan wawasan

pendidikan multikultural yang bijak dan arif kepada generasi selanjutnya melalui

media artefak sejarah dan ritual pukul sapu sebagai media silaturrahmi kebudayaan.

Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Islam di Maluku memiliki peradaban yang cukup

signifikan dan terpelihara secara baik sampai saat ini lewat tradisi lisan.

Kerangka Konseptual.

Dalam mengungkap dinamika pen-didikan multikultural Imam Rijali dari

Perspektif Dakwah, sesuai jejak peradaban Islam di Maluku penulis menggunakan teori

dakwah Mula Sadra yang mengungkapkan bahwa ekspresi suatu fenomena peradaban

Islam sangat dipengaruhi oleh tiga paradigm yakni paradigma burhani, bayani, dan

irfani.6 Menurut Mula Sadra ketiga aspek metode berpikir inilah yang sangat

menentukan arah dan gerak sebuah peradaban Islam. Teori ini relevan dengan

paradigma berpikir Syekh Ali Mahfuz pemikir Mesir yang kutip oleh Andi Faisal Bakti

mengungkapkan bahwa peradaban itu dapat diketahui melalui tiga metode sistem

berpikir.

Ketiga sistem berpikir ini melahirkan corak budaya dan mazhab pendidikan

dengan menelaah cara memahmi objek, menjelaskan objek, dan membahasakan objek

pendidikan multikultural dari perspektif dakwah.7 Paradigma ini sesuai dengan

Azyumardi Azra bawah gerak sebuah peradaban sangat ditentukan oleh kemampuan

daya nalar sebuah komunitas. Semakin canggih daya nalar membaca fenomena Tuhan

semakin baik rumusan peradaban yang dihasilkan.

Olehnya G.E. Von Grunebaum berpendapat bahwa Perdaban Islam ketika

bertemu dengan peradaban Asing, memunculkan tiga sikap, pertama, peradaban itu

akan menyerap jika peradaban Asing itu tidak bertentangan dengan Aqidah/ajaran

Islam, kedua, peradaban itu akan memodifikasi, jika peradaban itu memiliki relevansi,

dan ketiga, peradaban itu akan ditolak jika peradaban asing itu akan bertentangan

dengan Aqidah Islam.8

5Muhammad As’ad dan Muh. Idham dkk, Buah Pena Sang Ulama (Cet. I; Jakarta: Orbit

Publishing Jakarta: 2011), h. 242. 6H. Rustam E. Tamburaka, Ilmu Sejarah, Teori Sejarah, Filsafat, dan IPTEK (Cet. II; Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2002), h. 91. 7H. Faisal Bakti, Nation Bilding: Kontribusi Komunikasi Lintas Budaya Terhadap Kebangkitan

Bangsa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Curia Press, 2006), h. 91. 8Samiang Katu, Pasang Ri Kajang : Kajian tentang Akomodasi Islam dengan Budaya Lokas di

Sulawesi Selatan, (Makassar: PPIM, 2000), h. 63.

Page 10: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 10

Selain teori tersebut juga menggunakan teori AGIL yang sangat relevan dalam

menjelaskan pergerakan peradaban Islam di Maluku sebagai instrument dalam

memahami, menjelaskan dan membahasakan konsep peradaban Islam yang ada di

Maluku. Teori AGIL ini termasuk aliran structural fungsional dari Talcot Pason yang

mengungkapkan bahwa peradaban sejarah itu sangat ditentukan oleh kecenderungan

manusia yang terdiri dari; cara beradabtasi, cara menentukan tujuan, cara melakukan

integrasi budaya, dan laten (alam bawa sadar) yang tersimpan dalam memorinya yang

berdampak dalam prilakunya.9

Teori Talcot Parson ini relevan dengan paradigma pendidikan multikultural

Imam Rijali. Sistem produksi pendidikan Imam Rijali dalam mengkonstruksi sistem

pendidikan multikultural di Maluku dapat dilihat dalam peta keilmuan sebagai berikut;

Model Pemikiran Pendidikan Imam Rijali.

Pemahaman tentang Tiang Alif di Maluku salah satu peradaban sejarah Islam di

Maluku yang sangat monumental adalah tradisi ritual tiang alif. Tradisi ini

mengandung wawasan pendidikan aqidah, syari’ah, dan akhlaq. Tradisi pemahaman

Islam Maluku dalam pendidikan tiang alif dapat dimaknai dari berbagai aspek. Tiang

alif difahami oleh masyarakat Maluku adalah sebab dari segala sesuatu dan ia adalah

kehormatan umat manusia dalam menjalani hidupnya.10

Atas dasar inilah sehingga ketika melakukan shalat jumat maka mereka

menggunakan tongkat saat khutbah jumat sedang berlangsung. Karena tongkat

difahami sebagai kekuatan bagi kaum pria dan kesejahteran bagi kaum wanita. Model

pemahaman agama ini cukup sederhana dan menjadi corak dan cara beragama bagi

Islam Maluku dalam menjelakan ajaran Islam di Indonesia.

Apabila kita perhatikan dengan seksama, maka huruf "Alif" dalam Islam itu

mengandung arti dan makna yang amat dalam. Betapa tidak. Coba kita renungkan,

Asma Allah, diawali dengan huruf "Alif". Abjad huruf Arab juga diawali dengan huruf

"Alif". Angka Arab ditulis dari kanan kekiri, maka angka satu itupun dilambangkan

dengan huruf "alif". Coba kita perhatikan kitab Suci Al Qur'an.

Surat Al-Fatihah, juga diawali dengan huruf "Alif". Kata syukur dan terima kasih

kepada Ilahi, dinyatakan dengan kata " Alhamdulillah', segala puji bagi Allah, diawali

dengan huruf "Alif". Pada waktu wahyu Tuhan untuk pertama kali turun dan Al-Qur'an

disampaikan Allah melalui malaikat Jibril, maka Nabi Muhammad SAW diajari Jibril

dengan kata-kata : "Iqra", bacalah, wahyu Tuhan yang pertama turun kepada

Muhammad sebagaimana tertera dalam Surah Al Alaq, adalah diawali dengan huruf

"Alif".11

Nilai pendidikan multikultural yang didapatkan dalam model pendidikan seperti

ini bahwa ilmu alif itu adalah mata air segala ilmu ketika manusia telah menguasai

ilmu alif maka tuntaslah pelajaran dunia akhirat. Nilai pendidikan lain dari tradisi alif

9Talcott Parson, Sistem Interactional Civil Society (New York: Sage publishing, 2003), h. 210.

10Bapak Lating tokoh agama di Hila, wawancara dirumahnya 12 Desember 2014.

11Bapak Tete Pelu tokoh agama di Hitu Lama, wawancara dirumahnya 20 Nopember 2014.

Page 11: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 11

ini saat membangun masjid ada pesan simbolik yang mengandung makna persatuan,

perdamain, dan silaturrahmi antar sesama muslim saat prosesi pembangunan tiang alif.

a) Nilai Pendidikan Multikulutral di Masjid Tua Wapauwe.

Masjid wapauwe sebagai pusat pendidikan multikultural Imam Rijali sebagai

bukti artefak dan sekaligus jejak peradaban Islam di Maluku sangat berkembang

dengan adanya rumah ibadah masjid Wapaue sebagai pusat organisasi membangun

peradaban Pendidikan, artefak sejarah masjid ini sebagai madrasah yang dibangun pada

tahun 1414, dan salah satu ulama Islam yang pernah menjadi Imam di Masjid tersebut

adalah Imam Rijali.

Masjid ini awalnya berada di atas Gunung tetapi ketika terjadi perang Wawane

pada tahun 1682 maka bangsa Belanda menyuruh pindahkan masjid ini di dekan pantai,

tetapi akibat tidak ada tenaga yang kuat berkat ilmu supranatural Imam Rijali maka

dalam satu malam masjid Wapauwe pindah dengan tidak ada yang rusak ia berpidah

sesuai dengan bentuk dan bangunan aslinya.12

Menara kubah Masjid Negeri Hila secara spritual memiliki makna simbolik.

Pemahaman masyarakat Negeri Hila terhadap tiang alif tidak menyebut ‘menara

kubah’ seperti lazimnya masyarakat lain. Masyarakat lebih menyebutnya sebagai tiang

alif yang berarti huruf pertama dalam abjad Arab, atau berdiri tegak lurus di puncak

kubah dengan memberi mahkota, maka memperindah seluruh fisik bangunan masjid

itu dari berbagai sudut pandang. Apalagi ditambah dengan ornamen seni tangan

mengukir mengelilingi ruang Masjid.

Ada ukiran delapan sisi pada menara Masjid mengandung makna penjuru mata

angin bagi aktifitas manusia secara ekonomi, agraria, melaut. Empat kipas diperut

tiang alif maknya adalah memberi perlindungan kepada masyarakat. Ukuran panjang

tiang mencapai lima meter mengisyaratkan shalat lima waktu.13

‚Makna paling mendalam dan memiliki hubungan kaualitas dengan kehidupan

manusia khususnya masyarakat Negeri Hila sebagai negeri Islam yang memiliki

ketekunan atas adat istiadat yang ditinggalkan para leluhur sebelumnya,‛ ujar

Suleman. Dirinya mengakui, begitu panjang jika diungkit satu persatu manuskrip

pembangunan masjid yang terletak dulunya di pesisir tanah Hitu ini. Berdasarkan buku

Hikayat Tanah Hitu dalam Al-Kisah XXVI yang ditulis salah satu penyiar Islam di

Maluku khususnya tanah Hitu, Imam Ridjali yang kemudian dikutip penulis Eropa.

Rumpius tahun 1700 menjelaskan, pembangunan masjid Negeri Hila dilaksanakan

dalam tiga fase dengan tiga bentuk atau arsitektur bangunan masjid yang berbeda. 14

‚Masjid Negeri Hila dibangun pada masa siar Islam di Maluku. Dulunya

kawasan ini dikenal dengan Tanah Hitu. Hal ini diungkapkan oleh Imam Ridjali salah

satu tokoh dan penyiar Islam dalam cerita Hikayat tanah Hitu. Kemudian, kembali

disaling oleh seorang Jermanis yang dulunya menulis soal flora dan fauna Maluku

yakni Rumphius, ‛kisahnya. Bangunan Masjid pertama berdiri pada abad 12 berbentuk

12

Jafar Lein (Imam Masjid Tua Wapauwe) wawancara di Hila Kaitetu, 11 Desember 2014. 13

Hj. Suleman Launuru, Ketua Panitia Pemasangan Kubah Masjid Negeri Hila 14

Jafar Lein (Penjaga Masjid Kaitetu), wawancara di Rumahnya 23 Juni 2014.

Page 12: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 12

surau tergantung dengan empat pilar penyanggah. Bangunan masjid kedua pada abad

14 berbentuk piramid dan bangunan ketiga abad 18 dan masih bertahan hingga saat ini.

Kejadian ini ketika dianalisis secara ilmiah maka sulit dibuktikan dengan fakta-

fakta tetapi konstruksi informasi yang diceritakan secara turun temurung semua data

dalam bentuk tutur menisbahkan seperti itu. Sebuah suku terdiri dari beberapa klan

yang dihimpun melalui suatu proses pengorganisasian. Sementara sebuah klan terdiri

dari beberapa keluarga.15

b) Abda’u di Tulehu Maluku Tengah

Pelaksanaan tradisi abda’u ini Peradaban Islam Maluku yang ada di Kabupaten

Maluku tengah yang dilakukan setiap hari idul adha atau hari raya kurban. Ritual

abda’u dilakukan setelah selesai shalat idul adha.16

Adapun persiapan ritual dilakukan

dengan berpuasa selama tiga hari berturut-turut sebelum masuk menjadi peserta

napatatilas sejah Ibrahim yang diperankan dalam bantuk teater abda’u ditengah

masyarakat negeri Tulehu yang berada di kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku.

Mengakatan ritual napaktilas perebutan bendera yang bertuliskan Lailaha Illah

Muhammadurrasulullah sebagai simbol perjuangan. Apa pelajaran yang bisa diambil

dari refleksi sejarah keluarga Nabi Ibrahim as sebagai modal dasar memperkokoh

keluarga kita? Dan apa saja pelajaran yang sesuai dengan permasalahan hidup

kita di era modern ini? Inilah yang akan direfleksikan melalui khutbah idul adha yang

mubarakah ini. Informasi dalam Al-Quran Allah menjelaskannya dalam peristiwa

‘idul kurban keluarga Nabi Ibrahim merefleksikan tiga figur secara simbolik yang

dapat diteladani untuk memecahkan persoalan sosial yang kita hadapi sekarang ini. 17

Sosok/profil keluarga Ibrahim as yang tangguh memiliki empat pelajaran

besar antara lain; Pelajaran spiritual Nabi Ibrahim, Ketangguhan Sitti Hajar

menghadapi masalah, dan ketaqwaan Ismail as sebagai anak menghadapi

tantangan hidup yang berat melalui gersangnya padang pasir sembari bermunajad

pada Allah.18

Pengorbanan keluarga Ibrahim sebagai simbolisasi haji melalui

perjalan sa’i, tawwaf, wukuf di arafah adalah pelajaran besar yang perlu diangkat

untuk dijadikan sebagai rumus menyelesaikan problematika sosial kita di Maluku

menurut Syarifudin yang dikuti dar Tuang guru Tete Haji Ali bahwa pelajaran abda’u

setiap tahun diperingati untuk mendapatkan hikmah dan ibrah dari perayaan Idul Adha

untuk mencapai keluarga yang sakina melalui spirit pengorbanan Nabi Ibrahim dan

Ismail.

c) Pukul Sapu di Morella dan Mamala

15

Philip K. Hitti, Sejarah Ringkas Dunia Arab. Terj. Usuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing

(Yogyakarta : Pustaka Iqra, 2001), h. 16 16

J. Saleh Ohorella (Raja Negeri Tulehu), Wawancara, di rumahnya 19 Juli 2013. 17

Abd Rahman Umarellah (68 Tahun), Mantan Dosen IAIN Ambon wafat pada tahun 2011 di

Tulehu, wawancara di rumahnya 17 Juli 2002. 18

Abdullah Lestaluhu (Imam Masjid tulehu), Wawancara, di rumahnya 17 Juli 2014.

Page 13: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 13

Secara bahasa, akulturasi diartikan dengan ‚proses percampuran dua kebudayaan

atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi‛.19

Secara istilah akulturasi

adalah proses perubahan sebuah kebudayaan karena kontak langsung dalah jangka

waktu yang lama dan terus-menerus dengan kebudayaan lain atau kebudayaan ‚asing‛

yang berbeda. Kebudayaan tadi dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan lain. Yang

lambat laun dan secara bertahap diterimanya menjadi kebudayaan sendiri tanpa

menghilangkan kepribadian aslinya.20

Unsur kebudayaan asing itu diterima secara

selektif yang akhirnya akan muncul beragam penilaian, unsur kebudayaan asing yang

dengan mudah diterima, ada yang dengan sukar diterima atau bahkan ditolak.

Islam yang kami maksud disini adalah Agama Islam yang bersumber dari Al

Qur’an dan Al Hadits, pengamalan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang

merupakan satu kesatuan yang utuh, dalam analisis kesejarahan muncul adanya aspek

aqidah (Iman), Aspek Syari’ah (aturan-aturan formal) dan aspek Ihsan (moral

spiritual).21

Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat,22

sedangkan

local adalah di suatu tempat (tempat pembuatan, tumbuh, produksi, hidup, dsb).23

Jadi

yang dimaksudkan dengan Kebudayaan Lokal adalah hasil dari sebuah karya cipta dan

rasa suatu masyarakat di suatu tempat/daerah tertentu.

Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal, Agama Islam yang disebarkan

oleh Nabi Muhammad saw. dari Mekkah ke Madinah adalah Islam yang masih murni

yang memancarkan nilai-nilai Syar’i, yang belum dipengaruhi oleh budaya lokal, akan

tetapi justru kehadiran Islam telah merubah budaya Arab Zaman Jahiliyah. Yang

menyembah berhala, dan inilah kemusyrikan yang nyata.24

Sementara Islam hadir

untuk menyampaikan serta memperkenalkan agama Tauhid, yang hanya menyembah

satu Tuhan, yaitu Allah swt.

Budaya Pukul Sapu di Mamala

Nilai-nilai pendidikan multikultural yang ditemukan dalam tradisi pukul sapu.

Ritual. Setiap tahunnya selesai bulan suci ramadhan setiap tanggal satu syawal acara

ritual pukul sapu mulai di semarakkan dengan berbagai atraksi seni budaya Islam

seperti sawat, hadrat, dan seni buju anak para tidor. Kekayan peradaban Islam ini

setiap bulan syawal ada puasa sunat selama 6 hari menjelang pukul sapu mulai dari

tanggal 2-6 syawal. 25

19

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 20 20

Hasan Lauselang (Dosen Syari’ah IAIN Ambon), Wawancara, di rumahnya 16 Juli 2014.. 21

Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 7. 22

Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi (ed.) Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Fakultas

ekonomi UI, 2008), h. 113. 23

Mahdi Malawat (Anak Raja Mamala), Wawancara, di ruang kerjanya Fakultas Dakwah dan

Ushuluddin 9 Mei 2014. 24

Sitti Yulia Malawat (Anak Raja Mamala), Wawancara, di rumahnya 9 Juli 2014.. 25

Abdullah Malawat (Raja Mamala), Wawancara, di rumahnya 12 Juli 2014..

Page 14: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 14

Setelah puasa ada acara tahlilan untuk mendoakan para leluhur dan lainnya

mengambil lidi dari pohon enau. Setelah itu membuat minyak mamala dengan

menggunakan guci dan membaca ritual di ruma raja Mamala. Minyak mamala setelah

ritual pembacaan mantra didistribusikan dalam bentuk botol-botol kecil untuk

persiapan masing-asing kelompok saat acara pukul sapu di mulai.26

Sebelum acara pukul sapu (uku ala maihate) di mulai persiapan personil sebanyak

seratus orang satu kelompok berjumlah 50 orang dan berbaris dengan saf yang rapi

seperti saf saat shalat. Sapu lidi yang sudah disiapkan setiap orang mendapat satu

genggam sapu lidi sebagai yang siap dipakai unuk memukul lawan main. Dari jumlah

pemaian ini menelusuri lorong dan menyanyikan lagu spiritual sebagai spirit

membangkitkan semangat jihat Tatatertib dalam dalam pembukaan ada durasi waktu

yang disediakan 1-3 menit untuk saling berbalas cambukan.

Pelajaran dari sistem cambuk ini lebih pada ajaran simbolik mencambuk sifat-

sifat negatif dalam diri, sehingga fisik lebih ditonjolkan dengan cara membuka baju

untuk dicambuk sebagai bukti bahwa tuntutan fisiklah yang banyak memengaruhi

manusia.

Ritual ini memberikan pendidikan bahwa pemukulan fisik dengan sapu lidi

sebagai simbol pendidikan kebutuhan fisik perlu ditata untuk mencegah manusia

melakukan kemungkaran. Kemungkarang menurut Ibnu Suleman adalah mencegah

manusia berprilaku negatif pada diri sendiri dan orang lain.

Pendidikan Budaya di Morella

Asal mula Negeri Morella adalah penggabungan dari beberapa Aman ( Hena)

atau Negeri Lama, yakni Negeri Lama Kapahaha, Negeri Lama Iyal Uli, Negeri Lama

Putulesi dan Negeri Lama Ninggareta. Keempat Aman atau Negeri Lama inilah yang

membentuk suatu Aman atau Negeri Hausihu Morella.

Menurut tua-tua adat, leluhur yang tinggal di Negeri-negeri lama tersebut

berasal dari Ula Pokol. Ula Pokol merupakan pusat negeri pertama sejak dulu, juga

merupakan tempat yang sangat disakralkan oleh masyarakat Morella karena dipercayai

sebagai tempat hunian Roh-roh Gaib (Rijalal Gaib). Ula Pokol terletak di pegunungan

Salahutu, mula-mula yang hidup ditempat tersebut adalah Uka Latu Tapil, Beliau

berasal dari Timur Tengah. Uka Latu Tapil datang ditempat tersebut dengan membawa

seekor burung Manulatu (Burung Raja).

Dikisahkan pula oleh para Tua-tua Adat setelah Uka Latu Tapil berada di Ula

Pokol muncul tiga orang yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai pendahulu

atau penemu daerah baru tersebut, ditengah peredebatan sengit itu tiba-tiba mereka

mendengar kicauan Burung Manulatu. Akhirnya mereka menyadari ternyata daerah itu

telah berpenghuni dan mereka bertiga pun bersepakat untuk menemukan pemilik

Manulatu tersebut. Ketiga orang tersebut adalah Tuhe, Meten dan Hiti. Tidak beberapa

lama kemudian Tuhe, Meten dan Hiti menemukan orang yang dicari di Ula Pokol

tersebut, saat itu dia sedang duduk bersemedi (Bersembah-yang).

26

Mahdi Mawalat(Ketua Jurusan Jurnalistik IAIN Ambon) wawancara di ruangan kerjanya di

Jurusan Jurnalistik 19 Juni 2014.

Page 15: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 15

Dihadapan orang yang sedang duduk itu, mereka mengikrarkan ‚ Upu Tapil

Ame‛ yang bermakna Tuanku Pelindung/Junjungan Kami, beliaulah Uka Latu Tapil.

Tuhe, Meten dan Hiti kemudian dikukuhkan sebagai Hulu-balang atau pengawal Uka

Latu Tapil, selanjutnya Uka Latu Tapil kemudian meletakkan tiga buah batu di

Salahutu sebagai ‚ Hatu Manuai Telu‛ atau Batu Tiga Tuan Tanah karena disinilah

tempat pertemuan Tuhe, Meten dan Hiti.

Dalam perkembangan selanjutnya Tuhe Meten Dan Hiti meminang seorang putri

yang bernama Hatuatina yang berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram) tepatnya di pusat

tiga aliran sungai Eti, Tala dan Sapalewa di Nunusaku Salahua untuk menjadi istri Uka

Latu Tapil, dari perkawianan itu Uka Latu Tapil dan istrinya memperoleh tujuh orang

anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Dari ketujuh anak laki-laki tersebut

hanya anak yang bernama Tuharela / Umarella yang menjalani kehidupan normal

sebagai manusia, sedangkan keenam lainnya menjalani hidup sebagai Sufisme Tulen

(Gaib). Tuharella beristrikan seorang perempuan yang bernama Alungnusa dari Pulau

Seram. Dari perkawinan inilah melahirkan/ beranak pinak sebagian besar warga

Morella sekarang.

Melalui proses perkawinan maka semakin banyak manusia di tempat itu (Ula

Pokol) dan karena keadaan alam, merekapun mengadakan perpindahan ke beberapa

tempat di daerah pegunungan yaitu ke Ama Ela (Gunung Kukusan) kemudian

berpindah lagi ke Kapahaha dan sebagian ke Iyal Uli, Ninggareta, dan Putulessy.

Walaupun ke-empat negeri lama ini terpisah jarak satu dengan yang lain namun

kehidupan mereka bersatu dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan, dimana

pusat pemerintahan adatnya berada di Kapahaha yang saat itu pimpinan adat tertinggi

di pegang oleh Tuhe, Meten, dan Hiti (Salamoni). Sementara pelaksanaan

keagamaannya di pusatkan di Iyal Uli.

Dari abad keabad kehidupan empat negeri lama ini dalam keadaan rukun dan

damai, sampai pada akhir abad ke-6 ketika Bangsa Penjajah bercokol di Maluku, ke

empat negeri lama ini bersatu untuk mempertahankan wilayah mereka dari serangan

kaum penjajah. Kapahaha kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk

melawan kaum penjajah tersebut hal ini dikarenakan letaknya yang strategis dengan

Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa) sebagai panglima perang. Pada saat itu

beberapa benteng pertahanan di Maluku sudah di taklukkan oleh Belanda sehingga para

kapitan dan malesi dari daerah-daerah tersebut di tambah dengan bala bantuan dari

daerah-daerah lain bergabung di Benteng Kapahaha seperti dari Kerajaan

Ternate, Kerajaan Gowa, Tuban, Alaka, Huamual, Iha, Buru, Nusa Laut, Banda dan

lain-lain. Mereka melakukan perlawanan terhadap kaum kompeni yang berlangsung

dari tahun 1637 sampai dengan 1646.

Ketika pada tahun 1646 Kapahaha berhasil ditaklukkan oleh kaum penjajah

Belanda, maka semua rakyat kapahaha, para kapitan dan malesi serta seluruh personil

bantuan tersebut diturunkan dari Bentang Kapahaha dan ditawan di pantai Teluk

Telapuan (Teluk Sawatelu Morella).

Setelah adanya pengumuman pembebasan tawanan perang kapahaha oleh

gubernur Van Deimer, maka mereka mengadakan acara perpisahan sebelum kembali ke

daerah masing-masing, dalam acara perpisahan itu di isi dengan lagu-lagu dan tari-

Page 16: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 16

tarian adat serta sekelompok Pemuda Kapahaha mengadakan Atraksi Pukul Sapu Lidi.

Hari itu yang bertepatan dengan tanggal 27 Oktober 1646 mereka memberikan nama

bagi Rakyat Kapahaha yang akan mereka tinggalkan dengan gelar Hausihu yang

bermakna Kobaran Api Perjuangan (Kapahaha Hausihu Holi Siwalima). 27

Sementara itu, Rakyat Kapahaha Hausihu oleh belanda tidak diperkenangkan

untuk kembali lagi ke Negeri Lama dipegunungan dengan maksud untuk memudahkan

pengawasan Belanda terhadap mereka. Maka mereka kemudian menempati wilayah

kurang lebih 3 km kearah selatan dari arah Sawatelu yaitu wilayah Morella sekarang

dengan nama negerinya Hausihu Morella. Negeri Hausihu Morella termasuk dalam

wilayah Ulisailessy bersama dengan Negeri Liang dan Negeri Waai.

Kapata-kapata di Morella

Kapata-kapata dan cigulu-cigulu adalah modep peradaban Islam dari aspek arth

communication. Kapata ini terdiri dari berbagai model ada kapata agama, budaya, yang

dilombakan TPQ-TPQ yang ada di Morellah dan bahkan di Mamala antar kampong.

Saat ini kedua kampong ini konflik horizontal mulai dari 2012 sampai sekarang.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ada adat yang sudah terdegradasi dengan imprealisme

budaya global. Negeri Morella terdapat beberapa dati-dati kecil seperti :

a. Huta Haha sebagai dati Tuhe b. Ima Uli sebagai dati Manilet c. Sia’ Aman sebagai dati Sialana d. Uli Kau sebagai dati tawainlatu e. Uli Ina sebagai dati Leikawa f. Ninggareta sebagai dati Ulath g. Putulessy sebagai dati Latukau h. Sipil sebagai dati Lekai i. Ula Pokol sebagai dati Sasole 28

Kapata Hubungan Pela-Gandong Soya-Morella. Berikut ini adalah sebuah Lani

(Kapata) di Negeri Morella yang mengisahkan sejarah hubungan Negeri Morella dan

Negeri Soya :

Meten Tuhe Hiti Naistita Nusa (Meten Tuhe Hiti Keliling Pulau) Pasoutama Nusa Yupu Latu Tapi (Utusan Pemuka Pulau Latu Tapi) Tou Nusaniwe Sirimau Mahu (Pandang Nusa Niwe Jauh Terpisah) Niwe Paukala Apono Paso Soko (Menggalak Niwe Dan Apono Menyatu)

Meten Lehe Nusa Niwe (Meten Mendarat Ke Nusa Niwe) Mo Ete Sohu Siri Mau (Kamu-Kamu Liput Sirimau) Supu Yama Raila Yisasehu (Jumpa Yama Raila Sendiri) Sirimau Pamau Yamaraila (Sirimau Pelindung Yamaraila) Meten Peha Luasi Mae (Meten Berseruh Keduanya) Tuhe Hiti Naikeulai (Muncul Tuhe Dengan Hiti)

27

Yus Kerubun, Sawat Morella Berpadu di Arena Pukul Sapu Lidi Tahun 2010 Date Picture

Taken : 17-09-2010. 28

Hasan Lauselang, Sawat Morella wawncara di kantornya IAIN Ambon 2014

Page 17: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 17

Hata-Hiti Hutu Lia Yulapoko (Empat Berangkat Menuju Yulapoko)

Sailaputi Wela Wela Anomia (Lambang Putih Lamai Meria) Yupu Latu La Hate Reihata (Latu Restu Empat Berjumpa) Soya Souhatu Sabila Maralesi (Jatuh Cinta Sabila Maralesi) Le Atane Hale Nusa Niwe (Pindah Tempat Ke Nusa Niwe) Nisa Simi Yupulatu Yisa Sehu (Turunan Yupulatu Yisa Sehu)

Kapata Hubungan Pela-Gandong Morella-Waai Kapata (Lani) di Negeri Morella

yang menceritrakan sejarah hubungan pela gandong Negeri Morella dan Negeri Waai.

Menurut hasil penelitian tahun 2013 Aisya Ipaenin mahasiswa Komunikasi Penyiaran

Islam di IAIN Ambon mengungkapkan bahwa pela terdiri dari dua macam;

a) Pertama; Pela berdasarkan akangkat saudara akibat ada kesamaan nasib dalam

perjuangan bersama saat membawa upeti di Ternate. Model pela ini masih bisa

menikah.

b) Kedua; Pela gandong yang kebetulan saat belanda menjajah orang Maluku

selama 350 tahun kedua bersaudara berpisah karena Bangsa Belanda

memasukkan mereka agama Kristen. Pela seperti ini terjadi di Desa Seit dan Ou

dimana Ou yang beragama Kristen dan Seith Bergama Islam. Kedua desa ini

tidak bias saling menikah karena satu dara atau satu kandung.29

Pela gandong dan pela bukan gandong ini semua memiliki peradaban kapata-

katapa yang digunakan saat pembinaan keluarga, masyarakat, dan pemerintahan.

Keunikan dari artikulasi kapata-kapata ini kontengnya sangat universal karena ada

spirit kerukunan antar umat beragama yang di konstruksi dalam kapata itu.

Letekori Lau Yupu Towa Paila (Zaman Nenek Moyang Sejak Dahulu Kala) Sane Taha Lepaila Tuharella (Turunan Dari Moyang Tuharella) Rula Tahinano Yina Tatielya (Dengan Istrinya Nenek Tatielia) Huni Yulapoko Amanuela (Penghuni Ulapoko Amanuela) Sane Kutika Luwai Tapasala (Disuatu Saat Timbul Masalah) Wali Aa Kilingsina Tapiula (YaituKedua Kakak Beradik Kilingsina dan Tapiula) Rihu Sama Kilingsina Tapiula (Berpisah Tempat Tinggal Kilingsina dan Tapuila).

Tapiula Takata Tiri Haita Paukala (Tapiula Ke Tatiri Pantai Baguala) Kilingsina Taka Moki Haita Tunuhala (Kilingsina Ke Moki Pantai Tunuhala) Tapiula Kupa Hunimua Metiela (Tapiula di Hunimua Tanjung Meti ela) Kilingsina Kupa Lataela (Kilingsina di Daratan Lataela) Lea Asele Taisa Sila-Sila (Terbagi Turunan Dua Sila-sila)

30 Kapa-Kapa Wali Aa Kakula (Bersatu Kembali Seperti Sedia Kala) Hanu Soa Hatu Waai Morella (Membangun Persatuan Waai dan Morella) Di sebuah rumah tua

29

Sumber : Bapak Sulaiman Latukau (Tua Adat Negeri Morella) 30

Label : Konvoi Lagu Gandong 4 Negeri Basudara (Morella, Waai, Soya & Kaibobu) Usai

Perayaan Pukul Sapu Lidi Tahun 2010 Date Picture Taken : 17-09-2010 Author : Yus Kerubun

Page 18: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 18

atap daun kering terpanggang abad Tiang kokoh tampak berkerut Tak ada lumut. Angin dari laut berhembus Takmampu menghalau gelisah Dalam cucuran keringat Berlelehan di tubuh tanpa sungut.31 Mungkin hanya peti besi tua Yang mampu menguak sejarah Negeri yang dulu berdiri dengan gagah Kini tampak letih - namun takmerasa kalah. Aku menemu malam bertabur bintang Dalam temaram cahayanya Gelombang laut februari terus berlari Mengejar mimpi lelaki sejati. Di dalam rumah tua Kilatan cahaya terus menerpa sejuta aksara yang tertulis di atas kertas - nasibnya sengsara seperti cinta sejati leluhur kita Engkau hapus debu yang menyelimutinya.

Mungkin ada do'a para ulama di tubuhnya Kulihat cahaya melesat menembus cakrawala Barangkali juga mantera mengiringi laju perahu Tempat ikan berenag dan menunggu Di rumah tua - aku tertegun malu. Morella telah menjadi nyala api di hati Seribu kitab tersimpan dalam almari besi Menyembunyikan rasa nyeri Menyembunyikan air mata leluhur kami Menyembunyikan diriku di balik jeruji nurani.

Nilai-nilai dari kapata tersebut mengandung nilai pendidikan persaudaraan,

kecerdasan hidup harmoni, dan liriknya mengandung nilai religi yang sarat dengan

muatan multikultural, dari tafsiran dari artefak sejarah semua warisan intelektual itu di

asumsikan sebagai warisan pendidikan mutlikultural Imam Rijali.

Karena asumsi kajian ini beranggapan bahwa cerminan realitas sosial hari ini

adalah gambaran sistem pendidikan masa lalu yang dikonstruksi oleh para ulama dan

termasuk Imam Rijali sebagai ulama Maluku yang selama ini sepi dalam dokumen

31

Oleh: Bambang Widiatmoko

Page 19: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 19

sejarah, sehingga pemikirannya tentang Pendidikan multikultural dapat dikonstruksi

kembali sebagai mata air keilmuan tokoh masa lalu yang cemerlang.

PENUTUP

Penelitian ini membuktikan bahwa wawasan pendidikan multikultural Imam

Rijali dalam perspektif dakwah memiliki dinamika yang signifikan ketika memiliki

potensi 5 kecerdasan. Kelima Kecerdasan itu disingkat menjadi Teori AISYATEK

(Kecerdasan Aqidah, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Syari’ah, Kecerdasan Akhlaq

dan sosial, Kecerdasan Entrepreneurship dan Kecerdasan Teknologi. Ketika empat

kecerdasan ini dimiliki seseorang Guru dan mubalig maka pergerakan sosial berjalan

sesuai arah dan spirit Al-Quran dan Sunnah di Maluku. Konflik kekerasan dapat

diminimalisasi sebesar 75%. Kelima modal kecerdasan ini sebagai standar kompetensi

Guru dan Mubalig dalam menggerakkan arah pergerakan sosial di tengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azrah, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII & XVIII (Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2008.

Kementerian Agama Republik Indonesia: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama

Makassar (Jurnal Al-Qalam Volume 19 Nomor 2 November 2013.

Muhammad As’ad dan Muh. Idham dkk, Buah Pena Sang Ulama (Cet. I; Jakarta: Orbit

Publishing Jakarta: 2011.

H. Rustam E. Tamburaka, Ilmu Sejarah, Teori Sejarah, Filsafat, dan IPTEK (Cet. II;

Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

H. Faisal Bakti, Nation Bilding: Kontribusi Komunikasi Lintas Budaya Terhadap

Kebangkitan Bangsa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Curia Press, 2006).

Samiang Katu, Pasang Ri Kajang : Kajian tentang Akomodasi Islam dengan Budaya

Lokas di Sulawesi Selatan, (Makassar: PPIM, 2000.

Talcott Parson, Sistem Interactional Civil Society (New York: Sage publishing, 2003.

Hj. Suleman Launuru, Ketua Panitia Pemasangan Kubah Masjid Negeri Hila

Philip K. Hitti, Sejarah Ringkas Dunia Arab. Terj. Usuluddin Hutagalung dan O.D.P.

Sihombing (Yogyakarta : Pustaka Iqra, 2001.

Abd Rahman Umarellah (68 Tahun), Mantan Dosen IAIN Ambon wafat pada tahun

2011 di Tulehu, wawancara di rumahnya 17 Juli 2002.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Edisi kedua

Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003..

Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi (ed.) Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta:

Fakultas ekonomi UI, 2008.

Yus Kerubun, Sawat Morella Berpadu di Arena Pukul Sapu Lidi Tahun 2010 Date

Picture Taken : 17-09-2010.

Sumber: Bapak Sulaiman Latukau (Tua Adat Negeri Morella)

Page 20: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 20

Label : Konvoi Lagu Gandong 4 Negeri Basudara (Morella, Waai, Soya & Kaibobu)

Usai Perayaan Pukul Sapu Lidi Tahun 2010 Date Picture Taken : 17-09-2010

Author : Yus Kerubun

Pergumulan Budaya Lokal Dengan Islam Di Baubau Oleh: Idham

Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

Kantor: Jl. A.P. Pettarani No. 72 Makassar Rumah: Jl. Daeng Tata I BTN Tabaria Blok A12 No. 2

Makassar, Email: [email protected] ,HP. 0813 56 100 100

Kata Kunci: Peringatan Maulid, Haroa Maludu, Ganda Maludu, Rebana Baubau.

ABSTRAK: Penelitian ini berkaitan dengan tradisi Haroa Maludu dan Ganda Maludu

di Baubau diteliti dari aspek pergumulan budaya lokal dengan Islam. Jenis penelitian

ini bercorak kwalitatif dalam mengetahui pelaksanaan ganda maludu yang berkaitan

dengan acara Haroa Maludu. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan wawancara,

observasi, studi dokumentasi dan perekaman. Penelitian ini menemukan bahwa budaya

lokal Indonesia termasuk budaya yang sangat terbuka terhadap budaya luar. Prosesi

integrasi budaya luar yang datang dengan budaya setempat, terdapat kompromi budaya

lokal dengan budaya pendatang, ada tarik menarik, ada proses penolakan dan

penerimaan, ada proses akulturasi-akomodasi, serta asimilasi yang dinamis, dan ada

pergumulan antara keduanya. Budaya tersebut adalah haroa maludu dengan iringan

musik ganda maludu di Baubau. Haroa Maludu adalah cara peringatan hari kelahiran

Nabi Muhammad saw khas Bau-Bau. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa

Page 21: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 21

tradisi ritual haroa Maludu di Baubau terbagi menjadi tiga corak budaya, yakni: 1)

Gorona Puta, 2) haroana mia bari, dan 3) Maluduana hukumu.

Key Word: Warning's birthday, Haroa Maludu Maludu Double, Tambourines Baubau.

ABSTRACT: this Research related to the tradition Haroa Maludu and double Maludu

In Baubau observed from the distress local culture with Islam. Types of this research

striped kwalitatif maludu double implementation in knowing that related to Fast Haroa

Maludu. Data collection And be done with an interview, observation, the study

documentation and transcription. This Research found that local culture Indonesia

including culture that is open to culture from outside. The procession integration

between cultures that come with local culture, there is a compromise deal with local

culture, there is a newcomer cultural attraction interesting, there is a process rejection

and acceptance, there is a process acculturation-accommodation, and assimilation

dynamic, and there is a struggle between them. Culture is musical accompaniment

haroa maludu maludu double in Baubau. Haroa Maludu is a way to warn Prophet's

birth day typical Bau-Bau. This research showed that Hits ritual tradition haroa

Maludu in Baubau divided into three pattern culture, namely: 1) Gorona Puta, 2)

Haroana mia bari, and 3) Maluduana hukumu.

PENDAHULUAN

esain operasional (DO) awal penelitian ini adalah ‚nilai-nilai keagamaan

dalam seni budaya masyarakat di kawasan timur Indonesia‛ dengan tujuan

menginventarisasi sejumlah seni budaya yang berhubungan dengan agama setempat.

Dari sekian banyak seni budaya yang terinventarisir tersebut, peneliti memilih salah

satu seni budaya yang sangat erat hubungannya dengan budaya dan agama mayoritas

daerah tersebut. Ini dimaksudkan agar tergambar bagaimana asimilasi, akulturasi dan

pergulatan maupun pergumulan antara budaya lokal sebagai budaya asli dengan agama

sebagai budaya asing, yang akhirnya bersinergi membangun sebuah kebudayaan baru

yang unik. Kebudayaan baru tersebut menjadi keragaman suku bangsa Indonesia yang

menjadi kekayaan bangsa Indonesia itu sendiri.

Indonesia memiliki keanekaragam-an suku bangsa yang terbentang dari Sabang

sampai Merauke. Keaneka-ragaman itu meliputi bahasa, adat istiadat, dan kesenian.

Keanekaraman tersebut memberikan ciri khas tersendiri bagi daerah pendukungnya.

Keaneka-ragaman seni sebagai bagian dari kebudayaan manusia merupakan sesuatu

yang dapat merentang kearah kehidupan yang multidimensi. Oleh karena itu karya seni

mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan.

Salah satu budaya masyarakat Baubau adalah tradisi maludu yang di dalamnya

terdapat ganda maludu (rebana maulid). Maludu (bahasa Wolio) berasal dari bahasa

Arab, Maulid. Maulid yang dimaksudkan di sini adalah kelahiran Nabi Muhammad

saw. Jadi Maludu adalah tradisi masyarakat Baubau dalam memperingati hari kelahiran

Nabi Muhammad saw.

D

Page 22: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 22

Maludu diperingati di Baubau bersamaan dengan masuknya agama Islam di

Baubau32

. Agama Islam masuk di Buton erat kaitannya dengan berkembangnya

perdagangan antara Maluku dengan kawasan Barat Nusantara yang menjadikan Buton

sebagai jalur pelayaran perdagangan.33

Pembawa Islam di Buton pada mulanya dibawa

oleh para pedagang yang singgah di Wilayah Buton dalam pelayaran niaga antara

kawasan Barat Nusantara dengan Kepulauan Maluku sebagai pusat rempah-rempah.

Selanjutnya dalam pelayaran niaga ikut pula para muballig berkebangsaan Arab, yang

selain berdagang juga menyebarkan Islam.

Di antara mereka terdapat Syekh Abdul Wahid yang tiba sekitar 1540 M, pada

masa Raja Ke-6. Tersebutlah dalam sejarah, bahwa pada saat Raja ke-6, Lakilaponto

dan menjadi Sultan pertama di Buton34

, selanjutnya disusul muballig Firdaus

Muhammad, selanjutnya datang pula Sayed Rabah. Pada mulanya Sayed Rabah

melaksanakan dakwah Islam di Buton dan tidak lama kemudian melanjutkan tugas

dakwah di Muna atas persetujuan Sultan Buton XIX, Tsaqiuddin Darul Alam.35

Kedatangan para muballigh tersebut diterima baik oleh masyarakat setempat tanpa

konflik yang berarti.

Agama Islam di Baubau (Buton) ternyata mampu berintegrasi dengan budaya

lokal dengan hasil proses interaksi harmonis antara ajaran Islam dengan kebudayaan

setempat. Interaksi harmoni tersebut terwujud dalam sistem sosial organisasi sosial,

budaya, kesenian, dan lain-lain. Islam telah menjadi identitas masyarakat Baubau.

Islam merupakan realitas yang tak terelakkan dalam sejarah kebudayaan mereka.

Setelah beberapa abad, Islam tampil mengubah berbagai dimensi kehidupan

masyarakat dan menyebabkan terjadinya transformasi di tengah masyarakat hingga

kemudian memengaruhi pandangan dan perilaku masarakat Baubau. Transformasi

nilai-nilai Islam dalam budaya masyarakat Baubau, dengan sendirinya memberikan

ruang gerak yang mudah bagi nilai-nilai Islam untuk melakukan penetrasi dalam sistem

sosial budaya masyarakat setempat.36

Penerimaan Islam oleh masayarakat Baubau ditandai dengan upaya memasukkan

dan mensinkronkan ajaran Islam dengan nilai-nilai budaya masyarakat lokal. Seperti

dalam ungkapan yang dapat menggugah jiwa dan semangat untuk berjuang dan

berkorban:

Bolimo arataa somanamo karo

Bolimo Karo somanamo lipu

32

Rahmawati, dkk. 2011. Inventarisasi Sastra Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa

Provinsi Sulawesi Tenggara, h. 97 33

Abdullah Alhadza, dkk. 2009. Sejarah Penyebaran Islam di Sulawesi Tenggara. Kendari:

Universitas Muhammadiyah Kendari, 1-2. 34

Pim Schroorl . 1994. Ideologi and Change in Early State of Buton dalam G.J. Schute (ed) Istate

and Trade in The Indonesian Archipelago, Leiden, h. 17-59. Lihat juga Rahim Yunus. 1995. Posisi

Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19. Jakarta: INIS, h. 72 35

Ibid, h. 15. 36

Supriyanto, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara. Kendari: Kerjasama

Kantor Wilayah Departemen Agama Prov. Sulawesi Tenggara dengan Universitas Muhammadiyah

Kendari, h. vi.

Page 23: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 23

Bolimo lipu somanamo sara

Bolimo sara somanamo agama

Artinya:

Jangankan harta yang penting diri

Jangankan diri yang penting negeri

Jangankan negeri yang penting pemerintah Jangankan pemerintah yang penting

agama.37

Di sini tampak dengan jelas bahwa interaksi Islam dengan budaya lokal terjalin

dalam beragam bentuk. Selain akomodasi dan asimilasi, proses interaksi tersebut juga

menunjukkan terjadinya integrasi yang ditandai oleh dominasi nilai-nilai Islam atas

budaya lokal. Dalam berbagai dimensi, interaksi bisa melahirkan akomodasi, dan

kadang interaksi melahirkan asimilasi. Ini tampak dalam semua lini kehidupan

masyarakat Baubau, termasuk acara haroa maludu dan ganda maludu (seni rebana

maulid) yang mengiringinya.

‚Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; Islam adalah satu

kebudayaan yang lengkap‛. Pengakuan senada juga banyak diberikan oleh pakar Islam

dari kalangan Barat. Jika pihak Barat banyak memberikan pengakuan yang kurang

lebih sama, dari kalangan Islam sendiri, seperti keyakinan umum yang berkembang di

kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama yang universal dan komprehensip

meliputi berbagai bidang38

, meskipun penjelasannya ada yang bersifat rinci dan garis

besar. Oleh sebab itu, Islam disebut juga sebagai agama yang ‚hadir di mana-mana‛

(omnipresence); sebuah pandangan yang meyakini bahwa di mana-mana kehadiran

Islam selalu memberikan panduan etik yang benar bagi setiap tindakan manusia39

Ajaran Islam yang demikian telah mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya

dan upaya bagi kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam

pengembangan kebudayaan. Upaya-upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu

prestasi peradaban baru yang tinggi yang dikenal dengan ‚peradaban Islam‛ yang

dalam sejarahnya telah memberikan andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban

dunia.

Sifat akomodatif Islam terhadap budaya tidak berarti bahwa Islam menerima

begitu saja segala wujud kebudayaan yang ada. Proses Islamisasi tidak menghapuskan

budaya, melainkan justru memperkayanya, memberikan warna nilai-nilai Islam di

37

Ruslan Rahman. 2005. Parabela di Buton: Suatu Analisis Antropologi Politik. Makassar:

Program Pascasarjana Universitas hasanuddin (disertasi belum terbit), h. 138. 38

QS. An Nahl/16: 89:

89. (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas

mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat

manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan

petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. 39

Fazlurrahman. 1986. Islam. New York, Chicago, San Fransisco: Holt Reinhart, Winston, h. 241.

Page 24: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 24

dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di

dalam masyarakat Buton (Baubau). Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara

dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan

budaya lokal.

Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat

misalnya: bentuk masjid Agung Wolio yang terdapat di dalam benteng mengadopsi

rumah penduduk, tidak seperti pada umumnya masjid di Jawa ataupun masjid yang

memiliki kubah, tapi menunjukkan ciri-ciri arsitektur lokal. Sementara esensi Islam

terletak pada ‚ruh‛ fungsi masjidnya.

Aspek akulturasi budaya lokal dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya

Buton (Baubau) adalah dalam bidang seni vokal yang disebut kabanti. Dalam seni

kabanti sering dibacakan berisi tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi

dari si tokoh. Seringkali kabanti ini berasal dari unsur budaya lokal pra-Islam

kemudian dipadukan dengan unsur Islam. Seni kabanti kini biasa disajikan pada acara-

acara selamatan atau tasyakuran. Akulturasi Islam dengan budaya-budaya lokal

nusantara sebagaimana yang terjadi di Baubau terdapat juga di daerah-daearah lain,

seperti pada suku bangsa Bugis, Makassar, Mandar, Kaili, dan lain sebagainya.

Jika dalam wilayah non-teologis atau sosial kemasyarakatan Islam begitu sangat

akomodatif terhadap budaya lokal, berbeda halnya dengan wilayah-wilayah lainnya,

terutama berkenaan dengan aspek teologis (aqidah). Dalam masalah teologis ini Islam

menarik garis demarkasi secara tegas. Islam tampil dengan wajah yang sangat

eksklusif. Penegasan Islam ini termaktub di dalam Alquran surah Al-Ikhlas, dan surah

Al-Kafirun yang tercermin dalam dua kalimah sahadah. Inilah doktrin sentral Islam

yang kemudian disebut dengan tauhid; pengakuan kemahakuasaan dan kemutlakan

Tuhan serta penegasan bahwa Muhammad nabi terakhir yang diutus Tuhan bagi umat

manusia di muka bumi.

Klaim-klaim eksklusif Islam sebagaimana tercermin dalam doktrin teologis

tersebut tidak berarti umat Islam menjadi umat yang eksklusif yang menafikan

pluralisme. Karena Islam juga sangat menekankan inklusivisme, sebagaimana

dinyatakan dalam sumber-sumber primer Islam (misalnya Q.S al-Kafirun:6,Q.S.al-

Hujarat:13) dan sebagaimana pula yang telah dipraktikkan dalam sejarah awal

pembentukan masyarakat Islam. Gambaran ideal tentang kerukunan antara umat Islam

dan non-Islam sebagaimana yang dicontohkan nabi dan yang kemudian menjadi model

bagi tata laku kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini secara original dapat dilihat

dalam butir-butir ‚Piagam Madinah‛.

Dari latar belakang tersebut di atas, penelitian ini mengangkat masalah pokok,

yaitu: Bagaimanakah pelaksanaan haroa maludu di Baubau? Dan bagaimana

pelaksanaan ganda maludu kaitannya dengan haroa maludu tersebut? Adapun tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan acara haroa maludu di Baubau dan

untuk mengetahui pelaksanaan ganda maludu yang berkaitan dengan acara haroa

maludu tersebut.

Page 25: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 25

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif40

. Adapun mengumpulan

data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi serta perekaman.

PEMBAHASAN

Baubau: selayang pandang

Baubau adalah salah satu nama Kota di Sulawesi Tenggara41

dari 12 Kabupaten/

kota. Berdasarkan Undang-Undang Momor 13 Tahun 2001, Kota Baubau berdiri

sendiri sebagai Kota berpisah dari Kabupaten Buton. Kota Baubau berada di pulau

Buton42

dengan tujuh kecamatan, yakni Wolio, Betoambari, Sorawolio, Bungi,

Kokalukuna, Murhum, dan Lealea. Adapun jumlah penduduk Kota Baubau 142.576

orang dengan rumah ibadah masjid 102 buah, Mushalla 30 buah, Gereja Protestan 7

buah, Gereja Katolok 1 buah, Pura 9 buah, dan Wihara 1 buah.43

Kota Baubau yang kita jumpai saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kerajaan

dan kesultanan Buton masa lalu. Hal ini terkait dengan posisi Kota Baubau yang dulu

dikenal dengan istilah Wolio (cikal bakal kota Baubau) merupakan pusat peradaban

Buton. Beberapa literatur menyebutkan bahwa: 1) Baubau merupakan pusat kerajaan

Buton. 2) Selain itu, catatan lain menyebutkan bahwa sejak tahun 1870-an Baubau

mengalami perkembangan yang sangat pesat, maka tidak mengherankan kalau Belanda

menjadikan Baubau sebagai ibukota afdeeling Oost Celebes atau Sulawesi Timur di

tahun 1911.44

3) Selanjutnya, saat Sulawesi Tenggara pernah menyandang status

sebagai kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara dengan ibukota

di Baubau. Namun berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 1964 Junto Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 1964, Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai daerah otonom dengan

status provinsi dengan ibukota Kendari. Selain itu, 4) Baubau juga pernah menjadi

ibukota kabupaten Buton, 5) sejak 3 November 1981, Baubau ditetapkan sebagai kota

administratif berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1981, 6) Kota Baubau

sebagai kota otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2001. Sebagai kota

yang memiliki sejarah yang sangat panjang, mulai dari kerajaan/kesultanan Buton,

maka tidak mengherankan bahwa budaya yang mendominasi penduduknya adalah

budaya Buton.

Haroa Maludu di Baubau

Haroa maludu adalah dua kata yang berasal dari bahasa Wolio. Haroa berarti

acara atau peringatan, juga berarti sajian yang disiapkan pada setiap acara ritual,

40

James Danandjaya. 1990. Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Folklor, dalam

Amiruddin (ed) Pengembangan Penelitian kualitatif dalam Bidang Bahasa dan sastra. Malang: YA3, h.

98. 41

Saat penelitian ini diadakan, Provinsi Sulawesi Tenggara memeiliki 12 kabupaten/kota, yaitu:

Konawe, Kolaka, Muna, Buton, Kota Kendari, Kota Baubau, Kolaka Utara, Wakatobi, Konawe Selatan,

Bombana, Konawe Utara, dan Buton Utara. 42

Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana. Jakarta: RajaGrapindo Persada, h. 35. 43

Kantor BPS Kota Baubau. 2013. Baubau Dalam Angka Tahun 2013. 44

La Ode Rabbani. 2010. Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Yogyakarta: Ombak, h. 75.

Page 26: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 26

sedangkan maludu adalah bahasa Wolio yang dikonversi dari bahasa Arab, maulid,

yang berarti kelahiran.

Jadi haroa maludu adalah acara peringatan hari kelahiran nabi Muhammad saw.

Dari kata maludu saja, sudah terjalin hubungan yang begitu erat kedua budaya yakni

lokal (wolio) dan budaya asing (Arab). Hubungan kedua budaya tersebut melahirkan

satu budaya (bahasa) baru, yakni maludu.

Maulid yang dikonversi dan diakomodir menjadi bahasa setempat adalah salah

satu contoh kecil bagaimana budaya lokal dengan Islam saling berbaur dengan

dialektika masing-masing pada setiap daerah. Ini dimaklumi karena sejak awal

perkembangannya, Islam di Baubau telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam

sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan

dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya,

paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsepsi sosial budaya,

dan Islam sebagai realitas budaya.

Islam sebagai konsepsi budaya ini, oleh para ahli sering disebut dengan great

tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little

tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-

bidang yang ‚Islamik‛, yang dipengaruhi Islam.45

Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-

doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi

yang melekat ketat pada ajaran dasar.

Dalam ruang yang lebih kecil, doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan

syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam.

Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan

dengan pinggiran. Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence-

kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local

ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya46

yang

meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya

yang dihasilkan masyarakat.

Salah satu tindakan manusia dan karya yang dihasilkan masyarakat Baubau,

adalah bagaimana mereka mencintai Nabi-nya dengan cara mengadakan haroa maludu.

Pada haroa maludu tersebut tampak budaya lokal dan budaya asing (Islam) bergumul

dan menghasilkan budaya unik dengan ciri Baubau. Di dalam acara tersebut, selain

membacakan sejarah hidup Nabi, yang tak kalah menarik adalah karena dalam acara

maludu tersebut kadang diiringi musik rebana yand disebut ganda maludu.

Pada acara maludu inilah terjadi proses akulturasi antara Islam dan Budaya lokal

ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan

menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh

45

Azyumardi Azra. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta:

Paramadina, h. 13. 46

Koentjaraningrat. 1980. Pokok-Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbitan Universitas, h. 7-8.

Page 27: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 27

kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak

terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya47

.

Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan

terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya

luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli;

dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan

budaya selanjutnya48

.

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Baubau,

ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam

sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Baubau. Di sisi lain budaya-

budaya lokal yang ada di masyarakat Baubau, tidak otomatis hilang dengan kehadiran

Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-

warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan ‚akulturasi budaya‛, antara

budaya lokal dan Islam. Budaya-budaya lokal yang kemudian berakulturasi dengan

Islam tampak dalam semua siklus hidup Masyarakat Baubau. Seperti:

1. Pakandeana ana-ana maelu pada tanggal 10 Muharram

2. Bacana Maludu pada tanggal 12-29/30 Rabiul Awal

3. Nisifu pada tanggal 15 Sya’ban

4. Baana bangu pada tanggal 1 Ramadhan

5. Kunua pada tanggal 17 Ramadhan

6. Kadiri pada tanggal 27 Ramadhan

7. Raraeya Mpuu pada tanggal 1 syawal

8. Raraeya haji pada tanggal 10 Zulhijjah

9. Upacara Posipo (upacara tujuh bulanan)

10. Alana Bulua (pemotongan rambut)

11. Upacara dole-dole

12. Upacara tandaki (khitan bagi anak laki-laki)

13. Upacara Posusu (khitan bagi anak perempuan)

14. Posuo (pingitan)

15. Kawia (perkawinan)

16. Mate (prosesi kematian)49

Banyaknya haroa (acara ritus) bagi masyarakat Baubau memunculkan pameo

bahwa ‚orang Baubua hari-hari haroa‛. Haroa melekat dengan ritual yang

diselenggarakan, sehingga keberadaannya menjadi niscaya, baik dalam upacara ritual

peralihan maupun ritual yang sifatnya tetap. Pada haroa, simbol-simbol agama

47

Hartati Soebadio, “Sastra dan Sejarah”, Jurnal Arkelogi Indonesia, No. 1/Juli, Jakarta: Ikatan

Ahli Arkeologi Indonesia, 1992, “ Pertemuan Ilmiah Arkeologi III-1983, hal.. 1204-1219. Jakarta:

Depdikbud, h. 23. 48

Soerjanto Poespowardojo. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam

Modernisasi, Kepribadian budaya bangsa (local genius), Ayotrohaedi (ed.) Jakarta: Pustaka Jaya, h. 28-

38. 49

Wawancara dengan Maskur (30 tahun) pemerhati budaya Buton, pegawai dinas pariwisata Kota

Baubau, tanggal 20 Juni 2014.

Page 28: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 28

dimanifestaikan dengan serangkaian praktek ritual atau seremonial.50

Bagian dari

perilaku meliputi berbagai upacara dan ritual. Kegiatan atau perbuatan ritual meliputi

pemujaan dan pengagungan, ibadah zikir, menyantap makanan ritual.51

Menyantap

makanan ritual sebagai bagian dari praktek ritual perspektif orang Baubau ada dalam

haroa.

Adapun acara haroa maludu di Baubau diadakan mulai tanggal 12 Rabiul awal

sampai tanggal 29 atau 30 Rabiul Awal, dengan tiga tahapan pelaksanaan, yaitu:

Gorona Puta

Pelaksanaan maludu Gorona Puta adalah pelaksanaan maulid di rumah sultan.

Sultan yang dimaksudkan di sini adalah pemimpin negeri. Pada zaman kesultanan,

maludu selalu diadakan di istana Sultan. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu,

sultan sudah dihapuskan, maka pelaksanaan maludu Gorona Puta diadakan di rumah

jabatan Walikota Baubau. Adapun waktu pelaksanaannya dimulai jam 00.00 tanggal

12 Rabiul awal. Tidak ada yang boleh mengadakan peringatan maulid sebelum acara

tersebut selesai diadakan oleh Gorano Puta.

Adapun Gorona Puta ini didahului dengan membakar kemenyang dan kemudian

membaca kitab barzanji dengan lahjah Buton, selanjutnya pembacaan asraka (sambil

berdiri), dan ditutup dengan doa. Semua perangkat pemerintah dan perangkat atau

pegawai masjid kesultanan Buton memakai pakaian adat sesuai dengan strata sosial

yang ada pada pundak mereka. Pembacaan kitab barzanji dan acara makan bersama

berakhir menjelang subuh.

Makanan yang disajikanpun pada acara maludu Gorano Puta ini sangat khas. Di

tengah ruangan disiapkan talam besar yang disebut ‘tala maludu’. Tala maludu berisi:

bagian bawah diisi beras mentah, menyusul kalo-kalo (kue kering 15 bentuk),

kemudian Bae mambaka (beras ketan yang diisi 40 butir telur), waje, cucuru, epu-epu,

palu dan dadar, dalam keadaan tertutup yang ditutup lagi dengan kain putih.

Selain tala maludu yang besar tersebut, juga diiringi empat talam dalam ukuran

kecil, yaitu: 1) talam manu kaluku hole (nasu wolio), bahannya dari ayam kampung

yang dimasak dengan santan dan kelapa goreng; 2) talam Ntolu sinanga (telur rebus

yang digoreng dan berair); 3. Talam Aru-aru (berupa kolak pisang atau ubi yang

dimasak dengan santan dan gula merah); dan 4) talam Uwe Maludu (air maulid) dan

disimpan di dalam kendi.

Haroa yang terbuat dari bahan makanan yang merupakan hasil alam mereka,

sekilas adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Makanan itu adalah sekumpulan jajanan

yang setiap saat dijajankan atau dengan mudah diperoleh di pasar-pasar tradisional.

Akan tetapi kua-kue haroa tersebut akan menjadi istimewa sekaligus berubah status

bilamana kue-kue tersebut diletakkan di atas tala maludu pada sebuah acara ritual yang

dilengkapi dengan nyala dan asap dupa, maka seketika kue-kue tradisional tersebut

menjadi sakral dan bermakna.

50

Ibid 51

Erni Budiawati. 200. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Wetu Lima. Yogyakarta: LKiS, h. 26.

Page 29: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 29

Haroana Mia Bari

Haroana Mia Bari kadang juga disebut Sangkoniana Lowo. Adapun yang

melaksanakan disini adalah masyarakat umum. Bagi masyarakat Baubau,

memperingati haroa maludu hukumnya sunat muakkad. Tidak lengkap rasanya bila

maulid dilewatkan begitu saja. Tidak ada perbedaan antusias antara si kaya dan si

miskin. Semua masyarakat berupaya untuk memperingati Hari Kelahiran Nabi. Adapun

bagi mereka yang kurang mampu, tidak mendapatkan kemampuan untuk memenuhi isi

talam komplit ---‚Tala Rasulu‛, cukup mengisi Baskom ‚Bhalobu‛---. Seandainya pun

untuk mengisi ‚Bhalobu‛ tidak sanggup, maka untuk menjaga kesinambungan

pelaksanaan Peringatan Maulid, cukup dengan menyediakan air putih diisi dalam satu

tempat khusus sebagai air suci yang akan didoakan oleh sang Imam (Pembaca Utama

Al Barzanji).

Keyakinan seperti ini sudah melekat dan mendarah daging, turun temurun, sejak

zaman Kesultanan hingga saat ini. Menurut keyakinan mereka, maludu sangat

bermanfaat dan diraksakan sebagai hakekat dari kegiatan Maulid dalam rumpun

keluarga itu sendiri.

Bagi keluarga rumah tangga baru, tidak diperkenankan mengadakan haroa

maludu secara pribadi, akan tetapi harus ikut kepada orang tua tiga tahun berturut-

turut dengan cara mengisi ‚Bhalobu‛ yang diikutkan sertakan ke tala Rasulu orang tua

mereka. Setelah keluarga baru tersebut sudah mandiri (membangun rumah sendiri)

barulah mereka mengadakan maludu secara mandiri dengan mengisi tala Rasulu. Bagi

keluarga baru tersebut wajib hukumnya secara adat mengadakan haroa maludu tiga

tahun berturut-turut. Maludu yang diadakan masyarakat ini adalah dengan pembacaan

syarful anam yang diiringi alat musik rebana (ganda maludu).

Maluduana hukumu

Maluduana hukumu adalah peringatan maulid Nabi yang diadakan oleh perangkat

masjid Agung Keraton Buton. Acara ini di adakan di Galampana Lakina Agama

(kediaman perangkat agama). Maluduana hukumu ini dilaksanakan pada tengah malam

tanggal 29 atau 30 hijriyah, dimana tidak ada lagi yang boleh melaksanakan haroa

maludu sesudah itu. Karena memang tujuannya untuk menutup seluruh rangkaian

maulid seraya berdoa kepada Allah swt agar semua keinginan masyarakat dapat

dikabulkan oleh Allah swt, adanya berkah kehidupan tahun berjalan, mendapat

ampunan dan dimurahkan rejeki, mendapat perlindungan kesehatan dan keamanan

tetap tercurah kepada seluruh negeri.52

Pelaksanaan peringatan maulid dengan tiga tingkatan sebagaimana dijelaskan di

atas, mengindikasikan adanya keteraturan, keteladanan, pengayoman, penghormatan

yang tinggi terhadap cara tersebut. Keteraturan tampak dari tiga tingakatan tersebut.

Tidak ada yang berani melaksanakan haroa maludu sebelum pemerintah

melaksanakannya. Pemerintahpun memberikan keteladanan, pemerintah tidak pernah

alpa dalam melaksanakan haroa maludu tersebut. Demikian halnya dengan masyarakat

52

Wawancara dengan Laode Rasyinuddin (tokoh masyarakat, salah seorang khatib masjid Agung

Wolio) tanggal 19 Juni 2014.

Page 30: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 30

umum, mereka sangat antusias melaksanakan haroa maludu sebagai bukti kecintaannya

kepada agamanya. Acara peringatan maludu terakhir dilaksanakan oleh pegawai syara’.

Tidak ada lagi acara peringatan haroa maludu setelah ditutup oleh lakina agama (imam

masjid agung wolio).

Haroa maludu bagi masyarakat Baubau selalu dilakukan setiap tahunnya. Haroa

maludu tersebut merupakan fenomena dan ekspresi atau ungkapan praktek religius

mereka. Dengan demikian, haroa maludu memiliki pertalian dari makna khusus yang

dapat kita sebut sebagai suatu aktivitas yang include dengan aktivitas upacara

religiusitas mereka, yang dalam konteks ritual jelas mengandaikan adanya suatu

hubungan obyek suci secara umum. Suatu obyek, pengalaman, fenomena yang semula

profan menjadi suatu obyek, pengalaman, dan fenomena yang suci berkat penghususan

yang dibuat oleh pelakunya. Berkat hubungan itulah suatu fenomena termuati

kekudusan, mengandung arti religius dan menjadi simbolis.53

Ketiga tingkatan pelaksanaan maulid tersebut di atas, makanan yang disajikan

sama, yakni adanya tala Rasulu dan tala kecil pengiringnya. Isi dari talam yang berisi

berbagai macam kua tersebut dibagi kepada tamu dan tetangga. Ada yang unik dari

penyajian jenis kua tersebut, bila tala Rasulu sebagai inti dari sajian dalam haroa

maludu yang akan dibagi kepada keluarga dekat, maka untuk para tamu disediakan

talam yang disesuaikan dengan strata sosialnya. Strata sosial terlihat dari penutup

talam dan jumlah isi talam tersebut. Penutup bersusun 4 dan berisi 12 biji kue dalam

satu piring untuk Sultan; penutup bersusu 3 dan berisi 10 biji kue dalam satu piring

untuk imam lakina agama; penutup bersusun dua bersisi 8 biji kue dalam satu piring

untuk pejabat distrik; dan penutup bersusun satu dengan 6 biji kue dalam satu

piringnya diperuntukkan untuk masyarakat biasa. Untuk sultan dan lakina agama

baginya diperuntukkan satu talam. Adapun distrik dan masyarakat biasa satu talam

untuk berdua. Namun apabila isi talam tersebut tidak habis dimakan, maka tamu

diharapkan membawa makanan tersebut dengan memasukkannya ke dalam kantong

yang disiapkan tuan rumah yang diselipkan di bawah piring.

Ganda Maludu pada Acara Haroa Maludu di Baubau

Ganda (bahasa Wolio) artinya rebana. Rebana dari segi bahasa (lughawi) berasal

dari kata rabbana-rabbina-rabbuna yang berarti ‚Tuhan kami‛ atau ‚Tuhan Kita‛.

Selain dari segi bahasa, istilah rebana juga diartikan sebagai alat musik dan group

musik. Sebagai alat musik, rebana dimaknai sebagai salah satu jenis alat musik perkusi

(ritmis/non melodis) dalam kelompok membranophone yang membunyikannya

dilakukan dengan cara dipukul. Rebana sebagai group musik, diartikan sebagai

kelompok musik yang melantunkan solawat dan lagu-lagu Islami dengan iringan alat

musik utama rebana. Rebana hampir ada pada semua suku bangsa yang penduduknya

mayoritas beraga Islam, termasuk Kota Baubau. Rebana sebagai musik instrumental

53

M.Alifuddin. 2007. Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal. Jakarta: Badan Litbang

dan Diklat Kementerian Agama RI, h. 232.

Page 31: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 31

hanya berfungsi sebagai alat pengiring yang tidak pernah berdiri sendiri.54

Rebana ini

pun menjadi mengiring haroa maludu yang dilaksanakan oleh masyarakat umum.

Selain haroa maludu masyarakat umum yang diiringi oleh rebana, di Baubau ada

beberapa ritual yang diiringi oleh rebana, seperti acara pingitan gadis yang disebut

posuo. Ini menggambarkan bagaimana seni Islam bagian dari kebudayaan orang

Baubau.

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai yang

dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial,55

sedangkan seni keagamaan Islam

merupakan salah satu unsur dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai

yang dimiliki manusia itu, yang berkaitan dengan Kebudayaan umumnya

mengandung tiga aspek penting, yaitu bahwa (1) kebudayaan dialihkan dari satu

generasi ke generasi lainnya dimana dalam hal ini kebudayaan dipandang sebagai suatu

warisan atau tradisi sosial, (2) kebudayaan dipelajari, bukan dialihkan dari keadaan

jasmani manusia yang bersifat genetik, (3) kebudayaan dihayati dan dimiliki bersama

oleh para warga masyarakat pendukungnya.

Ada tiga macam fungsi dan peran kebudayaan dalam kehidupan sosial:

1).Kebudayaan sebagai ciri kelompok, komunitas atau masyarakat. Kebudayaan

diasumsikan mempunyai kekuatan yang menghubungkan orang dengan kelompok,

komunitas atau masyarakat tempat afiliasinya, yang kemudian membedakannya

dengan kelompok,komunitas atau masyarakat lain; 2).Kebudayaan sebagai ekspresi

kehidupan sosial. Dalam konteks ini, kebudayaan bisa berupa kesenian yang di

dalamnya terdapat karya kreatif yang indah para seniman dalam bentuk lukisan, ukiran,

tari gubahan lagu dan sebagainya; dan 3).Kebudayaan berfungsi sebagai sarana

pemaknaan. Dalam konteks ini kebudayaan tidak ditempatkan semata-mata hanya

sebagai ciri atau identitas kelompok, komunitas dan masyarakat. Tetapi pelbagai

bentuk nilai, norma, keyakinan, ritual dan ketentuan yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat diyakini tidak muncul mendadak atau terjadi secara tiba-tiba, tetapi

berlilit-lilit dengan sejumlah hal yang saling bertautan yang diliputi oleh beragam

makna.

Kebudayaan Islam mencakup banyak unsur, salah satunya seni. Seni secara

umum adalah segala sesuatu (karya kreatif) hasil ungkapan akal dan budi manusia

dengan segala prosesnya. Seni juga merupakan ekspresi jiwa seseorang kemudian hasil

ekspresi jiwa tersebut dapat berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. The

Liang Gie56

mendefinisikan pengertian seni sebagai kegiatan manusia, yakni kegiatan

menciptakan sesuatu karya apapun yang mengandung keindahan. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Leo Tolstoy, ‚art is human activity, consisting in this that one man

consciously, by means of certain external signs, hands on to others feelings he has lived

54

A.Azis Nun, dkk. 1979. Naskah dan Penuntun Tentang Kesenian Daerah Sulawesi Tenggara

dan Pementasan Kesenian dan Duta Seni. Kendari: Poyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Sulawesi

Tenggara, h. 3. 55

Tjetjep Rohendi Rohidi. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STSI

Bandung, h. 6 56

The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB, h. 60

Page 32: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 32

throught, and that other people are infected by these feelings and also experience

them.‚ (seni adalah suatu kegiatan manusia, terdiri atas seorang yang secara sadar

dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu, menyampaikan perasaan-perasaan

yang telah dihayati oleh orang-orang lain sehingga mereka tertular oleh perasaan-

perasaan ini dan juga mengalaminya).

Apa yang diutarakan oleh The Liang Gie di atas, juga terjadi di Baubau. Dalam

seni rebana yang ditabuh sebagai mengiring syair berisi berbagai macam perasaan sang

penutur. Syair-syair tersebut berisi berbagai perasaan, bisa perasaan bahagia, duka,

sanjungan, pujian, doa dan lain sebagainya. Syair dalam bahasa Wolio disebut kabanti.

Adapun kabanti yang dibaca dalam seni rebana maludu adalah syarful anam yang

dibaca dengan sangat lambat. Ada dua puluh judul syair yang harus ditamatkan dengan

72 macam lagu. Adapun ke-20, yaitu:

1.Assala, 11.Anabi

2.Khairuma, 12.Falaku

3.Bissahari, 13 Taala malinahu

4.Tanaka 14.Fatruku Fazatihali

5.Wulida 15.Man mislu-a

6.Hasalalka 16.Ya maulida

7.Alhamdu 17.Salal ila

8.Badatilana 18.Fi hubbi

9.Asraka 19.Fi Rujuba

10.Fi maani 20. Ilahi addini57

Kedua puluh syair syarful anam tersebut dibaca pada saat haroa maludu dan

posuo (pingitan). Haroa maludu hanya dilaksanakan pada bulan rabiul awal (yakni

tanggal 12 sampai tanggal 29 atau 30), sementara posuo dilaksanakan tergantung

kepada masyarakat yang punya hajatan, tidak terikat oleh waktu. Adapun pelaksanaan

haroa maludu maupun posuo dimulai setelah shalat Isya sampai sekitar jam 10 pagi

hari. Bagi para pemain, bulan maulid menjadi menjadi berkah tersendiri, seperti yang

diutarakan Waode Asma (72 Tahun):

Kalau sudah bulan maulid banyak sekali undangan, tidak ada istirahat itu kalau sudah tanggal 12 rabiul awal, banyak yang sudah memesan jauh hari sebelumnya, kadang tidak ada waktu yang tidak ada undangan. Saya juga tidak tahu kenapa kita itu tidak capek, padahal kalau dipikir mulai Isya sampai jam 10, kita hanya istirahat sore hari, kita lanjut terus, barangkali karena kita ibadah, menyanjung Nabi kita, kita hanya parau suara. Ada juga enaknya, kita dibayar oleh yang punya hajat, kita juga dijamin.

Apa yang diutarakan oleh Waode Asma di atas, tampak adanya keikhlasan dari

para pelaku pemain rebana pada haroa maludu. Mereka tidak merasakan capek walau

mereka memukul rebana dengan melagukan syair syarful anam mulai setelah shalat

57

Wawancara dengan Waode Asma (72 Tahun), pelaku seni rebana, tanggal 15 Juni 2014.

Page 33: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 33

Isya sampai jam sepuluh pagi. Mereka menikmati pekerjaan mereka. Selain mereka

sebagai jalan beribadah, mereka juga dapat materi dari segi ekonomi.

Pemain rebana pada haroa maludu mulai dari empat orang sampai 12 orang,

tergantung order yang punya hajatan. Semakin banyak pemain yang diundang semakin

banyak pula bayaran yang harus dikeluarkan oleh sang pengundang. Tarif atau bayaran

pemain perorang tergantung pada jauh dekatnya lokasi acara, selain itu tergantung

juga pada hubungan kekerabatan antara pemain dengan mereka yang punya hajatan.

Tarif bayaran sekitar Rp 300.000,- sampai Rp 500.000,- perorang. Para pemain

kadang dijemput, kadang juga datang sendiri, tergantung kesepakatan saat akad.

Melihat pendapatan para pemain yang tersebut di atas, memang haroa maludu

mendatangkan berkah tersendiri, kalau haroa maludu dimulai tanggal 12-29/30 Rabiul

awal, berarti mereka punya kesempatan manggung sekitar 17 kali. Penghasilan mereka

minimal 17 x Rp 300.000,- = Rp 5.100.000,- selama bulan maulid. Namun penghasilan

tersebut belum mampu memotivasi generasi muda khususnya untuk berlatih dan

bergabung sebagai pemain rebana haroa maludu tersebut. Terbukti hanya ada empat

kelompok saat ini yang bertahan di Kota Baubau, itu pun pada umumnya ibu-ibu yang

sudah tua. Hanya ada satu kelompok yang dibina anak muda yang bernama Asiri (21

tahun). Asiri menuturkan:

Saya tidak tau pak kenapa orang sekarang tidak banyak yang mau belajar rebana, saya itu belajar dari kakek dan bapak saya. Hanya saya sendiri laki-laki sekarang yang mau belajar rebana ini. Padahal dulu banyak laki-laki, barangkali mereka malu. Sekarang saya juga melatih rebana ini, semuanya perempuan yang saya latih tidak ada laki-laki. Kalau begini terus bisa punah budaya kita ini.58

Keprihatinan Asiri tersebut adalah wajar, karena bila melihat sejarah dan

berdasar pengalaman kakek dan orang tuanya, rebana maludu bukan hanya dimainkan

oleh perempuan, namun juga dimainkan oleh laki-laki. Akan tetapi sekarang hanya dia

sendiri yang bisa main rebana dan diundang oleh yang punya hajatan. Namun tekadnya

untuk mengembangkan seni rebana di Baubau tak pernah pupus, ia tidak malu untuk

bermain rebana dan melatih bagi mereka yang mau belajar.

PENUTUP

Pelaksanaan haroa maludu di Baubau terbagi atas tiga tahapan, yaitu: 1) Gorona

puta yang dilaksanakan oleh Sultan atau Walikota (pemimpin), dilaksanakan jam 00.00

tanggal 12 Rabiul Awal, Gorano Puta diawali dengan pembakaran kemenyang

dilanjutkan dengan pembacaan barzanji dialek Buton; 2) Haroana mia bari, yakni

perayaan maulid yang dilaksanakan oleh masyarakat umum, pada acara ini yang dibaca

adalah syarful anam diiringi ganda maludu (rebana maulid) yang dilaksanakan setelah

shalat Isya sampai jam 10 pagi; dan 3) maluduana hukumu yang dilaksanakan oleh

imam masjid Wolio, pelaksanaan ini merupakan penutup dari semua peringatan

58

Wawancara dengan Asiri (21 Tahun) pelatih dan pelaku seni ganda maludu, wawancara di

kediamannya kelurahan Melai tanggal 17 Juni 2014.

Page 34: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 34

maulid, adapun pelaksanaannya jam 00.00 tanggal 29 atau 30 Rabiul awal, ritualnya

sama dengan Gorona puta.

Adapun pelaksanaan ganda maludu (rebana maulid) hanya dilaksanakan oleh

masyarakat umum. Rebana maulid dengan pembacaan syair syarful anam selain pada

perayaan maulid (tanggal 12 sampai 29/30 Rabiul awal), seni ganda (rebana) ini juga

dilaksanakan pada acara posuo (pingitan) tanpa mengenal hari dan bulan. Pelaku seni

ganda maludu saat ini hanya ada empat kelompok di Baubau.

DAFTAR PUSTAKA

AAlquran dan terjemahnya Kementerian Agama RI

Alhadza, Abdullah, dkk. 2009. Sejarah Penyebaran Islam di Sulawesi Tenggara. Kendari: Universitas Muhammadiyah Kendari.

Azra, Azyumardi. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina.

Budiawati, Erni. 200. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Wetu Lima. Yogyakarta: LKiS.

Danandjaya, James. 1990. Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Folklor, dalam Amiruddin (ed) Pengembangan Penelitian kualitatif dalam Bidang Bahasa dan sastra. Malang: YA3.

Fazlurrahman. 1986. Islam. New York: Holt Reinhart Winston.

Gie, The Liang. 1996. Filsafat Seni, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB,

Kantor BPS Kota Baubau. 2013. Baubau Dalam Angka Tahun 2013.

Koentjaraningrat. 1980. Pokok-Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbitan Universitas.

M. Alifuddin. 2007. Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Nun, A.Azis, dkk. 1979. Naskah dan Penuntun Tentang Kesenian Daerah Sulawesi Tenggara dan Pementasan Kesenian dan Duta Seni. Kendari: Poyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Sulawesi Tenggara.

Poespowardojo, Soerjanto. 1986. ‚Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi, Kepribadian budaya bangsa (local genius), Ayotrohaedi (ed.) Jakarta: Pustaka Jaya.

Rabbani, La Ode. 2010. Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Yogyakarta: Ombak.

Rahman, Ruslan. 2005. Parabela di Buton: Suatu Analisis Antropologi Politik. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (disertasi belum terbit).

Rahmawati, dkk. 2011. Inventarisasi Sastra Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Page 35: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 35

Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STSI Bandung.

Schroorl, Pim . 1994. Ideologi and Change in Early State of Buton dalam G.J. Schute (ed) Istate and Trade in The Indonesian Archipelago, Leiden

Soebadio, Hartati. 1992. ‚Sastra dan Sejarah‛, Jurnal Arkelogi Indonesia, No. 1/Juli, Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1992, ‚ Pertemuan Ilmiah Arkeologi III-1983, hal. 1204-1219. Jakarta: Depdikbud.

Suhri, Susanto. 2010. Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana. Jakarta: RajaGrapindo Persada.

Supriyanto, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara. Kendari: Kerjasama Kantor Wilayah Departemen Agama Prov. Sulawesi Tenggara dengan Universitas Muhammadiyah Kendari.

Yunus, Rahim. 1995. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19. Jakarta: INIS.

136

Page 36: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 36

UCAPAN TERIMA KASIH

Vol.4 No.2 Desember 2014

Redaksi Jurnal Studi Islam mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan

setinggi-tingginya kepada penyunting ahli (mitra bestari) yang telah bekerjasama

dalam menyunting artikel-artikel dalam Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon:

Prof. Dr. M. Amin Abdullah

Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Prof. Dr. Sayyid Agil Husein Al-Munawar, M.A.

Guru Besar Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Prof. Dr. H. Supiana, M.A.

Guru Besar Pendidikan Islam Universitas Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung

Prof. Dr. Natsir Mahmud, M.A.

Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Page 37: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 37

PERSYARATAN NASKAH JURNAL STUDI ISLAM

A. Sifat dan Substansi

1. Tulisan berupa hasil penelitian, artikel ilmiyah, ringkasan atau elaborasi tesis dan

disertasi, book review, dan terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia.

2. Wacana yang dikembangkan dalam tulisan ini, tampak aktual, menarik, dan

mendalam yang berkaitan dengan Islamic studys yang dilihat dari berbagai

macam perspektif. Tulisan yang diajukan dapat berupaka kajian tokoh.

B. Bahasa dan Teknik Penulisan

1. Tulisan dapat diekspresikan dalam bahasa Arab, Inggris dan Indonesia.

2. Panjang Tulisan berkiran 7500-8000 kata atau sekitar 15-20 halaman kwarto(A4)

tidak termasuk abstrak dan biodata singkat, dengan spasi 1,5 ditulis dengan Times

New Roman dan Tradisional Arabic berukuran 14 untuk bahasa Arab. Sedangkan

ukuran untuk yang bahasa Indonesia dan bahasa Inggris fonts 12.

3. Sistem pengutipan harus dibuat dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap

dan ditulis dengan body text.

4. Daftar pustaka harus disertakan di akhir tulisan dan disusun secara alfabetis.

5. Penulisan hendaknya memperhatikan konsistensi pengguaan transliterasi dan

ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

6. Untuk memudahkan pembaca dan penulis abstrak tulisan 200-250 kata atau 1.5

halaman dan biodata singkat penulis.

7. Tulisan yang dimasukkan di jurnal studi Islam dalam bentuk print out disertasi file

softdisk.

C. Sistematika Penulisan

1. Judul, Nama, Tepat Tugas, email

2. Kata kunci

3. Abstrak

4. Pendahuluan

5. Pembahasan

6. Penutup

7. Daftar Pustaka

D. Lain-Lain

1. Tulisan tidak mencerminkan pendapat redaksi (penyunting)

2. Naskah yang dibuat diberi insentif

3. Naskah yang telah diserahkan menjadi milik penyunting.

4. Artikel yang dikirim disertakan copynya dalam disket yang terformat MS

Word (RTF).

Page 38: Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon

Haroa Maludu Dan Ganda Maludu di Baubau 38

Catatan Detail Jurnal:

1. Cover ukuran 29 X21 Ful Color

2. Jumlah halaman 145

3. Jumlah Cetakan 100 Buku