14
Yuca Siahaan FENOMENA REVOLUSI HIJAU GENERASI KEDUA Hasil spektakuler dari Revolusi Hijau berupa peningkatan produksi dan produktifitas pertanian. Revolusi Hijau merujuk pada suatu proses perubahan teknologi budidaya pertanian secara besar-besaran, memamfaatkan temuan-temuan dan terobosan baru hasil penelitian di bidang pertanian yang berupa : adopsi benih dan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, pengelolaan air irigasi dan drainase, intensifikasi areal pertanian yang baru dibuka, dll. Hasil nyata yang dinikmati Indonesia yaitu tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, yang sayangnya terlepas kembali sejak awal dekade 1990-an ini. Data menunjukkan pada periode 1965-1984, tingkat pertumbuhan produksi padi, gandum, dan jagung dunia berturut-turut adalah 3,1 3,2 dan 2,8% per tahun. Angka tersebut menurun pada periode 1985-1991 menjadi 2,2 2,0 dan 0,0 %(FAO,1995). Kemungkinan besar penyebab menurunnya produktifitas tersebut adalah sumber-sumber pertumbuhan tersebut sudah terlalu jenuh (exhausted). Andalan utama Revolusi Hijau mungkin sudah mencapai titik jenuh. Juga investasi sarana dan prasarana irigasi mulai menurun terkait menurunnya penerimaan ekonomis yang dapat diperoleh oleh petani dan negara secara agregat. Saat ini proses perubahan teknologi di sektor pertanian itu telah masuk pada suatu fase yang mementingkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Perlu suatu lembaga untuk mempertahankan dan mencari sumber-sumber pertumbuhan baru di sector pertanian. Fase institusionalisasi proses produksi pertanian tersebut disebut Revolusi Hijau Generasi Kedua. Bab ini akan menguraikan fenomena Revolusi Hijau Generasi Kedua tersebut dan keterkaitannya dengan strategi dan kebijakan pangan nasional Indonesia. Gambaran Pertumbuhan Produksi Pangan Prestasi swasembada beras Indonesia pada petengahan dekade 1980-an tersebut tercapai karena pertumbuhan produksi yang cukup tinggi. Angka pertumbuhan produksi padi tercatat sebesar 3,7% per tahun (1962-1970) serta 5,2% per tahun (1971-1983). Pertumbuhan produksi di Jawa sangat berkontribusi sangat dominan terhadap kinerja pertanian Indonesia secara keseluruhan. Pertumbuhan produksi pangan secara keseluruhan periode 1971-1983 adalah 4,4% per tahun, sedikit di atas produksi pangan di Jawa pada periode yang sama, yaitu 4,2%.

Fenomena revolusi hijau

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ekonomi Pertanian

Citation preview

Page 1: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

FENOMENA REVOLUSI HIJAU GENERASI KEDUA

Hasil spektakuler dari Revolusi Hijau berupa peningkatan produksi dan produktifitas

pertanian. Revolusi Hijau merujuk pada suatu proses perubahan teknologi budidaya pertanian

secara besar-besaran, memamfaatkan temuan-temuan dan terobosan baru hasil penelitian di

bidang pertanian yang berupa : adopsi benih dan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida,

pengelolaan air irigasi dan drainase, intensifikasi areal pertanian yang baru dibuka, dll. Hasil

nyata yang dinikmati Indonesia yaitu tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, yang

sayangnya terlepas kembali sejak awal dekade 1990-an ini.

Data menunjukkan pada periode 1965-1984, tingkat pertumbuhan produksi padi,

gandum, dan jagung dunia berturut-turut adalah 3,1 3,2 dan 2,8% per tahun. Angka tersebut

menurun pada periode 1985-1991 menjadi 2,2 2,0 dan 0,0 %(FAO,1995). Kemungkinan besar

penyebab menurunnya produktifitas tersebut adalah sumber-sumber pertumbuhan tersebut sudah

terlalu jenuh (exhausted). Andalan utama Revolusi Hijau mungkin sudah mencapai titik jenuh.

Juga investasi sarana dan prasarana irigasi mulai menurun terkait menurunnya penerimaan

ekonomis yang dapat diperoleh oleh petani dan negara secara agregat.

Saat ini proses perubahan teknologi di sektor pertanian itu telah masuk pada suatu fase

yang mementingkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Perlu suatu lembaga

untuk mempertahankan dan mencari sumber-sumber pertumbuhan baru di sector pertanian. Fase

institusionalisasi proses produksi pertanian tersebut disebut Revolusi Hijau Generasi Kedua. Bab

ini akan menguraikan fenomena Revolusi Hijau Generasi Kedua tersebut dan keterkaitannya

dengan strategi dan kebijakan pangan nasional Indonesia.

Gambaran Pertumbuhan Produksi Pangan

Prestasi swasembada beras Indonesia pada petengahan dekade 1980-an tersebut tercapai

karena pertumbuhan produksi yang cukup tinggi. Angka pertumbuhan produksi padi tercatat

sebesar 3,7% per tahun (1962-1970) serta 5,2% per tahun (1971-1983). Pertumbuhan produksi di

Jawa sangat berkontribusi sangat dominan terhadap kinerja pertanian Indonesia secara

keseluruhan. Pertumbuhan produksi pangan secara keseluruhan periode 1971-1983 adalah 4,4%

per tahun, sedikit di atas produksi pangan di Jawa pada periode yang sama, yaitu 4,2%.

Page 2: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Peranan pertambahan areal panen sangat signifikan terhadap pertumbuhan produksi beras

dan bahan makanan tersebut. Laporan Tahunan Bank Dunia (1995) menunjukkan pada 1979-

1993 pertumbuhan produksi bahan makanan per kapita Indonesia hanya 2,2% per tahun. Angka

tersebut lebih rendah dari China(3,0%), Malaysia(4,3%), tapi lebih tinggi dari Thailand (0,0%),

Jepang(-0,3%), AS(-0,3%) serta negara Afrika lain yang angka pertumbuhannya negatif.

Dari data-data tersebut dapat ditarik generalisasi bahwa laju pertumbuhan produksi sektor

pertanian mengalami perlambatan pada dasawarsa terakhir. Konversi lahan sawah produktif di

Jawa menjadi kegunaan lain signifikan, karena konsumsi beras terus meningkat menurut waktu.

Fase Institusianalisasi Proses Produksi

Fase institusionalisasi proses produksi di bidang pertanian lebih mengarah pada

pemberdayaan perangkat kelembagaan dan sos-ek masyarakat untuk meningkatkan efisiensi

penggunaan faktor-faktor produksi. Jika sudah diketahui bahwa proses produksi telah berada

pada fase peningkatan yang semakin menurun (the law of diminishing returns). Maka strategi

pertumbuhan yang mempertimbangkan faktor kelembagaan dan sos-ek hampir mutlak.

Dalam bahasa ekonometrika, kerangka analisis pada Revolusi Hijau Generasi Kedua

pada hubungan input (sebagai peubah tetap) dan aspek kelembagaan dan sos-ek(sebagai peubah

bebasnya). Fokus analisis lebih pada karakteristik model fungsi produksi batas atas (frontier

production function model).

Peubah-peubah institusi yang mempengaruhi penggunaan input modern dapat dikelompokkan

menjadi:

1. Akses terhadap sarana/prasarana public yang meliputi : jalan, sekolah, saluran irigasi;

2. Kelembagaan pasar yang meliputi : pasar pupuk, kredit, tenaga kerja, dan pasar output;

3. Penyebaran informasi pertanian;

4. Struktur kepemilikan lahan serta sumber daya penting lainnya, seperti: sumur pompa dan

traktor tangan; serta

5. Karakteristik fisik seperti jenis, iklim, dan struktur sosial yang mendukungnya.

Penjelasan Secara Empiris

Page 3: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Skenario di lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut : tingkat penggunaan pupuk, benih

unggul, air irigasi, dan bahkan tenaga kerja luar keluarga sangat dipengaruhi oleh kondisi sarana

dan prasarana setempat serta keempat faktor kelembagaan lainnya. Sebagaimana yang terjadi

belakangan ini di beberapa tempat di Indonesia, tingkat penggunaan pupuk sangat dipengaruhi

oleh kelembagaan pasar pupuk serta input-input lain. Semakin tinggi harga eceran tertinggi

efektif pupuk, semakin rendah tingkat penggunaan riil pupuk yang mungkin akan sangat

mempengaruhi produktifitas pertanian. Semakin sempurna aliran informasi tersebut sampai pada

petani, semakin sempurna pula tingkat dan kombinasi penggunaan lahan faktor-faktor produksi

pertanian.

Implikasinya adalah apakah system penyuluhan pertanian dengan metode latihan dan

kunjungan (LAKU) seperti yang sangat popular pada periode Revolusi Hijau masih relevan saat

ini atau tidak. Petani perlu teman diskusi, pendorong motivasi yang mau mendengarkan keluhan

serta jalan keluar menangani permasalahan yang dihadapi.

Metode penyampaian informasi yang efektif untuk keperluan ini adalah pendekatan

farmer-first (prioritas petani), suatu metode yang partisipatif dan bertujuan untuk meningkatkan

keberdayaan petani.

Walaupun struktur kepemilikan tetap menjadi faktor utama pada pengambilan keputusan

untuk mencapai tingkat efisiensi, tetapi tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi

sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek institusi, seperti terbatasnya akses kredit, informasi pasar

input dan output yang dihadapi oleh para petani kecil dan penyakap.

Operasionalisasi dan Langkah ke Depan

Tekanan pembahasan lebih pada efisiensi penggunaan teknologi biologis-kimiawi seperti

benih unggul, pupuk, pestisida, dll. Perubahan fokus Revolusi Hijau Generasi Kedua ini harus

dilakukan secara menyeluruh, lebih serius, dan dilengkap kebijakan public yang memadai.

Penelitian dan penelusuran lebih dalam tentang hubungan fungsional antara tingkat penggunaan

input produksi pertanian dengan aspek kelembagaan serta kondisi sos-ek yang melingkupi proses

produksi masih harus terus-menerus dilakukan. Sementara itu, penentuan tingkat efisiensi teknis

dan ekonomis, seperti pada fase sebelumnya, tetap diperlukan untuk mengetahui derajat

kejenuhan penggunaan suatu input.

Page 4: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Upaya operasionalisasi untuk mendukung Revolusi Hijau Generasi Kedua itu misalnya

dapat diwujudkan melalui penelaahan yang terus-menerus untuk menemukan spesifikasi

produksi yang ampuh sesuai dengan kondisi agroklimat serta setting kelembagaan suatu daerah

tertentu. Perbaikan kondisi sos-ek serta fungsi-fungsi kelembagaan tersebut dapat ditempuh

melalui desentralisasi perumusan kebijakan teknologi (site-specific technologies) di bidang

pertanian. Dalam jangka panjang, desentralisasi dapat mengurangi perbedaan tingkat efisiensi

penggunaan faktor produksi serta produktivitas pertanian antarwilayah seperti yang dialami oleh

Pulau Jawa dan pulau-pulau luar Jawa selama ini.

INSTITUSIONALISASI REVOLUSI HIJAU

Pada beberapa tempat di negara-negara berkembang terjadi ketimpangan pendapatan,

tentu bukan karena andil Revolusi Hijau semata, tetapi lebih pada ketidakmampuan sutu proses

perubahan teknologi dalam menjawab tekanan penduduk terhadap lahan-lahan pertanian.

Sehingga isu sentral yang layak mendapat perhatian dalam waktu dekat adalah antisipasi fase

institusionalisasi dalam perubahan teknologi pertanian, seperti yang akan diuraikan pada bab ini.

Revolusi Hijau Generasi Pertama

Revolusi Hijau disini merujuk pada suatu proses perubahan teknologi budidaya pertanian secara

besar-besaran, memamfaatkan temuan-temuan terobosan baru hasil penelitian di bidang

pertanian berupa : adopsi benih dan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, pengelolaan

air irigasi dan drainase, intensifikasi areal pertanian yang baru dibuka, dll.

Di Indonesia, Revolusi Hijau dikenal pula dengan nama Sapta Usaha, yang meliputi :

1. penggunaan benih dan varietas unggul

2. pemberian pupuk dan pemupukan yang tepat

3. pengaturan pola tanam

4. pengaturan irigasi

5. penanggulangan hama dan penyakit

6. penyuluhan

7. penanganan dan pemasaran pasca panen

Page 5: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Berkat usaha yang tidak kenal lelah para petani, Indonesia berhasil mencapai

swasembada beras pada tahun 1984, tetapi sangat disayangkan ketika pada awal dekade 1990-an

Indonesia kembali pada daftar tetap impotir beras. Sebab utama penurunan produksi beras

Indonesia adalah seperti kekeringan, gagal panen, hama penyakit, dan hilangnya areal sawah

subur selama sepuluh tahun terakhir.

Teknologi biologis-Kimiawi yang selama ini adalah andalan dari revolusi hijau sudah

mulai menurun dan erat kaitannya dengan penerimaan ekonomi negara secara agregat.

Saat ini proses perubahan teknologi di sektor pertanian telah masuk pada fase yang lebih

efisien pada penggunaan faktor-faktor produki. Artinya, terdapat suatu aspek kelembagaan yang

cukup krusial dan perlu mendapat perhatian yang memadai untuk mencari sumber-sumber

pertumbuhan baru di sektor pertanian. Para ahli menamakan fase ini Revolusi Hijau Generasi

Kedua.

Revolusi Hijau Generasi Kedua

Revolusi Hijau Generasi Kedua tidak lagi berlandaskan pada peningkatan penggunaan

input-input modern atau teknologi biologis-kimiawi, melainkan lebih berpedoman pada aspek

efisiensi penggunaan bibit unggul,pupuk, pestisida dan lain sebagainya.

Di Indonesia, tingkat penggunaan pupuk sangat dipengaruhi kelembagaan pasar pupuk

serta input-input lain. Semakin tinggi harga eceran tertinggi pupuk, semakin rendah tingkat

penggunaan riil pupuk yang mungkin akan sangat mempengaruhi produktivitas sektor pertanian.

Demikian pula tentang proses penyebaran informasi pertanian. Semakin sempurna aliran

informasi sampai kepada petani, semakin sempurna pula tingkat dan kombinasi penggunaan

faktor-faktor produksi pertanian.

Langkah Antsipasi Ke Depan

1. penelaahan yang terus-menerus untuk menemukan spesifikasi produksi yang ampuh

dan sesuai kondisi kelembagaan suatu daerah tertentu

2. desentralisasi perumusan kebijakan teknologi di bidang pertanian melalui perbaikan

sosial-ekonomi serta fungsi-fungsi kelembagaan yang ada

3. pendekatan dialogis antara para petani, peneliti, dan petugas pertanian lapangan

Page 6: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

4. para pengamat, peneliti dan perumus kebijakan menyempurnakan adaptasi teknologi

biologis-kimiawi

REVITALISASI PARADIGMA PEMBERDAYAAN PETANI

Paradigma pemberdayaan petani masih belum mampu diterima secara baik di kalangan

para ilmuwan pertanian dan pangan. Sementara itu, harapan yang terlmpau besar terhadap sektor

pertanian sebagai penghela perekonomian dari krisis yang berkepanjangan. Beberapa anggapan

klasik dan keyakinan sebagian besar masyarakat bahwa nusantara adalah tanah surga, tongat

kayu pun bia jadi tanaman mungkin akan memperbesar harapan. Lebih kompleks lagi karena

para praktisi di sektor pertanian mengatakan bahwa serangkaian masalah yang menyelimuti

sektor pertanian bersumber dari luar sektor pertanian. Lihatlah betapa petani cabai, jagung sangat

tidak berdaya menghadapi “kolusi harga” para pedagang besar. Demikian pula, petani harus

melaksanakan paket-paket kebijakan titipan dengan dalih untuk kepentingan nasional yang lebih

besar yakni swasembada pangan, diversifikasi peningkatan tanaman ekspor.

Perhatian penelitian pertanian selama dua dasawarsa lebih berokus kepada pertanian

tanaman pangan. Salah satu ciri penelitian di bidang pertanian di bidang tanaman pangan

khususnya padi sawah adalah karakteristik penelitian komponen yang masih lebih dominan.

Balai-balai penelitian cenderung melakukan penelitian replikasi beberapa komponen tekhnologi

dengan suatu dsiplin ilmu tertentu. Hasil penelitian biasanya dikirim kepada para pejabat

pemerintah baik melalui saluran birokrasi maupun melalui saluran seminar, dari sinilah

kemudian suatu paket kebijakan dirumuskan. Selanjutnya paket kebijakan disampaikan kepada

para petani melalui penyuluhan. Hampir dapat dipastikan dengan pola seperti ini akan sedikit

sekali terjadi interaksi antara penelitian, penyuluhan dan pengabdian masyarakat secara umum.

Lebih parah lagi pola ini kebutuhan dan keinginan petani tidak dapat tersalurkan pada para

peneliti. Hal ini tentu akan berakibat pada mandegnya dialog antar petani dan penyuluh pertanian

lapangan karena paket tadi sudah tetap, dalam artian sedikit sekali peluang untuk menyesuaikan

dan memodifikasi teknologi terhadap kebutuhan para petani.

Mungkin benar bahwa paket ini dpat diktakan berhasil pada proses difusi atau alih

tekhnologi pada padi sawah misalnya melalui paket “Revolusi Hijau”. Alasan utamannya adalah

Page 7: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

karena lingkungan fisik dan sosial ekonomi usahatani padi sawah beririgrasi relatif seragam.

Akan tetapi, model atau pendekatan satu komando garis linier tentulah tidak dapat diterapkan

pada lingkungan yang heterogen seperti pada pertanian lahan kering umumnya. Disinilah

perlunya suatu sistem penelitian yang partisipatif dan interaktif-mutualistik dan mampu

menjembatani petani, peneliti, dan petugas lpangan penelitian. Ide dan konsep penelitian dan

pendekatan pembangunan partisipatif ini sebenarnya tidak baru dan pernah populer, tepatnya

ketika terjadi debat tentang efektivitas program BIMAS (bimbingan masal) pada pertanian padi

sawah. Pada penelitian partisipatif ini, agenda penelitian dirumuskan berdasar mekanisme

informasi yang timbal balik antara kebutuhan petani dan petugas lapangan. Dalam hal ini peneliti

lebih banyak berfungsi sebagai ujung tombak fasilitator, katalisator dai suatu proses perubahan

dan alih tekhnologi antar lembaga penelitian dengan keadaan lapangan yang sesungguhnya.

Pada sistem pertanian lahan kering, prasyarat yang hampir mutlak dipenuhi adalah bahwa

komoditas, benih/bibit dan bahan tanam hendaknya lebih environment-specific. Disamping itu,

dukungan melalui pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana pembangunan yang

terencana dan memenuhi standar kebutuhan juga tetap diperlukan. Sebagai contoh ifrastruktur

jalan desa dan jalan usaha tani. Prasyarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan

perangkat lunak yang mendukung melalui desentralisasi pola pengembangan sumber daya

manusia.

Inovasi Petani : Tulang Punggung Penelitin Pertanian

Inovasi petani memang tidak pernah diabadikan dalam bentuk tulisan apalagi dimintakan

hak paten ke Departemen Kehakiman. Kasus beras Cianjur, Cisadane, Rajalele dan Bengawan

pada tahun 1970an adalah salah satu bentuk inovasi petani. Petani mempunyai tempat

penyimpanan dan penangkaran benih sendiri di rumah, dan benih tersebut dicoba langsung di

lapangan. Benih padi tersebut dinamakan varietas lokal yang kerap kali dihubung-hubungkan

dengan produktivitas rendah, masa tanam lama dan tidak tahan terhadap pupuk. Melalui

penyuluhan dari mulut ke mulut oleh petani, varietas unggul lokal tersebut menyebar cepat sekali

hampir seluruh Jawa. Bahkan varietas lokal tersebut menyebar ke luar Jawa.

Page 8: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Alasan utama mengapa petani memilih varietas lokal karena kualitas berasnya lebih

bagus, lebih pulen dan rasa lebih enak dibaanding beras jenis IR (dari Institute Rice Reasearch di

Filipina) dan PB (Peta Baru, hasil kreasi ilmuwan di Balai Benih Departemen Pertanian IPB).

Alasan lain disamping karena kualitas rasa tadi, batang malai yang tidak getas, agak tinggi,

tingkat patahan gabah tidak terlalu besar. Petani berinovasi sebagai hasil analisis permasalahan

yang diakukannyaa sendiri. Petani kecil yang hanya mempunyai lahan sedikit memutar otak

dengan cara mempraktekkan sistem tumpang sari dua atau lebih tanaman ditanam dan digilir

pada sebidang tanah. Cerita lain tentang sebenarnya inovasi “tekhnologi” baru yang dilakukan

oleh petani sebenarnya banyak sekali. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa inovasi petani

sering diabaikan. Sebaliknya, jika petani tdak menggunakan tekhnologi baru, tidak menggunakan

pupuk buatan, tidak menggunakan jarak tanam yang dianjurkan para petani sering dianggap

kuno, terbelakang.

Peneliti dan ilmuwan kadang lupa untuk mengerti bahwa kebun-kebun percobaan berada

pada tingkat optimal dan lingkungan yang memadai, kesuburan tanah tinggi, dosis pupuk dan

waktu pemupukan tepat dan hama penyakit tanaman ditanggulangi dengan baik. Peneliti sering

tidak menyadari bahwa varietas baru jenis IR tersebut tidak akan pernah lepas dari permasalahan

tingginya tingkat sensitivitas dan ketidaksuaian terhadap beberapa ragam lingkungn lapangan.

Pernah ada survei mengenai bagaimana sikap dan pandangan ilmuwan, peneliti, penyuluh dan

pegawai pemerintah terhadap inovasi petani selama ini. Sebagian besar menyimpulkan bahwa

inovasi dan kegiatan yang dilakukan petani selama ini adalah skeptis, terlalu mementingkan

kegiatan yang sebenarnya tidak optimal dan sama sekai tidak ada landasan ilmiahnya. Sebagian

saja yang menganggap bahwa kegiatan petani tersebut sangat berguna dan inovatif.

Karena inovasi petani adalah tulang punggung penelitian di bidang petanian maka petani

dan ilmuwan sama-sama harus dididik lagi. Akan lebih indah lagi jika petani juga diberi

tambahan ilmu pengetahuan melalui usaha-usaha pemberdayaan posisi petani. Disinilah proses

alih tekhnologi bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tapi harus

dilengkapi dengan integrasi antar ilmuwan dan petani. Ilmuwan harus diberi pelajaran megenai

seluk beuk petani kecil agar tidak terperangkap ke dalam mitos-mitos ketidakilmiahan inovasi

yang dilakukan oleh petani.

Page 9: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Langkah Operasional Pelaksanaan

Dari beberapa kasus proses alih tekhnologi pertanian mengenai penggunaan varietas

unggul baru, penerapan pupuk, pestisida, dan penggunaan paket “Revolusi Hijau” pada beras dan

beberapa komoditas andalan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan untuk merumuskan

langkah-langkah operasional. Kadang tersirat perasaan pesimis muncul terlebih dahulu di benak

ilmuwan. Maksudnya, ilmuwan tidak kuasa menghadapi benturan-benturan birokrasi dan sering

berguman bahwa tidak akan banyak yang dapat diperbuat jika keseluruhan sistem birokras dan

profesionalisme tidak diubah. Langkah awal sebaiknya dimulai dari kita sendiri. Hal ini mungkin

klasik dan terbilang klise tapi mungkin sangat berguna.

Ada dua hal penting dalam mewujudkan langkah operasional untuk menerpkan

pendekatan prioritas petani. Pertama dengan jalan memulai “proyek moral” dimana ada

kesempatan ada sarana pendukung. Kedua dengan jalan mengubah perilaku dan tingkah laku

sebelum mengubah sikap dan sifat. Berusaha mengubah sikap dan sifat hanya menghasilkan

seperangkat kebingungan tanpa ada perubahan perilaku dan tigkah laku. Jika perjalanan sudah

dimulai, pengalaman berharga akan diperoleh dan akan mempengaruhi sikap dan pola pikir

karena sudah ada perubahan dalam perilaku dan tingkah laku. Dengan demikian, analisis oleh

dan dengan petani menjadi titik awal permulaan langkah operasional menuju pendekatan

prioritas petani. Langkah operasional berikutnya yang diperlukan adalah tersedianya wadah yang

mantap bagi para petani untuk berinteraksi aktif dan berorganisasi. Kelompok tani yang timbul

dibawah berlandaskan kekeluargaan dan kesukarelaan, karena berasal dari rakyat dan dilandasi

semangat partisipasi tinggi. Secara umum strategi pembangunan yang berorientasi rakyat lebih

menekankan pada pembangunan sumber daya manusia bukan prasarana fisik.

Masalahnya sekarang adalah kemungkinan untuk memperluas pendekatan prioritas petani

ini dalam skala yang lebih luas baik regional maupun nasional. Akan disarankan betapa

pentingnya kehadiran jenis-jenis peneliti yang mampu merakyat dan membumi. Nanti akan

dibutuhkan peneliti yang lebih besar dari biasanya karena si peneliti akan tinggal bersama petai

dan mengalami kehidupan petani. Masaah seperti ini bisa mempunyai visi yang sangat luas,

menyangkut hajat hidup orang banyak, berkaitan dengan kepentingan nasional dan internasional.

Page 10: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

STRATEGI TEROBOSAN BARU DISTRIBUSI BAHAN POKOK

Sejak awal 1998 media massa sering mengangkat berita penimbunan atau menghilangnya

barang-barang kebutuhan pokok seperti beras,gula pasir,tepung terigu,minyak goreng,susu,dan

komoditas strategis lainnya dari pasaran.Sebagian besar kalangan menunjuk pada penimbunan

sebagai biang keladi kelangkaan kebutuhan pokok dan mengharapkan terdapat proses dan sanksi

hukum yang lebih memadai.Sebagian lagi menunjuk pada perilaku konsumen yang

spekulatif,memborong kebutuhan pokok dalam jumlah besar,dengan alasan ketidakpastian

perekonomian Indonesia.

`Reformasi struktural ekonomi,perdagangan luar negeri,investasi,deregulasi dan

privatisasi meliputi pencabutan Badan Urusan Logistik (BULOG),kecuali beras.Pertanyaan logis

dan skeptis pun bermunculan.Bagaimanakah sebenarnya kinerja distribusi dan manajemen

persediaan terhadap kebutuhan pokok dan komoditas strategis di Indonesia ?Langkah apa yang

sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin kelancaran aliran

komoditas?Bagaimanakah kebijakan harga yang mampu memberikan manfaat yang adil dan

berimbang baik kepada produsen,distributor dan konsumen?

Manajemen Stok Bahan Pokok

Pertanyaan-pertanyaan diatas,tentunya sangat kompleks,karena karakteristik tiap bahan

pokok berbeda.Sebagai contoh,Indonesia yang selama lebih dari satu dasawarsa mengalami

kecukupan atau swasembada beras kini harus kembali menjadi daftar penghuni tetap negara

penerima impor beras.Seluruh perhatian pun tertuju pada upaya peningkatan produksi dan

produktifitas tanaman padi,langkah manajemen persediaan dan stabilisasi harga.

Ditingkat lapangan hal itu dapat diterjemahkan sebagai pemberian intensif

ekonomi,walau bukan berupa uang dan barang,seperti subsidi harga dasar dan harga faktor-

faktor produksi yang meliputi benih,pupuk,pestisida dan lain-lain,yang bertujuan untuk petani

agar lebih bergairah lagi untuk meningkatkan hasil produksi.Aspek produksi ini sangat

bergantung pada cuaca dan alam serta faktor nonmarket seperti konversi lahan secara besar-

besaran areal lahan subur di Jawa,tingkat sensifitas kegagalan produksi pada persediaan juga

sangat besar.

Page 11: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Di tingkat manajemen persediaan,hal diatas dapat diterjemahkan sebagai strategi dan

kecukupan impor karena suplai beras dunia pun tidak terlalu banyak,serta manajemen alokasi

anggaran dan cadangan sevisa serta pemantauan di lapangan yang berfungsi untuk melindungi

sebagian besar konsumen yang sangat tergantung pada beras.Seperti diketahui,tingkat konsumsi

Indonesia adalah yang paling besar,147 kg perkapita per tahun.Manajemen persediaan tentu saja

berimpilkasi pada upaya pengurangan beras dengan kampanye diversifikasi pangan sumber

karbohidrat selain beras dn protein serta zat nutrisi esensial yang terjangkau.

Peranan pemerintah sebagai stabilisator harga pangan khususnya beras mempunyai dual

objectives,untuk melindungi petani padaa musim panen dan menetapkan harga gabah dan beras

setiap tahun disesuaikan dengan laju inflasi dan untuk melindungi konsumen pada saat musim

tanam dan krisis ekonomi,dengan memberikan harga yang terjangkau melalui operasi

pasar.Fungsi ideal logistik,distribusi dan stabilisasi harga beras,mutlak harus ditangani oleh

pemerintah,dalam hal ini BULOG,dan tidak mungkin akan diberikan secara murni kepada pasar

atau swasta,karena sektor swasta tidak mungkin akan memikirkan aspek pemerataan untuk

masyarakat.

REFORMASI STRUKTURAL SISTEM DISTRIBUSI

Komoditas bahan pokok yang menjadi perhatian utama dalam kerangka reformasi

struktural adalah minyak goreng dalam negeri yang melibatkan komoditas potensial ekspor lain

yaitu minyak kelapa sawit mentah.Kompleksitas distribusi minyak goreng ini diperparah oleh

distorsi pasar yang terjadi pada komoditas CPO atau bahan baku utama industri minyak goreng

setelah bahan baku minyak kelapa tak lagi populer.Distorsi pasar yang dimaksud adalah pajak

ekspor CPO sejak Juli 1994,dicabut,diganti pajak ekspor tambahan dan terakhir larangan ekspor

sampai bulan Maret 1998,dan bahkan akan diperpanjang.

Fenomena pergerakan harga komoditas minyak goreng sebagai salah satu proses olahan

dari CPO terkesan unik,karena keseimbangan harga baru tidak murni ditentukan oleh mekanisme

pasar (persaingan sempurna).Pergerakan harga di tingkat konsumen lebih banyak dipengaruhi

kombinasi faktor-faktor kekuatan produsen dan distributor minyak goreng yang cenderung

menjadi satu sebagai tuntunan manajemen pemasaran modern,faktor psikologis dan faktor

kepanikan ditentukan faktor eksternal perilaku konsumen.

Page 12: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Sedangkan komoditas bahan pokok lain sebagian besar sangat tergantung pada

impor,seperti tepung terigu,gula pasir,bawang putih dan lain-lain.Perhatian utama terpusat apada

distribusi dan jaminan stabilitas harga yang dapat terjangkau konsumen.Permasalahan distribusi

komoditas ini tidak hanya pada pembebasan komoditas kepada sektor pasar tetapi juga terletak

pada kinerja distribusi yang tidak efisien dalam beberapa kriteria:teknis dan ekonomis serta

pemberian manfaat yang seimbang berdasarkan jasa yang dikeluarkan,langkah yang harus

ditempuh harus terarah pada peningkatan efisiensi tersebut.

Sebagian masyarakat Indonesia,termasuk para pengambil keputusan yang tidk siap

dengan kondisi asimetri pasar seperti ini terkadang justru melakukan reaksi yang tidak terencana

dengan baik.Dalam istilah ekonomi,kondisi tersebut,dinamakan kegagalan pasar atau suatu

dampak negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat karena pasar persaingan tidak

sempurna.Istilah kegagalan pasar dapat dialamatkan pada lemahnya posisi tawar menawar

produsen karena menghadapi konsumen tunggal yang mempunyai satu kekuatan.

Barang kebutuhan pokok tersebut juga mengalami campur tangan dan salah urus

kebijakan yang bertentangan.Dalam istilah ekonomi politik dinamakan kegagalan negara tau

dampak negatif yang ditanggung masyarakat karena inefisiensi atau ketidakmampuan institusi

negara.Bentuk lain dari kegagalan negara adalah missmanagement,nepotisme,suap-

menyuap,korupsi,kolusi,manipulasi,perburuan rente ekonomi untuk kepentingan pribadi.

Perbaikan terhadap kondisi kegagalan pasar dan kegagalan negara pada saat bersamaan

tersebut tentu tidak perlu sekaligus dan gegabah.Warning dari sebagian besar pakar dan

pengamat ekonomi untuk tidak melakukan intervensi campur tangan pemerintah pada saat terjadi

kegagalan negara juga patut untuk dicantumkan secara bijaksana.

Page 13: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

Langkah Terobosan

Berikut inimungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan langkah

terobosan strategi distribusikmoditas strategis yang berjangka pendek,menengah dan panjang:

1. Pemerintah masih diperlukan perannya dalam menstabilkan harga-harga kebutuhan

pokok.BULOG dengan sisa anggarannya masih diharapkan melakukan operasi pasar

untuk beberapa komoditas strategis.Fungsi yang dijalankan pun dapat dikembalikan

kepada khittahnya sebagai stabilisator dan bukan pemain atau pelaku ekonomi.

2. Saat kondisi sudah berangsur pulih,upaya reformasi struktural tentu harus disertai

langkah stimulasi serta pemberian kemudahan yang diperlukan dalam memperlancar dan

mengikis hambatan proses masuk perusahaan baru ke dalam industri industri yang

selama ini bertumpu pada kekuatan monopolis.

3. Meninjau kembali strategi industrialisasi yang cenderung menghasilkan fenomena

integrasi vertikal dari hulu sampai hilir dan bahkan konglomerasi di segala aspek

perekonomian.

Page 14: Fenomena revolusi hijau

Yuca Siahaan

PENUTUP

Agenda Kebijakan Pertanian ke Depan

Maksud dari agenda kebijakan Pertanian ke depan ini adalah agar perhatian terhadap

diversifikasi pangan dan pengadaan beras yang berakibat langsung pada kesejahteraan rakyat

Indonesia dapat lebih ditingkatkan efektifitasnya.

Beberapa agenda strategi kebijakan pertanian dan pangan untuk reformasi adalah sebagai

berikut:

Pertama, di sektor hulu strategi pengembangan usaha tani kea rah yang lebih berorientasi

pasar dan agribisnis modern jelas amat diperlukan.Rincian strategi tersebut sangatlah luas

meliputi :

Menyediakan benih unggul di BBI dan BBU di Indonesia.

Perluasan subsidi pupuk .

Pelaksanaan kredit usaha tani dengan bunga murah.

Perbaikan teknik dan management petugas lapangan.

Sanksi hokum dan social yang tegas pada pelanggaran yang terjadi.

Kedua, di tingkat distribusi dan pengadaan bahan pangan pembenahan kerangka kerja “

penunjukan “ importir beras dan persyaratan rekanan yang jelas dan transparan.

Ketiga, penggunaan dana subsidi pengembangan pertanian dan pangan harus diarahkan

agar lebih mengefektifkan biaya, sehingga tidak memperparah defisit dan pemborosan anggaran

belanja negar.

Keempat, di bidang konsumsi bahan pangan, strategi diversifikasi pangan untuk tidak

bergantung hanya beras yang pernah popular pada decade 1980-an agar segera ditindaklanjuti

dijadikan agenda serius oleh pemerintah.

Kelima, agenda yang dapat mendukung strategi kebijakan produksi, distribusi dan

konsumsi bahan pangan adalah peningkatan akselerasi pembangunan pedesaan dengan focus

kepentingan golongan pendapatan rendah harus didukung dengan perangkat yang memadai.