10
GARA – GARA PARAFFIN Waktu sudah menunjukan pukul setengah empat sore. Langit yang semula cerah berubah menjadi gelap. Awan – awan mendung bergelayutan di sana – sini. Matahari yang semula beringas berubah menjadi matahari yang pemalu, bersembunyi di awan – awan kelabu. Aku masih belum beranjak dari tempat tidur di kamarku. Sebuah pesan Blackberry Messenger diterima smartphoneku. Pesan itu dari Obed, temanku selama sepuluh tahun belakangan ini. Jarak rumah kami memang tidak seberapa, hanya beberapa ratus meter. Hari ini, kami berencana membeli paraffin untuk tugas praktek di pusat Kota Yogyakarta. “Hmmm, selanjutnya apa ya? Ah iya! Mandi! Berat sekali rasanya melangkahkan kaki ke kamar mandi. Tapi demi teman – temanku, aku rela mandi seawal ini.” kataku bicara sendiri. Pukul 16.00, sebuah motor hitam sudah bertengger dengan manisnya di samping rumahku. Setengah berteriak, Obed yang berada di atas motor memanggil namaku. Aku setengah berlari kearah pintu dan bergegas menurunkan motorku. Untuk sesaat, aku terdiam. Pesan Blackberry Messenger dari Ivanda membuyarkan lamunanku yang melayang entah kemana. Aku langsung senyum – senyum tidak karuan. Aku memberi isyarat untuk segera menjemput Ivanda. “Sekarang?” Tanya Obed ragu – ragu dan langsung mengikutiku dari belakang. Ketika sampai di rumah Ivanda, aku tak berkata – kata, tersenyum lalu mengangguk pelan. Setelah melewati jalan setapak di area persawahan, kami sampai di rumah Ivanda. Rumah yang cukup terpencil di kampung yang sangatlah luas. “Aku bonceng kamu, ya.” “Sakkarepmu. Biasanya juga seperti itu kok.” aku melempar senyum manis. Di utara perempatan Palbapang, kami bertemu dengan Dea dan Ristya, yang kebetulan juga akan membeli paraffin. Dea dan Ristya memilih bergabung bersama kami bertiga. Di perjalanan, Ivanda

CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

GARA – GARA PARAFFINWaktu sudah menunjukan pukul setengah empat sore. Langit yang

semula cerah berubah menjadi gelap. Awan – awan mendung bergelayutan di sana – sini. Matahari yang semula beringas berubah menjadi matahari yang pemalu, bersembunyi di awan – awan kelabu. Aku masih belum beranjak dari tempat tidur di kamarku. Sebuah pesan Blackberry Messenger diterima smartphoneku. Pesan itu dari Obed, temanku selama sepuluh tahun belakangan ini. Jarak rumah kami memang tidak seberapa, hanya beberapa ratus meter. Hari ini, kami berencana membeli paraffin untuk tugas praktek di pusat Kota Yogyakarta.

“Hmmm, selanjutnya apa ya? Ah iya! Mandi! Berat sekali rasanya melangkahkan kaki ke kamar mandi. Tapi demi teman – temanku, aku rela mandi seawal ini.” kataku bicara sendiri.

Pukul 16.00, sebuah motor hitam sudah bertengger dengan manisnya di samping rumahku. Setengah berteriak, Obed yang berada di atas motor memanggil namaku. Aku setengah berlari kearah pintu dan bergegas menurunkan motorku. Untuk sesaat, aku terdiam. Pesan Blackberry Messenger dari Ivanda membuyarkan lamunanku yang melayang entah kemana. Aku langsung senyum – senyum tidak karuan. Aku memberi isyarat untuk segera menjemput Ivanda.

“Sekarang?” Tanya Obed ragu – ragu dan langsung mengikutiku dari belakang.

Ketika sampai di rumah Ivanda, aku tak berkata – kata, tersenyum lalu mengangguk pelan.

Setelah melewati jalan setapak di area persawahan, kami sampai di rumah Ivanda. Rumah yang cukup terpencil di kampung yang sangatlah luas.

“Aku bonceng kamu, ya.”“Sakkarepmu. Biasanya juga seperti itu kok.” aku melempar senyum

manis. Di utara perempatan Palbapang, kami bertemu dengan Dea dan

Ristya, yang kebetulan juga akan membeli paraffin. Dea dan Ristya memilih bergabung bersama kami bertiga. Di perjalanan, Ivanda tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya menghabiskan waktu dengan mendengarkan ocehanku tentang berbagai tugas yang menumpuk dan kekesalanku dengan Yogyakarta yang mulai sering macet. Sekali ketemu, mungkin akan mengira aku kalem dan tidak banyak bicara, tapi coba duduk satu meja, mungkin baru bisa berhenti bicara kalau ada orang bilang, “Kamu kok bawel banget sih?”.

Satu jam pertama, perjalanan masih lancer dan terasa menyenangkan. Ternyata Obed membawa kami melewati jalan yang cukup terkenal di

Page 2: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

Yogyakarta. Jalan Mataram ini memang selalu menjadi tempat favorit para pencari barang – barang berdiskon. Sesekali aku mengangguk – anggukkan kepala mengikuti irama lagu yang menghentak melalui earphone, sekedar melepas jenuh dan menghilangkan penat.

Obed yang berada di depanku terlihat menepi ketakutan di area toko sepatu. Tak butuh waktu lama, motor kami berdua sudah terparkir di depan toko. Dea dan Ristya tetap melanjutkan perjalanannya, sepertinya mereka tidak memperhatikan kami bertiga menepi. Sekejap Obed berubah menjadi kasihan, hampir tak tega memperhatikan wajahnya terlalu lama. Sulit memang menjadi orang yang mudah kasihan. Ternyata, didepan sana, samar - samar tampak beberapa polisi berjajar, mereka hanya mengatur arus lalu lintas. Obed memang takut dengan polisi, entah apa yang ada dibenaknya.

Melakukan perjalanan sendiri, jadi apapun resikonya, harus dihadapi sendiri. Tetapi ini berbeda! Kami kehilangan jejak Dea dan Ristya.

Tut… tut… tut… sambungan terputus.Sudah dua kali aku menghubungi Dea dan Ristya, tetapi tidak ada

jawaban, tak ada sinyal. Aku menutup smartphone, semakin kesal dan cemas rasanya. Aku memaksakan untuk tersenyum. Bagaimanapun, semuanya harus selesai secepat mungkin.

Di Jalan Mataram, puluhan kendaraan berlalu – lalang mengejar waktu, sudah saatnya istirahat. Kami duduk di antara etalase – etalase dan kursi – kursi yang mulai terisi pasangan – pasangan yang sedang memilih sepatu di tempat ini. Obed masih membuka status update di BBM-nya dan menghubungi teman - teman lain, untuk mencari informasi keberadaan Dea dan Ristya. Ia tentu sadar akan kesalahannya.

Aku mencoba tetap tenang dan santai dengan berandai – andai memiliki berbagai sepatu yang ada di depanku. Aku masih membuang – buang langkah diberbagai toko. Aku menikmati waktuku untuk mengagumi keindahan warna – warna dan bentuk berbagai macam sepatu. Beberapa kali aku menyentuh dan mengabadikannya dengan kamera.

“Bagus – bagus, ya, sepatu – sepatunya.” Aku mendekati Ivanda dan Obed yang sedang duduk dibangku kayu dibawah sebuah pohon rindang.

Berhubung kondisi keuangan sedang menipis, aku memutuskan membeli masker, meskipun sebenarnya di rumah memiliki beberapa. Tak ada salahnya memberi sedikit rezeki kepada pedagang kaki lima di sana.

“Masker satu berapa, Bu?”“Murah, Dik. Buat sampeyan saya beri harga grosir, empat belas ribu

saja.” Kata ibu penjual tersenyum sambil menerima uang dua lembar uang sepuluh ribuan.

Page 3: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

“Kembaliannya buat sampeyan saja.”“Oh, ya, terimakasih, Dik. Boleh ibu tahu nama kamu? Sinten

asmane?”“Hendy.” Aku mengangguk dan menjawab dengan senyum malu –

malu khas anak Yogya.Ibu itu menggulurkan tangannya. Tadinya aku tidak ingin menyambut

jabat tangannya, tetapi aku tidak ingin dianggap menyepelekan lawan bicara, nanti bisa dinilai orang aku tidak sopan.

Tenang. Aku kembali memasang earphone untuk menutupi kedua telingaku. Bisa dikatakan aku tidak akan bisa berpikir tanpa mendengarkan music. Aku mulai berpikir dengan logika. Dea dan Ristya tentu sudah terbiasa dengan jalan kota, bukan anak kampung yang baru sekali masuk kota.

Kurang dari satu jam matahari akan tenggelam. Ini belum berakhir. Matahari masih saja bercahaya. Bahkan, matahari memberikan penampilan terbaiknya pada detik – detik sebelum dia tenggelam di ufuk barat. Dengan penuh keyakinan, kami berencana mencari paraffin di lokasi lain.

“Pak, kalau Purawisata lokasinya di mana, ya?” tanyaku pada petugas parkir berbadan tambun.

“Jalan Brigjen Katamso, dari sini ke selatan, melewati tiga lampu merah, kanan jalan.”

“Terimakasih, Pak.” Aku mengangguk seolah paham. Kami ke Purawisata bukan untuk melihat konser dangdut, tetapi

didekat Purawisata terdapat toko kimia yang cukup terkenal.“Mas, minta tolong, mau menyebrang.” Pintaku kepada petugas parkir

muda.“Kamu tidak bisa menyeberang sendiri? Anak sekarang manja.”

Jawabnya ketus sambil mengunyah beberapa biji kacang tanah rebus.Sengaja aku tak memberi uang parkir. Petugas parkir itu mengumpat

pelan. Aku membalasnya dengan acungan jari tengah, telunjuk, jari manis, kelingking, dan jempol sekalian. Kami meninggalkan deretan toko secepat yang kami bisa dengan setengah kesal sebelum hujan turun membasahi Kota Yogyakarta, sebelum semua orang tumpah ruah di jalan raya untuk pulang ke rumah masing – masing.

Kurang dari setengah jam berikutnya, setelah memanfaatkan GPS yang kadang kurang akurat, kami telah tiba di Purawisata yang kondisi bangunannya rusak parah. Perkampungan padat itu terlihat sepi. Aku melihat seorang sedang duduk klesotan di antara remang cahaya lampu. Antara ingin tanya dan malu bertanya. Antara ingin tahu, mau tahu, dan mau

Page 4: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

tidak mau. Kami buru – buru mematikan mesin motor, lalu turun dan menghampiri penarik becak.

“Permisi, Pak. Maaf, lokasi toko kimia disekitar Purawisata di mana, ya?” tanyaku tanpa basa - basi.

“Kalau setahu saya, di sini tidak ada toko yang menjual bahan – bahan kimia.” ungkap penarik becak memandang datar sambil menaikkan penumpang.

“Oh, ya, makasih.” tukasku kalem, melempar senyum lalu melangkah begitu saja meninggalkan penarik becak yang menaikkan penumpang.

Aku menggelengkan kepala dan menghela napas panjang, lalu duduk di kompleks Purawisata. Ivanda dan Obed tampak melamun. Kami tetap duduk di kursi kayu selama beberapa menit, lantas kemudian bersama – sama meninggalkan Purawisata.

Aku mendapati sebuah alamat disebuah papan petunjuk, “Sari Toko Bahan Batik dan Kimia. Jalan Brigjen Katamso No. 91B, Prawirodirjan, Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.” Google Maps menginformasikankan bahwa toko sudah berada di depan mata. Dengan penuh harap, aku tersenyum membaca informasi tersebut.

Lamat – lamat terdengar adzan maghrib dari sebuah masjid. Mataku kemudian fokus membaca keterangan waktu buka toko. Aku menepuk keningku sendiri. Toko kimia tutup sebelum maghrib datang. Smartphone kembali kututup dan tersenyum kecut. Kami bertiga memandang ke mana saja mata ingin memandang, sembari menenangkan pikiran. Menghirup dalam – dalam atmosfer seni sebagai daerah istimewa yang seolah bertebaran di seluruh penjuru kota.

_ _ _Aku lantas memutuskan untuk mengambil dompet dan melangkahkan

kaki mencari minum di sebuah mini kantin lantai dasar Mall Jogjatronik. Baru ingat ternyata aku belum minum dari siang. Kami duduk lalu memesan teh melati, daun teh dengan campuran bunga melati.

Sekitar lima belas menit kemudian . . .“Ini Mas, es tehnya.”Terdengar suara lembut yang jelas – jelas bukan suara yang dilembut –

lembutkan. Suara yang terdengar seksi.Hening. Terkadang, ketika aku mulai lelah dengan pertanyaan –

pertanyaan mereka yang mungkin saya anggap sepele, jawaban sekenanyalah yang saya sampaikan sampai tetes penghabisan terakhir segelas teh cup dinginku. Diam – diam, sesekali aku mengalihkan pandanganku pada perempuan penjaga kedai, kecantikannya sungguh sulit untuk ditolak dan mengalihkan pandangan. Dengan kemeja putih yang

Page 5: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

sudah dibuat body fit alias pas dengan badannya yang mempesona. Setiap kali ia melirik ke arahku, aku selalu berusaha berpura - pura tidak memandangnya. Malu juga kalau ketahuan. Mungkin memang banyak wanita sepertinya pada zaman sekarang. Aku tidak menyalahkan, toh aku melihat sendiri perjuangannya mencari uang dengan memanfaatkan keindahan wajah dan tubuhnya sebagai penjaga kedai, jadi pusat perhatian setiap kali melintas kedai.

Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Lima jam sudah berlalu dari waktu pulang sekolah. Tak terasa malam telah menjelang, udara dingin mulai merasuk, langit tak lagi biru, dan kegelapan merayapi kota menambah syahdunya malam. Kutengadahkan kepalaku sejenak, kupandangi langit yang bertaburan penuh bintang.

Rasa hati sebenarnya masih ingin mencari dan terus mencari. Ah sudahlah. Rasa malas telah menjalar disekujur tubuhku.

Aku memutuskan untuk segera pulang. Aku menerima feeling yang kurang baik.

“Sudah malam, pulang saja, yuk!” “Lah, kita kan belum beli paraffin, kalau dimarahi Bu Kristin?” Obed

mulai merasa was – was.“Hm. Nggak usah takut. Lha wong Bu Kristin aja guru baru kok.”Aku tertawa mendengar kalimat yang dilontarkan Ivanda.“Hm. Apa bedane? Kita juga siswa baru di sekolah.” Kataku dalam hati

sambil mengernyitkan dahi.Tidak dipungkiri, kadang aku kebingungan untuk menyalahkan atau

membenarkan keputusanku untuk pulang. “Henceeek…” suara Obed memecah lamunanku, memanggil nama

ngetrend – ku.“Ya?” sahutku.“Cepat sedikit!” ajaknya. Kaki – kaki kecil kami berjalan begitu gesit

mencari – cari celah jalan diantara roda – roda kendaraan yang terparkir.

Perjalanan belum selesai. Kami menuju ke toko Mayar, toko yang sebenarnya lebih mirip dengan minimarket. Toko Mayar terkenal di Bantul, karena memiliki letak yang strategis dekat dengan perumahan warga dan keramahan serta harganya yang murah. Ketika masuk toko, sang kasir memberi salam.

“Selamat datang di toko Mayar, selamat belanja.” Ah, kata – kata itu sungguh sangat familiar di telinga.

Page 6: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

“Ini saja? Ada tambahan lain? Isi pulsanya sekalian? Ada kartu member?”

Aku menggeleng.“Ada uang pas? Uangnya sepuluh ribu, ya.”Aku menggeleng lalu tersenyum.

_ _ _ Malam itu, Obed berinisiatif mengajak aku dan Ivanda untuk melewati jalan desa tengah bulak demi menghindari polisi. Jalan yang akan kami lewati sangat popular bagi pengendara yang tidak bersurat – surat lengkap, jalan gaburan dara. Tetapi, sepertinya jalan yang kami lalui bukan seperti biasanya. Tak kulihat satu orangpun yang muncul dari ujung jalan itu, bahkan tidak ada ayam berseliweran, apalagi berebutan makan. Di depan kami, tampak pengendara motor yang tiba – tiba menghilang seperti ditelan gelapnya malam.

Hari pun semakin beranjak gelap dan semakin mencekam. Sekilas, aku melemparkan pandangan ke sekitar. Pohon – pohon tua berakar gantung yang berdiri angker di pinggir jalan, daun – daun kering yang berseliweran tertiup angin persawahan membangkitkan pikiran – pikiran burukku.

Aku menarik napas dalam – dalam. Kuburan. Glek… Aku merasa telingaku berdengung keras, membuatku mendadak tuli. Jantungku baru saja berhenti berdetak. Dadaku terasa begitu sesak, seperti ditindih beban yang lumayan berat, membuatku tidak dapat bernapas dengan baik.

Rasa dingin menghujam tubuhku tanpa terduga, membuatku mendadak menggigil hebat membeku. Rasanya ingin berteriak dan berlari , tak akan pernah kembali lagi untuk berada di sini. Kami lalu putar balik dan terus mempercepat laju kendaraan tanpa menoleh lagi diikuti.

Kami berhenti di dekat toko Mayar lagi. Tak seperti tadi, kami menepi di pinggir jalan raya. Tangan masih terasa kaku. Kaki lemas, seakan – akan persendian siap ditarik. Hmm. Aku menghela napas panjang. Rasa sesak di dada mulai berkurang. Aku bisa bernapas sedikit lega.

Aku bercermin. Kupandang wajahku, tampak raut wajah pusat pasi diantara kabut – kabut dingin dan debu yang menempel di kaca spion. Maklumlah, jalan di daerah kampung masih berbatu dan bertanah lempung.

“Ah, ternyata kita masih tetap hidup.” Kataku kepada Ivanda, yang sedari tadi duduk terdiam dibelakangku.

Kembali ku tatap wajah kedua temanku. Wajah mereka pun basah karena keringat. Dingin yang kami rasakan seolah – olah larut bersama keringat ini. Aku tersenyum. Sebaris senyum lebar menghias wajah ku. Tanganku berkacak di kedua pinggangku.

Page 7: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

“Tadi itu kuburan?” “Kok ada pendapanya?” tanya Obed dan Ivanda hampir bersamaan.

Aku tidak mengiyakan betul atau salah pertanyaan mereka. Biarkan mereka sendiri yang mencari tahu jawabnya.

“Ah ha ha ha… Dasar pengecut! Penakut! Hah.” Kalimat bernada bullying terlontar dari mulutku untuk mencairkan suasana. Namanya juga berteman, serasa ada yang kurang tanpa bullying.

Ya, sejak awal aku akrab dengan dunia supranatural. Penakut tapi dekat dengan hal – hal horror, tetapi sama sekali tak berminat dengan hal – hal berbau makhluk gaib.

---Jam menunjukan pukul 21.00, aku sudah tidak sabar untuk segera tiba

di rumah. Sembari melewati jalan setapak menuju rumah, aku memandang gelapnya langit malam sambil tak henti berucap, “Terima kasih, Tuhan”.

Waktu menunjukan pukul setengah sembilan. Pintu rumah belum tertutup rapat. Aku kemudian mulai masuk rumah.

Kreeek.. Ngiiik…Bersamaan dengan suara menderit, kayu berdinding gebyog terbuka.

Aku melepas sandal dan membersihkan kakiku di keset bertuliskan Welcome.

Sesampainya di dalam rumah, aku menyapa seisi rumah, “Halloo?”. Tidak ada satupun orang yang menjawab. “Halloo?” sapaku lagi. Tetap tidak ada yang membalas.

Televisi layar cembung hitam putih menyuguhkan sinetron Tukang Bubur Naik Haji di RCTI. Televise masih menyala, merupakan indikasi masih adanya kehidupan di rumah. Ya, sinetron ini merupakan kesukaan simbah putri. Tetapi, di mana simbah? Mungkin simbah sibuk menyeterika baju kebaya dan kain jariknya lusuhnya.

Waktu sangat cepat berputar. Aku memutuskan untuk beringsut masuk ke kamar tidur. Kain seprai tampak lungset. Begitu juga bantal dan guling sudah tidak beraturan letaknya. Lelah, satu kata penuh makna.

Seandainya aku punya mesin waktu, seandainya aku boleh meminta kepada Tuhan, aku ingin memutar kembali waktu pulang sekolah hari ini. Cukup membeli lilin merk cap Matador di warung Mbak Marsih atau Mbokdhe Koso, atau bahkan cukup meminta lilin – lilin bekas yang mengeras dan menempel di pelataran Candi Ganjuran, tanpa perlu membuang – buang bensin ke sana ke sini mencari paraffin. Ah, suatu kebodohan!

Deru angin memasuki jendela menambah indah dan syahdunya malam. Aku menatap ke luar jendela dan merenung dan terbang tinggi

Page 8: CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA

dalam khayalanku malam itu. Beberapa SMS diterima smartphoneku, tertanda pukul 19.00 WIB. Kali ini, SMS berasal dari Ristya.

“Kamu di mana?”“Aku sudah di rumah.”Aku masih linglung karena tadi sudah menerawang jauh entah ke

mana sambil membuka beberapa pesan.“Wis. Sakkarepmu.” jawabku agak ketus. Kembali sebuah pesan SMS diterima smartphoneku.“Maaf pulsa Anda tidak mencukupi. Silahkan isi ulang pulsa untuk

mengakses layanan.” tulis operator Indosat.

Esok pagi hari Selasa. Biasanya, selepas mandi aku mulai mempersiapkan materi dan buku – buku yang akan kubawa. Namun, malam ini merasa layak mendapat pengecualian untuk beristirahat sejenak dari padatnya aktivitas. Beristirahat akan sangat berguna untuk mengembalikan semangatku menjalani aktivitas pada hari – hari berikutnya. Kalau sampai malam ini tidak tidur pulas, tentu saja esok pagi badan berasa pegal semua, padahal Selasa merupakan hari panjang bagiku. Bukan hanya itu, faktor guru piket yang terkenal tidak santai selalu membayangiku, Pak Iskiyat Widihargo dan Pak Bambang Hermanto. Aku mulai memejamkan mata, menenangkan diri.