22
TUGAS BAHASA JAWA SERAT WEDHATAMA Disusun Oleh: Kelompok 4 XI MIPA 3 SMA NEGERI 1 SURAKARTA

Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

TUGAS BAHASA JAWA

SERAT WEDHATAMA

Disusun Oleh:

Kelompok 4 XI MIPA 3

SMA NEGERI 1 SURAKARTA

TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Page 2: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

ANGGOTA KELOMPOK

1. Nama Lengkap : Adinda Fatkhah Gifary

Nomor Abs. : 02

2. Nama Lengkap : Rizky Mazaya

Nomor Abs. :

3. Nama Lengkap : Tsana Salsabila Putri

Nomor Abs. : 30

4. Nama Lengkap : Puput Noviyanti Rafiqka Ningrum

Nomor Abs. : 22

5. Nama Lengkap : Muchmirul Yusa

Nomor Abs. : 18

6. Nama Lengkap : Farizqinanda

Nomor Abs. : 14

7. Nama Lengkap : Niabela Imania Putri

Nomor Abs. :

Page 3: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Bahasa Jawa Serat Wedhatama.

Tugas Bahasa Jawa Serat Wedhatama ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan tugas ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki Tugas Bahasa Jawa Serat Wedhatama ini.

Akhir kata kami berharap semoga Tugas Bahasa Jawa Serat Wedhatama ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Wa’alaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh.

Surakarta, Agustus 2015

Penyusun,

Page 4: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

DAFTAR ISI

Anggota Kelompok .................................................................................................................. ii

Kata Pengantar ........................................................................................................................ iii

Daftar Isi .................................................................................................................,................ iv

SERAT WEDHATAMA .......................................................................................................... 1

1. Identitas Serat Wedhatama ........................................................................................... 1a. Penulis Asli Wedhatama ........................................................................................ 1b. Tahun Dituis ........................................................................................................... 2c. Tahun Terbit Ulang & Penulis ............................................................................... 2

2. Ikhtisar Wedhatama ...................................................................................................... 33. Isi Wedhatama .............................................................................................................. 84. Gancaran Pupuh Pocung Pada ke-4 s/d ke-6 ................................................................ 85. Daftar Pustaka ............................................................................................................ 10

Page 5: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

SERAT WEDHATAMA

1. Identitas Serat Wedhatama

a. Penulis Asli

Mangkunegoro IV

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegoro IV terlahir dengan nama Raden Mas Sudiro, lahir pada tanggal 1 Sapar tahun Jimakir 1736 windu Sancaya atau Masehi tanggal 3 Maret 1811, Minggu Legi jam 11 malam di dalam Hadiwijayan.

Beliau putra Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I yang nomor 7 (atau nomor 3 yang laki-laki). Dari garis keturunan ayah beliau cucu Bandara Raden Mas Tumenggung Harya Kusumadiningrat, cicit (buyut) dari Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Hadiwijaya yang gugur di Kali Abu daerah Salaman Kedu (gugur tatkala melawan Kompeni/VOC). Ibu beliau adalah puteri Mangkunegoro II, jadi beliau ini cucu Mangkunegoro II dan ia diangkat sebagai anak sendiri oleh Mangkunegoro III yang kemudian dinikahkan dengan anaknya sehingga beliau menjadi menantu Mangkunegoro III.

Ia mendapatkan pendidikan dari kakeknya Mangkunegara II, setelah berumur 10 tahun oleh kakeknya ia diserahkan kepada Sarengat alias Pangeran Rio, saudara sepupunya yang kelak menjadi Mangkunegoro III, Pangeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudiro tentang membaca, menulis, berbagai cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya lima tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pangeran Rio.

Pada usia muda sekitar 15 tahun ia telah masuk dinas militer, dan menjadi taruna infantri legiun Mangkunegoro, tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi Kapten, lalu ia nikah dengan puteri KPH Surya Mataram dengan sebutan baru RMH Gondokusumo. Karena kecakapan dan memiliki bobot kepemimpinan yang tinggi ia memperoleh kepercayaan dan terpilih menjadi pembantu dekat Mangkunegoro III dengan mengangkat pepatih Dalem (patih raja dalam urusan dalam) selanjutnya menjadi ajudan dalam dan terakhir menjadi komandan infantri legiun Mangkunegoro dengan pangkat Mayor. Agar lebih menjadi akrab lagi dengan Mangkunegoro III, maka ia dinikahkan pula dengan puterinya yang sulung bernama BRA Dunuk.

Karena kepribadiannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya yang jauh, kewibawaan yaitu dalam kemiliteran, ketrampilannya dalam

Page 6: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya, ia diangkat menjadi pengganti Mangkunegara III setelah beliau wafat, ia diangkat dengan sebutan Prabu Prangwadana letnan kolonel infantri legiun Mangkunegaran pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun Jimawal 1781 atau tanggal 24 Maret 1853. Adapun gelar Mangkunegoro IV diraihnya pada hari Rabu Kliwon 27 Sura tahun Jimakir 1786, berdasarkan Surat Keputusan tanggal 16 Agustus 1857 dalam usia 47 tahun.

Mangkunegoro IV telah mencapai kematangan dalam berbagai bidang sejak sebelum menjadi raja Mangkunegaran, oleh sebab setelah ia menduduki jabatan tersebut, ia segera mengambil inisiatif dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, seni budaya dan lain-lain, sehingga ia memiliki otonomi penuh mengenai urusan ke dalam seperti halnya Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dan ia berhak mengatur pemerintahan sendiri, mengatur rakyatnya menjamin ketenteraman dan kesejahteraan mereka sebagai penguasa penuh di daerahnya. Bahkan ia merasa sebagainya raja ketiga di samping Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta sehingga pada masa pemerintahannya daerahnya bertambah luas hingga daerah Sukawati (Sragen) berkat bantuannya kepada pemerintah Inggris dalam menundukkan pemberontakan Sultan Yogyakarta.

Dalam masa pemerintahan Mangkunegoro IV diterangkan bahwa beliau mengalami kemajuan dalam segala bidang sehingga Mangkunegoro IV merupakan negarawan yang cukup terpandang. Kebesaran Mangkunegoro IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa, dapat dilihat dalam karya-karya sastra yang dihasilkannya yakin antara lain, Tripama, Manukarsa, Nayakawara, Yogatama, Paramnita, Pralambang lara kenya, Langen swara dan lain-lain. Dari hasil-hasil karya sastra di atas, Mangkunegoro IV dipandang sebagai salah seorang sastrawan dalam masa kebangkitan kembali kesusastraan Jawa baru dalam masa Surakarta.

b. Tahun DitulisSerat Wedhatama ditulis asli oleh KGPAA Mangkunegoro IV pada kurun tahun 1853 sampai dengan tahun 1881.

c. Tahun Terbit Ulang & PenulisKatalog : #158Titel : WedhatamaVersi : PadmasusastraTahun : 1898Image : Wedhatama, Padmasusastra, 1898, #158Tipe : TerbitanBentuk : TembangBahasa : JawaAksara : Jawa

Page 7: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

Ikhtisar : Berisi ajaran filsafat hidup orang Jawa agar meneladani kehidupan Panembahan Senapati dalam mengendalikan hawa nafsu dan cinta terhadap sesama manusia. Di samping itu, juga memuat ajaran untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu, yang mencakup 4 macam ajaran sembah kepada Tuhan, yaitu: sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta, dan sembah rasa.Kata kunci : aksara, cetak, cithak, jawa, jawi, tembang, sekar, wulang, wucalData digital :1. Wedhatama, Padmasusastra, 1898, #158. Agama dan Kepercayaan | Wulang #1289.2. Wedhatama, Padmasusastra, 1898, #158. Huruf Jawa | Bacaan #151.

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa Serat Wedhatama ditulis ulang pada tahun Padmasusastra pada tahun 1898.

2. Ikhtisar WedhatamaBerisi ajaran filsafat hidup orang Jawa agar meneladani kehidupan

Panembahan Senapati dalam mengendalikan hawa nafsu dan cinta terhadap sesama manusia. Di samping itu, juga memuat ajaran untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu, yang mencakup 4 macam ajaran sembah kepada Tuhan, yaitu: sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta, dan sembah rasa. Berikut akan diuraikan biografi Panembahan Senopati sehingga bisa menjadi panutan dalam menjalani kehidupan.

Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.

Danang Sutawijaya atau Dananjaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.

Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasa.

Page 8: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

Di setiap bangsa pasti ada sosok dan tokoh yang menjadi panutan. Demikian pula dalam Kejawen. Banyak tokoh-tokoh Kejawen yang bisa menjadi panutan. Dalam Serat Wedhatama ini, tokoh yang menjadi panutan adalah Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutawijaya. Beliau adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah 1587-1601 dengan bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.

Panembahan Senopati yang juga pendiri kerajaan Mataram Islam itu memiliki kegemaran melakukan tapa brata. Tiada hari tanpa lelaku. Karena kelebihan dan kesaktian yang dianugerahkan GUSTI ALLAH, Panembahan Senopati bisa melakukan semedi di tengah samudera. Nah, sekarang kita simak apa saja pesan dari Mangkunegara IV bagi kita untuk meneladani Panembahan Senopati? Simak Pupuh II (Sinom) dari Serat Wedhatama. r sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar. Berikut ringkasan dari profil Panembahan Senopati.

Tempat Lahir : DemakNama Kecil : Danang SutawijayaMeninggal : Jenar, 1601.Pendiri : Kesultanan MataramGelar : Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin PanatagamaAyah : Ki Ageng PamanahanIbu : Nyai SabinahSebutan : Raden Ngabehi Loring Pasar

Selain itu, juga memuat 4 ajaran untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu. Berikut akan diuraikan 4 ajaran tersebut.

Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa. Berikut uraiannya.

1. Sembah RagaSembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak

laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:

Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton 34. Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan

Page 9: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.

Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.

2. Sembah Cipta (Kalbu)Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang

disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 terdahulu dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut:

Samengkon sembah kalbu/ yen lumintu uga dadi laku/ laku agung kang kagungan narapati/ patitis teteking kawruh/ meruhi marang kang momong. Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati 36 , kalbu berarti hati 37 , maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan.

Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).

Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin.

Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran

Page 10: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa.

Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.

3. Sembah JiwaSembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) 39 dengan

mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:

Samengko kang tinutur/ Sembah katri kang sayekti katur/ Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari/ Arahen dipun kecakup/ Sembahing jiwa sutengong.

Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalann hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:

Sayekti luwih perlu/ ingaranan pepuntoning laku/ Kalakuan kang tumrap bangsaning batin/ Sucine lan awas emut/ Mring alaming lama amota.

Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.

Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar

Page 11: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:

“Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono.”

4. Sembah RasaSembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya.

Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.

Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).

Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.

Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:

Semongko ingsun tutur/ gantya sembah lingkang kaping catur/ sembah rasa karasa wosing dumadi/ dadi wus tanpa tuduh/ mung kalawan kasing batos.

Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.

Page 12: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.

Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:

Iku luwih banget gawat neki/ ing rarasantang keneng rinasa/ tan kena ginurokake/ yeku yayi dan rampung/ eneng onengira kang ening/ sungapan ing lautan/ tanpa tepinipun/ pelayaran ing kesidan/ aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.

3. Isi WedhatamaSerat ini terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang dibagi dalam lima lagu, yaitu: Pangkur (14 pupuh, I - XIV) Sinom (18 pupuh, XV - XXXII) Pocung (15 pupuh, XXXIII - XLVII) Gambuh (35 pupuh, XLVIII - LXXXII) Kinanthi (18 pupuh, LXXXIII - C)

Isinya adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang berwatak ksatria.

Terdapat beberapa bagian yang dapat dianggap sebagai kritik terhadap konsep pengajaran Islam yang ortodoks, yang mencerminkan pergulatan budaya Jawa dengan gerakan pemurnian Islam (gerakan Wahabi) yang marak pada masa itu.

4. Gancaran Pupuh Pocung Pada ke4 s/d ke-6

No

.Pupuh Arti

4.. Taman limut DIRI PRIBADI, selalu menyuarakan

Page 13: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

Durgameng tyas kang weh limput

Karem ing karamat

Karana karoban ing sih

Sihing sukma ngrebda saardi

pengira

kebenaran, sehingga hawa nafsu tidak dapat

menggoda mereka lagi.

Sesungguhnya, kehadiran DIRI PRIBADI itu

merupakan anugerah Allah yang paling besar.

5.

Yeku patut tinulat tulat tinurut

Sapituduhira,

Aja kaya jaman mangkin

Keh pra mudha mundhi diri

Rapal makna.

Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut

diikuti

seperti semua nasehatku.

Jangan seperti zaman nanti

Banyak anak muda yang menyombongkan diri

dengan hafalan ayat.

6.

Durung becus kesusu selak besus

Amaknani rapal

Kaya sayid weton mesir

Pendhak-pendhak angendhak

Gunaning jalma

Belum mumpuni sudah berlagak pintar.

Menerangkan ayat

seperti sayid lulusan Mesir

Setiap saat meremehkan

kemampuan orang lain.

Page 14: Bahasa Jawa : SERAT WEDHATAMA Pada 4 s/d 6

DAFTAR PUSTAKA

http://bacailmuonline.blogspot.co.id/2012/06/mengenal-serat-wedhatama.html

www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=158

https://id.wikipedia.org/wiki/Sutawijaya

http://kawruh-kejawen.blogspot.co.id/2011/11/meneladani-laku-panembahan-senopati.html

https://googleweblight.com/?lite_url=https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2010/09/23/serat-wedhatama/&ei=KgR10MLe&lc=id-ID&s=1&m=730&host=www.google.co.id&ts=1470631028&sig=AKOVD66zyv4n9UqF20A3Pxzirq9FahNgaQ

https://kyaimbeling.wordpress.com/mangkunegaran-iv-sembah-dan-budi-luhur/

https://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Wedhatama#Isi

arti-spiritual.blogspot.co.id