1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskursus tentang kebudayaan dan agama merupakan kajian yang menarik
sepanjang masa. Banyak penelitian yang dihasilkan dari diskursus ini, mulai
dari yang sederhana hingga kompleks. Dialektika antara agama dan budaya
terjadi proses saling mempengaruhi. Pengaruh timbal balik antara ajaran
agama dan budaya merupakan kenyataan yang tak terbantahkan, bahkan ikut
andil dalam sebuah proses kehidupan.
Dalam pandangan Clifford Geertz agama merupakan sebuah sistem
simbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat. Simbol-simbol ini mempunyai
makna yang diwujudkan kedalam bentuk ekspresi realitas hidupnya.1 Oleh
karena itu Geertz lebih menekankan pada budaya dari dimensi agama. Dalam
hal ini agama dianggap sebagai bagian dari budaya. Sehingga dalam
kenyataannya, seringkali simbol-simbol itu memiliki arti penting (urgen)
dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa, dan bahkan di sinilah letak nilai
kepuasan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya. Budaya dan
agama kadang-kadang sulit dibedakan dalam pelaksanaan sehari-hari. Agama
seringkali mempengaruhi pemeluknya dalam bersikap maupun bertingkah
laku bahkan berpola pikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
kadang-kadang kurang melihat budaya-budaya masyarakat yang sudah ada.
Seperti pada fenomena ziarah kubur dikalangan umat Islam di Jawa menjadi
suatu fenomena yang memang sudah tidak asing lagi.
Bagi masyarakat Islam di Jawa, kegiatan ziarah kubur merupakan
kebiasaan dan kebuTuhan, utamanya pada hari-hari tertentu dengan tujuan dan
harapan yang berbeda-beda.
Sebagai orang Islam Jawa pastinya mengakui adanya ziarah kubur.
Namun, didalam Islam itu sendiri, ziarah kubur bukan merupakan amalan
yang diwajibkan dalam aturan agama. Sehingga dalam makalah ini kami akan
mengulas tentang fenomena ziarah kubur yang terjadi di kalangan masyarakat
1 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 5.
2
Islam Jawa, dan perspektif mereka tentang ziarah kubur, juga pendapat ulama
tentang ziarah kubur, serta tanggapan dan solusi dalam fenomena tradisi ziarah
kubur di kalangan masyarakat Islam Jawa.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang disampaikan diatas, untuk mempermudah penjelasan
dalam makalah ini, penyusun merumuskannya menjadi empat masalah, yaitu :
1. Bagaimana fenomena ziarah kubur di kalangan masyarakat Islam Jawa ?
2. Bagaimana prespektif masyarakat Islam Jawa tentang ziarah kubur ?
3. Bagaimana pendapat ulama’ tentang ziarah kubur ?
4. Bagaimana Tanggapan dan Solusi dalam Ziarah Kubur di Jawa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui fenomena ziarah kubur di kalangan masyarakat Islam
Jawa
2. Untuk mengetahui prespektif masyarakat Islam Jawa tentang ziarah kubur
3. Untuk mengetahui pendapat ulama’ tentang ziarah kubur
4. Untuk mengetahui Tanggapan dan Solusi dalam Ziarah Kubur di Jawa
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fenomena Ziarah Kubur di Kalangan Masyarakat Jawa
Secara etimologi ziarah kubur terdiri dari dua kata yaitu ziarah artinya
pergi dan kubur artinya makam, jadi ziarah kubur artinya adalah pergi
kemakam. Dalam terminologi syar’i, ziarah kubur berarti: Bepergian ke
kuburan dalam rangka mengambil pelajaran, mendoakan dan memintakan
ampun bagi mayit sekaligus mengingatkan kepada akhirat dan berlaku zuhud
di dunia. Ash Shan’ani rahimahullah berkata, “Ziarah kubur dilaksanakan
dalam rangka mendoakan mayit, berbuat baik kepada mereka, serta dapat
mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat agar berlaku zuhud di
dunia”.2
Menurut Orang Jawa Ziarah kubur merupakan satu dari sekian tradisi yang
ada di Jawa dan berkembang di masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa
makam merupakan tempat yang dianggap suci dan keramat yang pantas
dihormati terutama makam para tokoh-tokoh yang di anggap berjasa bagi
masyarakat tersebut atau biasanya makam para waliyullah. Makam sebagai
peristirahatan terakhir bagi nenek moyang,tokoh-tokoh terdahulu dan keluarga
yang telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu dapat
menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah
dengan berbagai motivasi maka bagi masyarakat Jawa ziarah kemakam sudah
menjadi kebiasaan dan kebuTuhan untuk mendoakan makam yang di
ziarahinya dan agar dapat memetik pelajaran dari perziarahnya maupun
pelajaran dari seorang kehidupan dulunya seorang tokoh tertentu.3
Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas
ziarah kubur. Ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ke kuburan
dianggap keramat sebenarnya ini terpengaruh Jawa-Hindu. Ziarah kubur
2 Yusuf Afriadi, Ziarah Kubur, http://yusufafriadi.blogspot.com/2012/05/ziarah-kubur.html, diakses pada tanggal 1 juni 2012.3 Aziz Abdul Ngashim, Nyekar Yang Berakar Telaah Arah dan Sejarah Ziarah, http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/02/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.
4
sebenarnya adalah tradisi agama hindu yang pada masa lampau memuja
terhadap roh leluhur.
Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih terbawa sampai
saat ini. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ziarah kuburan leluhur atau
tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan
atau keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi
masyarakat untuk mewujudkan keinginanya. Misalnya berziarah ke makan
tokoh yang pangkatnya tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa
pangkat yang tinggi pula. Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum
dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan ruwah menjelang ramadhan.
Pada saat itu masyarakat secara bersama-sama satu dusun atau satu desa
maupun perorangan dengan saudara terdekat melakukan tradisi ziarah kubur.
Kegiatan ziarah kubur ini secara umum disebut nyadran. Kata nydran berarti
selamatan (sesaji) ing papang kang kramat selamatan (memberi sesaji) di
tempat yang angker maupun keramat.4
Agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa. Namun,
kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak mau harus berakulturasi. Hasil
dari proses dialog antara Islam dengan budaya lokal Jawa, melahirkan
perpaduan tata nilai Islam dan budaya Jawa dengan menampilkan dua model
keagamaan yaitu Islam Jawa yang sinkretis dengan melahirkan perpaduan
antara unsur Hindu-Budha dengan Islam.5 Sinkretisme sebetulnya
mengandung semacam ironi, bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai wujudnya
yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya.
Sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian
menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang
murni di tempat asalnya di Timur Tengah.
Ajaran Islam Jawa masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat
dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Bagi Islam Jawa agama
merupakan manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan).6
4 Ibid.5 Ridwan, Suwito NS, dkk, Islam Kejawen Sistem Keyakinan dan Ritual Anak Cucu Ki Bonokeling, (Purwokwrto: STAIN Purwokerto Press, 2008), hal: 18.6 Ibid, hal: 48-49.
5
Di era sekarang untuk sebagian kaum muslimin khususnya di Indonesia,
fenomena melaksanakan ritual ziarah kubur telah menjadi sebuah tradisi yang
sangat kuat dan berlangsung turun temurun, mereka menganggap bahwa ritual
ziarah kubur adalah bagian dari ibadah ghaer makhdoh yang mesti
dilaksanakan pada setiap tahun. Bisa kita liat dikuburan khususnya kuburan
Waliyullah (9 wali), tak ada sehari pun kuburan-kuburan wali tersebut sepi
dari para penziarah, mereka datang dari berbagai pelosok negeri dengan
berbagai tujuan tertentu, ada yang bertujuan untuk mencari barokah dengan
wasilahnya (perantara) kesholehan wali itu, ada yang mencari harta,
kedudukan dan jodoh.
Puncak kegiatan ziarah Kubur biasanya dilakukan pada bulan Robiul Awal
atau bulan Mulud dalam penanggalan Jawa, dimana pada tanggal 10 bulan
robiul awal tersebut bertepatan dengan Lahirnya Nabi Muhammad SAW. Pada
bulan tersebut, makam-makam yang dianggap keramat dipadati oleh para
penziarah dengan berlatar belakang status sosial, bukan hanya dari kalangan
masyarakat mampu saja, namun kalangan lapisan bawah pun memaksakan diri
untuk mengikuti kegiatan tahunan ziarah tersebut.7
Beberapa fenomena yang terjadi di beberapa daerah dipulau Jawa tentang
tradisi ziarah kubur misalnya, Pada malam 1 sura misalnya, banyak dijumpai
pada sejumlah masyarakat yang mengunjungi tempat-tempat yang dianggap
sakral, yaitu Punden, makam, laut dan tempat-tempat lain yang dianggap
keramat. Di tempat itu pula mereka terkadang melakukan upacara ritual
pembakaran kemenyan untuk mengadakan pemujaan dan pengkultusan
terhadap benda-benda keramat secara berlebihan. Bagi muslim yang taat di
tempat itu mereka mengadakan bacaan-bacaan yasin, tahlil, istighosah
maupun bacaan-bacaan doa lain yang dianggap sebagai bacaan penting
menurut mereka. Pada momentum itu, tanpa terkecuali muslim dari kalangan
abangan, santri ataupun priyayi mereka senantiayasa meminta kekayaan,
banyak rizqi, laris dagangannya, cepat mendapatkan jodoh dan sukses dari
semua kebuTuhan hidupnya.8
7 Kompas, Dibalik Ritual Ziarah Kubur ada Bisnis yang Terselubung, http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/06/ , diakses pada tanggal 1 Juni 2012.8 Roibin, Mitos dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Kejawen, Implementasinya terhadap Perkembangan dan Dinamika Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, http://syariah.uin-
6
Tradisi ziarah kubur di masyarakat Desa Pekuncen Kabupaten Banyumas
misalnya, terdapat terdapat makam kyai Bonokeling yaitu sebuah makam dari
seorang tokoh spiritual yang diyakini sebagai tempat keramat. Keberadaan
Kyai Bonokeling pada awalnya adalah dalam rangka among tani, yaitu babad
alas untuk kepentingan membuka lahan pertanian baru didaerah tersebut.
Kehadiran kyai Bonokeling di Pekuncen disamping membuka lahan pertanian
juga menyebarkan keyakinan agama Islam dengan mengakomodasi berbagai
tata nilai budaya lokal. Salah satu karakteristik yang menonjol dari tradisi
yang ia kembangkan adalah tradisi selametan untuk berbagai kepentingan.9
Makam ini secara khusus dimaksudkan sebagai tempat orang yang
meminta sesuatu sesuai dengan hajatnya, seperti penglaris supaya laris
dagangannya, mudah mendapatkan jodoh, agar naik pangkat atau jabatan,
minta kekayaan dan sebagainya. Baru-baru ini di Desa Pekuncen terjadi
perhelatan demokrasi ala desa, yaitu pemilihan kepala desa dan menurut
penuturan Kyai Wiryatpada dua calon kades tersebut juga sowan kemakam
untuk dzikir memohon restu agar memenangkan proses pemilihan kepala desa.
Bahkan, menurut penuturan kepala desa kedungringin, desa tetengga
Pekuncen, sudah ada beberapa bakal calon bupati kabupaten Banyumas yang
ziarah ke makam ini.10
Lain lagi dengan upacara tradisi yang berkembang dalam masyarakat di
Jawa Tengah yang berhubungan dengan makam tokoh, kecenderungan
upacara tersebut berhubungan dengan ulang tahun kematian (haul) dari tokoh
yang dimakamkan dan upacara penggantian kelambu makam dari tokoh
tersebut. Hampir sebagaian besar pengunjung upacara tradisi tersebut mencari
tuah dan berkah dari tokoh yang di makamkan. Implementasi tuah tersebut
disimbolkan dalam bentuk potongan kelambu makam, makanan yang menjadi
sesaji, air dari pensucian pusaka (jamasan), dan lain sebagainya.
Upacara tradisi di makam tokoh di wilayah kabupaten Grobogan
dilaksanakan di makam Ki Ageng Selo yang merupakan upacara haul
malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012. 9 Ridwan, dkk, Op.Cit, hal: 82.10 Ibid, hal: 108.
7
kematian beliau yang jatuh setiap bulan Sya’ban pada makam Ki Ageng
Selo.11
Tradisi haul yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo erat berhubungan dengan tokoh kharismatik Ki Ageng Selo yang
oleh masyarakat kabupaten Grobogan sebagai tokoh yang mampu menangkap
petir. Keahlian beliau ini sampai sekarang masih diyakini kebenarannya.
Masyarakat Grobogan sampai sekarang masih mengucapkan kalimat “Cleret
Putrane Ki Ageng Selo” apabila ada petir pada waktu hujan deras. Dengan
mengucap kalimat itu mereka percaya akan dilindungi dari ancaman sambaran
petir ganas tersebut. Terlepas dari kebiasaan penduduk yang masih
mempercayainya, ada tradisi yang masih berjalan sampai sekarang
berhubungan dengan ulang tahun kematian beliau yang dilaksanakan setiap
tanggal 15 malam 16 bulan Ruwah/ Sya’ban. Ulang tahun kematian beliau
diperingati dengan jalan membaca Alqur’an dan tahlil secara bergantian di
dalam masjid untuk mendoakan beliau. Pada masa sekarang puncak tradisi
haul ini diakhiri dengan diadakan pengajian akbar dengan mengundang
mubalig.12
Sejak dua tiga hari menjelang haul Ki Ageng Selo banyak masyarakat
yang datang untuk berziarah ke makam untuk mendoakan beliau, biasanya
orang- orang dari luar kota. Mereka datang sambil menunggu puncak
perayaan haul pada tanggal 15 dan 16 Sya’ban. Ziarah ini dipimpin oleh juru
kunci makam dan biasanya dilanjutkan dengan melakukan tahlil di makam
beliau dan lek-lek-an bagi mereka yang ingin melakukannya. Pada saat inilah
terjadi sinkretisme antara budaya Islam dan Hindu yaitu semedi dan membaca
doa tahlil. Berdasarkan informasi dari juru kunci mereka yang melaksanakan
ritual ini biasanya mempunyai keinginan sesuatu karena mereka percaya
dengan berdoa di makam orang-orang suci doanya akan dikabulkan oleh Allah
SWT. Sebagai bentuk kompensasi dari doa yang dikabulkan mereka akan
dengan senang hati datang dan memberikan sumbangan pada waktu acara haul
ini dilaksanakan.
11 Endah Sri Hartatik, Upacara-Upacara Tradisi yang masih Berkembang di Masyrakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah, (Laporan hasil Penelitian, Diknas jawa Tengah, 2009), hal: 3.12 Ibid, hal: 5.
8
Tradisi ziarah kubur juga terjadi di Jawa Timur, seperti di daerah Gunung
Kawi yang terletak di kabupaten Malang. Bagi sebagian penduduk kota
Malang dan Jawa Timur, Gunung Kawi diyakini sebagai daerah tujuan wisata
religius untuk mencari rezeki sekaligus kemakmuran. Gunung Kawi tak
pernah sepi pengunjung. Di kaki gunung ini, tepatnya di tengah kota
Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, terdapat pesarean (pemakaman)
yang sangat terkenal, bahkan hingga ke mancanegara, yakni Pesarean Eyang
Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono atau
Eyang Soedjo. Konon, keduanya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro
yang berhasil selamat dari peperangan melawan kompeni Belanda, dan
kemudian menetap di Gunung Kawi hingga akhir hayatnya.13
Setiap hari makam ini tak pernah sepi pengunjung. Selain berziarah, para
pengunjung umumnya mempunyai satu tujuan: ngalap berkah (mencari
kemakmuran). Bahkan pada hari-hari tertentu jumlah pengunjung bisa
berlipat-lipat, mengikuti penanggalan Jawa dan China, seperti Jumat Legi,
Hari Raya Imlek, dan perayaan Tahun Baru Jawa atau bulan Suro.
Kebetulan di bulan yang diyakini sebagai bulan keramat, tepatnya tanggal
12 Suro, diperingati warga Wonosari sebagai haul (hari meninggalnya) Eyang
Soedjo. Saat ngalap berkah, para peziarah biasanya menjalani ritual tertentu
yang mereka yakini. Setelah itu mereka mencari tempat di sekitar kawasan
Pesarean Gunung Kawi untuk menyepi. Yang paling menarik adalah
berjibunnya pengunjung duduk di bawah pohon dewandaru. Konon, saat
kepala kejaTuhan daun dewandaru, keinginan bisa terwujud.
B. Ziarah Kubur Dalam Prespektif Islam Jawa
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum
bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini
terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Di antara tradisi dan budaya
ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib,
keyakinan adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti Tuhan, tradisi ziarah ke
makam orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan
13Fenomena Musyrik Pesugihan Gunung Kawi, http://www.fiqhIslam.com/index.php, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.
9
untuk persembahan kepada Tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya
permintaan tertentu.
Untuk benar-benar mengetahui tujuan mereka yang tidak secara tekstual,
namun secara nyata dilapangan, penyusun bertemu dengan SU (45), Ia terkenal
dengan penganut islam yang mempunyai latar belakang islam abangan. Ia seorang
yang sangat mengagumi sosok bung Karno. Dalam praktreknya, setiap jumat legi,
ia selalu berusaha mengunjungi makam sosok yang dikaguminya tersebut. Ia
mengaku, ketika berada di area makam adalah memang ngalap barokah dari yang
ada didalam kubur. Menurutnya, dengan ia berkunjung ke makam tersebut, ia
akan mendapat semangat baru untuk terus memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan. Dalam kunjungannya di makam bung karno, ia selalu membawa
semacam sesajen, yang diakuinya sebagai bentuk seserahan kepada yang ada di
dalam kubur. Namun, meskipun demikian, ia tetap yakin, bahwa yang membuat
keputusan tetap Tuhan.
Selain SU, penyusun juga bertemu dengan EN (53), ia menceritakan
banyak hal tentang kepentingannya ketika berziarah kubur. Ia mengaku ketika
berziarah kubur, ia hanya ngalap berkah dari tempat yang diakuinya sebagai
tempat yang mustajab, untuk berdoa. Seperti ketika ia berdoa di depan makam
Rosululloh di Madinah. Ia yakin, ketika ia berdoa ditempat tersebut, apa yang ia
inginkan akan tercapai. Sehingga, ketika ia diberi kesempatan untuk berdoa
ditempat tersebut, ia akan menyampaikan semua yang diharapkannya.
Berbeda, ketika penyusun bertemu dengan Iks (34), ia memang termasuk
orang yang masih percaya dengan adat jawa. Namun, dalam prakteknya, ketika
ziarah kubur, ia lebih bertujuan pada keinginannya untuk mengingatkan kembali
kepada kematian. Sehinga, ia mengaku ketika ziarah kubur tidak ada niatan untuk
ngalap barokah atau berharap banyak supaya keinginannya tercapai.
Dari fenomena diatas, penyusun menginterpretasikan bahwa mereka yang
mengunjungi makam pada umumnya telah dilandasi dengan niat dan tujuan yang
didorong oleh kemauan batin yang mantap. Masing-masing mempunyai motivasi
yang belum tentu sama. Secara umum, motivasi ziarah ke makam tersebut
sesungguhnya hampir sama, yaitu seputar untuk mendapat keselamatan,
kesehatan, keberkahan, kesembuhan, ungkapan syukur, kemudahan rizki, jodoh,
10
dan nasib baik. Meskipun demikian, masing-masing makam memiliki daya tarik
sendiri, yang mana hal ini terkait juga dengan kecocokan para peziarah terhadap
makam yang diyakini keramat tersebut.
Tidak sedikit ditemukan bahwa motivasi para peziarah tidaklah tunggal,
misalnya karena keinginan untuk sembuh saja, tetapi biasanya termasuk keinginan
banyak rizki, kesehatan, dan lain sebagainya. Bila dirinci secara detail, tujuan dan
motivasi yang beragam tersebut selengkapnya adalah seperti tabel berikut14;
Tabel 1:
Tujuan dan Motivasi Ziarah
No TUJUAN DAN MOTIVASI
1 Syukuran (secara umum)
2 Sebagai bagian rutinitas keagamaan
3 Bayar/memenuhi nazar
4 Ngurisang (cukuran anak)
5 Kelancaran rizki, usaha, panen
6 Menambah semangat beribadah (taqarrub)
7 Segera mendapatkan jodoh
8 Ekspresi kecintaan/kebaktian pada tokoh
9 Do’a keselamatan dan kesehatan
10 Sembuh dari sakit (minta kesembuhan)
11 Do’a menjelang keberangkatan haji
12 Memperoleh barâkah
13 Mencari nasib baik
14 Mencari pusaka/benda keramat, ilmu tertentu
15 Mengingtkan pada kematian
14 Ahmad Amir Aziz, dkk, Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman,Vol. 1. No. 1, Desember: 2004), hal: 13-14
11
16 Ingin mendapatkan anak (laki-laki/perempuan)
17 Supaya anaknya pintar dan tidak nakal
18 Sekedar mampir (rasa ingin tahu)
Kunjungan masyarakat ke berbagai makam selalu disertai dengan tradisi
dan ritual tertentu sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Model ritual ini
terkadang sangat mencolok berbeda antara satu orang dengan orang lain atau satu
rombongan dengan rombongan lainnya. Semuanya tergantung pada kebiasaan
secara turun temurun atau keyakinan yang pada pada masing-masing pihak.
Dalam ziarah kubur masyarakat melakukan berbagai ekspresi acara dan
ritual yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain atau satu rombongan
dengan rombongan lainnya. Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Ulama,
namun tidak sedikit yang merupakan warisan leluhur adat yang terwarisi secara
turun temurun. Bahkan, hingga taraf tertentu ada ritual yang tidak jelas asal
usulnya dan kapan dimulainya, dan anehnya, masih dilangsungkan secara massif.
Contohnya adalah membuat ikatan di pohon yang banyak terjadi di makam.
Secara umum bentuk-bentuk ritual para peziarah dapat dilihat dari tabel berikut;15
Tabel 2:
Bentuk Ritualisme Penziarah
NO BENTUK RITUALISME
1 Tabur kembang (nyekar)
2 Menaruh sesaji
3 Usap wajah/kepala dengan air
4 Menaruh air di makam dan membawa pulang
5 Membuat ikatan di pohon
7 Membuat tulisan/buhul di kelambu
8 Ngurisan/srakalan
9 Dzikir dan tahlil
10 Bertapa/menjalankan ‘amalan’
11 Syukuran (makan-makan)
15 Ibid, hal:15
12
12 Mengisi kotak amal
13 Membawa pulang sejimpit tanah
14 Minta doa juru kunci
15 Mengikat uang di kelambu
Ramainya para pengunjung ke makam orang-orang shaleh menunjukkan
bahwa masyarakat mempunyai kepercayaan khusus. Kepercayaan itu biasanya
berpangkal dari keyakinan tentang kekeramatan (karâmah) dari pribadi yang
dimakamkan. Seperti kata Geertz, agama merupakan sebuah sistem kebudayaan,
karena itu agama berpusat pada pikiran dan perasaan manusia yang selanjutnya
dijadikan acuan melakukan tindakan, juga untuk menafsirkan realitas yang
dihadapinya.
Sedangkan untuk pola kepercayaan para peziarah, berdasarkan temuan-
temuan dalam tradisi para penziarah muslim jawa, dapat ditipologikan ke dalam
tiga kelompok. Pertama, tradisionalisme Islam. Dalam hubungan ini, mereka
mengakui pentingnya intensitas hubungan dan kontak spiritual dari orang yang
masih hidup kepada mereka yang sudah meninggal. Bagi kalangan peziarah dalam
aliran ini, sistem kepercayaan yang diyakininya adalah bahwa yang dilakukan di
makam ini adalah mendo’akan kepada arwah yang dimakamkan di sini. Tokoh
yang dimakamkan patut didatangi kubur/makamnya karena mereka adalah Ulama
(bahkan wali) yang memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan mereka juga
memiliki jasa besar dalam pengembangan Islam. Inilah argumentasi pokok dari
keyakinan kepercayaan mereka. Sebagian lain menegaskan, kepercayaan yang
mereka anut bahwa orang yang masih hidup perlu menunjukkan bukti kebaktian,
penghormatan dan kecintaan kepada mereka yang sudah meninggal seperti halnya
anak mendo’akan orang tua yang meninggal atau embahnya dan lainnya.
Pola kepercayaan peziarah yang kedua disebut sebagai model kepercayaan
mistis. Ciri kepercayaan ini menekankan aspek kekayaan bathin dan kekuatan
supranatural dengan tanpa didasari alur logika. Sebagai contoh, prilaku peziarah
yang mengkultuskan makam dengan cara membuat tali/simpul/buhul sebagai
jimat, meyajikan sejaji di depan makam yang diyakininya sebagai syarat
terkabulnya permohonan sesungguhnya merupakan gambaran/potret kepercayaan
13
yang berbau mistis. Ikatan yang dibuat dimaksudkan sebagai tanda bahwa
seseorang talah hadir di makam dan menyatakan permohonannya. Model ini
seperti halnya kepercayaan kuno dalam komunikasi antara manusia dengan dewa.
Dalam perspektif teologi tradisional, model kepercayaan ini patut dipandang
keluar dari ajaran islam atau mendekati ke arah syirik.
Model kepercayaan ketiga, dapat disebut sebagai pola kepercayaan
rasional. Model ini dianut oleh para peziarah yang memandang kekeramatan
makam sebagai hal yang biasa, bukan luar biasa, yang mana kita cukup
menghormatinya saja dengan penghormatan yang wajar tanpa melibatkan emosi
keagamaan yang berlebihan. Kelompok ini sama sekali tidak meyakini makam-
makam dan berbagai instrumen kekeramatannya sebagai benar-benar manjur
misalnya untuk penyembuhan penyakit dan sarana mempercepat terkabulnya
keinginan, namun hanya sebagai symbol belaka yang mana fungsinya hanyalah
sebatas sebagai sugesti. Bagi kalangan ini, yang membuat do’a terkabul hanya
Allah SWT semata yang disertai usaha yang dilakukan.16
C. Ziarah Kubur Dalam Pandangan Ulama’
1. Pendapat Syekh Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah mempunyai pendapat bahwa berpergian
menuju kuburan Nabi Muhammad SAW. tanpa mengunjungi Masjid
Nabawi, ia kembali mengatakan:
Pertentangan ini, dan yang sepertinya, membuat mereka (sebagian kaum muslimin) beranggapan bahwa berkunjung atau berpergian menuju kuburan para nabi itu sebagai satu bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian ketika mereka melihat dan memahami apa yang disebut oleh para ulama mengenahi sunatnya ziarah ke kubur Nabi kita, mereka menduga semua kuburan lainnya pun berhak dikunjungi sebagaimana terhadap kuburan Nabi Muhammad SAW.
Mereka tersesat, karena beberapa alas an berikut : pertama, bahwa
safar ke makam Nabi Muhammad SAW adalah safar ke masjidnya (Masjid
Nabawi). Hal itu dihukumi sunnat (mustahabb) menurut nash dan ijmak.
Kedua, bahwa safar atau ziarah yang diperbolehkan adalah safar untuk
(menuju) masjid ketika Rasulullah SAW masih hidup dan setelah beliau
16 Ibid, hal:16-17
14
dikebumikan, serta sebelum masuk ke kamar di dalam masjid, juga setelah
masuk kamar di dalam masjid. Jadi, safar tersebut adalah safar menuju
masjid, baik didalam masjid itu ada kuburan Nabi maupun tidak ada. Oleh
sebab itu, safar seperti ini tidak dapat diserupakan dengan safar ke kuburan
belaka.
Yang ketiga, safar (berkunjung) ke masjid Nabi-yang disebut safar
atau berziarah menuju kuburannya-termasuk yang disepakati kaum
muslimin setiap generasi; sedangkan berkunjung ke kuburan-kuburan
lainnya tidak dikenal dikenal dikalangan sahabat ataupun tabi’in bahkan
atba’ tabi’in sekalipun17.
Begitu juga Syekh Ibnu Taimiyah melarang untuk membiasakan
berdo’a di depan kuburan, ataupun kuburan untuk berdo’a di depan atau di
dekatnya dengan keyakinan do’anya pasti dikabulkan jika dilakukan
kesana. Atau, jika merasakan bahwa berdo’a di dekat kuburan lebih
mungkin (dan lebih cepat) dikabulkan daripada di tempat lain. Adapun
jika seorang Muslim sedang berjalan dan kebetulan lewat kuburan lalu
berdo’a disana, atau ia menziarahi kuburan lalu mengucapkan salam
kepada ahli kubur dan berdo’a di tempat itu, maka ia tidak mesti harus
menghadap kiblat. Dan ia tidak dianggap sebagai pelaku syirk atau bid’ah.
Berikut ini teks perkataan Syekh Ibnu Taimiyah berkenaan dengan
larangaan berdo’a di depan kuburan, dalam kitab ‘Iqtidha’ Al-shirath Al-
Mustaqim halam 336, ia mengatakan:
“Di antara yang termasuk dalam kategori ini adalah menuju kuburan untuk
berdo’a disisinya atau padanya (‘inda al-qabri au li-al-qabr).
Sesungguhnya berdo’a di sisi (dekat) kuburan dan tempat-tempat lainnya
itu terbagi atas dua macam.
Pertama, boleh jadi berdo’a disuatu tempat hanya karena
kebetulan; bukan disengaja untuk berdo’a disana. Misalnya, orang yang
berdo’a di perjalanan dan kebetulan ia sedang melewati kuburan; atau
orang yang mengunjungi kuburan lalu ai mengucapkan salam kepada ahli
kubur sambil memohon kesejahteraan kepada Allah baginya dan bagi yang
17 Muhammad Al-Maliki Al-hasani, Mafahim Yajib An Tushahhah (terjemahan; Tarmana Abdul Qasim, Meluruskan Kesalapahaman, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hal; 53-54
15
telah mati.sebagaimana disebutkan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW
yang demikian ini tidak apa-apa.
Kedua, banyak atau sering berdo’a di dekat kuburan sehingga
merasakan (menganggap) berdo’a dekat kuburan itu lebih cepat dikabukan
daripada di tempat lain. Pemahaman seperti ini jelas dilarang (manhi
‘anh), baik dilarang karena haram (nahyu tahrim) maupun dilarang untuk
penyucian hamba Allah (nahyu tanzih). Tampak indikasi untuk
diharamkan lebih dekat karena perbedaan di antara keduanya amat jelas.
Seandainya seorang muslim membiasakan berdo’a dekat berhala,
atau dekat salib, atau (di dalam) gereja dengan harapan do’anya
dikabulkan di tempat-tempat tersebut, maka itu termasuk dosa besar (min
al-‘izham), dan jika seseorang menuju suatu rumah atau suatu took di
pasar atau di pojok-pojok jalan seraya berdo’a di sana dengan harapan
segera terkabul do’anya, tentu perbuatan itu termasuk kemungkaran yang
diharamkan. Sebab, berdo’a di tempat-tempat seperti itu tidak
mengandung kemuliaan atau keutamaan.
Jadi, menuju kuburan untuk berdo’a disana termasuk yang
diharamkan; bahkan lebih dilarang daripada tempat lain. Sebab Nabi
Muhammad SAW pun telah melarang pembuatan masjid dikuburan atau
menjadikan kuburan sebagai masjid. Rasulullah SAW juga melarang
berpesta di kuburan. Beliau juga tidak menyetujui melakukan salat di
kuburan; berbeda dengan tempat-tempat lainnya.”18
2. Pendapat Kaum Hanabilah
Berziarah ke (makam) Nabi Muhammad SAW itu disyariatkan dalam
Islam.hal ini telah dibahas oleh para ulama, khususnya para imam
mujtahid dari kaum salaf.sedangkan penyebutkan kaum hanabilah, secara
khusus, disini bertujuan untuk menolak kedustaan sebagian kaum
muslimin yang menuduh kaum hanbaliah tidak mempunyai pendapat yang
jelas berkenaan dengan masalah ziarah ke (makam) Nabi Muhammad
SAW. Itulah yang mendorong saya untuk mengungkapkan pendapat
18 Ibid, hal; 85-87
16
mereka secara khusus, demi menolak anggapan negative dan dusta
tersebut. Ketahui pula, sesungguhnya kitab-kitab fikih Islam-berdasarkan
berbagai mazhab semuanya membahas masalah ini.
3. Pendapat Imam Malik
Imam malik termasuk di antara kaum muslimin yang paling mencintai
Nabi Muhammad SAW dan apa yang berkaitan denganya. Bahkan, ia
tidak berani berjalan-jalan di kota madinah dengan memakai sandal
(sepatu) apalagi berkendaraan; lebih-lebih buang air besar disana. Hal ini
beliau lakukan demi menghargai, memuliakan, dan mengagungkan tanah
kota Madinah yang pernah menjadi wilayah yang dilalui Nabi Muhammad
SAW dengan berjalan kaki.
Imam malik begitu mencintai dan mengagungkan kota Madinah. Ia
bahkan tidak suka mendengar kata-kata: “Kami berziarah (mengunjungi)
kuburan Nabi Muhammad SAW”. Ia seakan lebih suka jika orang berkata:
“Kami menziarahi Nabi Muhammad SAW”; tanpa menyertakan kata-kata
al-qabr (kuburan). Sebab kata-kata al-qabr sendiri termasuk yang mahjur
“terlarang”-berkonotasi negative- sebagaimana disabdakannya:
Lakukanlah salat di rumahmu, dan janganlah kamu jadikan rumahmu
sebagai kuburan.
Jadi, Imam Malik ingin meluruskan penisbatan (idhafat) kata
ziarah kepada kata “kuburan” dan menghindari penyerupaan atau peniruan
terhadap kaum musyrikin. Hal ini dilakukan untuk menghindari bahaya
yang lebih besar.
Walhasil,jika kalau yang dimaksud Imam Malik adalah
ketidaksukaannya terhadap ziarah kubur, ia akan berkata, “Aku tidak suka
orang yang mengunjungi (berziarah) kuburan Nabi Muhammad SAW”.
Ternyata tidak, yang ia ucapkan adalah, “Aku tidak suka seseorang
mengatakan…….” Jadi jelas, beliau hanya tidak suka terhadap
penggunaan kata-kata yang tidak etis saja19.
19 Ibid, hal; 58-59
17
4. Syaikhul Islam Syekh Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-
Fairuzabadi
Syekh Majduddin mengatakan, dalam kitabnya, Al-Shilat wa Al-
basyar, “Ketahuilah, membaca shalawat dekat makam Nabi Muhammad
SAW itu sangat bagus (‘akid). Maka disunatkan memperdayakan orang
yang berpergian (melakukan safar) untuk mendapatkan keuntungan
dengan kemulian yang agung dan kedudukan yang mulia ini.” Al-Qadhi
Ibnu Kaj (Al-Qadhi Yusuf bin Ahmad bin Kaj) mengatakan tentang apa
yang dihikayatkan oleh Al-Rafi’i: “Jika seorang bernazar untuk berziarah
untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Maka, menurutku, itu
mesti dipenuhi- ini satu pendapat yang tidak ada pilihan lain.sedangkan
jika seseorang bernazar untuk berziarah ke makam selain makam Nabi,
menurutku, disitu ada dua kemungkinan pendapat. Tetapi, sebagaimana
telah diketahui, tidak mesti (memenuhi) nazar kecuali jika berupa ibadah”.
Di antara yang menyatakan secara terang-terangan suka
(mustahabb) berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan menjadikan
sunnat di antara sahabat kami dari al-syafi’iyah adalah Al-Rifi’i.Ia
menegaskan hal itu di akhir bab A’mal Al-Hajj dan Al-Ghazali dalam
Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Baghawi dalam Al-Tahdzib, Syekh ‘Izzuddin bin
Abdussalam dalam Manasik-nya; juga Abu ‘Amr bin Shalah serta Abu
Zakariyah Al-Nawawi.
Adapun dari kaum Hanbaliah adalah Syekh Muwaffiquddin dan
Imam Abu Al-Faraj Al-Bagdadi dan selain keduanya. Dari kaum Hanafiah
adalah penulis Al-‘Ikhtiyar fi Syarh Al-Mukhtar Lah. Ia membuat satu
fasal mengenai ziarah (ke makam Nabi Muhammad) seraya
menganggapnya sebagai ibadah sunnat (mandub) yang paling utama.
Sementara dari kaum Malikiah - menurut riwayat Al-Qadhi ‘Iyadh-
telah terjadi kesepakatan di antara mereka atas disunatkan berziarah ke
makam Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam kitab Tahdzib Al-Thalib
karya Abdul Haqq Al-Shaqli- dari Syekh Abu ‘Imran Al-Maliki-
disebutkan bahwa ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW itu
wajib. Abdul Haqq mengatakan; “maksudnya, termasuk diantara sunnah
18
yang wajib.” Sedangkan dalam perkataan Al-‘Abdi Al-Maliki,
sebagaimana disebutkan dalam syarah Al-Risalah: “Berjalan menuju kota
Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW itu lebih
utama daripada berjalan menuju kabah atau menuju Baitul Maqdis.
Kebanyakan istilah atau ungkapan para fuqaha, tokoh
mazhab,mengindikasikan perlunya safar atau berpergian untuk berziarah.
Mereka menyukai bagi setiap yang melakukan ibadah haji untuk berziarah,
yang diantara urgensi/kebuTuhannya adalah al-safar, berpergian.
Mengenai ziarah itu sendiri, dalil-dalinya sangat banyak; di
antaranya firman Allah SWT.: “Sesungguhnya jika mereka ketika
menganiaya dirinya dating kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah,
dan Rosul memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 4:64). Satu hal
yang pasti, bahwa Nabi Muhammad SAW itu hidup, bahwa amal-
perbuatan umatnya akan diperlihatkan (dilaporkan) kepadanya. Kemudian
Syekh Mujduddin menyebutkan sejumlah hadits mengenai ziarah.
Demikian dipaparkan Syekh Majduddin dalam Al-Shilat wa Al-Basyar fi
Al-Shalat ‘ala Khayr Al-Basyar halaman 147.
D.Tanggapan dan Solusi Dalam Ziarah Kubur di Jawa
Sebagaimana yang telah kami paparkan di atas bahwasanya masalah ziarah
kubur adalah ikhtilaf diantara kalangan ulama, ada yang memperbolehkan dan ada
yang melarang. Adapun kalangan yang melarang dikarenakan kekhawatir kepada
para muslimin meminta kepada ahli kubur dan menyakini do’anya dikabulkan,
sebagaimana pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, tapi mayoritas ulama tidak melarang
ziarah kubur atau berpergiaran ziarah ke makam-makam orang sholeh dengan
niatan bukan meminta kepada ahli kubur tapi dengan maksud untuk mendo’akan
ahli kubur dan mengirim pahala atas bacaan ayat-ayat al-Qur’an dan kalimah-
kalimah thayyibah, seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain-lain. Mereka
berlandasan dengan hadis riwayat Ahmad, Muslim dan Ashhabussunna dari
Abdullah bin Buraidah yang diterima dari bapak bahwa Nabi SAW bersabda:
19
�ت� �ن �م� ك �ك �ت هي ة� عن� ن ار ر� ز�ي�� �قب��� ا ال و�ه�� و�ر� ا فز� �ه�� �ن �م� فإ ك !ر� ذك ت���
ة� ابن الل��ه عب��د عن الس��نن وأصحاب ومسلم أحمد )رواه اآلخ�ر
بريدة(
Dahulu saya melarang menziarahi kubur, adapun sekarang berziaralah ke sana,
karena yang demikian itu akan mengingatkanmu akan hari akhirat. (HR. Ahmad,
Muslim dan Ashhabussunna)20.
Diperkuat lagi, bahwa Nabi SAW memberi tauladan dengan melakukan
ziarah ke makam syuhada’, yang kemudian diikuti oleh Syayidina Abu Bakar RA,
Syayidina ‘Umar RA dan Syayidina ‘Utsman RA. Dalam, kesempatan lain, yaitu
saat peristiwa fath al-Makkah, beliau juga menziarahi kuburan ibunya. Begitu
juga dengan ‘Aisyah RA yang berziarah ke kuburan saudaranya, ‘Abdurrahman
bin Abu Bakar. Ibnu ‘Umar berziarah ke makam ayahnya, Syayidina ‘Umar bin
Khathtab. Bahkan, disetiap hari jum’at, Fatimah binti Muhammad SAW rutin
berziarah ke makam pamanya, Hamzah.21
Salah satu tradisi yang identik dengan mayoritas Muslim Indonesia adalah
ziarah kubur khususnya di jawa, para muslimin beramai-ramai mengunjungi
makam-makam orang sholeh yang dikramatkan atau tokoh-tokoh sejarah yang
telah berjasa dalam penyebaran Islam seperti wali sanga atau tokoh yang ada di
tempat tinggal meraka. Adapun tujuan para peziarah mendatangi makam-makam
tersebut sangat beragam, ada yang karena ingin kesembuhan dari suatu penyakit,
keinginan segera menemukan jodoh, berharap mendapat rezeki melimpah, minta
laris usaha perdagangan/bisnis, ingin terbebas dari mara bahaya, sebagai bagian
rutinitas keagamaan,memenuhi nazar, ekspresi kecintaan/kebaktian pada tokoh,
memperoleh barakah, mencari pusaka/benda keramat, ilmu tertentu dan lain
sebagainya. Semua itu mereka lakukan karena keyakinannya akan kekeramatan
makam-makam tersebut. Sehingga, bila kita cermati, secara teologis keyakinan
keimanan para peziarah masih ambivalen, campur-aduk, dan tidak murni.
20 M. Afnan Chafidh,dkk, Tradisi Islami, Surabaya: Khalista, 2006, hal: 230 dan Muhyiddin abdul syomat, Al-hujjah Al-qothiyah fi shihah Al-muqtaqidat wa Al-‘amaliyat, Surabaya: Khalista, 2007, hal: 13821 Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo, Kajian Pesantren Tradisi dan Adat Masyarakat Menjawab Vonis Bid’ah, (Kediri: Pustakan Gudang Lama, 2010), hal:67.
20
Tentang ziarah kubur, satu sisi mereka menyatakan ketauhidannya secara
mutlak akan tetapi di sisi lain mereka menyimpan kepercayaan-kepercayaan
tertentu terhadap makam-makam yang dianggap keramat tersebut untuk
keberhasilan maksud dan tujuan yang mereka inginkan. Sehingga apabila mereka
melakukan ziarah ke makam-makam kuno yang diyakini masyarakat luas sebagai
tempat-tempat keramat, maka niatan mereka bisa jadi tetap berada pada garis yang
lurus (benar), atau mungkin juga telah terjadi penyimpangan sehingga dapat
membahayakan kemurnian tauhid mereka karena dalam ritualnya terjadi tumpang
tindih antara hal-hal yang berasal dari religi dan dari tradisi.
Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Ulama seperti membaca al-
Qur’an, dzikir dan tahlil kalimah-kalimah tayyibah dan lain-lainya, namun tidak
sedikit yang merupakan warisan leluhur adat yang terwarisi secara turun temurun
seperti, menaruh sesaji, membuat tulisan/buhul di kelambu, menaruh air di
makam dan bawa pulang, dan lain-lainnya. Bahkan, hingga taraf tertentu ada
ritual yang tidak jelas asal usulnya dan kapan dimulainya, dan aneh22.
Dalam menanggapi fenomena-fenomena baru dalam masyarakat seperti
halnya pertumbuhan budaya yang tidak didapati hukumnya didalam islam. Para
pemuka dalam hal ini menggunakan dua jalan. Pertama, adanya jalan
kemaslahatan semata, seperti ditempuh oleh imam al-tufi, yaitu asal pertumbuhan
budaya itu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, maka dapat diterima oleh
islam. Kedua, dengan melihat persesuaian budaya dengan syariat islam, seperti
ditempuh oleh Imam al-Syatibi, bahwasanya apabila pertumbuhan budaya itu
berguna bagi moral, jiwa, akal, harta dan keturunan, maka budaya itu bisa
diterima. Namun, apabila bertentangan dengan syariat maka harus ditolak.23
Oleh sebab itu, ketika ada sebuah budaya atau tradisi yang berkembang di
tengah masyarakat khusus ritual-ritual pada ziarah kubur yang bertentangan
dengan nilai-nilai agama Islam, maka diperlukan filter yang jelas agar budaya dan
agama dapat beriringan menuntun masyarakatnya kearah yang benar. Yaitu Filter
Akidah dan Filter Amaliyah. Filter Akidah menjadi faktor utama karena
merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan Filter Amaliyah merupakan
penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau tidak.
22 Ahmad Amir Aziz, dkk, Op.Cit, hal: 1423 Abdul Karim, Islam Nusantara, (Yoyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007). Hal :177
21
Untuk mempratekkan filter akidah, kita harus memahami sebelum budaya
atau tradisi dilegalitaskan dalam agama Islam, perlu dikenalkan lebih dahulu
keyakinan para pelaku-nya atas hokum kausalitas (sebab-akibat), yang
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam24:
1. Pelaku yang menyakini sebuah sebab bisa menghasilkan akibat tanpa
“campur tangan” Allah SWT bias membakar dan makanan dengan
sendirinya tanpa “campur tangan” Allah SWT bisa mengenyangkan, maka
ia secara ijma’, telah dinilai keluar dari agama islam.
2. Pelaku yang menyakini sebuah sebab bisa menghasilkan akibat dengan
kekuatan (rahasia) yang Allah ciptakan pada sebab tersebut. Seperti
seseorang yang menyakini bahwa api bias membakar dengan kekuatan yang
Allah ciptakan padanya dan makanan bisa mengenyangkan dengan kekuatan
yang Allah ciptatakan padanya. Merujuk pendapat Ashah , ia tidak
dihukumi kafir, namun termasuk orang fasiq dan ahli bid’ah.
3. Pelaku yang menyakini bahwa relasi (hubungan) antara sebab dan akibat
bersifat mutlak, tidak terbantahkan dan pasti tidak meleset (talazum ‘aqli),
namun meyakini pula bahwa semuanya terjadi atas tekdir Allah SWT.
Seperti seseorang yang meyakini bahwa kebakaran atau rasa kenyang
tergantung dengan api dan makanan, bila api dinyalakan dan didekatkan
pada kertas misalnya, maka pasti akan membakarnya dan bila seseorang
makan ia akan kenyang, namun ia masih meyakini bahwa semuanya tidak
keluar dari takdir Allah SWT. Orang yang berkeyakinan semacam ini
dikatagorikan sebagai orang yang bodoh dalam akidahnya.
4. Pelaku yang menyakini bahwa relasi sebab akibat tidak bersifat mutlak, bisa
terbantahkan dan bisa meleset (talazum ‘adi). Semua kebaikan dan
keburukan hanya tergantung pada takdir Allah SWT. Seperti seseorang yang
menyakini bahwa memang pada umumnya api bisa membakar dan makan
bisa mengenyangkan, namun tetap menyakini bahwa pada hakikatnya
keduanya hanyalah sebuah sebab yang bisa saja meleset dari kebiasaannya,
yang menentukan kebakaran dan rasa kenyang hanyalah Allah SWT, maka
ia dinilai sebagai seorang mukmin yang lurus akidanya.
24 Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo, Op.Cit, Hal : 309
22
Pentingnya pemahaman tentang hukum kausalitas di atas adalah untuk
menyikapi kenyakinan masyarakat atas budaya atau tradisi mereka yang cukup
bervariasi. Semisalnya dalam ziarah kubur mereka masih banyak berkenyakinan
bahwa dengan berdo’a disana bisa terkabulkan atau dengan membawa air
diletakkan dikuburan nanti bisa menyembuhkan penyakit atau menjadi sehat.
Sedangkan maksud dari filter ‘amaliyah adalah seleksi atau penilaian pada
suatu budaya, apakah budaya tersebut bisa ditolelir atau tidak. Bila suatu budaya
mau tidak mau (lazim) pasti mengandung larangan agama seperti pemyia-nyiaan
harta, maka budaya tersebut tidak layak dilestarikan. Sementara bila larangan
agama tersebut masih bisa dihindari (tidak lazim), maka sebisa mungkin larangan
agama itu dihindari, sehingga kebudayaan juga bisa dijadikan alat untuk
menyebarkan agama islam25.
25 Ibid, Hal :315
23
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwasanya ziarah kubur
merupakan proses akulturasi budaya jawa dan agama islam. Kepercayaan
masyarakat Jawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini, meskipun sudah mayoritas
agama di Indonesia adalah islam. Salah satu tradisi yang identik dengan mayoritas
Muslim Indonesia adalah ziarah kubur khususnya di jawa, para muslimin
beramai-ramai mengunjungi makam-makam orang sholeh yang dikramatkan atau
tokoh-tokoh sejarah yang telah berjasa dalam penyebaran Islam seperti wali sanga
atau tokoh yang ada di tempat tinggal meraka. Adapun tujuan para peziarah
mendatangi makam-makam tersebut sangat beragam; sehingga memunculkan pola
kepercayaan para penziarah muslim jawa terhadap kekeramatan makam tidaklah
bersifat tunggal.
Banyaknya ragam tujuan dan harapan dari ziarah kubur tersebut,
menjadikan terbentuknya bebrapa kelompok. Yang pertama adalah kelompok
tradisionalisme islam. Dalam hubungan ini, mereka mengakui pentingnya
intensitas hubungan dan kontak spiritual dari orang yang masih hidup kepada
mereka yang sudah meninggal. Selanjutnya, ada kelompok penganut kepercayaan
mistis. Ciri kepercayaan ini menekankan aspek kekayaan bathin dan kekuatan
supranatural dengan tanpa didasari alur logika. Yang terakhir adalah kelompok
yang mengedepankan rasional, model ini dianut oleh para peziarah yang
memandang kekeramatan makam sebagai hal yang biasa, bukan luar biasa, yang
mana kita cukup menghormatinya saja dengan penghormatan yang wajar tanpa
melibatkan emosi keagamaan yang berlebihan
Masalah ziarah kubur adalah ikhtilaf diantara kalangan ulama, ada yang
memperbolehkan dan ada yang melarang. Adapun kalangan yang melarang
dikarenakan kekhawatir kepada para muslimin meminta kepada ahli kubur dan
menyakini do’anya dikabulkan, sebagaimana pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, tapi
mayoritas ulama tidak melarang ziarah kubur atau berpergiaran ziarah ke makam-
makam orang sholeh dengan niatan bukan meminta kepada ahli kubur tapi dengan
24
maksud untuk mendo’akan ahli kubur dan mengirim pahala atas bacaan ayat-ayat
al-Qur’an dan kalimah-kalimah thayyibah, seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat
dan lain-lain.
Banyak cara untuk menyeimbangkan antara adat istiadat dan ajaran islam,
sehingga kita tidak terrjurus terhadap fanatisme salah satu diantranya. Salah
satunya adalah dengan menggunkan filter akidah dan amaliyah. Filter Akidah
menjadi faktor utama karena merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan Filter
Amaliyah merupakan penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau
tidak.
25
Daftar Pustaka
Afriadi, Yusuf . Ziarah Kubur. http://yusufafriadi.blogspot.com/2012/05/ziarah-kubur.html, diakses pada tanggal 1 juni 2012.
Al-hasani, Muhammad Al-Maliki. 2002. Mafahim Yajib An Tushahhah (terjemahan; Tarmana Abdul Qasim, Meluruskan Kesalapahaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Aziz, Ahmad Amir ,. Dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman,Vol. 1. No. 1, Desember: 2004)
Chafidh, M. Afnan ,. Dkk. 2006. Tradisi Islami, Surabaya: Khalista. Fenomena Musyrik Pesugihan Gunung Kawi,
http://www.fiqhIslam.com/index.php, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo. 2010. Kajian Pesantren
tradisi dan adat masyarakat, Menjawab Vonis Bid’ah. Kediri: Pustakan Gudang Lama.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.Hartatik, Endah Sri. 2009. Upacara-Upacara Tradisi yang masih Berkembang di
Masyrakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah. Laporan hasil Penelitian: Diknas jawa Tengah.
Karim, Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yoyakarta: Pustaka Book Publisher.Kompas. Dibalik Ritual Ziarah Kubur ada Bisnis yang Terselubung,
http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/06/ . diakses pada tanggal 1 Juni 2012.Ngashim, Aziz Abdul . Nyekar Yang Berakar Telaah Arah dan Sejarah Ziarah,
http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/02/. diakses pada tanggal 1 Juni 2012.Ridwan, Suwito NS, dkk,. 2008. Islam Kejawen Sistem Keyakinan dan Ritual
Anak Cucu Ki Bonokeling. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.Roibin. Mitos dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Kejawen,
Implementasinya terhadap Perkembangan dan Dinamika Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia. http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.
Syomat, Muhyiddin Abdul. 2007. Al-hujjah Al-qothiyah fi shihah Al-muqtaqidat wa Al-‘amaliyat, Surabaya: Khalista.