1MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif Jeffrie Geovanie Rizal Sukma
Pemimpin Umum Fajar Riza Ul Haq
Pemimpin Redaksi Muhd. Abdullah Darraz
Redaktur Ahli Clara Juwono Moeslim Abdurrahman M. Amin Abdullah Haedar Nashir M. Deddy Julianto Luthfi Assyaukanie AhmadNorma Permata Hilman Latief
Redaktur Pelaksana Endang Tirtana, Defi Nopita
Sekretaris Redaksi M. Supriadi
Sirkulasi Sarwono
Design, Lay Out Harhar, benangkomunikasiAlamat Redaksi MAARIF Institute for Culture and Humanity
Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810 Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758 email : [email protected] website : www.maarifinstitute.org
Rekening Yayasan Ahmad Syafii Maarif Penyaluran Donasi BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara) 0114179273
Redaksi mengundang para cendikiawan, agamawan, peneliti, dan aktifis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar ilmiah dengan panjang tulisan 600010.000 karakter. Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Media MAARIF terbit setiap empat bulan.
Pengelola
1006 Jurnal V0501.indb 1 25/06/2010 12:04:01
2Pengantar Redaksi Kepemimpinan Muhammadiyah dan Masa Depan Pembaruan Islam Indonesia .......................... 3Muhd. Abdullah Darraz
Artikel:Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan ........... 11Anhar Gonggong
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha? Menimbang Kembali Gineologi Pemikiran Muhammadiyah ........................ 25Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
Menakar Gerakan Pembaruan Muhammadiyah ....................... 43Asep S. Muhtadi
Muhammadiyah, Antara Gerakan Progresif dan Konservatif ... 54Endy M. Bayuni
Tantangan & Rejuvenasi Peran Strategis Muhammadiyah ...... 61Sudhamek AWS
Kepemimpinan Muhammadiyah Abad Ke-2 ............................. 71Syafiq A. Mughni
Pemerataan Kapasitas : Agenda Pimpinan Muhammadiyah Abad Ke-2 ...................................................... 77Hilman Latief
Pemimpin yang Mashlahah Bagi Muhammadiyah .................... 87Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA
Regenerasi Kepemimpinan dan Cetak Biru Sosial Muhammadiyah ............................................ 94Hajriyanto Y. Thohari
Muhammadiyah dan Alternatif Kiblat Rohani Politik .............. 103Mohamad Sobary
Muhammadiyah, Kepemimpinan Politik, dan Tantangan Globalisasi ......................................................... 109M. Syafii Anwar
Peran Perempuan dan Keadilan Gender: Refleksi Gerakan Satu Abad Muhammadiyah .......................... 129Rita Pranawati, MA
Aisyiyah dan Ruang Publik ....................................................... 141Ai Fatimah Nur Fuad
Profil MAARIF Institute .................................................... 148
Daftar Isi
1006 Jurnal V0501.indb 2 25/06/2010 12:04:01
3Kepemimpinan Muhammadiyah dan Masa Depan Pembaruan Islam Indonesia
Muhd. Abdullah Darraz
1 abad yang lalu, di tengah himpitan kolonialisme, rahim intelektual dan kultural Indonesia melahirkan para pembaru yang bukan hanya berjuang melawan hegemoni kolonial, namun juga yang lebih substansial adalah mendobrak ortodoksi-feodalisme dan kejumudan berfikir mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, rahim kultural bangsa ini telah melahirkan sebuah kesadaran baru tentang perubahan dan pembaruan pada pelbagai tatanan kehidupan masyarakat.
Kesadaran baru tersebut dibalut dalam berbagai pergerakan, baik pergerakan politik maupun pergerakan kultural. Muhammadiyah yang lahir di jantung ortodoksi dan kultur feodalistik masyarakat Jawa pada masa itu merupakan sebuah pergerakan kultural yang turut andil mengambil peran penyemaian kesadaran baru tersebut. Di bawah kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan, sejak awal keberadaannya, Muhammadiyah telah melakukan proses tranformasi sosial dalam bentuk amal-amal kongkret sehingga masyarakat Indonesia menjadi lebih tercerahkan. Muhammadiyah seolah menjadi moda yang mengantarkan kaum muslim Indonesia dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.
Rahim intelektual dan kultural Indonesia telah melahirkan para pembaru yang bukan hanya berjuang melawan hegemoni kolonial, namun juga yang lebih substansial adalah mendobrak ortodoksi-feodalisme dan kejumudan berfikir mayoritas masyarakat Indonesia
Pemimpin Redaksi Media MAARIF, Direktur Program
MAARIF Institute
1006 Jurnal V0501.indb 3 25/06/2010 12:04:01
4 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Pengantar Redaksi
Dalam pandangan Haedar Nashir (2010) Muhammadiyah generasi awal antara tahun 1912-1923 telah menghembuskan semangat pembaruan yang begitu gemilang. Kesadaran baru ini tidak lepas dari kegemilangan kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan dalam menjalankan roda persyarikatan ini. Ide-ide otentik KH. Ahmad Dahlan tidak bisa dipandang sebelah mata, bukan hanya bagi pergerakan internal Muhammadiyah saja, namun lebih jauh demi kemajuan kehidupan bangsa. Meski demikian, dewasa ini gerakan pembaruan Muhammadiyah sedang dipertanyakan eksistensinya.
Dalam jurnal MAARIF edisi Muktamar 1 Abad ini, kami mencandra sepak terjang kepemimpinan Muhammadiyah dalam kaitannya dengan ide pembaruan yang selama ini telah mengakar pada organisasi asal Kauman, Yogyakarta ini. Pertanyaan besarnya adalah masih konsistenkah Muhammadiyah dewasa ini menjadi sebuah gerakan pembaruan? Ataukah kini Muhammadiyah tengah kehilangan spirit pembaruan yang menjadi identitas sejatinya? Dalam tulisan-tulisan di bawah ini, kami melihat ada benang merah keterkaitan antara model dan pola kepemimpinan yang dijalankan oleh Muhammadiyah dalam rentang waktu 100 tahun ini dengan konsistensi semangat pembaruan yang terjadi di dalamnya. Model kepemimpinan akan berpengaruh terhadap padam dan berkobarnya api pembaruan dalam Muhammadiyah. Ketika akhir-akhir ini wajah Muhammadiyah lebih terkesan konservatif dan anti-pembaruan, maka hal pertama yang perlu dievaluasi adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh Muhammadiyah dalam setiap levelnya. Sebuah adagium mengatakan, ikan busuk bermula dari kepalanya. Begitulah sepatutnya Muhammadiyah melakukan evaluasi dalam perhelatan akbar Muktamar 1 Abad yang akan datang ke depan.
Fluktuasi Gerakan Pembaruan Muhammadiyah
Dengan menggunakan perspektif sejarah, Anhar Gonggong mengakui bahwa KH. Ahmad Dahlan dan kepemimpinannya dalam Muhammadiyah telah mampu menjawab tantangan zaman saat itu, dimana masyarakat Indonesia tengah terkungkung dalam tradisi feodalistik masyarakat
1006 Jurnal V0501.indb 4 25/06/2010 12:04:01
5MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Pengantar Redaksi
setempat dan terhimpit dalam jerat kolonialistik yang dibawa oleh bangsa asing-penjajah. Dalam konteks itulah Muhammadiyah memainkan peran sebagai pencerdas kehidupan bangsa. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah telah mendorong terciptanya kemerdekaan dengan memerdekakan cara berfikir dan menciptakan kesadaran baru dalam masyarakat pribumi. Ia tidak melawan penjajahan dengan kekuatan fisik-militeristik, namun membentuk kesadaran akan perubahan secara kultural dalam bentuk pendidikan dan gerakan sosial.
Pembaruan yang telah dilakukan oleh Ahmad Dahlan ini tak lain terinspirasi dari ide-ide pembaruan Jamaluddin al-Afghani, dan kedua muridnya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mengenai genealogi pemikiran pembaruan dalam Muhammadiyah ini, Haidar Bagir dan Mohamad Jafar memberikan catatan kritis terhadapnya. Bagi keduanya, pembaruan yang dilakukan oleh al-Afghani dan Abduh berbeda dengan pembaruan yang dilakukan oleh Rasyid Ridha. Afghani dan Abduh cenderung memiliki pandangan lebih rasional, kritis, dan moderat dibanding Ridha. Sedangkan Ridha lebih dekat pada salafism (H.A.R. Gibb: 1983). Bagir dan Jafar melihat bahwa pembaruan Muhammadiyah pada periode awal, terutama periode Ahmad Dahlan, cenderung sesuai dengan ide pembaruan yang dilakukan oleh Afghani dan Abduh. Sedangkan pada masa kini pembaruan Muhammadiyah lebih senafas dengan ide pembaruan Ridha, yakni pembaruan yang bermakna purifikasi (tajrid, tanzhif). Oleh karena itu, ada sedikit kemunduran yang terjadi pada Muhammadiyah periode saat ini.
Asep Saeful Muhtadi dalam tulisannya Menakar Gerakan Pembaruan Muhammadiyah mencoba mempertimbangkan ulang ide-ide pembaruan Muhammadiyah sejak periode awal hingga periode akhir ini. Baginya, sepatutnya Muhammadiyah bisa memaknai pembaruan sebagai bentuk kontekstualisasi ajaran-ajaran keagamaan dalam konteks ruang-waktu kekinian. Jikalau Muhammadiyah gagal melakukan ini, maka sebetulnya Muhammadiyah telah berhenti sebagai sebuah gerakan pembaruan. Maka dalam hal ini ia menyarankan sejatinya Muhammadiyah dari masa ke masa senantiasa melakukan peninjauan ulang terhadap doktrin-doktrin dan
1006 Jurnal V0501.indb 5 25/06/2010 12:04:01
6 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Pengantar Redaksi
konsep keagamaan, baik berupa konsep teologi, peribadatan, maupun ide-ide keagamaan yang dahulu pernah dicetuskan oleh Muhammadiyah generasi awal. Sehingga pembaruan bukan hanya sebagai jargon semata, namun lebih dari itu merupakan sebuah proses yang dinamis dalam menjawab tantangan kontemporer.
Senafas dengan Asep Saeful Muhtadi, Endy Bayuni, seorang jurnalis senior, dalam tulisannya yang cukup kritis mempertanyakan haluan pergerakan Muhammadiyah di bawah kepemimpinan periode terakhir ini yang cenderung terombang-ambing dalam konservatisme. Memang pada awalnya Muhammadiyah dipandang berhasil menjadi kekuatan progresif yang mengantarkan masyarakat muslim Indonesia dari era tradisional menuju kehidupan modern. Namun ketika melihat perkembangannya dewasa ini, dimana ancaman sekularisme modern semakin membesar, Muhammadiyah yang awalnya mengemban misi progresif pun berubah menjadi kelompok konservatif, yang berusaha mempertahankan nilai-nilai, perilaku dan pandangan hidup masyarakat dari arus sekularisme yang sangat kuat. Bagi Endy, hal ini merupakan paradoks yang dihadapi oleh Muhammadiyah dewasa ini. Jika saja Muhammadiyah tidak mengantisipasi tantang global di masa kini dan mendatang, Muhammadiyah akan ikut ditelan mengutip M. Amin Abdullah (2010) terjangan badai Global Salafism, yang pada lima tahun terakhir ini sudah mulai menggoyang eksistensi dan identitas gerakan pembaruan dan intelektual Muhammadiyah.
Kepemimpinan Muhammadiyah dan Lokomotif Pembaruan
Dalam menghadapi tantangan global semacam ini, seharusnya
Muhammadiyah memiliki para pimpinan persyarikatan yang siap untuk
menghadapi badai yang akan selalu ada tersebut. Dalam kaitannya
dengan hal ini, Sudhamek AWS, Ketua Majelis Buddhayana Indonesia,
memberikan refleksinya secara mendalam mengenai kepemimpinan
Muhammadiyah di masa mendatang. Baginya, kepemimpinan yang
dijalankan oleh Muhammadiyah tidak lagi harus bertumpu pada model
1006 Jurnal V0501.indb 6 25/06/2010 12:04:01
7MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Pengantar Redaksi
kepemimpinan figur. Organisasi sebesar Muhammadiyah tentu saja
tidak boleh bergantung pada kekuatan figur pemimpinnya. Kekuatan
harus ada pada organisasinya sendiri. Untuk itu perlu dibangun budaya
organisasi, utamanya management system secara komprehensif sehingga
ketergantungan pada pucuk pimpinan utamanya Ketua Umumnya tidak
perlu terjadi. Oleh karena itu peremajaan (rejuvenation) terhadap pola
dan bentuk struktur kepemimpinan Muhammadiyah ke depan patut
untuk dilakukan. Dalam tulisannya ia mengendors bahwa sifat kolektif-
kolegial dalam kepemimpinan Muhammadiyah harus lebih diperkokoh.
Organisasi sebesar Muhammadiyah perlu mempunyai paling tidak
1-2 Wakil Ketua Umum yang dipilih dalam satu paket dengan Ketua
Umumnya di Muktamar kelak. Collective leadership untuk organisasi
sebesar Muhammadiyah menurut hematnya akan lebih sehat dan kuat.
Dalam hal kepemimpinan ini, Syafiq A. Mughni menggarisbawahi bahwa
Muhammadiyah di masa mendatang masih akan terbebani PR besar yang
menjadi batu sandungan pergerakan bila tidak segera diselesaikan. PR
besar tersebut di antaranya adalah konsolidasi organisasi, yang meliputi
persoalan kaderisasi, revitalisasi AUM (Amal Usaha Muhammadiyah)
dan intensifikasi dakwah tajdidiyah. Untuk kepentingan itu, diperlukan
kepemimpinan yang mampu melihat persoalan itu dengan jernih
kemudian mencari pemecahan yang tepat. Jika konsolidasi internal saja
belum tercapai secara utuh, mana bisa Muhammadiyah berfikir lebih
luas untuk kepentingan bangsa. Oleh karenanya permasalahan internal
ini mesti segera dituntaskan.
Lebih jauh, Hilman Latief melihat bahwa manajemen kepemimpinan
Muhammadiyah di masa mendatang, hendaknya tidak lagi mengacu pada
paradigma kuantitatif. Namun lebih menukik pada paradigma kualitatif
dan proses pemerataan kualitas kerja-kerja kepemimpinan di berbagai
daerah dan pada pelbagai level. Sepatutnya, kemajuan Muhammadiyah
tidak lagi dilihat dari seberapa banyak jumlah anggota, amal usaha, dan
berbagai perangkat keorganisasian yang dimiliki oleh Muhammadiyah
1006 Jurnal V0501.indb 7 25/06/2010 12:04:01
8 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Pengantar Redaksi
itu sendiri. Namun seharusnya lebih dilihat dari kualitas dan signifikansi
keberadaannya di tengah masyarakat bangsa Indonesia dan masyarakat
global pada level yang lebih luas. Apakah dengan banyaknya sekolah-
sekolah Muhammadiyah ini bisa ikut meminimalisir angka putus sekolah,
atau mengurangi angka kemiskinan di Indonesia?
Dalam konteks kebangsaan, KH. Said Aqiel Siradj, Ketua Umum
PB NU, menyadari sepenuhnya bahwa peran Muhammadiyah dan
NU bagi bangsa ini sangatlah besar. Dua organisasi besar moderat ini
harus bisa terus secara konsisten mengayomi perjalanan kebangsaan ke
depan. Oleh karena itu, menurutnya, Muhammadiyah dan NU mesti
dipimpin oleh para pemimpin yang memiliki kesadaran tentang betapa
besar peran organisasi yang mereka pimpin. Said Aqiel berharap dengan
kesadaran semacam itu, Muhammadiyah dan NU dapat menciptakan
gebrakan yang lebih dinamis dalam mengawal kehidupan berbangsa di
Indonesia ini. Oleh karenanya karakter pemimpin yang mesti dimiliki
oleh Muhammadiyah dan NU adalah pemimpin yang dengan lantang
dan tegas melakukan pembelaan terhadap mereka yang terpinggirkan.
Pemimpin yang dengan gagah berani melakukan pembelaan terhadap
siapapun yang didzalimi. Pemimpin yang maju di garda depan menentang
segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Isu regenerasi kepemimpinan menjadi sorotan utama dalam tulisan Hajriyanto Y. Tohari. Anggota Muhammadiyah yang menjadi Wakil Ketua MPR RI ini mencermati secara seksama bergulirnya isu rencana Muhammad Amin Rais untuk kembali mencalonkan diri sebagai ketua Muhammadiyah sebagai pertanda mampatnya saluran regenerasi di lingkungan kader Muhammadiyah. Hajri mengakui bahwa akhir-akhir ini Muhammadiyah dirasakan mengalami stagnasi dalam regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan. Jika keadaan seperti ini tidak lekas ditanggulangi, maka dikhawatirkan ke depan Muhammadiyah hanya akan menjadi kapal karam dalam sejarah pergerakan bangsa ini. Oleh karena itu pemberian ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap kader
1006 Jurnal V0501.indb 8 25/06/2010 12:04:01
9MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Pengantar Redaksi
dan generasi muda Muhammadiyah patut untuk dilakukan. Sehingga saluran regenerasi kepemimpinan di Muhammadiyah tidak lagi menjadi mampat.
Tulisan Mohamad Sobary yang berjudul Muhammadiyah dan Alternatif Kiblat Rohani Politik secara jujur, bernas, dan kritis melihat kepemimpinan Muhammadiyah di lima tahun terakhir ini gagal memberikan alternatif kiblat rohani bagi bangsa, terutama bagi hiruk pikuk kehidupan politik kebangsaan dewasa ini. Dalam menanggapi kekacauan kehidupan politik, hukum, dan moral pada bangsa ini, Muhammadiyah terkesan tidak berbuat apa-apa. Muhammadiyah seharusnya bisa mengawal perjalanan bangsa ini dan bersikap lebih tegas terhadap berbagai kebatilan dan kezaliman yang terjadi pada bangsa ini. Sobary menengarai problem yang dihadapi oleh Muhammadiyah berada pada level elite, yakni pada pucuk pimpinan yang tidak siap menghadapi berbagai permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini. Kepemimpinan pada akhirnya hanya menjadi simbol yang jauh dari makna substansialnya, karena kehilangan elan vitalnya dalam kehidupan. Ini menandakan gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dewasa ini semakin meredup dan bahkan sedang mengalami titik anti-klimaks.
Berbeda dengan pandangan Mohammad Sobary, M. Syafii Anwar menilai bahwa kepemimpinan Muhammadiyah terakhir ini telah dijalankan dengan sebaik-baiknya di tengah kekisruhan politik tanah air dan tantangan globalisasi yang semakin rumit. Meski demikian, Syafii Anwar memberikan catatan kritis terhadap perlunya pengembangan kepemimpinan secara profesional, kredibel, dan merata di tanah air. Ke depan PP Muhammadiyah perlu memberikan perhatian terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang banyak tumbuh dan berkembang di daerah-daerah. Selain itu munculnya kecenderungan konservatisme di lingkungan Muhammadiyah, menjadi tantangan besar yang harus dituntaskan segera oleh Muhammadiyah di masa mendatang. Sehingga Muhammadiyah bisa terhindar dari hempasan badai Global Salafisme yang secara internal berbentuk gerakan-gerakan Salafi Ideologis.
1006 Jurnal V0501.indb 9 25/06/2010 12:04:01
10 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Pengantar Redaksi
Dalam jurnal ini, kami juga memuat 2 tulisan yang berbicara mengenai gerakan perempuan Muhammadiyah. Hal ini diupayakan untuk melihat sejauh mana Muhammadiyah akomodatif terhadap isu-isu gender. Tulisan Rita Pranawati meneropong seberapa besar keterlibatan perempuan dalam organisasi Muhammadiyah. Diakui memang organisasi ini telah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi keterlibatan peran perempuan. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan gerakan emansipasi perempuan Islam pertama di Indonesia dalam bentuk pengajian Sopo Tresno (1914) yang kelak berubah menjadi ortom Aisyiyah (1917), lalu setelah itu dilanjutkan dengan beberapa ortom lain yang juga mengakomodir keterlibatan perempuan di dalamnya.
Sedangkan tulisan Ai Fatimah lebih menukik mengkaji peran perempuan Muhammadiyah di ruang publik. Dalam evaluasinya, Ai Fatimah melihat Aisyiyah sebagai wadah pergerakan perempuan Muhammadiyah telah mendorong begitu besar peran-peran perempuan di wilayah publik, termasuk di dalamnya di wilayah keagamaan, pendidikan dan wilayah sosial. Namun ia memberikan catatan kritis, ke depan Organisasi Aisyiyah perlu memberikan sumbangan pemikiran yang kritis dalam debat publik menyangkut isu-isu dan kebijakan yang berkaitan dengan perempuan misalnya perda syariah, aborsi, RUU Pornografi, trafficking, tenaga kerja wanita di luar negeri, KDRT, buruh perempuan dll. Isu-isu semacam ini masih dinilai langka untuk disuarakan oleh ormas perempuan seperti Aisyiyah.
Melalui tulisan-tulisan di jurnal MAARIF edisi Juni 2010 ini, kiranya ada muatan-muatan substansial yang bisa diberikan sebagai masukan bagi agenda evaluasi kepemimpinan pada Muktamar 1 Abad Muhammadiyah 3-8 Juli 2010 mendatang. Kami berharap agenda tersebut bisa memberikan secercah harapan perubahan bagi kemajuan Muhammadiyah dalam derap langkahnya di abad ke-2 ini. Semoga!!!
1006 Jurnal V0501.indb 10 25/06/2010 12:04:01
11
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
Anhar Gonggong
Pendahuluan: Situasi Mondial dan Perubahan Sikap Kolonialis Belanda
Matahari awal abad ke-20 memancarkan sinar yang
menerangi ruang untuk berubah. Perubahan yang terjadi
oleh tumbuhnya sikap-semangat baru, baik itu terjadi di
negeri induk yang menjajah (Belanda) maupun di negeri anak
jajahan (Nederlandsch-Indie). Sejalan dengan itu, sebagai
pembuka untuk melatari uraian selanjutnya, mungkin ada
baiknya kita mengutip pendapat Sartono Kartodirdjo (Pak
Sartono), guru besar Sejarah UGM, sejarawan yang amat
terpandang karena otoritas di bidangnya, yang menyatakan:
Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode Kapitalisme modern. Hasil revolusi industri selama masa dua puluh tahun sebelumnya terwujud di dalam perkembangan industri, perkapalan, perbankan dan komunikasi yang modern. Volume perdagangan dengan pesatnya, sedang perkembangan modal terjadi secara besar-besaran. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Politik pintu terbuka di Hindia Belanda dengan perkembangan perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil tanah jajahan lebih banyak mencari pasarnya di negeri-negeri asing daripada di Negeri Belanda sendiri.
Guru SMA Negeri dan SMA Muhammadiyah di Metro,
Lampung, 1968-1969. Sejarawan, Mengajar di Universitas Indonesia,
Universitas Negeri Jakarta dan Unika Atma Jaya, Jakarta.
1006 Jurnal V0501.indb 11 25/06/2010 12:04:02
12 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
Sebagian besar perkebunan yang didirikan sesudah tahun 1870 merupakan objek-objek penanaman modal. Ekspor modal ke Hindia Belanda sangat menanjak sejak tahun 1890. Dapat ditambahkan di sini, bahwa modal Belanda diekspor juga ke negeri-negeri di luar tanah jajahannya.1
Tentu saja situasi yang dijelaskan di atas berkaitan dengan terjadinya
situasi politik liberalisme. Terjadinya perkembangan politik yang
demikian itu memberikan dampak pada perkembangan kondisi ekonomi
dengan sistem politik di negeri Belanda. Periode antara tahun-tahun 1850
dan 1870 meminjam Pak Sartono adalah masa jaya bagi liberalisme
di negeri Belanda; sedang di Hindia Belanda, tahun-tahun tersebut
merupakan periode transisi dari politik konservatif ke politik kolonial
liberal. Di dalam perkembangannya kemudian, tindakan-tindakan kejam
yang dilakukan oleh ekspedisi-ekspedisi militer melahirkan kritik-kritik
tajam dari pelbagai pihak. Dan kritik yang paling tajam dilancarkan oleh
kaum kapitalis, yang menghendaki agar pemerintah kolonial membuka
daerah baru untuk investasi-investasi modal. Karena mereka mempunyai
kepentingan untuk pada akhirnya mendapatkan konsesi-konsesi
memperoleh monopoli.2
Pelbagai perubahan itu telah mendorong lahirnya pemikiran baru di
kalangan politisi Belanda sendiri dalam kaitannya dengan pemerintahan
Belanda yang pernah dan sedang dijalankan di negeri jajahannya,
Nederlandsch-Indie. Salah satu kelompok yang mengkritik kebijakan-
kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial di negeri jajahannya
ini ialah kaum etis, nama yang digunakan untuk menyebut politik kolonial
yang baru, politik etis. Salah seorang juru bicara dari golongan ini ialah
Van Deventer yang menulis artikel berjudul Een Eereschuld di media De
Gids. Tuntutan agar perbaikan kesejahteraan terhadap pribumi makin
kuat karena adanya kemerosotan kesejahteraan penduduk pribumi
makin parah dan pandangan ini berasal dari kalangan perdagangan.
Perkembangan politik di negeri jajahannya, Nederlandsch-Indie, pada
akhirnya mendorong dimulainya politik kesejahteraan baru, dan itu resmi
1006 Jurnal V0501.indb 12 25/06/2010 12:04:02
13MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Anhar Gonggong
tercantum di dalam Pidato Ratu Belanda, yang merupakan pertanda
dimulainya zaman baru dalam pemerintahan kolonial3, tahun 1903.
Di dalam waktu yang hampir bersamaan, di negeri-negeri yang mayoritas
Islam di Timur Tengah (Asia Barat) juga terjadi perubahan-perubahan
besar, dalam arti berlangsungnya pergumulan ide untuk melakukan
perubahan-perubahan di dalam penafsiran dan penghadapan mereka
terhadap sistem dunia yang menguasai ketika itu keterjajahan mereka.
Dalam rangka itu kita mengenal nama Al-Afghani, Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridha dan gerakan Wahhabbi. Kumandang gerakan-
gerakan pembaruan ke negeri-negeri Islam ini, sampai juga ke negeri-negeri
Islam di Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia; dan yang melakukannya
ialah K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya.
Periode Baru: Tampilnya Anak Negeri Jajahan yang Terdidik-Tercerahkan
Sebelum politik etis dijalankan sebagai pertanda dijalankannya politik
kolonial baru pemerintah kolonial juga memang telah mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan khusus, untuk mendapatkan tenaga-tenaga
yang lebih terampil-profesional di dalam menangani persoalan yang
dihadapi. Salah satu di antara lembaga pendidikan itu ialah STOVIA,
yang juga disebut sebagai sekolah dokter Jawa. Lembaga ini telah melahirkan
dokter-dokter yang ditempatkan di wilayah tertentu di Nederlandsch-
Indie untuk mengatasi penyakit yang umum menjangkiti rakyat pribumi,
seperti penyakit malaria, muntaber dan lain-lain penyakit tropis. Tetapi
STOVIA, dalam arti alumni-alumninya, justru juga memberi dampak
yang sangat penting-strategis untuk pada saatnya, tampil sebagai pemula
untuk merubah nasib bangsanya, dari warga pribumi yang berbangsa
banyak menjadi bangsa yang satu-bersatu. Yang saya maksudkan ialah
dengan pembentukan organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei
1908. Dengan itu, maka tampillah anak negeri terdidik-tercerahkan ke
arena sejarah untuk merubah nasib bangsanya!
1006 Jurnal V0501.indb 13 25/06/2010 12:04:02
14 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
Sejalan dengan keterangan di atas, sangat berguna utnuk mengutip
keterangan sejarawan senior yang memiliki otoritas di bidangnya, Ahmad
Syafii Maarif (Pak Syafii) dari buku terbarunya memberikan keterangan:
Kemudian apa yang dikenal dengan era Pergerakan Nasional sebenarnya adalah buah langsung dari sistem pendidikan Belanda yang membuka hati dan mata penduduk Nusantara. Ternyata hasil pendidikan Barat ini bagi sistem kolonial tak ubahnya seperti memelihara anak harimau, setelah besar tuannya dilawan dan bahkan diterkam. Dari rahim pendidikan Barat inilah munculnya tokoh-tokoh pergerakan yang secara berangsur bergerak menuju ke kemerdekaan tanah air dengan memakai senjata organisasi modern yang diilhami oleh sistem pendidikan Barat. Dengan demikian, secara tidak langsung penjajahan juga telah berjasa bagi Nusantara yang kemudian dikenal dengan nama bangsa dan negara Indonesia.4
Kutipan di atas menyebutkan buah langsung dari sistem pendidikan
Belanda yang membuka hati dan mata penduduk Nusantara. Pernyataan
itu membuka suatu kenyataan baru pendidikan yang semula diintroduksi
sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan administrasi
pemerintahan dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi
perusahaan swasta, ternyata memberi dampak yang sangat menentukan
bagi berlangsungnya proses menuju
dan menjadi bangsa yang satu-bersatu.
Keterdidikan mereka pada lembaga
pendidikan yang diciptakan oleh
pemerintah kolonial itu, membuka
hati dan mata mereka untuk
melihat secara moral dan rasional
terhadap nasib sesama warga anak
negeri jajahan; demikian pula-
perlakuan yang menempatkan anak
negeri pribumi sebagai warga kelas
rendahan, melahirkan dorongan
Era Pergerakan Nasional sebenarnya
adalah buah langsung dari sistem
pendidikan Belanda yang membuka
hati dan mata penduduk Nusantara.
Ternyata hasil pendidikan Barat ini bagi
sistem kolonial tak ubahnya seperti
memelihara anak harimau, setelah
besar tuannya dilawan dan bahkan
diterkam
1006 Jurnal V0501.indb 14 25/06/2010 12:04:02
15MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Anhar Gonggong
untuk merubah nasib mereka. Tampilnya mereka ke arena sejarah
bangsanya itu juga merupakan hal yang secara langsung menyangkut
dengan perlakuan yang mereka alami sendiri, ketika mereka menjalani
pendidikan di sekolah mereka. Hal yang demikian itu ditulis Van Niel
dalam rangkai kata:
Banyak dokter-dokter muda, dan ini terutama berlaku sampai tahun 1914 merasa sakit hati atau tersinggung oleh perlakuan yang mereka terima sewaktu menjadi mahasiswa STOVIA. Peraturan di STOVIA mengharuskan semua orang Jawa dan Sumatera yang bukan Kristen, mamakai pakaian pribumi bila sedang berada di sekolah. Tujuan inipun jadi masalah mungkin saja ini berarti suatu usaha menentang asimilasi atau asosiasi, tetapi, jika demikian, tentu saja untuk memaksa dokter muda ini tetap berada dalam lingkungan masyarakat asli dimana mereka tetap puas dengan gaji yang agak kecil yang akan diterima mereka dibandingkan dengan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan, yang berpangkat lebih tinggi dengan pendidikan yang rendah.5
Dengan diperlakukannya peraturan diskriminatif seperti di STOVIA,
dan mungkin juga di lembaga-lembaga pendidikan lainnya apapun
alasan yang melatarinya, pasti menyebabkan berkembangnya ketidak-
puasan dan beranggapan bahwa perlakuan peraturan itu sebagai
pertanda direndahkannya kedudukan mereka di mata orang Eropa.
Dengan adanya fakta-fakta situasi internal di dalam lingkungan STOVIA
itu, dapat dikatakan di sini bahwa kelahiran Boedi Oetomo yang
dibidani oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA, justru setidak-tidaknya
dalam penglihatan saya merupakan langkah konseptual dari mahasiswa-
mahasiswa tersebut untuk menunjukkan sikap penentangan mereka
terhadap situasi diskriminatif yang sehari-hari dialaminya. Memang terlihat
apa lagi dalam konteks waktu sekarang seakan-akan pembentukan
Boedi Oetomo yang dilakukan oleh mahasiswa etnik Jawa itu bukanlah
tindakan revolusioner, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Paling
tidak sekali lagi, dalam penglihatan saya pembentukan Boedi Oetomo
itu telah memulai suatu cara baru konseptual dan radikal untuk
1006 Jurnal V0501.indb 15 25/06/2010 12:04:02
16 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
melakukan perlawanan terhadap
sistem pemerintahan dan masyarakat
kolonial Hindia Belanda. Sebab
organisasi dalam bentuk Boedi
Oetomo itu menjadi garis pembeda
antara cara dan situasi perlawanan
yang dilakukan oleh pendudukan
Nusantara jajahan dengan perlawanan yang dilakukan oleh penduduk
negeri jajahan Nederlandsch-Indie. Yang saya maksud dengan pernyataan
di atas ialah sebagaimana diketahui sejak awal kedatangan Belanda
dengan VOC-nya (1602), awal abad 17, 18 dan kemudian dilanjutkan
oleh pemerintah Belanda pada abad ke-19, telah terjadi penaklukan-
penaklukan wilayah kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara; dan
penaklukan itu tidaklah mudah dilakukan, karena ternyata para
pemimpin, tokoh-tokoh dari kerajaan-kerajaan tradisional itu sebagian
besar menggunakan simbol-simbol Islam melakukan perlawanan
penentangan terhadap penaklukan-penaklukan kolonial itu. Namun,
perlawanan-penentangan terhadap penaklukan kolonial yang berlangsung
pada abad-abad ke 17, 18 dan abad ke 19, menyuguhkan kenyataan pedih
karena semua perlawanan itu sering saya sebut perlawanan dengan
strategi otot yang berlangsung secara sporadis dan setempat-setempat
lokal mengalami kekalahan. Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa
(SulSel), Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Minangkabau, Pattimura
di Maluku, Sisingamangaraja di Tana Batak dan lain-lain, dengan tidak
mengurangi rasa hormat dan penghargaan kita, sekali lagi mengalami
kekalahan memedihkan.
Anak-anak generasi kemudiannya, generasi muda abad ke-20, melakukan
perubahan strategi perlawanan yang mendasar, yaitu yang sering saya
sebut dengan strategi rasional, yang bertumpu pada kecerdasan otak, rasio.
Senjata mereka bukanlah senjata fisik seperti klewang, keris, pedang,
generasi muda abad ke-20, melakukan
perubahan strategi perlawanan yang
mendasar, yaitu yang sering saya
sebut dengan strategi rasional, yang
bertumpu pada kecerdasan otak, rasio
1006 Jurnal V0501.indb 16 25/06/2010 12:04:02
17MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Anhar Gonggong
bedil dan lain-lain, melainkan senjata yang mengandalkan kemampuan
rasio, bertumpu kepada kecerdasan otak dan keterampilan bicara dan
menulis. Senjata-senjata yang dimaksud ialah organisasi diawali oleh
Soetomo, dan kawan-kawan dari STOVIA ideologi, media massa dan
dialog. Generasi (muda) yang terampil dalam usaha perlawanan terhadap
keterjajahan diri sesama warga Nederlandsch-Indie negeri jajahan itu
adalah warga yang meminjam Syafii Maarif terbuka hati dan matanya,
atau yang saya sering sebut dengan warga terdidik-tercerahkan!
K.H. Ahmad Dahlan: Menjawab Tantangan Zaman dengan Muhammadiyah
Menempatkan langkah dan pemikiran yang melahirkan
Muhammadiyah dalam konteks situasi mondial dan dampak internal
di dalam negeri jajahan Nederlandsch-Indie sangat penting dan berguna
untuk memahami penghadapan situasi dan jawaban yang diberikannya.
Di tengah perubahan-perubahan itu, tempat kelahiran K.H. Ahmad
Dahlan juga patut mendapat perhatian, dan juga posisi keluarganya di
tengah masyarakat kolonialistik dan feodalistik waktu itu. Kesultanan
Yogyakarta merupakan salah satu pusat kerajaan Jawa-Mataram, yang
merupakan pecahan dari kerajaan-kerajaan Surakarta yang lainnya. Posisi
Sultan pelindung agama. Dengan posisinya itu Sultan Yogyakarta harus
menciptakan suasana yang memberi ruang yang nyaman bagi warganya
untuk menjalankan ibadahnya. Dalam rangka itu, Kesultanan Yogyakarta
membangun sebuah Mesjid Besar Kesultanan sebagai simbol dari
kerajaan ini yang menempatkan agama Islam dalam posisi yang khas di
dalam kerajaan itu. Di dalam wilayah kerajaan itu terbangun pula suatu
kawasan yang didiami oleh warga Islam dengan nama: Kauman. Keluarga
K.H. Ahmad Dahlan tidak dapat dilepaskan dari Mesjid Besar Kerajaan
Yogyakarta dan kampung Kauman itu. Beliau lahir dan bertumbuh
dewasa di dalam suasana kedua tempat itu. Ayahnya, K.H. Abu Bakar
adalah Khatib Amir dan Penghulu Mesjid Besar Yogyakarta.6
1006 Jurnal V0501.indb 17 25/06/2010 12:04:02
18 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
Selanjutnya, yang perlu pula dicatat
ialah bahwa beliau berangkat
ke Mekah untuk menunaikan
ibadah Haji dalam usia yang sangat
muda, beberapa bulan setelah
melangsungkan pernikahannya. Di
dalam usia muda itu, di pusat simbol
kesucian dan kebesaran agama Islam, Mekah, beliau berinteraksi
dengan pelbagai ulama lainnya, baik yang berasal dari tempat-tempat lain
di Indonesia dan sudah terlebih dahulu menetap di Mekah. Menurut
Haedar Nashir, Kembali dari Mekah membawa inspirasi baru bagi
Ahmad Dahlan dalam pemahaman keagamaan sekaligus menanamkan
benih pergerakan.7
Sekembali dari Mekah yang pertama, maka beliau melakukan langkah
yang dalam konteks waktu itu, pasti merupakan langkah yang memancing
reaksi dari lingkungannya, yaitu meluruskan arah kiblat yang dimulai
tidak tepat kala itu.8 Tentu saja langkah-anjurannya itu segera
mendapat tanggapan dari ulama-ulama lainnya, terbukti pada tahun
1898, gagasannya itu dimusyawarahkan bersama dengan ulama-ulama
dan khatib penghulu Yogyakarta, tetapi tidak mendapatkan kesepakatan.
Hasil musyawarah ulama/khatib Yogyakarta itu menunjukkan dua hal,
yaitu K.H. Ahmad Dahlan telah memulai memberikan, menyebarkan ide-
idenya untuk melakukan perubahan di dalam praktek keagamaan. Yang
kedua, penolakan peserta musyawarah untuk menerima idenya dalam
hal merubah arah kiblat itu menunjukkan situasi kebekuan beragama
pada waktu itu, yang amat sulit dicairkan.
Yang menarik juga dicatat ialah pekerjaannya di dalam menghidupi
diri dan keluarganya, yaitu pedagang, dengan modal yang diberikan
oleh ayahnya.9 Salah satu ciri dari pedagang ialah mobilitasnya untuk
membawa dan mengembangkan barang dagangannya. Dan dalam rangka
itulah K.H.Ahmad Dahlan melakukan perjalanan ke pelbagai tempat,
Kembali dari Mekah membawa
inspirasi baru bagi Ahmad Dahlan
dalam pemahaman keagamaan
sekaligus menanamkan benih
pergerakan
1006 Jurnal V0501.indb 18 25/06/2010 12:04:02
19MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Anhar Gonggong
tidak hanya di Jawa, melainkan juga
ke Sumatera, antara lain ke kota
dagang, Medan. Saya mencatat
mobilitasnya sebagai pedagang
itu mempunyai dampak tertentu
di dalam hal perluasan wawasan
pengenalannya tentang umat Islam di
Nusantara ketika itu. Dan tentu hal
itu menjadi bagian dari benih untuk
melakukan gerakan pembaruannya
di kemudian hari melalui organisasi
gerakan Muhammadiyah.
Di tengah-tengah terjadinya pelbagai perubahan yang terjadi di Negeri
Belanda, induk negeri jajahan Nederlandsch-Indie dan juga perubahan
yang dijalankan secara internal di anak negeri jajahan Nederlandsch-
Indie, maka pada tahun 1902, beliau kembali ke Mekah untuk melakukan
ibadah haji yang kedua kalinya, ketika itu beliau telah berusia 34 tahun.
Tentang kepergiannya ke Mekah yang kedua kalinya ini, Soetrisno
Kutoyo, penulis biografinya dari Depdikbud menulis bahwa,
Kepergiannya kali ini tidak lama, hanya dua tahun. Tetapi waktu yang dua tahun itu dipergunakannya dengan cermat dan penuh manfaat. Ia menambah ilmu, bertukar-fikiran, berdiskusi dan berdialog dan memantapkan pendirian. Selama di Mekah itu ia banyak mendapat bantuan dan sokongan atau dukungan moral. Seorang alim yang sudah sejak tahun 1890 menetap di tanah suci Mekah yaitu Kyai Haji Bakir, banyak membantu beliau. Kyai Haji Bakir juga berasal dari Kauman Yogyakarta dan bahkan masih ada hubungan kerabat dengannya. Dengan jasa baik Kyai Haji Bakir, K.H. Ahmad Dahlan dapat bertemu dengan M. Rasyid Ridha, seorang tokoh dan pemikir agama Islam yang terkenal waktu itu. Salah seorang kerabat Kyai Haji Ahmad Dahlan selama di Mekah ialah Akhmad Khatib, yaitu saudara sepupu Kyai Haji Agus Salim dan berasal dari Minangkabau. Akhmad Khatib selalu memberi dorongan kepada Kyai Ahmad Dahlan.
Mobilitasnya sebagai pedagang itu
mempunyai dampak tertentu di dalam
hal perluasan wawasan pengenalannya
tentang umat Islam di Nusantara
ketika itu. Dan tentu hal itu menjadi
bagian dari benih untuk melakukan
gerakan pembaruannya di kemudian
hari melalui organisasi gerakan
Muhammadiyah
1006 Jurnal V0501.indb 19 25/06/2010 12:04:02
20 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
Sebagaimana Kyai Haji Ahmad Dahlan, maka Akhmad Khatib juga berpendapat bahwa pengajaran Islam di Indonesia sudah jauh ketinggalan zaman. Sudah harus diperbaharui dan diganti atau digunakan cara-cara modern.10
Interaksinya dengan ulama-ulama, tokoh-tokoh Islam pembaruan selama
berada di Mekah, baik tokoh-tokoh internasional maupun tokoh-tokoh
sebangsanya yang telah lebih dahulu datang dan menetap di Mekah,
kemudian juga pembacaannya terhadap sumber-sumber pemikiran
pembaruan antara lain majalah al-Manar, semuanya telah mengakumulasi
kekuatan pikirnya untuk melakukan langkah mewujudkan gagasan-
gagasan melakukan perubahan pemahaman terhadap ajaran agama
Islam di lingkungan masyarakat sesama warga anak negeri jajahan.
Sebagai negeri jajahan Nederlandsch-Indie mempunyai dua tatanan
masyarakat, dan umat Islam yang mayoritas di negeri jajahan ini
menghadapi himpitan yang amat menyulitkan posisinya. Yang saya
maksud ialah tatanan masyarakat feodalistik yang dibangun dalam
perjalanan waktu yang panjang oleh kerajaan-kerajaan tradisional
salah satu di antaranya ialah Kesultanan Yogyakarta tempat lahir dan
hidupnya K.H.Ahmad Dahlan di pelbagai wilayah di kepulauan negeri
jajahan ini. Sebagian besar di antara kerajaan-kerajaan tradisional itu
justru ditegakkan dalam pelbagai tatanan kehidupan ritualistiknya
dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Setelah datangnya
penjajahan asing di Nusantara terutama Belanda yang berawal
dari VOC-nya maka bangsa kolonialis ini melakukan penaklukan-
penaklukan untuk kemudian menciptakan tatanan kekuasaan
dan masyarakat kolonialistik di wilayah Nederlandsch-Indie.
Beradanya umat Islam di tengah-tengah dua sistem kekuasaan dan
sistem masyarakat itu, tidaklah menguntungkan kehidupan Islam yang
mayoritas itu. Walaupun sebagian besar kerajaan-kerajaan tradisional
itu mengatasnamakan Islam dengan simbol-simbol kerajaannya, namun,
di dalam praktek kekuasaan kerajaannya, justru menjadikan umat
1006 Jurnal V0501.indb 20 25/06/2010 12:04:03
21MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Anhar Gonggong
Islam berada di dalam situasi yang terhimpit. Tidak jarang, Sultan, raja-
raja kerajaan tradisional menghadapi penentangan terhadap sistem
kekuasaannya dari ulama-ulama Islam, dan karena itu, tidak jarang pula
kekuasaan kerajaan melakukan tindakan-tindakan represif terhadap
ulama-ulama dan warga Islam di kerajaan-kerajaan tertentu. Ingat, raja
Mataram Islam, Amangkurat II, telah melakukan pembunuhan yang
amat kejam terhadap ratusan ulama, pemuka Islam di kerajaannya.
Sedang bagaimana keadaan Islam selama berada di bawah penjajahan
asing itu, ada baiknya mengutip pendapat seorang intelektual, penggerak
Islam, pemimpin Muhammadiyah, Dr. M. Amien Rais sebagai berikut:
Setelah berakhirnya sistem khalifah di Turki pada tahun 1924, dunia Islam mulai ramai membicarakan konsep negara Islam. Selama penjajahan Barat (termasuk Nederlandsch-Indie, Indonesia, penulis) atas Islam, kaum muslimin tidak sempat dan juga tidak mampu berpikir tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntutan mengenai pelbagai masalah.
Untuk waktu yang cukup lama, kaum muslimin secara sengaja dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam oleh penjajahan Barat dan dalam proses alienasi masyarakat Islam dari agamanya itu, kolonialisme dan imperialisme Barat itu melakukan west toxication atau proses peracunan-Barat atas dunia-dunia Islam. Selama mengalami proses ini, sebagian masyarakat Islam kemudian dihinggapi penyakit yang oleh Abulhassan Bani-Sadr disebut Westomania, penyakit kejiwaan yang menganggap Barat adalah segala-galanya.11
Sepulang beliau dari Mekah yang untuk kedua kalinya itu, 1904, keadaan
Nederlandsch-Indie memang telah mengalami perubahan-perubahan
tertentu terutama karena mulai dijalankannya politik etis. Dan empat
tahun dari kepulangannya dari Mekah itu, yaitu pada 1908, maka
lahirlah Boedi Oetomo, sebagai pemula dari gerakan modern dengan
menggunakan senjata organisasi. Di dalam perkembangannya kemudian,
setelah berusia + 3 bulan, yaitu pada bulan Oktober 1908, justru Boedi
Oetomo menjalankan perubahan organisasinya di Yogyakarta, yaitu
1006 Jurnal V0501.indb 21 25/06/2010 12:04:03
22 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
melaksanakan kongres organisasinya
yang pertama di Yogyakarta. Menarik
tentu untuk mengetahui hubungan
antara K.H. Ahmad Dahlan dengan
dua organsiasi awal yang dibentuk
di Nederlandsch-Indie pada awal
abad ke-20, yaitu Boedi Oetomo dan
Sarekat Islam. Dengan terbentuknya
Boedi Oetomo dan kemudian juga
Sarekat Islam, tentu sebagai seorang
pemimpin, ulama di Yogyakarta beliau melakukan interaksi dengan
kedua organsiasi pemula itu. Beliau tentu sudah mengenal tokoh-tokoh
Boedi Oetomo itu. Dan hal itu memungkinkan beliau terpilih sebagai
salah seorang anggota pengurus. Demikian pula halnya, ketika Sarekat
Islam terbentuk dan sampai ke Yogyakarta, maka beliau pun memasuki
organisasi ini dan ikut aktif bergerak di dalamnya.
Dari pelbagai keterangan di atas, tampak bahwa sebelum K.H.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, beliau terlebih dahulu
mempersiapkan landasan pengalaman yang bersumber dari berbagai
situasi yang dihadapinya, baik itu yang diperolehnya ketika melakukan
perjalanan ke dan menjalankan ibadah haji di Mekah, maupun
pengalaman yang diperolehnya di negerinya sendiri yang sedang
mengalami periode perubahan menuju istilah yang digunakan di
dalam anggaran dasar Muhammadiyah ke kemajuan. Dan memang
Muhammadiyah didirikan oleh beliau dimaksudkan untuk memajukan
dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam dan
memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang
kemauan hidup agama anggota-anggotanya. Pengalaman yang demikian
dengan sendirinya didukung pula oleh pemilikan ilmu yang dalam dan
sikap moral yang kokoh.
Memang Muhammadiyah
didirikan oleh beliau dimaksudkan
untuk memajukan dan
menggembirakan pengajaran dan
pelajaran agama Islam dan memajukan
dan menggembirakan kehidupan (cara
hidup) sepanjang kemauan hidup
agama anggota-anggotanya
1006 Jurnal V0501.indb 22 25/06/2010 12:04:03
23MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Anhar Gonggong
Penghidmatan dan rasa hayat
sejarah itu juga memberikan
pemahaman bahwa karya-
karya di masa lampau sejarah
itu termasuk karya-karya
K.H. Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyahnya menjadi
karya-karya kekinian kita, karena
karya-karya itu tidak terputuskan
oleh adanya kemampuan kreatif
dari generasi kini dan
yang akan datang
Penutup: Penghidmatan dan Rasa Hayat Sejarah
Di dalam perjalanan abad ini, abad ke 21, Muhammadiyah akan
melanjutkan perjalanannya ke usia 200 tahun. Dalam rangka itu, dalam
pelbagai bentuk, kita melakukan pelbagai kegiatan sebagai simbol
kegembiraan-kesyukuran. Tetapi apa makna peringatan kegembiraan
itu, dilihat dari sejarah? Untuk jawaban atas pertanyaan ini, saya
ingin memberikan keterangan yang mungkin berbeda dengan apa
yang dipahami selama ini. Yang saya maksudkan ialah peringatan ini
berkaitan dengan apa yang saya sebut dengan penghidmatan dan rasa
hayat sejarah. Yaitu, memberikan nilai kepada sejarah di dalam konteks
waktu kini dan generasi kini menjadikan karya-karya di kelampauan itu
sebagai bagian dari dirinya. Itu berarti, sejarah dipahami sebagai bagian
dari kelangsungan hidupnya, baik di dalam waktu kini, maupun di
hari depan. Penghidmatan dan rasa hayat sejarah itu juga memberikan
pemahaman bahwa karya-karya di masa lampau sejarah itu termasuk
karya-karya K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya menjadi
karya-karya kekinian kita, karena karya-karya itu tidak terputuskan oleh
adanya kemampuan kreatif dari generasi kini dan yang akan datang.
Sejalan dengan itu, penghidmatan dan rasa
hayat sejarah itu akan memberikan nilai
simbolis yang tidak terputuskan karena
penghargaan atas kecerdasan, keberanian
dan ketabahan yang melahirkan karya-karya
yang sampai kini dalam hal ini, organisasi
gerakan pembaruan Muhammadiyah masih
menjadi milik bersama umat. Penghidmatan
dan rasa hayat sejarah itu memberikan pula
nilai yang demikian tinggi terhadap karya-
karya itu, karena Muhammadiyah dan juga
NU telah melahirkan dan membangun
masyarakat Islam yang bertuhan di tengah
1006 Jurnal V0501.indb 23 25/06/2010 12:04:03
24 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Tantangan Abad 20 dan Jawaban K.H. Ahmad Dahlan
masyarakat feodal-kolonialistik sampai sekarang. Di tengah masyarakat
yang demikian itu, Muhammadiyah dan juga NU telah melahirkan
banyak pemimpin yang menjadi penopang kelangsungan hidup bersama
kita dalam dan dengan bangsa-negara Indonesia. Dan itu semua karena
tampilnya K.H. Ahmad Dahlan memberikan jawaban cerdas terhadap
tantangan zaman dengan Muhammadiyah! Pertanyaan yang harus yang
dijawab generasi abad ke-2 Muhammadiyah di tahun-tahun depan, ialah
mampukah mereka menjawab tantangan rumit abad globalisasi ini,
untuk tetap bertahan dan berada dengan kepala tegak, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu? Sejarah masa depan yang
akan memberikan jawabnya!
(Endnotes)
1 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, jilid 2, Gramedia, Jakarta, 1990, hal.22.
2 Ibid., hal. 29.
3 Ibid., hal.33.
4 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan Pustaka, Bandung, 2009, hal.87.
5 Pendapat Duyvendak, sebagaimana ditulis oleh Robert Van Niel,Munculnya Elit Modern Indonesia, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, hal.87.
6 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2010, hal. 116. Untuk mendapatkan tentang situasi Yogyakarta yang dikaitkan dengan K.H.Ahmad Dahlan. Lihat Sutrisno Kutoyo, Kyai Haji Ahmad Dahlan, khususnya bab III, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, Jakarta, 1985, hal. 28-39.
7 Ibid., hal 115.
8 Ibid., hal 118.
9 Ibid., hal 116.
10 Sutrisno Kutoyo, op.cit., hal. 47.
11 M. Amien Rais, Kata Pengantar, di dalam Salim Azzam, BeberapaPandangan tentang Pemerintahan Islam, Mizan, Bandung, 1983, hal. 7.
1006 Jurnal V0501.indb 24 25/06/2010 12:04:03
25
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha? Menimbang Kembali Gineologi
Pemikiran Muhammadiyah
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
Al-Afghani dan Abduh: Spirit Pembaruan IslamAda ungkapan lama dari H.A.R Gibb, namun masih penting untuk kita renungkan. Islam is indeed much more than a system of theology. It is a complete civilization. Demikian ditulis Gibb dalam Whither Islam (1932). Roger Garaudy juga memuji Islam sebagai sebuah agama yang memiliki jejak sejarah yang gemilang, yang bertaraf global dan memiliki energi dinamis. Bahkan, Garaudy menunjukkan optimismenya pada peran strategis Islam sebagai agama masa depan, seiring dengan krisis yang melanda peradaban Eropa. (Muhsin Al-Mayli: 1996). Marshall G.S. Hodgson (2002) juga mencatat bagaimana puncak peradaban Islam merupakan sebuah proyek besar yang dirintis dalam waktu yang tidak pendek. Sendi-sendinya telah ditanamkan sejak masa awal kelahiran agama ini.
Pandangan-pandangan di atas mewakili sebuah kesaksian sejarah tentang kejayaan peradaban yang pernah dicapai Islam. Sebuah kesaksian yang diakui bahkan oleh Barat sendiri, sebuah entitas yang kini dianggap sedang memegang puncak peradaban dunia. Kegemilangan yang dicapai Islam tersebut menandai puncak integrasi rasio dan iman. Sebuah era dimana hampir seluruh aspek kehidupan, sains, agama, politik, kebudayaan, ekonomi, seni, berhasil disinergikan dalam sebuah tatanan kehidupan.
Haidar Bagir adalah Direktur Utama Kelompok Mizan dan
Dosen Islamic College for Advance Studies (ICAS)Paramadina,
Jakarta. Meraih gelar Master dari Center for Middle Eastern Studies (CMES) Harvard University dan
Doktor di bidang filsafat dari Universitas Indonesia.
Muhammad Jafar adalah penulis di berbagai media massa nasional,
khususnya dalam masalah Islam dan Timur Tengah. Ia
mendapatkan gelar Sarjana-nya dari UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
1006 Jurnal V0501.indb 25 25/06/2010 12:04:03
26 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
Keinginan untuk mengulangi kembali kejayaan yang pernah dicapai
inilah yang menjadi motivasi seorang intelektual besar Islam abad 19,
Jamaluddin al-Afghani. Berbasis gerakan intelektual dan beberapa
pendekatan politik, al-Afghani mencoba mewujudkan cita-citanya
tersebut.
Secara faktual, dihadapkan pada fakta
kemajuan peradaban Barat, umat Islam
memiliki respon yang beragam. Pertama,
romantisisme historis. Kalangan umat
Islam yang mengalami stagnasi oleh
kenangan nostalgis akan kejayaan masa
lalu Islam, tanpa mau dan mampu untuk
mengulanginya lagi pada tataran riil.
Kedua, kalangan umat Islam terserang oleh
waham-isme. Sebuah sikap yang bukan saja
membesarkan-besarkan kejayaan Islam
masa lalu, namun juga merasa hingga kini
masih mengalami kejayaan tersebut. Ketiga,
kalangan umat Islam yang dihinggapi inferioritas dihadapan kejayaan
peradaban Barat saat ini. Ini diantara respon yang muncul dari umat
Islam ketika diperhadapkan pada sejarah masa lalunya, sekaligus fakta
masa kini.
Respon di atas kemudian menghasilkan sikap yang berbeda diantara
umat Islam terhadap peradaban Barat. Pertama, kalangan umat Islam
yang menolak peradaban Barat dengan segala paradigma dan perangkat-
perangkatnya. Kelompok ini memposisikan diri vis a vis dengan peradaban
Barat, dengan dasar asumsi bahwa nilai-nilai yang diusung peradaban
Barat tersebut bertentangan dengan nilai dan konsep keislaman. Kedua,
kalangan umat Islam yang secara mutlak mengadopsi dan mengadaptasi
corak peradaban Barat untuk diinternalisasikan ke dalam nilai dan konsep
keislaman. Kalangan ini menjadikan peradaban Barat sebagai parameter
Keinginan untuk mengulangi
kembali kejayaan yang pernah
dicapai inilah yang menjadi
motivasi seorang intelektual
besar Islam abad 19, Jamaluddin
al-Afghani. Berbasis gerakan
intelektual dan beberapa
pendekatan politik, al-Afghani
mencoba mewujudkan cita-
citanya tersebut.
1006 Jurnal V0501.indb 26 25/06/2010 12:04:03
27MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
kemajuan. Asumsi mereka, kemajuan peradaban Barat saat ini tak lain
cerminan dari kemajuan peradaban Islam dahulu kala, tentunya dengan
berbagai inovasi dan kreasi. Jadi berkaca pada peradaban Barat, dalam
perspektif ini, diasumsikan sama halnya dengan proses untuk meraih
kembali kejayaan peradaban Islam dahulu kala.
Dua pandangan tersebut mewakili dua titik ekstrem yang bertolak
belakang. Namun implikasi dari dua pandangan tersebut sama. Yang
berbeda hanya sisinya. Keduanya sama-sama menciptakan semacam
alienasi umat Islam dari realitas. Pada pandangan yang pertama, alienasi
terjadi karena umat Islam bersikap mengambil jarak dengan realitas.
Mereka terperangkap pada tata nilai dan konsep keislaman, tapa mampu
menerjemahkannya ke dalam tata laku di realitas. Sementara pada
pandangan yang kedua, alienasi terjadi justru karena yang dipraktekkan
bukanlah konsep dan nilai keislaman. Mereka terjebak pada asumsi
similiaritas antara konsep keislaman dengan konsep yang dianut dalam
peradaban Barat.
Dengan menjadikan ragam respon dan pandangan di atas sebagai perbandingan, kita kembali pada pemikiran Jamaluddin al-Afghani. Yang digagas oleh Jamaluddin adalah jalan tengah diantara dua pandangan ekstrem diatas. Sebuah pandangan yang mencoba mengkombinasikan sisi positif peradaban Barat dengan nilai-nilai keislaman. Sains dan teknologi diantara sisi positif dari peradaban Barat. Adapun penentangan keras Jamaluddin terhadap corak peradaban Barat adalah pada motif kolonialisme, imperialisme dan materialismenya. Tiga hal ini, bagi Afghani, merupakan nilai dasar peradaban Barat yang senantiasa harus diwaspadai wujud latennya.
Menurut Bassam Tibi (1988), Afghani dan Abduh (murid Afghani), dua
tokoh yang dijuluki Bapak modernisme Islam, menyerukan kebangkitan
Islam tetapi tidak dalam pengertian kembali secara romantik pada
negara-Islamnya Nabi. Afghani dan Abduh bahkan menekankan untuk
menerima kultur saintifik Eropa dan semua prestasi Eropa, sepanjang
1006 Jurnal V0501.indb 27 25/06/2010 12:04:03
28 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
bisa diintegrasikan ke dalam Islam.
Namun dalam hal perjuangannya
melawan kolonialisme, Afghani
sangat tegas. Bahkan Tibi sampai
menegaskan bahwa mungkin saja
Afghani melihat dirinya sebagai
Luther Islam.
Ditilik dari kacamata Afghani, umat Islam yang menolak secara mutlak
kemajuan sains dan tekhnologi Barat, akan dihadapkan pada problem
keterbelakangan. Mereka akan selalu pada posisi tertinggal dari kemajuan
yang dicapai bangsa lain. Sementara kelompok muslimin yang tanpa
reserve mengadopsi nilai dan konsep peradaban Barat, justru terlena
oleh apa yang disebut dengan westernisasi. Kelompok ini menjadikan
Islam sebagai Barat dan Barat sebagai Islam. Mereka tak memiliki garis
batas yang jelas antar keduanya.
Dalam kerangka pemikiran di atas itulah gagasan keislaman Afghani
hendaknya dilihat. Pembaruan Islam yang disuarakan Afghani selalu
berada pada tarikan yang seimbang antara rasio dan iman, antara
sains dan agama serta antara akal dan wahyu. Afghani mencoba
menyeimbangkan ketiga hal tersebut pada proporsinya masing-masing.
Dari segi keilmuan, penekanan Afghani pada peran filsafat cukup
tinggi. Afghani menulis: Kaum muslim terdahulu tidak menguasai
ilmu apapun, tetapi atas jasa agama Islam, semangat filsafat berkembang
di kalangan mereka, dan dengannya mereka mulai membahas
permasalahan-permasalahan yang menyangkut dunia dan kemanusiaan
pada umumnya. Oleh karenanya, dalam waktu singkat mereka menguasai
semua ilmu yang membahas permasalahan tertentu. (John. J Donohue
dan John. L. Esposito: 1993).
Namun, penekanan Afghani pada filsafat tersebut, tidak dalam kerangka
mengesampingkan proporsi teologi (iman). Ini terlihat dalam perdebatan
umat Islam yang menolak secara
mutlak kemajuan sains dan tekhnologi
Barat, akan dihadapkan pada problem
keterbelakangan. Mereka akan selalu
pada posisi tertinggal dari kemajuan
yang dicapai bangsa lain
1006 Jurnal V0501.indb 28 25/06/2010 12:04:04
29MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
Afghani dengan Ernest Renan. Hipotesis Renan bahwa agama akan
kehilangan perannya, lambat laun seiring dengan perkembangan dan
kemajuan zaman, dibantah oleh Afghani. Afghani mengatakan bahwa
masyarakat manusia tanpa Tuhan dan pengetahuan kenabian, tidak
bisa menjadi masyarakat yang stabil. Masyarakat akan terlilit oleh chaos.
Dalam kekacauan itulah, kata Afghani dalam perdebatan tersebut,
kemudian muncul orang-orang jenius yang bukan hanya bertopang pada
inspirasi dan juga kekuatan rasional. Tokoh-tokoh tersebut memiliki
kemampuan untuk mengaktualisasikan akal dalam kaitannya dengan
dimensi ketuhanan. (Muhsin Mahdi:2002)
Kuatnya penekanan Afghani pada peran dan fungsi rasio, bisa kita
lihat pada pemikiran-pemikiran muridnya, Muhammad Abduh.
Minus peran di bidang politik, Abduh mengembangkan gagasan-
gagasan Afghani pada dimensi teologi, pemikiran keislaman, aqidah,
dan tafsir. Abduh meneguhkan signifikansi ijtihad, sebuah metodologi
berpikir yang menurutnya bisa menuntun umat Islam untuk mengejar
ketertinggalannya dari Barat. Karena metode ijtihad, memberikan
keleluasaan pada umat Islam untuk merespon problem aktual dan
kebutuhan akan progress di berbagai bidang.
Rasyid Ridha: Sebuah Tinjauan Ulang
Kita melihat runtutan corak pemikiran Afghani pada muridnya, Abduh.
Namun, apakah hal yang sama kita temukan pada pemikiran Rasyid
Ridha, murid Afghani dan Abduh? Pada tingkat Ridha, telah terjadi
beberapa perubahan corak pemikiran yang diwariskan kedua gurunya
tersebut. Perbedaan Ridha terutama bisa kita lihat dalam hal pemberian
peran pada rasio.
Shalahuddin Jursyi (2000), intelektual Tunisisa, mengatakan bahwa
kesediaan Rasyid Ridha untuk menerbitkan majalah dan tafsir Al Manar
sepeninggal Muhammad Abduh, tak lain hanyalah karena amanat dari
1006 Jurnal V0501.indb 29 25/06/2010 12:04:04
30 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
gurunya itu. Namun, hampir semua pengkaji Islam tahu bahwa Rasyid
Ridha, meskipun tetap mempertahankan semangat dan jiwa reformis
dalam tulisan-tulisannya, ia jauh kurang rasional dari Abduh. Dalam
istilah Jursyi, kaki Ridha lebih sering berpijak pada ranah salafi
daripada pemikiran gurunya.
Meskipun dari segi aqidah Abduh tetaplah salafi, namun dia sangat
memperkuat keterhubungan antara teks dan rasio. Bahkan, Abduh
membuka pintu kemungkinan terjadinya kontradiksi antara teks
dengan rasio. Teks adalah alat bantu bagi rasio. Sedangkan rasio
harus digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dengan
demikian, kemaslahatan adalah landasan pembangunan integral yang
harus dijadikan sebagai wahana yang progresif bagi rasionalitas, sesuai
dengan perubahan akumulatif yang terjadi. Karena itu, rasionalitas Islam
progresif dibentuk dari hubungan dialektik yang konseptual antara teks
dan tujuan-tujuan universalnya, ilmu pengetahuan kontemporer dengan
segala bentuknya, dan kemaslahatan mayoritas umat Islam, demikian
pandangan Abduh. (Shalahuddin Jursyi: 2000)
Menurut Robert D.Lee (2000), Abduh melakukan reformasi doktrin
Islam dengan menempatkan penalaran pada tempatnya. Abduh
berpandangan bahwa Islam dan penalaran sama-sama mencerminkan
kebenaran Tuhan. Keduanya tidak bisa bertentangan.
Charles Adam, salah satu pengkaji pemikiran Abduh, mengatakan
bahwa dua pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran Abduh: hubungan
antara akal dan wahyu di satu sisi dan hubungan Islam dengan agama
lain (Bassam Tibi:1988). Penekanan Abduh pada ijtihad menjadi salah
satu bukti besarnya porsi yang ia berikan pada rasio, meskipun Abduh
tidak mengeleminir fungsi dan keberadaan taqlid.
Sebagaimana Afghani, Abduh sangat menekankan proporsionalitas
akal dan iman. Meskipun mengedepankan upaya maksimalisasi peran
akal dalam pemikiran keislaman, Abduh tetap tidak mengesampingkan
1006 Jurnal V0501.indb 30 25/06/2010 12:04:04
31MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
proporsi iman. Penekanan tersebut hanya karena konteks saat itu dimana
dalam khazanah pemikiran keislaman, proporsi nalar sangat minim.
Sementara di tangan Ridha, rasio diperkecil peranan serta fungsinya dalam membaca (teks) Islam. Ridha bukan lagi cenderung hati-hati dalam memfungsikan rasio, namun sudah besar keterpengaruhannya pada paradigma salafi yang sangat meminimalisasikan peran rasio. Bagi seorang sarjana ahli filsafat seperti Muhsin Mahdi, bagaimana Ridha memberikan tempat yang lebih minim pada peran rasio, dalam batas tertentu bisa dilihat keterpengaruhan pemikiran dalam melahirkan Ikhwanul Muslimin. Dalam tingkat tertentu, akar pemikiran lahirnya Ikhwanul Musliminyang nota bene berbagi sejenis keyakinan salafiyah -- adalah pandangan Rasyid Ridha (Muhsin Mahdi: 2002)
H.A.R.Gibb (1983) juga mencatat mendekatnya Ridha pada salafiyah.
Menurut Gibb, pada puncaknya Ridha mengakui dan menumbuhkan
hubungan antara pemikiran dan tujuan salafiyah dan wahhabiah. Dan
pertalian kuat antar keduanya adalah pada penentangan terhadap sufi
dalam bentuk apapun juga.1
Setiap pembaca Tafsir al-Manar, tafsir karya Abduh, yang dilanjutkan
oleh Ridha, juga sulit untuk melihat perbedaan yang cukup mencolok
dalam hal pemikiran keduanya, khususnya dalam hal kepercayaan
kepada peran akal dalam menafsirkan al-Quran dan memahami ajaran-
ajaran Islam.
Pada titik inilah, kita bisa melihat
bahwa Ridha, berbeda dengan kedua
gurunya, Afghani dan Abduh, tidak
memberikan penekanan pada akal
dan tidak memberikan tempat sama
sekali pada kecenderungan sufisme.
Persepsi Ridha tentang tasawuf
berubah drastis. Padahal, sebelumnya
Sementara di tangan Ridha, rasio
diperkecil peranan serta fungsinya
dalam membaca (teks) Islam. Ridha
bukan lagi cenderung hati-hati
dalam memfungsikan rasio, namun
sudah besar keterpengaruhannya
pada paradigma salafi yang sangat
meminimalisasikan peran rasio
1006 Jurnal V0501.indb 31 25/06/2010 12:04:04
32 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
ia salah satu penganutnya. Ridha
sepenuhnya beralih dari tasawuf
ke salafiyah. Ridha membangun
gagasan keislaman yang berorientasi
pada salafisme dan hingga tidak
menyisakan ruang bagi praktek-
praktek keislaman yang berbasis
sufistik.
Pada titik ini, kita perlu mengkaji ulang paradigma Ridha, dalam konteks
persamaannya dengan Afghani dan Abduh. Kedekatan Ridha pada
salafisme adalah sebuah kecenderungan yang tidak kita dapatkan pada
kedua gurunya tersebut. Dan tentu saja ini memberikan konsekuensi
pada cara kita dalam mengapresiasi pemikiran Ridha.
Muhammadiyah dan Pembaruan Islam Indonesia
Pembaruan Islam Jamaluddin al-Afghani dan dua muridnya, Abduh dan
Ridha, berhembus ke berbagai penjuru negeri Muslim. Kaum Muslim
di Indonesia salah satu yang meresponnya. Ide pembaruan Islam juga
kencang terjadi di dunia pemikiran keislaman Indonesia. Deliar Noer
(1982) mengatakan bahwa ada dua aras utama yang menjadi sasaran dan
arena dari tujuan gerakan pembaruan dalam konteks Indonesia, yaitu
bidang sosial dan pendidikan di satu sisi dan bidang politik pada sisi yang
lain. Pada ketiga bidang tersebut, pembaruan memainkan perannya.
Sementara itu, ada tiga hal yang melatarbelakangi munculnya fenomena
pembaruan di Indonesia (Jurnal Prisma 1984, nomor ekstra). Pertama,
gerakan pembaruan muncul bersama dengan bangkitnya kesadaran baru
di masyarakat Timur tentang keharusan menentang penjajahan Barat.
Kedua, upaya penentangan tersebut tidak cukup hanya ditunjang oleh
gagasan semata, namun juga kekuatan bersama dan lembaga untuk
merealisasikannya. Ketiga, gerakan pembaruan memiliki kecenderungan
kita perlu mengkaji ulang paradigma
Ridha, dalam konteks persamaannya
dengan Afghani dan Abduh. Kedekatan
Ridha pada salafisme adalah sebuah
kecenderungan yang tidak kita
dapatkan pada kedua gurunya tersebut
1006 Jurnal V0501.indb 32 25/06/2010 12:04:04
33MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
serta sasaran yang berbeda-beda sesuai dengan fase-fasenya. Ada fase
dimana yang menjadi fokus adalah seputar kepentingan praktis, seperti
ritual, ibadah dan lainnya. Tapi pada fase selanjutnya kecenderungannya
berubah dan cakupannya juga meluas pada dimensi yang lebih luas
(bukan furuiyah) dan fundamental. .
Salah satu tokoh yang terinspirasi oleh ide pembaruan Afghani adalah
K.H Ahmad Dahlan. Gagasan Ahmad Dahlan tentang pembaruan Islam
Indonesia kemudian teraktualisasikan dalam bentuk Muhammadiyah
sebagai sebuah organisasi Islam kemasyarakatan. Banyak teori yang
menawarkan berbagai perspektif soal yang melatarbelakangi lahirnya
Muhammadiyah. A. Mukti Ali (1985), menginventarisasikan empat faktor
yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan beragama
yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, kegiatan para
misionaris Kristen, dan sikap masa bodoh dan bahkan anti agama dari
kalangan intelegensia. Sementara Alwi Shihab (1998), lebih menekankan
faktor penetrasi Kristen sebagai latar belakang lahirnya Muhammadiyah.
Meskipun, Alwi tetap tidak menafikan pengaruh gagasan pembaruan yang
berkembang di Timur Tengah pada abad ke-20 dan juga pertentangan
ideologis dalam masyarakat Jawa, sebagai dua faktor yang memberikan
kontribusi atas lahirnya Muhammadiyah.
Secara umum, peran Muhammadiyah meliputi tiga ranah sekaligus:
sebagai gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai
kekuatan politik.
Tajdid dan Tajrid
Gagasan utama yang diusung Muhammadiyah adalah pemurnian (tajrid,
tandhif) sekaligus pembaruan (tajdid, ishlah). Dua hal ini dijalankan secara
seimbang dan proporsional. Inilah makna pembaruan dalam perspektif
Muhammadiyah. Jika kita telusuri dari segi makna, tajdid (pembaruan)
bukan hanya berarti mengembalikan sesuatu pada asal mulanya (iadat
1006 Jurnal V0501.indb 33 25/06/2010 12:04:04
34 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
al-syaiy ka al-mubtada) atau yang kita kenal dengan pemurnian. Tajdid juga
berarti menghidupkan sesuatu yang telah mati (al-ihya). Tajdid bisa pula
dimaknai membangun, mengembangkan (al-ishlah).
Dengan kerangka definisi tersebut,
maka makna pembaruan lebih luas
cakupannya. Upaya pemurnian
bukan saja berupa kembali pada
sesuatu yang asal, namun juga ada
sebuah ruang untuk aktualisasi dan
kontekstualisasi. Aktualisasi mengacu
pada aspek waktu atau zaman. Ajaran
keislaman diperbaharui sesuai dengan
perkembangan zaman (aktual).
Sementara konstekstualisasi lebih
pada upaya pembaruan sesuai dengan perubahan dan perbedaan tempat
(konteks). Pada titik ini, tajdid menjadi sebuah upaya untuk kembali
pada substansi ajaran Islam, sembari pada saat yang sama tetap menjaga
spirit dinamisitas. Jadi, pada saat yang sama ada gerak kembali sekaligus
gerak maju.
Integrasi antara gerak kembali sekaligus gerak maju tersebut
membuat Muhammadiyah menjadi organisasi dengan spirit gerakan
wasathiyyah atau gerakan tengah. Jika kita teliti lebih mendalam,
moderatisme Muhammadiyah ini memiliki spirit makna yang sama
dengan faham moderasi yang dibangun oleh Afghani. Apresiasi Afghani
terhadap peran rasio, akal, dan filsafat, mencerminkan spirit gerak
maju Muhammadiyah dalam paradigma keorganisasiannya. Pada
saat yang sama, tetap proporsionalnya posisi dan peran yang Afghani
berikan pada iman, agama serta wahyu membuktikan bahwa gerak
kembali juga menjadi bagian penting dalam upaya memperbaharui
pemikiran keislaman. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan
Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat
moderatisme Muhammadiyah ini
memiliki spirit makna yang sama
dengan faham moderasi yang
dibangun oleh Afghani. Apresiasi
Afghani terhadap peran rasio, akal,
dan filsafat, mencerminkan spirit
gerak maju Muhammadiyah dalam
paradigma keorganisasiannya
1006 Jurnal V0501.indb 34 25/06/2010 12:04:04
35MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan
mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qurn dan al-
Sunnah (A. Syafii Maarif, 1996). Singkat kata, pembaruan adalah sebuah
proses untuk menerjemahkan keabadian dan universalitas Islam dalam
kemewaktuan dan partikularitas.
Pada tingkat implementasi, Afghani menerjemahkan gagasan
jalan-tengahnya tersebut dengan cara mengakomodasi sisi positif
kemajuan peradaban Barat dan menepis efek negatifnya; dengan spirit
menemukan kembali spirit progres dalam ajaran Islam dan menyadari
fakta keterbelakangan umat Islam saat ini. Sementara Muhammadiyah
menerjemahkan paradigma tersebut dengan membangun sebuah
keseimbangan sekaligus kesinambungan antara gagasan dan aksi, antara
struktural dan kultural, serta antara moral dan spiritual. Sampai disini,
kita bisa melihat kesinambungan antara gagasan pembaruan Islam yang
dikembangkan Afghani dengan paradigma gerakan Muhammadiyah
yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan.
Untuk mewujudkan gagasan besar diatas, dibutuhkan sebuah konsep
pemikiran yang utuh dan konkret, yang menjadi basis gerakan organisasi
ini. Amin Abdullah merupakan salah satu kader Muhammadiyah yang
sejak lama mengintroduksi sebuah pendekatan yang komprehensif dalam
pemikiran Muhammadiyah. Yaitu epistemologi keilmuan Islam yang
berbasis pada tiga kerangka dasar: bayani, irfani dan burhani. Pandangan
Amin ini kemudian bergulir menjadi wacana yang berkembang di
Muhammadiyah. Amin (2007) menyebut ketiganya sebagai sebuah pola
yang dikomotis-atomistik dalam bangunan ilmu Islam. Sebab diantara
ketiganya, pada tataran faktual, cenderung dipertentangkan. Padahal
pada tingkat konseptual, saling berhubungan dan tak terpisahkan.
Corak pemikiran bayani sangatlah mendominasi dan hegemonik dalam
bangunan pemikiran keislaman. Sebaliknya, menurut analisa Amin, corak
pemikiran irfani (tasawuf, intuitif, al-Atify), kurang diapresiasi dalam
1006 Jurnal V0501.indb 35 25/06/2010 12:04:04
36 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
tradisi keilmuan bayani (fikh dan kalam) yang murni. Selain disebabkan
oleh pemahaman yang kabur atau tumpang tindih antara tradisi berpikir
keilmuan irfani dengan kelompok-kelompok atau organisasi tarekat serta
syathahat-syathahat-nya, Amin juga menengarai kurangnya pemahaman
yang komprehensif dan tepat atas struktur fundamental epistemologi dan
pola pikir irfani. Bahkan, epistemologi kemudian diidentikkan dengan
kecenderungan berpikir yang apologetik dan salah.
Menurut Amin, fenomena ini cukup
ironis, mengingat bahwa ketiga
sistem epistemologi tersebut, bayani,
irfani, dan burhani, pada dasarnya
berada dalam satu rumpun. Dalam
prakteknya, ketiganya bukan saja tidak
saling mengenal, namun juga saling
menafikan. Bahkan terjadi fenomena
saling mengkafirkan. Dilihat dalam
perspektif Muhammad Abid Al Jabiri, pola pikir tekstual bayani memang
lebih dominan secara politis dan membentuk mainstream pemikiran
keislaman yang hegemonik. Akibatnya, otoritas teks dan otoritas salaf
lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain, seperti
ilmu kealaman (kauniyyah), akal (aqliyyah), maupun intuisi (wijdaniyyah).
Implikasinya, epistemologi tekstual-lughawiyyah lebih diutamakan
ketimbang epistemologi kontekstual-bahtsiyyah ataupun spiritualitas-
irfaniyyah-bathiniyyah.
Demikianlah, Amin Abdullah memperkenalkan gagasan keislaman yang
komprehensif, yang jika diterapkan dapat mengarahkan umat Islam
untuk melihat persoalan dari multi perspektif dan dimensi. Ini pula
yang penting untuk disemaikan dalam pola pikir dan gerakan keislaman
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi. Muhammadiyah harus
bertopang pada paradigma ini.
Ketiga sistem epistemologi tersebut,
bayani, irfani, dan burhani, pada
dasarnya berada dalam satu rumpun.
Dalam prakteknya, ketiganya bukan
saja tidak saling mengenal, namun
juga saling menafikan
1006 Jurnal V0501.indb 36 25/06/2010 12:04:04
37MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
Pada tingkat organisasi, Haedar Nashir, juga mensosialisasikan agenda
di atas. Nashir mengatakan bahwa ada dua materi strategis yang dapat
diselesaikan dalam Muhammadiyah menyangkut fondasi pemikiran yang
fundamental dalam gerakan Islam ini.2
Pertama, menyelesaikan atau memulai kembali penyusunan buku Risalah
Islamiyah yang berisi tentang Islam dalam berbagai aspeknya yang menjadi
pandangan resmi Muhammadiyah. Ini penting untuk memberi substansi
atas slogan al-ruju ila al-Quran wa al-Sunnah Tanpa ini, Muhammadiyah
tidak memiliki substansi pemikiran yang komprehensif dan fundamental,
sehingga akan terjadi tarik menarik di dalamnya. Materi dalam al-Masail
al-Khamsah (Masalah Lima) mengenai m hua al-din (apa itu agama),
Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman
Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan berbagai rumusan resmi
lainnya, menurut Nashir, dapat menjadi dasar bagi perumusan Risalah
Islam dalam pandangan Muhammadiyah.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang
Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam
yaitu bayani, burhani, dan irfani. Menurut Nashir, ini penting untuk
memperluas cakrawala metodologis dalam pengembangan pemikiran
Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan
dinamisasi sebagaimana menjadi elan vital Muhammadiyah, menurut
Nashir, pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan
irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan luas
dari manhaj tarjih. Ketiga pendekatan yang bersifat integratif ini, bagi
Nashir, sebenarnya dapat memecahkan atau merupakan jalan keluar
dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi bagian yang
dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah. Yaitu antara
garis ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual. Atau
juga kategorisasi-kategorisasi lainnya yang sejenis, yang saling berlawanan
secara diametral.
1006 Jurnal V0501.indb 37 25/06/2010 12:04:05
38 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
Ada tiga langkah yang direkomendasikan Nashir, Pertama, melakukan
teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi
agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah
memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam
paradigma multi perspektif. Baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu
Islam klasik maupun kontemporer.
Kedua, elaborasi metodologis. Yaitu dengan menurunkan kerangka
berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam berbagai cara berpikir
(metode) yang lebih detail. Terutama ketika menjelaskan dimensi-dimensi
ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalat-duniawiyah
pada tataran praksis.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha,
pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan.
Ini penting untuk menghindari agar Muhammadiyah menjadi sebuah
gerakan yang tidak mandul dari aksi serta agenda riil. Sebaliknya, menjadi
gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika
kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global.
Namun jika kita telusuri lebih jauh, gagasan di atas sebenarnya telah
diintroduksi pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh, tahun 1995.
Ketika itu, istilah yang digunakan adalah spiritualisasi syariah (Mulkhan:
2003). Saat itu, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga
mengenalkan pendekatan irfani, untuk melengkapi dua pedekatan yang
lain.
Bahkan lebih jauh lagi, Abdul Munir Mulkhan (2005) mencoba menarik
garis historisnya pada pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, sang pendiri.
Menurut Mulkhan, K.H. Ahmad Dahlan telah menyampaikan istilah-
istilah seperti hati suci, Islam Sejati, akal suci dan Quran Suci
pada pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Kongres
Muhammadiyah bulan Februari 1922. Istilah-istilah ini, menurut
Mulkhan, sebenarnya memiliki konotasi sufistik. Itu merupakan
1006 Jurnal V0501.indb 38 25/06/2010 12:04:05
39MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
ungkapan yang bernuansa bathiniah. Dan jika kita tarik dalam konteks
yang lebih spesifik, jejak tersebut bisa mengantarkan kita pada gagasan
sufistik pada pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan.
Puncak terlihatnya wajah sufisme di Muhammadiyah sebenarnya
pada sosok A.R. Fakhruddin. Fakhruddin memiliki corak pemikiran
dan praktek kehidupan yang kental dengan nuansa sufistik. Sebagai
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama sepanjang sejarahnya,
19681990, pengaruh Fakhruddin, secara langsung maupun tidak,
dalam mengintrodusir nuansa sufistik ke dalam paradigma serta
gerakan Muhammadiyah sangat besar. Berikut ini dokumentasi Mitsuo
Nakamura (1983) tentang salah satu pidato Fakhruddin yang amat kental
nuansa sufistiknya: Bahwa jalan yang paling pasti untuk membentuk
akhlak yang mulia adalah melakukan ibadat, dengan kesadaran penuh
kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran adalah hasrat
seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi
mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi,
kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah,
sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain.
Bahwa shalat-shalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yang
sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah
monopoli tarekat, dan boleh dipraktikkan bilamana hal tersebut dapat
membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam
beribadah maupun dalam bermuamalah.
Pada dasarnya, asumsi yang terbangun
selama ini, bahwa Muhammadiyah
berada pada posisi yang bertolak
belakang dengan paradigma sufistik,
perlu dikaji ulang. Para pendiri
organisasi ini sebenarnya memiliki
gagasan-gagasan keislaman yang tidak
Puncak terlihatnya wajah sufisme di
Muhammadiyah sebenarnya pada
sosok A.R. Fakhruddin. Fakhruddin
memiliki corak pemikiran dan praktek
kehidupan yang kental dengan
nuansa sufistik
1006 Jurnal V0501.indb 39 25/06/2010 12:04:05
40 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
jauh dari nuansa sufistik. Mereka sangat apresiatif terhadap nilai-nilai
serta paradigma sufisme.
Meski tarikan untuk menjadi lebih fundamentalistik selalu laten dalam
pemikiran dan praktik sebagian pemikir dan aktivis Muhammadiyah,
bahkan dapat diduga bahwa kedekatan Muhammadiyah dengan
berbagai aspek kultural dalam tradisi masyarakat Indonesia khususnya
di Jawa sesungguhnya berakar pada apresiasi terhadap nuansa sufistik
ajaran-ajarannya. Dilihat dari perspektif ini, cara penghayatan Islam
Muhammadiyah sesungguhnya lebih dekat pada kategori low Islam
yang di dalamnya agama telah menyatu dengan budaya -- sebagaimana
diperkenalkan oleh Ernest Gellner, ketimbang high Islam yang cenderung
lebih fundamentalistik.
Kesimpulan
Akhirnya, memasuki usianya yang sudah menembus satu abad,
tantangan yang dihadapi Muhammadiyah semakin kompleks dan
berat. Gerakan Muhammadiyah pada berbagai bidang tidak lagi
bisa menggunakan pendekatan lama. Tuntutan realitas membuat
Muhammadiyah hendaknya lebih responsif untuk menggunakan
media serta perangkat sosial dan kultural yang lebih relevan dan
efektif untuk konteks saat ini.
Tantangan tersebut sekaligus pada dua ranah: intelektual dan gerakan.
Pada tingkat intelektual, gagasan-gagasan yang disemaikan oleh Amin
Abdullah dan yang serumpun dengan itu, sangat mendesak untuk terus
dikembangkan. Membangun sebuah basis epistemologis yang berbasis
pada bayani, irfani dan burhani akan menciptakan sebuah keseimbangan
tersendiri. Sebuah keseimbangan yang akan mengingatkan kita pada
gagasan yang diusung oleh Afghani dan Abduh. Dimana rasio dan iman
berada pada garis yang sejajar, dengan masing-masing pola pendekatan
yang menjadi ciri khas serta kekuatannya.
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
1006 Jurnal V0501.indb 40 25/06/2010 12:04:05
41MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Haidar Bagir dan Muhammad Jafar
Secara mendasar, sulit untuk
membantah tesis yang menyatakan
bahwa kecenderungan sufistik pada
dasarnya tertanam dalam kultur
pemikiran dan gerakan Islam
Muhammadiyah. Lepas dari kritik yang
mungkin kita lontarkan pada gagasan-
asli Abied al-Jabiri, gagasan keislaman
yang mengkombinasikan epistemologi
bayani, irfani dan burhani tak lain
adalah sebuah proses menumbuhkan
corak epistemologis yang sebenarnya
benihnya sudah tertanam di rimbunan
sejarah keilmuan dan gerakan
organisasi ini.
Wal-Laahu alam
Referensi:Abdul Munir Mulkhan, Islam Sejati: K.H. Ahmad Dahlan dan Petani
Muhammadiyah, Serambi, 2003.
Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (1998).
Amin Abdullah, Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi dan Interkoneksi, Suka Press, 2007.
Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam, The University of Utah Press, 1988.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Cet.8. 1996
H.A.R Gibbi, Whither Islam?, London. 1932.
Haidar Bagir - Muhammad Jafar
Secara mendasar, sulit untuk
membantah tesis yang menyatakan
bahwa kecenderungan sufistik
pada dasarnya tertanam dalam
kultur pemikiran dan gerakan Islam
Muhammadiyah. Lepas dari kritik
yang mungkin kita lontarkan pada
gagasan-asli Abied al-Jabiri, gagasan
keislaman yang mengkombinasikan
epistemologi bayani, irfani dan
burhani tak lain adalah sebuah proses
menumbuhkan corak epistemologis
yang sebenarnya benihnya sudah
tertanam di rimbunan sejarah
keilmuan dan gerakan organisasi ini.
1006 Jurnal V0501.indb 41 25/06/2010 12:04:05
42 MAARIF Vol. 5, No. 1 Juni 2010
Al-Afghani, Abduh, Atau Ridha?
Haedar Nashir, Makalah Seminar Pra-Muktamar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid, 21 s.d 22 November 2009, di Kampus UM Malang, Malang-Jawa Timur.
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedia Masalah-masalah, Rajawali Press, 1993.
Jurnal Prisma, nomor ekstra, 1984.
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Paramadina, 2002.
Mitsuo Nakamura Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Gajah Mada Press, 1983.
Muhsin Al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Geraudy, (Terj) Paramadina, 1996
Muhsin Mahdi dalam Tradisi-tradisi Intelektual Islam, Farhad Daftary (editor), Penerbit Erlangga, 2002
Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduction, tesis MA di McGill University (1985).
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, Dari Nalar Puisi Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, Mizan, 2000.
Sayy