UNIVERSITAS IN
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI
NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI
FRANZ DAN METODE
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI
NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI
FRANZ DAN METODE TAPE STRIPPING
SKRIPSI
PATRICIA SIMON
0806327963
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FARMASI
DEPOK
JULI 2012
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI
NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI
NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI
FRANZ DAN METODE
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
FAKULTAS MATEMATIKA
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI
NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI
FRANZ DAN METODE TAPE STRIPPING
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi
PATRICIA SIMON
0806327963
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FARMASI
DEPOK
JULI 2012
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI
NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
iii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
iv
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
v
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan
penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, mulai dari
masa perkuliahan sampai pada penulisan skripsi ini, sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Pharm. Dr. Joshita Djajadisastra, M. S., Ph.D. sebagai dosen Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dan ilmu selama masa
penelitian hingga penulisan skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Effionora Anwar, M.S. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI.
3. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Kepala Departemen Farmasi
FMIPA UI yang telah memberi kesempatan dan fasilitas selama masa
perkuliahan, penelitian, dan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si. selaku Koordinator Penelitian serta seluruh
Bapak dan Ibu Dosen Departemen Farmasi UI yang telah banyak membantu
dan membimbing penulis selama masa pendidikan hingga penelitian.
5. Keluargaku yaitu papa dan mama atas segala dukungan, motivasi, perhatian,
kasih sayang, doa dan dana yang diberikan kepada penulis.
6. PT. Kimia Farma dan BPOM yang telah bersedia memberikan bantuan bahan
baku yang digunakan pada penelitian ini
7. Mbak Devfha, Mbak Lia, Bapak Imi, Bapak Surya, Bapak Dadang, serta
laboran lainnya atas segala bantuan dan kerja samanya selama masa
perkuliahan hingga penulis menyelesaikan pendidikan di Departemen Farmasi
UI.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
vii
8. Sahabatku yaitu Tirza, Kezia dan Ivan atas dukungan, motivasi, bantuan dan
doanya untuk penulis serta kesediaannya untuk menemani penulis di saat-sat
sukar.
9. Teman-teman penelitian yaitu KBI Farmasetika kerja sama, dukungan, dan
bantuannya selama penelitian berlangsung.
10. Keluargaku di farmasi yaitu Kak Caroline, Kak Marvin, Kak Anne, Natalia,
Yosiepin dan Putri atas dukungannya selama ini.
11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan pengarahan
kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam dunia farmasi dan masyarakat pada umumnya.
Penulis
2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
viii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
ix
ABSTRAK
Nama : Patricia Simon
Program studi : Farmasi
Judul : Formulasi dan Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium
Diklofenak dengan Metode Sel Difusi Franz dan Metode
Tape Stripping
Natrium diklofenak adalah obat AINS yang banyak digunakan menjadi bentuk
sediaan transdermal. Obat AINS yang diberikan secara transdermal mempunyai
konsentrasi obat di plasma yang lebih rendah daripada pemberian secara oral.
Peristiwa itu mungkin disebabkan karena adanya interaksi antara natrium
diklofenak dengan stratum korneum kulit. Dalam penelitian ini, digunakan bentuk
sediaan mikroemulsi. Mikroemulsi diharapkan dapat meningkatkan penetrasi obat
karena mengandung konsentrasi surfaktan yang tinggi. Kemampuan berpenetrasi
natrium diklofenak dari sediaan mikroemulsi diuji secara in vitro menggunakan
sel difusi Franz dan metode tape stripping. Hasil uji penetrasi dengan sel difusi
Franz menunjukkan bahwa selama 8 jam, natrium diklofenak telah terpenetrasi
sebesar 9,3185%. Hasil uji penetrasi dengan metode tape stripping menunjukkan
bahwa obat tidak tertahan di kulit dalam jumlah besar. Jumlah konsentrasi obat
yang terdapat di kompartemen reseptor, membran kulit dan kompartemen donor
sel difusi Franz mendekati 100%.
Kata kunci : mikroemulsi, natrium diklofenak, penetrasi, sel difusi Franz, tape
stripping
xv + 112 hal. : 39 gambar; 22 tabel; 19 lampiran.
Daftar pustaka : 59 (1978 - 2012)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
x
ABSTRACT
Name : Patricia Simon
Program Study : Pharmacy
Title : Formulation and Penetration Test of Sodium Diclofenac
Microemulsion by Franz Diffusion Cell and Tape Stripping
Method
Sodium diclofenac is one of NSAIDs which widely formulated as transdermal
dosage form. The transdermal dosage form of NSAIDs has a lower concentration
in plasma than oral route. This phenomenon may be caused of interaction between
sodium diclofenac and skin’s stratum corneum. Microemulsion dosage form was
used in this research. The use of microemulsion dosage form is aimed to increase
drug penetration because of its high surfactant content. The penetrability of
sodium diclofenac microemulsion was tested by in vitro method using Franz
diffusion cell and tape stripping method. The result from penetration test by Franz
diffusion cell was sodium diclofenac had penetrated for about 9.3185% during 8
hours. Penetration test by tape stripping method revealed that sodium diclofenac
was not restrained in skin membrane for significant amount. The sum of sodium
diclofenac in compartment receptor, skin membrane and compartment donor of
Franz diffusion cell is around 100%.
Keywords : microemulsion, sodium diclofenac, penetration, Franz diffusion
cell, tape stripping
xv + 112 pages : 39 pictures; 22 tables; 19 appendix.
References : 59 (1978 – 2012)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................ viii
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
ABSTRACT ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
1.3 Batasan Penelitian .................................................................................... 3
1.4 Metode Penelitian ..................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5
2.1 Kulit ........................................................................................................ 5
2.2 Mikroemulsi .......................................................................................... 13
2.3 Pembuatan Preparat Histologi ................................................................ 16
2.4 Metode Tape Stripping .......................................................................... 17
2.5 Metode Sel Difusi Franz ....................................................................... 19
2.6 Natrium Diklofenak ............................................................................... 21
2.7 Komponen Pembentuk Mikroemulsi ..................................................... 22
3. METODE PENELITIAN ......................................................................... 28
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 28
3.2 Alat ........................................................................................................ 28
3.3 Bahan ..................................................................................................... 28
3.4 Cara Kerja .............................................................................................. 29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 40
4.1 Karakterisasi Virgin Coconut Oil ...................................................................... 40
4.2 Formulasi dan Pembuatan Mikroemulsi ........................................................... 40
4.3 Evaluasi Mikroemulsi ....................................................................................... 43
4.4 Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak ............................................... 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 67
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 67
5.2 Saran ................................................................................................................ 67
DAFTAR ACUAN ..................................................................................................... 68
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Struktur kulit ................................................................................ 7
Gambar 2.2. Berbagai jalur penetrasi zat melalui kulit ..................................... 10
Gambar 2.3. Tape Stripping .............................................................................. 18
Gambar 2.4. Sel difusi Franz ............................................................................ 20
Gambar 2.5. Struktur natrium diklofenak ......................................................... 21
Gambar 2.6. Struktur polisorbat 80 .................................................................. 23
Gambar 2.7. Struktur etanol 96% ..................................................................... 23
Gambar 2.8. Struktur propilen glikol ................................................................ 24
Gambar 2.9. Struktur metil paraben .................................................................. 24
Gambar 2.10. Struktur propil paraben ................................................................ 25
Gambar 2.11. Struktur BHT ............................................................................... 26
Gambar 2.12. Struktur asam sitrat ...................................................................... 27
Gambar 4.1. Rheologi mikroemulsi minggu ke-0 ............................................. 45
Gambar 4.2. Rheologi mikroemulsi minggu ke-8 ............................................ 45
Gambar 4.3. Grafik perubahan pH mikroemulsi pada penyimpanan berbagai
suhu selama 8 minggu ................................................................... 49
Gambar 4.4. Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 .... 51
Gambar 4.5. Kurva kalibrasi baku pembanding natrium diklofenak dalam
dapar fosfat pH 7,4 ........................................................................ 52
Gambar 4.6. Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam metanol ..................... 53
Gambar 4.7. Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi dengan
metode A ....................................................................................... 59
Gambar 4.8. Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi dengan
metode B ....................................................................................... 59
Gambar 4.9. Perbandingan hasil jumlah kumulatif natrium diklofenak
terpenetrasi dengan kedua metode ................................................ 60
Gambar 4.10. Perbandingan hasil fluks natrium diklofenak tiap waktu dengan
kedua metode ................................................................................ 60
Gambar 4.11. Profil jumlah natrium diklofenak tertinggal di kulit ..................... 64
Gambar 4.12. Profil jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor ............ 65
Gambar 4.13. Grafik persentase jumlah natrium diklofenak di kompartemen
donor, kulit dan kompartmen reseptor .......................................... 66
Gambar 4.14. Skema optimasi formula mikroemulsi .......................................... 74
Gambar 4.15. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH
7,4 dengan konsentrasi 10,14 ppm pada panjang gelombang
276 nm. ......................................................................................... 75
Gambar 4.16. Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam
dapar fosfat pH 7,4 dengan konsentrasi 10 ppm pada panjang
gelombang 276 nm ........................................................................ 75
Gambar 4.17. Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam
metanol ......................................................................................... 75 Gambar 4.18. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada
minggu ke-0 .................................................................................. 76
Gambar 4.19. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada
minggu ke-8 ................................................................................. 77
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
xiii
Gambar 4.20. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu
rendah (4±2OC) selama 8 minggu ................................................. 78
Gambar 4.21. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu
kamar (28±2OC) selama 8 minggu ............................................... 78
Gambar 4.22. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu
tinggi (40±2OC) selama 8 minggu ............................................... 78
Gambar 4.23. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan
setelah uji sentrifugasi .................................................................. 79
Gambar 4.24. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan
setelah uji cycling .......................................................................... 79
Gambar 4.25. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit tanpa
penempelan bahan perekat ............................................................ 79
Gambar 4.26. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan
penempelan bahan perekat sebanyak 8, 10, dan 12 kali ............... 80
Gambar 4.27. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan
penempelan bahan perekat sebanyak 13, 14, dan 15 kali ............. 80
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Komponen bahan pembentuk mikroemulsi .................................. 31
Tabel 4.1. Optimasi komposisi dan kondisi pembuatan mikroemulsi ........... 81
Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Organoleptis Formula pada minggu ke-0 ....... 83
Tabel 4.3. Hasil pengukuran tegangan antarmuka sediaan pada minggu
ke-0 dan ke-8 ................................................................................. 83
Tabel 4.4. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan
dengan suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu ............................ 84
Tabel 4.5. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan
dengan suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu ........................... 84
Tabel 4.6. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan
dengan suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu ........................... 84
Tabel 4.7. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu
rendah (4±2OC) selama 8 minggu ................................................. 85
Tabel 4.8. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu
kamar (28±2OC) selama 8 minggu ................................................ 85
Tabel 4.9. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu
tinggi (40±2OC) selama 8 minggu ................................................ 85
Tabel 4.10. Hasil uji viskositas minggu ke-0 ................................................... 86
Tabel 4.11. Hasil uji viskositas minggu ke-8 .................................................. 86
Tabel 4.12. Hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi dengan Zetasizer
Nano Malvern S ............................................................................ 87
Tabel 4.13. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut dapar fosfat pH 7,4
pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm ........................ 87
Tabel 4.14. Serapan baku pembanding natrium diklofenak dengan pelarut
dapar fosfat pH 7,4 pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ =
276 nm .......................................................................................... 87
Tabel 4.15. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut metanol pada
pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 282 nm ................................ 87
Tabel 4.16. Hasil penetapan kadar natrium diklofenak di dalam
mikroemulsi .................................................................................. 88
Tabel 4.17. Hasil uji penetrasi mikroemulsi natrium diklofenak dengan sel
difusi Franz dengan kedua metode ............................................... 88
Tabel 4.18. Fluks tiap waktu natrium diklofenak ........................................... 88
Tabel 4.19. Jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit ...................... 89
Tabel 4.20. Hasil pengukuran natrium diklofenak yang tertinggal di
kompartemen donor sel difusi Franz ............................................. 89
Tabel 4.21. Hubungan antara jumlah natrium diklofenak di kompartemen
reseptor, kulit dan kompartemen donor sel difusi Franz .............. 90
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan HLB VCO Virjint® .................................................. 91
Lampiran 2. Contoh perhitungan bobot jenis .................................................... 93
Lampiran.3. Contoh perhitungan tegangan permukaan .................................... 94
Lampiran 4. Perhitungan faktor koreksi natrium diklofenak terhadap baku
pembanding ................................................................................... 96
Lampiran 5. Contoh perhitungan penetapan kadar natrium diklofenak dalam
mikroemulsi .................................................................................. 97
Lampiran 6. Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang
terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-30 .............. 98
Lampiran 7. Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang
terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-60 .............. 99
Lampiran 8. Contoh perhitungan fluks tiap waktu natrium diklofenak dari
sediaan mikroemulsi ..................................................................... 100
Lampiran 9. Contoh perhitungan persentase jumlah natrium diklofenak
terpenetrasi dari mikroemulsi........................................................ 101
Lampiran 10. Contoh cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang
tertinggal di kulit ........................................................................... 102
Lampiran 11. Cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di
kompartemen donor ...................................................................... 103
Lampiran 12. Sertifikat analisis natrium diklofenak .......................................... 105
Lampiran 13. Sertifikat analisis baku pembanding natrium diklofenak .............. 106
Lampiran 14. Sertifikat analisis tween 80 ........................................................... 107
Lampiran 15. Sertifikat analisis etanol 96% ........................................................ 108
Lampiran 16. Sertifikat analisis BHT .................................................................. 109
Lampiran 17. Sertifikat analisis metil paraben .................................................... 110
Lampiran 18. Sertifikat analisis propil paraben................................................... 111
Lampiran 19. Sertifikat analisis tikus putih ......................................................... 112
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) adalah salah satu obat yang banyak
digunakan dalam resep di seluruh dunia (Dhikav, Singh, Pande, Chawla, &
Anand, 2003). Efek samping utama obat AINS adalah gangguan saluran
gastrointestinal. Pada rongga mulut dan esofagus dapat menyebabkan ulkus. Pada
lambung dan duodenum dapat menyebabkan ulkus, pendarahan, perforasi dan
obstruksi (Dhikav, Singh, Pande, Chawla, & Anand, 2003). Menurut Yeoman
(2001) dan Andrade SE, Gurwitz JH & Fish LS (1999), pemakaian obat AINS
oral secara kronis akan meningkatkan resiko ulkus sebesar 10-30 kali. Efek
samping obat ini terkait dengan mekanisme kerjanya yang menghambat enzim
siklooksigenase non selektif sehingga mengurangi produksi mukosa saluran
gastrointestinal. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan resistensi dinding
saluran gastrointestinal terhadap asam lambung.
Efek samping obat AINS terhadap saluran gastrointestinal menimbulkan
gagasan untuk mengembangkan bentuk sediaan transdermal obat AINS.
Penghantaran obat AINS secara transdermal akan menghilangkan efek samping
obat AINS pada saluran gastrointestinal (Barakat, Fouad & Almadanny, 2011)
Heynemann, Liday & Wall (2000) menyatakan bahwa obat AINS yang
diberikan secara transdermal mempunyai konsentrasi obat di plasma yang lebih
rendah daripada pemberian secara oral. Hal ini mungkin disebabkan karena
adanya stratum korneum yang merupakan pengatur laju difusi hampir semua zat
(Murthy, 2011). Stratum korneum kulit adalah penghalang penetrasi utama untuk
hampir semua zat kecuali jika zat tersebut bersifat sangat lipofilik. Nilai
lipofilisitas zat ditentukan dari nilai koefisien partisinya (log P). Nilai log P yang
optimal untuk penetrasi zat menembus stratum korneum adalah 2-3 (Benson &
Watkinson, 2012). Natrium diklofenak adalah salah satu contoh obat AINS yang
mempunyai kemampuan berpenetrasi dan kadar yang rendah di plasma. Hal ini
disebabkan karena natrium diklofenak mempunyai nilai log P sebesar 1,1
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
2
Universitas Indonesia
(Chuasuwan et.al., 2009) dan mempunyai sifat yang cenderung hidrofilik
(Bronaugh & Maibach, 2005).
Konsentrasi obat yang rendah itu menyebabkan perlunya dilakukan uji
penetrasi obat secara in vivo ataupun in vitro. Uji in vitro memiliki beberapa
kelebihan daripada uji in vivo, yaitu lebih mudah dilakukan, lebih menghemat
biaya dan waktu, lebih mudah untuk mengontrol variabel-variabel selama
pengukuran, dan lebih mudah dalam interpretasi data (Shah & Maibach, 1993).
Uji in vitro adalah metode paling sederhana dan paling hemat biaya untuk
mengetahui absorbsi dan profil penetrasi obat ke kulit (Witt & Bucks, 2003).
Teknik uji in vitro yang umum digunakan untuk mengetahui penetrasi obat
transdermal adalah metode sel difusi Franz (Bosman, Lawant, Avegaart, Ensing &
Zeeuw, 1996). Franz (1975) menyatakan bahwa sel difusi Franz dapat digunakan
untuk mempelajari absorbsi perkutan dan farmakokinetika obat topikal. Sel difusi
Franz dikondisikan mempunyai suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi
in vivo.
Uji in vitro lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui penetrasi obat
transdermal adalah metode tape stripping. Uji ini dilakukan dengan menarik
lapisan stratum korneum kulit yang telah mengandung obat dengan suatu bahan
perekat. Metode ini telah disetujui FDA untuk mengetahui bioavailabilitas dan
bioekivalensi obat-obat topikal dan transdermal (Murthy, 2011).
Pada penelitian ini dilakukan uji penetrasi mikroemulsi transdermal
natrium diklofenak menggunakan sel difusi Franz dan tape stripping. Hasil yang
didapat dari kedua uji dianalisa dan dilihat korelasinya. Secara teoretis,
konsentrasi natrium diklofenak yang terdapat di cairan kompartemen reseptor sel
difusi Franz sama dengan jumlah natrium diklofenak total dikurangi jumlah
natrium diklofenak yang terdapat di lapisan stratum korneum yang melekat pada
bahan perekat pada metode tape stripping.
Dalam penelitian ini digunakan bentuk sediaan mikroemulsi. Meskipun
bentuk sediaan mikroemulsi untuk penghantaran obat secara transdermal belum
umum digunakan, tetapi mikroemulsi mempunyai beberapa keuntungan yaitu
stabil secara termodinamika serta bisa meningkatkan absorbsi dan penetrasi obat.
Mikroemulsi mampu meningkatkan kelarutan obat yang sulit larut dalam air
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
3
Universitas Indonesia
sehingga meningkatkan absorbsi dan bioavailabilitas obat. Kandungan surfaktan
dan kosurfaktan yang tinggi dalam mikroemulsi juga dapat meningkatkan
penetrasi obat transdermal (Swarbrick, 2007).
Fase minyak yang digunakan adalah Virgin Coconut Oil (VCO). Fase
minyak ini digunakan karena Indonesia adalah negara penghasil kelapa kedua
terbesar dan memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia sehingga kelapa
adalah hasil perkebunan yang cukup melimpah di Indonesia. Dengan mengolah
kelapa menjadi VCO akan meningkatkan nilai tambah kelapa (Syah, 2005). Selain
itu, VCO juga mengandung jumlah asam lemak yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan penetrasi obat melalui kulit (Lucida, Salman, & Hervian, 2008;
Widiastuti, 2010). Karena keunggulan ini, maka VCO sangat baik digunakan
dalam sediaan farmasi.
1.2. Tujuan Penelitian
a. Membuat formula sediaan mikroemulsi natrium diklofenak dan menguji
kemampuan berpenetrasinya dengan metode sel difusi Franz dan metode
tape stripping.
b. Mengetahui korelasi hasil uji penetrasi natrium diklofenak antara metode
sel difusi Franz dan metode tape stripping.
c. Mengetahui adanya interaksi antara natrium diklofenak dengan lapisan
stratum korneum dan dengan komponen mikroemulsi.
1.3 Batasan Penelitian
Peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada pembuatan, evaluasi
fisik, uji stabilitas sediaan mikroemulsi dan uji penetrasinya secara in vitro.
1.4 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian dan penyusunan
skripsi adalah metode studi pustaka dan metode eksperimental. Studi pustaka
menggunakan literatur dari jurnal, textbook, ebook dan artikel dari website resmi.
Pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan homogenizer, evaluasi sediaan
mikroemulsi dilakukan dengan pengamatan organoleptis dan uji stabilitas
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
4
Universitas Indonesia
sediaan. Uji penetrasi dilakukan secara in vitro dengan metode sel difusi Franz
dan metode tape stripping.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
5 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit
2.1.1 Struktur Kulit
Kulit adalah organ tubuh terbesar yang menempati 10 % massa tubuh.
Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidemis, dermis dan jaringan subkutan.
2.1.1.1 Epidermis (Murthy, 2011)
Lapisan epidermis terdiri dari stratum korneum, stratum granulosum,
stratum spinosum, dan stratum germinativum.
a. Stratum Korneum (Barry & Touitou, 2010 dan Murthy, 2011)
Stratum korneum adalah lapisan paling luar epidermis yang disebut juga
lapisan tanduk. Stratum korneum merepresentasikan fase akhir diferensiasi kulit.
Tiap sel mempunyai diameter sebesar 40 µm dan ketebalan sebesar 0,5 µm.
Stratum korneum terdiri dari sel korneosit yang tersusun rapat. Setiap lapisan
korneosit terdiri hampir selusin sel. Bila dilihat secara melintang, stratum
korneum menyerupai struktur batu bata dan semen pada dinding. Korneosit “batu
bata” itu mengandung keratin terhidrasi yang berada di antara bilayer lipid
“semen”. Bilayer lipid itu terdiri dari seramida, asam lemak dan kolesterol.
Permeabilitas obat ditentukan oleh kandungan lipid dalam stratum korneum. Lipid
juga berperan dalam menjaga kohesi dan deskuamasi stratum korneum.
Sel di stratum korneum berasal dari lapisan epidermis di bawahnya yang
mengalami diferensiasi. Epidermis terdiri dari beberapa strata sel berdasarkan
tingkat diferensiasinya. Sel-sel di epidermis berasal dari basal lamina yang berada
di antara epidermis dan dermis. Pada basal lamina ini terdapat melanosit, sel
langerhans dan dua tipe sel keratin. Sel keratin tipe pertama berfungsi sebagai sel
yang mempunyai kapasitas untuk menghasilkan sel baru dan sel keratin tipe kedua
berfungsi sebagai jangkar yang mengaitkan epidermis ke membran dasar.
Membran dasar ini mempunyai ketebalan sebesar 50-70 nm dan terdiri dari dua
lapisan yaitu lamina densa dan lamina lusida. Kedua lapisan ini tersusun atas
protein seperti kolagen tipe IV, laminin, dan fibronektin. Kolagen tipe IV
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
6
Universitas Indonesia
berfungsi untuk mempertahankan stabilitas membran dasar, laminin dan
fibronektin berfungsi dalam perekatan antara keratinosit basal dan membran
dasar.
Stratum korneum berperan sebagai penghalang penetrasi utama untuk
banyak zat. Kemampuan stratum korneum sebagai penghalang terkait dengan laju
pergantian kulit yang tinggi, densitas penyusunan sel yang sangat kompak dan
luas permukaan yang rendah untuk transportasi zat. Stratum korneum juga
berperan untuk mencegah hilangnya komponen internal tubuh, terutama air, ke
lingkungan luar.
b. Stratum Granulosum (Barry & Touitou, 2010)
Stratum granulosum atau lapisan butir mengandung banyak sel keratinosit
yang sudah mengalami diferensiasi. Badan lamela yang sudah terbentuk di lapisan
stratum spinosum bermigrasi ke bagian apikal sel granular dan berfusi dengan
membran keratinosit.
c. Stratum Spinosum (Barry & Touitou, 2010)
Stratum spinosum atau lapisan taju mempunyai sel-sel yang berbentuk
hampir bulat. Sel ini masih mengandung nukleus dan organel tetapi mengandung
lebih banyak filamen keratin. Sel ini dihubungkan oleh lebih banyak desmosom
daripada sel basal. Desmosom adalah struktur yang berperan untuk adhesi intersel
keratinosit sehingga berperan dalam menjaga integritas jaringan. Semakin
mendekati lapisan stratum granulosum, sel keratinosit akan semakin pipih dan
organel sel akan menghilang.
d. Stratum Germinativum (Barry & Touitou, 2010)
Stratum germinativum atau lapisan basale terdiri dari satu lapis sel tidak
terdiferensiasi yang berbentuk kolumnar. Sel di lapisan ini secara konstan
bermitosis dan berproliferasi sehingga akan menggantikan sel stratum korneum
yang telah mati.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
7
Universitas Indonesia
2.1.1.2 Dermis (Murthy, 2011)
Lapisan dermis lebih tebal lima sampai tujuh kali dari lapisan epidermis
dan terletak di bawah lapisan epidermis. Lapisan ini tersusun oleh kolagen dan
serat elastik. Di lapisan dermis terdapat pembuluh darah dan pembuluh limfa,
serabut saraf, unit pilosebasea (folikel rambut dan kelenjar sebasea) dan kelenjar
keringat (eksokrin dan apokrin). Adanya aliran darah memberikan nutrisi untuk
kulit, perbaikan dan lokalisasi respon imun.
Lapisan dermis berperan sebagai penghalang penetrasi yang minimal
untuk zat polar dan agak lipofilik tetapi menjadi penghalang penetrasi yang
signifikan untuk zat yang mempunyai nilai lipofilisitas tinggi.
2.1.1.3 Jaringan Subkutan atau Jaringan Hipodermis (Walters, 2002)
Jaringan subkutan atau hipodermis adalah lapisan kulit yang paling dalam.
Lapisan ini terdiri dari jaringan lemak yang tersusun dalam lobul. Seperti sel
lemak lainnya, sel utama di hipodermis adalah fibroblas dan makrofag. Di
bagian hipodermis terdapat sistem vaskuler dan saraf untuk kulit.
Jaringan ini berperan sebagai insulator panas, penyerap tekanan dan
penyimpan energi.
[Sumber :Walters, 2002]
Gambar 2.1 Struktur kulit (telah diolah kembali)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
8
Universitas Indonesia
2.1.2 Fungsi Kulit (Mitsui, 1997; Sherwood, 2001; Tabor & Blair, 2009)
a. Pelindung
Serat elastis dermis dan jaringan lemak subkutan berfungsi melindungi organ
internal tubuh dari goncangan mekanik. Pada beberapa bagian tubuh tertentu
mempunyai lapisan tanduk lebih tebal untuk melindungi tubuh terhadap
stimuli eksternal. Lapisan tanduk terluar dan lipid berfungsi sebagai pencegah
hilangnya cairan tubuh dan pelindung tubuh terhadap toksin. Kulit juga
mempunyai pH asam lemah yang dapat menetralkan toksin kimia. Asam
lemak tidak jenuh di kulit mempunyai aktivitas bakterisidal dan mencegah
pertumbuhan bakteri di kulit. Selain itu, juga terdapat sel-sel melanosit
penghasil pigmen melanin yang dapat melindungi tubuh dari pengaruh buruk
sinar ultraviolet.
b. Indra sensori
Di bagian dermis terdapat reseptor di ujung perifer serat saraf aferen yang
mampu mendeteksi tekanan, suhu, nyeri dan rangsangan somatosensorik lain.
c. Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Termoregulasi dilakukan dengan mengubah volume darah yang mengalir
melalui peristiwa vasodilatasi, vasokonstriksi dan proses evaporasi keringat.
Bila suhu tubuh tinggi, kelenjar keringat akan menghasilkan keringat yang
dikeluarkan melalui pori-pori keringat. Selanjutnya akan terjadi vasodilatasi
yang akan mempercepat penguapan panas dari dalam tubuh.
d. Imunitas
Sel-sel di kulit yang berperan untuk imunitas adalah sel keratinosit, sel
langerhans dan sel granstein. Fungsi sel keratinosit adalah menghasilkan
interleukin-1 yang mempengaruhi pematangan sel T di kulit. Fungsi sel
langerhans adalah mengolah dan menyajikan antigen ke sel T penolong.
Fungsi sel granstein adalah mengolah dan menyajikan antigen ke sel T
penekan.
e. Sintesis vitamin D
Dengan bantuan sinar matahari, epidermis mampu mensintesis vitamin D yang
diperlukan tubuh.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
9
Universitas Indonesia
f. Fungsi absorbsi
Kulit mempunyai fungsi absorbsi yang memungkinkan masuknya zat dari luar
tubuh ke dalam sirkulasi darah. Fungsi ini diaplikasikan ke pembuatan obat
transdermal untuk obat yang mempunyai sifat mengiritasi saluran cerna atau
untuk obat yang memiliki absorbsi lama melalui saluran cerna. Fungsi
absorbsi kulit tergantung pada ketebalan dan luas epidermis kulit. Daerah
yang memiliki kulit tipis akan lebih mudah mengabsorbsi zat daripada daerah
yang memiliki kulit tebal.
2.1.3 Jalur Penetrasi Zat Melalui Kulit
Ada 3 jalur masuknya zat melalui lipid di stratum korneum, yaitu jalur
interseluler, jalur transseluler dan jalur transappendageal. Dua faktor penentu
utama transportasi zat melalui kulit adalah integritas stratum korneum sebagai
penghalang penetrasi dan interaksi yang terjadi antara pembawa-zat ataupun
antara zat-kulit.
2.1.3.1 Jalur Interseluler atau Jalur Paraseluler (Murthy, 2011)
Jalur interseluler yaitu zat berpenetrasi melewati antar sel korneosit yaitu
di domain lipid stratum korneum. Jalur ini dilewati oleh hampir sebagian besar zat
yang berukuran < 0,1 µm. Hal-hal yang mempengaruhi transportasi zat melalui
jalur interseluler adalah karakteristik zat seperti ukuran molekul, lipofilisitas,
muatan, titik leleh dan variasi formula.
2.1.3.2 Jalur Intraseluler atau Jalur Transseluler (Murthy, 2011)
Jalur intraseluler adalah jalur transportasi melewati sel korneosit. Pada
awalnya diperkirakan bahwa mekanisme difusi intraseluler adalah jalur yang
mendominasi untuk transport zat melalui kulit. Bukti eksperimental menunjukkan
bahwa jalur transport utama melalui stratum korneum adalah melalui jalur
interseluler.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
10
Universitas Indonesia
2.1.3.3 Jalur Transappendageal (Murthy, 2011)
Jalur transappendageal adalah jalur transportasi zat melalui pori-pori
folikel rambut atau melalui kelenjar sebasea. Jalur ini kurang signifikan dalam
transportasi zat karena mempunyai luas permukaan yang kecil yaitu hanya sebesar
0,1 % dari luas permukaan kulit.
[Sumber : Murthy, 2011]
Gambar 2.2 Berbagai jalur penetrasi zat melalui kulit (telah diolah kembali)
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan (Ansel, 2008)
a. Konsentrasi obat dalam sediaan
Bila konsentrasi obat dalam sediaan semakin tinggi, maka jumlah obat yang
diabsorbsi per unit luas permukaan akan semakin besar.
b. Luas permukaan tempat absorbsi
Bila luas permukaan tempat absorbsi semakin besar, maka jumlah obat yang
diabsorbsi per unit luas permukaan akan semakin besar.
c. Karakteristik pembawa
Pembawa yang mudah menyebar pada permukaan kulit akan meningkatkan
absorbsi. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembapan kulit akan
meningkatkan absorbsi.
d. Hidrasi kulit
Hidrasi stratum korneum akan meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
11
Universitas Indonesia
e. Afinitas obat terhadap kulit
Obat harus mempunyai afinitas terhadap kulit yang lebih besar terhadap kulit
daripada pembawa.
f. Koefisien partisi obat
Koefisien partisi obat mempengaruh kelarutan obat dalam minyak dan air.
g. Cara aplikasi obat pada kulit
Pengolesan dan penggosokan obat pada kulit akan meningkatkan penetrasi
obat ke dalam kulit.
h. Tempat aplikasi obat
Tempat aplikasi obat berpengaruh terdapat kemampuan penetrasi obat.
Aplikasi pada bagian kulit yang lebih tipis akan meningkatkan penetrasi obat
daripada aplikasi pada bagian kulit yang lebih tebal.
i. Waktu kontak obat dengan kulit
Waktu kontak obat yang semakin lama dengan kulit akan meningkatkan
penetrasi obat ke dalam kulit.
2.1.4 Senyawa Peningkat Penetrasi Perkutan (Smith & Maibach, 2006; Pathan
& Setty, 2009)
Salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi zat perkutan adalah dengan
menggunakan zat peningkat penetrasi (penetration enhancer). Zat yang dapat
berperan sebagai penetration enhancer adalah
a. Asam lemak
Keefektifan asam lemak sebagai zat peningkat penetrasi ditentukan dari
panjang rantai karbon. Panjang rantai karbon C7 - C12, akan meningkatkan
penetrasi obat, tetapi bila panjang rantai karbon di atas 12 akan menurunkan
penetrasi zat. Efektivitas optimal asam lemak sebagai peningkat penetrasi terjadi
pada asam lemak dengan panjang rantai karbon C9 - C12 karena mempunyai
koefisien partisi dan afinitas yang sesuai terhadap kulit. Asam lemak yang
mempunyai panjang rantai karbon yang lebih pendek tidak mempunyai
lipofilisitas yang sesuai untuk penetrasi. Asam lemak yang mempunyai panjang
rantai karbon yang lebih panjang akan mempunyai afinitas terhadap lemak
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
12
Universitas Indonesia
stratum korneum sehingga memperlambat penetrasi sendiri dan obat lain. Asam
lemak yang banyak digunakan sebagai zat peningkat penetrasi adalah asam oleat.
b. Minyak esensial dan terpen.
Senyawa ini bekerja dengan memodifikasi sifat alami pelarut stratum
korneum. Senyawa ini juga dapat menurunkan waktu lag penetrasi.
c. Pirolidon
Alkil pirolidon bekerja dengan interkalasi gugus alkil ke dalam struktur
bilayer mempengaruhi organisasi lipid dan meningkatkan fluiditas stratum
korneum.
d. Urea
Urea bekerja dengan menghidrasi stratum korneum dan dengan
pembentukan kanal difusi hidrofilik. Urea siklik mengandung gugus polar dan
non polar sehingga mekanisme peningkat penetrasi disebabkan oleh aktivitas
hidrofilik dan organisasi lipid di stratum korneum.
e. Oksazolidindion
Oksazolidindion bekerja dengan mempengaruh lipid sfingosin dan
seramida yang secara alami ditemukan di lapisan kulit bagian atas.
f. Azon
Azon bekerja dengan mempengaruhi domain lipid stratum korneum.
Molekul azon terdispersi di antara susunan lipid bilayer dan mengubah organisasi
struktur lipid.
g. Surfaktan
Surfaktan bekerja dengan meningkatkan fluiditas, melarutkan dan
mengekstraksi lipid stratum korneum.
Mekanisme yang digunakan oleh zat peningkat penetrasi tersebut dalam
meningkatkan penetrasi zat perkutan adalah (Smith & Maibach, 2006)
a. Mempengaruhi lipid di stratum korneum
Peningkat penetrasi mempengaruhi organisasi lipid di stratum korneum
sehingga meningkatkan koefisien difusi penetran. Contoh zat peningkat penetrasi
yang bekerja dengan cara ini adalah azon, terpen, asam lemak, dimetilsulfoksida
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
13
Universitas Indonesia
(DMSO), surfaktan, dan alkohol. Senyawa yang bercampur dengan baik seperti
DMSO dan etanol mungkin akan mengekstraksi lipid di stratum korneum
b. Mempengaruhi struktur protein
Senyawa seperti surfaktan ionik, desilmetilsulfoksida dan DMSO dapat
membuka keratin yang tersusun rapat. Keratin yang telah terususun longgar ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan koefisien difusi .
2.2. Mikroemulsi
2.2.1 Sejarah, Definisi dan Karakteristik Mikroemulsi (Kumar, 1999; Cosgrove,
2010; Kulkarni, 2010)
Mikroemulsi awalnya terbentuk karena dua orang peneliti yang bernama
Hoar dan Schulman menambahkan alkohol rantai sedang ke dalam emulsi yang
terbentuk oleh surfaktan ionik. Awalnya emulsi terlihat keruh, tetapi dengan
penambahan alkohol, emulsi terlihat menjadi lebih transparan.
Danielsson dan Lindman mendefinisikan mikroemulsi sebagai suatu
sistem yang terdiri dari air, minyak dan amfifilik yang isotropik dan stabil secara
termodinamika. Radius ukuran droplet mikroemulsi yaitu kurang dari 100 nm.
Mikroemulsi mempunyai karakteristik mempunyai tegangan permukaan yang
sangat rendah < 10-3
N/m, mempunyai viskositas rendah, isotropik (transparan)
dan bersifat stabil secara termodinamika. Emulsi biasa yang tidak stabil secara
termodinamika sehingga ukuran dropletnya dapat meningkat dan memungkinkan
terjadinya pemisahan fase. Sistem ini stabil karena mengandung surfaktan dan
kosurfaktan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka air dan minyak
menjadi sangat rendah.
Mikroemulsi terbentuk spontan tanpa pengadukkan dengan kecepatan
tinggi karena tegangan antar muka yang sangat rendah (mendekati nol) antara fase
air dan fase minyak sehingga energi bebas menjadi negatif. Mikroemulsi hanya
terbentuk bila tersedia surfaktan yang cukup. Pembentukkan mikroemulsi
membutuhkan konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi daripada emulsi biasa.
Pembentukkan mikroemulsi tergantung dari struktur dan tipe surfaktan. Bila
surfaktan yang digunakan tipe ionik dan hanya mengandung rantai hidrokarbon
tunggal seperti sodium dodesil sulfat (SDS), mikroemulsi hanya terbentuk bila
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
14
Universitas Indonesia
ada penambahan kosurfaktan seperti alkohol dan atau elektrolit. Surfaktan ionik
rantai ganda dan surfaktan non ionik tidak memerlukan penambahan kosurfaktan
untuk membuat mikroemulsi.
2.2.2 Tipe Mikroemulsi (Cosgrove, 2010; Kulshreshtha, Singh & Wall, 2010)
Winsor membagi mikroemulsi menjadi empat tipe yaitu tipe I, tipe II, tipe
III, dan tipe IV. Tipe I terbentuk mikroemulsi tipe m/a karena surfaktan yang
digunakan lebih larut dalam fase air dan jumlah fase air lebih banyak daripada
fase minyak. Tipe II terbentuk mikroemulsi tipe a/m karena surfaktan yang
digunakan lebih larut dalam fase minyak dan jumlah fase minyak lebih banyak
daripada fase air. Tipe III terbentuk sistem tiga fase karena surfaktan yang
digunakan larut dalam fase air dan fase minyak. Tipe IV terbentuk sistem satu
fase (isotropik) karena digunakan surfaktan dan alkohol dalam formula.
2.2.3 Surfaktan (Voigt, 1995 ; Sinko, 2011)
Surfaktan atau amfifil adalah senyawa yang diadsorpsi antar muka dan
dapat menurunkan tegangan antar muka. Tegangan antar muka adalah gaya per
satuan panjang yang terdapat pada antar muka dua fase cair yang tidak bercampur.
Menurunnya tegangan antar muka menyebabkan dispersi fase cair yang satu di
dalam fase cair lainnya.
Ada tiga tipe surfaktan, yaitu surfaktan tipe ionik, tipe non ionik, dan tipe
amfoterik. Surfaktan tipe ionik terdiri dari tipe anionik dan tipe kationik.
2.2.3.1 Surfaktan tipe anionik
Surfaktan tipe anionik dapat berdisosiasi dalam air dan bagian anionnya
dapat berfungsi sebagai surfaktan. Jenis surfaktan tipe anionik adalah
a. Sabun dan senyawa sejenis sabun
Senyawa sejenis sabun terdiri dari sabun alkali dan sabun amin. Contoh senyawa
sabun alkali sebagai surfaktan adalah sodium palmitat dan sodium stearat. Contoh
senyawa sabun amin sebagai surfaktan adalah trietanolamin stearat.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
15
Universitas Indonesia
b. Senyawa tersulfatasi
Contoh senyawa tersulfatasi sebagai surfaktan adalah sodium lauril sulfat, sodium
setil sulfat dan sodium stearil sulfat.
c. Senyawa tersulfonasi
Contoh senyawa tersulfonasi sebagai surfaktan adalah sodium setil sulfonat
d. Garam asam empedu
Contoh senyawa garam empedu sebagai surfaktan adalah sodium glikokolat.
e. Gom arab
Gom arab adalah campuran garam kalsium, magnesium dan kalium dari asam
poliarabat.
2.2.3.2 Surfaktan tipe kationik
Surfaktan tipe kationik dapat berdisosiasi dalam air dan bagian kationnya
dapat berfungsi sebagai surfaktan. Contohnya adalah setrimid dan
setilpiridiniumklorida.
2.2.3.3 Surfaktan tipe nonionik
Surfaktan tipe nonionik tidak dapat berdisosiasi dalam air. Contohnya
adalah ester parsial asam lemak dari sorbitan (span) dan ester parsial asam lemak
dari polioksietilensorbitan (tween).
2.2.3.4 Surfaktan tipe amfoterik
Surfaktan tipe amfoterik mempunyai gugus kationik dan anionik dalam
molekulnya dan dapat terionisasi dalam larutan air. Gugus yang dilepaskan
tergantung kondisi mediumnya. Contohnya adalah protein dan lesitin.
2.2.4 Kosurfaktan (Swarbrick, 2007; Maghraby, 2008)
Kosurfaktan berupa alkohol rantai medium seperti pentanol atau butanol.
Mikroemulsi yang dibuat dengan surfaktan ionik harus menambahkan kosurfaktan
ke dalam formula. Penambahan kosurfaktan ke dalam formula bila digunakan
surfaktan non ionik sebenarnya tidak diharuskan, tetapi kosurfaktan dapat
meningkatkan kemungkinan terbentuknya mikroemulsi. Peran kosurfaktan dalam
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
16
Universitas Indonesia
pembuatan mikroemulsi dapat yaitu dapat membantu menurunkan tegangan antar
muka dibandingkan dengan surfaktan biasa, meningkatkan fleksibilitas film
antarmuka yang dibentuk oleh surfaktan pada globul emulsi, menurunkan
viskositas mikroemulsi, mengurangi konsentrasi surfaktan yang diperlukan, dan
meningkatkan penetrasi obat transdermal sehingga meningkatkan efikasinya.
2.2.5 Penghantaran Obat secara Transdermal Menggunakan Mikroemulsi
(Bronaugh & Maibach, 2005 ; Swarbrick, 2007)
Mikroemulsi digunakan sebagai penghantaran obat transdermal
mempunyai beberapa kelebihan. Mikroemulsi mampu meningkatkan absorbsi,
penetrasi dan bioavailabilitas obat. Peningkatan absorbsi dan bioavailabilitas
disebabkan karena mikroemulsi adalah bentuk sediaan yang bisa meningkatkan
kelarutan obat yang sulit larut dalam air. Peningkatan penetrasi obat disebabkan
karena mikroemulsi mengandung jumlah surfaktan dan kosurfaktan yang tinggi.
Selain itu, mikroemulsi juga mampu mengatasi penghambatan transportasi obat
hidrofilik ke kulit oleh stratum korneum. Mikroemulsi mempunyai domain yang
hidrofilik dan lipofilik sehingga dapat berinteraksi dengan jalur lipid dan polar
ketika memasuki stratum korneum.
Pembuatan mikroemulsi memerlukan konsentrasi surfaktan yang tinggi.
Namun, saat ini telah dilakukan banyak penelitian yang berfokus pada
mengurangi konsentrasi surfaktan yang tinggi dan mencari surfaktan yang dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh karena konsentrasi surfaktan yang tinggi dapat
menyebabkan iritasi kulit.
2.3 Pembuatan Preparat Histologi (Pakurar & Bigbee, 2004)
Jaringan harus melalui berbagai proses agar dapat dibuat menjadi preparat
dan dilihat dengan mikroskop cahaya ataupun mikroskop elektron. Langkah
dalam pembuatan preparat itu adalah fiksasi, dehidrasi, infiltrasi dan
pembenaman, pemotongan dan pewarnaan.
Fiksasi bertujuan untuk menjaga struktur dan distribusi organel sel.
Larutan fiksasi yang umum digunakan yaitu formaldehida, glutaraldehida dan
osmium tetraoksida. Langkah berikutnya yaitu dehidrasi air dari jaringan. Hal ini
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
17
Universitas Indonesia
bertujuan karena cairan jaringan tidak kompatibel dengan larutan pembenaman
dan untuk mencegah adanya kontaminasi dari bakteri ataupun jamur. Dehidrasi ini
dilakukan dengan merendam jaringan dalam alkohol dengan konsentrasi
meningkat. Selanjutnya jaringan diinfiltrasi dan dibenamkan dalam medium
seperti parafin wax atau plastik epoksi untuk memudahkan pemotongan jaringan.
Setelah itu jaringan tersebut dipotong dengan ketebalan bervariasi, yaitu sebesar
1-20 µm bila digunakan pengamatan dengan mikroskop cahaya dan sebesar 60-
100 nm bila digunakan pengamatan dengan mikroskop elektron. Kemudian
jaringan dipotong sesuai dengan arah yang diinginkan yaitu arah transversal,
longitudinal atau tangensial. Langkah berikutnya yaitu dilakukan pewarnaan
jaringan mengunakan Hematoxylin dan Eosin (H&E). Prinsip pewarnaan ini yaitu
terjadi pewarnaan karena adanya ikatan antara muatan pewarna dan jaringan.
Hematoxylin berikatan dengan sel bermuatan negatif dan Eosin berikatan dengan
sel bermuatan positif. Setelah itu jaringan didehidrasi dan dapat diamati dengan
mikroskop.
2.4 Metode Tape Stripping (Lademann, Jacobi, Surber, Weigmann &
Fluhr, 2008; Murthy, 2011).
Metode tape stripping adalah menggunakan metode non invasiv untuk
menghilangkan lapisan stratum korneum dengan penempelan dan pencabutan
berulang bahan perekat pada kulit. Secara teoretis, setiap bahan perekat akan
menghilangkan satu lapisan korneosit.
Jumlah bahan perekat yang diperlukan untuk menghilangkan lapisan
stratum korneum bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin, ras, anatomi dan
kondisi kulit. Pinkus (1951) menyatakan bahwa hampir semua stratum korneum
bagian fleksor lengan atas dapat dihilangkan dengan melakukan pengulangan
sebanyak 30 kali. Ketika stratum korneum sebagai penghalang dihilangkan, akan
ada peningkatan transepidermal water loss (TEWL) sebesar 20-25 kali (Tsai et al,
1991). Umumnya, jumlah stratum korneum yang dihilangkan tidak berbanding
lurus dengan jumlah bahan perekat yang dicabut (Pinkus, 1951).
Beberapa parameter penting dalam melakukan metode tape stripping
adalah tempat penempelan bahan perekat, jenis bahan perekat, tekanan yang
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
18
Universitas Indonesia
digunakan, dan kecepatan ketika pelepasan bahan perekat. Parameter-parameter
tersebut mempengaruhi jumlah stratum korneum yang dihilangkan.
Aplikasi metode tape stripping yaitu untuk mengukur massa dan ketebalan
stratum korneum, menilai penetrasi perkutan obat in vivo, memeriksa lokalisasi
dan distribusi zat di daerah stratum korneum, kohesi stratum korneum in vivo,
memperkirakan kadar dan aktivitas enzim di stratum korneum, mendeteksi adanya
logam di stratum korneum, dan mengetahui profil dermatofarmakokinetika suatu
zat. Dermatofarmakokinetika adalah suatu ilmu yang mengukur nilai
bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu obat yang dioleskan pada permukaan
kulit.
Metode tape stripping dilakukan setelah pengolesan formula topikal.
Bahan perekat ditempelkan secara merata pada bagian kulit tempat pengolesan
formula untuk menghindari tidak meratanya penempelan karena adanya kerut di
daerah penempelan. Bahan pertama biasanya tidak dimasukkan ke dalam
perhitungan pengukuran kadar zat karena mengandung zat yang tidak terabsorbsi
oleh kulit. Penempelan bahan perekat kedua dan berikutnya mengikuti cara seperti
bahan perekat pertama. Setelah itu, bahan perekat tersebut dilepaskan dari kulit
dan diekstraksi dengan kondisi dan pelarut yang sesuai untuk mendapatkan kadar
obat yang terdapat di lapisan stratum korneum.
[Sumber : Au, Skinner & Kanfer, 2010]
Gambar 2.3 Tape stripping (telah diolah kembali)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
19
Universitas Indonesia
2.5 Sel Difusi Franz (Walters, 2002, Witt & Bucks, 2003; Sinko, 2011)
Sel difusi Franz adalah suatu sel difusi tipe vertikal untuk mengetahui
penetrasi zat secara in vitro. Sel difusi Franz mempunyai komponen berupa
kompartemen donor, kompartemen reseptor, tempat pengambilan sample, cincin
O, dan water jacket. Kompartemen donor berisi zat yang akan diuji penetrasinya.
Kompartemen reseptor berisi cairan berupa air atau dapar fosfat pH 7,4 yang
mengandung albumin. Fungsi albumin yaitu untuk meningkatkan kelarutan zat
yang sukar larut dalam cairan kompartemen reseptor yang digunakan. Tempat
pengambilan sample adalah tempat pada sel difusi Franz untuk mengambil cairan
dari kompartemen reseptor dengan volume tertentu. Water jacket berfungsi untuk
menjaga temperatur tetap konstan selama sel difusi Franz dioperasikan.
Di antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor diletakkan
membran yang digunakan untuk sel difusi Franz. Cincin O menjaga posisi
membran supaya tidak berubah. Membran bisa berupa membran sintesis,
membran kulit manusia ataupun membran kulit hewan. Membran kulit hewan
yang digunakan telah dihilangkan bulu dan lapisan lemak subkutannya.
Cairan di kompartemen reseptor perlu diaduk secara optimal dan efisien
untuk menjamin cairan dalam kompartemen reseptor homogen. Volume
kompartemen reseptor sebesar 2-10 ml dan luas yang terpapar membran sebesar
0,2-2 cm2. Dimensi sel difusi harus diukur secara akurat karena terkait dengan
perhitungan kadar zat.
Kondisi di kompartemen reseptor yang ideal harus bisa untuk
memfasilitasi penetrasi zat seperti pada keadaan in vivo. Konsentrasi zat di
kompartemen reseptor seharusnya tidak boleh melebihi 10% konsentrasi zat untuk
mencapai kejenuhan. Konsentrasi zat di kompartemen reseptor yang tinggi dapat
menyebabkan penurunan laju penetrasi zat.
Cara melakukan uji penetrasi dengan sel difusi Franz adalah sejumlah
tertentu zat diaplikasikan pada membran dan dibiarkan berpenetrasi secara difusi
pasif melalui membran. Untuk mengetahui jumlah zat yang berpenetrasi dan laju
penetrasi zat dilakukan sampling cairan di kompartemen reseptor selama waktu
tertentu sampai keadaan mencapai keadaan tunak. Cairan dari kompartemen
reseptor yang diambil digantikan dengan cairan awal sesuai volume yang diambil.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
20
Universitas Indonesia
Hal ini bertujuan untuk menjaga volume dalam cairan reseptor tetap konstan dan
untuk menjaga supaya cairan di kompartemen reseptor tetap dalam keadaan tunak.
Keterangan: A: Kompartemen donor, B: Kompartemen reseptor, C:
Membran, D: Cincin O, E: Water jacket, F: Batang pengaduk,
G: Tempat pengambilan sampel
[Sumber : Bosman, Lawant, Avegart, Ensing, dan Zeeuw, 1996]
Gambar 2.4 Sel Difusi Franz (telah diolah kembali)
Jumlah kumulatif zat yang berpenetrasi melalui membran adalah
� � ��.�� ∑ ��� �� .�� (2.1)
Keterangan
Q = Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg/cm2)
Cn = Konsentrasi zat (µg/ml)
∑ ���� �� = Jumlah konsentrasi zat (µg/ml) pada sampling pertama (menit
ke-30 hingga sebelum menit ke-n)
V = Volume sel difusi Franz (ml)
S = Volume sampling (ml)
A = Luas membran (cm2)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
21
Universitas Indonesia
Pada keadaan tunak, dapat dihitung fluks zat yang berpenetrasi melalui
membran dengan rumus
� � � � (2.2)
Keterangan
J = laju penetrasi zat (fluks) (µg cm-2
jam-1
)
Q = jumlah kumulatif zat yang berpenetrasi melalui membran (µg cm-2
)
t = waktu (jam)
2.6 Natrium Diklofenak (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007; Moffat, Osselton &
Widdop, 2011)
HN
Cl ONa
O
Cl
[Sumber : Thongchai, Liawruangrath, Thongpoon & Machan, 2006]
Gambar 2.5 Struktur natrium diklofenak (telah diolah kembali)
Natrium diklofenak adalah obat analgesik dan anti inflamasi (AINS)
derivat asam fenil asetat non selektif. Seperti obat AINS non selektif lain,
diklofenak bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga
menghambat pembentukkan prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin. Salah
satu senyawa yang dihambat, yaitu prostaglandin, berfungsi untuk menghasilkan
mukus lambung untuk melindungi dinding lambung terhadap asam lambung.
Penghambatan pembentukkan prostaglandin menyebabkan penurunan produksi
mukus lambung sehingga lambung terpapar dengan asam lambung. Pemaparan
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
22
Universitas Indonesia
asam lambung yang terus menerus pada lambung menyebabkan dinding lambung
mengalami ulkus.
Dosis diklofenak per oral sebesar 100-150 mg sehari terbagi menjadi dua
atau tiga dosis. Diklofenak diabsorbsi cepat dan lengkap di saluran cerna. Obat ini
terikat 99 % pada protein plasma dan mengalami metabolisme lintas pertama
sebesar 40-50 %. Waktu paruh diklofenak yaitu 1-3 jam.
Kelarutan natrium diklofenak yaitu dalam akuadest (1: > 9), dalam
metanol (1: > 24), dalam aseton (1: 6), dalam asetonitril, sikloheksana dan HCl
(1:< 1), dan dalam dapar fosfat pH 7,2 (1: 6).
2.7. Komponen Pembentuk Mikroemulsi
2.7.1 Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) (Syah, 2005; Williams &
Barry, 2003)
Minyak kelapa murni atau virgin coconut oil berasal dari buah kelapa
segar yang baru dipetik dan bukan berasal dari kopra seperti minyak kelapa biasa.
Perbedaan lainnya adalah proses pembuatan, kandungan kimia dan
karakteristiknya. Proses pembuatan minyak kelapa murni dilakukan pada suhu
relatif rendah dan tidak ditambahkan pelarut kimia. Karena dibuat tanpa
pemanasan, maka zat-zat bermanfaat dalam daging buah kelapa seperti vitamin E
dan enzim-enzim lain tetap terdapat di dalamnya. Minyak kelapa murni memiliki
nilai bilangan asam, Free Fatty Acid (FFA), bilangan tidak tersaponofikasi dan
bilangan peroksida lebih rendah dari minyak kelapa biasa.
Minyak kelapa murni mengandung banyak asam lemak. Asam lemak yang
terdapat dalam minyak kelapa murni adalah asam lemak jenuh dan asam lemak
tidak jenuh. Asam lemak jenuh yang terdapat dalam minyak kelapa murni, yaitu
asam laurat (50,50%), asam miristat (16,18%), asam kaprat (8,60%), asam
palmitat (7,50%), asam kaprilat (6,10%), asam stearat (1,50%) dan asam kaproat
(0,20 %). Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam minyak kelapa murni
yaitu asam oleat (6,50%), asam linoleat (2,70 %) dan asam palmitoleat (0,20 %).
Asam lemak dapat meningkatkan penetrasi berbagai macam obat. Santoyo
dan Ygartua menyatakan bahwa asam oleat dan asam laurat dapat meningkatkan
penetrasi piroksikam. Asam oleat juga berperan dalam meningkatkan penetrasi
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
23
Universitas Indonesia
asam salisilat dan fluorourasil. Asam lemak tinggi yang terdapat dalam VCO juga
berperan dalam meningkatkan penetrasi piroksikam.
2.7.2 Polisorbat 80 (Tween 80) (Wuelfing, Kosuda, Templeton, Harman,
Mowery & Reed, 2006; Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
O
HO w(H2CH2CO)
(OCH2CH2)x OH
(OCH2CH2)y OH
CH2O(CH2CH2O)z --1 CH2CH2OCOCH2(CH2)6(CH=CH)(CH2)6CH3
Keterangan: w + x + y + z = 20
[Sumber : Wuelfing, Kosuda, Templeton, Harman, Mowery & Reed, 2006]
Gambar 2.6 Struktur polisorbat 80 (telah diolah kembali)
Polisorbat 80 mempunyai sifat larut dalam etanol dan air tetapi tidak larut
dalam minyak mineral dan minyak sayur. Dalam formula, polisorbat berfungsi
sebagai emulgator, agen pensolubilisasi atau agen pembasah. Seperti polisorbat
lain, polisorbat 80 bersifat stabil terhadap elektrolit, asam dan basa lemah.
Namun, inkompatibel dengan basa kuat karena dapat terjadi saponifikasi. Selain
itu dapat terjadi pengendapan atau perubahan warna dengan adanya fenol, tanin,
tar dan antimikroba golongan paraben. Polisorbat dapat menurunkan akivitas
antimikroba paraben.
2.7.3 Etanol 96% (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
H3CH2C OH
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.7 Struktur etanol (telah diolah kembali)
Etanol 96% mempunyai sifat dapat bercampur dengan kloroform, eter,
gliserin dan air Dalam formula, etanol digunakan sebagai pelarut, kosurfaktan,
atau anti mikroba. Dalam formula transdermal, etanol digunakan sebagai agen
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
24
Universitas Indonesia
peningkat penetrasi obat. Pada suasana asam, etanol akan bereaksi kuat dengan
oksidator. Campuran dengan basa akan memberikan warna lebih gelap karena
terbentuknya aldehida.
2.7.4 Propilen Glikol (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
H3C
OH
OH
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.8 Struktur propilen glikol (telah diolah kembali)
Pemerian propilen glikol yaitu berupa cairan jernih, kental, tidak
berwarna, tidak berbau dan mempunyai rasa manis. Propilen glikol dapat
bercampur dengan aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air tetapi tidak
bercampur dengan minyak mineral.
Pada temperatur sejuk, propilen glikol stabil dalam wadah bertutup rapat,
tetapi pada temperatur tinggi akan mudah teroksidasi dan akan membentuk
propionaldehida, asam laktat, asam piruvat dan asam asetat. Propilen glikol stabil
bila bercampur dengan etanol 95%, gliserin, atau air.
2.7.5 Metil Paraben (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
HO
OCH3
O
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.9 Struktur metil paraben (telah diolah kembali)
Metil paraben mempunyai pemerian berupa kristal tidak berwarna atau
serbuk kristal putih dan tidak berbau dengan rasa menyengat. Metil paraben
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
25
Universitas Indonesia
mempunyai kelarutan dalam etanol 95 % ( 1:3), etanol 50 % (1 : 6), propilen
glikol (1 : 5), air 25oC (1: 400), air 50
oC (1: 50), dan air 80
oC (1: 30).
Aktivitas antimikroba metil paraben adalah yang paling rendah daripada
golongan paraben lainnya karena aktivitas antimikroba golongan ini ditentukan
oleh panjang rantai alkilnya. Semakin panjang gugus alkil, maka aktivitas
antimikroba akan meningkat. Selain itu, aktivitas akan meningkat bila
menggunakan kombinasi metil paraben dengan golongan paraben lain yang
mempunyai gugus alkil lebih panjang seperti etil, propil dan butil paraben.
Aktivitas antimikroba juga akan meningkat dengan adanya propilen glikol,
feniletil alkohol dan asam edetat. Produk hasil hidrolisis golongan paraben praktis
tidak mempunyai aktivitas antimikroba.
Aktivitas antimikroba metil paraben menurun dengan adanya surfaktan
non ionik karena adanya miselisasi. Metil paraben juga bisa diabsorbsi oleh
plastik dan jumlah yang diabsorbsi tergantung tipe plastik. Namun, plastik tipe
LDPE dan HDPE tidak mengabsorbsi metil paraben. Metil paraben inkompatibel
dengan bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragakanth, sodium alginat, minyak
esensial, sorbitol dan atropin. Metil paraben akan berubah warna dengan adanya
besi dan akan terhidrolisis dengan adanya alkali lemah dan asam kuat. Pada pH 3-
6, larutan metil paraben dalam air bersifat stabil dan terdekomposisi kurang dari
10% selama 4 tahun pada temperatur kamar. Larutan metil paraben dalam air pada
pH 8 atau lebih akan terhidrolisis cepat yaitu lebih dari 10% selama 60 hari pada
temperatur kamar.
2.7.6 Propil Paraben (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
HO
O
CH3
O
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.10 Struktur propil paraben (telah diolah kembali)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
26
Universitas Indonesia
Propil paraben mempunyai pemerian berupa serbuk kristal putih, tidak
berbau dan tidak mempunyai rasa. Kelarutan propil paraben yaitu mempunyai
sifat larut dalam etanol 95% (1 : 1,1), etanol 50 % (1: 5,6), propilen glikol (1: 3,9),
air 15oC (1 : 4350), air 80
oC (1: 225).
Aktivitas antimikroba propil paraben sama seperti metil paraben. Aktivitas
antimikroba propil paraben juga menurun dengan adanya surfaktan non ionik
karena adanya miselisasi. Zat-zat tertentu seperti magnesium aluminium silikat,
magnesium trisilikat dan besi oksida mampu mengabsorbsi propil paraben
sehingga akan mengurangi efektivitas anti mikroba. Propil paraben akan berubah
warna dengan adanya besi dan akan terhidrolisis dengan adanya alkali lemah dan
asam kuat.
2.7.7 BHT (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
OH
C(CH3)3(H3C)3C
CH3
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.11. Struktur BHT (telah diolah kembali)
BHT mempunyai pemerian berupa kristal putih atau kuning pucat dengan
bau fenol yang lemah. Kelarutan BHT yaitu praktis tidak larut dalam air, gliserin,
propilen glikol, larutan alkali hidroksida dan asam mineral encer tetapi agak
mudah larut dalam aseton, etanol, benzena. BHT lebih mudah larut dalam lemak
daripada BHA. Dalam formula sediaan farmasi, BHT digunakan sebagai
antioksidan.
Pemajanan BHT terhadap cahaya, kelembapan dan panas akan
menyebabkan perubahan warna dan hilangnya aktivitas antioksidan BHT. BHT
inkompatibel dengan agen oksidator kuat seperti peroksida dan permanganat.
Garam besi dapat menyebabkan perubahan warna dan hilangnya aktivitas
antioksidan BHT.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
27
Universitas Indonesia
2.7.8 Asam Sitrat (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
CH
H2C C
O
OH
COOH
H2CC
O
HO
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.12 Struktur asam sitrat (telah diolah kembali)
Asam sitrat mempunyai pemerian berupa kristal tidak berwarna atau
kristal putih, tidak berbau dan mempunyai rasa asam yang kuat. Asam sitrat
mempunyai sifat larut dalam etanol 95% (1 : 1,5) air (1 : < 1) tetapi agak sulit
larut dalam eter. Asam sitrat inkompatibel dengan kalium tartrat, logam alkali,
alkali tanah karbonat, alkali tanah bikarbonat, asetat dan sulfida. Selain itu, asam
sitrat juga inkompatibel dengan oksidator, reduktor dan nitrat.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
28 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasetika dan Laboratorium
Kimia Analisis Kuantitatif di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia, Depok, dari bulan Februari sampai bulan Juni 2012.
3.2 Alat
Timbangan analitik AFA-210 LC (Adam, Amerika Serikat), timbangan
gram (O’Haus), homogenizer (Omni-Multimix, Malaysia), pH meter tipe 510
(Eutech, Singapura), spektrofotometer UV-Vis V-630 (Jasco, Jepang), sel difusi
Franz (Bengkel Gelas ITB, Indonesia), sentrifugator Kubota-5100 (Kubota,
Jepang), mikroskop cahaya, oven (Memmert, Jerman), Zetasizer Nano S
(Malvern), viskometer Brookfield (Brookfield, Amerika Serikat), piknometer,
ultrasonik (Branson 3200), tensiometer du Nuoy model 21 (Cole Parmer),
pengaduk magnetik (IKA, Jerman), termometer, pengering rambut (Tritone,
Cina), dan alat-alat gelas.
3.3 Bahan
Natrium diklofenak (Yung Zip Chemical Ind, Co.Ltd.), natrium diklofenak
(BPFI), VCO (Vermindo Internasional, Indonesia), tween 80 (Brataco, Indonesia),
etanol 96% (Brataco, Indonesia), propilen glikol (Brataco, Indonesia), nipagin
(Brataco, Indonesia), nipasol (Brataco, Indonesia), BHT (Brataco, Indonesia),
aquadest (Indonesia), asam sitrat (Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (Merck,
Jerman), natrium hidroksida (Merck, Jerman), tikus (IPB, Bogor), filter membran
Milipore, metanol (Mallinckrodt, Jerman) dan bahan perekat polypropylene tape
(Goldtape, Indonesia).
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
29
Universitas Indonesia
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Karakterisasi VCO
3.4.1.1 Pengamatan organoleptis VCO
Pengamatan organoleptis dilakukan dengan mengamati bentuk, warna, bau
dan rasa.
3.4.1.2 Pengukuran Bobot Jenis VCO (Departemen Kesehatan RI, 1995; Lide &
Haynes, 2010)
Bobot jenis VCO diukur dengan piknometer. Cara kerjanya yaitu suhu
ruangan tempat pengukuran bobot jenis diukur dengan termometer. Selanjutnya
piknometer yang bersih dan kering ditimbang dan dicatat massanya (A g).
Kemudian piknometer diisi dengan air, ditimbang dan dicatat massanya (A1 g).
Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. VCO diisikan ke
dalam piknometer, ditimbang dan dicatat massanya (A2 g).
Rumus perhitungan bobot jenis VCO =
Bobot jenis = �������� x ρ air pada suhu tersebut (3.1)
3.4.1.3 Pengukuran tegangan permukaan VCO
Tegangan permukaan VCO diukur dengan Tensiometer du Nuoy. Sebelum
melakukan pengukuran tegangan permukaan, cincin platinum iridium dibersihkan
dengan benzena dan dibakar dengan api bunsen. Selanjutnya alat dikalibrasi
dengan mengukur tegangan permukaan aquabidestilata dan aquadest. Setelah itu,
sediaan dimasukkan ke dalam wadah gelas sampai mencapai ketinggian 0,5 cm
dari batas atas gelas. Wadah gelas diletakkan di atas meja dan posisi cincin
platinum iridium diatur hingga berada pada kedalaman 0,5 cm dari permukaan
mikroemulsi. Knob Torsion diputar pada sisi kanan atas hingga angka nol pada
Knob Torsion sejajar dengan angka nol pada Knob Zero yang terdapat di depan
Knob Torsion. Motor diletakkan pada posisi netral, lalu diubah ke posisi up,
cincin akan bergerak ke bawah dan Knob Zero mulai berputar. Knob Zero akan
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
30
Universitas Indonesia
berhenti pada suatu angka yang akan menunjukkan tegangan permukaan VCO.
Pengukuran ini dilakukan sebanyak dua kali.
Rumus perhitungan tegangan permukaan
S = P x F (3.2)
S = tegangan permukaan
P = angka yang ditunjukkan oleh alat
F = faktor koreksi
3.4.2 Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menentukan kondisi dan
komposisi bahan yang sesuai untuk membuat mikroemulsi yang stabil.
Optimasi kondisi yang dilakukan yaitu
a. Kecepatan pengadukan ( 250, 500, 1000, 2000 dan 5000 rpm)
b. Temperatur fase air (suhu ruang, 35OC dan 40
OC)
Optimasi komposisi bahan yang dilakukan yaitu
a. Konsentrasi tween 80 (30%, 35%, 40%, 45 %)
b. Konsentrasi VCO (5%, 10%)
c. Konsentrasi etanol 96% (3%, 10%)
d. Konsentrasi propilen glikol (5%, 10%)
Langkah-langkah dalam optimasi
1. Optimasi konsentrasi VCO
a. Konsentrasi VCO 10% dengan konsentrasi tween 80 30% dan variasi
konsentrasi propilen glikol (5% dan 10%)
b. Konsentrasi VCO 10% dengan konsentrasi tween 80 40% dengan kecepatan
emulsifikasi 2000 rpm dan tanpa pemanasan.
c. Konsentrasi VCO 10% dengan variasi konsentrasi tween 80 (35 dan 40%)
dengan kecepatan emulsifikasi 5000 rpm dan tanpa pemanasan.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
31
Universitas Indonesia
d. Konsentrasi VCO 10% dengan konsentrasi tween 80 40% dengan kecepatan
emulsifikasi 2000 rpm dan dengan pemanasan 35OC.
2. Optimasi konsentrasi tween 80 dan etanol 96% untuk VCO 5%
a. Konsentrasi VCO 5% dengan konsentrasi tween 80 40%, konsentrasi etanol
10% dan tanpa pemanasan. Variasi kecepatan emulsifikasi 250 dan 500 rpm.
b. Konsentrasi VCO 5% dengan konsentrasi tween 80 40%, konsentrasi etanol
10%, pemanasan 35OC. Variasi kecepatan emulsifikasi 250, 800 dan 1000
rpm.
c. Konsentrasi VCO 5% dengan konsentrasi tween 80 45%, konsentrasi etanol
10% , pemanasan 40OC. Variasi kecepatan emulsifikasi 1000 dan 2000 rpm.
3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi Natrium Diklofenak
Tabel 3.1. Komponen bahan pembentuk mikroemulsi
Komposisi Mikroemulsi Kadar dalam Formula (%)
Virgin Coconut Oil (VCO) 5
Natrium diklofenak 1
Tween 80 45
Etanol 96% 10
Propilen glikol 5
Nipagin 0,3
Nipasol 0,06
BHT 0,1
Asam sitrat 0,3
Aquadest 33,24
Mikroemulsi ini dibuat dengan membuat fase air dan fase minyak secara
terpisah. Fase air adalah aquadest dan tween 80. Sebagian aquadest dipakai untuk
melarutkan asam sitrat. Sisa aquadest dan tween 80 dipanaskan sampai suhu
40OC. Fase minyak yaitu BHT didispersikan ke dalam VCO dan dihomogenkan.
Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air dan diemulsikan dengan homogenizer
dengan kecepatan 1000 rpm. Nipagin dan nipasol ditambahkan ke dalam etanol
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
32
Universitas Indonesia
96%. Natrium diklofenak dilarutkan ke dalam propilen glikol. Kemudian
campuran etanol dan propilen glikol ini ditambahkan ke campuran fase air dan
fase minyak sambil tetap dihomogenisasi dengan homogenizer menggunakan
kecepatan 1000 rpm. Campuran ini didiamkan selama 24 jam sampai terbentuk
mikroemulsi yang jernih.
3.4.4 Evaluasi Sediaan Mikroemulsi
3.4.4.1 Pengamataan Organoleptis
Pengamatan organoleptis sediaan meliputi bentuk, warna, bau dan
kejernihan. Pengamatan ini dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
Pengamatan warna dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu
Pantone.
3.4.4.2 Pengukuran pH (Departemen Kesehatan RI, 1995)
pH sediaan diukur dengan pH meter. Sebelumnya, pH meter dikalibrasi
dahulu dengan dapar pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi, pH meter dapat digunakan
untuk mengukur pH sediaan. Pengukuran pH dilakukan sebanyak dua kali.
3.4.4.3 Pengukuran Viskositas dan Penentuan Sifat Aliran (Brookfield Dial
Viscometer)
Viskositas sediaan diukur dengan viskometer Brookfield. Mikroemulsi
dimasukkan ke dalam wadah. Spindel dipasang dan diatur ketinggiannya agar
spindel masuk ke dalam mikroemulsi. Stop kontak dinyalakan dan kecepatan rpm
diatur dari kecepatan rendah ke kecepatan tinggi dan dari kecepatan tinggi ke
kecepatan rendah. Setiap pengaturan rpm, angka yang ditunjukkan oleh jarum
merah pada alat dibaca. Angka yang didapat dikalikan dengan faktor koreksi.
Data yang diperoleh diplotkan pada sumbu x dan sumbu y. Sumbu x adalah
shearing stress atau kecepatan geser (dyne/cm2) dan sumbu y adalah rate of
shear. Pengukuran viskositas dan penentuan sifat aliran mikroemulsi dilakukan
pada suhu ruang pada minggu ke- 0 dan ke-8 .
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
33
Universitas Indonesia
Rumus perhitungan viskositas sediaan
η� dr x f (3.3)
Keterangan
η = viskositas sediaan
dr = dial reading (angka yang ditunjukkan oleh jarum merah)
f = faktor koreksi
3.4.4.4 Pengukuran Tegangan Antarmuka (Fisher Scientific, 2006)
Tegangan antarmuka sediaan diukur dengan Tensiometer du Nuoy.
Sebelum melakukan pengukuran tegangan antarmuka, cincin platinum iridium
dibersihkan dengan benzena dan dibakar dengan api bunsen. Selanjutnya alat
dikalibrasi dengan mengukur tegangan permukaan aquabidestilata dan aquadest.
Untuk mengukur tegangan antarmuka mikroemulsi, sediaan dimasukkan ke dalam
wadah gelas sampai mencapai ketinggian 0,5 cm dari batas atas gelas. Wadah
gelas diletakkan di atas meja dan posisi cincin platinum iridium diatur hingga
berada pada kedalaman 0,5 cm dari permukaan mikroemulsi. Knob Torsion
diputar pada sisi kanan atas hingga angka nol pada Knob Torsion sejajar dengan
angka nol pada Knob Zero yang terdapat di depan Knob Torsion. Motor
diletakkan pada posisi netral, lalu diubah ke posisi down, cincin akan bergerak ke
atas dan Knob Zero mulai berputar. Knob Zero akan berhenti pada suatu angka
yang akan menunjukkan tegangan antarmuka mikroemulsi. Pengukuran ini
dilakukan sebanyak dua kali. Tegangan antarmuka mikroemulsi diukur pada
minggu ke-0 dan minggu ke-8.
Rumus perhitungan tegangan antarmuka
S = P x F (3.4)
S = tegangan antarmuka
P = angka yang ditunjukkan oleh alat
F = faktor koreksi
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
34
Universitas Indonesia
3.4.4.5 Pengukuran Bobot Jenis Mikroemulsi (Departemen Kesehatan RI, 1995;
Lide & Haynes, 2010)
Bobot jenis mikroemulsi diukur dengan piknometer. Cara kerjanya yaitu
suhu ruangan tempat pengukuran bobot jenis diukur dengan termometer.
Selanjutnya piknometer yang bersih dan kering ditimbang dan dicatat massanya
(A g). Kemudian piknometer diisi dengan air, ditimbang dan dicatat massanya
(A1 g). Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan
mikroemulsi lalu diisikan ke dalam piknometer, ditimbang dan dicatat massanya
(A2 g).
Rumus perhitungan bobot jenis sediaan =
Bobot jenis = �������� x ρ air pada suhu tersebut (3.5)
3.4.4.6 Penentuan Ukuran Globul Mikroemulsi
Penentuan ukuran globul sediaan mikroemulsi dilakukan dengan alat
Zetasizer Nano S pada minggu ke-0 dan minggu ke-8.
3.4.4.7 Uji Kestabilan
a. Kestabilan Mekanik (Lachman, Lieberman & Kanig, 1994)
Kestabilan mekanik dilakukan dengan uji sentrifugasi. Sediaan
mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, kemudiaan dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 3800 rpm selama 5 jam.
b. Kestabilan Suhu (Djajadisastra, 2004)
1. Suhu Kamar (28º ± 2ºC)
Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu kamar dan dilakukan
pengamatan organoleptis meliputi bau, warna, dan kejernihan. Pengamatan warna
dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu Pantone. Selain itu, juga
dilakukan pengukuran pH sediaan. Pengamatan organoleptis dan pengukuran pH
dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
35
Universitas Indonesia
2. Suhu Rendah (4º ± 2ºC)
Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu rendah dan dilakukan
pengamatan organoleptis meliputi bau, warna, dan kejernihan. Pengamatan warna
dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu Pantone. Selain itu, juga
dilakukan pengukuran pH sediaan. Pengamatan organoleptis dan pengukuran pH
dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
3. Suhu Tinggi (40º ± 2ºC)
Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu tinggi dan dilakukan
pengamatan organoleptis meliputi bau, warna, dan kejernihan. Pengamatan warna
dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu Pantone. Selain itu, juga
dilakukan pengukuran pH sediaan. Pengamatan organoleptis dan pengukuran pH
dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
2. Uji Cycling (Djajadisastra, 2004)
Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu dingin ± 4ºC selama 24 jam, lalu
dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu ± 40ºC selama 24 jam (1 siklus). Siklus
ini diulang sebanyak 6 siklus. Setiap akhir siklus, sediaan diamati dan
dibandingkan kejernihan mikroemulsi selama percobaan dibandingkan dengan
kejernihan sediaan pada siklus sebelumnya.
3.4.5 Uji Penetrasi Natrium Diklofenak
3.4.5.1 Pembuatan Dapar Fosfat pH 7,4 (Departemen Kesehatan RI, 1995)
Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M sebanyak 50,0 mL dimasukkan ke dalam
labu tentukur 200,0 mL lalu ditambahkan 39,1 mL natrium hidroksida 0,2 N dan
dicukupkan volumenya dengan aquadest bebas CO2, kemudan diukur pH pada
nilai 7,4.
3.4.5.2 Penentuan λ Maksimum Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH 7,4
Natrium diklofenak ditimbang seksama ±50 mg dan dilarutkan dengan
dapar fosfat pH 7,4 dalam labu tentukur 100,0 mL dan dikocok sampai larut
sempurna hingga diperoleh kadar 500 ppm. Selanjutnya dibuat pengenceran
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
36
Universitas Indonesia
dengan konsentrasi 50 ppm. dan dibuat spektrum serapannya dari λ = 200-400 nm
dan ditentukan λ maksimumnya.
3.4.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH
7,4
Dibuat larutan natrium diklofenak pada konsentrasi dan 0,24; 0,32; 0,6; 1;
2; 4; 6; 10 dan 12 ppm dan dikur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis
pada λ maksimumnya. Serapan itu selanjutnya digunakan untuk pembuatan kurva
kalibrasi.
3.4.5.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Natrium Diklofenak dalam
Dapar Fosfat pH 7,4
Dibuat larutan baku pembanding natrium diklofenak pada konsentrasi 8,
10, 12, 16 dan 20 ppm dan dikur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis
pada λ maksimumnya. Serapan itu selanjutnya digunakan untuk pembuatan kurva
kalibrasi dan penentuan kadar natrium diklofenak yang digunakan di dalam
sediaan mikroemulsi.
3.4.5.5 Penetapan Kadar Natrium Diklofenak dalam Mikroemulsi
a. Penentuan λ Maksimum Natrium Diklofenak dalam Metanol
Natrium diklofenak ditimbang seksama ±50 mg dan dilarutkan dengan
metanol dalam labu tentukur 100,0 mL dan dikocok sampai larut sempurna hingga
diperoleh kadar 500 ppm. Selanjutnya dibuat pengenceran dengan konsentrasi 50
ppm. dan dibuat spektrum serapannya dari λ = 200-400 nm dan ditentukan λ
maksimumnya.
b. Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Metanol
Dibuat larutan baku natrium diklofenak pada konsentrasi 10, 12, 14, 16
dan 22 ppm dan dikur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ
maksimumnya. Serapan itu selanjutnya digunakan untuk pembuatan kurva
kalibrasi.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
37
Universitas Indonesia
c. Penetapan Kadar Natrium Diklofenak dalam Mikroemulsi
Ditimbang seksama ±1,0 g mikroemulsi. Ditambahkan metanol dan
dikocok sampai berwarna putih. Campuran tersebut dimasukkan ke tabung
sentrifugasi secara kuantitatif dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 45 menit. Campuran itu disaring secara kuantitatif dengan Milipore®,
filtat dimasukkan ke labu tentukur dan volumenya dicukupkan dengan metanol.
Larutan itu dilakukan pengenceran sampai diperoleh konsentrasi yang sesuai dan
diukur serapannya pada pada λ maksimumnya. Kadar natrium diklofenak dalam
mikroemulsi diperoleh dengan persamaan regresi menggunakan baseline berupa
basis mikroemulsi. Penetapan kadar ini dilakukan sebanyak dua kali.
3.4.5.6 Optimasi Penentuan Jumlah Bahan Perekat untuk Menarik Seluruh
Lapisan Stratum Korneum
Tikus dikorbankan, kulit tikus bagian abdomen dipotong, bulu tikus
dicukur secara hati-hati dan lapisan lemak subkutan dihilangkan. Bahan perekat
yang sudah disiapkan ditempelkan berulang-ulang pada lapisan kulit abdomen
tikus.
Lapisan kulit yang akan diamati direndam dalam larutan Bouin selama 24
jam. Setelah 24 jam, kulit dikeluarkan dari larutan Bouin dan direndam dalam
alkohol 70%. Selanjutnya kulit dimasukkan ke dalam medium parafin dan
dipotong membujur setebal 7 µm dengan alat pemotong. Kulit yang telah
dipotong diletakkan di atas kaca objek dan diberi pewarnaan H&E. Lapisan kulit
diamati dengan mikroskop cahaya dan dicatat jumlah bahan perekat yang mampu
menghilangkan seluruh lapisan stratum korneum.
3.4.5.7 Pembuatan Membran Kulit Tikus untuk Sel Difusi Franz
Membran kulit tikus diperoleh dari kulit tikus bagian abdomen yang
bulunya dicukur secara hati-hati dan lapisan lemak subkutan dihilangkan. Kulit
yang telah disiapkan ini disimpan selama maksimal 24 jam dalam lemari es suhu
4OC. Sebelum digunakan, kulit tikus ini dihidrasi dahulu selama minimal 30 menit
dengan dapar fosfat pH 7,4 yang merupakan cairan kompartemen reseptor.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
38
Universitas Indonesia
3.4.5.8 Uji Penetrasi Natrium Diklofenak
a. Metode Sel Difusi Franz (Dewi, 2007; Widiastuti, 2010)
Membran kulit tikus yang dihidrasi selama 30 menit dengan dapar fosfat
pH 7,4 dan dipasangkan pada sel difusi Franz dengan bagian dermal menghadap
ke kompartemen reseptor. Dapar fosfat pH 7,4 dan pengaduk magnetik
dimasukkan ke dalam kompartemen reseptor sampai batas yang ditentukan.
Sebanyak ±1 gram mikroemulsi dimasukkan ke kompartemen donor. Selama sel
difusi Franz beroperasi, suhu diatur konstan pada 37 ± 0,5o C dengan water jacket
dan homogenitas cairan dijaga dengan pengadukan magnetik dengan kecepatan
250 rpm. Pengambilan sample dilakukan sebanyak 0,5 mL dari larutan
kompartemen reseptor pada menit ke 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420 dan
480. Sample dimasukkan ke dalam labu tentukur 5,0 mL, dicukupkan volumenya
hingga batas dan dikocok homogen. Selanjutnya diukur serapannya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimum. Kadar natrium diklofenak yang
terpenetrasi ditentukan dan dihitung fluks dan jumlah kumulatif natrium
diklofenak yang terdapat dalam cairan reseptor setiap waktu pengambilan sample.
Larutan yang disampling, segera diganti dengan dapar fosfat pH 7,4 untuk
mempertahankan volume cairan tetap konstan.
b. Metode Tape Stripping (Jui Chen Tsai, Cappel, Weiner, Flynn & Ferry
1991; Pellett, Robert, & Hadgraft, 1997; Klang, et.al. 2012)
Setiap waktu penyamplingan cairan dari kompartemen reseptor, membran
kulit tikus diambil dari sel difusi Franz dan ditempelkan bahan perekat. Bahan
perekat diratakan pada membran kulit tikus dan dicabut. Langkah ini dilakukan
sebanyak hasil yang diperoleh pada percobaan pendahuluan. Bahan perekat pada
penempelan ke-2 sampai akhir dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam wadah
ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan sonikasi bahan perekat dalam dapar fosfat
pH 7,4 sebanyak 80 mL selama 30 menit. Hasil ekstraksi dikocok homogen dan
diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimum. Kadar
natrium diklofenak yang terdapat dalam larutan ditentukan dengan persamaan
kurva kalibrasi.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
39
Universitas Indonesia
3.4.5.9 Perhitungan Jumlah Natrium Diklofenak yang Tertinggal di Kompartemen
Donor Sel Difusi Franz
Pada setiap pengambilan sample di kompartemen reseptor, dilakukan
pengukuran kadar obat yang tertinggal di kompartemen donor. Mikroemulsi yang
terdapat di kompartemen donor dikumpulkan dan ditentukan kadar natrium
diklofenak menggunakan cara yang sama dengan penetapan kadar.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
40 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakterisasi Virgin Coconut Oil (VCO)
Karakterisasi VCO dilakukan dengan pengamatan organoleptis,
pengukuran bobot jenis dan pengukuran tegangan permukaan. Hasil yang
diperoleh dari karakterisasi dibandingkan dengan literatur.
4.1.1 Pengamatan Organoleptis Virgin Coconut Oil (VCO)
Pengamatan organoleptis yang dilakukan meliputi bentuk, warna, bau dan
rasa VCO mempunyai bentuk berupa cairan dengan viskositas rendah, tidak
berwarna, bau khas kelapa dan tidak mempunyai rasa.
4.1.2 Pengukuran bobot jenis Virgin Coconut Oil (VCO)
Pengukuran bobot jenis VCO dilakukan dengan piknometer. Suhu ruangan
pada saat pengukuran bobot jenis adalah 29oC. Bobot jenis air pada suhu tersebut
adalah 0,9959486 g/mL. Berat piknometer kosong adalah 13,6235 g. Berat
piknometer yang berisi air adalah 24,2163 g. Selanjutnya berat piknometer yang
berisi VCO adalah 23,3671 g. Bobot jenis VCO adalah 0,9161 g/mL.
4.1.3 Pengukuran tegangan permukaan Virgin Coconut Oil (VCO)
Tegangan permukaan diukur dengan Tensiometer Du Nuoy. Angka yang
dihasilkan dari pengukuran tegangan permukaan (P) VCO adalah 34,4 dyne/cm.
Angka yang diperoleh ini dikalikan dengan faktor koreksi (F) sebesar 0,91715936.
Tegangan permukaan VCO adalah 31,5503 dyne/cm
4.2 Formulasi dan Pembuatan Mikroemulsi
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mikroemulsi natrium diklofenak
dengan VCO sebagai fase minyak. Untuk memperoleh formula yang
menghasilkan mikroemulsi yang stabil, dilakukan percobaan pendahuluan.
Percobaan pendahuluan yang dilakukan yaitu memvariasikan konsentrasi
komponen penyusun, kecepatan emulsifikasi dan temperatur fase air. Konsentrasi
komponen penyusun yang divariasikan yaitu konsentrasi tween 80, konsentrasi
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
41
Universitas Indonesia
VCO, konsentrasi etanol dan konsentrasi propilen glikol. Kecepatan emulsifikasi
yang divariasikan mulai dari 250, 500, 1000 dan 2000 rpm. Temperatur fase air
divariasikan mulai dari suhu ruang, 35OC dan 40
OC. Hasil optimasi pembuatan
mikroemulsi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Pada kecepatan emulsifikasi yang rendah, yaitu di bawah 1000 rpm, tidak
terbentuk mikroemulsi karena dengan kecepatan tersebut tidak dihasilkan ukuran
globul mikroemulsi yang cukup kecil untuk membentuk mikroemulsi. Pada
kecepatan emulsifikasi di atas 1000 rpm, sudah terbentuk mikroemulsi. Namun
semakin tinggi kecepatan emulsifikasi, akan diperoleh mikroemulsi yang
viskositasnya semakin tinggi. Lama emulsifikasi dengan homogenizer juga
mempengaruhi viskositas mikroemulsi. Semakin lama waktu emulsifikasi, akan
menyebabkan viskositas mikroemulsi semakin tinggi (Djakovit & Dokit, 1977).
Kecepatan yang semakin tinggi dan waktu yang semakin lama akan mengecilkan
ukuran droplet mikroemulsi. Ukuran yang semakin kecil akan mempersulit
mengalirnya sediaan sehingga viskositasnya semakin tinggi. Pada kecepatan 1000
rpm, mikroemulsi sudah terbentuk dan memiliki viskositas yang sesuai, sehingga
digunakan kecepatan emulsifikasi sebesar 1000 rpm. Temperatur fase air juga
mempengaruhi pembentukkan mikroemulsi. Semakin tinggi temperatur, maka
akan semakin kecil tegangan antar muka minyak dan air sehingga mempermudah
pembentukan mikroemulsi (Mulla, 1998).
Konsentrasi komponen penyusun mikroemulsi seperti fase minyak,
surfaktan dan kosurfaktan divariasikan untuk mendapatkan formula yang
menghasilkan mikroemulsi yang stabil. Surfaktan berperan dalam menurunkan
tegangan antar muka dan membentuk film antar muka antara minyak dan air.
Kosurfaktan berperan membantu surfaktan dalam menurunkan tegangan antar
muka, meningkatkan fleksibilitas film antar muka yang dibentuk oleh surfaktan,
dan mampu mengurangi konsentrasi surfaktan yang diperlukan. Dalam formula
ini, digunakan tween 80 sebagai surfaktan karena memiliki viskositas yang cukup
tinggi untuk menstabilkan mikroemulsi. Kosurfaktan yang digunakan di dalam
formula adalah etanol 96% karena selain memiliki aktivitas kosurfaktan, juga
dapat meningkatkan penetrasi natrium diklofenak di dalam sediaan.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
42
Universitas Indonesia
Globul fase minyak (VCO) di dalam mikroemulsi harus dapat dibungkus
sempurna oleh surfaktan dan kosurfaktan. Dalam optimasi ini, konsentrasi VCO
yang tinggi (10%) tidak dapat membentuk mikroemulsi. Mikroemulsi baru
terbentuk ketika konsentrasi VCO sebesar 5%. Konsentrasi tween 80 yang lebih
rendah dari 45% dan konsentrasi etanol 96% yang lebih rendah dari 10% tidak
cukup untuk membungkus sempurna globul VCO dan tidak cukup untuk
menurunkan tegangan antar muka antara fase minyak dan fase air. Bagian lipofilik
dari tween 80 dan etanol 96% akan berada di fase minyak, sementara bagian
hidrofilik dari tween 80 dan etanol 96% sehingga tween 80 dan etanol 96% akan
berada di antar muka minyak dan air. Dari optimasi yang diperoleh, dihasilkan
mikroemulsi dengan konsentrasi VCO sebesar 5%, konsentrasi tween 80 sebesar
45% dan konsentrasi etanol sebesar 10%.
Penggunaan propilen glikol dalam formula diperlukan karena propilen
glikol dapat meningkatkan kelarutan metil paraben dan propil paraben dalam fase
air. Propilen glikol juga dapat meningkatkan viskositas mikroemulsi sehingga
meningkatkan kestabilan sediaan. Selain itu, adanya surfaktan non ionik dapat
mensolubilisasi metil dan propil paraben sehingga menghambat aktivitas anti
bakterinya (Rowe, Sheskey & Owen, 2006). Dengan adanya propilen glikol dalam
formula, dapat meningkatkan aktivitas antimikroba metil dan propil paraben.
Dalam formula ini, digunakan antioksidan untuk mencegah oksidasi pada
fase minyak. Antioksidan yang digunakan adalah BHT. Mekanisme kerjanya
adalah sebagai antioksidan primer yang menangkap radikal bebas sehingga rantai
proses oksidasi terhenti (Shahidi, 2005).
Dalam pembuatan mikroemulsi, natrium diklofenak dilarutkan di dalam
propilen glikol. Hal ini karena natrium diklofenak tidak larut dalam fase minyak
dan agak sulit larut dalam air. Propilen glikol dapat meningkatkan kelarutan
natrium diklofenak di dalam fase air.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
43
Universitas Indonesia
4.3 Evaluasi Mikroemulsi
4.3.1 Pengamatan Organoleptis
Pengamatan organoleptis yang dilakukan pada mikroemulsi meliputi
pengamatan bentuk, bau, warna, kejernihan dan homogenitas. Mikroemulsi
berbentuk cairan, berbau khas, berwarna kuning jernih sesuai dengan standard
warna kartu Pantone 101 C dan terlihat homogen.
4.3.2 Pengukuran pH
Pengukuran pH mikroemulsi perlu dilakukan untuk kenyamanan pengguna
sediaan. Bila pH sediaan terlalu asam, maka akan mengiritasi kulit dan akan
memberikan rasa perih. Bila pH sediaan pH sediaan terlalu basa, maka akan
memberikan rasa gatal. pH sediaan yang ideal yaitu sebesar 4,5-6,5.
Supaya sediaan mempunyai pH yang sesuai dengan rentang pH kulit,
maka digunakan asam sitrat sebagai pengatur pH. Konsentrasi asam sitrat sebesar
0,3% dalam formula sudah cukup untuk membuat sediaan mempunyai pH sebesar
pH kulit. pH mikroemulsi pada minggu ke-0 adalah 5,56. pH sediaan sesuai
dengan pH kulit sehingga tidak akan memberikan rasa kurang nyaman saat
penggunaan.
4.3.3 Pengukuran Bobot Jenis
Pengukuran bobot jenis mikroemulsi dilakukan dengan piknometer. Suhu
ruangan pada saat pengukuran bobot jenis adalah 29oC. Bobot jenis air pada suhu
tersebut adalah 0,9960 g/mL (Lide & Haynes, 2010). Berat piknometer kosong
adalah 13,6235 g. Berat piknometer yang berisi air adalah 24,2163 g. Selanjutnya
berat piknometer yang berisi mikroemulsi adalah 24,8010 g. Bobot jenis
mikroemulsi adalah 1,0510 g/mL.
4.3.4 Pengukuran Viskositas dan Penentuan Sifat Aliran
Viskositas adalah tahanan suatu cairan untuk mengalir. Semakin tinggi
viskositas suatu sediaan, maka semakin tinggi tahanannya (Sinko, 2010).
Viskositas suatu emulsi dipengaruhi oleh viskositas fase kontinu dan fase
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
44
Universitas Indonesia
terdispersi, fraksi volume fase terdispersi, laju pengadukan, konsentrasi
emulgator, suhu, ukuran rata-rata dan distribusi ukuran droplet emulsi.
Viskositas mikroemulsi dipengaruhi oleh konsentrasi komponen penyusun
dan variasi dalam proses emulsifikasi. Semakin tinggi konsentrasi tween 80 dalam
formula, maka viskositas mikroemulsi akan semakin tinggi. Semakin tinggi
konsentrasi etanol 96% dalam formula, maka viskositas mikroemulsi akan
semakin rendah. Variasi dalam proses emulsifikasi yaitu lama dan kecepatan
emulsifikasi juga mempengaruhi viskositas. Semakin lama waktu emulsifikasi dan
semakin tinggi kecepatan emulsifikasi, maka akan semakin tinggi viskositas
mikroemulsi.
Pengukuran viskositas dan penentuan sifat aliran ditentukan dengan
viskometer Brookfield pada suhu kamar. Evaluasi ini tidak dilakukan pada suhu
rendah ataupun suhu tinggi karena tujuan pengukuran viskositas ini adalah untuk
mengetahui kestabilan viskositas mikroemulsi dengan meminimalkan variabel-
variabel lain seperti perbedaan suhu. Penyimpanan mikroemulsi pada suhu rendah
akani menyebabkan viskositas mikroemulsi menjadi lebih tinggi dari seharusnya.
Penyimpanan pada suhu tinggi akan menyebabkan viskositas mikroemulsi lebih
rendah dari seharusnya.
Pengukuran viskositas dan penentuan sifat aliran dilakukan pada minggu
ke-0 dan ke-8. Viskositas pada minggu ke-0 sebesar 3140 cps dan mempunyai
tipe aliran pseudoplastis sampai mendekati aliran Newton. Setelah penyimpanan
selama 8 minggu, ternyata viskositas mikroemulsi mengalami penurunan dari
3140 cps menjadi 2100 cps dan tetap memiliki tipe aliran pseudoplastis sampai
mendekati aliran Newton. Penurunan viskositas ini terjadi karena ketika sebagian
tween 80 di dalam mikroemulsi mengalami hidrolisis sehingga terjadi penurunan
kemampuan tween 80 untuk mencegah globul minyak berkoalesensi (Kishore
et.al., 2011). Akibatnya ukuran globul membesar dan viskositas menurun.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
45
Universitas Indonesia
Gambar 4.1. Rheologi mikroemulsi minggu ke-0
Gambar 4.2. Rheologi mikroemulsi minggu ke-8
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0 100 200 300 400 500
Ra
te o
f sh
ea
r
Shearing stress (dyne/cm2) kecepatan menurun
kecepatan menaik
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0 50 100 150 200 250 300 350
Ra
te o
f sh
ea
r
Shearing stress (dyne/cm2)kecepatan menaik
kecepatan menurun
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
46
Universitas Indonesia
4.3.5 Pengukuran Tegangan Antarmuka
Tegangan antarmuka diukur dengan Tensiometer Du Nuoy. Pengukuran
dilakukan pada minggu ke-0 dan minggu ke-8. Pada minggu ke-0, rata-rata angka
yang dihasilkan dari pengukuran tegangan antar muka (P) mikroemulsi adalah
41,75 dyne/cm. Hasil yang diperoleh ini dikalikan dengan faktor koreksi (F)
sebesar 0,982791281. Tegangan antarmuka pada minggu ke-0 sebesar 41,0315
dyne/cm. Pada minggu ke-8, rata-rata angka yang dihasilkan dari pengukuran
tegangan antar muka (P) mikroemulsi adalah 42 dyne/cm. Hasil yang diperoleh ini
dikalikan dengan faktor koreksi (F) sebesar 0,983151848. Tegangan antarmuka
pada minggu ke-8 sebesar 41,2924 dyne/cm.
Tegangan antarmuka mikroemulsi ini mengalami kenaikan karena terjadi
hidrolisis tween 80 sehingga kemampuan surfaktan untuk menurunkan tegangan
antarmuka berkurang (Kishore et.al., 2011). Selain itu, kenaikan tegangan
antarmuka juga bisa disebabkan karena pada pembuatan mikroemulsi digunakan
pemanasan pada suhu 40OC. Pemanasan diperlukan untuk membantu menurunkan
tegangan antarmuka minyak dan air. Penyimpanan pada suhu ruang (28±2OC)
akan meningkatkan kembali tegangan antarmuka minyak dan air. Meningkatnya
tegangan antarmuka mikroemulsi ini terjadi karena molekul tween 80
meninggalkan lapisan antarmuka dan beragregasi membentuk misel. Tween 80
berperan sebagai surfaktan yaitu zat aktif permukaan yang dapat menurunkan
tegangan antarmuka. Dengan beragregasinya molekul tween 80, maka jumlah
tween 80 yang terdapat di lapisan antarmuka akan berkurang sehingga tegangan
antamuka mikroemulsi akan meningkat. Selain itu, kenaikan tegangan antarmuka
mikroemulsi juga bisa disebabkan oleh menguapnya etanol dalam sediaan. Etanol
berperan sebagai kosurfaktan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka.
Dengan menguapnya etanol dalam sediaan mikroemulsi, maka tegangan
antarmuka mikroemulsi juga akan meningkat.
4.3.6 Penentuan Ukuran Globul Mikroemulsi (Zetasizer Nano Series User
Manual, 2004)
Pengukuran globul mikroemulsi dilakukan pada minggu ke-0 dan ke-8
dengan Zetasizer Malvern Nano S. Prinsip kerja Zetasizer yaitu dengan
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
47
Universitas Indonesia
pemendaran cahaya. Prosedur kerjanya yaitu sample mikroemulsi dimasukkan ke
dalam kuvet. Cahaya laser ditembakkan ke kuvet berisi sample. Cahaya tersebut,
ada sebagian yang diteruskan, tetapi ada yang dipendarkan oleh partikel di dalam
sample. Selanjutnya, cahaya yang dipendarkan itu diukur intensitasnya dengan
detektor.
Hasil pengukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-0 sebesar 3,089
nm. Ukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-8 sebesar 9,920 nm. Peningkatan
ukuran globul ini terjadi karena sebagian tween 80 mengalami hidrolisis sehingga
mengurangi kefeektifan lapisan film antarmuka globul mikroemulsi (Kishore
et.al., 2011). Selain itu, peningkatan ukuran globul ini juga bisa terjadi karena
tween 80 meninggalkan lapisan antarmuka air dan minyak. Kedua peristiwa ini
menyebabkan globul minyak berkoalesensi dan ukuran globul minyak membesar.
4.3.7 Uji Kestabilan
Uji kestabilan fisik sediaan mikroemulsi dilakukan dengan menyimpan
sediaan pada 3 suhu berbeda, yaitu pada suhu rendah (4±2OC), suhu kamar
(28±2OC) dan suhu tinggi (40±2
OC). Sediaan yang disimpan pada ketiga suhu
tersebut selanjutnya dilakukan pengamatan organoleptis dan pengukuran pH
setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
Uji kestabilan yang dilakukan pada mikroemulsi adalah uji cycling dan uji
sentrifugasi. Pengamatan uji cycling dan uji sentrifugasi dilakukan dengan
membandingkan sediaan sebelum dan sesudah dilakukan pengujian.
4.3.7.1 Uji Kestabilan terhadap Penyimpanan Suhu Rendah, Sedang dan Tinggi.
a Pengamatan organoleptis
1. Suhu Rendah (4±2OC)
Ketika disimpan pada suhu rendah, sediaan menjadi beku dan berwarna putih. Hal
ini karena sediaan mengandung VCO yang mempunyai titik beku pada suhu 22-
26OC. Titik beku VCO yang tinggi ini karena VCO mengandung asam lemak
jenuh yaitu asam laurat dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi
asam lemak jenuh dalam suatu jenis minyak, maka akan semakin tinggi titik
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
48
Universitas Indonesia
bekunya (Syah, 2005). Ketika sediaan dikeluarkan dari tempat penyimpanan suhu
rendah dan dikeluarkan ke suhu ruang, maka sediaan akan mencair kembali,
berwarna kuning sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C dan memiliki
viskositas seperti ketika belum dimasukkan ke dalam tempat penyimpanan suhu
rendah.
2. Suhu Kamar (28±2OC)
Setelah penyimpanan selama 8 minggu pada suhu kamar, sediaan tetap berbentuk
cair, berwarna kuning sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C, tidak
berbau tengik, jernih dan tidak terjadi pemisahan fase. Viskositas sediaan
menurun selama penyimpanan pada suhu kamar.
3. Suhu Tinggi (40±2OC)
Setelah penyimpanan selama 8 minggu pada suhu tinggi, sediaan tetap berbentuk
cair, berwarna kuning sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C, tidak
berbau tengik, jernih dan tidak terjadi pemisahan fase. Viskositas dan volume
sediaan menurun secara signifikan selama penyimpanan pada suhu tinggi.
Sediaan yang disimpan pada ketiga suhu berbeda selama 8 minggu tidak
mempunyai bau tengik. Hal ini menandakan bahwa BHT dalam sediaan berhasil
menjaga VCO supaya tidak tengik akibat teroksidasi.
Selain itu pada penyimpanan ketiga suhu berbeda tidak terjadi pemisahan
fase dan tetap jernih sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam formula
mengandung surfaktan dan kosurfaktan dengan konsentrasi yang cukup. Selain itu
sediaan juga tetap jernih karena konsentrasi antimikroba dalam sediaan cukup
sehingga tidak ada kontaminasi mikroba yang dapat mengganggu stabilitas fisik
sediaan.
b Pengukuran pH
Sediaan yang disimpan pada suhu rendah, suhu kamar, dan suhu tinggi
diukur pH setiap 2 minggu sekali. Hasilnya adalah sediaan tidak mengalami
perubahan pH yang berarti pada suhu rendah dan suhu kamar. Pada suhu rendah
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
49
Universitas Indonesia
dan suhu kamar, pH cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena
kontaminasi CO2 pada sediaan. Adanya CO2 pada sediaan akan menyebabkan
terbentuknya H2CO3 yang akan melepaskan H+. pH yang menurun juga mungkin
disebabkan karena hidrolisis tween 80 dalam sediaan yang melepaskan asam
lemak (Kishore et.al., 2011). Pada suhu tinggi, pH cenderung mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena adanya lepasnya ion Na+ dari natrium
diklofenak. Ion Na+ yang lepas akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam
sediaan mikroemulsi sehingga membentuk NaOH yang akan meningkatkan pH
sediaan mikroemulsi.
Hasil penyimpanan mikroemulsi pada suhu rendah, suhu kamar, dan suhu
tinggi tidak menyebabkan sediaan mempunyai pH di luar rentang pH 4,5-6,5
sehingga tetap sesuai untuk penggunaan secara transdermal.
Gambar 4.3. Grafik perubahan pH mikroemulsi pada penyimpanan
berbagai suhu selama 8 minggu
4.3.7.2 Uji Cycling
Uji cycling dilakukan dengan menyimpan sediaan pada suhu 4OC selama
24 jam dan pada suhu 40OC selama 24 jam. Ini adalah 1 siklus. Uji ini dilakukan
sebanyak 6 siklus dan diamati terbentuknya kristal pada sediaan menggunakan
mikroskop cahaya.
0
2
4
6
8
0 2 4 6 8 10
pH
minggu Suhu Tinggi
Suhu Rendah
Suhu Kamar
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
50
Universitas Indonesia
Selama uji ini berlangsung, sediaan mikroemulsi yang dikeluarkan dari
penyimpanan suhu 40OC mempunyai viskositas yang lebih rendah dan tetap
berwarna kuning. Sediaan yang dikeluarkan dari penyimpanan suhu 4OC
mempunyai warna putih dan terlihat membeku. Hal ini terjadi karena VCO yang
digunakan dalam sediaan mempunyai titik beku yang tinggi (Syah, 2005). Setelah
uji cycling selesai, dilakukan pengamatan organoleptis dan pengamatan sediaan
dengan mikroskop. Pengamatan organoleptis menunjukkan bahwa sediaan tetap
jernih dan berwarna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C.
Pengamatan dengan mikroskop menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya
kristal pada sediaan.
4.3.7.3 Uji Kestabilan Mekanik
Uji kestabilan mekanik dilakukan dengan cara melakukan sentrifugasi
mikroemulsi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 jam. Uji dengan sentrifugator ini
dianalogkan gaya gravitasi yang akan dialami mikroemulsi selama 1 tahun. Hasil
dari uji sentrifugasi ini adalah mikroemulsi tetap stabil dan tidak terjadi
pemisahan, berarti mikroemulsi stabil terhadap gaya gravitasi yang dialami oleh
mikroemulsi selama 1 tahun (Lachman, Lieberman & Kanig, 1994).
4.4. Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak
4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH
7,4
Natrium diklofenak ditimbang sebanyak 50,7 mg, dimasukkan ke dalam
labu tentukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya. Larutan ini mempunyai
konsentrasi natrium diklofenak sebesar 507 ppm. Kemudian larutan ini dipipet
10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga diperoleh larutan induk
dengan konsentrasi 50,7 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran dari larutan
induk hingga diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur serapannya pada λ
maksimum 276,0 nm.
Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu
y = -0,00169 + 0,02734 x
dengan nilai r = 0,99987
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Gambar 4.4. Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
4.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Natrium Diklofenak dalam
Dapar Fosfat pH 7,4
Natrium diklofenak dengan kemurnian sebesar 99,74 ± 1
sebanyak 50,0 mg, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL dan dicukupkan
volumenya. Larutan ini mempunyai konsentrasi natrium diklofenak 1000 ppm.
Kemudian larutan ini dipipet 10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga
diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 100 ppm. Dari larutan induk,
dilakukan pengenceran hingga diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur
serapannya pada λ maksimum 276,0 nm. Selanjutnya dihitung kadar natrium
diklofenak terhadap baku pembanding natrium diklofenak.
Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu
y = 0,00294 + 0,03187 x
dengan nilai r = 0,99990
Kadar natrium diklofenak terhadap baku pembanding sebesar 82,46%
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0
Se
rap
an
Universitas Indonesia
Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Natrium Diklofenak dalam
Dapar Fosfat pH 7,4
Natrium diklofenak dengan kemurnian sebesar 99,74 ± 1,37% ditimbang
sebanyak 50,0 mg, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL dan dicukupkan
volumenya. Larutan ini mempunyai konsentrasi natrium diklofenak 1000 ppm.
Kemudian larutan ini dipipet 10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga
tan induk dengan konsentrasi 100 ppm. Dari larutan induk,
dilakukan pengenceran hingga diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur
serapannya pada λ maksimum 276,0 nm. Selanjutnya dihitung kadar natrium
diklofenak terhadap baku pembanding natrium diklofenak.
Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu
y = 0,00294 + 0,03187 x
dengan nilai r = 0,99990
Kadar natrium diklofenak terhadap baku pembanding sebesar 82,46%
y = 0.027x - 0.001
R² = 0.999
5 10 15
Konsentrasi (ppm)
51
Universitas Indonesia
Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Natrium Diklofenak dalam
,37% ditimbang
sebanyak 50,0 mg, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL dan dicukupkan
volumenya. Larutan ini mempunyai konsentrasi natrium diklofenak 1000 ppm.
Kemudian larutan ini dipipet 10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga
tan induk dengan konsentrasi 100 ppm. Dari larutan induk,
dilakukan pengenceran hingga diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur
serapannya pada λ maksimum 276,0 nm. Selanjutnya dihitung kadar natrium
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
52
Universitas Indonesia
Gambar 4.5. Kurva kalibrasi baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar
fosfat pH 7,4
4.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Metanol
Natrium diklofenak ditimbang sebanyak 50,8 mg, dimasukkan ke dalam
labu tentukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya. Larutan ini mempunyai
konsentrasi natrium diklofenak sebesar 508 ppm. Kemudian larutan ini dipipet
10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga diperoleh larutan induk
dengan konsentrasi 100,2 ppm. Dari larutan induk, dilakukan pengenceran hingga
diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur serapannya pada λ maksimum 282,0
nm.
Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu
y = -0,03829 + 0,03764 x
dengan nilai r = 0,99967
y = 0.031x + 0.002
R² = 0.999
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0 5 10 15 20 25
Se
rap
an
Konsentrasi (ppm)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
53
Universitas Indonesia
Gambar 4.6. Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam metanol
4.4.4 Penetapan Kadar Natrium Diklofenak dalam Mikroemulsi
Penetapan kadar natrium diklofenak dalam mikroemulsi dilakukan secara
spektrofotometer UV-Vis dengan pelarut metanol. Metanol dipilih karena dapat
memecah mikroemulsi dan dapat melarutkan natrium diklofenak dengan baik.
Cara pengerjaannya yaitu mikroemulsi dikocok dengan metanol hingga
mikroemulsi pecah dan tampak berwarna putih. Selanjutnya campuran ini
dimasukkan ke tabung sentrifugasi secara kuantitatif dan disentrifugasi untuk
memisahkan fase metanol dan fase minyak. Supernatan metanol dipisahkan dari
minyak dengan disaring menggunakan filter membran Milipore® dengan ukuran
pori 0,45 µm. Hasil penyaringan itu dimasukkan ke dalam labu tentukur,
dicukupkan volumenya dan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis
pada λ = 282 nm. Pergeseran hipsokromik panjang gelombang spektrum natrium
diklofenak ini karena adanya interaksi antara tween 80 dengan natrium diklofenak
(Mehta, Bala & Sharma, 2005).
Pengukuran serapan sample mikroemulsi dengan spektrofotometer UV-
Vis menggunakan baseline berupa basis mikroemulsi tanpa natrium diklofenak.
Hal ini berfungsi untuk menolkan serapan dari komponen pembentuk
mikroemulsi yang mempunyai gugus kromofor sehingga serapan yang diperoleh
hanya serapan natrium diklofenak saja.
Hasil penetapan kadar yang didapat sebesar 1,1310% dan 1,1148% dengan
rata-rata sebesar 1,1229%. Hasil penetapan kadar natrium diklofenak yang lebih
y = 0.037x - 0.038
R² = 0.999
00.10.20.30.40.50.60.70.80.9
1
0 10 20 30
Se
rap
an
Konsentrasi (ppm)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
54
Universitas Indonesia
tinggi dari yang dimasukkan dalam formula (1%) karena menguapnya etanol
dalam sediaan mikroemulsi sehingga konsentrasi natrium diklofenak menjadi
lebih tinggi dari seharusnya.
4.4.5 Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak dengan Metode Sel Difusi
Franz
Uji penetrasi dengan sel difusi Franz menggunakan kulit tikus sebagai
membran antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Tikus yang
digunakan adalah tikus betina galur Spraque Dawley berumur 2-3 bulan.
Permeabilitas kulit tikus ini sesuai dengan permeabilitas kulit manusia yaitu
sebesar 103,08 x 10-5
cm2/jam (Walters, 2002). Umur tikus yang digunakan yaitu
2-3 bulan karena semakin tua umur tikus, maka ketebalan stratum korneum kulit
akan semakin besar sehingga permeabilitasnya akan semakin rendah (Walters,
2002).
Supaya bisa digunakan sebagai membran sel difusi Franz, tikus yang telah
dikorbankan harus dicukur bulunya dengan hati-hati. Hal ini bertujuan untuk
mencegah robeknya kulit yang akan digunakan. Selanjutnya lemak subkutan
dihilangkan karena lemak dapat mengganggu penetrasi obat melalui kulit. Kulit
yang sudah dihilangkan lemak subkutan dapat langsung digunakan atau bisa
disimpan dahulu dalam lemari es pada suhu 4OC selama maksimal 24 jam.
Sebelum kulit digunakan sebagai membran, kulit harus dihidrasi dulu dengan
cairan di kompartemen reseptor yaitu dapar fosfat pH 7,4 selama minimal 30
menit pada suhu ruang.
Selama uji penetrasi dengan sel difusi Franz, kompartemen reseptor alat
dijaga suhunya dengan termostat sebesar 37±0,5OC yang melambangkan suhu
tubuh. Untuk menjamin homogenitas cairan, kompartemen reseptor diaduk
dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 250 rpm. Kecepatan ini digunakan
karena dianggap kecepatan yang sesuai. Kecepatan yang lebih tinggi dari 250 rpm
akan menimbulkan gelembung udara pada perbatasan antara membran kulit dan
cairan kompartemen reseptor sehingga menghalangi kontak langsung antara
membrane kulit dengan cairan di kompartemen reseptor. Kecepatan yang lebih
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
55
Universitas Indonesia
rendah dari 250 rpm akan sulit untuk menghomogenkan cairan di kompartemen
reseptor.
Kompartemen reseptor mempunyai volume yang besar bila dibandingkan
dengan jumlah zat yang berpenetrasi. Volume yang besar ini bertujuan agar dapat
menampung volume cairan yang besar sehingga menciptakan kondisi sink.
Kondisi sink adalah suatu keadaan dimana volume cairan untuk melarutkan zat
sangat besar sehingga tidak akan menghambat penetrasi obat. Hal ini terjadi
karena volume cairan yang besar tidak akan menyebabkan terjadinya kejenuhan di
kompartemen reseptor. Selain itu volume cairan yang besar akan menyebabkan
konsentrasi obat yang berada di kompartemen reseptor menjadi sangat kecil
sehingga gradien konsentrasi obat di kompartemen donor dan reseptor menjadi
besar. Gradien konsentrasi ini yang besar ini harus tetap dijaga karena penetrasi
obat dari kompartemen donor ke kompartemen reseptor berdasarkan prinsip difusi
pasif yang menggunakan gradien konsentrasi obat sebagai gaya dorong penetrasi
obat.
Sediaan mikroemulsi ditimbang sebanyak ±1,0 gram dan dimasukkan ke
kompartemen donor secara hati-hati dan tidak menyentuh dinding kompartemen
donor karena dapat mengurangi jumlah sediaan yang akan diuji. Selanjutnya
kompartemen donor ditutup dengan plastik untuk menghindari kontaminasi
sediaan di kompartemen donor.
Cairan reseptor yang digunakan yaitu dapar fosfat pH 7,4 yang sesuai
dengan pH cairan plasma darah (Sherwood, 2001). Natrium diklofenak yang telah
meninggalkan sediaan mikromulsi akan terlarut di dalam cairan reseptor.
Untuk mengetahui konsentrasi obat di kompartemen reseptor dilakukan
pengambilan sample sebanyak 0,5 mL pada menit ke 30, 60, 90, 120, 180, 240,
300, 360, 420 dan 480. Waktu pengambilan sample pada menit-menit awal lebih
rapat daripada waktu pengambilan sample menit-menit pertengahan hingga akhir.
Hal ini karena pada menit-menit awal merupakan waktu lag (Sinko, 2011).
Cairan sample yang diambil dari kompartemen reseptor dimasukkan ke
dalam labu tentukur 5,0 mL, dicukupkan volumenya hingga batas dan dikocok
homogen sehingga diperoleh pengenceran sebesar 10 kali. Setiap kali
pengambilan sample sebesar 0,5 mL harus segera digantikan dengan cairan
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
56
Universitas Indonesia
reseptor baru untuk menjaga volume cairan di kompartemen reseptor tetap
konstan yaitu sebesar 13 mL. Konsentrasi obat di kompartemen donor akan turun
dan konsentrasi obat di kompartemen reseptor akan naik sampai keadaan
ekuilibrium pada waktu tertentu dan konsentrasi tertentu. Hasil serapan yang
diperoleh dimasukkan ke persamaan regresi dan diperloleh konsentrasi obat
terpenetrasi. Dari data konsentrasi tersebut, dapat dihitung jumlah kumulatif, fluks
total dan fluks tiap waktu obat terpenetrasi. Selanjutnya jumlah kumulatif obat
terpenetrasi diplotkan tiap waktu pengambilan sample. Persamaan regresi yang
diperoleh dari jumlah kumulatif ini menunjukkan fluks total obat terpenetrasi.
Fluks tiap waktu diperoleh dari perbandingan jumlah kumulatif terpenetrasi
terhadap waktu difusi dilakukan.
Uji penetrasi dengan sel difusi Franz ini dilakukan dengan dua cara yaitu
uji penetrasi jam demi jam yang dihentikan sampai waktu pengambilan sample
yang diinginkan (metode A) dan uji penetrasi yang dihentikan setelah 8 jam
(metode B). Hasil yang diperoleh dari kedua metode agak berbeda, baik dalam hal
jumlah kumulatif terpenetrasi dan fluks total. Perbandingan hasil jumlah
kumulatif dengan kedua metode dapat dilihat pada Gambar 4.9 dan perbandingan
hasil fluks tiap jam dengan kedua metode dapat dilihat pada Gambar 4.10. Hasil
yang diperoleh dari metode A yaitu jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 639,62
µg cm-2
jam-1
, fluks total sebesar 70,62 µg cm-2
jam-1
(Gambar 4.7). Hasil yang
diperoleh dari metode B yaitu jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 628,88 µg
cm-2
jam-1
dan fluks total sebesar 70,53 µg cm-2
jam-1
(Gambar 4.8). Perbedaan ini
mungkin disebabkan karena variasi-variasi dalam uji penetrasi seperti perbedaan
membran kulit yang digunakan.
Pada kedua metode, grafik fluks tiap waktu (Gambar 4.10) yang diperoleh
menunjukkan puncak yang tinggi pada jam ke-0,5 (menit ke-30) kemudian
menurun bertahap dan akhirnya mencapai mendatar. Puncak yang tinggi pada
menit ke-30 ini menunjukkan laju pelepasan obat secara cepat pada menit ke-0
sampai ke menit ke-30. Pada menit ke-0 belum ada natrium diklofenak yang
terpenetrasi (Q = 0 µg cm-2
jam-1
) sehingga gradien konsentrasi obat antara
kompartemen donor dan kompartemen reseptor menjadi sangat besar. Setelah
menit ke-30, laju pelepasan obat menurun perlahan karena gradien konsentrasi
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
57
Universitas Indonesia
obat antara kompartemen donor dan reseptor mulai berkurang. Hal ini terjadi
karena natrium diklofenak sudah mulai berpenetrasi ke dalam kompartemen
reseptor. Grafik fluks tiap waktu yang mendatar menandakan bahwa kondisi
sudah mencapai kondisi tunak. Pada kondisi ini, kenaikan jumlah kumulatif
terpenetrasi sudah konstan tiap waktu.
Jumlah kumulatif obat yang terpenetrasi ke kompartemen reseptor sel
difusi Franz dikalikan dengan faktor koreksi sebesar 1,2158 karena kadar natrium
diklofenak yang digunakan di sediaan hanya sebesar 82,46% terhadap baku
pembanding dengan kemurnian 99,74%. Hasil menunjukkan bahwa selama 8 jam
jumlah kumulatif obat yang terpenetrasi sebesar 9,3185%.
Jumlah kumulatif terpenetrasi natrium diklofenak terpenetrasi dari sediaan
ini lebih rendah dari mikroemulsi yang dibuat oleh Dewi (2007) dan Widiastuti
(2010). Dewi (2007) membandingkan jumlah kumulatif natrium diklofenak
terpenetrasi yang dibuat dengan fase minyak isopropil palmitat dan minyak kelapa
sawit. Surfaktan yang digunakan yaitu tween 80 sebesar 40% dan lesitin sebesar
5%. Kosurfaktan yang digunakan yaitu etanol 96% sebesar 2%. Fase minyak
yang digunakan sebesar 5%. Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa
isopropil palmitat mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 706,63 ±
32,73 µg cm-2
dan fluks pada jam ke-8 sebesar 88,33 ± 4,09 µg cm-2
jam-1
.
Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa minyak kelapa sawit
mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 1058,67 ± 73,12 µg cm-2
dan
fluks pada jam ke-8 sebesar 132,33 ± 9,14 µg cm-2
jam-1
. Hasil jumlah kumulatif
natrium diklofenak yang dibuat oleh Dewi (2007) lebih tinggi dari yang dibuat
dalam penelitian ini (jumlah kumulatif sebesar 626,12 ± 3,88 µg cm-2
dan fluks
dan fluks pada jam ke-8 sebesar 78,27 ± 0,48 µg cm-2
jam-1
) karena di dalam
formula digunakan lesitin sebagai surfaktan. Lesitin dapat berperan untuk
meningkatkan penetrasi obat karena lesitin adalah golongan fosfolipid yang dapat
meningkatkan penetrasi obat dengan cara mengoklusi permukaan kulit sehingga
dapat menghidrasi kulit (Williams & Barry, 2004).
Widiastuti (2010) membandingkan jumlah kumulatif natrium diklofenak
terpenetrasi yang dibuat dengan fase minyak isopropil laurat dan minyak VCO.
Surfaktan yang digunakan yaitu tween 80 sebesar 40%. Kosurfaktan yang
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
58
Universitas Indonesia
digunakan yaitu etanol 96% sebesar 3%. Fase minyak yang digunakan sebesar
3%. Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa isopropil laurat
mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 929,81 ± 15,36 µg cm-2
dan
fluks pada jam ke-8 sebesar 123,73 ± 0,2 µg cm-2
jam-1
. Mikroemulsi yang dibuat
dari fase minyak berupa minyak VCO mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi
sebesar 969,68 ± 51,91 µg cm-2
dan fluks pada jam ke-8 sebesar 121,23 ± 10,02
µg cm-2
jam-1
. Hasil jumlah kumulatif dan fluks natrium diklofenak yang dibuat
oleh Widiastuti (2010) lebih tinggi dari yang dibuat dalam penelitian ini (jumlah
kumulatif sebesar 626,12±3,88 µg cm-2
dan fluks pada jam ke-8 sebesar 78,27 ±
0,48 µg cm-2
jam-1
) karena hanya menggunakan tween 80 sebesar 40%. Arrelano,
Santoyo, Martn & Ygartua menyatakan bahwa tween 80 dapat menurunkan laju
penetrasi natrium diklofenak karena peristiwa solubilisasi. Peristiwa ini adalah
terperangkapnya obat di dalam misel karena konsentrasi tween 80 yang digunakan
lebih tinggi daripada konsentrasi misel kritik. Terperangkapnya obat di dalam
misel dapat menurunkan laju penetrasi obat karena obat yang dapat berpenetrasi
hanya yang berada dalam bentuk bebas.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
59
Universitas Indonesia
Gambar 4.7. Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi
dengan metode A
Gambar 4.8. Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi
dengan cara B
y 2 = 61.57x + 149.5
R² = 0.968
y 1 = 211.4x + 6.203
R² = 0.9890
100
200
300
400
500
600
700
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
na
triu
m d
iklo
fen
ak
(µ
g c
m-2
)
Waktu (jam)
y2 = 67.77x + 83.78
R² = 0.982
y 1 = 175.4x + 12.56
R² = 0.9420
100
200
300
400
500
600
700
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
na
triu
m d
iklo
fen
ak
(µ
g c
m-2
)
Waktu (jam)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
60
Universitas Indonesia
Gambar 4.9. Perbandingan hasil jumlah kumulatif natrium diklofenak
terpenetrasi dengan kedua metode
Gambar 4.10. Perbandingan hasil fluks natrium diklofenak tiap waktu
dengan kedua metode
0
100
200
300
400
500
600
700
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
na
triu
m d
iklo
fen
ak
(µ
g c
m-2
)
Waktu (jam)cara B
cara A
0
50
100
150
200
250
300
0 2 4 6 8 10
flu
ks
na
triu
m d
iklo
fen
ak
(µ
g c
m-2
jam
-1)
Waktu (jam)cara B
cara A
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
61
Universitas Indonesia
4.4.6 Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak dengan Metode Tape
Stripping
4.4.6.1 Penentuan Jumlah Lapisan Stratum Korneum Kulit Abdomen Tikus
Penentuan jumlah lapisan stratum korneum abdomen kulit tikus bertujuan
untuk mengetahui jumlah bahan perekat yang diperlukan untuk menarik seluruh
lapisan stratum korneum. Dengan tertariknya seluruh lapisan stratum korneum,
maka jumlah natrium diklofenak yang terdapat di lapisan stratum korneum dapat
ditentukan.
Untuk mengetahui jumlah bahan perekat yang dapat menarik seluruh
lapisan stratum korneum kulit abdomen tikus, maka dibuat preparat kulit tikus
yang telah ditempel dengan bahan perekat sebanyak 8, 10, 12, 13, 14 dan 15 kali.
Selanjutnya kulit direndam dalam larutan Bouin selama 24 jam. Larutan
Bouin terdiri dari 75 ml asam pikrat, 25 ml formalin dan 5 ml asam asetat glasial.
Formalin berperan sebagai larutan fiksasi yang berfungsi menjaga struktur dan
distribusi organel sel. Asam pikrat berperan dalam mengkoagulasi protein, tetapi
dapat menyusutkan sel. Asam asetat berperan dalam mengkoagulasi kromatin dan
mencegah penyusutan sel yang disebabkan oleh asam pikrat. Reaksi formalin
dengan protein sel dalam pH larutan Bouin yang asam yaitu 1,5-2,0 lebih cepat
daripada dalam pH netral. Penyimpanan jaringan dalam larutan Bouin yang lebih
lama dari 24 jam dapat menyebabkan hidrolisis DNA dan RNA sel.
Langkah berikutnya yaitu dehidrasi air dari jaringan. Hal ini bertujuan
karena cairan jaringan tidak kompatibel dengan larutan pembenaman dan untuk
mencegah adanya kontaminasi dari bakteri ataupun jamur. Dehidrasi ini dilakukan
dengan merendam jaringan dalam alkohol dengan konsentrasi meningkat. Setelah
direndam dalam alkohol konsentrasi tertinggi, jaringan diinfiltrasi dan
dibenamkan dalam medium parafin untuk memudahkan pemotongan jaringan.
Pemotongan jaringan dilakukan secara longitudinal dengan ketebalan 7
µm karena dilakukan pengamatan dnegan mikroskop cahaya. Setelah dipotong,
jaringan diberi larutan xylol untuk melarutkan parafin dan direhidrasi kembali
supaya dapat dilakukan pewarnaan.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
62
Universitas Indonesia
Selanjutnya jaringan dilakukan pewarnaan jaringan. Jaringan perlu
diwarnai karena jaringan tidak mempunyai kontras yang baik, sehingga
dibutuhkan pewarna untuk memvisualisasikan strukturnya. Pewarna jaringan yang
umum dipakai yaitu Hematoxylin dan Eosin (H&E) karena dapat mewarnai
jaringan dengan baik dan dapat memberikan warna berbeda terhadap warna
jaringan dan warna organel sel. Prinsip pewarnaan ini yaitu terjadi pewarnaan
karena adanya ikatan antara muatan pewarna dan jaringan. Hematoxylin
bermuatan positif sehingga dapat berikatan dengan sel bermuatan negatif, seperti
asam nukleat. Hematoxylin memberikan warna ungu atau biru sehingga asam
nukleat sel tampak bewarna biru pada pengamatan dengan mikroskop. Eosin
bermuatan negatif sehingga dapat berikatan dengan sel bermuatan positif, seperti
sitoplasma. Eosin memberikan warna merah sehingga sitoplasma sel tampak
berwarna merah. Setelah itu jaringan didehidrasi kembali dan dapat diamati
dengan mikroskop. Tujuan dehidrasi kembali ini adalah untuk mencegah
kontaminasi jamur pada preparat.
Hasil yang diperoleh yaitu pada preparat kontrol (sebelum dilakukan
penempelan bahan perekat) masih terdapat stratum korneum yang tebal. Pada
penempelan sebanyak 8 dan 10 kali masih terdapat stratum korneum. Hasil
pengamatan preparat mikroskop menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
penempelan bahan perekat, maka semakin tipis lapisan stratum korneum yang
tertinggal di kulit. Pada penempelan bahan perekat sebanyak 12 kali, stratum
korneum telah terangkat semua sehingga untuk prosedur tape stripping dilakukan
penempelan bahan perekat sebanyak 12 kali.
4.4.6.2 Uji Penetrasi Mikroemulsi dengan Metode Tape Stripping
Metode tape stripping adalah metode non invasiv untuk mengukur jumlah
obat yang tertinggal di kulit menggunakan bahan perekat. Metode pengerjaannya
yaitu bahan perekat ditempelkan berulang kali pada kulit yang hendak diuji, bahan
perekat tersebut dikumpulkan dan diekstraksi untuk mengetahui kadar obat yang
tertinggal di stratum korneum kulit. Kadar obat hasil ekstraksi ditentukan dengan
instrumen yang sesuai.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
63
Universitas Indonesia
Sebelum dilakukan uji penetrasi dengan metode ini, harus diketahui
dahulu jumlah lapisan stratum korneum kulit yang akan diuji. Secara teoretis,
setiap bahan perekat akan menarik satu lapisan stratum korneum. Dengan
demikian, jumlah lapisan stratum korneum menunjukkan jumlah bahan perekat
yang harus ditempelkan pada kulit yang akan diuji.
Jumlah bahan perekat untuk menarik seluruh lapisan stratum korneum
kulit ditentukan dengan membuat preparat kulit yang telah ditempelkan bahan
perekat dengan jumlah tertentu dan diamati penampang membujur kulit
menggunakan mikroskop. Penampang kulit diamati dan dicatat jumlah bahan
perekat yang diperlukan untuk menarik seluruh lapisan stratum korneum.
Selanjutnya jumlah bahan perekat ini digunakan dalam semua langkah pengerjaan
berikutnya. Berdasarkan hasil pengamatan dengan mikroskop, diperoleh data
bahwa penempelan bahan perekat sebanyak 12 kali pada kulit abdomen tikus
betina, akan berhasil menghilangkan seluruh lapisan stratum korneum. Oleh sebab
itu, dalam metode pengerjaan berikutnya, dilakukan penempelan bahan perekat
sebanyak 12 kali.
Kulit tikus yang telah digunakan sebagai membran pada sel difusi Franz,
dilepaskan dan dibilas dengan dapar fosfat pH 7,4 untuk menghilangkan sisa
sediaan yang masih tertempel pada kulit. Selanjutnya kulit dikeringkan dengan
pengering untuk memudahkan penempelan bahan perekat. Selanjutnya kulit
diletakkan pada alas dan ditempelkan bahan perekat secara berulang sampai 12
kali. Bahan perekat pada penempelan pertama tidak dikumpulkan bersama bahan
perekat lain yang akan diekstraksi karena mengandung sediaan yang tidak
terabsorbsi oleh kulit. Bahan perekat kedua hingga keduabelas dikumpulkan
dalam suatu wadah dan dilakukan proses ekstraksi.
Proses ekstraksi obat dari bahan perekat bisa menggunakan berbagai
metode. Salah satunya adalah dengan metode sonikasi. Sonikasi dapat
mengekstraksi obat karena getaran ultrasonik akan membuat kontak yang dekat
antara bahan perekat dan pelarutnya (Mitra, 2003).
Ekstraksi dilakukan secara bertingkat dengan menambahkan pelarut dapar
fosfat pH 7,4 dan dilakukan sonikasi. Sonikasi selama 15 menit dilakukan dua kali
dengan volume dapar fosfat pH 7,4 sebesar 40 ml karena lebih banyak obat yang
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
64
Universitas Indonesia
terekstraksi menggunakan ekstraksi bertingkat daripada ekstraksi tunggal dengan
volume dapar fosfat pH 7,4 sebesar 80 ml (Mitra, 2003). Hasil ekstraksi
bertingkat dikumpulkan, dikocok homogen dan diukur serapannya dengan
spektrofotometer UV-Vis.
Kadar natrium diklofenak yang terekstraksi dari bahan perekat setiap
waktu pengambilan sample tidak menunjukkan hasil linear. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Jui-Chen Tsai; Cappel, Weiner, Flynn, & Ferry (1991). Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada interaksi khusus antara zat dengan stratum
korneum kulit.
Rata-rata hasil jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit dari jam
ke-0 sampai jam ke-8 sebesar 51,23 ± 21,20 µg. Simpangan deviasi yang besar
menunjukkan bahwa kadar obat tertinggal di kulit berfluktuasi dan tidak konstan
setiap waktu.
Gambar 4.11. Profil jumlah natrium diklofenak tertinggal di kulit
4.4.6 Penentuan Kadar Natrium Diklofenak yang Tertinggal di Kompartemen
Donor setiap Waktu Pengambilan Sample
Setiap kali waktu pengambilan sample, kadar natrium diklofenak yang
tertinggal di kompartemen donor ditentukan menggunakan cara yang sama seperti
uji perolehan kembali.
Hasil penentuan kadar natrium diklofenak di kompartemen donor tidak
menunjukkan hasil seperti yang diharapkan yaitu menurun seiring bertambahnya
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
Na
triu
m D
iklo
fen
ak
(%
)
Waktu (jam)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
65
Universitas Indonesia
waktu pengambilan sample. Konsentrasi obat yang tertinggal di sediaan di dalam
kompartemen donor yang masih tinggi ini disebabkan karena konsentrasi tween
80 yang tinggi dalam sediaan dapat menurunkan laju penetrasi natrium diklofenak
dalam mikroemulsi (Arellano, Santoyo, Martn & Ygartua, 1998).
Gambar 4.12. Profil jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor
4.4.6 Penentuan Hubungan Antara Hasil Uji Penetrasi dengan Metode Sel
Difusi Franz dan Metode Tape Stripping
Hubungan antara hasil uji penetrasi kedua metode dilakukan dengan
menjumlahkan persentase obat yang terpenetrasi di kompartemen reseptor,
persentase obat yang tertinggal di kulit dan persentase obat yang masih tertinggal
di sediaan di kompartemen donor. Penjumlahan persentase kadar obat yang
terdapat di kompartemen donor, di kulit dan di kompartemen reseptor mendekati
100%. Hasil persentase yang lebih besar dari 100% disebabkan karena
menguapnya etanol di dalam sediaan mikroemulsi.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
Na
triu
m D
iklo
fen
ak
(%
)
Waktu (jam)
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
66
Universitas Indonesia
Gambar 4.13. Grafik persentase jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor, kulit
dan kompartemen reseptor
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 2 4 6 8 10
Jum
lah
Na
triu
m D
iklo
fen
ak
(%
)
waktu (jam)
kompartemen reseptor
kompartemen donor
kulit
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
67 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Mikroemulsi natrium diklofenak dapat dibuat dengan konsentrasi tween 80
sebagai surfaktan sebanyak 45%, konsentrasi VCO sebagai fase minyak
sebanyak 5%, konsentrasi etanol sebagai kosurfaktan sebanyak 10%,
konsentrasi propilen glikol sebagai kosolven sebanyak 5% dan konsentrasi
natrium diklofenak sebanyak 1%. Hasil uji penetrasi natrium diklofenak
dengan metode sel difusi Franz menunjukkan bahwa selama 8 jam, obat
hanya terpenetrasi sebesar 9, 3185%. Hasil uji penetrasi mikroemulsi
natrium diklofenak dengan metode tape stripping menunjukkan bahwa
obat tidak tertahan dalam jumlah besar di lapisan stratum korneum kulit.
2. Terdapat korelasi antara hasil uji penetrasi antara metode sel difusi Franz
dan metode tape stripping. Hal ini dibuktikan dengan penjumlahan
konsentrasi natrium diklofenak di kompartemen donor, kulit dan
kompartemen reseptor yang berkisar sebesar 100%.
3. Interaksi natrium diklofenak dengan stratum korneum bukan interaksi
yang bermakna karena hanya sedikit natrium diklofenak yang menembus
stratum korneum. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara natrium
diklofenak dengan tween 80 yang jumlahnya sangat banyak di dalam
formula melalui peristiwa solubilisasi miselar.
5.2 Saran
Perlu dilakukan perbaikan formula berupa penurunan konsentrasi
tween 80 pada penelitian selanjutnya. Penurunan konsentrasi tween 80
dalam formula mikroemulsi akan dapat meningkatkan jumlah obat yang
lepas dari sediaan.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
68
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Ansel, Howard. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Ed ke-4.) (Farida
Ibrahim, Penerjemah.). Depok : UI Press. 492-494.
Arellano A., Santoyo S., Martn C. & Ygartua P. (1998). Surfactant Effects on the
in Vitro Percutaneous Absorption of Diclofenac Sodium. European Journal
of Drug Metabolism and Pharmacokinetics, 23, 307-312.
Au, Wai Lin; Skinner, Michael & Kanfer, Isadore. (2010). Comparison of Tape
Stripping with the Human Skin Blanching Assay for the Bioequivalence
Assessment of Topical Clobetasol Propionate Formulations. Journal of
Pharmaceutical Sciences, 13, 11-20.
Barakat, Nahla; Fouad, Ehab & Elmedanny, Azza. (2011). Formulation Design of
Indomethacin-Loaded Nanoemulsion For Transdermal Delivery.
Pharmaceutical Analytica Acta, 3, 155-162.
Barry, Williams. (2004). Penetration Enhancer, Advanced Drug Delivery Reviews,
56, 603-621.
Belitz, H-D; Grosch W. & Schieberle P. (2010). Food Chemistry (4th
ed.). Jerman
: Springer. 460.
Benson, Heather A.E. & Watkinson, Adam C. (2012). Topical and Transdermal
Drug Delivery : Principal and Practice. New Jersey : John Wiley & Sons.
Bosman, Lawant A.L., Avegaart S.R., Ensing K., Zeeuw, R.A. (1996). A Novel
Diffusion Cell for In Vitro Transdermal Permeation, Compatible with
Automated Dynamic Sampling. Journal of Pharmaceutical and Biomedical
Analysis, 1015 – 1023.
Bronaugh, Robert & Maibach, Howard. (2005). Percutaneous Absorption : Drug
Cosmetic Mechanism Methodology (4th
ed.). USA : Taylor & Francis Group.
708.
Brookfield Dial Viscometer. Brookfield Dial Viscometer : Operating Instructions.
USA : Brookfield Engineering Laboratories
Cosgrove, Terence. (2010). Colloid Science Principles Methods and Applications.
UK : John Wiley & Sons. 77-81.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
69
Universitas Indonesia
Chuasuwan et.al. (2009). Biowaiver Monographs for Immediate Release Solid
Oral Dosage Forms: Diclofenac Sodium and Diclofenac Potassium. Journal
of Pharmaceutical Sciences, 98,. 1206-1219
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (2007). Farmakologi dan Terapi (Ed ke-5). Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
240.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia (Ed ke-
4). Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1030, 1039-1040.
Dewi, Martha. (2007). Formulasi Mikroemulsi Topikal Menggunakan Fase
Minyak Isopropil Palmitat dan Minyak Kelapa Sawit dengan Natrium
Diklofenak sebagai Model Obat. Skripsi Program Sarjana Farmasi. Depok :
Departemen Farmasi FMIPA UI.
Dhikav, Vikas; Singh, Sindhu; Pande, Swati, Chawla, Atul, & Anand, Kuljeet
Singh. (2004). Non-Steroidal Drug-Induced Gastrointestinal Toxicity:
Mechanisms and Management. Journal, Indian Academy of Clinical
Medicine, 4 ,315-322.
Djajadisastra, Joshita. (2004, November). Cosmetic Stability. Bahan disampaikan
pada Seminar Setengah Hari HIKI, Jakarta.
Djakovit & Dokit. (1978). Changes of Viscous Characteristics of Oil in Water
Emulsions During Homogenization. Colloid & Polymer Sci. 256, 1177-
1181.
Fisher Scientific. (2006). Fisher Surface Tensiomat Model 21. Iowa : Fisher
Scientific.
Heynemann, Catherine A. ; Liday, Cara Lawless & Wall, Geoffrey C. (2000).
Oral versus Topical NSAIDs in Rheumatic Diseases : A Comparison.
Drugs, 60, 555-574.
Jui-Chen Tsai ; Cappel, Markus; Weiner, Norman; Flynn, Gordon & Ferry,
James. (1991). Solvent Effects on the Harvesting of Stratum Corneum from
Hairless Mouse Skin through Adhesive Tape Stripping In Vitro.
International Journal of Pharmaceutics, 68, 127-133.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
70
Universitas Indonesia
Jui-Chen Tsai ; Cappel, Markus; Weiner, Norman; Flynn, Gordon & Ferry,
James. (1991). Properties of Adhesive Tapes Used for Stratum Corneum
Stripping. International Journal of Pharmaceutics, 72, 227-231.
Kishore, Ravuri et.al. (2011). The Degradation of Polysorbates 20 and 80 and its
Potential Impact on the Stability of Biotherapeutics. Pharmaceutical
Research, 28, 1194-1210.
Klang, Victoria, et.al. (2012). In Vitro vs. In Vivo Tape Stripping: Validation of
the Porcine Ear Model and Penetration Assessment of Novel Sucrose
Stearate Emulsions. European Journal of Pharmaceutics and
Biopharmaceutics, 80, 604-614.
Kulkarni, Vitthal. (2010). Handbook of Non Invasive Drug Delivery System. USA
: Elsevier. 13.
Kulshreshtha, Alok; Singh, Onkar & Wall, Michael. (2010). Pharmaceutical
Suspensions : From Formulation Development to Manufacturing. New York
: Springer. 14.
Kumar, Promod. (1999). Handbook of Microemulsion Science and Technology.
New York : Marcel Dekker.
Lachman, L; H.A. Lieberman, J.L. Kanig. (1994). Teori dan Praktek Farmasi
Industri (Ed ke-3). (Siti Suyatmi, Penerjemah.). Jakarta : UI Press. 1081.
Lademann, Jacobi, Surber, Weigmann & Fluhr. (2008). The Tape Stripping
Procedure – Evaluation of Some Critical Parameters. European Journal of
Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 72, 317-323.
Lide, David R. & Haynes, William M. (2010). CRC Handbook of Chemistry and
Physics (Ed ke-90) . Florida : CRC Press.
Lucida, Henny; Salman, & Hervian, Sukma. (2008). Uji Daya Penetrasi Virgin
Coconut Oil (VCO) dalam Basis Krim. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi,
13, 23-30.
Maghraby, Gamal. (2008). Transdermal Delivery of Hydrocortisone from
Eucalyptus Oil Microemulsion: Effects of Cosurfactants, International
Journal of Pharmaceutics, 355 , 285-292.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
71
Universitas Indonesia
Mehta, S.K.; Bala, Neeru & Sharma, Shweta. (2005). Thermodynamics of
Aggregation of Tweens in the Presence of Diclofenac Sodium. Journal of
Colloids and Surfaces, 268, 90-98.
Mitra, Somenath. (2003). Sample Preparation Technique in Analytical Chemistry.
New Jersey : John Wiley & Sons. 145-146.
Mitsui, Takeo. (1997). New Cosmetic Science (1st ed.). Amsterdam : Elsevier. 20-
21.
Moffat, Anthony; Osselton, David & Widdop, Brian. (2011). Clarke’s Analysis of
Drug and Poison (4th
ed.). Itali : Pharmaceutical Press. 1238-1239.
Mulla, Adam. (1998). Droplet Coalescence in the Shear Flow of Model
Emulsions. Tesis Departemen Teknik Kimia. Universitas West Virginia.
Murthy, Narasimha. (2011). Dermatokinetics of Therapeutic Agents. USA : CRC
Press. 3-5, 10, 83-86.
Pakurar, Alice & Bigbee, John. (2004). Digital Histology : An Interactive CD
Atlas with Review Text. New Jersey : John Wiley & Sons. 1-3.
Pathan, Inayat Bashir & Setty, Mallikarjuna. (2009). Chemical Penetration
Enhancers for Transdermal Drug Delivery Systems. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research, 8, 173-179.
Pellett, M.A. ; Robert, M.S. & Hadgraft, J. (1997). Supersaturated Solutions
Evaluated with an In Vitro Stratum Corneum Tape Stripping Technique.
International Journal of Pharmaceutics, 151, 91-98.
Rowe, Raymond ; Sheskey, Paul; Quinn Marian. (2009). Handbook of
Pharmaceutical Excipient (6th
ed.). London : Pharmaceutical Press. 17-18,
75-76, 181-182, 441-444, 549, 592-593, 596-597.
Sinko, Patrick. (2011). Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences
(6th
ed.). Cina: Lippincot Williams & Wilkins. 355-367, 469-473.
Smith, Eric & Maibach, Howard. (2006). Percutaneous Penetration Enhancer
(2nd
ed). USA : Taylor & Francis Group. 17-29.
Shah, Vinod & Maibach, Howard. (1993). Topical Drug Bioavailability,
Bioequivalence and Penetration. New York : Plenum Press. 230.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
72
Universitas Indonesia
Shahidi, Fereidoon. (2005). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products (Ed ke-6).
New York : John Wiley & Sons. 440-441.
Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem (Ed ke-2).
(Brahm Pendit ,Penerjemah.). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
512.
Swarbrick, James. (2007). Encyclopedia of Pharmaceutical Technology (3rd
ed.).
USA : Informa Health Care. 1561-1564.
Syah, Andi Nur Alam. (2005). Virgin Coconut Oil : Minyak Penakluk Aneka
Penyakit. Jakarta : Agro Media Pustaka.
Tabor, Aaron & Blair, Robert. (2009). Nutritional Cosmetics : Beauty from Within
(1st ed.). USA : Elsevier. 43.
Thongchai, Wisnu; Liawruangrath, Boonsom; Thongpoon, Chalermporn &
Machan, Theeraphan. (2006). High Performance Thin Layer
Chromatographic Method for the Determination of Diclofenac Sodium in
Pharmaceutical Formulations. Chiang Mai Journal of Science, 33, 123-128.
Touitou, Elka & Barry, Brian. (2007). Enhancement in Drug Delivery. New York
: CRC Press. 217-221.
Voigt, Rudolf. (1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. (Soendani Noerono
Soewandhi, Penerjemah.). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 411-
431.
Walters, Kenneth. (2002). Dermatological and Transdermal Formulations. New
York : Marcel Dekker. 1-12, 225.
Widiastuti, Nurhasanah. (2010). Formulasi Mikroemulsi Topikal Menggunakan
Fase Minyak Virgin Coconut Oil (VCO) dan Isopropil Laurat dengan
Natrium Diklofenak sebagai Model Obat. Skripsi Program Sarjana Farmasi.
Depok : Departemen Farmasi FMIPA UI.
Williams, Adrian & Barry, Brian. (2004). Penetration Enhancers. Advanced Drug
Delivery Reviews, 56, 603– 618.
Witt, Krista & Bucks, Daniel. (2003). Studying In Vitro : Skin Penetration and
Drug Release to Optimize Dermatological Formulations. Dalam:
Pharmaceutical Technology. USA : Advanstar Communication.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
73
Universitas Indonesia
Wuelfing, Peter; Kosuda, Kathryn; Templeton, Allen C.; Harman, Amy; Mowery,
Mark & Reed. Robert A. (2006). Polysorbate 80 UV/vis Spectral and
Chromatographic Characteristics – Defining Boundary Conditions for Use
of The Surfactant in Dissolution Analysis. Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Analysis, 41, 774–782.
Zetasizer Nano Series User Manual. (2004). Zetasizer Nano Series User Manual.
England : Malvern Instruments.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Gambar 4.14. Skema optimasi formula mikroemulsi
Konsentrasi VCO
VCO 10% VCO 5%
Tanpa pemanasan Pemanasan 35OC
Konsentrasi
tween 80 30%
Konsentrasi
tween 80 35% Konsentrasi
tween 80 40%
Kecepatan
5000 rpm
Kecepatan
2000 rpm
Konsentrasi
tween 80 40%,
kecepatan
2000 rpm
Tanpa pemanasan Pemanasan 35OC Pemanasan 40
OC
Konsentrasi
tween 80 40%
Kecepatan
250 rpm
Kecepatan
250 rpm
Konsentrasi
tween 80 40%
Kecepatan
800 rpm
Kecepatan
500 rpm
Kecepatan
1000 rpm
Konsentrasi
tween 80 45%
Kecepatan
1000 rpm
Kecepatan
2000 rpm
Konsentrasi
propilen
glikol 5%
Konsentrasi
propilen
glikol 10%
Kecepatan
5000 rpm
74
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Gambar 4.15. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
dengan konsentrasi 10,14 ppm pada panjang gelombang 276 nm.
Gambar 4.16. Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam
dapar fosfat pH 7,4 dengan konsentrasi 10 ppm pada panjang
Gambar 4.17. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam metanol dengan
konsentrasi 14,224 ppm pada panjang gelombang 282 nm.
Spektrum serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
dengan konsentrasi 10,14 ppm pada panjang gelombang 276 nm.
Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam
dapar fosfat pH 7,4 dengan konsentrasi 10 ppm pada panjang gelombang 276 nm.
. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam metanol dengan
konsentrasi 14,224 ppm pada panjang gelombang 282 nm.
75
Spektrum serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
dengan konsentrasi 10,14 ppm pada panjang gelombang 276 nm.
Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam
gelombang 276 nm.
. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam metanol dengan
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
76
Gambar 4.18. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu
ke-0.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
77
Gambar 4.19. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu
ke-8
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
78
Gambar 4.20. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu rendah
(4±2OC) selama 8 minggu.
Gambar 4.21. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu kamar
(28±2OC) selama 8 minggu.
Gambar 4.22. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu tinggi
(40±2OC) selama 8 minggu
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
79
Gambar 4.23. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan
setelah uji sentrifugasi
Gambar 4.24. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan
setelah uji cycling
Gambar 4.25. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit tanpa penempelan
bahan perekat
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
80
Gambar 4.26. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan
penempelan bahan perekat sebanyak 8, 10, dan 12 kali
Gambar 4.27. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan
penempelan bahan perekat sebanyak 13, 14, dan 15 kali
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
81
Tabel 4.1 Hasil optimasi pembuatan mikroemulsi
Variabel No Komponen Jumlah (%) Hasil
VCO
10%
1
Tween 80 30
Pemisahan
fase
etanol 96% 3
PG 10
VCO 10
aquadest 47
Homogenizer 500 rpm.
Tanpa pemanasan
2
Tween 80 30
Emulsi
etanol 96% 3
PG 5
VCO 10
aquadest 52
Homogenizer 500 rpm.
Tanpa pemanasan
3
Tween 80 35
Emulsi
etanol 96% 3
PG 5
VCO 10
aquadest 47
Homogenizer 5000 rpm.
Tanpa pemanasan
4
Tween 80 40
Emulsi
etanol 96% 10
PG 5
VCO 10
aquadest 35
Homogenizer 2000 rpm.
Tanpa pemanasan
5
Tween 80 40
Emulsi
etanol 96% 3
PG 5
VCO 10
aquadest 42
Homogenizer 5000 rpm.
Tanpa pemanasan
6
Tween 80 40
Emulsi
etanol 96% 10
PG 5
VCO 10
aquadest 35
Homogenizer 2000 rpm.
Pemanasan 35OC
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
82
Tabel 4.1 (Lanjutan) Hasil optimasi pembuatan mikroemulsi
Variabel No Komponen Jumlah (%) Hasil
VCO 5%
1
Tween 80 40
Pemisahan
fase
etanol 96% 10
PG 5
VCO 5
aquadest 40
Pengaduk magnetik 250 rpm.
Tanpa Pemanasan
2
Tween 80 40
Emulsi
etanol 96% 10
PG 5
VCO 5
aquadest 40
Homogenizer 500 rpm
Tanpa Pemanasan
3
Tween 80 40
Emulsi
etanol 96% 10
PG 5
VCO 5
aquadest 40
Pengaduk magnetik 250 rpm.
Pemanasan 35OC
4
Tween 80 40
Emulsi
translucent
etanol 96% 10
PG 5
VCO 5
aquadest 40
Homogenizer 800 rpm
Pemanasan 35OC
5
Tween 80 40
Emulsi
etanol 96% 10
PG 5
VCO 5
aquadest 40
Homogenizer 1000 rpm
Pemanasan 35OC
6
Tween 80 45
Mikroemulsi
etanol 96% 10
PG 5
VCO 5
aquadest 35
Homogenizer 1000 rpm
Pemanasan 40OC
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
83
Tabel 4.1 (Lanjutan). Hasil optimasi pembuatan mikroemulsi
Variabel No Komponen Jumlah (%) Hasil
VCO 5% 7
Tween 80 45
Mikroemulsi
etanol 96% 10
PG 5
VCO 5
aquadest 35
Homogenizer 1000 rpm
Pemanasan 40OC
Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Organoleptis Formula pada minggu ke-0
Warna Kuning
Kejernihan Ya
Bau Berbau khas
Pemisahan Tidak
Keterangan :
Berbau khas seperti bau tween 80
Tabel 4.3. Hasil pengukuran tegangan antarmuka sediaan pada minggu ke-0 dan
ke-8
Tegangan Antarmuka
(dyne/cm) F S
1 2 Rata-rata
41,5 42 41,75 0,9828 410,315
42 42 42 0,9831 412,924
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
84
Tabel 4.4. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan
suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu
Minggu
ke- Pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan suhu 4
OC
Warna Kejernihan Pemisahan Bau
0 Kuning Ya Tidak berbau khas
2 Kuning Ya Tidak berbau khas
4 Kuning Ya Tidak berbau khas
6 Kuning Ya Tidak berbau khas
8 Kuning Ya Tidak berbau khas
Keterangan : Warna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C
Berbau khas seperti bau tween 80
Tabel 4.5. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan
suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu
Minggu
ke- Pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan suhu 28
OC
Warna Kejernihan Pemisahan Bau
0 Kuning Ya Tidak berbau khas
2 Kuning Ya Tidak berbau khas
4 Kuning Ya Tidak berbau khas
6 Kuning Ya Tidak berbau khas
8 Kuning Ya Tidak berbau khas
Keterangan : Warna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C
Berbau khas seperti bau tween 80
Tabel 4.6. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan
suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu
Minggu
ke- Pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan suhu 40
OC
Warna Kejernihan Pemisahan Bau
0 Kuning Ya Tidak berbau khas
2 Kuning Ya Tidak berbau khas
4 Kuning Ya Tidak berbau khas
6 Kuning Ya Tidak berbau khas
8 Kuning Ya Tidak berbau khas
Keterangan : Warna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C
Berbau khas seperti bau tween 80
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
85
Tabel 4.7. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu rendah
(4±2OC) selama 8 minggu
Minggu
ke
pH sediaan pada penyimpanan
suhu 4±2OC
0 5,56
2 5,51
4 5,53
6 5,49
8 5,43
Tabel 4.8. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu kamar
(28±2OC) selama 8 minggu
Minggu
ke
pH sediaan pada penyimpanan
suhu 28±2OC
0 5,56
2 5,48
4 5,49
6 5,52
8 5,38
Tabel 4.9. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu tinggi
(40±2OC) selama 8 minggu
Minggu
ke
pH sediaan pada penyimpanan
suhu 40±2OC
0 5,56
2 5,47
4 5,56
6 6,00
8 5,94
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
86
Tabel 4.10. Hasil uji viskositas minggu ke-0
Kecepatan
(rpm)
Dial
reading
(dr)
Faktor
koreksi
(f)
Viskositas Shearing stress Rate of shear
η = dr x f (F/A) (dv/dr)
(cps) dr x 7,187 F/A x 1/η
(dyne/cm2)
2.5 8 400 3200 57,496 0,017968
4 12,8 250 3200 91,9936 0,028748
5 15,9 200 3180 114,2733 0,035935
10 31,4 100 3140 225,6718 0,07187
20 60 50 3000 431,22 0,14374
20 60,4 50 3020 434,0948 0,14374
10 31,5 100 3150 226,3905 0,07187
5 16,1 200 3220 115,7107 0,035935
4 13,1 250 3275 94,1497 0,028748
2,5 8,1 400 3240 58,2147 0,017968
Tabel 4.11. Hasil uji viskositas minggu ke-8
Kecepatan
(rpm)
Dial
reading
(dr)
Faktor
koreksi
(f)
Viskositas Shearing stress Rate of shear
η = dr x f (F/A) (dv/dr)
(cps) dr x 7,187 F/A x 1/η
(dyne/cm2)
4 9 250 2250 64,683 0,028748
5 11 200 2200 79,057 0,035935
10 21 100 2100 150,927 0,07187
20 43 50 2150 309,041 0,14374
20 42,4 50 2120 304,7288 0,14374
10 21 100 2100 150,927 0,07187
5 11 200 2200 79,057 0,035935
4 9 250 2250 64,683 0,028748
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
87
Tabel 4.12. Hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi dengan Zetasizer Nano
Malvern S
Minggu ke Ukuran globul (nm)
0 3,089
8 9,920
Tabel 4.13. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut dapar fosfat pH 7,4 pada
pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm.
Konsentrasi (ppm) Serapan
0,24336 0,0062
0,32448 0,0095
0,6084 0,0148
1,014 0,0251
2,028 0,052
4,056 0,1091
6,084 0,1616
10,14 0,2788
12,168 0,33
Tabel 4.14. Serapan baku pembanding natrium diklofenak dengan pelarut dapar
fosfat pH 7,4 pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm
Konsentrasi (ppm) Serapan
8 0,2567
10 0,3242
12 0,3857
16 0,5098
20 0,642
Tabel 4.15. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut metanol pada pembuatan
kurva kalibrasi pada λ = 282 nm
Konsentrasi (ppm) Serapan
10,16 0,349
12,192 0,4153
14,224 0,491
16,256 0,5796
22,352 0,807
24,384 0,876
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
88
Tabel 4.16. Hasil penetapan kadar natrium diklofenak di dalam mikroemulsi
Berat
mikroemulsi yang
ditimbang (g)
Serapan
Kadar yang
diperoleh
(ppm)
Massa yang
diperoleh (mg)
Hasil penetapan
kadar (%)
Rata-rata
(%)
1,0090 0,8208 22,8244 0,0114 1,1310 1,1229
1,0126 0,8114 22,5747 0,0113 1,1147
Tabel 4.17. Hasil uji penetrasi mikroemulsi natrium diklofenak dengan sel difusi
Franz dengan metode 1 dan metode 2
Waktu Jumlah Kumulatif Natrium Diklofenak Terpenetrasi (µg cm
-2)
Metode 1 Metode 2
0 0 0±0
0,5 124,3557841 121,9028±4,9559
1 211,4902205 178,8783±2,0395
1,5 222,2439575 202,9500±0,1048
2 270,6017446 230,9962±2,0872
3 363,2622242 302,5903±31,5364
4 417,4156175 346,1364±53,0753
5 447,9283284 414,2532±2,6590
6 472,7532584 484,1827±36,3302
7 609,6826239 520,1676±62,8631
8 639,6202876 626,1243±3,8789
Tabel 4.18. Fluks tiap jam natrium diklofenak
Waktu
(jam)
Fluks tiap jam natrium diklofenak (µg cm-2
jam-1
)
Metode 1 Metode 2
0 0 0±0
0,5 248,7116 243,8055±9,9117
1 211,4902 176,8783±2,0395
1,5 148,1626 135,3000±0,0699
2 135,3008 115,4981±1,044
3 121,0874 100,8634±10,5121
4 104,3539 86,5341±13,2688
5 89,5857 82,8506±0,5312
6 78,7922 80,6971±6,055
7 87,0975 74,3097±8,9804
8 79,9525 78,2655±0,4849
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
89
Tabel 4.19. Jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit
Waktu
(jam)
jumlah natrium diklofenak tertinggal di
kulit (µg)
0 0
0,5 36,2505±3,3111
1 37,7138±5,7944
1,5 67,5655±5,7944
2 63,6145±0,2069
3 51,7617±1,6556
4 73.8578±6,4153
5 65,6632±3,1042
6 47,8107±3,1042
7 55,1273±3,1042
8 48,2497±9,1055
Tabel 4.20. Hasil pengukuran natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen
donor sel difusi Franz
Waktu
(jam)
jumlah natrium diklofenak tertinggal di
kompartemen donor (µg)
0 11229,2000
0,5 10398,33917
1 10657,00659
1,5 10589,35511
2 10597,31411
3 10646,39459
4 10792,30955
5 10619,8646
6 10515,07113
7 10523,03013
8 10507,11214
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Tabel 4.21. Hubungan antara jumlah natrium diklofenak di kompartemen reseptor, kulit dan kompartemen donor sel difusi Franz
Penjumlahan (mg) menit
30
menit
60
menit
90
menit
120
menit
180
menit
240
menit
300
menit
360
menit
420
menit
480
K. reseptor (mg) 0,205187 0,351005 0,366191 0,448272 0,594245 0,685578 0,736658 0,760139 0,998259 1,037631
Kulit (mg) 0,033909 0,041811 0,071663 0,063761 0.052932 0,078394 0,063468 0,050006 0,052932 0,054688
K.donor (mg) 10,39834 10,65701 10,58936 10,59731 10,64639 10,79231 10,61986 10,51507 10,52303 10,50711
Total 10,63744 11,04982 11,02721 11,10935 11,29357 11,55628 11,41999 11,32522 11,57422 11,59943
Teoretis
Ditimbang (mg) 992,3 995,6 982,6 982 978,2 988,1 988,4 993,3 996,1 988,2
Jumlah natrium
diklofenak (mg) 11,14274 11,17979 11,03381 11,02707 10,9844 11,09557 11,09894 11,15396 11,18541 11,0967
Selisih (mg) -0,5053 -0,12997 -0,0066 0,082273 0,309169 0,460709 0,321049 0,171251 0,388816 0,502736
Persentase
Persentase di
K.reseptor 1,841442 3,139637 3,318808 4,065194 5,409902 6,178841 6,637189 6,814967 8,92466 9,350808
Persentase di kulit 0,304317 0,373988 0,649483 0,578221 0,481886 0,706534 0,57184 0,448322 0,473227 0,492834
Persentase di
K.donor 93,31945 95,32384 95,97187 96,10268 96,92283 97,26681 95,68358 94,27205 94,07821 94,68686
Total Persentase 95,46521 98,83747 99,94016 100,7461 102,8146 104,1522 102,8926 101,5353 103,4761 104,5305
90
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
91
Lampiran 1. Perhitungan HLB VCO Virjint® (Belitz, Grosch & Schieberle,
2010)
VCO Virjint® mengandung
Asam laurat 51,7%
Asam kaprat 9,03%
Rumus perhitungan HLB =
Σ(angka gugus-gugus hidrofilik) - Σ(angka gugus-gugus lipofilik) + 7
Rumus struktur asam laurat (C12H24O2)
OH
O
Rumus struktur asam kaprat (C10H20O2)
OH
O
Jenis gugus yang terdapat pada VCO Nilai
1. Gugus hidrofilik
a. –COOH 2,1
2. Gugus lipofilik
a. –CH2- 0,475
b. –CH3- 0,475
Perhitungan HLB = 2,1 – n (0,475) + 7
HLB asam laurat = 2,1 - 11(0,475) + 7 = 3,875
HLB asam kaprat = 2,1 - 9(0,475) + 7 = 4,825
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
92
Lampiran 1. (Lanjutan).
Perhitungan HLB VCO Virjint®
Asam laurat = '�,)
*+,), - 3,875 = 3,299
Asam kaprat = 2,+,
*+,), - 4,825 = 0,717
= 4,016
HLB VCO Virjint® = 4,016
+
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
93
Lampiran 2. Contoh perhitungan bobot jenis
Bobot jenis VCO dihitung menggunakan persamaan
Bobot jenis = 5����65����6 -78789 :;<=> ?@A?B;>9 C?B? >ADA C;EF87??<
A= bobot piknometer kering (g)
A1= bobot piknometer yang diisi dengan aquadest (g)
A2 = bobot piknometer yang diisi dengan VCO
Diketahui
A= 13,6235 g
A1 = 24,2163 g
A2 = 23,3671 g
Bobot jenis VCO
�,,,*)���,.*�,'�G.��*,��,.*�,' x 0,9959486 g/mL
2,)G,*
�+,'2�H x 0,9959486 g/ml 0,91610573 g/mL
Bobot jenis VCO adalah 0,9161 g/mL
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
94
Lampiran 3. Contoh perhitungan tegangan permukaan
Tegangan permukaan VCO diukur dengan menggunakan persamaan
S = P x F
Keterangan :
S = tegangan permukaan absolut (dyne /cm)
P = tegangan permukaan yang ditunjukkan pada alat
F = Faktor koreksi yang dihitung dari persamaan
F = 0,7250 Q RS+,+�G'� T UV T VSW�XY Q 0,04534 Z �,*)2 T [
\ Y
Keterangan :
F : faktor koreksi
P: tegangan permukaan yang ditunjukkan oleh alat
D : bobot jenis fase cair yang berada di bawah
d : bobot jenis fase cair yang berada di atas
c : keliling cincin
= 2 x π x R
= 2 x 3,14 x 3 cm
= 18,84 cm
Perhitungan faktor koreksi untuk VCO =
F = 0,7250 Q RS+,+�G'� T UV T VSW�XY Q 0,04534 Z �,*)2 T [
\ Y
F = 0,7250 Q RS +,+�G'� T ,G,G�H,HG T �H,HGSW�XY Q 0,04534 Z �,*)2 T +,+�))H
, Y
F = 0,7250 Q RS +,+�G'� T ,G,G�H,HG T �H,HGS+,2�*�+'),�+Y Q 0,04534 Z �,*)2 T +,+�))H
, Y
F = 0,91715936
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
95
Lampiran 3. (Lanjutan)
Perhitungan tegangan permukaan absolut untuk VCO
P = 34,4 dyne/cm
S = P x F
= 34,4 x 0,91715936
= 31,5503 dyne/cm
Tegangan permukaan absolut VCO sebesar 31,5503 dyne/cm.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
96
Lampiran 4. Perhitungan faktor koreksi natrium diklofenak terhadap baku
pembanding
Serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
Konsentrasi (ppm) Serapan
8,016 0.2078
10,02 0.2673
12,024 0.3188
16,032 0.4274
20,04 0.5388
Serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
Konsentrasi (ppm) Serapan
6 0,1920
8 0,2567
10 0,3242
12 0,3857
16 0,5098
20 0,6420
Persamaan kurva kalibrasi baku pembanding natrium diklofenak
y = 0,0029 + 0,0319 x
Serapan natrium
diklofenak
Konsentasi yang
diperoleh (ppm)
Konsentrasi
sebenarnya (ppm) Kadar
0,2078 8,016 6,4271 80,1785
0,2673 10,02 8,2938 82,7727
0,3188 12,024 9,9096 82,4148
0,4274 16,032 13,3167 83,0633
0,5388 20,04 16,8117 83,8907
Rata-rata 82,4640
Menurut sertifikat analisis (Lampiran 12), kadar baku pembanding natrium
diklofenak sebesar 99,74%
Perhitungan faktor koreksi = �++
H�,G*G+ - �++22,)G = 1,2158
Faktor koreksi natrium diklofenak terhadap baku pembanding sebesar 1,2158.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
97
Lampiran 5. Contoh perhitungan penetapan kadar natrium diklofenak dalam
mikroemulsi
Sediaan mikroemulsi ditimbang
Ditambahkan metanol dan dikocok hingga mikroemulsi pecah
Disentrifugasi dengan sentrifugator dengan kecepatan 3000 rpm selama 45 menit
Disaring dengan Milipore (ukuran pori 0,45 µm) ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Dipipet 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Diukur serapan dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 282,0
nm dengan baseline berupa basis mikroemulsi
Berat mikroemulsi yang ditimbang 1009 mg
Persamaan kurva kalibrasi y = -0,03829 + 0,03764 x
Serapan yang diperoleh 0,8208
Kadar natrium diklofenak yang diperoleh 113,10 ppm
Hasil penetapan kadar 1,1229 %
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
98
Lampiran 6. Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang terpenetrasi
dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-30
Serapan (y) = 0,0341
y = -0,00169 + 0,02734 x
x = 1,3092 ppm
Faktor pengenceran (FP) = volume labu tentukur : volume sampling
= 5 mL : 0,5 mL
= 10 x
Faktor koreksi baku pembanding natrium diklofenak (FK) = 1,2158
Konsentrasi terpenetrasi = x . FP. FK
= 1,3092 ppm x 10 x 1,2158
= 15,9171 ppm
Rumus jumlah kumulatif terpenetrasi
� � �<. ] Q ∑ ����^_� . `a
Keterangan
Q = Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg cm-2
)
Cn = Konsentrasi zat (µg/ml)
∑ ���� �� = Jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke-30
hingga sebelum menit ke-n)
V = Volume sel difusi Franz (13 mL)
S = Volume sampling (0,5 mL)
A = Luas membran (1,65 cm2)
� � S�',2�)�bc/de T �,deY�S+ T +,' deY �,*' Vdf = 125,4071 µg cm
-2
Jumlah kumulatif natrium diklofenak yang terpenetrasi ke kompartemen reseptor
pada menit ke-30 sebesar 125,4071 µg cm-2
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
99
Lampiran 7. Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang terpenetrasi
dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-60
Serapan (y) = 0,047
y = -0,00169 + 0,02734 x
x = 1,7811 ppm
Faktor pengenceran (FP) = volume labu tentukur : volume sampling
= 5 mL : 0,5 mL
= 10 x
Faktor koreksi baku pembanding natrium diklofenak (FK) = 1,2158
Konsentrasi terpenetrasi = x . FP. FK
= 1,7811 ppm x 10 x 1,2158
= 21,6547 ppm
Rumus jumlah kumulatif terpenetrasi
� � �<. ] Q ∑ ����^_� . `a
Keterangan
Q = Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg cm-2
)
Cn = Konsentrasi zat (µg/mL)
∑ ���� �� = Jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke-30
hingga sebelum menit ke-n)
V = Volume sel difusi Franz (13 mL)
S = Volume sampling (0,5 mL)
A = Luas membran (1,65 cm2)
� � S��,*'G) bc/de T �,deY�S�',2�)� T +,' deY �,*' Vdf = 175,4362 µg cm
-2
Jumlah kumulatif natrium diklofenak yang terpenetrasi ke kompartemen reseptor
pada menit ke-60 sebesar 175,4362 µg cm-2
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
100
Lampiran 8. Contoh perhitungan fluks tiap waktu natrium diklofenak dari
sediaan mikroemulsi
Kecepatan penetrasi (fluks) dihitung dengan rumus
J(n) = �S�Y�S�Y
Keterangan
J (n) = fluks pada jam ke-n (µg cm-2
jam-1
)
Q (n) = jumlah kumulatif terpenetrasi pada jam ke-n (µg cm-2
)
t (n) = waktu (jam)
Data pada jam ke-8
Data 1.
Q = 628.8671 µg cm-2
J = ��
= (628,8671 /8) = 78,6084 µg cm-2
jam-1
Data 2.
Q = 623,3814 µg/cm2
J = ��
= (623,3814/8) = 77,9227 µg cm-2
jam-1
Jumlah fluks natrium diklofenak pada jam ke-8 dari mikroemulsi sebesar 78,2655
± 0,4849 µg cm-2
jam-1
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
101
Lampiran 9. Contoh perhitungan persentase jumlah natrium diklofenak
terpenetrasi dari mikroemulsi
% jumlah kumulatif terpenetrasi =
:Agh?D iAgAh?9=j 9;EC;<;9E?>= k lmFg�n - hA?> g;g7E?< SFg�Y
7;E?9 <?9E=Ag B=ih8j;<?i SlmY
Data 1
Sample yang diaplikasikan pada kulit sebesar 988,2 mg
Dalam sample mengandung 11096,6954 µg natrium diklofenak
Jumlah kumulatif terpenetrasi = 628,8671 k bcVdfn
% jumlah kumulatif terpenetrasi *�H,H*)� k pq
rsfn T �,*'SVdfY ��+2*,*2'G bc = 9,3508 %
Data 2
Sample yang diaplikasikan pada kulit sebesar 986,4 mg
Dalam sample mengandung 11076,4829 µg natrium diklofenak
Jumlah kumulatif terpenetrasi = 623,3814 k bcVdfn
% jumlah kumulatif terpenetrasi *�,,,H�G k pq
rsfn T �,*'SVdfY ��+)*,GH�2 bc = 9,2862 %
Jumlah kumulatif terpenetrasi 9,3185 ± 0,0457%
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
102
Lampiran 10. Contoh cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang
tertinggal di kulit
Data menit ke-30
Persamaan kurva kalibrasi y = -0,00169 + 0,02734 x
Serapan yang diperoleh (y) = 0,0099
Kadar natrium diklofenak yang diperoleh (x) = 0,4239 ppm
Volume ekstraksi = 80 mL
Jumlah natrium diklofenak = 0,4239 µg/mL x 80 ml = 33,9092 µg
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
103
Lampiran 11. Cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di
kompartemen donor
Sediaan mikroemulsi ditimbang
Ditambahkan metanol dan dikocok hingga mikroemulsi pecah
Disentrifugasi dengan sentrifugator dengan kecepatan 3000 rpm selama 45 menit
Disaring dengan Milipore (ukuran pori 0,45 µm) ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Dipipet 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Diukur serapan dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 282,0
nm dengan baseline berupa basis mikroemulsi
Data pada menit ke-30
Berat mikroemulsi yang ditimbang 992,3 mg
Jumlah natrium diklofenak dalam mikroemulsi 11,1427 mg
Kadar natrium diklofenak dalam mikroemulsi setelah diencerkan 22,2854 ppm
Persamaan kurva kalibrasi y = -0,03829 + 0,03764 x
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
104
Serapan yang diperoleh 0,7456
Kadar natrium diklofenak yang diperoleh 20,7967 ppm
Jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen donor pada menit ke-
30 =
�+,)2*)��,�H'G - 100% = 93,3195 %
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Lampiran 11. Sertifikat analisis natr
Sertifikat analisis natrium diklofenak
105
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Lampiran 12. Sertifikat analisis baku pembanding natrium diklofenakSertifikat analisis baku pembanding natrium diklofenak
106
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
107
Lampiran 13. Sertifikat analisis tween 80
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Lampiran 14. Sertifikat analisis etanol 96%Sertifikat analisis etanol 96%
108
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Lampiran 15. Sertifikat analisis BHT. Sertifikat analisis BHT
109
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Lampiran 16. Sertifikat analisis metil parabenSertifikat analisis metil paraben
110
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Lampiran 17. Sertifikat analisis propil parabenSertifikat analisis propil paraben
111
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
112
Lampiran 18. Sertifikat analisis tikus putih
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012