TINJAUAN PUSTAKA
Dendeng Sapi
Dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari
irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu
dan dikeringkan (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Dendeng sapi digolongkan
menjadi dua bentuk, yaitu dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling yang masing-
masing digolongkan dalam dua jenis mutu. Spesifikasi persyaratan mutu dendeng
menurut Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992 ditampilkan pada Tabel 1.
Dendeng tergolong dalam produk pangan semi basah, menurut Huang dan Nip
(2001) produk pangan semi basah memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai aw
berkisar antara 0,60-0,92.
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Sapi
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
Mutu I Mutu II
1 Warna dan bau - Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi
2 Kadar air, (bobot-/bobot) % Maks. 12 Maks. 12
3 Kadar protein
(bobot/bobot kering) % Min. 30 Min. 25
4 Abu tak larut dalam asam
(bobot/bobot kering) % Maks. 1 Maks. 1
5 Benda asing (bobot/bobot
kering) % Maks. 1 Maks. 1
6 Kapang dan serangga - Tidak nampak Tidak nampak
Sumber: Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992.
Daging Sapi
Daging sapi didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang
aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging
segar dingin, atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008a). Berdasarkan
keadaan fisik, daging dapat dikelompokan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan
4
atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging
dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibeku (daging
beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 2005).
Bumbu
Garam
Garam dipergunakan manusia secara luas untuk mengawetkan berbagai
macam makanan. Garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme
pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk
spora adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah
sekalipun (yaitu sampai 6%). Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium
botulinum dengan pengecualian pada Staphylococcus aureus, dapat dihambat oleh
konsentrasi garam sampai 10%-12%. Walaupun begitu, beberapa mikroorganisme
terutama jenis Leuconostoc dan Lactobacillus, dapat tumbuh cepat dengan adanya
garam dan terbentuknya asam untuk menghambat organisme yang tidak dikehendaki
(Buckle et al., 2009).
Garam juga mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh
racunnya. Beberapa organisme seperti bakteri halofilik dapat tumbuh dalam larutan
garam yang hampir jenuh, tetapi mikroorganisme ini membutuhkan waktu
penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan selanjutnya terjadi pembusukan (Buckle
et al., 2009).
Gula Kelapa
Gula kelapa atau gula merah adalah gula yang terbuat dari bahan baku utama
nira kelapa yang telah diolah. Gula kelapa memiliki ciri khusus baik rasa, aroma dan
bentuknya, yang sangat berbeda dengan gula putih yang terbuat dari bahan tebu (Heri
dan Lukman, 2007). Prinsip pembuatan gula merah adalah penguapan sebagian air
dalam nira sampai mencapai tingkat kekentalan tertentu sehingga gula dapat dicetak.
Kondisi kimia nira sangat menentukan warna gula merah karena pada dasarnya
reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada pembentukan gula merah
melibatkan reaktan-reaktan berupa senyawa-senyawa kimia seperti protein, lemak,
kadar gula, dan kadar air (Nurlela, 2002).
5
Gula merah yang terbuat dari nira kelapa berwarna lebih cerah dibanding gula
merah yang terbuat dari nira aren. Penampakan gula merah yang kering dan berair
sangat ditentukan oleh kondisi keasaman nira sebagai bahan baku. Pada kondisi
asam, kandungan gula pereduksi pada gula merah sangat tinggi. Gula pereduksi
menyebabkan gula merah menjadi lebih higroskopis (mudah menarik uap air)
sehingga penampakan produk menjadi basah dan mudah meleleh. Kekerasan gula
merah disebabkan oleh adanya kristal-kristal sukrosa. Pemanasan yang diperlukan
pada reaksi pencoklatan akan menyebabkan kandungan sukrosa gula dalam gula
merah menurun akibat terdegradasi menjadi gula pereduksi, sehingga kadar kristal
sukrosa dalam gula merah menjadi rendah (Nurlela, 2002).
Gula Pasir
Gula pasir merupakan hasil dari proses rekristalisasi ekstrak cairan tebu
dengan kandungan sukrosa yang sangat tinggi (Fitriadi, 2000). Gula sukrosa
termasuk ke dalam golongan disakarida yang terdiri atas dua unit monosakarida,
yaitu α-glukosa dan fruktosa yang terhubung melalui ikatan glikosida (Rizal et al.,
2007). Menurut Buckle et al. (2009), faktor utama yang mempengaruhi mutu
sukrosa adalah pemanasan. Penggunaan teknik konsentrasi hampa udara dalam
proses penggilingan dan pemurnian mengurangi inversi sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa, serta mengurangi pembentukan warna gelap oleh proses karamelisasi.
Lengkuas
Lengkuas (Alpinia galanga) digunakan untuk menambah citarasa makanan
seluruh Asia Selatan dan Tenggara. Rimpangnya memiliki berbagai aplikasi dalam
pengobatan tradisional (Yang dan Eilerman, 1999). Lengkuas sebagai minyak
esensial menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram positif, ragi, dan
dermatofit. Senyawa yang paling aktif adalah terpinen-4-ol (Janssen dan Scheffer,
1985). Selain itu, minyak esensial dari lengkuas dilaporkan berpotensi sebagai
antikarsinogen (Zheng et al., 1993).
Menurut Mahae dan Chaiseri (2009), ekstrak etanol lengkuas menunjukkan
potensi untuk digunakan sebagai antioksidan alami dalam produk makanan.
Lengkuas memiliki senyawa fenolik dan 1-acetoxychavicol asetate (ACA) dengan
bau ringan, yang membuatnya menguntungkan untuk digunakan dalam berbagai
6
jenis produk makanan bila dibandingkan dengan herbal lain. Menurut Tangkanakul
et al. (2009) lengkuas mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 98,61 ± 2,13 mg
vitamin C equivalent (VCE)/100 g dan total fenolat sebesar 216,63 ± 3,33 mg gallic
acid equivalent (GAE)/100 g.
Ketumbar
Ketumbar merupakan tanaman asli dari daratan Eropa Timur, kemudian
menyebar ke India, Morocco, Pakistan, Rumania dan Rusia (Purseglove et al., 1981).
Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia
yang terdapat dalam minyak atsiri. Ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri
berkisar 0,4%-1,1%, minyak ketumbar termasuk senyawa hidrokarbon beroksigen,
komponen utama minyak ketumbar adalah linalool yang jumlahnya sekitar 60%-70%
dengan komponen pendukung yang lainnya adalah geraniol (1,6%-2,6%), geranil
asetat (2%-3%), kamfor (2%-4%), dan mengandung senyawa golongan hidrokarbon
berjumlah sekitar 20% (α-pinen, β-pinen, dipenten, p-simen, α-terpinen dan γ-
terpinen, terpinolen dan fellandren) (Guenther, 1990). Berdasarkan jenis unsur
penyusun senyawa minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa
hidrokarbon beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak
atsiri, serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi dan resinifikasi (Suhirman
dan Yuhono, 2007). Menurut Tangkanakul et al. (2009) biji ketumbar mempunyai
aktivitas antioksidan sebesar 53,54 ± 6,97 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar
97,26 ± 2,50 mg GAE/100 g.
Bawang Putih
Bawang putih mempunyai kadar air sebesar 37,87 ± 0,6%. Ekstrak bawang
putih dapat melindungi lemak tak jenuh dari oksidasi oleh radikal bebas yang telah
diuji dengan radiasi larutan asam linoleat (5 mM) dalam campuran etanol : air (1:1
v/v) pada konsentrasi rendah (Leelarungrayub et al., 2006). Umbi bawang putih
mengandung senyawa aktif allicin (diallyl thiosulfinate) yang berperan sebagai
antimikroba. Thiosulfinates memiliki derajat yang berbeda pada penghambatan
antibakteri dan antijamur (Benkeblia dan Lanzotti, 2007). Thiosulfinates mempunyai
sifat antioksidan yang nyata di bawah kondisi tertentu (Rabinkov et al., 1998).
Menurut Tangkanakul et al. (2009) bawang putih mempunyai aktivitas antioksidan
7
sebesar 8,77 ± 1,93 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 63,51 ± 3,67 mg
GAE/100 g.
Suharti et al. (2005) telah menguji aktivitas antibakteri bawang putih dengan
berbagai konsentrasi yaitu, 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%. Gambar 1 menunjukkan
bahwa aktivitas antibakteri bawang putih pada konsentasi 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%
berturut-turut adalah 4,0 mm; 7,0 mm; 7,5 mm; dan 8,0 mm. Aktivitas antibakteri
tertinggi diperoleh pada konsentrasi 10% (P<0,05). Gambar tersebut juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bawang putih, maka aktivitasnya
cenderung meningkat. Hal ini diduga dengan semakin tingginya konsentrasi bawang
putih maka kandungan bahan aktif antibakterinya juga meningkat. Namun
konsentrasi bawang putih yang mempunyai aktivitas yang tidak berbeda nyata
(P<0,05) dengan antibiotik tetrasiklin 100 µg/ml adalah pada konsentrasi 5% dan
7,5%.
Aktivitas antibakteri serbuk bawang putih diduga disebabkan oleh dialil
tiosulfinat yang biasa disebut dengan alisin. Alisin tidak ditemukan pada tanaman
utuh tetapi terbentuk oleh aktivitas enzim alliin alkil sulfenat liase pada komponen
asam amino non protein S-allylcysteine S-oxide/aliin (Feldberg et al., 1998).
Gambar 1. Histogram Aktivitas Antibakteri Bawang Putih dengan Berbagai
Konsentrasi Sumber : Suharti et al. (2005)
4
7
7,5 8
7,23
8
Asam Jawa
Asam jawa biasanya diproduksi di Jawa Timur termasuk Madura, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Bali, dan
Sulawesi Selatan. Tanaman ini biasa tumbuh di dataran rendah dan beriklim tropis.
Klasifikasi ilmiah dari asam jawa menurut Soemardji (2007) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Division : Spermatophyta
Sub division : Magniliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Risidae
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Tamarindus L.
Species : Tamarindus indica L.
Dalimartha (2006) mengemukakan, bahwa beberapa kandungan dari
Tamrindus indica L. antara lain: kulit kayu mengandung 35% phlobatannine, biji
mengandung selulosa dan albuminoid, buahnya mengandung asam anggur, asam
apel, asam sitrat, asam tartar, gula invert dan pektin. Buah asam yang masak
mempunyai 40%-50% daging buah yang dapat dikonsumsi dan kandungan per 100 g,
yaitu: air 17,8-35,8 g; protein 2-3 g; lemak 0,6 g; karbohidrat 41,1-61,1 g; serat 2,9
g; abu 2,6-3,9 g; kalsium 34-94 mg; fosfor 34-78 mg; besi 0,2-0,9 mg; tiamin 0,33
mg; riboflavin 0,1 mg; niasin 1 mg; dan vitamin C 44 mg. Biji segar mengandung air
13%, protein 20%, lemak 5,5%, karbohidrat 59%, abu 2,4% dan sisanya adalah
amiloid, fitohemaglutinin, dan flavonoid. Daging buah, daun, dan batang dari
Tamrindus indica L. mengandung saponin, flavonoid, dan tannin. Selain itu
Tangkanakul et al. (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa asam jawa yang
sudah berupa jus mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 13,44 ± 0,07 mg VCE/100
g dan total fenolat sebesar 23,84 ± 0,82 mg GAE/100 g.
9
Merica
Merica (Piper nigrum Linn) termasuk dalam famili Piperaceae, yang berasal
dari India dan merupakan rempah-rempah yang paling berharga sejak zaman dahulu.
Merica mengandung minyak volatil yang mempunyai aktivitas antimikroba (Dorman
dan Deans, 2000). Merica memiliki kandungan obat, sehingga sering digunakan
untuk mengobati vertigo, asma, obesitas, sinusitis, gangguan pencernaan kronis,
racun usus, demam, lumpuh, gangguan rematik, diare, dan juga kolera (Sashidhar,
2002).
Merica bubuk pada pembuatan sosis daging babi segar dapat memperpanjang
umur simpan, meskipun pada luasan yang berbeda tergantung pada rempah-rempah
dan konsentrasi yang digunakan. Selain itu, merica tampaknya paling sesuai untuk
memperpanjang umur simpan sosis segar karena efektif menunda perubahan warna
dan off-flavor. Merica juga mempunyai daya hambat yang cukup signifikan terhadap
oksidasi lemak, tergantung dari konsentrasi yang ditambahkan (Martinez et al.,
2006). Menurut Tangkanakul et al. (2009) merica mempunyai aktivitas antioksidan
sebesar 108,47 ± 5,46 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 447,23 ± 10,38 mg
GAE/100 g.
Senyawa Fenolat
Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa fenolat.
Senyawa fenolat merupakan senyawa kimia yang mempunyai satu buah cincin
aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Beberapa penelitian telah
melaporkan hubungan antara kandungan fenolat dan aktivitas antioksidan.
Beberapa peneliti menemukan korelasi antara kandungan fenolat dan
aktivitas antioksidan (Soong dan Barlow, 2004). Velioglu et al. (1998) melaporkan
adanya hubungan yang kuat antara kandungan fenolat total dan aktivitas antioksidan
pada sayuran, buah-buahan, dan produk biji-bijian. Menurut Ismail et al. (2004)
setiap jenis sayuran memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda, disumbangkan oleh
komponen antioksidan yang berbeda, seperti α-tokoferol, β-karoten, vitamin C,
selenium, atau senyawa fenolat. Struktur kimia beberapa senyawa antioksidan alami
yang bersal dari tanaman ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini:
10
Fenol (Rantai-Rantai Tunggal) Tokoferol
Hidroksi Sinamat Koumarin
Flavonoid
Gambar 2. Struktur Kimia Beberapa Senyawa Antioksidan Alami Sumber : Cahyadi (2008)
Oksidasi Lemak
Salah satu kerusakan pada produk makanan adalah oksidasi lemak dari asam
lemak tidak jenuh. Oksidasi lemak dapat berlangsung melalui jalan autoksidasi.
Menurut Cahyadi (2008) proses oksidasi lemak pada prinsipnya merupakan proses
pemecahan yang terjadi di sekitar ikatan rangkap (tidak jenuh) dalam molekul
gliserida penyusun lemak. Proses oksidasi lemak berlangsung dalam suatu seri reaksi
yang disebut mekanisme radikal bebas. Autoksidasi radikal bebas dari lemak ditandai
3
2
4
1
8
5
6
7
o
4’
5’ 6’
3’ 2’
1 6
7
8
9 5
4
3
2
2
3
4
5
6 HO
1
4
3
2
OH 1
2
3
4
5
6
o
11
dengan tiga tahapan utama. Tahap permulaan disebut inisiasi yang kemudian diikuti
oleh tahap propagasi, dan tahap terminasi atau berhentinya reaksi.
Purnomo (1995) menambahkan bahwa inisiasi terjadi dengan ditandai oleh
hilangnya radikal hidrogen pada gugus asam lemak tak jenuh dari molekul lemak
(RH) karena panas, cahaya, atau logam dalam jumlah kecil (trace metal). Pada tahap
propagasi radikal bebas (R*), lemak akan bereaksi dengan oksigen, dan membentuk
radikal peroksi tak stabil (ROO*) yang pada saatnya bereaksi dengan molekul lemak
lainnya untuk membentuk hidroperoksida (ROOH) dan radikal hidrokarbon baru
(R*). Radikal baru tersebut kemudian berperan dalam reaksi berantai karena
reaksinya dengan molekul oksigen lain. Tahap selanjutnya adalah terminasi yang
merupakan penggabungan dua radikal. Jika tidak ada lagi radikal yang tersedia untuk
reaksi lebih lanjut dengan oksigen, maka diperlukan reaksi inisiasi yang baru apabila
oksidasi akan berlangsung. Ketiga tahap reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Inisiasi : RH R* + H
*
Propagasi : R* + O2 ROO
*
ROO* + RH ROOH
* + R
*
Terminasi : ROO* + ROO
* ROOR + O2
ROO* + R
* ROOR
R* + R
* R – R (Cahyadi, 2008)
Menurut Purnomo (1995) sejumlah produk akan dihasilkan selama
autoksidasi. Dekomposisi hidroperoksida menghasilkan pembentukan aldehid, keton,
alkohol, hidrokarbon, dan produk-produk lainnya. Hidroperoksida dapat bereaksi
dengan oksigen untuk membentuk produk sekunder seperti epoksihidroperoksida
yang mengalami dekomposisi, dan membentuk produk-produk pecahan yang mudah
menguap. Selanjutnya hidroperoksida dan produk-produknya dapat bereaksi dengan
protein, enzim, dan membran. Menurut Rohman dan Sumantri (2007) senyawa-
senyawa hasil oksidasi dapat diukur dengan melakukan beberapa analisis yang
meliputi: penentuan bilangan peroksida, jumlah karbonil, jumlah oksigen aktif, uji
asam tiobarbiturat, dan uji oven schaal.
12
Air dapat mempengaruhi oksidasi lemak dengan mempengaruhi konsentrasi
dari tersedianya radikal inisiasi, tingkatan kontak dan mobilitas bahan pereaksi, dan
yang relatif penting adalah perpindahan radikal terhadap reaksi penggabungan
kembali. Air yang besar peranannya dalam mengendalikan struktur bahan pangan
juga merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak. Penambahan air pada emulsi
yang telah dikeringbekukan dapat meruntuhkan struktur metastabil. Apabila keadaan
ini terjadi, lemak yang tidak terselubung lagi akan mengalir dari matriks bagian
dalam ke permukaan. Jika terpapar udara, lemak pada permukaan telah siap
teroksidasi, dan lemak yang terselubung terlindungi dari oksigen. Kenaikan nilai aw
sampai batas nilai kritis tertentu mengkibatkan matriks pelindung hancur, dan lemak
yang tidak terselubung akan terdistribusikan ke permukaan serta akan mengalami
oksidasi (Purnomo, 1995).
Jika air cukup banyak untuk mengalami kondensasi dalam kapiler seperti
pada bahan pangan setengah basah, oksidasi lemak akan meningkat. Kenaikan
tingkat oksidasi lemak pada keadaan setengah basah disebabkan oleh mobilitas
logam dalam jumlah kecil, yang telah terdapat dalam sistem dan pemekaran matriks,
yang akan menonjolkan bagian katalis baru, sehingga tingkatan oksidasi menjadi
lebih tinggi daripada keadaan kering. Akan tetapi pengenceran katalis logam yang
terdapat dalam sistem sebagai akibat bertambahnya kadar air pada nilai aw yang
sangat tinggi akan menurunkan tingkat oksidasi lemak (Purnomo, 1995). Pengaruh
aw terhadap tingkat oksidasi bahan pangan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Tingkat Oksidasi Lemak dalam Bahan Pangan Dipengaruhi oleh Nilai aw Sumber : Leung (1987)
Tin
gkat
Oksi
das
i
0,2 0,4 0,6 0,8
aw
13
Bilangan Peroksida
Pemanasan yang tinggi menyebabkan sebagian minyak atau lemak dalam
bahan pangan mengalami oksidasi. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi
kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi
oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Oksidasi
biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida (Ketaren,
1986).
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar
peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.
Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa
disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju
degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami
degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006). Menurut Suharyanto et al.
(2008) bilangan peroksida pada dendeng sapi sebesar 169,51 meq/kg.
Peranan Antioksidan
Antioksidan adalah bahan yang digunakan untuk mencegah oksidasi lemak,
misalnya digunakan pada bahan pangan yang akan digoreng, makanan dari biji-
bijian, dan makanan-makanan lain yang mengandung banyak lemak dan mudah
tengik (Winarno et al., 1980). Antioksidan yang sering digunakan adalah senyawa
fenol atau amina aromatis. Beberapa senyawa belerang digunakan pada beberapa
bahan dan beberapa asam tertentu digunakan sebagai deaktivator logam. Antioksidan
dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah peroksida. Pada umumnya,
antioksidan dapat menghentikan rantai reaksi oksidatif sebagai berikut: 1) dengan
donasi elektron pada radikal peroksi, 2) dengan donasi atom hidrogen pada radikal
peroksi, 3) dengan adisi pada radikal peroksi sebelum atau sesudah terjadi oksidasi
parsial, 4) dengan metode lain yang belum diketahui dan memungkinkan berkaitan
dengan radikal hidrokarbon namun bukan radikal peroksi (Cahyadi, 2008).
Menurut Cahyadi (2008) senyawa sulfur merupakan pemecah peroksida yang
efektif. Peranan ini dapat berupa reaksi transfer satu elektron. Bila mula-mula tidak
ada peroksida, antioksidan yang berupa inhibit radikal bebas pada umumnya dapat
14
mempertahankan stabilitas selama waktu tertentu yang kira-kira sebanding dengan
konsentrasinya. Antioksidan yang berupa pemecah peroksida cenderung memiliki
ketergantungan konsentrasi yang relatif besar. Pada konsentrasi tinggi pemecah
peroksida menjadi relatif lebih efektif daripada inhibitor dan pada konsentrasi yang
rendah relatif kurang efektif. Prinsip kerja dari antioksidan oleh Winarno et al.
(1980) digambarkan sebagai berikut:
HO OH + *R HO −O
* + RH
HO OH + *RO2 HO −O
* + ROOH
Gambar 4. Prinsip Kerja Antioksidan Sumber : Winarno et al. (1980)
Peranan aw dan Kadar Air dalam Pangan
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen di
samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan sebagai air
bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan
atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut.
Sebenarnya air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air
terikat secara kimia, antara lain air kristal dan air yang terikat dalam sistem dispersi.
Aktivitas air pertama kali digunakan oleh Scott (1957) sebagai petunjuk adanya
sejumlah air dalam bahan pangan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Aktivitas air ini juga terkait erat dengan adanya air dalam bahan
pangan. Pada nilai aw tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak,
khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai aw 0,87-0,91 sedangkan
kapang lebih rendah lagi yaitu pada nilai aw 0,80-0,87 (Purnomo, 1995).
Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH)
udara di sekitarnya. Bila kadar air bahan rendah sedangkan RH di sekitarnya tinggi,
maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab
atau kadar airnya menjadi lebih tinggi. Bila suhu bahan lebih rendah daripada
sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air udara pada permukaan bahan dan dapat
15
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau perkembangbiakan
bakteri (Winarno et al., 1980) .
Hubungan besarnya aw dan kadar air dalam bahan pangan pada suhu tertentu
diperlihatkan pada Gambar 5. Bentuk khas kurva sorpsi kadar air isotermis
tergantung pada cara tercapainya kadar air maupun aktivitas air bahan pangan
tersebut, apakah dicapai dengan desorpsi atau adsorpsi. Pengolahan bahan pangan
secara secara desorpsi yaitu bila dimulai dengan kadar air yang tinggi, dimana pada
akhir proses bahan pangan mencapai kadar air dan aktivitas air yang diharapkan,
sedang pada proses adsorpsi adalah sebaliknya.
Gambar 5. Bentuk Umum Kurva Sorpsi Kadar Air Isotermis Sumber: Labuza dan Saltmarch (1981)
Gambar 5 menunjukkan bahwa bahan pangan yang mempunyai nilai aw yang
sama dapat mempunyai kadar air yang berbeda. Daerah A mempunyai nilai aw di
bawah 0,20, daerah B mempunyai nilai aw antara 0,20 sampai 0,60, dan daerah C
mempunyai nilai aw di atas 0,60. Ditinjau dari aspek keterkaitan air, maka di daerah
A air terdapat dalam bentuk satu lapis (monolayer), dengan molekul air terikat sangat
erat. Kadar air bahan pangan di daerah A ini berkisar antara 5%-10%. Pada daerah
ini air sulit sekali diuapkan. Daerah B air terikat kurang kuat dan merupakan lapisan-
lapisan. Air yang terdapat dalam daerah ini berperan sebagai pelarut, oleh karena itu
aktivitas enzim dan pencoklatan non-enzimatis dapat terjadi. Daerah C disebut juga
Adsorpsi
C
Desorpsi
A
B
Kad
ar A
ir
0,20 0,40 0 0,60 0,80 1,00
aw