DISUSUN OLEH:
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
TESIS
PENDEKATAN RESTORATIF DALAM PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
CITRA PERMATA SARI P0902215038
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa tesis mahasiswa :
Nama : CITRA PERMATA SARI
Nomor Induk : P0902215038
Judul Tesis : PENDEKATAN RESTORATIF DALAM
PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN BAGI ANAK
YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian akhir magister.
Pembimbing I
Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S NIP. 19631024 198903 1 002
Pembimbing II
Dr. Hj. Nur. Azisa, S.H.,M.H NIP. 19671010 199202 2 002
Makassar, Januari 2018
Kepala Program Studi Magister Hukum
Prof. Dr. A. Pangerang Moenta,S.H.,M.H.,DFM NIP. 19610828 1987031 001
ABSTRAK
CITRA PERMATA SARI. Pendekatan Restoratif Dalam Penjatuhan Sanksi Tindakan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (dibimbing oleh Muhadar dan Nur Azisa). Penelitian ini bertujuan menganalisis dan memperoleh pemahaman terhadap pendekatan restoratif yang diterapkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bagi Anak yang berkonflik dengan hukum dalam rangka upaya memberikan perlindungan hukum bagi Anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu berupa implementasi perundang-undangan dalam hukum nasional menyangkut pendekatan restoratif dalam penjatuhan sanksi tindakan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum demi menjauhkan Anak dari pidana penjara dan stigma negatif di masyarakat. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap hakim, jaksa, dan pembimbing kemasyarakatan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak yang berkonflik dengan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai keadilan restoratif sudah terakomodir dalam sistem peradilan pidana anak. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan tindakan terhadap kasus kenakalan Anak, yaitu usia dari Anak, terpenuhinya semua unsur-unsur pasal dalam dakwaan, fakta di persidangan, berat ringannya tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, pengulangan tindak pidana, serta tujuan dan manfaat dari penjatuhan pidana itu sendiri terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum, dan penerapan keadilan restoratif dalam putusan pidana Anak No.14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM telah sesuai dengan tujuan dibuatnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kata kunci : anak yang berkonflik dengan hukum, pendekatan restoratif, sanksi tindakan.
ABSTRACT
CITRA PERMATA SARI. Restorative Approach in the imposition of Action Sanction to Children in Conflict with the law. (Supervised by Muhadar dan Nur Azisa). This research aimed to find analyze and gain an understanding of the restorative approach applied to law number 11 of 2012 on the Criminal Justice System for the children in conflict with the law. This research was empirical normative legal research that is the research on the implementation of provisions of legislation in national law concerning restorative approach in the imposition of action sanctions against children in conflict with the law in order to keep children from imprisonment and negative stigma in society. Data employed in this research were primary and secondary data. Primary data were collected through interview with judges, prosecutor, and community counselors. Secondary data were collected through library research on legislation stipulating children in conflict with the law. This research indicates that the value of restorative justice has been accommodated in the criminal justice system of children. Legal considerations by the judge in the decision of action against child delinquency cases, that are the age of the child, the fulfillment of all elements of the article in the indictment, the fact in the trial, the severity of the crime commited by the child, the repetition of criminal acts as well as the purpose and benefits of the Imposition of the penalty and the application of restorative justice in child criminal decision No.14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM has been in accordance with the objective of law number 11 of 2012 on Criminal Justice System from Children. Key word : child in conflict with the law, approach restorative, action sanction.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT peneliti panjatkan, karena berkat
rahmat-Nya maka peneliti dapat menyelesaikan tesis berjudul
“PENDEKATAN RESTORATIF DALAM PENJATUHAN SANKSI
TINDAKAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM”
dengan lancar.
Tesis ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi jenjang
Strata 2 guna meraih gelar Magister di Universitas Hasanuddin Makassar.
Selesainya tesis ini peneliti bermaksud mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin beserta jajaran wakil rektornya.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin beserta jajaran wakil
dekannya.
3. Prof. Dr. Andi Pangeran Moenta, S.H., M.H., DFM., selaku Plh.
Ketua Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S., selaku pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, nasihat, dan arahan kepada peneliti
dalam penyusunan tesis ini.
5. Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H, selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, nasihat dan arahan kepada peneliti
dalam penyusunan tesis ini.
6. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H., Prof.Dr. H.M.
Said Karim, S.H., M.H.,M.Si, Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H
selaku penguji yang memberi masukkan dalam ujian.
7. Ibunda Dr. Tamah, SH.,M.H, dan suami penulis Mappaewa
Syam. S.E.,M.M yang tak pernah berhenti mencurahkan kasih
sayangnya dan doa yang terus menerus sebagai bentuk
dukungan moril dan materil yang tak ternilai harganya, dan
putra penulis Arganta Satria.
8. Sahabat-sahabat penulis pada Kejari Gowa, Anita, Juandarita,
Wiwiek, Siska, A. Fatmawati, Ariani, Rina terima kasih untuk
bantuan dan motivasinya.
Semoga bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas tersebut
mendapat imbalan dari Allah SWT. Peneliti menyadari dalam penulisan
tesis ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat peneliti harapkan, semoga tesis ini dapat bermanfaat
bagi peneliti dan pembaca pada umunya.
Makassar, Januari 2018
Peneliti
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................................ii ABSTRAK.............................................................................................................iii ABSTRACT...........................................................................................................iv KATA PENGANTAR .............................................................................................v DAFTAR ISI .........................................................................................................vii BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 9
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 9 B. Rumusan Masalah .................................................................................. 16 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 16 D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 18 A. Anak ........................................................................................................ 18
1. Pengertian Anak. ................................................................................ 18 2. Anak Yang Melakukan Tindak Pidana. ............................................. 21 3. Hak-Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum ............................ 33
B. Sistem Sanksi Terhadap Anak ............................................................... 37 1. Pengertian .......................................................................................... 37
2. Jenis-Jenis Sanksi Terhadap Anak....................................................31 3. Prinsip Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak ...................................... 40
C. Sistem Peradilan Pidana Anak. .............................................................. 45 D. Keadilan Restoratif Dalam Peradilan Pidana Anak .............................. 49
1. Pengertian .......................................................................................... 49 2. Penerapan Keadilan Restoratif ......................................................... 53
E. Landasan Teori ....................................................................................... 57 1. Teori Pertanggungjawaban ............................................................... 49 2. Teori Efektivitas Hukum .................................................................... 58 3. Teori Hukum Progresif....................................................................... 72
F. Kerangka Pikir ........................................................................................ 74 G. Bagan Kerangka Pikir ............................................................................. 78 H. Definisi Operasional ............................................................................... 79
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 81 A. Jenis Penelitian ...................................................................................... 81 B. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 81 C. Lokasi Penelitian .................................................................................... 82 D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 83 E. Teknik Analisis Data ............................................................................... 83
BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...........................................77 A. Nilai Keadilan Restoratif Yang Terakomodir Dalam Sistem Peradilan Anak Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak............................................................................77 1. Diversi...................................................................................................77 2. Tujuan Pemidanaan……………………………………………………….86 3. Pemulihan Korban………………………………………………………...91 4. Jenis-Jenis Sanksi ………………………………………………………..97 5. Jenis Tindakan Dalam UU. No.11 Tahun 2012……………………….103
6. Jumlah Putusan Anak Di PN. Sungguminasa………………………..105 B. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Tindakan Terhadap Anak……………………………………………………………….107 1. Fakta Persidangan..........................................................................109 2. Usia..................................................................................................112 3. Berat Ringannya Tindak Pidana ...................................................113 4. Pengulangan Tindak Pidana .........................................................115 5. Tujuan Dan Manfaat Pemidanaan..................................................119 6. Kepentingan Terbaik Bagi Anak....................................................124 C. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pidana Anak No.14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm…………………………………………129 1. Kasus Posisi.....................................................................................129 2. Pertimbangan Yuridis......................................................................135 3. Pertimbangan Sosiologis...............................................................153 4. Laporan Bapas................................................................................159 5. Kepentingan Terbaik Bagi Anak....................................................161 BAB V. PENUTUP ……………......………………………………………………..165 A. KESIMPULAN ………………………………………………………………...165 B. SARAN…………………………………………………………………………169 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 168 LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada
sistem hukum, ada masyarakat dan ada norma hukum (ubi societas ibi
ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata hukum harus
mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat
manusia. 1 Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara
kepentingan atau hasrat individu yang egoistis dengan kepentingan
bersama agar tidak terjadi konflik.2 Kehadiran hukum justru ingin
menegakkan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan dan hak
bersama. Secara hakiki hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Konsep keadilan restoratif atau yang sering diterjemahkan sebagai
keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak
era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. 3
Masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang
1 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Jakarta: PT.
Refika Aditama, 2006) hal. 127 2 Ibid,hal. 121.
3 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, (Depok : Badan Penerbit FHUI, 2009) hal. 2.
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan keadilan restoratif sebagai a
way of responding to criminal behavior by balancing the needs of the
community, the victims and the offenders,4 yang terjemahan bebasnya
adalah sebuah penyelesaian terhadap tindak pidana dengan cara
menyelaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban dan
pelaku.
Keadilan restoratif merupakan hal yang relatif baru di Indonesia.
Namun demikian, keadilan restoratif memiliki cara pandang yang berbeda
menurut Fruin J.A yaitu untuk pemenuhan rasa keadilan akibat suatu
tindak pidana.5 Pandangan Paulus Hadisuprapto, peradilan anak restoratif
berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku
delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan
keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi
dasar adalah bahwa keadilan yang terpenuhi, apabila setiap pihak
menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam
proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari
interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.6
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 7upaya menuju
4 Handbook on Restorative Justic programme, (New York : United Nations,2006) Page 6.
5 Fruin. JA, Nederlandse Wetboeken, (Zwole : W.E.T Tjeenk Willink, 1996), page 1200-
1208. 6 Paulus Hadisuprapto (a), Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa
Datang,(Semarang: Diponegoro Universitry Press,2006), hal. 225 7 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Hukum Pidana, No. 1 Tahun 1946, LN No. 127
keadilan restorative bisa dilihat pada Pasal 45 dengan menyebutkan
bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa
yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu
perbuatan, hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang
bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apapun; atau
memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah
tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau
salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489,490,492,496,497,503-
505,514,517-519,526,531,532,536 dan 540, serta belum lewat dua tahun
sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu
pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau
belum menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)8 tidak mengenal perdamaian sebagai
mekanisme penyelesaian suatu perkara, namun dalam penanganan
perkara pidana cukup banyak didapati bahwa petugas penegak hukum,
baik polisi maupun jaksa memilih untuk tidak memperpanjang proses
perkara dan mengajak pihak korban dan pelaku menyelesaikannya
melalui musyawarah. 9 Dalam Pasal 82 Undang-undang No. 11 Tahun
Tahun 1958. TLN No. 1660, ps.45. 8 Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981, LN
No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. 9 Zulfa, op.cit., hal.164.
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan mengenai
alternative pemberian sanksi hukum bagi anak yaitu mengembalikan
kepada orangtua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada Negara
untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau
menyerahkan kepada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Menangani masalah anak yang berkonflik dengan hukum
hendaknya dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan
sedapat mungkin menghindarkan anak dari lembaga peradilan.
Pengadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum menjadi upaya
terakhir setelah berbagai upaya yang dilakukan dengan pendekatan
kekeluargaan telah ditempuh.
Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah :
1. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki
kerugian yang ditimbulkan oleh kesalannya.
2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping menagatasi rasa
bersalahnya secara konstruktif; Melibatkan para korban,
orangtua, keluarga besar, sekolah dan teman sebaya;
3. Mencipatakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan
masalah; menetapkan hubungan langsung dan nyata antara
kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.10
Metode keadilan restoratif yang digunakan adalah musyawarah
10
Makalah Potret Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Indonesia,
(Jakarta:UNICEF Indonesia, 2004), hal.357.
pemulihan dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga
masing-masing, ditambah wakil masyarakat yang diharapkan dapat
mewakili lingkungan dimana tindak pidana dengan pelaku anak tersebut
terjadi. Dengan adanya dukungan dari lingkungan setempat untuk
menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat
menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitive, namun tetap
mengedepankan kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak
pidana, korban dan masyarakat.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini
adalah anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem
peradilan anak yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat.
Proses keadilan restoratif pada dasarnya merupakan upaya pengalihan
dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah,
yang ada pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk
menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai
mufakat. Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi
kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah
anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan
restoratif merupakan salah satu langkah yang tepat bagi penyelesaian
kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk mengefektifkan
keadilan restoratif dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan
dengan hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu
aparat penegak hukum, keluarga maupun tokoh masyarakat. Tanpa
sosialisasi tersebut maka penerapan keadilan restoratif menjadi sulit
diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik
dengan hukum.
Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada
dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya, yaitu
serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
kemasyakatan, namun dalam sistem peradilan pidana saat ini, korban
utama atas terjadinya tindak pidana adalah Negara. Berdasarkan
pendekatan keadilan restoratif korban utama bukanlah Negara melainkan
masing-masing pihak baik pelaku maupun korban adalah korban utama.
Kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan
akibat terjadinya suatu tindak pidana, karena itu dibutuhkan suatu proses
pencarian pemecahan masalah atas tindak pidana yang terjadi dengan
melibatkan korban, masyarakat dan pelaku dalam usaha perbaikan,
rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.11
Walaupun konsep keadilan restoratif belum diterapkan dalam
sistem peradilan pidana umum yang berlaku secara resmi di Indonesia,
keadilan restoratif sebenarnya bukanlah suatu konsep yang sekali baru,
bahkah telah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat, baik dalam
pandangan hukum adat maupun hukum islam. 15 Dalam penyelesaian
perkara pidana, pemulihan “kerusakan” yang timbul dilakukan dengan
melibatkan korban, pelaku dan masyarakat terkait agar tercapai
11
Zulfa, op. cit., hal.3
perdamaian. Perdamaian disini hadir dari semua pihak, dimana
masyarakat terkait khususnya korban memaafkan pelaku dan pelaku
memberikan ganti rugi kepada korban dan/atau masyarakat dengan
sesuatu yang telah disepakati, misalkan berupa uang, barang ataupun
perbuatan tertentu.
Adapun contoh lain kasus yang terkait dengan keadilan restoratif
dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum
adalah kasus 5 (lima) orang anak yang ikut melakukan pengerusakan
pada gedung DPRD Kabupaten Gowa saat terjadi aksi demonstrasi
penolakan Peraturan Daerah (PERDA) tentang Lembaga Adat Daerah
(LAD). Para Anak didakwa dengan Primair Pasal 187 Ayat (1) KUHP jo
Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Atau Kedua Primair Pasal 170 Ayat (2)
Ke-1 KUHP subsidiair Pasal 170 Ayat (1) KUHP. Meskipun ancaman
pidana yang didakwakan terhadap para Anak di atas 7 (tujuh) tahun
dikarenakan dakwaan penuntut umum berbentuk subsidiaritas hakim
berdasarkan Pasal 3 Peraturan mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak melaksanakan diversi akan tetapi tidak berhasil, dan dalam
putusannya hakim menjatuhkan pidana berupa tindakan kepada para
Anak dikembalikan kepada orang tua/walinya dengan ketentuan selama
maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara periodik serta
dalam pengawasan dan pembimbingan dari pembimbing
kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan atau apabila Anak tidak
melanjutkan pendidikan formal sekolahnya Anak akan ditempatkan di
LPKS (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu)
tahun.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pendekatan
Restoratif Dalam Penjatuhan Sanksi Tindakan Bagi Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
dirumuskan pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah nilai keadilan restoratif terakomodir dalam
sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?
2. Pertimbangan hukum apa yang digunakan oleh hakim dalam
menjatuhkan putusan tindakan terhadap kasus kenakalan
anak?
3. Bagaimana hakim menerapkan Keadilan Restoratif dalam
perkara yang dilakukan anak pelaku pengrusakan kantor
DPRD Kabupaten Gowa? (Studi Kasus Perkara No.
14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM).
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengkaji konsep keadilan restorative dalam peradilan anak di
Indonesia. Selain itu, memberikan masukan bagi aparatur
penegak hukum terutama hakim untuk bias mengupayakan
keadilan restoratif dalam pemulihan perkara pidana anak.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui sejauh mana nilai keadilan restoratif terakomodir
dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-
undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
2. Mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan pemidanaan terhadap kasus kenakalan anak.
3. Mengetahui cara hakim menerapkan Keadilan Restoratif
dalam perkara yang dilakukan anak pelaku pengrusakan
kantor DPRD Kabupaten Gowa? (Studi Kasus Perkara No.
14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM)
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, memberikan gambaran yang jelas
mengenai bentuk pertanggungjawaban dan bentuk
perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum.
2. Manfaat akademis, menambah khazanah ilmu pengetahuan
bagi peneliti yang tertarik untuk malakukan kajian terhadap
objek penelitian serupa.
3. Manfaat praktis bagi masyarakat adalah memberikan
pengetahuan yang jelas mengenai pertanggjawaban pidana
terhadap terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan
penerapan keadilan restoratif, sehingga diharapkan
masyarakat lebih memahami penerapan keadilan restoratif
dalam sistem peradilan pidana. Bagi pemerintah
diharapkan agar menyegerakan revisi terhadap peraturan-
peraturan yang belum memberikan kepastian hukum dalam
sistem peradilan pidana anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak
1. Pengertian Anak.
Pengertian anak dalam Konvensi Hak Anak diartikan
sebagai:“For purpose of present Convention, a child means every
human being below the age eighteen years, under the law
applicable to the child: majority is attained earlier”. (yang dimaksud
dalam konvensi ini adalah setiap orang yang berusia di bawah
delapan belas ahun, kecuali berdasarkan Undang-undang yang
berlaku bagi anak, ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal).12 Dengan demikian batasan usia dewasa menurut Konvensi
Hak-hak Anak adalah 18 tahun dengan pengecualian kedewasan
tersebut dicapai lebih cepat.
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
13 memberikan definisi tentang anak sebagai berikut :” setiap
manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum pernah
menikah termasuk anak yang masih dalam kanudngan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya”. Sedangkan dalam Undang-
undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diberikan
batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan anak yaitu :
Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan”. Dengan demikian pengertian
menurut kedua peraturan ini luas sekali. Karena termasuk anak
dalam kandunganpun diakui sebagai seorang anak. Tentunya jika
kepntingan hukum itu menghendaki.
12
Konvensi Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum PBB Tanggal 20 November 1987, pasal 1. 13
Indonesia (f), op.cit., Pasal 1 angka 1.
Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak14 menyebutkan bahwa “ Anak adalah seorang yang belum
mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin”. Penegasan ini
diuraikan lagi dalam penjelasannya bahawa batas usia dewasa 21
tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan
usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan
pribadi dan kematangan mental seorang anak mencapai pada umur
tersebut. Melihat batasan usia dalam peraturan ini maka kita dapat
melihat bahwa batasan seorang anak sampai dengan usia 21
tahun, artinya kematangan anak ini akan lebih sempurna.
Pertimbagan usia 21 tahun ini sebetulnya didasarkan pada
ketentuan dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata15 yang
mengatur mengenai kedewasaan seseorang adalah setelah
mencapai usia 21 tahun.
Pengertian anak dalam Black’s Law Dictionary “young of
human species, generally under the age of puberty (under forteen)”
(anak diartikan sebagai seorang yang usianya belum mencapai
empat belas tahun)16 . dalam hal ini diakuinya variasi umur yang
berbeda di berbagai Negara untuk penyebutan seorang anak.17
Kamus peristilahan hukum dalam praktek mengartikan anak 14
Indonesa (g), Undang-undang Tentang Kesejahteraan Anak, No. 4 Tahun 1979,LN No. 33 Tahun 1979,TLN No. 3143, Pasal 1 angka 2. 15
Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Staatsblad 1874 No. 23, Pasal 330. 16
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, (USA:St. Paul West Publishing, 1979), page 197. 17
Ibid.
sebagai turunan yang kedua.18 sedangkan Surat Edaran Jaksa
Agung No. SE-002/JA/4/1989 meminta agar terhadap anak yang
belum berusia 18 tahun diperlakukan tata tertib sidang anak.
Kamus Hukum menggunakan istilah pupil atau minderjarige onder
voogdilj sebagai pengertian dari anak yang di bawah
pengampuan19, lain halnya dalam Kamus Hukum Belanda
Indonesia menggunakan istilan strafrechtelijke minderjarigheid
artinya kebelum dewasaan menurut hukum pidana. 20
2. Anak Yang Melakukan Tindak Pidana.
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak memberikan definisi tentang anak dalam pasal 1
angka 3 yaitu “Anak yang berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
Beijing Rules tidak menyebutkan secara pasti tentang cakupan
anak tersebut dilihat dari batas usianya. Beijing Rules
menggunakan istilah a juvenile untuk menyebut anak tanpa
menyebutkan usianya. “A juvenile is a child or young person who
under the respective legal system, may be dealt with for an offence
18
Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, (Jakarta: Aneka Ilmu Sejarah, 1977) hal.581. 19
Arief S, Kamus Hukum Lengkap, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1995), hal.68. 20
M. Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1999) hal.297.
in a manner which is different from an adult)”.21
Mempertimbangkan apakah seorang anak dapat berbuat
sesuai dengan komponen-komponen moral dan psikologis dari
pertanggungjawaban criminal ; artinya apakah seorang anak
berdasarkan atas kejernihan pikiran dan pemahaman individu
dapat dianggap bertanggungjawab atas perilaku yang pada
dasarnya anti sosial. Jika usia pertanggungjawaban criminal
ditetapkan terlalu rendah atau jika tidak ada batas usia yang lebih
rendah sama sekali, pengertian tanggungjawab tidak akan memiliki
arti. Pada umumnya terdapat satu hubungan yang dekat antara
pengertian tanggungjawab terhadap perilaku krimnalitas atau yang
melanggar hukum pidana dengan hak-hak serta tanggung jawab
sosial lainnya).22
Beijing Rules tidak menyebutkan secara pasti tentang kapan
seorang anak dapat dipertanggunjawabkan atas perbuatannya.
Pengaturan mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana
seorang anak pelaku tindak pidana diatur dalam Article 4.1: “ in
those legal systems recognizing the concept of the age of criminal
responsibility for juveniles, the beginning of that age shall not be
fixed at too low an age level, bearing in mind the facts of emotional,
mental and intellectual maturity” (dalam sistem hukum yang
mengakui konsep batas usia pertanggungjwaban pidana untuk
21
Standard Minimum Rules For The Adminstration of Juvenile Justice (Beijing Rules), (New York : United Nation Departemen of Public Information, 1986), Article 2.2 (a). 22
Beijing Rules, op.cit. Article 4.
anak pelaku tindak pidana, permulaan atas usia
pertanggungjawaban itu janganlah ditetapka terlalu rendah, dengan
menyangkut faktor kematangan emosional anak, mental dan
intelektualitas anak).23
Dengan demikian Beijing Rules ini memberikan kebebasan bagi
tiap-tiap Negara untuk menetukan sendiri mengenai batas usia
pertanggung-jawaban seorang anak yang dapat
dipertanggungjawabkan, namun harus melihat kenyataan
emosional dari anak, mental dan pikirannya tersebut. Dalam
commentary rule 2.2 Beijing Rules ini disebutkan bahwa batas usia
anak adalah usia 7 sampai 18 tahun, artinya mulai usia 7 tahun
seorang anak itu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
namun tidak lebih dari 18 tahun. Batas usia pertanggungjawaban
pidana bagi anak dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 adalah
mulai 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan
ketentua Pasal 1 angka 3, yang mengatur mengenai batas usia
minimum bagi anak pelaku tindak pidana adalah 12 tahun. Awalnya
pada Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
usia minimum adalah 8 tahun tetapi diganti menjadi 12 tahun
(sesuai dengan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010) Batas usia
minimum ini menunjukkan bahwa mulai kapan seorang anak pelaku
tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
23
Beijing Rules, op.cit., Article 4.1
Sedangkan usia 19 tahun menunjukkan batas usia maksimumnya,
artinya perkara anak tersebut akan disidangkan pada Pengadilan
anak atau Pengadilan dewasa.
Dalam Peraturan PBB lainnya yaitu United Nations Rules for
The Protection of Juveiles Deprived of Their Liberty disebutkan
bahwa : “A juvenile is every person under the age of 18. The age
limit below which it should not be permitted to deprive a child of his
or her liberty should be determined by law” (Seorang anak adalah
seorang yang berusia di bawah 18 tahun. Batas usia di bawah
dimana tidak diijinkan untuk menghilangkan kebebasan seorang
anak harus ditentukan oleh Undang-undang).24 Menurut pasal 45
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia25 dikatakan bahwa:
“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig)
karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun,
maka Hakim dapat menentukan : Memerintahkan yang bersalah
supaya dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemliharanya tanpa dijatuhi pidana apapun atau memerintahkan
supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana
apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran tersebut dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503,
505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, 541 serta belum lewat dua
tahun sejak dinyatakan salah karena kejahatan atau salah satu
24
Rules for The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty, (New York : United Nation Resolution 45/113,1990) page.2. 25
Indonesia (a), op.cit.,pasal 45.
pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap, atau
menjatuhkan pidana”. Dengan demikian dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana tidak mengatur tentang batasan umur
seorang anak pelaku tindak pidana mulai
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mengenai kepastian
tentang hal ini tidak disebutkan dalam Pasal 45 tersebut.
Semuanya diserahkan kepada keyakinan hakim. Semuanya
diserahkan kepada keyakinan hakim. Terkait dengan pasal 45 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana tersebut menurut pendapat SR.
Sianturi : Bahwa sistem pertanggungjawaban pidana anak yang
dianut oleh KUHP (yang berlaku sekarang ini) adalah sistem
pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak
(berusia 1 tahun sampai dengan 16 tahun), anak yang jiwanya
sehat, dianggap mampu bertanggungjawab dan dituntut.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai batas usia anak, akan
tetapi dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada Hakim
untuk melarang “anak yang belum mencapai usia 17 tahun” untuk
menghadiri sidang, sedangkan Pasal 171 a menentukan bahwa
anak tanpa sumpah. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana mengatur juga mengenai batas usia pertanggungjawaban
anak pelaku tindak pidana yaitu, pada Pasal 113 disebutkan
bahwa:
(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang
berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas)
tahun yang melakukan tindak pidana.26
Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak
yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas usia 12 (dua
belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu
kematangan emosional, intelektual dan mental anak. Seorang anak
di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian
kasusnya harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan
lainnya. Adanya batas umur 12 – 18 tahun bagi pelaku tindak
pidana anak ini, memberi konsekuensi bahwa untuk seorang anak
pelaku tindak pidana yang berumur kurang dari 12 tahun tidak
dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini memberikan kemajuan
tersendiri dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, yaitu
dengan tidak menetapkan batas usia yang terlalu rendah bagi anak
pelaku tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dengan demikian menurut konsep KUHP, yang
26
Melly Setyawati dan Supriyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Anak dalam Rancangan
KUHP, (Jakarta:ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007), hal. 111.
menjadi subjek hukum adalah anak yang berumur 12 tahun
samapai 18 tahun, yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
perbuatannya.27
Menurut Rupert Cross, yang dimaksud dengan anak adalah
setiap orang yang berumur kurang dari 14 tahun; seorang remaja
adalah setiap orang yang berumur 14 tahun tetapi belum mencapai
umur 17 tahun (a child is any person under the age or fourteen
years; a young person is any person who has attained the age or
fourteen years but has not attained the age of seventeen years). 28
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa : Batas
umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak sekurang-
kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan
belas) tahun dan belum kawin.
Paulus Hadisuprapto mengemukakan : “Batasan usia terhadap
seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
perbuatannya tersebut tidak ada keseragaman. Hal ini juga
dijumpai dalam perumusan batasan tentang pertanggungjwaban
pidana anak di berbagai Negara. Di Amerika Serikat, 27 negara
bagian menentukan batas umur antara 8-18 tahun, sementara 6
negara bagian menetukan batas umur antara 8- 17 tahun, ada pula
Negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8 – 16
27
Ibid., hal.111-112 28
Rupper Cross & P. Asterlev Jones, An. Introduction To Criminal Law, (London:Buterworth,1953) page.129.
tahun. Sementara itu, Inggiris menentukan batas umur antara 12 –
16 tahun. Sebagian besar Negara bagian Australia menentukan
batas umur antara 8 – 16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas
umur antara 12 – 18 tahun. Negara-negara Asia, antara lain
Srilanka menentukan batas umum antara 8-16 tahun; Jepang dan
Korea menentukan batas umur antara 14 – 20 tahun; Taiwan
menentukan batas umur antara 14 – 18 tahun; Kamboja
menentukan batas umur antara 7 – 16 tahun; Malaysia
menentukakan batas umur antara 7 – 18 tahun; Singapura
menentukan batas umur antara 7 – 16 tahun.29 Task force on
Juvenile Delinquency Prevention menentukan seyogyanya batas
usia penentuan seorang anak sebagai anak dalam konteks
pertanggungjawaban pidananya ditetapkan usia terendah 10 tahun
dan batas atas antara 16 – 18 tahun.30
Dari apa yang dikemukakan di atas mengenai batas usia
pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana ini
memang tidak ada keseragaman. Hal ini tergantung dari masing-
masing Negara dalam melihat kematangan mental, intelektual dan
emosional seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun semuanya sudah mengacu dan sesuai dengan ketentuan
yang diamanatkan oleh The Beijing Rules, bahwa batasan usia
seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
29
Paulus Hadisuprapto (b), Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penggulangan,(Jakarta:Bayumedia,2008), hal. 10-13 30
Ibid.
perbuatannya diserahkan kepada masing-masing Negara dengan
mempertimbangkan keadaan emosional, mental dan pikirannya.
Begitu juga dengan Peraturan di Indonesia yaitu Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diubah oleh
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang telah mengacu pada The Beijing Rules dalam
menentukan batasan usia seorang anak yang dapat
dipertanggungjawabkan, walaupun masih ada kekurangannya.
Kenakalan anak disebut juga dengan juvenile delinquency.
Juvenile ( bahasa Inggris ) atau yang dalam bahasa Indonesia
berarti anak-anak; anak muda, sedangkan delinquency artinya
terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat,
criminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, delinkuensi diartikan sebagai
tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang
berlaku dalam suatu masyarakat.31
Pengertian anak nakal telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2
UU No.. 3 tahun 1997 sebagai berikut, bahwa yang dimaksud anak
nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana.
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan
31
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Baahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 219
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak tidak menggunakan istilah anak nakal akan
tetapi menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.
Dari ketentuan di atas dapat diketahui perbuatan-perbuatan yang
diancamkan terhadap anak lebih luas dari pada perbuatan-
perbuatan yang diancamkan terhadap orang dewasa. Anak
dikatakan sebagai anak nakal apabila melakukan tindak pidana
sebagaimana pula diancamkan terhadap orang dewasa selain itu
juga terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap terlarang bagi
anak. Perbuatan yang dilarang bagi anak dapat berupa apa yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maupun
peraturan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat artinya
pelanggaran terhadap hukum hidup/adat/kebiasaan dalam
masyarakat diakui sebagai delik dalam tindak pidana anak.
Maulana Hassan Wadong mengemukakan, bahwa ketentuan
Kejahatan anak atau delinquency anak diartikan sebagai bentuk
kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian
KUHP dan atau peraturan perundang-undangan.32
Menurut Sudarto anak nakal adalah :33
a. Yang melakukan tindak pidana;
32
Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), hal. 21. 33
Ibid.
b. Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orang
tua/wali/pengasuh;
c. Yang sering meninggalkan rumah, tanpa ijin/sepengatahuan
orangtua/wali/pengasuh.
d. Yang bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang yang
tidak bermoral, sedangnkan anak itu mengetahui hal itu.
e. Yang kerap kali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi
anak-anak.
f. Yang seringkali menggunakan kata-kata kotor.
g. Yang melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak
baik bagi perkembangan pribadi, sosial, rohani dan jasmani
anak itu.
Meskipun perumusannya tidak jelas namun tentunya yang
dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang memenuhi salah
satu criteria dan ketujuh perbuatan itu. 34 Berdasarkan uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan yang dimaksudkan dengan anak
nakal adalah anak yang melakukan suatu perbuatan yang dimana
perbuaan tersebut dilarang oleh perundang-undangan khusnya
KUHP, peraturan perundang-undangan diluar KUHP atau
melanggar norma-norma yang dilarang bagi anak maupun norma-
norma dalam masyarakat.
Resolusi PBB No. 40/33 tentang United Nations Standard
34
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung; Alumni,1984), hal. 13-136.
Minimum Rules for The Adminstration of Juvenile Justice (The
Beijing Rules) Article 2.2. membedakan mengenai istilah a a
juvenile, an offence dan a juvenile offender. A juvenile is a child or
a young person who, under the respective legal system, may be
dealt with for an offence in a manner which is different from an adult
(anak nakal dalam seorang anak) atau orang muda, yang menurut
sistem hukum yang berlaku di Negara masing-masing dapat
diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang
berbeda dari perlakuan orang dewasa)35 An offence is any behavior
(act or omission) that is punishable by law under respective legal
system (Suatu pelanggaran hukum adalah perilaku apapun
(tindakan atau kelalaian) yang dapat dihukum oleh hukum menurut
sistem hukum masing-masing).36 A juvenile offender is a child or
young person who is a alleged to have committed or who has been
found to have committed an offence (Seorang pelanggar hukum
berusia remaja dalah seorang anak atau orang muda yang diduga
telah melakukan atau yang telah ditemukan telah melakukan suatu
pelanggaran hukum).37
Rumusan ini lebih bersifat menyeluruh dan tampaknya
penekanan “anak” dan “perbuatan”-Nya termasuk kejahatan bila
dilakukan oleh orang dewasa dan anak yang melanggar ketentuan
perundang-undangan khusus untuk anak. Dewasa dan anak yang
35
Beijing Rules, op.cit., Article 2.2 36
Ibid., Article 2.2 (b). 37
Ibid, Article 2.2 (c).
melanggar ketentuan perundang-undangan khusus untuk anak.
Ada beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi timbulnya
kejahatan anak yaitu :
a. Faktor lingkungan
Akibat salah bergaul, ikut-ikutan teman, pengaruh media massa
maupun televisi
b. Faktor ekonomi/sosial
Kemiskinan, kurangnya pengdidikan.
c. Faktor psikologis
Stress,merasa tidak bahagia, merasa kurang kasih sayang dari
orang tua dan sekitar, tekanan akibat tidak bisa mengatasi
masalah.38
3. Hak-Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Hak anak adalah Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingan
hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan. Hak-hak anak diatur dalam Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu sebagai berikut :
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
38
Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency), (Yogyakarta: Yayasan Penertiban Fakultas Psikologi, 1982), hal.11.
diskriminasi”. Dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa selama
dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, maka anak berhak
mendapatkan perlindungan dari perlakuan sebagai berikut :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan;
f. Perlakuan salah lainnya.
Di dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap anak
berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan.
Penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Berkaian dengan hal di atas maka setiap anak berhak memperoleh
kebebasan seuai dengan hukum, dalam hal anak melakukan tindak
pidana maka penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara
anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Jika anak dirampas kebebasannya menurut Pasal 17 Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka
anak berhak untuk :
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku ;
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup
untuk umum.
Pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak tersebut dituliskan bahwa anak yang menjadi
korban atau pelaku tindak pidana berhak untuk mendapatkan
bantuan hukum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan. Selain itu anak yang berkonflik dengan hukum atau
sebagai pelaku tindak pidana maka anak berhak memperoleh
bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan.
Anak sebagai pelaku adalah anak yang disangka, didakwa atau
dinyatakan terbukti bersalah. Sebagai anak yang berhadapan
dengan hukum atau sebagai pelaku tindak pidana anak juga
mempunyai hak berdasarkan ketentuan berikut : Pasal 66 Undang-
undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menjelaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum :
a. Tidak dianiaya, disiksa atau dihukum secara tidak manusiawi
b. Tidak dijatuhi pidana mati atau seumur hidup
c. Tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum
d. Tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara secara melawan hukum
atau jika tidak sebagai upaya terakhir.
Menurut Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia:
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat
dan hak-haknya;
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan sarana serta prasarana khusus
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik
untuk anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan keluarga;
g. Perlindungan dari pemberitahuan identitas melalui media masa
untuk menghindari labelisasi.
Pada Beijing Rules Article 7.1 disebutkan mengenai hak-hak
anak yang berhadapan dengan hukum adalah : “Basic procedural
safeguards such as the presumption of innocenc, the righ to be
notifed of the charges. The right to remain sient, the right to counsel
the right to the presence of a parent or guardian, the right to
confront and cross-examine witness and the right to appeal to a
higher authority shall be guaranteed at all stages of proceeding.”.
Hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum adalah sebagai
berikut :
1. Praduga tak bersalah
2. Hak untuk diam
3. Hak didampingi orangtua dan pengacara
4. Hak untuk berkonsultasi
5. Hak untuk diberitahukan apa kesalahannya
6. Hak untuk pemeriksaan saksi secara silang
7. Hak untuk banding ke Pengadilan yang lebih tinggi.39
B. Sistem Sanksi Terhadap Anak
1. Pengertian
Sanksi adalah istilah yang digunakan dalam sarana
pengkondisian yang digunakan setelah terjadinya perilaku tersebut
39 Beijing Rules, op.cit., Article 7.1
yang berguna untuk mengurangi kemungkinan perilaku tersebut
terulang lagi di masa yang akan dating. Menurut ahli perilaku
(behaviorist dan psikolog) B.F. Skinner membagi sanksi menjadi
dua, yaitu sanksi positif dan sanksi negatif.
Sanksi positif diartikan sebagai hukuman yang memiliki aplikasi
(punishment by application). Sanksi positif berkaitan dengan
memberikan stimulus aversif atau stimulus yang tidak
menyenangkan setelah kejadian tersebut terjadi.
Sanksi negatif berhubungan dengan mengambil atau
menghilangkan stimulus yang diinginkan (desirable stimulus)
setelah perilaku tersebut terjadi. B. F. Skinner mengatakan bahwa
setiap perilaku yang berubah karena sanksi terkadang atau bahkan
sering itu bersifat sementara. Bahwa terkadang sanksi memberikan
hasil yang tidak diinginkan dan tidak terbayangkan.
Bahwa sanksi untuk mengubah perilaku seseorang menjadi
lebih baik atau tidak lagi mengulangi hal tersebut dalam jangka
panjang harus lebih dipertimbangkan, yang mana sanksi itu sendiri
memiliki 2 (dua) fungsi) :
1. Memberikan kesadaran bagi para pelaku perilaku
menyimpang agar tidak melakukan perilaku tersebut lagi;
2. Menjadi bentuk larangan bagi individu lainnya agar tidak
melakukan perilaku tersebut. 40
40
http://www.learniseasy.com/pengertian-hukumansanksi.html
2. Jenis-jenis Sanksi Terhadap Anak
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak tidak mengikuti ketentuan sanksi pidana
yang tertuang dalam Pasal 10 KUHP, namun membuat sanksi
secara tersendiri. Berikut adalah jenis-jenis pemidanaan yang
dapat dijatuhkan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum
terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan, dan tindakan
yaitu:
Dalam Pasal 71 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pidana Pokok bagi
Anak terdiri dari :
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat :
1) Pembinaan di luar lembaga;
2) Pelayanan masyarakat; atau
3) Pengawasan.
c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga; dan
e. Penjara.
Pasal 71 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pidana tambahan bagi
Anak terdiri dari :
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tindakan yang dapat
dikenakan kepada Anak meliputi :
a. Pengembalian kepada orang tua/wali;
b. Penyerahan kepada seseorang;
c. Perawatan di rumah sakit jiwa;
d. Perawatan di LPKS;
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta;
f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana.
3. Prinsip Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak
Penerapan pemidanaan terhadap Anak sering menimbulkan
perdebatan, karena dalam hal ini mempunyai konsekuensi yang
sangan luas baik menyangkut perilaku maupun stigma dalam
masyarakat dan juga dalam diri Anak tersebut, tetapi dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah diberlakukan sejak 30
Juli 2014, penerapan pemidanaan lebih bersifat membina dan
melindungi terhadap Anak, dibandingkan dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sudah tidak
relevan lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menganut sistem dua jalur dimana selain
mengatur sanksi pidana juga mengatur tindakan (double track
system). Melalui penerapan sistem dua jalur ini sanksi yang
dijatuhkan akan lebih mencerminkan keadilan, baik bagi pelaku,
korban dan masyarakat sehingga hakim dapat menentukan
penjatuhan sanksi terhadap Anak yang sesuai dan patut untuk
dipertanggung jawabkan oleh Anak yang berkonflik dengan hukum.
Pada umumnya penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggar
hukum seringkali dianggap sebagai tujuan dari hukum pidana, oleh
sebab itu apabila pelanggar telah diajukan ke depan persidangan
kemudian dijatuhi sanksi pidana, maka perkara hukum dianggap
telah berakhir. Pandangan demikian telah memposisikan keadaan
dalam hukum pidana dan penegakan hukum pidana adalah sanksi
pidana sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal-pasal yang
dilanggar.
Pemidanaan yang lazim diterapkan berdasarkan KUHP, bukan
mendidik Anak menjadi lebih baik, melainkan memperparah kondisi
dan dapat meningkatkan tingkat kejahatan anak. Penerapan
pemidanaan terhadap Anak berdasarkan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan
suatu landasan penjatuhan sanksi terhadap Anak yang melakukan
tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 Ayat (4)
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menyatakan “Pidana yang dijatuhkan kepada Anak
dilarang melanggar harkat dan martabat Anak”.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan kesejahteraan
serta pemenuhan hak Anak akan menjadi lebih baik. Anak yang
melakukan tindak pidana berlaku ketentuan khusus dengan
berpedoman pada Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak,maupun pemidanaannya dijatuhkan
kepada Anak paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman
penjara bagi orang dewasa sehingga kekhususan penanganan
peradilan anak dapat mereduksi ketentuan daalam KUHP maupun
KUHAP dengan berdasarkan asas Lex Spesialis Derogate
Generalis .
Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap Anak antara lain
terkandung di dalam The Beijing Rules dan Convention On The
Right Of the Child yang telah diratifikasi ole Pemerintah Indonesia
dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Pidana
terhadap Anak yang tertuang dalam dokumen-dokumen
internasional dengan keinginan agar penjara sejauh mungkin tidak
dijatuhkan terhadap Anak yang telah dituangkan di dalam
Rancangan KUHP dan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak
Dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, setiap Anak dalam proses peradilan
pidana berhak :
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan
kebutuhan sesuai umurnya;
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain
yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat
dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai
upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup
untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang
dipercaya oleh Anak;
k. Memperoleh advokasi sosial;
l. Memperoleh kehidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesibilitas,terutama bagi Anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak di atur hal yang berbeda dari aturan
untuk pelaku tindak pidana dewasa:
a. Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan
perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat;
b. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling
lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa;
c. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18
(delapan belas) tahun;
d. Anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya
pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat;
e. Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai
upaya terakhir;
f. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam hal
Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan,
dan pekerja sosial professional mengambil keputusan untuk :
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan
di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat
maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
C. Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pada persidangan anak proses penjatuhan sanksi terhadap
anak nakal dijatuhkan melalui Pengadilan Anak dimana Pengadilan
Anak adalah persidangan yang dikhususkan untuk anak, sehingga
ada beberapa perbedaan dengan asas-asas peradilan untuk orang
dewasa. Pemisahan sidang anak dan sidang yang mengadili
perkara tindak pidana orang dewasa memang mutlak adanya,
karena dengan dicampurnya terwujudnya kesejahteraan anak.
Dengan kata lain pemisahan ini penting dalam hal mengadakan
perkembangan pidana dan perlakuannya.
Sebagai ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana maupun pelaksanaannya tetap berlaku sepanjang tidak
diatur secara khusus acara sidang anak dalam Undang-undang No.
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Darin
Prinst dalam mengemukakan asas-asas peradilan anak sebagai
berikut :
a. Pembatasan umur (pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan
Anak ditentukan secara limitative, yaitu yang telah berumur 12
(dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
b. Kewenangan Pengadilan Anak (Pasal 43 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak
bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara anak.
c. Ditangani pejabat khusus terhadap perkara anak yang
berkonflik dengan hukum harus ditangani pejabat-pejabat
khusus, seperti :
Di tingkat penyidikan oleh penyidik anak.
Di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak, dan
Di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak dan
hakim kasasi anak
d. Peran pembimbing kemasyarakatan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak mengakui peranan dari :
Pembimbing kemasyarakatan.
Pekerja sosial
Pekerja sosial sukarela
e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan
Pemeriksaan perkara anak yang berkonflik dengan hukum
dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Oleh karena itu, dari
proses penyidikan hingga persidangan, hakim, penuntut umum,
dan penasehat hukum tidak memakai toga.
f. Keharusan splitsing
Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik
berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan
tindak pidana bersama dengan orang dewasa, maka si anak
diadili dalam sidang pengadilan anak sementara orang dewasa
diadili dalam sidang biasa atau apabila berstatus militer di
peradilan militer
g. Acara pemeriksaan tertutup.
Acara pemeriksaan sidang di pengadilan anak dilakukan
secara tertutup. Hal ini adalah demi kepentingan anak sendiri.
Akan tetapi agenda pembacaan putusan harus diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum.
h. Diperiksa hakim tunggal.
Hakim yang memeriksa perkara anak, baik di tingkat pertama,
banding maupun kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
i. Masa penahanan lebih singkat.
Masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa
penahanan menurut KUHAP.
j. Hukuman lebih ringan
k. Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan
dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal
untuk anak yang berkonflik dengan hukum adalah 10 (sepuluh)
tahun.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak tidak memungkinkan hakim melakukan
tindakan demi kepentingan anak tanpa melalui putusan. Hal ini
berkaitan pula dengan adanya kewenangan hakim yang diberikan
Undang-undang-undang yang memuat pemberian diskresi maupun
diversi terhadap tindakan Anak yang berkonflik dengan hukum.
Hakim diwajibkan tetap tunduk pada proses acara pidana anak
sebagaimana telah diatur melalui undang-undang, meskipun
pemberian diskresi maupun diversi ini kemungkinanan dapat
berpengaruh terhadap psikologi anak pelaku tindak pidana yang
meliputi psikologi Anak yang berkonflik dengan hukum pada saat
melakukan suatu tindak pidana dan psikologi anak setelah
dikenakan sanksi pidana.
Putusan hakim tidak boleh sekedar memenuhi formalitas
hukum, apalagi sekedar memelihara ketertiban,oleh karena itu
putusan hakim berkaitan dengan Anak yang berkonflik dengan
hukum harus berfungsi mendorong perbaikan dalam diri anak dan
dapat mewujudkan kesejahteraan anak.
D. Keadilan Restoratif Dalam Peradilan Pidana Anak
1. Pengertian
Dalam Pasal 82 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak sudah diberikan alternatif pemberian
sanksi hukum bagi anak yaitu mengembalikan kepada orangtua,
wali, atau orang tua asuh/ menyerahkan kepada Negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau
menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau pembinaan dan
latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau
Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Hal inilah yang
seharusnya dipertimbangkan oleh hakim sebelum menjatuhkan
putusannya bagi anak terutama penjatuhan pidana penjara. Salah
satu usaha yang dilakukan untuk meminimalisasi penggunaan
pidana penjara bagi anak tersebut adalah dengan melontarkan ide
keadilan restoratif terhadap pelaku tindak pidana. Apakah tindakan
pemberian sanksi hukuman bagi anak yang terdapat pada Pasal 82
Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak
sudah mencerminkan upaya keadilan restoratif? Untuk itu penulis
akan memberikan beberapa pengertian tentang keadilan restoratif.
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang
merespon pengembangan sistem peradilan dengan menitik
beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang
dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem
peradilan pidana yang ada pada saat ini.41 Keadilan restoratif
adalah sebuah proses yang bertujuan untuk memberikan hak-hak
kepada korban kejahatan. Untuk mencapai tujuan tersebut
41 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, (Bandung: Reflika Editama,2007) hal.95.
dilakukan pertemuan antara korban dengan pelaku.
Persatuan Bangsa Bangsa (United Nation) mendefinisikan
keadilan restoratif sebagai “A way of responding to criminal
behavior by balancing the needs of the community, the victims and
the offenders”, yang terjemahan bebasnya adalah sebuah
penyelesaian terhadap pidana dengan cara menyelaraskan kembali
harmonisasi antara masyarakat, korban dan pelaku.
Usaha ini dapat dilakukan dengan cara musyawarah pemulihan
dengan melibatkan korban dan pelaku tindak pidana anak, beserta
keluarganya serta peran masyarakat. Namun yang terpenting
adalah anak yang berkonflik dengan hukum ini dapat belajar
langsung mengenai hubungan yang nyata antara perbuatannya
dengan reaksi sosial yang timbul akibat perbuatannya tersebut.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk dapat
menerapkan ide keadilan restoratif ini, yaitu:42
a. Adanya pengakuan bersalah dari anak pelaku tindak pidana;
b. Persetujuan dari korban untuk melakukan keadilan restoratif;
c. Adanya persetujuan dari kepolisian yang mempunyai
wewenang diskresi atau kejaksaan yang mempunyai
wewenang oportunitas (wewenang untuk melanjutkan perkara
yang dikirim oleh kepolisian atau tidak);
42
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama,2008), hal.107.
d. Adanya dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan
keadilan restoratif.
Di Indonesia pengembangan konsep keadilan restoratif
merupakan sesuatu hal yang baru, dalam peradilan anak, keadilan
restoratif merupakan suatu proses pengalihan dari proses pidana
formal ke informal, sebagai alternatif terbaik penanganan terhadap
yang berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak di
masa yang akan datang . Tindak pidana khususnya tindak pidana
yang dilakukan oleh anak, dilihat sebagai suatu pelanggaran
terhadap manusia dan hubungan antar manusia, dimana
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan
masyarakat dalam mencari solusi perbaikan, rekonsiliasi dan
menentramkan hati.
Keadilan restoratif merupakan upaya untuk mendukung dan
melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (3)
Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yaitu bahwa : “Penangkapan, penahanan atau tindak pidana
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang
berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Pengadilan Negeri ibaratnya adalah muara, yang menerima dan
mengadili perkara-perkara yang dilimpahkan dari Kejaksaan
Negeri. Pengadilan Negeri diharapkan dapat mengadili perkara
dengan seadil-adilnya.
Dalam melaksanakan perintah undang-undang, menjatuhkan
pidana penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum
remedium), untuk itu maka putusan yang terbaik berupa tindakan
untuk mengembalikan terdakwa anak kepada orang tuanya untuk
dididik dan dibina sebagaimana mestinya, seharusnya didukung
penuh. Demi kepentingan anak, sebaiknya untuk anak yang berada
dalam tahanan terlebih dahulu dialihkan atau bahkan ditangguhkan
penahanannya agar apabila jaksa penuntut umum ataupun Anak
tersebut mengajukan upaya hukum banding Anak tersebut tidak
perlu mendekam dalam tahanan/penjara sambil menunggu putusan
itu berkekuatan hukum tetap.
2. Penerapan Keadilan Restoratif
Pada kenyataannya adanya upaya pelaksanaan keadilan
restoratif tidak menjamin bahwa semua perkara anak harus
dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada orang
tua, karena menurut hakim tetap harus memperhatikan kriteria-
kriteria tertentu, antara lain :43
43
Ibid,hal. 110.
1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (first
offender)
2. Anak tersebut masih sekolah ;
3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana
kesusilaan yang serius, yang mengakibatkan hilangnya
nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup atau tindak
pidana yang mengganggu/merugikan kepentingan umum;
4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik
dan mengawasi anak tersebut secara lebih baik.
Beberapa macam pendekatan yang dipakai dalam menangani
perkara anak pelaku tindak pidana telah banyak diterapkan oleh
Negara-negara lain, karena pendekatan tersebut dianggap lebih
efektif. Di Negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam
pendekatan yang biasanya di gunakan untuk menangani anak
pelaku tindak pidana, yaitu :
1. Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan
anak;
2. Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum;
3. Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman;
4. Pendekatan hukuman yang murni yang bersifat retributif.
Di Negara maju seperti Jepang, Negara-negara Skandinavia
dan di beberapa negara Eropa, penuntut umum memiliki
‘’discretionary power of the prosecutor”, yaitu kewenangan untuk
melakukan deponeer perkara anak, tidak untuk kepentingan umum
melainkan untuk kepentingan si anak sendiri berdasarkan faktor-
faktor psikologis, kriminologis dan edukatif. Wewenang inilah yang
belum dimiliki oleh penuntut umum di Indonesia. Perlindungan bagi
pelaku tindak pidana khususnya anak semestinya harus dibedakan
perlakuannya dari pada pelaku tindak pidana dewasa. Keadilan
restoratif pada tujuannya ingin mengembalikan kondisi masyarakat
menjadi lebih baik dengan melibatkan semua unsur yang terlibat di
dalamnya.
Menurut Howard Zehr “Crimes is a violation of people and
relationships” (tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap
manusia dan relasi antar manusia). Tindak pidana menciptakan
suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam
mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan
hati.
Berdasarkan hal tersebut maka konsep yang digunakan untuk
menangani anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan
dengan metode pendekatan yang murni mengedepankan
kesejahteraan anak dan pendekatan intervensi hukum. Maka model
penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut keadilan
restoratif saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelaku
tindak pidana anak.
Keadilan restoratif berlandaskan pada prinsip due process,
yang merupakan eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan
kesejahteraan dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati
hak-hak hukum tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan
korban. Sasaran Peradilan Restoratif adalah mengharapkan
berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis
penjara serta menghapuskan stigma pada diri anak dan
mengembalikan anak menjadi manusia yang normal sehingga
dapat berguna dikemudian hari.
Proses restorative justice merupakan proses keadilan yang
sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang
benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali
tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang
penuh dengan pertimbangan dalam menangani kejahatan dan
menghindar terjadinya stigmatisasi.
Program diversi dapat menjadi bentuk restorative justice jika :
1. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
2. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti
kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si
korban.
3. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam
proses
4. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat
mempertahankan hubungan dengan keluarga.
5. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan
dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Polisi, Penuntut Umum atau Badan-badan lain yang menangani
perkara remaja akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-
perkara demikian menurut kebijaksanaan mereka, tanpa
menggunakan pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan
kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum
masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung di dalam peraturan-peraturan ini.
E. Landasan Teori
1. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut
dengan toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang
menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dapat
dipertanggungjawabkan atas suatau tindakan pidana yang terjadi
atau tidak.Untuk dapat memidana seorang pelaku maka
diharuskan tindak pidana yang dilakukannya telah memenuhi
unsur delik yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat
dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut apabila
tindakan tersbut melawan hukum serta tidak adanya alasan
pembenar atau eniadaan sifat melawan hukum untuk tindak
pidana yang telah dilakukannya.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya
yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada
pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan
memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.
Dilihat dari sudut pandang terjadinya suatu tindakan terlarang
yang dirumuskan, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas
tindak pidana yang ia lakukan apabila tindakan tersebut bersifat
melawan hukum.
Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yakni :
1. Kemampuan bertanggung jawab
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
petindak jika telah melakukan suatu tindak pidana dan
memenuhi unsur yang telah dirumuskan dalam undang-
undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
terlarang, seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas
tindakannya apabila tindakannya tersebut bersifat melawan
hukum serta tidak adanya peniadaan sifat melawan hukum
atau alasan pembenar. Dilhat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawab pidanakan.
Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab bila mana ;
1) Keadaan jiwanya
a) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau
sementara (temporair);
b) Tidak cacat dalam pertumbuhan;
c) Tidak terganggu karena hipnotis, amarah yang
meluap, mengigau karena demam dan lain
sejenisnya. Dalam kata lain, seseorang itu harus
dalam keadaan sadar.
2) Kemampuan jiwanya
a) Dapat menginsyafi hakikat dari kehendaknya;
b) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan
tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;
c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan
tersebut.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa kemampuan
bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan
jiwa (geestelijke vermogens) dan bukan kepada keadaan
kemampuan dan kemampuan berpikir (versanddelijke
vermodegens) dari seseorang walaupun dalam istilah yang
resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke
vermogens sengaja dgunakan istilah “keadaan dan
kemampuan jiwa seseorang”. Pertanggungjawaban pidana
disebut sebagai toereken barheid dengan maksud untuk
menentukan dapat atau tidaknya seseorang tersangka atau
terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana
yang terjadi. Petindak di sini adalah orang, bukan makhluk lain.
2. Kesalahan
Kesalahan dianggap ada apabila dengan sengaja atau karena
kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat
atau keadaan yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan
dengan kemampuan bertanggungjawab. Menurut Molejatno,
dalam hukum pidana kesalahan dan kelalaian seseorang dapat
diukur dengan kemampuan seseorang bertanggungjawab
apabila tindakannya itu memenuhi empat unsur, yakni:
a) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
b) Di atas umur tertentu sehingga mampu bertanggungjawab;
c) Memiliki suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan
(dolus) dan kealpaan atau kelalaian (culpa);
d) Tidak adanya alasan pemaaf;
Kesalahan ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yakni
melakukan sesuatu yang seharsnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang. Menurut
ketentuan yang diatur dalam hukum pidana maka bentuk-bentuk
kesalahan terdiri dari :
1) Kesengajaan (opzet)
Kebanyakan tindak pidana memiiki unsur kesengajaan atau
opzet, bukan unsur culpa.Kesengajaan yang dimaksud
harus memenuhi tiga unsur yakni perbuatan yang dilarang,
akibat yang menajdi pokok alasan diadakan larangan itu,
dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Selain itu,
kesengajaan terbagi menjadi tiga bagian, yakni :
(1) Sengaja sebagai niat (oogmert)
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan
si pelaku jelas dapat
dipertanggungjawabkan.Oleh karena itu, apabila
kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak
pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si
pelaku pantas dikenakan hukum pidana ini lebih
nampak apabila dikemukakan. Dengan adanya
kesengajaan yang bersifat tujuan ini maka dapat
disimpulkan bahwa si pelaku benar-benar
menghendaki capaian akibat yang menjadi pokok
alasan diadakannya ancaman dari hukum pidana
(constitutief gevolg).
(2) Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan
(zekerheidsbewustzijn).
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku
dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk
mencapai akibat yang menjadi dasar delik
walalupun ia tahu benar bahwa akibat pasti akan
mengikuti perbuatannya itu. Jika ini terjadi, maka
teori kehendak (willstheorie) menganggap akibat
tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini
juga ada kesengajaan menurut teori bayangan
(voorstelingtheorie). Keadaan tersebut sama
dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk)
karena dalam keduanya tentang akibat tidak
dapat dikatakan ada kehendak di pelaku,
melainkan hanya gambaran dalam gagasan
pelaku, bahwa akibat pasti akan terjadi, maka kini
juga ada kesengajaan.
(3) Sengaja sadar akan kemungkinan (dlous
eventualis/mogelijkeheidsbewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-
terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian
akan terjadinya akibat yang bersangkutan,
melainkan hanya dibayangkan suatu
kemungkinan belaka akan akibat itu. Walaupun
belum ada persamaan pendapat di antara para
sarjana hukum Belanda, namun menurut Van
Hattum dan Hazewenkil Suringa, ada dua penulis
Belanda, yakni Van Dijk dan Pompe yang
menyatakan bahwa dengan hanya ada
keinsyafan, kemungkinan, tidak ada
kesengajaan, melainkan hanya mungkin ada
culpa atau kurang berhati-hati. Kalau masih
dapat dikatakan bahwa kesengajaan secara
keinsyafan kepastian praktis sama tahu hampir
sama dengan kesengajaan sebagai tujuan
(oogmerk), maka sudah pasti terang kesengajaan
secara keinsyafan kemungkinan tidaklah sama
dengan dua macam kesengajaan yang lain itu
melainkan hanya disamakan atau dianggap
seolah-olah sama.
2) Kealpaan (culpa)
Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang
timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku
yang telah ditentukan menurut undang-undang. Kelalaian
itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri. Kelalaian
menurut hukum pidana terbagi atas dua, yakni :
(1) Kealpaan perbuatan
Kealpaan perbuatan terjadi apabila hanya
dengan melakukan perbuatannya saja sudah
merupakan suatu peristiwa pidana. Oleh
karena itu, tidak perlu lagi melihat akibat yang
timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana
ketentuan Pasal 205 KUHP.
(2) Kealpaan akibat
Kealpaan akibat merupakan suatu peristiwa
pidana jika akibat dari kealpaan itu sendiri
sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh
hukum pidana. Misalnya cacat atau matinya
orang lain sebagaimaana yang diatur dalam
Pasal 359, 360, 361 KUHP.
Menurut D.S. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. P. H. Sutirius, skema
kelalaian atau culpa, yakni :
(1) Culpa Lata yang disadari (Alpa)
Kelalaian yang disadari contohnya antara lain
sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam),
tidak acuh. Sederhananya dapat dikatakan
bahwa culpa lata yang disadari adalah
keadaan ketika seseorang sadar akan risiko
dari suatu perbuatan namun berharap akibat
buruk dari dari perbuatannya itu tidak akan
terjadi.
(2) Culpa Lata yang tidak disadari (Lalai)
Kelalaian yang tidak disadari contohnya
antara lain kurang berpikir (onnadentkend),
lengah (onoplettend), di mana seseorang
seyogyanya harus sadar dengan risiko, tetapi
tidak demikian. Jadi, kelalaian yang disadari
terjadi apabila seseorang tidak melakukan
suatu perbuatan, namun ia sadar apabila tidak
melakukan suatu perbuatan tersebut maka
akan menimbukan akibat yang dilarang dalam
hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang
tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak
memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat
atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah
memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak
akan melakukannya.
3. Tidak adanya alasan pemaaf
Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh
kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Seseorang harus
menginsyafi hakikat dari suatu tindakan yang dilakukannya, dapat
mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan
apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jiak ia
menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk
hubungan itu adalah sengaja atau alpa. Perlu diperhatikan bahwa
untuk penentuan hal tersebut, bukan sebagai akibat atau
dorongan dari sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di
luar kehendaknya sama sekali. Roeslan Saleh menyatakan pula
bahwa:
Tiada terdapat alasan pemaaf, yaitu kemampuan
bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau
alpa, tiada terhapus kesalahannya atau tiada terdapat alasan
pemaaf adalah termasuk dalam pengertian kesalahan atau
schuld.
Pompe juga menyatakan bahwa :
Hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut
kehendak, kesalahan petindak adalah merupakan bagian dari
kehendak tersebut. Asas yang timbul daripadanya adalah “Tiada
pidana tanpa kesalahan yang diperintah.44
2. Teori Efektivitas Hukum
Hukum memiliki fungsi sebagai sarana social control yaitu
upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat,.
Hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan yang serasi
44
Adam Malik, Menuju Pelaksanaan Pancasila, Yayasan Idayu, 1979, Hlm 13
antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu,
hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social
engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana
pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam
mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang
tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.
Menurut Soerjono Soekanto derajat efektivitas hukum ditentukan
oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum termasuk para
penegak hukumnya sehingga dikenal asumsi bahwa taraf
kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu
sistem hukum.45 Berfungsinya hukum merupakan salah satu tanda
bahwa hukum tersebut mencapai tujuan hukum yakni berusaha
untuk mempertahankan dan melindungi masyrakat dalam
pergaulan hidup. Bronislav Malinoswki mengemukakan bahwa
teori efektivitas hukum dalam masyarakat dianalisa dan dibedakan
menjadi dua, yaitu: (1) masyarakat modern,(2) masyarakat primitif.
Masyarakat modern merupakan masyarakat yang
perekonomiannya berdasarkan pasar yang sangat luas,
spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih.
Dalam masyarakat modern hukum yang di buat ditegakkan oleh
pejabat yang berwenang.46 Efektivitas hukum menurut Clerence J
45
Soerjono Soekanto.1975. Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi. Bandung: Remaja Karya.. Hlm 7. 46
Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani.2013. Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi , Edisi Pertama, ctk Kesatu,. Jakarta: Rajawali Press. Hlm.375
Dias :
An effective legal sytem may be describe as one in which there exists a high degree of congruence between legal rule and human conduct. Thus andaeffective kegal sytem will be characterized by minimal disparyti betweentheformal legal system and the operative legal system is secured by:
1) The intelligibility of it legal system;
2) High level public knowlege of the conten of the legal rules
3) Efficient and effective mobilization of legal rules:
a) A commited administration and.
b) Citizen involvement and participation in the
mobilizationprocess
4) Dispute sattelment mechanisms that are both easily
accessibleto thepublic and effective in their resolution of
disputes and.
5) A widely shere perception by individuals of the
effectivenessof the legalrules and institutions.
Pendapat tersebut dijelaskan Clerence J Dias dalam Marcus
Priyo Guntarto sebagai berikut, terdapat 5 (lima) syarat bagi efektif
tidaknya satu sistem hukum meliputi:
1) Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap.
2) Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui
isi aturan-aturan yang bersangkutan.
3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum
dicapai dengan bantuan aparat administrasi yang menyadari
melibatkan dirinya kedalam usaha mobilisasi yang demikian,
dan para warga masyrakat yang terlibat dan merasa harus
berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum.
4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya
harus mudah dihubungi dan dimasukan oleh setiap warga
masyarakat, akan tetapi harus cukup efektif menyelesaikan
sengketa.
5) Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di
kalangan warga masyarakat yang beranggapan bahwa aturan-
atauran dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya
berdaya mampu efektif.
Dalam bukunya Achmad Ali yang dikutip oleh Marcus Priyo
Guntarto yang mengemukakan tentang keberlakuan hukum dapat
efektif apabila :
1. Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan orang yang menjadi
target;
2. Kejelasan dari rumusan subtansi aturan hukum, sehingga
mudah dipahami oleh orang yang menjadi target hukum;
3. Sosialisasi yang optimal kepada semua orang yang menjadi
target hukum.
4. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat
mengharuskan. Pada umumnya hukum prohibitur lebih mudah
dilaksanakan daripada hukum mandatur;
5. Sanksi yang akan diancam dalam undang-undang harus
dipadankan dengan sifat undang-undang yang dilanggar, suatu
sanksi yang tepat untuk tujuan tertentu, mungkin saja tidak tepat
untuk tujuan lain. Berat sanksi yang diancam harus proporsional
dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum
masalah kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah
hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam
mengukur efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hukum
ini.47 Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot
sebagaimana dikutip Felik adalah sebagai berikut: Hukum akan
mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat
mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat
menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum
dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan.
Wiiliam Chamblish dan Robert B seidman mengungkapkan
bahwa bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhi oleh all other
societal personal force(semua ketakutan dari individu masyarakat)
yang melingkupi seluruh prose.48 Studi efektivitas hukum
merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi
perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu
perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara
khusus terlihatjenjang antara hukum dalam tindakan (law in action)
dengan hukum dalam teori (law in theory)atau dengan kata lain
kegiatan ini akan memperlihatkan kaitannya antara law in the book
47
Soerjono Soekanto.1996. Sosiologi Suatu pengantar,. Bandung: Rajawali Press.Hlm 20. 48
Robert B seidman.1972. Law order and Power. Adition Publishing Company Wesley Readingmassachusett. Hlm 9-13
dan law in action.49 Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L
Tobing dkk, mengatakan bahwa dalam negara yang berdasarkan
hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum apabila didukung oeh
tiga pilar, yaitu:
a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat
diandalkan
b. Peraturan hukum yang jelas sistematis.
c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi.
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah
bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)
faktor,50 yaitu : Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
1. Faktor hukum, yakni aturan yang mengatur tingkah lauk
masyarakat.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
49
Soleman B Taneko. 1993. Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 47-48 50
Soerjono Soekanto.2008.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 8
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
3. Teori Hukum Progresif
Teori Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Profesor
Satjipto Rahardjo ini menegaskan bahwa hukum adalah untuk
manusia, dan bukan sebaliknya.
“Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan
juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita”
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran
hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk
manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi
penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani
manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan
merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu
hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada
kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif
menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum
yang Pro-rakyat.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali.
Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat
pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum
mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.
Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan
yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan
(changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi
penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk
menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan,
karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru
setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum
dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum
yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-
kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung
ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh
lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal
“dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara
yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh
karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar
dirinya.
Istilah penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo
merupakan pelaksanaan hukum secara konkret dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.51
51
Satjipto Rahardjo, Op.Cit,hal.181.
Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua) macam
tipe penegakan hukum progresif :
1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan
hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru
profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang
mendasari penegakan hukum progresif.
2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan
akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum
Indonesia.
F. Kerangka Pikir
Berbicara mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak
bisa dilepaskan dengan konsep keadilan restoratif, karena anak yang
merupakan penerus bangsa di kemudian hari diberikan suatu
pelindungan khusus dikerenakan anak masih memiliki pola piker dan
tingkah laku yang labil. Tingginya tingkat kejahatan yang dilakukan oleh
anak saat sekarang ini menjadi suatu indikator dari tujuan pemidanaan
terhadap anak berkonflik dengan hukum itu sendiri. Dimana saat kita
berbicara mengenai tujuan pemidanaan terhadap anak apakah tujuan
pemidanaan anak tersebut telah mewujudkan keseimbangan
kepentingan bagi publik, korban, ataupun si anak yang bekonflik dengan
hukum itu sendiri. Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang
merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum
pidana. Kita telah mengetahui, bahwa sifat dari hukum ialah memaksa
dan dapat dipaksakan, dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya,
diturutnya peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si perusak
memperbaiki keadaan yang dirusakkannya atau mengganti kerugian
yang disebabkannya. Pokoknya untuk menjaga dan memperbaiki
keseimbangan atau keadaan semula.
Tujuan pemidanaan erat kaitannya dengan penegakan hukum, yang
mana penegakan hukum dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum,
yaitu kepolisian, jaksa, dan hakim. Hakim dalam menjatuhkan
putusannya, terutama dalam perkara anak yang berkonflik dengan
hukum selain berpedoman berdasarkan Pasal 183 KUHAP, Pasal 184
Ayat (1) KUHAP, dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dan melihat dari fakta-fakta yang
terungkap di persidangan pastinya juga mempertimbangkan aspek-aspek
lainnya dalam menjatuhkan putusannya seperti fakta persidangan, usia,
pengulangan tindak pidana, berat atau ringannya ancaman pidana yang
dilakukan oleh Anak, serta kembali lagi kepada tujuan dan manfaat
pemidanaan terhadap Anak tersebut.
Di Indonesia, aturan tentang proses penyelesaian perkara anak
yang berkonflik dengan hukum sudah diatur dalam Undang-undang
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meskipun
demikian, dalam praktiknya banyak terjadi fenomena peningkatan kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh anak setelah diberlakukannya
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap suatu kasus yang dilakukan oleh Anak dan dijatuhi putusan
berupa tindakan terhadapnya.
Penulis akan mencoba mengkaji dan mengidentifikasi dua variabel
utama (Independent Variabel) dalam penelitian ini yakni nilai keadilan
restoratif yang terakomodir dalam sistem peradilan pidana anak menurut
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak memiliki indikator berupa terlaksananya cita-cita hukum progresif.
Independent variabel selanjutnya adalah pertimbangan apa yang
digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan
terhadap kasus kenakalan anak yang berkaitan dengan struktur hukum
dan faktor penegak hukumnya.
Dalam penelitian ini, penulis juga akan mencoba mengkaji suatu
kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Anak yang mana penjatuhan
putusan hakim berupa hukuman tindakan. Penulis tertarik untuk mengkaji
bagaimana hakim memperlakukan Keadilan Restoratif dalam perkara
yang dilakukan anak pelaku pengrusakan kantor DPRD Kabupaten
Gowa (Studi Kasus Perkara No. 14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM) apakah
putusan tersebut sudah dapat memenuhi dari tujuan hukum dan
kepentingan si pelaku Anak .
Sedangkan variabel terikat (Dependent Variabel) dalam penelitian
ini adalah terwujudnya tujuan pemidanaan , tujuan dari keadilan restoratif
dan keseimbangan kepentingan bagi publik, korban, dan pelaku anak itu
sendiri.
G. Bagan Kerangka Pikir
KEADILAN RESTORATIF DALAM PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Nilai Keadilan Restoratif Dalam UU. No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak : 1. Diversi 2. Tujuan Pemidanaan Anak 3. Pemulihan Korban 4. Jenis-jenis sanksi:
a. Pidana Pokok: i. Pidana Peringatan ii. Pidana Dengan Syarat iii. Pelatihan Kerja iv. Pembinaan Dalam
Lembaga v. Penjara
b. Pidana Tambahan 5. Tindakan
Pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan putusan sanksi tindakan terhadap Anak : 1. Fakta Persidangan 2. Usia 3. Berat/Ringannya Tindak
Pidana 4. Pengulangan Pidana 5. Tujuan & Manfaat
Pemidanaan 6. Kepentingan Terbaik Bagi
Anak
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pidana Anak No. 14/Pid.Sus.Anak/2016/ PN.SGM : 1. Kasuistis 2. Pertimbangan Yuridis 3. Pertimbangan Sosiologis 4. Laporan Bapas 5. Kepentingan terbaik bagi
anak
TERWUJUDNYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
H. Definisi Operasional
1 Keadilan Restoratif adalah sebuah proses dimana semua pihak
yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu
bersama untuk menyelesaikan secara bersama bagaimana
menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan
masa depan.
2 Upaya Restoratif adalah upaya yang menggunakan konsep
keadilan restorative dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut
yaitu kesepakatan antara para pihak yang terlibat.
3 Peradilan ialah pemutusan perselisihan oleh suatu instansi yang
tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun merupakan
bagian dari pihak yang berselisih, tapi berdiri di atas perkara,
sedangkan hakim merupakan substansi aparat dan tugas
pokoknya adalah menerapkan suatu pola yang jadi pokok
perselisihan di bawah suatu peraturan umum.
4 Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Dalam hal peradilan
anakdikarenakan pelaku tundak pidana (pelanggar) adalah anak.
5 Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan
bertanggungjawab seseorang dalam hal ini berhubungan dengan
kesalahan terhadap tindak pidana yang dilakukannya, tegasnya
yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang
dilakukannya.
6 Perlindungan hukum adalah keberhasilan penggunaan hukum,
dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum
sesuai dengan tujuan dibentuknya hukum.
7 Kemampuan Bertanggung jawab adalah kemampuan seseorang
untuk menanggung segala akibat dari suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan.
8 Kesalahan adalah bentuk kesengajaan atau karena kelalaian
melakukan perbuatan yang menimbulkan dasar untuk
pertanggungjawaban pidana.
9 Tidak adanya alasan pemaaf adalah ketiadaan sebagai dasar
untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaka
sehingga tetap dianggap ada.
10 Sanksi adalah akibat yang harus diterima, dijalankan dan atau
sebagai konsekuensi dari suatu perbuatan pidana yang telah
dilakukan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian tesis ini, maka bentuk penelitian tesis ini adalah berbentuk
penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang objek
kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan
penerapannya pada peristiwa hukum.
Penelitian ini menentukan pada segi-segi yuridis dan melihat pada
aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan sanksi
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dengan mencoba
menganalisa dari segi kebijakan hukum pidananya serta dari
implementasi/penerapannya.
B. Jenis dan Sumber Data
Oleh sebab pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan penelitian normatif dan empiris, maka penelusuran dan
pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan pencarian
bahan-bahan pendukung sebanyak mungkin baik dalam studi
kepustakaan maupun pada studi lapangan yang dilakukan. Mengingat
model penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan
penelitian lapangan (field research).
Adapun jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan jenis data sekunder. Data primer memiliki
kedudukan yang kuat dan tingkat validitasnya tak diragukan karena
menggunakan data langsung yang diperoleh dari berbagai pihak yang
memiliki keterkaitan dengan masalah yang diangkat. Data sekunder
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas meliputi data atau informasi,
menelaah dokumen, hasil penelitian sebelumnya, dan arsip yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Data primer diperoleh melalui cara interaksi langsung dengan pihak-
pihak terkait, baik melalui wawancara maupun dalam bentuk
pengamatan (observasi). Sementara penelusuran data sekunder
dilakukan dengan penelitian kepustakaan dengan menggunakan
berbagai literature guna mendapatkan landasan teori, baik berupa
kumpulan asas-asas hukum, norma-norma, kaidah-kaidah hukum,
pendapat-pendapat para pakar, doktrin-doktrin, hasil penelitian ilmiah,
sumber-sumber lainnya yang terkait dengan permasalahan yang akan
dibahas.
C. Lokasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian, agar lebih efektif penulis melakukan
penelitian lapangan dengan memilih lokasi penelitian di, Kejaksaan
Negeri Gowa, dan Pengadilan Negeri Gowa dan BAPAS Kelas I
Makassar. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa
lembaga-lembaga tersebut merupakan tempat bernaungnya penegak
hukum yang menangani kasus terkait.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam
penelitian guna memperoleh data dan informasi adalah sebagai berikut :
1. Wawancara, yakni pengumpulan data yang dilakukan peneliti
secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan
yang relevan dengan penelitian kepada narasumber dari berbagai
instansi terkait. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi
dan sebagai referensi yang kritis dari para narasumber.
2. Studi dokumentasi, yakni teknik pengumpulan data dengan cara
mencatat dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian.
Kemudian dilakukan korelasi atau menghubungkan pendapat-
pendapat, opini-opini hukum dari pakar hukum serta peraturan
perundang-undangan.
E. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun data
sekunder dengan menggunakan teknik yang telah ditentukan
sebelumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif. Adapun pendekatan dalam melakukan analisis yaitu :
1. Pendekatan dalam penelitian normative menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang
merupakan pendekatan dengan menggunakan legislasi dan
regulasi. Hal ini bertujuan agar peneliti mengunakan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis.
2. Pendekatan dalam penelitian empiris menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu cara
analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara
tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Analisis pendekatan
kualitatif ini mementingkan kualitas data dan hanya data-data
yang berkualitas saja yang akan dianalisis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Nilai Keadilan Restoratif Yang Terakomodir Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Menurut Undang-undang No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
1. Diversi
a. Sejarah Diversi
Konsep diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosakata
pada laporan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi
Pidana Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya
konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya
peradilan anak sebelum abad ke-19, yaitu diversi dari system
peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan
peringatan. Praktiknya telah berjalan di Negara bagian Victoria
Australia pada tahun 1959 diikuti oleh Negara bagian Queensland
pada tahun 1963.
Secara gramatikal pengertian diversi adalah “pengalihan”.
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek
negative terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh
keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Lebih lanjut
menurut Chris Graveson, diversi adalah proses yang telah diakui
secara internasional sebagai cara terbaik dan paling baik dalam
menangani anak yang berkonflik dengan hukum. Intervensi
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sangat luas dan
beragam, tetapi lebih banyak menekankan pada penahanan dan
penghukuman tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut
atau betapa mudanya usia anak tersebut.
Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh
kewenangan aparat penegak hukum yang disebut diskresi. Diskresi
telah diketahui dengan baik oleh polisi, tetapi diversi merupakan
istilah di luar dari kepolisian yang digunakan untuk menyebut
tindakan di luar sistem peradilan yang diambil terhadap anak yang
melakukan pelanggaran hukum. Diskresi bukanlah konsep baru
bagi polisi. Ini adalah salah satu dari konsep yang paling mendasar
dalam kepolisian baik secara historis maupun di dalam masyarakat
modern. Polisi telah memparktikkan penggunaan diskresi sejak
pertama kali polisi ada atau sebelumnya oleh mereka yang dalam
komunitas atau masyarakat memiliki tanggung jawab serupa.
Diskresi didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dapat
melakukan pelanggaran ringan yang tidak memerlukan interensi
hukum dan/atau pengadilan.
Diskresi adalah prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum
yang berlaku umu, artinya mungkin saja secara formal tidak ada
dalam hukum tertulis tetapi telah dikembangkan menjadi praktik
yang dapat diterima. Sebagian sistem legal bahkan telah
menetapkan hukum tertulis mengenai apa yang dapat dan apa
yang tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu dalam penggunaan diskresi dan bagaimana seharusna
diskresi diterapkan.
Hal serupa yang dikatakan oleh Loraine Gelsthrope, diskresi
adalah wewenang aparat penegak hukum yang menangani kasus
tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau
menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan
kebijakan yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil oleh aparat
penegak hukum dalam melaksanakan diskresi menimbulkan
kontroversi karena pengambilan kebijakan penghukuman mengikuti
sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu
pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya
sehingga hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam hal
keadilan terhadap masyarakat.
Apabila kita melihat tujuannya, diversi tidaklah jauh berbeda
dari diskresi, yaitu menangani pelanggaran hukum di luar
pengadilan atau sistem peradilan pidana yang formal. Diversi dan
diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya dapat
digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana
anak. Dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana, Diversi diatur di dalam Bab II dari Pasal 6
sampai dengan Pasal 15. Dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-undang
Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana formal ke proses di luar pidana dengan atau tanpa
syarat.
Filosofi yang mendasari dalam Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak adalah karena Anak belum dapat
memahami apa yang dilakukannya serta mengedepankan
kepentingan terbaik bagi Anak (The best interest for the child) dan
sesuai Konvensi Hak Anak Tahun 1990 yang diratifikasi oleh
Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 menyatakan bahwa
pidana merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) karena anak
adalah aset bangsa dan generasi penerus.
Diversi juga mempertimbangkan kepentingan korban,
kepatutan di dalam masyarakat, usia anak, dan pertimbangan pihak
lain dalam hal ini Balai Pemasyarakatan. Keputusan diversi dapat
berupa penggantian ganti rugi, penyerahan kembali ke orang tua,
kerja sosial, dan pelayanan masyarakat. Anak dapat memiliki
kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pemulihan secara
psikologis dan pembauran lagi di dalam masyarakat lebih mudah
dibandingkan apabila Anak dipenjara,hal ini terkait dengan stigama
penjahat oleh masyarakat.
b. Tujuan Diversi
Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana, diversi memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
c. Syarat Diversi
Diversi dapat dilakukan apabila :
a. Tindak pidana yang dilakukan oleh Anak usia 12 tahun ke
atas yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun (Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11
tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana);
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 Ayat
(2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana);
c. Mendapatkan persetujuan korban, dan/atau keluarga Anak
korban, kecuali untuk :
1. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;
2. Tindak pidana ringan;
3. Tindak pidana tanpa korban;
4. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah
minimum propinsi setempat.52
d. Kesediaan Anak dan keluarganya.
d. Pertimbangan Dalam Diversi
Berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana, penyidik, penuntut umum, dan
hakim dalam melakukan diversi mempertimbangkan :
a. Kategori tindak pidana;
b. Umur anak;
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 8 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana, penyidik, penuntut umum,
dan hakim dalam melakukan diversi mempertimbangkan :
a. Kepentingan korban
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab;
c. Penghindaran stigma negaatif;
d. Penghindaran pembalasan;
e. Keharmonisan masyarakat; dan
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum
e. Prosedur Dalam Diversi
a. Diversi di tingkat penyidikan :
52
Pasal 9 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.
1. Setelah menerima laporan polisi, penyidik wajib bersurat
untuk meminta saran tertulis dari petugas pembimbing
kemasyarakatan (PK Bapas);
2. Hasil penelitian kemasyarakatan wajib diserahkan oleh
Bapas kepada penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24
jam setelah permintaan penyidik diterima;
3. Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai;
4. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk untuk
dilakukan diversi, polisi, PK Bapas, dan Peksos memulai
proses musyawarah penyelesaian perkara dengan
melibatkan pihak terkait;
5. Proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30
hari setelah dimulainya diversi.
Apabila diversi berhasil, hasil kesepakatan dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diversi yang dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak kesepakatan dicapai disampaiakan oleh atasan pejabat
yang bertanggung jawab di setiap tingkatan pemeriksaan ke
pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penetapan
tersebut disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama3
(tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut
penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan.
Apabila diversi gagal, penyidik membuat BA. Diversi dan wajib
melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut
umum dengan melampirkan BA. Diversi dan laporan penelitian
masarakat dari petugas PK Bapas.
b. Diversi di tingkat penuntutan :
1. Setelah menerima berkas dari polisi, jaksa penuntut
umum wajib memperhatikan berkas perkara dari
kepolisisan dan hasil litmas yang telah dibuat oleh Bapas
serta kendala yang menghambat prose diversi pada
tingkat penyidikan;
2. Penuntut umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas dari
penyidik;
3. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan
diversi, penuntut umum, PK Bapas dan Peksos memulai
proses diversi penyelesaian perkara dengan melibatkan
pihak terkait;
4. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari;
5. Penuntut umum membuat BA proses diversi.
Apabila diversi berhasil, hasil kesepakatan dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diversi yang dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak kesepakatan dicapai disampaiakan oleh atasan pejabat
yang bertanggung jawab di setiap tingkatan pemeriksaan ke
pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penetapan
tersebut disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama3
(tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut
penuntut umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Apabila diversi gagal, penuntut umum melimpahkan perkara ke
pengadilan umum dengan melampirkan BA. Diversi dan laporan
penelitian masarakat dari petugas PK Bapas.
c. Diversi di tingkat pengadilan :
1. Setelah menerima berkas dari jaksa penuntut umum,
ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis
hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga)
hari setelah menerima berkas perkara;
2. Hakim wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua
Pengadilan Negeri sebagai hakim;
3. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan
diversi, hakim, PK Bapas dan Peksos memulai proses
diversi penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak
terkait;
4. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari;
5. Proses diversi dapat dilaksanakan di ruangan mediasi
pengadilan negeri;
6. Hakim membuat BA proses diversi.
Apabila diversi berhasil, hasil kesepakatan dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diversi yang dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak kesepakatan dicapai disampaiakan oleh atasan pejabat
yang bertanggung jawab di setiap tingkatan pemeriksaan ke
pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penetapan
tersebut disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan, dan
hakim yang menangani perkara dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut hakim
menerbitkan penetapan penghentian persidangan.
Apabila diversi gagal, penuntut umum melimpahkan perkara ke
pengadilan umum dengan melampirkan BA. Diversi dan laporan
penelitian masarakat dari petugas PK Bapas.
2. Tujuan Pemidanaan Anak.
Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan
pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang
dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh melalui pembebanan
penderitaan itu sendiri, selain itu keadilan dapat dicapai apabila
tujuan yang theological dilakukan dengan menggunakan ukuran
prinsip-prinsip keadilan, misalnya penderitaan pidana tersebut tidak
boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh Anak sebagai
pelaku tindak pidana. Oleh karena itu suatu tujuan pemidanaan
sangatlah penting sebagai pedoman dalam memberikan dan
menjatuhkan pidana. 53
Teori relatif (deterrence) memandang pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tindak pidana, tetapi
sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan.54 Dari teori ini muncul tujuan
pemidanaan sebagai sarana pencegahan. Berdasarkan teori ini,
hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan
dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat
sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang
secara ideal, selain dari itu tujuan hukuman adalah untuk
mencegah terjadinya kembali kejahatan. Teori ini bertujuan
mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan
untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang
berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri
tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana
terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi
53
Muladi,2002,Lembaga Pidana Bersyarat,Alumni:Bandung. 54
http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-pemidanaan.html; diakses tanggal 20 Desember 2017.
kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat
kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.
Hal ini tentu berbeda dengan teori absolut (teori retributif) yang
memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan
karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya.
Menurut teori absolut (teori retributif), dasar hukuman harus dicari
dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan
penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya si pelaku harus
diberi penderitaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang digunakan di Indonesia masih menganut teori absolut (teori
retrbutif). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melihat
pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat ataupun tidak untuk memperbaiki,
mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar hukum.
Tujuan pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 11 tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi usaha
prevensi, koreksi kedamaian dalam masyarakat, dan pembebasan
stigma penjahat terhadap Anak di masyarakat yang nantinya
membelenggu Anak selaku narapidana.
Konsensus tujuan pemidanaan merupakan tanggung jawab
bersama bagi kita untuk memikirkan dan merealisasikan khususnya
bagi aparat pelaksana dan penegak hukum. Pemidanaan terhadap
Anak merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian
secara terus menerus dan seksama terhadap sasaran yang hendak
dicapai dan konsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan tujuan pemidanaan.
Anak yang merupakan bagian warga Negara yang harus
dilindungi karena mereka merupakan generasi bangsa yang di
masa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa
Indonesia. Pendekatan keadilan restoratif dalam Undang-undang
Peradilan Pidana Anak memiliki tujuan selain memfokuskan kepada
kebutuhan korban maupun Anak untuk menghindari kejahatan
lainnya pada masa datang.
Sebagaimana yang diatur dalam Bab V pada Undang-undang
No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak
hanya dapat dijatuhi pidana berdasarkan Undang-undang tersebut,
tidak menggunakan jenis-jenis pidana yang di atur dalam Pasal 10
KUHP. Bahwa dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, pidana penjara merupakan pilihan
terakhir, dan bagi Anak yang belum berusia 14 (empat belas)
tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Selain sanksi-sanksi pidana yang berbeda dengan KUHP dan
sanksi-sanksi pidana yang diatur di Undang-undang No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih kepada
mendidik dan memperbaiki pelaku tindak pidana, diaturnya
mengenai penjatuhan tindakan terhadap Anak merupakan
perubahan besar dalam hukum pidana Indonesia, yang tadinya
cenderung mengikuti KUHP, Undang-undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih ke arah perluasan dari
sanksi pidana itu sendiri.
Dalam Pasal 44 Ayat (6) Undang-undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak menyatakan penahanan terhadap Anak
dilaksanakan di tempat khusus untuk Anak di lingkungan Rumah
Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat
tertentu. Hal tersebut dapat dikhawatirkan akan mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental Anak yang
masih lemah dan rentan. Selain itu juga menimbulkan stigma buruk
terhadap Anak tersebut. Sedangkan dalam Undang-undang No. 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penahanan
Anak ditempatkan pada panti-panti sosial yang disediakan oleh
pemerintah yang dikelola melalui Departemen Sosial. Dalam Pasal
84 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak telah mengatur mengenai pelaksanaan dimana telah
telah diatur secara khusus yaitu dilakukan di LPAS (Lembaga
Penempatan Anak Sementara) yaitu tempat sementara bagi Anak
selama proses peradilan berlangsung. Tujuan penahanan Anak
melalui panti-panti sosial yang diatur dalam Undang-undang No. 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah untuk
mengadakan pembinaan terhadap Anak tersebut sehingga menjadi
Anak yang baik di masa yang akan datang.
3. Pemulihan Korban
Kepentingan korban diwakili oleh Negara melalui aparat
penegak hukum dengan cara memidanakan pelaku, sedangkan
korban hanya bisa menunggu dan menyaksikan apa yang
dilakukan Negara. Terkadang putusan hakim dapat memuaskan
bagi korban, namun tidak jarang justru membuat korban kecewa,
karena putusannya jauh dari rasa keadilan yang diidam-idamkan
korban dan masyarakat. Kemudian muncul paradigma keadilan
restoratif yang menawarkan solusi berbeda. Proses penyelesaian
perkara pidana dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan
kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban.
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana wajib mengutamakan pendekatan keadilan
restoratif yang mana memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai
berikut :
a. Melibatkan anggota masyarakat dalam upaya pemulihan;
b. Berorientasi pada korban;
c. Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk
bertemu untuk mengurangi permusuhan dan kebencian;
d. Memberikan kesempatan pada pelaku untuk
mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus
bertanggung jawab;
e. Menekankan keadilan pada perbaikan atau pemulihan
keadaan.
Penyelesaian perkara tindak pidana dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan
pembalasan.
Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan
para pihak lebih banyak berperan mengatasi persoalannya.
Sedangkan aparat penegak hukum berperan sebagai fasilitator
dan mediator terhadap perkara pidana yang mengandung konflik
dengan tujuan mendamaikan kedua belah pihak. Putusan
pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi
kepada korban, dan penghukuman kepada pelaku. Dengan
demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata
pemidanaan tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan
korban.
Perlindungan atas kepentingan korban dalam konteks sistem
peradilan pidana menjadi penting sebab selain bertujuan untuk
mengendalikan suatu kejahatan, sistem peradilan pidana juga
semestinya memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan
hak-haknya seperti pemulihan atas suatu kejahatan. Dengan
melindungi kepentingan korban, sejalan dengan maksud dari teori
relatif dalam tujuan pemidanaan yaitu memulihkan kerugian yang
ditimbulkan oleh kejahatan.
Aparat penegak hukum sudah seharusnya perhatian terhadap
perlindungan korban. Maka sudah sepantasnya seorang hakim
dalam menjatuhkan suatu putusan tetap memperhatikan
perlindungan korban, salah satunya dengan mengabulkan
permohonan restitusi terhadap korban kejahatan. Hal demikian
menjadi sesuatu yang penting dalam perkembangan hukum pidana
nasional, sebab hakim berperan dalam membentuk hukum melalui
putusan pengadilan.
Perlu diketahui bahwa tugas penting dari hakim ialah
menyesuaikan Undang-undang dengan hal-hal nyata di
masyarakat. Apabila Undang-undang tidak dapat dijalankan
menurut arti katanya maka hakim harus menafsirkannya. Dengan
kata lain bila suatu ketentuan dalam Undang-undang tidak jelas,
maka hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat membuat
suatu keputusan yang adil.
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak mengatur hak-hak Anak, namun Undang-undang No.
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih
banyak mengatur mengenai hak-hak Anak sebagai pelaku tindak
pidana, yang terdapat dalam Pasal 3 s/d Pasal 88. Hak-hak anak
sebagai korban secara eksplisit hanya diatur dalam 2 (dua) pasal
saja, yaitu Pasal 90 dan Pasal 91 (hak yang diberikan berupa
upaya rehabilitasi sosial dan medis, jaminan keselamatan baik fisik,
mental, maupun sosial, kemudahan untuk mendapatkan informasi).
Berdasarkan uraian tersebut, menurut penulis sudah saatnya
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak untuk direvisi. Sebab sebagaimanapun korban
memiliki hak yang sama di depan hukum, terlebih anak sebagai
korban.
Kedudukan korban adalah haruslah seimbang dengan pelaku
ataupun saksi. Hukum pidana menjadi terlalu kuno jika terlalu
berorientasi kepada pelaku tindak pidana, sebab hukum pidana
harus mengikuti perkembangan dan dinamika hukum modern
sekarang. Sehingga kedepannya hak-hak korban tidak
termarginalkan lagi.
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 90 Ayat (2) Undang-
undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
“ketentuan hak anak korban dan anak saksi sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden), sampai
saat ini aturan tersebut belum dibuat oleh pemerintah, yang mana
dalam Undang-undang No, 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, dalam sanksi pidana tambahan nya mencantumkan
pembayaran ganti rugi, akan tetapi dalam Undang-undang No. 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mana
lebih memiliki pendekatan restoratif, sanksi pidana tambahan
tersebut dihilangkan, meskipun telah diaturnya tentang diversi
dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Hal yang lebih menarik adalah bahwa dalam hal terjadi suatu
tindak pidana dimana anak sebagai pelaku tindak pidana dan
korbannya adalah orang dewasa. Dalam hal diversi yang dilakukan
di penyidikan tidak berhasil sehingga proses dilanjutkan ke
penuntutan oleh penuntut umum. Maka terdapat beberapa hal yang
diupayakan oleh penuntut umum, yakni diversi jika pelaku adalah
Anak dan tindak pidana memenuhi ancaman hukuman kurang dari
tujuh tahun dan bukan merupakan suatu pengulangan tindak
pidana, juga penerapan Pasal 98 s/d Pasal 102 Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memuat tentang
kemungkinan penggabungan tuntutan pidana dengan tuntutan
restitusi atau ganti rugi keperdataan oleh korban kepada pelaku
tindak pidana. Namun berdasarkan wawancara penulis dengan
Anita Arsyad,SH.,MH selaku jaksa penuntut umum pada Kejaksaan
Negeri Gowa belum pernah sama sekali melakukan upaya
sebagaimana termuat dalam Pasal 98 KUHAP tersebut.55 Hal
tersebut seharusnya dapat dioptimalkan dengan berkomunikasi
lebih lanjut dengan pihak korban, karena keberadaan Pasal 98 s/d
102 KUHAP setidaknya dapat meringankan beban korban dengan
meminta penggabungan perkara tuntutan ganti rugi di dalam
tuntutan pidananya. Apalagi jika pelaku merupakan seorang anak
kemudian dilakukan diversi dan tetap tidak berhasil karena pelaku
enggan untuk memberikan ganti rugi atau restitusi, maka tidak
terdapat implikasi yuridisnya ketika restitusi itu tidak dibayarkan
kepada korban. Dengan mengoptimalkan penggunaan Pasal 98 s/d
Pasal 102 KUHAP, hakim akan memberikan putusan yang memiliki
implikasi langsung terhadap korban, tidak hanya putusan mengenai
penjatuhan pidana tetapi bisa juga mengabulkan tuntutan ganti rugi
yang diderita oleh korban tindak pidana. Sejalan dengan hal
tersebut, bahwa tidak dilakukan permohonan restitusi dalam
tuntutan jaksa penuntut umum dikarenakan tidak ada mekanisme
atau tata cara /petunjuk teknis pengajuan restitusi.
Dalam hal jika terjadi permohonan rehabilitasi terhadap Anak
korban tindak pidana, pihak Kejaksaan memberikan keterangan
terkait kendala yang dihadapi dalam hal rehabilitasi terhadap
korban, selain belum adanya rumah aman atau rumah singgah
55
Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Gowa, Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 18 Desember 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Gowa.
sementara, juga terkait program pembinaan atau rehabilitasi
terhadap anak korban tindak pidana masih banyak kendala.
4. Jenis-Jenis Sanksi
Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap Anak yang telah
melakukan tindak pidana antara lain terkandung di dalam Standard
Minimum Rule For Administration Of Juvenile (The Beijing Rules),
Un Rules For The Protection Of Juvenile Deprived Of Liberty dan
Convention On The Right Of The Child, yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990. Pidana terhadap Anak yang tertuang di dalam
dokumen-dokumen internasional ini dan keinginan agar penjara
sejauh mungkin tidak dijatuhkan khususnya terhadap Anak yang
telah dituangkan ke dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam hal pemidanaan Anak, perlu diketahui bahwa
perlindungan bagi Anak haruslah disimpan pada garis depan,
karena kepentingan terbaik bagi Anak adalah faktor terbesar dari
dasar pertimbangan bagi hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap
Anak. Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak telah melakukan penerapan asas “The Last
Resort” dalam penjatuhan sanksi oleh hakim terhadap Anak yang
melakukan tindak pidana. Selain penjara sebagai pilihan terakhir,
dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak telah terjadi perubahan paradigma dalam
penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain
didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan
lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan
perlindungan khusus kepada Anak serta memberikan perlindungan
khusus kepada Anak, yang dilakukan dengan tujuan agar dapat
terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan
kepentingan terbaik terhadap Anak.
a. Pidana Pokok
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak hakim dapat memutus berupa pidana
ataupun tindakan. Putusan yang berupa pidana antara lain :
i. Pidana Peringatan
Dalam Pasal 72 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak “pidana
peringatan merupakan pidana ringan yang tidak
mengakibatkan pembatasan kebebasan”. Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak tidak menjelaskan lebih jauh
tentang pidana peringatan, termasuk peringatan telah
dikategorikan sebagai pidana dan bukan sebagai
tindakan. Pidana peringatan tidak dapat dijatuhkan
kepada anak yang belum berusia 14 tahun.
ii. Pidana Dengan Syarat
Pidana dengan syarat pada dasarnya telah dikenal
dalam KUHP dengan istilah pidana percobaan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a sampai 14 f
KUHP. Pidana dengan syarat di atur dalam Pasal 73
butir 1-8 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pidana
dengan syarat hanya dapat dijatuhkan apabila hakim
menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 2 (dua)
tahun. Pidana dengan syarat memiliki 2 (dua) syarat
yaitu :
- Syarat umum : tidak akan melakukan tindak
pidana lagi selama menjalani masa pidana
dengan syarat;
- Syarat khusus : untuk melakukan atau tidak
melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam
putusan hakim. Syarat khusus harus tetap
memperhatikan kebebasan Anak. Dengan kata
lain, syarat khusus tidak boleh bertentangan
dengan kebebasan Anak termasuk pula
kebebasan beragama (Pasal 14 e KUHP)
iii. Pelatihan Kerja
Dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur bahwa pidana pelatihan kerja yang sesuai
dengan usia Anak. Lembaga yang dimaksud antara
lain : balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi
yang dilaksanakan oleh kementrian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan, pendidikan, atau social. Masa
pidana latihan kerja, paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun.
iv. Pembinaan Dalam Lembaga
Pidana pembinaan dalam lembaga dilakukan di
tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun
swasta. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
disebutkan bahwa pembinaan dalam lembaga
dilakukan oleh Lembaga Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial (LPKS).
v. Penjara
Pidana penjara merupakan alternative terakhir dari
pemidanaan Anak, dan hanya dijatuhkan dengan
syarat
a. Anak telah berusia 14 tahun;
b. Hanya dilakukan dalam hal Anak melakukan
tindak pidana berat atau tindak pidana yang
disertai kekerasan;
c. Keadaan atau perbuatan Anak akan
membahayakan masyarakat;
d. Maksimum penjara adalah ½ (satu per dua)
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa;
e. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak
diancam dengan maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan kepada Anak adalah 10 (sepuluh)
tahun;
f. Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku
terhadap Anak.
Pidana penjara terhadap Anak dilaksanakan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak mewajibkan dalam tenggang
waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang
diberlakukan, setiap lembaga pemasyarakatan anak
melakukann perubahan system menjadi LPKA.
Disamping itu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga
mewajibkan dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diberlakukan setiap provinsi wajib membangun LPKA.
b. Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah merupakan pidana yang merupakan
asesoris, artinya melekat pada pidana pokok dan tidak dapat
dijatuhkan secara tersendiri. Pidana tambahan yang dikenal dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana dan pemenuhan kewajiban adat.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak tidak menjelaskan kedua pidana tambahan
ini, namun dalam penjelasan pasal 71 huruf b Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “kewajiban adat”,
yaitu denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma
adat setempat dengan tetap menghormati harkat dan martabat
serta Anak dan tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental
Anak.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas khususnya
berkaitan dengan “denda” serta dengan memperhatikan Pasal 71
Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak maka bermakna bahwa denda tidak dapat
dikenakan terhadap Anak, dengan demikian yang dimaksud
dengan kewajiban adat hanyalah berupa tindakan. Penting untuk
menjadi perhatian kita bahwa tindakan adat yang dibenarkan untuk
dapat diterapkan terhadap Anak hanyalah tindakan yang
menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan
kesehatan fisik dan mental Anak. Secara umum tindakan tersebut
harus selaras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
konvensi Anak maupun Undang-undang Perlindungan Anak.
5. Jenis Tindakan Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, disamping sanksi pidana, dikenal pula
penjatuhan sanksi tindakan terhadap seseorang yang terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah dengan tujuan memberikan
pendidikan dan pembinaan serta tindakan tertentu lainnya. Jenis-
jenis tindakan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :
a. Pengembalian kepada orang tua/wali;
b. Penyerahan kepada seseorang;
c. Perawatan di Rumah Sakit Jiwa;
d. Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
(LPKS);
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f. Pencabutan Surat Izin Mengemudi;
g. Perbaikan akibat tindak pidana.
Putusan hakim yang berupa tindakan dapat dijatuhkan apabila:
a. Tindak pidana yang terbukti dilakukan Anak (12-18 tahun)
diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 (tujuh) tahun;
b. Maksimum masa tindakan dalam kaitan dengan perawatan di
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS),
kewajiban mengikuti pendidikan formal, pencabutan Surat Izin
Mengemudi adalah 1 satu) tahun.
Berkaitan dengan pelaksanaan tindakan dalam Pasal 83
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak hanyalah secara terbatas menyebutkan tentang tujuan
dari tindakan penyerahan Anak kepada seseorang yang
dimaksudkan untuk kepentingan Anak yang bersangkutan, dan
tujuan dari tindakan perawatan terhadap Anak yang dimaksudkan
untuk membantu orang tua/wali dalam mendidik dan memberikan
pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan.
6. Jumlah Putusan Anak Di Pengadilan Negeri Sungguminasa
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis sejak mulai
diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, jumlah perkara yang diterima oleh
Pengadilan Negeri Sungguminasa sejak tahun 2015 sampai
dengan 2017 sebanyak 49 dengan beragam putusan yang
dijatuhkan oleh hakim. Dari 49 jenis perkara tersebut jenis pidana
yang dijatuhkan paling banyak adalah pidana penjara.
Mengenai diversi yang telah diatur oleh Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat
beberapa diversi yang berhasil dan telah dikeluarkan penetapan
oleh ketua Pengadilan Negeri.
Tabel.1
PUTUSAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SUNGGUMINASA
TAHUN 2015 s/d tahun 2017
No. Jenis Sanksi Pidana Tahun 2015
Tahun 2016
Tahun 2017
Ket.
1 Pidana Peringatan - - - 2 Pidana dengan syarat 6 1 1 3 Pembinaan dalam
lembaga - - -
4 Penjara 13 3 1 5 Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
- - -
6 Pemenuhan Kewajiban Adat
- - -
Jumlah 19 4 2 Sumber Data : Bagian Pidana Pengadilan Negeri Sungguminasa.
Tabel.2
PUTUSAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SUNGGUMINASA
TAHUN 2015 s/d tahun 2017
No. Jenis Sanksi Tindakan Tahun 2015
Tahun 2016
Tahun 2017
Ket.
1 Penyerahan kepada orang tua/wali
1 1 1
2 Penyerahan kepada seseorang
- - -
3 Perawatan Di Rumah Sakit Jiwa
- - -
4 Perawatan Di LPKS/LPKA
4 5 8
5 Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang dilakuan oleh pemerintah/badan swasta
- - -
6 Pencabutan SIM - - - 7 Perbaikan akibat
tindak pidana - - -
Jumlah 5 6 9 Sumber Data : Bagian Pidana Pengadilan Negeri Sungguminasa.
Tabel.3
PUTUSAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SUNGGUMINASA
TAHUN 2015 s/d tahun 2017
No. Penetapan Tahun 2015
Tahun 2016
Tahun 2017
Ket.
1 Diversi 5 3 1 Sumber Data : Bagian Pidana Pengadilan Negeri Sungguminasa.
Dari data yang diperoleh penulis dari Pengadilan Negeri
Sungguminasa terlihat bahwa hakim masih menjatuhkan pidana
penjara terhadap Anak, akan tetapi sejak Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
diberlakukan, penjatuhan pidana penjara berkurang tiap tahunnya
dan jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak juga berkurang
setiap tahunnya sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penulis juga mendapatkan keterangan dari pegawai pada
bagian pidana di Pengadilan Negeri Sungguminasa bahwa setiap
bulannya setidaknya ada 1 (satu) permintaan penetapan hasil
kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri dari penyidik.
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Sanksi
Tindakan Terhadap Anak
Menurut Howard Zehr “Crimes is a violation of people and
relationships” (tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap
manusia dan relasi antar manusia). Tindak pidana menciptakan
suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam
mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan
hati.
Berdasarkan hal tersebut maka konsep yang digunakan untuk
menangani anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan
dengan metode pendekatan yang murni mengedepankan
kesejahteraan anak dan pendekatan intervensi hukum. Maka model
penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut keadilan
restoratif saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelaku
tindak pidana anak.
Keadilan restoratif berlandaskan pada prinsip due process,
yang merupakan eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan
kesejahteraan dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati
hak-hak hukum tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan
korban. Sasaran Peradilan Restoratif adalah mengharapkan
berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis
penjara serta menghapuskan stigma pada diri anak dan
mengembalikan anak menjadi manusia yang normal sehingga
dapat berguna dikemudian hari.
Proses keadilan restoratif merupakan proses keadilan yang
sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang
benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali
tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang
penuh dengan pertimbangan dalam menangani kejahatan dan
menghindar terjadinya stigmatisasi.
Berikut merupakan pertimbangan-pertimbangan hakim dalam
penjatuhan sanksi tindakan bagi Anak yang telah terbukti bersalah
di persidangan :
1. Fakta Persidangan.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagai penggantian dari Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dimaksudkan
untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan
hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih
panjang serta member kesempatan kepada Anak agar member
kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh
jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung
jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa,
dan Negara.
Penyusunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak bertujuan agar dapat terwujud
peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan
terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai
penerus bangsa.
Dalam penelitian ditemukan banyak hal yang menjadi suatu
pemikiran ketika melihat beberapa putusan yang didapat dari
Pengadilan Negeri Sungguminasa. Dari beberapa putusan yang
dikeluarkan oleh hakim mengenai perkara Anak yang melakukan
tindak pidana yang sama akan tetapi pidana yang dijatuhkan
berbeda.
Menurut Hakim Arman. S. Herman, SH,MH hakim pada
Pengadilan Negeri Sunggguminasa56, dalam menjatuhkan pidana
terhadap Anak harus dilakukan apabila kesalahan Anak terbukti di
depan persidangan dan tentu kesalahan sesuai yang termaktub
dalam dakwaan penuntut umum. Dalam menyatakan seorang Anak
bersalah membutuhkan alat bukti minimum yang sah dan dapat
meyakinkan hakim atas kesalahan yang dilakukan oleh Anak,
setelah itu maka Anak dapat dijatuhkan pidana. Di dalam
pelaksanaannya, baik hakim maupun jaksa mengemukakan faktor-
faktor yang menjadi pertimbangan dalam tuntutan dan penjatuhan
pidana yaitu hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Faktor
yang meringankan antara lain adalah Anak masih bersekolah,
mengakui perbuatannya dan berperilaku sopan. Faktor-faktor yang
memberatkan adalah Anak tidak mengakui perbuatannya,
mengganggu atau meresahkan masyarakat, merugikan Negara dan
pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak.
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam
menentukan putusan yang akan dijatuhkan kepada Anak. Hakim
harus dapat mengelola dan memproses data-data yang diperoleh
56
Wawancara penulis dengan Arman. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.
selama proses persidangan dalam hal ini bukti-bukti, keterangan
saksi, keterangan Anak, tuntutan jaksa penuntut umum,
pembelaan dari penasihat hukum Anak, serta laporan penelitian
pembimbing kemasyarakatan maupun muatan psikologis baik
hakim maupun Anak sehingga keputusan yang akan dijatuhkan
kepada terdakwa dapat didasari oleh tanggung jawab, keadilan,
kebijaksanaan, dan profesionalisme.
Hakim memutuskan menjatuhkan sanksi pidana terhadap
Anak juga mempertimbangkan rasa keadilan terhadap korban
yang telah menanggung akibat dari perbuatan Anak selain
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
tersebut di atas. Dalam menjatuhkan pidana terhadap Anak
bukanlah wujud pembalasan dendam kepada Anak tetapi untuk
mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan Anak adalah
melanggar suatu ketentuan Undang-undang, agar dikemudian hari
Anak bertanggung jawab pada perbuatannya serta kembali
menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri
sendiri, keluarga, dan lingkungannya.
Sedangkan dalam pertimbangan hakim menjatuhkan
tindakan terhadap Anak yang menyebutkan bahwa meskipun Anak
telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan penuntut umum, dimana seharusnya hukuman
kepada Anak diperberat namun mengingat Anak dan kasus
tersebut berada dalam sistem nilai peradilan Anak dimana di satu
sisi Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dimintai
pertanggungjawaban pidana, di sisi lain juga sebagai korban atau
objek dalam peradilan anak, maka tanpa bermaksud mengabaikan
keadaan korban akibat perbuatan pidana yang telah dilakukan
Anak, hakim berkesimpulan agar Anak dijatuhi tindakan.
2. Usia.
Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan Anak
yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan
berdasarkan perbedaan usia Anak, yaitu bagi Anak yang masih
berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya tindakan,
sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas)
tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi
tindakan dan pidana.
Merujuk pada Pasal 71 Ayat (4) Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
menyatakan agar pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang
melanggar harkat dan martabat Anak, Pasal 69 Ayat (2) Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang menyatakan Anak yang belum berusia 14 (empat
belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan dan asas sistem
peradilan anak diantaranya kepentingan terbaik bagi Anak dan
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dan i
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak serta mengingat Anak tersebut masih belum
memahami tentang apa yang telah dilakukannya, sehingga orang
tua sebagai orang terdekat Anak diharapkan ke depannya dapat
mendidik, membina, dan mengawasi Anak dengan lebih
bersungguh-sungguh lagi agar Anak yang lebih baik dalam segala
hal dan tidak melanggar hukum lagi.
Terlebih lagi apabila Anak masih mengenyam pendidikan di
bangku sekolah, maka hakim memprioritaskan hal tersebut dan
mempertimbangkan agar Anak yang masih dalam usia sekolah
untuk dijatuhi pidana tindakan, bukan penjara.
3. Berat Atau Ringannya Tindak Pidana.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, hakim juga menilai dan
memutus perkara mempertimbangkan faktor apakah tindak pidana
yang dilakukan tersebut merugikan orang lain atau tidak, apakah
tindak pidana yang dilakukan oleh Anak memiliki ancaman pidana
yang tinggi atau tidak, ataukah perbuatan Anak tersebut
mengakibatkan orang lain mengalami kerugian besar atau tidak.
Misalkan untuk kasus narkoba, apabila dilakukan oleh Anak dan
baru pertama kali maka menurut hakim Sigit Triatmojo,SH dalam
wawancaranya akan memidanakan pelaku tersebut dengan
rehabilitasi ataupun dikembalikan ke orang tua.57 Terlihat ada
upaya menuju keadilan restoratif disini. Alasannya karena narkoba
merugikan diri pelaku itu sendiri bukan merugikan orang lain.
Apabila tindak pidana yang dilakukan merugikan orang lain maka
tanpa diberi ampun tetap akan ditahan.
Hal tersebut berbeda dengan pendapat Arman. S. Herman,
SH.,MH yang melihat lain, untuk kasus narkoba tersebut akan
dilihat dulu jenis narkoba yang dipakai.58 Hakim tersebut tidak
melihat pelaku Anak tersebut yang masih anak-anak, Anak harus
ditahan karena hakim tersebut sudah menganggap tindak pidana
narkotika tersebut sebagai kejahatan besar, bukan kenakalan
anak biasa.
Apabila Anak melakukan tindak pidana yang mengakibatkan
kerugian yang besar terhadap korbannya, ataupun korban tersebut
meninggal dunia, hakim tentunya akan memiliki pertimbangan
yang berbeda dalam penjatuhan putusannya. Dengan tidak
melanggar harkat dan martabat Anak tersebut, serta tetap dengan
57
Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa 58
Wawancara penulis dengan Amran. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.
mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak tersebut,
hakim menjatuhkan pidana penjara, yang mana dalam Pasal 81
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak telah mengatur untuk Anak yang dijatuhi pidana
penjara ditempatkan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus
Anak).
Apabila Anak telah terbukti di persidangan bahwa akibat dari
perbuatannya mengakibatkan kerugian yang tidak besar terhadap
korban, ataupun peranan dari Anak tersebut bukanlah seorang
pelaku utama dan Anak tersebut hanya ikut-ikutan terbawa situasi,
hakim mempertimbangkan juga dengan melihat laporan yang
disampaikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan tentunya hakim
akan menjatuhkan pidana yang lebih ringan dan bertujuan
melakukan pembinaan terhadap Anak tersebut. Hakim dapat
menjatuhkan tindakan terhadap Anak tersebut.
4. Pengulangan Pidana.
Sejak dilahirkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menjadi sorotan
khusus terutama yang berkaitan dengan penjatuhan pidana
terhadap Anak.
Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas penegakan hukum dalam kasus tindak
pidana yang dilakukan oleh Anak.
Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas hukum ditentukan
oleh lima faktor, yakni 1) Faktor hukum; 2) Faktor penegak hukum;
3) Faktor sarana dan pra sarana; 4) Faktor masyarakat; 5) Faktor
kebudayaan. Berkaitan dengan kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh Anak yang mana dirangkaikan dalam
permasalahan ketiga, menurut penulis terdapat dua faktor yang
mempengaruhi efektivitas penegakan hukum terhadap kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, yakni faktor hukum dan
faktor penegak hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hal-hal
memberatkan dan hal-hal yang meringankan menjadi
pertimbangan penegak hukum baik itu oleh jaksa penuntut umum
dalam memberikan tuntutan, maupun oleh hakim dalam
menjatuhkan putusan.
Hal-hal meringankan hukuman menurut KUHPidana adalah
sebagai berikut :
a. Dalam hal umur yang masih muda (incapacity),
berdasarkan pasal 47 Ayat (1) KUHPidana yang berbunyi
“jika hakim menghukum anak yang bersalah itu, maka
maksimum hukuman pokok bagi tindak pidana itu
dikurangi sepertiga”.
b. Dalam hal percobaan melakukan kejahatan, berdasarkan
Pasal 53 Ayat (2) KUHPidana yang berbunyi “maksimum
hukuman pokok yang ditentukan atas kejahatan itu
dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan”.
c. Dalam hal membantu melakukan kejahatan, berdasarkan
Pasal 57 Ayat (1) yang berbunyi “maksimum hukuman
pokok yang ditentukan atas kejahatan itu dikurangi
sepertiga bagi pembantu”.
Hal-hal memberatkan hukuman menurut KUHPidana adalah
sebagai berikut :
a. Dalam hal Concursus, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 65 KUHPidana :
- Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang
harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri
sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa
kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok
sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
- Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah
maksimum pidana-pidana yang diancamkan
terhadap perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh
lebih dari maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiganya.
b. Dalam hal recidive, berdasarkan Pasal 486, 487, dan 488
KUHPidana.
Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana menjadi salah satu hal yang memberatkan
dalam penjatuhan putusan pemidanaan, tidak terkecuali juga
terhadap Anak. Apabila Anak tersebut sudah pernah dipidana
sebelumnya dan kembali lagi melakukan tindak pidana, selain
berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Anak tersebut
tidak dapat dilakukan diversi, hakim akan mempertimbangkan
apakah Anak tersebut masih dapat dijatuhi pidana tindakan atau
penjara. Menurut hakim Sigit Triatmojo,SH dikarenakan dalam
Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, ada 7 (tujuh) jenis tindakan yang
dapat dikenakan terhadap Anak, apabila pada penjatuhan pidana
sebelumnya Anak tersebut sudah dijatuhi tindakan dengan
dikembalikan kepada orang tua, maka hakim akan menjatuhkan
tindakan dengan perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial) dengan tidak melebihi 1 (satu) tahun
(berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).59
Sependapat dengan apa yang disampaikan oleh hakim Sigit
Triatmojo, SH, dalam menjatuhkan pidana terhadap Anak yang
59
Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa
sudah pernah dijatuhi pidana sebelumnya, hakim
Amran.S.Herman,SH.,MH menyampaikan dari 7 (tujuh) jenis
penjatuhan tindakan dalam Undang-undang Sistem Peradilan
Pidana Anak, dipilih yang paling mendidik dan dapat membina
Anak untuk menjadi perilaku yang tidak akan mengulangi
perbuatannya lagi, tetapi apabila dalam persidangan terbukti Anak
tersebut tidak ada tanda-tanda ataupun orangtua atau wali dari
Anak tersebut sudah tidak mampu lagi mendidik Anak, hakim akan
mempertimbangkan menjatuhkan salah satu dari pidana pokok
yang diatur pada Pasa 71 Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 60
5. Tujuan Dan Manfaat Pemidanaan.
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses penjabaran
ide dan cita hukum yang memuat nilai-nilai moral seperti keadilan
dan kebenaran kedalam bentuk-bentuk konkrit, dalam
mewujudkannya membutuhkan suatu organisasi seperti
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
sebagai unsur klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh
negara, dengan kata lain bahwa penegakan hukum pada
hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu
keadilan. Secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum
60
Wawancara penulis dengan Amran. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundang-undangan.
Penegakan hukum juga berkaitan erat dengan pencegahan
dan penanggulangan kejahatan. Pencegahan dan
penanggulangan kejahatan harus menunjukkan tujuan,
kesejahteraan masyarakat, dan perlindungan terhadap
masyarakat. Penanggulangan kejahatan tidak cukup jika hanya
dilakukan dengan pendekatan integral, baik sarana penal maupun
non-penal. Upaya-upaya tersebut juga bukan hanya tugas aparat
penegak hukum, tetapi juga tugas stakeholder yang membuat
hukum. Dampak sosial yang timbul akibat banyaknya kasus yang
dilakukan oleh Anak dapat saja berpotensi untuk membuat stigma
negatif terhadap Anak dan Anak bukannya bertambah baik setelah
keluar dari penjara akan tetapi sudah terkontaminasi dari para
narapidana lainnya di dalam RUTAN.
Seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya bahwa
penegakan hukum khususnya kasus yang dilakukan oleh Anak
terdapat dalam beberapa aturan hukum. Ruang lingkup
penegakan hukum sebenarnya sangat luas karena mencakup hal-
hal yang langsung dan tidak langsung terhadap orang yang terjun
dalam bidang penegakan hukum. Penegakan hukum yang tidak
hanya mencakup law enforcement, juga meliputi peace
maintenance. Adapun orang-orang yang terlibat dalam masalah
penegakan hukum di Indonesia ini adalah diantaranya polisi,
hakim, kejaksaan, pengacara dan pemasyarakatan atau penjara.
Menurut Muladi, sebagai suatu proses yang bersifat sistemik,
maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai
penerapan hukum pidana (criminal law application). Penerapan
hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu:
(1) Penerapan hukum dipandang sebagi sistem normatif
(normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan
hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di
dukung oleh sanksi pidana;
(2) Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif
(administrative system) yang mencakup interaksi antara
pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-
sistem peradilan di atas;
(3) Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social
system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak
pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif
pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.
Sehubungan dengan berbagai dimensi di atas dapat
dikatakan bahwa penegakan hukum terhadap berbagai kasus
tanpa terkecuali sebenarnya merupakan hasil penerapan hukum
pidana yang seyogyanya menggambarkan keseluruhan hasil
interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.
Sejak dilahirkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menjadi sorotan
khusus terutama yang berkaitan dengan penjatuhan pidana
terhadap Anak.
Faktor penegak hukum juga memiliki peranan penting dalam
menentukan efektivitas penegakan hukum dalam kasus tindak
pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini sudah tidak semata-mata
dianggap menjadi kejahatan tradisional mengingat begitu pesatnya
perkembangan teknologi dan pergaulan yang mempengaruhi
Anak. Menurut Amran S. Herman, SH.,MH kelemahan pada aparat
penegak hukum adalah keterbatasan pengetahuan dan wawasan
yang terus berkembang sedangkan aparat penegak hukum belum
tentu bisa dengan cepat menyesuaikan atau mensejajarkan diri
dengan perkembangan yang berjalan begitu cepat.61
Apakah para penegak hukum masih berpedoman dengan
teori pembalasan yang mana pidana dipandang sebagai nestapa
yang harus dijalani oleh pelaku tindak pidana tanpa memikirkan
61
Wawancara penulis dengan Amran. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.
apakah nestapa tersebut dapat memperbaiki perilaku buruknya,
ataukah nestapa tersebut hanyalah membuatnya terbiasa dan
kebal untuk mengulangi perbuatannya kembali.
Bahwa tujuan dan manfaat pemidanaan tersebut untuk Anak
seharusnya sesuai dengan politik hukum pidana dimana harus
diarahkan kepada perlindungan masyarakat, dari kesejahteraan
serta kesimbangan dan keselarasan hidup dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat, korban dan Anak itu sendiri.
Dalam penjatuhan pidana terhadap Anak haruslah
mempertimbangkan tujuan dan manfaat dari penjatuhan
pemidanaan terhadap Anak tersebut. Hakim dalam
pertimbangannya mempertimbangkan :
a. Kemanusiaan : dalam artian bahwa penjatuhan pidana
terhadap Anak tersebut tetap harus menjunjung harkat
dan martabat Anak tersebut meskipun Anak tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana;
b. Edukatif : dalam artian bahwa pemidanaan tersebut
mampu membuat Anak tersebut sadar sepenuhnya atas
perbuatan yang telah dilakukannya dan menyebabkan Ia
mempunyai sikap yang positif dan konstruktif bagi usaha
penanggulangan kejahatan kembali;
c. Keadilan : dalam artian bahwa pemidanaan tersebut
dirasakan adil (baik oleh Anak, maupun oleh korban,
ataupun masyarakat);
d. Prevensi : upaya agar dikemudian hari kejahatan
tersebut tidak terulang lagi.
6. Kepentingan Terbaik Bagi Anak.
Menurut Hakim Sigit Triatmojo, SH, hakim pada Pengadilan
Negeri Sunggguminasa62 menerangkan bahwa dalam
pertimbangan putusan hakim, keadilan restoratif merupakan
keadilan sosiologis, yaitu suatu proses dimana para pelaku
kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas
kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada
masyarakat yang sebagai balasannya mengizinkan bergabungnya
kembali pelaku kejahatan yang bersangkutan ke dalam
masyarakat. Sehingga yang ditekankan ialah pemulihan hubungan
antara pelaku dengan korban (cq. Keluarga korban) di dalam
masyarakat.
Secara formil terhadap penyusunan pertimbangan dalam
putusan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak terbagi menjadi :
a. Bentuk putusan
Bentuk putusan terbagi menjadi 2 yakni putusan akhir dan
62
Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim sekaligus Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Gowa. Wawancara dilakukan pada Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.
yang bukan putusan akhir. Putusan akhir dibagi menjadi 2
yakni putusan pemidanaan dan yang bukan pemidanaan.
Sedangkan yang bukan putusan akhir juga dibagi menjadi 2
yakni penetapan dan putusan sela.
b. Pertimbangan hakim dalam putusan pemidanaan
Dalam KUHAP telah diatur secara tegas mengenai
kewajiban hakim untuk mempertimbangkan dan
mencantumkan keadaan yang meringankan dan
memberatkan dari Anak. Jika tidak, akan mengakibatkan
putusan tersebut batal demi hukum
Hal-hal tersebut merupakan pertimbangan hakim yang bersifat
yuridis yaitu pertimbangan hakim yang berdasarkan fakta-fakta
yuridis yang terungkap di persidangan dan juga oleh Undang-
undang yang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam
putusan pemidanaan. Sedangkan pertimbangan yang bersifat non
yuridis, dimana berupa keterangan yang dilakukan oleh hakim
berdasarkan pada fakta-fakta yang terungkap pada saat
pemeriksaan berlangsung dan dalam hal ini tidak diatur dalam
Undang-undang dapat dilihat dari :
b. Latar belakang perbuatan Anak
c. Akibat perbuatan Anak
d. Kondisi diri Anak
e. Faktor agama Anak
f. Keadaan sosial ekonomi terdakwa
Bahwa terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi
hakim dalam meringankan dan memberatkan, yaitu :
1. Faktor internal
Yaitu faktor yang mempengaruhi hakim yang berasal
dari dalam diri hakim, yaitu :
- Faktor subyektif :
- Sikap perilaku yang apriori, yaitu sikap
seorang hakim yang sejak semula sudah
menganggap bahwa yang diperiksa dan
diadili adalah memang orang yang bersalah
dan harus dipidana;
- Sikap perilaku yang emosional, yaitu suatu
putusan pengadilan akan dipengaruhi
perangai seorang hakim. Hakim yang
mudah tersinggung akan berbeda dengan
hakim yang tidak mudah tersinggung.
Begitu pula dengan hasil putusan oleh
hakim yang mudah marah dan pendendam
akan berbeda dengan putusan hakim yang
penyabar;
- Sikap Arrogance Power yaitu sikap lain
yang mempengaruhi suatu putusan adalah
hakim yang merasa mempunyai
kewenangan yang lebih, kesombongan.
Disini hakim merasa dirinya berkuasa dan
lebih pintar melebihi orang lain;
- Moral, dalam hal ini moral merupakan hal
yang sangat berpengaruh, karena
bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi
oleh tingkah laku yang didasari oleh moral
pribadi hakim tersebut terlebih dalam
memeriksa dan memutus perkara.
- Faktor obyektif :
- Latar belakang budaya, agama, pendidikan
seorang hakim tentu ikut mempengaruhi
suatu putusan hakim. Meskipun latar
belakang hidup, budaya ikut bersifat
determinis, tetapi setidak-tidaknya faktor ini
ikut mempengaruhi hakim dalam
mengambil putusan;
- Profesionalisme serta kecerdasan seorang
hakim ikut mempengaruhi keputusannya.
Perbedaan suatu putusan pengadilan
sering dipengaruhi oleh profesionalisme
hakim tersebut.
2. Faktor Eksternal
Faktor yang mempengaruhi hakim yang berasal dari luar
diri hakim antara lain seperti adanya demo dari
masyarakat atau sekelompok masyarakat yang
berkepentingan dalam suatu perkara. Contohnya pada
penanganan kasus narkotika dimana masyarakat apabila
berpendapat mengenai Bandar narkotika akan meminta
hakim untuk menghukum pelaku seberat-beratnya
Bahwa tidak mungkin melakukan tindakan demi kepentingan
Anak tanpa melalui putusan. Hal ini berkaitan pula dengan adanya
kewenangan hakim yang diberikan Undang-undang yang
memberikan kewenangan menjatuhkan pidana tindakan terhadap
Anak yang terbukti bersalah di depan persidangan. Hal ini dapat
berpengaruh terhadap psikologi Anak pelaku tindak pidana yang
meliputi psikologi Anak pada saat melakukan suatu tindak pidana
dan psikologi Anak setelah dikenai sanksi pidana, karena Anak
memiliki sifat-sifat khas yang berbeda dengan ciri dan sifat orang
dewasa.
Dalam penjatuhan sanksi pidana dalam putusannya, hakim
wajib mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak (the best
interest of the child) dalam upaya menjauhkan Anak dari penjara.
Pertimbangan kepentingan terbaik bagi Anak mengingatkan kepada
aparat penegak hukum bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam
pengambilan keputusan menyangkut masa depan Anak bukan
dengan ukuran orang dewasa.
Hakim dalam pertimbangannya harus dapat memberikan suatu
pidana yang tidak menghambat Anak dalam menjalani
pendidikannya dan memperhatikan kesejahteraan Anak dalam
menjalani pidananya.
C. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pidana Anak No.
14/Pid.Sus.Anak/2016/Pn.Sgm
1. Kasus Posisi
Kasus posisi sebagaimana dapat disimpulkan dari surat dakwaan
yang dikutip dalam putusan dijelaskan dalam paragraf-paragraf
sebagai berikut.
Bahwa telah terjadi tindak pidana pembakaran dan pengerusakan
secara bersama-sama terhadap barang pada hari Senin tanggal 26
September 2016 sekira pukul 13.15 WITA di gedung DPRD Tk. II. Kab.
Gowa beralamat di Jalan Mesjid Raya No. 26 Kel. Sungguminasa Kec.
Somba Opu Kab. Gowa, yang berawal dari berkumpulnya massa di Jl.
Istana Kab. Gowa yang akan melakukan kegiatan orasi di Fly Over
untuk menolak Perda Tentang Lembaga Adat Daerah (LAD). Bahwa
setelah tiba di kantor DPRD Tk. II Kab. Gowa para terdakwa bersama
dengan massa lainnya yang mengatasnamakan keturunan Raja Gowa
melakukan orasi dan meminta perwakilan dari Anggota DPRD Tk. II
Kab. Gowa untuk bertemu dengan massa namun tidak ada satupun
Anggota DPRD Kab. Gowa yang bersedia menemui massa sehingga
massa menjadi anarkis dan melakukan perusakan terhadap fasilitas
dalam gedung DPRD Tk. II Kab. Gowa dan melakukan pembakaran
terhadap fasilitas dan gedung DPRD Tk. II. Para pelaku Anak didakwa
atas perbuatannya dengan dakwaan Kesatu Pasal 187 Ayat (1) KUHP
jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Kedua Primair Pasal 170 Ayat (2)
ke-1 KUHP Subsidiair Pasal 170 Ayat (1) KUHP.
Dakwaan Penuntut Umum
Dalam putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa tersebut, penuntut
umum mendakwa dan menuntut para Anak yang pada pokoknya sebagai
berikut :
a) Dakwaan pertama berdasarkan pada ketentuan Pasal 187 Ayat (1)
KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya terdiri
dari :
a. Barang siapa;
b. Mereka yang menyuruh melakukan dan yang turut serta
melakukan perbuatan;
c. Dengan sengaja;
d. Membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan
kebanjiran;
e. Dimana perbuatan tersebut dapat mendatangkan bahaya
umum bagi barang.
b) Dakwaan kedua primair berdasarkan pada ketentuan Pasal 170
Ayat (2) ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya terdiri dari:
a. Dengan sengaja;
b. Bersama-sama merusakkan barang.
c) Dakwaan kedua subsidiair berdasarkan pada ketentuan Pasal 170
Ayat (1) KUHP, yang unsur-unsurnya terdiri dari:
a. Dengan sengaja;
b. Secara bersama-sama;
c. Melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.
d) Menyatakan Anak ARDIANSYAH BIN JAMALUDDIN DG. SANRE
ALIAS RIAN, Anak MURSIDIN ALIAS DIDIN BIN HASRUDDIN,
Anak NASRAN BIN KADIR DG. TANJENG ALIAS BONGKENG,
Anak NURSALAM ARDIANSYAH ALIAS ALAM BIN AHMAD
DEWA DG. LIRA, Anak MUH. RESKY ALIAS RESKY BIN
BURHANUDDIN telah terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti
bersalah melakukan tindak pidana “dengan terang-terangan dan
dengan tenaga bersama dengan sengaja menghancurkan barang”
sebagaimana diatur dalam Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP;
e) Menjatuhkan pidana terhadap Anak MUH. RESKY ALIAS RESKY
BIN BURHANUDDIN oleh karena itu dengan dikenakan tindakan
dengan perawatan di LPKS selama 1 (satu) tahun;
f) Menjatuhkan pidana terhadap Anak ARDIANSYAH BIN
JAMALUDDIN DG. SANRE ALIAS RIAN, Anak MURSIDIN ALIAS
DIDIN BIN HASRUDDIN, Anak NASRAN BIN KADIR DG.
TANJENG ALIAS BONGKENG, Anak NURSALAM ARDIANSYAH
ALIAS ALAM BIN AHMAD DEWA DG. LIRA oleh karena itu dengan
pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 8
(delapan) bulan dikurangi selama anak ditahan dengan perintah
tetap ditahan;
g) Menyatakan barang bukti
- Serpihan kaca warna Bening
- 1 (satu) buah Kursi Panjang merk Acero
- 1 (Satu) Buah celana Levis Merk Blac Devil warna biru
- 1 (satu) lembar baju kaos lengan panjang
- 1 (satu) lembar baju kaor warna merah bertuliskan California
- 1 (satu) buah Sweater warna hitam bertuliskan Rebel EGT 8
- 1 (satu) lembar jaket warna hitam bertuliskan lascar merah
putih
- 1 (satu) buah Sweater warna abu – abu
- 1 (satu) lembar seragam sekolah warna putih
- 1 (satu) buah celana sekolah
- 1 (satu) buah celana jeans merk ROOT RIVER
- 1 (satu) lembar baju kaos warna hitam bertuliskan QUICK
SILVER
- 1 (satu) batang petasan Galaxi warna merah bertuliskan
ROMAN CANDLES
- 1 (satu) Unit Mobil Suzuki Carry warna Hitam DD 8516 BB
- Abu Arang
- Pecahan botol
- 1 (satu) buah Flash Disk yang berisi rekaman CCTV
Dipergunakan dalam perkara lain.
h) Menetapkan agar para Anak dibebankan untuk membayar biaya
perkara masing-masing sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
Amar Putusan
a. Menyatakan Anak 1. Ardiansyah Bin Jamaluddin Dg. Sanre Alias
Rian, Anak 2. Mursidin Alias Didin Bin Hasruddin, Anak 3. Nasran
Bin Kadir Dg. Tanjeng Alias Bongkeng, Anak 4. Nursalam
Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Dewa Dg. Lira, dan Anak 5.
Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “bersama
melakukan kekerasan terhadap barang”
b. Memerintahkan tindakan kepada Para Anak dikembalikan kepada
orang tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu)
tahun berkewajiban melapor secara periodic serta dalam
pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan atau apabila Para Anak tidak melanjutkan
pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan ditempatkan di
LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama 1
(satu) tahun;
c. Menyatakan barang bukti berupa;
- Serpihan kaca warna Bening
- 1 (satu) buah Kursi Panjang merk Acero
- 1 (Satu) Buah celana Levis Merk Blac Devil warna biru
- 1 (satu) lembar baju kaos lengan panjang
- 1 (satu) lembar baju kaos warna merah bertuliskan California
- 1 (satu) buah Sweater warna hitam bertuliskan Rebel EGT 8
- 1 (satu) lembar jaket warna hitam bertuliskan lascar merah
putih
- 1 (satu) buah Sweater warna abu – abu
- 1 (satu) lembar seragam sekolah warna putih
- 1 (satu) buah celana sekolah
- 1 (satu) buah celana jeans merk ROOT RIVER
- 1 (satu) lembar baju kaos warna hitam bertuliskan QUICK
SILVER
- 1 (satu) batang petasan Galaxi warna merah bertuliskan
ROMAN CANDLES
- 1 (satu) Unit Mobil Suzuki Carry warna Hitam DD 8516 BB
- Abu Arang
- Pecahan botol
- 1 (satu) buah Flash Disk yang berisi rekaman CCTV
Dipergunakan dalam perkara lain.
d. Membebankan kepada Anak untuk membayar biaya perkara
masing-masing sejumlah Rp.2000.- (dua ribu rupiah)
2. Pertimbangan Yuridis
Untuk dapat memidana seseorang maka harus dipastikan terlebih
dahulu tindakan yang telah dilakukannya memenuhi unusr-unsur
tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang. Ditinjau dari aspek
terjadinya tindakan yang dilarang maka seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya jika tindakan tersebut
bersifat melawan hukum serta tidak memiliki akasan pembenar
ataupun alaan peniadaan sifat melawan hukum atas suatu tindak
pidana yang telah dilakukannya. Jika ditinjau dari aspek kemampuan
bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang
telah dilakukannya.
Persoalan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana
pengerusakan barang secara bersama-sama baik berkaitan dengan
kemampuan bertanggung jawab adalah sama dengan kemampuan
bertanggung jawab pada tindak pidana lainnya.63 Kemampuan
bertanggungjawab dilihat dari kemampuan seseorang dalam
menentukan kehendak atau perbuatannya sehingga ia menginsyafi
suatu perbuatan terjadi dengan kehendaknya. Kesalahan dapat dilihat
63
Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim sekaligus Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Gowa. Wawancara dilakukan pada Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Gowa.
dari bentuk-bentuk kesengajaan serta tidak adanya alasan pemaaf
sehingga telah cukup dibuktikan jika terdakwa dalam keadaan sehat
jiwa, lahir dan batin atau tidak mengalami gangguan jiwa apapun saat
melakukan perbuatannya.
Dari pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pertanggungjawaban pidana dalam mengukur seseorang telah
melakukan pencemaran nama baik berdasarkan indikator
pertanggungjawaban pidana atau criminal responsibility, yakni; 1)
Kemampuan bertanggungjawab; 2) Adanya kesalahan; dan 3) Tidak
adanya alasan pemaaf. Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang
pertanggungjawaban pidana Anak yang melakukan perbuatan secara
bersama-sama melakukan pengrusakan, maka akan dibahas sebagai
berikut:
a. Mampu Bertanggungjawab
Sebagaimana terdapat dalam putusan Nomor
14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM, hakim dalam mempertimbangkan
unsur bertanggungjawab berpedoman pada perbuatan yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana dalam
Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP yang terbukti dalam persidangan.
Adapun pertimbangan hakim menyatakan :
Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut majelis hakim mempertimbangkan Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: a. Barang siapa. b. Dengan sengaja bersama-sama merusakkan barang atau
jika kekerasan yang dilakukannya menyebabkan luka.
Menurut Pompe, kemampuan bertanggungjawab pidana harus
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kemampuan berpikir
(psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai
pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya. 2. Oleh
sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya; 3. Sehingga ia
dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.64
Apabila kembali pada indikator-indikator kemampuan
bertanggungjawab, maka dalam hukum pidana materiil (KUHP)
ditentukan pula indikator-indikator seseorang yang termasuk dalam
keadaan sebaliknya, yakni tidak mampu bertanggungjawab. Indikator
seseorang dikatakan tidak mampu bertanggungjawab berdasarkan
Pasal 44 KUHP,yakni :
1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwa cacat
dalam tumbuhnya (gebrekkige intiwkelling) atau terganggu
karena suatu penyakit, tidak dipidana.
2. Jika ternyata perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan jiwanya cacat dalam rumahnya atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa,paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
64
Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education. Hlm 74
Berdasarkan Pasal 44 KUHP, menurut penulis bahwa para pelaku
Anak tidak dalam keadaan cacat mental atau cacat jiwa. Suatu
kemampuan bertanggungjawab jelas berkaitan erat dengan unsur
subjek hukumnya, yakni orang yang melakukan tindak pidana. Jika
dilihat lebih lanjut, dalam putusannya hakim menimbang unsur barang
siapa .
Adapun pertimbangan hakim terhadap unsur barang siapa adalah
sebagai berikut :
1) Menimbang, yang menjadi subyek hukum yang diajukan ke persidangan karena dugaan melakukan tindak pidana adalah berupa orang yaitu Para Anak sesuai dengan identitasnya dalam surat dakwaan dan Para Anak juga membenarkan identitasnya yang diperkuat dengan keterangan saksi-saksi bahwa benar Para Anak yang diperhadapkan ke muka persidangan adalah orang yang dimaksud dalam surat dakwaan penuntut umum, sehingga majelis hakim berpendapat bahwa Para Anak yang identitasnya tercantum dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara a quo adalah benar dan bukan orang lain daripadanya dan bukan orang lain daripadanya sehingga tidak terjadi error in persona;
2) Menimbang, bahwa dari pengamatan Majelis Hakim selama proses persidangan berlangsung, Para Anak berada dalam keadaan sehat jasmani dan rohani bahwa Para Anak secara subjektif sudah dapat mempertanggungjawabkan serta memahami makna yang senyatanya dari perbuatan yang dilakukannya serta konsekuensi dari perbuatannya tersebut, dengan demikian unsure “barang siapa” telah terpenuhi menurut hokum.
Berdasarkan petimbangan tersebut, penulis tidak sependapat
dengan uraian JPU yang kemudian dijadikan oleh hakim sebagai
pertimbangan untuk menyatakan bahwa terdakwa mampu dan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahannya. Uraian
JPU yang dikutip dalam pertimbangan hakim dapat saja dinilai
premature, mengingat unsur-unsur lain yang merupakan delik inti
(bestanddle delict) belum dapat dibuktikan oleh JPU. Secara teknis,
terdakwa tidak dapat dikualifikasikan telah memenuhi unsur
barangsiapa sepanjang belum dapat dibuktikan perbuatan pidana apa
yang telah dilakukan oleh terdakwa. Bagaimana mungkin JPU dapat
menyimpulkan bahwa terdakwa adalah pelaku dalam tindak pidana ini
tanpa membuktikan terpenuhinya unsur-unsur tentang ada atau
tidaknya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Unsur barangsiapa bukan merupakan delik inti atau bagian inti dari
Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 namun hanya merupakan elemen delik yang
merupakan subyek hukum yang diduga atau yang didakwa melakukan
tindak pidana, yang pembuktiannya bergantung pada pembuktian delik
intinya sehingga elemen delik ini tidak dapat berdiri sendiri dan tidak
dapat ditempatkan sebagai unsur pertama atas perbuatan
sebagaimana yang dimaksudkan oleh JPU dalam dakwaannya dan
seharusnya baru dapat dibahas setelah seluruh unsur-unsur dalam
perbuatan sebagaimana didakwakan oleh JPU telah dibahas dan
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan. Sehingga menurut
penulis, apabila mengikuti definisi terpenuhinya unsur barangsiapa
versi JPU dan pertimbangan majelis hakim, maka setiap orang waras
tanpa terkecuali dapat saja secara langsung dan serta merta
memenuhi unsur barangsiapa sepanjang orang tersebut memiliki
kejelasan identitas dan alamat. Padahal pembentuk undang-undang
tentu tidak sembarangan dalam merumuskan delik suatu perbuatan
pidana.
Unsur barangsiapa adalah untuk menunjukkan sifat kemanusiaan
(bukan hewan atau tumbuhan) dimana unsur kemanusiaan ini harus
dihubungkan dengan adanya perbuatan yang melanggar hukum dan
diancam dengan pidana. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 951 K/Pid/1982 tanggal 10 Agustus
1983 dalam perkara Yojiro Kitajima, yang antara lain menerangkan
bahwa unsur setiap orang hanya merupakan kata ganti orang, di mana
unsur ini baru memiliki makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur
pidana lainnya, oleh karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan
dengan unsur-unsur lain dalam perbuatan yang didakwakan dalam
kaitan dengan setiap orang. Oleh karena itu. unsur barangsiapa
tersebut tidak terpenuhi selama delik inti atau bagian inti dari Pasal
170 Ayat (2) Ke-1 KUHP tidak dapat dibuktikan oleh JPU. Sehingga
menurut penulis, untuk menghindari dakwaan premature tersebut,
idealnya JPU menyatakan terlebih dahulu bahwa telah terdapat cukup
bukti sehingga seseorang yang memiliki kejelasan identitas dan alamat
tersebut didakwa melakukan suatu tindak pidana, terhadapnya tidak
ada alasan pembenar maupun pemaaf serta padanya terdapat
kesalahan. Dengan begitu maka unsur barang siapa di sini tidak
terdapat celah untuk dapat diartikan pada semua orang waras tanpa
terkecuali, namun hanya dimaksudkan terhadap orang waras yang
didakwa melakukan suatu perbuatan pidana.
b. Adanya Kesalahan
Unsur kesalahan merupakan bagian dari criminal responsibility.
Secara teoritis, kesalahan terdiri dari dua, yakni dolus dan culpa.
Kemudian dolus atau kesengajaan terbagi atas tiga, yakni :
1) Sengaja sebagai niat;
2) Sengaja sadar akan kepastian;
3) Sengaja sadar akan kemungkinan.
Sedangkan culpa atau kelalaian terbagi atas dua, yakni :
1) Culpa Lata; 2) Culpa Levis. Culpa merupakan bentuk kesalahan yang
timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah
ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu dikarenakan perilaku
orang itu sendiri. Culpa lata adalah kelalaian yang berat dalam hal ini
kelalaian yang disadari, sedangkan culpa levis adalah kelalaian ringan
atau kelalaian yang tidak disadari.65
Adapun beberapa pertimbangan hakim yang berkaitan dengan
unsur adanya kesalahan adalah sebagai berikut :
Unsur dengan sengaja bersama-sama merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya menyebabkan luka
1) Menimbang, bahwa dalam rumusan unsur delik di atas bersifat alternatif artinya apabila salah satu bentuk perbuatan telah terbukti maka tidak perlu mempertimbangkan yang lainnya;
2) Menimbang, bahwa dari fakta persidangan dari keterangan dan keterangan para Anak bahwa ada peristiwa pengrusakan dan pembakaran pada kantor DPRD Kabupaten Gowa pada hari Senin tanggal 26 September 2016 di kantor DPRD Kabupaten
65
Amir Ilyas. Op.Cit., Hlm 85
Gowa Jalan Masjid Raya Kelurahan Sungguminasa Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa, bahwa pada saat kejadian pengrusakan dan pembakaran, banyak massa yang berada disana, massa yang datang ke kantor DPRD Kabupaten Gowa tersebut berdemonstrasi mengenai pencabutan Perda Lembaga Adat Daerah (LAD), Anak Ardiansyah Bin jamaluddin Dg. Sanre bersama dengan Anak Mursidin Alias Didin yang berada di depan kantor DPRD Kabupaten Gowa karena melihat sekelompok massa sedang melakukan pelemparan di depan kantor DPRD Kabupaten Gowa, kemudian Anak mengambil batu di depan mesjid Syech Yusuf kemudian melempar ke arah gedung DPRD tersebut sebanyak 3 (tiga) kali dan ada yang mengenai kaca gedung DPRD tersebut, massa yang mengatasnamakan keturunan kerajaan Gowa melakukan oeasi dimana massa lainnya meminta perwakilan dari anggota DPRD Kabupaten Gowa untuk menemui perwakilan massa tersebut dan pada saat situasi tidak terkendali lagi, massa tersebut melakukan pembakaran dan pengrusakan gedung DPRD Kabupaten Gowa dan Anak Ardiansyah Bin Jamaluddin Dg. Sanre Alias Rian bersama dengan Anak Mursidin Alias Didin, Anak Nasran Alias Bongkeng Bin Kadir Dg. Tanjeng ikut melakukan pengrusakan dengan melakukan pelemparan menggunakan batu ke arah gedung DPRD Kabupaten Gowa dan mengenai Kaca gedung tersebut sehingga rusak, sedangkan Anak Nursalam Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Ewa Dg. Lira dan Anak Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin pada hari tersebut dengan mengikuti saksi Iksan Dg. Tika bersama dengan massa lainnya yang mengatasnamakan keturunan Kerajaan Gowa melakukan orasi tentang Lembaga Adat Daerah (LAD) dimana massa lainnya meminta perwakilan dari Anggota DPRD Kabupaten Gowa dan pada saat situasi tidak terkendali lagi, massa tersebut melakukan pembakaran dan pengerusakan gedung DPRD Tk. II Kabupaten Gowa, bahwa Anak Nursalam Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Ewa Dg. Lira melakukan pelemparan menggunakan batu ke arah gedung DPRD Kabupaten Gowa dan mengenai kaca gedung tersebut, sedangkan Anak Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin melakukan pengrusakan dengan menarik kain gorden pada gedung DPRD Kabupaten Gowa tersebut dan menyalakan korek api gas akan tetapi tidak menyala sehingga diambil alih oleh orang lain yang Anak tidak ketahui orangnya, serta Anak melempar ban bekas ke dalam api yang sudah tersulut;
3) Menimbang, bahwa telah dipertimbangkan pula hasil laporan Peksos dan hasil Laporan Penelitian Kemasyarakatan Anak (LITMAS) oleh Pembimbing Kemasyarakatan Kelas I A yang
membawahi Kabupaten Gowa, yang menyarankan agar Anak ditempatkan di LPKS, berdasarkan UU. RI. Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 60 Ayat (3) Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara;
4) Menimbang bahwa Majelis tidak menemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan Anak oleh karena itu haruslah Anak dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya;
5) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 81 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir;
6) Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana;
7) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai pendidikan formal sekolah Anak, bahwa “kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta”
8) Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas menurut Majelis hakim berdasarkan Pasal 81 Ayat (5), Pasal 32 Ayat (1), Pasal 82 Ayat (1) huruf a,d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa Anak memperoleh jaminan dari orang tua/walinya bahwa orang tua/walinya, masih sanggup membina para Anak , bahwa para Anak akan melanjutkan pendidikan formal sekolahnya maka Anak lebih tepat dikenai tindakan yang selengkapnya diuraikan dalam amar putusan ini;
9) Menimbang, bahwa Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan;
10) Menimbang, bahwa oleh karena para anak dinyatakan bersalah dan dikenai tindakan, sedangkan tujuan penjatuhan hukuman bukan sekedar sebagai suatu pembalasan atas
perbuatan pelaku, tetapi juga sebagai sarana preventif dan edukatif aga pelaku menyadari perbuatannya serta tidak akan mengulanginya, maka menurut Pengadilan putusan yang dijatuhkan telah sesuai dengan rasa keadilan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga putusan ini telah memperhatikan pula 3 (tiga) aspek tujuan hukum yakni untuk mencapai keadilan, kepastian hukum, serta kemanfaatan hukum itu sendiri;
11) Menyatakan Anak 1. Ardiansyah Bin Jamaluddin Dg. Sanre Alias Rian, Anak 2. Mursidin Alias Didin Bin Hasruddin, Anak 3. Nasran Bin Kadir Dg. Tanjeng Alias Bongkeng, Anak 4. Nursalam Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Dewa Dg. Lira, dan Anak 5. Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “bersama melakukan kekerasan terhadap barang”
12) Memerintahkan tindakan kepada Para Anak dikembalikan kepada orang tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara periodic serta dalam pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan atau apabila Para Anak tidak melanjutkan pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu) tahun.
Berkaitan dengan fakta hukum dalam persidangan, majelis hakim
memiliki pertimbangan bahwa untuk menilai apakah unsur kesalahan
yang berkaitan dengan sengaja terpenuhi atau tidak dalam perbuatan
terdakwa, maka majelis hakim mencermati terlebih dahulu rangkaian
tindakan yang dilakukan oleh para Anak.66
Berdasarkan uraian dari rangkaian tindakan terdakwa, majelis hakim
menilai bahwa perbuatan para Anak menunjukkan adanya tindakan-
tindakan para Anak yang melempari kaca-kaca gedung, menarik gorden-
gorden, dan melempar gorden dan ban bekas ke dalam api yang sudah
tersulut sehingga majelis hakim menganggap rangkaian perbuatan yang
66
Lihat halaman 35 dari 39 Putusan Nomor 14/Pid.Sus/2016./PN.Sgm
dilakukan oleh para Anak itu menunjukkan bahwa perbuatan yang
dilakukan dikehendaki atau diinsyafi oleh para Anak. Oleh karena itu,
menurut Sigit Triatmojo, SH, hakim pada Pengadilan Negeri
Sungguminasa yang juga merupakan majelis hakim pada perkara
Ardiansyah, DKK berpendapat bahwa perbuatan tersebut termasuk
dalam dolus eventualis (kesengajaan menimbulkan akibat yang tidak
pasti namun merupakan kemungkinan), dimana kemungkinan besar dari
akibat perbuatan para Anak adalah bangunaan dan properti pada
gedung kantor DPRD menjadi rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi.
Hal serupa dinyatakan oleh Anita Arsyad, SH.,MH67, bersesuaian
dengan pernyataan JPU dalam Surat Tuntutan Nomor PDM-
03/SNGGU/10/2016 yang memberikan pengertian bahwa dengan
sengaja atau opzet adalah sebagai menghendaki atau menginsyafi
terjadinya suatu tindakan dan akibatnya. Artinya seseorang yang
melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki atau
menginsyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya, sedangkan tanpa hak
berarti tidak memiliki hak hukum untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu.
Menurut penulis, sebagaimana yang diungkapkan OC Kaligis bahwa
sesungguhnya dalam kejahatan terdapat dua unsur kesalahan, yakni
sengaja (ofzettelijk) dan maksud (opzet als oogmerk) atau tujuan (doel).
Walaupun dalam doktrin, maksud itu adalah juga kesengajaan (dalam
67
Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Gowa, Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Gowa.
arti sempit yang disebut kesengajaan sebagai maksud atau (opzet als
oogmerk), tetapi fungsi unsur sengaja dan fungsi maksud dalam
pencemaran adalah berbeda. Sikap batin “sengaja” ditujukan hanya
pada perbuatan merusak barang-barang umum.
Melihat letak unsur sengaja mendahului unsur perbuatan tanpa
hak, maka tidak diragukan lagi bahwa si pembuat menghendaki untuk
melakukan perbuatan melempar batu, merusak properti publik dan
melempar ban bekas dalam api yang sudah disulut. Kehendak ini juga
termasuk pengetahuan yang sudah terbentuk sebelum berbuat, karena
demikianlah sifat kesengajaan.
Seseorang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah
diketahuinya. Sengaja juga harus ditujukan pada unsur tanpa hak yang
berarti bahwa si pembuat sebelum melempar batu, merusak properti
publik dan melempar ban bekas dalam api yang sudah disulut tersebut
telah mengetahui atau menyadari bahwa ia tidak berhak melakukannya.
Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang.
Kesadaran yang demikianlah yang biasanya disebut sebagai sifat
melawan hukum sbjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui
secara persis tentang Undang-undang atau adanya aturan pasal yang
melarang. Cukup menyadari saja bahwa perbuatan tersebut tercela,
tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang pasti selalu ada pada setiap
orang normal pada umumnya.
c. Tidak adanya Alasan Pemaaf
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana
yang telah dilakukannya apabila tidak terdapat alasan penghapus
pidana. alasan penghapus pidana terbagi atas dua, yakni alasan
pembenar (rechtvaadingisrond) dan alasan pemaaf
(schuldduitsluitingsgrond). Alasan pembenar berkaitan erat dengan
tindak pidana yang dilakukan sedangkan alasan pemaaf berkaitan
dengan subjek yang melakukan tindak pidana. Alasan pembenar diatur
dalam Pasal 48 KUHP tentang keadaan darurat (noodtoestand), Pasal
49 ayat (1) KUHP pembelaan tepaksa (Noodweer), Pasal 50 tentang
melaksanakan Undang-undang dan Pasal 51 KUHP tentang
menjalankan perintah jabatan yg diberikan oleh penguasa yang
berwenang.
Selain itu, alasan pemaaf yang diatur dalam Pasal 44 KUHP
tentang tidak mampu bertanggung jawab, Pasal 48 KUHP tentang Daya
Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan
terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat (2)
KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap
perintah itu datang dari pejabat yang berwenang merupakan alasan yang
berkitan erat dengan subjek yang melakukan tindak pidana.
Berdasarkan analisis penulis dalam perkara Nomor
14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm, tidak ditemukan sama sekali
alasan penghapus pidana sebagaimana telah dijelaskan dalam
putusan. Hal ini bersesuaian dengan fakta hukum di persidangan
sehingga alasan penghapus pidana yang berupa daya paksa
relative, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dan
menjalankan perintah jabatan yang dikira sah tidak dapat
diterapkan pada para Anak. Selain itu, para Anak di persidangan
tidak dapat membuktikan bahwa para Anak tidak melakukan
perbuatan pengrusakan secara bersama-sama seperti yang diatur
dalam ketentuan Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP. Hal ini sejalan
dengan apa yang diungkapkan oleh hakim bahwa jika tidak
terdapat alasan penghapus pidana dalam pertanggungjawaban
pidana maka seseorang tetap dapat dipidana. Berkaitan dengan
kasus pengrusakan secara bersama-sama ini maka para Anak
jelas dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya selain
karena para Anak sehat jasmani dan rohani bahkan para Anak
masih ada yang bersekolah formal serta para Anak juga mengakui
semua perbuatannya di persidangan.
Jika ditinjau dari siapa subjek yang menjadi korban dalam
kasus pengrusakan secara bersama-sama pada gedung DPRD
Kabupaten Gowa baik tersebut adalah Negara bahwa
sesungguhnya hakim melihat kerugian Negara yang ditimbulkan
akibat perbuatan para Anak dan massa yang melakukan
perbuatan anarkis, namun secara tersirat dapat disimpulkan
bahwa bagi hakim bahwa properti yang dirusak adalah milik
negara tidak dapat dipungkiri juga membawa efek tersendiri
karena sangat mengundang perhatian publik dalam persidangan.
Sekalipun demikian, sejatinya hakim tetap bersikap professional
dan proporsional dalam mengambil keputusan. Hakim tidak
mungkin semata-mata menggunakan kaca mata kuda dalam
mengambil keputusan atau menafsirkan hukum secara rigid.
Pada umumnya setelah mempelajari perkara lantas hakim
merasa memiliki pendapat dan pertimbangan tertentu, hakim akan
memperhalus melalui putusan-putusan yang dibuatnya. Hal itu
dapat dilihat dari vonis yang dijatuhkan hakim kepada para Anak
yang dapat saja meringankan atau bahkan memberatkan
terdakwa. Berdasarkan pendapat hakim tersebut, dapat
disimpulkan bahwa majelis hakim yang menangani kasus para
Anak hanya menjatuhkan pidana berupa dikembalikan kepada
orang tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1
(satu) tahun berkewajiban melapor secara periodik serta dalam
pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing
Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan atau apabila Para Anak
tidak melanjutkan pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan
ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial) selama 1 (satu) tahun yang berbeda dari tuntutan penuntut
umum berupa tindakan dengan perawatan di LPKS selama 1
(satu) tahun terhadap Anak MUH. RESKY ALIAS RESKY BIN
BURHANUDDIN, pidana terhadap Anak ARDIANSYAH BIN
JAMALUDDIN DG. SANRE ALIAS RIAN, Anak MURSIDIN ALIAS
DIDIN BIN HASRUDDIN, Anak NASRAN BIN KADIR DG.
TANJENG ALIAS BONGKENG, Anak NURSALAM ARDIANSYAH
ALIAS ALAM BIN AHMAD DEWA DG. LIRA oleh karena itu
dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan
8 (delapan) bulan dikurangi selama anak ditahan dengan perintah
tetap ditahan adalah bentuk penghalusan atas pidana yang harus
dijalani para Anak atau dalam kata lain sebagai pemenuhan rasa
keadilan yang diyakini oleh hakim.
Menurut Hakim Sigit Triatmojo, SH yang juga merupakan
anggota dari majelis yang menyidangkan kasus pengrusakan
secara bersama-sama yang dilakukan oleh Anak Ardiansyah, DKK
berdasarkan fakta-fakta persidangan yang telah dicantumkan di
dalam putusan Nomor : 14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm yang
mana para Anak hanya ikut-ikutan melihat massa yang merusak,
melempar batu, dan memecahkan barang-barang di kantor di
gedung DPRD Kabupaten Gowa saat terjadi orasi penolakan
terhadap Perda tentang Lembaga Adat Daerah (LAD). Dari faktor
keterlibatan para Anak yang bukan merupakan pencetus dan
provokator dalam aksi anarkis di kantor DPRD Kabupaten Gowa ,
para Anak tersebut hanya sebatas ikut-ikutan dalam aksi anarkis,
yang mana sebelumnya berdasarkan Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Sistem
Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak telah
dilaksanakan diversi melibatkan para Anak dan orang tua/walinya,
pihak dari DPRD Kabupaten Gowa, Pembimbing Kemasyarakatan
dari BAPAS Kelas I Makassar, jaksa penuntut umum dan
penasihat hukum para Anak namun tidak berhasil sehingga
persidangan dilanjutkan.
Persidangan terhadap para Anak dilaksanakan sesuai
dengan Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 Undang-undang Nomor
11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebelum
menjatuhkan putusan, hakim memberikan kesempatan kepada
orang tua/wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal
yang bermanfaat bagi para Anak. Hal tersebut dilaksanakan
berdasarkan Pasal 60 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak .Dalam persidangan
orang tua dan wali dari para Anak memohon kepada majelis hakim
untuk mengembalikan para Anak untuk dibina kembali oleh orang
tuanya.
Berdasarkan Pasal 81 Ayat (5) Undang-undang Nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak “pidana penjara
terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir” dan
Pasal 70 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak “ringannya perbuatan, keadaan pribadi
Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk
tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusian” sehingga
majelis Hakim memutuskan menjatuhkan sanksi pidana terhadap
Anak dikembalikan kepada orang tua/walinya dengan ketentuan
selama maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara
periodik serta dalam pengawasan dan pembimbingan dari
Pembimbing Kemasyarakatan atau apabila para Anak tidak
melanjutkan pendidikan formal sekolahnya para Anak akan
ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial) selama 1 (satu) tahun. Majelis hakim yang memutus
perkara Ardiansyah, Dkk tersebut mempertimbangkan bahwa
masih terdapat Anak yang masih aktif bersekolah, dan bagi Anak
yang tidak bersekolah, majelis hakim mempertimbangkan untuk
menempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial) yang mana dalam lembaga tersebut Anak
masih mendapatkan pelatihan kerja dan pendidikan.
Putusan tersebut diputuskan oleh majelis hakim juga dengan
mempertimbangkan rasa keadilan terhadap korban yang telah
menanggung akibat dari perbuatan Anak selain
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
tersebut di atas. Dalam menjatuhkan pidana terhadap Anak
majelis hakim yang menyidangkan perkara Ardiansyah, Dkk tidak
membuat suatu wujud pembalasan dendam kepada para Anak
tetapi untuk mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan
para Anak adalah melanggar suatu ketentuan Undang-undang,
agar dikemudian hari para Anak bertanggung jawab pada
perbuatannya serta kembali menjadi warga masyarakat yang
bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.
3. Pertimbangan Sosiologis
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam menegakkan hukum
ada tiga usnur yang harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di persidangan.
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur tersebut tidak selalu
mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur
tersebut. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi
putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang
diinginkan masyarakat biasanya berkisar antara sejauh mana
pertimbangan unsur kepastian hukum dengan unsur keadilan
ditampung di dalamnya.
Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul
keresahan di masyarakat. Tetapi terlalu menitikberatkan pada
kepastian hukum akibatnya akan kaku dan akan menimbulkan
rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah
demikian, sehingga Undang-undang itu serasa terasa kejam
apabila dilaksanakan secara ketat.
Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim
terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa dan
memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan
menjadi bahan pertimbangan dalam suatu putusan, sehingga
kejelian dalam menemukan fakta suatu kasus merupakan faktor
penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu
tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat
berbeda dengan putusan hakim.
Sedangkan dalam pertimbangan hakim menjatuhkan
tindakan terhadap Ardiansyah, DKK tersebut yang menyebutkan
bahwa meskipun para Anak telah terbukti melakukan tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum, dimana
seharusnya hukuman kepada para Anak diperberat dikarenakan
keterlibatan mereka merusak fasilitas publik namun mengingat
peranan dan keterlibatan para Anak yang hanya ikut-ikutan dan
kasus tersebut berada dalam sistem nilai peradilan Anak dimana
di satu sisi para Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dimintai
pertanggungjawaban pidana, di sisi lain juga sebagai korban atau
objek dalam peradilan anak, maka tanpa bermaksud mengabaikan
keadaan korban akibat perbuatan pidana yang telah dilakukan
Anak, hakim berkesimpulan agar Anak dijatuhi tindakan.
Bahwa saat awal persidangan, Sekertaris Daerah selaku
pihak yang mewakili DPRD Kabupaten Gowa saat dilakukan
diversi atas perkara Anak Ardiansyah, DKK tetap meminta untuk
perkara dilanjutkan di persidangan dikarenakan kerugian yang
sangat besar ± Rp. 5.800.000.000,- (lima milyar delapan ratus juta
rupiah) dan meminta agar para Anak diberikan efek jera atas
perbuatannya.
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara para Anak
tersebut melihat berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan melihat latar belakang para Anak tersebut hanya ikut-
ikutan massa, sehingga ikut masuk ke dalam gedung kantor
DPRD Kabupaten Gowa merusak barang-barang, melempar batu
saat terjadi orasi penolakan Perda tentang Lembaga Adat Daerah
(LAD). Para Anak tersebut tanpa tahu apa yang diteriakkan orator,
dikarenakan hanya rasa ketertarikan mereka ikut-ikutan orang
dewasa merusakkan barang. Para Anak bukanlah pencetus
maupun provokator dalam aksi anarkis di kantor DPRD Kabpaten
Gowa tersebut, hal itulah yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penjatuhan pidana tindakan terhadap para Anak, terlebih lagi
orang tua maupun wali dari para Anak di dalam persidangan
menyatakan masih sanggup membina dan mendidik para Anak
dan para Anak tersebut masih duduk di bangku sekolah.
Merujuk pada Pasal 71 Ayat (4) Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
menyatakan agar pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang
melanggar harkat dan martabat Anak, Pasal 69 Ayat (2) Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang menyatakan Anak yang belum berusia 14 (empat
belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan dan asas sistem
peradilan anak diantaranya kepentingan terbaik bagi Anak dan
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dan I
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak serta mengingat Anak tersebut masih belum
memahami tentang apa yang telah dilakukannya, sehingga orang
tua sebagai orang terdekat Anak diharapkan ke depannya dapat
mendidik, membina, dan mengawasi Anak dengan lebih
bersungguh-sungguh lagi agar Anak yang lebih baik dalam segala
hal dan tidak melanggar hukum lagi.
Menurut Anita Arsyad, SH.,MH selaku jaksa penuntut umum
yang melaksanakan proses eksekusi terhadap Ardiansyah, Dkk,
telah melakukan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan
dari BAPAS Kelas I. Makassar dan telah menyerahkan berkas-
berkas yang berkaitan dengan proses pengawasan terhadap para
Anak yang masih bersekolah ke Pembimbing Kemasyarakatan
untuk dilakukan pengawasan dan pembimbingan selama 1 (satu)
tahun. Sebelum melaksanakan eksekusi dan penyerahan berkas-
berkas, Anita Arsyad, SH.,MH telah melakukan pengecekan di
sekolah yang tertera pada surat keterangan yang ditanda tangani
oleh kepala sekolah tersebut dan para Anak tersebut masih aktif
bersekolah.68
Untuk Anak Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin dan
Nasran Alias Bongkeng yang sudah tidak bersekolah dan sudah
tidak tinggal di rumah orang tuanya masing-masing belum dapat
dieksekusi untuk ditempatkan di LPKS (Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) dan telah dibuatkan
Daftar Pencarian Orang (DPO) dan Daftar Pencarian Orang (DPO)
tersebut telah dikirim ke pihak kepolisian. Hal tersebut menurut
penulis sangat disayangkan mengingat putusan hakim tersebut
sudah sangat memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak yang
diharapkan Anak meski sudah tidak bersekolah akan tetapi masih
dapat mendapatkan pendidikan, pelatihan, pembimbingan dan
pendampingan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial).
Menurut Ratna Doko selaku Pembimbing Kemasyarakatan
Pada BAPAS Kelas I. Makassar yang dari awal penyidikan,
persidangan dan proses eksekusi terhadap Ardianysah, DKK
68
Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Gowa, Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 18 Desember 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Gowa.
sebagai Pembimbing Kemasyarakatan terhadap Ardiansyah, DKK,
setelah menerima berkas-berkas eksekusi dan berkas-berkas
yang berkaitan dengan proses pengawasan terhadap para Anak
yang masih bersekolah dari jaksa penuntut umum melakukan
pemanggilan terhadap para Anak dan para orang tuanya untuk
dibuatkan kartu kontrol terhadap para Anak untuk melapor secara
berkala di BAPAS Kelas I. Makassar.69 Secara berkala pula Ratna
Doko setelah berkoordianasi dengan jaksa penuntut umum
melakukan kunjungan ke sekolah ataupun rumah dari para Anak
untuk melihat perkembangan para Anak.
Menurut Ibu Suriani, ibu dari Anak Nursalam Ardiansyah
setelah perkara Anak nya berkekuatan hukum tetap dan dilakukan
eksekusi oleh penuntut umum, Ibu Suriani dengan kedua orang
tua terpidana lainnya dipanggil di kantor BAPAS Kelas I. Makassar
dan untuk para Anak dibuatkan kartu kontrol tiap bulannya. Ibu
Suriani setiap bulannya bersama dengan ibu dari Anak Ardiansyah
dan ibu dari Anak Mursidin menemani anak mereka untuk wajib
lapor dan memberikan laporan terkait perilaku Anak. Bahwa
sebelum Anak Nursalam ditangkap dan disidang, Ibu Suriani tidak
terlalu memperhatikan pergaulan dan jam pulang dari Anak
Nursalam, akan tetapi saat sekarang Ibu Suriani lebih
memperhatikan pergaulan Anak Nursalam dan memberikan aturan
69
Pembimbing Kemasyarakatan Pada Bapas Kls. I. Makassar, Wawancara dilakukan pada hari Selasa tanggal 19 Desember 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Bapas Kls. I. Makassar.
selepas pulang sekolah Anak Nursalam harus langsung pulang ke
rumah dan apabila meninggalkan rumah harus ditemani oleh salah
satu dari orang tuanya.70 Secara berkala pula pembimbing
kemasyarakatan yang berkoordianasi dengan jaksa penuntut
umum melakukan kunjungan ke sekolah dari para Anak, yaitu di
SMA Gowa Raya ataupun rumah dari para Anak untuk melihat
perkembangan para Anak.
4. Laporan Bapas
Dalam hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS) terhadap
Anak Ardiansyah,DKK, pembimbing kemasyarakatan yang
menangani para Anak membuat laporan rekomendasi sebagai
berikut :
Tanpa mengurangi hak wewenang dalam menyidangkan
perkara klien Anak, maka pembimbing kemasyarakatan
berpendapat dan menyarankan kepada hakim dalam persidangan
ini bahwa setelah menganalisa dari masalah yang dihadapi klien
dan melihat beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan
pelanggaran hukum yang telah dilakukan klien serta berdasarkan
hasil konsultasi dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP) Bapas Kelas I. Makassar pada hari Kamis, tanggal 06
Oktober 2016, maka saat ini klien perlu mendapat dan pelatihan
dan keterampilan dan akan mencari pekerjaan demi masa
70
Orang Tua dari terpidana Anak Nursalam, Wawancara dilakukan pada hari Sabtu tanggal 13 Januari 2018 pukul 11.00 WITA bertempat di Sungguminasa Kab. Gowa.
depannya, oleh sebab itu sebaiknya klien ditempatkan di Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dalam hal ini Panti
Sosial Marsudi Putra Toddopuli Makassar untuk mendapat
pembinaan dan keterampilan kerja sesuai dengan minat dan
bakatnya dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Klien baru pertama kali melakukan tindak pidana;
- Klien saat ini membutuhkan pembimbingan baik itu secara
psikis maupun moral serta peningkatan pemahaman agama
dari orang tuanya;
- Klien berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar
hukum dan lebih berhati-hati lagi dalam pergaulannya;
- Orang tua klien masih sanggup membimbing dan mengawasi
klien dengan baik dan lebih sungguh-sungguh;
- Klien masih duduk di bangku sekolah.
Berdasarkan Pasal 60 Ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, majelis hakim
dengan mempertimbangkan hasil laporan penelitian
kemasyarakatan dan fakta-fakta persidangan menjatuhkan putusan
terhadap Anak Ardiansyah, DKK dikembalikan kepada orang
tua/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu) tahun
berkewajiban melapor secara periodik serta dalam pengawasan
dan pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan atau apabila
para Anak tidak melanjutkan pendidikan formal sekolahnya para
Anak akan ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu) tahun.
5. Kepentingan Terbaik Bagi Anak
Kepentingan terbaik bagi Anak adalah asas hak anak yang
berasal dari Pasal 3 Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang menyatakan bahwa dalam semua tindakan mengenai
Anak yang dilakukan oleh lmbaga-lembaga kesejahteraan sosial
negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif
atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi Anak harus menjadi
pertimbangan utama.71
Menurut Hakim Sigit Triatmojo, SH, hakim pada Pengadilan
Negeri Sunggguminasa72 menerangkan bahwa dalam
pertimbangan putusan hakim, keadilan restoratif merupakan
keadilan sosiologis, yaitu suatu proses dimana para pelaku
kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas
kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada
masyarakat yang sebagai balasannya mengizinkan bergabungnya
kembali pelaku kejahatan yang bersangkutan ke dalam
masyarakat.
Bahwa tidak mungkin melakukan tindakan demi kepentingan
Anak tanpa melalui putusan. Hal ini berkaitan pula dengan adanya
71
https://id.m.wikipedia.org/wiki/kepentingan_kepentingan_terbaik_bagi_anak. 72
Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim sekaligus Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Gowa. Wawancara dilakukan pada Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.
kewenangan hakim yang diberikan Undang-undang yang
memberikan kewenangan menjatuhkan pidana tindakan terhadap
Anak yang terbukti bersalah di depan persidangan. Hal ini dapat
berpengaruh terhadap psikologi Anak pelaku tindak pidana yang
meliputi psikologi Anak pada saat melakukan suatu tindak pidana
dan psikologi Anak setelah dikenai sanksi pidana, karena Anak
memiliki sifat-sifat khas yang berbeda dengan ciri dan sifat orang
dewasa.
Hakim dalam pertimbangannya harus dapat memberikan suatu
pidana yang tidak menghambat Anak dalam menjalani
pendidikannya dan memperhatikan kesejahteraan Anak dalam
menjalani pidananya.
Meskipun para Anak telah terbukti bersalah melakukan tindak
pidana, hakim melihat riwayat dan latar belakang pribadi para
Anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, para Anak
hanya ikut-ikutan massa yang anarkis melakukan pengerusakan.
Keluarga dari para Anak yang menyatakan masih sanggup
membina dan mendidik para Anak, para Anak yang masih harus
mengenyam pendidikan, serta kerentanan apabila para Anak yang
apabila di penjara bukannya menjadi lebih baik, akan tetapi malah
terpengaruh dari narapidana lainnya, karena di Sulawesi Selatan
belum ada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan
narapidana Anak masih ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan
sehingga hakim menjatuhkan sanksi tindakan dengan
dikembalikan kepada orang tua/walinya dengan ketentuan selama
maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara periodik
serta dalam pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing
Kemasyarakatan atau apabila para Anak tidak melanjutkan
pendidikan formal sekolahnya para Anak akan ditempatkan di
LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama
1 (satu) tahun adalah suatu putusan yang mengedepankan
keadlian restoratif terhadap para Anak.
Berdasarkan pada uraian di atas, penulis menyimpulkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan keadilan
restoratif dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Anak,
yaitu faktor hukum dan faktor penegak hukum. Faktor hukum
dalam hal ini aspek peraturan perundang-undangan yang terdapat
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Selain itu, faktor penegak hukum yang
merupakan golongan panutan dalam masyarakat. Aparat penegak
hukum yang telah memahami apa yang termaktub dalam Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dan menerapkan nya dalam menangani perkara yang
berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak,
mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak dan
menghilangkan efek negatif dari pemidanaan dan stigma
pembalasan dari sistem pemidanaan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nilai Keadilan Restoratif sudah terkomodir dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak, seperti adanya penyelesaian secara restoratif maupun
secara diversi. Persyaratan diversi antara lain sebagai berikut :
a. Tindak pidana yang dilakukan oleh Anak usia 12 tahun ke
atas yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun (Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11
tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana);
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 Ayat
(2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana);
c. Mendapatkan persetujuan korban, dan/atau keluarga Anak
korban, kecuali untuk :
1. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;
2. Tindak pidana ringan;
3. Tindak pidana tanpa korban;
4. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah
minimum propinsi setempat.
d. Kesediaan Anak dan keluarganya.
2. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan
tindakan terhadap kasus kenakalan Anak :
a. Usia dari Anak;
b. Terpenuhinya semua unsur-unsur pasal dalam dakwaan;
c. Fakta-fakta di persidangan;
d. Memperhatikan berat atau ringannya tindak pidana yang
dilakukan oleh Anak;
e. Apakah Anak tersebut pernah dihukum sebelumnya;
f. Serta tujuan dan manfaat dari penjatuhan pidana tersebut
sendiri terhadap Anak untuk memberikan efek jera dan tidak
mengulangi perbuatannya namun tetap memperhatikan
kepentingan yang terbaik bagi Anak.
3. Penerapan keadilan restoratif dalam putusan pidana Anak No.
14/pid.Sus.Anak/2016/PN. SGM yaitu dikembalikan kepada orang
tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu) tahun
berkewajiban melapor secara periodik serta dalam pengawasan dan
pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai
Pemasyarakatan atau apabila Para Anak tidak melanjutkan
pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan ditempatkan di LPKS
(Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu)
tahun telah sesuai dengan tujuan dibuatnya Undang-undang No. 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terutama Pasal
82 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
B. Saran
1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum agar memperhatikan
ketentuan aturan yang diberlakukan kepada Anak yang berkonflik
dengan hukum dalam hal penjatuhan sanksi lebih ke arah pendidikan
dan pembangunan karakter terhadap Anak sehingga ancaman-
ancaman pidana penjara menjadi alternatif terakhir dalam memberikan
sanksi bagi Anak.
2. Diharapkan agar masyarakat dan pemerintah bersedia menerima dan
membantu mengawasi narapidana Anak di tengah kehidupan mereka
setelah proses hukumnya selesai, dengan tujuan mencegah Anak
yang telah dipidana agar tidak mengulangi kejahatan pada umumnya
dan perbuatan yang sama pada khususnya sesuai dengan tujuan
pemidanaan yang bersifat memperbaiki diri terdakwa.
3. Diharapkan kepada aparat penegak hukum agar menjatuhkan
putusan kepada Anak yang berkonflik dengan hukum dalam hal
penjatuhan sanksi, tetap memperhatikan pendidikan dari Anak yang
berkonflik dengan hukum tersebut, akan tetapi tetap dalam
pengawasan dari aparat penegak hukum yang terkait saat Anak
tersebut menjalani sanksi pidananya tanpa harus memasukkan Anak
ke dalam penjara.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Arief S, Kamus Hukum Lengkap, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1995.
Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1994).
Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency), Yogyakarta:
Yayasan Penertiban Fakultas Psikologi. 1982.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Baahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.1991.
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, Depok : Badan Penerbit FHUI,
2009.
Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika, 2009.
Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan
Anak, Jakarta: PT. Grasindo. 2000.
Melly Setyawati dan Supriyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Anak
dalam Rancangan KUHP, Jakarta:ELSAM dan Aliansi Nasional
Reformasi KUHP, 2007.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: BP
UNDIP, 1984.
M. Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Jakarta:
Djambatan,1999.
Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan
Penggulangan,Jakarta:Bayumedia. 2008.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea, 1964.
Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,
Jakarta: PT. Refika Aditama. 2006.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung; Alumni. 1984.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: Reflika Editama,2007).
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama,
2008.
Marwan Mas, 2004, “Pengantar Ilmu Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia.
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi, Peradaban.
Kansil. CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, Jakarta: Aneka Ilmu Sejarah, 1977.
TESIS DAN JURNAL :
Adam Malik, Menuju Pelaksanaan Pancasila, Yayasan Idayu, 1979.
Handbook on Restorative Justic programme, New York : United
Nations,2006.
Indonesia Masa Datang, Semarang: Diponegoro University Press. 2006.
Rules for The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty, New York :
United Nation Resolution 45/113,1990.
Rupper Cross & P. Asterlev Jones, An. Introduction To Criminal Law,
London:Buterworth,1953.
Standard Minimum Rules For The Adminstration of Juvenile Justice
(Beijing Rules), New York : United Nation Departemen of Public
Information, 1986.
Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004.
Tony F. Marshall, Restorative Justice an Overview, London: Home Office,
Information & Publications Group, 1999.
Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton & Company,
London,1998.
ARTIKEL :
Erna Sofwan Syukri, Pemahaman VIsi dan Misi Pengadilan Anak Dalam
Sistem Peradilan di Indonesia, Lokakarya Reformasi Nasional
Dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak Yang Berpihak
Kepada Anak dan Keadilan, Jakarta, 25-26 Pebruari 2014.
Harkristuti Krisnowo, Rekonsruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan
Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Pidato
Pengukuhan Guru Besar. Jakarta.8 Maret 2013.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, USA:St. Paul
West Publishing.1979.
M. Musa, Sistem Peradilan Restoratif Sebagai Alternatif Peradilan Anak
Indonesia,http://.musa66.blogspot.com, diunduh 30 Mei 2017.
Makalah Potret Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di
Indonesia, Jakarta:UNICEF Indonesia.2004.
Wikipedia, Kepentingan Terbaik Bagi Anak.
PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
PUTUSAN PENGADILAN :
Putusan Nomor : 14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm.