SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER BAGIAN PENELITIAN
SORVEI SOSIAL/PENELITIAN LEMBAGA
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER TENTANG “URGENSI PEMBENTUKAN PENGADILAN
MILITER PERTEMPURAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA”
TA. 2016
1
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER Jakarta, Maret 2016
1. Latar Belakang
Pengadilan pertempuran, atau Pengadilan Militer Pertempuran, merupaklan
salah satu bagian dari sistem peradilan di Indonesia, khususnya keberadaannya
dalam sistem peradilan militer.
Sistem peradilan, menurut Bagir Manan, dapat ditinjau dari beberapa segi.
Pertama, segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan. Di sini
sistem peradilan akan mencakup kelembagaan, sumber daya, tata cara,
prasarana dan sarana, dan lain-lain. Kedua, sistem peradilan diartikan sebagai
proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara).1
Pengertian sistem peradilan menurut Bagir Manan pada pengertian yang
pertama menunjukkan bahwa sistem peradilan dalam arti yang sangat luas.
Sedangkan pengertian yang kedua menunjukkan pengertian sistem peradilan
dalam artian yang sempit, yang hanya meliputi proses mengadili.
Sistem peradilan sering diartikan secara sempit sebagai ”sistem pengadilan
yang menyelenggarakan keadilan atas nama negara atau sebagai suatu
mekanisme untuk menyelesaikan perkara.”2 Pengertian yang demikian merupakan
pengertian dalam artri sempit, karena hanya melihat dari aspek struktural yaitu
system of courts sebagai suatu institusi, dan hanya melihat dari aspek kekuasaan
mengadili atau menyelesaikan perkara (administer justicela mechanism for the
resolution of disputes).3 Jadi, sistem peradilan pada hakikatnya identik dengan
sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses
penegakan hukum yang identik dengqan sistem kekuasaan kehakiman. Karena,
kekuasaan kehakiman pada dasarnya merupakan kekuasaan menegakkan
hukum.
Berdasarkan pengertian yang luas, sistem peradilan dalam arti
kelembagaan, maka untuk dapat memahami kelembagaan peradilan di Indonesia
1. Bagirmsnsn, memeriksa dan memutus perkara .
2Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradlan (Sistem Penegakan Hukum di
Indonesia), Semarnag: BP Undip, 2011, Hlm. 2. 3 Ibid.
2
dapat dilihat pada konstitusi. Kelembagaan peradilan di Indonesia telah diatur
di dalam konstitusi UUD 1945, pada Pasal 24 ayat (2):
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24 UUD 1945 ini kemudian dijabarkan dalam Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada pasal 18,
dirumuskan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Militer sebagai salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah
Agung, terdiri dari:
1. Pengadilan Militer; 2. Pengadilan Militer Tinggi; 3. Pengadilan Militer Utama; dan 4. Pengadilan Militer Pertempuran.4
Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan
dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.5
Sebagai bagian dari suatu sistem peradilan (Peradilan Pidana), maka
Pengadilan Militer Pertempuran dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman
di bidang hukum pidana, harus juga merupakan suatu rangkaian perwujudan dari
kekuasaan menegakkan hukum pidana yang terdiri dari 4 (empat) sub sistem,
yaitu: (1) Kekuasaan Penyidikan, oleh badan/lembaga Penyidik; (2) Kekuasaan
Penuntutan oleh badan/lembaga Penuntut Umum; (3) Kekuasaan Mengadili dan
menjatuhkan putusan/pidana, oleh badan pengadilan; (4) Kekuasaan pelaksanaan
putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi. Selain itu, dalam sistem
peradilan militer melibatkan kelembagaan Papera (Perwira Penyerah Perkara) dan
Atasan yang Berhak Menghukum/Ankum.
Selain kelembagaan tersebut, sebagai bagian dalam Sistem Penegakan
hukum Pidana melalui proses acara pidana, tidak dapat dipisahkan adalah peran
4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pasal 12. 5Ibid. Pasal 46
3
Penasihat Hukum. Fungsi penasihat hukum di lingkungan TNI AD berada pada
Direktorat Hukum TNI AD beserta jajaran Hukum TNI AD di tingkat Komando
Utama/Kotama, yaitu Kumkotama. Fungsi/tugas Hukum TNI AD dirumuskan:
“Tugas hukum TNI AD sebagai salah satu fungsi teknis militer umum TNI AD
mempunyai tugas pokok menyelenggarakan bantuan, dukungan hukum dan
perundang-undangan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi
TNI AD.”6
Pada sisi yang lain, bantuan hukum kepada Prajurit/Militer merupakan hak konstitusional dan sekaligus rawatan kedinasan. Oleh sebab itu, Prajurit/Militer yang berstatus sebagai Tersangka/Terdakwa mempunyai hak untuk diberikan bantuan hukum secara kedinasan. Bantuan hukum kepada Prajurit/Militer pada kondisi masa damai sudah dilakukan oleh Perwira Hukum dari jajaran Ditkumad dan/ atau Kumkotama. Namun, karena sistem peradilan militer juga ada satu kelembagaan Pengadilan Militer Pertempuran. Maka, bagaimana peran Penasihat Hukum dalam proses Pengadilan Militer Pertempuran perlu mendapat perhatian. Oleh sebab itu, melalui makalah singkat ini akan dikemukakan pokok-pokok pemikiran dengan tema: “URGENSI PEMBENTUKAN PENGADILAN MILITER PERTEMPURAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA” TA. 2016 ”
2. Maksud dan Tujuan
a. Maksud.
Makalah ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi peserta Rakornis
Babinkum TNI TA 2015 guna mencari bentuk atau sistem Pengadilan
Militer Pertempuran yang ideal guna perbaikan dari Sistem yang ada dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
khususnya berkaitan dengan peran dan fungsi Peran Perwira Hukum dalam
mengemban tugas sebagai penasihat hukum.
b. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari hasil pembahasan dalam Rabiniscab
akan diperoleh masukan baik untuk penytempurnaan sistem pengadilan
militer pertempuran dan khususnya terkait dengan peran dan fungsi Peran
Perwira Hukum dalam mengemban tugas sebagai penasihat hukum.
3. Dasar Hukum Pemberian Nasehat/Bantuan Hukum.
6Organisasi dan Tugas Ditkumad.
4
Nasehat/Bantuan hukum bagi Prajurit dalam proses Pengadilan Militer
Pertempuran, didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
dirumuskan pada Pasal 215:
(1) Untuk kepentingan pembelaan perkaranya, Tersangka atau Terdakwa berhak mendapat bantuan hukum di semua tingkat pemeriksaan.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dari dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata (sekarang Tentara nasional Indonesia).
b. Udang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, bahwa bantuan hukum merupakan salah satu dari sekian
bentuk rawatan dan layanan kedinasan. Dalam Pasal 50 ayat (1)
ditegaskan bahwa Prajurit dan Prajurit Siswa memperoleh rawatan dan
layanan kedinasan, salah satunya adalah, bantuan hukum;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi
Prajurit TNI. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang
Administrasi Prajurit TNI dalam Pasal 41 mempertegas kembali tentang
rawatan kedinasan,bantuan hukum bagi Prajurit.
d. Peraturan Panglima TNI Nomor: Perpang/21/IV/2008 tentang
Nasihat dan bantuan Hukum di Lingkungan TNI.
e. Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Perkasad/130/IX/2007
tanggal 13 September 2007 tentang Buku Petunjuk Teknik
Penyelenggaraan Bantuan Hukum.
f. Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kep/63/XII/2004
tanggal 2 Desember 2004 tentang Organisasi dan Tugas Direktorat Hukum
TNI AD.
4. Pengertian Nasehat/Bantuan Hukum.
Bantuan hukum diberikan rumusan pengertian dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit, adalah
segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang meliputi pemberian nasihat
hukum dan bantuan hukum dalam rangka penyelesaian perkara baik di
dalam maupun di luar pengadilan,
5
Pada tataran undang-undang memang tidak dibedakan antara
bantuan hukum dan nasihat hukum. Namun, pada tingkat Peraturan
Panglima TNI dibedakan antara Bantuan Hukum dan Nasihat Hukum.
Dimana bantuan hukum adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang
dilakukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis di luar pengadilan
ataupun di dalam pengadilan secara langsung beracara di segala tingkat
pengadilan guna bertindak selaku kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, atau melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan
dinas sebagai bagian dari rawatan kedinasan dan di luar rawatan
kedinasan terhadap Prajurit TNI serta PNS di lingkungan TNI.
Sedangkan Nasihat Hukum, adalah segala usaha, pekerjaan, dan
kegiatan yang dilakukan dengan memberikan konsultasi hukum baik
secara tertulis maupun tidak tertulis kepada dinas, Prajurit TNI dan PNS di
lingkungan TNI serta untuk kepentingan rawatan kedinasan dan bukan
untuk kepentingan rawatan kedinasan yang dilakukan di luar sidang
pengadilan.
5. Prinsip-prinsip pemberian Nasehat/Bantuan Hukum dalam Proses
Pengadilan Militer Pertempuran.
Proses beracara pidana pada Pengadilan Militer Pertempuran siudah
barang tentu terdapat khekhususan jika dibandingkan dengan proses beracara
pada Pengadilan Militer; Pengadilan Militer Tinggi; dan Pengadilan Militer Utama.
Pada Pengadilan Militer Pertempuran sudah barang tentu terdapat keadaan yang
luar biasa dimana terdapat keadaan pertempuran. Oleh sebab itu, dalam
pemberian nasehat/bantuan hukum pada Pengadilan Militer Pertempuran harus
memperhatian prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Mengutamakan Kepentingan Militer/ Kepentingan Pertahanan
Negara.
Digelarnya persidangan Pengadilan Militer Pertempuran pada
kondisi pertempuran, tentu terdapat kondisi yang bersifat mendesak dan
khusus. Dalam kondisi kondisi yang bersifat mendesak dan khusus yaitu
satuan-satuan militer sedang menjalankan tugas pokoknya untuk
mempertahankan Negara dan kutuhan dan kedaulatan Negara. Oleh
sebab itu, kepentingan militer dan kepentingan pertahanan Negara harus
6
lebih diutamakan dari kepentingan individu dan atau kelompok, termasuk
kepentingan Tersangka/Terdakwa.
b. Tetap memberikan Perlindungan Hak-hak Tersangka/Terdakwa.
Meskipun kepentingan militer dan kepentingan pertahanan Negara
diutamakan, tetapi pemberinan nasehat/bantuan hukum tetap harus dapat
memberikan perlindungan hak-hak Tersangka/ Terdakwa. Artinya jaminan
hak-hak dan perlindungan Tersangka/Terdakwa dari kesewenangan-
wenangan penegak hukum harus dapat diberikan secara proporsional.
c. Kecepatan Penyelesaian Perkara.
Persidangan Pengadilan Militer Pertempuran digelar pada kondisi
yang bersifat mendesak dan khusus yaitu dalam kondisi pertempuran. Oleh
sebab itu, konsentrasi dan prioritas adalah tercapainya tugas pokok yang
ingin dicapai dalam pertempuran yaitu tetap tegak dan utuhnya wilayah
negara dan kedaulatan Negara. Tetapi di sisi lain, bahwa hukum tetap
harus ditegakkan sesuai prinsip Viat Justitia Ruat Cellum (hukum harus
ditegakkan meskipun langit akan runtuh). Maka, hukum harus ditegakkan
sekalipun situasi dalam pertempuran. Namun demikian persidangan harus
dilakukan secara cepat. Maka pemberian bantuan/Nasehat Hukum harus
menyesuaikan dengan kecepatan penyelesaian perkara.
d. Bantuan Hukum sebagai hak konstitusional.
Meskipun tidak secara eksplisit dirumuskan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bantuan hukum
adalah hak konstitusional, Namun jika disimak dari rumusan Pasal 28 D
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang secara tegas memberikan pengakuan, jaminan,perlindungan dan
kepastian hukum yang adil bagi setiap orang tanpa membedakan suku,
agama, atau kedudukan derajat hidupnya. Kemudian, pengakuan dan
jaminan ini dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia
adalah Negara Hukum. Maka, dapatlah diartikan bahwa hak untuk
mendapat bantuan hukum adalah hak konstitusional warga Negara.
Dengan demikian, Negara berkewajiban untuk memenuhi hak
setiap warga Negara untuk memperoleh bantuan hukum, karena akses
terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara adil
7
merupakan salah satu ciri negara hukum. Artinya, negara berkewajiban
menjamin segala hak masyarakat yang berhubungan dengan hukum,
termasuk jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum.
e. Bantuan hukum Prajurit TNI merupakan Rawatan dan Layanan
Kedinasan.
Tidak terkecuali, sebagaimana warga negara pada umumnya,
Prajurit TNI dan keluarganya juga dijamin untuk mendapatkan bantuan
hukum. Secara tegas menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia bahwa bantuan hukum merupakan
salah satu dari sekian bentuk rawatan dan layanan kedinasan. Pasal 50
ayat (1) menegaskan bahwa Prajurit dan Prajurit Siswa memperoleh
rawatan dan layanan kedinasan, yang meliputi;
a. Penghasilan yang layak;
b. Tunjangan keluarga;
c. Perumahan/asrama/mess;
d. Pawatan kesehatan;
e. Pembinaan mental dan pelayanan kegamaan;
f. Bantuan hukum;
g. Asuransi kesehatan dan jiwa;
h. Tunjangan hari tua; dan
i. Asuransi penugasan operasi militer.
Bahkan tidak hanya anggota TNI tetapi bantuan hukum juga
diberikan kepada Keluarga Prajurit, sebagaimana diatur dalam Pasal 50
ayat (3), bahwa Keluarga Prajurit memperoleh rawatan kedinasan, yang
meliputi;
a. Rawatan kesehatan;
b. Pembinaan mental dan keagamaan;
c. Bantuan hukum.
Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010
tentang Administrasi Prajurit TNI pada Pasal 41 juga mempertegas
kembali tentang rawatan kedinasan,bantuan hukum bagi Prajurit.
6. Penyelenggaraan Pemberian Nasehat/Bantuan Hukum dalam Proses
Pengadilan Militer Pertempuran.
8
Pemberian Nasehat/Bantuan Hukum dapat dilaksanakan di dalam maupun
di luar pengadilan.
a. Tahap Perencanaan.
1) Meneliti administrasi permohononan masehat/bantuan hukum.
2) Mempelajari dan menganaliasa permasalahan hukum yang
dihadapi.
3) Mengumpulkan data yang terkait dengan penyelesaian perkara.
4) Menyusun dan merumuskan rencana nasehat/bantuan hukum
dalam proses di pengadilan militer pertempuran.
e) Menentukan langkah-langkah dalam penanganan
penyelesaian perkara.
b. Tahap persiapan.
1) Menyiapkan personel Perwira Hukum yang akan
melaksanakan pemberian nasehat/bantuan hukum.
2) Menyiapkan surat perintah dan surat kuasa untuk
dasar bertindak sebagai penasehat hukum dalam
penanganan perkara.
3) Mengadakan koordinasi dengan instansi yang terkait dalam
rangka pelaksanaan nasehat/bantuan hukum.
4) Menyiapkan alat bukti yang ada hubungannya
dengan perkara yang ditangani.
5) Menyiapkan peraturan perundang-undangan, jurisprudensi
dan referensi yang terkait dan berpengaruh dalam rangka
pelaksanaan bantuan hukum.
c. Tahap Pelaksanaan.
Pada tahap pelaksanaan, Perwira Hukum yang melaksanakan tugas
sebagai Penasehat Hukum harus memahami, pelaksanaan beracara di
persidangan Pengadilan Militer Pertempuran.
1) Bantuan hukum dalam proses Pengadilan Militer
Pertempuran dengan Sistem Acara Pemeriksaan Khusus..
2) Pengadilan Militer Pertempuran, memeriksa dan memutus
perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir.
9
3) Pengadilan Militer Pertempuran, memeriksa dan memutus
perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997, di daerah
pertempuran, yaitu::
a) Prajurit;
b) yang berdasarkan undang-undang dipersamakan
dengan Prajurit;
c) anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau
yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit
berdasarkan undang-undang;
d) seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a,
huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan
persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
4) Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti
gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di
daerah pertempuran.
5) Terhadap putusan Pengadilan Militer Pertempuran bahwa
pengadilan memutus perkara pidana dalam tingkat pertama dan
terakhir, Terdakwa atau Oditur dapat mengajukan Kasasi.
6) Sistem Pembuktian dalam proses pemeriksaan di Pengadilan
Militer Pertempuran.
Sistem Pembuktian dalam proses pemeriksaan di Pengadilan
Militer Pertempuran secara um,um adalah sama dalam acara
pemeriksaan biasa. Yaitu sistem pembuktian Berdasarkan Undang-
undang secara Negatif. Artinya, dalam menyatakan dan
menjatuhkan putusan bahwa terdakwa terbukti bersalah harus
didasarkan pada: Keyakinan Hakim dan didukung oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah menurut Undang-undang.
7) Alat bukti dalam proses Pengadilan Militer Pertempuran.
Alat bukti yang digunakan adalah berdasarkan Pasal 172 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
10
c. keterangan terdakwa;
d. surat; dan
e. petunjuk.
Alat bukti dalam acara pemeriksaan khusus dalam
Pengadilan Militer Pertempuran, selain alat bukti mmenurut Pasal
172 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tersebut di atas,
ditambah lagi dengan:
(1) Pengetahuan Hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat
bukti.
Yang dimaksud dengan “pengetahuan hakim” adalah hal apa
yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh hakim di luar siding
mengenai hal-hal yang menyangkut paut dengan perkara yang
disidangkannya dan karenanya diyakini kebenarannya.
(2) Barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan
yang dibuat atas sumpah pejabat yang bersangkutan.
8) Pemeriksaan di siding Pengadilan Militer Pertempuran
berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam bagian ketiga
tentang “Pemeriksaan di Sidang Pengadilan” dan bagian keempat
“Acara Pemeriksaan Biasa” Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer. Berlaku dalam Acara pemeriksaan
Khusus Pengadilan Militer Pertempuran sepanjang tidak
bertentangan dengan Acara Pemeriksaan Khusus.
d. Tahap Pengakhiran.
a) Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian
bantuan hukum.
b) Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberian
0
SPH/BAPAT
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
DI LINGKUNGAN PERADILAN PERTEMPURAN
PELAKU
Dansatgas sbg ankum
POMPUR
PELAPOR
OTMILPUR PAPERA
DANSAT SBG ANKUM
DILMILPUR SIDANG
KEPPERA
IDIK
OLAH KARA
DAKWAAN
KEPTUPRA
KEPKUMPLIN
SEMPURNAKAN
BERKAS
PUTUSAN
Skema Proses Penyelesaian
Perkara Pidana Dalam Peradilan
Pertempuran
0
7. Prospeksi Peran Penasehat Hukum dalam proses Pengadilan
Militer Pertempuran.
Harus diakui bahwa peran penasehat hukum dalam proses
Pengadilan Militer Pertempuran memang belum teruji dalam praktik
penyelenggaraan pemberian nasehat atau bantuan hukum di
persiadangan Pengadilan Militer Pertempuran. Karena, Pengadilan Militer
Pertempuran meskipun sudah diatur dan dicantumkan beberapa hal
terkait dengan hukum acaranya, memang relative belum dilaksanakan.
Sehingga pengalaman para Perwira Hukum dalam penyelenggaraan
bantuan/nbasehat hukum di Pengadilan Militer Pertempuran memang
relative masih miskin pengalaman, karena memang hamper belum pernah
digelar Pengadilan Militer Pertempuran.
Prospek ke depan terkait dengan pengaturan mekanisme dan
beracara di Pengadilan Militer Pertempuran, ada beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian dan pemikiran untuk penyempurnaan UU Nomor 31
Tahun 1997 terkait dengan penyempurnaan Pengadilan Militer
Pertempuran beserta hukum acaranya yang bersifat khusus:
a. Pengadilan Militer Pertempuran, memeriksa dan
memutus perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir.
Telah dirumuskan di dalam Pasal 204 ayat (3) bahwa
Pengadilan Militer Pertempuran, memeriksa dan memutus perkara
pidana dalam tingkat pertama dan terakhir. Ketentuan ini hendak
menegaskan bahwa perkara yang diperiksa dan diadili dalam
Pengadilan Militer pertempuran bersifat final and binding (pertama
dan terakhir dan bersifat mengikat)..
Namun, ternyata, dalam atuyran selanjutnya yaitu dalam
Pasal 204 ayat (4) masih dimungkikan bagi Terdakwa dan Oditur
Militer untuk mengajukan Kasasi. Ketentuan ini justru
“bertentangan” dan menyimpang dari ketentuan tersebut Pasal 204
ayat (2). Seharusnya sesuai dengan sifat dari Pengadilan Militer
Pertempuran dengan acara pemeriksaan khusus dan dengan
mengingat kondisi pertempuran, maka seyogyanya Pasal 204 ayat
(4) tidak dirumuskan. Artinya, putusan penngadilan Militer
1
Pertempuran betul-betul bersifat final and binding, Pengadilan
Militer Pertempuran, memeriksa dan memutus perkara pidana
dalam tingkat pertama dan terakhir.
Dengan diberikan kesempatan Kasasi bagi Terdakwa atau
Oditur Militer, maka kecebnderungan untuk diajukan Kasasi akan
sangat besar. SEbaiknya terhadap putusan Pengadilan Militer
Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana dalam
tingkat pertama dan terakhir
b. Alat bukti dalam proses pembuktian pengadilan Militer
Pertempuran.
Sudah dijelaskan di bagian atas, bahwa alat bukti dalam
proses Pengadilan Militer Pertempuran selain lima alat bukti yang
sah menurut hukum acara pidana umum dan hukum acara pidana
militer, ditambah satu lagi alat bukti berupa “Pengetahuan hakim.”
Selain pengamatan hakim, kiranya perlu dipikirkan untuk
ditambah satu alat bukti lagi yaitu alat bukti elektronik. Dengan
petimbangan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi
informasi, dan pada sisi yang lain dapat dibayangkan akan sulitnya
mencari alat bukti di daerah pertempuran, maka alat bukti dalam
pemeriksaan Pengadilan Militer Pertempuran perlu diperluas lagi
dengan menambah bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti
yang sah.
c. Perlu ada rumusan dan penjelasan tentang pengertian
atau hakikat pertempuran dalam konteks Pengadilan Militer
Pertempuran.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer sebagai sumber hukum Pengadilan Militer Pertempuran,
tidak memberikan batasan pengertian dan penjelasan tentang apa
yang dimaksud dengan pertempuran. Dengan tidak diberikan
rumusan pengertian dan penjelasan tersebut, maka dapat
menimbulkan kesalahpahaman dalam memberikan makna
pertempuran. Apakah hakikat pertempuran akan disejajarkan
pengertiannya dengan Perang. Apakah hakikat perang dan
2
pertempuran dalam arti hukum pidana akan diartikan sama dengan
hakikat perang dalam arti hukum humaniter/ hukum internasional.
Pengertian Perang dan pengertian pertempuran dalam
hukum pidana diberikan arti yang berbeda.
Waktu perang menurut hukum pidana diberikan perluasan
pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 96 KUHP dan pasal 58
dan 59 KUHPM. Menurut SR Sianturi, dalam waktu perang tersebut
kemungkinan pertempuran-pertempuran telah ada. Tetapi juga
mencakup keadaan-keadaan yang lebih luas, meliputin keadaan
baru mobilisasi umum, atau ekspedisi militer. JIka terjadi
pertempuran sebenarnya telah pula terjadi keadaan waktu perang
sesuai dengan pengertian waktu perang.7
Sedangkan pengertian pertempuran menurut SR Sianturi,
adalah perkelahian secara fisik antara dua pihak yang saling
berlawanan/bermusuhan dimana masing-masing fihak berusaha
mengalahkan fihak yang lainnya untuk mencapai suatu tujuan
terentu.8 Pertempuran pada dasarnya dilaksanakan dengan operasi
serangan, pertahanan, gerak mundur, penggantian, gerilya, lawan
gerilya dll.9
Guna memberikan kejelasan lingkup pertempuran yang
dimaksud dalam konteks Pengadilan Militer Pertempuran perlu
dipikirkan bersama dengan satuan-satuan lain. Apalagi jika
dihadapkan dengan Undang-undang Nomor 23 Prp Th 1959
tentang Keadaan Bahaya. Apakah eskalasi dalam keadaan darurat
militer dapat diartikan sama dengan waktu pertempuran sudah
ada. Demikian juga dihadapkan dengan jenis Operasi Militer yang
diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang
mebedakan antara OMP dan OMSP. Apakah ketika melakukan
tugas operasi OMP sudah dapat dairtikan sama dengan masa
pertempuran. Maka, perlu pemikiran secara mendalam untuk
meberikan batasan pengertian pertempuran dimaksud,
7SR Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Jakarta; Alumni Ahaem-Petehaem,
1985, hlm 205. 8 Ibid, hlm 197. 9 Ibid.
3
8. PENUTUP
a. Kesimpulan.
Berdasarkan uraian singkat tentang KOnsepsi Peran
Penasehat Hukum dalam Proses Pengadilan Militer Pertempuran,
dapat diambil kesimpulan sbb:
1) Peran Penasehat Hukum dalam proses Pengadilan
Militer Pertampuran adalah memberikan pendampingan,
nasehat dan bantuan hukum kepada Tersangka atau
Terdakwa yang diperiksa dan diadili di pengadilan Militer
Pertempuran.
2) Pemberian Nasehat /bantuan hukum dalam proses
Pengadilan Militer pertempuran, mempunyai prinsip-prinsip
khusus yang harus diperhatikan oleh Penasehat Hukum,
antara lain:
a) Mengitamakan kepentingan militer/ Pertahanan
Negara.
b) Memberikan perlindungan hak-hak Tersangka/
Terdakwa secara proporsional.
c) Kecepatan dalam penyelesaian perkara.
d) Nasehat/Bantuan hukum kepada
Tersangka/Terdakwa meskipun dalam keadaan
pertempuran tetap merupakan hak konstituisonal
setiap warga Negara.
e) Nasehat/Bantuan hukum bagi Prajurit
merupakan rawatan/layanan kedinasan.
3) Penyelenggaran nasehat/bantuan hukum dalam
Pengadilan Militer Pertempuran menggunakan sistem
Aacara Pemeriksaan khusus. Maka Penasehat hukum
harus memahami beberapa hal dalam acara pemeriksaan
khusus:
a) Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa
dan memutus perkara pidana dalam tingkat pertama
dan terakhir.
4
b) Tetapi Oditur dan Terdakwa masih dapat
mengajukan kasasi.
c) Sistem pembuktian sama dengan Acara
Pemeriksaan Biasa, yaitu sistem pembuktian menurut
Undang Undang secara Negatif.
d) Terdapat perluasan penambahan alat bukti
berupa “Pengetahuan Hakim.”
4) Undang-undang Peradilan Militer belum memberikan
batasan pengertiqan dan penjelasan tentang pertempuran
dalam konteks Pengadilan Militer Pertempuran..
b. Saran
1) disarankan bahwa jika Pengadilan Militer
Pertempuran memegang prinsip sebagai pengadilan yang
memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat pertama dan
terakhir, maka hak mengajukan kasasi bagi Oditur dan
Terdakwa sebaiknya tidak diberikan.
2) Alat bukti dalam Pengadilan Militer Pertempuran
disarankan untuk ditambah satu alat bukti lagi yaitu alat
bukti elektronik, dengan mengingat sulitnya membuktikan
dan mencari alat bukti di dalam perkara yang terjadi dalam
pertempuran.
c. Perlu ada rumusan dan penjelasan tentang
pengertian atau hakikat pertempuran dalam konteks
Pengadilan Militer Pertempuran.
5
DAFTAR PUSTAKA
Buku
H.Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, Yogyakarta: Penerbit UII, 2005.
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradlan (Sistem Penegakan Hukum di Indonesia), Semarnag: BP Undip, 2011
SR Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Jakarta; Alumni Ahaem- Petehaem, 1985.
Peraturan
Republik Indonesia, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
________.Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.
________. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indoensia.
________. Perpu Nomor. 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-
Undang Nomor 74 Tahun 1957 Dan Penetapan Keadaan Bahaya.