KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN
DAN SISTEM PELAPORANNYA DI INDONESIA
Oleh
SITI NUROSIYAH
F24101015
2005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN
DAN SISTEM PELAPORANNYA DI INDONESIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SITI NUROSIYAH
F24101015
2005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN
DAN SISTEM PELAPORANNYA DI INDONESIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SITI NUROSIYAH
F24101015
Dilahirkan pada tanggal 12 Juli 1982
di Magelang, Jawa Tengah
Tanggal Lulus : 16 Desember 2005
Menyetujui,
Bogor, Januari 2006
Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, M.S. Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen ITP
Siti Nurosiyah. F24101015. Kasus Penyakit Akibat Pangan dan Sistem Pelaporannya di Indonesia. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS dan Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc. 2005.
RINGKASAN
Keamanan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan.
Kebijakan-kebijakan telah dibuat untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak aman. Pangan bisa terkontaminasi oleh cemaran fisik, kimia, dan biologis yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sistematis penting untuk menyajikan data kasus yang dapat digunakan sebagai landasan ilmiah (evidence base) dalam penentuan kebijakan keamanan pangan. Data kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia belum digunakan sebagai landasan ilmiah untuk membuat kebijakan program keamanan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data kasus penyakit akibat pangan, dengan metode yang digunakan adalah pemberitahuan wajib (statutory notification) kasus penyakit akibat pangan dan laporan rumah sakit; (2) mengidentifikasi masalah sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia; serta (3) mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang lebih sistematis, dengan rujukan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di negara-negara maju dan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO (World Health Organization) sebagai acuan utama.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian adalah dengan pengumpulan data sekunder kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen PPPL dan Ditjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Metode wawancara pada informan ahli (expert informan) dilakukan untuk mengumpulkan informasi faktual tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Studi pustaka (melalui browsing internet) tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO dan negara lain dengan sistem surveilan dan notifikasi kasus penyakit akibat pangan yang lebih baik digunakan sebagai rujukan.
Berdasarkan hasil investigasi, terdapat beberapa penyakit akibat pangan di Indonesia yang wajib terlaporkan pada Ditjen Pelayanan Medik dan/atau Ditjen PPPL yaitu kasus kolera, demam tifoid dan paratifoid, sigelosis, diare dan gastroenteritis, amubiasis, penyakit infeksi usus lain, serta hepatitis A. Interpretasi data kasus tersebut belum mencerminkan kecenderungan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah angka pelaporan kasus yang rendah (< 40%, dengan range 7.6% data kasus rumah sakit dan puskesmas pada Ditjen PPPL selama tahun 2002 sampai 37.6% data kasus rawat inap rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik selama tahun 2004) serta sistem pelaporan yang kurang jelas. Propinsi dengan persentase kelengkapan yang relatif besar meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Riau dan Lampung (data pada Ditjen PPPL).
Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang efektif dan efisien harus terus dikembangkan, sebagai salah satu pendukung surveilan keamanan pangan di Indonesia. Sistem pelaporan yang mencakup mekanisme dan formulir pelaporan kasus dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membuat model pelaporan yang lebih baik di masa yang akan datang. Peran penting laboratorium kesehatan perlu dimaksimalkan dengan melibatkannya dalam
mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan, serta perlu dilakukan surveilan dan investigasi lebih lanjut tentang kasus penyakit akibat pangan berbasis laboratorium kesehatan di Indonesia. Pengembangan sistem tersebut juga harus diikuti dengan perangkat pendukung lainnya seperti software pengolah data kasus penyakit akibat pangan sehingga output dari pengembangan sistem tersebut dapat lebih aplikatif untuk diimplementasikan di Indonesia. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang melibatkan Badan POM RI sebagai leading sector dalam program keamanan pangan perlu didukung oleh stakeholder yang dapat menguatkan peran serta Badan POM RI.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2001 dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Program
Studi Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis
aktif dalam beberapa kegiatan akademis dan non akademis, diantaranya sebagai
asisten praktikum Kimia Dasar I, staf pengajar privat di Lembaga Pendidikan Nurul
Ilmi, serta anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan). Penulis
juga aktif dalam beberapa kepanitiaan, diantaranya tergabung dalam seksi
kesekretariatan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Nasional tahun 2003 dan BAUR
2003. Penulis menjadi salah satu finalis dalam lomba Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) bidang penelitian tingkat IPB pada tahun 2002.
Penulis melakukan kerja magang pada Sub Direktorat Surveilan dan
Penanggulangan Keamanan Pangan, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya,
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Badan POM RI). Dalam kegiatan magang
tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul “Kasus Penyakit Akibat
Pangan dan Sistem Pelaporannya di Indonesia” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir.
Winiati Pudji Rahayu, M.S. dan Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc.
Penulis dilahirkan pada 12 Juli 1982 di Magelang,
Jawa Tengah. Penulis adalah anak ketiga dari tiga
bersaudara, pasangan Ayahanda Turhadi dan Ibunda
Nafsyah. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari TK
Masyithoh (1988 - 1989), SD Negeri 1 Kebonrejo (1989 -
1995), SLTP Negeri 1 Salaman, Magelang (1995 - 1998)
dan SMU Negeri 1 Purworejo (1998 - 2001).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat, hidayah serta nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kasus Penyakit Akibat Pangan dan Sistem
Pelaporannya di Indonesia”.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya untuk semua pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan
skripsi ini, terutama kepada :
1. Ibunda dan Ayahanda yang selalu memberikan dukungan berupa doa, kasih
sayang, semangat dan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan
dan tugas akhir ini. Karya ini ku persembahkan untuk Kalian.
2. Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS., sebagai Dosen Pembimbing I sekaligus
Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan yang telah memberikan
kesempatan untuk melakukan tugas akhir di Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI, serta atas bimbingan, arahan,
dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan dan
penyelesaian tugas akhir ini. Saya terinspirasi oleh langkah Ibu.
3. Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc., selaku Dosen Pembimbing II sekaligus
Kepala Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan pangan,
Badan POM RI, yang telah bekerja keras memberikan bimbingan dan arahan
secara profesional kepada penulis selama pelaksanaan tugas akhir. Apresiasi
saya yang sangat tinggi atas dedikasi Bapak.
4. Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc., Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya, yang telah memberikan izin untuk melaksanakan
magang di Badan POM RI.
5. Ir. Darwin Kadarisman, MS., sebagai dosen penguji atas masukannya pada saat
pelaksanaan ujian skripsi.
6. Mbakku, Masku, Mas Iparku, dan keponakan kecilku (Nida) yang selalu
memberikan keceriaan dan dukungannya. Bagaimana lah aku tanpa Kalian di
sampingku.
7. dr. Erfandi, FETP. dan Staf Direktorat Surveilan dan Penanggulangan
Keamanan Pangan (Dra. Setia Murni Sitanggang, Ruki Fanaike, STP., Ir.
Dedi Darusman, drh. A.A. Nyoman Marta Negara, Nugroho Indrotristanto,
STP., Rina Puspitasari, STP., Novian Damayanti, STP., Yanti Ratnasari, SP.)
atas bantuannya selama magang.
8. Mbak Devi, mbak Nita, mas Didik dan mas Fahmi, terima kasih untuk semua
dukungan serta sharing pengalaman yang tentunya berharga untukku.
9. Bapak Nu’man, Ibu Oom dan keluarga, terima kasih banyak atas tempat, rumah
dan kos yang selalu membuatku nyaman. Semoga Allah SWT membalas jasa
Bapak, Ibu dan keluarga.
10. Wahyu_que, de’Nanny, Enu, Efi, Eri, Herman dan semua sahabatku yang tidak
bosan-bosannya memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
tugas akhir ini. Ber-SEMANGAATT!!!
11. Inne, Rini, Ari, dan Tami sebagai teman seperjuangan selama pelaksanaan
magang di Badan POM RI. Sukses selalu teman!!
12. Anita, Rini, Rina, Yayah, Aar, Citra, dan teman satu bimbingan yang telah
banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan tugas akhir ini.
13. Tithut, Ciput, dan Majaw sebagai teman di ‘Mrs.Oom’s boarding house’, serta
teman-teman di ‘Nikita boarding house’ yang selalu memberi semangat dalam
pelaksanaan magang dan penyelesaian skripsi ini.
14. Lina, Novi, Hendry, Vica, Umi, Nita, Wanda, Meli, Ana, Eni dan rekan-rekan
TPG angkatan 38 atas kerjasamanya selama perkuliahan di IPB.
15. Semua pihak yang turut membantu selama kuliah sampai dengan penulisan
skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Bogor, Januari 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... viii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1
B. TUJUAN .......................................................................................... 3
C. MANFAAT ...................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
A. PENYAKIT AKIBAT PANGAN ..................................................... 4
B. METODE SURVEILAN KEAMANAN PANGAN. ....................... 8
C. SURVEILAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN ............... 14
D. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AKIBAT PANGAN ....................... 24
E. KONSEP ANALISIS RISIKO UNTUK KEAMANAN PANGAN . 27
F. DAMPAK EKONOMI PENYAKIT AKIBAT PANGAN ............... 32
III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 35
A. METODE PENELITIAN .................................................................. 35
B. TEMPAT DAN WAKTU ................................................................. 42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 43
A. IDENTIFIKASI KELEMAHAN DALAM INTERPRETASI DATA
KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA .......... 43
B. PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI
INDONESIA .................................................................................... 44
C. KECENDERUNGAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI
INDONESIA .................................................................................... 48
D. KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN MENURUT INCIDENT
RATE, CASE FATALITY RATE, DAN ADMISSION RATE PADA
RUMAH SAKIT ............................................................................ 62
E. MANAJEMEN PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT
PANGAN ......................................................................................... 68
F. MASALAH POKOK DALAM SISTEM PELAPORAN KASUS
PENYAKIT AKIBAT PANGAN .................................................... 69
G. PENGEMBANGAN SISTEM PELAPORAN KASUS
PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA ........................ 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 80
LAMPIRAN ........................................................................................... 87
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan infeksi dan intoksikasi penyakit akibat pangan ............ 6 Tabel 2. Keadaan klinis beberapa jenis penyakit akibat pangan berdasarkan waktu inkubasi, gejala, dan agen penyebab .............. 8
Tabel 3. Keadaan surveilan keamanan pangan di Indonesia ........................ 13 Tabel 4. Penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di beberapa
negara ............................................................................................. 20 Tabel 5. Kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan ........................ 33 Tabel 6. Definisi kasus penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di
Indonesia ........................................................................................ 37 Tabel 7. Ketersediaan komponen pelaporan data kasus penyakit akibat
pangan pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL ................ 44 Tabel 8. Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen
Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL ................................................ 45 Tabel 9. Pelaporan data kasus oleh rumah sakit pada Ditjen
Pelayanan Medik ............................................................................ 46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Piramida beban penyakit akibat pangan ......................................... 17 Gambar 2. Peta angka insiden kasus penyakit akibat pangan (foodborne
disease) di dunia ............................................................................. 18
Gambar 3. Proses analisis risiko ...................................................................... 28 Gambar 4. Bagan alir kegiatan-kegiatan dalam kajian risiko .......................... 31 Gambar 5. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian pengembangan sistem
pelaporan kasus penyakit akibat pangan ........................................ 36
Gambar 6. Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 49 Gambar 7. Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .......................................................................... 49
Gambar 8. Incident rate kasus kolera berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia ...................................................................... 51 Gambar 9. Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 52
Gambar 10. Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .............................................................................................. 53 Gambar 11. Incident rate kasus tifoid berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia ...................................................................... 54
Gambar 12. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 56
Gambar 13. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .............................................................................................. 56
Gambar 14. Incident rate kasus diare berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia ...................................................................... 57
Gambar 15. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 60
Gambar 16. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .......................................................................... 60
Gambar 17. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur ........................................................... 61
Gambar 18. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu .......................................................................... 62 Gambar 19. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR < 12 ....................................................................... 63 Gambar 20. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR > 50 ....................................................................... 63 Gambar 21. Case fatality rate (CFR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai CFR < 12 ........................................................... 65 Gambar 22. Case fatality rate (CFR) diare dan gastroenteritis serta kolera di rumah sakit ..................................................................................... 65 Gambar 23. Admission rate (AR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai AR < 3.5 ............................................................ 67 Gambar 24. Admission rate (AR) kasus diare dan gastroenteritis serta infeksi usus di rumah sakit ............................................................. 67 Gambar 25. Distribusi data surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia ...... 69 Gambar 26. Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia ...................................................................... 73 Gambar 27. Formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia ...................................................................... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Persentase kelengkapan laporan puskesmas dan rumah sakit tahun 2003 ................................................................................... 87
Lampiran 2. Distribusi penyakit kolera pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 88 Lampiran 3. Distribusi penyakit demam tifoid dan paratifoid pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit
tahun 2003 ................................................................................... 88
Lampiran 4. Distribusi penyakit sigelosis pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 89
Lampiran 5. Distribusi penyakit diare dan gastroenteritis oleh penyakit infeksi tertentu pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis
kelamin di rumah sakit tahun 2003 ............................................. 89
Lampiran 6. Distribusi penyakit amubiasis pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 90
Lampiran 7. Distribusi penyakit infeksi usus lainnya pasien rawat inap dan
rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003.... 90
Lampiran 8. Distribusi penyakit hepatitis a pasien rawat inap dan rawat jalan menurut jenis kelamin di rumah sakit tahun 2003 ...................... 91
Lampiran 9. Kasus dan angka insiden kolera per 10 000 per propinsi di Indonesia tahun 2000-2003 ......................................................... 92
Lampiran 10. Kasus dan angka insiden tifoid per 10 000 per propinsi di Indonesia tahun 2000-2003 ......................................................... 94
Lampiran 11. Kasus dan Angka Insidens Diare Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia tahun 2000-2003 ......................................................... 96
Lampiran 12. Daftar penyakit akibat pangan menurut ICD X (International Classification Disease) WHO.............................. 98
Lampiran 13. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (1) ....... 101
Lampiran 14. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (2) ....... 102
DAFTAR ISTILAH
1. Admission rate (angka kunjungan) adalah angka kunjungan kasus dengan
rawat jalan pada rumah sakit, ditentukan berdasarkan jumlah kunjungan
(kasus lama dan kasus baru) per jumlah kasus baru (pasien rawat jalan) pada
rumah sakit.
2. Case fatality rate (angka kefatalan kasus) adalah nilai perbandingan antara
jumlah korban meninggal (kasus meninggal) dengan total jumlah korban
(jumlah kasus yang terjadi) selama kurun waktu tertentu.
3. Confirmed case adalah kasus penyakit akibat pangan yang didiagnosis secara
klinis oleh petugas kesehatan (dokter) dan dilengkapi dengan hasil pengujian
spesimen oleh laboratorium.
4. Data adalah fakta atau kejadian yang sesungguhnya yang diamati dalam studi,
survei, maupun surveilan.
5. Endemik adalah peningkatan prevalensi suatu penyakit atau infeksi dengan
agen penyebab penyakit tertentu pada suatu populasi penduduk dalam wilayah
geografis tertentu.
6. Epidemik adalah kejadian penyakit tertentu yang lebih besar dari biasanya
pada individu di suatu komunitas dalam waktu yang bersamaan.
7. Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan (faktor-faktor)
yang berhubungan dengan status kesehatan dan kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan kesehatan dalam suatu populasi penduduk, serta
aplikasinya untuk mencegah, menanggulangi masalah-masalah kesehatan
(penyakit).
8. Epidemiolog adalah orang yang menerapkan prinsip-prinsip dan metode
epidemiologi dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit.
9. Etiologi adalah penyebab suatu penyakit (misal: tipe bakteri, virus, toksin dan
sebagainya).
10. Evidence base adalah informasi yang diperoleh secara secara ilmiah, melalui
kegiatan studi, survei, atau surveilan mengenai keamanan pangan, yang dapat
dijadikan dasar dalam menetapkan suatu kebijakan pangan.
11. Fecal oral transmission adalah organisme penyebab suatu penyakit yang
menyebar melalui manusia atau hewan dan kemudian terbawa
(mengkontaminasi) dalam pangan yang termakan oleh manusia.
12. Formulir kasus penyakit akibat pangan adalah alat atau pendukung (tools)
pelaporan kasus penyakit akibat pangan berupa kuesioner yang diisi oleh
dokter, yang menyatakan tentang keadaan kasus, penyakit,
pemeriksaan/pengujian laboratorium dan identitas dokter/klinik/rumah
sakit/puskesmas tempat pemeriksaan kasus.
13. GI adalah gastrointestinal (saluran pencernaan bagian dalam atau usus).
14. Hazard atau bahaya adalah cemaran biologi, kimia, dan fisika dalam pangan
yang berpotensi untuk menyebabkan dampak buruk pada kesehatan.
15. Hipotesis adalah suatu pernyataan yang belum disetujui kebenarannya,
berdasarkan informasi yang tersedia, yang secara umum sesuai dengan
identitas suatu agen penyebab (etiologic agent), sumber infeksi dan jenis
transmisi (saluran penularan). Hipotesis digunakan sebagai dasar rasional
dalam suatu investigasi.
16. Imunitas adalah sistem pertahanan terhadap penyakit, termasuk mekanisme
pertahanan dari penyebab luar (host) yang bersifat non-spesifik serta
pertahanan dari dalam, seperti antibodi dan sel darah putih.
17. Immunocompromised adalah suatu fungsi sistem imun yang menurun dari
keadaan optimal atau secara keseluruhan mengalami penurunan tingkat
imunitas.
18. Incident rate (angka insiden) adalah nilai perbandingan antara jumlah korban
(kasus) per 100.000 penduduk.
19. Informasi adalah produk yang dihasilkan dari sintesis atau analisis data.
20. Investigasi adalah studi tentang pengidentifikasian sumber pada kasus
individu dan cara penularan/penyebaran suatu penyakit.
21. Kajian risiko adalah sebuah proses yang sistematis dan ilmiah terdiri dari
langkah-langkah berikut, yaitu: (i) identifikasi bahaya, (ii) karakterisasi
bahaya, (iii) kajian paparan, dan (iv) karakterisasi risiko.
22. Kasus adalah orang yang terinfeksi atau mengalami sakit dengan pemeriksaan
secara klinis, pengujian laboratorium, atau dengan karakterisasi secara
epidemiologi.
23. Kejadian luar biasa/KLB (outbreak) keracunan pangan adalah terjadinya dua
atau lebih kasus dengan kesamaan penyakit sebagai akibat dari mengkonsumsi
pangan yang sama atau pangan yang berbeda tapi dalam satu tempat yang
sama. Kejadian luar biasa/KLB juga dapat didefinisikan sebagai situasi
dimana terjadi peningkatan jumlah kasus/kejadian kesakitan dan atau
kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun
waktu tertentu.
24. Komunikasi risiko adalah proses pertukaran informasi secara interaktif dan
pendapat mengenai risiko antara pengkaji risiko, manajer risiko, industri,
konsumen, kalangan akademisi, dan pihak-pihak yang terkait (stakeholder)
keamanan pangan lainnya, termasuk penjelasan mengenai temuan-temuan
kajian risiko dan dasar keputusan manajemen risiko.
25. Manajemen risiko adalah proses kajian berbagai alternatif kebijakan pangan
dengan mempertimbangkan masukan-masukan berbagai pihak, hasil kajian
risiko, dan faktor-faktor lainnya untuk melindungi kesehatan konsumen dan
meningkatkan praktek perdagangan yang baik, serta jika diperlukan,
menyeleksi dan menerapkan pengendalian risiko yang sesuai.
26. Medical record (rekam medis) adalah formulir tentang identitas kasus,
penyakit kasus, serta identitas dokter dan rumah sakit tempat pemeriksaan
kasus, diisi oleh dokter yang memeriksa kasus.
27. Patogen adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan suatu penyakit.
28. Patogen penyebab penyakit akibat pangan (foodborne patogens) adalah
mikroorganisme yang menyebabkan penyakit melalui pencernaan makanan.
29. Penyakit akibat pangan (foodborne disease) adalah penyakit sebagai akibat
mencerna pangan yang terkontaminasi.
30. Periode inkubasi adalah waktu antara pencernaan pangan atau patogen mulai
bekerja/menginfeksi sampai terlihatnya gejala penyakit pada tubuh manusia.
31. Risk atau risiko adalah fungsi probabilitas untuk terkena penyakit dan
keparahan yang disebabkan penyakit tersebut akibat pangan yang
terkontaminasi cemaran biologis, kimia, dan fisika.
32. Risk analysis atau analisis risiko adalah sebuah proses yang terdiri dari 3
komponen yaitu risk asessment (kajian risiko), risk management (manajemen
risiko), dan risk communication (komunikasi risiko).
33. Sistem Keamanan Pangan Terpadu adalah pendekatan dalam pelaksanaan
program keamanan pangan nasional, meliputi kegiatan surveilan, pengawasan,
dan promosi keamanan pangan yang dilakukan bersama-sama oleh instansi-
instansi terkait untuk meningkatkan kualitas keamanan pangan nasional.
34. Statutory notification (pelaporan wajib) penyakit akibat pangan adalah
kegiatan dengan dasar hukum yang kuat yaitu undang-undang atau peraturan
yang mewajibkan dokter atau petugas kesehatan lainnya untuk melaporkan
penyakit-penyakit atau informasi yang berhubungan dengan keamanan pangan
lainnya kepada pihak yang berwenang (health authority).
35. Surveilan keamanan pangan adalah pengumpulan, interpretasi, dan analisis
data-data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematis dan
berkelanjutan, menjadi informasi yang akan digunakan oleh pihak yang
berwenang untuk perencanaan, implementasi, dan pengkajian kebijakan
keamanan pangan.
36. Suspected case adalah kasus penyakit akibat pangan dimana penetapan agen
penyebab penyakit tersebut hanya berdasarkan dugaan (suspected) dari gejala
klinis yang ada, tanpa dilengkapi dengan hasil analisis spesimen dari
laboratorium.
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pangan merupakan salah satu persyaratan penting untuk membentuk
masyarakat yang kokoh (Fardiaz, 2001). Tetapi pangan juga dapat menyebabkan
penyakit jika terkontaminasi oleh bahan biologis, kimia, dan fisik. Oleh karena
itu, kebijakan-kebijakan telah diterbitkan untuk melindungi masyarakat dari
pangan yang tidak aman. Sayangnya, penetapan kebijakan di Indonesia masih
kurang berdasar kepada landasan ilmiah (evidence base).
Surveilan keamanan pangan merupakan salah satu kegiatan pengumpulan
dan interpretasi data secara kontinyu dan sistematik, sehingga hasil surveilan
dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah untuk penetapan kebijakan dalam bidang
keamanan pangan. Surveilan keamanan pangan di Indonesia telah dilakukan oleh
instansi-instansi yang terkait dengan masalah keamanan pangan antara lain Badan
POM RI, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga
penelitian, dan instansi terkait lainnya. Tetapi pelaksanaan surveilan tersebut
belum memiliki prioritas, tidak kontinyu, dan umumnya masih dilakukan sendiri-
sendiri. Untuk itu, program keamanan pangan di Indonesia perlu dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan Sistem Keamanan Pangan Terpadu.
Menurut Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Kesehatan
Rakyat Nomor 29/Kep/Menko/Kesra/X/2002, Badan POM RI bertindak sebagai
leading sector dalam penyusunan kebijakan tentang mutu dan keamanan makanan
dengan dibantu secara terpadu oleh instansi terkait lainnya. Keputusan ini
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 (PP No.28 tahun
2004) tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Keterpaduan tersebut
sebaiknya mengikuti konsep analisis risiko, yaitu kebijakan keamanan pangan
yang dilandasi oleh kajian risiko (risk assessment). Salah satu kajian risiko adalah
melalui program surveilan yang dilakukan oleh beberapa lembaga terkait secara
sinergis. Program ini memerlukan komunikasi yang baik antara stakeholder agar
hasilnya lebih optimal untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait dalam pengawasan
2
pangan (risk management) maupun promosi keamanan pangan (risk
communication).
Salah satu sumber informasi surveilan yang aktif dilakukan adalah
penerimaan laporan kasus penyakit akibat pangan, kejadian-kejadian luar biasa
akibat pangan dan survei-survei rutin yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
terkait, seperti Badan POM RI, Departemen Kesehatan RI, dan Departemen
Pertanian RI. Penyakit akibat pangan telah menyebabkan kerugian ekonomi yang
sangat besar. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan program keamanan pangan
untuk melindungi masyarakat (konsumen) dari pangan yang tidak aman. Data
kasus penyakit akibat pangan sangat diperlukan sebagai landasan ilmiah untuk
menentukan kebijakan tersebut. Akan tetapi sampai saat ini belum dilakukan.
Sistem pelaporan yang sistematis perlu dikembangkan, sehingga pada waktu yang
akan datang, data kasus penyakit akibat pangan dapat terkumpul secara sistematis
dan diinterpretasikan untuk menentukan kebijakan program keamanan pangan
yang efektif dan efisien.
Badan POM RI sebagai instansi yang memiliki kewenangan untuk
mengawasi pangan di Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis
(Badan POM, 2001). Beberapa strategi yang sedang dilaksanakan oleh Deputi
Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI
adalah: (1) Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait lainnya untuk
melaksanakan pengawasan keamanan pangan baik di dalam maupun di luar
negeri, (2) Peningkatan pengawasan keamanan pangan dengan tindakan preventif,
(3) Peningkatan kesadaran akan pentingnya keamanan pangan terhadap
masyarakat, (4) Peningkatan tindakan hukum bagi mereka yang melanggar
peraturan perundang-undangan terutama mengenai keamanan pangan. Langkah-
langkah strategis tersebut memerlukan adanya kegiatan surveilan keamanan
pangan yang memberikan informasi ilmiah sebagai dasar (sound scientific
information) untuk menetapkan prioritas, menerbitkan kebijakan-kebijakan dalam
bidang pangan, dan memonitor kondisi keamanan pangan di Indonesia
(Borgdorff, 1997; Sparringa, 2002).
3
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data kasus penyakit
akibat pangan di Indonesia.
2. Mengidentifikasi masalah sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
yang ada di Indonesia.
3. Mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di
Indonesia yang lebih sistematis, dengan rujukan sistem pelaporan kasus
penyakit akibat pangan di negara-negara maju dan sistem pelaporan kasus
penyakit akibat pangan menurut WHO (World Health Organization) sebagai
acuan utama.
C. MANFAAT
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kecenderungan (trend) terjadinya kasus penyakit akibat pangan
di Indonesia.
2. Sebagai kewaspadaan dini (early warning system) terhadap kasus maupun
kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan.
3. Sebagai tindak lanjut (action) dalam menentukan kebijakan keamanan
pangan berdasarkan landasan ilmiah data kasus penyakit akibat pangan di
Indonesia.
4. Mengembangkan manajemen pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang
lebih sistematis.
5. Sebagai bahan masukan dalam menetapkan prosedur tetap (standard
operating procedure) sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan kepada
pihak-pihak terkait.
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENYAKIT AKIBAT PANGAN
1. Definisi Penyakit Akibat Pangan
Penyakit akibat pangan (foodborne disease) didefinisikan oleh
WHO (World Health Organization) sebagai penyakit yang umumnya
bersifat infeksi atau racun, disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam
tubuh melalui makanan yang dicerna. Sedangkan Sharp dan Reilly (2000)
mendefinisikan secara lebih luas bahwa penyakit akibat pangan atau
keracunan makanan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi atau
intoksikasi sebagai akibat mengkonsumsi makanan, minuman atau air yang
telah terkontaminasi. Pangan dapat terkontaminasi oleh cemaran fisik,
biologis, dan kimia yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Pangan seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan atau minuman. Pangan merupakan salah satu
persyaratan penting untuk membentuk masyarakat yang kokoh. Keamanan
pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Keamanan
pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
2. Klasifikasi Penyakit Akibat Pangan
Sebagian besar penyakit akibat pangan disebabkan oleh mikroba
patogen seperti virus, bakteri dan parasit. Meskipun penyakit akibat pangan
juga dapat disebabkan oleh kontaminasi benda fisik maupun bahan kimia,
dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penyakit akibat pangan dengan
agen mikroba (microbial agents) sebagai penyebabnya. Pangan yang
terkontaminasi oleh bahan kimia pada umumnya memberikan efek yang
5
bersifat kronis (menahun), sehingga tidak serta merta menyebabkan
konsumen sakit. Akan tetapi, hal itu tergantung pada dosis konsumsinya.
Pada konsumsi yang melebihi dosis toleransinya dapat menyebabkan
keracunan yang bersifat akut. Dalam waktu yang lama, kontaminan bahan
kimia dapat menumpuk dan menimbulkan penyakit yang serius seperti
kanker, kerusakan ginjal, kerusakan sistem saraf, sistem reproduksi dan
sistem imunitas tubuh (WHO, 1996; WHO, 1999; WHO, 2001). Oleh karena
itu, diperlukan kajian paparan tentang kontaminan kimia.
Untuk selanjutnya, penyakit akibat pangan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah penyakit akibat pangan yang disebabkan kontaminasi
bahan biologis (foodborne illness). Berdasarkan agen penyebabnya, penyakit
ini diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu :
a) Penyakit akibat pangan karena infeksi (foodborne infection)
Penyakit akibat pangan karena infeksi adalah penyakit akibat pangan
yang disebabkan oleh pangan yang terkontaminasi virus, bakteri atau
parasit. Hal ini dapat terjadi dengan dua cara :
• Virus, bakteri, atau parasit masuk melalui pangan yang dicerna
dan berkembang biak dalam jaringan usus maupun jaringan tubuh
lainnya, sehingga menyebabkan infeksi.
• Bakteri yang mengkontaminasi pangan, menginfeksi dan
berkembang biak dalam saluran usus serta mengeluarkan toksin
yang merusak jaringan dan mempengaruhi fungsi jaringan tubuh
lainnya. Istilah singkatnya adalah infeksi dengan perantara toksin
(toxin-mediated infection). Virus dan parasit tidak dapat
menyebabkan gejala penyakit seperti ini.
b) Penyakit akibat pangan karena intoksikasi (foodborne intoxication)
penyakit akibat pangan karena intoksikasi adalah penyakit yang
disebabkan oleh pangan yang telah terkontaminasi suatu toksin (racun).
Sumber racun (toksin) dapat berasal dari :
• Racun oleh kontaminan bahan kimia, seperti : logam berat
(tembaga, timbal, raksa)
• Toksin yang dihasilkan oleh bakteri tertentu
6
• Racun yang ditemukan secara alami pada tanaman, hewan, atau
jamur (termasuk beberapa jenis ikan dan kerang tertentu serta
beberapa jenis jamur liar).
Virus dan parasit tidak dapat menyebabkan intoksikasi (Hackbarth et al,
1997).
Perbedaan antara infeksi dan intoksikasi penyakit akibat pangan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan infeksi dan intoksikasi penyakit akibat pangan Infeksi Penyakit Akibat
Pangan Intoksikasi Penyakit Akibat
Pangan Waktu periode inkubasi
Secara umum, biasanya terukur dalam beberapa hari
Secara umum terjadi secara cepat, seringkali terukur dalam menit atau jam
Jenis gejala Diare, sakit kepala, muntah, kejang perut, seringkali disertai demam
Umumnya disertai muntah, gejala ringan dari sakit kepala sampai muntah yang disertai perubahan indera perasa, indera peraba (sentuhan) dan pergerakan otot (misal: pandangan kabur, lemas, lesu, kaku otot, gatal di bagian wajah, panas dan merah, disorientasi)
Jenis mikroorganisme patogen
Infeksi : Salmonella sp., Hepatitis A, Shigella sp., Yersinia sp., Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio vulnificus, Rotavirus, Norwalk virus, Toxoplasma gondii, Cyclospora cayetanensis, Cryptosporidium parvum Infeksi dengan perantaraan toksin : Clostridium botulinum (infant), Bacillus cereus (dengan masa inkubasi panjang), E. coli sp., Vibrio cholerae, Clostridium perfringens
Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus (dengan masa inkubasi pendek), keracunan oleh jenis logam tertentu (logam berat: Pb, Hg, Cu), jenis jamur tertentu, ikan dan kerang tertentu.
Sumber : Hackbarth et al. (1997)
7
3. Agen Penyebab Penyakit Akibat Pangan
Sebagian besar penyakit akibat pangan terjadi melalui saluran
pencernaan pada usus (fecal-oral transmission). Organisme penyebab
penyakit ada dalam feses manusia maupun hewan dan dapat
mengkontaminasi pangan yang terkonsumsi. Infeksi oleh mikroorganisme
patogen dalam pangan dapat terjadi melalui beberapa cara, diantaranya
adalah :
• Pangan mentah yang terkontaminasi patogen tidak dimasak dengan
benar (suhu dan waktu yang cukup) untuk membunuh patogen atau
pangan dikonsumsi mentah.
• Peralatan makan atau masak yang digunakan untuk mengolah bahan
mentah yang terkontaminasi patogen, kemudian digunakan pula untuk
mengolah bahan pangan lain atau disebut dengan istilah kontaminasi
silang.
Penyakit akibat pangan dapat disebabkan oleh berbagai spesies
mikroorganisme patogen. Deteksi awal agen penyebab secara spesifik suatu
jenis penyakit akibat pangan dapat diketahui dengan melihat gejala yang
terjadi dan waktu inkubasinya. Beberapa jenis gejala penyakit akibat
pangan, waktu inkubasi serta mikroorganisme agen penyebabnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Keadaan klinis beberapa jenis penyakit akibat pangan berdasarkan waktu inkubasi, gejala, dan agen penyebabnya
Waktu Inkubasi
Jenis Gejala Agen Penyebab (Etiologic Agent)
Pendek 1 – 5 jam Muntah, sakit kepala, diare, kram/
kejang perut Bacillus cereus
2 – 6 jam Muntah, sakit kepala, diare Staphylococcal aureus
Sedang 8 – 18 jam Diare, sakit perut Clostridium perfringens 8 – 16 jam Diare, sakit perut Bacillus cereus
Panjang/Lama 12 – 24 jam Sakit kepala, muntah, diare antara
1-2 hari Virus (Norwalk like)
12 – 24 jam Diare, sakit perut Vibrio parahaemolyticus 12 – 36 jam Lemas, mulut kering, penglihatan
kabur, sulit menelan Clostridium botulinum
12 – 48 jam Diare, demam, sakit perut Salmonella sp. 1 – 2 hari Diare (seringkali berdarah) E. coli (Toxigenic
species) 1 – 3 hari Sakit perut, diare berdarah dan
berlendir, demam Shigella sp.
2 – 5 hari Diare (kadang berdarah), sakit perut, demam
Campylobacter sp.
7 – 10 hari
Diare encer (berair), sakit kepala, muntah, perut kembung, malaise (perasaan tidak enak), penurunan berat badan
Cyclospora
1 – 2 minggu Diare, pembengkakan Cryptosporidium parvum1 – 3 minggu Demam, konstipasi (sulit buang air
besar) Salmonella typhi
15 – 50 hari Malaise, demam, diare, penyakit kuning (jaundice)
Hepatitis A
1 – 10 minggu Flu ringan, malaise, meningitis Listeria monocytogenes Sumber : Department of Health (1994)
B. METODE SURVEILAN KEAMANAN PANGAN
1. Definisi Surveilan dan Prinsip Umum Surveilan Keamanan Pangan
Surveilan keamanan pangan adalah pengumpulan, tabulasi, analisis
dan interpretasi data-data yang berhubungan dengan keamanan pangan
secara sistematis dan berkelanjutan, sehingga menjadi informasi yang akan
disebarkan kepada pihak yang membutuhkan untuk perencanaan,
implementasi, dan pengkajian kebijakan pangan (Borgdorff, 1997; Arnold
9
dan Munce, 2000; Sharp dan Reilly, 2000; Sparringa, 2002). Informasi yang
dimaksud adalah informasi mengenai kecenderungan (trend) keamanan
pangan yang dapat dijadikan bukti ilmiah (evidence base) untuk
ditindaklanjuti (Sparringa, 2002). Jadi, surveilan penting dilakukan untuk
menyajikan data sebagai dasar (sound scientific information) yang dapat
digunakan untuk landasan ilmiah dalam menentukan kebijakan program
keamanan pangan yang efektif, efisien dan tepat sasaran.
Surveilan telah dilakukan di berbagai negara di dunia. Di Inggris
dan Wales data mengenai keracunan pangan dapat ditemui pada Office of
Population Censuses and Surveys (OPCS) bekerja sama dengan
Communicable Disease Surveillance Centers (CDSC). Center Disease of
Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat melaksanakan surveilan
bekerja sama dengan Department of Health and Welfare Kanada. Informasi
hasil surveilan tersebut dipublikasikan secara periodik pada WHO
Newsletter. Sedangkan di Australia, surveilan dilakukan oleh Communicable
Disease Intelligence dan publikasinya dilakukan oleh Communicable
Disease Branch dari Department of Health Australia (Hobbs dan Roberts,
1987).
Di Indonesia, beberapa instansi yang melakukan surveilan
keamanan pangan antara lain Badan POM RI dan Departemen Kesehatan
RI. Di Badan POM RI, surveilan keamanan pangan dilakukan oleh
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi III Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI
(Badan POM, 2001a). Sedangkan di Departemen Kesehatan RI, kegiatan
surveilan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (PPPL), Departemen Kesehatan RI. Secara aktif,
kegiatan surveilan tersebut dilakukan oleh balai-balai POM atau Dinas
Kesehatan yang tersebar di daerah seluruh Indonesia, sedangkan Badan
POM RI ataupun Departemen Kesehatan RI yang ada di pusat hanya
memberikan panduan/pedoman (guideline) untuk kegiatan surveilan
tersebut, kecuali untuk kasus-kasus tertentu.
10
2. Metode dalam Surveilan Keamanan Pangan
Banyak metode surveilan keamanan pangan digunakan untuk
menghasilkan data yang representatif. Metode-metode surveilan tersebut
diantaranya :
a) Pelaporan/pemberitahuan wajib (statutory notification)
Kegiatan ini mempunyai dasar hukum yang lebih kuat yaitu
Undang-undang atau peraturan yang mewajibkan dokter atau petugas
kesehatan lainnya (misal: pakar/petugas dalam bidang mikrobiologi,
kimia dan farmasi yang bekerja pada laboratorium) untuk melaporkan
penyakit-penyakit atau informasi yang berhubungan dengan keamanan
pangan lainnya kepada pihak yang berwenang (health authority) seperti
Dinas Kesehatan dan/atau Departemen Kesehatan RI.
Pemberitahuan wajib ini bisa berupa laporan dokter mengenai
gejala penyakit akibat pangan, misalnya keracunan pangan,
gastroenteritis, infeksi enterokolitis dan HUS (haemolytic uraemic
syndrome) (Sharp dan Reilly, 2000) atau laporan dari laboratorium
mengenai ditemukannya isolat patogen spesifik, misalnya Salmonella
sp., Shigella sp., Vibrio sp., atau emerging pathogen seperti Escherichia
coli O157:H7, Salmonella typhimurium DT104, Listeria monocytogenes,
Campylobacter jejuni, Arcobacter, Helicobacter pylori,
Cryptosporidium dan Cyclospora (D’Aoust, 2000; Farber dan Peterkin,
2000; Stern dan Line, 2000; Stiles, 2000; Taylor, 2000; Willshaw, 2000;
Sparringa, 2002).
Pemberitahuan wajib ini sangat bermanfaat bagi pihak berwenang
untuk mendeteksi kemungkinan adanya kasus/KLB penyakit ataupun
keracunan pangan sehingga dapat ditindaklanjuti sesegera mungkin
untuk mencegah perluasan suatu penyakit akibat pangan. Pelaporan
tersebut dapat dilakukan melalui telepon, faksimil, atau email.
Penyakit-penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan ke pihak
yang berwenang tergantung pada kondisi yang sedang dihadapi oleh
suatu negara. Misalnya di Australia dalam periode 75 tahun (1917-1991)
ada 2.200.194 pemberitahuan penyakit-penyakit akibat pangan, yaitu
11
campylobacteriosis (sejak 1980), salmonellosis (sejak 1949 di Western
Australia), kolera, disentri, tifoid, paratifoid, shigellosis dan diare pada
bayi (1917-1978) (Arnold dan Munce, 1997; Sparringa, 2002).
Metode ini belum digunakan pada kegiatan surveilan keamanan
pangan di Indonesia. Informasi dan data kasus penyakit akibat pangan
penting sebagai landasan ilmiah dalam menentukan prioritas program
keamanan pangan baik pada skala nasional maupun daerah, sehingga
pada penelitian ini, metode pelaporan/pemberitahuan wajib digunakan
sebagai upaya untuk mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit
akibat pangan di Indonesia.
b) Laporan rumah sakit
Rumah sakit merupakan salah satu sumber informasi penting
dalam surveilan keamanan pangan. Informasi penting bisa diperoleh dari
laporan pendaftaran rumah sakit (hospital admission records) yang
mencakup laporan keluar masuknya pasien dan kematian pasien.
Umumnya hanya penyakit serius saja yang disertai diagnosis dan
konfirmasi laboratorium, misalnya tifus. Laporan rumah sakit ini bisa
digunakan sebagai indikasi awal terjadinya KLB (Sharp dan Reilly,
2000). Metode ini sedang dikembangkan dalam surveilan keamanan
pangan di Indonesia.
c) Investigasi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan
Investigasi KLB merupakan kegiatan surveilan keamanan pangan
yang penting. Investigasi bisa mudah dilaksanakan jika risiko
paparannya diketahui, misalnya KLB keracunan pangan pada pesawat
terbang, rumah sakit, tahanan, dan asrama. Surveilan laboratorium
mempunyai peranan penting dalam deteksi penyebab keracunan pangan.
Dalam investigasi KLB ini, laporan akhir yang dibuat antara lain jumlah
penderita yang terkena, pangan dan penyebab keracunan (etiologic
agent) yang dicurigai atau telah terkonfirmasi serta alasan-alasan
terjadinya KLB.
12
d) Surveilan sentinel
Pengertian surveilan sentinel adalah pengumpulan data dari
sampel-sampel yang dilakukan pada lokasi yang dianggap mewakili
keseluruhan populasi. Pada surveilan ini, biasanya pengumpulan data-
data dilakukan pada puskesmas-puskesmas, klinik, laboratorium, rumah
sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya. Surveilan ini membutuhkan biaya
yang mahal, sehingga sulit untuk diterapkan di negara-negara
berkembang. Departemen Kesehatan melakukan surveilan ini untuk
memantau keberhasilan penggunaan oralit untuk menurunkan kasus
diare. Surveilan ini berguna sekali untuk menentukan magnitude dari
masalah kesehatan yang ada di daerah tersebut.
e) Surveilan laboratorium
Surveilan ini mengumpulkan data-data mengenai spesimen dari
manusia, toksin, bahan kimia berbahaya, dan sebagainya yang penting
untuk deteksi kasus/KLB keracunan pangan. Metode surveilan ini efektif
untuk menentukan penyebab kejadian luar biasa atau kasus penyakit
akibat pangan, tetapi belum cukup untuk mengukur magnitude dan
kecenderungan dari masalah keamanan pangan. Karena itu, metode ini
biasanya dikombinasikan dengan metode surveilan lainnya seperti studi
masyarakat.
f) Studi masyarakat (community study)
Studi masyarakat ini merupakan survei dengan masyarakat sebagai
respondennya. Biaya yang dibutuhkan untuk surveilan ini cukup besar.
Studi masyarakat cukup efektif dalam memberikan arahan mengenai
kecenderungan (trend) mengenai masalah keamanan pangan.
Keadaan surveilan secara faktual di Indonesia saat ini, untuk setiap
metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.
13
Tabel 3. Keadaan surveilan keamanan pangan di Indonesia Metode surveilan Keadaan di Indonesia
1. Pemberitahuan wajib (statutory notification)
Pelaporan wajib beberapa jenis penyakit, termasuk penyakit akibat pangan pada Dinas Kesehatan, Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL.
2. Laporan rumah sakit Informasi berupa laporan pendaftaran di rumah sakit mencakup laporan keluar masuknya pasien termasuk kematian, saat ini terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik.
3. Surveilan laboratorium Masih tersebar dan belum ada koordinasi.
4. Surveilan sentinel Sentinel diare telah dilakukan untuk melihat kecenderungan keberhasilan sosialisasi oralit. Saat ini sedang dikembangkan sentinel puskesmas dan sentinel rumah sakit untuk beberapa jenis penyakit akibat pangan. Sentinel untuk pangan dan kontaminasi belum dilakukan.
5. Investigasi KLB keracunan pangan
Data KLB keracunan pangan masih rendah yang dilaporkan, tidak banyak terungkap penyebabnya, masih menghitung jumlah keracunan saja dan belum banyak dimanfaatkan.
6. Studi masyarakat (community study)
Survei kesehatan rumah tangga, survei kewaspadaan pangan dan gizi sedang dilakukan oleh Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan. Survei mendatang perlu mencakup informasi keamanan pangan penting di masyarakat.
Sumber : Sparringa dan Rahayu (2005)
3. Informasi dalam Surveilan Keamanan Pangan
Untuk mendukung terwujudnya surveilan yang tangguh diperlukan
adanya informasi yang dapat menguatkan kegiatan surveilan itu sendiri.
Selain pelaporan mengenai kasus dan kejadian luar biasa akibat pangan,
terdapat beberapa sumber informasi untuk surveilan keamanan pangan yang
disebutkan oleh Borgdorff (1997), Sharp dan Reilly (2000), dan Sparringa
(2002) yaitu:
a) Studi epidemiologi
Studi epidemiologi adalah studi mengenai penyebaran penyakit
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Studi epidemiologi terkadang
lebih efektif dalam mencapai tujuan keamanan pangan dibandingkan
14
dengan surveilan karena mampu memberikan perkiraan yang lebih tepat
mengenai angka terjadinya penyakit-penyakit akibat pangan.
b) Surveilan veteriner
Beberapa penyakit hewan dapat menyebabkan penyakit akibat
pangan (zoonosis), seperti Brucella melitensis, Bacillus anthracis,
Salmonella sp, Leptospira sp, dan sebagainya. Sumber informasi
mengenai zoonosis ini berguna untuk memberikan peringatan dini
penyakit-penyakit akibat pangan yang ditularkan oleh hewan.
c) Informasi dari turis
Informasi dari wisatawan bisa sangat berguna. Informasi tersebut
dapat diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepada mereka
melalui pesawat terbang, kapal, atau sarana transportasi lainnya. Tujuan
dari pelaporan ini diantaranya adalah mengantisipasi penyebaran
penyakit akibat pangan yang diderita oleh turis lintas darat, propinsi,
maupun negara.
d) Surveilan pada rantai pangan
Pangan dan kondisi rantai pangan dapat memberikan informasi
yang berkaitan dengan keamanan pangan pada saat pangan masih
dibudidayakan sampai dikonsumsi (from farm to table). Informasi
tersebut berupa cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia yang
mungkin mengkontaminasi pangan selama masih berada pada mata
rantai pangan tersebut. Sehingga informasi yang diperoleh dari
pelaksanaan surveilan ini akan sangat berguna untuk pelaksanaan
program keamanan pangan.
C. SURVEILAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN
1. Definisi Surveilan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Konsep surveilan penyakit akibat pangan (foodborne disease
surveillance) sering dipahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan
penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan. Pengertian
tersebut menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi sebagai
15
bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilan penyakit akibat
pangan tersebut. Menurut WHO (2000), surveilan adalah proses
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik
dan terus-menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk dapat mengambil suatu tindakan. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan suatu definisi surveilan penyakit akibat pangan yang lebih
mengedepankan analisis atau kajian penyakit akibat pangan serta
pemanfaatan informasi penyakit akibat pangan, tanpa melupakan pentingnya
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan surveilan kasus penyakit
akibat pangan adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus
terhadap penyakit akibat pangan atau masalah-masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan faktor risiko
penyakit akibat pangan agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi tentang penyakit akibat pangan kepada pihak terkait
dengan masalah keamanan pangan. Kasus dalam kegiatan surveilan ini
adalah pasien atau orang (perseorangan) yang mengalami atau menderita
penyakit akibat pangan.
2. Definisi Kasus Penyakit Akibat Pangan
Kasus setiap penyakit akibat pangan harus didefinisi secara jelas.
Hal tersebut penting dilakukan dalam surveilan kasus penyakit akibat
pangan sehingga diharapkan data yang tersedia akurat dan berkualitas.
Maksud data yang berkualitas adalah data yang ada untuk setiap jenis
penyakit tidak melebihi kasus yang secara faktual terjadi di masyarakat
(over estimate) maupun tidak terlalu jauh lebih kecil dari kenyataan yang
ada di lapang (under estimate). Oleh karena itu, untuk menentukan data
yang akurat dan faktual tersebut diperlukan adanya pemeriksaan
laboratorium sebagai penguat diagnosis klinis yang dilakukan oleh dokter.
Hal ini penting, karena jenis penyakit tertentu mungkin mempunyai gejala
(symptoms) yang hampir sama dengan jenis penyakit lainnya. Sebagai
16
contoh, gejala diare berdarah dapat disebabkan oleh adanya penyakit
shigellosis ataupun campylobacteriosis (Black et al., 1988; Wallis, 1994).
Untuk tujuan surveilan, kasus penyakit akibat pangan didefinisikan
menurut status diagnosis. Berdasarkan status diagnosisnya, kasus penyakit
akibat pangan terbagi dalam dua kategori yaitu :
a) Kasus penyakit yang bersifat dugaan (suspected case)
Kasus penyakit yang bersifat dugaan adalah kasus penyakit akibat
pangan dimana penetapan agen penyebab penyakit tersebut hanya
berdasarkan dugaan (suspected) dari gejala klinis yang ada, tanpa
dilengkapi dengan hasil analisis spesimen dari laboratorium, sehingga
diagnosis yang ada tidak pasti (unconfirmed).
b) Kasus penyakit yang bersifat tetap (confirmed case)
Kasus penyakit yang bersifat tetap adalah kasus penyakit akibat
pangan yang didiagnosis secara klinis oleh petugas kesehatan (dokter)
dan dilengkapi dengan hasil pengujian spesimen oleh laboratorium untuk
menentukan agen penyebab penyakit tersebut secara pasti (confirmed).
Pendefinisian kasus penyakit akibat pangan ini berkontribusi dalam
menyediakan data kasus penyakit akibat pangan yang ilmiah. Data yang
ilmiah tersebut merupakan salah satu pendukung dasar (evidence base)
penetapan kebijakan, disamping landasan non ilmiah (Sparringa, 2002).
3. Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Penyakit akibat pangan sebagai salah satu masalah keamanan
pangan di Indonesia akan menjadi ‘bom waktu’ yang dapat ‘meledak’
sewaktu-waktu bila tidak tertangani dengan baik. Pola pelaporan penyakit
akibat pangan mengikuti pola ‘gunung es’ yaitu suatu pola dimana kasus
penyakit akibat pangan yang terlapor sangat sedikit dan berada pada puncak
gunung atau permukaan saja, sedangkan data kasus yang sebenarnya terjadi
jauh lebih besar dari keadaan yang ada di permukaan (Rocourt et al., 2003).
Keadaan ini dapat dilihat pada kejadian maupun kasus busung lapar yang
sedang di sorot banyak media akhir-akhir ini. Pola pelaporan kasus penyakit
akibat pangan ini dapat dilihat pada Gambar 1.
17
Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat banyak informasi yang hilang pada
setiap langkah sebelum kasus terlaporkan pada institusi kesehatan yang
berwenang (health authority) untuk dijadikan sebagai sumber informasi
dalam surveilan kasus penyakit akibat pangan.
Sebagian besar kasus penyakit akibat pangan yang terlaporkan saat
ini, merupakan kasus yang masih bersifat syndromic, artinya hanya
berdasarkan gejala klinis dan belum terkonfirmasi dengan uji laboratorium
sehingga jenis penyakit yang terlapor belum jelas berdasarkan agen
penyebabnya, misal: listeriosis, salmonellosis. Meskipun beberapa kasus
penyakit wajib untuk dilaporkan, tetapi dalam kenyataannya belum
terimplementasi dengan baik. Pada umumnya hanya kasus yang bersifat
‘sporadic’ dengan kondisi atau gejala kasus yang parah saja terlaporkan
secara lengkap dibandingkan data kasus penyakit akibat pangan dengan
gejala ringan, misalnya diare. Sebagai konsekuensinya, banyak kasus tidak
terlaporkan dan menjadi masalah utama dalam analisis dan interpretasi data,
sehingga informasi yang dihasilkan kurang representatif.
Populasi masyarakat
Terlapor Pada Departemen
Kesehatan
Kasus terkonfirmasi
Pengujian laboratorium
Pengumpulan spesimen
Penderita yang mendapatkan perawatan medis
Orang yang menderita penyakit akibat pangan
Sumber : Rocourt et al. (2003)
Gambar 1. Piramida beban penyakit akibat pangan
18
Gambar 2 di atas dapat menunjukkan lemahnya sistem surveilan
panyakit akibat pangan di Indonesia. Saat ini Badan POM RI melalui
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan telah
mengembangkan sistem penanganan, penanggulangan maupun pelaporan
kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, khususnya yang bersifat point
sources atau “point sources foodborne disease outbreak”. Data KLB
keracunan pangan tersebut hanya menggambarkan sedikit potret keamanan
pangan yang ada di Indonesia. Sedangkan kasus penyakit akibat pangan
sporadis yang sering terjadi dengan jumlah korban yang jauh lebih besar dan
mempunyai potensi KLB belum diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi
karena lemahnya sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di
Indonesia. Untuk mendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan
tersebut diperlukan adanya perangkat pendukung yang baik, salah satunya
Sumber : Majowicz (2001) Keterangan : warna putih menunjukkan “tidak ada data” kasus penyakit akibat pangan
Gambar 2. Peta angka insiden kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di dunia
19
dengan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan dari rumah sakit,
puskesmas, klinik maupun pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat
secara terpadu.
Blok putih pada Gambar 2 diatas menunjukkan bahwa data kasus
penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia belum tersedia,
sehingga belum dapat diakses oleh masyarakat luas, baik masyarakat
internasional maupun regional (ASEAN). Bila dibandingkan dengan negara-
negara asia lainnya, surveilan kasus penyakit akibat pangan (foodborne
disease case surveillance) di Indonesia masih lemah, sama halnya dengan
negara-negara dunia ketiga yang ada di benua Afrika (dengan blok putih).
Untuk itu diperlukan usaha yang sangat besar dari pemerintah untuk terus
meningkatkan surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia.
4. Penyakit Akibat Pangan yang Wajib Dilaporkan
Setiap wilayah/negara mewajibkan pelaporan kasus beberapa jenis
penyakit akibat pangan yang berbeda-beda, tergantung jenis kasus penyakit
akibat pangan yang paling sering dan paling potensial terjadi di suatu
wilayah tertentu berdasarkan studi epidemiologi yang telah dilakukan. Pada
Tabel 4 dapat dilihat beberapa jenis penyakit akibat pangan yang wajib
dilaporkan (notifiable foodborne disease) di beberapa negara.
Berdasarkan Tabel 4 di bawah, pada negara-negara yang telah
maju semakin banyak jenis penyakit akibat pangan (foodborne disease) yang
wajib dilaporkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada negara maju,
perhatian pemerintahnya terhadap masalah kesehatan sangat besar. Dapat
dilihat pada Tabel 4 tersebut, terdapat beberapa jenis penyakit akibat pangan
yang wajib dilaporkan pada hampir semua negara, diantaranya: kolera,
shigellosis (kecuali Malaysia), typhoid, dan hepatitis A (kecuali Canada).
Hal itu menunjukkan bahwa penyakit-penyakit tersebut merupakan masalah
kesehatan masyarakat secara global.
20
Tabel 4. Penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di beberapa negara Jenis/syndrome penyakit akibat
pangan (penyebab penyakit )
Negara Amerika Serikat
1
Canada 2
Indonesia 3
Australia 4
Malaysia 5
Botulisme (C. botulinum)
x x
Kolera (Vibrio cholerae)
x x x x x
Shigellosis x x x x Listeriosis x x x Infeksi E. coli (termasuk E. coli O157:H7)
x x
HUS x Salmonellosis x x x Typhoid x x x x x Paratyphoid x x Yersiniasis (Yersinia enterocolitica)
x
Campylobacteriosis x x Brucellosis x Anthrax x Cryptosporidiosis (Cryptosporidium parvum)
x x
Cyclosporiosis (Cyclospora sp.)
x x
Giardiasis (Giardia)
x x
Trichinosis (Trichinella spiralis)
x x
Chlamydia x x Amubiasis x x Hepatitis A x x x x Dysentery x x Keracunan pangan (food poisoning)
x
Diare x Sumber : 1. CDC (2003) 2. PHAC (2000)
3. Departemen Kesehatan (2004) 4. OzFoodnet (2003)
5. FAO/WHO (2004)
21
5. Angka Insiden (Incident Rate), Angka Kematian (Case Fatality Rate) dan Angka Kunjungan (Admission Rate) Kasus Penyakit Akibat Pangan
Untuk mengetahui dan menentukan tingkat keseringan (prevalensi)
maupun tingkat keparahan penyakit akibat pangan pada suatu tempat atau
propinsi dapat dilakukan dengan penghitungan angka insiden (incident rate).
Incident rate adalah nilai perbandingan antara jumlah korban (kasus) per
100.000 penduduk (Imari, 2004). Dengan angka insiden, dapat diketahui
juga tingkat keparahan (severity) suatu penyakit akibat pangan dibandingkan
dengan penyakit akibat pangan lainnya, ataupun tingkat keparahan penyakit
akibat pangan pada suatu tempat/daerah/propinsi dibandingkan pada tempat/
propinsi lainnya. Hal ini berguna untuk menentukan prioritas program
keamanan pangan pada wilayah di Indonesia sehingga hasil yang diharapkan
akan lebih efektif dan efisien.
Selain incident rate (IR), tingkat keparahan penyakit akibat pangan
pada suatu daerah dalam suatu waktu tertentu dapat diketahui dengan
menghitung nilai case fatality rate (CFR). Case fatality rate adalah nilai
perbandingan antara jumlah korban meninggal (kasus meninggal) dengan
total jumlah korban (jumlah kasus yang terjadi) selama kurun waktu
tertentu. Propinsi dengan CFR tertinggi berarti kejadian kasus penyakit
akibat pangan di wilayah tersebut mengakibatkan korban meninggal
terbanyak dibanding daerah (propinsi) yang lain. Apabila CFR pada suatu
waktu tertentu (tahun atau bulan) mempunyai nilai tertinggi berarti kejadian
kasus penyakit akibat pangan pada waktu tersebut mengakibatkan korban
meninggal terbanyak dibandingkan pada waktu-waktu yang lain.
Admission rate dihitung berdasarkan jumlah kunjungan per jumlah
kasus baru (pasien rawat jalan) pada rumah sakit. Admission rate hanya
berlaku untuk kasus pada rawat jalan. Kasus baru pada pengobatan dengan
rawat jalan adalah pasien (kasus) yang berkunjung untuk kali pertama pada
suatu rumah sakit atau puskesmas dengan gejala atau penyakit tertentu.
Apabila kasus tersebut berkunjung pada rumah sakit/klinik/puskesmas
dengan jenis penyakit yang sama, maka pasien tersebut bukan disebut
sebagai kasus baru. Admission rate ini dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat kunjungan kasus dengan jenis penyakit akibat pangan tertentu dan
22
menentukan jenis penyakit akibat pangan yang paling umum (common)
terjadi di suatu wilayah/negara tertentu (Erfandi; Djauzi, personal
communication. 2005).
6. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan
Pelaporan kasus penyakit akibat pangan merupakan bagian dari
kegiatan surveilan penyakit akibat pangan. Hal tersebut penting dilakukan
untuk mengetahui kecenderungan (trend) penyakit akibat pangan pada suatu
tempat/daerah/wilayah (negara ataupun propinsi) dalam kurun waktu
tertentu. Kecenderungan kejadian kasus penyakit akibat pangan dapat
digunakan sebagai kewaspadaan dini (early warning) akan adanya kejadian
luar biasa keracunan pangan/penyakit akibat pangan.
Kejadian luar biasa (KLB) menurut Peraturan Menteri Kesehatan
No.560/MENKES/PER/VIII/1989 adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu (Departemen Kesehatan, 2003).
Sedangkan menurut WHO (World Health Organization), KLB keracunan
pangan (foodborne disease outbreak) didefinisikan sebagai suatu kejadian
dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah
mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologis terbukti sebagai sumber
penularan (Sparringa, 2002).
Berdasarkan skala kejadiannya, kejadian luar biasa (KLB)
keracunan pangan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu :
a) Protracted foodborne disease outbreak
Protracted foodborne disease outbreak adalah kejadian luar biasa
(KLB) keracunan pangan (foodborne disease outbreak) yang terjadi
pada masyarakat atau suatu tempat secara terus menerus tanpa diketahui
waktu paparannya, misal: KLB diare pada suatu area A yang terjadi pada
waktu tertentu dan secara epidemiologis disebabkan oleh air atau pangan
yang tercemar oleh bakteri patogen.
b) Point source foodborne disease outbreak
Point source foodborne disease outbreak adalah KLB yang terjadi
pada suatu tempat yang diketahui waktu paparannya secara
23
epidemiologis disebabkan mengkonsumsi pangan yang sama, misal:
KLB keracunan pangan pada suatu pesta akibat mengkonsumsi pangan
tercemar yang dihidangkan dalam pesta tersebut (Sparringa, 2005).
7. Keparahan (Severity) Penyakit Akibat Pangan
Penyakit akibat pangan merupakan masalah kesehatan yang paling
umum terjadi dibandingkan jenis penyakit yang lain. Data pada Departemen
Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit diare dan gastroenteritis oleh
penyebab infeksi (kolitis infeksi) merupakan penyakit utama yang diderita
oleh pasien (kasus) rawat inap pada rumah sakit di Indonesia (Departemen
Kesehatan, 2004). Bahkan menurut Rocourt et al. (2003), salah satu
penyakit akibat pangan yang secara klinis paling banyak terjadi di dunia
adalah gastroenteritis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme,
seperti bakteri, virus atau parasit. Biasanya penyakit ini mempunyai masa
inkubasi yang pendek yaitu antara 1-2 hari sampai 7 hari. Masa atau waktu
inkubasi adalah masa atau periode antara konsumsi pangan yang
terkontaminasi oleh mikroorganisme dengan terjadinya gejala sakit.
Penyakit akibat pangan dapat menyebabkan tingkat keparahan
yang bervariasi, dari gejala penyakit yang ringan, dimana tidak memerlukan
perawatan kesehatan sampai dengan terjadinya kematian. Mead et al. (1999)
menyatakan bahwa di Amerika Serikat, angka pasien yang masuk rumah
sakit (hospitalization rate) untuk kasus penyakit akibat pangan mempunyai
kisaran antara 0.6% sampai 29%. Artinya, dari seluruh kasus penyakit akibat
pangan terdapat jenis penyakit akibat pangan tertentu dimana dari 1000
kasus yang terjadi, 6 hingga 290 orang/pasien perlu menjalani rawat inap.
Hasil paparan penyakit diare akibat mikroorganisme patogen
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : (1) keadaan imunitas atau
kemampuan menghasilkan respon imun, (2) faktor nutrisi, (3) umur dan
(4) faktor non spesifik (sebagai contoh, luka atau pasca cangkok organ).
Sebagai hasilnya, kejadian, keparahan dan tingkat kematian (lethality)
penyakit diare lebih tinggi pada beberapa segmen populasi tertentu,
termasuk balita, wanita hamil, manusia dengan tingkat imunitas rendah
(immunocompromised), misalnya pasien yang melakukan transplantasi
24
organ, pasien yang melakukan kemotherapi kanker, pengidap HIV/AIDS
serta orang yang telah lanjut usia (Gerba et al., 1996).
Pelaporan kasus penyakit akibat pangan juga penting dilakukan
sebagai dasar untuk melakukan kajian berbagai jenis penyakit sebagai
implikasi (impact) adanya penyakit akibat pangan. Beberapa penyakit akibat
pangan diketahui sebagai penyebab penyakit yang bersifat kronis
(menahun). Sebagai contohnya adalah infeksi Vibrio parahaemolyticus
septicaemia yang menyebabkan penyakit thalasemia (Hlady et al., 1996;
Adam Kiewiciz et al., 1998). Infeksi E. coli O157:H7 dengan gejala diare
berdarah dapat menyebabkan komplikasi serius sebagai manifestasi secara
sistemik seperti haemolytic uremic syndrome (HUS). Penyakit HUS
merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal dan kerusakan sistem
syaraf (neurologi). Infeksi Campylobacter jejuni dapat menyebabkan
sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre syndrome) yaitu gejala degenerasi
sistem saraf dan ketidakmampuan menawar racun, salmonellosis dapat
menyebabkan arthritis dan encephalitis toksoplasma yang bersifat kronis
(Griffin et al., 1988; Rees et al., 1995; Thompson et al., 1995). Bahkan 2%
sampai 3% dari seluruh kasus penyakit akibat pangan berpotensi
menyebabkan penyakit yang bersifat kronis (komplikasi jangka panjang)
(Lindsay, 1997).
D. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AKIBAT PANGAN
1. Definisi Epidemiologi
Epidemiologi didefinisikan sebagai studi yang mempelajari
tentang distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan
manusia dalam suatu populasi tertentu serta aplikasinya dalam
mengendalikan masalah kesehatan manusia. Sparringa (2005), menjabarkan
pengertian epidemiologi tersebut dengan keenam kata kuncinya, yaitu :
a) Studi
Epidemiologi merupakan ilmu dasar dalam kesehatan masyarakat.
Epidemiologi didukung oleh banyak disiplin ilmu berdasarkan prinsip
statistik dan metode riset, termasuk di dalamnya surveilan, observasi,
pengujian hipotesis, dan riset analitis.
25
b) Distribusi
Dalam epidemiologi dipelajari frekuensi dan pola suatu penyakit
dalam populasi masyarakat. Untuk tujuan tersebut, digunakan
epidemiologi deskriptif untuk mengetahui karakteristik penyebaran suatu
penyakit berdasarkan waktu, tempat dan karakteristik orang.
c) Determinan
Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari faktor-faktor
penyebab yang memungkinkan meningkatnya risiko maupun kasus suatu
penyakit. Dengan dasar inilah dapat dikembangkan pertanyaan ‘siapa’,
‘apa’, ‘dimana’, ‘kapan’, dan mulai juga dikembangkan untuk bisa
menjawab ‘bagaimana’ serta ‘mengapa’ suatu penyakit dapat terjadi
atau mempunyai kecenderungan meningkat. Pengertian ini disebut
dengan istilah ‘epidemiologi analitik’.
d) Status (hal-hal) yang berhubungan dengan kesehatan manusia
Epidemiologi berkembang mencakup spektrum yang lebih luas,
termasuk diantaranya mempelajari pola penyakit yang bersifat kronis,
masalah lingkungan, masalah kesehatan, perilaku manusia, hewan
ataupun alam dan tingkat keparahan suatu infeksi penyakit.
e) Populasi
Epidemiologi lebih ditekankan untuk mempelajari karakteristik
penyakit dan masalah kesehatan lainnya dalam suatu kelompok manusia
dari pada kesehatan yang menyangkut individu manusia.
f) Kontrol (pengendalian dan pencegahan)
Data epidemiologi digunakan sebagai dasar untuk membuat
keputusan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat serta
berdasarkan tujuannya dalam mengembangkan dan mengevaluasi
intervensi dalam penanggulangan dan pencegahan masalah-masalah
kesehatan.
2. Investigasi Penyakit Akibat Pangan Berdasarkan Epidemiologi
Investigasi secara epidemiologi merupakan bagian terpenting
dalam investigasi penyakit akibat pangan termasuk di dalamnya investigasi
lingkungan maupun laboratorium. Tujuan investigasi secara epidemiologi
26
adalah untuk mengidentifikasi suatu masalah, mengumpulkan data,
memformulasikan dan menguji suatu hipotesis, termasuk di dalamnya
pengumpulan dan analisis berbagai macam fakta dan data untuk menentukan
penyebab penyakit dan mengimplementasikan perangkat kontrol untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas penyakit akibat pangan.
Kuesioner merupakan perangkat yang digunakan dalam membantu
penginvestigasian untuk mengembangkan hipotesis yang lebih baik tentang
identitas agen penyebab, sumber dan penyebaran penyakit akibat pangan.
Dalam pelaporan kasus penyakit akibat pangan, dokter atau petugas
kesehatan merupakan investigator seorang pasien atau kasus. Diharapkan
dengan investigasi tersebut dapat diketahui waktu, tempat dan individu yang
menderita penyakit akibat pangan sehingga dari informasi kasus-kasus yang
terkumpul dapat diketahui pola penyebaran dan kecenderungan terjadinya
peningkatan kasus penyakit akibat pangan. Investigasi secara epidemiologi
tersebut dihubungkan dengan faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh
dan pengujian spesimen dalam laboratorium.
3. Langkah-langkah Investigasi Penyakit Akibat Pangan Secara Epidemiologi
Investigasi secara epidemiologi penyakit akibat pangan biasa
digunakan dalam menangani kejadian luar biasa (KLB) atau ’outbreak’
keracunan pangan. Dalam penelitian ini, investigasi secara epidemiologi
dikembangkan untuk tujuan pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit
akibat pangan. Menurut Hackbarth et al. (1997), terdapat beberapa langkah
investigasi epidemiologi untuk kasus penyakit akibat pangan, yaitu :
a) Konfirmasi kasus oleh petugas kesehatan (dokter, petugas kesehatan
yang berwenang)
b) Konfirmasi diagnosis penyakit akibat pangan yang diderita kasus oleh
laboratorium
c) Pengisian laporan kasus pada formulir pelaporan kasus penyakit akibat
pangan
d) Pengiriman pelaporan pada instansi kesehatan yang berwenang (health
authority)
27
e) Pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus penyakit akibat pangan
yang terkumpul
f) Pengembangan hipotesis
g) Perbandingan hipotesis dan fakta
h) Pembuatan kebijakan
E. KONSEP ANALISIS RISIKO UNTUK KEAMANAN PANGAN
Tujuan utama pengumpulan data kasus penyakit akibat pangan adalah
untuk menghasilkan informasi yang dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah
dalam menentukan kebijakan pengendalian masalah-masalah kesehatan
masyarakat (public health action). Informasi yang tersedia diantaranya mencakup
agen penyebab, karakteristik penyakit, media penyebaran (vehicles of
transmission), dan kesalahan dalam penanganan pangan (food misshandling
errors). Informasi-informasi tersebut dikumpulkan oleh pihak kesehatan yang
berwenang (public health authorities). Pada negara-negara maju, kegiatan
surveilan berdasarkan data-data tersebut telah sukses digunakan untuk
menurunkan angka insiden (incident rate) penyakit akibat pangan. Akan tetapi,
beban penyakit akibat pangan masih tinggi dan diperlukan usaha untuk
menurunkan insiden kasus penyakit akibat pangan secara lebih signifikan.
Penyakit akibat pangan di negara-negara yang tergabung dalam OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development), merupakan
penyakit yang dapat dicegah atau diatasi, terkecuali penyakit akibat pangan
tertentu seperti tifoid, hepatitis A serta infeksi rotavirus (Rocourt et al., 2003).
Tantangan ke depan adalah penggunaan berbagai pendekatan multidisiplin dalam
pengidentifikasian strategi terbaik sepanjang rantai pangan (termasuk informasi
dan edukasi konsumen) dalam usaha pencegahan penyakit, terutama pada tingkat
produksi primer. Metode pendekatan yang digunakan harus melalui proses
analisis risiko yang menghubungkan patogen dalam pangan dengan masalah
kesehatan masyarakat, termasuk masalah penyakit akibat pangan.
Untuk mengatasi kompleksitas interaksi antara populasi manusia yang
bervariasi, patogen, dan pangan serta untuk meminimalkan pengaruh terhadap
masalah kesehatan masyarakat dan faktor ekonomi pada lain sisi, Codex
28
Alimentarius, WHO (World Health Organization) dan FAO (Food and
Agriculture Organization of United Nations) mempromosikan konsep analisis
risiko. Secara umum, analisis risiko terbagi dalam tiga langkah yang saling
terintegrasi yaitu kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko. Kaitan
antara ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
1. Manajemen Risiko (Risk Management)
Manajemen risiko merupakan tahap awal dalam proses analisis
risiko. Manajemen risiko adalah proses seleksi, implementasi dan evaluasi
(review) kebijakan keamanan pangan, terutama menetapkan opsi dalam
pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi risiko. Manajemen risiko
merupakan kegiatan pengendalian risiko yang telah diidentifikasi pada
kegiatan karakteristik risiko. Pengendalian risiko tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh. Untuk risiko
tinggi, pengendalian risiko mutlak diperlukan. Untuk risiko sedang,
pengendalian risiko tidak perlu dilakukan apabila tenaga dan biaya yang
diperlukan sangat besar dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh.
Sedangkan untuk risiko kecil, pengendalian risiko tidak perlu dilakukan
Gambar 3. Proses analisis risiko
Kajian risiko Landasan Ilmiah
Manajemen risiko Landasan Kebijakan
Komunikasi risiko Pertukaran informasi dan opini
yang interaktif dan terus menerus
29
(Badan POM, 2001b). Tujuan dari kegiatan pengendalian risiko ini adalah
mengurangi risiko, atau bahkan mencegah terjadinya risiko tersebut.
Wilson dan Droby (2001) menyebutkan langkah-langkah
manajemen risiko terdiri dari: (1) mengidentifikasi masalah-masalah
keamanan pangan beserta faktor risikonya, (2) menyusun profil risiko, (3)
menetapkan tujuan manajemen risiko dan tim manajer risiko untuk
mengendalikan risiko tersebut, (4) membuat prioritas risiko yang ingin
dikendalikan, (5) menerbitkan kebijakan-kebijakan pengendalian risiko
dengan mempertimbangkan informasi yang diperoleh dari kegiatan kajian
risiko, (6) monitoring pelaksanaan kebijakan yang telah disusun, dalam hal
ini dilimpahkan kepada kegiatan kajian risiko, dan (7) melakukan evaluasi
berdasarkan informasi dari kegiatan kajian risiko yang dilakukan pada tahap
6. Seluruh tahap kegiatan manajemen risiko tersebut perlu
didokumentasikan dan dilakukan secara transparan (Badan POM, 2001b).
Parker dan Tompkin (2000) meringkas tahap-tahap tersebut dalam empat
tahap yaitu: (1) evaluasi risiko (risk evaluation), (2) kajian alternatif-
alternatif manajemen risiko (option risk management assessment), (3)
pelaksanaan keputusan manajemen risiko (implementation of management
decisions), serta (4) monitoring dan evaluasi (monitoring and review).
Pada tahap evaluasi risiko, manajer risiko akan membahas risiko-
risiko yang telah ditentukan melalui kegiatan kajian risiko. Pembahasan
tersebut diharapkan menghasilkan profil masing-maing risiko. Profil
tersebut berisi lokasi dan distribusi risiko, keuntungan dan kerugian
pengendalian risiko, serta informasi lain yang diperlukan. Profil risiko
diperlukan untuk menentukan instansi-instansi terkait yang akan dilibatkan
dalam tim manajer risiko, seperti: Pemerintah Daerah, Departemen
Kesehatan, Dinas Kesehatan, Balai POM atau instansi lain yang memiliki
kewenangan dan kepentingan yang berhubungan dengan risiko tersebut.
Instansi-instansi yang dipilih sebaiknya terdiri dari berbagai multidisiplin
ilmu, sehingga dapat memberi pertimbangan kepada manajer risiko dalam
berbagai sudut pandang. Selanjutnya, pembahasan tersebut diharapkan
mampu memformulasikan tujuan manajemen risiko, mengembangkan
30
kerangka acuan (term of reference), dan memberikan alternatif-alternatif
untuk mengendalikan risiko yang terjadi.
Langkah kedua adalah kajian alternatif pengendalian risiko. Kajian
tersebut berupa diskusi dengan instansi-instansi terkait untuk menentukan
alternatif pemecahan masalah yang tepat. Beberapa informasi-informasi
yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan alternatif yang tepat adalah
ketidakpastian yang ada pada masing-masing alternatif, besarnya risiko yang
ada setelah dilakukan alternatif, biaya yang diperlukan untuk melaksanakan
alternatif tersebut, dan adanya sumber daya manusia yang memadai untuk
melakukan alternatif tersebut. Intinya, keuntungan dan kerugian dari
masing-masing alternatif perlu dikaji sebelum memilih. Biasanya, kriteria
yang mudah diukur dan diamati juga disusun untuk mempermudah kajian
alternatif ini. Alternatif yang memenuhi kriteria akan dipilih dan
diimplementasikan untuk mengendalikan risiko.
Langkah ketiga adalah pelaksanaan keputusan, dimana
memerlukan kekompakan tim manajer risiko serta perencanaan yang
matang. Rencana tersebut meliputi pihak yang akan bertanggung jawab
langsung di lapangan, karena tidak semua pihak dalam tim manajer risiko
akan turun langsung ke lapangan. Perencanaan tersebut juga berisi petunjuk
pelaksanaan teknis, jadwal pelaksanaan, dan sasaran pengendalian risiko.
Langkah terakhir adalah monitoring, evaluasi, dan dokumentasi.
Langkah ini sangat penting untuk memberikan umpan balik yang diperlukan
untuk memperbaiki pelaksanaan manajemen risiko. Kegiatan monitoring
bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan keputusan manajemen risiko dan
berapa besar pengaruhnya dalam mengurangi risiko yang ada. Kegiatan
monitoring tersebut dilakukan pada tahap kajian risiko, dan dapat berupa
kegiatan studi, survei, atau surveilan. Setelah dilakukan monitoring, tidak
menutup kemungkinan adanya penyempurnaan terhadap keputusan
manajemen risiko yang telah ada.
2. Kajian Risiko (Risk Assessment)
Menurut Parker dan Tompkin (2000), kajian risiko keamanan
pangan adalah mengorganisasi informasi yang berhubungan dengan risiko-
31
risiko keamanan pangan secara sistematis dan ilmiah sehingga pengambil
keputusan (manajer risiko) dapat mengerti faktor-faktor yang mendorong
risiko. Kajian risiko bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan : (1)
bahaya (hazards) apa saja yang mungkin terjadi, (2) bagaimana peluang
terjadinya bahaya tersebut, dan (3) jika bahaya terjadi, apa konsekuensi yang
harus dihadapi. Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melakukan empat
langkah yaitu identifikasi bahaya (hazard identification), karakterisasi
bahaya (hazard characterization), kajian pemaparan (exposure assessment),
dan karakterisasi risiko (risk characterization) (Badan POM, 2001b). Bagan
alir langkah-langkah tersebut terdapat pada Gambar 4.
Penetapan tujuan Identifikasi bahaya (Hazard identification)
Karakterisasi bahaya Kajian paparan (Hazard characterization) (Exposure assessment)
Karakterisasi risiko Perkiraan risiko: (Risk characterization) • Peluang dan keparahan • Ketidakpastian • Keragaman
Identifikasi bahaya (hazard identification) adalah identifikasi
bahaya yang terdapat di dalam makanan dan dapat menyebabkan dampak
buruk terhadap kesehatan. Sedangkan bahaya (hazard) dapat diartikan
sebagai agen-agen biologis, kimia, maupun fisika yang terdapat di dalam
pangan dan berpotensi untuk menyebabkan efek buruk bagi kesehatan.
Identifikasi bahaya merupakan hasil dari kegiatan studi/survei/surveilan
keamanan pangan, diantaranya survei terhadap faktor-faktor risiko pada
Gambar 4. Bagan alir kegiatan-kegiatan dalam kajian risiko (Badan POM, 2001c)
32
rantai pangan, mikroba penyebab penyakit akibat pangan atau kejadian luar
biasa keracunan pangan, survei epidemiologi, dan survei/studi/surveilan
lainnya (Parker dan Tompkin, 2000).
3. Komunikasi Risiko (Risk Communication)
Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan opini
secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko,
faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji
risiko, manajer risiko serta pihak terkait lainnya, seperti pihak pemerintah,
konsumen, industri dan akademisi. Informasi yang diberikan termasuk
penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan
keputusan manajemen risiko.
Tujuan dari kegiatan komunikasi risiko yaitu : (1) menetapkan dan
mempertahankan informasi tentang pengetahuan, sikap dan persepsi semua
pihak tentang topik risiko untuk melaksanakan analisis risiko, (2) melakukan
review terhadap kebijakan analisis risiko yang diambil, termasuk metode
kajian risiko dan standar risiko yang digunakan serta tentang kebijakan atau
program manajemen risiko.
Dalam melakukan komunikasi risiko diperlukan beberapa strategi,
diantaranya : (1) mengkoleksi dan menganalisis informasi tentang risiko
keamanan pangan dan persepsi pihak-pihak terkait, (2) mengembangkan dan
diseminasi pesan-pesan utama yang ditargetkan pada kelompok-kelompok
tertentu, (3) mendorong dan mengajak pihak terkait untuk berdialog tentang
risiko, (4) memonitor dan mengevaluasi hasil dari komunikasi risiko.
F. DAMPAK EKONOMI PENYAKIT AKIBAT PANGAN
Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tetapi juga
menyangkut kepedulian individu. Keamanan pangan merupakan syarat penting
yang harus melekat pada pangan dan merupakan hak asasi setiap individu dalam
masyarakat sebagai konsumen. Oleh karena pentingnya keamanan pangan sebagai
bagian dari ketahanan pangan nasional, maka perhatian serius dalam hal tersebut
perlu terus ditingkatkan, baik oleh pemerintah, produsen maupun konsumen.
33
Salah satu upaya untuk memonitor keamanan pangan adalah dengan mengetahui
kecenderungan penyakit akibat pangan yang ada di masyarakat.
Penyakit akibat pangan telah menimbulkan dampak kesehatan bagi
masyarakat yang berimplikasi pada masalah sosial maupun kerugian ekonomi.
Secara individu, setiap kasus (penderita) penyakit akibat pangan akan mengalami
penurunan produktivitas. Selain itu, dampak dari penyakit akibat pangan dapat
dihitung pada kerugian yang dialami oleh konsumen (masyarakat), industri
pangan maupun pemerintah. Kerugian secara finansial ini dapat dilihat pada
kerugian ekonomi dengan adanya kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan
yang ada di Indonesia (Tabel 5).
Tabel 5. Kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan
Industri pangan Rumah tangga Pemerintah
Penarikan produk Penutupan pabrik
(dan pembersihan) Tuntutan dan liability
cost lainnya Penurunan
permintaan produk Asuransi Administrasi
Biaya medis Penurunan/kehilangan
gaji Kesakitan dan
penderitaan Kehilangan ”leisure
time” Kehilangan biaya
”child care” Biaya perjalanan
Biaya surveilan Biaya pendidikan Biaya pembersihan Biaya pendidikan
konsumen Biaya manajemen
risiko (penerapan HACCP dll)
Sumber : Rahayu et al. (2005)
1. Dampak Ekonomi Penyakit Akibat Pangan di Amerika Serikat
Untuk mengatasi penyakit akibat pangan dengan bakteri sebagai
etiologic agent-nya, Amerika Serikat mengeluarkan biaya sampai US$23
milyar. Sedangkan khusus untuk kasus salmonellosis diperkirakan
menimbulkan dampak ekonomi sebesar US$3.991 juta setiap tahunnya
(Sockett dan Roberts, 1991). Total kerugian ekonomi oleh penyakit akibat
pangan di Amerika Serikat diperkirakan mencapai US$5.6 milyar sampai
US$9.4 milyar (Mei 1995, Chief of Food Safety Branch of the United States
Department of Agriculture) – khusus untuk biaya perawatan kesehatan dan
kehilangan produktivitas akibat salmonellosis dengan 3.8 juta kasus,
kerugian ekonomi mencapai US$0.6-3.5 milyar (Buzby dan Roberts, 1995).
34
2. Dampak Ekonomi Penyakit Akibat Pangan di Australia dan New Zealand
Australia mengalami kerugian ekonomi sebesar Aus$487 juta
sampai Aus$1900 juta (ANZFA, 1996) atas kejadian luar biasa (KLB) oleh
HUS di Australia Selatan disebabkan oleh E. coli O111 yang
mengkontaminasi mettwurs (Cameron et al., 1995), dan kerugian ekonomi
sebagai dampak penurunan produktivitas kerja mencapai Aus$20 juta per
tahun. Sedangkan kerugian ekonomi sebagai dampak penyakit akibat pangan
di New Zealand mencapai NZ$100 juta per tahun.
3. Dampak Ekonomi Penyakit Akibat Pangan di Indonesia
Kerugian ekonomi sebagai dampak dari penyakit akibat pangan di
Indonesia, belum diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan diantaranya
belum adanya data yang menunjukkan jumlah angka kasus penyakit akibat
pangan secara jelas di Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan kejadian luar
biasa (KLB) keracunan pangan yang terlapor pada Badan POM RI selama
tahun 2004, dapat diperkirakan bahwa kerugian negara Indonesia atas kasus
penyakit/KLB keracunan pangan yang terjadi adalah sebesar 6.7 trilyun
rupiah per tahun (Rahayu et al., 2005).
35
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari enam tahap yaitu : (1) identifikasi masalah
sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di indonesia, (2) pengumpulan
data kasus penyakit akibat pangan di indonesia, (3) analisis data kasus penyakit
akibat pangan, (4) identifikasi kebutuhan dalam pengembangan sistem pelaporan
kasus penyakit akibat pangan, (5) penyusunan mekanisme dan formulir pelaporan
kasus penyakit akibat pangan, (6) evaluasi mekanisme dan formulir pelaporan
kasus penyakit akibat pangan. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian dapat dilihat
pada Gambar 5.
1. Identifikasi Masalah
Tahap pengidentifikasian masalah meliputi studi banding
(benchmarking) dengan cara studi pustaka (melalui browsing internet) tentang
sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO (World Health
Organization) dan negara lain dengan sistem surveilan dan notifikasi kasus
penyakit akibat pangan yang lebih baik, seperti : Australia, Amerika Serikat,
Kanada, dan Inggris (Sparringa, personal communication. 2005). Penelusuran
mengenai sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan melalui internet
dilakukan dengan membuka situs-situs resmi. Selanjutnya dilakukan
pengumpulan informasi faktual tentang sistem pelaporan kasus penyakit
akibat pangan di Indonesia pada informan ahli (expert informan) dengan
metode wawancara (personal communication). Berdasarkan kedua kegiatan
diatas (studi pustaka dan pengumpulan informasi faktual) dilakukan
pengidentifikasian kelemahan atau kekurangan sistem pelaporan kasus
penyakit akibat pangan di Indonesia.
36
Gambar 5. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
Perbaikan dan pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan
Tools (formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan)
Evaluasi
Selesai
Studi pustaka : surveilan dan sistem notifikasi penyakit
akibat pangan menurut WHO dan negara-negara maju
Pengumpulan informasi sistem pelaporan dan data kasus penyakit akibat pangan (data sekunder) pada Ditjen Pelayanan
Medik dan Ditjen PPPL, Depkes RI
Analisis sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
di Indonesia
Pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus penyakit akibat pangan
Mulai
Analisis kesenjangan
(gap analysis) sistem pelaporan
37
2. Pengumpulan Data Kasus Penyakit Akibat Pangan di Indonesia
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:
1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilan Epidemiologi Kesehatan dan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilan Epidemiologi Penyakit Menular dan
Penyakit Tidak Menular Terpadu, di Indonesia terdapat beberapa jenis
penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan (notifiable foodborne disease).
Definisi kasus penyakit-penyakit yang wajib dilaporkan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Definisi kasus penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di
Indonesia Jenis/gejala
penyakit akibat pangan Definisi kasus
Kolera
Penderita diare klinis dengan pemeriksaan laboratorium pada tinja dan/atau muntahan menunjukkan adanya kuman kolera (Vibrio cholerae)
Diare klinis Buang air besar lembek atau cair dengan frekuensi lebih dari biasanya
Diare berdarah Diare klinis yang disertai darah sebagai bercak coklat atau merah. Apabila dilakukan pemeriksaan tinja ditemukan sel darah merah
Tifus perut klinis
Demam tinggi terus menerus selama 7 (tujuh) hari atau lebih, permukaan lidah kotor dan pinggirnya merah (typhoid tounge) dapat disertai sembelit (obstipasi), diare, dan kesadaran menurun
Tifus perut widal/kultur
(+)
Demam tinggi terus menerus yang pada pemeriksaan laboratorium darah, air seni, tinja atau sumsum tulang menunjukkan kuman Salmonella typhi atau pada serum darah terdapat kenaikan kadar zat antinya
Sumber : Departemen Kesehatan RI (2004)
a. Data kasus penyakit akibat pangan bersumber pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Data kasus penyakit akibat pangan yang dikumpulkan merupakan
data sekunder dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Data sekunder
38
adalah data yang sudah tersedia, dimana seorang peneliti atau organisasi
hanya perlu mencari tempat (pihak lain) untuk mendapatkannya dalam
bentuk jadi atau publikasi (Simamora, 2002; Sparringa, 2005). Data kasus
penyakit akibat pangan yang terkumpul meliputi : (1) kolera, (2) demam
tifoid dan paratifoid, (3) sigelosis, (4) diare dan gastroenteritis, (5)
amubiasis, (6) penyakit infeksi usus lainnya, serta (7) hepatitis A.
Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase rumah sakit yang
melaporkan data kasus penyakit akibat pangan ke Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik dengan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan : RS = rumah sakit
b. Data kasus penyakit akibat pangan bersumber pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL)
Data kasus penyakit akibat pangan yang dikumpulkan juga
merupakan data kasus yang bersumber pada Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPPL). Data
kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen PPPL merupakan
data kasus penyakit akibat pangan yang berasal dari puskesmas maupun
data kasus pada rumah sakit. Data kasus penyakit akibat pangan yang
terlapor pada direktorat tersebut meliputi : (1) kolera, (2) tifoid, dan (3)
diare.
3. Analisis Data Kasus Penyakit Akibat Pangan
Data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul, dianalisis
berdasarkan empat parameter yaitu (1) subjek, (2) waktu, (3) tempat, serta (4)
analisis berdasarkan angka insiden (incident rate), angka kefatalan suatu kasus
(case fatality rate), dan angka kunjungan (admission rate).
a. Analisis berdasarkan subjek
Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan
subjek merupakan data kasus dari Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen
PPPL. Maksud analisis berdasarkan subjek disini adalah data kasus
RS yang melaporkan data kasus penyakit akibat pangan % RS yang melapor = x 100% Jumlah RS di Indonesia
39
penyakit akibat pangan dianalisis menurut jenis kelamin dan golongan
umur kasus untuk setiap jenis penyakit akibat pangan. Kasus penyakit
akibat pangan bersumber dari Ditjen Pelayanan Medik yang dianalisis
berdasarkan jenis kelamin, meliputi : (1) kolera, (2) demam tifoid dan
paratifoid, (3) sigelosis, (4) diare dan gastroenteritis, (5) amubiasis, (6)
penyakit infeksi usus lainnya, (7) hepatitis A, selama periode 1998 sampai
2003. Distribusi data kasus berdasarkan jenis kelamin untuk ketujuh jenis
penyakit akibat pangan tersebut dapat dilihat pada lembar lampiran yaitu
kasus kolera (Lampiran 2), demam tifoid dan paratifoid (Lampiran 3),
sigelosis (Lampiran 4), diare dan gastroenteritis (Lampiran 5), amubiasis
(Lampiran 6), penyakit infeksi usus lainnya (Lampiran 7), serta hepatitis A
(Lampiran 8).
Kasus penyakit akibat pangan bersumber dari Ditjen PPPL yang
dianalisis berdasarkan golongan umur, meliputi : (1) kolera, (2) tifoid, dan
(3) diare, selama periode 2001 sampai 2004, serta (4) hepatitis A dan (5)
disentri selama periode 2001 sampai 2003.
b. Analisis berdasarkan waktu
Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan
parameter waktu merupakan data kasus dari Ditjen PPPL. Maksud analisis
berdasarkan waktu adalah analisis data kasus menurut bulan terjadinya
kasus. Kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis meliputi : (1) disentri
dan (2) hepatitis A selama periode 2001-2003; (3) diare, (4) kolera, serta
(5) tifoid selama periode 2001-2004.
c. Analisis berdasarkan tempat
Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan
tempat meliputi : (1) kolera, (2) tifoid dan (3) diare selama periode 2000-
2003, yang bersumber dari Ditjen PPPL. Data kasus penyakit akibat
pangan yang terkumpul, dianalisis menurut propinsi terjadinya kasus. Data
kasus ketiga jenis penyakit akibat pangan tersebut berdasarkan
penyebarannya per propinsi dapat dilihat pada lembar lampiran, yaitu
masing-masing untuk kasus kolera (Lampiran 9), tifoid (Lampiran 10) dan
diare (Lampiran 11).
40
Analisis data kasus penyakit akibat pangan berdasarkan ketiga
parameter tersebut diatas dilakukan untuk melihat kecenderungan (trend)
maupun tingkat risiko populasi penduduk dalam suatu wilayah geografis
yang rentan terhadap jenis penyakit akibat pangan tertentu.
d. Analisis berdasarkan nilai IR (Incident Rate), CFR (Case Fatality Rate) dan AR (Admission Rate)
Data kasus penyakit akibat pangan yang dianalisis berdasarkan
nilai IR, CFR, dan AR adalah data kasus yang bersumber dari Ditjen
Pelayanan Medik. Sedangkan data kasus penyakit akibat pangan dari
Ditjen PPPL tidak dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan ketiga
parameter ini karena data yang tersedia dari sumber tersebut hanya
menunjukkan jumlah kasus yang terjadi. Sedangkan informasi lain, seperti
jumlah kematian kasus dan jumlah kunjungan kasus tidak tersedia.
Nilai Incident Rate (IR), dan Case Fatality Rate (CFR) ditentukan
dengan metode yang digunakan oleh Imari (2004), sedangkan Admission
Rate (AR) ditentukan berdasarkan definisi dari Departemen Kesehatan
(2003). Nilai IR, CFR dan AR data kasus penyakit akibat pangan dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
4. Identifikasi Kebutuhan dalam Pengembangan Sistem Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
didasarkan pada mekanisme pelaporan kasus penyakit yang ada di Indonesia.
Mekanisme tersebut merupakan hasil penyesuaian terhadap mekanisme
sebelumnya yang terdapat pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik
IR = Jumlah kasus per 100 000 penduduk
Jumlah korban meninggal CFR = x 100% Jumlah korban
Jumlah kunjungan kasus baru dan kasus lama (rawat jalan) AR =
Jumlah kasus baru (rawat jalan)
41
Indonesia Nomor: 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan, Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1479/MENKES/SK/X/2003
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit
Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu maupun Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1410/MENKES/SK/X/2003 tentang
Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem
Pelaporan Rumah Sakit) Revisi Kelima. Selanjutnya dilakukan identifikasi
kebutuhan dan pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan,
beserta formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan
5. Penyusunan Mekanisme dan Formulir Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Pengembangan dan perbaikan sistem dalam penelitian ini mencakup
dua hal yaitu penyusunan mekanisme dan formulir pelaporan kasus penyakit
akibat pangan. Penyusunan ini diawali dengan merumuskan isi formulir. Isi
dari setiap formulir diidentifikasi berdasarkan lima pertanyaan yang sangat
mendasar sesuai dengan metode surveilan epidemiologi penyakit akibat
pangan, yaitu : (1) apa (what), (2) siapa (who), (3) mengapa (why), (4) kapan
(when), (5) dimana (where), dan (6) bagaimana (how). Keenam kata tanya
tersebut diinterpretasikan menjadi garis-garis besar (outline) dalam
mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia
yang mencakup mekanisme maupun format pelaporannya.
Hal tersebut di atas dilakukan dengan cara melakukan diskusi dan studi
pustaka mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sistem pelaporan
(notification) kasus penyakit akibat pangan. Diskusi dilakukan dengan sebuah
tim (team work) dari Badan POM RI maupun Departemen Kesehatan. Studi
pustaka dilakukan dengan mempelajari sistem pelaporan kasus penyakit akibat
pangan yang ada pada Departemen Kesehatan RI, sistem pelaporan kasus
penyakit akibat pangan di negara-negara maju sebagai studi banding dan
sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO sebagai acuan
utama.
42
6. Evaluasi
Mekanisme dan formulir yang telah disusun, selanjutnya dievaluasi.
Evaluasi dilakukan oleh sebuah tim dari Badan POM RI.
B. TEMPAT DAN WAKTU
Kegiatan magang penelitian ini dilakukan pada Sub Direktorat Surveilan
dan Penanggulangan Keamanan Pangan, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan
Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Kegiatan ini
dilakukan selama empat bulan yaitu 1 Februari 2005 sampai 31 Mei 2005.
43
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI KELEMAHAN DALAM INTERPRETASI DATA KASUS
PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA
Tahap awal identifikasi masalah dilaksanakan dengan melihat performa
data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul, dianalisis dan
diinterpretasikan. Performa data tersebut dapat menggambarkan keadaan sistem
pelaporan yang ada di Indonesia. Data kasus penyakit akibat pangan dalam
penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, sehingga interpretasi data yang ada
tidak dapat menggambarkan profil penyakit akibat pangan dalam masyarakat
Indonesia secara utuh. Beberapa kelemahan dalam interpretasi data yang
terkumpul tersebut diantaranya: (1) Beberapa kasus penyakit akibat pangan tidak
terdefinisi secara jelas; (2) Cakupan jenis penyakit yang termasuk dalam penyakit
akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia kurang jelas; (3) Representasi data
belum mencerminkan kecenderungan penyebaran penyakit akibat pangan pada
keseluruhan populasi penduduk di Indonesia; (4) Kontradiksi data antara kasus
berbasis rumah sakit dan puskesmas pada Ditjen PPPL dan data kasus berbasis
rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik; (5) Pelaporan kasus dari rumah
sakit/puskesmas kepada unit surveilan kabupaten/kota dan seterusnya kepada unit
surveilan diatasnya kurang konsisten, baik dalam ketepatan waktu maupun
kelengkapan laporan; (6) Pembagian range golongan umur kasus dalam sistem
pelaporan yaitu pada golongan umur 15-44 tahun, kurang menjelaskan status
kasus apakah termasuk golongan remaja atau dewasa; (7) Pelaporan kasus dugaan
dan kasus terkonfirmasi yang tidak jelas. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana
mengatasi kekurangan sistem pelaporan yang sudah ada, sehingga data kasus
penyakit akibat pangan yang representatif dapat digunakan sebagai landasan
ilmiah bagi penentu kebijakan.
Interpretasi data kasus penyakit akibat pangan berdasarkan dua sumber
data yaitu Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL dilakukan dengan pendekatan
yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan komponen pelaporan data
kasus penyakit akibat pangan yang ada pada masing-masing instansi tersebut
Komponen data tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
44
Tabel 7. Ketersediaan komponen pelaporan data kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL Komponen Data Ditjen
Pelayanan Medik Ditjen PPPL
1. Golongan umur x √ 2. Jenis kelamin √ x 3. Penyakit √a) √b)
4. Definisi kasus x √ 5. Waktu kejadian/pelaporan x √ 6. Karakteristik tempat/propinsi x √ 7. Data kasus meninggal (CFR) √ x 8. Diagnosis penyakit kasus S/C S/C 9. Sumber data kasus rumah sakit rumah sakit,
puskesmas
Sumber : Data diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2005) Keterangan : S/C = Data kasus yang terkumpul tidak dapat dibedakan antara kasus dugaan
(suspected case) atau kasus terkonfirmasi (confirmed case) x = Tidak tersedia data √ = Data tersedia
a) kolera, demam tifoid dan paratifoid, sigelosis, amubiasis, hepatitis A, diare dan gastroenteritis, penyakit infeksi usus lainnya
b) kolera, tifoid, hepatitis A, disentri, diare Dalam interpretasi data kasus penyakit akibat pangan ini digunakan
beberapa asumsi, yaitu : (1) Data penduduk selama setahun (dalam periode
bulanan) bersifat tetap; (2) Interpretasi data kasus berdasarkan karakteristik jenis
kelamin, angka CFR, IR dan AR dalam penelitian ini tidak menggambarkan
keadaan sebenarnya di Indonesia karena analisis hanya berdasarkan data kasus
pada rumah sakit yang terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik.
B. PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI INDONESIA
1. Pelaporan Data Kasus Penyakit Akibat Pangan pada Rumah Sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 1410/MENKES/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem
Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) Revisi
Kelima, setiap rumah sakit di Indonesia wajib melaporkan data kasus penyakit
yang ada, pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan
RI. Termasuk di dalamnya kasus penyakit akibat pangan. Sedangkan
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
45
Surveilans Epidemiologi Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan
Penyakit Tidak Menular Terpadu, setiap puskesmas maupun rumah sakit yang
ada di Indonesia wajib melaporkan data kasus penyakit (termasuk kasus
penyakit akibat pangan) pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (PPPL) melalui Dinas Kesehatan tingkat
kabupaten/kota dan propinsi.
Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen Pelayanan
Medik merupakan kasus penyakit berdasarkan panduan dari ICD X
(International Classification of Disease) WHO. Jenis-jenis penyakit akibat
pangan menurut ICD X WHO dapat dilihat pada Lampiran 12. Sedangkan
kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen PPPL adalah kasus
penyakit yang secara epidemiologi cenderung terjadi di Indonesia. Pelaporan
tersebut wajib dilakukan sebagai upaya pengawasan (monitoring) dan sistem
kewaspadaan dini (early warning system) akan adanya kejadian luar biasa
(KLB). Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen Pelayanan
Medik dan Ditjen PPPL dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kasus penyakit akibat pangan yang terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik dan Ditjen PPPL
Kasus penyakit akibat pangan Ditjen Pelayanan Medik
Kasus penyakit akibat pangan Ditjen PPPL
Jenis kasus : 1. kolera 2. demam tifoid dan paratifoid 3. sigelosis 4. diare dan gastroenteritis 5. amubiasis 6. penyakit infeksi usus lainnya 7. hepatitis A
Sumber : Rumah sakit di Indonesia, mencakup : rumah sakit swasta, rumah sakit dibawah Departemen Kesehatan dan Pemerintah daerah (Depkes-Pemda), rumah sakit TNI POLRI maupun rumah sakit dibawah Departemen lain.
Jenis kasus : 1. diare 2. kolera 3. tifoid 4. disentri 5. hepatitis A
Sumber : Data kasus pada rumah sakit dan puskesmas yang terlapor di Dinas Kesehatan tingkat propinsi di Indonesia.
Sumber : Data diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2005)
46
2. Persentase Rumah Sakit yang Melaporkan Kasus Penyakit Akibat Pangan ke Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Data kasus penyakit akibat pangan pada Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data nasional dari
tahun 1998-2003, dimana data tersebut bersumber dari laporan kasus penyakit
akibat pangan pada rumah sakit di seluruh Indonesia. Rumah sakit tersebut
mencakup rumah sakit swasta, rumah sakit Departemen Kesehatan dan
Pemerintah Daerah (Depkes Pemda), rumah sakit TNI POLRI, serta rumah
sakit departemen lainnya.
Meskipun pelaporan wajib dilakukan, namun secara faktual tidak
semua rumah sakit melakukan pelaporan tersebut. Hal ini disebabkan banyak
kendala, diantaranya letak geografis rumah sakit di daerah yang jauh dan
sosialisasi sistem pelaporan data kasus penyakit yang masih rendah (Nur
Khoirimah, personal communication, Juni 2005). Tabel 9 menunjukkan
persentase rumah sakit yang melakukan pelaporan data kasus penyakit,
termasuk kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen Pelayanan Medik selama
tahun 2003 dan 2004.
Tabel 9. Pelaporan data kasus oleh rumah sakit pada Ditjen Pelayanan
Medik Tahun Jenis
rumah sakit Jumlah rumah sakit
Rumah sakit yang melapor
Persentase pelaporan (%)
a b a b
2003 swasta
Depkes-Pemda
622
424
311
173
209
169
50,0
40,8
33,6
39,9
Jumlah 1046 484 378 46,3 36,1
2004 swasta
Depkes-Pemda
TNI POLRI
Departemen lain
618
431
112
78
229
194
19
24
217
187
17
21
37,1
45,0
17,0
30,8
35,1
43,4
15,2
26,9
Jumlah 1239 466 442 37,6 35,7 Sumber : Data diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2005) Keterangan : a = rawat inap; b = rawat jalan
47
Berdasarkan Tabel 9, kelengkapan pelaporan kasus penyakit di rumah
sakit, termasuk kasus penyakit akibat pangan pada Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik selama tahun 2004, baik untuk pelaporan kasus dengan
rawat inap maupun rawat jalan kurang dari 40%.
3. Persentase Rumah Sakit dan Puskesmas yang Melaporkan Kasus Penyakit Akibat Pangan ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kasus penyakit akibat pangan yang terdapat pada rumah sakit maupun
puskesmas wajib dilaporkan pada Dinas Kesehatan kabupaten dan Dinas
Kesehatan Propinsi sebagai tembusan. Selanjutnya setiap Dinas Kesehatan
propinsi wajib melaporkan data kasus penyakit yang terkumpul dari rumah
sakit dan puskesmas tersebut pada Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL).
Berbeda dengan pelaporan data kasus penyakit akibat pangan pada
Ditjen Pelayanan Medik yang berasal dari laporan langsung rumah sakit, data
kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen PPPL bersumber dari Dinas
Kesehatan tingkat propinsi di seluruh Indonesia, bukan merupakan data
laporan langsung dari puskesmas ataupun rumah sakit yang ada di Indonesia.
Pada pelaporan data kasus penyakit akibat pangan dari Ditjen PPPL tidak
dilakukan perhitungan persentase Dinas Kesehatan yang melapor, akan tetapi
data persentase pelaporan merupakan data sekunder yang telah terolah
(direkapitulasi) dan dibukukan (dipublikasikan) dari Ditjen PPPL. Data
persentase pelaporan tersebut menunjukkan kelengkapan pelaporan rumah
sakit dan puskesmas pada setiap Dinas Kesehatan tingkat propinsi dan
terlaporkan pada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Lampiran 1).
Berdasarkan Lampiran 1, persentase pelaporan data kasus bersumber
dari puskesmas sebesar 12.3% (870 dari 7071 puskesmas) pada tahun 2001,
13% (919 puskesmas) pada tahun 2002 dan 38.9% (2751 puskesmas) untuk
tahun 2003. Sedangkan persentase pelaporan data kasus bersumber dari rumah
sakit lebih rendah dari pada pelaporan oleh puskesmas yaitu sebesar 10.5%
(118 dari 1128 rumah sakit) pada tahun 2001, 7.6% (86 rumah sakit) pada
tahun 2002 dan 24.7% (279 rumah sakit) selama tahun 2003. Perhitungan
48
persentase tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa selama tahun 2001-2003
tersebut tidak terjadi perubahan jumlah rumah sakit dan puskesmas di
Indonesia. Artinya, secara umum terjadi peningkatan persentase kelengkapan
pelaporan oleh Dinas Kesehatan pada Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL). Berdasarkan Lampiran 1
tersebut, empat Dinas Kesehatan tingkat propinsi di Indonesia yang secara
rutin melakukan pelaporan dengan persentase kelengkapan pelaporan yang
relatif tinggi yaitu Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Riau dan Lampung.
Pelaporan data kasus penyakit akibat pangan oleh Dinas Kesehatan Propinsi
ke tingkat pusat pada Ditjen PPPL tidak konsisten. Maksudnya pada periode
tahun tertentu persentase pelaporan untuk setiap daerah tinggi, akan tetapi
pada periode tertentu nol (tidak ada pelaporan).
C. KECENDERUNGAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN DI
INDONESIA
1. Kasus Kolera
Kasus kolera di Indonesia cenderung terjadi pada golongan umur 1-4
tahun (Gambar 6), dengan perbandingan kasus wanita dan pria yang tidak
signifikan yaitu 1.1:1 dan kisaran antara 0.9:1 sampai 1.5:1 (berdasarkan data
pada Lampiran 2). Studi epidemiologi oleh Faruque et al. (1998)
menunjukkan bahwa di daerah endemik, infeksi kolera dominan terjadi pada
populasi dengan golongan umur 1-5 tahun. Berdasarkan definisi klinis kasus
kolera dari WHO, pada daerah bukan endemik, kolera potensial terjadi pada
golongan umur 5 tahun atau lebih. Selain itu, ditemukan juga kasus kolera
pada umur 2-4 tahun. Kasus kolera pada golongan umur ini dapat mengurangi
spesifitas pelaporan kasus kolera karena sebagian besar kasus diare berair
banyak terjadi pada golongan umur 2-4 tahun. Oleh karena itu, WHO (1999)
merekomendasikan panduan standar surveilan (WHO recommended
surveillance standards second edition) bahwa definisi kasus kolera secara
klinis yaitu: (1) Pada daerah dimana penyakit kolera jarang ditemukan,
dehidrasi akut atau kematian akibat diare berair secara akut pada pasien
berumur 5 tahun atau lebih; (2) Pada daerah epidemik kolera, diare berair akut
49
dengan atau tanpa disertai muntah pada pasien berumur 5 tahun atau lebih,
sedangkan pada kasus diare berair dengan umur kurang dari 5 tahun, kasus
kolera bersifat dugaan pada semua pasien.
0,08
0,15
0,11
0,09
0,05
0 0 0 0 0
0,03
0,08
0,03
0,00 0,000 0 0 0 0
-
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0,14
0,16
0,18
< 1 thn 1 - 4 thn 5 - 14 thn 15- 44 thn >45 thnGolongan Umur
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003 2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Kasus kolera yang ada di rumah sakit selama tahun 1998-2003, rata-
rata 26.8% diantaranya harus menjalani rawat inap, dengan kisaran antara
11.6% pada tahun 1999 sampai 52.6% pada tahun 2001. Data kasus kolera
rawat inap dan rawat jalan pada rumah sakit dapat dilihat pada Lampiran 2.
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
0,40
Januari
FebruariMaret April Mei
Juni JuliAgustus
September
Oktober
November
Desember
Bulan
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003 2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 6. Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur
Gambar 7. Incident rate kolera pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu
50
Berdasarkan Gambar 7, selama bulan Juli 2001 terjadi kecenderungan
peningkatan kasus kolera. Sedangkan pada 2003 kasus kolera meningkat pada
bulan Februari. Pada bulan tersebut kecenderungan yang ada di Indonesia
adalah musim kemarau. V. cholerae ditransmisikan melalui rute fekal-oral dan
dapat menyebar terutama melalui air dan pangan yang terkontaminasi.
Investigasi dengan case-control oleh Estrada-Garcia dan Mintz (1996) tentang
penyebaran kolera secara epidemik menunjukkan bahwa pada daerah/area
tertentu, pangan merupakan media transmisi yang lebih penting dari pada air.
Kontaminasi pangan tersebut dimungkinkan terjadi pada kondisi lingkungan
yang buruk, dimana sumber air yang digunakan dalam proses pencucian bahan
pangan terkontaminasi oleh feses manusia (Cary et al., 2000). Pada musim
kemarau, ketersediaan air bersih sangat terbatas. Kondisi inilah yang mungkin
menyebabkan masyarakat Indonesia, terutama pada golongan ekonomi rendah
(miskin) mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Studi
epidemiologis di Bangladesh selama 35 tahun, menunjukkan bahwa angka
insiden kasus kolera meningkat selama bulan September sampai Desember
(Faruque et al., 1998). Selama periode waktu tersebut di Bangladesh
cenderung bermusim dingin disertai hujan (Anonimb, 2005). Sedangkan pada
bulan-bulan tersebut, di Indonesia tidak ada laporan data kasus kolera pada
Ditjen PPPL.
Gambar 8 menunjukkan bahwa selama kurun waktu empat tahun
(2000-2003), angka insiden kasus kolera sangat tinggi terjadi pada tahun 2000
di propinsi Nusa Tenggara Timur dibanding propinsi lainnya yaitu 350 kasus
per 100.000 penduduk, sedangkan pada propinsi lain kurang dari 50 kasus per
100.000 penduduk. Sistem pelaporan dan surveilan yang ada saat ini belum
mencantumkan status diagnosis maupun informasi lain yang mendukung
penginvestigasian, sehingga tidak dapat ditelusuri faktor-faktor penyebab
terjadinya peningkatan kasus kolera pada propinsi tersebut. Menurut Faruque
et al. (1998), Pulau Sulawesi merupakan daerah pandemik penyakit ini. Akan
tetapi Gambar 8 menunjukkan angka insiden kasus kolera pada propinsi-
propinsi di Pulau Sulawesi sangat rendah. Oleh karena itu, perlu adanya
investigasi lebih lanjut untuk menjawab kontradiksi kedua informasi tersebut.
51
0
50
100
150
200
250
300
350
400N
angg
roe
Ace
h D
arus
sala
m
Sum
ater
a U
tara
Sum
ater
a B
arat
Ria
u
Jam
bi
Sum
ater
a Se
lata
n
Ben
gkul
u
Ban
gka
Bel
itung
Lam
pung
DK
I Jak
arta
Ban
ten
Jaw
a B
arat
Jaw
a Te
ngah
DI Y
ogya
karta
Jaw
a Ti
mur
Kal
iman
tan
Bar
at
Kal
iman
tan
Teng
ah
Kal
iman
tan
Sela
tan
Kal
iman
tan
Tim
ur
Sula
wes
i Uta
ra
Gor
onta
lo
Sula
wes
i Ten
gah
Sula
wes
i Sel
atan
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Bal
i
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Mal
uku
Mal
uku
Uta
ra
Papu
a
Propinsi
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2000 2001 2002 2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2000-2003)
Gambar 8. Incident rate kasus kolera berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia
52
2. Kasus Tifoid dan Paratifoid
Tifoid dan paratifoid masih menjadi masalah utama di beberapa
negara berkembang, termasuk di Indonesia. Pada umumnya menyebar melalui
air dan pangan yang terkontaminasi pada area endemik (Pang et al., 1995;
WHO, 1998). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Salmonella serovar Typhi
dan Paratyphi a atau b (Cary et al., 2000).
0,58
2,34
6,53
12,65
5,82
0,28
1,31
3,71
5,37
2,99
0,85
3,28
8,40
14,52
6,80
0,78
3,12
10,68
12,45
7,32
-
2
4
6
8
10
12
14
16
< 1 thn 1 - 4 thn 5 - 14 thn 15- 44 thn >45 thnGolongan Umur
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003 2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Kasus tifoid di Indonesia dominan terjadi pada golongan umur 15-44
tahun (Gambar 9), perbandingan kasus pria dan wanita yaitu 1:1, dengan
kisaran antara 0.9:1 sampai 1.3:1 (Lampiran 3). Menurut Cary et al. (2000),
infeksi Salmonella berisiko tinggi terhadap bayi yang baru lahir, balita, lanjut
usia, dan individu immunocompromised. Penyakit tifoid dapat terjadi pada
semua golongan umur, tetapi pada daerah endemik dengan attack rate yang
tinggi, paling potensial terjadi pada populasi golongan umur antara 3-19 tahun
(WHO, 2005; Singh, 2001). Dari seluruh kasus tifoid dan paratifoid selama
tahun 1998-2003 yang terlapor pada rumah sakit, 52.4% diantaranya
menjalani rawat inap, dengan kisaran antara 45.5% pada tahun 2003 sampai
65.9% pada tahun 2002. Data kasus tifoid dan paratifoid berdasarkan jenis
kelamin dan perawatan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 9. Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur
53
Gambar 10 menunjukkan bahwa pada triwulan pertama yaitu Januari
sampai Maret terjadi kecenderungan peningkatan kasus tifoid. Selama bulan
tersebut di Indonesia cenderung bermusim penghujan. Menurut WHO (2005),
secara alami manusia merupakan host bagi penyebaran penyakit tifoid. Infeksi
ini ditransmisikan melalui makanan atau air yang terkontaminasi bakteri fekal,
Salmonella typhi.
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
JanuariFebruari
MaretApril Mei
Juni JuliAgustus
September
Oktober
November
Desember
Bulan
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003 2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Kasus tifoid berdasarkan Gambar 11 di bawah, selama tahun 2000
sampai 2002 paling besar terjadi di propinsi Kalimantan Tengah dan angka
insiden terbesar kedua selama tahun 2000 adalah propinsi Kalimantan Barat.
Angka insiden pada kedua propinsi tersebut pada tahun 2000 mencapai 800
kasus per 100.000 penduduk, sedangkan angka insiden pada propinsi lain
selama tahun 2000 sampai 2003 kurang dari 400 kasus per 100.000 penduduk.
Hal tersebut sangat kontradiksi dengan persentase kelengkapan pelaporan
kasus oleh kedua propinsi tersebut yang sangat kecil yaitu 0% (data laporan
pada Ditjen PPPL). Oleh karena itu, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut
untuk menjawab kontradiksi tersebut. Seperti juga pada kasus-kasus penyakit
akibat pangan sebelumnya, interpretasi data kasus yang tersaji pada Gambar
11 tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya di Indonesia.
Gambar 10. Incident rate tifoid pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu
54
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600N
angg
roe
Ace
h D
arus
sala
m
Sum
ater
a U
tara
Sum
ater
a B
arat
Ria
u
Jam
bi
Sum
ater
a Se
lata
n
Ben
gkul
u
Ban
gka
Bel
itung
Lam
pung
DK
I Jak
arta
Ban
ten
Jaw
a B
arat
Jaw
a Te
ngah
DI Y
ogya
karta
Jaw
a Ti
mur
Kal
iman
tan
Bar
at
Kal
iman
tan
Teng
ah
Kal
iman
tan
Sela
tan
Kal
iman
tan
Tim
ur
Sula
wes
i Uta
ra
Gor
onta
lo
Sula
wes
i Ten
gah
Sula
wes
i Sel
atan
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Bal
i
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Mal
uku
Mal
uku
Uta
ra
Papu
a
Propinsi
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2000 2001 2002 2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2000-2003)
Gambar 11. Incident rate kasus tifoid berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia
55
3. Kasus Sigelosis
Sigelosis merupakan penyakit kemiskinan yang biasa menginfeksi
anak-anak di negara-negara berkembang (Cary et al., 2000). Penyakit sigelosis
merupakan penyakit akibat pangan yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Shigella sp. Pada umumnya S. flexneri dan S. dysenteriae tipe 1 merupakan
agen penyebab kasus di negara-negara berkembang. Infeksi Shigella
terlokalisasi pada usus, dengan karakteristiknya ditandai demam, kram perut
yang parah serta diare dengan darah dan lendir (Cary et al., 2000).
Kasus sigelosis di Indonesia dengan jenis kelamin pria dan wanita
mempunyai perbandingan 1.1:1 (berdasarkan data pada Lampiran 4).
Sedangkan kasus sigelosis di Amerika Serikat didominasi kasus dengan jenis
kelamin wanita, tanpa menjelaskan perbandingannya secara spesifik (MMWR,
1990). Selama dua tahun tersebut, rata-rata 57.3% kasus sigelosis di rumah
sakit harus menjalani rawat inap. Menurut Stoll et al. (1982), di Bangladesh
66% dan 16% kasus sigelosis dengan S. flexneri dan S. dysenteriae 1 sebagai
agen penyebabnya harus menjalani rawat inap. Data kasus sigelosis
berdasarkan jenis kelamin kasus dan jenis perawatannya (rawat inap dan rawat
jalan) dapat dilihat pada Lampiran 4.
4. Kasus Diare dan Gastroenteritis
Diare merupakan salah satu sindrom (syndrome) penyakit akibat
pangan yang dapat disebabkan oleh berbagai agen penyebab, seperti: B.
cereus, S. aureus, C. perfringens, Salmonella sp., Campylobacter sp., hepatitis
A dan beberapa agen penyebab penyakit akibat pangan lainnya. Sebesar 1.3
milyar kasus non-typhoid di dunia disertai gejala atau sindrom
diare/gastroenteristis akut yang menyebabkan 3 juta kematian (Pang et al.,
1995). Di Inggris dan Wales, sebagian besar kasus salmonellosis non-typhoid
disebabkan oleh S. enterica serovar Typhimurium DT104, yaitu dua kali lipat
dibanding serovar yang lain. Pada negara-negara di Asia, seperti Jepang,
salmonellosis non-typhoid diduga sebagai akibat dari peningkatan konsumsi
telur dan produk-produk telur (WHO, 1997).
56
74,99
132,80
92,45
111,74
80,75
19,35
33,9727,18
31,90
17,17
64,33
106,30
69,08
85,42
59,65
83,59
142,36
103,25 106,19
90,19
-
20
40
60
80
100
120
140
160
< 1 thn 1 - 4 thn 5 - 14 thn 15- 44 thn >45 thnGolongan Umur
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003 2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Kasus diare di Indonesia sebagian besar terjadi pada golongan umur 1-
4 tahun (Gambar 12). Perbandingan kasus diare dan gastroenteritis berjenis
kelamin pria dan wanita adalah 1.1:1, dengan kisaran antara 0.8:1 sampai
1.1:1. Kasus diare dan gastroenteritis di rumah sakit, 31.3% diantaranya harus
menjalani rawat inap, dengan kisaran antara 0.9% pada tahun 2002 sampai
42.3% pada tahun 2000 (berdasarkan data pada Lampiran 5).
-
10
20
30
40
50
60
70
80
90
JanuariFebruari
MaretApril Mei
Juni JuliAgustus
SeptemberOktober
November
Desember
Bulan
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003 2004
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 13. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu
Gambar 12. Incident rate diare pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur
57
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000N
angg
roe
Ace
h D
arus
sala
m
Sum
ater
a U
tara
Sum
ater
a B
arat
Ria
u
Jam
bi
Sum
ater
a Se
lata
n
Ben
gkul
u
Ban
gka
Bel
itung
Lam
pung
DK
I Jak
arta
Ban
ten
Jaw
a B
arat
Jaw
a Te
ngah
DI Y
ogya
karta
Jaw
a Ti
mur
Kal
iman
tan
Bar
at
Kal
iman
tan
Teng
ah
Kal
iman
tan
Sela
tan
Kal
iman
tan
Tim
ur
Sula
wes
i Uta
ra
Gor
onta
lo
Sula
wes
i Ten
gah
Sula
wes
i Sel
atan
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Bal
i
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Mal
uku
Mal
uku
Uta
ra
Papu
a
Propinsi
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2000 2001 2002 2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2004)
Gambar 14. Incident rate kasus diare berdasarkan penyebaran per propinsi di Indonesia
58
Kasus diare di Indonesia cenderung meningkat selama bulan Januari
sampai Maret (Gambar 13), tetapi angka insiden juga tinggi pada bulan Mei,
Juni dan Juli. Berdasarkan informasi BMG, selama ini hitungan musim
kemarau dimulai bulan April dan berakhir September. Sedangkan musim
penghujan terjadi pada bulan Oktober – Maret. Tetapi dalam 30 tahun terakhir
terjadi perubahan musim. Sebagian wilayah di Indonesia diperkirakan mulai
memasuki musim kemarau pada bulan April, sedangkan wilayah lain akan
memasuki kemarau bulan Mei, Juni, dan Juli. Jadi dapat disimpulkan bahwa
angka insiden kasus diare meningkat selama musim penghujan dan masa
pergantian ke musim kemarau.
Berdasarkan Gambar 14 di atas, angka insiden kasus diare paling
besar selama tahun 2000 di Indonesia terjadi di tiga propinsi yaitu Sulawesi
Tenggara, Jawa Barat dan Kalimantan Tengah. Wilayah/propinsi tersebut
mempunyai angka insiden yang relatif lebih tinggi dibandingkan propinsi lain.
5. Kasus Amubiasis
Kasus penyakit amubiasis dari tahun 1998-2003 berjenis kelamin pria
dan wanita rata-rata 1:1, dengan kisaran antara 0.8:1 sampai 1.2:1. 33% kasus
amubiasis pada rumah sakit selama kurun waktu tersebut harus menjalani
rawat inap, dengan kisaran antara 25.1% sampai 42.4%. Data kasus amubiasis
berdasarkan jenis kelamin dan perawatan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Amubiasis, salah satunya merupakan penyakit akibat pangan yang disebabkan
oleh infeksi Entamoeba histolytica. Manifestasi secara klinis dari penyakit ini
adalah timbulnya gejala disentri (Cary et al., 2000). Penyakit ini sudah tidak
umum terjadi di negara maju, tetapi masih menjadi ancaman bagi negara-
negara berkembang dengan rendah sanitasi dan miskin air bersih. WHO
melaporkan bahwa E. histolytica telah menginfeksi 50 juta orang di seluruh
dunia dan menyebabkan 70.000 kematian setiap tahun (WHO, 1995).
6. Kasus Penyakit Infeksi Usus Lain
Jenis penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di Indonesia
dalam penelitian ini merupakan penyakit akibat pangan yang disebabkan oleh
agen mikrobiologis, seperti bakteri patogen, virus, dan protozoa. Penyakit
akibat pangan oleh mikrobiologis patogen tersebut dapat menyebabkan infeksi
59
ataupun intoksikasi. Selain kelima jenis penyakit akibat pangan yang terlapor
dan telah disebutkan di atas, menurut ICD (International Classification of
Disease) X dari WHO (World Health Organization) terdapat jenis penyakit
infeksi usus lainnya. Sesuai dengan kode ICD, yang termasuk dalam jenis
penyakit ini adalah infeksi Salmonella sp. (ICD A02), infeksi oleh bakteri
usus lain (ICD A04), intoksikasi oleh bakteri (ICD A05), penyakit usus oleh
protozoa (ICD A07), dan infeksi usus oleh virus (ICD A08). Berbagai jenis
penyakit berdasarkan kode ICD secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 12.
Perbandingan kasus penyakit infeksi usus pria dan wanita adalah
1.2:1, dengan kisaran antara 1.1:1 sampai 1.4:1. Selama tahun 1998-2003,
34.6% kasus infeksi usus di rumah sakit menjalani rawat inap, dengan kisaran
22.5% pada tahun 2000 sampai 54.3% pada tahun 2003. Data kasus infeksi
usus berdasarkan jenis kelamin dan perawatan dapat dilihat pada Lampiran 7.
7. Kasus Hepatitis A
Hepatitis A merupakan salah satu penyakit akibat pangan yang
disebabkan oleh virus Picornaviridae dan disebarkan melalui rute fekal-oral
(WHO, 2005). Kasus hepatitis A di Indonesia didominasi oleh pria dengan
perbandingan sebesar 1.4:1, dan kisaran antara 1.3:1 sampai 1.5:1 (Lampiran
8). Kecenderungan ini juga terjadi di beberapa negara yang lain, seperti
Hennepin County, USA dengan 81.4% kasus terjadi pada pria selama tahun
1995 (Anonima, 1998). Kasus hepatitis A yang ada di rumah sakit sebagian
besar menjalani rawat inap yaitu rata-rata 57.9%, dengan kisaran antara 51.8%
sampai 61.9%. Data kasus hepatitis A menurut jenis kelamin dan
perawatannya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Populasi dengan tingkat risiko yang paling tinggi terhadap penyakit
hepatitis A di Indonesia adalah pada golongan umur 15 - 44 tahun (Gambar
15). Studi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa, penyakit
hepatitis A dominan terjadi pada kasus anak-anak dan remaja (Gay et al.,
1994; Hackbarth et al., 1997; WHO, 2005). Interpretasi kasus penyakit
hepatitis A di Indonesia berbasis data kasus pada rumah sakit dalam penelitian
ini kurang spesifik menjelaskan kasus pada golongan umur 15-44 tahun,
apakah termasuk remaja atau dewasa. Hal ini disebabkan kurang jelasnya
60
pembagian range golongan umur dalam sistem pelaporan kasus penyakit yang
sudah ada, termasuk kasus penyakit akibat pangan.
0,020,07
0,35
0,84
0,36
0,030,08
0,36
0,70
0,34
0,04
0,19
0,58
1,38
0,65
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
< 1 thn 1 - 4 thn 5 - 14 thn 15- 44 thn >45 thnGolongan Umur
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
-
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
0,40
0,45
0,50
JanuariFebruari
MaretApril Mei
Juni JuliAgustus
September
Oktober
November
Desember
Bulan
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
Gambar 15. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur
Gambar 16. Incident rate hepatitis A pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu
61
Kasus hepatitis A di Indonesia cenderung meningkat selama bulan
Januari sampai Maret (Gambar 16), dimana selama bulan tersebut Indonesia
mengalami musim penghujan.
8. Kasus Disentri
Penyakit disentri dapat disebabkan adanya infeksi oleh Shigella
dysenteriae, C. jejuni, entero-invasive E. coli atau Entamoeba histolytica
(Cary et al., 2000; WHO, 2005 ). Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa
kasus disentri dominan terjadi pada golongan umur 15-44 tahun. Akan tetapi,
studi epidemiologi di Bangladesh dan Chile menunjukkan bahwa kasus
sigelosis dan disentri mayoritas terjadi pada golongan umur dibawah lima
tahun dan lanjut usia (Bennish dan Wojtyniak, 1991; Ferreccio et al., 1991;
WHO, 2005). Berdasarkan Gambar 18 terjadi kecenderungan peningkatan
kasus disentri pada bulan Desember dan Januari.
12,47
29,6828,08
44,10
32,45
1,393,60
6,088,31
4,905,15
13,8816,29
26,71
18,03
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
< 1 thn 1 - 4 thn 5 - 14 thn 15- 44 thn >45 thnGolongan Umur
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
Gambar 17. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan golongan umur
62
-
5
10
15
20
25
30
JanuariFebruari
MaretApril Mei
Juni JuliAgustus
SeptemberOktober
November
Desember
Bulan
Inci
dent
Rat
e (I
R)
2001 2002 2003
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (2001-2003)
Dari Gambar 10, 13, 16, dan 18 kasus penyakit akibat pangan di
Indonesia cenderung meningkat pada musim penghujan. Kecuali kasus kolera,
cenderung meningkat pada musim kemarau (Gambar 7). Secara umum, pria
dan wanita mempunyai risiko yang sama terhadap penyakit akibat pangan.
D. KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN MENURUT INCIDENT RATE,
CASE FATALITY RATE DAN ADMISSION RATE PADA RUMAH SAKIT
1. Incident Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan
Nilai incident rate (IR) tertinggi berdasarkan Gambar 26 adalah infeksi
usus yang terjadi pada tahun 2000. IR dari tahun 1998-2000, tiga jenis
penyakit akibat pangan yaitu kolera, amubiasis dan infeksi usus lain secara
umum mengalami peningkatan. Pada Gambar 19 di bawah juga terlihat bahwa
kasus hepatitis A selama tahun 1998-2001 cenderung meningkat. Selanjutnya
sampai tahun 2003, angka insiden penyakit amubiasis, hepatitis A dan infeksi
usus lainnya mengalami penurunan, kecuali pada kasus penyakit kolera
mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari rata-rata 2
kasus/100.000 penduduk pada tahun 2001 menjadi lebih dari 8 kasus/100.000
penduduk pada tahun 2003.
Gambar 18. Incident rate disentri pada rumah sakit dan puskesmas berdasarkan waktu
63
0,64
2,98
5,39
0,53
2,16
8,32
0 0 0 0
0,73 0,51
6,537,02
10,43
9,64
8,64
6,08
3,73
5,36
11,22
5,78 5,63
4,65
1,270,85
2,68
3,73
3,09
2,29
0
2
4
6
8
10
12
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun
Inci
dent
Rat
e (I
R)
kolera sigelosis amubiasis infeksi usus hepatitis A
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Dibandingkan tifoid dan paratifoid serta diare dan gastroenteritis pada
Gambar 20, lima jenis kasus penyakit akibat pangan di atas (amubiasis,
sigelosis, kolera, hepatitis A dan infeksi usus lainnya) mempunyai nilai
incident rate yang relatif rendah.
48,8963,87
96,81 98,85
131,19
59,56
153,54 159,58
244,07
271,11
164,14
208,86
0
50
100
150
200
250
300
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun
Inci
dent
Rat
e (I
R)
tifoid dan paratifoid diare dan gastroenteritis
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Gambar 19. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR < 12
Gambar 20. Incident rate kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai IR > 45
64
Penyakit tifoid merupakan penyakit akibat pangan utama di negara-
negara berkembang dan kini telah menjadi masalah global. Angka insiden
kasus tifoid berbasis data rumah sakit di Indonesia dari tahun 1998-2003, rata-
rata sebesar 83.2 kasus/100.000 penduduk/tahun, dengan kisaran antara 48.89
sampai 131.19 kasus/100.000 penduduk/tahun. Angka insiden kasus tersebut
sangat mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan negara maju, misal angka
kasus tifoid di Inggris adalah sebesar 1 kasus/100.000 penduduk/tahun.
Bahkan nilai tersebut melebihi angka insiden rata-rata di negara berkembang
yaitu antara 15 kasus/100.000 penduduk/tahun di Amerika Latin dan 100
kasus/100.000 penduduk/tahun di negara-negara benua Asia (Singh, 2001).
Bila dibandingkan dengan kelima jenis penyakit akibat pangan diatas
(amubiasis, sigelosis, kolera, hepatitis A dan infeksi usus lain), tifoid serta
diare dan gastroenteritis mempunyai IR yang jauh lebih tinggi yaitu lebih dari
50 kasus per 100.000 penduduk. Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang
serius dari pemerintah, produsen maupun konsumen pangan terhadap risiko
penyakit tersebut, tanpa mengesampingkan risiko kelima jenis penyakit akibat
pangan yang lainnya seperti tersebut di atas. Namun perlu diperhatikan bahwa
kasus diare dan gastroenteritis merupakan sindrom penyakit akibat pangan,
belum diketahui jenis penyakit dan agen penyebabnya secara spesifik.
2. Case Fatality Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan
Penyakit akibat pangan (foodborne disease) dapat memberikan efek
sakit ataupun gejala (symptom) yang beragam, dari gejala yang ringan sampai
berat. Beberapa contoh penyakit akibat pangan yang memberikan gejala yang
berat adalah kasus penyakit tifoid-paratifoid dan sigelosis. Sebagai contoh
gejala kedua penyakit tersebut adalah diare berdarah.
Berdasarkan Gambar 21, CFR kasus tifoid dan paratifoid di rumah
sakit selama kurun waktu 1998-2003 rata-rata sebesar 1.31%, dengan kisaran
antara 0.03% sampai 2.21%. Nilai tersebut dibawah angka rata-rata CFR
kasus tifoid di Asia yaitu sebesar 3.31% (Singh, 2001). Akan tetapi perlu
diperhatikan bahwa data tersebut belum mencakup keseluruhan kasus tifoid di
Indonesia, hanya mencakup data kasus penyakit akibat pangan pada rumah
sakit dan terlapor pada Ditjen Pelayanan Medik.
65
0,03
1,31
2,21
1,46 1,631,22
0 0 0 0
0,92
7,63
1,08
4,11
2,72
0,60
1,61
0,780,830,36
3,04
0,99 1,090,54
1,18
10,20
1,76
0,90
1,73
0,68
0
2
4
6
8
10
12
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun
Cas
e Fa
talit
y R
ate
(CFR
)
tifoid dan paratifoid sigelosis amubiasis infeksi usus hepatitis A
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
2,42
23,02
2,00 1,55 1,44 1,691,13
10,61
4,98
1,120,59 0,83
0
5
10
15
20
25
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun
Cas
e Fa
talit
y R
ate
(CFR
)
kolera diare dan gastroenteritis
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Case fatality rate (CFR) penyakit sigelosis pada tahun 2003
mempunyai nilai yang terbesar. Dari Gambar 21 dapat dilihat bahwa kasus
sigelosis selama kurun waktu dua tahun mengalami peningkatan CFR yang
Gambar 21. Case fatality rate (CFR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai CFR < 12
Gambar 22. Case fatality rate (CFR) diare dan gastroenteritis serta kolera di rumah sakit
66
signifikan. Gambar 21 juga menunjukkan bahwa pada tahun 1999, penyakit
hepatitis A menimbulkan tingkat fatalitas yang paling tinggi yaitu lebih dari
10% dari kasus hepatitis A yang ada meninggal dunia.
Gambar 22 menunjukkan bahwa diare dan gastroenteritis serta kolera
dari tahun 1998 sampai 2003 rata-rata mempunyai nilai CFR kurang dari 5%,
kecuali pada tahun 1999 mencapai lebih dari 10%. Dibandingkan lima kasus
penyakit akibat pangan sebelumnya (tifoid dan paratifoid, amubiasis,
sigelosis, hepatitis A serta infeksi usus lainnya), penyakit diare dan
gastroenteritis serta kolera mempunyai nilai CFR yang jauh lebih tinggi. Oleh
karena itu, diperlukan perhatian yang serius dari semua pihak terkait untuk
mengurangi angka kematian akibat kedua jenis kasus tersebut. Interpretasi
tersebut harus dilakukan secara hati-hati karena data CFR ini hanya
didasarkan pada data kematian kasus rawat inap yang ada di rumah sakit.
Sedangkan pada data kasus dengan rawat jalan, tidak terlaporkan data
kematian kasus akibat foodborne disease. Hal itu, merupakan salah satu
kekurangan sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia.
3. Admission Rate Kasus Penyakit Akibat Pangan
Gejala dan efek penyakit akibat pangan dapat ringan sampai berat, dari
sakit yang mengharuskan kasus menjalani perawatan secara intensif dengan
rawat inap maupun gejala ringan yang dapat diatasi cukup dengan rawat jalan.
Pada kasus dengan rawat jalan terdapat istilah ‘kasus baru’, ‘jumlah
kunjungan’ serta ‘angka kunjungan’ (admission rate). Kasus baru adalah
kasus/pasien yang untuk pertama kali berkunjung ke rumah sakit dengan
penyakit akibat pangan tertentu dan tercatat dalam rekam medis (medical
record) untuk selama periode waktu tertentu yang ditentukan oleh dokter
sesuai diagnosis yang dilakukan dokter (Nur Khoirimah, personal
communication, 2005). Untuk selanjutnya, apabila kasus berkunjung dengan
penyakit atau gejala yang sama dan pada periode waktu yang sama sesuai
ketentuan dokter, maka pasien tersebut disebut sebagai kasus lama. Sedangkan
angka kunjungan adalah perbandingan antara jumlah kunjungan (kasus baru
dan kasus lama) dengan jumlah kasus baru.
67
1,35
1,00
1,70 1,70
1,00 1,05
1,42
1,04
1,711,60
0,04
0,22
0 0 0 0
1,31
1,71
1,24 1,22 1,261,34
1,211,06
2,11
1,91
1,591,73
2,01
3,01
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun
Adm
issi
on R
ate
(AR
)
kolera tifoid dan paratifoid sigelosis amubiasis hepatitis A
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
1,20 1,33
12,07
1,34 1,22 1,30
2,231,94
1,48 1,26 1,55 1,32
0
2
4
6
8
10
12
14
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun
Adm
issi
on R
ate
(AR
)
diare dan gastroenteritis infeksi usus
Sumber : Data diolah dari Departemen Kesehatan RI (1998-2003)
Semakin tinggi nilai admission rate (AR), berarti jumlah kasus yang
berkunjung (kasus baru dan kasus lama) ke rumah sakit dengan jenis penyakit
tertentu semakin besar. Peningkatan nilai admission rate tersebut lebih
Gambar 24. Admission rate (AR) kasus diare dan gastroenteritis serta infeksi usus di rumah sakit
Gambar 23. Admission rate (AR) kasus penyakit akibat pangan di rumah sakit dengan nilai AR < 3,5
68
ditentukan oleh peningkatan jumlah kasus lama yang berkunjung ke rumah
sakit/dokter dengan penyakit tertentu. Gambar 23 menunjukkan bahwa selama
tahun 1998-2003 rata-rata setiap kasus penyakit akibat pangan (kolera, tifoid
dan paratifoid, sigelosis, amubiasis, serta hepatitis A) berkunjung ke rumah
sakit/dokter sebanyak satu sampai dua kali, kecuali pada tahun 2003 kasus
hepatitis A mempunyai angka kunjungan sebesar 3 kali. Gambar 24
menunjukkan admission rate dua jenis penyakit akibat pangan tersebut yaitu
diare dan gastroenteritis serta infeksi usus lainnya rata-rata mempunyai angka
kunjungan relatif (admission rate) sebesar 2 kali selama periode tahun 1998-
2003, kecuali pada tahun 2000 angka kunjungan relatif untuk kasus diare
sebesar 12 kali.
E. MANAJEMEN PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN
Kasus penyakit, termasuk kasus penyakit akibat pangan yang ada di rumah
sakit maupun puskesmas wajib dilaporkan kepada pihak yang berwenang terhadap
masalah kesehatan (health authority), dalam hal ini yaitu Dinas Kesehatan tingkat
Kabupaten. Selanjutnya Dinas Kesehatan tingkat kabupaten melaporkan kasus ini
kepada Dinas Kesehatan tingkat Propinsi. Pelaporan tersebut diteruskan oleh
Dinas Kesehatan tingkat propinsi kepada Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL) pada tingkat pusat (Nasional).
Selain itu, setiap rumah sakit juga wajib melaporkan kasus penyakit akibat pangan
baik kasus dengan rawat inap maupun rawat jalan kepada Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik (tingkat pusat). Masing-masing data pada kedua sumber tersebut
diolah oleh kompilator data untuk tujuan masing-masing institusi. Gambar 25
menunjukkan bagan pelaporan kasus pada rumah sakit dan puskesmas. Pelaporan
dilakukan selama periode trisemester (tiga bulan) yaitu dengan ketentuan kasus
pada bulan Januari-Maret dilaporkan pada bulan Maret dan seterusnya.
Berdasarkan panduan Ditjen PPPL, Departemen Kesehatan RI
memberikan feedback atas pelaporan yang ada melalui penyebaran informasi
surveilan kasus penyakit. Karena keterbatasan waktu, keadaan (feedback) ini
belum diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang
sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia.
69
F. MASALAH POKOK DALAM SISTEM PELAPORAN KASUS PENYAKIT
AKIBAT PANGAN
1. Kendala dalam Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan di Indonesia
Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia saat ini
belum terintegrasi dengan baik dan sistematis. Kendala yang selama ini
dihadapi diantaranya : (1) Belum semua kasus penyakit akibat pangan yang
wajib dilaporkan, terlaporkan kepada Departemen Kesehatan RI (Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik maupun Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan/PPPL); (2) Format pelaporan yang
disampaikan belum lengkap dan seragam; (3) Prosedur/mekanisme pelaporan
yang kurang jelas dan sistematis; (4) Petugas kesehatan terkait, terutama yang
berhubungan langsung dengan kasus (pasien) belum memahami dengan baik
prosedur pelaporan kasus penyakit dan tugas yang harus dilakukannya seperti
yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:
1116/MENKES/SK/VIII/2003, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 1479/MENKES/SK/X/2003 maupun Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1410/MENKES/SK/X/2003
atau kurangnya sosialisasi peraturan tentang kewajiban pelaporan data kasus
Unit
Surveilans Ditjen PPPL
Depkes
Pusat Informasi Ditjen Pelayanan Medik, Depkes
Distribusi data surveilan dari unit surveilan kepada kompilator data Distribusi informasi surveilan dari kompilator data kepada unit surveilan pengirim data
Gambar 25. Distribusi data surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia
Unit Surveilans
Puskesmas
Unit Surveilans
Rumah Sakit
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan Kab/Kota
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan Propinsi
70
penyakit, termasuk penyakit akibat pangan oleh rumah sakit, puskesmas
maupun pusat pelayanan kesehatan lainnya; (5) Sarana prasarana yang belum
memadai juga menyebabkan sulitnya mengimplementasikan sistem pelaporan
kasus penyakit yang seharusnya dilaporkan, misal: layanan pos yang kurang
memadai untuk rumah sakit dan puskesmas yang berada di daerah pedalaman
atau jauh dari kota; (6) Letak geografis rumah sakit dan puskesmas yang jauh
dapat menjadi kendala dalam pelaporan kasus penyakit, termasuk kasus
penyakit akibat pangan tersebut (Nur Khoirimah; Erfandi, personal
communication, Juni 2005).
2. Format Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Berdasarkan format dan isi laporannya, formulir pelaporan kasus
penyakit akibat pangan belum seragam dan kurang lengkap. Pelaporan data
kasus, termasuk kasus penyakit akibat pangan mengikuti pelaporan seperti
pada rekam medis (medical record) yang ada di rumah sakit ataupun
puskesmas. Rekam medis tersebut berupa formulir tentang identitas kasus,
penyakit kasus, serta identitas dokter dan rumah sakit tempat pemeriksaan
kasus. Formulir tersebut diisi oleh dokter yang memeriksa kasus. Formulir
rekam medis untuk setiap rumah sakit berbeda-beda sesuai dengan keadaan
dan kemampuan masing-masing rumah sakit. Kelengkapan formulir rekam
medis pada rumah sakit dipengaruhi oleh kapasitas dan kemampuan diagnosis
atau analisis laboratorium yang dimiliki rumah sakit yang bersangkutan (Nur
Khoirimah; Erfandi, personal communication, Juni 2005). Kapasitas,
kemampuan analisis serta finansial rumah sakit yang berbeda menyebabkan
formulir dan isi pelaporan data kasus secara nasional tidak lengkap dan
seragam. Hal tersebut menyebabkan terdapat beberapa informasi penting tidak
dicantumkan dalam formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan,
sehingga datanya kurang memadai dan kurang ilmiah. Salah satu formulir
rekam medis rumah sakit di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 13.
Penetapan agen penyebab penyakit akibat pangan umumnya hanya
berdasarkan dugaan (suspected) yaitu hanya melalui diagnosis klinis dokter,
tanpa dilengkapi dengan analisis spesimen dari laboratorium, sehingga
diagnosis yang ada tidak pasti (unconfirmed). Oleh karena itu, hampir semua
71
data kasus yang tersedia hanya bersifat dugaan atau tidak dapat dibedakan
antara kasus pasti (confirmed) dan dugaan (suspected). Sistem pelaporan kasus
penyakit akibat pangan akan lebih efektif untuk tujuan surveilan apabila
disertai dengan konfirmasi hasil pengujian laboratorium. Surveilan
berdasarkan laboratorium (laboratory-based surveillance) mampu
meningkatkan kualitas data dari pada surveilan yang hanya berdasarkan
sindrom (syndromic surveillance). WHO menekankan agar setiap negara
mengembangkan sistem surveilan berdasarkan laboratorium (WHO, 2002).
Berdasarkan format pelaporan kasus penyakit, termasuk penyakit
akibat pangan yang ada saat ini pada rumah sakit atau puskesmas, setiap kasus
penyakit akibat pangan yang terjadi tidak dilaporkan secara rinci. Dalam
format pelaporan tersebut, hanya disebutkan jumlah total kasus, jumlah orang
yang meninggal, jumlah kasus berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin
untuk masing-masing jenis penyakit, serta berdasarkan cara perawatannya
yaitu rawat jalan dan rawat inap. Format pelaporan kasus penyakit akibat
pangan yang ada di rumah sakit maupun puskesmas tidak dicantumkan
keterangan diagnosis penyakit secara jelas. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang mencakup
mekanisme serta formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan secara
seragam. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sedang
dikembangkan tersebut merupakan langkah awal dalam pembuatan model
sistem pelaporan kasus penyakit terutama penyakit akibat pangan secara
terpadu dan sistematik yang dapat diimplementasikan di Indonesia.
G. PENGEMBANGAN SISTEM PELAPORAN KASUS PENYAKIT AKIBAT
PANGAN DI INDONESIA
Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan mencakup
dua hal, yaitu memperbaiki mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan
dan membuat formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sistematis,
aplikatif dan sesuai dengan studi epidemiologi. Artinya, dengan formulir
pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang dikembangkan tersebut, diharapkan
data kasus penyakit akibat pangan yang terkumpul pada masa mendatang dapat
72
diolah, dianalisis dan diinterpretasikan menurut studi epidemiologi, baik secara
deskriptif maupun analitis. Pengembangan sistem yang dilakukan dalam
penelitian ini merupakan salah satu alternatif masukan bagi pemerintah pusat
(Departemen Kesehatan, Badan POM RI dan stakeholder terkait lainnya) untuk
memperbaiki profil data pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia.
1. Mekanisme Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan ini merupakan
pengembangan dari pelaporan kasus penyakit yang sudah ada sebelumnya.
Dalam mekanisme pelaporan sebelumnya, tidak dilibatkan peran Badan POM
RI. Dalam pengembangan mekanisme tersebut ditambahkan Badan POM RI.
Dengan mekanisme ini, diharapkan data kasus penyakit akibat pangan dapat
digunakan oleh Badan POM RI untuk melihat kecenderungan dan dapat
digunakan sebagai landasan ilmiah dalam menentukan kebijakan keamanan
pangan di Indonesia.
Berdasarkan pengembangan mekanisme tersebut, diharapkan rumah
sakit, puskesmas dan pusat pelayanan kesehatan lainnya dapat melaporkan
data kasus penyakit akibat pangan yang ada, kepada Badan POM RI melalui
Balai Besar POM yang ada di daerah (Badan POM RI c.q. Balai Besar POM).
Bagan pengembangan mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan
dapat dilihat pada Gambar 26.
Kegiatan pengembangan sistem pelaporan harus mempertimbangkan
aspek organisasi dan tanggung jawabnya terhadap masalah terkait, dalam hal
ini kasus penyakit akibat pangan. Badan POM RI sebagai leading sector
dalam keamanan pangan harus menjalin kerjasama dengan instansi terkait
yaitu Departemen Kesehatan RI. Pelaporan kasus penyakit yang saat ini
ditangani oleh Departemen Kesehatan RI seharusnya dapat diintegrasikan
secara terpadu. Keterpaduan tersebut hanya bisa tercapai dengan melibatkan
kerjasama inter maupun antar instansi. Kerja sama inter-instansi dalam hal ini
adalah antara Ditjen Pelayanan Medik, Ditjen PPPL maupun Laboratorium
Kesehatan yang ada di bawah kewenangan Departemen Kesehatan RI. Selain
itu, perlu ditingkatkan kerjasama antar-instansi, dalam hal ini antara
Departemen Kesehatan RI dan Badan POM RI.
73
Sumber : Diolah dan diadaptasikan dari Departemen Kesehatan (2003) Keterangan : * Pelaporan kasus berdasarkan formulir pelaporan kasus penyakit dari Departemen Kesehatan ** Pelaporan khusus kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) berdasarkan
pengembangan pelaporan kasus penyakit akibat pangan dari Badan POM RI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI.
Pelaporan Data kasus penyakit, termasuk penyakit akibat pangan yang ada saat ini
Pengembangan mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan, data kasus penyakit akibat pangan yang ada diharapkan sampai ke Badan POM RI c.q. Balai Besar POM
Badan POM RI c.q. Balai Besar POM
**
Gambar 26. Mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia
RS
Departemen Kesehatan RI
c.q Ditjen Pelayanan
Medik, Ditjen PPPL
Dinas Kesehatan Propinsi
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
**
*
*
Rumah sakit PEMDA/TNI-POLRI/BUMN/ swasta, puskesmas, klinik dan pusat pelayanan kesehatan masyarakat lainnya
74
Keterpaduan dan kerjasama tersebut sangat penting dengan satu tujuan utama
yaitu menciptakan kesehatan masyarakat Indonesia, terlebih dalam kaitannya
dengan keamanan pangan dan penyakit akibat pangan (foodborne disease) di
masyarakat. Salah satu alternatif pendukung keterpaduan sistem tersebut
adalah formulir dengan nomor identitas pelaporan kasus (I.D.) yang terpadu
dan berlaku secara nasional. Hal ini untuk mencegah duplikasi pelaporan
kasus oleh rumah sakit/puskesmas/klinik/dokter dan laboratorium kesehatan.
Pengembangan sistem ini juga harus mempertimbangkan aspek sumber
daya manusia serta fasilitas yang ada. Proses penginvestigasian kasus (pasien)
dalam sistem pelaporan ini sebagai alternatif dilakukan oleh dokter dalam
proses diagnosis secara klinis, sedangkan staf laboratorium kesehatan
berwenang dalam konfirmasi agen penyebab kasus. Staf-staf tersebut bertugas
dibawah kewenangan dan atas panduan/pedoman kerja dari Departemen
Kesehatan RI. Bagian selanjutnya dari sistem pelaporan yaitu tahap
pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus penyakit akibat pangan yang
terlaporkan oleh staf dan epidemiolog pada Badan POM RI c.q. Balai/Balai
Besar POM.
Mekanisme pelaporan di atas merupakan salah satu alternatif dalam
sistem pelaporan yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat. Alternatif
lainnya adalah pelaporan kasus penyakit akibat pangan dengan pengumpulan
data yang ada pada Dinas Kesehatan tingkat Kabupaten/Kota atau tingkat
Propinsi pada Badan POM RI (c.q. Balai/Balai Besar POM) yang ada pada
masing-masing daerah/propinsi di Indonesia.
2. Formulir Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan
Formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan merupakan kuesioner
untuk melaporkan kasus penyakit akibat pangan, berisi tentang identitas kasus,
penyakit kasus, diagnosis penyakit akibat pangan oleh dokter maupun hasil
analisis laboratorium, identitas dokter dan rumah sakit/puskesmas serta
informasi lain yang berhubungan dengan kasus/pasien, dokter maupun
penyakit akibat pangan yang diderita oleh kasus. Formulir tersebut disusun
melalui diskusi dengan sebuah tim (team work) dari Badan POM dan studi
banding pelaporan kasus (notification) dari negara lain, seperti Australia dan
75
Amerika Serikat. Formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang telah
disusun, dapat dilihat pada Gambar 27.
Data kasus penyakit akibat pangan yang ada di rumah sakit/puskesmas/
klinik/dokter seharusnya divalidasi dengan data spesimen kasus oleh
laboratorium kesehatan untuk membedakan kasus dugaan dan kasus tetap.
Investigasi pada Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa tidak ada
laporan data kasus dan spesimen kasus penyakit akibat pangan. Oleh karena
itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang sistem pelaporan kasus
penyakit akibat pangan yang melibatkan peran laboratorium kesehatan di
Indonesia. Pengembangan sistem selanjutnya perlu keterlibatan peran
laboratorium dan sumber daya laboratoran pada Departemen Kesehatan RI
sebagai mitra yang mampu mendukung penginvestigasian kasus penyakit
akibat pangan. Keterlibatan tersebut dituangkan dalam proses konfirmasi
dengan pengisian formulir kasus penyakit akibat pangan berikut hasil
pengujian spesimennya secara terpadu dengan data kasus oleh dokter pada
rumah sakit/puskesmas/klinik/dokter praktek.
Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang dikembangkan dalam
penelitian ini merupakan bahan masukan dalam membuat prosedur tetap
(Standard Operating Procedure/SOP) pelaporan kasus penyakit akibat pangan
berdasarkan studi epidemiologi yang lebih sistematis dan terpadu serta dapat
diimplementasikan di masa yang akan datang. Dengan sistem pelaporan yang
lebih baik sebagai pendukung surveilan keamanan pangan, data kasus penyakit
akibat pangan dapat diolah, dianalisis dan diinterpretasikan dengan lebih baik pula
serta dapat diakses oleh masyarakat luas, regional maupun internasional yang
terkait dengan masalah keamanan pangan di Indonesia dan dunia.
76
Gambar 27. Usulan formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan
(foodborne disease) di Indonesia
77
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kasus penyakit akibat pangan yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah kasus kolera, demam tifoid dan paratifoid, sigelosis, diare dan
gastroenteritis, amubiasis, penyakit infeksi usus lain, serta hepatitis A. Data-data
tersebut bersumber dari laporan kasus pada rumah sakit dan/atau puskesmas yang
terlapor pada Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dan/atau Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPPL). Berdasarkan studi
epidemiologi deskriptif yang dilakukan dalam penelitian ini, penyakit kolera dan
diare potensial terjadi pada kasus dengan golongan umur 1-4 tahun, sedangkan
penyakit tifoid, hepatitis A dan disentri cenderung terjadi pada golongan umur 15-
44 tahun. Hasil analisis dan interpretasi data kasus tersebut kurang sesuai dengan
definisi populasi rentan oleh WHO untuk masing-masing jenis kasus penyakit
akibat pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut dan
memperbaiki sistem surveilan kasus penyakit akibat pangan secara terus-menerus.
Berdasarkan variabel waktu (bulan kejadian), kasus penyakit tifoid, diare,
disentri dan hepatitis A cenderung meningkat pada musim penghujan yaitu antara
bulan Januari-Maret. Sedangkan kasus kolera cenderung meningkat pada musim
kemarau. Sebagian besar kasus penyakit akibat pangan potensial berisiko pada
subjek baik berjenis kelamin pria maupun wanita, kecuali penyakit hepatitis A
yang dominan terjadi pada subjek dengan jenis kelamin pria. Berdasarkan variabel
tempat (propinsi) kasus penyakit akibat pangan terjadi, propinsi Nusa Tenggara
Timur merupakan propinsi yang potensial terhadap risiko penyakit kolera,
sedangkan propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat merupakan daerah
potensial penyebaran tifoid. Propinsi Sulawesi Tenggara, Jawa Barat dan
Kalimantan Tengah mempunyai angka insiden tertinggi untuk kasus diare.
Kelemahan dalam sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di
Indonesia tercermin pada kekurangan interpretasi data yang ada, yaitu
diantaranya: (1) kasus yang terlaporkan tidak dapat dibedakan antara kasus yang
bersifat dugaan (suspected case) atau tetap (confirmed case), (2) data kasus
78
dengan parameter IR, CFR dan AR hanya berdasarkan data rumah sakit pada
Ditjen Pelayanan Medik, serta (3) komponen data antara kedua sumber (Ditjen
PPPL dan Ditjen Pelayanan Medik) belum seragam. Hasil analisis dan interpretasi
data-data kasus penyakit akibat pangan tersebut belum mencerminkan
kecenderungan penyebaran penyakit akibat pangan pada keseluruhan populasi
penduduk di Indonesia. Hal ini disebabkan data kasus yang dilaporkan hanya
12%-13% untuk data kasus bersumber pada puskesmas dan 30%-40% untuk kasus
bersumber pada rumah sakit. Propinsi dengan persentase kelengkapan yang relatif
besar meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Riau dan Lampung (data
pada Ditjen PPPL).
Pengembangan sistem, yang mencakup pengembangan dan perbaikan
mekanisme serta formulir pelaporan kasus penyakit akibat pangan dalam
penelitian ini merupakan langkah awal dalam memperbaiki profil pelaporan data
kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Diharapkan dengan penelitian ini, data
kasus penyakit akibat pangan pada masa mendatang dapat diinterpretasikan dan
informasi yang dihasilkan dapat lebih representatif.
B. SARAN
1. Pelaporan kasus penyakit akibat pangan harus terus dikembangkan, sebagai
salah satu pendukung surveilan keamanan pangan di Indonesia.
2. Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang
mencakup dua hal, yaitu mekanisme dan formulir pelaporan sebagai bahan
masukan untuk membuat SOP pelaporan harus dievaluasi, sedang formulir
pelaporan harus diuji validitas dan reliabilitas sebelum dikembangkan menjadi
sebuah model pelaporan di Indonesia.
3. Peran penting laboratorium kesehatan perlu dimaksimalkan dengan
melibatkannya dalam mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan,
serta perlu dilakukan surveilan dan investigasi lebih lanjut tentang kasus
penyakit akibat pangan berbasis laboratorium kesehatan di Indonesia.
4. Perangkat pendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan, seperti software
pengolah data kasus, perlu terus dikembangkan secara sinergis dengan
pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan sehingga
79
output dari pengembangan sistem tersebut dapat lebih aplikatif untuk
diimplementasikan di Indonesia.
5. Untuk mendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan yang terpadu dan
sistematis, diperlukan adanya sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
yang baik dan terpadu pula. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan
yang melibatkan Badan POM RI sebagai leading sector dalam program
keamanan pangan perlu didukung dengan stakeholder yang dapat menguatkan
peran serta Badan POM RI.
80
DAFTAR PUSTAKA
Adamkiewitz TV., Berkovitch M., Krishnan C., Polsinelli C., Kermack D., Oliveri F. Infection due to Yersinia enterocolitica in a series of patients with B-thalasemia: incidence and predisposing factors. Clinical Infectious Diseases 1998; 27:1362-6 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
Anonima. 1998. Epidemiology update: Hepatitis A. http://www.co.hennepin.mn.
us/vgn/images/portal/cit_100003616/30/14/106580956Hepatitis%20A%20Update.pdf (6 September 2005)
Anonimb. 2005. The World Factbook. http://www.cia.gov/cia/publications/
factbook/geos/bg.html (20 Oktober 2005)
Arnold, G.J. dan B.A. Munce. 2000. Investigation of Foodborne Disease Outbreaks di dalam Hocking, A. D. et al (eds). Foodborne Microorganisms of Public Health Significance : 5th Edition. AIFST (NSW Branch) Food Microbiology Group.
Badan POM. 2001a. Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan
Keamanan Pangan, Badan POM RI. Jakarta. Badan POM. 2001b. Prinsip-prinsip Pelaksanaan Analisis Risiko. Deputi Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI. Jakarta
Badan POM. 2001c. Analisis Risiko Keamanan Pangan Mikrobiologis : Kajian
Risiko Mikrobiologis. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM RI. Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2002. Proyeksi Penduduk Indonesia per Propinsi Menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2000-2010. Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik. BPS, Jakarta-Indonesia.
Bennish, M.L. dan Wojtyniak, B.J. 1991. “Mortality due to shigellosis:
community and hospital data,” Rev. Infect. Dis. 13:S245-251 di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
Black, R.E., Levine, M.M., Clements, M.L., Hughes, T.P., and Blaser, M.J. 1988.
“ Experimental Campylobacter jejuni infection in humans” di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
Borgdorff, M.W., Motarjemi Y. 1997. Surveillance of Foodborne Diseases: What
Are The Options?. Food Safety Issues. Food Safety Unit, WHO. WHO.
81
Buzby JC dan Roberts T. 1995. ERS estimates US foodborne disease costs, Food Review, vol 18, pp37-42 di dalam Communicable Diseases Network Australia and New Zealand, Commonwealth Department of Health and Family Services, Australia.
Cameron S., Walker W., Beers M., et al. 1995. Enterohaemorrhagic Escherichia
coli outbreak in South Australia associated with the consumption of mettwurst, Communicable Diseases Intelligence, vol 19, pp70-1 di dalam Communicable Diseases Network Australia and New Zealand, Commonwealth Department of Health and Family Services, Australia.
Cary, J.W., Linz, J.E. dan Bhatnagar, D. 2000. Microbial Foodborne Disease
Mechanisms of Pathogenesis and Toxin Synthesis. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
CDC. Nationally Notifiable Infectious Diseases United States 2003.
http://www.cdc.gov/epo/dphsi/phs/infdis2003.htm (8 Juli 2005) D’Aoust, J. 2000. Salmonella di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan
Keamanan Pangan. Badan POM RI. Departemen Kesehatan. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Department of Health. 1994. Management of Outbreaks of Foodborne Illness.
Department of Health, London di dalam Hackbarth et al., Massachusetts Department of Public Health.
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2000. Statistik Rumah Sakit di Indonesia,
Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2001. Statistik Rumah Sakit di Indonesia,
Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2002. Statistik Rumah Sakit di Indonesia,
Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2003. Sistem Informasi Rumah Sakit di
Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit Revisi V). Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2003. Statistik Rumah Sakit di Indonesia,
Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2004. Statistik Rumah Sakit di Indonesia,
Edisi: Tahun 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
82
Djauzy. 2005. Personal Communication. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Erfandi. 2005. Personal Communication. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Estrada-Garcia, T dan Mintz, E.D. 1996. ”Cholera: Foodborne transmission and
its prevention,” 461-469 di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
FAO/WHO. 2004. Foodborne Disease Monitoring and Surveillance Systems.
Seremban, Malaysia. http://www.fao.org/docrep/meeting/006/J2381E.htm (20 Juli 2005)
Farber, J.M. dan Peterkin, P.I. 2000. Listeria monocytogenes di dalam Sparringa,
R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Fardiaz, D. 2001. Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Secara
Total. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM. Jakarta.
Faruque, S.M., Albert, M.J., dan Mekalanos, J.J. 1998. Epidemiology, Genetics
and Ecology of Toxigenic Vibrio cholerae, Microbiology and Molecular Biology Reviews. Dec. 1998 Vol.62 No.4, p.1301-1314. American Society for Microbiology.
Ferreccio, C., Prado, V., Ojeda, A., Cayyazo, M., Abergo, P., Guers, L., and
Levine, M.M. 1991. “Epidemiologic patterns of acute diarrhea and endemic Shigella infections in children in poor periurban setting in Santiago, Chile, ” Am. J. Epidemiol. 134:614-627 di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
Gay NJ, Morgan-Capner P, Wright J, et al. Age-specific antibody prevalence to
hepatitis A in England: implications for disease control. Epidemiol Infect 1994;113:113–20 di dalam Ross et al. 2002. Seroprevalence of hepatitis A immunity in male genitourinary medicine clinic attenders: a case control study of heterosexual and homosexual men. Birmingham, UK.
Gerba CP., Rose JB., Haas CN. Sensitive Populations: Who is at the greatest risk?
International Journal of Food Microbiology. 1996; 30:113-23 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
Griffin PM., Ostroff M., Tauxe RV., Greene K.D., Wells JG., Lewis JH., Blake
PA. Illnesses associated with Escherichia coli O157:H7 infectious. A broad clinical spectrum. Annals of Internal Medicine 1988; 109:705-12 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
Hackbarth, A., Robert G., Dan H., Emily H., Jocelyn I., Pat K., dan Priscilla L.
1997. Foodborne Illness Investigation and Control Reference Manual. Massachusetts Department of Public Health.
83
HIady WG., Klontz KC. The epidemiology of Vibrio infections in Florida, 1981-1993. The Journal of Infectious Diseases 1996; 173:1176-83 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
Hobbs, B.C. dan D. Roberts. 1987. Food Poisoning and Food Hygiene : 5th
Edition. Edward. London. Imari, S. 2004. Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan.
Makalah pada Pelatihan Surveilan Keamanan Pangan, 12-16 Juli 2004. Bogor.
Khoirimah, N. 2005. Personal Communication. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta. Lindsay JA. Chronic sequelae of foodborne disease. Emerging Infectious Diseases
1997; 3:443-52 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
Majowicz, S. 2001. Foodborne Disease: How Big A Problem?. University of
Guelph. Canada. Mead PS, Slutsker L., Dietz V., McCaig LF., Bresee JS., Shapiro C., Griffin PM.,
Tauxe RV. Food-Related Illness and Death in the United States. Emerging Infectious Diseases. 1999; 5:607-25 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
MMWR. 1990. Current Trends Community Outbreaks of Shigellosis United
States. August 03, 1990 / 39 (30); 509-513,519. OzFoodnet. 2003. Pathogens under Surveillance. http://www.ozfoodnet.org.au/
surveillance.htm (Juni 2005) Pang, T., Bhutta, Z.A., Finlay, B.B, dan Altwegg, M. 1995. “Typhoid fever and
other salmonellosis: a continuing challenge.” Trends Microbial.,3(7):253-255. di dalam Cary et al. Microbial Foodborne Disease Mechanisms of Pathogenesis and Toxin Synthesis. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
Parker, T.C.B. dan R.B. Tompkin. 2000. Risk and Microbiological Criteria di
dalam Lund, Barbara M. et al (eds) The Microbiological Safety and Quality of Food : Volume II. Aspen Publisher, Inc. Maryland
Public Health Agency of Canada (PHAC). National Notifiable Diseases for 2000.
http://www.dsol-smed.hc-sc.gc.ca/dsol-smed/ndis/list_e.html (8 Juli 2005)
Rahayu, W.P., R.A. Sparringa., dan P. Hariyadi. 2005. Surveilan KLB Keracunan Pangan. Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan: Surveilan keamanan pangan pada rantai pangan, 20 Juni 2005. Badan POM RI. Jakarta.
84
Rees J., Soudain SE., Gregson Norman A., Hugues Richard AC. Campylobacter jejuni infection and Guillain-Barre Syndrome. The New England Journal of Medicine 1995; 333:1371-5 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
Rocourt J., G. Moy, K. Vierk dan J. Schlundt. 2003. The Present of Foodborne
Disease in OECD Countries. Food Safety Department, WHO, Geneva. www.who.int/entity/foodsafety/publications/foodborne_disease/oecd_fbd.pdf (20 Mei 2005)
Sharp, J. Clark dan W. (Bill) J. Reilly. 2000. Surveillance of Foodborne Disease.
di dalam Lund, Barbara M. Et al (eds) The Microbial Safety and Quality of Food : Volume II. Aspen Publisher, Inc. Maryland.
Singh, B. 2001. Symposium: Typhoid fever-epidemiology, Journal Indian
Academy of Clinical Medicine. Vol 2, No.1&2, January-June. Sockett PN dan Roberts JA. 1991. The social and economic impact of
salmonellosis, Epidemiology and Infection, vol 107, pp 335-47 di dalam Communicable Diseases Network Australia and New Zealand, Commonwealth Department of Health and Family Services, Australia.
Sparringa, R.A. 2002. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan di dalam Rahayu,
et al. Surveilan Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM. Jakarta.
Sparringa, R.A. 2005. Pengantar Investigasi KLB Keracunan Pangan. Pelatihan
Surveilan Keamanan Pangan, Bogor, 27 Juni-2 Juli 2005. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI. Jakarta.
Sparringa, R.A. 2005. Personal Communication. Badan POM RI. Jakarta. Sparringa, R.A. dan Rahayu, W.P. 2005. Kebijakan dan Strategi Surveilan
Keamanan Pangan. Pelatihan Kajian Risiko Keamanan Pangan, Bogor, 27 Juni-2 Juli 2005. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI. Jakarta.
Stern, N.J. dan Line, E.J. 2000. Campylobacter di dalam Sparringa, R.A.
Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Stiles, M.E. 2000. Less recognized and suspected foodborne bacterial pathogens
di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta.
Stoll, B.J., Glass, R.I., Huq, M.I., Khan, M.U., Banu, H., and Holt, J. 1982.
”Epidemiologic and clinical features of patients infected with Shigella who attended a diarrheal disease hospital in Bangladesh” di dalam Cary et al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
85
Taylor, M.A. 2000. Protozoa di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta.
Thomson G., DeRubeis D., Hodge M., Rajanayagam C., Inman RD., Post-
Salmonella reactive arthritis: late clinical sequelae in a point source cohort. The American Journal of Medicine 1995; 98:13-9 di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
Wallis, M.R. 1994. “The pathogenesis of Campybacter jejuni” di dalam Cary et
al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania.
Willshaw, G.A., Cheasty, T. dan Smith, H.R. 2000. Escherichia coli di dalam Sparringa, R.A. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta.
Wilson, C.L. dan S. Droby. 2001. Microbial Food Contamination. CRC Press.
New York WHO. 1995. The World Health Report 1995: Bridging the Gaps. di dalam Cary et
al. Technomic Publishing Company, Inc. Pennsylvania. WHO. 1996. Principles and methods for assessing direct immunotoxicity
associated with Exposure to Chemicals. Environmental Health criteria – EHC 180, Geneva-Switzerland di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
WHO. 1997. “Foodborne disease-possibly 350 times more frequent than
reported.” http://www.who.int/dsa/justpub/food.htm (2 September 2005) WHO. 1998. “Typhoid fever.” http://www.who.int/gpv-dvacc/diseases/typhoid_
fever.htm (Agustus 2005)
WHO. 1999. Principles and methods for assessing allergic hypersensitization associated with Exposure to Chemicals. Environmental Health criteria – EHC 212, Geneva-Switzerland di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
WHO. 1999. WHO Recommended Surveillance Standards. Second Edition. WHO
Department of Communicable Disease Surveillance and Response. http://www.who.int/csr/resources/publications/surveillance/whocdscsrisr992.pdf (Agustus 2005)
WHO. 2000. Foodborne Disease : A Focus For Health Education. Word Health
Organization. Geneva.
86
WHO. 2001. Neurotoxicity risk assessment for human health: Principles and approaches; Environmental Health criteria – EHC 223, Geneva-Switzerland di dalam Rocourt et al. Food Safety Department, WHO, Geneva.
WHO. 2002. Methods for Foodborne Disease Surveillance in Selected Sites:
report of a WHO consultation, 18-21 March 2002, Leipzig, Germany. Word Health Organization. Geneva.http://www.who.int/entity/salmsurv/ links/en/Leipzigmeetingreport.pdf (22 November 2005)
WHO. 2005. Communicable Disease Control in Emergencies, a Field Manual edited by M.A. Connolly. Word Health Organization. Geneva. http://www.who.int/infectious-disease-news/IDdocs/whocds200527/ whocds200527chapters/ (Agustus 2005)
87
Lampiran 1. Persentase Kelengkapan Laporan Puskesmas dan Rumah Sakit Tahun 2003
No Propinsi 2001 2002 2003 Pusk RS Pusk RS Pusk RS
1 Nanggroe Aceh Darussalam
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 14.7
2 Sumatera Utara 100.0 100.0 0.0 0.0 47.0 69.9 3 Sumatera Barat 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 4 Riau 41.0 31.6 50.3 10.6 46.0 14.6 5 Jambi 18.5 7.9 0.0 0.0 52.6 31.9 6 Sumatera Selatan 33.3 0.0 32.5 25.0 0.0 0.0 7 Bengkulu 0.0 0.0 0.0 0.0 74.5 21.0 8 Bangka Belitung 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 19.4 9 Lampung 58.5 49.0 80.0 0.0 69.7 11.5 10 DKI Jakarta 0.0 0.0 0.0 0.0 98.5 73.9 11 Banten 0.0 0.0 0.0 0.0 83.1 35.8 12 Jawa Barat 0.0 0.0 0.0 0.0 25.4 11.5 13 Jawa Tengah 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 14 DI Yogyakarta 8.1 37.9 0.0 0.0 0.0 0.0 15 Jawa Timur 0.0 0.0 0.0 0.0 68.2 12.0 16 Kalimantan Barat 0.0 15.8 0.0 21.1 88.2 25.4 17 Kalimantan
Tengah 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
18 Kalimantan Selatan
0.0 0.0 0.0 0.0 79.4 42.4
19 Kalimantan Timur 36.5 35.8 49.8 37.4 44.6 25.3 20 Sulawesi Utara 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 21 Gorontalo 0.0 0.0 0.0 0.0 47.6 100.0 22 Sulawesi Tengah 28.1 23.2 21.6 34.4 34.5 65.0 23 Sulawesi Selatan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 19.6 24 Sulawesi
Tenggara 0.0 0.0 0.0 0.0 85.3 16.7
25 Bali 0.0 0.0 97.2 89.7 100.0 96.0 26 Nusa Tenggara
Barat 0.0 0.0 0.0 0.0 35.2 0.0
27 Nusa Tenggara Timur
43.8 12.5 0.0 0.0 0.0 0.0
28 Maluku 0.0 0.0 0.0 0.0 44.3 25.5 29 Maluku Utara 0.0 0.0 49.0 0.0 34.7 0.0 30 Papua 0.0 0.0 9.3 8.9 7.7 7.8
Indonesia 12.3 10.5 13.0 7.6 38.9 24.7 Keterangan : Pusk = puskesmas, ∑ seluruh Indonesia = 7071;
RS = rumah sakit, ∑ seluruh Indonesia= 1128 Sumber : Departemen Kesehatan RI (2004)
88
Lampiran 2. Distribusi Penyakit Kolera Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan
Jumlah Pasien Keluar Pasien Mati
CFR Jumlah Kasus Baru Jumlah Kunjungan
Admission Rate Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
1 1998 309 270 579 14 2,4 317 415 732 985 1,3 2 1999 349 372 691 166 24,0 2636 2846 5482 5482 1,0 3 2000 800 753 1553 31 2,0 4893 4658 9551 16238 1,7 4 2001 332 248 580 9 1,6 303 220 523 891 1,7 5 2002 452 519 971 14 1,4 2299 1281 3580 3580 1,0 6 2003 1829 1244 3073 52 1,7 7477 7239 14716 15491 1,1
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Lampiran 3. Distribusi Penyakit Demam Tifoid dan Paratifoid Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003
No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan Jumlah Pasien Keluar Pasien
Mati CFR Jumlah Kasus Baru Jumlah
Kunjungan Admission
Rate Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah 1 1998 23714 22867 46581 14 2,4 25962 27397 53359 75884 1,4 2 1999 31463 32437 63900 837 1,3 43773 24824 68592 71109 1,0 3 2000 58622 57234 115856 2562 2,2 34343 49081 83424 142462 1,7 4 2001 51952 51035 102987 1505 1,5 51391 51667 103058 165182 1,6 5 2002 92044 90475 182519 2984 1,6 45450 48949 94399 3580 1,06 2003 27044 30889 57933 704 1,2 34326 35034 69360 15491 1,1
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
89
Lampiran 4. Distribusi Penyakit Sigelosis Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan
Jumlah Pasien Keluar Pasien Mati
CFR Jumlah Kasus Baru Jumlah Kunjungan
Admission Rate Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
1 1998 - - - - - - - - - - 2 1999 - - - - - - - - - - 3 2000 - - - - - - - - - - 4 2001 - - - - - - - - - - 5 2002 561 526 1087 10 0,9 254 209 463 608 1,3 6 2003 247 238 485 37 7,6 310 295 605 1032 1,7
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Lampiran 5. Distribusi Penyakit Diare dan Gastroenteritis oleh Penyakit Infeksi Tertentu Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis
Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan
Jumlah Pasien Keluar Pasien Mati
CFR Jumlah Kasus Baru Jumlah Kunjungan
Admission Rate Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
1 1998 55297 48446 103743 1169 1,1 107923 102211 210134 251242 1,2 2 1999 64362 54729 118641 12631 10,6 106650 105750 212400 283357 1,3 3 2000 113260 99218 212478 10579 5,0 102560 187362 289922 3498148 12,1 4 2001 109488 98118 207606 2335 1,1 188417 169073 357490 478394 1,3 5 2002 2604 638 3242 19 0,6 182400 160818 343218 417923 1,2 6 2003 93589 79462 173051 1433 0,8 144876 128462 273338 355040 1,3
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
90
Lampiran 6. Distribusi Penyakit Amubiasis Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan
Jumlah Pasien Keluar Pasien Mati
CFR Jumlah Kasus Baru Jumlah Kunjungan
Admission Rate Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
1 1998 2137 1563 3700 40 1,1 5195 4461 9656 11986 1,2 2 1999 2382 1050 4322 141 3,3 5058 5187 10245 12505 1,2 3 2000 4179 4014 8193 223 2,7 6532 6737 13269 16665 1,3 4 2001 3289 3265 6554 39 0,6 6876 6655 13531 18079 1,3 5 2002 2961 2868 5829 94 1,6 6512 5897 12409 15067 1,2 6 2003 2741 2775 5516 43 0,8 2978 4506 7484 7952 1,1
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Lampiran 7. Distribusi Penyakit Infeksi Usus lainnya Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan
Jumlah Pasien Keluar Pasien Mati
CFR Jumlah Kasus Baru Jumlah Kunjungan
Admission Rate Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
1 1998 1057 882 1939 16 0,8 3046 2632 5678 12644 2,2 2 1999 1680 1349 3029 11 0,4 4731 3369 8100 15690 1,9 3 2000 2890 2313 5203 158 3,0 10538 7361 17899 26446 1,5 4 2001 2181 2046 4227 42 1,0 4201 3611 7812 9857 1,3 5 2002 2697 2424 5121 56 1,1 3468 3302 6770 10462 1,5 6 2003 2992 2398 5390 29 0,5 2282 2263 4545 5998 1,3
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
91
Lampiran 8. Distribusi Penyakit Hepatitis A Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan Menurut Jenis Kelamin di Rumah Sakit Tahun 2003 No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan
Jumlah Pasien Keluar Pasien Mati
CFR Jumlah Kasus Baru Jumlah Kunjungan
Admission Rate Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
1 1998 932 597 1529 18 1.2 636 441 1077 2268 2.1 2 1999 597 315 912 93 10.2 459 391 850 1625 1.9 3 2000 1793 1164 2957 52 1.8 1323 1227 2550 4067 1.6 4 2001 2875 1894 4769 43 0.9 1626 1385 3011 5211 1.7 5 2002 2387 1657 4044 70 1.7 1445 1043 2488 4999 2 6 2003 1789 1169 2958 20 0.7 1061 883 1944 5850 3
Sumber : Statistik Rumah Sakit di Indonesia, Seri 3 Morbiditas/Mortalitas Edisi 1999-2004, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
92
Lampiran 9. Kasus dan Angka Insidens Kolera Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003
No Propinsi 2000 2001 2002 2003 ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI
1 Nanggroe Aceh Darussalam
0 0 0 0 0 0 39 0,09
2 Sumatera Utara 2922 2,37 0 0 0 0 0 0 3 Sumatera Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 4 Riau 0 0 0 0 0 0 0 0 5 Jambi 0 0 0 0 0 0 0 0 6 Sumatera Selatan 0 0 0 0 118 0,15 0 0 7 Bengkulu 0 0 0 0 0 0 0 0 8 Bangka Belitung 0 - 0 - 0 - 0 0 9 Lampung 31 0,04 2 0 0 0 0 0
10 DKI Jakarta 288 0,29 0 0 0 0 0 0 11 Banten 0 - 0 - 0 - 0 0 12 Jawa Barat 55 0,01 335 0,08 9 0 3 0 13 Jawa Tengah 0 0 3 0 0 0 0 0 14 DI Yogyakarta 0 0 0 0 0 0 0 0 15 Jawa Timur 0 0 0 0 0 0 6 0 16 Kalimantan Barat 90 0,22 0 0 0 0 0 0 17 Kalimantan Tengah 377 2,05 1 0,01 0 0 0 018 Kalimantan Selatan 0 0 0 0 0 0 0 0 19 Kalimantan Timur 0 0 1 0 0 0 0 0 20 Sulawesi Utara 0 0 0 0 0 0 0 0 21 Gorontalo 0 - 0 - 0 - 50 0,58 22 Sulawesi Tengah 0 0 7 0,03 0 0 23 0,10 23 Sulawesi Selatan 0 0 9 0,01 76 0,09 0 0 24 Sulawesi Tenggara 3 0,02 55 0,3 20 0,11 0 025 Bali 0 0 1 0 0 0 0 0
93
Lampiran 9. Kasus dan Angka Insidens Kolera Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 (Lanjutan)
No Propinsi 2000 2001 2002 2003 ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI
26 Nusa Tenggara Barat
62 0,15 0 0 0 0 0 0
27 Nusa Tenggara Timur
13711 34,4 0 0 7 0,02 0 0
28 Maluku 0 0 0 0 0 0 0 0 29 Maluku Utara 0 - 0 - 3 - 0 0 30 Papua 0 0 173 0,76 0 0 0 0INDONESIA (JUMLAH) 17539 0,83 587 0,03 230 0,01 121 0,01
Keterangan : AI = Angka Insidental 0 = Tidak ada kasus - = Tidak ada laporan Sumber : Data Sub Direktorat Surveilans, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI (2004)
94
Lampiran 10. Kasus dan Angka Insidens Tifoid Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003
No Propinsi 2000 2001 2002 2003 ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI
1 Nanggroe Aceh Darussalam
4212 9,84 8835 20,6 4826 11,3 4319 10,4
2 Sumatera Utara 14181 11,5 5324 4,3 5007 4,1 11600 9,48 3 Sumatera Barat 28 0,06 472 1 0 0 0 0 4 Riau 1378 3,08 1173 2,6 1810 4 2338 4,44 5 Jambi 11474 42,6 6698 24,9 4370 16,2 8565 33,9 6 Sumatera Selatan 5104 6,39 5868 7,4 4596 5,8 18120 25 7 Bengkulu 4726 29 4205 25,8 5778 35,4 1583 9,65 8 Bangka Belitung 0 - 0 - 0 - 115 1,15 9 Lampung 18066 24,8 20729 28,5 12866 17,7 8502 12,1
10 DKI Jakarta 24045 24,5 0 0 8673 8,8 12283 14,1 11 Banten 0 - 3709 - 0 - 23680 28 12 Jawa Barat 0 0 42372 9,7 0 0 0 0 13 Jawa Tengah 9960 3,14 7407 2,3 0 0 1030 0,32 14 DI Yogyakarta 3472 11,1 197 0,6 0 0 4553 14,4 15 Jawa Timur 61724 17,2 45774 12,8 39144 10,9 99372 28,1 16 Kalimantan Barat 37400 91,5 0 0 1852 4,5 6890 16,3 17 Kalimantan Tengah 25310 138 10110 54,9 10573 57,5 2796 14,318 Kalimantan Selatan 142 0,44 5175 16,2 3781 11,8 4078 13,2 19 Kalimantan Timur 6887 25,4 4749 17,5 1555 5,7 7425 28,8 20 Sulawesi Utara 498 1,73 94 0,3 606 2,1 231 1,12 21 Gorontalo 0 - 357 - 226 - 1104 12,7 22 Sulawesi Tengah 1728 7,77 2295 10,3 1154 5,2 2206 9,71 23 Sulawesi Selatan 18037 21,6 13694 16,4 20599 24,7 13819 16,5 24 Sulawesi Tenggara 2187 12 2153 11,9 1151 6,3 1218 6,3325 Bali 5625 18 5843 18,7 1627 5,2 5045 15,5
95
Lampiran 10. Kasus dan Angka Insidens Tifoid Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 (Lanjutan)
No Propinsi 2000 2001 2002 2003 ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI
26 Nusa Tenggara Barat
12473 30,7 0 0 0 0 11517 27,5
27 Nusa Tenggara Timur
2415 6,07 1624 4,1 6085 15,3 3396 8,49
28 Maluku 0 0 0 0 0 0 26 0,21 29 Maluku Utara 0 - 0 - 0 - 0 0 30 Papua 4567 20,1 226 1 35 0,2 6 0,03INDONESIA (JUMLAH) 275639 13 201252 9,5 136088 6,4 255817 12
Keterangan : AI = Angka Insidental 0 = Tidak ada kasus - = Tidak ada laporan Sumber : Data Sub Direktorat Surveilans, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI (2004)
96
Lampiran 11. Kasus dan Angka Insidens Diare Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003
No Propinsi 2000 2001 2002 2003 ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI
1 Nanggroe Aceh Darussalam
54443 12,7 50193 11,7 37030 8,6 52856 12,7
2 Sumatera Utara 141866 11,5 70070 5,7 46030 3,7 154938 12,7 3 Sumatera Barat 333 0,1 2227 0,5 0 0 0 0 4 Riau 83377 18,6 27334 6,1 39159 8,7 51382 9,77 5 Jambi 20977 7,8 26508 9,8 22551 8,4 32472 12,8 6 Sumatera Selatan 39141 4,9 25483 3,2 16160 2 90501 12,5 7 Bengkulu 32895 20,2 36014 22,1 33823 20,7 6968 4,25 8 Bangka Belitung 0 - 0 - 0 - 11975 12 9 Lampung 96641 13,3 120660 16,6 83287 11,4 83965 11,9
10 DKI Jakarta 158111 16,1 65485 6,7 120883 12,3 88261 10,2 11 Banten 0 - 49224 - 0 - 165081 19,5 12 Jawa Barat 2039325 46,5 710410 16,2 342350 7,8 320928 8,66 13 Jawa Tengah 450802 14,2 71857 2,3 0 0 2439 0,08 14 DI Yogyakarta 91714 29,4 12210 3,9 0 0 47774 15,1 15 Jawa Timur 611803 17,1 443570 12,4 278367 7,8 635151 18 16 Kalimantan Barat 38697 9,5 18990 4,6 26925 6,6 61949 14,7 17 Kalimantan Tengah 94779 51,5 35413 19,2 38953 21,2 13969 7,1418 Kalimantan Selatan 0 0 40480 12,6 29020 9,1 36678 11,8 19 Kalimantan Timur 56269 20,8 43659 16,1 14672 5,4 36240 14,1 20 Sulawesi Utara 16129 5,6 19628 6,8 14783 5,1 13812 6,68 21 Gorontalo 0 - 26216 - 22052 - 24931 28,7 22 Sulawesi Tengah 46289 20,8 37758 17 20299 9,1 37337 16,4 23 Sulawesi Selatan 198151 23,7 110279 13,2 154661 18,5 95992 11,4 24 Sulawesi Tenggara 162626 89,5 45636 25,1 30230 16,6 21155 1125 Bali 87524 28 92060 29,4 20617 6,6 74778 23
97
Lampiran 11. Kasus dan Angka Insidens Diare Per 10.000 Per Propinsi di Indonesia Tahun 2000-2003 (Lanjutan)
No Propinsi 2000 2001 2002 2003 ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI ∑ Kasus AI
26 Nusa Tenggara Barat
48992 12,1 0 0 0 0 38091 9,1
27 Nusa Tenggara Timur
64464 16,2 71095 17,9 52028 13,1 54443 13,6
28 Maluku 0 0 0 0 0 0 13510 11,1 29 Maluku Utara 0 - 10848 - 3892 - 4645 6,03 30 Papua 20066 8,8 11918 5,2 11918 5,2 3305 1,4INDONESIA (JUMLAH) 4655414 21,9 2277071 10,7 1433746 6,7 2275526 10,6
Keterangan : AI = Angka Insidental 0 = Tidak ada kasus - = Tidak ada laporan Sumber : Data Sub Direktorat Surveilans, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI (2004)
98
Lampiran 12. Daftar penyakit akibat pangan menurut ICD X (International Classification of Disease)
Intestinal Infectious Disease :
A00 Cholera A00.0 Cholera due to Vibrio cholerae 01 Biovar Cholerae Classical Cholerae A00.1 Cholera due to Vibrio cholerae 01 Biovar eltor Cholera eltor A00.9 Cholera, unspecified A01 Typhoid dan Paratyphoid A01.0 Typhoid fever Infection due to Salmonella typhi A01.1 Paratyphoid fever A A01.2 Paratyphoid fever B A01.3 Paratyphoid fever C A01.4 Paratyphoid fever, unspecified Infection due to Salmonella paratyphi NOS A02 Other Salmonella infection A02.0 Salmonella enteritis Salmonellosis A02.1 Salmonella septicaemia A02.2 Localized Salmonella infections Salmonella : Arthritis (MOI.3) Meningitis (G01) Osteomyelitis (M90.2) Pneumonia Renal tubulo A02.8 Other specified Salmonella infections A02.9 Salmonella infections, unspecified A03 Shigellosis A03.0 Shigellosis due to Shigella dysenteriae Group A Shigellosis (Shiga-Kryse dysentery) A03.1 Shigellosis due to Shigella flexineri Group B Shigellosis A03.2 Shigellosis due to Shigella boydii Group C Shigellosis A03.8 Other Shigellosis A03.9 Shigellosis, unspecified Bacillary dysentery NOS A04 Other bacterial intestinal infectious Excludes : Foodborne intoxication, bacterial (A05.-) Tuber culous enteritis (A18.3) A04.0 Enteropathogenic Escherichia coli infection A04.1 Enterotoxigenic Escherichia coli infection
99
A04.2 Enteroinvasive Escherichia coli infection A04.3 Enterohaemorrhagic Escherichia coli infection A04.4 Other intestinal E. Coli infections E. coli enteritis NOS A04.5 Campylobacter enteritis A04.6 enteritis due to Yersinia enterocolitica Excludes : extra intestinal yersiniosis (A28.2) A04.7 Enterocolitis due to Clostridium difficile A04.8 Other specified bacterial intestinal infectious A04.9 Bacterial intestinal infection, unspecified Bacterial enteritis NOS A05 Other bacterial foodborne intoxication Excludes : E. coli infections (A04.0-A04.4) Listeriosis (A32.-) Salmonella foodborne intoxication & infection (A02.-) Toxic effect of noxious food stuffs (T61-T62) A05.0 Foodborne Staphylococcal intoxication A05.1 Botulism Classical foodborne intoxication due to Clostridium botulinum A05.2 Foodborne Clostridium perfringens [Clostridium welchii] intoxication Enteritis necroticans Pig - bel A05.3 Foodborne Vibrio parahaemolyticus intoxication A04.4 Foodborne Bacillus cereus intoxication A05.8 Other specified bacterial Foodborne intoxication A05.9 Bacterial Foodborne intoxication, unspecified A06 Amoebiasis Includes : Infections due to Entamoeba histolytica Excludes : Other protozoal intestinal diseaseS (A07.-) A06.1 Chronic intestinal amoebiasis A06.2 Amoebic non dysenteryc colitis A06.3 Amoeboma of intestine Amoeboma NOS A06.4 Amoebic liver abscess Hepatic amoebiasis A06.5 Amoebic lung abscess (J99.8) Amoebic abscess of lung (and liver) A06.6 Amoebic brain abscess (G07) Amoebic abscess of brain (and liver) (and lung) A06.7 Cutaneous amoebiasis A06.8 Amoebic infection of other sites Amoebic : Appendicitis Balanitis (N51.2) A06.9 Amoebiasis unspecified A07 Other protozoal intestinal disease A07.0 Balantidiasis
100
Balantidial dysentery A07.1 Giardiasis (Lambliasis) A07.2 Cryptosporidiosis A07.3 Isosporiasis Infection due to Isospora belli and Isospora hominis Intestinal coccidiosis Isosporosis A07.8 Other specified protozoal intestinal diseases Intestinal trichomoniasis Sarcocystosis Sarcosporidiosis A07.9 Protozoal intestinal disease, unspecified Flagellata diarrhoea Protozoal : Colitis Diarrhoea Dysentery A08 Viral dan Other specified intestinal infections Excludes : Influenza with involvement of GI tract (J10.8, J11.8) A08.0 Rotaviral enteritis A08.1 Acute gastroenteropathy due to Norwalk agent Small round structured virus enteritis A08.2 Adenoviral enteritis A08.3 Other viral enteritis A08.4 Viral intestinal infection, unspecified Viral : Enteritis NOS Gastroenteritis NOS Gastroenteropathy NOS A08.5 Other specified intestinal infections A09 Diarrhoea dan Gastroenteritis of presumed infectious origin Sumber : International Classification of Disease (ICD) X WHO (World Health Organization)
101
Lampiran 13. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (1)
102
Lampiran 13. Contoh formulir rekam medis rumah sakit di Indonesia (2)