Hukum Tata Negara Islam
Nama : Muhammad Fajar Fahrudin
Nim : C92214151
Kelas : Hukum Ekonomi Syariah A
(1)
A. PEMERINTAHAN DI MASA RASULULLAH SAW
Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu hal
yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan
rakyat ataupun kepala negara (khalifah), tetapi di tangan syarak (aturan dan hukum Islam).
Sementara itu, kekuasaan khalifah adalah untuk melaksanakan dan menerapkan hukum
syariat Islam. Sistem pemerintahan Islam dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Semua
pemikir Muslim sepakat bahwa Madinah merupakan contoh negara Islam pertama. Tugas
Rasulullah SAW adalah memimpin masyarakat Islam sebagai utusan Allah SWT dan kepala
negara Islam Madinah
Awal terbentuknya negara Islam Madinah bermula dari konflik antarklan Arab (suku
Aus dan Khazraj) yang kerap terjadi di wilayah jazirah Arab. Konflik yang terjadi pada masa
itu bukan disebabkan perebutan kekuasaan, melainkan karena perebutan sumber air yang
terdapat di luar wilayah kekuasaan masing-masing. Bagi mereka, air adalah sumber
kehidupan dan kekayaan. Sumber air yang diperebutkan bernama Bu'bs, lembah yang
terletak tidak jauh dari Yatsrib (Madinah). Konflik yang terus berkepanjangan ini, membuat
masyarakat Arab Yatsrib khawatir keamanan wilayah mereka terancam dari kemungkinan
serangan musuh. Kekhawatiran dan rasa tidak aman ini membuat masyarakat Yatsrib
merindukan figur seorang tokoh pemimpin yang adil dan mampu menegakkan peraturan
yang dapat diterima semua pihak. Oleh sebab itu, suku Aus dan Khazraj terus berusaha
mencari tokoh yang diharapkan. Berikut ini bukti langkah-langkah Rasulullah dalam
memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, serta menegaskan bahwa Rasulullah
adalah kepala sebuah masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai negara. Beberapa
bukti bisa disebut, diantaranya:
Baiat Aqabah Pada tahun ke-11 kenabian, enam orang dari suku Khazraj bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW di Aqabah, Mina. Pertemuan tersebut adalah pertemuan
dua aspirasi. Di satu sisi, Nabi Muhammad SAW berharap Yatsrib dapat menjadi
tempat tegaknya masyarakat yang berdasarkan Islam dan di sisi lain, masyarakat Arab
Yatsrib melihat Nabi SAW sebagai individu yang diharapkan dapat menegakkan cita-
cita keamanan, kedamaian, dan keadilan di Yatsrib. Hasil dari pertemuan itu, mereka
semua masuk Islam. Dan, mereka berjanji akan mengajak penduduk Yatsrib untuk
masuk Islam pula. Pada tahun berikutnya, 12 orang delegasi Yatsrib menemui Nabi
SAW di tempat yang sama, Aqabah. Mereka terdiri atas sembilan orang suku Khazraj
dan tiga orang suku Aus. Selain masuk Islam, mereka bersumpah di hadapan Nabi
SAW. Perjanjian ini dikenal dengan Baiat Aqabah pertama. Dalam perjanjian itu,
disebutkan bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah SWT, tidak akan mencuri,
tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak keturunan, tidak akan menyebar fitnah,
dan tidak akan mengabaikan kebenaran. Kemudian, pada tahun berikutnya, orang-orang
Yatsrib ini kembali menemui Nabi SAW di Aqabah. Namun, kali ini mereka datang
dalam jumlah besar, yakni sebanyak 74 orang, terdiri atas 71 orang laki-laki dan dua
orang perempuan. Dalam rombongan besar ini terdapat semua orang yang telah
menemui Nabi SAW pada dua gelombang sebelumnya. Dalam kesempatan ini,
terjadilah perjanjian antara mereka dan Nabi, yang dikenal dengan Baiat Aqabah kedua.
Kedua baiat ini, menurut Munawwir Sadjali dalam bukunya Islam dan Tata Negara,
merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Baiat tersebut merupakan janji setia
beberapa penduduk Yatsrib kepada Rasulullah SAW, yang merupakan bukti pengakuan
atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul. Sebab, pengakuan
sebagai Rasulullah tidak melalui baiat melainkan melalui syahadat. Dengan dua baiat
ini, Rasulullah SAW telah memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam
tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar baiat ini pula, Rasulullah
SAW meminta para sahabat untuk hijrah ke Yatsrib. Dan, beberapa waktu kemudian
Rasulullah SAW sendiri ikut hijrah dan bergabung dengan mereka di Yatsrib.
Piagam Madinah Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah SAW hijrah
ke Yatsrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di kota ini, Rasulullah SAW
segera meletakkan dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat
baru di bawah pimpinan beliau. Masyarakat baru ini merupakan masyarakat majemuk,
yang terdiri atas tiga golongan penduduk. Pertama, kaum Muslimin yang terdiri atas
kaum Muhajirin dan Ansar ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin,
yaitu orang-orang suku Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam, kelompok ini
minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri atas tiga kelompok. Satu kelompok tinggal
di dalam kota Madinah, yaitu Bani Qainuqa. Dua kelompok lainnya tinggal di luar kota
Madinah, yaitu Bani Nadir dan Bani Quraizah. Setelah sekitar dua tahun berhijrah,
Rasulullah SAW mengumumkan tentang peraturan dan hubungan antarkomunitas di
Madinah. Pengumuman ini dikenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam ini
merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam
dan hubungannya dengan umat yang lain. Piagam inilah yang dianggap sebagai
konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah ini adalah konstitusi negara
yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam. Sebagai kepala negara,
Rasulullah menyadari akan arti pengembangan sumber daya manusia melalui
penanaman akidah dan ketaatan kepada syariat Islam. Beliau membangun masjid yang
dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan, Rasulullah
SAW melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang
pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan, beliau mengangkat beberapa sahabat untuk
menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat
berjalan dengan baik. Rasul SAW mengangkat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin
Khattab sebagai wazir (menteri). Juga, mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai
pemimpin di sejumlah wilayah kekuasaan Islam, di antaranya Muaz bin Jabal sebagai
gubernur di Yaman. Selain itu, sebagai kepala negara, Rasulullah SAW juga
melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari dalam
bukunya Negara Hukum, Rasulullah SAW mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada
kepala negara lain, di antaranya kepada Almuqauqis raja negeri Mesir, Kisra penguasa
Persia, dan Kaisar Heraklius penguasa Romawi. Dalam surat yang dikirim tersebut,
Nabi mengajak mereka masuk Islam. Sehingga, bisa dikatakan politik luar negeri negara
Islam Madinah saat itu adalah dakwah semata. Bila mereka tidak bersedia masuk Islam,
diminta untuk tunduk dan bila tidak mau juga, barulah negara tersebut diperangi.
Hubungan Rakyat dan Negara Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara
rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur
kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat
Islam secara keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat
dan negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis bila keduanya memiliki kesamaan
pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam,
1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam,
kedua tolok ukur perbuatan (miqyas al ‘amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga
makna kebahagiaan (ma’na sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah.
Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam
serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan. Adapun peran rakyat dalam negara
Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah
pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa
pengawasan orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam,
kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan
negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun
intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan
dunia. Di sinilah potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al
Muslimin).
Aspirasi Rakyat Dalam persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’ na wa
atha’na. Persis sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib melaksanakan apa
saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam masalah ini Kepala
Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan
musyawarah, atau bila hukumnya sudah jelas maka tinggal melaksanakannya saja.
Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’ untuk mengetahui hukum syara’ atas
berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka
juga agar seluruh rakyat taat kepada syariat, dan negara melaksanakan kewajiban
syara’nya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak apabila terjadi penyimpangan.
Di luar masalah tasyri’, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah
kada Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang
benar karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang
dihadapi. Dan para sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada
Rasulullah, setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah
atau pendapat Rasul sendiri.
Penegakkan Hukum Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim
di luar perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak ada
grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara’ yang harus
dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun
B. PEMERINTAHAN DI MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Proses perpindahan tangan kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Negara Madinah dari
mendiang Rasulullah ke tangan para khalifah penggantinya terbagi menjadi dua periode yaitu
masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, dimana pemilihan kedua
khalifah ini berjalan lancar melalui jalur musyawarah, sedang periode kedua kendati juga
melalui proses pemilihan demokratis namun, dikotori dengan pertempuran dua kubu antara
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dan hal itulah yang nantinya menjadi bumbu
terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin.
Khilafah Rasyidin merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu ‘Anhu dimana sistem
pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-
undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
a. Abu Bakar Ash-Shiddiq
Ketika Rasulullah wafat, sebagian kalangan muslim Anshar dan beberapa orang
dari pihak Muhajirin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah. Sempat terjadi
perselisihan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dan akhirnya, terpilihlah Abu Bakar
Ash-Siddiq sebagai Khalifah pertama.
Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634
M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam
negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau
tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu. Karena sikap keras kepala
dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu
Bakar Radhiallahu ‘Anhu menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang
Riddah (perang melawan kemurtadan). Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah
Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan
khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum
yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu selalu
mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah sebelum mengambil keputusan mengenai
sesuatu yang berfungsi sebagai lembaga legislatif pemerintahannya.
Khalifah Abu Bakar membentuk beberapa pasukan, dari segi tata negara,
menunjukkan bahwa ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara Islam hal ini
seperti juga berlaku di zaman modern ini di mana seorang kepala negara atau presiden
juga sekaligus sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata.Adapun urusan
pemerintahan diluar kota madinah, khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan
hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi, dan setiap propinsi aa menugaskan
seorang amir atau wali (semacam jabatan gubernur).
Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang pranata sosial ekonomi
adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat untuk kemaslahatan rakyat
ini ia mengolah zakat, infak, sadaqoh yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta
rampasan perang dan jizyah dari warga Negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan
baitul mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan Negara ini di
bagikan untuk kesejahteraan tentara, bagi para pegawai Negara dan kepada rakyat yang
berhak menerima sesuai ketentuan Al-Qur’an.
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu meninggal dunia. Ia diganti oleh "tangan
kanan" nya, Umar ibn Khatthab Al-Faruq Radhiallahu ‘Anhu. Ketika Abu Bakar
Radhiallahu ‘Anhu sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para
pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu sebagai
penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan
perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu
tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membai’at Umar
Radhiallahu‘anhu .
b. Umar Bin Khattab
Sebagai mana Abu Bakar, Umar bin khattab pun di bai’at dihadapan umat
muslimin, bagian dari pidatonya adalah:
“Aku telah dipilih jadi khalifah kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang
terbaik diantara kamu dan lebih kuat diantara kamu dan juga lebih mampu memikul
urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama seperti
beliau, andaikata aku tahu ada orang yang lebih kuat daripada aku untuk memikul jabatan
ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan
ini”.
Sebagai seorang negarawan yang patut diteladani, ia telah menggariskan:
Persyaratan bagi calon negara.
Menetapkan dasar-dasar pengelolaan negara.
Mendorong para pejabat negara agar benar-benar meperhatikan kemaslahatan rakyat
dan melindungi hak-haknya karena mereka adalah pengabdi rakyat dan bagian dari
rakyat itu sendiri.
Pejabat yang dipegang seseorang adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan
kepada tuhan dan rakyat
Mendidik rakyat supaya berani memberi nasihat dan kritik kepada pemerintah,
pemerintah juga harus berani menerima kritik dari siapapun sekalipun menyakitkan
karena pemerintah lahir dari rakyat dan untuk rakyat.
Khalifah Umar telah meletakkan dasar-dasar pengadilan dalam Islam.
Ia selalu mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh ansar dan Muhajirin,
dengan rakyat dan dengan para administrator pemerintahan untuk memecahkan masalah-
masalah umum dan kenegaraan, ia tidak bertindak sewenang-wenang dan memutuskan
suatu urusan tanpa mengikutsertakan warga umat.
Pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘Anhu, wilayah kekuasaan Islam
sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘Anhu segera mengatur
administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria,
Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu
didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak
tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan
lembaga eksekutif.
Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khattab dalam
kedudukannya sebagai kepala Negara, untuk menunjung kelancaran administrasi dan
operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan,
diantaranya diwana al-kharaj (jawatan pajak), diwana al-ahdats (jawatan kepolisian),
nazarat al-nafi’at (jawatan pekerjaan umum), diwana al-jund (jawatan militer), dan baitul
al-mal (baitul mal).
Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah selama 10 tahun (13-23 H / 634-644 M).
Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang majusi, budak dari
Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar Radhiallahu ‘Anhu
tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu. Dia menunjuk
enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang
diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair,
Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf Radhiallahu ‘Anhu. Setelah Umar
Radhiallahu ‘anhu wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman
Radhiallahu ‘Anhu sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
c. Usman Bin Affan
Setelah Usman bin Affan dilantik menjadi khlifah ketiga negara Madinah, ia
menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra
pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan.
Dalam pidato itu Usman mengingatkan beberapa hal yang penting:
Agar umat Islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian.
Agar umat Islam tidak terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan.
Agar umat Islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu.,
Sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Quran dan sunnah rasul.
Di samping meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan membuat hal
baru yag akan membawa kepada kebajikan.,
Umat Islam boleh mengkritiknya bila ia menyimpang dari ketentuan hokum.
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, Khalifah Usman
mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi pada
masanya kekuasaan wilayah Madina dibagi menjadi 10 propinsi. Sedangkan kekuasaan
legislative dipegang oleh dewan penasehat syura, tempat khalifah mengadakan
musyawarah dengan para sahabat terkemuka.
Pemerintahan Usman Radhiallahu ‘Anhu berlangsung selama 12 tahun, pada
paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan
umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman Radhiallahu ‘Anhu memang sangat
berbeda dengan kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘Anhu. Ini karena fitnah dan hasutan
dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang Yahudi yang berpura-pura masuk
Islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk
menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya
pada tahun 35 H/1655 M, Utsman Radhiallahu ‘Anhu dibunuh oleh kaum pemberontak
yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ .
Pada hal Utsman Radhiallahu ‘Anhu yang paling berjasa membangun bendungan
untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga
membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi
di Madinah.
d. Ali Bin Abi Thalib
Umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Usman, membai’at Ali bin
Abi Thalib sebagai Khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus
pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya, ia di bai’at di tengah-tengah kematian
Usman, pertentangan, kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah, sebab kaum
pemberontak yang membunuh Usman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi
khalifah.
Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat islam:
Tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan sunnah Rasul.
Taat dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada negara dan sesama manusia.
Saling memelihara kehormatan di antara sesama muslim dan umat lain.
Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum.
Taat serta patuh kepada pemerintah.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘Anhu
tidak mau menghukum para pembunuh Usman Radhiallahu ‘Anhu , dan mereka
menuntut bela terhadap darah Usman Radhiallahu ‘Anhu yang telah ditumpahkan secara
zhalim. Ali Radhiallahu ‘Anhu sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia
mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu ‘Anhu Ajma’in agar keduanya
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut
ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan
nama Perang Jamal (Unta), Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu
‘Anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena
pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Usman, namun Ali
menyatakan ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan
mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Ia
membenahi dan menyusun arsip negara untuk mengamankan dan menyelamatkan
dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah serta mengordinir polisi dan
menetapkan tugas-tugas mereka.
Di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu umat Islam
terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah, dan al-Khawarij. Pada
tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang
anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Harus diakui ada beberapa kasus dan peristiwa pada masa Khalifah Usman dan
Ali yang tidak menyenangka, tapi perlu dicatat secara umum mengenai beberapa hal yang
dicontohkan oleh khulafa Al-Rasyidin dalam memimpin negara Madinah. Pertama,
mengenai pengangkatan empat orang sahabat Nabi terkemuka itu menjadi Khalifah
dipilih dan di angkat dengan cara yang berbeda.1) Pemilihan bebas dan terbuka melalui
forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Karena Rasulullah SAW tidak
pernah menunjuk calon penggantinya. Cara ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu
Bakar dibalai pertemuan TsaqifahBani Syaidah. 2) Pemilihan dengan cara pencalonan
atau penunjukan oleh khalifah sebelumnya dengan terlebih dahulu mengadakan
konsultasi dengan para sahabat terkemuka dan kemudian memberitahukan kepada umat
Islam, dan mereka menyetujuinya. Penunjukan itu tidak ada hubungan keluarga antara
khalifah yang mencalonkan dan calon yang di tunjuk. Cara ini terjadi pada penunjukan
Umar oleh khalifah Abu Bakar. 3) Pemilihan team atau Majelis Syura yang di bentuk
khalifah. Anggota team bertugas memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah.
Cara ini terjadi pada Usman melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar
yang beranggotakan enam orang. 4) Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi
yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang membunuh
Usman. Cara ini terjadi pada Ali yang dipilih oleh kaum pemberontak dan umat Islam
Madinah. Kedua, Pemerintahan Khulafaur Rasyidin tidak mempunyai konstitusi yang
dibuat secara khusus sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
Undang-undang nya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul ditambah dengan hasil ijtihad
khalifah dan keputusan Majelis Syura dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul yang tidak ada penjelasannya dalam nash syariat. Ketiga, Pemerintahan Khulafaur
Rasyidin juga tidak mempunyai ketentuan mengenai masa jabatan bagi setiap khalifah.
Mereka tetap memegang jabatan itu selama berpegang kepada syariat
Islam. Keempat, dalam penyelenggaraan pemerintahan negara Madinah Khulafaur
Rasyidin telah melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip persamaan bagi semua lapisan
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, prinsip kebebasan berpendapat, prinsip
keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Kelima, dasar dan pedoman penyelenggaraan
pemerintahan negara Madinah adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, hasil ijtihad
penguasa, dan hasil keputusan Majelis Syura. Karenanya corak negara Madinah pada
periode Khulafaur Rasyidin tidak jauh berbeda daripada zaman Rasulullah.
C. PEMERINTAHAN DI MASA DINASTI UMMAYAH
Kedudukan sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Al-Hasan bin Ali
Radhiallahu ‘Anhuma selama beberapa bulan. Namun, karena Al-Hasan Radhiallahu
‘Anhuma menginginkan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, maka Al-Hasan
Radhiallahu ‘Anhuma menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiallahu
‘Anhu . Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali
dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhu .
Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama'ah
('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafaur
Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah. Ketika itu wilayah kekuasaan Islam
sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari merupakan kemenangan
menakjubkan.
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti
ini tetap memakai gelar khalifah. Pengelolaan administrasi pemerintahan dan stuktur
pemerintahan dinasti umayah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur
Rasyidin yang diciptakan oleh khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu dibagi
menjadi beberapa propinsi.setiap propinsi dikepalai oleh seorang gubernur. Ditingkat
pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan depatemen, Al-Kitab, Al-Hajib dan
diwan atau departemen. Lembaga lain adalah dibidang pelaksanaan hukum.
D. PEMERINTAHAN DIMASA ABBASIYAH
Pemerintahan Dauluh Abbasiyah dapat dibagi menjadi 5 periode berdasarkan perubahan
pola pemerintahan dan politik, yaitu :
Periode Pertama (132 H - 232 H / 750 M - 847 M), disebut periode
pengaruh Arab dan Persia pertama.
Periode Kedua (232 H - 334 H / 847 M - 945 M), disebut periode
pengaruh Turki pertama.
Periode Ketiga (334 H - 447 H / 945 M - 1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
Periode Keempat (447 H - 590 H / 1055 M - l194 M), masa kekuasaanDaulah Bani
Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra /
Seljuk agung).
Periode Kelima (590 H - 656 H / 1194 M - 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdaddan diakhiri oleh
invasi dari bangsa Mongol.
Dasar – dasar pemerintahan daulah abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al
Abbas dan Abu Ja’far Al Manshur. Dan puncak kejayaan atau keemasan dari dinasti ini
adalah tujuh khalifah, yakni :Al Mahdi, Al Hadi, Ar Rasyid, Al Ma’mun, Al Mutasim, Al
Watsiq, Al Muttawakkil. Sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah yang berkuasa lebih dari
lima abad, dapat di ringkas menjadi 2 periode, yakni :
1. Periode I ( 750 – 945 M)
Yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai Al Mustakfi. Perkembangan diberbagai
bidang menunjukkan grafik vertical, stabil dan dinamis.
2. Periode II ( 945 – 1258 M )
Yaitu pada masa pemerintahan Al Muthi’ sampai Al Mu’tasin. Pada periode ini
kejayaan Daulah Abbasiyah mengalami kemerosotan sampai datangnya pasukan Tartar
yang berhasil menghancurkan Daulah Abbasiyah.
Pada masa Abbasiyah konsep kekhalifahan ( pemerintahan) berkembang sebagai sistem
politik. Pola pemerintahan yang di terapkan berbeda – beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya.Khalifah Daualah Abbasiyah dalam menjalankan
pemerintahannya dibantu oleh wazir ( perdana menteri) yang jabatannya disebut wizaraat.
Wizarat dibagi menjadi 2 yaitu :
Wizarat tafwid yang memiliki otoritas penuh dan terbatas. Wizaraat ini memiliki
kedaulatan penuh, kecuali menunjuk penggantinya.
Wizaraat tanfidz, memiliki kekuasaan eksekutif saja. Wizaraat ini tidak memiliki
inisiatif selain melaksanakan pemerintahan khalifah dan mengikuti aarahnya.
Model pemerintahan Abbasiyah dapat dikatakan asimilasi dari berbagai unsur, tarlihat
dari periodesasi perintahan Abbasiyah. ciri – ciri Daulah Abbasiyah:
Dengan berpindahnya ibukota ke Bagdad, pemerintahan Abbasiyah menjadi jauh dari
pengaruh Arab. Sedangkan Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam
periode pertama dan ketiga, pemerintahan Abbasiyah mendapat pengaruh yang sangat
kuat dari kebudayaan Persia, sedangkan pada periode kedua dan keempat, bangsa turki
sangat dominan dalam bidang politik dan pemerintahan dinasti ini.
Dalam penyelengaraan Negara, pada masa Bani Abbas terdapat jabatan waziryang
membawahi kepala – kepala departemen. Sedangkan jabatan ini tidak terdapat pada
masa Bani Umayyah.
Ketentaraan professional baru terbentuk pada masa Bani Abbas, sebelumnya belum
tidak ada tentara khusus yang professional.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas membentuk lembaga protokol Negara, sekretariat
Negara, dan kepolisian Negara disamping membenahi angkatan bersejata, lembaga
kehakiman Negara, dan memperbaiki jawatan pos yang sudah ada sejak jaman Bani
Umayyah.
(2)
Menurut saya ketatanegaraan pada masa rasulullah dengan masa sekarang itu saling
keterkaitan secara erat tidak terpisahkan. Ditinjau dari pengertiannya agama adalah
wewenang pemangku syariah yaitu nabi Muhammad melalui wahyu dari Tuhan. Sedangkan
politik adalah wewenang kemanusiaan, sepanjang menyangkut masalah teknis structural dan
procedural. Dalam hal ini ketatanegaraan pada masa rasulullah dan masa skarang mempunyai
tujuan yang sama dibidang politik. Dalam hal ini peran ijtihad manusia sangat besar. Persamaan
dan perbedaan ketatanegaraan pada masa nabi dan masa skarang yaitu :
Persamaan
Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun
sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem
demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari
kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada
alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari
Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya
dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif
yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh
didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka
pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu
pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus
memahami Islam secara komprehensif.
Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas
persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi
keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas
mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.
Perbedaan
Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah,
iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain,
demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi
fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya.
Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa
pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna
kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat
manusiawi dan bersifat internasional
tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah
tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk
kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang
ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi
Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan
spiritual yang lebih utama dan fundamental.
kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi,
rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau
kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat
dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi
batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi.
(3)
Tidak relevan, karena mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun,
termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia
pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial,
politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau
pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang
perang saudara antar anak bangsa. Dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan
maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan menurut syara’,
mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus
ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama’ah
menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena itu,
menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapat sedikit
kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kebaikan untuk menghindari
mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.Jadi, sistem
pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem
untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan
syar’i dari pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang mengancam
keselamatan jiwa dan harta umat.