i
i
SINONIM NOMINA DAN ADJEKTIVA
DIALEK BANYUMASAN
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Nama : Erika Rahmatika
NIM : 2601409066
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Jurusan : Bahasa dan Sastra Jawa
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
ii
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Sinonim Nomina dan Adjektiva Dialek Banyumasan”
ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi.
Hari : Kamis
Tanggal : 1 Agustus 2013
Semarang, Juli 2013
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Widodo, M.Pd. Prembayun Miji L, S.S., M.Hum.
NIP 196411091994021001 NIP 197909252008122001
iii
iii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi yang berjudul “Sinonim Nomina dan Adjektiva Dalam Dialek
Banyumasan” ini telah dipertahankan di hadapan panitia ujian skripsi Jurusan
Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
pada:
Hari :
Tanggal :
Panitia Ujian Skripsi
Ketua, Sekretaris,
Dr.Abdurrachman Faridi, M.Pd Yusro Edi Nugroho ,S.S.,M.Hum
NIP 19780502208012025 NIP 196512251994021001
Penguji I,
Ermi Dyah Kurnia, S.S., M.Hum.
NIP 197805022008012025
Penguji II, Penguji III,
Prembayun Miji L, S.S., M.Hum. Drs. Widodo, M.Pd.
NIP 197909252008122001 NIP 196411091994021001
iv
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini dengan judul
“Sinonim Nomina dan Adjektiva Dalam Dialek Banyumasan” benar-benar hasil
karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain sebagian maupun
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Juli 2013
Erika Rahmatika
NIM 2601409066
v
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
1) Sebaik-baik rencana kita jauh lebih indah rencana Alloh. (Erika
Rahmatika)
2) Berdirilah di atas kakimu sendiri. (Alm. Bapak Sumaedi)
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Almamaterku Jurusan Bahasa dan
Sastra Jawa Unnes.
2. Alm. Bapak Sumaedi, Ibu Sri
Suwarni, dan seluruh keluarga
besarku yang selalu memberikan doa
semangat dan dukungannya.
3. Ustad Teguh Santoso Fathurrahman
yang selalu memberikan dorongan
dan semangatnya.
4. Teman-teman seperjuangan Bahasa
Jawa Unnes 2009.
vi
vi
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas karunia, hidayah dan lindungan-Nya
sehingga penulis masih diberi kekuatan dan petunjuk untuk menyelesaikan skripsi
dengan judul Sinonim Nomina Dan Adjektiva Bahasa Jawa Dialek Banyumasan.
Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, dan fasilitas yang
diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Drs. Widodo, M.Pd selaku dosen pembimbing I, dan Prembayun Miji
Lestari S.S., M.Hum., selaku dosen pembimbing II dengan penuh
kesabaran, perhatian dan ketulusan dalam memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa yang telah
memberikan bekal ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.
3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang yang
telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk menyusun skripsi.
4. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang telah
memberikan kebijakan kepada penulis selama kuliah.
5. Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyusun skripsi.
6. Keluargaku yang telah memberikan segenap doa, dukungan moril maupun
materiil selama kuliah sampai terselesaikannya skripsi ini.
vii
vii
7. Teman-teman angkatan 2009 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
yang selalu memberikan semangat dan kebersamaan kalian akan kuingat
sampai kapanpun.
8. Sahabat-sahabatku khususnya Mba Lela, Rila, Aufrina, Tina dan Vita dan
sahabatku yang lain yang tidak dapat disebutkan satupersatu terimakasih
atas motivasinya.
9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama
penyusunan skripsi ini.
Semoga semua bantuan dan doa dari semua pihak yang telah membantu
kelancaran penyusunan skripsi ini mendapat karunia dan kemuliaan dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Semarang, Juli 2013
Penulis
viii
viii
ABSTRAK
Rahmatika, Erika. 2013. Sinonim Nomina dan Adjektiva dalam Dialek
Banyumasan. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Semarang, Pembimbing I: Drs. Widodo, M.Pd., Pembimbing II:
Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum.
Kata kunci: Sinonim, Nomina, Adjektiva, Dialek Banyumasan.
Sinonim merupakan persamaan kata, satu kata mempunyai banyak nama.
Dialek Banyumasan merupakan dialek yang unik dan berbeda dari dialek lain
pada umumnya. Keunikan tersebut terletak pada kosakatanya di mana satu kata
mempunyai banyak nama. Kata tersebut meliputi kata benda dan kata sifat.
Kekayaan kosakata tersebut membuat dialek Banyumasan menarik untuk diteliti.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah apa saja wujud dan
faktor penyebab sinonim yang terdapat dalam dialek Banyumasan? Tujuan
penelitian yang hendak dicapai adalah mendeskripsikan wujud dan faktor
penyebab sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teoretis dan metodologis. Secara
teoretis, menggunakan pendekatan semantik dan secara metodologis
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa
tuturan masyarakat desa Sirau yang diduga mengandung sinonim baik nomina
maupun adjektiva. Pengumpulan datanya menggunakan metode simak, rekam dan
catat sedangkan teknik dasarnya menggunakan teknik sadap, simak libat cakap
dan simak bebas libat cakap. Data dianalisis menggunakan metode padan.
Dari hasil analisis adalah pengklasifikasian wujud dan faktor penyebab
sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan. Wujud sinonim
meliputi leksem dengan leksem, leksem tunggal dengan leksem majemuk, leksem
tunggal dengan frasa, leksem majemuk dengan leksem tunggal dan frasa dengan
frasa. Faktor penyebab yang ditemukan adalah adalah waktu, wilayah, penutur
dan sosial, nuansa makna dan bidang pemakaian atau kegiatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang ingin
disampaikan diantaranya: penggunaan kata bersinonim terutama kata sifat yang
merujuk pada makna negatif sebaiknya lebih diperhatikan dalam pemakaiannya.
Penelitian ini bisa ditindaklanjuti dengan penelitian selanjutnya mengenai
homonim dan homograf dalam dialek Banyumasan.
ix
ix
SARI
Rahmatika, Erika. 2013. Sinonim Nomina dan Adjektiva dalam Dialek
Banyumasan. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Semarang, Pembimbing I: Drs. Widodo, M.Pd, Pembimbing II:
Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum.
Tembung wigati: Sinonim, Nomina, Adjektiva, Dialek Banyumasan.
Sinonim yaiku siji tembung kang nduweni aran kang akeh. Dialek
Banyumasan yaiku salah sijine dialek kang unik kang nduweni lan sejen karo
dialek liyane. Unike dialek iki manggon ing tembung-tembunge. Tembung kuwi
kalebu tembung nomina lan tembung adjektiva. Akehe tembung-tembung iku
nggawe dialek Banyumasan duwe daya kanggo diteliti.
Babagan kang arep dirembug ing sajroning panaliten yaiku wujud lan faktor
penyebab apa wae sinonim nomina lan adjektiva dialek Banyumasan.
Pendekatan panaliten nggunakake pendekatan loro yaiku teoretis lan
metodologis. Pendekatan teoretis digunakake pendekatan semantik lan
dialektologi. Ewadene pendekatan kanthi metodologis digunakake pendekatan
deskriptif kualitatif. Data ing panaliten iki arupa gunemane masyarakat desa Sirau
kang nganggo dialek Banyumasan lan kang diduga ngandhut sinonim.
Ngumpulake data ing panaliten iki nggunakake metode simak, rekam, lan catat.
Ewadene teknike nggunakake teknik sadap, simak libat cakap, simak bebas libat
cakap. Data dianalisis kanthi nggunakake metode padan.
Asile panaliten yaiku wujud sinonim nomina lan adjektiva leksem lan
leksem, leksem tunggal lan leksem majemuk, leksem tunggal lan frasa, leksem
majemuk lan leksem tunggal, frasa lan frasa. Faktor kang nyebabake sinonim
yaiku wektu, panggonan utawa wilayah, penutur lan sosial, nuansa makna, lan
bidang kegiatan utawa pemakaian.
Gegayutan karo asile panaliten iki kaajab luwih digatekake nalika ngganggo
tembung-tembung sifat kang nduweni arti kurang becik lan panaliten iki bisa
dibacutake karo panaliten selanjute yaiku babagan homonim lan homograf dialek
Banyumasan.
x
x
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................... i
PERSETUJUANPEMBIMBING ............................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................. iii
PERNYATAAN ............................................................................................iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
PRAKATA .................................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................. viii
SARI .............................................................................................................ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS .................... 6
2.1 Kajian Pustaka ................................................................................. 6
2.2 Landasan Teori ................................................................................ 9
2.2.1 Sinonim ......................................................................................... 9
2.2.1.1 Pengertian Sinonim .................................................................... 9
2.2.1.2 Wujud Sinonim ........................................................................ 11
2.2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Sinonim ............................................. 11
2.2.2 Nomina ....................................................................................... 13
xi
xi
2.2.3 Adjektiva .................................................................................... 14
2.2.4 Dialek ......................................................................................... 15
2.2.4.1 Pengertian Dialek ..................................................................... 15
2.2.4.2 Dialek Banyumasan .................................................................. 16
2.2.4.2.1 Pemakaian Dialek Banyumasan .............................................. 16
2.2.4.2.2 Ucapan Dialek Banyumasan .................................................. 17
2.2.4.2.3 Sistem Tata Kalimat Dialek Banyumasan .............................. 18
2.2.4.2.4 Daftar Kata Dialek Banyumasan ............................................ 18
2.3 Kerangka Berpikir .......................................................................... 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 21
3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................... 21
3.2 Data dan Sumber Data .................................................................... 22
3.3 Lokasi Penelitian ............................................................................. 22
3.4 Metode Pemerolehan Data ............................................................. 22
3.5 Metode Analisis Data ..................................................................... 24
3.6 Metode Pemaparan Hasil Analisis Data ........................................... 25
BAB IV ANALISIS WUJUD DAN FAKTOR PENYEBAB SINONIM
NOMINA DAN ADJEKTIVA BAHASA JAWA DIALEK BANYUMASAN
..................................................................................................................... 26
4.1 Wujud Sinonim Nomina dan Adjektiva Dialek Banyumasan .......... 26
4.1.1 Leksem dengan leksem ................................................................ 26
4.1.2 Leksem tunggal dengan leksem majemuk ..................................... 31
4.1.3 leksem tunggal dengan frasa ........................................................ 33
4.1.4 leksem majemuk dengan leksem tunggal ..................................... 35
xii
xii
4.1.5 Frasa dengan frasa ....................................................................... 37
4.2 FAKTOR PENYEBAB SINONIM .............................................. 39
4.2.1 Faktor Waktu .............................................................................. 40
4.2.2 Faktor Wilayah ............................................................................ 41
4.2.3 Faktor Penutur dan Sosial ............................................................ 43
4.2.4 Faktor Nuansa Makna ................................................................. 44
4.2.5 Faktor Bidang Kegiatan/Pemakaian ............................................. 46
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 47
5.1 Simpulan ........................................................................................ 47
5.2 Saran .............................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dialek Banyumasan atau yang sering disebut dengan dialek ngapak-ngapak
merupakan salah satu dialek yang ada di Jawa Tengah. Penuturnya adalah
masyarakat eks Karesidenan Banyumas yang meliputi empat kabupaten
diantaranya Kabupaten Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.
Selain empat kabupaten itu, dialek ini juga dipakai oleh sebagian kecil daerah di
Kabupaten Kebumen seperti Gombong dan Karanganyar.
Berbeda dengan dialek lain pada umumnya, seperti dialek Solo-Yogja,
Tegal, Pekalongan maupun dialek lainnya, dialek Banyumasan mempunyai ciri
yang sangat menonjol dalam pengucapan, intonasi, dan kosakata. Pengucapan
atau pelafalan dalam dialek Banyumasan hampir mirip dengan dialek Tegal.
Bedanya, terdapat pada intonasi dalam pengucapannya. Dialek Tegal intonasi
pengucapannya lebih panjang di setiap akhir kalimat dan dialek Banyumasan
terlihat lebih tegas. Misalnya, pada kalimat “tes kang endi?” [tәs kaŋ әndi] „habis
dari mana?‟ huruf terakhir yaitu i jika dalam dialek Banyumasan dalam pelafalan
diberi penekanan, sedangkan dalam dialek Tegal pelafalan huruf i diperpanjang.
Ciri yang kedua adalah intonasi. Intonasi merupakan tinggi rendahnya nada
dalam suatu pengucapan atau pelafalan. Penutur dialek Banyumasan dalam
intonasi bicara mereka terlihat lepas, tegas, dan mantap. Mereka juga terdengar
cepat dalam berbicara. Hal ini dapat dilihat ketika para penutur dialek
2
Banyumasan sedang bercakap-cakap atau berbincang-bincang. Orang-orang selain
penutur dialek Banyumasan mungkin akan heran dan terkejut jika melihat atau
mendengar percakapan para penutur dialek Banyumasan yang terlihat seperti
orang yang sedang bertengkar. Berbeda dengan dialek lain seperti Solo-Yogja
yang para penuturnya ketika berbicara terdengar intonasi yang pelan dan lembut.
Kebanyakan orang-orang menganggap para penutur dialek Banyumasan kalau
bicara ceplas-ceplos.
Ciri lainnya adalah kosakata. Kosakata dalam dialek ini mempunyai banyak
variasi, berbeda dan jarang ditemui pada dialek lain. Kosa kata dalam dialek
Banyumasan diduga banyak yang bersinonim. Hal ini dapat ditemui dalam
penelitian sementara ditemui tuturan sebagai berikut.
1. Konteks : Seorang nenek berkata kepada cucunya ketika sedang di ruang
tamu.
Sunarti : “Manut kalih Mbah kakung.”
[manut kalɪh mbah kakʊŋ]
„Menurut sama kakek.‟
Dalam tuturan tersebut diduga mengandung sinonim yaitu pada kata Mbah
kakung yang dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama dengan kakek.
Mbah kakung mempunyai makna orang tua laki-laki dari bapak atau ibu. Dalam
dialek Banyumasan dalam menyebut kakek juga menggunakan istilah kaki dan
eyang. Kata Mbah kakung termasuk nomina yang menunjukkan nama
kekerabatan. Mbah kakung bersinonim dengan kaki merupakan merupakan wujud
sinonim frasa dengan leksem tunggal. Kesinoniman tersebut disebabkan karena
faktor waktu. Penggunaan istilah kaki banyak digunakan pada jaman dulu dan
3
kebanyakan orang-orang desa. Sedangkan istilah Mbah Kakung banyak digunakan
pada jaman sekarang, begitu pula dengan eyang kakung. Selain itu tuturan juga
terjadi pada seorang ibu yang sedang membicarakan sifat anaknya.
2. Konteks: Seorang ibu sedang membicarakan sifat anaknya.
Ibu : “Gemagus temen sih lah.”
[gәmagus tәmәn sih lah]
„Banyak tingkah ya.‟
Dalam tuturan di atas diduga mengandung sinonim yaitu pada kata
Gemagus [gәmagus] mempunyai makna sifat yang blagu, banyak tingkah.
Sinonim dari gemagus [gәmagus] di desa Sirau adalah kemaki [kәmaki],
kemlithak [kәmliṭa?], gembeleng [gәmbԑlԑŋ]. Gemagus [gәmagus] dengan kemaki
[kәmaki] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem, gemagus [gәmagus]
dengan kemlithak [kәmliṭa?] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem,
dan gemagus [gәmagus] dengan gembeleng [gәmbԑlԑŋ] merupakan wujud sinonim
leksem dengan leksem. Semua kata sinonim dari Gemagus [gәmagus] mempunyai
tingkatan nilai rasa yang berbeda. Contoh lain terlihat juga pada tuturan berikut:
3. Konteks: Sedang bercerita pengalaman ketika pergi ke Jogja naik bus.
P1 :”Bali aku terus tuku setriwel, ngontal antimo men ora mumet.”
[bali aku tәrus tuku sәtriwәl, ŋɔntal antimo mԑn ɔra mumәt]
„Pulang, saya terus membeli kaos kaki, minum antimo supaya tidak
pusing.‟
4
Dalam tuturan di atas diduga mengandung sinonim pada kata setriwel
[sәtriwәl]. Kata setriwel [sәtriwәl] yang diucapakan oleh penutur mengandung
makna kaos kaki. Dalam dialek Banyumasan yang mengandung makna kaos kaki
juga terdapat pada kata kasut [kasut]. Kata kasut [kasut], setriwel [sәtriwәl]
merujuk pada nomina atau kata benda. Setriwel [sәtriwәl] bersinonim dengan
kasut [kasut] merupakan wujud sinonim leksem dengan leksem. Kesinoniman
tersebut terjadi karena faktor waktu dan penutur karena yang biasa menyebut
kasut [kasut] dan setriwel [sәtriwәl] adalah orang-orang jaman dulu dan yang
tergolong sepuh. Sekarang kata kasut [kasut] dan setriwel [sәtriwәl] sudah jarang
digunakan.
Berdasarkan hal tersebut peneliti melihat adanya dugaan sinonim dalam kata
benda ataupun kata sifat dalam tuturan penutur dialek Banyumasan. Adanya
fenomena tersebut secara kebahasaan menarik untuk diteliti. Berdasarkan uraian
tersebut, sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan yang dijadikan
sebagai topik penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dalam latar belakang, maka masalah dalam penelitian
ini :
1. bagaimanakah wujud sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dalam
dialek Banyumasan?
2. apa sajakah faktor-faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva bahasa
Jawa dalam dialek Banyumasan?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. mendeskripsikan wujud sinonim nomina dan adjektiva bahasa Jawa dalam
dialek Banyumasan.
2. mendeskripsikan faktor-faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva
bahasa Jawa dalam dialek Banyumasan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis
maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
referensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti lebih mendalam tentang dialek
Banyumasan terutama pada kajian semantik. Selain itu, penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pengembang ilmu pengetahuan kebahasaan tentang sinonim
nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan kajian untuk peneliti
selanjutnya yang akan meneliti tentang kajian semantik yang lain. Penelitian ini
juga bermanfaat untuk masyarakat Banyumas dan masyarakat luas agar
mengetahui adanya sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan
dengan kosa kata baru yang ditemukan di desa Sirau.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
2.2 Kajian Pustaka
Sinonim nomina dan adjektiva dalam dialek Banyumasan yang sangat
bervariasi sehingga menarik untuk diteliti. Penelitian ini mengacu pada penelitian
sebelumnya yaitu penelitian Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) dan Utami
(2010).
Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) melakukan penelitian tentang
kesinoniman nomina non insani dalam bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya
yang telah dibukukan sumber datanya menggunakan leksikon nomina non insani
yang terdapat dalam KBBI (2001). Hasil penelitian berupa nomina non insani
perlengkapan busana ikat pinggang, taksonomi alat penangkap ikan, taksonomi
penunjuk waktu, taksonomi alat angkut atau usung, taksonomi alat transportasi
darat yang ditarik hewan, taksonomi alat rumah tangga yang terbuat dari tanah
liat, taksonomi alat rumah tangga yang terbuat dari anyaman, taksonomi busana
laki-laki, bangunan atau tempat jual beli.
Persamaan penelitian ini dan penelitian Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih
(2007) adalah sama-sama mengkaji bidang semantik yaitu pada kajian sinonim
nomina. Perbedaan penelitian ini dengan Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih
(2007) terletak pada sumber datanya. Jika Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih
(2007) sumber datanya berupa leksikon nomina non insani yang terdapat dalam
KBBI (2001) sedangkan penelitian ini datanya berupa tuturan masyarakat.
6
7
Kelebihan penelitian Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) terletak
pada model analisisnya yang menggunakan analisis komponen makna, sedangkan
kekurangannya terletak pada kajiannya karena tidak semua kata yang termasuk
nomina dianalisis.
Utami (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Sinonim Nomina
dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian Utami memfokuskan kajian sinonim
nomina dalam Bahasa Indonesia. Dengan tujuan mengidentifikasi ciri pembeda
makna ruang lingkup pemakaian kata-kata yang termasuk sinonim nomina.
Penelitian Utami data primer yaitu kamus dan data sekunder yaitu informan serta
menggunakan metode padan, teknik hubung dan analisis komponen makna. Hasil
penelitian ini bahwa nomina dalam bahasa Indonesia bersinonim dekat dan
terdapat ciri semantik general. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa ciri
pembeda dan ada yang termasuk ke dalam anggota hiponim.
Persamaan penelitian ini dan penelitian Utami terletak pada objek kajiannya
yaitu sinonim nomina. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Utami terletak
pada datanya. Data Utami berupa nomina dalam bahasa Indonesia sedangkan data
dalam penelitian ini berupa nomina dan adjektiva dalam bahasa Jawa dialek
Banyumasan. Perbedaan lainnya adalah jika penelitian Utami hanya mengkaji
nomina, penelitian ini mengkaji nomina dan adjektiva. Kelebihan dalam
penelitian Utami terletak pada metode analisis yang dipakai. Penelitian ini
mengadopsi metode yang dipakai yaitu sistem padan. Kekurangan dalam
penelitian Utami terletak pada penyajian data yang belum dilengkapi dengan
penulisan fonetiknya.
8
2.2 Landasan Teoretis
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
2.2.1 Sinonimi
Pembicaraan mengenai sinonim tidak terlepas dari pengertian, wujud, serta
faktor penyebabnya.
2.2.1.1 Pengertian Sinonim
Sinonim merupakan padanan atau persamaan kata yang berada di bawah
kajian semantik leksikal. Sinonim berasal dari kata Yunani kuno onoma „nama‟
dan kata syn „dengan‟, jadi kurang lebih arti harfiahnya „nama lain untuk benda
yang sama‟ (Verhaar 1977:132). Hal ini dapat dibedakan menurut taraf dimana
terdapat, yakni: a) antar-kalimat, b) antar-kata, c) antar morfem. Pendapat itu juga
diungkapkan oleh Chaer (2009:83) dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia dan Pateda (2001:222-223) dalam bukunya yang
berjudul Semantik Leksikal.
Alwasilah (1993:164) mengatakan bahwa kata (leksim) yang berbeda
mempunyai arti yang sama. Disimpulkan juga bahwa tidak ada sinonim mutlak
yang ada hanyalah sinonim sebagian. Pendapat Alwasilah sejalan dengan
Aminuddin (2011:116-117) yang menyatakan besar kemungkinan sinonim mutlak
itu tidak ada.
Menilik pendapat Chaer (2007:297) bahwa hubungan semantik yang
menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan
ujaran lainnya disebut sinonim. Djajasudarma (1999:36) mengatakan bahwa
sinonim adalah dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Kesamaan makna
9
dapat ditentukan dengan tiga cara yaitu: (1) substitusi (penyulihan), (2)
pertentangan, dan (3) penentuan konotasi. Pendapat yang lebih spesifik
diungkapkan oleh Soedjito (1989:1) bahwa sinonim ialah dua kata atau lebih yang
maknanya sama atau hampir sama (mirip).
Contoh dalam tuturan dialek Banyumasan:
(1) Konteks: Seorang ibu sedang menyapu di depan rumah berbicara kepada
anaknya.
Ibu : “Nis jukutna cethok!”
[nis jʊkutna ceṭɔ?]
„Nis ambilkan tempat untuk menyerok sampah!‟
Pada tuturan di atas cethok [ceṭɔ?] mempunyai makna yang sama
dengan ikrak.
(2) Konteks: Seorang nenek bertanya kepada cucunya yang sedang memasak
sayuran.
Mbah Jiber : ”Dah, deneng kiye rasane letek temen?”
[dah, dԑnԑng kiyԑ rasanԑ lәtԑ? tәmәn]
„Dah, ini kok rasanya asin?‟
Dari tuturan di atas, kata letek [lәtԑk] sama maknanya dengan asin. Letek
[lәtԑk] mempunyai makna asin.
Dari berbagai macam pendapat para ahli tentang sinonim, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sinonim merupakan persamaan kata dari baik kata benda, kata
kerja, kata sifat, kata keterangan, kata bilangan, dan lain-lain yang mempunyai
makna sama atau hampir sama, dan kesinoniman ini dapat terjadi pada tingkat
kata, frasa, klausa, maupun kalimat.
10
2.2.1.2 Wujud Sinonim
Murniah (2000:7) mengatakan bahwa ada lima bentuk atau wujud sinonim
yaitu:
(1) leksem bersinonim dengan leksem
Sinonim dapat berupa leksem dengan leksem. Dalam dialek Banyumasan
ada beberapa contoh yaitu: ayu [ayu] „cantik‟ dengan moncer [mɔncԑr]
„cantik yang berlebihan‟.
(2) leksem tunggal bersinonim dengan leksem majemuk
Sinonim dapat berupa leksem tunggal dengan leksem majemuk. Dalam
dialek Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: cangkringan [caŋkriŋan]
„keranjang kecil yang terbuat dari bambu‟ dengan rinjing cilik [rinjiŋ cilik]
„keranjang kecil yang terbuat dari bambu‟.
(3) leksem tunggal bersinonim dengan frasa
Sinonim dapat berupa leksem tunggal dengan frasa. Dalam dialek
Banyumasan ada beberapa contoh yaitu: amba [amba] „lebar‟ dengan
mablak-mablak [mabla?-mabla?] „lebar sekali‟.
(4) leksem majemuk bersinonim dengan leksem tunggal
Sinonim dapat berupa leksem majemuk dengan leksem tunggal. Dalam
dialek Banyumasan contohnya: rek jos [rԑ? jɔs] „korek api batangan‟ dengan
cuncek [cuncә?] „korek api batangan‟.
11
(5) frasa bersinonim dengan frasa.
Sinonim dapat berupa frasa dengan frasa. Dalam dialek Banyumasan
contohnya: pating slarah [patiŋ slarah] dengan pating gempalang [patiŋ
gәmpalaŋ] „berantakan‟
2.2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Sinonim
Kesinoniman dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang
menyebabkannya. Ekoyanantyasih dan Winarti (2010:8) berpendapat bahwa
kesinoniman dapat muncul karena beberapa hal. Penyebab munculnya
kesinoniman antara lain adalah perbedaan lingkungan. Untuk makna yang sama
digunakan bentuk kata yang berbeda di dalam lingkungan yang berbeda.
Pendapat lain juga dinyatakan oleh Chaer (2007:298-299) bahwa sinonim,
terjadi karena beberapa faktor diantaranya: (1) faktor waktu, (2) faktor tempat
atau wilayah, (3) faktor keformalan, (4) faktor sosial, (5) faktor bidang kegiatan,
dan (6) faktor nuansa makna.
Selain pendapat para ahli di atas, Murniah (2000:5-6) menambahkan bahwa
hal-hal yang mendorong terjadinya kesinoniman dalam bahasa Indonesia antara
lain adalah dorongan kebahasaan, pengaburan masalah pokok, penggantian istilah dan
kolokasi
Dari paparan tentang faktor penyebab sinonim di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sinonim dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya:
perbedaan wilayah pemakaian, unsur estetis, bidang kegiatan dan siapa
penuturnya.
12
2.2.2 Nomina
Menurut Kridalaksana (1990:66) nomina adalah kategori yang secara
sintaksis tidak mempunyai potensi untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2)
mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari. Dalam menentukan sebuah
kata termasuk ke dalam nomina atau bukan, Herawati dkk (1995:14-15)
menjelaskan ada tiga dasar untuk menentukan nomina yaitu:
a. Berdasarkan semantisnya, kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila
mempunyai ciri-ciri arti yang sama, misalnya omah ‟rumah‟.
b. Berdasarkan morfologisnya, kata-kata termasuk dalam satu golongan
apabila mempunyai ciri-ciri yang sama, misalnya berprefiks pa(N)-, pi-.
c. Berdasarkan sintaksisnya, menurut persamaan ciri atau perilaku dalam frasa,
kata-kata termasuk dalam satu golongan apabila mempunyai ciri-ciri
sintaksis yang sama.
Herawati dkk (1995:15) juga menjelaskan bahwa nomina didefinisikan
sebagai golongan kata yang memiliki makna leksikal, memiliki fungsi, dan
memiliki makna gramatikal di dalam struktur sintaksis.
Bebeda dengan Chaer (2007:166) menyatakan bahwa nomina adalah kata
yang menyatakan benda atau yang dibendakan. Senada dengan pendapat Chaer,
Keraf (1982:63-64) menyatakan bahwa nomina adalah nama dari sebuah benda
dan segala yang dibendakannya. Kata benda menurut wujudnya, dibagi atas kata
benda konkret dan abstrak. Kata benda konkret adalah nama dari benda-benda
yang dapat ditangkap dengan panca indera, sedangkan kata benda abstrak adalah
nama-nama benda yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera.
13
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nomina merupakan kata yang
mengacu pada benda baik benda hidup maupun benda mati dan benda yang
abstrak maupun yang konkret.
2.2.3 Adjektiva
Menurut Kridalaksana (1990:57) adjektiva adalah kategori yang ditandai
oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan pertikel tidak, (2)
mendampingi nomina, (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (4)
mempunyai ciri-ciri morfologis, seperti -er, -if, -i, (5) dibentuk menjadi nomina
dengan konfiks ke-an. Sejalan dengan Kridalaksana, Chaer (2007:167) juga
menyatakan bahwa adjektiva adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di
belakang kata sangat atau dapat mengisi konstruksi sangat.
Pendapat lain juga diungkapkan oleh Keraf (1982:65) bahwa kata sifat atau
adjektiva adalah kata yang memberi keterangan atau yang menerangkan mana
benda. Adjektiva selanjutnya dapat mengambil bentuk-bentuk yang istimewa bila
ditempatkan dalam tingkat-tingkat perbandingan, untuk membandingkan suatu
keadaan dengan keadaan yang lain.
Dapat disimpulkan bahwa adjektiva merupakan kata sifat yang dimiliki oleh
suatu benda.
2.2.4 Dialek
Dialek Banyumasan merupakan salah satu dialek yang ada di Jawa Tengah
yang dipakai oleh empat kabupaten di eks Karesidenan Banyumas yaitu
Kabupaten Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.
14
2.2.4.1 Pengertian Dialek
Keraf (1982:18-19) berpendapat bahwa dialek merupakan kumpulan
idiolek-idiolek yang ditandai ciri-ciri yang khas dalam tata-bunyi, kata-kata,
ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Selain itu Keraf (1996:144) dalam bukunya
yang lain juga menyatakan tiap kelompok yang mempunyai ciri-ciri yang sama
dalam tata bunyi, kosakata, morfologi dan sintaksis disebut dialek. Menurut Chaer
dan Agustina (2010:63) variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya disebut
dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang
berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu.
Meillet dalam Zulecha (1967:69) juga berpendapat bahwa istilah dialek
dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa di Yunani yang
terdapat perbedaan-perbedaan bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya
masing-masing, namun tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai
bahasa yang berbeda. Ciri utama dialek adalah perbedaan atau keragaman dalam
kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Ada dua ciri umum yang dimiliki dialek
yaitu (1) dialek merupakan seperangkat ujaran lokal yang berbeda-beda yang
memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih sering mirip dibandingkan
dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus
mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.
Dari beberapa pendapat ahli tentang dialek di atas dapat disimpulkan bahwa
dialek merupakan variasi bahasa kedua yang digunakan oleh sekelompok orang
yang relatif banyak dalam suatu tempat tertentu dan mempunyai persamaan-
persamaan baik dalam tataran fonologi, morfologi maupun sintaksis.
15
2.2.4.2 Dialek Banyumasan
Koderi (1991:164) bahasa daerah yang digunakan di daerah Banyumas
disebut bahasa Banyumasan. Dialek Banyumasan merupakan salah satu dialek
bahasa Jawa disamping dialek Solo-Yogyakarta, Surabaya, Banyuwangi, Madiun-
Kediri, Semarangan, Tegal, Cirebon-Indramayu, Banten.
2.2.4.2.1 Pemakaian Dialek Banyumasan
Menurut Koderi (1991:165) mengatakan bahwa dialek Banyumasan dipakai
oleh masayarakat eks Karesidenan Banyumas yang meliputi 4 kabupaten
diantaranya dipakai oleh Kabupaten Banyumas sendiri, Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Purbalingga. Di Cilacap bagian barat
yang berbatasan dengan Pasundan bahasa Jawa telah bercampur dengan bahasa
Sunda (bahasa Jawa Reang), yaitu di sekitar Majenang.
2.2.4.2.2 Ucapan Dialek Banyumasan
Koderi (1991:167) ucapan dalam dialek Banyumasan mempunyai banyak
perbedaan dengan dialek Yogya-Solo yang dijadikan bahasa Jawa baku atau
standar. Hal tersebut dapat dilihat dalam contoh tuturan dialek Banyumasan di
bawah ini.
Konteks: Seorang laki-laki melihat wanita cantik sedang berjalan.
Yayan : ”Wow, mlowes temen yah.”
[woʷ, mlowԑs tәmәn yah].
„Wah, cantik sekali ya.‟
Berbeda dengan dialek Solo-Yogja, kata mlowes [mlowԑs] tidak ada,
mereka menyebut cantik dengan kata ayu. Pengucapan dalam dialek Solo-Yogja
16
juga akan berbeda dengan dialek Banyumasan. Dapat dilihat dalam tuturan
berikut.
Konteks: Seorang laki-laki melihat wanita cantik sedang berjalan.
Iksan : ”Wow, ayu temen ya.”
[woʷ, ayu tәmәn ya]
„Wah, cantik sekali ya.‟
Dari kedua contoh tuturan di atas dapat dilihat perbedaan antara dialek
Banyumasan dan Solo-Yogja. Kata mlowes dan ayu walaupun berbeda tapi tetap
merujuk pada makna yang sama yaitu cantik.
2.2.4.2.3 Sistem Tata Kalimat Dialek Banyumasan
Orang-orang di daerah Banyumas menyebut bahasa Solo-Yogja dengan
sebutan bahasa bandhek. Mereka para penutur dialek Banyumasan dengan mudah
menangkap pembicaraan penutur bahasa baku karena struktur kalimat bahasa
dialek Banyumasan sama dengan bahasa Jawa baku.
2.2.4.2.4 Daftar Kata Dialek Banyumasan
Kata dalam dialek Banyumasan sangat bervariasi dimana banyak kata yang
jarang dimiliki oleh dialek lain terdapat dalam dialek Banyumasan. Misalnya akan
agep [agәp] , garep [garәp]; singkong boled [bold], budin [budin]; galak, ladak
[ladak], kereng [kәrәŋ].
Dari uraian di atas, dialek merupakan variasi bahasa yang penuturnya relatif
banyak berada pada suatu daerah tertentu di mana terdapat kesamaan dalam
pelafalan bunyi maupun kata-kata yang terdapat di dalamnya. Salah satu dialek
yang ada di Jawa Tengah adalah dialek Banyumasan yang biasa disebut dengan
17
dialek ngapak-ngapak karena pelafalan sesuai tulisan. Dialek ini memiliki kata-
kata tertentu yang jarang sekali ditemui dalam dialek lain pada umumnya.
2.3 Kerangka Berpikir
Latar belakang dalam permasalahan ini adalah dengan banyaknya tuturan
dalam dialek Banyumasan yang diduga mengandung sinonim nomina dan
adjektiva. Berkaitan dengan latar belakang tersebut memunculkan permasalahan
yaitu bagaimanakah wujud sinonimi nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek
Banyumasan beserta faktor-faktor penyebabnya.
Dengan menggunakan teori-teori yang meliputi teori sinonimi, nomina,
adjektiva dan dialek Banyumasan sebagai kerangka acuhan diharapkan mampu
memecahkan masalah yang meliputi bagaimanakah wujud sinonimi nomina dan
adjektiva dialek Banyumasan beserta faktor penyebabnya. Pendekatan dalam
penelitian ini meliputi pendekatan semantik, pendekatan dialektologi dan
pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam metode pemerolehan data, peneliti
menggunakan metode simak, rekam dan catat. Untuk menganalisis data,
digunakan metode padan. Sedangkan pemaparan hasil analisis data menggunakan
metode formal dan informal.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memuat wujud sinonimi nomina
dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan beserta faktor-faktor penyebabnya.
Dengan demikian penelitian ini dapat menambah daftar kosakata sinonim dialek
Banyumasan yang jarang ditemui dalam dialek lain di Jawa, sehingga penelitian
ini dapat memberi khasanah bagi penutur dialek lain.
18
Skema Kerangka Berp
Latar Belakang Masalah
Tuturan dalam dialek Banyumasan diduga banyak
mengandung sinonim baik nomina atau adjektiva. Banyak kata
benda atau sifat yang tidak ditemui di daerah lain. Hal ini
menjadi daya tarik permasalahan untuk diteliti baik dari
wujudnya maupun faktor penyebabnya.
Teori-Teori
Sinonim
Nomina
Adjektiva
Dialek
Banyumasan
Metodologi
Penelitian
Pendekatan
semantik, dan
deskriptif
kualitatif
Perolehan data
menggunakan
teknik simak,
rekam dan catat.
Analisis data
menggunakan
metode padan
Penyajian hasil
analisis data
menggunakan
metode informal
dan formal
Hasil
Wujud sinonim nomina dan adjektiva bahasa
Jawa dialek Banyumasan
Faktor penyebab sinonim nomina dan
adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan.
Permasalahan
Bagaimanakah wujud
sinonimi nomina dan
adjektiva bahasa Jawa
dialek Banyumasan?
Apa sajakah faktor
penyebab sinonim
nomina dan adjektiva
bahasa Jawa dialek
Banyumasan?
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara teoretis dan metodologis. Fokus dalam
penelitian ini adalah tentang penggambaran bagaimana bentuk sinonim nomina
dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan beserta faktor-faktor penyebabnya.
Secara teoretis, penelitian ini menggunakan pendekatan semantik. Semantik
yaitu studi tentang makna. Makna yang dimaksud adalah makna unsur bahasa
baik dalam wujud morfem, kata atau kalimat (Pateda 2001:25). Pendekatan
semantik digunakan untuk menjelaskan mengenai wujud dan faktor penyebab
sinonim nomina dan adjektiva dialek Banyumasan.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Tujuan penelitian deskripsi ini adalah untuk membantu pembaca
mengetahui apa yang terjadi di lingkungan pengamatan, seperti apa pandangan
partisipan yang berada di latar penelitian, dan seperti apa peristiwa atau aktivitas
yang terjadi di latar penelitian (Emzir 2008:174). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang disebut juga pendekatan
investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap
muka langsung dan berinteraksi di tempat-tempat penelitian (Syamsudin dan
Damajanti 2006:23).
19
20
Pendekatan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk
mendeskripsikan wujud dan faktor penyebab sinonimi nomina dan adjektiva
dalam dialek Banyumasan.
3.2 Data dan Sumber Data
Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta maupun angka
(Arikunto 2010:161). Data dalam penelitian ini berupa tuturan masyarakat Desa
Sirau Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas pengguna dialek Banyumasan
yang diduga mengandung sinonim baik nomina maupun adjektiva.
Sumber data adalah subjek dimana data dapat diperoleh (Arikunto
2010:172). Sumber data dalam penelitian ini yaitu tuturan masyarakat desa Sirau.
Data lisan diperoleh dari tuturan masyarakat Desa Sirau Kecamatan Kemranjen
Kabupaten Banyumas.
3.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah Kecamatan Kemranjen Kabupaten
Banyumas yang difokuskan di Desa Sirau. Desa ini merupakan desa paling selatan
di Kabupaten Banyumas yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap.
Alasan terpilihnya desa tersebut adalah karena kosakata yang dimiliki lebih
bervariasi dibanding yang lain.
21
3.4 Metode Pemerolehan Data
Metode pemerolehan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
simak, catat dan rekam.
Dalam penelitian ini peneliti dalam mengumpulkan data menggunakan
metode simak dengan teknik dasar sadap. Teknik sadap merupakan teknik dasar
yang digunakan karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan
penyadapan, dimana peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan
menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi
informan (Mahsun 2005:92). Mula-mula peneliti menyalakan tape recorder atau
alat perekam lain yang disembunyikan, kemudian peneliti menyadap pembicaraan
masyarakat. Ketika teknik sadap dimulai, dilakukan pula teknik rekam sekaligus.
Syamsudin dan Damajanti (2006:108) mengatakan teknik dokumentasi digunakan
untuk mengumpulkan data dari sumber non manusia. Sumber ini terdiri atas
dokumen dan rekaman. Dalam merekam dapat dipastikan bahwa nara sumber
tidak menyadari dengan proses perekaman.
Dalam proses penyadapan, peneliti menggunakan teknik simak libat cakap
dan simak bebas libat cakap. Teknik simak libat cakap yaitu teknik dimana
peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak,
berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan (Mahsun
2005:93). Teknik simak bebas libat cakap merupakan teknik dimana peneliti
hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informan
(Mahsun 2005:93). Dalam proses itu, peneliti terkadang ikut dalam percakapan
dan terkadang pula hanya menyimak atau mendengarkan percakapan dari tuturan
22
masyarakat. Setelah proses penyadapan selesai, data yang berupa tuturan
masyarakat (data lisan) dialih bahasakan menjadi data tulis dan dicatat ke dalam
kartu data.
Contoh kartu data yang digunakan adalah sebagai berikut:
No. Data: Sumber Data:
Konteks tuturan:
Data (tuturan dialek Banyumasan):
Tuturan yang diduga mengandung sinonim:
Analisis:
Dalam proses pengambilan data, peneliti juga ikut menjadi nara sumber
karena peneliti juga merupakan penutur asli masyarakat desa Sirau. Untuk
kevalidan data, peneliti menanyakan data sinonim kepada orang tua atau yang
dianggap mumpuni atau menguasai bahasa dialek Banyumasan di desa Sirau.
3.5 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam menganalisis adalah
metode padan. Metode padan merupakan metode dimana alat penentunya berada
di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan
(Sudaryanto 1993:13). Padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata
banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya
keterhubungan sehingga padan diartikan sebagai hal yang menghubung
23
bandingkan (Mahsun 2005:117). Penelitian ini menggunakan metode padan
referensial karena penentunya adalah kenyataan yang ditunjukan oleh bahasa.
3.6 Metode Pemaparan Hasil Analisis Data
Metode pemaparan hasil analisis data merupakan alur terakhir yang akan
ditempuh oleh peneliti setelah menganalisis data yang telah diperoleh. Dalam
tahap ini peneliti akan menampilkan laporan tertulis dari hasil penelitiannya.
Menurut Sudaryanto (1993:145) pemaparan hasil penelitian dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu menggunakan metode informal dan formal. Metode
informal adalah pemaparan data-data yang berupa kata-kata biasa walaupun
dengan terminologi yang bersifat teknis, sedangkan metode formal adalah
perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.
Metode formal dan informal tersebut digunakan dalam penelitian ini.
Metode formal digunakan untuk memaparkan hasil penelitian menggunakan
lambang-lambang atau tanda-tanda. Hal tersebut disebabkan karena hasil
penelitian ini berkaitan dengan tuturan masyarakat pengguna dialek Banyumasan
sehingga diperlukan penjelasan tertentu terhadap tuturan yang dihasilkan terutama
pada satuan fonetiknya. Metode informal digunakan untuk mendeskripsikan data
yang sudah dianalisis dengan menggunakan kata-kata dan diberi penjelasan.
24
BAB IV
ANALISIS WUJUD DAN FAKTOR PENYEBAB
SINONIM NOMINA DAN ADJEKTIVA
DIALEK BANYUMASAN
Dalam penelitian ini, dibahas analisis wujud dan faktor penyebab sinonim
nomina dan adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan. Analisis wujud sinonim
merupakan identifikasi wujud sinonim, baik sinonim kata dan kata, kata dan frasa,
frasa dan kata atau frasa dan frasa. Analisis faktor penyebab dalam penelitian ini
yaitu dengan mengidentifikasi faktor yang menyebabkan sinonim nomina dan
adjektiva bahasa Jawa dialek Banyumasan.
4.1 Wujud Sinonim Nomina dan Adjektiva Dialek Banyumasan
Dalam dialek Banyumasan, wujud sinonim nomina berupa leksem dengan
leksem, leksem tunggal dengan leksem majemuk, leksem tunggal dengan frasa,
leksem majemuk dengan leksem tunggal dan frasa dengan frasa.
4.1.1 Leksem dengan Leksem
Contoh data tuturan dalam dialek Banyumsan yang mengandung sinonim
nomina yang berwujud leksem dengan leksem adalah:
Konteks: terjadi percakapan antara penjual dan pembeli di pasar Sirau.
P1 :”Grandhele piranan?”
[granḍԑle piranan]
„Genjer harganya berapa?‟
P2 :”Sewu limangatusan”
[sewu limaŋatusan]
„Seribu limaratusan‟
Tuturan lain yaitu terdapat pada percakapan berikut:
24
25
Konteks : berada di dapur
P1: “Bu, aja njangan gendhot bae ya lah.”
[bu aja njaŋanan genḍɔt baԑ ya lah]
„Bu, jangan memasak sayur genjer terus ya‟
Dari tuturan tersebut yang terjadi di pasar Sirau terdapat kata grandhel
[granḍԑl]. Kata tersebut menunjukkan nomina yang mempunyai makna jenis
sayuran yang tumbuh di sawah atau pekarangan. Selain grendhel [granḍԑl],
masyarakat desa Sirau juga menyebutnya dengan gendhot [genḍɔt]. Dalam bahasa
Indonesia biasa disebut dengan genjer [gԑnjԑr]. Grandhel [granḍԑl] di desa Sirau
bersinonim dengan gendhot [genḍɔt] merupakan wujud sinonim leksem dengan
leksem. Grandhel [granḍԑl] di desa Sirau, selain mempunyai makna sayuran, juga
mempunyai makna lain yaitu kunci yang bentuknya panjang terbuat dari besi.
Contoh lain juga terdapat dalam tuturan di bawah ini:
Konteks: seorang ibu yang akan membayar belanjaannya di pasar.
P1:”Tuku kangkung, Cha eketane sing receh ora nana?”
[tuku kaŋkuŋ, cha ԑkәtanԑ siŋ rԑcԑh ora nana]
„Beli kangkung, Cha limapuluh ribuannya uang kecilnya tidak ada?‟
P2:”Apa maning?” (sambil bertanya)
[apa maning]
„Apa lagi?‟
P1:”Ayuh muter!” (mengajak memutar lagi mengelilingi pasar)
[ ayuh mutәr]
„Ayo keliling!‟
Konteks: sedang membeli di warung.
P1: “Kowe duwe dhuwit kertas?”
[kɔwԑ duwԑ ḍuwit kәrtas]
„Kamu mempunyai uang kertas?‟
P2:”Ora, aku duwene dhuwit kricik.”
[ɔra, aku duwԑnԑ ḍuwit kricik]
„Tidak, saya hanya mempunyai uang logam.‟
26
Dari tuturan tersebut terdapat kata receh [rԑcԑh] yang mempunyai makna
uang logam kecil. Dalam dialek Banyumasan sering disebut juga dengan kricik
[krici?] atau krincing [krinciŋ]. Receh [rԑcԑh] bersinonim dengan kricik [krici?]
dan krincing [krinciŋ] merupakan sinonim nomina yang menunjukkan benda di
sekitar rumah. Receh [rԑcԑh] dan kricik [krici?] merupakan wujud sinonim leksem
dengan leksem. Begitu pula dengan krincing [krinciŋ], merupakan sinonim
nomina yang berwujud leksem dengan leksem. Kricik [krici?] dalam dialek
Banyumasan selain bermakna uang logam juga juga mempunyai makna suara air
kecil yang sedang mengalir. Selain itu, nomina bersinonim juga terlihat pada
tuturan berikut:
Konteks tuturan: Seorang nenek sedang berbincang-bincang di dapur.
P1: “Maring ngeneh tokna ngeneh!”
[mariŋ ŋԑnԑh tɔkna ŋenԑh]
„Ke sini keluarkan sini!‟
P2: “Kuwe berase disogna genuk!”
[kuwԑ bәrasԑ disɔgna gәnuk]
„Beras itu dimasukkan ke gentong!‟
Tuturan lainnya yaitu:
Konteks: Ketika akan memasak nasi.
P1:”Mbok, beras sing nang genthong wis enteng, enyong arep liwet karo
apa?”
[mbɔk, bәras siŋ naŋ gәnṭɔŋ wis әntԑŋ, әῆɔŋ arәp liwәt karɔ apa]
„Ibu, beras yang berada di gentong sudah habis, saya akan masak apa?‟
Dari tuturan tersebut terdapat kata genuk [gәnu?] mempunyai makna tempat
menyimpan beras. Selain genuk [gәnu?] masyarakat juga menyebutnya dengan
genthong [gәnṭɔŋ]. Genuk [gәnu?] banyak dituturkan oleh orang-orang jaman
27
dahulu. Genuk [gәnu?] dengan genthong [gәnṭɔŋ] merupakan wujud sinonim
leksem dengan leksem. Tuturan lainnya yang mengandung sinonim adalah:
Konteks: Menanyakan keadaan tanaman yang ada di sawah.
P1:”Ketilem napa Dhe? Kenang sremet?”
[kәtilәm napa ḍԑ? kәnaŋ srәmәt]
„Tenggelam apa Dhe? Terkena tikus.‟
Tuturan lainnya terdapat pada percakapan berikut:
Konteks: mendengar suara berisik di atas atap
P1:”Mas, kae deneng suarane pating gludhag banget. Suara tikus apa ya?”
[mas, kaԑ dԑnԑŋ suaranԑ patiŋ gluḍag baŋәt. Suara tikus apa ya]
„Mas, itu kok suaranya berisik sekali. Apa suara tikus?‟
Dari tuturan tersebut terdapat kata sremet [srәmәt] yang mempunyai makna
sama dengan tikus. Di desa Sirau banyak yang menuturkan tikus dengan istilah
sremet [srәmәt]. Sremet [srәmәt] dan tikus merupakan wujud sinonim leksem
dengan leksem. Data lain terlihat pada tabel berikut:
NO DATA SINONIM
1. Konteks: bercerita tentang pertunjukan
pasar malam.
P1: ”Kae nang pasar malem ana tong
edan.”
[kaԑ naŋ pasar malәm ana tɔŋ ԑdan]
Konteks: sedang membicarakan barang
bekas.
P1:”Kae drim sing wis ora kanggo
disingkirna!”
[kaԑ drim siŋ wis ɔra kaŋgɔ di siŋkirna]
Tong [tɔŋ] : drim
[drim]
2. Konteks: membicarakan tamu yang
berkunjung kemarin.
P1:”Wingi ya ngeneh karo biyunge ana
rong minggu.”
[wiŋi ya ŋԑnԑh karɔ biyuŋԑ ana rɔŋ miŋgu]
Biyunge [biyuŋԑ] :
mamake [mama?e],
mboke [mbɔ?ԑ], ibune
[ibunԑ]
28
Konteks: sedang bertanya di pinggir jalan.
P1:”Nah, mboke nang umah?”
[Nah, mbɔkԑ naŋ umah]
3. Konteks: berada di dapur
P1:”Nang pedangan kae akeh panganan.”
[naŋ pәdaŋan kaԑ akԑh paŋanan]
Konteks: bertanya siapa yang berada di
dapur
P1:”Mbaeh agi ngapa kang?”
[mbaԑh agi ŋapa kaŋ]
P2:”Kae nang pawon agi liwet.”
[kaԑ naŋ pawɔn agi liwәt]
Pedangan [pәdaŋan]:
pawon [pawɔn]
4. Konteks: membicarakan orang besanan.
P1:”Critane enyong wis mbesan ana gawa
pring, klapa, beras.”
[critanԑ әῆɔŋ wis mbԑsan ana gawa priŋ,
klapa, bәras]
Konteks: bercerita menjual kelapa
P1:” Aku be wingi adol krambil ulih rong
puluh ewu.”
[aku bԑ wiŋi adɔl krambil ulih rɔŋ puluh
ԑwu]
Klapa [klapa]: krambil
[krambil]
5. Konteks: di tukang pijat membicarakan
penyakit.
P1: “Anu udud ya, ya watuk.”
[anu udud ya, ya watu?]
Konteks: Membicarakan rokok favorit.
P1:”Yayan karemane rokok sriwedari.”
[yayan karәmane rɔkɔk sriwәdari]
Udud [udud]: rokok
[rɔkɔ?]
6. Konteks: bercerita ketika bertemu saudara.
P1:”Pas wingi niko ketemu Kang Gito
jarene lagi pesen koci apa apem yah Dhe?”
[pas wiŋi nikɔ kәtәmu kaŋ gitɔ jarԑnԑ lagi
pәsәn kɔci apa apәm ḍԑ]
Konteks: makan jajanan pasar
P1:”kiye ibumu apa sing gawe mendut?”
[kiyԑ ibumu apa siŋ gawԑ mәndut]
Koci [kɔci]: mendut
[mәndut]
29
7. Konteks : menyindir adik yang berbadan
gemuk.
P1:”Kintel, yah Ndhut.”
[kintәl yah nḍut]
Konteks: membicarakan musim hujan.
P1:”Kiye nek udan terus blentunge padha
moni.”
[kiyԑ nԑk udan tәrus blәntuŋԑ paḍa mɔni]
Kintel [kintәl]:blentung
[blәntuŋ]
8. Konteks: memetik sayur bunga turi.
P1:”Kiye ngeneh nyogrok, kiye ana gentere.
Kowe sing nitori ya!”
[kiyԑ ŋԑnԑh ῆɔgrɔ? kiyԑ ana gԑntԑrԑ. kowԑ
siŋ nitɔri ya]
Konteks: membicarakan anak tetangga
yang jatuh dari pohon.
P1:”Kae bisane tiba tulih di ogrok karo
gantar.”
[kaԑ bisanԑ tiba tulih di ɔgrɔk karɔ gantar]
Genter [gԑntԑr]: sogrok
[sɔgrɔ?], gantar
[gantar]
9. Konteks: penjual di pasar menunjukkan
dagangannya.
P1:”Kiye lumbu, kiye kethewel, sambele?
[kiyԑ lumbu, kiyԑ kәṭԑwԑl, sambәlԑ]
Konteks: bertanya kepada ibunya sedang
masak.
P1:”Bu, agi njangan lompong ya?”
[bu agi njaŋan lɔmpɔŋ ya]
Lumbu [lumbu]
:lompong [lɔmpɔŋ]
10. Konteks: Mengajak membuat sambal
P1:”Yuh nyambel, padha nyambel karo
cowek.
[yuh ῆambәl, paḍa ῆambәl karɔ cɔwԑ?]
Konteks: Menyuruh memindahkan cobek.
P1:”Kuwe cirine aja nang kono gole
ngesogna.”
[kuwԑ cirinԑ aja naŋ kɔnɔ gɔlԑ ŋesɔgna]
Cowek [cɔwԑ?]: ciri
[ciri], layah [layah]
Contoh tuturan yang mengandung sinonim adjektiva berwujud leksem
dengan leksem adalah:
30
Konteks: Seorang nenek bertanya kepada cucunya yang sedang memasak
sayuran.
Mbah Jiber : ”Dah, deneng kiye rasane letek temen?”
[dah, dԑnԑng kiyԑ rasanԑ lәtԑ? tәmәn]
„Dah, ini kenapa rasanya asin sekali?‟
Konteks: adik sedang mencicipi masakan kakaknya.
Adik: “ Mba, deneng jangane asin temen.”
[mba dԑnԑng jaŋanԑ asin tәmәn]
„Mba, mengapa sayurnya asin sekali]
Dari tururan di atas terdapat kata letek [lәtԑ?] yang termasuk kata sifat atau
adjektiva. Letek [lәtԑ?] mempunyai makna yang sama dengan asin. Letek [lәtԑ?]
dan asin merupakan pasangan sinonim adjektiva yang berwujud leksem dengan
leksem. Tuturan lain terlihat pada percakapan berikut.
Konteks tuturan: Jalan-jalan di pasar
P1:”Ih enake mambune Nis, molen.”
[ih, ԑnakԑ mambunԑ nis, mɔlәn]
„Enak baunya Nis, molen.‟
P2:”Pengin tapi ora duwe dhuwit.” [pԑŋin tapi ɔra duwԑ ḍuwit]
„Ingin tapi tidak mempunyai uang.‟
P1:”Lah jan sekeng banget yakin kere lah.”
[lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin kԑrԑ lah]
„Ya, tidak punya yakin miskin.‟
Tuturan lain terdapat pada percakapan berikut.
Konteks: mengajak membeli makanan
P1:”Bebeh lah pet, aku lagi kere, aku bebeh tuku jajan.”
[bәbәh lah pԑt, aku lagi kԑrԑ, aku bәbәh tuku jajan]
„Sungkan pet, saya sedang tidak mempunyai uang, saya sungkan
membeli jajan.‟
Dari tururan di atas terdapat kata sekeng [sԑkԑŋ] mempunyai makna tidak
punya apa-apa atau miskin. Nama lainnya adalah kere [kԑrԑ], mlarat [mlarat].
31
Penggunaan kata ini mempunyai nilai rasa yang berbeda yaitu mlarat [mlarat]
lebih negatif maknanya yaitu tidak mempunyai apapun.
Data lain dapat dilihat pada tabel berikut:
NO DATA SINONIM
1. Konteks: membicarakan orang yang
kehilangan anak.
P1:”Ya seprene kaya wong kenthir, wong
anak siji-sijine thok.”
[ya sәprԑnԑ kaya wɔŋ kәnṭir, wɔŋ ana? siji-
sijinԑ ṭɔ?]
Konteks: membicarakan tetangganya.
P1:”Wong kae stres gara-gara kakehen
utang ya kang?”
[wɔŋ kaԑ stres gara-gara kakԑhәn utaŋ ya
kaŋ]
Kenthir [kәnṭir] :
Gemblung [gәmbluŋ],
stres [strԑs], sinting
[sintiŋ], edan [ԑdan],
gendheng [gәnḍәŋ],
kongslet [kɔŋslԑt],
miring [miriŋ].
2. Konteks: membicarakan mesin cuci
P1:”Nek mesin kaya kae mayar ya gole
ngumbaih.”
[nԑ? Mәsin kaya kaԑ mayar ya gɔlԑ
ŋumbaih]
Konteks: anak-anak membicarakan soal
ulangan.
P1:”Soal ulangane gampang pisan mau,
aku tek garap kabeh.”
[soal ulaŋanԑ gampaŋ pisan mau aku tәk
garap kabԑh]
Mayar [mayar] :
gampang [gampaŋ],
kepenak [kәpԑna?]
Tingkatan makna:
Kepenak-gampang-
mayar.
3. Konteks: membicarakan sifat Riska
P1:”Kae nek duwe dhuwit kucir pisan ora
ulih dijaluki sapa-sapa.”
[kaԑ nԑ? duwԑ ḍuwit kucir pisan ɔra ulih
dijaluki sapa-sapa]
Konteks: membicrakan tetangganya
P1:”Ndruni temen kae dadi wong.”
[ndruni tәmәn kaԑ dadi wɔŋ]
Kucir [kucir] : medhit
[mәḍit], mbethithil
[ᵐbeṭiṭil], ndruni
[ndruni], kumed
[kumәd]
Tingkatan makna:
medhit [mәḍit]- ndruni
[ndruni]-kumed
[kumәd]- Kucir [kucir]-
mbethithil [ᵐbeṭiṭil]
32
4.1.2 Leksem Tunggal dengan Leksem Majemuk
Contoh data dalam tuturan dialek Banyumasan yang mengandung sinonim
berwujud leksem tunggal dengan leksem majemuk adalah:
Konteks: sedang membicarakan ayam peliharaan Bu Simar.
P1: ”Jere wingi pitike nini Simar dipangan sero?”
[jԑrԑ wiŋi pitikԑ nini simar dipaŋan sԑro]
„Katanya kemarin ayam milik nenek Simar dimakan kucing hutan?‟
P2:”Pira?”
[pira]
„Berapa?‟
Tuturan lain terlihat pada percakapan berikut:
Konteks: melihat kucing hutan lewat
P1:”Wingi nang karanganmu ana nggarangan gedhe banget Lik.”
[wiŋi naŋ karaŋanmu ana nŋaraŋan gәḍԑ baŋәt lik]
„Kemarin di pekaranganmu ada kucing hutan besar sekali Lik.”
Dari data di atas terdapat istilah sero [sԑro] yang bermakna kucing hutan
yang suka memakan ayam atau unggas. Di desa Sirau, selain menyebut denngan
sero juga menyebutnya dengan nggarangan [ŋgaraŋan] dan kucing alas [kuciŋ
alas]. Sero [sԑro] dan kucing alas [kuciŋ alas] merupakan wujud sinonim nomina
leksem tunggal dengan leksem majemuk. Selain itu, nomina bersinonim juga
terlihat pada tuturan berikut:
Konteks: Berada di tukang penjahit
P1:” Kuwe anu levis apa?”
[kuwԑ anu lԑvis apa]
„Itu celana levis apa?‟
P2:”Iya kiye.”
[iya kiyԑ]
„Ya, ini.‟
33
Tuturan lain terdapat pada percakapan berikut:
Konteks: membeli celana di pasar.
P1:”Kuwe kathok jin regane pira Bu?”
[kuwԑ kaṭɔ? jin rәganԑ pira bu]
„Celana jin itu harganya berapa?‟
Dari tuturan di atas terdapat kata levis [lԑvis] yang berarti celana jeans. Di
desa Sirau mempunyai nama lain yaitu kathok jin [kaṭɔ? jin]. Levis [lԑvis] dan
kathok jin [kaṭɔ? jin] merupakan wujud sinonim leksem tunggal dengan leksem
majemuk. Tuturan lainnya yaitu:
Konteks: berbincang-bincang di ruang tamu.
P1: “Paling tuku ubluk kae sing ditarik kaya nggone Mijan.”
[paliŋ tuku ublu? kaԑ siŋ ditari? Kaya ŋgɔnԑ mijan]
„Paling membeli sepeda motor yang bisa ditarik seperti milik Mijan.‟
Konteks: Pak yatin membeli sepeda motor.
P1:”Kang motore tuku kapan kuwe?”
[kaŋ mɔtɔrԑ tuku kapan kuwԑ]
„Mas, kapan membeli motor itu?‟
Dari tuturan di atas terdapat kata ubluk [ublu?] di desa Sirau berarti sepeda
motor. Nama lain ubluk [ublu?] di desa Sirau yaitu ubluk [ublu?] dan pit motor
[pit mɔtɔr]. Ubluk [ublu?] dan pit motor [pit mɔtɔr] merupakan wujud sinonim
leksem tunggal dengan leksem majemuk.
Contoh data dalam tuturan dialek Banyumasan yang mengandung sinonim
adjektiva berwujud leksem tunggal dengan leksem majemuk lainnya adalah:
NO DATA SINONIM
1. Konteks: Pak Sudi bercerita ketika pulang
dari Jogja.
Setriwel [sәtriwәl]:
kaos kaki [kaɔs kaki]
34
P1:”Bali aku terus tuku setriwel, ngontal
antimo men ora mumet.”
[bali aku tәrus tuku sәtriwәl, ŋɔntal antimo
mԑn ɔra mumәt]
Konteks: seorang adik sedang berbincang-
bincang dengan kakaknya.
P1:”Mba, aku ora duwe kaos kaki abang
nggo ospek.”
[mba aku ɔra duwԑ kaɔs kaki abaŋ ŋgɔ
ɔspԑ?]
Setriwel [sәtriwәl]:
banyak dituturkan oleh
orang tua jaman dahulu
tahun 60an. Kaos kaki
[kaɔs kaki] terkenal
pada jaman sekarang
2. Konteks: Pak Sudi bercerita tentang
cucunya.
P1:”Nek sekolah be nganggo pantalon.”
[nԑ? sәkɔlah bԑ ŋaŋgɔ pantalɔn]
Konteks: sedang bercerita kepada
temannya.
P1:”Aku nek kuliyah ora tau, nganggo
kathok dawa, mesthi nganggo rok.”
[aku nԑ? Kuliyah ɔra tau ŋaŋgɔ kaṭɔ? dawa,
mәsṭi ŋaŋgɔ rɔ?]
Pantalon [pantalɔn]
:kathok dawa [kaṭɔ?
dawa]
Pantalon dituturkan
oleh orang-orang tua
jaman dulu.
4.1.3 Leksem Tunggal dengan Frasa
Contoh data tuturan sinonim nomina yang berwujud leksem tunggal dengan
leksem frasa adalah:
Konteks: Bu Dhe sedang berbincang-bincang tentang hasil panen dengan
keponakannya di samping rumah.
P1:” Garing terus digawa nang Mijan ya?”
[garŋ tәrus digawa naŋ mijan ya]
„Kering terus dibawa oleh Mijan ya?‟
P2: “Ora ngengeh sekandhi-kandhia.”
[ɔra ŋәŋԑh sәkanḍi-kanḍia]
„Tidak menyisakan walaupun hanya sekarung?‟
Konteks: membicarakan hasil panen kopi.
P1:”Panen kopi kang Sumatra ulih pirang karung bae kae.”
35
[panԑn kɔpi kaŋ sumatra ulih piraŋ karuŋ baԑ kaԑ]
„Panen kopi dari Sumatra dapat berapa karung itu.‟
Dari tuturan di atas terdapat kata kandhi [kanḍi]. Di desa Sirau, mempunyai
makna sama dengan karung beras, karung goni. Kata itu termasuk ke dalam
nomina. Kandhi [kanḍi] dengan karung beras merupakan wujud sinonim leksem
tunggal dengan frasa.
Contoh data tuturan sinonim adjektiva yang berwujud leksem tunggal
dengan frasa adalah:
Konteks: ketika sedang di warung ditanya oleh pembeli.
P1: “Cara-carane koste yayan perek karo kowe apa?‟
[cara-caranԑ kɔstԑ yayan pԑrә? karɔ kɔwԑ apa]
„Ceritanya, kostnya yayan dekat dengan kamu apa?‟
P2: “Ya ora, cedhek kaya kene Kroya.”
[ya ɔra, cәḍә? kaya kԑnԑ krɔya]
„Ya tidak, seperti dari sini dengan Kroya.‟
Dari tuturan di atas terdapat kata perek [pԑrә?] yang bermakna dekat, tidak
jauh. Di desa Sirau mempunyai penyebutan lain yaitu ora adoh [ɔra adoh], cedhek
[cәḍә?]. perek [pԑrә?] dan ora adoh [ɔra adoh] merupakan wujud sinonim
adjektiva leksem tunggal dengan frasa. Tururan lainnya yaitu:
Konteks: Jalan-jalan di pasar
P1:”Ih enake mambune Nis, molen.”
[ih, ԑnakԑ mambunԑ nis, mɔlәn]
„Ih, baunya enak Nis, molen.‟
P2:”Pengin tapi ora duwe dhuwit.” [pԑŋin tapi ɔra duwԑ ḍuwit]
„Ingin tetapi tidak mempunyai uang.‟
P1:”Lah jan sekeng banget yakin kere lah.”
[lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin kԑrԑ lah]
„Ya, miskin sekali ya.‟
Konteks: mengajak membeli makanan
P1:”Bebeh lah pet, aku lagi kere, aku bebeh tuku jajan.”
36
[bәbәh lah pԑt, aku lagi kԑrԑ, aku bәbәh tuku jajan]
„Sungkan pet, saya sedang tidak mempunyai uang, saya sungkan
membeli jajan.‟
Dari tuturan di atas terdapat kata sekeng [sԑkԑŋ] mempunyai makna tidak
punya apa-apa atau miskin. Nama lainnya adalah kere [kԑrԑ], mlarat [mlarat], ora
duwe [ɔra duwԑ]. Penggunaan kata ini mempunyai nilai rasa yang berbeda yaitu
mlarat [mlarat] lebih negatif maknanya yaitu tidak mempunyai apapun. Sekeng
[sԑkԑŋ] dan ora duwe [ɔra duwԑ] merupakan wujud sinonim leksem tunggal
dengan frasa.
Sekeng [sԑkԑŋ]: miskin karena tidak mempunyai uang
Kere [kԑrԑ] : miskin tidak mempunyai harta benda, makna terkesan hina.
Mlarat [mlarat]: untuk menyatakan orang miskin makna terkesan paling
kasar untuk menyatakan orang miskin.
Data juga bisa dilihat pada tabel berikut.
NO DATA SINONIM Kategori
1. Konteks: menyuruh berjalan
jangan cepat-cepat.
P1:”Gole mlaku aja kebat-
kebat.”
[gɔlԑ mlaku aja kәbat-kәbat]
Konteks: seorang nenek
sedang bercerita.
P1:”Aku siki ya mlakune ora
kobet, wis tuwa angel.”
[aku siki ya mlakunԑ ɔra bisa
kɔbԑt, wis tuwa aŋԑl]
Kebat [kәbat]:
Banter banget
[bantәr baŋәt],
kobet banget
[kɔbԑt baŋәt].
Adjektiva
37
4.1.4 Leksem Majemuk dengan Leksem Tunggal
Contoh data tuturan sinonim nomina yang berwujud leksem majemuk
dengan leksem tunggal adalah:
Konteks: membicarakan ketika dikasih makanan oleh orang lain yang akan
hajatan.
P1:”Ulih sega brekat padha mangan iwak ya.”
[ulih sәga brәkat paḍa maŋan iwa? Ya]
„Dapat nasi pada makan ikan ya.‟
Konteks: Bertanya kepada Rian.
P1: ”Yan ulih punjungan kang sapa?”
[yan ulih punjuŋan kaŋ sapa]
„Yan dapat nasi syukuran dari siapa?‟
Dari tuturan di atas terdapat kata sega brekat [sәga brәkat] yang mempunyai
makna sama dengan punjungan [punjuŋan]. Sega brekat [sәga brәkat] dan
punjungan [punjuŋan] merupakan wujud sinonim nomina leksem majemuk
dengan leksem tunggal. Tuturan lainnya terdapat pada percakapan berikut:
Konteks: seorang ibu sedang memerintah anaknya.
P1:” Yul, petna godhong curing nang ngarepan!”
[yul pԑtna gɔḍɔŋ curiŋ naŋ ŋarәpan]
„Yul, petikan daun kenikir di depan!‟
Konteks: anak bertanya kepada ibunya.
P1:”Ngluban kenikir apa Bu?”
[ŋluban kәnikir apa bu]
„Membuat sayur kenikir Bu?‟
Dari tuturan di atas terdapat kata godhong curing [gɔḍɔŋ curiŋ] yang mempunyai
nama lain kenikir [kәnikir] di desa Sirau. Sebagian besar masyarakat Sirau
menyebut dengan godhong curing [gɔḍɔŋ curiŋ]. Godhong curing [gɔḍɔŋ curiŋ]
38
dan kenikir [kәnikir] merupakan wujud sinonim leksem majemuk dengan leksem
tunggal.
Data lain dapat dilihat pada tabel berikut:
NO DATA SINONIM Kategori
1. Konteks: sedang bercerita
makan dengan lauk ikan asin.
P1:”Madhang lawuh iwak
asin.”
[maḍaŋ lawuh iwa? Asin]
Konteks: Menceritakan lauk
kegemaran bapak Sumaedi.
P1:”Gemiyen ya bapaku
karemane sambel goreng
juwi.”
[gәmiyԑn ya bapaku karәmanԑ
sambәl gorԑŋ juwi]
Iwak asin [iwa?
Asin]: juwi [juwi],
gesek [gԑsԑ?]
Nomina
2. Konteks: bertanya kepada
penjual tape singkong.
P1:”Kiye agi gawe tape budin
pesenane Bu Sri.”
[kiyԑ agi gawԑ tapԑ budin
pәsәnanԑ bu sri]
Konteks: Bercerita membuat
makanan untuk lebaran.
P1:”Lik kepriwe gole gawe
kenyas?
[lik kәpriwԑ gɔlԑ gawԑ kәῆas]
P2:”Bager lah.”
[bagәr lah]
Tape budin [tapԑ
budin] : kenyas
[kәῆas]
Nomina
Contoh data tuturan sinonim adjektiva yang berwujud leksem majemuk
dengan leksem tunggal adalah:
39
Konteks: percakapan antara penjual dan pembeli
P1: “ Jangan kiye mak pirang-pirang, kiye mak milih mak!”
[jaŋan kiyԑ ma? piraŋ-piraŋ, kiyԑ ma? milɪh ma?]
„Sayur ini Bu, banyak, ini Bu pilih yang mana?‟
P2: “ Jangan apa bae?”
[jaŋan apa bae]
„Sayur apa saja?‟
Konteks: membicarakan hajatan mantenan.
P1:”Ibumu dhuwite ngadhug yah, arep barang gawe gedhen.”
[ibumu ḍuwitԑ ŋaḍug yah, arәp baraŋ gawԑ gәḍԑn]
„Ibu kamu uangnya banyak ya, akan mengadakan hajatan besar.‟
Pirang-pirang di desa Sirau mempunyai makna banyak sekali terdapat
dimana-mana. Kata tersebut termasuk ke dalam adjektiva atau kata sifat. Selain
itu, di desa Sirau juga menyebutnya dengan akeh, ngadhug. Data lain terlihat pada
tabel berikut:
NO DATA SINONIM Kategori
1. Konteks:
P1:”Dadi bocah koh klalar-
kleler temen yah nek mlaku.”
[dadi bɔcah kɔh klalar-klәlәr
tәmәn yah nԑ? Mlaku]
Konteks: membicarakan lomba
P1:”Kae gole mlayu be lindhik
ya ora kepilih lomba.”
[kaԑ gɔlԑ mlayu bԑ linḍi? Ya
ɔra kәpilih lɔmba]
Klalar-kleler
[klalar-klәlәr]:
lindhik [linḍi?],
lindhog [linḍɔg].
Adjektiva
2. Konteks:
P1:”Sawaeh mablak-mablak
nang ndi ora.”
[sawaԑh mabla?-mabla? naŋ ndi
ɔra]
Konteks: ditukang jahit
P1:”Kiye kang, klambiku tulung
jahitna sowek amba banget.”
[kiyԑ kaŋ klambiku tuluŋ
Mablak-mablak
[mabla?-mabla?]:
amba [amba],
jembar [jәmbar].
Adjektiva
40
jahitna sɔwԑ? amba baŋәt]
4.1.5 Frasa dengan Frasa
Contoh data dalam tuturan masyarakat Sirau pengguna dialek Banyumasan
yang mengandung sinonim berwujud frasa dengan frasa adalah:
Konteks: percakapan antar penjual dan pembeli di pasar Sirau.
P1:” Gawa godhong budin karo godhong gandhul malah nang kuwe wetan
durung dibayar.”
[gawa gɔḍɔŋ budin karo gɔḍɔŋ ganḍul malah naŋ kuwe wetan duruŋ
dibayar]
„Membawa daun singkong dan daun pepaya malah oleh orang sebelah
timur belum dibayar.‟
P2:” Godhong gandhul bae.”
[gɔḍɔŋ ganḍul bae]
„Daun pepaya saja.‟
P1:” Kiye nambah 3 ya!”
[kiyԑ nambah 3 ya]
„Ini tambah tiga ya!”
Konteks: melihat mas Yatin (tetangga) di pekarangan. Mas Yatin tinggal di
dekat daerah kanco yang merupakan daerah bagian dari kabupaten Cilacap.
P1:”Kang lagi ngepeti apa kuwe?”
[kaŋ lagi ŋәpԑti apa kuwԑ]
„Mas sedang memetik apa itu?‟
P2:”Godhong lobak kiye arep nggo mecel.”
[gɔḍɔŋ lɔba? kiyԑ arәp ŋgɔ mәcәl kiyԑ]
„Ini daun singkong untuk membuat pecel.‟
Dari data di atas terdapat kata godhong budin [gɔḍɔŋ budin] yang dalam
dialek Banyumasan mempunyai makna daun ketela pohon. Selain itu, masyarakat
juga ada yang menyebut dengan godhong boled [gɔḍɔŋ bɔlԑd], godhong lobak
[gɔḍɔŋ lɔba?]. Godhong budin [gɔḍɔŋ budin] dengan godhong boled [gɔḍɔŋ
bɔlԑd] merupakan wujud sinonim nomina frasa dengan frasa. Begitu pula dengan
41
Godhong budin [gɔḍɔŋ budin] dengan godhong lobak [gɔḍɔŋ lɔba?]. Tuturan
lainnya terdapat pada percakapan berikut:
Konteks: sedang membicarakan ayam peliharaan Bu Simar.
P1: ”Jere wingi pitike nini Simar dipangan sero?”
[jԑrԑ wiŋi pitikԑ nini simar dipaŋan sԑro]
„Katanya kemarin ayam milik nenek Simar dimakan kucing hutan?‟
P2:”Pira?”
[pira]
„Berapa?‟
Konteks tuturan: berbincang-bincang di depan rumah
P1: “Ya ora nana, bar kuwe maring nggone nini Simar, wong anu mbah
Muhdar arep umroh maning.”
[Ya ɔra nana, bar kuwԑ mariŋ ŋgɔnԑ nini Simar, wɔŋ anu mbah Muhdar
arәp umroh maniŋ]
„Ya tidak ada, setelah itu pergi ke rumah nenek Simar, Kakek Muhdar
akan pergi umroh lagi.‟
P2: “ Kur arep umroh thok ora kaji.”
[kur arәp umrɔh ṭɔ? ɔra kaji]
„Hanya umroh saja? Tidak pergi haji.‟
Dari data di atas terdapat kata nini Simar [nini simar] yang mempunyai
makna nenek Simar. Di desa Sirau mempunyai nama lain yaitu Mbah Simar,
Eyang Simar. Nini mempunyai makna orang tua perempuan dari bapak atau ibu.
Nini Simar dengan Mbah Simar dan Eyang Simar merupakan wujud sinonim frasa
dengan frasa. Data lainnya terlihat pada tabel berikut:
NO DATA SINONIM Kategori
1. Konteks: bercerita ketika
bertemu saudara.
P1:”Pas wingi lagi pas dina
apa nggih ketemu Kang Gito
jarene lagi pesen koci apa
apem yah Dhe?”
[pas wiŋi pas dina apa ŋgih
kәtәmu kaŋ gitɔ jarԑnԑ lagi
pәsәn kɔci apa apәm yah ḍԑ]
Kang Gito [kaŋ
gitɔ]: Mas Gito
[mas gito],
Kakang Gito
[kakaŋ gitɔ]
Nomina
42
Konteks: di depan rumah
P1:”Mamase ora melu bali
ngeneh Cha?”
[mamasԑ ɔra mԑlu bali ŋԑnԑh
cha]
2. Konteks: bercerita tentang
cucunya.
P1:”Padha dolanan, tes
digered nang ramane Reihan
karo adhine padha ngomonge
saru-saru.”
[paḍa dɔlanan tәs digԑrԑd naŋ
ramanԑ rԑihan karɔ aḍinԑ paḍa
ŋɔmɔŋԑ saru-saru]
Konteks: menunjukkan foto
bapaknya.
P1:”Kiye fotone bapakku karo
aku. Aku be ora menangi pas
bapakku ninggal Yu.”
[kiyԑ fɔtɔnԑ bapakku karɔ aku.
Aku bԑ ɔra mәnaŋi pas
bapakku niŋgal yu]
Ramane Reihan
[ramanԑ rԑihan]:
Bapake Reihan
[bapakԑ reihan]
Nomina
Wujud sinonim adjektiva frasa dengan frasa juga dapat dilihat pada tuturan
berikut:
Konteks: seorang ibu sedang menasehati anaknya.
P1: “Kuwe gole ngapa-ngapa aja pating slarah ya, ditatani maning.”
[kuwԑ gɔlԑ ŋapa-ŋapa aja patiŋ slarah ya, ditatani maniŋ]
„Kalau sedang apa saja jangan berantakan ya, ditata kembali.‟
Konteks: Ibu sedang memarahi anaknya
P1:”Aja pating gempalang kuwe tek keplak mengko.”
[aja patiŋ gәmpalaŋ kuwԑ tә? Kәpla? mәŋkɔ]
„Jangan berantakan, nanti saya pukul.‟
Dari tuturan di atas terdapat kata pating slarah [patiŋ slarah] yang mana di
desa Sirau mempunyai makna berantakan. Selain itu, masyarakat Sirau juga
43
menyebut berantakan dengan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ]. Pating slarah
[patiŋ slarah] dan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ] merupakan wujud sinonim
adjektiva frasa dengan frasa.
NO DATA SINONIM Kategori
1. Konteks: menunjukkan foto
P1:”Zen, kae fotone Mba Lia
thomlo-thomlo banget.”
[zԑn kaԑ fɔtɔnԑ mba lia ṭɔmlɔ-
ṭɔmlɔ baŋәt]
Konteks: heran melihat Riska
P1:”Gumun aku, Riska bunder
banget raine mangan apa
sih?”
[gumun aku riska bundәr baŋәt
rainԑ maŋan apa sih]
Thomlo-thomlo
banget [ṭɔmlɔ-ṭɔm
lɔ baŋәt] : Bunder
banget [bundәr
baŋәt]
Adjektiva
2. Konteks: marah-marah
P1:”Aku nggo omeh-omehan,
aku ora budheg.”
[aku ŋgɔ ɔmԑh- ɔmԑhan, aku
ɔra buḍәg]
Konteks: membanding-
bandingkan
P1:”Kae kaya nini Caplang
dadi budhong, diundangi ora
krungu-krungu.”
[kaԑ kaya nini caplaŋ dadi
buḍɔŋ diundaŋi ɔra kruŋu
kruŋu]
Ora budheg [ɔra
buḍәg] : ora
budhong [ɔra
buḍɔŋ]
Adjektiva
4.2 Faktor Penyebab Sinonim
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesinoniman diantaranya
faktor waktu, wilayah, penutur dan sosial, nuansa makna, dan bidang kegiatan
atau pemakaina.
44
4.2.1 Faktor Waktu
Contoh data tuturan sinonim nomina dalam dialek Banyumasan:
Konteks tuturan: seorang ibu sedang memerintah anaknya.
P1: “ Pune diwadhaih kresek kuwe!”
[punԑ diwaḍaih krԑsԑ? kuwԑ]
„Toplesnya dimasukan ke dalam kantong plastik itu.‟
P2:”Lah endi.”
[lah әndi].
„Mana.‟
Konteks Tuturan: bertamu
P1:”Kuwe sing nang toples roti apa?”
[kuwԑ siŋ naŋ tɔplԑs rɔti apa]
„Yang di dalam toples itu kue apa?‟
Dari tuturan di atas terdapat kata pun [pun]. Kata itu di desa Sirau
mempunyai makna toples yang terbuat dari bahan sejenis seng. Pun [pun] banyak
disebut oleh orang-orang jaman dahulu, kemudian penyebutan dengan istilah
lodhong [lɔḍɔŋ], dan sekarang penyebutan pun [pun] sudah jarang dan sebagian
besar sekarang menyebut pun [pun] dengan istilah toples. Perbedaan waktu dan
kemajuan jaman yang menyebabkan istilah pun [pun] jarang sekali digunakan
bahkan hampir punah.
Urutan pemakaian kata: pun [pun] lodhong [lɔḍɔŋ] toples
Selain itu, juga terlihat pada tuturan sinonim adjektiva di bawah ini:
Konteks: Seorang ibu sedang membicarakan saudaranya di ruang tamu.
P1:”Umpamane diparingi struk ora teles ngapa-ngapa, mbok ya melu
anak.”
[umpamane diparingi struk ɔra tԑlԑs ŋapa-ŋapa mbɔ? Ya mԑlu ana?]
„Seandainya diberi struk tidak bisa apa-apa, kan ikut anak.‟
Konteks tuturan: sedang bermain game
P1: “Kiye sing pertama endi?”
[kiyԑ siŋ pәrtama әndi]
45
„Ini yang pertama mana?‟
P2:”Kaya teyeng?”
[kaya tԑyԑŋ]
„Apa bisa?‟
P1: “Teyeng insyaalloh.”
[tԑyԑŋ insyaallɔh]
„Bisa insyaalloh.‟
Dari tuturan di atas terdapat istilah teles [tԑlԑs] yang mempunyai makna
bisa. Di desa Sirau juga mempunyai istilah lain yaitu teyeng [tԑyԑŋ], jegos [jegɔs]
dan bisa. Teles [tԑlԑs], istilah itu dipakai pada jaman dahulu oleh orang-orang tua
jaman kuna. Urutan pemakaian kata:
teles [tԑlԑs] Mempunyai makna bisa dipakai oleh
orang-orang tua jaman dulu.
teyeng [tԑyԑŋ] Mempunyai makna bisa, masih banyak
digunakan oleh anak muda, dan
masyarakat.
jegos [jegɔs] Untuk menyatakan bisa, mumpuni
dalam pekerjaan.
Bisa Untuk menyatakan mampu pada
umumnya.
Sekarang yang banyak dipakai adalah bisa. Faktor waktu yang
menyebabkan istilah ini sudah jarang sekali dipakai. Teles [tԑlԑs] dapat juga
bermakna basah teles [tәlәs]. Urutan pemakaian kata:
teles [tԑlԑs] teyeng [tԑyԑŋ] bisa
Data lain juga terlihat pada tabel berikut:
No. Data Sinonim Kategori
1. Konteks: membicarakan oleh-
oleh pergi haji.
P1:”Kakine malah ora ulih
apa-apa kang Arab.”
[kakinԑ malah ɔra ulih apa-apa
kaŋ arab]
Konteks tuturan: berbincang-
Kaki [kaki]:
kakek [kakԑ?],
mbah kakung
[mbah kakuŋ],
eyang kakung
[ԑyaŋ kakuŋ]
Nomina
46
bincang di depan rumah
P1: “Ya ora nana, bar kuwe
maring nggone nini Simar,
wong anu mbah Muhdar
arep umroh maning.”
[Ya ɔra nana, bar kuwԑ mariŋ
ŋgɔnԑ nini Simar, wɔŋ anu
mbah Muhdar arәp umroh
maniŋ]
P2: “ Kur arep umroh thok ora
kaji.”
[kur arәp umrɔh ṭɔ? ɔra kaji]
Keterangan:
Kaki banyak dituturkan pada jaman dulu. Jaman sekarang sebagian
besar menyebut kakek dengan mbah kakung, eyang kakung.
Urutan pemakaian kata:
Kaki mbah kakung eyang kakung
Kaki mempunyai makna orang tua dari ibu, terkesan kuno, desa.
Mbah kakung penyebutan untuk makna kakek pada umumnya di
Sirau.
Eyang kakung mempunyai makna gaul, sudah terpengaruh suasana
kota.
2. Konteks: Bertamu
P1:”Kae ana dhayoh kang
endi?”
[kaԑ ana ḍayɔh kaŋ әndi]
Konteks: di tukang pijat
P1:”Kowe nek arep pijet
maning sore ya, nek isuk akeh
tamu.”
[kɔwԑ nԑ? Arәp pijәt maniŋ
sɔrԑ ya nԑ? Isu? akԑh tamu]
Dhayoh [ḍayɔh]
: tamu [tamu]
Nomina
Keterangan:
Dayoh [ḍayɔh] banyak dituturkan pada jaman dulu. Jaman sekarang
sebagian besar menyebut tamu dengan tamu saja (tetap).
47
4.2.2 Faktor Wilayah
Contoh data tuturan yang mengandung sinonim nomina disebabkan oleh
faktor wilayah adalah:
Konteks: seorang ibu yang sedang berbelanja di pasar bersama tetangganya.
P1: “Karo cethok kuwe, mbok wis ra duwe cethok sing kaya kiye.”
[karo cԑṭɔ? kuwԑ, mbɔk wis ra duwԑ ceṭɔk kaya kiye]
„Sama tempat serok sampah itu, kan sudah tidak punya tempat serok
sampah yang seperti ini.‟
P2: “Duwe. Timpalan mbok?”
[duwԑ, timpalan mbɔk]
„Punya, tempat serok sampah kan?‟
Dari data tuturan di atas, terdapat istilah cethok [ceṭɔk] dan timpalan
[timpalan]. Kedua istilah itu merujuk pada makna yang sama yaitu tempat untuk
menyerok sampah. Penggunaan istilah cethok [ceṭɔk] dipakai oleh sebagian besar
masyarakat desa Sirau, sedangkan istilah timpalan [timpalan] digunakan oleh
masyarakat desa Sirau yang berbatasan dengan desa Sikanco kabupaten Cilacap.
Data lain juga terlihat pada tabel berikut:
No Data Sinonim Kategori
1. Konteks: percakapan antar
penjual dan pembeli di pasar
Sirau.
P1:”Gawa godhong budin
karo godhong gandhul malah
nang kuwe wetan durung
dibayar.”
[gawa gɔḍɔŋ budin karo
gɔḍɔŋ ganḍul malah naŋ
kuwe wetan duruŋ dibayar]
Konteks: melihat mas Yatin
(tetangga) di pekarangan.
Mas Yatin tinggal di dekat
daerah kanco yang
merupakan daerah bagian
Godhong budin
[gɔḍɔŋ budin]:
godhong lobak
[gɔḍɔŋ lɔba?],
godhong boled
[gɔḍɔŋ bɔlԑ]
Nomina
48
dari kabupaten Cilacap.
P1:”Kang lagi ngepeti apa
kuwe?”
[kaŋ lagi ŋәpԑti apa kuwԑ]
P2:”Godhong lobak kiye
arep nggo mecel.”
[gɔḍɔŋ lɔba? kiyԑ arәp ŋgɔ
mәcәl kiyԑ]
Keterangan:
godhong lobak [gɔḍɔŋ lɔba?] banyak dituturkan oleh masyarakat
Sirau yang berbatasan dengan desa Sikanco.
4.2.3 Faktor Penutur dan Sosial
Kesinoniman nomina dapat disebabkan oleh faktor penutur diantaranya:
Konteks: melihat penjual kipas.
P1:” Dah, ilir kuwe kaya nggone mbaeh.” (melihat penjual kipas)
[dah, ilɪr kuwe kaya ŋgɔnԑ mbaeh]
„Dah, kipas itu seperti miliknya simbah.‟
P2:” Arep tuku?” (bertanya)
[arәp tuku]
„Mau membeli?‟
Konteks: cuaca panas.
P1:”Panas temen ndi kipase kiye!”
[panas tәmәn ndi kipasԑ kiyԑ]
„Panas sekali, kipasnya dimana?‟
Dari tuturan di atas terdapat kata ilir [ilɪr] yang mempunyai makna kipas
besar terbuat dari bambu. Orang-orang tua seperti nenek-nenek, kakek-kakek
banyak yang menyebut kipas itu dengan istilah ilir [ilɪr]. Sedangkan anak-anak
muda jaman sekarang jarang sekali yang mengenal istilah ilir [ilɪr], mereka
menyebutnya dengan kipas. Faktor penutur berdasarkan usia juga mempengaruhi
terjadinya kesinoniman.
49
Dapat dilihat juga dalam sinonim adjektiva pada tuturan berikut:
Konteks: percakapan kumpulan orang yang sedang membicarakan anak
tetangganya tenggelam di pantai selatan.
P1: “ Ya, seprene kaya wong kenthir, wong anak siji-sijine thok.”
[ya, sәprԑnԑ kaya wɔŋ kәnṭir, wɔŋ ana? siji-sijinԑ ṭɔ?]
„Ya, seperti orang gila, anak hanya satu-satunya.‟
Konteks: membicarakan tetangganya.
P1:”Wong kae stres gara-gara kakehen utang ya kang?”
[wɔŋ kaԑ stres gara-gara kakԑhәn utaŋ ya kaŋ]
„Orang itu gila karena mempunyai banyak hutang ya Mas?‟
Dari tuturan di atas terdapat kata kenthir [kәnṭir] yang bermakna orang gila,
kurang waras. Kata-kata itu biasa dituturkan oleh orang-orang yang kurang
berpendidikan. Kata tersebut termasuk kata yang kasar. Data lain juga terlihat
pada tabel berikut.
No. Data Sinonim Kategori
1. Konteks: bercerita di
samping rumah.
P1:”Enyong, ya sering
maring sawah sering
ngonoh ora tau
mampir, ngarep wis
disosi.”
[әῆɔŋ ya sәriŋ mariŋ
ŋɔnɔh ɔra tau mampir,
ŋarәp wis disɔsi]
Konteks: mencari
kunci sekolahan.
P1:”Jere Mas, kuncine
nang Pak Sukir.”
[jԑrԑ mas kuncinԑ naŋ
pa? Sukir]
Sosi [sɔsi]: kunci [kunci] Nomina
Keterangan:
Kata sosi [sɔsi] untuk menyatakan kunci banyak dituturkan oleh
orang tua atau sepuh. Banyak ditemui di kalangan masyarakat
50
menengah ke bawah. Jaman sekarang anak-anak muda jarang yang
mengenal kata itu.
2. Konteks:
membicarakan sifat
tetangganya.
P1:”Mangan sarimi
akeh banget,
mbangsrong banget.”
[maŋan sarimi akԑh
baŋәt, mbaŋsrɔŋ
baŋәt]
Konteks: di ruang
makan.
P1:”Kemaruk temen
gole mangan koh.”
[kәmaru? Tәmәn gɔlԑ
maŋan kɔh]
Mbrangsong [mbaŋsrɔŋ]
:rakus [rakus], kemaruk
[kәmaru?]
Adjektiva
Keterangan: mbangsrong [mbaŋsrɔŋ] banyak dituturkan oleh orang-
orang tua sosial menengah ke bawah untuk menyatakan orang yang
rakus terhadap makanan.
4.2.4 Faktor Nuansa Makna
Contoh tuturan sinonim nomina yang dilatarbelakangi faktor nuansa makna:
Konteks: sedang membicarakan oleh-oleh haji.
P1:”Kakine malah ora ulih apa-apa kang Arab.”
[kakinԑ malah ɔra ulih apa-apa kaŋ arab]
„Kakeknya malah tidak dapat apa-apa dari Arab.‟
P2: ”Zam-zam.”
[zam-zam]
„Zam-zam.‟
P1:”Ora, ya ulih sithithik karo gendul.”
[ɔra, ya ulih seṭiṭi? karɔ gәndul]
„Tidak, ya dapat sedikit memakai botol.‟
Konteks: menyuruh mengisi air.
P1:”Kiye Nis, banyune wadhaih botol dhisit!”
[kiyԑ nis baῆunԑ waḍaih bɔtɔl ḍisit]
„Ini Nis, airnya dimasukkan botol dulu.‟
51
Dari tuturan di atas terdapat kata gendul [gәndul] yang mempunyai makna
botol. Kata gendul [gәndul] di desa Sirau mempunyai makna yang terkesan kuno,
dipakai oleh orang-orang jaman dulu. Sekarang sudah jarang dipakai, pada
umumnya menggunakan istilah botol.
Contoh tuturan sinonim adjektiva di desa Sirau:
Konteks: sedang membicarakan wisuda.
P1:”Wisuda pas wingi februari?”
[wisuda pas wiŋi fԑbruari]
„Wisuda kemarin februari?‟
P2:”Jos banget lah.”
[jɔs baŋәt lah]
„Sangat hebat ya.‟
Dari tuturan di atas, terdapat kata jos [jɔs] yang mempunyai makna sangat
hebat. Masyarakat Sirau jika sudah berkata jos [jɔs] berati mereka dalam hati
kagum, bangga terhadap orang lain bukan hanya sekedar memberikan pujian.
Data lain juga terlihat pada tabel berikut.
No. Data Sinonim Keterangan
1. Konteks: Bercerita tidak
mempunyai uang.
Lah jan sekeng banget
yakin.
[lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin]
Konteks: mengajak
membeli makanan
P1:”Bebeh lah pet, aku lagi
kere, aku bebeh tuku jajan.”
[bәbәh lah pԑt, aku lagi kԑrԑ,
aku bәbәh tuku jajan]
Sekeng [sԑkԑŋ]:
kere [kԑrԑ], ora
duwe [ɔra duwԑ],
mlarat [mlarat]
Adjektiva
Keterangan:
Sekeng [sԑkԑŋ] mempunyai makna tidak mempunyai harta atau
uang. Sedangkan mlarat [mlarat] menyatakan benar-benar tidak
mempunyai harta benda.
52
2. Konteks: memerintah
menyimpan pisang.
P1:”Kuwe gedhange
dibenaih senthong bae.”
[kuwԑ gәḍaŋԑ dibәnaih
sәnṭɔŋ baԑ]
Konteks: menjenguk
tetangga.
P1:”Bagas sih nang kamar
apa? ndi jere mriyang.”
[bagas naŋ kamar apa jԑrԑ
mriyaŋ]
Senthong
[sәnṭɔŋ]: kamar
[kamar]
Nomina
Keterangan:
Senthong [sәnṭɔŋ] mempunyai makna sama dengan kamar. Jika
menggunakan rasa, kata senthong [sәnṭɔŋ] terdengan kuno, karena
senthong banyak ditemui oleh tuturan orang-orang jaman dulu atau
orang-orang sepuh.
4.2.5 Faktor Bidang Kegiatan/Pemakaian
Contoh tuturan dalam dialek Banyumasan di desa Sirau:
Konteks: Seseorang sedang makan sayur nangka muda.
P1:” Rasane nylekapet banget kiye.”
[rasanԑ ῆlәkapәt baŋet kiyԑ]
„Rasanya enak sekali ini.‟
P2:”Anu apa sih?”
[anu apa sih]
„Apa sih?‟
Konteks: mencicipi masakan.
P1:” Kiye ndukhim temen yah jangan kangkunge.”
[kiyԑ ndukhim tәmәn yah jaŋan kaŋkuŋԑ]
„Enak sekali sayur kangkung ini.‟
Dari data di atas terdapat kata nylekapet [ῆlәkapәt] yang mempunyai makna
enak, gurih. Selain itu, kata lain yang menyatakan enak di desa Sirau yaitu
ndukhim [ndukhim], nylekitho [ῆlәkiṭɔ]. Nylekapet [ῆlәkapәt] digunakan untuk
menyatakan enak pada masakan yang bersantan kental. Ndukhim [ndukhim]
53
digunakan untuk menyatakan enak pada sayuran yang ditumis dengan kuah
sedikit. Sedangkan nylekitho [ῆlәkiṭɔ] digunakan untuk menyatakan rasa enak
pada lauk pauk misalnya ayam goreng, sate dan lain-lain. Tuturan lainnya yaitu:
Konteks tuturan: membicarakan cuaca
P1:” Adhem.”
[aḍәm]
„Dingin.‟
P2:”Pancen lah.”
[pancԑn lah]
„Memang.‟
Konteks: membicarakan air
P1:”Banyune anyes banget lah.”
[baῆunԑ aῆәs baŋәt lah]
„Airnya dingin sekali.‟
Adhem [aḍәm] mempunyai makna hawa atau cuaca yang sejuk, dingin.
Nama lain adhem [aḍәm] yaitu atis [atis], anyes [aῆәs]. Penggunaan kata adhem
[aḍәm] dan atis [atis] untuk menyatakan hawa, sedangkan anyes [aῆәs] untuk
menyatakan benda yang dingin seperti es. Istilah untuk menyatakan makna dingin
berbeda pada setiap konteks tuturannya tergantung benda atau objek yang
dibicarakan.
Data lain terlihat pada tabel berikut.
No. Data Sinonim Kategori
1. Konteks: kagum melihat
orang cantik.
P1:”Wow, ayu temen ya.”
[woʷ, ayu tәmәn ya]
Konteks: melihat perempuan
P1: “Mlisninge kulite kaya
bengkoang prembun.”
[mlisniŋԑ kaya bәŋkɔaŋ
Ayu:mlowes
[mlɔwԑs],
mlisning
[mlisniŋ],
moncer
[mɔncԑr],
Adjektiva
54
prәmbun]
Keterangan:
Ayu digunakan cantik secara umum.
Mlowes [mlɔwԑs] digunakan untuk menyatakan cantik pada orang
yang berkulit putih.
Mlisning [mlisniŋ] digunakan untuk menyatakan cantik pada orang
yang berkulit kuning.
Moncer [mɔncԑr] digunakan untuk menyatakan cantik pada orang
yang dalam berpakaian berlebihan.
BAB V
55
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di desa Sirau dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Wujud sinonim nomina dan adjektiva dialek Banyumasan di desa Sirau
meliputi leksem dengan leksem, leksem tunggal dengan leksem majemuk,
leksem tunggal dengan frasa, leksem majemuk dengan leksem tunggal dan
frasa dengan frasa.
2. Faktor penyebab sinonim nomina dan adjektiva yang ditemukan dari hasil
analisis data adalah faktor waktu, wilayah, penutur dan sosial, nuansa
makna dan bidang pemakaian atau kegiatan.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian kesinoniman dialek Banyumasan yang telah dilakukan,
peneliti menyarankan penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian mengenai
homonim dan homograf dialek Banyumasan. Selain itu, penggunaan kata-kata
bersinonim terutama kata sifat yang merujuk pada makna negatif sebaiknya lebih
diperhatikan dalam pemakaiannya.
Daftar Pustaka 55
56
Alwasilah, Chaedar. A. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Percetakan
Angkasa.
Aminuddin. 2011. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar
Baru Algesindo.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 1. Bandung: PT Refika Aditama.
Ekoyanantyasih, Ririen dan Sri Winarti. 2010. Tata Hubungan Makna
Kesinoniman Nomina Insani Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Herawati, dkk. 1995. Nomina, Pronomina, dan Numeralia dalam Bahasa Jawa.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Keraf, Goyrs. 1982. Tata Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.
Keraf, Goyrs. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata dan Budaya. Purwokerto: CV. Metrojaya.
Kridalaksana, Harimurti. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahap Strategi, Metode dan Tekniknya.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Murniah, Dad, Hari Sulastri, Atidjah Hamid. 2000. Kesinoniman dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
56
57
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syamsudin dan Vismaia S. Damaianti. 2007. Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Soedjito. 1989. Sinonim. Bandung: C.V. Sinar Baru.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007). Kesinoniman Nomina Non Insani
dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Utami, Retno. 2010. Kajian Sinonim Nomina dalam Bahasa Indonesia. Tesis:
Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Verhar, J.W.M. 1977. Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Zulecha, Ida. 2005. Dialektologi: Dialek Geografi dan Sosial. Semarang: Rumah
Indonesia.
1
Lampiran-lampiran
58
CONTOH DATA
NO. DATA
SINONIM KATEGORI
1. Konteks: Tamu bertanya ketika
melihat banyak rempeyek.
P1:”Anu gorengan arep digawa
apa?”
[anu gɔrԑŋan arәp digawa apa]
Gorengan
[gɔrԑŋan]:
rempeyek
[rәmpԑyԑ?]
Nomina
2. Konteks: Bercerita kota Binangun
P1:”Kono Binangun nang PT apa-
apa sing tukang madhaih pil. Kae
apa toko obat-obatan apa apa
yah?”
[kɔnɔ binaŋun naŋ pt apa-apa siŋ
tukaŋ maḍaih pil. kaԑ apa tɔkɔ
ɔbat-ɔbatan apa-apa yah]
Pil [pil]: obat Nomina
3. Konteks: Menceritakan Muksin
P1:”Kaya Muksin lah nyengiti,
wong nang bank ya kerjane mulai
sing pait-pait.”
[kaya muksin lah ῆәŋiti wɔŋ naŋ
bank ya kәrjanԑ mulai siŋ pait-
pait]
Nyengiti
[ῆәŋiti]: nyebeli
[ῆәbәli]
Adjektiva
4. Konteks: Melihat tanaman padi
P1: ”Melong-melong nang
sawah.”
[tanduran mәlɔŋ- mәlɔŋ naŋ
sawah]
melong-melong
[mәlɔŋ- mәlɔŋ]:
kinclong
[kinclɔŋ]
Adjektiva
5. Konteks: menanyakan keadaan
sawah
P1:”Ketilem napa Dhe? Kenang
sremet?”
[kәtilәm napa ḍԑ? Kәnaŋ srәmәt]
Sremet [srәmәt]:
tikus [tikus]
Nomina
6. Konteks: membicarakan hasil
panen
P1:”Ora ngengeh sekandhi-
kandhia.”
[ɔra ŋәŋԑh sәkanḍi-kanḍia]
Kandhi [kanḍi]:
karung goni
[karuŋ gɔni]
Nomina
59
7. Konteks: membicarakan
tetangganya yang gila.
P1:”Ya seprene kaya wong
kenthir, wong anak siji-sijine
thok.”
[ya, sәprԑnԑ kaya wɔŋ kәnṭir, wɔŋ
ana? siji-sijinԑ ṭɔ?]
Kenthir [kәnṭir]:
Gemblung
[gәmbluŋ], stres
[strԑs], sinting
[sintiŋ], edan
[ԑdan],
gendheng
[gәnḍәŋ],
kongslet
[kɔŋslԑt], miring
[miriŋ].
Adjektiva
8. Konteks: membicarakan oleh-oleh
pergi haji
P1:”Kakine malah ora ulih apa-
apa kang Arab.”
[kakinԑ malah ɔra ulih apa-apa
kaŋ arab]
Kakine [kakinԑ]:
Mbah kakung
[mbah kakuŋ],
eyang kakung
[ԑyaŋ kakuŋ]
Nomina
9. Konteks: membicarakan oleh-oleh
pergi haji.
P1:”Ora, ya ulih sethithik karo
gendul.”
[ɔra, ya ulih seṭiṭi? karɔ gәndul]
Gendul
[gәndul]: botol
[bɔtɔl]
Nomina
10. Konteks: berbincang-bincang di
teras.
P1:”Nyong, ya sering maring
sawah sering ngonoh ora tau
mampir, ngarep wis disosi.”
[әῆɔŋ ya sәriŋ mariŋ ŋɔnɔh ɔra tau
mampir, ŋarәp wis disɔsi]
Sosi [sɔsi]:
kunci [kunci]
Nomina
11. Konteks: bercerita pasar malam
P1:”Kae nang pasar malem ana
tong edan.”
[kaԑ naŋ pasar malәm ana tɔŋ
ԑdan]
Tong [tɔŋ] :
drim [drim]
Nomina
12. Konteks: bercerita tentang
kedatangan tamu.
P1:”Wingi ya ngeneh karo
biyunge ana rong minggu.”
[wiŋi ya ŋԑnԑh karɔ biyuŋԑ ana
rɔŋ miŋgu]
Biyunge
[biyuŋԑ]:
mamake
[mama?e],
mboke [mbɔ?ԑ],
ibune [ibunԑ]
Nomina
60
13. Konteks: di dapur
P1:”Nang pedangan kae akeh
panganan.”
[naŋ pәdaŋan kaԑ akԑh paŋanan]
Pedangan
[pәdaŋan]:
pawon [pawɔn]
Nomina
14. Konteks: bercerita ketika
membesan.
P1:”Critane enyong wis mbesan
ana gawa pring, klapa, beras.”
[critanԑ әῆɔŋ wis mbԑsan ana
gawa priŋ, klapa, bәras]
Klapa [klapa]:
krambil
[krambil]
Nomina
15. Konteks: menawarkan dagangan
P1:”Kiye lumbu, kiye kethewel,
sambele?”
[kiyԑ lumbu, kiyԑ kәṭԑwԑl,
sambәlԑ]
Lumbu [lumbu]
:lompong
[lɔmpɔŋ]
Nomina
16. Konteks: di dapur
P1:”Dah, deneng kiye rasane
letek temen.”
[dah, dԑnԑng kiyԑ rasanԑ lәtԑ?
tәmәn]
letek [lәtԑ?]:
asin
Adjektiva
17. Konteks: bercerita mesin cuci
P1:”Nek mesin kaya kae mayar ya
gole ngumbaih.”
[nԑ? Mәsin kaya kaԑ mayar ya
gɔlԑ ŋumbaih]
Mayar [mayar] :
gampang
[gampaŋ],
kepenak
[kәpԑna?]
Adjektiva
18. Konteks:menceritakan sifat
anaknya
P1:”Kae nek duwe dhuwit kucir
pisan ora ulih dijaluki sapa-
sapa.”
[kaԑ nԑ? duwԑ ḍuwit kucir pisan
ɔra ulih dijaluki sapa-sapa]
Kucir [kucir] :
medhit [mәḍit],
mbethithil
[ᵐbeṭiṭil], ndruni
[ndruni], kumed
[kumәd]
Adjektiva
19. Konteks: berbincang-bincang di
ruang tamu
P1:”Paling tuku ubluk kae sing
ditarik kaya nggone Mijan.”
[paliŋ tuku ublu? kaԑ siŋ ditari?
Kaya ŋgɔnԑ mijan]
Ubluk [ublu?]:
Pit motor [pit
mɔtɔr]
Nomina
61
20. Konteks: bercerita pulang dari
Jogja.
P1:”Bali aku terus tuku setriwel,
ngontal antimo men ora mumet.”
[bali aku tәrus tuku sәtriwәl,
ŋɔntal antimo mԑn ɔra mumәt]
Setriwel
[sәtriwәl]: kaos
kaki [kaɔs kaki],
kasut [kasut]
Nomina
21. Konteks: Bercerita tentang
cucunya.
P1:”Nek sekolah be nganggo
pantalon.”
[nԑ? sәkɔlah bԑ ŋaŋgɔ pantalɔn]
Pantalon
[pantalɔn]
:kathok dawa
[kaṭɔ? dawa]
Nomina
22. Konteks: di warung
P1:”Cara-carane koste yayan
perek karo kowe apa?”
[cara-caranԑ kɔstԑ yayan pԑrә?
karɔ kɔwԑ apa]
Perek [pԑrә?]:
cedhek [cәḍә?],
ora adoh [ɔra
adoh]
Adjektiva
23. Konteks: memerintah jangan
cepat-cepat.
P1:”Gole mlaku aja kebat-kebat.”
[gɔlԑ mlaku aja kәbat-kәbat]
Kebat [kәbat]:
Banter banget
[bantәr baŋәt],
kobet banget
[kɔbԑt baŋәt].
Adjektiva
24. Konteks: ketika dikasih makanan
oleh orang lain.
P1:”Ulih sega brekat padha
mangan iwak ya.”
[ulih sәga brәkat paḍa maŋan iwa?
Ya]
sega brekat
[sәga brәkat]:
punjungan
[punjuŋan].
Nomina
25. Konteks: bercerita makan dengan
lauk ikan asin.
P1:”Madang lawuh iwak asin.”
[maḍaŋ lawuh iwa? Asin]
Iwak asin [iwa?
Asin]: juwi
[juwi], gesek
[gԑsԑ?]
Nomina
26. Konteks:bertanya kepada penjual
tape singkong.
P1:”Kiye agi gawe tape budin
pesenane Bu Sri.”
[kiyԑ agi gawԑ tapԑ budin
pәsәnanԑ bu sri]
Tape budin [tapԑ
budin] : kenyas
[kәῆas]
Nomina
27. Konteks: menyindir
P1:”Dadi bocah koh klalar-kleler
Klalar-kleler
[klalar-klәlәr]:
Adjektiva
62
temen yah nek mlaku.”
[dadi bɔcah kɔh klalar-klәlәr
tәmәn yah nԑ? Mlaku]
lindhik [linḍi?],
lindhog [linḍɔg
28. Konteks: menceritakan sawah
P1:”Sawaeh mablak-mablak nang
ndi ora.”
[sawaԑh mabla?-mabla? naŋ ndi
ɔra]
Mablak-mablak
[mabla?-
mabla?]: amba
[amba], jembar
[jәmbar].
Adjektiva
29. Konteks:bercerita ketika bertemu
saudara.
P1:”Pas wingi lagi pas dina apa
nggih ketemu Kang Gito jarene
lagi pesen koci apa apem yah
Dhe?”
[pas wiŋi pas dina apa ŋgih
kәtәmu kaŋ gitɔ jarԑnԑ lagi pәsәn
kɔci apa apәm yah ḍԑ]
Kang Gito [kaŋ
gitɔ]: Mas Gito
[mas gito],
Kakang Gito
[kakaŋ gitɔ]
Nomina
30. Konteks: bercerita tentang
cucunya
P1:”Padha dolanan, tes digered
nang ramane Reihan karo adhine
padha ngomonge saru-saru.”
[paḍa dɔlanan tәs digԑrԑd naŋ
ramanԑ rԑihan karɔ aḍinԑ paḍa
ŋɔmɔŋԑ saru-saru]
Ramane Reihan
[ramanԑ rԑihan]:
Bapake Reihan
[bapakԑ reihan]
Nomina
31. Konteks: menunjukkan foto
P1:”Zen, kae fotone Mba Lia
thomlo-thomlo banget.”
[zԑn kaԑ fɔtɔnԑ mba lia ṭɔmlɔ-
ṭɔmlɔ baŋәt]
Thomlo-thomlo
banget [ṭɔmlɔ-
ṭɔm lɔ baŋәt] :
Bunder banget
[bundәr baŋәt]
Adjektiva
32. Konteks: marah-marah
P1:”Aku nggo omeh-omehan, aku
ora budheg.”
[aku ŋgɔ ɔmԑh- ɔmԑhan, aku ɔra
buḍәg]
Ora budheg [ɔra
buḍәg] : ora
budhong [ɔra
buḍɔŋ]
Adjektiva
33. Konteks: menceritakan
tetangganya
P1:”Umpamane diparingi struk
ora teles ngapa-ngapa, mbok ya
melu anak.”
teles [tԑlԑs]:
teyeng [tԑyԑŋ],
jegos [jegɔs]
Adjektiva
63
[umpamane diparingi struk ɔra
tԑlԑs ŋapa-ŋapa mbɔ? Ya mԑlu
ana?]
34. Konteks: ada tamu
P1:”Kae ana dhayoh kang endi?”
[kaԑ ana ḍayɔh kaŋ әndi]
Dhayoh [ḍayɔh]
: tamu [tamu]
Nomina
35. Konteks: marah kepada anaknya
P1:”Bocah koh lengus banget.”
[bɔcah kɔh lәŋus baŋәt]
Lengus [lәŋus]:
buteng [butәŋ]
Adjektiva
36. Konteks: di pasar, percakapan
dengan pedagang
P1:”Gawa godhong budin karo
godhong gandhul malah nang
kuwe wetan durung dibayar.”
[gawa gɔḍɔŋ budin karo gɔḍɔŋ
ganḍul malah naŋ kuwe wetan
duruŋ dibayar]
Godhong budin
[gɔḍɔŋ budin]:
godhong lobak
[gɔḍɔŋ lɔba?],
godhong boled
[gɔḍɔŋ bɔlԑ]
Nomina
37. Konteks: menyindir
P1:”Mangan sarimi akeh banget,
mbangsrong banget.”
[maŋan sarimi akԑh baŋәt,
mbaŋsrɔŋ baŋәt]
Mbrangsong
[mbaŋsrɔŋ]
:rakus [rakus],
kemaruk
[kәmaru?]
Adjektiva
38. Konteks: kagum pada prestasi
temannya
P1:”Jos banget lah.”
[jɔs baŋәt lah]
Jos [jɔs]: sangar
[saŋar]
Adjektiva
39. Konteks: akan membeli jajanan
P1:”Lah jan sekeng banget
yakin.”
[lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin]
Sekeng [sԑkԑŋ]:
kere [kԑrԑ], ora
duwe [ɔra
duwԑ], mlarat
[mlarat]
Adjektiva
40. Konteks: menyuruh menyimpan
pisang
P1:”Kuwe gedhange dibenaih
senthong bae.”
[kuwԑ gәḍaŋԑ dibәnaih sәnṭɔŋ
baԑ]
Senthong
[sәnṭɔŋ]: kamar
[kamar]
Nomina
41. Konteks: heran melihat orang Ayu:mlowes Adjektiva
64
cantik
P1:”Wow, ayu temen ya.”
[woʷ, ayu tәmәn ya]
[mlɔwԑs],
mlisning
[mlisniŋ],
moncer
[mɔncԑr],
42. Konteks: mencicipi masakan
P1:”Rasane nylekapet banget
kiye.”
[rasanԑ ῆlәkapәt baŋet kiyԑ]
nylekapet
[ῆlәkapәt]:
ndukhim
[ndukhim],
nylekitho
[ῆlәkiṭɔ],
ndesmin
[ndәsmin]
Adjektiva
43. Konteks: bercerita tentang
temannya
P1:”Tulih enyong duwe batir
lengobe pol.”
[tulih әῆɔŋ duwԑ batir lәŋɔbԑ pɔl]
Lengob [lәŋɔb]:
goblog [gɔblɔg],
pekok [pәkɔ?]
Adjektiva
44. Konteks: menceritakan anak
jaman sekarang
P1:”Bocah siki kan ndlidig ora
kaya bocah mbiyen ya ora.”
[bɔcah siki kan ndlidig ɔra kaya
bɔcah mbiyԑn ya ɔra]
Ndlidig
[ndlidig]:
nylithas [ῆliṭas],
mecicil [mәcicil]
Adjektiva
45. Konteks: di tukang jahit
P1:”Kuwe anu levis apa?”
[kuwԑ anu lԑvis apa]
Levis [lԑvis]:
kathok jin [kaṭɔ?
jin]
Nomina
46. Konteks: menceritakan guru SD
P1:”Kae nang sekolahan ya
ganas.” [kaԑ naŋ sәkɔlahan ya ganas]
Ganas [ganas]:
ladak [lada?],
kereng [kәrәŋ]
Adjektiva
47. Konteks: berbincang-bincang di
samping rumah
P1:”Tangga-tanggane padha
ngingoni asu.”
[taŋga-taŋganԑ paḍa ŋiŋɔni asu]
Asu [asu]:
mbaung
[mbauŋ]
Nomina
48. Konteks: memakan pisang kapok.
P1:”Iya tapi akeh wijine.”
[iya tapi akԑh wijinԑ]
Wiji [wiji]: isi
[isi]
Nomina
49. Konteks: menyuruh mengikatkan Ban [ban]: Nomina
65
sabuk
P1:”Mba kuwe jiretna arep
nganggo ban!”
[mba kuwԑ jirәtna arәp ŋaŋgo
ban]
sabuk [sabu?]
50. Konteks: menceritakan ketika
terkena ambeyen.
P1:”Kae kaya tlembungan,
medodo.”
[kaԑ kaya tlәmbuŋan, mәdɔdo]
Tlembungan
[tlәmbuŋan]:
balon [balɔn]
Nomina
51. Konteks: menceritakan
kedatangan tamu.
P1:”Wingi ya ngeneh karo
biyunge ana rong minggu.”
[wiŋi ya ŋԑnԑh karɔ biyuŋԑ ana
rɔŋ miŋgu]
Biyung [biyuŋ]:
mamak
[mama?], mboke
[mbɔkԑ], ibu
[ibu]
Nomina
52. Konteks: marah
P1:”Aku ora budheg.”
[aku ɔra buḍәg]
Budheg
[buḍәg]:
budhong
[buḍɔŋ]
Adjektiva
53. Konteks: menceritakan calon
lurah.
P1:”Pokoke ketemu, salaman
diwei sembako, loman banget
pokoke.”
[pɔkɔkԑ kәtәmu, salaman diwԑi
sәmbakɔ, lɔman baŋәt pɔkɔkԑ]
Loman [lɔman]:
lotah [lɔtah],
mule [mulԑ]
Adjektiva
54. Konteks: menceritakan keadaan
wajahnya sekarang
P1:”Wis ora kaya mbiyen
mlisning pokoke.”
[wis ɔra kaya mbiyԑn mlisniŋ
pɔkɔkԑ]
Mlisning
[mlisniŋ]:
mlowes
[mlɔwԑs],
moncer
[mɔncԑr],
Adjektiva
66
KARTU DATA PENELITIAN
No. Data: 1 Sumber Data: Pasar Sirau
Konteks tuturan 1: Berbelanja di pasar, terjadi percakapan antara pedagang
sayur dan pembeli
Konteks tuturan 2 : berada di dapur
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1 :”Grandhele piranan?”
[granḍԑle piranan]
P2 :”sewu limangatusan”
[sewʊ limaŋatusan]
P1:”Tuku kangkung, Cha eketane sing receh ora nana?”
[tuku kaŋkʊŋ, cha ԑkәtanԑ siŋ rԑceh ora nana]
P2:”Apa maning.”
[apa maning]
P1:”Ayuh muter.”
[ ayuh mutәr]
Data 2:
P1: “Bu, aja njangan gendhot bae ya lah.”
[bu aja njaŋanan genḍɔt baԑ ya lah]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: grandhel [granḍԑl] dan receh
[rԑceh]
Analisis:
Grandel [granḍԑl] dalam dialek Banyumasan mempunyai makna
sejenis sayuran yang biasa tumbuh di sawah. Tanaman ini sama
seperti genjer [gԑnjԑr]. Dalam dialek Banyumasan, grandhel
[granḍԑl] juga mempunyai nama lain yaitu gendhot [genḍɔt]. Selain
67
itu, grandhel [granḍԑl] mempunyai makna lain yaitu kunci yang
bentuknya panjang terbuat dari besi.
Grandhel [granḍԑl] bersinonim dengan gendhot [genḍɔt] dan genjer
merupakan sinonim nomina yang menunjukkan nama jenis sayuran
yang berwujud leksem dengan leksem.
Kesinoniman ini disebabkan oleh faktor wilayah. Grandhel
[granḍԑl] biasa dipakai di daerah pedesaan sedangkan genjer [gԑnjԑr].
umum dipakai di daerah perkotaan.
Grandhel [granḍԑl] mempunyai makna ganda yaitu sejenis sayuran
dan bermakna kunci.
Receh [rԑceh] dalam dialek Banyumasan mempunyai makna uang
logam. Dalam dialek Banyumasan sering disebut dengan kricik
[krici?] atau krincing [krinciŋ].
Receh [rԑceh] bersinonim dengan kricik [krici?] dan krincing
[krinciŋ] merupakan sinonim nomina yang menunjukkan benda di
sekitar rumah. Receh [rԑceh] dan kricik [krici?] merupakan wujud
sinonim leksem dengan leksem. Begitu pula dengan, merupakan
sinonim nomina yang berwujud leksem dengan leksem. Kesinoniman
ini disebabkan oleh faktor nuansa makna karena maknanya uang
kecil, logam yang kurang berharga.
Kricik [krici?] dalam dialek Banyumasan selain bermakna uang
logam juga juga mempunyai makna suara air kecil yang sedang
mengalir.
68
No. Data: 2 Sumber Data: Pasar Sirau
Konteks tuturan 1: Percakapan penjual sayur dan pembeli
Konteks tuturan 2: membicarakan hajatan mantenan.
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1: “ Jangan kiye mak pirang-pirang, kiye mak milih mak!”
[jaŋan kiyԑ ma? piraŋ-piraŋ, kiyԑ ma? milɪh ma?]
P2: “ Jangan apa bae?”
[jaŋan apa bae]
P1:” Jangan kangkung, pelas, tege.”
[jaŋan kaŋkʊŋ, pԑlas, tegԑ]
P2:” Tegene kiye, klubane boten.”
[tegԑnԑ kiyԑ, klubanԑ boten]
P1: “Kiye lumbu, kiye kethewel, sambele?” (sambil menunjukkan dan
bertanya)
[kiyԑ lumbu, kiyԑ kәṭԑwԑl, sambәlԑ]
Data 2:
P1:”Ibumu dhuwite ngadhug yah, arep barang gawe gedhen.”
[ibumu ḍuwitԑ ŋaḍug yah, arәp baraŋ gawԑ gәḍԑn]
„Ibu kamu uangnya banyak ya, akan mengadakan hajatan besar.‟
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: jangan, pirang-pirang, pelas,
tege, lumbu.
Analisis:
1. Jangan di desa Sirau mempunyai makna sayuran matang yang telah
dimasak. Selain jangan, masyarakat desa Sirau menyebutnya dengan
sayur.
Jangan bersinonim dengan sayur merupakan wujud sinonim nomina
leksem dengan leksem.
69
Kesinoniman tersebut disebabkan oleh siapa penuturnya. Masyarakat
menengah ke bawah banyak yang menggunakan istilah jangan,
sedangkan sayur biasa digunakan oleh masyarakan menengah ke atas.
Jangan selain mempunyai makna sayur juga mempunyai makna lain
yaitu larangan atau tidak boleh. Hal tersebut termasuk ke dalam
homonim yaitu satu kata mempunyai makna berbeda tetapi bunyi dan
tulisan sama.
2. Pirang-pirang di desa Sirau mempunyai makna banyak sekali
terdapat dimana-mana. Kata tersebut termasuk ke dalam adjektiva
atau kata sifat. Selain itu, di desa sirau juga menyebutnya dengan
akeh, ngadhug.
Wujud:
Pirang-pirang dengan akeh: leksem majemuk dengan leksem
tunggal
Pirang-pirang dengan ngadhug: leksem majemuk dengan leksem
tunggal.
Faktor penyebab:
Kesinoniman tersebut disebabkan oleh faktor nuansa makna yaitu
akeh mempunyai makna banyak, pirang-pirang mempunyai makna
banyak ada di mana-mana, ngadhug mempunyai makna banyak
sekali yang tidak ada ukurannya.
3. Pelas [pԑlas] dalam dialek Banyumasan mempunyai makna kukus
ampas yang dicampur udang biasanya dibungkus dengan daun
70
pisang. Nama selain pelas di desa Sirau yaitu bothok [bɔṭɔ?]. Kata
tersebut digolongkan ke dalam nomina.
Wujud sinonim nomina:
Pelas [pԑlas] dengan bothok [bɔṭɔk]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Kesinoniman tersebut disebabkan oleh faktor penutur. Di desa Sirau
penutur yang menyebut pelas [pԑlas] adalah masyarakat yang
menengah ke bawah, kaum petani, buruh. Sedangkan yang menyebut
bothok [bɔṭɔk] adalah kaum menengah ke atas seperti pegawai.
4. Tege [tԑgԑ] merupakan sayuran berkuah banyak. Di desa Sirau
masyarakatnya menyebut dengan tege sop [tԑgԑ sɔp], tege bening
[tԑgԑ bәniŋ]. Selain itu masyarakat Sirau yang sudah modern atau
kalangan mampu tidak lagi menyebut dengan tege [tԑgԑ] tetapi
dengan sayur. Misalnya, sayur sop, sayur bening.
Wujud sinonim:
Tege [tԑgԑ] dengan sayur: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Faktor penutur dan faktor sosial.
5. Lumbu [lumbu] merupakan tumbuhan keladi yang batang dan
daunnya bisa dimasak. Selain lumbu, masyarakat sirau juga
menyebutnya dengan lompong [lɔmpɔŋ].
Wujud sinonim:
71
Lumbu dengan lompong: leksem dengan leksem.
Faktor penyebab: wilayah dan penutur
72
No. Data: 3 Sumber Data: Pasar Sirau
Konteks tuturan 1: Percakapan antar pedagang
Konteks tuturan 2: : melihat mas Yatin (tetangga) di pekarangan. Mas Yatin
tinggal di dekat daerah kanco yang merupakan daerah bagian dari kabupaten
Cilacap.
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:” Gawa godhong budin karo godhong gandhul malah nang kuwe wetan
durung dibayar.”
[gawa gɔḍɔŋ budin karo gɔḍɔŋ ganḍul malah naŋ kuwԑ wԑtan durʊŋ
dibayar]
P2:” Godhong gandhul bae.”
[gɔḍɔŋ ganḍul baԑ]
P1:” Kiye nambah 3 ya.”
[kiyԑ nambah 3 ya]
Data 2:
P1:”Kang lagi ngepeti apa kuwe?”
[kaŋ lagi ŋәpԑti apa kuwԑ]
„Mas sedang memetik apa itu?‟
P2:”Godhong lobak kiye arep nggo mecel.”
[gɔḍɔŋ lɔba? kiyԑ arәp ŋgɔ mәcәl kiyԑ]
„Ini daun singkong untuk membuat pecel.‟
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: godhong budin [gɔḍɔŋ budin]
Analisis:
Godhong budin [gɔḍɔŋ budin] dalam dialek Banyumasan mempunyai
makna daun ketela pohon. Selain itu, masyarakat juga ada yang
menyebut dengan godhong boled [gɔḍɔŋ bɔlԑd], godhong lobak [gɔḍɔŋ
lɔba?]. Istilah boled [bɔlԑd] banyak disebut pada jaman lampau, yang
dituturkan oleh orang-orang tua. Sedangkan lobak [lɔba?] banyak
dituturkan oleh masyarakat desa Sirau yang berbatasan dengan desa
73
sikanco yang merupakan bagian dari kabupaten Cilacap.
Wujud:
Godhong budin [gɔḍɔŋ budin] dengan godhong boled [gɔḍɔŋ bɔlԑd]:
frasa dengan frasa.
Godhong budin [gɔḍɔŋ budin] dengan godhong lobak [gɔḍɔŋ lɔba?]:
frasa dengan frasa.
Faktor penyebab:
Faktor waktu dan faktor wilayah.
No. Data: 4 Sumber Data: Pasar Sirau
Konteks tuturan 1: Terjadi percakapan dengan ibu-ibu
Konteks tuturan 2: cuaca panas
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:” Dah, ilir kuwe kaya nggone mbaeh.” (melihat penjual kipas)
[dah, ilɪr kuwԑ kaya ŋgonԑ mbaԑh]
P2:” Arep tuku?” (bertanya)
[arәp tuku]
P1: “Karo cethok kuwe, mbok wis ra duwe cethok sing kaya kiye.”
[karo cԑṭɔ? kuwԑ, mbok wis ra duwԑ ceṭɔk kaya kiyԑ]
P2: “Duwe. Timpalan mbok.”
[duwԑ, timpalan mbok].
Data 2:
P1:”Panas temen ndi kipase kiye!”
[panas tәmәn ndi kipasԑ kiyԑ]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: ilir, cethok.
Analisis:
74
1. Ilir [ilɪr] kipas untuk mendinginkan nasi. Selain ilir [ilɪr] masyarakat
Sirau juga menyebutnya dengan kipas. Ilir [ilɪr] biasa disebut oleh
orang-orang jaman dahulu, sesepuh. Sekarang jarang yang
menggunakan kata ilir sebagian besar menyebutnya dengan kipas.
Wujud:
Ilir [ilɪr] dengan kipas: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Waktu, penutur.
2. Cethok [cԑṭɔ?] mempunyai makna tempat untuk menyerok sampah
yang terbuat dari bambu. Dalam bahasa Indonesia biasa menyebut
dengan ikrak. Cethok [cԑṭɔ?] di desa Sirau mempunyai nama lain
yaitu timpalan [timpalan] yang biasa disebut oleh masyarakat Sirau
sebelah selatan yang berbatasan langsung dengan desa sikanco
kabupaten Cilacap.
Wujud:
Cethok [cԑṭɔ?] dengan timpalan [timpalan]: leksem dengan leksem.
Faktor penyebab:
Faktor wilayah
75
No. Data: 5 Sumber Data: Desa Sirau
Konteks tuturan 1: seorang ibu sedang memerintah anaknya.
Konteks tuturan 2: bertamu
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1: “ Pune diwadhaih kresek kuwe!”
[punԑ diwaḍaih krԑsԑ? kuwԑ]!
P2:”Lah endi.”
[lah әndi].
Data 2:
P1:”Kuwe sing nang toples roti apa?”
[kuwԑ siŋ naŋ tɔplԑs rɔti apa]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Pun [pun]
Analisis:
Pun [pun] di desa Sirau mempunyai makna toples yang terbuat dari
bahan sejenis seng. Selain pun [pun] masyarakat Sirau juga menyebut
dengan istilah lodhong [lɔḍɔŋ]. Pun [pun] dan lodhong [lɔḍɔŋ] banyak
dituturkan oleh arang jaman dulu. Istilah jaman sekarang menyebutnya
dengan toples.
Wujud:
Pun [pun] dengan lodhong [lɔḍɔŋ]: leksem dengan leksem.
Faktor penyebab:
Waktu dan penutur.
76
No. Data: 6 Sumber Data: Walidah/ibu rumah
tangga
Konteks tuturan 1: Seorang ibu sedang berbincang-bincang di depan rumah.
Konteks tuturan 2: di pasar
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1: “Yuh nyambel, padha nyambel karo cowek.”
[yuh ῆambel, paḍa ῆambel karɔ cɔwԑ?]
Data 2:
P1:” Ciri piranan Bu?”
[ciri piranan bu]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: cowek [cɔwԑ?]
Analisis:
Cowek [cɔwԑ?] di desa Sirau mempunyai makna tempat untuk
membuat sambal. Istilah lainnya yaitu ciri [ciri], layah [layah]. Cowek
[cɔwԑ?] banyak dituturkan oleh sebagian besar masyarakat Sirau.
Sedangkan ciri [ciri] hanya sebagian kecil yang menggunakan istilah
itu yaitu orang-orang tua yang sudah sepuh.
Wujud:
[cɔwԑ?] dengan ciri [ciri] : leksem dengan leksem
[cɔwԑ?] dengan layah [layah] : leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Penutur dan sosial
77
No. Data: 7 Sumber Data: Mbah Jiber
Konteks tuturan 1: Seorang nenek sedang berbincang-bincang di dapur
Konteks tuturan 2: akan memasak nasi
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1: “Maring ngeneh tokna ngeneh!”
[mariŋ ŋԑnԑh tɔkna ŋenԑh]
P2: “Kuwe berase disogna genuk!”
[kuwԑ bәrasԑ disɔgna gәnu?]
Data 2:
P1:”Mbok, beras sing nang genthong wis enteng, enyong arep liwet karo
apa?”
[mbɔk, bәras siŋ naŋ gәnṭɔŋ wis әntԑŋ, әῆɔŋ arәp liwәt karɔ apa]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: genuk [gәnu?]
Analisis:
Genuk [gәnu?] mempunyai makna tempat menyimpan beras. Selain
genuk [gәnu?] masyarakat juga menyebutnya dengan genthong
[gәnṭɔŋ]. Genuk [gәnu?] banyak dituturkan oleh orang-orang jaman
dahulu.
Wujud:
Genuk [gәnu?] dengan genthong [gәnṭɔŋ]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Waktu
78
No. Data: 8 Sumber Data: Walidah/ibu rumah
tangga
Konteks tuturan 1: membicarakan merek sapu
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1: ”Sapune gedhe banget dah tepese.”
[sapunԑ gәḍԑ baŋәt dah tәpәsԑ]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: tepes [tәpәs]
Analisis:
Dalam dialek Banyumasan tepes [tәpәs] mempunyai makna serabut
kelapa. Tepes [tәpәs] memunyai persamaan kata dengan kapol [kapɔl].
Wujud:
Tepes [tәpәs] dengan kapol [kapɔl]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Penutur/sosial
No. Data: 9 Sumber Data: Ibu rumah tangga
Konteks tuturan: membicarakan sapu yang ada di rumah
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1 : “Sapu kae sing warna-warna.”
[sapu kaԑ siŋ warna-warna]
P2: “duk.”
[du?]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: duk [du?]
Analisis:
Dalam dialek Banyumasan duk [du?] mempunyai makna sama dengan
ijuk [iju?]. Ijuk [iju?] banyak dituturkan oleh masyarakat menengah ke
79
atas sedangkan duk [du?] banyak dituturkan oleh masyarakat
menengah ke bawah.
Wujud:
Duk [du?] dengan ijuk [iju?]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Penutur dan sosial
No. Data: 10 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan 1: berbincang-bincang di depan rumah
Konteks tuturan 2: berbincang-bincang di depan rumah
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1: “Ya ora nana, bar kuwe maring nggone nini Simar, wong anu mbah
Muhdar arep umroh maning.”
[Ya ɔra nana, bar kuwԑ mariŋ ŋgɔnԑ nini Simar, wɔŋ anu mbah Muhdar
arәp umroh maniŋ]
P2: “ Kur arep umroh thok ora kaji.”
[kur arәp umrɔh ṭɔ? ɔra kaji]
Data 2:
P1: “Ya ora nana, bar kuwe maring nggone nini Simar, wong anu
mbah Muhdar arep umroh maning.”
[Ya ɔra nana, bar kuwԑ mariŋ ŋgɔnԑ nini Simar, wɔŋ anu mbah
Muhdar arәp umroh maniŋ]
„Ya tidak ada, setelah itu pergi ke rumah nenek Simar, Kakek
Muhdar akan pergi umroh lagi.‟
P2: “ Kur arep umroh thok ora kaji.”
[kur arәp umrɔh ṭɔ? ɔra kaji]
„Hanya umroh saja? Tidak pergi haji.‟
80
Dari data di atas terdapat kata nini Simar [
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: nini Simar, mbah Muhdar
Analisis:
Nini Simar, mbah Muhdar mempunyai arti nenek Simar, kakek
Muhdar. Nini banyak dituturkan oleh orang yang berstatus sosial
menengah ke bawah mempunyai makna sama dengan eyang putri,
simbah putri. Nini mempunyai makna yang identik digunakan oleh
orang-orang menengah ke bawah.
Wujud:
Nini Simar dengan eyang Simar: frasa dengan frasa
Nini Simar dengan Simbah Simar: frasa dengan frasa
Faktor Penyebab:
Penutur atau sosial, dan nuansa makna
No. Data: 11 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: membicarakan sayuran
Data (tuturan dialek Banyumasan):
A: “Dah kae njangan lembayung lih enak yah Mbah?”
[dah kaԑ njaŋan lәmbayuŋ lih ԑna? Yah mbah]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: lembayung [lәmbayuŋ]
Analisis:
Lembayung [lәmbayuŋ] mempunyai makna daun ubi jalar. Nama lain
81
di Sirau yaitu godhong lung [gɔḍɔŋ luŋ]. Lembayung [lәmbayuŋ]
banyak dituturkan oleh masyarakat menengah ke atas tetapi sebagian
besar masyarakat Sirau menyebutnya dengan godhong lung [gɔḍɔŋ
luŋ].
Wujud:
Lembayung [lәmbayuŋ] dengan godhong lung [gɔḍɔŋ luŋ]: leksem
tunggal dengan frasa.
Faktor penyebab:
Penutur dan Sosial
No. Data: 12 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: berbincang-bincang di depan rumah
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1: “ Wingi kuwe gedhang kae sing wis mateng ditegor nganggo bedhog.”
[wiŋi kuwԑ gәḍaŋ kaԑ siŋ wis matәŋ ditәgɔr ŋaŋgɔ bәḍɔg]
P2: “ Nang sapa?”
[naŋ sapa]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: bedhog [bәḍɔg]
Analisis:
Bedhog [bәḍɔg] mempunyai makna pisau besar. Nama lainnya yaitu
gaman [gaman]. Bedhog [bәḍɔg] digunakan oleh orang-orang pada
jaman dulu dan orang-orang tua atau sepuh pada jaman sekarang.
Wujud:
Bedhog [bәḍɔg] dengan gaman [gaman]: leksem dengan leksem
82
Faktor penyebab:
Waktu, penutur atau sosial
No. Data: 13 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan 1: Berbincang-bincang di depan rumah
Konteks tuturan 2: melihat kucing hutan
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Wingi jere pitike nini Simar dipangan sero.”
[wiŋi jԑrԑ pitikԑ nini Simar dipaŋan sԑro]
P2:”Pira Cha?”
[pira cha]
Data 2:
P1:”Wingi nang karanganmu ana nggarangan gedhe banget Lik.”
[wiŋi naŋ karaŋanmu ana nŋaraŋan gәḍԑ baŋәt lik]
„Kemarin di pekaranganmu ada kucing hutan besar sekali Lik.”
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: sero [sԑro]
Analisis:
Sero [sԑro] mempunyai makna kucing hutan yang suka memakan
unggas atau hewan lain. Nama lain sero [sԑro] adalah blacan [blacan],
nggarangan [ŋgaraŋan] dan kucing alas [kuciŋ alas]. Nama lain dari
sero [sԑro] mempunyai nuansa makna yang berbeda dimana
nggarangan [ŋgaraŋan] maknanya lebih ganas, sedangkan kucing alas
[kuciŋ alas] maknanya lebih halus.
Wujud:
Sero [sԑro] dengan blacan [blacan]: leksem dengan leksem
83
Sero [sԑro] dengan nggarangan [ŋgaraŋan]: leksem dengan leksem
Sero [sԑro] dengan kucing alas [kuciŋ alas]: leksem tunggal dengan
leksem majemuk
Faktor penyebab:
Nuansa makna
No. Data: 14 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: membicarakan sifat anaknya
Data (tuturan dialek Banyumasan):
A: “Gemagus temen sih lah.”
[gәmagus tәmәn sih lah]
B: Nderek?
[ndԑrԑ?]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Gemagus [gәmagus]
Analisis:
Gemagus [gәmagus] mempunyai makna sifat yang blagu, banyak
tingkah. Nama lain dari gemagus [gәmagus] adalah kemaki [kәmaki],
kemlithak [kәmliṭa?], gembeleng [gәmbԑlԑŋ]. Kata-kata yang
menunjukkan sifat blagu mempunyai tingkatan rasa masing-masing.
Wujud:
Gemagus [gәmagus] dengan kemaki [kәmaki]: leksem dengan leksem
Gemagus [gәmagus] dengan kemlithak [kәmliṭa?]: leksem dengan
leksem
84
Gemagus [gәmagus] dengan gembeleng [gәmbԑlԑŋ]: leksem dengan
leksem
Faktor penyebab:
Nuansa makna
No. Data: 15 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: membicarakan sifat anaknya
Data (tuturan dialek Banyumasan):
A:” Aleman kiye enyong badhe maem karo bubur.
[alәman kiyԑ әῆɔŋ baḍԑ maәm karɔ bubur]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Aleman [alәman]
Analisis:
Aleman [alәman] mempunyai makna sifat yang manja, belum mandiri.
Nama lain selain aleman [alәman] adalah manja. Pemakaian ini
berdasarkan penuturnya. Manja banyak dituturkan oleh orang yang
tingkat pendidikannya tinggi.
Wujud:
Aleman [alәman] dengan manja: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Penutur dan sosial
85
No. Data: 16 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: sedang bermain game
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1: “Kiye sing pertama endi?”
[kiyԑ siŋ pәrtama әndi]
P2:”Kaya teyeng?”
[kaya tԑyԑŋ]
P1: “Teyeng insyaalloh.”
[tԑyԑŋ insyaallɔh]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Teyeng [tԑyԑŋ]
Analisis:
Teyeng [tԑyԑŋ] mempunyai makna bisa. Teyeng [tԑyԑŋ] mempunyai
nama lain yaitu bisa [bisa], teles [tԑlԑs]. Teyeng [tԑyԑŋ], teles [tԑlԑs]
biasa dituturkan oleh orang-orang tua atau sepuh.
Wujud:
Teyeng [tԑyԑŋ] dengan bisa [bisa]: leksem dengan leksem
Teyeng [tԑyԑŋ] dengan teles [tԑlԑs]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Penutur dan tingkat sosial
No. Data: 17 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: membicarakan cuaca
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1:” Adhem.”
[aḍәm]
86
P2:”Pancen lah.”
[pancԑn lah]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Adhem [aḍәm]
Analisis:
Adhem [aḍәm] mempunyai makna hawa atau cuaca yang sejuk,
dingin. Nama lain adhem [aḍәm] yaitu atis [atis], anyes [aῆәs].
Penggunaan kata adhem [aḍәm] dan atis [atis] untuk menyatakan
hawa, sedangkan anyes [aῆәs] untuk menyatakan benda yang dingin
seperti es.
Wujud:
Adhem [aḍәm] dengan atis [atis]: leksem dengan leksem
Adhem [aḍәm] dengan anyes [aῆәs]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Bidang kegiatan atau pemakaian
No. Data: 18 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: membicakan hewan laba-laba yang lewat
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1:” Ana nggaranggati.”
[ana ŋgaraŋgati]
P2:” Nang ndi?”
[naŋ ndi]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: nggaranggati [ŋgaraŋgati]
Analisis:
87
Nggaranggati [ŋgaraŋgati] mempunyai makna hewan laba-laba.
Nama lainnya adalah kemangga [kәmaŋga]. Kemangga [kәmaŋga]
mempunyai makna lebih ganas, lebih garang.
Wujud:
Nggaranggati [ŋgaraŋgati] dengan Kemangga [kәmaŋga]: leksem
dengan leksem.
Faktor penyebab:
Nuansa makna
No. Data: 19 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: menyindir
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Kintel, yah ndhut, gendhut.”
[kintәl yah nḍut, gәnḍut]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Kintel [kintәl]
Analisis:
Kintel [kintәl] mempunyai makna katak yang berbadan besar. Nama
lainnya adalah blentung [blәntuŋ]. Blentung [blәntuŋ] maknanya lebih
besar dari pada kintel [kintәl].
Wujud:
Kintel [kintәl] dengan blentung [blәntuŋ]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Nuansa makna.
88
No. Data: 20 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan: Sedang memetik bunga turi
Data (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Kiye ngeneh nyogrok kiye ana genter. Kowe sing nitori ya!”
[kiyԑ ŋԑnԑh ῆɔgrɔ? kiyԑ ana gԑntԑr. kowԑ siŋ nitɔri ya]
P2:”Bebeh lah.”
[bәbәh lah]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: genter [gԑntԑr]
Analisis:
Genter [gԑntԑr] mempunyai makna sama dengan galah. Nama lainnya
adalah sogrok [sɔgrɔ?], gantar [gantar]. Pemakaian nama genter
[gԑntԑr] berdasarkan penutur yaitu orang tua biasa menyebut genter
[gԑntԑr] banyak juga yang menyebut dengan sogrok [sɔgrɔ?] atau
gantar [gantar].
Wujud:
Genter [gԑntԑr] dengan sogrok [sɔgrɔ?]: leksem dengan leksem
Genter [gԑntԑr] dengan gantar [gantar]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Penutur
89
No. Data: 21 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan 1: Jalan-jalan di pasar
Konteks tuturan 2: : mengajak membeli makanan
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Ih enake mambune Nis, molen.”
[ih, ԑnakԑ mambunԑ nis, mɔlәn]
P2:”Pengin tapi ora duwe dhuwit.” [pԑŋin tapi ɔra duwԑ ḍuwit]
P1:”Lah jan sekeng banget yakin kere lah.”
[lah jan sԑkԑŋ baŋәt yakin kԑrԑ lah]
Data 2:
P1:”Bebeh lah pet, aku lagi kere, aku bebeh tuku jajan.”
[bәbәh lah pԑt, aku lagi kԑrԑ, aku bәbәh tuku jajan]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: sekeng [sԑkԑŋ]
Analisis:
Sekeng [sԑkԑŋ] mempunyai makna tidak punya apa-apa atau miskin.
Nama lainnya adalah kere [kԑrԑ], mlarat [mlarat]. Penggunaan kata ini
mempunyai nilai rasa yang berbeda yaitu mlarat [mlarat] lebih negatif
maknanya yaitu tidak mempunyai apapun.
Wujud:
Sekeng [sԑkԑŋ] dengan kere [kԑrԑ]: leksem dengan leksem
Sekeng [sԑkԑŋ] dengan mlarat [mlarat]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Nuansa makna
90
No. Data: 22 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan 1: Di rumah Bu Dhe
Konteks tuturan 2: menunjukkan foto bapaknya.
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Lagi padha ngapa sih niko Dhe?”
[lagi paḍa ŋapa sih nikɔ ḍԑ]
P2:”Padha dolanan, tes digered nang ramane Reihan karo adhine padha
ngomonge saru-saru.
[paḍa dɔlanan tәs digԑrԑd naŋ ramanԑ rԑihan karɔ aḍinԑ paḍa ŋɔmɔŋԑ saru-
saru]
Data 2:
P1:”Kiye fotone bapakku karo aku. Aku be ora menangi pas bapakku ninggal
Yu.”
[kiyԑ fɔtɔnԑ bapakku karɔ aku. Aku bԑ ɔra mәnaŋi pas bapakku niŋgal yu]
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: ramane Reihan dan saru-saru
Analisis:
1. Ramane Reihan [ramanԑ Reihan] mempunyai makna orang tua
laki-lakinya Reihan. Nama lainnya adalah bapake Reihan.
Penggunaan kata rama banyak dituturkan oleh masyarakat
golongan menengah ke bawah.
Wujud:
Ramane Reihan [ramanԑ Reihan] dengan bapake Reihan: frasa
dengan frasa
Faktor penyebab:
Penutur dan sosial
91
2. Saru [saru] mempunyai makna kurang ajar, tidak sopan terhadap
orang lain. Nama lainnya adalah mbejujag [mbәjujag], marajubel
[marajubәl], ngradon [ŋradɔn]. Pemakaian kata itu berdasarkan
makna. Bila sudah sangat tidak sopan masyarakat akan
mengatakan mbejujag [mbәjujag].
Wujud:
Saru [saru] dengan mbejujag [mbәjujag]: leksem dengan leksem
Saru [saru] dengan marajubel [marajubәl]: leksem dengan leksem
Saru [saru] dengan ngradon [ŋradɔn]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Nuansa makna
No. Data: 23 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan 1: bertemu saudara
Konteks tuturan 2: makan jajanan pasar
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Pas wingi lagi pas dina apa nggih ketemu Kang Gito jarene lagi pesen
koci apa apem yah Dhe?
[pas wiŋi pas dina apa ŋgih kәtәmu kaŋ gitɔ jarԑnԑ lagi pәsәn kɔci apa
apәm yah ḍԑ]
P2:” Koci, arep digawa Grujugan.”
[kɔci arәp digawa grujugan]
Data 2: makan jajanan pasar
P1:”kiye ibumu apa sing gawe mendut?”
[kiyԑ ibumu apa siŋ gawԑ mәndut]
92
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: koci [kɔci]
Analisis:
Koci [kɔci] mempunyai makna makanan kecil tebuat dari tepung ketan
di dalamnya terdapat enten-enten dan dibungkus dengan daun pisang.
Nama lainnya adalah mendut [mәndut]. Koci [kɔci] banyak dituturkan
oleh sebagian besar masyarakat Sirau, mendut [mәndut] dituturkan
oleh sebagian kecil masyarakat Sirau yaitu komplek pondok pesantren
(Sirau sebelah utara).
Wujud:
Koci [kɔci] dengan mendut [mәndut]: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Wilayah
No. Data: 24 Sumber Data: Sirau
Konteks tuturan 1: Di tempat dukun pijet
Konteks tuturan 2:
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Anu udud ya watuk.”
[anu udud ya watuk]
P2:”Kaya ramamu.”
[kaya ramamu]
Data 2:
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: Udud [udud]
Analisis:
93
Udud [udud] mempunyai makna sama dengan rokok. Udud [udud]
banyak dituturkan oleh kakek-kakek jaman dulu dan tergolong sepuh.
Wujud:
Udud [udud] dengan rokok: leksem dengan leksem
Faktor penyebab:
Penutur dan sosial, waktu
No. Data: 25 Sumber Data:
Konteks tuturan 1: Ibu sedang memerintah anaknya.
Konteks 2: Ibu sedang memarahi anaknya
Data 1 (tuturan dialek Banyumasan):
P1:”Kuwe gole ngapa-ngapa aja pating slarah ya, ditatani maning.”
[kuwԑ gɔlԑ ŋapa-ŋapa aja patiŋ slarah ya, ditatani maniŋ]
Data 2
P1:”Aja pating gempalang kuwe tek keplak mengko.”
[aja patiŋ gәmpalaŋ kuwԑ tә? Kәpla? mәŋkɔ]
„
Tuturan yang diduga mengandung sinonim: pating slarah [patiŋ slarah]
Analisis:
Pating slarah [patiŋ slarah] yang mana di desa Sirau mempunyai
makna berantakan. Selain itu, masyarakat Sirau juga menyebut
berantakan dengan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ]. Penggunaan
kata tersebut berdasarkan makna, keadaan. Jika sangat berantakan
masyarakat akan mengatakan pating gempalang [patiŋ gәmpalaŋ].
Wujud:
94
Pating slarah [patiŋ slarah] dengan pating gempalang [patiŋ
gәmpalaŋ]: frasa dengan frasa
Faktor penyebab:
Nuansa makna