BAB II
SINDROM NEFROTIK
2.1. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh
per hari), hipoalbuminemia (albumin kurang dari 3 gram/dl), edema anasarka,
hiperlipidemia. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula
hipertensi, hematuria, bahkan kadang-kadang azotemia Sindroma nefrotik
merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonefritis. Pada proses awal
sindrom nefrotik atau sindrom nefrotik ringan untuk menegakkan diagnosis tidak
perlu semua gejala tersebut ditemukan. 1,2,3,7
2.2. Etiologi dan Klasifikasi
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini
paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah
1 tahun.7
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study
1
of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of
Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht
(1971).8
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik
primer
1. Kelainan minimal (KM)
2. Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
7. Glomerulopati membranosa (GM)
8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
2
Sementara itu, berdasarkan histopatologis, Churk dkk membagi
sindrom nefrotik primer menjadi empat, yaitu:
a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG
pada dinding kapiler glomerulus.
Gambar 1. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis
kelainan minimal.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
3
Gambar 2. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis
glomerulopati membranosa.
c. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi
sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan
sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular.
Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-
IA rendah. Prognosis buruk.
Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
d. Glomerulosklerosis fokal segmental
4
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
atrofi tubulus. Prognosis jenis ini adalah buruk.
Gambar 3. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis
glomerulosklerosis fokal segmental.
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak
berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya
44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik
primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7%
tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi.9,10
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah infeksi, keganasan, penyakit jaringan penyambung ( connective tissue
diseases), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik.11
Tabel 2. Penyebab Sindrom Nefrotik Sekunder
5
Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberculosis, lepra
Keganasan
- Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, multiple mieloma, dan karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
- SLE, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue diseases)
Efek obat dan toksin
- Obat antiinflamasi nonsteroid, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa, captopril, dan heroin
Lain-lain
- Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf kronik, refluk vesikoureter, atau sengatan lebah
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada
glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau virus hepatitis B,
akibat obat misalnya obat antiinflamasi nonsteroid atau preparat emas
organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya SLE dan diabetes
melitus.11
2.3. Patogenesis
1. Permeabilitas Glomerulus
6
Pada orang sehat, kurang dari 0,1% albumin plasma melewati barier
filtrasi glomerulus. Hingga saat ini, masih ada perdebatan mengenai
saringan yang dilewati albumin pada barier filtrasi glomerulus.
Perdebatan tersebut mengenai albumin yang terus-menerus berada di
dalam urin yang ekuivalen dengan uptake albumin di glomerulus.
Hasilnya, jumlah albumin di urin kurang lebih 80 mg atau kurang setiap
hari. Perdebatan ini didasarkan pada studi yang dilakukan pada binatang
percobaan. Namun, studi yang dilakukan pada manusia dengan defek
transport tubular mengesankan bahwa jumlah konsentrasi albumin di
urin adalah 3,5 mg/l. Dengan jumlah sebesar ini, dan glomerular
filtration rate (GFR) per hari 150 liter, diperkirakan tidak lebih dari 525
mg albumin yang ada di urin per hari. Jumlah di atas merupakan batas
nilai albumin yang mengarah ke glomerular diseases.12
Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium fenestrasi yang menduduki
membran basement glomerulus dan ditutupi oleh epitel glomerulus atau
podosit. Podosit merupakan selubung kapiler dengan perpanjangan
seluler yang disebut foot processes. Diantara foot processes merupakan
celah filtrasi. Barier filtrasi glomerulus terdiri atas 3 struktur, yaitu
endotelium fenestrasi, podosit, dan epitel glomerulus. Gambar 1
merupakan gambaran skematik dari barier filtrasi glomerulus.12
7
Gambar 4. Gambaran skematik barier filtrasi glomerulus. Podo = podosit; GBM = glomerular basement membrane; Endo = fenestrated endothelial cells; ESL = endothelial cell surface layer (sering disebut juga glycocalyx). Urin primer dibentuk melalui filtrasi cairan plasma
melewati barier filtrasi glomerulus (tanda panah). Glomerular filtration rate (GFR) pada manusia adalah 125 ml/menit. Plasma flow rate Qp =
700 ml/menit, dengan fraksi filtrasi mencapai 20%. Konsentrasi albumin serum = 40 g/l, sedangkan perkiraan konsentrasi albumin
dalam urin primer adalah 4 mg/l, atau 0,1% dari konsentrasi di plasma.12
2. Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya
sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan integritas membran basalisglomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Derajat
proteinuria tidak berhubungan dengan langsung dengan keparahan
8
kerusakan glomerulus. Lewatnya protein plasma yang berukuran lebih
dari 70 kD melalui membrana basalais glomrulus normalnya dibatasi
oleh charge selective barrier dan size selective barrier. Charge
selective barrier merupakan suatu polyanionic glycosaminoglycan.
Pada nefropati lesi minimal, proteinuria disebabakan terutama oleh
hilangnya charge selective barrier, sedangkan pada nefropati
membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya charge selective
barrier.1,8
3. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat. Namun, masih tidak memadai untuk menggantikan
kehilangan albumin dalam urin.1,8
4. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein, trigliserida meningkat, sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron, dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
penurunan tekanan onkotik.8
5. Edema
Menurut teori underfill, edema pada sindrom nefrotik disebabkan oleh
penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan retensi
natrium. Hipovolemia menyebabkan peningkatan renin, aldosteron,
hormon antidiuretik dan katekolamin serta penurunan atrial natriuretic
9
peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume,
meningkat laju filtrasi glomerulus dan eksresi fraksional NaCl dan air
yang menyebabkan edema berkurang.1,8
Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi
volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan ANP. Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan
kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema
merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun
secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama
fase diuresis1,8
6. Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana
basalis glomerulus yang permeabel.6
7. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S,
C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya
faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi
trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor
zimogen (faktor IX, XI).6
8. Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga
10
terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi
bronkopneumoni dan peritonitis.6
2.4. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:7, 13
1. Proteinuria masif. Proteinuria > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam
atau > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.
Biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya
mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe
yang lain.
2. Hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua
pada sindrom nefrotik. Disebut hipoalbuminemia apabila kadar albumin
serum < 2,5 g/dl.
3. Edema anasarka. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan edema muka, asites, dan efusi pleura.
4. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. Kadar
kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL
menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena
dan arteri.
Manifestasi klinik utama sindrom nefrotik adalah sembab, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara
lambat sehingga keluarga mengira anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab
sering bersifat intermiten. Biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah seperti daerah periorbita, skrotum atau
labia. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka/generalisata).7
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur dan kemudian menjadi sembab
11
pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab
hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.7
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.7
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.7
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada
penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga
dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi
terganggu.7
Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah
yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita,
skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum
dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami
restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa takipnea. Akibat sembab kulit,
anak tampak lebih pucat.7
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
12
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari ke-90 persentil
umur.7
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM. Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom
nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan
secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran
asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.7
2.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah sembab di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.ped.com
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.
Kadang-kadang ditemukan hipertensi.ped.com
3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5
g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
13
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal.ped.com
2.6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada sindrom nefrotik adalah sebagai berikut:7
1. Sembab nonrenal: gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, dan edema
hepatal.
2. Glomerulonefritis akut.
3. Lupus sistemik eritematosus.
2.7. Penatalaksanaan
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah
tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi
pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam
waktu 10-14 hari. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada
anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada
tabel 3.7
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan
untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari
dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.7
14
Tabel 3. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada sindrom
nefrotik.
Remisi
Kambuh
Kambuh tidak sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder lambat
Nonresponder awal
Nonresponder lambat
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4
mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.
Proteinuria ≥ + 2 atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah
mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam
periode 12 bulan.
Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal, atau ≥ 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa
tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah
terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi
prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60
mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya
responsif-steroid.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik dapat dikelompkkan menjadi:7
1. Sindrom nefrotik serangan pertama
a. Perbaiki keadaan umum penderita :
- Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak.
Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
- Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi
plasma atau albumin konsentrat.
15
- Berantas infeksi.
- Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
- Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau
mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
b. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari
setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan
apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam
waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan,
tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
2. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
a. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis
relapse ditegakkan.
b. Perbaiki keadaan umum penderita.
- Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Sindrom nefrotik kambuh tidak sering adalah sindrom nefrotik
yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam
masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap
hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama
4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.
- Sindrom nefrotik kambuh sering
16
Sindrom nefrotik kambuh sering adalah sindrom nefrotik yang
kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12
bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap
hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama
4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan
menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu,
kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20
mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam
selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu
siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi
anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen,
terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.7
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari. Sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk
memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein
sesuai jumlah proteinuria. Hasilnya proteinuria berkurang, kadar albumin darah
meningkat dan kadar fibrinogen menurun.6
Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram
natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan
atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada
pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200
mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga
17
hipoalbuminemia menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat
kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan mekanisme
utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor human
albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan
laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus
albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat
urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada
pasien hipervolemia.6
Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya
aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan
penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang
efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif
dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan
secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol.
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang
meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol
menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal
terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan
lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol
efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini
tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang
memperburuk defisiensi vitamin D pada sindrom nefrotik.6
Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang
terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati
membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari)
sebagai antiagregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini
dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal
ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuria
nefrotik, albumin < 2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus
diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral
sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan
18
pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol,
sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa
dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal.6
Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau
peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian
imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin
pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus
seperti campak, herpes.6
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik yang dapat terjadi 5-15 tahun setelah terkena
sindrom nefrotik. Penanganannya sama dengan penanganan keadaan ini pada
umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan
transplantasi ginjal. Dantal dkk. menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal
segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali.
Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor)
atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi
protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena
glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN sekunder
karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang
mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas
glomerulus.6
2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan pada sindrom nefrotik adalah sebagai
berikut:7
1. Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
2. Trombosis akibat hiperkoagulabilitas
3. Infeksi
4. Hambatan pertumbuhan
19
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis,
gangguan emosi dan perilaku.
2.9. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:7
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
enam tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.7
BAB III
KESIMPULAN
20
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia,
lipiduria dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer
glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu.
Penegakan diagnosis sindrom nefrotik dapat dilakukan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa urinalisis.
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan
rasional sebagian besar pasien sindrom nefrotik.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik meliputi terapi spesifik untuk kelainan
dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan atau mengurangi proteinuria,
memperbaiki hipoalbuminemia serta mencegah dan mengatasi komplikasi-
komplikasi yang ditimbulkannya. Semakin cepat penatalaksanaan diberikan, maka
semakin sedikit juga komplikasi yang akan timbul.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Sukandar E, Sulaiman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta, Indonesia.
2. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta, Indonesia
3. Prodjosudjadi, Wiguno. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbit FKUI. Jakarta, Indonesia.
4. International Study of Kidney Disease in Children. 1981. Primary
nephrotic syndrome in children: clinical significance of histopathologic
variants of minimal change and of diffuse mesangial hypercellularity. A
Report of the International Study of Kidney Disease in Children. Kidney
Int. 20(6):765-71.
5. International Study of Kidney Disease in Children. 1981. The primary
nephrotic syndrome in children. Identification of patients with minimal
change nephrotic syndrome from initial response to prednisone. J
Pediatric. 98(4):561-4.
6. Gunawan, A. Carta. 2006. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan
Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran. 150 (50-54).
7. Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2006. Sindrom Nefrotik.
Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya,
Indonesia.
8. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic
syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and
laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int. 13:159.
9. Wila, Wirya IGN. 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi
Anatomis Sindrom Nefrotik Primer pada Anak Di Jakarta. Disertasi.
Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia.
10. Noer, M. S. 1997. Sindrom Nefrotik. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya:
GRAMIK FK Universitas Airlangga. 137-46.
22
11. Prodjosudjadi, Wiguno. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia.
12. Eric P Cohen, Eric P.. 2010. Nephrotic syndrome.
http://www.emedicine.com/244631-overview.htm. Diakses pada 3 Januari
2011.
13. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius. Jakarta, Indonesia.
23