BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penuaan Jaringan Rongga Mulut
2.1.1 Definisi Penuaan
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Nugroho,2000)
2.1.2 Pengaruh penuaan pada jaringan mulut
a.jaringan gigi
Gigi-gigi biasanya menunjukkan tanda-tanda perubahan dengan
bertambahnya usia perubahan ini bukanlah sebagai akibat dari usia
tetapi disebabkan oleh refleks, keausan, penyakit, kebersihan mulut,
dan kebiasaan. Email mengalami perubahan pada yang nyata karena
pertanbahan usia, termasuk kenaikan konsetrasi nitrogen dan fluoride
sejalan usia. Pembentukan dentin yang berlanjut sejalan dengan usia
menyebabkan reduksi secara bertahap pada ukuran kamar pulpa
(Dinayanti,2009).
Umur mengakibatkan perubahan penting pada pulpa.
Pulpa, seperti halnya jaringan ikat lain, juga akan berubah sesuai
dengan perjalanan usianya. Deposisi terus menerus jaringan
dentin selama kehidupan pulpa dan deposisi dentin reparative
terhadap stimuli mengurangi ukuran kamar pulpa dan saluran
akar, disamping itu mengurangi volume pulpa. Penyusutan pulpa
ini disebut atrofi pulpa (Dinayanti,2009).
Soeno menunjukan bahwa jarak atara dasar pulpa dengan
atap pulpa pada umur 10-19 tahun adalah 1,72 mm, sedangkan
3
4
pada umur 50-59 tahun adalah 0,72 mm. secara rata-rata
menyempit sampai 50%. Dari penelitian histology, ternyata hal
ini terjadi disebabkan oleh pembentukan dentin skunder pada
dasar kamar pulpa (Dinayanti,2009).
Perubahan pada pulpa ada yang bersifat alamia
( kronologik ) ada pula yang akibat cedera ( patofisiologik )
seperti akibat karies dan penyakit lainnya. Hal ini sesuai dengan
yang diutarakan Marmasse (1974) mengenai skema menurunya
atap pulpa yang umumnya dimulai pada usia 45 tahun, namun
proses penuaan pulpa dapat terjadi juga pada orang muda
karena atrisi yang berat dan karies (Dinayanti,2009).
b.Jaringan Periodontium
Jaringan periodontal meliputi gingiva (epitel dan jaringan
ikat), ligamen periodontal, tulang alveolar dan sementum.
Jaringan ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh perubahan
usia.
Gingival ephitelium
Terjadi penipisan dan penurunan keratinisasi ( penurunan
pembentukan keratin, sehingga bagian permukaan jaringan
menjadi tidak bisa keras dan bertanduk)pada gingiva epithelium
sesuai bertambahnya umur. Penemuan signifikan ini dapat
diartikan sebagai penambahan permeabilitas epitel terhadal
antigen bakteri (b.denticola, b. Gingivalis, b. Intermedius,
b.loeischeii), penurunan resistensi terhadap fungsional trauma
maupun keduanya yang berpengaruh pada terjadinya penyakit
periodontal. Selain itu, juga menyebabkan perpindahan
epithelium gingiva dari posisi normal lebih ke apikal mendekati
permukaan akar bersamaan dengan resesi gingival( Carranza ,
2006).
5
Ligamen periodontal
Komponen jaringan ikat pada ligamen periodontal juga
mengalami perubahan akibat usia. Komponen serabut dan sel
menurun sementara struktur ligamen menjadi lebih tidak teratur.
Perubahan lain pada struktur ini termasuk penurunan kepadatan
sel dan aktivitas mitosis, penurunan produksi matriks organik,
dan hilangnya asam mukopolisakarida (Barnes dkk, 2006).
Namun penemuan lebih lanjut tentang efek dari usia pada
lebar ligamen periodontal ternyata bertentangan. Beberapa
penelitian melaporkan peningkatan sejalan dengan usia
sementara yang lain melaporkan penurunan. Bagaimanapun,
sekarang telah dipastikan bahwa lebar dari ligamen periodontal
berhubungan dengan fungsi yang dibutuhkan oleh gigi. Faktor
perbedaan beban oklusal mungkin merupakan penyebab hasil
penelitian yang saling bertentangan ini. Oleh sebab itu, semakin
sedikit gigi yang masih ada akan semakin besar proporsi beban
oklusalnya. Hal ini akan mengakibatkan melebarnya ligamen
periodontal dan meningkatnya mobilitas gigi. Pada keadaan
seperti ini, gigi yang goyang tidak mesti mempunyai pognosis
yang buruk. Juga telah dilaporkan bahwa tekanan pengunyahan
menurun sejalan dengan usia, yang ikut berpengaruh pada
penurunan lebar ligamen periodontal (Barnes dkk, 2006).
Sementum
Pembentukan sementum, terutama aselular, terjadi terus-
menerus sepanjang hidup dan peningkatan ketebalan yang
sejalan dengan usia terlihat paling jelas didaerah apikal gigi.
Temuan yang terakhir tersebut diperkirakan merupakan respons
terhadap erupsi pasif. Sedikit penambahan pada remodeling
sementum juga terjadi sejalan dengan usia dan ditandai dengan
area resorpsi serta aposisi, yang mungkin ikut menyebabkan
6
terjadinya peningkatan ketidakteraturan dari permukaan
semental gigi lansia(Barnes dkk, 2006).
2.1.3 faktor-faktor yang mempengaruhi proses penuaan
rongga mulut
Faktor- faktor yang mempengaruhi proses menua Proses
penuaan dipicu oleh laju peningkatan radikal bebas dan
sistem penawaran racun yang semakin berubah seiiring dengan
berjalannya usia. Faktor yang mempercepat proses penuaan :
1. Faktor genetik
Secara genetik, perempuan ditentukan oleh sepasang
kromosom X. Kromosom X ini ternyata membawa unsur
kehidupan sehingga perempuan berumur lebih panjang daripada
laki – laki. Disamping itu juga ditemukan gen khusus yang
bertanggung jawab mengaktualkan proses penuaan. Bagi
individu yang mengemban gen tersebut, cenderung cepat
menjadi tua (berusia 30-an tampak seperti usia 80-an).
Kalainan ini dikenal sebagai Sindrom Werner (Damayanti,
2003).
2. Faktor endogenik
Perubahan stuktural dan fungsional
Kemampuan / skill menurun
Kapasitas kulit untuk mensintesis vitamin D (Damayanti,
2003).
3. Faktor eksogenik (factor lingkungan dan gaya hidup)
Diet / asupan zat gizi . Contohnya seperti kekurangan
protein yang dapat menyebabkan degenerasi jaringan
ikat gingiva, membran periodontal dan mukosa.
7
Kekurangan protein juga dikaitkan dengan percepatan
kemuduran tulang alveolus.
Merokok
Obat
Penyinaran Ultra violet
Polusi (Damayanti, 2003).
2.1.4 Faktor yang menghambat proses penuaan
Antioksidan, merupakan zat kimia yang dapat
memberikan sebuah elektron pada radikal bebas sehingga
memperlambat proses penuaan (Damayanti, 2003).
2.2 Abrasi
2.2.1 Definisi Abrasi
Abrasi adalah hilangnya struktur gigi secara patologis
akibat dari keausan mekanis yang abnormal. Berbagai hal dapat
menyebabkan abrasi, tetapi bentuk yang paling umum adalah’’
abrasi sikat gigi’’ yang membuat lekuk berbentuk’’ V’’ dibagian
servikal dari permukaan vasial suatu gigi. Daerah abrasi
biasanya mengkilat dan kuning karena dentin yang terbuka
sering kali bagian yang terdalam dari alur peka terhadap ujung
sonde. Sebagai tambahan pada kepekaan dentin, maka
komplikasi –komplikasi abrasi pada akhirnya adalah terbukanya
atau patahnya gigi (Langlais, 2000).
Takik abrasi pada gigi dapat terjadi karena gigi tiruan
sebagian, jepitan atau kuku atau pipa rokok yang digigit diantara
gigi-gigi. Abrasi dari permukaan insisal dan oklusal sering kali
berakibat dari terpajan bahan bahan abrasive dalam diet dan
keausan oklusal dari restorasi porselen yang terletak di oklusal.
Proses abrasi adalah lambat dan kronis, memerlukan bertahun
8
tahun sebelum menimbulkan gejala gejala. Restorasi dari kontur
gigi yang normal mungkin tidak berasil jika pasien tidak di beri
tahu factor – factor penyebanya (Langlais, 2000).
2.2.2 Perawatan
Perawatan untuk gigi abrasi tergantung pada
keparahannya. Tidak semua keadaan abrasi membutuhkan
perawatan. Bila jaringan gigi yang hilang masih sangat sedikit
namun terasa keluhan seperti ngilu atau sensitif, dokter gigi
akan memberikan perawatan fluor yang dapat digunakan sendiri
oleh pasien di rumah, bisa dalam bentuk gel atau obat kumur.
Atau bisa berupa fluor yang dioleskan langsung pada gigi oleh
dokter gigi (Langlais, 2000).
Bila jaringan keras gigi sudah banyak yang hilang, dapat
dilakukan penambalan dengan bahan tambal sewarna gigi
seperti resin komposit. Dokter gigi juga memberikan semacam
purnis yang mengandung fluor untuk menutupi bagian tersebut,
sehingga rasa ngilu akan berkurang dan hilang. Pemilihan pasta
gigi yang tepat juga dapat memberi dampak yang signifikan
terhadap berkurangnya rasa ngilu. Dari penelitian diketahui
bahwa pasta gigi yang mengandung potassium sulfat dapat
menutup tubuli dentin sehingga rangsang dari luar dapat
dihambat (Langlais, 2000).
2.3 Atrisi
2.3.1 Definisi Atrisi
Atrisi adalah hilangnya substansi gigi secara bertahap pada
permukaan atas gigi karena proses mekanis yang terjadi secara
fisiologis akibat pengunyahan. Ini terjadi pada permukaan atas
gigi akibat kebiasaan mengunyah yang salah dan kebiasaan
menggerakkan gigi berulang-ulang, serta kebiasaan menggeser-
9
geser gigi saat tidur (bruxism). Atrisi juga merupakan suatu
keadaan dimana terbukanya jaringan gigi yang secara kronis
berlangsung terus. Pertama-tama yang kena adalah email,
dentin,kemudian sementum, disebabkan karena saling kontak
dengan benda asing dan sebagai akibat dari kebiasaan-
kebiasaan yang persisten. Atrisi juga merupakan salah satu
gejala ketuaan. Jika keausan dapat menyebabkan sakit, jarena
terbukanya tulang gigi, atau menyebabkan gangguan fungsi,
baru dikatakan tentang patologi. Pada keadaan khusus,
keauasan dapat berjalan lebih cepat daripada normal, yang
menambah besarnya kemungkinan sakit atau gangguan fungsi.
Keausan (atrisi) dapat dibagi menurut sebabnya sebagai berikut:
a. Atrisi fisiologis: keausan karena pengunyahan
b. Atrisi patologis: keausan tidak fisiologis karena
pengunyahan ,terjadi pada gigi geligi yang rusak
c. Abrasi: keausan sebgai akibat mengunyah/ menggigit
benda asing. ( Schuurs ,1992).
2.3.2 Keausan (atrisi) sebagai akibat pengunyahan
Mengunyah dan menggigit menyebabkan keausan pada
gigi geligi sulung dan tetap yang berbeda pada tiap individu.
1. Bentuk rupa
a. Gigi geligi sulung
Bila pergantian gigi geligi terjadi terlambat, akan terjadi
keausan sampai ke tulang gigi.Gejala ini dapat dijumpai
pada tepi incisal gigi-gigi depan yang letaknya ortognat,
yang disebabkan karena gigitan end to end dan
selanjutnya pada permukaan pengunyahan gigi-gigi
molar.
b. Gigi geligi tetap
Incisal/oklusal
10
Keausan pertama-tama dapat dilihat pada
elemen yang paling dulu bererupsi pada gigi-gigi tetap.
Elemen tersebut biasanya adalah molar pertama bawah,
yang pada mulanya sebagian berkontak dengan molar
kedua atas sulung dan kemudian dengan molar pertama
tetap. Bila pada tepi potong tepi insisivus pertama
bagian bawah yang aus bentuknya, maka gigi-gigi
tersebut yang mula-mula menghalami keausan yang
paling banyak,keausan disini sering tidak mengesankan
karena centric stop ini mempunyai bidang byang relatif
luas. Bila proses mencapai dentin, dapat terjadi
perubahan warna coklat sekunder karena
menembusnya agensia dari minuman dan makanan.
Pada gigi-gigi depan terjadi suatu pusat coklat yang
dikelilingi noleh lapisan tipis email yang berwarna
normal. Baik didepan dimana pertbedaan tinggi incisal
hilang, maupun di daerah premolar dan molar dimana
pengikisan tonjol-tonjol menyebabkan terjadinya suatu
bidang datar, maka keausan karena pengaruh diet
(sayur dan buah nentah , faktor-faktor erosi) akhirnya
bentuknya menjadi besar (Schuurs,1992).
Aproksimal
Karena elemen-elemen gigi-geligi yang tertanam
dalam soket gigi dapat bergerak, maka akan slaing
menggosok pada bagian aproksimal, yang
menyebabkan keausan interstitial. Tempat kontak yang
pada mulanya runcing akan menjadi mendatar, karena
kecenderungan-kecenderungan elemen-elemen untuk
migrasi kearah mesial, gigi depanya akan tetap
tersentuh. Keauasan aproksimal pada mulanya berjalan
sangat cepat kemudian semakin lambat karena
11
perlawanan yang semakin meningkat sebagai akibat
menjadi besarnya permukaan yang slaing menggosok
( Schuurs ,1992).
2. Epidemiologi
Tiap gigi-geligi menunjukan keausan, tetapi untuk
menentukan ukurannya sulit. Mengenai keausan oklusal, tidak
adanya puncak-puncak yang dapt dijadikan petunjuk,merupakan
hambatan. Untuk mendaftar tingkat keausan oklusal disediakan
beberapa petunjuk yakni: salah satu petunjuk yang biasa
digunakan adalah klasifikasi yang disusun oleh Broca pada tahun
1879, yakni: 0 = tidak ada keausan, 1 = keausan dengan tonjol-
tonjol yang masih dapat dilihat, 2= bagian-bagian dentin oklusal
terbuka, 3 = hanya email perifer dan 4 = keausan sampai dekat
dengan batas email-sementum (Schuurs,1992).
3. Determinan Keausan
Dapat dibedakan menjadi beberapa faktor, meskipun tidak
bebas yang menentukan keausan gigi-geligi meliputi :
a. Makanan
Kualitas dan cara memasak turut menetukan
ukuran keausan. Makanan yang keras dan kasar tidak
menaikan keausan oklusal, tetapi juga aproksimal.
Meskipun makan makanan yang tidak dimasak
dinyatakan sebagai penyebab keausan, cara memasak
makanan jga turut mentukan (Schuurs,1992).
b. Daya Pengunyahan
Pria mungkin lebih nkuat mengunyah daripada
wanita. Sesuai dengan perkembangan M.masseteryang
lebih kuat, pria memang lebih banyak menunjukan
keausan pada gigi-geliginya. Lamanya pengunyahan,
12
tergantung diet tentuh saja mempunyai peran dalam
keausan gigi (Schuurs,1992).
c. Ludah
Jumlah ludah dan kadar musinnya mempengarui
keausan. Kurangnya musin atau ludah dalam pelumuran
makanan dapat meningkatkan keausan. Uji coba yang
dilakukan pada hewan coba,yakni: pengikatan atau
pemotongan saluran pengangkutan ludah pada tikus
menghasilkan lebih banyak keausan daripada kelompok
kontrol dengan diet identik (Schuurs,1992).
d. Kerusakan pada Gigi-geligi
Kerusakan pada gigi-geligi seperti: erosi, karies,
amelogenesis dan dentinogenesis imperfekta, elemen-
elemen yang tidak mkuncul,restorasi yang tidak
memadai, antara lain tumpahan porselin yang
kasar,meningkatkan keausan (Schuurs,1992).
4. Dampak dan akibatnya dari keausan
Dampak atau konsekuensinya adalah menyamngkut email,
tulang gigi, pulpa, persendian rahang, lengkung gigi-geligi dan
sementum akar.
a. Lengkung gigi geligi
Keausan dianggap disebabkan oleh efek yang
menstabilisasi lengkung gigi. Periodonsium yang denngan
bertambahnya umur sering mengalami perubahan yang regresif
dan karenanya kurang tahan terhadap daya pengunyahan
horizontal, sebagai akibat keausan bebannya akan berkurang
(Schuurs,1992).
b. Email
13
Sisa emaol setelah mengalami keausan yang kuat dapat
rontok karena daya pengunyahan yang besar (Schuurs,1992).
c. Dentin
Pada tulang gigi reaksi yang biasanya timbul terhadap
rangsangan dapat diamati. Pada gii kaninus ternyata dentin
peritubular menjadi lebih kaya akan mineral dan tubulu
mengalami sklerotisasi. Karena proses-proses ini tulang gigi
menjadi lebih keras. Selain itu, terjadi dead tracts. Yang lain
menunjukan dentin tersier juga sebagai reaksi terhadap keausan.
Bila dimana pun pembentukan dentin tersier karena pengaruh
karies dapat diterima (Schuurs,1992).
d. Pulpa
Perubahan didaloam pulpa ada dua sifat. Disitu terbentuk
dentin tersier, tetapi yidak pada semua elemen, sedangkan ¾
dari elemen-elemen yang terkena keausan didalam pulpa
membentuk dentin reparatif. Perubahan pulpa yang kedua terdiri
atas gangguan deret odontoblas dan radang yang disebabkan
oleh masuknya toksin dan semacamnya lewat tubuli dari rongga
mulut (Schuurs,1992).
e. Sendi Rahang
Sendi rahang dan otot-otot pengunyahan harus
menyesuiakan dengan menjadi rendahnya gigitan. Pada keausan
yang tidak begitu besar, yang berlangsung perlahan-lahan dan
hal ini mungkin tidak menjadi persoalan. Tidak dapat disangkal
bahwa keausan normal elemen yang menuntut adaptasi sendi
rahang, membawa ke gangguan sendi yang degeneratif. Oleh
beberapa orang ditunjukan adanya hubungan antara keausan
dan patologi sendi, tetapi persoalannya sangat kompleks. Masuk
akal bahwa adaptasi dalam batas tertentuh dimungkinkan dan
14
bahwa baru pada beban yang melampaui batas terjadi disfungsi
kraniomandibular (Schuurs,1992).
2.3.2 Pencegahan dan Perawatan
Keausan normal tidak memerlukan tindakan, kecuali
berlangsung cepat dan sangat kuat sehingga incisal dan oklusal
mencapai ntulang gigi. Perawatan kuratif dengan demikian
mempunyai pengaruh pencegahan. Perawatan pada keausan
yang cukup berat dapat dilakukan dengan membuatkan gigi
tiruan penuh atau sebagian, mahkota emas atau emas-porselin
asal tidak memerlukan pengurangan banyak jarinngan mahkota
(dan bersangkutan tidak kerot) (Schuurs,1992).
2.4 Erosi
2.4.1 Definisi erosi gigi
Erosi gigi merupakan suatu penyakit kronik yang
disebabkan berkontak gigi dengan asam yang berulang-ulang.
Asam tersebut dapat berasal dari luar tubuh (ekstrinsik) maupun
dari dalam tubuh (intrinsik) (Gandara, 1999).
Asam intrinsik berasal dari asam lambung yang mencapai
rongga mulut dan gigi yang dihasilkan dari gastroesophageal
reflux , vomitus dan rumination . Gastroesophageal reflux (GERD)
adalah suatu kondisi dimana isi lambung (makanan dan asam
lambung) secara tidak sadar sering mengalir kembali ke
esofagus setelah itu masuk ke dalam rongga mulut.
Gastroesophageal reflux dapat terjadi karena meningkatnya
tekanan abdominal, tidak mampunya sphincter esofagus bagian
bawah berrelaksasi, meningkatnya produksi asam lambung.
Vomitus dapat terjadi secara spontan atau distimulasi sendiri dan
dapat berhubungan dengan berbagai masalah medis seperti
psikosomatik, metabolik, endokrin, ganguan pada
gastrointestinal, di- induksi oleh obat-obatan. Vomitus yang
15
distimulasi sendiri terjadi pada pasien yang menderita anorexia
nervosa dan bulimia , sedangkan vomitus yang spontan terdapat
pada pada penderita gangguan gastrointestinal seperti ulcus
peptikum (tukak lambung) atau gastritis, wanita hamil, efek
samping obat, diabetes atau gangguan sistem nervosa.
Rumination adalah kondisi yang tidak umum pada seseorang
yang sengaja menstimulasi isi dalam lambungnya dalam jumlah
yang sedikit dan mengunyahnya sebelum ditelan kembali
(Gandara, 1999).
Asam ekstrinsik berasal dari makanan, minuman, obat-
obatan, lingkungan dan pekerjaan. Obat obatan yang bersifat
asam berkontak langsung dengan gigi saat obat tersebut
dikunyah atau ditempatkan di dalam mulut sebelum ditelan,
contohnya tablet kunyah vitamin C dan aspirin, Obat obatan
yang menyebabkan xerostomia contohnya penggunaan obat
methamphetamine, ekstasi, biasanya penderita yang
menggunakan obat-obatan ini mengkompensasi keadaan
tersebut dengan minuman berkarbonat sehingga dapat
menyebabkan erosi gigi yang parah. Obat-obatan inhaler yang
digunakan oleh penderita asma dapat berefek langsung pada
gigi atau tidak langsung karena menyebabkan xerostomia . Erosi
gigi dapat juga disebabkan oleh pekerjaan yang berhubungan
dengan asam seperti ditemukaan pada pekerja baterai, ahli
laboratorium, pengecap minuman anggur profesional, pekerja
pabrik dinamit dan atlet renang. Selain asam ekstrinsik di atas,
terdapat penyebab erosi yang lebih utama saat ini yang akan
dibahas lebih dalam lagi karena berhubungan dengan penelitian
ini yaitu Minuman yang bersifat asam (Gandara, 1999).
2.4.2 Proses Terjadinya Erosi Gigi
16
Erosi gigi adalah kerusakan jaringan keras gigi yang
disebabkan karena asam (bukan asam dari proses kimia yang
dihasilkan oleh bakteri) atau bahan erosif lain (ion selain Ca2+,
PO43-, dan OH-) yang kontak dengan email. Kerusakan ini
menyerang email yang merupakan jaringan paling luar dari
sebuah gigi (Gandara, 1999).
Erosi gigi dan karies gigi mempunyai kesamaan dalam
jenis kerusakannya yaitu terjadinya proses demineralisasi
jaringan keras yang disebabkan oleh asam. Namun demikian,
asam penyebab erosi berbeda dengan asam penyebab karies
gigi. Erosi gigi berasal dari asam yang bukan sebagai hasil
fermentasi bakteri, sedangkan karies gigi berasal dari asam yang
merupakan hasil fermentasi karbohidrat oleh bakteri kariogenik
dalam mulut. Erosi terjadi secara merata di permukaan gigi, hal
ini mungkin karena larutnya elemen anorganik email gigi secara
kronis. Makanan yang memiliki kuah atau cairan yang asam (pH
< 7), misalnya acar atau pempek dapat menyebabkan erosi pada
gigi (Schuurs,1992).
Proses erosi gigi dimulai dari adanya pelepasan kalsium
email gigi, bila hal ini terus berlanjut maka akan menyebabkan
kehilangan sebagian elemen email dan apabila telah sampai ke
dentin maka penderita akan merasa ngilu. Sebagaimana
diketahui bahwa email sebagian besar terdiri dari hidroksiapatit
(Ca10(PO4)6(OH)2) atau fluoroapatit (Ca10(PO4)6F2), kedua
unsur tersebut dalam suasana asam akan larut menjadi Ca2+,
PO4-9, F-, dan OH-. Ion H+ akan bereaksi dengan gugus PO4-9,
F-, atau OH membentuk HSO4-, H2SO4-, HF, atau H2O,
sedangkan yang kompleks terbentuk CaHSO4, CaPO4, dan
CaHPO4. Kecepatan melarutnya email dipengaruhi oleh derajat
keasaman (pH), konsentrasi asam, waktu melarut, dan ada
tidaknya kalsium atau fosfat (Schuurs,1992).
17
Reaksi kimia terlepasnya kalsium dari email gigi pada
medium yang bersifat asam, yaitu pada pH 4,5-6 merupakan
reaksi orde nol. Adapun pengaruh pH terhadap koefisien laju
reaksi menunjukkan bahwa semakin kecil atau semakin asam
suatu media maka semakin cepat laju reaksi terlepasnya kalsium
dari permukaan email gigi. Reaksi kimia terlepasnya kalsium dari
email gigi dalam suasana asam ditunjukkan dengan persamaan
reaksi berikut (Schuurs,1992).
Ca10(PO4)6F2 Ca 10(PO4)6F2 + 2n H + N Ca 2+ + Ca10 – nH 20 – 2n(PO4)6F2
padat terlarut terlepas padat
Reaksi kimia pelepasan kalsium dari email gigi.
Sumber: (Schuurs,1992).
Mengingat bahwa kalsium merupakan komponen utama
dalam struktur gigi dan proses demineralisasi email terjadi akibat
lepasan ion kalsium dari email gigi maka pengaruh asam pada
email gigi merupakan reaksi penguraian. Demineralisasi yang
terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya
porositas pada permukaan email (Schuurs,1992).
Proses demineralisasi dapat terjadi apabila email berada
dalam suatu lingkungan pH di bawah 5,5. Derajat keasaman
berperan pada proses demineralisasi karena pH yang rendah
akan meningkatkan konsentrasi ion hidrogen selanjutnya akan
merusak kristal hidroksiapatit email gigi. Terdapat beberapa hal
yang mempengaruhi proses demineralisasi yaitu jenis dan
konsentrasi asam minuman yang tidak berdisosiasi, kandungan
karbohidrat dalam minuman, pH dan kapasitas dapar minuman
serta kandungan fosfat dan f1uor yang ada dalam minuman
(Schuurs,1992).
2.4.2 Penyebab Terjadinya Erosi pada Gigi
A. Minuman Yang Bersifat Asam
18
Minuman yang bersifat asam dianggap sebagai faktor
utama terjadinya erosi gigi. Hasil penelitian membuktikan bahwa
kadar dan jumlah pelepasan kalsium dari permukaan enamel
dipengaruhi oleh pH minuman. Semakin rendah pH suatu
minuman semakin tinggi kadar dan jumlah pelepasan kalsium.
Hasil penelitian Fathilah dan Zubaidar yang menunjukkan bahwa
coca cola yang memiliki pH paling rendah (2,6) adalah minuman
yang paling banyak melepaskan kalsium dari permukaan enamel
gigi dibanding minuman yang bersifat asam lainnya (Gandara,
1999).
Penelitian-penelitian yang terdahulu menyatakan bahwa
erosi gigi tidak hanya tergantung pada pH minuman saja tetapi
juga dipengaruhi kandungan titratable acid , jenis asam, kadar
asam, kandungan fosfor, kalsium dan fluor dalam minuman. pH
dan titratable acid pada minuman ditetapkan untuk mengetahui
derajat kejenuhan yang masih diterima oleh mineral gigi dan
sampai terlarutnya mineral gigi. Dalam mengevaluasi tingkat
erosif minuman yang bersifat asam, titratable acid diperkirakan
lebih penting dari level pH karena dapat ditetapkan ion H+ yang
tersedia untuk berinteraksi dengan permukaan gigi. Minuman
yang memiliki pH yang tinggi, titratable acid yang rendah dan
konsentarasi kalsium, fosfat dan fluor yang tinggi akan
mengurangi daya potensi erosif suatu minuman. Penelitian yang
telah dilakukan untuk membandingkan antara minuman ringan
blackcurrent yang ditambahkan kalsium dengan orange drink
yang masing-masing disediakan dalam 250 ml dan dikonsumsi 4
kali selama 20 hari. Setelah dilakukan pengukuran kehilangan
enamel dengan menggunakan profilometry pada sampel gigi
tersebut, hasilnya menunjukkan minuman ringan blackcurrent
yang ditambahkan kalsium menyebabkan kehilangan permukaan
gigi yang lebih sedikit (Gandara, 1999).
19
2.5 Degenerasi pada enamel atau email
Dengan bertambahnya umur, email menjadi lebih tipis
karena abrasi atau erosi, dan dentin menjadi lebih tebal karena
deposisi dentin sekunder dan reparatif, yang menghasilkan
perubahan warna pada gigi selama hidup seseorang. Gigi orang –
orang tua biasanya lebih kuning atau keabu – abuan atau abu –
abu kekuning – kuningan daripada gigi orang muda ( Grossman,
1995 ) .
2.5.1 Dentin dan Sensitivitas pada Penuaan
Dentin merupakan struktur penyusun gigi terbesar,
atap bagi rongga pulpa, menyerupai struktur tulang,
komposisinya adalah mineral 69,3%, organik 17,5%, air 13,2%
(Abidin, 2011) .
Dentin mempunyai 3 macam yaitu primer dentine,
sekunder dentine, dan tertier dentine . Primery Dentine dibentuk
secara cepat selama proses pertumbuhan dan perkembangan
gigi, dan dibentuk sebelum foramen apical sempurna. Mineral
yang terdapat di dalam primary dentine lebih banyak dibanding
pada scondary dentine . Letaknya berada di tepi atau disekeliling
runag pulpa. Lapisan terluar dari primary dentine yang
tersintesis pada awal pembentukan disebut mantle dentin. Pada
mantle dentin hanya sedikit sekali mengandung mineral
dibandingkan lapisan lain dari primary dentin, yang dibentuk
setelah mantle dentin (Abidin, 2011) .
Secondary dentine adalah dentin yang terbentuk karena
pacuan-pacuan yang dialami oleh odontoblas misalnya
rangsangan mekanis, panas, kimia, atau yang paling utama
rangsangan oleh karies gigi. Memiliki struktur yang tidak teratur,
dan hanya sedikit mengandung mineral. Bentuknya lebih keras
dan opaque sehingga kuman/bakteri tidak dapat masuk atau
dapat dimineralisasi. Secara fisiologis didepositkan megelilingi
tepi pulpa selama pulpa masih vital, sehingga kamar pulpa
20
secara progresif akan menyempit sesuai dengan bertambahnya
umur (Henry, 1997) .
Tertier dentine atau disebut reactionary atau reparative
atau irregular secondary dentine . Terbentuk pada pada ujung
pulpa pada tubulus yang berhubungan dengan irirtasi seperti
atrisi pada struktur gigi dan karies gigi. Bukti menunjukkan
bahwa dentin sekunder iregular melindungi pulpa dengan
mengurangi masuknya iritan (Bergento G, Reit C, 1990) .
Gigi sensitive disebabkan berkurangnya atau menipisnya
lapisan email gigi. Dalam kondisi normal dentin ditutupi oleh
email atau gingiva, dentin memiliki pori-pori kecil (tubulus
dentin) yang pada permukaannya mengarah pada pulpa. Jika gigi
mengalami keausan atau terjadinya resesi gingiva, dentin akan
terangsang oleh makanan panas, manis atau asam. Rangsangan
tersebut akan diteruskan tubulus dentin menuju pulpa gigi dan
memicu sakit (Salma, 2011).
Penyebab sensitivitas pada umumnya karen penurunan
gusi, buruknya oral hygien, bleaching. terkikisnya email,
penyikatan yang terlalu kuat. Penurunan gusi dan pengikisan
email merupakan penyebab utama sensitivitas pada orang lanjut
usia. Hal tersebut terjadi karena pada usia yang telah lanjut,
proses keausan akan terus berjalan hal ini menyebabkan
jaringan lunak dan jaringan keras gigi ikut mengalami keausan
(Salma, 2011).
2.6 Degenerasi pada Pulpa
Degenarasi pulpa ini jarang ditemukan namun perlu
diikutkan pada suatu deskripsi penyakit pulpa. Degenerasi pulpa
pada umunya ditemui pada penderita usia lanjut yang dapat
disebabkan oleh iritasi ringan yang persisten. Kadang-kadang
dapat juga ditemukan pada penderita muda seperti pengapuran.
21
Degenerasi pulpa ini tidak perlu berhubungan dengan infeksi
atau karies, meskipun suatu kavitas atau tumpatan mungkin
dijumpai pada gigi yang terpengaruh. Tingkat awal degenerasi
pulpa biasanya tidak menyebabkan gejala klinis yang nyata. Gigi
tidak berubah warna, dan pulpa bereaksi secara normal tehadap
tes listrik dan tes termal. Ada beberapa macam degenerasi
pulpa yaitu degenerasi kalsifik, degenerasi atrofik, degenerasi
fibrous. Perubahan pulpa
• volume ruang pulpa menyempit oleh karena dentin reparative
• jumlah sel berkurang, jumlah saraf bertambah
• secara histologis, jaringan pulpa terlihat lebih padat dapat
terjadi pengapuran yang tidak teratur (pulp stones) tjd
pengurangan jumlah dan penurunan kualitas dinding pembuluh
>reaktifitas berkurang
1. Degenerasi Klasifik
Pada degenerasi kalsifik, sebagian jaringan pulpa
digantikan oleh bahan mengapur; yaitu terbentuk batu pulpa
atau dentikel. Kalsifikasi ini dapat terjadi baik di dalam kamar
pulpa ataupun saluran akar tapi umumnya dijumpai pada kamar
pulpa. Bahan mengapur mempunyai struktur berlamina seperti
kulit bawangdan terletak tidak terikat di dalam badan pulpa.
Dentikel atau batu pulpa demikian dapat menjadi cukup besar
untuk memberikan suatu bekas pada kavitas pulpa bila massa
mengapur tersebut dihilangkan. Pada jenis kalsifikasi lain, bahan
mengapur terikat pada dinding kavitas pulpa dan merupakan
suatu bagian utuh darinya. Tidak selalu mungkin membedakan
satu jenis dari jenis lain pada radiograf Diduga bahwa batu pulpa
dijumpai pada lebih dari 60% gigi orang dewasa. Batu pulpa
dianggap sebagai pengerasan yang tidak berbahaya, meskipun
rasa sakit yang menyebar pada beberapa pasien dianggap
berasal dari kalsifikasi ini pada pulpa. Gigi dengan batu pulpa
22
juga dicurigai sebagai focus infeksi oleh beberapa klinisi. Tidak
ditemukan perbedaan dalam insidensi batu pulpa antara
kelompok pasien yang menderita encok dan kelompok control
normal dengan umur yang kira-kira sama. Pada Degenerasi
Kalsifik dapat ditemukan :
• Sebagian / beberapa bagian jaringan pulpa yang mengalami
pengalaman
• T erbentuk batu pulpa / dentikel
• Dapat terjadi di kamar pulpa atau saluran akar
• Bentuk pengapuran :
Luas & tidak padat (diffuse)
Kecil & padat (batu pulpa/dentikel)
• Hanya dapat dilihat melalui rontgen foto
Penyebab : Terjadi setelah pulpitis, keradangan → jaringan ikat
melokalisir radang → jaringan fibrosa mengalami pengapuran →
diffuse
•Pada orang muda – krn rangsang terus menerus
•Pada orang tua – dapat terjadi tanpa penyebab Teori terjadinya
dentikel
• Bersama dengan pembentukan gigi dimana :
Sesudah gigi erupsi → nyeri tanpa ada tanda-tanda radang →
rontgen foto
Pembentukan Dentikel
Selapis demi selapis ( konsentris )
23
Struktur berlamina seperti kulit bawang
● Dapat terikat / tidak dengan dentin
● Dapat membesar & menyumbat saluran akar . Macam Dentikel
yaitu :
1. True Denticle
→ dibentuk oleh odontoblos
→ seperti dentin sekunder
2. False Denticle
→ dari jaringan pulpa yang mengalami pengapuran
2. Degenerasi Atrofik
Degenerasi atrofik, tidak ada diagnosis kliniknya, pada
jenis degenerasi ini sering terjadi pada penderita usia lanjut.
Secara histopatologis dijumpai lebih sedikit sel-sel skelat, dan
cairan interselular meningkat. Jaringan pulpa kurang sensitif
daripada normal. Yang disebut ”atrofi retikuler” adalah suatu
artifiak (artifact) dihasilkan oleh penundaan bahan fiksatif dalam
mencapai pulpa. Biasanya terlihat saluran akarnya sempit dan
seringkali menyulitkan bila dilakukan perawatan saluran akar .
Pada degenerasi atrofik sering ditemukan adanya :
a). Atrophia pulpae/pengecilan pulpa
• Penyebab tidak jelas
24
• Terdapat pada gigi yang tidak berfungsi, misal : pada
gigi yang tertana
• Terjadi pada orang tua → atrofik fisiologis / atrofik senilis
• Histopatologis : sel stelat menurun, cairan intersellular
meningkat, jaringan pulpa kurang sensitif
• Gejala : tidak ada keluhan
• Pemeriksaan
Visual : normal
EPT : hampir tidak bereaksi / lebih besar dari
normal
Termis : hampir tidak bereaksi
x-ray Foto : pulpa dan saluran akar mengecil (Grossman,
1998).
3. Degenerasi Fibrous
Degenerasi fibrous, bentuk degenerasi pulpa ini ditandai
dengan pergantian elemen selular oleh jaringan penghubung
fibrus. Dapat terlihat jelas pada saat pengambilan jaringan pulpa
berupa jaringan keras. Penyakit ini tidak menyebabkan gejala
khusus untuk membantu dalam diagnosa klinik. Pada
degenerasiFibrous,seringterjadi:
Terdapat pada gigi dg alveolus socket yg dalam & pulpitis kronis
• Gejala: tidak ada keluhan
• Pemeriksaan : Tes termis, EPT → hampir tidak bereaksi
Rő foto : normal, kadang-kadang resorpsi tl. Alveolar
Visual : sulit untuk mendiagnosa
• Histopatologis : proses deg. fibrosa (Grossman, 1998).
4. Artifak Pulpa
Pernah diperkirakan bahwa vakuolisasi odontoblas adalah
suatu jenis degenerasi pulpa ditandai dengan ruang kosong yang
sebelumnya diisi oleh odontoblas. Kemungkinan ini adalah suatu
25
artifak yang disebabkan karena fiksasi jelek specimen jaringan.
Degenerasi lemak pulpa, bersama-sama dengan atrofi reticular
dan vakuolasasi, semuanya mungkin artifak dengan sebab sama,
yaitu fiksasi yang tidak memuaskan.Sering ditemukannya
gambaran :
• Ruang kosong
→ vakuolisasi odontoblas
• Karena :
– fiksasi spesimen jaringan → jelek
– Degenerasi lemak + atrofi retikuler (Grossman, 1998).
5. Metastasis sel-sel tumor
Metastasis sel-sel tumor ke pulpa gigi jarang terjadi,
kecuali mungkin pada tingkat akhir. Mekanisme terjadinya
keterlibatan pulpa demikian pada kebanyakan kasus adalah
perluasan local langsung dari rahang. Satu laporan mencatat
keterlibatan pulpa gigi molar pada pasien berusia 11 tahun
dengan kondromiksosarkoma rahang bawah. Dari 39 pasien yang
diperiksa dengan tumor maligna di dalam mulut, hanya satu di
mana ditemuka sel-sel tumor di dalam pulpa (Grossman, 1998).
2.7 Sendi Temporomandibula
Sendi temporomandibula terdiri atas artikulasi (persendian)
yang terbentuk dari fossa mandibularis ossis temporalis dan
processus condylaris mandibula. Permukaan artikuler yang
cekung dari temporal dibatasi dibagian anterior oleh eminentia
articularis yang cembung. Diantara struktur tulang tersebut
terdapat discus articularis yang melekat erat pada kutub lateral
dan medial processus condylaris, sementara bagian posterior
dari perlekatan tersebut bersifat elastis untuk memungkinkan
pergeseran kedepan bersama dengan processus condylaris. Pada
bagian anterior, discus articularis bersambung dengan
26
fascia pterygoideus lateralis dan kapsula sendi. Kapsula sendi
ini dibagian lateral diperkuat oleh ligamentum
temporomandibularis lateralis, yang berfungsi untuk membatasi
gerak satuan discus articularis-processus condylaris. Rongga
sendi superior dan inferior, yang dipisahkan discus articularis dan
berada dalam kapsula sendi, dilapisi oleh jaringan synovial yang
menghasilkan cairan yang dibutuhkan untuk pelumasan
permukaan persendian (Pedersen, 1996)
Otot mastikasi terdiri dari m. masseter, m. temporalis, m.
pterygoideus medialis, dan m. pterigoideus lateralis. Selain itu
terdapat m. digastricus yang juga berperan dalam fungsi
mandibula (Pedersen, 1996)
Suplai saraf sensoris ke sendi temporomandibula didapat
dari n. auriculotemporalis dan n. masseter cabang dari n.
mandibularis. Jaringan pembuluh darah untuk sendi berasal dari
a. temporalis superficial cabang dari a. carotis interna.
(Pedersen, 1996).
Gambar 1: Anatomi sendi temporomandibula: A. saat posisi
rahang terutup, processus condylaris mandibula menempati
posisis sentral dari fossa mandibularis ossis temporalis; B. saat
27
membuka rahang, processus condylaris mandibula bergerak
menuju eminentia articularis (Cohen-Carneiro F, 2011).
2.7.1 Fisiologi
Interface antara processus condylaris dan discus articularis
merupakan tempat gerak engsel, yang dimungkinkan terutama
oleh perlekatan discus articularis pada processus condylaris
melalui ligamen diskus. M. pterigoideus lateralis pars superior
pada prinsipnya bersifat pasif, dan berkontraksi hanya pada
penutupan paksa saja. Kontraksi m. pterigoideus lateralis inferior
terjadi selama pergerakan membuka mulut dan mengakibatkan
pergeseran processus condylaris ke anterior. Selain itu m.
pterigoideus lateralis pars inferior juga berfungsi dalam
pergerakan mandibula ke lateral dan protusi dari mandibula.
Kerjasama antara sendi pada kedua sisi memungkinkan
diperolehnya rentang gerakan mandibula yang menyeluruh
(Pedersen, 1996).
M. masseter menyebabkan elevasi dan protusi dari
mandibula serta berperan dalam proses mengunyah yang efektif.
M. temporalis memiliki fungsi utama untuk elevasi dan retrusi
dari mandibula. M. pterigoideus medialis berfungsi untuk elevasi,
protusi dan pergerakan mandibula ke lateral. Sedangkan m.
digastricus berperan dalam gerakan mandibula ke belakang dan
dalam proses mengunyah (Pedersen, 1996).
28
Gambar 2. Anatomi sendi temporomandibula (Slade GD, 1997)
2.7.2 Penuaan Sendi Temporomandibula
Penuaan merupakan proses intrinsik yang dipengaruhi
oleh banyak faktor–faktor ekstrinsik. Pada otot
mastikasi, penuaan menyebabkan atrofi dari otot,
pengurangan yang signifikan dari ketegangan maksimal otot,
dan kehilangan isometrik serta kekuatan dinamik otot (Mioche L,
2004).
Pada sendi tempormandibula, gangguan yang ada
kemungkinan terjadi karena tekanan yang melampaui batas
sehingga sendi temporomandibula tidak mampu untuk menahan
tekanan yang ada dan keadaan ini diperberat oleh proses
degenerasi sendi (Pedersen, 1996).
Pada proses degenerasi sendi akan terjadi pendataran
dari processus condylaris dan eminentia articularis,
penyempitan rongga sendi, pembentukan tepian tulang pada
bagian tepi permukaan sendi, dan pembentukan zona tulang
sklerosis pada permukaan artikular. Pada discus articularis
terjadi pembentukan retakan dan fisura dengan kemungkinan
terjadi hialinisasi dan kalsifikasi. Proses degenerasi sendi ini
paling sering ditemukan dan cukup banyak mengenai individu
diatas 40 tahun (Pedersen, 1996).
29
Tekanan yang melampaui batas pada sendi
temporomandibula dapat disebabkan karena gangguan oklusi.
Kehilangan gigi dalam jumlah banyak akan meningkatkan
kerentanan terhadap perubahan beban fungsional sendi
temporomandibula, yang nantinya akan membawa pada
perubahan bentuk persendian dan artrosis (proses
degenerasi tanpa
peradangan) (Pedersen, 1996).
2.7.3 Dampak Penuaan pada TMJ
A. Proses Penuaan Terhadap Tempuro Mandibula Joint
Lansia adalah kelompok lanjut usia yang mengalami proses
menua yang terjadi secara bertahap dan merupakan proses
alami yang tidak dapat dihindari. Proses menua dapat
didefinisikan sebagai suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
lebih rentan mengalami infeksi dan tidak dapat memperbaiki
kerusakan yang dideritanya (Dimitroulis, 1998).
Proses menua merupakan proses alamiah yang terjadi
secara terus – menerus dalam kehidupan yang ditandai adanya
perubahan anatomik,fisiologik, dan biomekanik dalam sel tubuh,
sehingga mempengaruhi fungsi sel dan organ tubuh. Proses
menua akan menyebabkan temporo mandibula joint mengalami
keadaan sebagai berikut:
1. Terjadi kemunduran biologis , yang akan mengakibatkan
gangguan yaitu mulut mulai mengendor, dan kehilangan
gigi.
30
2. Terjadi kemunduran kemampuan kognitif , misalnya
penurunan fungsi stogmatonathi sehingga mengakibatkan
daya mengunyah tidak baik (Dimitroulis, 1998).
Gangguan temporomandibular adalah istilah yang dipakai
untuk sekelompok gangguan yang mengganggu sendi
temporomandibular, otot pengunyah, dan struktur terkait yang
mengakibatkan gejala umum berupa nyeri dan keterbatasan
membuka mulut. Biasanya pada praktek umum (general
practitioner) pasien dengan gangguan ini mengeluhkan gejala
yang persisten atau nyeri wajah yang kronik. Biasanya nyeri
pada gangguan temporomandibular disertai suara click pada
sendi rahang dan keterbatasan membuka mulut (Dimitroulis,
1998).
Sekitar 60-70% populasi lansia mempunyai setidaknya satu
gejala gangguan temporomadibular .Tetapi, hanya
seperempatnya yang menyadari adanya gangguan tersebut.
Lebih jauh lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan satu atau
dua gejala gangguan temporomandibular yang pergi ke dokter.
Kelainan ini paling banyak dialami perempuan (1:4), dan sering
terjadi pada awal masa dewasa (Dimitroulis, 1998).
B. Etiologi gangguan temporomandibular joint yang terjadi pada
lansia.
Persendian pada temperomandibular ini sama seperti
persendian di daerah tubuh lainnya, dimana dapat juga terjadi
hal-hal seperti osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan jenis-jenis
inflamasi lainnya didaerah persendian ini yang akan
menimbulkan sensasi nyeri juga. Osteoartritis adalah kondisi
dimana sendi terasa nyeri akibat inflamasi yang diakibatkan
gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi. Osteoartritis (OA)
merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
31
kerusakan kartilago sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis (RA)
merupakan suatu penyakit autoimun dengan karakteristik
sinovitis erosif simetris sebagian besar pasien menunjukkan
gejala penyakit kronik hilang timbul dan apabila tidak diobati
dapat menyebabkan kerusakan persendian dan deformitas sendi
progresif yang berakhir pada disabilitas (Dimitroulis, 1998).
C. Faktor Risiko Gangguan Temporomandibular
Kelainan TMJ paling sering pada wanita dengan usia
berkisar 30-50 tahun. Faktor resiko lain:
Jaw clenching
Teeth grinding (bruxism)
Rheumatoid arthritis
Fibromialgia
Trauma wajah dan rahang
Kelainan congenital pada tulang wajah (Dimitroulis, 1998).
2.7.4 Perawatan Gangguan Sendi Temporomandibula
Berbagai terminologi dalam melakukan perawatan
gangguan sendi temporo mandibula, antara lain terapi Fase I dan
fase II. Fase I yaitu perawatan simptomatik, teramsuk perawatan
yang reversible seperti perawatan dengan obat, terapi fisik,
psikologik, dan perawatan dengan splin. Fase II yaitu perawatan
irreversible, termasuk perawatan ortodontik, pemakaian gigi
tiruan cekat, penyesuaian oklusal, dan pembedahan (Erna.
2003).
Perawatan fase I terdiri dari:
a. Perawatan terapi fisik,Pasien dapat melakukan sendiri
kompresdengan lap panas. Serta pemijatan sekitar
sendi,sebelumnya dengan krim mengandung metil salisilat
b. Fisioterapi dengan alat:
32
Infrared berguna untuk menghilangkan nyeri, relaksasi otot
superfisial, menaikan aliran darah superficial
TENTS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation],
untuk mengurangi nyeri.
EGS (Electro Galvanie Stimulation) mencegah perlekatan
jaringan, menaikans irkulasi darah, stimulasi saraf sensorik
dan motorik, serta mengurangi spasme.
Perawatan dengan Obat Analgetik, Aspirin, Asetaminophen,
Ibuprofen.
Memakai alat di dalam mulut Splin oklusal. Splin ini
terpasangdengan cekat pada seluruh permukaan oklusal
gigi gigi rahang atas atau rahang bawah.Permukaan yang
berkontak dengan gigi lawan datar dan halus.14
Permukaan oklusal splinsesuai dengan gigi lawan, dengan
maksud untuk menghindari hipermobilitas rahangbawah
Splin oklusal berfungsi :
Menghilangkan gangguan oklusi
Menstabilkan hubungan gigi dan sendi; Merelaksasi otot
Menghilangkan kebiasaanparafungsi
Melindungi abrasi terhadap gigi
Mengurangi beban sendi temporomandibula
Mengurangi rasa nyeri akibat disfungsi sendi
temporomandibula
Perawatan fase II terdiri dari
Perawatan ortodontik
Pembuatan gigi tiruan cekat atau pembuatan gigi tiruan
lepasan
Penyesuaian oklusal
Tindakan bedah tergantung kebutuhan pasien (Erna.
2003).
33
2.8 Perubahan Rongga Mulut pada Wanita Menopouse
Perubahan rongga mulut dilaporkan dapat terjadi pada
pada wanita menopause (20-90%), termasuk ketidaknyamanan
oral (rasa sakit dan sensasi terbakar), mulut kering (xerostomia)
dan persepsi rasa berubah. Etiologi dari ketidaknyamanan oral ini
berhubungan dengan perubahan pada kuantitas dan kualitas
saliva. Perubahan mukosa mulut karena berkurangnya tingkat
estrogen pada epitel berkeratin bersama dengan penurunan
sekresi saliva pada wanita menopause dapat terjadi bervariasi
dari warna yang menjadi pucat sampai ke kondisi yang dikenal
sebagai gingivostomatitis menopause, ditandai dengan gingiva
kering, mengkilap dan mudah berdarah pada probing dan saat
menyikat gigi, serta berkurangnya laju saliva.
2.9 Perubahan klinis pada rongga mulut akibat proses
penuaan
Gambaran klinis yang dapat dilihat adalah mukosa tampak
licin mengkilap (tidakada stippling pada gingiva), pucat, kering,
mudah mengalami iritasi dan pembengkakan,mudah terjadi
pendarahan bila terkena trauma (lebih parah jika terdapat
kelainansistemik) serta elastisitasnya berkurang. Ini karena
pertambahan usia menyebabkan sel epitel pada mukosa mulut
mengalami penipisan, berkurangnya keratinisasi, berkurangnya
vaskularisasi, serta penebalan serabut kolagen pada lamina
propia. Antara perubahan
klinis yang dapat terjadi adalah :
A. Jaringan flabby
Pada kasus resorbsi tulang alveolar, sering terjadi pada
pasien yang sudah lama kehilangan gigi sehingga
mengakibatkan linggir alveolar menjadi datar atau jaringan lunak
sekitarnya menjadi flabby. Menurut Boucher (cit. Damayanti)
34
jaringan flabby merupakan respon dari jaringan ikat yang
mengalami hiperplasia yang awalnyadiakibatkan oleh trauma
atau luka yang tidak dapat ditoleransi yang terjadi pada
residualridge. Makin tebal jaringan hiperplastik yang terbentuk,
makin besar pula derajat jaringanflabby. Biasanya terjadi pada
penderita yang lama tidak memakai gigitiruan atau dapatjuga
terjadi pada penderita yang menggunakan gigitiruan yang tidak
pas (Rachmawati, 2006).
B. Kelenjar saliva
Fungsi kelenjar saliva yang mengalami penurunan
merupakan suatu keadaan normal pada proses penuaan
manusia. Manula mengeluarkan jumlah saliva yang lebihsedikit
pada keadaan istirehat, saat berbicara, maupun saat makan.
Keadaan inidisebabkan oleh adanya perubahan atropi pada
kelenjar saliva sesuai dengan pertambahanumur yang akan
menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya sedikit
(Rachmawati, 2006).
Xerostomia merupakan simtom, bukan suatu penyakit.
Salah satu penyebab xerostomia adalah kelainan dalam produksi
saliva, adanya penyumbatan atau gangguanpada kelenjar saliva
sehingga menghambat pengaliran saliva ke rongga mulut,
Sjogren’sSyndrome dan efek negatif dari radioterapi akibat
pengobatan kanker. Selain itu,penyakit-penyakit sistemis yang
diderita pada usia lanjut dan obat-obatan yang digunakanuntuk
perawatannya dapat menyebabkan xerostomia pada manula.
Xerostomia adalahsalah satu faktor yang penyebab
berkurangnya sensitifitas taste buds, pasien tidak dapatmemakai
gigitiruan sebagian / gigitiruan penuh, serta mengakibatkan
sensasi mulutterbakar pada manula (Rachmawati, 2006).
35
Fungsi utama dari saliva adalah pelumasan, buffer, dan
perlindungan untukjaringan lunak dan keras pada rongga mulut.
Jadi, penurunan aliran saliva akan fungsi bicara dan penelanan,
serta menaikkan jumlah karies gigi, danmeningkatkan
kerentanan mukosa terhadap trauma mekanis dan infeksi
mikrobial (Rachmawati, 2006).
C. Lidah dan pengecapan
Orang tua biasanya mengeluh tidak adanya rasa makanan,
ini dapat disebabkan bertambahnya usia mempengaruhi
kepekaan rasa akibat berkurangnya jumlah pengecap pada lidah.
Permukaan lidah ditutupi oleh banyak papilla pengecap dimana
terdapatempat tipe papilla yaitu papilla filiformis, fungiformis,
sirkumvalata, dan foliate.Sebagian papilla pengecap terletak
dilidah dan beberapa ditemukan pada palatum,epiglottis, laring
dan faring. Pada manusia terdapat sekitar 10,000 putik kecap,
danjumlahnya berkurang secara drastis dengan bertambahnya
usia (Rachmawati, 2006).
Kesulitan untuk menelan (Dysphagia) biasanya muncul
pada manula dan perlu diberikan perhatian karena populasi
manula semakin meningkat setiap tahun. Dalam
sistempencernaan, terdapat beberapa fase penting yang berkait
erat dengan rongga mulut yaitpengunyahan, pergerakan lidah
dan kebolehan membuka serta menutup mulut (bibir).Sistem
pencernaan di rongga mulut menunjukkan penurunan fungsi
denganmeningkatnya umur. Robbins dkk (cit. Al-Drees)
menyatakan bahwa fungsi penelanan(berkaitan dengan tekanan)
menurun dengan meningkatnya umur sehingga manulaterpaksa
bekerja lebih keras untuk menghasilkan efek tekanan yang
adekuat dan dapatmenelan makanan, seterusnya akan
meningkatkan resiko untuk berkembangnya dysphagia. Fungsi
penelanan pasti akan mengalami penurunan pada manula
36
walaupunmempunyai rongga mulut yang sehat. Aksi pergerakan
lidah akan berubah denganmeningkatnya umur. Perubahan yang
terjadi adalah perlambatan dalam mencapai tekananotot dan
pergerakan yang efektif pada lidah, gangguan pada ketepatan
waktu kontraksi otot lidah sehingga menganggu fungsi
pencernaan di rongga mulut secarakeseluruhannya.Akibat
gangguan pada sistem pencernaan dan kehilangan sensori
pengecapansehingga menyebabkan kehilangan selera makan,
manula kehilangan berat badan merupakan keadaan umum yang
sering terjadi (Rachmawati, 2006).
D. Bentuk bibir
Penna dkk (cit. Al-Drees) menyatakan bahwa terdapat
penurunan massa dari otot bibir yaitu m. Orbicularis oris pada
manula dengan menggunakan analisa secara histomorphometric.
Senyuman manula kelihatan lebih lebar secara transversal dan
mengecil secara vertikal. Ini menunjukkan bahwa memang
berlaku penurunan massa dari otot Orbicularis oris pada bibir
sehingga kemampuan otot ketika manula senyum semakin
berkurang (Rachmawati, 2006).
E. Tekstur permukaan mukosa mulut
Perubahan yang berlaku pada sel epitel mukosa mulut
berupa penipisan ketebalan lapisan sel, berkurangnya elastisitas
serta berkurangnya vaskularisasi. Akibatnya secara klinis
menyebabkan mukosa mulut menjadi lebih pucat, tipis, kering,
dengan proses penyembuhan yang melambat. Hal ini
menyebabkan mukosa mulut lebih mudah mengalami iritasi
terhadap gesekan atau trauma, yang diperparah dengan
berkurangnya aliran saliva. Pada mukosa gingiva yang sehat
karakteristiknya berupa stippling yang menghilang dengan
37
bertambahnya usia, akibatnya mukosa gingiva menjadi licin
(Rachmawati, 2006).
2.9.1 Faktor- faktor yang mempengaruhi proses menua
Proses penuaan dipicu oleh laju peningkatan radikal bebas dan sistem
penawaran racun yang semakin berubah seiiring dengan berjalannya usia.
Faktor yang mempercepat proses penuaan :
1. Faktor genetik
Secara genetik, perempuan ditentukan oleh sepasang kromosom X.
Kromosom X ini ternyata membawa unsur kehidupan sehingga perempuan
berumur lebih panjang daripada laki – laki. Disamping itu juga ditemukan gen
khusus yang bertanggung jawab mengaktualkan proses penuaan. Bagi individu
yang mengemban gen tersebut, cenderung cepat menjadi tua (berusia 30-an
tampak seperti usia 80-an). Kalainan ini dikenal sebagai Sindrom Werner.
2. Faktor endogenik
Perubahan stuktural dan fungsional
Kemampuan / skill menurun
Kapasitas kulit untuk mensintesis vitamin D
3. Faktor eksogenik (factor lingkungan dan gaya hidup)
Diet / asupan zat gizi
Contohnya seperti kekurangan protein yang dapat menyebabkan degenerasi
jaringan ikat gingiva, membran periodontal dan mukosa. Kekurangan protein
juga dikaitkan dengan percepatan kemuduran tulang alveolus.
Merokok
Obat
Penyinaran Ultra violet
Polusi
Faktor yang menghambat proses penuaan
Antioksidan, merupakan zatkimia yang dapat memberikan sebuah elektron
pada radikal bebas sehingga memperlambat proses penuaan.
38
2.9.2 MEKANISME PENUAAN
Proses penuaan ditandai penurunan energi seluler yang
menurunkan kemampuan sel untuk memperbaiki diri. Terjadi dua
fenomena, yaitu penurunan fisiologik (kehilangan fungsi tubuh
dan sistem organnya) dan peningkatan penyakit (Fowler, 2003).
Menurut Fowler (2003), aging adalah suatu penyakit dengan
karakteristik yang terbagi menjadi 3 fase yaitu :
1) Fase subklinik (usia 25-35 tahun)
Kebanyakan hormon mulai menurun : testosteron, growth
hormone (GH), dan estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang
dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh, seperti
diet yang buruk, stress, polusi, paparan berlebihan radiasi
ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak
dari luar. Individu akan tampak dan merasa “normal” tanpa
tanda dan gejala dari aging atau penyakit. Bahkan, pada
umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.
2) Fase transisi (usia 35-45 tahun)
Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25
persen. Kehilangan massa otot yang mengakibatkan kehilangan
kekuatan dan energi serta komposisi lemak tubuh yang
meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin,
meningkatnya resiko penyakit jantung, pembuluh darah, dan
obesitas. Pada tahap ini mulai mncul gejala klinis, seperti
penurunan ketajaman penglihatan- pendengaran, rambut putih
mulai tumbuh, elastisitan dan pigmentasi kulit menurun,
dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Tergantung
dari gaya hidup, radikal bebas merusak sel dengan cepat
sehingga individu mulai merasa dan tampak tua. Radikal bebas
mulai
39
mempengaruhi ekspresi gen, yang menjadi penyebab dari
banyak penyakit aging, termasuk kanker, arthritis, kehilangan
daya ingat, penyakit arteri koronaria dan diabetes.
3) Fase Klinik (usia 45 tahun keatas)
Orang mengalami penurunan hormon yang berlanjut,
termasuk DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, GH,
testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Terdapat juga
kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan mineral
sehingga terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa
otot sekitar 1 kilogram setiap 3 tahun, peningkatan lemak tubuh
dan berat badan. Di antara usia 40 tahun dan 70 tahun, seorang
pria kemungkinan dapat kehilangan 20 pon ototnya, yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk membakar 800-1.000
kalori perhari. Penyakit kronis menjadi sangat jelas terlihat,
akibat sistem organ yang mengalami kegagalan.
Ketidakmampuan menjadi faktor utama untuk menikmati “tahun
emas” dan seringkali adanya ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Prevalensi
penyakit kronis akan meningkat secara dramatik sebagai akibat
peningkatan usia (Fowler, 2003).
2.9.3 TEORI PENUAAN
Ada 4 teori aging, yaitu(Goldman dan Klatz, 2007):
1) Teori “wear and tear”
Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering
digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ
tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya,
menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan,
konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alcohol, dan nikotin,
karena sinar ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional.
40
Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga
terjadi di tingkat sel.
2) Teori neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi
organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang
dikendalikan oleh hipotalamus,sebuah kelenjar yang terletak di
otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ
tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan
bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah
kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.
3) Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang
DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik,
yang memungkinkan fungsi fisik dan
mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan
seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup.
4) Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua
karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel
sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu
molekul yang memilkiki elektron yang tidak berpasangan.Radikal
bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan
menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi
suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu
elektron pada pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak
molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut
sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel,
bahkan kematian sel (Suryohudoyo, 2000). Reaktif radikal
41
nitrogen (nitrat oksida dan turunannya seperti peroxynitrite) dan
oksigen (superoksida anion, hidrogen peroksida, hidroksil )
radikal dapat menimbulkan kerusakan besar pada makromolekul
(protein, asam nukleat, lipid kompleks), menimbulkan karsinogen
(misalnya, nitrosamin), dan memicu (atau kadang-kadang
mencegah) kematian apoptosis sel-sel seperti makrofag dan sel
epitel pembuluh darah. Ada mekanisme untuk pembilasan dan
pertentangan spesies-spesies yang sangat reaktif molekul dan
untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh mereka.
Namun, kecuali mekanisme tersebut benar-benar efektif,
kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas dapat
terakumulasi, bahkan dalam self-potentiating atau secara
eksponensial. Ada bukti bahwa efisiensi transpor elektron
mitokondria dan energi yang menghasilkan proses memburuk
dengan usia, sehingga dalam penampilan peningkatan oksidasi
radikal bebas. (Albright,2003).Dengan bertambahnya usia maka
akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin
mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel,
juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada
kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak
kolagen dan elastin , suatu protein yang menjaga kulit tetap
lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan
menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada
daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan
yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas
(Goldman dan Klatz, 2007).