MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
RUPTUR UTERI DAN TROMBOEMBOLI
Disusun Oleh :
Kelompok 5
1. Clara Vika Betarahmawati 10020212. Fransisca Winandari 10020473. Ni Made Asri Wianita 10020764. Tuti 10021035. Yosef Andrian Beo 1002121
PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA
2013
Konsep Dasar Ruptura Uteri
A. Definisi
Ruptura Uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampaunya
daya regang miometrium. (Paket Pelatihan PONEK, 2008)
Ruptur Uteri Komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum
viserale dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagian
atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam
kavum peritoni atau rongga abdomen. (Sarwono, 2010)
Sedangkan pada ruptur uteri inkomplit, hubungan kedua rongga tersebut masih
dibatasi oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk
kedalam rongga peritoneum. (Sarwono, 2010)
Ruptura Uteri adalah perdarahan yang dapat terjadi intraabdominal atau melalui
vagina kecuali jika kepala janin menutupi rongga panggul. Perdarahan dari ruptura
uteri pada ligamentum latum tidak akan menyebabkan perdarahan intraabdominal.
(Sarwono, 2002)
Ruptur uteri adalah pelepasan insisi yang lama disepanjang uterus dengan robeknya
selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubung langsung dengan kavum peritoneum
( Cunningham, 1995, P: 470 ).
B. Anatomi Fisiologi
Genitalia Internal
1. Uterus
Suatu organ muskularberbentuksepertibuahpir, dilapisi peritoneum
(serosa).Selamakehamilanberfungsisebagaitempatimplatansi, retensi dan
nutrisi konseptus. Pada saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus
dan pembukaan serviks uterus, isi konsepsi dikeluarkan. Terdiri dari corpus,
fundus, isthmus danserviks uteri.
a. Serviks uteri
Bagian terbawah uterus, terdiri dari pars vaginalis (berbatasan / menembus
dinding dalam vagina) dan pars supra vaginalis. Terdiri dari 3 komponen
utama: otot polos, jalinan jaringan ikat (kolagen dan glikosamin) dan
elastin. Bagian luar di dalam rongga vagina yaitu portiocervicis uteri
(dinding) dengan lubang ostium uteri externum (luar, arah vagina) dilapisi
epitel skuamo kolumnar mukosa serviks, danostium uteri internum (dalam,
arahcavum).
Sebelum melahirkan (nullipara/primigravida) lubang ostium externum
bulat kecil, setelah pernah/riwayat melahirkan (primipara/ multigravida)
berbentuk garis melintang. Posisi serviks mengarah kekaudal-posterior,
setinggi spina ischiadica. Kelenjar mukosa serviks menghasilkan lender
getah serviks yang mengandung glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan
larutan berbagai garam, peptide dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas
lender serviks dipengaruhi siklus haid.
b. Corpus uteri
Terdiridari :
1) paling luar lapisan serosa/peritoneum yang melekat pada ligamentum
latum uteri di intraabdomen,
2) tengah lapisan muskular/miometrium berupa otot polos tiga lapis (dari
luar kedalam arah serabut otot longitudinal, anyaman dan sirkular),
3) dalam lapisan endometrium yang melapisi dinding cavum uteri,
menebal dan runtuh sesuai siklus haid akibat pengaruh hormon-
hormon ovarium.
Posisi corpus intra abdomen mendatar dengan fleksi ke anterior, fundus
uteri berada di atas vesica urinaria. Proporsi ukuran corpus terhadap
isthmus dan serviks uterus bervariasi selama pertumbuhan dan
perkembangan wanita.
c. Ligamenta penyangga uterus
Ligamentum latum uteri, ligamentum rotundum uteri, ligamentum
cardinale, ligamentum ovarii, ligamentum sacro uterine propium,
ligamentum infundibulo pelvicum, ligamentum vesico uterina, ligamentum
rectouterina.
d. Vaskularisasi uterus
Terutama dari arteri uterine cabang arteri hypogastrica/illia cainterna, serta
arteri ovarica cabang aorta abdominalis.
2. Salping / Tuba Falopii
Embriologik uterus dan tuba berasal dari ductus Mulleri. Sepasang tuba kiri-
kanan, panjang 8-14 cm, berfungsi sebagai jalan transportasi ovum dari
ovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba terdiri tiga lapisan : serosa,
muskular (longitudinal dan sirkular) serta mukosa dengan epitel bersilia.
Terdiri dari pars interstitialis, pars isthmica, pars ampularis, serta pars
infundibulum dengan fimbria, dengan karakteristik silia dan ketebalan dinding
yang berbeda-beda pada setiap bagiannya.
3. Pars isthmica (proksimal/isthmus)
Merupakan bagian dengan lumen tersempit, terdapat sfingter utero tuba
pengendali transfer gamet.
4. Pars ampularis (medial/ampula)
Tempat yang sering terjadi fertilisasi adalah daerah ampula / infundibulum,
dan pada hamil ektopik (patologik) sering juga terjadi implantasi di dinding
tuba bagian ini. Pars infundibulum (distal) dilengkapi dengan fimbriae serta
ostium tubae abdominal pada ujungnya, melekat dengan permukaan ovarium.
Fimbriae berfungsi “menangkap” ovum yang keluar saat ovulasi dari
permukaan ovarium, dan membawanya kedalam tuba.
5. Mesosalping
Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada usus).
6. Ovarium
Organ endokrin berbentuk oval, terletak di dalam rongga peritoneum,
sepasangkiri-kanan.Dilapisimesovarium, sebagai jaringan ikat dan jalan
pembuluh darah dan saraf. Terdiri dari korteks dan medula.
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi ovum
(dari sel epitel germinal primordial di lapisan terluar epital ovarium di
korteks), ovulasi (pengeluaran ovum), sintesis dan sekresi hormon-hormon
steroid (estrogen oleh tekainterna folikel, progesterone oleh korpus luteum
pasca ovulasi). Berhubungan dengan pars infundibulum tuba Falopii melalui
perlekatan fimbriae. Fimbriae “menangkap” ovum yang dilepaskan pada saat
ovulasi. Ovarium terfiksasi oleh ligamentum ovarii proprium, ligamentum
infundibulo pelvicum dan jaringan ikat mesovarium. Vaskularisasi dari cabang
aorta abdominalis inferior terhadap arteri renalis.
C. Insidens
Ruptura uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
negara maju. Angka kejadian ruptura uteri dinegara maju dilaporkan juga semakin
menurun. Sebagai contoh dari salah satu penelitian dinegara maju dilaporkan kejadian
ruptura uteri dari 1 dalam 1.280 persalinan (1931-1950) menjadi 1 dalam 2.250
persalinan (1973-1983). Dalam tahun 1996 kejadian menjadi 1 dalam 15.000
persalinan. Dalam masa yang hampir bersamaan angka tersebut untuk berbagai
tempat di Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93
persalinan. (Sarwono, 2010)
Ruptur uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak
ditolong oleh dukun. Dukun sebagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan
dengan benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada
fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya ruptur uteri. ( Ida, 2010)
D. Etiologi
Menurut Sarwono, 2010 yaitu :
Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang
masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada
persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan partus
percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitoksin atau sejenis.
Pasien yang beresiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia, grande
multipara, penggunaan oksitoksin atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan,
pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar atau operasi
lain pada rahimnya, pernah histerorafia, pelaksanaan trial of labor terutama pada
pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk pasien dengan
panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik perlu adagium Once Caesarean
Section always Caesarean Section.Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih
elective caesarean section (ulangan) untuk mencegah ruptura uteri dengan syarat janin
sudah matang. Eksplorasi pasca kelahiran pada persalinan yang sukar dengan
perdarahan yang banyak atau pascapartus dengan kemungkinan dehisens perlu
dilakukan untuk memastikan tidak adanya rupture arteri.
1. Ruptur uteri yang terjadi secara spontan, disebabkan oleh.
a. Panggul yang terlalu sempit.
b. Tumor pada jalan lahir.
c. Malposisi kepala.
d. Faktorpredisposisi (multiparita, tekanan keras pada fundus uteri, stimulus
oksitosin).
e. Janin letak lintang.
f. Hidrosefalus.
2. Ruptur uteri traumatic, disebabkan oleh.
a. Kecelakan (jatuh, tabrakan).
b. Manual plasenta.
c. Embriotomi.
d. Trauma tumpul atau trauma tajam dari luar.
e. Stimulus oksitosin.
f. Dorongan pada fundus uterus yang terlalu keras (biasanya dilakukan oleh
dukun dalam menyelesaikan persalinan).
g. Dystosia.
h. Usaha vaginal untuk melahirkan janin.
i. Penyakit rahim misalnya udenomiosis.
3. Ruptur uteri pada bekas luka parut.
Ruptur uteri ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea, peristiwa
ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangakat mioma
(miomektomi). Penyebabnya sama dengan ruptur uteri yang terjadi secara spontan.
E. Klasifikasi
Menurut Sarwono 2010, klasifikasi uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut :
1. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil :
a. Pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerotomi, histerorafia,
miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi
pada kornua uterus atau bagian interstisial, metroplasti.
b. Trauma uterus koinsidental : instrumensasi sendok kuret atau sonde pada
penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru,
ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous
pregnancy).
c. Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (horn) yang tidak
berkembang.
2. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan
a. Sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus menerus,
pemakaian oksitoksin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan,
instilasi cairan kedalam kantong gestasi atau ruang amnion seperti larutan
garam fisiologik atau prostaglandin, perforasi dengan kateter pengukur
tekanan intrauterin, trauma luar tumpul atau tajam, versi luar, pembesaran
rahim yang berlebihan misalnya hidroamnion dan kehamilan ganda.
b. Dalam periode intrapartum : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar,
ekstraksi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada
segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan
dalam melakukan manual plasenta.
c. Cacat rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas
getasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus inkarserata.
Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1. Ruptur Uteri Gravidarum
Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2. Ruptur Uteri Durante Partum
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang
terbanyak.
Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio
sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
2. Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama
tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.
3. Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan ekstraksi,
sedang pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:
1. Ruptur Uteri Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga
terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya
peritonitis.
2. Ruptur Uteri Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi
subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.
Menurut etiologinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1. Ruptur Uteri Spontanea
Berdasarkan etiologinya, ruptur uteri spontanea dapat dibedakan lagi menjadi:
a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC,
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta secara
manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter dan graviditas
interstisialis, kelainan kongenital dari uterus seperti hipoplasia uteri dan uterus
bikornus, penyakit pada rahim, misalnya mola destruens, adenomiosis dan
lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion dimana dinding rahim tipis dan
regang.
b. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim, misalnya pada panggul sempit
atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita DM, hidrops
fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat karena kelainan
kongenital dari janin : Hidrosefalus, monstrum, torakofagus, anensefalus dan
shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan presentasi rangkap;
atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang ubun-ubun dan putar
paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix:
conglumeratio cervicis, hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan
sakulasi; grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga
pimpinan partus yang salah.
2. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti:
a. Ekstraksi Forsep
b. Versi dan ekstraksi
c. Embriotomi
d. Versi Braxton Hicks
e. Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
f. Manual plasenta
g. Kuretase
h. Ekspresi Kristeller atau Crede
i. Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
j. Trauma tumpul dan tajam dari luar.
Menurut Gejala Klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:
1. Ruptur Uteri Iminens (membakat=mengancam)
2. Ruptur Uteri sebenarnya.
F. Patofisiologi
Menurut Sarwono, 2010 :
Pada waktu his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian,
dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus
uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh janin yang menempati korpus uteri
terdorong kebawah kedalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi
lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertark keatas oleh
kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lengkaran
retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian
terbawah janin dapat terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas segmen
bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin, maka pada
gilirannya bagian terbawah janin terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas
segmen bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin, maka
pada gilirannya bagian terbawah janin terdorong masuk kedalam jalan lahir melalui
pintu atas panggulkedalam vagina melalui pembukaan jika serviks bsia mengalah.
Sebaliknya, apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab
yang menahannya (misalnya panggung sempit atau kepala janin besar) maka volume
korpus yang tambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi oleh peluasan
segmen bawah rahim keatas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologik
(phisiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologik
menjadi patologik (pathologic retraction ring). Lingkaran patologik ini disebut
lingkaran Bandl (ring van Bandl). Ini terjadi karena segmen bawah rahim terus-
menerus tertarik ke proksimal, tetapi tertahan di bagian distalnya oleh serviks yang
terpegang pada tempatnya oleh ligamentum sakrouterina di bagian belakang,
ligamentum kardinal pada kedua belah sisi kanan dan kiri, dan ligamentum
vesikouterina pada dasar kandung kemih. Jika his berlangsung kuat terus-menerus,
tetapi bagian terbawah tubuh janin tidak kunjung turun lebih kebawah melalui jalan
lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi (ring van Bandl berpindah
mendekati pusat) dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas sembari
dindingnya menjadi sangat tipis hanya beberapa milimeter saja lagi. Ini menandakan
telah terjadi tanda-tanda ruptura uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada
saatnya dinding segmen bawah rahim itu akan robek spontan pada tempat yang
tertipis ketika his berikut datang, dan terjadilah perdarahan yang banyak bergantung
pada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus. Umunya robekan
terjadi pada dinding depan segmen bawah rahim, luka robekan bisa meluas secara
melintang atau miring. Bila mengenai daerah yang ditutupi ligamentum latum terjadi
luka robekan yang meluas kesamping. Robekan bisa juga meluas ke korpus atau ke
serviks atau terus ke vagina (kolpaporeksis) dan bahkan kadangkala bisa menciderai
kandung kemih. Pertumpahan darah sebagian besar mengalir kedalam rongga
peritonium, sebagian yang lain mengalir melalui permukaan serviks ke vagina.
Peristiwa robekan pasa segmen bawah rahim yang sudah menipis itu (dalam status
ruptura uteri iminens) dipercepat jika ada manipulasi dari luar, misalnya dorongan pad
perut sekalipun tidak terlalu kuat sudah cukup untuk menyebabkan robekan.
Demikian juga apabila fundus uteri di rorong-dorong seperti yang banyak dilakukan
pada upaya mempercepat persalinan atau oleh dorongan dari bawah seperti pada
pemasangan cunam yang sulit, dan sebagainya. Olehkarena itu, jika terlihat lingkaran
Bandl penolong haruslah sangat berhati-hati. Keetika terjadi robekan pasien terasa
amat nyeri seperti teriris sembilu dalam perutnya, dan his terakhir yang masih kuat itu
sekaligus mendorong sebagian atau seluruh tubuh janin keluar rongga rahim kedalam
rongga peritonium. Melalui robekan tersebut usus dan omentum mendapat jalan
masuk sehingga bisa mencapai vagina dan bisa diraba pada waktu periksa dalam.
Rongga uteri yang tidak merobek perimetrium sering terjadi pada bagian rahim yang
longgar hubungannya denga peritonium yaitu pada bagian samping dan dekat
kandung kemih. Disini dinding servik yang meregang karena ikut tertarik bisa ikut
robek. Robekan pada bagian samping bisa sampai melukai pembuluh-pembuluh darah
besar yang terdapat didalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada bagian dasar
ligamentum latum, arteriauterina atau cabang-cabangnya bisa terluka disertai
perdarahan yang banyak, dan didalam parametrium dipihak yang robek akan
terbentuk hematoma yang besar dan emnimbulkan syok yang sering berakibat fatal.
Dari sudut patofisiologi ruptura uteri dapat ditinjau apakah terjadi dalam masa hamil
atau dalam persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim yang
bercacat, dan sebagainya. Tinjauan ini mungkin berlebhan karena tidak penting dari
sudut klinik tetapi mungkin ada gunanya dari aspek lain. Tinjauan tersebut bisa
mempengaruhi pilihan operasi, apakah akan dilakukan histerektomi atau histerorafia.
Dibawah diutarakan tinjauan tersebut menurut beberapa aspek.
1. Aspek Anatomik
Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena rupture uteri dibagi menjadi dua
yaitu :
a. Rupture uteri komplit yaitu lapisan dinding rahim ikut robek.
b. Rupture uteri inkomplit yaitu lapisan serosanya atau perimetriumnya masih
utuh.
2. Aspek Sebab
Berdasarkan sebab terjadi robekan pada rahim, rupture uteri dibagi menjadi
kedalam rupture uteri spontan, rupture uteri violent, da rupture uteri traumatic.
Rupture uteri sepontan terjadi pada rahim yang utuh oleh karena his semata,
sedangkan rupture uteri violent disebabkan ada manipulasi tenaga tambahan lain
seperti induksi atau stimulasi partus dengan okstoksin atau yang sejenis, atau
dorongan yag kuat pada fundus dalam persalinan. Rupture uteri traumatic
disebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan dalam rumah tangga dan
kecelakaan lalu lintas.
3. Aspek Keutuhan rahim
Rupture uteri dapat terjadi pada uteri yang masih utuh, tetapi bias terjadi pada
uterus yang bercacat misalbya pada parut bekas sesar atau parut jahitan rupture
uteri yang pernah terjadi sebelumnya (histerrorafia), miomektomi yang dalam
sampai kerongga rahim, akibat kerokan yang terlalu dalam reseksi kornu atau atau
bagian interstitiall dari rahim, metroplasti, rahim yang telah banyak meregang
misalnya pada grandemultipara atau pernah hidramnion atau hamil ganda, uterus
yang kurang berkembang kemudian menjadi hamil, dan sebagianya.
4. Aspek Waktu
Yang dimaksud dengan waktu disini ialah dalam masa hamil atau pada waktu
bersalin. Rupture uteri dapat terjadi pada masa kehamilan misalnya karena trauma
atau pada rahim yang bercacat, sering pada bekas sesar klasik. Kebanyakan
rupture uteri terjadi dalam persalina kala I atau kala II dan pada partus percobaan
bekas seksio sesaria, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitoksin
atau prostatglandin.
5. Aspek Sifat
Rahim yang robek bisa tanpa menimbulkan tanda yang jelas (silent) seperti pada
rupture yang terjadi pada parut bedah sesar klasik pada masa hamil tua. Parut ini
merekah sedikit demi sedikit (debisence) dan pada akhirnya robek tanpa
menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa nyeri yang tegas. Sebaliknya
rupture bisa terjadi dalam waktu yang cepat dengan tanda da gejala yang jelas
(overt) dan akut, misalnya rupture uteri yang terjadi dalam kala I dank Kala II
akibat oksitoksin. Kantung kehamilan ikut robek dan janin terdorong masuk
kedalam rongga peritoneum. Terjadi perdarahan internal yang banyak dan
mengakibatkan nyeri yang hebat bahkan sam pai syok.
6. Aspek paritas
Rupture dapat terjadi pada wanita yang baru pertama kali hamil (nulipara)
sehingga sedapat mungkin diusahakan histerorafi apabila lukanya rata dan tidak
infeksi. Pada rupture uteri dengan multipara umumnya lebih baik dilakukan
histerektomi atau bila keadaan umumnya jelek dan luka pada uterus tidak luas dan
tidak compang-camping robekan uterus dijahit kembali (histerorafia) dilanjutkan
denga tubektomi.
7. Aspek Gradasi
Kecuali akibat kecelakaan, rupture uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa robekan
yang umunya terjadipada segmen bawah rahim didahului oleh his yang kuat tanpa
kemajuan yang dalam persalinan sehingga persalina diantara korpus dan segmen
bawah rahim yaitu lingkaran retraksi yang fisiologik naik bertambah tinggi
menjadi lingkaran Bandl yang patologik, sehingga ibu yang melahirkan itu
merasa cemas dan ketakutan oleh karena menahan nyeri yang sangat hebat. Pada
saat ini penderita berada dalam stadium rupture uteri skunder, maka pada
gilirannya dinding segmen bawah rahim yang sudah sangat tipi situ robek.
Peristiwa ini disebut rupture uteri spontan.
Pathway :
Luka bekas parut
(luka bekas seksiosesarea)
Lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis (tidak terjadi robekan secara mendadak)
Terpisah sama sekali
Ruptur Uteri Spontan
(panggul yang sempit, hidrosephalus, janin letak lintang)
Ruptur uteri traumatik
(jatuh / kecelakaan)
Tekanan bawah uterus meningkat melampaui batas kekuatan jaringan miometrium
Ruptur Uteri
Nyeri Perdarahan
Robekan pada dinding uterus
G. Tanda dan Gejala
Jika sudah ada rupture uteri spontan pasti ada perdarahan yang bisa dipantau Hb dan
tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat dan kelihatan anemis dan tanda-tanda
lain dari hipovolemia serta pernafasan yang sulit berhubung nyeri abdomen akibat
robekan rahim yang mengikutsertakan peritoneum iserale robek dan merangsang
ujung saraf sensoris. Pada saat palpasi terasa nyeri dan bagian tubuh janin berada
dibawah dinding abdomen ibu dan kekuatan his yang sudah sangat menurun seolah
his telah hilang. Hemoperitonium yang terbentuk bisa merangsang diafragma dan
menyebabkan nyeri memancar ke dada menyerupai nyeri dada pada emboli paru atau
emboli air ketuban. Nyeri abdomen bisa menyerupai solusio plasenta. Pada auskultasi
sering tidak terdengar denyut jantung janin, tetapi jika janin belum meninggal bisa
terdeteksi deselerasi patologik (deselerasi variable yang berat) pemantauan dengan
KTG. Terdapat juga pasien yang tidak merasakan nyeri abdomen yang kuat terlebih
jika ada pemberian obat penenang atau obat untuk mengurangi rasa nyeri dalam
persalinan ( painless labor). Pada dehisens dibekas seksio sesarea atau dehesens yang
berlanjut menjadi rupture rasa nyeri dan perdarahan tidak seberapa. Pemeriksaan
ultrasonografi ditempat (on site) mungkin bisa membantu. Pada periksa dalam teraba
bagian terbawah janin berpindah atau naik kembali keluar pintu atas panggul, dan
jari-jari pemeriksa bisa menemukan robekan yang berhubungan dengan rongga
peritoneum dan melalui mana terkadang dapat meraba usus. (Sarwono, 2010)
1. Gejala ruptur uteri mengancam (RUM).
a. Pasien nampak gelisah, ketakutan disertai dengan perasaan nyeri di perut.
b. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang
kesakitan.
c. Pernapasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya.
d. Ada tanda dehidrasi pada partus yang lama yaitu mulut kering, lidah kering
dan haus, badan panas (demam).
e. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
f. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras sedangkan SBR teraba tipis
dan nyeri kalau ditekan.
g. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang
keatas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih sehingga pada
kateterisasi ada hematuria.
h. Pada auskultasi terdengar bunyi jantung janin tidak teratur (asfiksia).
i. Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi seperti
edema porsio, vagina, vulva.
2. Gejala ruptur uteri sebenarnya .
a. Inspeksi.
1) Pada his yang kuat sekali pasien merasa kesakitan yang luar biasa, merasa
perutnya seperti akan dirobek.
2) Gelisah, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
3) Pernapasan jadi dangkal dan cepat dan kelihatan haus.
4) Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
5) Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur.
6) Keluar perdarahan pervagina yang biasanya tak begitu banyak.
7) Kadang-kadang ada perasan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan
bahu.
8) Kontraksi uterus biasanya hilang.
b. Palpasi.
1) Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema
subkutan.
2) Bila kepala janin sudah keluar dari kavum uiteri, jadi berada di rongga
perut, maka teraba bagian-bagian janin langsung ikulit perut
3) Nyeri tekan pada perut, terutama pada bagian yang robek.
c. Auskultasi.
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah ruptur.
d. Pemeriksaan dalam.
1) Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah dapat
terdorong ke atas dan disertai dengan perdarahan pervagina yang akan
banyak.
2) Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim.
e. Kateterisasi.
Ada hematuria yang menandakan adanya robekan pada kandung kemih.
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau kelainan bentuk
panggul / pelvis.
2. Pemeriksaan laboratorium.
a. hapusan darah : HB dan hematokrit untuk mengetahui batas darah HB dan
nilai hematikrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan darah. HB < 7 g/dl
atau hematokrit < 20% dinyatakan anemia berat.
b. SDM : untuk mengidentifikasikan tipe anemia.
c. Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung kemih.
3. Tes prenatal : untuk memastikan polihidramnion dan janin besar.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksannan khusus (PONEK, 2008) :
1. Rupura uteri merupakan komplikasi yang sangat fatal, pengenalan dan
penanganan segera dan tepat, akan menyelamatkan pasien dari kematian. Karena
sebagian besarkasus ini harus diselesaikan dengan tindakan operatif maka setelah
melakukan upaya stablisasi berikan segera cairan isotonik (Ringer Laktat atau
garam fisiologis) 500 mL dalam 15-20menit kemudian lanjutkan hingga mencapai
3 liter (lihat kondisi pasien) dalam 2 jam pertama.
2. Setelah stabilisasi dan kondisi pasien memadahi, lakukan laparotomi untuk
melahirkan anak dan plasenta
3. Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan,
lakukan reparasi uterus.
Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkhawatirkan,
lakukan histerektomi.
4. Antibiotika dan serum antitetanus.
Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam,menggigil,darah bercampur cairan
ketuban berbau, hasil apusan atau biakan darah)segera berikan antibiotika
spektrum luas. Bila terdapat tanda-tanda trauma alat genetalia atau luka kotor,
tanyakan saat terakhir mendapat tetanus toksoid. Bila hasil anamnesa tidak dapat
memastikan perlindungan terhadap tetanus, berikan serum antitetanus 1500 IU /
IM dan TT 0,5 mL IM.
Sumber : PONEK, 2008
Menurut Sarwono 2010, yaitu :
Dalam menghadapi rupture uteri semboyan prevention is better than care sangat perlu
diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan dimanapun persalinan
itu berlangsung. Pasien resiko tinggi haruslah dirujuk agar persalinan berlangsung
dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan diawasi dengan penuh
dedikasi oleh petugas berpengalaman. Bila telah terjadi rupture uteri tindakan yang
tepat ialah histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperluka infuse
cairan kristaloid dan transfuse darah yang banyak, tindakan antisyok serta pemberian
antibiotika spectrum luas, dan sebagainya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia
kecuali bila luka robekan masih bersih dan rapidan pasiennya belum punya anak
hidup.
Menurut Depkes RI 2002, penatalaksanaannya yaitu :
1. Memperbaiki kehilangan darah dengan pemberian infus IV cairan (NaCl 0,9%
atau Ranger Laktat) sebelum tindakan pembedahan
2. Lakukan seksio sesarea dan lahirkan plasenta segera setelah kondisi stabil
3. Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada risiko
pada histerektomi dan ujung ruptura uterus tidak nekrosis lakukan histerorafi.
Tindakan ini akan mengurangi waktu dan kehilangan darah saat histerektomi.
4. Jika uterus tidak dapat diperbaiki lakukan histeroktomi supravaginal atau
histeroktomi total jika didapatkan robekan sampai serviks dan vagina.
Tindakan pertama adalah memberantas syok, memperbaiki keadaan umum penderita
dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotinika, antibiotika, dsb. Bila
keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan
tindakan jenis operasi:
1. Histerektomi baik total maupun sub total
2. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-baiknya
3. Konserfatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang cukup.
Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah :
1. Keadaan umum penderita
2. Jenis ruptur incompleta atau completa
3. Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan sudah
banyak nekrosis
4. Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
5. Perdarahan dari luka : sedikit, banyak
6. Umur dan jumlah anak hidup
7. Kemampuan dan ketrampilan penolong
Manajemen
1. Segera hubungi dokter, konsultan, ahli anestesi, dan staff kamar operasi
2. Buat dua jalur infus intravena dengan intra kateter no 16 : satu oleh larutan elektrolit,
misalnya oleh larutan rimger laktat dan yang lain oleh tranfusi darah. ( jaga agar
jalur ini tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal, sampai darah didapatkan ).
3. Hubungi bank darah untuk kebutuhan tranfusi darah cito, perkiraan jumlah unit dan
plasma beku segar yang diperlukan
4. Berikan oksigen
5. Buatlah persiapan untuk pembedahan abdomen segera ( laparatomi dan histerektomi )
6. Pada situasi yang mengkhawatirkan berikan kompresi aorta dan tambahkan oksitosin
dalam cairan intravena.
Penatalakasanaan Medis
1. Penjahitan robekan serviks
a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan antiseptik ke vagina
dan serviks.
b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anestesi tidak dibutuhkan pada
sebagian besar robekan serviks. Berikan pethidine dan diazepam melalui IV secara
perlahan(jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan
Ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar.
c. Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu
mendorong serviks jadi terlihat.
d. Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks ( jika perlu ).
e. Pegang serviks dengan forcep cincin atau forsep spons dengan hati-hati. Letakan
forsep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk
melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
f. Tutup robekan serviks dengan jahitan jeluhur menggunakan benang catgut kromik
atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks ( tepi atas robekan ) yang sering kali
menjadi sumber perdarahan.
g. Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan
benang catgut kropmik atau poliglikolik 0.
h. Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang apeks dengan forsep arteri atau forsep
cincin. Pertahankan forsep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya
mengikat tempat perdarahan karena upaya tersebut dapat memperberat perdarahan,
selanjutnya :
1) Setelah 4 jam à buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.
2) Setelah 4 jam berikutnya à keluarkan seluruh forsep.
2. Penjahitan robekan vagina dan perinium
Terdapat 4 derajat robekan yang bisa terjadi pada saat persalinan, yaitu :a. Derajat I : Robekan hanya terdapat pada selaput lendir vagina dan jaringan ikat.
b. Derajat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat dan otot dibawahnya
tetapi tidak mengenai spingter ani.
c. Derajat III : Robekan lengkap dan mengenai spingter ani.
d. Derajat IV : robekan sampai mukosa rectum.
3. Penjahitan robekan derajat I dan II :a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum.
b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anestesi lokal dengan
lidokain.
c. Periksa dan pastikan kontraksi uterus
d. Periksa vagina, perinium dan serviks secara cermat.
e. Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak
terdapat robekan derajat III dan IV.
f. Masukan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus.
g. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi spingter.
h. Periksa tonus otot atau kerapatan spingter.
i. Jika spingter, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.
j. Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan.
4. Penjahitan robekan derajat II dan IV :a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum.
b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anestesi lokal dengan
lidokain. Gunakan blok pedendal, Ketamin atau anestesi spinal.
c. Penjahitan dapat dilakukan menggunakan anestesi lokal dengan lidokain dan
pethidine serta diazepam melalui IV dengan perlahan jika tepi robekan dapat
dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.
d. Periksa dan pastikan kontraksi uterus.
e. Periksa vagina, perinium dan ssrviks secara cermat.
f. Periksa permukaan rectum dan perhatikan robekan dengan cermat.
g. Oleskan larutan antiseptok ke robekan dan keluarkan materi fekal ( jika ada ).
h. Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lidokain atau obat-obat terkait.
i. Pastikan tidak ada perdarahan. Keluarkan bekuan darah dengan menggunakan
spons.
j. Pada semua kasus, periksa adanya cedera pada kandung kemih. Jika teridentifikasi
adanya cedera kandung kemih à perbaiki cedera tersebut.
k. Tutup fasia denga jahitan jelujur menggunkan benagng catgut kromik.
l. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, tutup jaringan subcutan dengan kasa dan buat
jahitan longgar menggunkan benang catgut kromik. Tutup kulit dengan penutupan
lambat setelah infeksi dibersihkan.
m. Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi tutup kulit dengan jahitan matras vertikal
menggunakan benang nelon ( sutra ) 3 – 0 dan tutup dengan balutan steril.
J. Komplikasi
1. Asfiksia neonatus
2. Kematian ibu dan janin
3. Syok Hipovolemik
Menurut Sarwono, 2010 antara lain :
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua
komplikasi yang fatal pada peristiwa rupture uteri.syok hipovolemik terjadi jika
pasien tidak langsung diberi infus cairan cristaloid yang banyak untuk selanjutnya
dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfuse darah segar. Darah segar
memiliki kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga mengantung semua
unsur atau factor pembekuan dank arena itu lebih bermanfaat demi mencegah dan
mengatasi koagulapati delusional akibat pemberian cairan kristaloid yang umumnya
banyak diperlukan utuk mengatasi atau mencegah gangguan keseimbangan elektrolit
antar-kompartemen cairan dalam tubuh dalam mengatasi syok hipovolemik, infeksi
berat biasanya terjadi pada pasien kiriman dimana rupture uteri telah terjadi sebelum
tiba dirumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam
yang berulang. Jika dalam keadaaan demikian pasien tidak segera memperoleh terapi
antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien menderita peritonitis yang luas dan sepsis
pascabedah. Antibiotika spectrum luas dalam dosis tinggi biasanya diberikan untuk
mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan penyebab
utama yang meninggikan angka kematian internal dalam obstertik. Meskipun pasien
bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi. Histerektomi merupakan
cacat permanen, yang pada kasus belum memiliki anak hidup meninggalkan sisa
trauma psikologis yang berat dan mendalam. Kematian maternal dan atau parenatal
yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi social yang sulit diatasi.
K. Prognosis
Apakah rupture uteri terjadi pada uterus yang masih utuh atau pada bekas seksio
sesaria atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas seksio sesaria atau dehisens
perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak terjadi menimbulkan kematian
maternal dan kematian parenatal. Factor lain yang mempengaruhi adalah kecepatan
pasien menerima tindakan bantuan yang tepat atau cekatan. Rupture uteri spontan
dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh mengakibatkan robekan yang
luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas kelateral keatas atau
kevagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan
kematian yang juga lebih luas.(Sarwono, 2010)
Konsep Asuhan Keperawatan ( fokus kegawatdaruratan)
A. Pengkajian
1. Anamnesis.
a. Gejala saat ini.
1) Nyeri abdomen dengan tiba-tiba, tajam seperti disayat pisau, kontraksi uterus
yang intermiten, kuat dan berhenti dengan tiba-tiba dan pasien mengeluh nyeri
yang menetap.
2) Perdarahan pervagina.
3) Syok dengan nadi kecil dan cepat.
4) Nyeri bahu.
5) Pada saat his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan.
6) Gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin, kolaps dan tak sadarkan diri.
7) Pernapasan dangkal dan cepat.
8) Kadang-kadang ada perasaan nyeri menjalar ke tungkai.
b. Riwayat penyakit dahulu.
1) Riwayat paritas tinggi.
2) Pembedahan uterus sebelumnya.
3) Seksio sesarea.
4) Miomektomi atau reseksi kornu.
2. Data obyektif.
a. Pemeriksaan fisik.
1) Pemeriksaan umum : TTV : suhu panas, nadi kecil dan cepat, TD menurun dan
ireguler dan pernapasan dangkal dan cepat.
2) Inspeksi.
Kelihatan haus, muntah-muntah, perdarahan pervagina dan kontraksi uterus biasanya hilang.
3) Palpasi.
Teraba suatu krepitasi pada kulit perut menandakan adanya emfisema subkutan, jika kepala janin belum turun mudah dilepaskan dari pintu atas panggul / inlet, apabila janin sudah keluar dari kavum uteri berada di rongga perut maka akan teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan disampingnya
biasa teraba uterus sebagai suatu yang keras seperti bola dan nyeri tekan pada perut terutama pada tempat yang robek.
4) Auskultasi .
Biasanya denyut jantung janin (DJJ) sulit atau tidak terdengar lagi beberapa manit setelah ruptur.
b. Pemeriksaan abdomen.
Fundus uteri dapat berkontraksi dan bagian-bagian janin yang terpalpasi dekat dinding abdomen diatas fundus yang berkontraksi. Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba hilang.
c. Pemeriksaan pelvis.
Menjelang kelahiran bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi kedalam rongga peritoneum, dan perdarahan pervagina mungkin hebat. Apabila terjadi robekan lengkap jari-jari pemeriksa dapat melalui tempat ruptur langsung kedalam rongga peritoneum, melalui permukaan serosa uterus yang halus dan licin.
d. Kateterisasi.
Hematuria yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi yang dirancang secara kimia, masalah
psikologi.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan.
3. Resiko cedera terhadap maternal berhubungan dengan perubahan tanus otot atau
pola kontraksi, obstruksi mekanis pada penurunan janin, keletihan maternal.
4. Resiko tinggi cedera terhadap janin berhubungan dengan persalinan yang lama,
mempresentasi janin hipoksia jaringan.
C. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi yang dirancang secara kimia, masalah
psikologi.
Tujuan : nyeri hilang atau teratasiIntervensi :a. Kaji keluhan nyeri, lokasi dan observasi petunjuk nyeri non verbal misalnya
posisi tubuh, ekspresi wajah dan enggan bergerak.
R : Nyeri yang terjadi unik bagi setiap orang dapat menunjukan persepsi individual. Petunjuk non verbal yang dapat membnatu mengevaluasi nyeri dan keefektifan terapi.
b. Tinjau ulang / berikan instruksi dalam teknik pernapasan sederhana.
R : Mendorong relaksasi dan memberikan klien cara mengatasi dan mengontrol tingkat ketidaknyamanan.
c. Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase, gosok punggung, sandaran
bantal, pemberian kompres sejuk).
R : Meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan dan ansietas dan meningkatkan koping dan kontrol klien.
d. Kolaborasi untuk pemberian obat analgesik narkotik (morphin, neperidin) atau
non narkotik seperti asetaminofen atau sedatif (hidroksin).
R : Obat analgesik menekan sarag pusat untulk mengurangi rasa nyeri.2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan.
Tujuan : tidak terjadi kekurangan volume cairanIntervensi :a. Pantau jumlah perdarahan
R : mengetahui jumlah darah yang keluar.b. Catat kehilangan cairan.
R : potensial kehilangan cairan.c. Pantau nadi
R : takikardia dapat terjadi memaksimalkan sirkulasi cairan pada kejadian dihidrasi atau hemoragi.
d. Pantau tekanan darah sesuai indikasi
R : peningkatan tekanan darah munkin karena efek-efek obat. Penurunan tekanan darah mungkin tanda lanjut dari kehilangan cairan secara berlebihan.
e. Evaluasi kadar Hb dan Ht.
R : mengetahui terjadi penurunan yang menyebabkan kehilangan darah berlebihan.
Tromboemboli Vena dalam Kehamilan
Pengertian
Trombosis adalah pembentukan massa bekuan darah dalam sistem kardiovaskuler yang tidak
terkendali ( Robin & Kumar, 19995 )
Emboli adalah oklusi beberapa bagian sistem kardiovaskuler oleh suatu masa (Embolus) yang
tersangkut dalam perjalananya ke suatu tempat melalui arus darah (Robin dan Kumar, 1995)
Tromboembolisme adalah gangguan trombosis dan embolisme (Robin & Kumar,1995)
Insiden dan Etiologi
Insiden tromboemboli pada kehamilan dan puerperium adalah lima kali lebih tinggi
dibandingkan wanita yang tidak hamil pada usia yang sama. Tromboemboli adalah penyebab
utama kematian maternal di amerika serikat. Trombosis vena terjadi pada satu dari 2000
wanita selama kehamilan dan satu dari 700 wanita setelah melahirkan (Nuwahid dkk,1998)
Risiko tromboemboli vena (VTE) dalam kehamilan kira-kira 6x lebih tinggi jika
dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil serta merupakan penyebab utama
kematian pada perempuan dalam masa kehamilan dan nifas. Emboli paru (PE) terjadi pada
sekitar 16% penderita denga trombosis vena dalam atau deep vein trombosis (DVT) yang
tidak diterapi dan merupakan penyebab kematian maternal tersering. Risiko DVT pada
kehamilan adalah 0,05% sampai 1,8% dan lebih tinggi pada ibu hamil yang mempunyai
riwayat VTE. Angka kekambuhan adalah sekitar 1 kasus dalam 71 orang ibu. Kejadian DVT
maternal lebih sering pada trombosis kiri (sekitar 85% dari seluruh trombosis tungkai), terjadi
lebih sering pada vena iliofemoral ketimbang vena pada betis (72% vs 9%), dan lebih sering
mengakibatkan emboli paru.
Etiologi
Umumnya etiologi thrombus disebabkan oleh tiga hal yang dikenal dengan “trias vischow”
1. Perubahan susunan darah (hiperkoagulansi)
Kehamilan dikarateristikan oleh perubahan dalam pembekuan oleh system fibrinosis yang
berlangsung selama periode postpartum. Meningkatnya system fibrinosis (aktivasi
plasminogen dan antirombin yang menyebabkan penghancuran ditekan. Keuntungannya
yaitu mencegah perdarahan maternal melalui penngkatan pembetukan bekuan. Di
samping itu, menyebabkan resiko tinggi pembentukan thrombus selama kehamilan dan
periode postpartum.
2. Perubahan laju peredaran darah (statis vena)
Kehamilan menyebabkan peningkatan statis vena pada ekstremitas bawah dan pelvis
sebagai hasil dari tekanan pembuluh darah besar karena pembesaran uterus. Statis paling
nyata ketika wanita hamil berdiri untuk periode waktu yang lama. Statis menyebabkan
dilatasi pembuluh darah potensial berlanjut hingga postpartum. Inaktifitas relative selama
kehamilan juga berperan penting dalam bendungan vena dan darah yang statis di
ekstremitas bawah. Waktu yang lama dalam memijakkan kaki selama kehamilan dan
perbaikan episiotomy juga meningkatkan vena statis dan pembentukan thrombus.
3. Perlakuan interna pembuluh darah
Dapat terjadi pada tindakan operasi. Dapat didahului oleh proses operasi atau inflamasi.
Perlakuan pada interna yang menyebabkan pembuluh darah kehilangan muatan listrik,
sehingga thrombus mudah menempel pada dinding pembuluh tersebut.
Faktor-faktor resiko terjadinya VTE pada ibu hamil meliputi obstruksi aliran vena oleh uterus
yang membesar, atonia vena karena pengaruh hormonal, dan perubahan protrombotik didapat
yang terjadi pada protein-protein hemostatik. Perubahan fisiologik pada sistem hemostatik
meliputi peninggian kadar fibrinogen dan aktivitas faktor VII, resistensi fungsional didapat
terhadap protein C teraktivasi, penurunan protein S, peningkatan plasminogen activator
inhibitor 1 dan 2 yang menurunkan fibrinolosis, dan aktivasi trombosit. Semuanya membantu
terjadinya kondisi hiperkoagulasi pada kehamilan normal.
Cara persalinan juga merupakan faktor risiko terjadinya tromboemboli vena. Insidens DVT
klinik diperkirakan antara 0,08 -1,2 % setelah partus normal, dan meningkat antara 2,2 – 3 %
pada sctio caesaria. Tindakan SC darurat merupakan risiko tertinggi, demikian pula halnya
dengan usia bu dan berat badan. Proporsi DVT post partum dan PE yang tinggi terjadi setelah
keluar dari rumah saki, menekankan pentingnya surveilans yang berkelanjutan setelah nifas.
Jika trombosis vena dicurigai terjadi selama kehamilan, diagnosis objektif harus ditegakkan.
Pemeriksaan radiologik yang hati-hati akan meminimalkan risiko radiasi. Jika dicurigai VTE
tetapi tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang, terapi harus dimulai dan
pemeriksaan dapat diulang dalam 7hari, terapi dihentikan jika hasil pemeriksaan negatif.
Trimester ketiga atau masa nifas merupakan saat yang paling mungkin untuk terjadinya PE.
Diagnosis ketika hamil sulit karena banyak tanda dan gejala yang juga terdapat pada ibu
hamil yang sehat.
Risiko kekambuhan VTE pada kehamilan berikutnya dilaporkan sebesar 6,2 % pada ibu
hamil dengan riwayat VTE yang tidak mendapat profilaksis trombosis. Sebagian besar
peristiwa terjadi setelah persalinan sehingga penting sekali untuk pemantauan risiko VTE
pada masa postpartum. (Sarwono, 2010)
Etiologi dan Faktor Risiko Kejadian Tromboemboli Vena dalam Kehamilan
Etiologi
Mekanik
Pembesaran uterus yang menyebabkan obstruksi aliran vena
Atonia vena karena pengaruh hormonal
Hemostatik
Peningkatan aktivitas faktor II, faktor V, faktor VII, faktor VIII, faktor X
Peningkatan kadar fibrinogen
Penurunan fibrinolisis karena peningkatan PAI-1 dan PAI-2
Penurunan aktivitas protein S bebas
Resistensi fungsional didapat protein C teraktivasi
Aktivasi trombosit
Faktor risiko
Karakteristik maternal
Usia
Obesitas
Imobilisasi
Trombofilia
Defesiensi protein C
Defisiensi protein S
Defesiensi antitrombin III
Mutasi faktor V Leiden
Mutasi faktor II G20210A
Mutasi gen MTHFR
Sindrom antifosflipid
Cara persalinan
Vagina
Seksio sesarea
Manifestasi Klinis
1. Thrombosis vena superficial (TVS)
Thrombosis vena superficial biasanya disertai oleh tanda dan gejala inflamasi.
Trombofleblitis biasanyaa dihubungkan dengan varises vena dan terbatas pada daerah
betis. Tanda dan gejalanya meliputi ekstremitas kemerahan, lunak dan hangat. Palpasi
luas dan penyempitan vena. Wanita juga mengalaminya ketika berjalan.
2. Thrombosis vena dalam (TVD)
Thrombosis vena dalam lebih sulit di diagnosis berdasarkanmanifestasi klinis karena
tanda atau gejala seringkali tidak ada atau difus. Jika ada, gejalanya disebabkan oleh
inflamasi dan obstruksi vena balik, pembengkakan betis, serta edema eritema hangat dan
lunak. Tan hodmann(nyeri belakang lutut ketika dorsofleksi) dianggaap sebagaiindikator
thrombus vena dalam pada wanita postpartum. Tanda hotmann mempunyai nilai kecil
pada diagnosis, karena nyeri kemungkinan juga disebabkan oleh ketegangan otot atau
luka memar. Dan ini tidak selalu ada pada wanita yang mengalami thrombosis vena.
Reflex spasme arteri menyebabkan kaki pucat dan dingin. Pada perabaandapat
penurunan denyut nadi perifer. Gejala lain meliputi nyeri ketika digerakkan, malaise, dan
kekakuan pada kaki yang terserang.
Pemeriksaan Diagnostik
1. USG Doppler untuk menunjukkan peningkatan lingkaran ekstremitas yang
dipengaruhi
2. Venografi kontras untuk memastikan thrombosis vena dalam
3. Hb atau Ht untuk mengidentifikasi homokonsentrasi
4. Pemeriksaan koagulasi untuk mengidentifikasi hiperkoagulabilitas
Komplikasi tromboemboli
Resiko untuk mendapat tromboemboli vena meningkat lima kali lipat semasa dan segera
setelah kehamilan dan juga terdapat perdebatan peningkatan dalam tromboemboli arteri.
Kedua hal diatas bisa akibat status hiperkoagulasi wanita yang meningkat semasa kehamilan,
dan kemungkinan untuk terjadinya trombosis vena meningkat karena stasis vena.
Pencegahan merupakan hal yang paling baik dan dapat dilakukan dengan pemberian heparin
dosis penuh atau heparin berat molekul rendah, terutama pada wanita dengan resiko tinggi
komplikasi tromboemboli, termasuk wanita dengan riwayat tromboemboli semasa kehamilan
sebelumnya (resiko 4-15 persen), defisiensi antitrombin III (resiko 70 persen), defisiensi
protein C (resiko 33 persen), defisiensi protein S dan sindroma anti cardiolipin antibodi.
Mutasi gen protrombin dan mutasi factor V mengakibatkan resistensi mengaktifasi protein C
(didapati 3 - 5 persen pada populasi) yang akhirnya bisa menjadi alasan untuk terapi
profilaksis. Jika trombus stall emboli diketahui, dianjurkan untuk memberikan terapi heparin
intravena selama 5-10 hari dan diikuti heparin subkutan dosis penuh. Jika tromboemboli
mengancam kehidupan (seperti pada emboli paru yang massif atau trombosis pada katup
protese) terapi trombolitik dapat digunakan.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3485/3/gizi-bahri11.pdf.txt)
Penatalaksanaan
1. Umum
Prosedur umum yang tampaknya pantas untuk profilaksis DVT meliputi:
a. Menghindari imobilitas, khususnya dengan mobilisasi dini setelah operasi.
b. Hindari dehidrasi.
c. Tindakan selama operasi. Kebanyakan imobilisasi terjadi dalam periode ini dan
pembentukan DVT bisa terjadi di meja operasi. Profilaksis yang diberikan hanya pada
pasca bedah tidak efektif.
2. Heparin subkutan
a. Unfractionated heparin dosis rendah.(injeksi heparin biasa) telah diperlihatkan pada
banyak uji klinik mengurangi risiko DVT dari kira-kira 25% menjadi 8%, dan
mengurangi sebesar 50% risiko PE pada pasien bedah umum. Dosis 5000 U harus
dimulai kira-kira 2 jam sebelum operasi (atau ketika masuk RS pada pasien yang
sakit) dan berikan setiap 8 atau 12 jam sesudahnya. Ada bukti bahwa pemberian
setiap 8 jam lebih efektif daripada setiap 12 jam, sehingga dianjurkan meresepkan
heparin setiap 8 jam pada pasien risiko tinggi. Risiko utama dari heparin subkutan
adalah meningkatnya perdarahan dan pembentukan hematoma. Trombositopenia yang
diinduksi heparin merupakan komplikasi jarang (kekerapan kira-kira 0,3%) dan
beberapa otoritas menganjurkan pemantauan hitung trombosit jika heparin diberikan
lebih dari 5 hari.
b. Heparin berat molekul rendah (LMWH) lebih mudah daripada unfractionated heparin,
karena diberikan sekali sehari. Dosis harian LMWH adalah: certoparin 3000 U,
dalteparin 2500 U, enoxaparin 2000 U, dan tinzaparin 3500 U. Efektivitasnya paling
sedikit sama dengan unfractionat-ed heparin pada bedah umum, dan lebih disukai
untuk pasien dengan penggantian sendi pinggul atau lutut. Komplikasi perdarahan
yang ditimbulkan LMWH lebih kecil bila dibandingkan unfractionated heparin.
Kekurangannya adalah harga lebih mahal.
c. Heparin dosis-disesuaikan lebih efektif daripada heparin dosis rendah dan baku pada
pasien-pasien risiko tinggi (misal penggantian sendi pinggul) tetapi jarang digunakan
karena memakan waktu dan sukar mengelola unfractionated heparin setiap 8 jam. Di
sini heparin dimulai dengan 3500 U 48 jam sebelum operasi, dan dosis disesuaikan
menurut APPT (activated partial thromboplas-tin time).
3. Stoking dengan kompresi bertingkat (stoking anti-emboli)
Stoking ini mengurangi risiko DVT, namun belum terbukti mengurangi DVT proksimal
dan PE. Kombinasi dengan heparin subkutan mungkin lebih efektif daripada masing-
masing metode sendiri. Stoking bawah lutut mungkin seefektif stoking dengan panjang
penuh, dan lebih nyaman. Stoking harus dipasang dengan hati-hati dan tungkai diperiksa
teratur untuk mencek apa ada kerusakan karena tekanan. Pasien dengan tungkai yang
bentuknya tidak normal mungkin tidak bisa mengenakan stoking kompresi. Stoking
sebaiknya dihindari jika denyut nadi kaki tidak teraba atau jika pasien mempunyai gejala-
gejala penyakit pembuluh darah tepi: jika ragu, periksa indeks tekanan sistolik
pergelangan kaki.
Dianjurkan pemakaian stoking pada pasien yang menjalani prosedur laparoskopik, yang
bisa menyebabkan stasis vena dengan meningkatkan tekanan abdomen selama insuflasi
abdomen.
4. Alat IPC (intermittent pneumatic compression)
Ini melibatkan kompresi setiap tungkai selama kira-kria 10 detik setiap menit (35-40
mmHg). Efektivitasnya sama seperti heparin dalam mencegah DVT. Ketersediaan dan
penggunaan mesin ini tergantung pada kebijakan RS atau bagian.
Foot pump adalah alat mekanis lain untuk profilaksis. Kerjanya adalah mengosongkan
pleksus vena plantaris dengan kompresi ritmik. Alat kompresi digunakan luas pada bedah
plastik dan ortopedi, di mana ada kekhawatiran pening-katan perdarahan pada pemberian
antikoagulan.
5. Warfarin
Warfarin telah diperlihatkan efektif untuk pasien dengan bedah pinggul (penggantian
sendi elektif atau fraktur) serta operasi ginekologi. Warfarin bisa digunakan sebagai dosis
rendah tetap ( 2 mg /hari) atau dosis pantau dengan sasaran waktu protrombin (INR,
international normalized ratio) 2,0-3,0. beberapa uji klinik telah menggunakan hanya
warfarin untuk mengurangi komplikasi perdarahan, tetapi sebaiknya dimulai sehari
sebelum operasi. Profilaksis warfarin ‘dua-langkah’ juga telah diuraikan, yaitu
memberikan dosis rendah selama 2 minggu sebelum operasi, kemudian pasca bedah dosis
lebih tinggi yang dipantau.
Profilaksis warfarin paling banyak digunakan pada bedah ortopedi. Kadang-kadang
warfarin mungkin sesuai untuk pasien bedah umum yang risikonya sangat tinggi.
6. Dextran
Dextran intravena (dextran 70 dan 40) sama efektif seperti heparin dosis rendah untuk
mencegah PE. Agaknya dextran kurang efektif mencegah DVT, kecuali setelah fraktur
pinggul. Dextran belum populer untuk profilaksis karena harus diinfus, ada risiko
kelebihan beban cairan, dan anafilaksis.
7. Aspirin
Aspirin mungkin memiliki efek mengurangi risiko DVT dan PE. Namun kurang berguna
pada bedah umum dan tidak seefektif metode lain dalam praktek ortopedi.
8. Durasi profilaksis anti-trombotik
Idealnya, profilaksis harus dilanjutkan sampai pasien kembali ke aktivitas penuh. Dalam
praktek biasanya ini setelah pasien meninggalkan rumah sakit. Profilaksis mungkin perlu
diperpan-jang pada sebagian pasien risiko tinggi, namun pada pasien yang tinggal di RS
karena alasan sosial, profilaksis bisa dihentikan bila mereka telah bergerak bebas.
9. Terapi hormon dan profilaksis tromboemboli
Keputusan untuk menghentikan terapi hormon sebelum operasi masih kontroversial, dan
sangat dipengaruhi oleh pertimbangan medikolegal serta klinik, sehingga diskusi harus
dicatat di kartu pasien. Harus ada catatan tertulis apakah seorang wanita yang akan
menjalani operasi sedang mendapat terapi hormon atau tidak. Dari sisi risiko DVT dan
PE, ada tiga jenis terapi hormon:
a. Pil kontrasepsi yang mengandung estrogen (termasuk yang kombinasi dengan
progesteron). Risiko tromboemboli lebih tinggi secara bermakna dan berkaitan
langsung dengan kandungan estrogen. Sebaiknya pil ini dihentikan selama 4 minggu
sebelum pembedahan mayor, dan sampai hari-hari menstruasi pertama yang terjadi
paling kurang 2 minggu setelah mobilisasi penuh. Untuk operasi minor dan
intermediate, ada kasus yang memungkinkan wanita meneruskan pil kontrasepsi,
namun mereka ditegaskan untuk mobilisasi dini, penggunaan tindakan profilaktik, dan
konseling seksama (dicatat dalam kartu pasien). Setiap kasus harus dipertimbangkan
menurut kepentingan dan keinginan pasien. Perlu ditegaskan keperluan kontrasepsi
alternatif pada setiap wanita yang disarankan menghentikan pil sebelum operasi.
b. Pil yang hanya mengandung progesteron. Tidak ada bukti bahwa risiko DVT atau PE
lebih tinggi, namun karena tingginya kekhawatiran akan ‘tromboemboli dan pil KB’
telah menyebabkan banyak dokter bedah untuk memperlakukan mereka serupa
dengan pemakai pil estrogen.
c. Terapi pengganti hormon (HRT =hormone replacement therapy): bukti terbaru telah
memperlihatkan ada peningkatan sedikit namun bermakna dari risiko tromboemboli
pada wanita yang mendapat HRT. Risiko ini sangat rendah sehingga beralasan untuk
membiarkan wanita melanjutkan HRT pada saat operasi, namun pastikan tindakan
profilaksis seperti heparin subkutan digunakan.
10. Anestesia dan antikoagulasi
Blokade saraf pusat (anestesia spinal atau epidural) dikon-traindikasikan pada pasien
yang mendapat antikoagulasi penuh karena risiko terjadinya hematoma di dalam kanal
spinal. Posisi antikoagulan yang digunakan sebagai profilaksis untuk DVT atau PE adalah
kontroversial. Dokter anestesi bervariasi dalam praktek mereka dan penting untuk
membahas rencana profilaksis DVT bersama dengan tim anestesi, khususnya dalam hal
injeksi heparin pra bedah.
Penatalaksanaan lainnya:
1. Tromboembolisme ringan
Ditangani dengan istirahat, dapat juga dengan pemberian antibiotic dan ibu dianjurkan
untuk mobilisasi atau aktivitas ringan
2. Tromboembolisme berat
Antikoagulan untuk mencegah bertambah luasnya thrombus dan mengurangi
bahayaemboli. Tetapi dapat dimulai dengan heparin melalui infuse IV sebanyak 10.000
iusatuan setiap 6 jam dan diteruskan dengan kaumarin 10gram perhari kemudian 3
mgperhari selama 6 minggu kemudian dikurangi dan dihentikan dalam 2 minggu.
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktifitas
Riwayat duduk lama, imobilitas dengan tirah baring, anestesi akibat pembatasan
aktifitas, juga mencakup pekerjaan ibu
b. Sirkulasi
1) Farises vena
2) Peningkatan frekuensi nadi
3) Riwayat thrombosis vena sebelumnya, masalah jantung, hemografi, hipertensi
karena kehamilan dan hiperkoagulabilitas pada puerperium dini
4) Nadi perifer berkurang, tanda hotman positif, esktremitas bawah (paha dan betis)
mungkin hangat dan berwarna kemerahan, tungkai yang sakit, dingin, pucat serta
edema
c. Cairan
1) Peningkatan berat badan
2) ASI kadang-kadang berkurang pada ibu menyusui
d. Nyeri atau ketidaknyamanan
1) Nyeri tekan pada area sakit
2) Thrombosis dapat teraba/menonjol dan berlekuk
e. Keamanan
1) Adanya endometritis postpartum atau selulitis pelvis
2) Suhu mungkin agak tinggi dan menggigil
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan yang berhubungan dengan interupsi jaringan vena.
b. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi spasme vascular
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Intervensi Keperawatana. Gangguan perfusi jaringan yang berhubungan dengan interupsi jaringan vena.
Kriteria hasil :1) Nada perifer dapat diraba2) Pengisian kapiler adekuat3) Penurunan edema dan eritemaIntervensi
1) Anjurkan tirah baring
Rasional : meminimalkan kemungkinan perubahan posisi thrombus dan
menciptakan emboli
2) Observasi ekstremitas terhadap warna. Inspeksi adnya edema dari lipat paha
sampai telapak kaki, ukur, dan catat lingkar betis pada kedua kaki.
Rasional : gejala yang membantu membedakan antara trombofleblitis
superficial dengan thrombosis vena dalam ialah kemerahan, panas, nyeri tekan,
dan edema local merupakan karateristik superficial. Pucat dan dingin pada
ekstremitas merupakan karateristik TVD
3) Kaji pengisian kapiler dan periksa tanda hotmann
Rasional : penurunan pengisian kapiler dan tanda hotmann positif menandakan
TVD
4) Anjurkan untuk meninggikan telapak kaki dan kaki bawah diatas ketinggian
jantung
Rasional : mengosongkan vena superficial dan tibia dengan cepat,
mempertahankan vena tetap kolaps, sehingga meningkatkan aliran balik vena
5) Anjurkan nafas dalam
Rasional : menghasilkan penekanan negative pada toraks yang membantu
pengosongan vena yang besar
6) Lakukan ambulansi progresif setelah fase akut
Rasional : melakukan aliran balik vena membantu mencegah statis
7) Berikan kompres hangat lembap pada ekstremitas yang sakit
Rasional : meningkatkan sirkulasi ke area ekstremitas, meningkatkan vasodilatasi
aliran balik vena dan resolusi edema
8) Kolaborasi dalam pemberian antikoagulan menggunakan heparin
Rasional : heparin dapat mencegah pembentukan thrombus dan mencegah
pembekuan selanjutnya
9) Pantau pemeriksaan laboratorium masa protrombin, masa tromboplastin/Hb/Ht,
AST (SGOT)
Rasional : memantau efektifitas antikoagulan, hemokonsentrasi, dan dehidrasi
dapat menimbulkan pembekuan. Peningkatan kadar AST dapat menandakan
emboli.
b. Nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi spasme vascular
Kriteria hasil :
1) Nyeri hilang
2) Ibu dapat rileks dan istirahat dengan tepat
Intervensi
1) Kaji derajat ketidaknyamanan atau nyeri dengan melakukan palpasi pada kaki
Rasional : derajat nyeri berhubungan langsung dengan luas nyeri yang terlibat,
derajat hipoksia, dan edema berkenaan dengan terjadinya thrombus pada dinding
vena terinflamasi. Ibu dapat melindungi atau mengimobilisasi ekstremitas yang
sakit untuk menurunkan nyeri berkenaan dengan gerakan akut.
2) Pertahankan tirah baring dengan tepat
Rasional : menurunkan ketidaknyamanan berkenaan dengan kontraksi dan
gerakan otot, menimbulkan kemungkinan perubahan posisi thrombus
3) Pantau tanda-tanda vital
Rasional : memantau tanda-tanda vital dapat menandakan peningkatan nyeri
demam dapat memperberat ketidaknyamanan umum
4) Tinggikan ekstremitas yang sakit
Rasional : meningkatkan aliran balik vena memudahkan sirkulasi
5) Anjurkan perubahan posisi yaitu mempertahankan ekstremitas tetap tinggi
Rasional : menurunkan kelelahan, meminimalkan spasme otot, dan meningkatkan
aliran balik vena
6) Jelaskan prosedur tindakan dan intervensi
Rasional : melibatkan ibu dalam asuhan keperawatan, peningkatan control, dan
penurunan rasa cemas
7) Identifikasi nyeri dada yang tiba-tiba dan tajam, dispnea, takikardi, atau ketakutan
Rasional : tanda dan gejala ini menunjukan emboli paru sebagai komplikasi TVD
8) Berikan obat-obatan sesuai indikasi ( analgetik, antiinflamasi )
Rasional : analgetik menurunkan demam dan inflamasi menghilangkan nyeri
9) Berikan kompres panas yang lembap pada ekstremitas
Rasioanal : menyebabkan vasodilatasi yang meningkatkan sirkulasi
10) Anjurkan tindakan untuk penurunan ketergantungan emosi seperti teknik relaksasi
dan pengungkapan masalah
Rasional : menurunkan derajat kecemasan, mencegah kelelahan otot
c. Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Kriteria hasil :
1) Mengungkapkan tentang perasaan ansietas
2) Menunjukan penurunan perilaku seperti gelisah dan iritabilitas
Intervensi
1) Jelaskan prosedur, tindakan, dan intervensi keperawatan
2) Rasional : menurunkan rasa takut, meningkatkan pengetahuan ibu dan libatkan
dalam tindakan
3) Anjurkan untuk teknik relaksasi dan pengungkapan masalah
Rasional : mencegah kelelahan otot menurunkan ansietas
4) Pantau tanda-tanda vital dan perilaku seperti kegelisahan peka rangsangan dan
menangis
Rasional : dapat menunjukan perubahan pada tingkat ansietas dan dapat
meningkatkan kemampuan ibu dalam mengatasi masalah
5) Bantu ibu merawat diri sendiri dan bayi
Rasional : ansietas ibu dapat berkurang jika kebutuhannya terpenuhi serta bahwa
ia mampu mengatasi dan terlibat dalam tugas-tugas keperawatan diri sendiri dan
bayinya
6) Anjurkan kontak melalui telepon atau bertemu dengan pasangan dan anak-anak.
Bila ibu dirawat di rumah sakit, dianjurkan kontak dengan bayinya
Rasional : membantu menurunkan perpisahan dan isolasi
Daftar Pustaka
Abdul Bari Saifudin,SpOG,MPH,dr,prof,. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan kesehatan Maternal dan Neonatal. JNPKKR-POGI: Jakarta
Bari, Abdul . 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta
Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (1995). Maternity nursing. (4th ed.), Mosby: Years Book-Inc.
Cheketts MR, Wildsmith JAW (1999). Central nerve block and thromboprophylaxis—is there a problem? British Journal of Anaetshesia 82:164-7.
Clagett GP, Anderson FA, Heit J, Levine MN, Wheller HB (1995). Prevention of venous thromboembolism. Chest 108:312-34S.
DepKes RI. 2008. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Komprehensif (PONEK).
Jakarta
Heller, Luz. 2002. Gawat Darurat Genekologi dan Obstetri. EGC : Jakarta
Ida, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan. Dan KB. EGC: Jakarta
Lowdermilk, D.L., Perry, S.E., & Bobak, I.M.(2000). Maternity women’s health care. (7 nd ed. ),
Pilliteri, A. (2003). Maternal & child health nursing care of the chilbearing & childrearing family. (4 th ed.), Philadelphia: Williams & Wilkins.
Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta
Thromboembolic Risk Factors (THRIFT) Consensus Group (1992). Risk of an prophylaxis for venous thromboembolism in hospital patients. British Medical Journal305:567-74.
Wells PS, Lensing AWA, Hirsh J (1994). Graduated compression stockings in the prevention of venous thromboembolism: a meta-analysis. Archives of Internal Medicine154:67-72.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3485/3/gizi-bahri11.pdf.txt
http://doktergenkgonk.blogspot.com/2012/07/profilaksis-tromboemboli-vena-dvt.html
http://satriaitusehat.blogspot.com/2011/12/tromboemboli.html