REPRESENTASI RELASI GENDER DAN LAKON CARANGAN PADA CERITA PENDEK BERTEMAKAN WAYANG:
HIPOGRAM ATAS TOKOH SITA DAN DRUPADI DALAM “DONGENG RAMA-SITA” DAN “BAJU”
Faris Alaudin
Progam Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI [email protected]
Abstrak
Tulisan ini mengomparasikan tokoh utama perempuan pada cerita pendek “Dongeng Rama-Sita” karya Sapardi Djoko Damono, yaitu Sita dan cerita pendek “Baju” karya Ratna Indraswari Ibrahim, yaitu Drupadi. Dua tokoh utama perempuan ini mengalami hipogramsehingga watak mereka membentuk sebuah lakon carangan. Sita, dalam “Dongeng Rama-Sita”, merupakan lakon carangan dari cerita pakem Ramayana. Sebaliknya, Drupadi, dalam “Baju”, merupakan lakon carangan dari cerita pakemMahabharata. Bentuk hipogram ini merepresentasikan relasi gender antara tokoh utama perempuan dan tokoh utama laki-laki dalam kedua cerita pendek ini. Dalam budaya patriarki, relasi gender menunjukkan bahwa perempuan sering kali didominasi oleh laki-laki. Namun, tokoh Sita dalam “Dongeng Rama-Sita” menunjukkan gejala untuk melawan dominasi ini, sedangkan Drupadi dalam “Baju” masih terkungkung budaya patriarki.
Kata kunci: “Baju”; “Dongeng Rama-Sita”; hipogram; lakon carangan; relasi gender.
PENDAHULUAN
Hingga kini, kisah dalam dua epos besar khazanah kesusastraan India, yaitu Ramayana dan
Mahabharata, belum tuntas untuk digarap sebagai ‘bahan’ kesusastraan mutakhir Indonesia.
Saduran, yang menurut Suripan Sadi Hutomo sebagai bentuk kerja berkesusastraan, merupakan
bentuk keterpengaruhan pengarang oleh budaya sekitar (Hutomo, 1993). Dengan begitu, dapat
dikatakan bahwa karya-karya sastra mutakhir Indonesia sekarang ini merupakan kelanjutan
karya-karya sastra yang sudah ada sebelumnya.
Untuk itu, penggarapan dan penggalian atas saduran kisah Ramayana dan Mahabharata
masih terus dilakukan oleh pengarang-pengarang Indonesia. Misal saja, cerpen “Dongeng Rama-
Sita” (untuk selanjutnya disingkat “DRS”) (Damono, 2013, dalam Damono, 2013: 1—10), novel
Kitab Omong Kosong (Ajidarma, 2013), dan novel Maya (Utami, 2013) merupakan karya sastra
yang disadur dari epos Ramayana. Sebaliknya, novel Perang (Wijaya, 1990), lakon Rikmadenda
Mencari Tuhan (Rosidi, 1991), cerita pendek (cerpen) “Baju” (untuk selanjutnya disingkat “B”)
(Ibrahim, 2004, dalam Nurhan (peny.), 2005: 87—95) dan puisi “Sumpah Drupadi” (Triwikromo,
2009, dalam Triwikromo, 2010: 45)disadur dari epos Mahabharata. Dengan demikian, kisah
dalam kedua epos ini, sebagai bentuk cerita wayang, banyak dijadikan sebagai sumber rujukan
sekaligus penulisan fiksi Indonesia (Nurgiyantoro, 1998).
Bentuk-bentuk cerita saduran atas kisah Ramayana dan Mahabharata tidak hanya
mengikuti pakem kisah kedua epos ini, melainkan juga memunculkanvariasi kisah baru.
Penceritaan kembali Ramayana dan Mahabharatadengan tidak mengikuti tradisi cerita pakem
dan menyimpang dari garis cerita yang relatif baku disebut dengan hipogram.
Hipogrammerupakan unsur cerita dalam sebuah teks sastra yang mengubah unsur cerita teks
sastra pendahulu. Wujud hipogram dapat berupa penerusan atau penyimpangan atas teks sastra
pendahulu (Hutomo, 1993; Nurgiyantoro, 1998). Dalam teori intrateks, hipogram merupakan
transformasi suatu karya sastra menjadi karya-karya sastra lain yang ditulis kemudian.
Transformasi ini dapat berupa penerusan atau penyimpangan cerita suatu karya sastra atas satu
atau beberapa unsur intrinsik sekaligus (Riffaterre, 1980, dalam Nurgiyantoro, 1998).
Adapun yang disebut sebagai cerita pakem atau cerita pokok adalah cerita yang mengikuti
garis-garis yang yang relatif baku dari cerita yang ditulis sebelumnya (Clark, 2006, dalam Foulcher
dan Tony (peny.), 2006). Kemudian, hipogram, yang berupa penyimpangan pakem cerita, dapat
membentuk cerita carangan atau cerita cabang. Menurut Burhan Nurgiyantoro, cerita carangan
dihasilkan dari pemelintiran atas cerita pakem (Nurgiyantoro, 1998). Selain itu, bahan cerita
carangan diambil dari cerita pakem, tetapi sering kali menjauhi cerita pakem itu sendiri (Clark,
2006, dalam Foulcher dan Tony (peny.), 2006; Rosidi, 1991).Sebagai sebuah bangun karya sastra,
dapat dikatakan, bahwa cerpen “DRS” dan “B” merupakan cerita carangan dari cerita pakem
Ramayana dan Mahabharata. “DRS” merupakan cerita carangan dari Ramayana, sedangkan “B”
merupakan cerita carangan dari Mahabharata. “DRS” dan “B” menarik dikaji lebih jauh karena
menunjukkan hasil hipogram atas cerita pakem Ramayana dan Mahabharata.
Tulisan ini berfokus pada bentuk hipogram berupa pemelintiran watak tokoh Sita dalam
“DRS” dan tokoh Drupadi dalam “B”. Hipogram atas tokoh Sita dan Drupadi dalam dua cerpen ini
sebatas pada watak dan jalan pikiran sebagai tokoh utama perempuan. Akhirnya, hipogram atas
watak Sitda dan Drupadi memunculkan lakon carangan. Lakon ini memberikan karakter baru bagi
dua tokoh utama perempuan ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, dua tokoh
perempuan ini merupakan lakon carangan hasil hipogram atas Ramayana dan Mahabharata.
Sita dalam “DRS” dan Drupadi dalam “B”, sebagai lakon carangan, memunculkan kesan
baru terkait dengan relasi gender. Relasi ini terkait dengan hubungan antara Sita dan Rima serta
antara Drupadi dan lima Pandawa. Rama adalah suami Sita, sedangkan lima Pandawa adalah
suami Drupadi.
Dalam budaya masyarakat patriarki, perempuan sering kali didominasi oleh laki-laki
(Djajanegara, 2000). Dominasi laki-laki atas perempuan tampak dalam cerpen “DRS” dan “B”.
Dalam cerpen “DRS”, tokoh Sita menunjukkan gejala untuk keluar dari dominasi itu, sedangkan
dalam cerpen “B”, tokoh Drupadi masih terkungkung oleh budaya patriarki.
Dari seluruh pemaparan ini, muncul tiga pertanyaan sebagai berikut. Pertama, bagaimana
hipogram mampu mentransformasikan tokoh utama perempuan dalam cerpen “DRS” karya
Sapardi Djoko Damono dan “B” karya Ratna Indraswari Ibrahim? Kedua, bagaimana lakon
carangan, yang merupakan hasil dari hipogram ini, pada tokoh Sita dalam “DRS” dan tokoh
Drupadi dalam “B”? Ketiga, bagaimana representasi relasi gender yang tampak pada cerpen
“DRS” dan “B” terkait dengan lakon carangan ini?
Untuk menjawab tiga pertanyaan itu, diperlukan deskripsi atas bentuk hipogram yang
mampu mentransformasikan watak tokoh Sita dalam “DRS” dan tokoh Drupadi dalam “B”.
Kemudian, hasil transformasi atas dua tokoh ini membentuk lakon carangan sehingga
memunculkan kesan baru atas watak dan cerita dari “DRS” dan “B”. Kesan baru atas watak Sita
dan Drupadi dalam “DRS” dan “B” terkait dengan relasi gender. Relasi ini berupa keterikatan dua
tokoh utaman ini dengan sang suami. Sita dengan Rama dan Drupadi dengan lima Pandawa.
Selain pada “DRS” dan “B”, cerita tentang relasi gender sudah banyak dikarang oleh para
pengarang Indonesia. Sebut saja novel Saman (Utami, 1998) dan Tarian Bumi (Rusmini, 2007).
Oleh karena itu, kritik karya sastra atas cerita tentang relasi gender ini terkait dengan kritik sastra
feminis.
Dara Windiyarti, melalui artikel berjudul “Pemberontakan Perempuan Bali terhadap
Diskriminasi Kelas dan Gender: Kajian Feminis Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini”,
menunjukkan bahwa diskriminasi gender sering kali dialami oleh perempuan-perempuan Bali.
Hal itu tampak pada tokoh-tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi. Melalui Ida Ayu Telaga
Pidada, tokoh utama perempuan dalam novel ini, Oka Rusmini mendeskripsikan pemberontakan
perempuan Bali terhadap budaya patriarki (Windiyarti, 2008).
Kemudian, bahasan terkait dengan hipogram dalam cerita wayang pernah ditulis oleh
Briantoko Aji. Melalui skripsi berjudul “Perbandingan Penokohan Mahabharata dengan Perang:
Penyelewengan terhadap Hipogram”, Aji mendeskripsikan bentuk-bentuk hipogram berupa
penyelewengan atas tokoh-tokoh dalam novel Perang. Lalu, Aji mengomparasikan tokoh-tokoh
dalam Mahabharata dengan tokoh-tokoh dalam Perang. Hasil dari komparasi ini menunjukkan
bahwa terjadi penyimpangan watak tokoh dari cerita pakem Mahabharata (Aji, 2011).
Hanya saja, tulisan terkait dengan hasil hipogram berupa lakon carangan dan relasi
gender atas lakon ini belum pernah dikaji. Untk itu, penulis mencoba mengkaji bentuk hipogram
atau transformasi karya sastra berupa cerpen yang bertemakan cerita pewayangan. Cerpen yang
diambil, yaitu “DRS” karya Sapardi Djoko Damono dan “B” karya Ratna Indraswari Ibrahim.
Bentuk hipogram berupa lakon carangan pada dua cerpen ini akan dikomparasikan terkait
dengan relasi gender.
Pengkajian karya ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini menggunakan cara
analisis data kualitatif yang tampak tersirat dalam korpus data. Dalam metode kualitatif, korpus
data dapat berupa dokumen-dokumen berupa tulisan (Creswell, 2010). Dengan demikian, kajian
pustaka terkait dengan lakon carangan, hipogram, dan relasi gender dapat dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif.
SITA DAN DRUPADI DALAM “DRS” DAN “B”
“DRS” adalah salah satu cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerita Pada Suatu Hari Nanti
karya Sapardi Djoko Damono. Kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh Penerbit Bentang Pustaka di
Yogyakarta pada tahun 2013. Cerpen ini menyadur cerita dari epos Ramayana. Akan tetapi,
Sapardi Djoko Damono hanya menyadur kanda (atau fragmen) kedua dari tujuh kanda
Ramayana, yaitu Ayodya-Kanda. Pada kanda kedua ini, dikisahkan bahwa, Rama dan Sita dibuang
ke hutan Dandaka oleh Prabu Dasarata, yaitu ayah dari Rama, sebagai sepasang suami-istri.
Adapun, kisah “Dongeng Rama-Sita” berawal dari pembuangan Rama dan Sita ke Hutan
Dandaka. Suatu hari, Rama sedang berburu dan ia berpesan agar Sita tidak keluar dari gubuk
mereka. Saat Rama pergi berburu, Sita melihat seekor kijang cantik di halaman gubuk. Ia tergugah
untuk keluar gubuk melihat lebih dekat sang kijang. Ketika tangan Sita megelusnya, sang kijang
berubah menjadi Rahwana. Rahwana segera membawa lari Sita menuju Alengka.
Di tengah perjalanan menuju Alengka, sang raksasa yang sedang memanggul Sita
bertemu dengan Rama. Rama membolehkan Rahwana membawa Sita, tetapi ia tidak boleh
menurunkan Sita dari panggulannya. Di tengah perjalanan, Rahwana ingin buang air kecil.
Rahwana dengan terpaksa menurunkan Sita dari panggulannya dan memberikan Sita kepada
seorang pencari kayu bakar yang tengah lewat.
Tiba-tiba sang pencari kayu bakar berubah wujud menjadi Rama. Rama berujar, bahwa
Rahwana telah mengingkari janji yang telah mereka sepakati. Untuk itu, Rahwana harus
menyerahkan kembali Sita kepada Rama. Namun, Sita berkata lain, ia ingin ikut Rahwana menuju
Alengka. Akhir cerita, Sita dan Rahwana berjalan bergandengan tangan sambil menembang
menuju Alengka.
Cerpen “B” karya Ratna Indraswari Ibrahim adalah salah satu cerpen yang terdapat dalam
bunga rampai pilihan Kompas tahun 2005. “B” dimuat bersama dengan cerpen lain, seperti
“Kupu-kupu Seribu Peluru” karya Agus Noor, “Belatung” karya Gustaf tf Sakai, dan “Daun-daun
Waru di Samirono” karya Nh. Dini. Keempat cerpen tersebut dimuat dalam bunga rampai Jl.
“Asmaradana”: Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005 yang diterbitkan pada tahun 2005 oleh
Penerbit Buku Kompas di Jakarta.
“B” berkisah tentang Drupadi yang dijadikan taruhan di meja judi oleh kelima suaminya,
yaitu Pandawa. Drupadi diserahkan begitu saja kepada pihak Kurawa. Kurawa yang memenangi
perjudian melawan Pandawa, berhak memiliki Drupadi seutuhnya termasuk menelanjangi
Drupadi.
Kurawa yang diwakili oleh Dursosono melepaskan baju yang melilit tubuh Drupadi.
Dursasana mencoba menanggalkan baju milik Drupadi di depan seluruh rakyat Hastinaputra.
Namun, berkat bantuan dewa, baju yang dikenakan Drupadi tidak kunjung terlepas dari tubuh
Drupadi.
Amarah Drupadi semakin menggelegak melihat para suaminya diam saja dan hanya
menonton ketika pakaian Drupadi ditanggalkan oleh Dursosono. Melihat kenyataan ini, Drupadi
bersumpah ingin membasuh rambutnya dengan darah Dursosono. Ketika sumpah itu diucapkan
oleh Drupadi, seketika petir menggelegar seolah-olah menunjukkan amarah Drupadi.
Dari dua cerpen ini, dapat dikatakan bahwa Sita dan Drupadi menjadi sorotan utama sang
pengarang. Mereka berdua adalah sang tokoh. Tokoh, menurut Panuti Sudjiman, adalah
“individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita”
(Sudjiman, 1992: 16). Untuk menggambarkan tokoh yang berperan dalam sebuah cerita,
dibutuhkan juga penokohan. Penokohan adalah “penyajian watak tokoh dan penciptaan citra
tokoh” (Sudjiman, 1992: 23).
Merujuk pada definisi tokoh, dapat dikatakan bahwa Sita dan Drupadi adalah tokoh
utama dalam kedua cerpen ini. Tokoh utama adalah “tokoh yang memegang peran pimpinan”
(Sudjiman, 1992: 16). Tokoh utama disebut juga dengan tokoh protagonist. Tokoh utama selalu
memiliki kedudukan sentral dalam sebuah cerita.
Sita dan Drupadi dapat dikatakan sebagai tokoh utama karena mereka berdua menjadi
sorotan utama dalam kedua cerpen ini. Dalam “DRS”, Sapardi Djoko Damono sering kali
menyoroti tindakan-tindakan dan perasaan-perasaan Sita lewat jalinan dialog tokoh Sita dengan
tokoh lain. Dengan demikian, sudut pandang yang digunakan dalam “DRS” bukan sudut pandang
akuan, melainkan sudut pandang diaan.
“Sita langsung meloncat dari bahu Rama, mendekati Rahwana sambil menatap Rama tajam-tajam dan berbicara dengan suara bidadari yang paling cantik di Swargaloka, ‘Rama, ingat. Kamu sudah berjanji akan memberikan aku kepada Raja Perkasa yang dadanya berbuli dan tubuhnya berotot ini…. Aku pasti akan berbahagia mengabdi kepadanya.’” (Damono, 2013: 10).
Nukilan “DRS” ini menunjukkan bahwa sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah
sudut pandang akuan. Nukilan ini sekaligus menunjukkan watak atau penokohan dari Sita. Sita
digambarkan sebagai seorang perempuan yang memiliki keberanian untuk memilih apa yang ia
kehendaki.
Berbeda dengan “DRS”, “B” menggunakan sudut pandang akuan. Dalam “B”, melalui
sudut pandang akuan ini, Drupadi menggambarkan amarah dirinya lewat jalinan narasi. Amarah
ini Drupadi utarakan akibat pelecehan yang dilakukan oleh laki-laki, baik oleh para suaminya
maupun oleh Kurawa. Sudut pandang akuan pada “B” dan jalinan narasi yang terbangun menjadi
penting untuk menunjang watak atau penokohan dari Drupadi.
“Saya kira ini kejahatan luar biasa, bukan saja datang dari pihak Hastinaputra, juga dari suami-suamiku, yang dengan gegabah mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di meja judi. Ini penghinaan yang luar biasa, aku hukan budak atau selir!” (Ibrahim, 2004: 87).
“DRS” DAN “B”: LAKON CARANGAN DAN SEBUAH HIPOGRAM
Cerpen “DRS” dan “B” merupakan cerita saduran. Cerita “DRS” disadur dari cerita Ramayana,
sedangkan cerita “B” disadur dari cerita Mahabharata. Namun, dua cerpen ini memiliki segi cerita
yang berbeda dari cerita pakem Ramayana maupun Mahabharata terutama berkenaan dengan
penokohan Sita dan Drupadi sebagai tokoh utama perempuan.
Pada pakem cerita Ramayana, watak atau penokohan Sita digambarkan sebagai seorang
perempuan yang setia terhadap sang suami, yaitu Rama. Saat diculik oleh Rahwana pun, Sita
tetap berusaha menjaga kesucian dirinya. Meski begitu, kesucian Sita tetap dipertanyakan oleh
Rama. Untuk membuktikan kesucian cintanya kepada Rama, Sita rela dibakar di depan rakyat
Ayodya (Mulyono, 1979; A.K., 1994: 269—271; Pendit, 2006; Sudjarwo, Sumari, dan Wiyono,
2010).
Adapun Drupadi, pada pakem cerita Mahabharata, digambarkan sebagai sosok istri yang
berbakti pada sang suami, yaitu Pandawa. Saat Drupadi dijadikan sebagai barang taruhan di meja
judi, rasa bakti Drupadi masih tetap ada. Ia menerima dengan bersahaja perlakuan sang suaminya
ini (Mulyono, 1979; A.K., 1994: 103—104; Pendit, 2006; Sudjarwo, Sumari, dan Wiyono, 2010).
Watak tokoh Sita dan Drupadi pada cerita pakem Ramayana dan Mahabharata ini
berbeda dengan watak tokoh Sita dan Drupadi pada “DRS” dan “B”. Agar perbedaan watak ini
terlihat, penulis menggunakan cerita pakem Ramayana dan Mahabharata yang dikarang oleh
Nyoman S. Pendit. Pada cerita Ramayana, dikomparasikan antara “DRS” dan novel Ramayana
(2006) (untuk selanjutnya disingkat R). Sebaliknya, pada cerita Mahabharata, dikomparasikan
antara “B” dan novel Mahabharata: Sebuah Perang Dahsyat di Medan Kurukshetra (1993) (untuk
selanjutnya disingkat M). Melalui komparasi ini, diharapkan bahwa tampak hipogram atas tokoh
Sita dan Drupadi dalam Ramayana dan Mahabharata.
Dalam novel R, Sita digambarkan sebagai perempuan yang patuh dan setia terhadap sang
suami, yaitu Rama. Sebagai sosok istri, Sita selalu mencoba untuk menuruti seluruh perintah
Rama dan berusaha sebaik mungkin untuk kebahagiaan Rama. Kesetiaan Sita terhadap Rama
dapat dibaca pada nukilan berikut.
“.... Engkau tiba-tiba minta pamit akan meninggalkan aku. Apa salahku? Apakah sebagai istrimu aku telah mengecewakanmu? Katakan padaku, dharma mana yang mengajarkan bahwa seorang istri dilahirkan untuk tidak berbagi takdir dengan suaminya? Ayahku Raja Janaka, mengajarkan bahwa suka dan duka seorang suami adalah bagian dari kehidupan istrinya.” (Pendit, 2006: 129).
Dalam novel M, Drupadi digambarkan sebagai seorang istri yang menjunjung tinggi bakti
kepada sang suami, yaitu Pandawa. Drupadi, meskipun telah dikhianati Pandawa karena
dipertaruhkan di atas meja judi, tetap menaruh bakti kepada para suaminya. Hal itu dapat dibaca
pada nukilan berikut.
“Draupadi, dengan menekan segala perasaannya, berkata kepada mereka yang lebih tua: ‘Bagaimanakan Tuan-Tuan dapat membiarkan aku jadi taruhan oleh orang yang dirinya sendiri telah masuk perangkap taruhan perjudian dengan manusia-manusia jahat yang memang ahli tipu menipu?’” (Pendit, 1993: 108).
Berbeda dengan pakemcerita dalam Rdan Myang ditulis oleh Nyoman S. Pendit, dalam
cerpen “DRS” dan “B”, watak Sita dan Drupadi menjadi lain. Dalam “DRS”, Sita digambarkan
sebagai perempuan yang mampu memilih jalan hidupnya tanpa terkungkung atau dikuasai laki-
laki. Sebaliknya, meskipun belum menunjukkan gejala untuk mendobrak dominasi laki-laki
terhadap perempuan, Drupadi dalam “B” sudah berpikir dan mempertanyakan dominasi itu. Hal
ini menunjukkan bahwa, penulisan kembali karya sastra tidak hanya mematuhi konvensi dan
pakemcerita yang sudah ada, melainkan juga dapat melanggar konvensi dan pakem cerita
dengan membentuk cerita carangan. Dengan demikian, ‘sang dalang’ berkesempatan untuk
memasukkan materi baru agar dapat membentuk sebuah cerita carangan (Clark, 2006, dalam
Foulcher dan Day (peny.), 2006). Dalam hal ini, ‘sang dalang’ Sapardi Djoko Damono dan ‘sang
dalang’ Ratna Indraswari Ibrahim telah berhasil memasukkan materi baru pada sebuah cerita
wayang. Damono lewat cerpen “DRS”, sedangkan Ibrahim lewat cerpen “B”.
Kemunculan lakon carangan dalam “DRS” dan “B” akibat dari hipogram atau transformasi
berupa pemelintiran tokoh Sita dan Drupadi. Dalam hal ini, hipogram memunculkan sebuah
cerita carangan yang berbeda dengan cerita pakem. “DRS” dan “B” dapat dikatakan sebagai
bentuk hipogram karena menyadur karya yang sudah ditulis sebelumnya, yaitu epos Ramayana
dan Mahabharata. Selain itu, kedua cerpen ini mengalami penyimpangan terhadap cerita pakem
tersebut. Tokoh utama perempuan dalam kedua cerpen ini mengalami penyimpangan dan
dipelintir sedemikian rupa sehingga menjauhi watak tokoh cerita pakem.
Melaluihipogram, terbentuk lakon carangan dalam cerpen “DRS”. Sita dalam cerpen ini
merupakan lakon carangan hasil dari pemelintiran watak tokoh dalam pakem cerita Ramayana.
Kemudian, pemelintiran atas tokoh Sita ini memperlihatkan watak yang berbeda dari watak Sita
dalam novel Rkarya Pendit. Dalam cerpen ini, Sita digambarkan sebagai sosok istri yang mampu
memilih jalan hidupnya dan tahu siapa yang mencintainya dengan tulus. Penggambaran Sita yang
memiliki hak atas dirinya pada cerpen “DRS” dapat dibaca dalam nukilan berikut.
“Sita langsung meloncat dari bahu Rama, mendekati Rahwana sambil menatap Rama tajam-tajam dan berbicara dengan suara bidadari yang paling cantik di Swargaloka, ‘Rama, ingat. Kamu sudah berjanji akan memberikan aku kepada Raja Perkasa yang dadanya berbulu dan tubuhnya berotot ini.... Aku pasti akan berbahagia mengabdi kepadanya.’” (Damono, 2013: 10).
Adapun bentuk hipogram atas tokoh Drupadi pada cerpen “B” tampak pada amarah
Drupadi yang ditujukan kepada kelima suaminya dan Kurawa. Lakon carangan yang terbentuk
dalam cerpen ini, yaitu Drupadi tidak lagi digambarkan sebagai sosok istri yang menerima segala
apa yang diperbuat oleh sang suami terhadap dirinya. Drupadi berani menunjukkan amarahnya
kepada Pandawa dan Kurawa karena merasa haknya sebagai seorang perempuan dilanggar.
Kemarahan Drupadi menggelegak karena ia telah dijadikan sebagai taruhan di atas meja judi oleh
sang suami. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang perempuan dihina dan dicampakan. Namun,
Drupadi tidak dapat berbuat apa-apa untuk melampiaskan amarahnya. Perihal mengenai
kekecewaan Drupadi terhadap Pandawa dapat dibaca dalam nukilan berikut.
“Saya kira ini kejahatan luar biasa, bukan saja datang dari pihak Hastinaputra, juga dari suami-suamiku, yang dengan gegabah mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di meja judi. Ini penghinaan yang luar biasa, aku bukan budak atau selir!... Aku memilihnya sebagai suamiku dan sekarang yang terlihat adalah ketika seluruh bajuku ditanggalkan oleh Dursosono, ….” (Ibrahim, 2004: 87—88).
REPRESENTASI RELASI GENDER ATAS SITA DAN DRUPADI
Perbedaan gender(gender differences) terjadi karena dibentuk, diasosiasikan, diperkuat, dan
dikonstruksi secara sosial maupun kultural oleh masyarakat. Akan tetapi, sering kali, perbedaan
gender menimbulkan ketidakadilan gender(Fakih, 2012). Ada kemungkinan, bahwa ketidakadilan
gendertimbul karena masyarakat melanggengkan budaya patriarki.
Dalam masyarakat patriarki, perempuan sering kali didominasi oleh laki-laki. Dalam hal
ini, laki-laki sebagai pihak yang menguasai ranah publik dan bersifat superior dan perempuan
sebaliknya. Perempuan terbatas dalam ranah domestik dan bersifat inferior (Djajanegara, 2000).
Akibat dari budaya patriarki ini, nilai perempuan baru berarti apabila ia tunduk pada laki-laki.
Bentuk-bentuk relasi gender seperti inilah yang pada akhirnya disepakati bersama oleh
masyarakat.Relasi gender, yaitu hubungan antara kaum perempuan dengan laki-laki yang
dikonstruksi secara sosial, yang antara lain menggambarkan situasi ketika perempuan berada
dalam dominasi laki-laki (Wiyatmi, 2012).
Melalui tokoh Sita dan tokoh Drupadi, tampak bahwa terdapat perbadaan relasi gender
antara kedua tokoh ini. Sita, dalam “DRS”, digambarkan sebagai perempuan yang dapat keluar
dari dominasi laki-laki, sedangkan Drupadi, dalam “B”, masih didominasi oleh laki-laki. Dalam hal
ini, Sita tidak lagi didominasi oleh Rama, sedangkan Drupadi masih didominasi oleh Pandawa.
Bagaimana pun juga, Drupadi, sebagai seorang perempuan dan sosok istri, harus menerima
kekecewaan dari Pandawa yang telah mempertaruhkan dirinya di atas meja judi.
Sikap Sita yang memilih untuk tidak didominasi lagi oleh Rama dan kebebasan Sita untuk
memilih Rahwana sebagai pasangan hidup merepresentasikan perempuan yang tidak lagi
inferior. Relasi gender yang dibentuk oleh Sita menunjukkan bahwa kedudukan perempuan dan
laki-laki itu sama. Apabila laki-laki berhak menentukan apa yang ia kehendaki, begitu pun dengan
perempuan. Perempuan juga berhak menentukan apa yang ia kehendaki, termasuk dalam
memilih pasangan hidup.
Melalui cerpen “DRS”, pembaca diajak untuk memahami perasaan perempuan yang
diungkapkan oleh Sita. Sita yang gamang atas kesetiaan Rama lebih memilih hidup bersama
Rahwana yang jelas-jelas mencintai dirinya.
“Akan tetapi, apa gerangan yang terjadi? Sita langsung meloncat dari bahu Rama, mendekati Rahwana sambil menatap Rama tajam-tajam dan berbicara dengan suara bidadari yang paling cantik di Swargaloka, ‘Rama, ingat. Kamu sudah berjanji akan
memberikan aku kepada Raja Perkasa yang dadanya berbulu dan tubuhnya berotot ini. Ia lelaki tulen yang menjadi idaman setiap perempuan. Aku pasti akan berbahagia hidup mengabdi padanya.’” (Damono, 2013: 10).
Berbeda denga Sita yang dapat memilih kehendak hatinya, Drupadi, dalam cerpen “B”,
tidak dapat berbuat apa-apa meskipun hatinya tersakiti oleh perbuatan sang suami. Drupadi
harus menerima bulat kekecewaan atas apa yang telah dilakukan Pandawa terhadap dirinya. Ia
harus menerima penghinaan dari Kurawa karena telah dijadikan barang taruhan oleh Pandawa.
Drupadi hanya pasrah ketika ia diserahkan ke tangan Kurawa. Ia hanya bisa pasrah dan memeram
geram ketika tubuhnya ditelanjangi oleh Dursasan di depan rakyat Hastinaputra.
Dalam hal ini, tampak bentuk relasi genderyang masih terikat oleh budaya patriarki.
Drupadi masih didominasi oleh Pandawa dan ia berada di pihak inferior sehingga tidak dapat
berbuat apa-apa untuk menyelamatkan harga dirinya. Drupadi hanya mampu menceritakan
amarahnya dan keluh-kesahnya sebagai seorang perempuan sekaligus sosok istri.
“Duh Gusti..., mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak pernah
aku diperlakukan seperti ini. Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku
selalu menuntut mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati ketika
kita bercinta. Suami-suamiku kuajari menyentuh dengan keindahan dan saling menghormati.
Begitulah yang kita lakukan bertahun-tahun. Tapi, sekarang mereka tidak berbuat apa pun. Sungguh
menjijikkan ketika kulihat suamiku cuma menunduk dan diam-diam saja….” (Ibrahim, 2004: 90).
SIMPULAN
Cerpen “DRS” dan cerpen “B” menarik untuk dikaji karena memberikan gambaran tentang karya
sastra yang keluar dari pakemcerita yang sudah ada sebelumnya. Penyuguhan epos Ramayana
menyorot pada cerpen “DRS”, sedangkan penyuguhan epos Mahabharata menyorot pada
cerpen “B”. Dua cerpen ini dibuat dengan pembaruan dari cerita pakem Ramayana maupun
Mahabharata. Penyorotan pada kedua cerpen ini membentuk lakon carangan berupa
pemelintiran atas tokoh yang keluar dari cerita pakem. Pemelintiran ini disebut dengan
hipogram. Hipogram atas watak tokoh ini dapat dilihat pada tokoh Sita dalam cerpen “DRS” dan
tokoh Drupadi dalam cerpen “B”.
Dengan demikian, dapat diambil simpulan bahwa karya sastra yang sama, jika disikapi dan
diolah dengan daya kreativitas yang berbeda, akan menghasilkan karya yang berbeda. Oleh
karena itu, muncul banyak hipogram dalam cerita wayang yang bersumber pada epos Ramayana
dan epos Mahabharata. Bentuk hipogram atas cerita pakem ini dilakukan oleh Sapardi Djoko
Damono lewat cerpen “DRS” dan oleh Ratna Indraswari Ibrahim lewat cerpen “B”.
Lantas, menilik pada lakon carangan yang telah mengalami hipogram, lakon carangan ini
memunculkan kesan baru atas karakter tokoh Sita dan tokoh Drupadi. Sita pada cerpen “DRS”
menunjukkan relasi genderyang setara, sehingga ia tidak lagi didominasi oleh laki-laki. Terkait
dengan hal ini, Sita memberikan perlawanan kepada budaya patriarki dengan cara tidak lagi
tunduk dengan segala perintah Rama yang semena-mena. Sita memiliki hak yang sama dengan
Rama untuk memilih pasangan hidup dan pilihan itu jatuh pada Rahwana.
Dalam cerpen “B”, ada kemungkinan, bahwa Drupadi mampu keluar dari dominasi laki-
laki. Akan tetapi, tidak dapat berbuat apa-apa mengingat kedudukannya sebagai seorang istri
dari Pandawa, sehingga ia harus patuh kepada suaminya. Termasuk juga saatDrupadi dijadikan
taruhan dan dipermalukan di depan seluruh rakyat Hastinaputra, Drupadi tetap harus patuh.
Drupadi tidak dapat berbuat apa-apa untuk membela haknya selain dengan memendam
amarahnya. Dengan demikian, Drupadi cenderung masih disubordinasi oleh laki-laki sehingga
budaya patriarki masih melekat pada sosoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Briantoko. 2011. “Perbandingan Penokohan Mahabharata dengan Perang: Penyelewengan terhadap Hipogram”. Skripsi Sarjana Humaniora Progam Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok: tidak diterbitkan. Ajidarma, Seno Gumira. 2013. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. A.K., R. Soetarno. 1994. Ensiklopedia Wayang. Semarang: Dahara Prize. Clark, Marshall. 2006. “‘Berbau Keposmo-Posmoan’: Penulisan Ulang Mahabharata oleh Emha Ainun Nadjib”, dalam Foulcher, Keith dan Day Tony (peny.). 2006. Clearing Space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Creswell, J.W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damono, Sapardi Djoko. 2013. “Dongeng Rama-Sita”, dalam Damono, Sapardi Djoko. 2013. Pada Suatu Hari Nanti: Kumpulan Cerita. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hutomo, Suripan Hadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa Surabaya. Ibrahim, Ratna Indraswari. 2004. “Baju”, dalam Nurhan, Kenedi (peny.). 2005. Jl. “Asmaradana”: Cerpen Pilihan Kompas 2005. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Mulyono, Sri. 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung. Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. _____. 2006. Ramayana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pendit, Nyoman S. 1993. Mahabharata: Sebuah Perang Dahsyat di Medan Kurukshetra. Jakarta: PT Bhratara Niaga Media. Riffaterre, Michael. 1980. Semiotic of Poetry. London: Metheun & Co Ltd, dalam Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rosidi, Ajip. 1991. Rikmadenda Mencari Tuhan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rusmini, Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sudjarwo, Heru S., Sumari, dan Undung Wiyono. 2010. Rupa dan Karakter Wayang Purwa. Jakarta: Kakilangit Kencana. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Triwikromo, Triyanto. 2009. “Sumpah Drupadi”, dalam Triwikromo, Triyanto. 2010. Pertempuran Rahasia: Buku Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ______. 2013. Maya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Wijaya, Putu. 1990. Perang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Windiyarti, Dara. 2008. “Pemberontakan Perempuan Bali terhadap Diskriminasi Kelas dan Gender: Kajian Feminis Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini” dalam Humaniora, Vol. 20, No. 3, h. 286—294. Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.