REAKSI ALERGI PADA ASMA BRONKIAL
I. PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai
dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat
mematikan. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang
ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas. Asma merupakan penyebab utama penyakit
kronis pada masa anak-anak, menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah yang
berarti. Asma merupakan gangguan saluran napas yang sangat kompleks,
tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus, proses
perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi.
Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah
mengi berulang dan/atau batuk persisten (menetap) dengan karakteristik
sebagai berikut:
timbul secara episodik,
cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),
musiman,
setelah aktivitas fisik,
ada riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. 6,7
Menerut GINA 2014 Asma merupakan sebuah penyakit kronik
saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi
yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas
sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk
(cough) terutama pada malam atau dini hari. (1)
Asma pada anak mempunyai berbagai aspek khusus yang umumnya
berkaitan dengan proses tumbuh dan kembang seorang anak, baik pada masa
bayi, balita, maupun anak besar. Peran atopi pada asma anak sangat besar dan
1
merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dengan baik untuk
diagnosis dan upaya penatalaksanaan. (2-4)
II. EPIDEMILOGIMenurut World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150
juta penduduk dunia menderita asma bronkial, jumlah ini diperkirakan akan
terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun. Jumlah penderita asma
bronkial semakin terlihat mengalami peningkatan pada negara - negara
berkembang. Lebih dari 250,000 orang meninggal akibat asma bronkial
setiap tahun terkait tatalaksananya yang tidak adekuat. (3) Di Indonesia,
prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC Study on
Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma
sebesar 2,1%, sedangkan padatahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil
survey asma padaanak sekolah di beberapa kota di Indonesia
(Medan,Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan
Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)
berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar
5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. (4)
III. ETIOLOGI
Meskipun penyebab asma belum diketahui dengan pasti. Beberapa
penelitian mengimplikasikan adanya kombinasi dari paparan lingkungan dan
hubungannya dengan biologis dan genetika. Paparan dalam lingkungan
termasuk allergen, virus infeksi pernafasan, bahan kimia, dan polusi udara
seperti asap rokok. Kekebalan terhadap paparan dapat distimulus untuk
waktu yang lama termasuk pathogenesis inflamasi dan gangguan saluran
nafas. Bila terjadi proses pathogen pada paru-paru di awal kehidupan, dapat
memberikan dampak buruk terhadap perkembangan saluran pernafasan dan
diferensiasi sehingga saluran pernafasan terbentuk tidak sebagimana
mestinya diusia dewasa. Ketika asma muncul, paparan akan memberikan efek
2
yang lebih buruk dan penyakit dapat persisten dan meningkatkan eksaserbasi
parah. (5)
Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi
IgE akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen
yang sama. Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau
makanan yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terjadinya respon
kekebalan.
Contoh alergen yang bisa menjadi pencetus alergi adalah :
Alergen yang teridentifikasi pada asma adalah debu rumah, human dander
dan tungau, serta kecoa. Alergen lain adalah dog dander dan alergen
makanan berupa coklat dan makanan laut
Indoor allergen banyak ditemui di sekeliling kita misalnya tungau, debu
rumah yang banyak terdapat pada karpet, atau tempat tidur (kasur, bantal).
Peran indoor allergen sebagai pemicu asma tidak terlepas dari hubungan
alergen dengan lingkungan, tidak sekedar dosis pajanan (kuantitatif ) atau
lama pajanan.
IV. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko terjadinya asma bronchial berupa :
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus serta disfungsi
paru yang mempengaruhi aliran udara.
b. Hipereaktivitas bronkus
Adanya bermacam-macam factor pencetus dapat mengaktifkan sel
mast sehingga sel mast melepaskan mediator inflamasi yang akan
membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan
3
allergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi. Keadaan ini menyebabkan terjadinya inflamasi yang
akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelumusia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi
fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi
paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
4
3. Faktor lain
a. Alergen makanan contoh : seafood, telur, udang dan lain-lain
b. Allergen obat-obat tertentu contoh penicillin, sefalosporin analgesic,
antipiretik dan lai-lain
c. Bahan yag mengiritasi contoh parfum, household spray, dan lain-lain
d. Stress dan gangguan emosi
e. Asap rokok dan polusi udara
f. Perubahan cuaca
g. Status ekonomi (3, 4)
V. PATOFISIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara
lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan
reaksihipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini
disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada
permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa
mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik
eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada
dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
5
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi
setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang
terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada
beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast
misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan
parameter objektif. (4, 5)
6
VI. DIAGNOSIS
Masalah penting pada morbiditas asma adalah kemampuan untuk
menegakkan diagnosis, dan seperti telah kita ketahui bahwa diagnosis asma
pada anak tidak selalu mudah untuk ditegakkan. Beberapa kriteria diagnosis
untuk itu selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi umumnya disepakati
bahwa hiper reaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif yang perlu
untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma pada anak(2) Diagnosis asma
didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik,
mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk
menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu
diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko.
Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran
respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat
berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu
penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol.
Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta
pemeriksaan penunjang. . (4) (5)
Anamnesis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
7
1. Anamnesa(4) :
Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang
memburuk pada malam hari atau secara musiman.
Riwayat asma sebelumnya
Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan
bulu binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu
rumah, obat – obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang
emosi yang kuat
Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma
2. Pemeriksaan Fisik :
Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan
ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat(4, 6).
a) Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut
tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit),
takikardia, dan pulsus paradoksus.
b) Pemeriksaan Thorak (7)
Pemeriksaandapat mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami
serangan asma dapat dijumpai:
Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal)
Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus
Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing
8
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. (8)
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
peningkatan (Volume Ekspirasi Paksa 1 detik ) VEP1≥ 12% dan ≥ 200
ml menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
2. Peak Flow Meter/PFM. (8)
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari
paru.
3. X-ray dada/thorax. (8)
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
4. Pemeriksaan IgE. (8)
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, Karena uji
allergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian
pula sebaliknya.
9
5. Analisa Gas Darah (8)
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati
normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat berat
terjadi hiperkapnea (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis
respiratorik.
4. Diagnosa Banding (7)
Mengi dan dispneu ekspiratoir dapat terjadi pada bermacam-macam
keadaan yang menyebabkan obtruksi pada saluran pernafasan
a. Pada bayi adanya korpus alenium disaluran nafas dan esophagus
atau kelenjer timus yang menekan trakea.
b. Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis atau
fibrosis kistik
c. Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak dibawah umur 2 tahun
dan terbanyak dibawah umur 6 bulan dan jarang berulang.
d. Bronchitis. Tidak ditemukan eosinofilia, bila sering berulang dan
kronik biasanya disebabkan oleh asma
e. Tuberculosis kelenjer limfe di daerah trakeobronkial
f. Kelainan trakea dan bronkus misalnya stenosis bronkus.
10
VII. KLASIFIKASI ASMA
Parameter klinis,
kebutuhan obat,
dan faal paru.
Asma episodic
jarang
Asma episodic
seringAsma persisten
Frekuensi
serangan
<1 x/bulan >1 bulan Sering
< 1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang
tahun, hamper
tidak ada remisi
Intensitas
Serangan
Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis
diluar serangan
Normal Mungkin
terganggu
(ditemukan
kelainan)
Tidak pernah
normal
Obat pengendali
(anti inflamasi )
Tidak perlu Perlu, steroid Perlu, steroid
Uji faal paru
(diluar serangan)
PEF?FEV1 >80% PEF/FEV1 60-
80%
PEF/FEV1<60%
variabilitas 20-
30%
Variabilitas faal
paru
Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%
VIII. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi
terhadap alergen sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial
pada pasien penyakit atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan
serangan dan eksaserbasi asma. (7)
11
Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari
pajanan alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun
penghindaran pencetus. Para peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen
utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak, bulu hewan
peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan yang
telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah asap
kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran maksimal harus
dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan tempat
bermain sehari-hari.
Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic
march maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan
menghambat perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain
adalah dengan mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak
yang telah tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment
of the atopic child) telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat
timbulnya asma pada anak kecil penderita dermatitis atopi yang sudah
tersensitisasi terhadap alergen tertentu tetapi belum menderita asma.
Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan
pencegahan dan kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan,
atau menurunkan kekerapan serta derajat serangan asma, dengan pemberian
sodium kromolin, ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta
kortikosteroid. Sejauh ini kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih
yang paling efektif untuk pencegahan asma. Pemberian kortikosteroid
inhalasi dapat mengontrol asma kronik dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan sehingga membutuhkan alat bantu inhalasi(2)
IX. PENGOBATAN
4 Komponen Tata Laksana Asma.
GINA ( 2011 ) mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan untuk
mencapai dan mempertahankan kontrol asma8 :
12
1. Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien
Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien,
dan melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola asma yang
perlu mereka kerjakan. Manajemen yang efektif diperoleh bila pasien
dapat aktif merawat diri sendiri yaitu bila ia telah mampu :
Menghindari faktor resiko
Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah
ditentukan
Mengerti penggunaan obat pengontrol dan pelega
Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa menggunakan PEF
meter
Mengenal tanda pemburukan asma dan cara mengatasinya
Konsultasi bila diperlukan
2. Mengenal dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko
Pasien harus mengetahui faktor pencetus asma mereka dan berusaha
menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan asmanya seperti
diuraikan mengenai faktor pencetus asma. Pasien tetap melakukan olah raga
sesuai kamampuannya dan bila perlu sebelum olah raga terlebih dahulu
menggunakan obat asma.
3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma
Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara garis besar
yang dapat dipergunakan sebagai dasar diagnosis asma, evaluasi
kontrol/beratnya asma, tempat perawatan dan tingkat terapi yang diberikan
pada pasien yang datang ke klinik asma atau klinik emergensi. Tindak lanjut
terapi pasien ditentukan berdasarkan respon pasien hingga pasien dapat
pulang untuk berobat.
4. Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma
13
Pasien kontrol 1 – 3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan sekali. Bila
adaeksaserbasi kontrol tiap 2 – 4 minggu, ditanyakan mengenai hasil kontrol
asma yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter
secara benar atau adanya masalah lain pada pasien.
Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu
ditingkatkan regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol sebagian,
sedangkan bila terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan langkah
terapi secara perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang dapat
mengontrol.
Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena asma
adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan secara
berkala sebagai respon terhadap tanda – tanda kurangnya kontrol yang
ditandai oleh gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi.
Obat Asma
Obat asma dapat digolongkan menjadi pengedali ( controller ) dan pelega (
reliever ). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk
membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti
inflamasi. Reliever adalah obat yang digunakan bila perlu berdasar efek
cepat untuk menghilangkan bronkokontriksi dan menghilangkan
gejalanya13.
Controller Reliever
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik) Short acting b2 agonist (SABA) : inhalasi, oral
Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik
Long acting b2 agonist (LABA) : inhalasi, oral
Antikolinergik : Ipratropium br, oxitropium
Chromolin: Sodium cromoglycate dan Nedocromil Teofilin
Teofilin lepas lambat
14
Anti IgE
Antikolinergik: Tiotropium
Obat pengendali ( Controller )11
Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk
mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi
proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma.
Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut
sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai
pengcegah, antara lain
a) Kortikosteroid inhalasi
b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan
untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
d) Methylxanthine
15
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas
lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi
menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala
dan memperbaiki faal paru.
e) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>
12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi
otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan
mediator dari sel mast dan basofil.
f) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya
melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator
minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,
sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga
mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil).
Penghilang gejala (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk penghilang gejala adalah 11.
Agonis beta2 kerja singkat
16
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu
mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana
agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat
bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
Kortikosteroid sistemik.
Steroid sistemik digunakan sebagai obat penghilang gejala bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil
belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik
vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi
yang disebabkan iritan.Termasuk dalam golongan ini adalah
ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Theophilin
Teofilin merupakan preparat metil-xantin yang pada masanya
sangat populer untuk terapi rumatan asma kronik ringan, dan
sebagai penunjang pengobatan asma kronik berat. Walaupun saat
ini masih banyak dipakai, teofilin tidak begitu menarik lagi setelah
pengobatan anti-inflamasi untuk asma lebih terfokus kepada
kortikosteroid. Selama ini efek anti-inflamasi teofilin memang
masih sering dipertanyakan. Selain itu metabolisme teofilin
diketahui akan terganggu dalam keadaan demam oleh penyakit
tertentu, seperti influenza, atau oleh obat seperti eritromisin,
simetidin, dan siprofloksasin. Pada anak, teofilin juga diketahui
17
dapat mempengaruhi prestasi sekolah sehingga tidak dianjurkan
untuk diberikan pada anak dengan gangguan psikologis atau
gangguan belajar.
Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi,
dan perilaku yang memberi peluang sangat besar bagi kita untuk melakukan
upaya pencegahan, kontrol, self-management, dan pengobatan asma.
Walaupun medikamentosa selalu merupakan unsur penting pengobatan asma
anak, harus tetap diingat bahwa hal tersebut hanyalah merupakan salah satu
dari berbagai komponen utama penatalaksanaan asma. Penatalaksanaan asma
yang baik harus disokong oleh pengertian tentang peran genetik, alergen,
polutan, infeksi virus, serta lingkungan sosioekonomi dan psikologis pasien
beserta keluarga.
Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan
menjaga status aktivitas anak normal dan faal paru normal, mencegah
timbulnya asma kronik, serta mencegah pengaruh buruk tindakan
pengobatan. Secara umum obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu obat pelega (relievers) dan obat pengontrol (controllers).
Obat pelega asma bertujuan untuk melegakan saluran napas dan
menghilangkan serangan serta eksaserbasi akut dengan pemberian
bronkodilator. Bronkodilator yang banyak dipakai saat ini adalah agonis,
selain xantin dan antikolinergik. Obat pengontrol asma bertujuan menjaga
dan mengontrol asma persisten dengan mencegah kekambuhan. Obat
pengontrol asma yang banyak dipergunakan adalah kortikosteroid, selain
anti-inflamasi lain seperti sodium kromolin, nedokromil, inhibitor dan
antagonis leukotrien, serta berbagai antihistamin generasi baru.
18
X. PROGNOSIS
Batuk dan mengi berulang terjadi 35% pada anak-anak usia pra sekolah.
Sepertiga dari hal ini akan menjadi kemudian akan menjadi asma persisten
pada masa kanak-kanak, dan sekitar dua pertiga akan membaik sendiri
menjelang masa remaja mereka. Asma yang parah pada umur 1-10 tahun
diprediksi akan menjadi persisten pada usia dewasa. Anak-anak dengan asma
sedang sampai berat dan fungsi paru-paru yang lemah juga dapat
memungkinkan untuk memiliki asma persisten di usia dewasa. Anak-anak
dengan asma ringan dan fungsi paru yang normal dari waktu ke waktu akan
menjadi asma berkala, namun remisi lengkap selama 5 tahun dimasa kanak-
kanak jarang terjadi. (5)
19
Daftar Pustaka
1. Fitz JM, Reddel HK. global strategy for asthma management and prevention.
@2014 Global Initative for Asthma. 2014.
2. Akib AA. Asma pada Anak. Sari Pediatri. 2002;4(2):78-82.
3. Herdi. Gambaran Faktor Pencetus Serangan Asma pada Pasien Asma di
Poloklinik Paru dan Bangsal Paru. Pontianak: Universitas Tanjungpura
Pontianak; 2011.
4. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon.
2008;58(11):444-51.
5. liu AH, Cover R, Spahn JD, Leung DYM. Chilhood Asthma. In: Robert M.
Kliegman M, Bonita F. Stanton M, Nina F. Schor M, PhD, Joseph W. St
Game III M, Richard E. Behrman M, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
United States of America: ELSEVIER SAUNDERS; 2011. p. 780-6.
6. Kim H, Mazza J. Asthma AACI. 2011:1-9.
7. latief da, Napitupulu dPM, Pudijadi dA, Ghazali dMv, dst. Pulmonologi.
In: Hassan dr, Alatas dH, editors. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1985. p. 1203-28.
8. Sundaru H. Asma Bronkial. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2010.
20