SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Ignatius Alfredo Ade Prasetyo
NIM : 13.70.0191
Kelompok : C4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, baskom, mangkok,
timbangan analitik, alat penggiling daging, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser,
plastik bening, dan milimeter blok.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,
polifosfat, dan es batu.
1.2. Metode
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir.
Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian
kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
Daging ikan diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram.
2
Daging ikan dimasukkan ke dalam alat penggiling dengan
ditambahkan es batu, kemudian digiling hingga halus.
Daging ikan dicuci dengan air es sambil disaring menggunakan kain
saring sebanyak 3 kali hingga didapatkan tekstur yang gempal.
Daging ikan halus dimasukkan ke dalam wadah plastik, kemudian
ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5%
(kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan
polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3); 0,5%
(kelompok 4, 5).
Plastik diikat dan diletakkan di dalam loyang untuk
kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.
3
Setelah dithawing, surimi diuji kualitas sensorisnya
yang meliputi kekenyalan dan aroma.
Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan
menggunakan texture analyzer.
Surimi dipress dengan
menggunakan presser.
4
Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter blok
untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Luas atas =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)
Luas bawah =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)
Luas area basah = Luas atas Luas bawah
mg H2O =Luas area basah 8,0
0,0948
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Surimi
Kel. Perlakuan Hardness WHC Sensoris
Kekenyalan Aroma
C1 sukrosa 2,5% + garam
2,5% + polifosfat 0,1% 137,22 gf 293598,53 +++ +++
C2 sukrosa 2,5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3% 132,55 gf 267004,22 + +
C3 sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3% 214,65 gf 311814,35 ++ +
C4 sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5% 126,59 gf 277084,60 ++ ++
C5 sukrosa 2,5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5% 159,03 gf 254345,99 + +++
Keterangan:
Kekenyalan Aroma
+ : tidak kenyal + : tidak amis
++ : kenyal ++ : amis
+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis
Berdasarkan Tabel 1 diatas, dapat dilihat bahwa nilai hardness terbesar surimi diperoleh oleh
kelompok C3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% dan polifosfat
0,3% yaitu sebesar 214,65 gf. Sedangkan pada kelompok C2dengan perlakuanpenambahan
sukrosa 5% + garam+ 2,5% dan polifosfat 0,3% diperoleh nilai hardness terendah yaitu
sebesar 132,55 gf. Nilai WHC terbesar didapatkan oleh kelompok C3 dengan perlakuan
penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% yaitu2,5% + garam 2,5% dan
polifosfat 0,3% yaitu sebesar311814,35 mg, sedangkan WHC terkecil didapatkan oleh
kelompok C5 yaitu sebesar 254345,99 mg dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5% +
garam 2,5% + polifosfat 0,5%. Surimi yang diamati sensorisnya memiliki tingkat kekenyalan
yang berbeda-beda. Kelompok C1 dihasilkan surimi yang sangat kenyal, kelompok C3 dan
C4 kenyal, sedangkan kelompok C2 dan C5 tidak kenyal. Aroma surimi masing-masing
kelompok juga berbeda-beda, pada kelompok C2 dan C3 tidak amis, kelompok C4 tergolong
amis, sedangkan pada kelompok C1 dan C5 diperoleh surimi yang sangat amis.
6
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, praktikan melakukan percobaan yaitu membuat surimi. Tujuan dari
praktikum ini yaitu untuk mengetahui proses pembuatan surimi sebagai salah satu alternatif
produk perantara dalam industri pengolahan ikan. Menurut SEAFDEC (2009) dalam
kutipan Nopianti et al., (2011), surimi adalah pasta daging ikan yang diolah secara tradisional
oleh rakyat Jepang menjadi produk yang disebut kamaboko. Surimi merupakan daging
lumat yang telah melalui proses pembersihan dan pencucian sehingga bau, darah, pigmen,
dan lemak akan hilang. Surimi berupa hancuran daging ikan yang mengalami pencucian
dengan larutan garam dingin, pengepresan, penambahan bahan tambahan, pengemasan, dan
pembekuan (Peranginangin et al, 1999). Menurut P. Santana et al., (2012), surimi adalah
produk setengah jadi atau disebut intermediate product karena dapat diolah kembali menjadi
macam-macam produk makanan dan juga dapat digunakan sebagai bahan campuran olahan
seperti bakso, sosis, scallops, abon, dan berbagai produk olahan lainnya. Surimi memiliki 2
tipe yang biasa diproduksi, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi.Mu-en surimi sendiri
merupakan produk surimi yang dibuat tanpa menggunakan penambahan garam, sedangkan
untuk ka-en surimi dibuat dengan menggunakan garam pada konsentrasi tertentu (Agustiani
et al., 2006).
Dalam pembuatan surimi, terdapat beberapa persyaratan bahan baku yang digunakan yaitu
bahan baku harus bersih, bebas bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda
dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu,
dan tidak membahayakan bagi kesehatan (SNI 01-3229 - 1992). Selain itu secara
organoleptik, bahan baku yang akan digunakan harus memiliki karakteristik kesegaran
seperti:
a. Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan
b. Bau : segar
c. Daging : elastis dan kompak
d. Rasa : netral agak manis
(Peranginangin et al.,1999).
Menurut (Koswara et al., 2001), surimi dapat dikatakan bermutu baik apabila memiliki ciri-
ciri seperti warna yang putih, flavor yang baik, dan elastisitasnya tinggi. Kesegaran ikan
yang digunakan dalam pembuatan surimi akan mempengaruhi elastisitas dari surimi yang
7
dihasilkan. Semakin segar ikan yang digunakan maka elastisitas surimi yang dihasilkan akan
semakin tinggi pula. Apabila ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi ini memiliki
elastisitas rendah biasanya elastisitas surimi ditingkatkan dengan cara menambahkan daging
ikan jenis yang lain, diberikan penambahan gula, pati, atau protein nabati. Tingkat keasaman
ikan yang paling ideal untuk pembuatan surimi adalah 6,5 hingga 7 (pH netral). Ikan yang
digunakan sebagai bahan membuat surimi disarankan rendah lemak, karena lemak akan
mempengaruhi daya gelatinasi dan dapat mengakibatkan produk surimi cepat mengalami
ketengikan. Apabila ikan yang digunakan mempunyai kandungan lemak tinggi, ikan tersebut
harus melalui proses pengekstrakan lemak terlebih dahulu. Ikan yang digunakan untuk
pembuatan surimi juga sebisa mungkin memiliki daging yang berwarna putih, tidak berbau
lumpur, tidak terlalu amis, dan memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik.
Berdasarkan syarat-syarat diatas, maka bahan utama yang digunakan dalam pembuatan
surimi ini adalah ikan bawal yang masih segar. Ikan ini dipilih sebagai bahan utama karena
dagingnya yang berwarna putih. Sebelum digunakan ikan tersebut disimpan di dalam
refrigerator untuk menjaga kesegarannya. Jay (1986) mengatakan bahwa suhu refrigerator
yang berkisar antara 0-2oC dan 5-7oC akan dapat mempertahankan kesegaran ikan karena
suhunya yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Sebelum ikan
digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan surimi, ikan terlebih dahulu di-thawing.
Proses thawing ini harus dilakukan secara cepat, hal ini disebabkan karena apabila thawing
dilakukan dalam waktu lama dapat menyebabkan mutu bahan baku ikan segar menurun
(Potter, 1978).
Ikan bawal air tawar dengan nama ilmiah Colossoma macropomum memiliki badan agak
bulat, bentuk tubuh pipih, sisik kecil, kepala hampir bulat, lubang hidung agak besar, sirip
dada di bawah tutup insang, sirip perut dan sirip dubur terpisah, punggung berwarna abu-abu
tua, serta perut putih abu-abu dan merah (Saint-paul dalam Supriatna 1998). Ikan bawal yang
digunakan dalam praktikum ini memiliki daging putih, tidak berbau lumpur, tidak terlalu
amis, dan memiliki kemampuan dalam membentuk gel dengan baik sehingga cocok
digunakan sebagai bahan baku pembuatan surimi sesuai dengan kriteria ikan sebagai bahan
baku dalam pembuatan surimi (Ninan et al., 2004).
Menurut Dahar (2003), proses pembuatan surimi pada umumnya meliputi penerimaan bahan
baku, penyiangan dan pencucian, pemisahan daging terhadap tulang dan kulit, leaching,
8
straining, pengepresan, penambahan gula dan sodium polyphosphate, pencetakan dan
pembekuan, dan pengemasan. Proses pembuatan surimi yang dilakukan pada praktikum kali
ini sudah sesuai dengan teori Dahar (2003), namun prosedur yang digunakan disederhanakan
yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan dan pembekuan. Dalam praktikum
ini mula-mula proses pembuatan surimi dilakukan dengan cara pencucian ikan sampai bersih.
Kemudian disiangi dengan cara membuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan
kulit, sedangkan bagian daging putihnya diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram, lalu
digiling hingga halus. Penyiangan ikan ini bertujuan untuk mencegah perkembangbiakan
mikroorganisme alami pada ikan (Vatria, 2010). Pemisahan daging dengan kulit dan tulang
perlu dilakukan pada proses pembuatan surimi, karena dalam pembuatan surimi bahan yang
digunakan hanya bagian daging ikan (Anonim_2, 1992).
Setelah proses pemisahan daging ikan dari kulit dan tulangnya, maka proses selanjutnya yang
dilakukan adalah proses leaching. Proses ini merupakan proses yang meliputi proses
pencucian daging dalam air es sebanyak 3 kali yang bertujuan untuk menghilangkan bau,
lemak, darah, dan kotoran lainnya yang tidak diinginkan, lalu disaring dengan menggunakan
kertas saring. Pencucian daging sebanyak 3 kali tersebut sesuai dalam jurnal, bahwa daging
ikan fillet yang sudah dicincang dicuci sebanyak 3 kali dengan perbandingan 1:4 (daging ikan
: air) (Jafarpour & Gorczyca, 2009). Selanjutnya, daging ikan lumat diberikan perlakuan
dengan penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1% untuk kelompok C1;
kelompok C2 dengan penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%; kelompok
C3 dengan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%; kelompok C4 dengan
penambahansukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%; kelompok C5 dengan penambahan
sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%. Surimi yang dihasilkan pada praktikum surimi
ini adalah surimi dengan jenis ka-en surimi, karena dalam prosesnya surimi tersebut
ditambahkan garam dengan kosentrasi tertentu (Suzuki, 1981).
Bahan-bahan tambahan yang digunakan bertujuan untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi,
cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa surimi
(Winarno et al. 1980). Penambahan garam bertujuan untuk mempercepat proses penurunan
jumlah air yang terdapat pada fillet daging ikan yang akan dibuat surimi nantinya. Garam
juga berfungsi untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan sehingga dapat dibentuk gel
yang kuat, fleksibel dan elastis pada surimi yang dihasilkan. Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi pembentukan gel surimi adalah bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju
9
pemanasan, serta jenis ikan yang digunakan (Lan et al., 1995). Selain itu, garam dalam
takaran yang tepat ditambahkan dengan tujuan sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah
aroma (Winarno et al., 1980). Konsentrasi garam yang biasanya digunakan untuk membuat
surimi adalah 2 hingga 3%, karena apabila digunakan garam dengan konsentrasi yang lebih
tinggi maka akan memberikan rasa yang terlalu asin (Shimizu et al., 1994).
Polifosfat yang digunakan dalam praktikum ini adalah natrium tripolifosfat (STTP).
Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Kemudian miosin dan
poliposfat akan berikatan dengan air lalu menahan mineral dan vitamin. Ketika pemasakan,
miosin akan membentuk gel, sedangkan polifosfat akan membantu menahan air dengan
menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler (Haryati, 2001). Dalam praktikum ini,
penambahan polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat
surimi, khususnya sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat juga berfungsi untuk
memperbaiki daya ikat air (WHC) dan memberikan sifat lebih lembut pada produk-produk
olahan surimi. Kadar polifosfat yang biasanya ditambahkan adalah sebanyak 0,2 %-0,3 %
dalam bentuk garam natrium tripolifosfat, namun pada praktikum ini, jumlah polifosfat yang
ditambahkan yaitu 0,1%, 0,3%, dan 0,5% (Peranginangin et al. 1999).
Setelah penambahan sukrosa, garam, dan polifosfat, surimi kemudian dimasukkan ke dalam
wadah yaitu kantong plastik polietilen dan dibekukan di dalam freezer selama 1 malam.
Penyimpanan surimi dalam keadaan beku di dalam freezer tersebut sebelumnya telah
diberikan krioprotektan (Peranginangin et al, 1999). Krioprotektan merupakan bahan
tambahan pada pembuatan surimi yang ditambahkan sebelum proses penyimpanan beku.
Menurut MacDonald et al., (1997) dalam jurnal Suitability of chitosan as cryoprotectant on
croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage, bahwa krioprotektan
berfungsi untuk memperpanjang umur simpan beku makanan dengan mencegah terjadinya
kerusakan pada myofibrillar protein yang disebabkan oleh pembekuan, penyimpanan beku
dan pencairan. Zhou et al., (2006) mengatakan bahwa krioprotektan dapat meningkatkan
kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari
protein, dan menstabilkan protein. Krioprotektan yang ditambahkan pada surimi berperan
untuk menghambat dan meminimalkan denaturasi protein selama proses pembekuan dan
penyimpanan di dalam freezer. Krioprotektan yang digunakan dalam praktikum ini adalah
sukrosa. Sukrosa merupakan gula pereduksi yang akan bereaksi dengan gugus amino dari
protein kemudian membentuk senyawa melanoidin yang warnanya coklat (Wiguna, 2005).
10
Meskipun krioprotektan yang digunakan seperti sukrosa, sorbitol dan fosfat dalam produk
surimi, tetapi kandungan kalori yang tinggi dan kemanisannya tidak luput dari kekhawatiran
(Park&Morrissey, 2000). Kitosan dapat efektif digunakan sebagai krioprotektan alternative
sukrosa dan sorbitol untuk stabilisasi otot croaker struktur asli protein selama proses
penyimpanan beku. (Sadhan S et al., 2011)
Setelah penyimpanan selama 1 malam, selanjutnya surimi di-thawing selama 15 menit dalam
suhu ruangan lalu dilakukan pengamatan sensoris yang meliputi kekenyalan dan aroma.
Kemudian hardness surimi diukur dengan menggunakan texture analyzer. Sedangkan nilai
WHC dapat dihitung dengan proses pengepresan yang dilakukan dengan menggunakan alat
pengepres (screw press). Proses ini dapat mengurangi kadar air surimi hingga sekitar 85%
(Anonim_2, 1992). Setelah itu, surimi yang telah dilakukan pengepresan digambar diatas
millimeter blok dan dihitung nilai WHC dengan rumus yang ada. Pengujian tersebut
dilakukan karena kualitas surimi pada umumnya dapat dilihat dari kekenyalan, aroma,
hardness, dan WHC (Water Holding Capacity) (Sanchez-Gonzales et al, 2006).
3.1. Karakteristik Surimi
3.1.1 Hardness
Berdasarkan data hasil pengamatan, didapatkan nilai hardness surimi terbesar diperoleh oleh
kelompok C3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%
yaitu sebesar 214,65 gf. Sedangkan pada kelompok C4 dengan perlakuan penambahan
sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5% diperoleh hardness terendah yaitu 126,59 gf.
Maka hasil yang diperoleh tersebut sesuai dengan teori, yang mengatakan bahwa
penambahan konsentrasi polifosfat bertujuan untuk menambah kelembutan dan keelastisan
surimi, sehingga dengan semakin banyaknya polifosfat yang ditambahkan akan diperoleh
hardness yang semakin kecil (Peranginangin et al. 1999). Proses pencucian daging tidak
hanya menghilangkan zat lemak yang tidak diinginkan seperti darah, pigmen dan bau dari
daging, tapi juga meningkatkan konsentrasi protein myofibrilar. Carvajal et al., (2005)
menyatakan bahwa proses pencucian akan meningkatkan kualitas surimi dengan peningkatan
konsentrasi protein myofibrilarnya, tetapi banyaknya pencucian tergantung spesies ikan,
kondisi, dan berapa kali pencucian. Karthikeyan et al., (2004) menyatakan bahwa setelah
dilakukan pencucian beberapa kali, kekuatan ion akan menurun sedangkan dengan
penambahan garam selama pengolahan melarutkan miofibril dan meningkatkan pembentukan
gel. Hamzah N et al., (2014) dalam jurnal Physical properties of cobia (Rachycentron
11
canadum) surimi: effect of washing cycle at different salt concentrations menyimpulkan
bahwa untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik, maka daging ikan dilakukan lima siklus
pencucian dan penambahan polifosfat dibandingkan dengan kombinasi konsentrasi garam.
3.1.2. WHC
Dalam percobaan ini dilakukan uji daya ikat air (WHC). Tujuannya adalah untuk mengetahui
besarnya kemampuan bahan untuk mengikat molekul air. Interaksi antara protein dengan air,
terutama daya ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel. Selama penyimpanan, surimi
rentan terhadap proses denaturasi protein. Denaturasi protein pada surimi dapat disebabkan
oleh adanya peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organik terlarut pada fase
sebelum pembekuan di dalam sel. Ketika sel membeku, konsentrasi garam mineral menjadi
sangat tinggi sehingga menyebabkan denaturasi protein (Djazuli, N et al, 2009). Menurut
teori Whistler et al. (1985), proses denaturasi protein dapat dihambat oleh sukrosa. Sukrosa
memiliki grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen.
Peristiwa tersebut akan meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul
air dari protein, sehingga stabilitas protein tetap terjaga.
Berdasarkan hasil pengamatan WHC surimi yang terbesar didapatkan oleh kelompok C3
dengan perlakuan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3% yaitu 311814,35
mg, dan WHC terkecil didapatkan oleh kelompok C5 yaitu 254345,99 mg dengan perlakuan
penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%. Hasil ini kurang sesuai dengan
teori Peranginangin et al., (1999) yang mengatakan bahwa polifosfat juga berfungsi dalam
memperbaiki daya ikat air (WHC) pada surimi, sehingga semakin tinggi konsentrasi
polifosfat, kemampuan surimi dalam mengikat air semakin besar. Selain itu, garam (NaCl)
dapat berperan dalam pembentukan gel surimi. Menurut teori Winarno et al., (1980), bahwa
NaCl berfungsi melepaskan miosin dari serat-serat ikan sehingga dapat dibentuk gel yang
kuat. Gel yang kuat akan membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memerangkap air
dalam jumlah besar sehingga meningkatkan nilai WHC surimi. Akan tetapi, dengan adanya
perlakuan penambahan sukrosa yang tinggi, menurut Zhou et al. (2006) sukrosa yang
ditambahkan dalam praktikum ini dapat meningkatkan kemampuan surimi mengikat air
(WHC). Maka, hasil yang diperoleh sesuai dengan teori tersebut yaitu terdapat pada
kelompok C3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%
yaitu 311814,35 mg, dengan konsentrasi sukrosa yang semakin tinggi dapat meningkatkan
nilai WHC.
12
3.1.3. Kekenyalan
Tingkat kekenyalan surimi dipengaruhi oleh faktor kesegaran ikan, hal ini berhubungan
dalam kemampuan surimi untuk membentuk gel. Kesegaran ikan dalam hal ini adalah waktu
dan suhu penyimpanan ikan. Apabila ikan yang disimpan semakin lama, maka
kemampuannya untuk membentuk gel akan menurun. Phatcharat et al, (2012) mengatakan
bahwa gel surimi dapat dibentuk dengan penambahan protein, penggunaan mikroba
transglutaminase, maupun proses pencucian. Pada praktikum ini, semua kelompok (C1
hingga C5) digunakan konsentrasi garam yang sama yaitu 2,5%. Dari data pengamatan
didapatkan bahwa tingkat kekenyalan surimi pada masing-masing kelompok berbeda-beda.
Kelompok C1 dihasilkan surimi yang sangat kenyal, kelompok C3 dan C4 kenyal, sedangkan
kelompok C2 dan C5 tidak kenyal. Dapat dikatakan bahwa kelompok C1 dengan surimi yang
sangat kenyal, kelompok C3 dan C4 kenyal, karena ikan bawal yang digunakan masih dalam
kondisi segar. Menurut pendapat Hossain et al., (2004), bahwa tingkat kekenyalan juga
dipengaruhi oleh konsentrasi garam yang diberikan. Konsentrasi garam yang terbaik untuk
membentuk kekuatan gel yang optimal yaitu antara 1,7-3,5%. Akan tetapi, kelompok C2 dan
C5 dihasilkan surimi yang tidak kenyal, seharusnya kekenyalan gel surimi yang dihasilkan
oleh masing-masing kelompok sudah maksimum. Namun terdapat faktor lain yang
berpengaruh terhadap kekenyalan gel tersebut.
Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan gel adalah penambahan
polifosfat. Penambahan polifosfat memberikan pengaruh terhadap tingkat kekenyalan surimi,
karena polifosfat berperan untuk menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan
kapiler sehingga dengan semakin banyaknya polifosfat yang ditambahkan, kekenyalan surimi
akan lebih maksimal karena semakin banyak air yang dapat ditahan. Seharusnya kekenyalan
yang paling maksimal diperoleh dari kelompok C4 dan C5 yang menggunakan konsentrasi
polifosfat tertinggi yaitu 0,5% (Peranginangin et al. 1999).
Menurut Djazuli, N et al, (2009), bahwa tingkat kekenyalan surimi juga dipengaruhi oleh
nilai WHC. Apabila daya serap air semakin baik (nilai WHC tinggi) akan membentuk tekstur
gel yang semakin baik. Dari hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa pada kelompok C2 dan
C5 memiliki tingkat kekenyalan paling rendah (tidak kenyal) dibandingkan dengan surimi
kelompok lain. Demikian juga dengan nilai WHC pada kelompok C2 dan C5 juga paling
rendah dibandingkan surimi lainnya yaitu 267004,22 mg untuk kelompok C2 dan 254345,99
mg untuk kelompok C5. Jadi dapat dikatakan hal ini sesuai dengan teori Djazuli, N et al.,
13
(2009), yang mengatakan bahwa nilai WHC berhubungan dengan kekenyalan. Selain itu,
proses gelasi pada surimi dapat terjadi karena protein miofibril yang membentuk jaringan tiga
dimensi, dimana di dalam jaringan ini terperangkap air. Apabila semakin banyak air yang
terperangkap, maka kekuatan gel yang dihasilkan akan semakin maksimal dan dapat
diperoleh kekenyalan yang maksimal (Sanchez-Gonzales et al., 2006).
Menurut Luo YK et al., (2008) dalam jurnal The Influence of Chitosan on Textural
Properties of Common Carp (Cyprinus Carpio) Surimi, mengatakan bahwa gelasi protein
ikan merupakan langkah yang paling penting dalam pembentukan tekstur yang diinginkan
dalam banyak produk makanan laut seperti surimi. Gelasi protein daging pada pembuatan
surimi ini berperan untuk meningkatkan sifat tekstur yang seperti warna, menahan air
kapasitas (WHC), kelembaban dinyatakan dan kekuatan gel untuk meningkatkan penerimaan
produk surimi. Maka, hal ini dapat dikaitkan dengan hasil pengamatan yang diperoleh dari
segi hardness, WHC, dan kekenyalan.
3.1.4. Aroma
Aroma merupakan faktor yang sangat penting bagi produk surimi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan upaya untuk membuat aroma surimi tidak amis, yaitu pencucian dengan air es.
Reinheimer et al, (2010) berpendapat bahwa pencucian dilakukan untuk menghilangkan bau
amis, bahan yang tidak diinginkan, komponen lain yang larut air serta meningkatkan
konsentrasi dari protein miofibril. Berdasarkan data hasil pengamatan yang diperoleh, surimi
pada kelompok C2 dan C3 tergolong tidak amis, pada kelompok C4 amis, namun pada
kelompok C1 dan C5 diperoleh surimi yang sangat amis. Perbedaan tingkat keamisan pada
masing-masing surimi tersebut dapat disebabkan karena perbedaan perlakuan proses
pencucian. Pada dasarnya, apabila surimi masih berbau amis, dapat dikatakan bahwa
pencucian surimi yang telah dilakukan kurang maksimal.
Menurut Andini (2006), salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan surimi
adalah suhu air yang digunakan pada proses pencucian dan penggilingan daging ikan, karena
jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencucian.
Jumlah protein larut air yang hilang akan berpengaruh terhadap kekuatan gel karena protein
larut air akan mengikat protein miofibril sehingga menghambat pembentukan gel. Suhu
pencucian di atas 15oC akan banyak protein larut air yang hilang. Oleh sebab itu suhu yang
14
baik untuk pencucian daging ikan adalah 5oC-10oC, karena akan dihasilkan kekuatan gel
yang terbaik.
15
4. KESIMPULAN
Surimi adalah salah satu produk olahan setengah jadi atau intermediate product.
Mutu surimi yang baik memiliki ciri-ciri seperti warna yang putih, flavor yang baik,
dan elastisitasnya tinggi.
Ikan yang digunakan sebagai bahan membuat surimi disarankan rendah lemak, karena
akan mempengaruhi daya gelatinasi dan dapat mengakibatkan produk surimi cepat
mengalami ketengikan.
Polifosfat berfungsi menambah nilai kelembutan, elastisitas surimi, dan memperbaiki
daya ikat air.
Krioprotektan adalah senyawa yang berperan sebagai anti denaturasi protein pada
proses pembekuan dan penyimpanan beku yang salah satu contohnya adalah sukrosa.
Sukrosa berperan untuk meminimalkan denaturasi protein selama pembekuan.
Semakin banyak konsentrasi polifosfat yang ditambahkan akan menurunkan hardness,
meningkatkan kekenyalan dan meningkatkan WHC.
Semakin banyak sukrosa yang ditambahkan, nilai WHC akan semakin besar.
Konsentrasi garam 1,7%-3,5% akan menghasilkan nilai WHC dan kekenyalan terbaik.
Kekenyalan surimi dipengaruhi oleh tingkat kesegaran ikan, konsentrasi garam, suhu air
pencucian, konsentrasi polifosfat, dan kemampuan ikat air.
Apabila daya serap air semakin baik (nilai WHC tinggi) akan membentuk tekstur gel
yang semakin baik.
Jumlah protein larut air yang hilang akan berpengaruh terhadap kekuatan gel karena
protein larut air akan mengikat protein miofibril sehingga menghambat pembentukan
gel.
Semarang, 19 Oktober 2015 Asisten Dosen,
- Yusdhika Bayu S
Ignatius Alfredo Ade P
13.70.0191
16
5. DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan
Universitas Diponegoro Press. Semarang.
Andini YS.(2006). Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol
(Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Anonim_2. (1992). Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan.Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Carvajal PA, Lanier TC,Mac Donald GA (2005) Stabilization of proteins in surimi. In: Park
JW (ed) Surimi and surimi seafood, 2nd edn. Taylor and Francis Group, Boca Raton,
Fla., pp 163225.
Dahar, D. (2003). Pengembangan Produksi Hasil Perikanan. Sidoarjo.
Djazuli, N et al. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang di Laut Arafura.Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia.Institut Pertanian Bogor. Food Biophysics 4: 172-179.
Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp)
terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi
Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hossain, Mohammed Ismail; Muhammad Mostafa Kamal; Fatema Hoque Shikha; dan Md.
Shahidul Haque.(2004). Effect of Washing and Salt Concentration on the Gel Forming
Ability of Two Tropical Fish Species.International Journal of Agriculture & Biology
15608530/2004/065762766.
Jafarpour A, Gorczyca EM (2009) Rheological Characteristics and Microstructure of
Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi and Kamaboko Gel. Food Biophysics (2009)
4:172-179.
Jay, J. M. (1986). Modern Food Microbiology 3rd Edition. Van Nastrand Reinhold Company.
New York.
Karthikeyan M, Shamasundar BA, Mathew S, Kumar PR, Prakash V (2004) Physico-
chemical and functional properties of proteins from pelagic fatty fish (Sardinella
longiceps) as a function of water washing. Int J Food Prop 7:353365.
Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta:
UI Press.
17
Lan, H. Y., Mu W., Nikolic-Paterson D.J., and Atkins R.C. (1995). A Novel, Simple,
Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of
Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens. J
Histochem Cytochem 43:9710.
Luo YK, Shen H, Pan D, Bu GH (2008) Gel properties of surimi from silver carp
(Hypophthalmichthys molitrix) as affected by heat treatment and soy protein isolate.
Food Hydrocolloid 22: 1513-1519.
MacDonald GA, Lanier TC, Swaisgood HE, Hamman DD. (1997). Mechanism for
stabilization of fish actomyosin by sodium lactate. J Agric Food Chem 44:106112.
N. Hamzah & N. M. Sarbon & A. M. Amin. (2014). Physical properties of cobia
(Rachycentron canadum) surimi: effect of washing cycle at different salt concentrations.
J Food Sci Technol (August 2015) 52(8):47734784.
Ninan, George; Bindu J, Jose Joseph.(2004). Properties of Washed Mince (Surimi) from
Fresh and Chill Stored Black Tilapia, Oreochromis mossambicus.
Nopianti. R, N. Huda & N. Ismail. (2011). A Review on the Loss of the Functional Properties
of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming Properies of
Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-30, 2011.
P, Santana; Huda, N; dan Yang T.A. (2012).Technology for production of surimi powder and
potential of applications.International Food Research Journal 19(4): 1313-1323 (2012).
Park JW, Morrissey MT. (2000). Manufacturing of surimi from light muscle fish. In: Park JW
(ed) Surimi and surimi technology. Marcel Dekker Inc, New York, pp 2843.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta:
Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.
Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. (2004).Effect of Washing with Oxidising Agents
on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From
Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of
Songkla University Thailand.
Potter, N.N. (1978). Food Science 3rd edition. AVI Publishing Company, Inc. USA.
Reinheimer et al. (2010).Quality Characteristics of Surimi Made From Sabalo (Prochilodus
platensis) as Affected by Water Washing Composition. World Congress and Exhibiton
Engineering. Argentina.
Sanchez-Gonzales, Ignacio; Pedro Carmona; Pilar Moreno; Javier Border as; Isabel Sanchez-Alonso; Arantxa RodriGuez-Casado; Mercedes Careche. (2006). Protein
18
and Water Structural Changes in Fish Surimi During Gelation as Recealed by Isotopic
H/D Exchange and Raman Spectroscopy. Madrid, Spain.
Satya Sadhan Dey & Krushna Chandra Dora. (2010). Suitability of chitosan as cryoprotectant
on croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage. J Food Sci Technol
(NovemberDecember 2011) 48(6):699705.
Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed
Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York:
Marcel dekker. Page.425-442.
SNI 01-3229 1992. Persyaratan Bahan Baku Sirip Cucut Segar Beku. http://www.bkipm.kkp.go.id/bkipm/en/sni/PRODUK%20PERIKANAN.
Supriatna. 1998. Pengaruh Kadar Asam Lemak Omega 3 yang Berbeda pada Kadar Asam
Lemak Omega 6 Tetap dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Ikan Bawal Air Tawar
Colossoma macropomum Cuvier. [Tesis]. Program Paska Sarjana IPB. Bogor.
Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science
Publ Ltd.
Vatria, Belvi. (2010). Pengolahan Ikan Bandeng (Chanos-Chanos) Tanpa Duri.Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Rekayasa.
Wiguna, A. N. (2005). Skripsi: Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging
Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon
sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006).Cryoprotective effect of trehalose and
sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal
of Food Chemistry 96(2):96-103.
19
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Luas atas =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)
Luas bawah =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)
Luas area basah = Luas atas Luas bawah
mg H2O =Luas area basah 8,0
0,0948
Kelompok C1
Luas atas =1
3 37 (82 + 4 181 + 2 201 + 4 194 + 143) = 35350,11
Luas bawah =1
3 37 (82 + 4 37 + 2 30 + 4 44 + 143) = 7508,97
Luas area basah = 35350,11 7508,97 = 27841,14
mg H2O =27841,14 8,0
0,0948= 293598,53
Kelompok C2
Luas atas =1
3 45 (119 + 4 200 + 2 208 + 4 201 + 95) = 33510
Luas bawah =1
3 45 (119 + 4 33 + 2 26 + 4 37 + 95) = 8190
Luas area basah = 33510 8190 = 25320
mg H2O =25320 8,0
0,0948= 267004,22
Kelompok C3
Luas atas =1
3 48 (122 + 4 218 + 2 230 + 4 207 + 120) = 38432
Luas bawah =1
3 48 (122 + 4 34 + 2 20 + 4 34 + 120) = 8864
20
Luas area basah = 38432 8864 = 29568
mg H2O =29568 8,0
0,0948= 311814,35
Kelompok C4
Luas atas =1
3 46 (90 + 4 184 + 2 201 + 4 190 + 120) = 32315,64
Luas bawah =1
3 46 (90 + 4 19 + 2 8 + 4 23 + 120) = 6040,02
Luas area basah = 32315,64 6040,02 = 26275,62
mg H2O =26275,62 8,0
0,0948= 277084,60
Kelompok C5
Luas atas =1
3 45 (120 + 4 198 + 2 222 + 4 217 + 112) = 35040,00
Luas bawah =1
3 45(120 + 4 50 + 2 44 + 4 52 + 112) = 10920,00
Luas area basah = 35040,00 10920,00 = 24120,00
mg H2O =24120,00 8,0
0,0948= 254345,99
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
Recommended