PRAKTIK PEMBAGIAN WARIS ANAK RUJU DALAM
MASYARAKAT DESA DUKUHSETI KABUPATEN PATI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ALI AHMADI
(NIM: 1113044000066)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
ABSTRAK
Ali Ahmadi, NIM 1113044000066 PRAKTIK PEMBAGIAN WARIS ANAK RUJU
DALAM MASYARAKAT DESA DUKUHSETI KABUPATEN PATI. Konsentrasi
Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2018 M, xi+halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penyebab praktik pembagian waris anak ruju dalam
masyarakat desa Dukuhseti Kabupaten Pati, pendapat tokoh adat dan ulama, kemudian
filosofisnya, serta tinjauan hukum Islam terhadap praktik kewarisannya.
Penelitian ini berjenis Empiris. Sedangkan sifatnya adalah field research (penelitian
lapangan). Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer
yang bersumber dari hasil wawancara terhadap tokoh-tokoh adat maupun ulama masyarakat
Dukuhseti. Data sekunder berupa data yang diperoleh dari sumber yang telah ada, yakni dari
buku-buku desa serta dokumen yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti.
Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa tokoh adat
maupun ulama yang dianggap mengetahui. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa anak ruju atau anak terakhir mendapatkan harta
waris berupa rumah pusaka atau utama. Menurut pendapat tokoh adat atau ulama desa
Dukuhseti terkait praktik kewarisan ini, selain disebabkan oleh anggapan umum masyarakat
Dukuhseti yang menganggap bahwa posisi anak ruju adalah sebagai anak yang masih perlu
diberi perhatian lebih, juga sebagai bentuk apresiasi karena sudah menemani orang tua (jika
diantaranya masih hidup). Filosofi praktik warisan anak ruju adalah untuk memberikan
keadilan kepada anak ruju yang telah merawat orang tua. Tinjauan hukum Islam tidak serta
merta melarang praktik pewarisan anak ruju ini, karena jelas bahwa Islam tidak memberatkan
lagi membebankan terhadap umatnya, apalagi jika hal itu mengenai masalah hukum yang
pada dasarnya berada di luar jalur hukum Islam. Hal ini sejatinya juga termasuk mengenai
hukum adat, atau di dalam istilah fiqh disebut urf’ yang berlaku kaidah “adat itu dapat
menjadi dasar hukum”.
Kata Kunci : Praktik, Pembagian, Waris dan Dukuhseti
Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, M A
Daftar Pustaka : 1981- 2017
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia dimuka bumi ini, khususnya kepada
penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan, baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam beserta
Indra Rahmatullah, S.H., M.H., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Islam,
yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
3. Hj. Hotnidah Nasution, MA., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, dosen
pembimbing skripsi penulis, serta sebagai dosen penasihat akademik, yang telah
sabar dan selalu memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh civitas akademika serta dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi
mengajarkan penulis berbagai macam keilmuan mulai dari teori hingga
praktiknya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Amin yaa
Robbal ‘Alamin.
5. Paling teristimewa dan terspesial dalam hidup penulis, Bapak tercinta Sunaryo
dan Ibu terkasih Ngatimah, yang tak pernah jenuh dan menyerah untuk selalu
memberikan dukungan motivasi serta tidak henti-hentinya mendoakan penulis
dalam menempuh pendidikan serta mbak Sunarti, Sunarsih, Siti Rufi’ah , S.Sos.
Asminah, S.Hum. dan Kakak Supardi. Terima kasih atas perhatian serta
dukungan kepada penulis selama ini.
6. Sahabat terbaikku Agan Rista Aslin Nuha, Boy Syahreza Amri Wildan, Bang
Muhammad Roihan, Taufiqul Hakim (Kenyek), Gus. M. Iqbal El-Bulumanisy,
Izatus Syafa’at, Cak Muhammad Irfan Fathir H., Cak M. Nadhif Julianto,
Awwaluddin Hakim Zen, Abdul Wahid, M. Subhan FM., M. Luthfi, Muhammad
Bahaudin, teman- teman program Studi Hukum Keluarga angkatan 2013 yang
telah memberikan dukungan serta saran pada penulis
7. Sahabat Indekos Nirmala Muhammad Fadholi, S.Pd., Sigit Ilham Arfianto, S.H.,
Syahreza Amri Wildan, S.Pd., serta Muhammad Roihan, S.H., Di manapun
kalian menginjakkan kaki semoga kita selalu kompak dengan ikatan seduluran,
karena kita pernah hidup bersama dalam satu indekos, Nirmala tercinta.
8. Masyarakat, tokoh adat, ulama, serta seluruh jajaran pemerintah desa Dukuhseti,
yang telah membantu penulis selama penelitian ini. Semoga Allah SWT
senantiasa membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Amin yaa Robbal ‘Alamin.
9. Keluarga besarku di tanah perantauan Silaturrahmi Mahasiswa Pati (SIMPATI)
Jakarta & Sekitarnya, serta Keluarga Mathali’ul Falah (KMF) Jakarta. Keluarga
Besar Prodi Ahwal Syakhsiyyah (KBPA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat, terima kasih telah
memberikan kesempatan penulis untuk belajar berorganisasi dengan baik.
Tiada cita-cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT
sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam khazanah ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang konstruktif akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca yang budiman pada
umumnya serta dicatat sebagai amal baik disisi Allah SWT. Amiin.
Jakarta, 23 Februari 2019
penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………………... ii
LEMBARAN PERNYATAAN ……………………………………………………….... iii
ABSTRAK ………………………………………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………….. v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah ………………………………………………………….. 6
C. Pembatasan Masalah …………………………………………………………. 6
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian …………………………………… 6
E. Metode Penelitian ……………………………………………………………. 7
F. Review Study Terdahulu …………………………………………………….. 9
G. Sistematika Penulisan ………………………………………………………... 10
BAB I I HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS ADAT, DAN KONSEP
KEADILAN…………………………………………………………………………….. 12
A. Hukum Waris Islam ……………………………………………..…………... 12
1. Hukum Kewarisan Islam ……………………………………………........ 12
2. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam ……………………………. 13
3. Asas-asas dalam Hukum Kewarisan Islam ……………………………… 20
4. Pewaris, Ahli Waris, dan Harta Warisan. Dan Penghalang Waris Kewarisan
Islam ……………………………………………………………………... 28
B. Hukum Waris Adat ………………………………………….……………..... 32
1. Hukum Kewarisan Adat ………………………………………………..... 32
2. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Adat …………………………….. 33
3. Sistem Hukum Kewarisan Adat ………………………………………..... 35
4. Pewaris, Ahli Waris, Harta Warisan …………………………………….. 37
C. Konsep Keadilan …………………………………………………………….. 39
1. Pengertian Keadilan ……………………………………………………... 39
2. Konsep Keadilan Waris Islam …………………………………………... 42
3. Konsep Keadilan Waris Adat …………………………………………… 45
BAB III DESA DUKUHSETI ……………………………………………………….. 47
A. Gambaran Umum Desa Dukuhseti …………………………………………. 47
B. Demografi Desa Dukuhseti …………………………………………………. 48
1. Adat Istiadat dan Kebudayaan ………………………………………….. 48
2. Keadaan Sosiologis ……………………………………………………... 49
3. Kondisi Keagamaan dan Pendidikan …………………………………… 50
4. Tingkat Kesejahteraan ………………………………………………….. 52
BAB IV PRAKTIK PEMBAGIAN WARIS ANAK RUJU DALAM MASYARAKAT
DESA DUKUHSETI, KABUPATEN PATI ……………………………… 53
A. Praktik Pembagian Waris Anak Ruju di desa Dukuhseti Kabupaten Pati …… 53
B. Pendapat Tokoh Adat dan Ulama tentang Praktik Pembagian Waris Anak Ruju di
Desa Dukuhseti Kabupaten Pati …………………………………………….. 58
C. Filosofi Praktik Pembagian Waris Anak Ruju di Desa Dukuhseti Kabupaten Pati
……………………………………………………………………………….. 62
D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Pembagian Waris Anak Ruju di desa
Dukuhseti Kabupaten Pati …………………………………………………... 63
BAB V PENUTUP ………………………………………………………………….. 70
A. Kesimpulan …………………………………………………………………. 70
B. Saran ………………………………………………………………………… 71
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………... 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………………………..
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perputaran kehidupan manusia dari lahir sampai mati begitu banyak
menyajikan hal yang sangat beragam. Terlebih diakhir kehidupan manusia, ada
begitu banyak hal yang harus diselesaikan, mengenai masalah yang bersifat
duniawi, salah satunya ialah mengenai masalah kewarisan. Waris sendiri pada
dasarnya merupakan satu hal dasar yang sangat perlu untuk dipelajari, mengingat
bahwa di dalamnya selain ada aturan-aturan hukum Agama, Undang-Undang
(KUHper) juga ada hukum Adat yang harus di dalami.
Pluralisme hukum di Indonesia sendiri pada umumnya berlaku bermacam-
macam hukum perdata, di antaranya hukum perdata eropa (KUHPer), hukum
Adat, dan Hukum Islam. Hal ini disebabkan karena berdasarkan pasal 163 IS,
penduduk Hindia Belanda digolongkan menjadi golongan Eropa, Bumi Putera
dan Timur Asing. Dan berdasarkan pasal 131 IS, kepada masing-masing golongan
diberlakukan hukum perdata yang berbeda.1
Selanjutnya hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab Fiqih disebut
Faraid adalah hukum kewarisan yang menjadi pedoman umat Islam dalam
menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal. Beberapa
istilah kewarisan dalam literatur yakni hukum Islam seperti faraidh, fiqh mawaris
dan hukm al waris.2
Sumber-sumber hukum ilmu Faraidh/waris di dalam Islam adalah Al-
Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Ijtihad atau Qiyas. Sedangkan sebab-
sebab mewariskan yang disepakati ialah pertama, (kekerabatan), (pernikahan),
Wala (tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak), terakhir ketika
seorang muslim meninggal dunia akan tetapi tidak memiliki ahli waris sama
1 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta : Literata, 2010), h. 2
2 Destri Budi Nugraheni/ Haniah Ilhami. Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2014), h. 1
2
sekali, maka harta peningalan tersebut diserahkan ke Baitul Mal.3 Begitpun rukun
Waris, Al-Muwarrits (pewaris atau orang meningalkan harta waris), Al-Warits
(orang yang mempunyai hak untuk menerima waris), Al-Mauruts (harta benda
yang menjadi warisan).
Negara-negara Islam dan/atau negara-negara berpenduduk mayoritas
Muslim, umumnya telah memiliki undang-undang yang mengatur hukum
kewarisan(faraid) sebagai bagian dari hukum keluarga secara utuh dan
menyeluruh. Akibatnya, hukum waris terutama terkait dengan tehnik
pembagiannya dilakukan secara tradisional dalam pengertian tidak melalui
lembaga-lembaga resmi pemerintah melainkan banyak juga yang dilakukan secara
diam-diam melalui tokoh-tokoh personal tertentu terutama yang dianggap
mengerti hukum Islam dalam hal ini hukum Faraidh.4
Sebagai contoh di Arab, pada masa jaihilyah pembagian harta warisan,
oleh orang-orang jahiliyah sangat berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah
diwarisakan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang berlaku kala
itu, bahwa anak yang belum dewasa, atau kaum perempuan tidak berhak
mendapat dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Anak-anak yang
belum dewasa dan kaum perempuan dianggap tidak pantas menerima warisan.
Bahkan mereka beranggapan bahwa janda dari orang yang meninggal itu
dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari ayahnya ke anaknya.5
Kenyataanya dalam kewarisan di Arab sendiri terdapat pergerseran aturan
kewarisan, yaitu dalam masyrakat Arab Jahiliyyah dan masyrakat Islam, setelah
datangnya wahyu Illahi. Perbedaan ini terletak pada pembagian ahli waris dan
pembagiannya. Jika pada masyarakat Arab pra Islam atau Jahiliyyah, perempuan
3 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azar Mesir, oleh Addys Aldizar,
Dan Faturrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), Cet. I. h. 4 4 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2013), h. 17-18 5 Madani, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2014),
Cet. I. h. 16
3
sama sekali tidak mendapatkan harta waris, maka setelah datangnya Islam,
perempuan mendapatkan hak warisnya.6
Di Indonesia sendiri dalam praktik pembagian warisnya untuk golongan
masyrakat non muslim, mereka tunduk kepada hukum adatnya masing-masing di
sana juga dipengaruhi oleh unsur-unsur agama dan kepercayaan. Begitupun juga
terhadap golongan eropa, dan yang dipersamakan dengan mereka, aturan tentang
hukum waris ini aspirasinya separuhnya diserahkan kepada hukum perdata
(Burgelijk Wetboek).7
Pemberlakuan hukum Islam bagi masyarakat Indonesia, terlebih
khususnya dibidang waris tercantum dalam UU No.7 tahun 1989 jo. UU No.3
tahun 2006 jo. UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Yang mana Pada
Pasal 49 berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang: Perkawinan, Warisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,
Infaq, Shadaqah, dan Ekonomi Syariah.
Tradisi pembagian waris Islam yang demikian secara umum dan
keseluruhan tentu tidaklah menjadi masalah dan tidak perlu dipermasalahkan
mengingat implementasi hukum kewarisan Islam yang sesungguhnya itu
sebagaimana dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan. Dan pada
akhirnya memang terletak pada kesadaran hukum keluarga muslim itu sendiri.
Apalagi terkait hukum keluarga yang tidak harus selalu dan selamanya bergantung
pada pihak lain termasuk ulil amri (pemerintah). Dengan meninjau uraian kalimat
itu, maka dapat dipahami bahwa peraturan hukum warisan di Indonesia terdiri dari
tiga macam yaitu, hukum Islam, hukum adat, dan terakhir ialah hukum Burgelijk
Wetboek.8
6 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh,(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 3. h. 6
7 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 13
8 Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya,
2006), Cet. 4 h. 5
4
Pembagian kewarisan adat di Indonesia telah dikenal dengan tiga praktik
dalam sistem pembagian warisnya berdasarkan sistem kekeluargaanya. Pertama,
ialah sistem kekeluargaan Patrilineal. Kedua, sistem kekeluargaan Matrilineal,
dan, Ketiga sistem kekeluargaan Parental atau Bilateral. Dalam sistem
kekeluargaan patrilineal bahwasanya sistem ini menarik keturunan laki-laki saja
yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang meninggal dunia,
sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewarisi. Sistem ini mayoritas
dianut oleh suku batak, Mandailing, dan Karo. Sedangkan sistem kekeluargaan
Matrilenial berlaku sebaliknya, yakni menarik garis keturunan dari pihak ibu yang
dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek
beserta saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan. Terakhir sistem
kekeluargaan Parental atau kekerabatan, dalam sistem ini menarik garis keturunan
dari kedua belah pihak orang tua, yaitu dari garis bapak maupun dari ibu. Sistem
ini mayoritas dianut oleh banyak daerah, misalnya Jawa, Madura, Sumatra Timur,
Riau, Aceh, Sumatra Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi Ternate dan
Lombok.9
Dengan adanya penjelasan di atas, sudah barang tentu, Islam sebagai
agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia bisa mengakomodirnya.
Karena, ketika sistem hukum adat di atas secara terbuka bertentangan langsung
terhadap hukum-hukum Islam, bukan tidak mungkin hal itu nantinya akan
berdampak terjadinya gesekan-gesekan di tengah masyrakat. Untuk menghindari
hal itu, sudah barang tentu keluwesan serta relativitas hukum Islam dibutuhkan
dalam menjawabnya.
Sebagai contoh, salah satu keberagaman praktik sistem hukum waris adat,
yang ada di desa Dukuhseti Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Mayoritas masayarakatnya dalam mempraktikan sistem aturan kewarisan berbeda
dengan praktik sistem warisan pada umumnya. Mengenai masalah pembagian,
perbedaan dasarnya terletak pada praktik pembagian harta warisnya. Dimana,
ketika ada pewaris meninggalkan harta waris. Maka, sebagai praktik
9 Elfrida Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 35-40
5
pembagiannya, yakni berupa rumah utama (rumah pusaka) lebih ditimpakan atau
diwariskan kepada anak terakhir (ruju). Sehingga, ketika ada seorang pewaris
meninggalkan harta berupa rumah utama akan tetapi (pewaris) mempunyai
keturunan lebih dari satu, maka harta berupa rumah pusaka tersebut secara
langsung akan jatuh kepada anak ruju tanpa mempertimbangkan bagaimana
nantinya bagian harta waris bagi ahli waris yang lain. Hal ini tentunya sangat
menarik, mengingat tata cara sistem pembagian harta waris yang seolah-olah
hanya berpihak kepada anak terakhir (ruju). Dimana dalam bentuk pembagiannya
tidak berdasarkan hukum yang telah berlaku, melainkan atas adat atau
kepercayaan mereka.
Maka berdasarkan latar belakang masalah yang ada, penyusun tertarik
untuk membahas lebih lanjut terkait dengan sistem kewarisan adat di desa
Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, yang di beri judul : Praktik
Pembagian Waris Anak Ruju Dalam Masyarakat Desa Dukuhseti Kabupaten
Pati.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana praktik pembagian waris anak ruju dalam masyarakat desa
Dukuhseti, Kabupaten Pati?
2. Bagaimana pendapat tokoh dan ulama’ terkait praktik pembagian waris
anak ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti, Kabupaten Pati?
3. Bagaimana filosofi Praktik pembagian waris anak ruju dalam masyarakat
desa Dukuseti, Kabupaten Pati?
4. Apa faktor yang melatarbelakangi praktik pembagian waris anak ruju
dalam masyarakat desa Dukuhseti, Kabupaten Pati?
5. Bagaimana konsep keadilan terkait praktik Pembagian waris anak ruju
dalam masyarakat desa Dukuseti,Kabupaten Pati?
6. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik pembagian waris anak
ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti Kabupaten Pati
6
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik pembagian waris anak ruju dalam masyarakat desa
Dukuhseti Kabupaten Pati
2. Bagaimana pendapat tokoh adat dan ulama terkait praktik pembagian
waris anak ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti Kabupaten Pati
3. Bagaimana Filosofi praktik pembagian waris anak ruju dalam masyarakat
desa Dukuhseti Kabupaten Pati
4. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik pembagian waris anak
ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti Kabupaten Pati
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui praktik pembagian waris anak ruju dalam
masyarakat desa Dukuhseti, Kabupaten Pati?
b. Untuk mengetahui pendapat tokoh dan ulama terkait praktik
pembagian waris anak ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti,
Kabupaten Pati?
c. Untuk mengetahui filosofi praktik pembagian waris anak ruju
dalam masyarakat desa Dukuhseti, Kabupaten Pati?
d. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik
pembagian waris anak ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti,
Kabupaten Pati?
2. Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat membawa manfaat dan
kegunaan sebagai berikut:
a. Bagi ilmu pengetahuan
Memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu pengetahuan
serta pemikiran yang dapat menjadi wujud kontribusi positif serta
dedikasi terhadap ilmu pengetahuan.
b. Bagi masyarakat
7
Memberikan informasi lebih lanjut mengenai praktik pembagian
waris anak ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti, Kabupaten
Pati?
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian menggunakan meotode field research (penelitian
lapangan)10
yakni pencarian dan pengambilan data secara langsung di
lapangan. Dalam penelitian ini data primer dicari di lokasi penelitian,
data dari hasil wawancara, dengan tokoh dan masyarakat yang
mengetahui praktik pembagian waris anak ruju dalam masyarakat desa
Dukuhseti, Kabupaten Pati.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan normative.
Pendekatan ini berdasarkan kepada norma agama untuk melihat
sesuatu hal itu baik atau buruk.
3. Lokasi Penelitian
Desa Dukuhseti, Kabupaten Pati
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok :
a. Data Primer, dalam penelitian ini adalah data dari hasil wawancara,
dengan tokoh dan masyarakat yang mengetahui praktik pembagian
waris anak ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti, Kabupaten Pati
ini.11
b. Data sekunder, berupa data yang diperoleh dari sumber yang telah
ada,12
yakni dari buku-buku desa serta dokumen yang ada
kaitannya dengan masalah yang sedang di teliti.
5. Sifat Penelitian
10
John W. Creswel, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Edisi Ketiga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013), h. 264 11
Anselm Streauss Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Offset,
1997), h.128 12 Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, h. 129
8
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik.13
Di dalam deskriptif analitik
ini penyusun mengumpulkan data yang valid melalui sumber-sumber
yang terpercaya. Selanjutnya hasil penelitian ini di analisis sedemikian
rupa sehingga didapatkan permasalahan yang berhubungan dengan
hukum keluarga, khususnya mengenai praktik pembagian waris anak
ruju dalam masyarakat desa Dukuhseti, Kabupaten Pati.
6. Tehnik Pengumpulan Data
a. Interview (Wawancara)
Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara oleh
beberapa tokoh serta ulama masyarakat yang dianggap mengetahui
praktik pembagian waris anak ruju dalam masyarakat desa
Dukuhseti, Kabupaten Pati.
b. Dokumentasi
Dalam melaksanakan metode dokumentasi ini, peneliti akan
menelusuri tulisan-tulisan terkait yang dianggap berkaitan
langsung dengan tema yang di bahas.
7. Analisis Data
Penyusun menggunakan analisis kualitatif dalam menganalisis data-
data yang diperoleh dari berbagai sumber.
F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian
terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Achmad Fahmi Ramadhan (Pelaksanaan Hukum Kewarisan di
Perkampungan Budaya Betawi Srengseng Sawah Jakarta
Selatan/2014). Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang
pembagian waris di Perkampungan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwasanya laki-laki bisa
mendapatkan sama rata bagiannya dengan anak perempuan, bahkan
bisa saja anak perempuan lebih besar. Begitupun berlaku sebaliknya,
13
Moh. Nazir, Metode Penelitian, cet. III, (Jakarta: Ghalila Indonesia), 1998.h. 63
9
selanjutnya faktor kedekatan orangtua kepada anak bisa terjadi anak
perempuan lebih besar dari saudara laki-laki 1/3 anak perempuan 2/3
anak laki-laki, kedua berdasarkan pendidikan anak yang lebih mapan
lebih kecil bagian warisan dibandingkan kepada anak yang
pendidikannya rendah. Hal ini cukup berbeda dengan praktik
pembagian waris yang dilakukan di desa Dukuhseti, dimana dalam hal
perbedaan pembagian besar kecilnya harta warisan bukan diukur dari
seberapa tinggi kedudukan atau pendidikan ahli waris itu, melainkan
lebih ke faktor anak terakhir (ruju).
2. Winda Nur Fadhila (Praktik dan Sistem Kewarisan Adat Sunda (Studi
Kasus pada Masyarakat Desa Andamui Kecamatan Ciwaru Kabupaten
Kuningan)/2017). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang sistem
pembagian waris di Desa Andamui Kecamatan Ciwaru, dimana
pembagian warisan di Desa Andamui sangatlah berbeda dengan
pembagian warisan menurut Islam, dimana bagian laki-laki dua
banding satu bagian perempuan. akan tetapi, pada kenyataannya
masyarakat Desa Andamui sendiri melaksanakan pembagian warisan
yang sama rata dimana laki-laki dan perempuan mendapatkan jumlah
harta warisan yang sama. Namun ada perbedaan antara anak
perempuan dengan anak laki-laki, perbedaannya terletak dalam
masalah pembagian rumah pusaka. Apabila yang menjadi anak
perempuan maka rumah pusaka secara keseluruhan diberikan kepada
anak perempuan. Perbedaan dasar dalam kasus ini terletak pada jenis
kelamin ahli waris, dimana jika Praktik adat di sunda wiwitan
pembagian rumah pusaka nya harus ke perempuan, sedangkan praktik
pembagian waris di desa Dukuhseti lebih kepada keduanya, baik itu
laki-laki maupun perempuan.
3. Siti Azizah (Pembagian Waris Masyarakat Betawi di Tinjau Dari
Hukum Islam “Study Kasus pada Masyarakat Lebak Bulus Kecamatan
Cilandak, Jakarta Selatan /2009). Dalam skripsi ini penulis membahas
tentang pembagian waris di desa Lebak Bulus. Dimana pada hukum
10
waris betawi pelaksanaanya atas dasar kesepakatan keluarga dan tidak
ada aturan khusus yang mengatur aturan tersebut. Sehingga pada
umumnya masyarakat setuju bahwa aturan pembagian waris pada
dasarnya masih berpegang teguh pada aturan-aturan kepercayaan
masyarakat sekitar. Perbedaannya dalam kasus waris yang ada di desa
Dukuhseti ialah kesepakatan itu sifatnya bisa berubah-rubah, akan
tetapi mutlak terhadap aturan dimana anak terakhir (ruju) merupakan
pemilik sebuah harta pusaka.
G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan skripsi ini mengarah dan mudah dipahami, penulis perlu
menuangkan sistematika penulisannya sebagai berikut:
Bab I : Meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Pemelitian, Metode Penelitian, Review Studi
Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.
Bab II : Membahas tentang kewarisan tentang kewarisan secara
umum dalam Islam. Meliputi Pengertian Waris, dan dasar
Hukum waris, asas-asas kewarisan Islam, pewaris, harta
warisan, ahli waris, dan penghalang waris.
Bab III : Membahas mengenai gamabarn umum Desa Dukuhseti
Kabupaten Pati, serta sistem Pembagian Waris di Desa
Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati.
Bab IV : Analisis mengenai aturan sistem Pembagian Waris di Desa
Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati. Meliputi
harta yang diwariskan, waktu pembagian warisan, serta
faktor pendukung lainnya yang berkaitan dengan
pembagian warisan.
Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
12
BAB II
HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS ADAT, DAN KONSEP
KEADILAN
A. Hukum Waris Islam
1. Pengertian
Dalam kewarisan Islam ada beberapa peyebutan perbedaan istilah,
seperti Fiqh mawaris, ilmu Faraid, dan hukum kewarisan Islam.
Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang
dijadikan titik utama dalam pembahasan.1
Mawaris, yang merupakan jama‟ dari kata Mirats Demikian pula
irts, wirts, wiratsah, dan turat.2. Istilah fiqh mawaris, disebut juga ilmu
faraid yang merupakan bentuk jamak dari kata tunggal faridah yang
artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di
dalam Al-Qur‟an. Secara etimologis, mawaris adalah bentuk jama‟ dari
kata tunggal mirats yang artinya warisan. Sedangkan secara terminology,
hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang
permpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris
menentukan siapa yang berhak menjadi ahl waris berapa bagian masing-
masing.
Para fuqoha dalam ilmu ini juga telah menjelaskan dengan
pengertian“ suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang
menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang
di terima oleh tiap-tiap waris dan cara membagikannya”.3
Dalam hukum kewarisan Islam juga dikenal ada ketentuan-
ketentuan siapa yang termasuk ahli waris, yang berhak menerima warisan,
1 Moh, Muhibbin & Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
2009), h. 5
2 T.M. Hasby Ash- Shiddiqy, Fiqih Mawarits (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), h 17
3 Hasby Ash- Shiddiqy, Fiqih Mawarits h.18
13
dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya.4 Demikian halnya syarat-
syarat menerima pusaka, sebab-sebab menerima pusaka, penghalang-
penghalang dari penerima pusaka, hak-hak yang berpautan dengan harta
peninggalan, serta tertibnya hak-hak itu dalam kita menunaikannya, kapan
seseorang menjadi warits, dan kapan tidak menjadi warits, bagian dari
masing-masing warits dari harta peninggalan dan cara mebagikannya di
antara para warits, serta hukum-hukum dan masalah-masalah yang
berpautan dengan harta pusaka adalah semuanya itu dari pembahasan fiqih
mawaris.
Jadi, Fiqih Mawarits/ hukum waris Islam adalah suatu disiplin
ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses
pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta
berapa bagian masing-masing.5
2. Sumber Hukum Waris Islam
Sumber-sumber hukum waris Islam adalah Al-Qur‟an, As-Sunnah,
Ijma‟ para Ulama‟ serta Ijtihad atau Qiyas.6
a. Al-Qur‟an
Ada tiga ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga ayat
tersebut terdapat dalam QS. An-Nisa‟(4) ayat 11, 12, dan 176.
ق ٱحت ه ساء ف فا و حظ ٱلخ خ وش زه ذو أ ف ٱلله صى
ا حذ ى لت حذج فا ٱصف ئ وات ا تشن ه حخا ف
ذس ٱس
ج ٱخ ا فل سحۥ أت ذ ۥ ى ه ذ فا ه ۥ ا تشن ئ وا ه
ءاتاؤو د صهح ص تا أ تعذ ذس ٱس ج فل ۥ ئخ فا وا
ل تذس أتاؤو ا ع وا ه ٱلله ئ ٱلله فعا فشضح ألشب ى أ
ا (١١ ) اساء: حى
4 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada 1995), h. 1
5 Muhibbin & Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 7
6 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah
Addys Aldizar & Faturrachman, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 14
14
Artinya: ”Allah mensyariatkan bagimu tentang (bagimu tentang
pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang
anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuannya
itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta, dan untuk
dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. An-Nisa‟(4): 11)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt, menetapkan
pembagian warisan pada tiga kelompok, yaitu anak laki-laki, anak
perempuan,serta campuran anak laki-laki dan perempuan. Dan jika
orang yang mati hanya meninggakan seseorang atau beberapa
orang anak laki-laki dan bagian harta waris mereka belum
ditentukan, hal ini menunjukan bahwa mereka mewarisi seluruh
harta peninggalan si mayit secara ta‟shib bagian lunak atau mereka
mewarisi secara bersama-sama.7
Adapun bila si mayit hanya meinggalkan satu anak orang
perempuan (tidak mewarisi bersama dengan saudaranya yang laki-
laki), bagian harta waris untuk anak perempuan itu adalah separuh.
Sedangkan bila anak perempuan tersebut dua orang atau lebih
(tidak mewarisi bersama dengan saudara-saudaranya yang laki-
laki), bagian harta waris mereka adalah dua pertiga. Namun jika si
mayit meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan serta
bagian harta waris mereka belum ditentukan, ,mereka mewarisi
seluruh harta peninggalan si mayit secara ta‟shib, yaitu dengan
7 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah
Addys Aldizar & Faturrachman, h. 15
15
ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak
perempuan.
Sementara itu, untuk persoalan ushul leluhur dari bapak
atau ibu si mayit seperti keterangan ayat di atas, disebutkan dalam
dua keadaan : pertama, si mayit mempunyai keturunan baik laki-
laki maupun perempuan, dan kedua si mayit tidak mempunyai
keturunan sama sekali.
Pada keadaan pertama, (memiliki keturunan) warisan bagi
tiap-tiap ushul (bapak atau ibu) adalah seperenam bagian. Sisanya
untuk furu‟ si mayit jika mereka laki-laki semua atau laki-laki dan
perempuan, karena dalam persoalan ini mereka (furu‟ dari si mayit)
jika mereka laki-laki semua dan perempuan, karena dalam
persoalan ini mereka (furu‟ dari si mayit) menjadi ashabah. Dalam
hal ini, Ashabah furu‟ (sisa ahli waris dari keturunan si mayit)
adalah lebih utama daripada ashabah ushul (sisa ahli waris dari
orag tua) karena furu‟ dua perempuan atau lebih bersama-sama
dengan ibu.
Pada keadaan kedua (tidak memiliki keturunan) jika si
mayit yang mewariskan tidak mempunyai furu‟ dan yang
mewariskanya adalah ushul. Allah telah menetapkan bagi warisan
bagi ibu adalah sepertiga, dan tidak ada bagian bagi ayah. Bagian
untuk ayah adalah sisa harta peninggalan si mayit, kecuali jika si
mayit mempunyai saudara, dua orang atau lebih. Dalam hal ini,
Allah telah menentukan bagian si ibu adalah seperenam, sedangkan
sisannya untuk ayah.
Sementara warisan untuk suami-istri, anak-anak ibu
(saudara bagi seibu bagi si mayit) laki-laki maupun perempuan,
terdapat dalam firman Allah swt.,
تع ٱش ذ فى ه ذ فا وا ه ى ه ئ ه جى ا تشن أص صف ى
ى ئ ه ا تشوت ه تع ه ٱش د تا أ صهح ص تعذ ا تشو ه
16
ذ هى تا أ صهح تص تعذ ا تشوت ه ه ٱخ ذ ف ى فا وا
ا حذ أخت فى ۥ أخ أ شأج ٱ ح أ سث و سج ئ وا د
ا أو ذس فا وا صهح صى ٱس تعذ ج ششواء ف ٱخ ه ف ر خش
ح ع ٱلله ٱلله صهح ضاس ش غ د (١١ ) اساء: تا أ
Artinya: “Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh si istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudahdibayar utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak,
maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan
sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara seorang laki-laki
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi, jika saudara-sauadar seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). Allah menetapkan sebagian itu sebagai syariat yang benar-
benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.” (QS. An-Nisa‟(4): 12).8
Kandungan pertama ayat di atas Allah swt., menyebutkan
harta waris bagi suami istri, dan yang kedua adalah Allah swt.
Menyebutkan warisan bagi saudara seibu dari si mayit, Allah swt
telah menjelaskan bahwa bagi suami ada dua keadaan : pertama,
jika istrinya tidak meninggalkan satu pun anak baik laki-laki
mauupun perempuan) bagian suami adalah (setengah). Kedua jika
istri meninggalkan salah satu anak atau maksudnya suami mewarisi
bersama-sama dengan anak yang dapat mewarisi dari istri, maka
suami mendapatkan bagian (seperempat). Demikianlah Allah swt
menjelaskan bahwasanya istri mempunyai dua keadaan: pertama,
jika istri tidak mewarisi bersama-sama dengan anaknya, bagian
8Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys
Aldizar & Faturrachman, h. 17
17
tetapuntuknya adalah (seperempat). Kedua, jika istri mewarisi
bersama-sama dengan anaknya dari sang suami, istri mendapatkan
bagian tetap (seperdelapan). Adapun untuk saudara-saudara seibu,
Allah swt., menjelaskan bahwa mereka mewarisi dengan cara
kalalah orang yangtidak mempunyai anak atau orang tua, yakni
bagian untuk satu orang ditetapkan (seperenam). Sedangkan jika
dua orang atau lebih, bagian mereka adalah (sepertiga) secara
bersama-sama, yaitu tidak ada yang diutamakan dari pihak laki-
laki maupun perempuan. Untuk hal ini hanya Allah yang
mengtahui hubungan mereka dengan si mayit melalui jalur si ibu
atau seorang wanita. Dalam kasus ini bukan jalur bapak yang
digunakan yang menjadikan pihak lelaki diutamakan dari pihak
perempuan.9
Sementara untuk saudara laki-laki atau perempuan, Allah swt.,
berfirman:
ش ٱ ح ئ ى ف ٱ فتى ٱلله ۥ أخت فا ستفته ل ذ س ۥ ؤا ه
ا ه خا ا ٱخ ف ذ فا واتا ٱحت ا ى ه شحا ئ ه ا تشن صف
خ وش ساء فزه جال ج س ا ئخ ئ وا أ تشن ى ٱلله ث حظ ٱلخ
ء ع ش تى ٱلله (١٧١)اساء: تضا
Artinya: “Mereka meminta padamu (tentang kalalah).katakanlah,
“Allah memberi fatwa padamu tentang kalalah,(yaitu) jika seorang
meninggal dunia,dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mewarisi (seluruh harta perempuan), jika dia tidak
mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduannya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS. An-Nisa‟(4)
: 176).
9 Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar & Faturrachman, h. 18
18
Pada ayat di atas, Allah swt., menyebutkan bagian warisan
untuk saudara laki-laki dan saudara parempuan yang tidak seibu, di
mana keadaan mereka terbagi menjadi tiga : Pertama, jika yang
mewarisi laki-laki semua, mereka mewarisi secara bersama-sama
tanpa ketentuan bagian yang tetap. Kedua, jika yang mewarisi
perempuan dan dia sendirian, dia akan mendapatkan bagian
setengah (seperdua). Sedangkan bila ahli waris itu dua orang anak
perempuan atau lebih, bagian mereka adalah (dua per tiga). Ketiga,
jika yang mewarisi harta peninggalan adalah anak laki-laki dan
perempuan, mereka dapat mewarisi dengan ketetapan anak laki-
laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
b. As-Sunnah Nabi
Ada beberapa Hadist yang menerangkan tentang pembagian
harta waris, antara lain :
عثهاس ات ع أت ص ع لاي لاي سسي للاه سه ع حما هى للاه أ
د ى سج ل ف ا تم ا ف فشاعض تأ وش )سا تخشي س( ا
Artinya: “Ibnu Abbas r.a meriwayatakan bahwa Nabi saw,
bersabda, “Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang
berhak. Sesudah itu, sisanya, yang lebih utama adalah orang laki-
laki” (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadist tersebut telah memberikan penjelasan bagi ahli
waris, jika harta waris masih tersisa setelah dibagikan menurut
ketentuan tetap, sisanya dibagikan kepada „ashabah sababiyyah‟
(kerabat yang disebabkan jasa-jasanya karena membebaskan
budak). Dengan kata lain, semua dalil-dalil di atas telah
menjelaskan pembagian harta waris secara fardh „bagian tetap dan
ta‟sib „bagian lunak‟. Terdapat juga penjelasan untuk pelaksanaan
pembagian harta waris yang terkait dengan tidak ditemukannya
salah satu ahli waris dzawi al-furudh, ahli waris yang sudah
ditetapkan bagiannya dari kerabat maupun dari ashabah, yaitu
19
harta peninggalan tersebut harus dialihkan kepada kerabat-kerabat
lainnya, yang bukan golongan dzawi al-furudh dan ashabah. Maka
sudah jelas, Dengan gabungan antara Hadist di atas dengan ayat-
ayat Al-Qur‟an yang telah diuraikan sebelumnya, cukup kiranya
bagi kita bahwa dalil-dalil tersebut telah mencakup keseluruhan
hukum waris
c. Ijtihad Para Ulama‟
Al-Qur‟an dan Al-Hadist sudah memberikan ketentuan
terperinci mengenai pembagian harta warisan, akan tetapi dalam
beberapa hal masih diperlukan adaya ijtihad, yakni terhadap hal-
hal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadist.10
Misalnya, mengani bagian warisan banci (Waria), pengalihan harta
warisan yang tidak habis terbagi, demikian halnya mengenai
bagian ibu ketika bersama-sama dengan ayah dan suami atau
istri.11
Jadi Inti dari ijtima‟ ini ialah bagaimana para sahabat,
tabi‟in, generasi pascasahabat, tabi‟it, dan atau generasi pasca-
tabi‟in. Ber-ijma‟ atau sepakat mengenai legalitas ilmu faraidh dan
tidak ada seorangpun yang menyalahi ijtima‟/ kesepakatan
tersebut.
3. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam memiliki kandungan lima asas yang
memperlihatakan bentuk karakteristik dari kewarisan itu sendiri, di
antaranya;
a. Asas Ijbari
Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam
mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal
dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
10
Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar & Faturrachman, h. 20 11
Muhibbin & Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 22
20
ketentuan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris
atau ahli waris. 12
Kata Ijbari sendiri secara leksikal mengandung arti
paksaan, djalankannya asas ini dalam hukum kewarisan Islam
karena mengadung arti bahwa peralihan harta tersebut terjadi
dengan sendirinya menurut ketentuan Allah swt., tanpa tergantung
pada pihak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya,
sehingga tidak ada satu kekuasaan manusiapun dapat
mengubahnya dengan cara memasukan orang lain atau
mengeluarkan orang yang berhak.13
Asas Ijbari dalam hulum kewarisan Islam, tidak dalam arti
yang memberatkan ahli waris. Misalnya andai kata pewaris
mempunyai utang yang lebih besar daripada warisan yang
ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani membayar semua utang
pewaris itu. Berapapun utangnya pewaris, utang itu hanya akan
dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut.
kalaupun ahli waris hendak membayar sisa utang, pembayaran itu
bukan sesuatu kewajiban yang diletakan oleh hukum, melainkan
karena dorongan moralitas ahli waris yang baik.
b. Asas Bilateral
Asas Bilateral dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung
arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua
arah (dua belah pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat,
yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat
garis keturunan perempuan.14
Pada prinsipnya asas ini menegaskan bahwa jenis kelamin
bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi. Asas
12
Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya
Bakti. 1999), h. 3 13
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 18 14
Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. h. 20
21
biletral ini secara nyata dapat dilihat dalam firman Allah swt.,
dalam Qs. An-Nisa‟ ayat 7 :
ا ذا ا تشن ٱ ه ساء صة ٱللشت ذا ا تشن ٱ ه جاي صة ش
فشضا ه وخش صثا أ ه ا ل ه ٱللشت (٧:اساء)
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian hak dari harta
peninggalan ibu, bapakdan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapakdan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
(Qs. An-Nisa‟(4) ayat 7)
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang laki-laki berhak
mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya,
begitu juga perempuan berhak menerima warisan dari pihak
ayahnya dan juga dari pihak ibunya.
Qs. An-Nisa‟ ayat 11 :
ه صى ف ق ٱحت ه ساء ف فا و حظ ٱلخ خ وش زه ذو أ ف ٱلله
ا ه ذس ا ٱس حذ ى لت حذج فا ٱصف ئ وات ا تشن حخا
ۥ تشن ئ وا فا وا
ج ٱخ ا فل سحۥ أت ذ ۥ ى ه ذ فا ه ۥ
ل أتاؤو ءاتاؤو د صهح ص تا أ تعذ ذس ٱس ج فل ئخ
ألشب أ ا تذس ا حى ع وا ه ٱلله ئ ٱلله فعا فشضح ى
(١١)اساء:
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan, (karena kewajiban
laki-laki lebih berat daripada perempuan, seperti kewajiban
membayar maskawin dan memberi nafkah), dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua (dua atau lebih sesuai dengan
yang diamalkan Nabi) maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan, jika anak perempuannya itu seorang saja maka
ia memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
22
(pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Qs. An-Nisa‟(4) ayat 11)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Anak perempuan berhak
menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang
didapat oleh anak laki-laki dengan perbandingan seorang anak laki-
laki menerima sebanyak yang didapat dua orang perempuan.15
Sementara itu ibu berhak menerima warisan dari anaknya
baik laki-laki maupun perempuan, begitu juga ayah sebagai ahli
waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya baik
laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bila pewaris
meninggalkan anak.
Qs. An-Nisa ayat 12 :
تع ٱش ذ فى ه ذ فا وا ه ى ه ئ ه جى ا تشن أص صف ى
ت صهح ص تعذ ا تشو ه ئ ه ا تشوت ه تع ه ٱش د ا أ
صهح تص تعذ ا تشوت ه ه ٱخ ذ ف ى ذ فا وا ى هى
شأج ٱ ح أ سث و سج ئ وا د حذ تا أ أخت فى ۥ أخ أ
صهح تعذ ج ششواء ف ٱخ ه ف ر ا أوخش ذس فا وا ا ٱس
ح ع ٱلله ٱلله صهح ضاس ش غ د (١١ ساء:) ا صى تا أ
Artinya: “Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh siistri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudahdibayar utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak,
maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan
sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-
15
Muhibbin & Abdul, Hukum Kewarisan Islam, h. 25
23
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara seorang laki-laki
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi, jika saudara-sauadar seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). Allah menetapkan sebagian itu sebagai syariat yang benar-
benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.” (Qs. An-Nisa‟ ayat 12)
Ayat di atas menjelaskan apabila pewaris adalah seorang
anak laki-laki yang tidak memiliki pewaris langsung (anak atau
ayah), maka saudara laki-laki dan atau perempuannya berhak
menerima bagian dari harta tersebut.
Apabila pewaris seorang perempuan yang tidak memiliki
ahli waris langsung (anak atau ayah), maka saudara laki-laki dan
perempuannya berhakmenerima harta tersebut.
Qs. An-Nisa‟ ayat 176 :
ۥ أخت فا ذ س ۥ شؤا ه ٱ ح ئ ى ف ٱ فتى ٱلله ستفته ل
ا ى ه شحا ئ ه ا تشن ا صف ه خا ا ٱخ ف ذ فا واتا ٱحت
أ ى ٱلله ث حظ ٱلخ خ وش ساء فزه جال ج س ا ئخ ئ وا تشن
ء ع ش تى ٱلله (١٧١ ) اساء: تضا
Artinya: “Mereka meminta padamu (tentang kalalah).katakanlah,
“Allah memberi fatwa padamu tentang kalalah,(yaitu) jika seorang
meninggal dunia,dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mewarisi (seluruh harta perempuan), jika dia tidak
mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduannya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (An-Nisa‟ ayat
176)
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang laki-laki yang
tidak mempunyai keturunan (keatas dan kebawah) sedangkan ia
24
mempunyai sausara laki-laki dan perempuan, maka saudaranya itu
berhak menerima warisannya.
Demikian juga seorang perempuan yang tidak mempunyai
keturunan (keatas dan kebawah) sedangkan ia mempunyai saudara
laki-laki dan perempuan, maka saudaranya itu berhak menerima
warisanya.
c. Asas Individual
Hukum kewarisan Islam juga mengajarkan asas kewarisan
secara individual, dalam artian bahwa harta warisan dibagikan
pada masing-masing ahli waris untuk memungkinkan dimiliki
secara perorangan. Dalam pelaksanaannya masing-masing ahli
waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terikat dengan ahli
waris yang lain. Keseluruhan harta warisan di nyatakan dengan
nilai tertentu yang kemudian jumplah tersebut dibagikan kepada
setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
bagiannya masing-masing.
Asas individual dalam kewarisan ini dalam kaitan aturanya
telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an, surat An-Nisa‟ ayat 7 :
ذا ا تشن ٱ ه ساء صة ٱللشت ذا ا تشن ٱ ه جاي صة ش
فشضا ه وخش صثا أ ه ا ل ه ٱللشت (٧ ) اساء:
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian hak dari harta
peninggalan ibu, bapakdan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapakdan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
(Qs. An-Nisa‟ ayat 7)
Ayat di atas secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki
maupun perempuan berhak mendapatkan harta warisan dari orang
tua dan atau kerabat dekatnya, terlepas dari jumplah harta tersebut,
dengan bagian yang telah ditentukan.
25
Adapun maksud dari pengertian berhak atas warisan bukan
berarti warisan itu harus dibagi-bagikan. Bisa saja warisan itu
tidak dibagi-bagikan dengan syarat dikehendaki oleh ahli waris
yang bersangkutan, atau keadaan yang menghendakinya. Misalnya,
seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri
dan anak-anak yang masih kecil.
Apapun alasanya, dalam keadaan seperti ini, keadaan
menghendaki warisan tidak dibagi-bagikan. Tidak dibagikanya
warisan ini demi kemaslahatan para ahli waris itu sendiri. Dan
yang lebih penting tidak dibagi-bagikannya warisan itu tidak
berarti menghapuskan hak waris mewarisi para ahli waris yang
bersangkutan.16
d. Asas Keadilan Berimbang
Kata adil merupakan bahasa Indonesia yang berasal
darikata al-„adlu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata adil
mempunyai arti, sama berat; tidak berat sebelah; serta tidak
memihak. Lalu hubunganya dengan masalah kewarisan, kata
tersebut dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan
keperluan kegunaanya.
Sebagaimana laki-laki dan perempuan mendapatkan hak
yang sama kuat untuk mendapatkan harta warisan. Hal ini secara
jelas telah disebutkan dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 7 yang
menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal
mendapatkan warisan. Dimana asas ini mengandung arti harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara
yang diperoleh seorang dengan kewajiban yang harus
ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak
16
Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. h. 28
26
yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing
(kelak) dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.17
Oleh karenanya, perbedaan bagian yang diterima oleh
masing-masing ahli waris harus berimbang dengan perbedaan
tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga. seorang laki-
laki menjadi penanggung jawab keluarga, mencukupi keperluan
hidup dan istrinya. Tanggung jawab itu merupakan kewajiban
agama yang harus dilaksankannya, terlepas dari persoalan apakah
istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau
tidak.
e. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah
kewarisan hanya berlaku setelah orang yang meninggal dunia
mempunyai harta warisan. Sebagaimana asas ini berarti bahwa
harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (keluarga)
dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.
Juga bahwa berarti segala bentuk peralihan harta seseorang yang
masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah ia
mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut hukum
Islam.18
4. Pewaris, Ahli Waris, Harta Warisan, Dan Penghalang Waris
Kewarisan Islam
a. Pewaris
Pewaris atau Al-Muwarits, yaitu adalah orang yang meninggal
dunia atau mati,baik mati hakiky maupun hukmy suatu kematian
yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab,
kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau
tidak.
17
Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, Juz II, (Cairo : Mustafa Al-Babiy), h. 109 18
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 28
27
b. Ahli Waris
Yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai
hak mewarisi meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
c. Harta Warisan
Yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama‟ faraidh
menyebutnya dengan istilah mirats atau irts. Termasuk dalam
kategori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin
dapat diwariskannya.19
d. Penghalang Waris
Beberapa sebab halangan untuk menerima warisan atau disebut
mawani al-irts.20
Adapun sebab-sebab itu adalah sebagai berikut :
1). Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
pewaris meyebabkan tidak dapatnya mewarisi harta
peninggalan orang yang diwariskannya.
Dasar hukum yang melarang si pembunuh mewarisi harta
peninggalan si mati/ korban pembunuhannya adalah sabda
Nabi SAW :
) س ات م س ه س ع للا ىص للا ي س س ل شاث ش ا ا
( اسائى اذاس لطى
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada waris
sedikitpun bagi pembunuh” (HR. An-Nasai dan Darulqadni).
2). Berlainan Agama
Berlainan Agama yang menjadi penghalang mewarisi
adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarits salah satunya
beragama Islam, sedang yang lain bukan beragama Islam.
Misalnya, ahli waris beragama Islam, sedangkan muwaristnya
19
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Terjemah Addys
Aldizar & Faturrachman, h. 28 20
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 24
28
beragama Kristen atau sebaliknya. Demikian ini merupakan
kesepakatan mayoritas para Ulama‟.21
Adapun dasar Hukumnya adalah Hadist Nabi SAW :
ىه ص ه ث اه ه ا ش ف ى ا ث ش ل ش ف ى ا س ا ث ش ل ل ه س ع للاه
) س اثخشس( س ا
Artinya: “Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan
orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Kemudian diperkuat dalam Firman Allah dalam surat An-
Nisa‟ ayat 141;
ى فا وا تى تشتهص ئ ٱهز عى ه ى ا أ لا ٱلله فتح
فٱلله إ ٱ عى ى ر ع ستح ا أ صة لا فش ى وا
ع فش ى ٱلله جع ح م ٱ ى ت سثل حى إ ى ٱ
(١٤١ )اساء:
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu
jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang
mukmin” (An-Nisa‟(4) ayat 141)
3). Perbudakan
Perbudakan menjadi salah satu penghalang mewarisi,
bukan karena status kemanusiaanya, tetapi karena status formalnya
sebagai hamba sahaya atau budak. Mayoritas ulama‟ sepakat
bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena
dianggap tidak cakap melakukan perbuatan Hukum.22
Hal ini ditegaskan dalam firman Allah swt., surat Al-Nahl ayat 75;
21 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 25 22 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 26
29
ا ها سصلا حس صل سه ء وا له مذس عى ش ه خل عثذا ضشب ٱلله
ذ ح ٱ ۥ ست شا ج ا سش فك ف ل ع أوخش ت ) لله
(٧٧ اح:
Artinya: “Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang
budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatu apapun,.” (Qs. Al-Nahl (16) ayat
75)
Ayat di atas menjelaskan bahwasanya seorang hamba
sahaya secara yurudis dipandang tidak cakap melakukan
perbuatan Hukum. Hak-hak kebendaanya berada pada tuannya.
Oleh karena itu dia tidak bisa menerima warisan dari tuannya.
Ahmad Al-Jurjawy mengemukakan bahwa budak itu tidak
dapat mewarisi harta peninggalan tuannya apabila tuannya itu
meninggal. Karena budak sendiri itu statusnya sebagai harta
milik tuannya, sebagai harta tentu tidak bisa memiliki, tetapi
dimiliki dan yang memiliki hanyalah yang berstatus sebagai
tuannya.
4). Berlainan Negara
Pegertian Negara adalah suatu wilayah yang ditempati
suatu bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala
negara tersendiri, dan memiliki kedaulatan sendiri dan tidak
ada ikatan dengan negara asing. Adapun berlainan negara yang
menjadi sebab penghalang mewarisi adalah apabila dia ahli
waris dan muwarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda
kriterianya seperti tersebut di atas. Sedangkan apabila dua
negara sama-sama muslim, menurut para ulama‟ tidak menjadi
peghalang mewarisi.23
23 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 28
30
Adapun dasar Hukum yang dijadikan landasan
mayoritas para ulama‟ anatara muwaris dan ahli waris yang
berbeda negara yang sama-sama muslim tidak menjadi sebab
terhalang haknya mewarisi adalah sabda Nabi SAW :
س ى ا م ت اا د ئ للا ي س اس ت م ف . اس اه ف ي ت م ات م ا ا ف ف س ت ا
و ه ئ ل ي ت م ا اي ا ت ف ات م اا ذ )س ث ح ص ت ى ل ا ع ص ش ح ا
اثخش(
Artinya: “Apabila dua orang muslim seorang (mengajak
perang saudaranya) dengan membawa pedang, maka
keduannya telah beradu di tepi jahannam. Apabila salah
seorang membunuh kawannya, kedua-duanya sama-sama
masuk neraka. Kami bertanya, “Ya Rasulullah SAW ini adalah
untuk si pembunuh, lalu bagaimana si terbunuh? Beliau
menjawab: “Sesungguhnya ia juga menginginkan membunuh
kawannya” (HR. Imam Bukhari).
Jadi yang lebih prinsip tampaknya adalah berbeda soal agama
antara ahli waris dan muwaritsnya. Meskipun berbeda negara,
jika tidak ada perbedaan Agama, maka tidak ada halangan.24
B. Hukum Waris Adat
1. Pengertian
Hukum kewarisan adat secara sosiokultural
mempresentasikan suatu corak hukum yang khas dan unik, yang
mencerminkan cara berfikir dan spirit trasional Indonesia yang
didasarkan atas budaya kolektif dan komunal. Rasa mementingkan
serta mengutamakan keluarga, dalam hal ini terkait kebersamaan,
kegotongroyongan, musyawarah, dan mufakat dalam membagi
warisan, merupakan kode-kode kultural yang mewarnai hukum
kewarisan adat. Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
24
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 32
31
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses
penerusan/ pengoperan dan peralihan/ perpindahan harta kekayaan
materil dan non-materil dari generasi ke generasi.25
Menurut Soepomo, bahwa Hukum Waris adat memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan
manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai
dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi
akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting
bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya hal itu tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan
harta benda dan harta bukan benda tersebut.26
2. Dasar Hukum Waris Adat
Ada tiga hal dasar di dalam hukum waris adat yang berlaku di
Indonesia, yakni ;
a. Dasar Filosofis
Dasar berlakunya hukum adat ditinjau dari segi filosofis
merupakan hukum adat yang hidup, tumbuh dan berkembang
di Indonesia sesuai dengan perkembangan jaman yang bersifat
luwes, fleksibel dan sesuai dengan nilai-nilai pancasila seperti
yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 hanya menciptkan
pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari
UUD RI. Pokok-pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita
hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Penegasan pancasila sebagai sumber tertib hukum
sangat berarti bagi hukum adat, karena hukum adat berakar
25
Imam Sudiyat, Hukum Adat sketsa asas (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta 1981), hal.
151 26
Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
1983), h. 259
32
pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan
hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan
mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia.27
b. Dasar Sosiologis
Hukum yang berlaku disuatu negara merupakan suatu
sistem, artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan,
merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-
bagian atau unsur yang berkaitan satu sama lainnya. 28
Di dalam sistem hukum yang ada di Indonesia juga dapat
dibedakan menjadi dua, yakni hukum tertulis dan hukum yang
tidak tertulis. Hukum yang tertulis diberlakukan dengan cara
diundangkan dalam lembaran negara, sedangkan hukum adat
sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur
atau upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam
artian dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela karena
memang itu miliknya.
c. Dasar Yuridis
Dasar yuridis berlakunya hukum adat di Indonesia, pada
dasarnya dipengaruhi oleh tiga periode, pertama yakni periode
jaman penjajahan kolonial belanda, dan kedua ialah periode
penjajahan jaman jepang. Dimana hukum adat dirumuskan
berbeda dalam kedua pasal 75 RR dan 131 IS. 29
. Sedangkan
periode ketiga yakni dipengaruhi oleh Jaman Kemerdekaan
Indonesia, di mana dasar pokoknya ialah dalam pasal 18 b ayat
(2) Undang Undang Dasar NRI 1945 yang menyatakan Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai sengan
27
Wingnjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta : Gunung
Agung, 1994), h. 14 28
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar). (Yogyakarta : Liberty,
1986), h. 100 29
Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat. (Bandung : Alumni 1991), h. 17
33
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur
dalam Undang-Undang.
3. Sistem Waris Adat
Hukum waris adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan,
yaitu;30
a. Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem
kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara
perorangan. Ciri sistem kewarisan individual adalah harta
peninggalan dibagi-bagikan kepemilikiannya kepada para
waris. Contoh (Batak, Jawa, Sulawesi, dan lainnya)
b. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara
kolektif bersama-sama mewaisi harta peninggalan yang
tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-
masing ahli waris. Ciri sistem kewarisan kolektif ini yaitu
harta peninggalan diteruskan dan dialihkan kepemilikannya
dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penguasaanya dan pemilikannya, setiap ahli
waris berhak untuk mengusahakan atau mendapatkan hasil
dari harta peninggalan itu. Contoh ( Minang Kabau).31
c. Sistem kewarisan mayorat yaitu apabila anaklaki-laki tertua
pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung
(keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal. Contoh
(lampung). Sedangkan apabila anak perempuan tertua ada
pada saat pewaris meinggal, adalah ahli waris tunggal.
Sistem pewarisan mayorat pada dasarnya merupakan sistem
sistem pewarisan kolektif juga, hanya saja penerusan dan
pengalihan penguasaan atas dasar harta yang tidak terbagi-
bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas
sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga yang
30
Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, h. 260 31 Soerjono Soekamto, h. 260
34
menggantikan kedudukan ayah atau ibu. Contoh (pada
masyarakat di tanah Semendo).32
Apabila sistem kewarisan dihubungkan dengan prinsip
garis keturunan/ geneologis, maka dengan demikian “sifat
individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum
kewarisan tidak perlu langsung menunjuk kepada bentuk
masyarakat dimana hukum kewarisan itu berlaku. Sebab kewarisan
yang individual bukan saja dapat ditemui di dalam masyarakat
yang bilateral, akan tetapi juga sebaliknya, yakni di dalam
masyarakat yang patrilineal. Seperti di tanah Batak dan lainnya.
Di dalam persekutuan Geneologis ini sejatinya juga
terdapat tiga tipologi penting yang menandai sistem kekeluargaan
dan kekerabatan masyarakat adat, yaitu patrilenial (kebapaan),
matrilineal (keibuan), dan parental (bapak-ibu).33
a. Sistem patrilenial, keturunan diambil dari garis bapak,
yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi
penentu dalam kerturunan anak cucu. Dalam hal ini
perempuan tidak tidak menjadi darah yang
menghubungkan saluran keluarga. Wanita yang kawin
dengan laki-laki ikut dengan sauminya dan anaknya
menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian ini terjadi di
Nias, Gayo, Batak dan lainnya.
b. Sistem matrilenial, adalah keturunan yang berasal dari ibu,
sehingga yang menjadi ukuran hanyalahpertalian darah
dari garis ibu yang menjadi ukuran dan merupakan suatu
persekutuan hukum. Perempuan yang kawin tetap tinggal
dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan
32 Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, h. 261 33
Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Indonesia. (Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup, 2013), h. 57
35
anak-anak mereka masuk dalam keturunan ibunya. Sistem
pertalian ini terjadi di Minangkabau, Kerinci, Samendo,
dan lainnya.
c. Sistem parental, adalah pertalian darah dilihat dari kedua
sisi, bapak dan ibu serta nenek moyang. Kedua keturunan
sama-sama penting bagi persekutuan ini. Keturunan
berdasarkan bapak ibu ini meruakan garis keturunan yang
paling tua umurnya dan paling tua di Indonesia. Sistem
pertalian ini terjadi di Jawa.
Sejatinya dalam hukum waris adat juga dikenal dua macam garis
pokok terkait untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris.
a. Pertama Garis Pokok Keutamaan dimana ialah garis
hukum yang menentukan urutan keutamaan di antara
golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan
pengertian bahwa garis golongan yang satu lebih utama
daripada golongan yang lain, (keturunan pewaris, orang
tua pewaris, dan lainnya).
b. Kedua ialah Garis Pokok Pergantian dimana ialah garis
hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara
orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu tampil
sebagai ahli waris, (orang yang tidak mempunyai
hubungan dengan pewaris).34
4. Pewaris, Ahli Waris, dan Harta Warisan.
a. Pewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggalkan harta warisan.
b. Ahli Waris
Ahli Waris ialah seseorang atau beberapa orang yang
merupakan penerima harta warisan.
34 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Indonesia, h. 58
36
c. Harta Warisan
Yaitu harta benda yang menjadi warisan. Termasuk dalam
kategori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin
dapat diwariskannya.
Dalam hukum waris adat juga mengenal tiga sistem tak
terbaginya harta benda waris35
, yakni ;
1. Harta kekayaan tak terbagi karena tidak mungkin
dibagi dan kelompok atau kerabat mempunyai hak
bersama, biasanya di bawah pimpinan mamak
kepala ahli waris (minangkabau). Dan apabila harta
kerabat semacam itu terbengkalai : “guntung”
(minangkabau) karena kerabatnya mati, maka harta
tersebut dapat jatuh pada kerabat-kerabat yang karib
atau bila mereka tidak ada, kepada masyarakat.
2. Harta peninggalan itu mungkin juga tidak terbagi
karena yang berhak mewarisi hanyalah satu anak,
yaitu anak laki-laki tertua (kebanyakan di Bali),
anak perempuan tertua (sebagian) dan kalau tidak
ada, anak laki-laki bungsu (suku samendo dan suku
dayak landak). Dan setelah sepeninggal ayahnya
anak laki=laki sulung menempati kedudukannya, ia
menjadi pemilik harta kekayaan orang tuanya
dengan catatan berkewajiban memelihara saudara-
saudara laki-laki dan perempuannya dalam
menegakan rumah tangga mereka.
3. Kemungkinan harta peninggalan itu tidak terbagi
karena sesudah meninggalnya si pemilik, hartanya
dijadikan harta keluarga sebagai kesatuan tak
35
Imam Sudiyat, Hukum Adat sketsa asas (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta 1981), h.
156
37
terbagi. Dasarnya ialah pikiran bahwa yang
diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi
kebutuhan dan keinginan materil keluarga yang
bersangkutan. Dan bila pemimpin keluarga
meninggal, maka dipandang wajar bahwa harta
(keluarga) nya demi kepentingan keluarganya tetap
utuh di bawah kepemimpinan orang lain (anak laki-
laki tertua dan jandanya) sampai pada waktunya
nanti dibagi antara para warganya, selaku dasar
materiil pula bagi keluarga yang mereka dirikan
masing-masing.
Di pihak lain, pemilikan bersama atas suatu harta kekayaan
tak terbagi itu dalam pikiran “participerend cosmisch” (integrasi
kedalam alam semesta) merupakan tujuan utama yang rill terhadap
untuk mempertahankan pertalian kerabat itu sendiri.36
C. Konsep Keadilan Waris
1. Keadilan
Kata adil merupakan bahasa Indonesia yang berasal
darikata al-„adlu. Hubunganya dengan masalah kewarisan, ialah
kata tersebut dapat dartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan
keperluan kegunaanya.37
Pembahasan tentang beberapa teori keadilan yakni dalam
konteks Islam dan pancasila sangatlah beragam, dari satu mazhab
pemikiran ke mazhab pemikiran yang lain, dari satu pakar ke pakar
yang lain, meskipun dalam mazhab pemikiran yang sama. Oleh
karena itu, penting kiranya dilacak pergulatan teoritis Islam tentang
keadilan dan bagaimana standar keadilan itu didefinisikan sesuai
36
Imam Sudiyat, Hukum Adat sketsa asas h. 157 37
Imam Sudiyat, Hukum Adat sketsa asas h. 109
38
dengan suatu tatanan sosial dan nilai-nilai yang pada akhirnya akan
menentukan kesadaran publik.38
a. Keadilan dalam Islam
Secara garis besar Islam mengajarkan dua macam keadilan,
yakni keadilan Mutlak dan keadilan yang hanya diketahui oleh
Alquran dan Hadist.
1). Pertama keadilan mutlak yang mempunyai definisi
keadilan yang tidak terikat dan bersifat universal. Dalam
pengertian ini, manusia membutuhkan fungsi akal untuk
mengetahui keadilan itu. Adil dalam hal ini lebih dekat
pada pengertian “kebaikan atau kebenaran”. Karena tidak
terikat mutlak, hukum mengenai keadilan dalam penegrtian
ini tidak pernah dihapus sepanjang masa, selalu ada dari
satu syariat (agama) ke syariat lain.39
2). Kedua yakni keadilan yang hanya diketahui Alquran
dan Hadist, mempunyai definisi keadilan sebagaimana yang
hanya tercantum dalam kitab-kitab suci. Dalam perjalanan
sejarah agama Allah SWT keadilan ini dapat mengalami
perubahan atau penghapusan hukum karena adanya ajaran
agama yang baru.40
Selanjutnya dalam hal teori keadilan Islam yang lain, juga
telah dijelaskan beberapa kategori-kategori. Majidd Khaduri
mengelompokkan beberapa kategori mengenai keadilan, seperti
keadilan politik, teologi, filosofis, etis, legal dan keadilan sosial.41
Adapun penjelasan teorinya sebagai berikut :
38
Zakiyuddin baidhawy “Islam melawan kapitalisme, (Yogyakarta : Resist book, 2007)
h. 13 39
Mukhtar Zamzami, h. 142 40
Mukhtar Zamzami h. 143 41
Zakiyuddin baidhawy “Islam melawan kapitalisme, h. 18
39
1) Keadilan politik, dimana adalah keadilan yang sesuai
dengan kehendak penguasa dan seringkali dipandang
sebagai tujuan prinsipil suatu negara.
2) Keadilan teologis, dimana adalah keadilan yang sesuai
dengan doktrin yang ditetapkan oleh para teolog
sehubungan dengan sifat kehendak (iraddah) Allah
SWT dan Esensinya.
3) Keadilan filosofis, dimana adalah keadilan yang
didefinisikan tidak sesuai wahyu, tetapi dengan akal
budi. Keadilan filosofis adalah keadilan rasional dan
secara esensial bersifat naturalistik.
4) Keadilan etis, dimana adalah keadilan yang sesuai
dengan kebajikan-kebajikan tertinggi yang menentukan
standard tingkah laku manusia.
5) Keadilan legal, dimana adalah keadilan yang sesuai
dengan hukum. Dalam Islam, hukum jalin dan menjalin
denganagama dan keduanya dipandang sebagai
pernyataan kehendak Illahi dan Keadilan.
6) Keadilan sosial, dimana adalah keadilan yang sesuai
dengan norma-norma dan nilai-nilait, terlepas dari
norma-norma dan nilai-nilai yang mengejewatahkan
dalam hukum, dan pubik dipersiapkan untuk menerima
melalui adat kebiasaan, sifat pasif atau alasan-alasan
lainnya.
Mengenai beberapa hal terkait keadilan di atas Abdul
Ghofur Ansori juga berpendapat bahwa keadilan melalui jalur
hukum dalam Islam berawal dari dua segi dan mengarah kepada
keadilan dua segi pula. Dikatakan berawal dari dua segi karena
pedoman Isalm berupa Alquran dan Hadist di satu segi harus
40
mampu menyatu dengan prinsip keadilan secara umum menurut
pandangan manusia di lain segi.
b. Keadilan menurut Hukum Pancasila
Menurut kajian Slamet Sutrisno, pancasila sudah
merupakan sebuah filsafat, karena terbukti sebagai sebuah ideologi
pancasila tidak bersumber dari Hellenisme yang melahirkan paham
Sekuler atau dari Semitisme yang memunculkan ideologi Islam.
Terbukti sudah melahirkan sebuah ideologi, maka pemikiran
pancasila itu pastilah sebuah filsafat. Sebagai suatu sistem filsafat,
Pancasila mempunyai pandangan tersediri tentang pengertian
keadilan. Selain itu, dihubungkan pancasila sebagai cita hukum
yang dianataranya berfungsi sebagai penetapan ukuran untuk
menilai adil tidaknya suatu hukum positif, maka jelas sekali bahwa
Pnacasila mempunyai keadilan teori tersendiri.42
Slamet Sutrisno menyebut adanya tiga nilai utama dalam
pancasila, yakni nilai spritualitas, nilai keadilan dan nilai
kekeluargaan. Dimana nilai spiritualitas yang merupakan
fundamental moral pancasila dan oleh karena itu keadilan menurut
filsafat pancasila adalah keadilan yang langsung dijiwai oleh
spiritualitas peradaban dan keadaban.
2. Konsep Keadilan Waris Islam
Sebagaimana para Ulama klasik maupun kontemporer,
yang telah lama bersuara dan mencoba berusaha bahkan lebih dari
itu pula bekerja keras untuk mencari tahu dan memberikan
jawaban tentang rahasia apa atau rahasia dibalik kebijakan Allah
SWT. Melipat gandakan bagian kewarisan kaum laki-laki terutama
42
Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideoligi Pancasila, (Yogyakarta : Andi, 2006) h. 156
41
anak dan suami daripada perempuan dan istri. Sesekali antara ayah
dan ibu atau antara saudara laki-laki dengan saudara perempuan.43
a. Muhammad Abduh dan al- Sayyid Rasyid Ridha, dua
orang alim berkebangsaan mesir yang masyur disebut-
sebut sebagai pelopor pembaharuan hukum Islam,
antara lain menegaskan bahwa di antara hikmah
penetapan bagian waris laki-laki itu sama dengan
bagian dua orang perempuan, adalah karena laki-laki itu
sama dengan bagian dua orang perempuan, adalah
karena laki-laki selain memerlukan nafkah untuk
dirinya sendiri, juga memerlukan nafkah untuk istri dan/
atau anak/anak-anaknya (keluarganya). Di sinilah
terletak alasanya mengapa laki-laki harus mendapatkan
dua bagian. Sedangkan perempuan paling sedikit dia
hanya akan menafkahi dirinya sendiri, dan kalau dia
menikah maka nafkah kehidupannya akan dijamin oleh
suaminya. Itulah pula maka ada ungkapan yang
mengatakan bahkan kebagian kewarisan terhadap
perempuan akan tetap saja lebih banyak dibandingkan
dengan bagian laki-laki tatkala dihubungkan dengan
ihkwal penafkahan. Masih kata Rasyid Ridha, alasan
yang dikemukakan segelintir ahli tafsiryang
menghubungkan bagian waris perempuan Cuma
separuh bagian laki-laki atas dasar karena akal pikiran
orang perempuan itu lebih rendah dan dengan demikian
kelemahan syahwatnya, itu merupakan pendapat yang
lemah dan harus ditolak. Sejatinya yang dimaksudkan
dengan kata lemah di sini ialah terkait dengan
kemampuan fisik dimana kaum perempuan secara fisik
43
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), h. 109
42
pada umumnya memang tidak sekuat kebanyakan kaum
laki-laki. Termasuk dalam hal melakukan usaha
ekonomi terutama dalam sektor-sektor industry
yanglenih mengandalkan kekuatan dan stamina yang
prima daripada sekedar mengandalakan kemampuan
akal dan pikiran atau keterampilan lainya.44
b. Moh. Zamro Muda dan Mohn. Ridzuan Awang, secara
lebih rinci menyebutkan rasionalitas pembagian waris
laki-laki yang menyamai dua bagian waris
perempuan.45
sebagai berikut :
1). Seseorang perempuan dari segi pembelanjaan dan
keperluanya sudah terjamin, di mana nafkahnya wajib
ke atas anak lelakinya, bapaknya, saudara laki-lakinya
ataukerabatnya yang lain.
2). Seseorang perempuan tidak dipertanggungjawabkan
atau dibebankan untuk memberi nafkah kepada
siapapun, sebaliknya laki-laki telah diwajibkan
memberi nafkah kepada ahli keluarga kaum kerabatnya.
3). Pembelanjaan atau nafkah seseorang laki-laki adalah
lebih banyak dan komitmenya terhadap harta adalah
lebih tinggi. Oleh karena itu, keperluan seseorang laki-
laki kepada harta adalah lebih besar berbanding dengan
keperluan perempuan.
4). Seseorang laki-laki juga diwajibkan membayar
mahar kepada istri dan dipertanggungjawabkan
memberi nafkah tempat tinggal, makanan dan pakaian
untuk istri dan anak-anak.
44
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks. h. 110 45
Muhammad Amin Suma h. 110
43
5). Seseorang laki-laki juga diwajibkan menyediakan
perbelanjaan pendidikan dan pelajaran kepada anak-
anak dan perobatan untuk istri dan anak-anak.
Benar bahwa dalam kewarisan hukum Islam juga
menyisakan sedikit persoalan (masalah) terutama menyangkut
masalah kalalah, al-gharawain dan lainnya termasuk keberadaan
pasangan rumah tangga yang mengandalkan pada pihak istri;
namun demikian, selain kasusnya yang terbilang sedikit atau
bahkan terbatas, juga terutama sistem peneyelesainya yang sudah
memiliki sistem yurisprudensi hukum yang sangat lama, kaya dan
teruji mulai dari jaman sahabat sampai sekarang. Lebih dari itu,
kemungkinan penyamaan pembagian waris atau bahkan tidak
tertutup bagian anak perempuan/ istri lebih besar dari anak laki-
laki atau suami, tetap dimungkinkan melalui jalur hukum yang
harus diselesaikan melalui jalur pengadilan. Dengan kalimat lain,
kedepan tetap terbuka kemungkinan perubahan dan modifikasi
hukum kewarisan di masa yang akan datang, yang tentu harus
dilakukan dengan penuhkonsisten dan tanggung jawab. Terutama
oleh para hakim dan otoritas yang berwenang untuk melakukan
ijtihad dalam menyelesaikan kasus hukum yang berkeadilan.46
3. Konsep Keadilan Waris Adat
Hukum adat merupakan merupakan hukum yang tidak
tertulis yang hidup dan berkembang sejak dahulu serta sudah
berakar di dalam masyarakat, walaupun tidak tertulis namun
hukum adat mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja yang
melanggarnya. Norma-norma dan nilai-nilai yang ada di dalam
46
Muhammad Amin Suma h. 112
44
hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh masyarakat
adat.47
Hukum adat bagi masyarakat berfungsi sebagai neraca
yang dapat menimbang kadar baik atau buruk, salah atau benar,
patut atau tidak patut, pantas atau tidak pantas atas suatu perbuatan
atau peristiwa dalam masyarakat. Ini berarti bahwa hukum adat
dengan sejumplah aturannya yang tidak tertulis pada hakikatnya, di
dalamnya sudah diatur dan disepakati bagaimana seorang
bertindak, berprilaku baik dalam lingkungan sosial
masyarakatnya.48
Mengenai keadilan yang ada di dalam pelaksanaan hukum
waris adat sangat jelas terlihat dari salah satu Asas Keadilanya,
dimana asas keadilan ini berdasarkan atas status, kedudukan dan
jasa, sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan,
baik bagian sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli
waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga
pewaris.
Sehingga jika disinggung Terkait soal dalam keadilan
warisannya, hukum adat adalah adil menurut orang yang tahu pada
hukum adat, dan patut menurut orang yang tahu pada nilai sesuatu.
Oleh karenanya proses peradilan yang demikian setiap
keputusanya akan mudah dapat dipahami dan diterima oleh pihak-
pihak yang bersengketa serta tidak memberi peluang atau bibit/
konflik yang dimana konflik tersebut merupakan konflik yang
berkepanjangan.49
47
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. (Jakarta : PT.
Kharisma Putra Utama, 2017), h. 87 48
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang h. 88 49
Suriyaman Mustari Pide h. 89
47
BAB III
DESA DUKUHSETI
A. Gambaran Umum Desa Dukuhseti
Desa Dukuhseti merupakan salah satu desa yang berada di
kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati, letak desa Dukuhseti adalah 10 km
dari pusat pemerintah kecamatan, serta 35 km dari ibu kota Kabupaten Pati
kearah utara, dengan ketinggian tertinggi 72 meter, terendah 2 meter, dan
rata-rata 12.67 meter di atas permukaan air laut dengan suhu maksimum
dan minimum berkisar antara 330C dan 18
0C dengan dataran sampai
perbukitan. Adapun batas-batas wilayah desa Dukuhseti adalah sebagai
berikut :
a. Sebelah Utara : Berbatasan dengan desa Kembang
b. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Laut Jawa
c. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Alasdowo
d. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Hutan Negara
Desa Dukuhseti memiliki luas 776, 97 Ha, wilayah tersebut berupa
tanah sawah, tanah kering, tanah keperluan fasilitas umum, tanah hutan,
tanah pertambakan dan tanah perkebunan. Jenis tanahnya yaitu Red
Yellow Mediteran, Latosol, dan Regosol.1
Pembagian wilayah administrasi desa Dukuhseti terdiri dari 2
Dusun, yakni dusun Selempung dan Dukuhseti, dari kedua dusun itu
terdapat 4 Rukun Warga (RW), 36 Rukun Tetangga (RT).Adapun nama-
nama dusun di desa Dukuhseti beserta pembagiannya adalah sebagai
berikut :
1Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, hal. 4.
48
Tabel 1
Data jumlah administrasi desa Dukuhseti
No Dusun RW RT
1 Dukuhseti 3 42
2 Selempung 1 35
JUMLAH 4 53
Sumber : BPS Kabupaten Pati
Dalam hal kependudukan, khususnya untuk mengetahui klasifikasi
penduduk yang menetap di Kecamatan Dukuhseti, penulis akan
menyajikan data kependudukan dalam bentuk kelas, sehingga akan mudah
memahaminya.
Menurut hasil SP 2010, jumlah penduduk laki-laki desa Dukuhseti
bisa dilihat dari table berikut:
Table 2
Data jumlah penduduk desa Dukuhseti
No Jenis Kelamin Jumlah Keterangan
1 Laki-laki 4.922 Jiwa
2 Perempuan 4.752 Jiwa
JUMLAH 9.674 Jiwa
Sumber : Data desa Dukuhseti
Dari keterangan table di atas dapat dilihat bahwa jumlah
keseluruhan penduduk desa Dukuhseti menurut hasil Sensus Penduduk
pada 2013 adalah 9. 674 jiwa dari 3. 280 KK.
B. Demografi Desa Dukuhseti
1. Adat Istiadat dan Kebudayaan
Menurut hasil pengamatan dan wawancara kepada tokoh
masyarakat di desa Dukuhseti, bahwasanya mayoritas masyarakat desa
Dukuhseti masih banyak menerapkan adat istiadat dan kebudayaan yang
mengikuti kebiasaan nenek moyang yang tetap dilestarikan secara turun
temurun.2
2 Wawancara dengan Bapak Abdul Jalil, selaku salah satu sesepuh di desa Dukuhseti,
pada Tanggal 09 Oktober 2018.
49
Adapun adat istiadat yang berkembang di masyarakat Kecamatan
Dukuhseti adalah sebagai berikut:
a. Kondangan, yaitu upacara yang dilaksanakan oleh seseorang dalam
peringatan hari-hari istimewa yang diadakan oleh salah seorang
anggota masyarakat.
b. Sedekah laut, yaitu upacara pembuangan sesaji di tengah laut berupa,
nasi, bunga, dan lainnya. Upacara ini dilaksanakan setiap setahun
sekali, tepatnya pada bulan Asyuro sebagai bentuk rasa syukur kepada
Allah atas rizki serta melimpahnya hasil laut.
c. Sedekah bumi, yaitu upacara yang dilakukan setahun sekali, upacara
ini biasanya dilaksanakan berbarengan dengan Haul tokoh masyarakat
setempat. Tujuan dari upacara ini adalah bentuk rasa syukur atas hasil
bumi, yang didapat oleh massyarakat setempat.
d. Upacara tingkepan bayi, yaitu selamatan bayi yang masih di dalam
kandungan yang sudah menginjak usia tujuh bulan, dengan harapan
agar bayi itu lahir dengan selamat.
e. Sepasar bayi, yaitu kegiatan yang dilakukan pasca bayi sudah
menginjak usia satu bulan setelah dilahirkan.
f. Upacara mendirikan rumah, adalah upacara dalam rangka mendirikan
rumah dengan menggunakan sesaji padi, kelapa, jagung dan lainnya.
Dengan harapan dalam rumah tersebut tercipta keharmonisan rumah
tangga, serta keselamatan dari awal hingga akhir pembangunan rumah.
g. Upacara pendaan, yaitu upacara untuk memperingati hari kematian
seseorang yang diisi dengan bacaan yasinan, tahlil dan membaca al-
Qur’an.3 Serta masih ada adat istiadat yang lain di Kecamatan
Dukuhseti.
2. Keadaan sosiologis
Masyarakat desa Dukuhseti apabila ditinjau dari aspek
kepemelukan terhadap agama, mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
3Wawancara dengan Bapak Abdul Jalil, pada Tanggal 09 Oktober 2018.
50
Di samping itu, sarana tempat untuk beribadah yang ada di desa Dukuhseti
sampai saat ini juga masih berkembang dengan pesat.
Banyaknya tempat ibadah merupakan salah satu cerminan jumlah
pemeluk agama di desa Dukuhseti. Pada tempat peribadatan di desa
Dukuhseti didominasi oleh tempat-tempat ibadah umat Islam, bangunan
Masjid dan Musholla adalah tempat peribadatan yang paling dominan di
desa Dukuhseti, karena mayoritas penduduknya beragama Islam.
3. Kondisi Keagmaan dan Pendidikan
Untuk menunjang aktifitas keberagamaan dan pemberdayaan
masyarakat desa Dukuhseti diperlukan adanya sarana tempat ibadah yang
memadai seperti masjid, mushola sebagai sarana sekaligus tempat untuk
melakukan aktifitas keagamaan yang merupakan representasi dari satu
bentuk keyakinan masyarakat terhadap Tuhan. Keberadaan masjid dan
mushola mempunyai arti penting sebagai sarana untuk meningkatkan
kegiatan serta ketaqwaan peribadatan kepada Allah SWT. Melalui
berbagai kegiatan, seperti pengajian, TPQ, dan lainya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa aktivitas sosial keagamaan masyarakat Dukuhseti
bersifat aktif dan dinamis dengan dibuktikan adanya program-program
yang diselenggarakan dalam masyarakat seperti pengajian. Adapun bentuk
kegiatan-kegiatan yang bernuansa keagamaan yang rutin dilaksanakan di
desa Dukuhseti antara lain:
a. Pengajian Rutin, yaitu pengajian yang diadakan secara rutin seminggu
sekali dan sebulan sekali.
b. Pengajian Umum, yaitu pengajian untuk mensyiarkan agama Islam,
baik dilaksanakan oleh kelompok masyarakat atau pun yang
dilaksanakan secara pribadi. Dalam pengajian umum ini, biasanya
dilaksanakan pada saat peringatan hari-hari besar agama, seperti
peringatan Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad saw, hari kelahiran Nabi
Muhammad saw, hari Nuzulul Qur’an, halal bi halal dan juga
peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT
RI).
51
c. Berjanjen, yaitu kegiatan yang di dalamnya merupakan penghayatan
dan pembacaan sejarah Rasulullah saw secara lengkap berupa syair
bahasa arab yang biasa dilaksanakan satu minggu sekali pada malam
senin atau malam jum’at dan pada saat kelahiran beliau yang
dilaksanakan mulai 1 Rabi’ul Awal sampai dengan 12 Rabi’ul Awal.
d. Pengajian Ruwahan, yaitu pengajian yang dilaksanakan oleh
masyarakat dalam rangka memperingati leluhur atau keluarga yang
udah meninggal dunia dengan tujuan untuk mendoakan agar arwahnya
dapat diterima disisi Allah SWT dan dapat diterima segala amal
perbuatan yang baik semasa hidupnya. Dan masih banyak kegiatan-
kegiatan yang bernuansa keislaman lainnya.4
Table 3
Data Tempat Peribadatan Desa Dukuhseti
No Jenis Jumlah Keterangan
1 Masjid 7 -
2 Musholla 36 -
3 Gereja 0 -
Sumber : Data desa Dukuhseti
Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan,
sehingga Pendidikan adalah sebuah investasi (modal) di masa yang
akan datang. Mengenai gambaran pendidikan secara garis besar, desa
Dukuhseti bisa dilihat dari table berikut:
Table 4
Data Lembaga pendidikan desa Dukuhseti
No Jenis Jumlah Keterangan
1 TK 4 -
3 SDN 5 -
4 MI 2 -
5 SMPN 1 -
4 Wawancara dengan Bapak Ali Mahfudh, selaku ketua ta’mir Masjid Baitul Qadim Desa
Dukuhseti, pada Tanggal 12 Oktober 2018
52
6 MTs 1 -
7 MA 2 -
8 SMK 2 -
Sumber : Data desa Dukuhseti dan Dinas P & K Kecamatan Dukuhseti
Sekolah-sekolah tersebut tersebar di 2 Dusun Selempung dan
Dukuhseti.
Pendidikan pada masyarakat Dukuhseti pada umunya hanya
sampai pada tingkat sekolah dasar (SD) dan SMP yang rata-rata ditempuh
oleh para orang tua. Sedangkan pemuda dan remaja banyak yang
melanjutkan pendidikan hanya pada tingkat sekolah menengah pertama
(SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), masih sangat minim
masyarakat yang sampai ke jenjang pendidikan tinggi setingkat
Universitas, karena mayoritas masyarakat desa Dukuhseti terkadang lebih
memilih pendidikan di pondok pesantren untuk tujuan pemahaman ilmu
agama yang lebih dalam. Seperti yang bisa dilihat pada table berikut:
Table 5
Data Pendidikan rata-rata masyarakat desa Dukuhseti
No Jenis pendidikan Jumlah Keterangan (%)
1 TK/RA -
2 SD/MI 3.027 ±50%
3 SMP/MTs 1.807 ±25%
4 MA/SMK 982 ±15%
5 D1/S1 - -
6 Pondok 115 ±3%
7 Non Pendidikan - ±12%
Sumber : Data desa Dukuhseti dan Dinas P & K Kecamatan Dukuhseti
Sarana dan prasarana pendidikan sudah terbilang memadai, akan
tetapi kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih sangatlah
minim, ini dapat kita lihat dari persentase lulusan pendidikan masyarakat
Dukuhseti yang mayoritas pendidikannya hanya lulusan sekolah menegah
53
pertama (SMP). Maka hal ini sangat mempengaruhi kualitas pendidikan
yang membanggakan bagi dunia pendidikan yang terdapat di desa
Dukuhseti. Dengan rendahnya kesaaran akan pentingnya pendidikan itu
sudah barang tentu hal yang akan timbul ialah tingkat pertumbuhan
penduduk dalam hal pendidikan. Sehingga dengan demikian kualitas
pendidikan sangatlah rendah dan perubahan sosial kearah yang lebih maju
sangatlah sulit untuk dicapai.
4. Tingkat Kesejahteraan
Dilihat dari mata pencaharian paling dominan masyarakat desa
Dukuhseti sebagian besar adalah sebagai petani, baik itu sebagai petani
penggarap maupun hanya sebagai buruh tani. Selain itu, masayarakat juga
berternak, seperti sapi, kerbau dan atau, ayam/itik sebagai tambahan
pendapatan rumah tangga di samping pekerjaan utamanya sebagai petani
penggarap maupun buruh tani.
Selanjutnya, bagi masyarakat yang berada di wilayah pesisir
pantai, bidang pekerjaan utamaya adalah bekerja dibidang
perikanan,seperti peternakan, ikan di tambak atau sebagian dibidang
nelayan serta industri pengolahan ikan. Akan tetapi dalam hal ini,
masyarakat Dukuhseti dalam aktivitas nelayan maupun peternakan ikan
mereka tidak bekerja di wilayah desa, akan tetapi ke desa tetangga yang
masih satu kecamatan, yakni desa Alasdowo, Banyutowo, dan Puncel yang
merupakan desa yang ada Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Selain itu, masyarakat juga ada yang menjadi Pegawai, PNS, Guru,
Pebisnis, yang rata-rata dalam bidang ini didominasi oleh masyarakat di
wilayah pusat pemerintahan desa. Seperti yang bisa dilihat pada berikut:
Table 6
Data tingkat kesejahteraan/pekerjaan masyarakat desa Dukuhseti
No Jenis Jumlah Keterngan
1 Karyawan 97 Orang
54
2 Wiraswassta 1.238 Orang
3 Petani 1.602 Orang
4 Tukang 60 Orang
5 Pensiunan 12 Orang
6 Nelayan 374 Orang
7 Peternak 100 Orang
8 Jasa 50 Orang
9 Lainnya - Orang
Sumber : Data desa Dukuhseti
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Praktik Pembagian Waris Anak Ruju di Desa Dukuhseti
Pada umumnya, masyarakat yang berada di desa Dukuhseti dalam masalah
pembagian harta warisan masih memakai sistem waris hukum adat, mereka masih
kuat dalam melestarikan adat dan budaya nenek moyangnya secara turun-
temurun. Adapun sistem kewarisan yang berlaku yaitu sistem bilateral, yang
dalam praktiknya melibatkan kedua garis keturunan antara bapak dan ibu. 1
Dimana dalam sistem pembagian harta waris di desa Dukuhseti itu dengan cara
bagian sama rata antara anak laki-laki dan perempuan. Secara mendasar dapat
dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam.
Artinya sebagaimana laki-laki, perempuan mendapatkan hak yang sama kuat
untuk mendapatkan hal warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an
surat An-Nisa ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan
dalam hak mendapatkan warisan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, maupun
usia (anak-anak, dewasa atau tua) dan atau perbedaan-perbedaan lainnya.2
Untuk cara pembagian hukum waris adat yang ada di desa Dukuhseti ada 2
kemungkinan yaitu: dengan cara bagian laki-laki dua kali lipat bagian anak
perempuan, atau dengan cara bagi antara anak laki-laki dengan anak perempuan
seimbang (sama). Dimana biasanya dalam tata cara pembagiannya dilakukan pada
saat orang tua masih hidup ataupun sudah meninggal, adapun pembagiannya
dilakukan sesuai kekeluargaan, dan saat melakukan pembagianya di tengahi oleh
aparat desa maupun tokoh adat/ orang tua.3
Mengenai masalah pembagian harta waris lainnya seperti uang, tanah, dan
yang lainnya yaitu dengan cara dibagi rata antara anak laki-laki maupun
1 Hazairin, Hukum kewarisan bilateral menurut Qur’an dan Hadist, (Jakarta: Tintamas,
1982), h. 15 2 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 28. 3 Wawancara Pribadi Dengan Sukardi, Dukuhseti 1 Desember 2018
54
perempuan, hal ini dilakukan karena bertujuan untuk mencegah timbulnya
permasalahan atau pertengkaran yang terjadi dimasa yang akan datang antara ahli
waris yang satu dengan ahli waris lainnya. Namun selain pembagian sama rata
tersebut ada satu perbedaan dalam pembagian rumah pusaka, dimana bagian
rumah pusaka sepenuhnya jatuh kepada anak ruju.4
Praktek pembagian warisan di desa Dukuhseti sangatlah berbeda dengan
pembagian warisan menurut Islam, dimana bagian laki-laki dua banding satu
bagian perempuan. Meskipun disatu sisi mayoritas masyarakatnya secara
keseluruhan pemeluk agama Islam akan tetapi dalam hal praktik pembagian
warisnya tidak serta merta menganut sistem waris Islam. Penyebabnya tentu
adalah masalah perbedaan pemahaman antara konsep waris Islam dan Adat, yang
mana mereka menganggap bahwa konsep waris adat yang selama ini mereka
yakini sudah cukup untuk di jadikan acuan dalam hal pembagian warisan. Hal ini
dapat dilihat dalam praktik pembagian warisnya, dimana pembagian waris yang
sama rata antara laki-laki dan perempuan. Namun ada satu perbedaan yakni rumah
pusaka selebihnya adalah hak anak ruju/ terakhir.5
Adapun alasan dibalik praktik pembagian waris ini lebih didasarkan pada
kebiasaan masyarakat Dukuhseti sejak dulu, dan alasan lain mengapa rumah
pusaka diwariskan kepada anak ruju tidak lain adalah karena sebab rasa kasih
sayang terhadap posisi anak terakhir, dimana masyarakat beranggapan
bahwasanya anak ruju/terakhir secara keseluruhan masih minim, baik secara
mental maupun materi, hal ini tentu saja bisa dimaklumi melihat kenyataanya
secara umum memang begitu adanya.6
Salah satu yang perlu diketahui juga bahwa pembagian waris terkadang
juga dilakukan saat orang tua masih hidup. Akan tetapi pada umumnya pembagian
harta waris dilakukan pada saat salah satu/ kedua orang tua sudah meninggal.
Pembagian warisan di desa Dukuhseti tidak berpengaruh terhadap kerukunan
4 Ruju adalah sebutan untuk anak terakhir dari suatu anggota keluarga baik laki-laki
maupun perempuan ( Wawancara pribadi dengan Bronto, Dukuhseti 5 Desember 2018) 5 Wawancara Pribadi dengan Bronto, Dukuhseti 5 Desember 2018 6 Wawancara Pribadi dengan Panijan, Dukuhseti 12 Desember 2018
55
sesama ahli waris, hal ini terlihat walaupun terdapat perbedaan dalam masalah
pembagian rumah pusaka, kerukunan ahli waris tetap terjalin, serta tidak ada
perselisihan antara sesama ahli waris.
Selain itu, di beberapa kasus juga pernah ditemui ditangguhkanya posisi
anak ruju sebagai penerima rumah pusaka, dimana rumah pusaka yang seharusnya
jatuh kepada anak ruju/terakhir justru malah jatuh kepada saudara kaka
kandungnya. Pengecualian pembagian ini lebih disebabkan karena perbedaan
waktu menikah antara kaka dan adik, dimana ketika anak ruju lebih dulu menikah
dari saudaranya, maka aturan yang berlaku adalah kepemilikan rumah pusaka
akan jatuh kepada saudara kaka kandungnya. Ini dikarenakan anggapan
masyarakat Dukuhseti, bahwa ketika orang setelah menikah ia akan ikut suami
atau istrinya, sehingga hal ini menyebabkan rumah pusaka diperuntukan kepada
calon ahli waris yang lain. Akan tetapi ada satu pengecualian lagi, yakni ketika
yang menikah adalah anak terakhir yang kebetulan adalah seorang perempuan
sedang kaka kandungnya adalah seorang laki-laki maka penanggguhan
kepemilikan rumah pusaka itu tidak berlaku, rumah pusaka tetap akan jatuh
kepada anak perempuan. Dan ini tidak berlaku pada adik kaka perempuan dengan
perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.7
Untuk lebih jelasnya mengenai praktik pembagian waris anak ruju pada
masyarakat Dukuhseti, berikut penulis uraikan beberapa kasus pembagian waris :
a. Kasus Pertama
Urip adalah anak terakhir dari 3 bersaudara, dimana sesuai posisinya
sebagai anak ruju adalah sebagai ahli waris yang berhak menempati rumah
pusaka. Menurut pengakuannya bahwasanya ia telah menempati rumah
tersebut setelah salah satu orang tuanya meninggal dunia. Pada saat itu
secara langsung ia berhak menempati rumah pusaka itu. Ia mengatakan
seolah ahli waris yang lain sudah mengerti mengenai rumah pusaka akan
jatuh kepada siapa. Urip juga menambahkan, mengenai warisan ini
dilakukan semata-mata untuk kebaikan dia dan keluarganya, karena dia
7 Wawancara Pribadi Dengan Modin Kasdi, Dukuhseti 1 Desember 2018
56
meyakini bahwa waris yang sudah berlaku selama ini sudah cukup
dijadikan dasar prmbagian waris di dalam keluarganya.
b. Kasus Kedua
Keluarga Bapak Abdul Salam, sebagai anak terakhir dari 5 bersaudara. Ia
mengatakan bahwa posisinya sebagai anak terakhir dari keluarga Mbah
Katun (Pewaris), dapat dikatakan sudah pasti akan menempati rumah
pusaka. pada saat pembagian waktu itu, keluarga besarnya sudah
menyetujui bahwasanya ia adalah ahli waris yang berhak menempati
rumah pusaka itu, selain dikarenakan posisinya sebagai anak ruju adalah
karena ahli waris yang lain (kaka kandung) sudah memiliki rumah masing-
masing. Sehingga pada waktu itu ia mengatakan bahwa pembagian harta
waris tetap dirundingkan, akan tetapi mengenai masalah rumah pusaka
keluarganya tetap mengikuti aturan waris adat, yaitu rumah pusaka
diwariskan pada anak ruju.
c. Kasus Ketiga
Ibu Rukamti adalah anak terakhir dari 2 bersaudara, anak dari Mbah
Khasan (pewaris), ini mengatakan bahwasanya tidak begitu tau mengapa
ia menempati rumah orang tuanya (Rumah Pusaka). Ia hanya menjelaskan
bahwa ia hanya ikut/ manut orang tua waktu itu. Saat itu sebelum orang
tuanya meninggal sudah mengatakan bahwa ia adalah pemilik rumah
pusaka ini. Selain saudara kandung yang sudah memiliki rumah sendiri, ia
mengakui bahwa mengapa di dalam keluarganya masih mempraktikan
waris adat ini tidak lain semata-mata hanya untuk mengikuti kebiasaan
jaman dulu. Alasanya pun cukup menarik, kebanyakan anggota keluarga
yang ada di masyarakat Dukuhseti sudah melakukanya sejak jaman
dahulu, sehingga hal ini yang mempengaruhi praktik pembagian warisan
yang ada di dalam keluarganya.
d. Kasus Keempat
Sedikit berbeda apa yang telah dialami oleh keluarga Bapak Jumadi.
Dimana anak pertama dari dua bersaudara ini malah menempati rumah
pusaka. Menurut nya ini disebabkan karena adik dari bapak Jumadi yakni
57
bapak Sukamto yang posisinya ialah sebagai anak (ruju) dalam kasus ini
telah melaksanakan pernikahan terlebih dahulu, sehingga teorinya ketika
seorang anak ruju sudah melakukan pernikahan lebih dulu daripada kaka
kandungnya, dalam aturannya maka ia tidak dapat mewarisi/ menempati
rumah pusaka. Hal ini dikarenakan, anggapan umum yang ada di dalam
masyarakat Dukuhseti bahwasanya ketika ada seseorang yang sudah
menikah maka selanjutnya ia sudah dianggap mampu baik dari segi
ekonomi dan lainnya atau pada umunya mereka akan ikut seorang istri
maupun suaminya. sehingga hal ini menjadi penyebab mengapa rumah
pusaka tidak serta merta jatuh kepada mereka (anak ruju). Tentu saja ini
sesuai dengan apa yang telah dijabarkan di atas. Bahwa posisi anak ruju
tidak menjamin akan mendapatkan rumah pusaka jika dalam kasusnya ia
sudah melakukan pernikahan terlebih dahulu.
e. Kasus Kelima
Mas Abdul, anak terakhir dari 6 bersaudara ini sudah lama menempati
rumah pusaka, ia mengatakan sudah lama tahu bahwa posisinya sebagai
anak terakhir suatu saat akan mendapatkan berupa rumah pusaka.
Menurutnya sejak dari kecil dia sudah diberi tahu oleh orang tuanya,
bahwa kelak suatu saat ketika kedua orang tua nya sudah meninggal maka
secara langsung ia adalah ahli waris yang berhak menempati rumah
pusaka. Karena ia meyakini bahwa apa yang telah ditujukan kepadanya
selama ini adalah yang terbaik. Selain itu, dia menjelaskan bahwasanya
anggota keluarga yang lain juga sudah mendapatkan bagiannya masing-
masing, sehingga hal ini sudah dia anggap sebagai aturan yang terbaik.
Meskipun di sisi lain telah mengesampingkan aturan warisan menurut
agama yang selama ini ia yakini.
Melihat penjelasan di atas sudah dapat diketahui, bahwa praktik
pembagian waris di desa Dukuhseti, khususnya terkait pembagian rumah
pusaka yang jatuh kepada anak terakhir (ruju) tanpa adanya proses melalui
pengadilan atau sesuai hukum/aturan agama, selain atas sebab rasa kasih
sayang juga karena sebab rasa berkeadilan. Ini disebabkan karena
58
mayoritas masyarakat desa Dukuhseti sudah merasa tepat dalam memilih
aturan adat yang selama ini telah berlaku, dimana hal ini sudah mereka
anggap sebagi solusi yang terbaik dalam penyelesaian aturan kewarisan
mereka. Karena sesuai kepercayaan yang telah mereka praktikan secara
turun temurun, konsep waris adat yang selama ini dijalankan sudah
memenuhi unsur salah satu asas dalam kewarisan Islam, yakni asas
keadilan berimbang yang secara jelas telah disebutkan dalam Al-Qur’an
surat An-Nisaa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam hal mendapatkan warisan.
B. Pendapat Tokoh dan Ulama terkait Praktik Pembagian Waris Anak
Ruju di Desa Dukuhseti, Kabupaten Pati
Pendapat tokoh adat maupun ulama mengenai praktik waris anak
ruju secara spesifik tidak jauh berbeda, baik itu dasar berlakunya, maupun
alasan berlakunya warisan ini. Meskipun pada kenyataanya dalam
berpendapat mereka berbeda konteks. Karena mayoritas hasil wawancara
dengan beberapa tokoh Adat dan ulama secara substansi hampir sama,
maka penulis hanya menyertakan dua pendapat di antara tokoh saja.
Bapak Sukasdi (selaku tokoh adat) berpendapat :
Sejatinya dalam warisan Islam pembagian harta waris adalah 2:1 dimana
pembagian ini berlaku terhadap anak laki-laki yang mendapatkan 2 bagian
sedangkan anak perempuan mendapatkan 1 bagian, ini sudah menjadi
ketentuan umum di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi dalam praktik sistem
waris yang berlaku di masyarakat Dukuhseti tidak demikian, mereka lebih
memilih menganut sistem waris adat yang sudah berlaku sejak dulu.
Alasan dibalik penggunaan konsep waris adat ini adalah, “bahwa sistem
waris adat jawa pada umumnya dalam praktik pembagiannya sama rata,
baik itu laki-laki maupun perempuan, sehingga diharapkan tidak ada rasa
iri di antara ahli waris akibat pembagian harta waris yang berbeda”.
Selain itu mengenai posisi anak ruju yang mendapatkan harta warisan
berupa rumah pusaka, menurut pandangan tokoh adat yang berlaku di desa
59
Dukuhseti, “bahwa anak ruju/ terakhir itu adalah anak yang biasanya
lebih diutamakan, di antara ahli waris yang lain, hal ini dikarenakan
selain sebab rasa kasih sayang juga disebabkan oleh kebiasaan
masyarakat Dukuhseti yang membebankan anak ruju untuk merawat
orang tua jika salah satu di antaranya masih hidup”, tentu saja hal ini
merupakan praktik pembagian waris yang cukup adil, mengingat posisi
anak ruju yang sudah dibebankan tanggung jawab yang begitu besar.
boleh jadi peruntukan rumah pusaka terhadap anak ruju adalah salah satu
bentuk apresiasi kepadanya. Sehingga menurutnya tidak ada hal yang
perlu dikuatirkan, karena pokok tujuan praktik pembagian warisan anak
ruju ini lebih didasarkan kepada tuntutan aturan yang sudah berlaku yang
selama ini8
Mbah Sukardi (tokoh Adat) berpendapat:
“Mayoritas masyarakat desa Dukuhseti mengenai perihal praktik
kewarisannya masih menggunakan praktik adat,” meski mayoritas
masyarakatnya mengerti mengenai praktik kewarisan Islam akan tetapi hal
ini tidak menjadikan masyarakat dukuhseti dalam praktik kewarisannya
menggunakan praktik kewarisan Islam. “Alasan dibalik penggunaan
kewarisan adat ini ialah karena sebab tradisi yang sudah lama
dilestarikan secara turun temurun, selain itu alasan lain yakni pembagian
harta warisan yang sama rata baik untuk laki-laki maupun perempuan”.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan praktik kewarisan Islam dimana
dalam pembagiannya 2:1 untuk laki-laki dan perempuan, yang
menyebabkan anggapan tidak mewakili rasa keadilan menurut pandangan
mereka. Mengenai praktik pembagian rumah pusaka kepada anak ruju
adalah, bahwa “anak ruju merupakan anak yang biasanya lebih
diutamakan di antara ahli waris yang lain. Selain hal itu anggapan umum
masyarakat desa Dukuhseti mengenai posisi anak ruju yang masih
membutuhkan perhatian lebih (mendapat rumah pusaka), serta sebagai
8 Wawancara Pribadi Dengan Sukasdi, Dukuhseti 3 Desember 2018
60
teman orang tua kelak jika di antaranya masih hidup” merupakan
beberapa alasan yang menjadikan tujuan pemberian rumah pusaka kepada
anak ruju ini. Tentu saja praktik pembagian waris ini merupakan “praktik
kewarisan yang cukup adil menurut pandangan masyarakat desa
Dukuhseti, mengingat banyaknya beban yang sudah ditanggung oleh anak
ruju (merawat orang tua jika masih hidup)”. Sehingga pada akhirnya
tidak ada yang perlu dikuatirkan, mengingat dalam praktik kewarisannya
masyarakat Dukuhseti sudah terbiasa akan hal ini, dan mayoritas
masyarakat Dukuhseti sudah tau betul akan hal ini.9
Pendapat lain dikemukakan oleh Kiai Ali Mahfud:
“Masyarakat jawa pada umumnya dalam praktik pembagian waris itu
biasanya dibagi sama rata, hal ini pula yang berlaku pada masyarakat
Dukuhseti, sekilas mereka dalam praktik kewarisannya tidak jauh berbeda
pada waris adat yang berlaku pada masyarakat jawa pada umumnya.
meskipun sebagian besar mayoritas warganya beragama Islam, tetapi
“mereka lebih memilih sistem adat yang menurut mereka berbeda
daripada sistem waris Islam”. Alasan ini sejatinya cukup bisa diterima,
karena pada dasarnya jika dalam praktiknya sebuah anggota keluarga lebih
memilih sistem waris Islam, maka sudah dapat dipastikan suatu saat nanti
jika salah satu ahli waris lain yang tidak terima akibat pembagian waris
dengan ketentuan yang berbeda 2:1 menuntut pada ahli waris lain yang
mendapatkan lebih daripadanya, yang akhirnya akan menimbulkan sebuah
gesekan di dalam ikatan keluarga, ini yang seharusnya dihindari. Karena
dalam Islam telah menganjurkan untuk berlaku adil dalam pembagian
waris meski dalam hal ini berbeda konteks dengan sistem pembagian waris
Islam. “Mengenai warisan yang didapatkan anak ruju, yakni berupa
rumah pusaka, tidak dapat di tampik bahwa posisinya adalah sebagai
anak yang diuntungkan, selain karena sudah menjadi kebiasaan umum,
yakni penempatan rumah pusaka pada anak ruju tidak lebih dikarenakan
9 Wawancara Pribadi Dengan Sukardi, Dukuhseti 4 Desember 2018
61
sudah menjadi aturan waris adat yang umum dilakukan oleh sebagian
besar masyarakat Dukuhseti”. Dan hal ini sudah di anggap menjadi
ssesuatu yang lumrah dan dianggap jadi bagian yang adil. Meski pada
akhirnya anak ruju sebagai penerima rumah pusaka, ia tidak serta merta
akan lepas dari tanggung jawabnya untuk merawat orang tua jika satu di
antaranya masih hidup. 10
Pendapat Kiai Abdul Jalil:
“Masyarakat jawa pada umumnya, dalam praktik “pembagian warisannya
masih menggunakan sistem kewarisan adat, meski pada dasarnya
mayoritas beragama” Islam dan mereka dalam hal masalah konsep waris
Islam juga tau betul praktik pembagiannya seperti apa. Akan tetapi pada
kenyataanya mereka lebih memilih konsep kewarisan adat, “alasannya
tidak lain adalah pembagian sama ratanya,” ini yang tidak ditemukan
dalam konsep kewarisan Islam, yang dasar pembagiannya adalah 2:1 untuk
laki-laki dan perempuan yang menurut pandangan umum masayarakat
desa Dukuhseti jika tidak dicermati betul akan menimbulkan sebuah
gesekan di antara anggota keluarga, dan ini yang seharusnya di hindari
oleh setiap anggota keluarga. Mengenai warisan yang di dapatkan anak
ruju, yakni berupa rumah pusaka, tidak bisa di hindari bahwa posisi anak
ruju merupakan posisi yang sangat di untungkan, “selain sudah menjadi
ketentuan adat, penempatan rumah pusaka pada anak ruju juga di
dasarkan pada alasan yang menurut anggapan masayarakat desa
Dukuhseti, bahwa anak ruju merupakan anak yang di beri tanggung jawab
untuk merawat orang tua jika satu di antaranya masih hidup”. Dan hal ini
sudah di anggap adil mengingat posisi anak ruju yang dibebankan sebuuah
tanggung jawab yang begitu besar.11
Dari semua hasil wawancara di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa
tujuan pembagian waris anak ruju ini tidak lain adalah atas dasar rasa
10 Wawancara Pribadi Dengan Ali Mahfud, Dukuhseti 1 Desember 2018 11 Wawancara Pribadi Dengan Abdul jalil, Dukuhseti 1 Desember 2018
62
keadilan, dimana di dalam kewarisan Islam juga dijelaskan mengenai asas
keadilan berimbang, yakni menyamakan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam hal mendapatkan warisan, meski pembagian rumah
pusaka sepenuhnya milik anak ruju, tapi setidaknya hal ini yang dianggap
mempunyai sisi keadilan bagi masyarakat Dukhuseti. Yang pada akhirnya
bisa diterima oleh seluruh anggota keluarga sehingga diharapkan tidak
menimbulkan gesekan-gesekan suatu hari nanti.
C. Filosofi Praktik Pembagian Waris Anak Ruju di Desa Dukuhseti,
Kabupaten Pati
Seperti yang telah dijelaskan dipembahasan awal, secara umum
masyarakat desa dukuhseti dalam masalah pembagian warisan mereka
masih memakai sistem waris hukum adat. Sistem waris adat bilateral yang
secara umum dalam praktik pembagiannya dibagi sama rata antara ahli
waris laki-laki maupun perempuan. Pembagian waris yang berlaku di desa
dukuhseti sama halnya seperti pembagian waris adat pada umumnya yang
berlaku di dalam masyarakat jawa Akan tetapi dalam praktiknya ada satu
pengecualian dimana rumah pusaka tidak bisa dibagi rata kepada ahli
waris lain. Karena sesuai ketentuan hukum waris adat yang berlaku di desa
dukuhseti, rumah pusaka sepenuhnya akan jatuh pada anak ruju.
Adapun mengenai filosofi warisan anak ruju adalah lebih
mengenai masalah keadilan, keadilan disini tidak hanya berdasarkan sebab
jumlah angka saja, melainkan juga keadilan dalam bentuk kasih sayang,
kita tentu percaya bahwa masalah kasih sayang ini adalah yang paling
utama, karena sesuai keyakinan masayarakat di desa dukuhseti, bahwa
posisi anak ruju adalah posisi yang rawan akan masalah, mereka secara
mental masih minim, dan masih butuh perhatian, meski pada kenyataanya
sebab lain juga berperan penting dalam masalah pembagian rumah pusaka
ini, seperti mengenai masalah orang tua yang kelak akan dirawat oleh anak
ruju jika salah satu di antaranya masih hidup, juga ahli waris lain yang
sudah mendapatkan bagiannya. Sehingga mengapa pembagian rumah
63
pusaka sepenuhnya jatuh kepada anak ruju, selain karena faktor hukum
adat, juga karena faktor bentuk kasih sayang. Ini bisa dilihat dari
banyaknya praktik yang dilakukan oleh masyarakat desa Dukuhseti dalam
pembagian warisnya mayoritas dilakukan atas dasar lebih kepada upaya
timbal balik atas pertanggungjawaban yang telah dilakukan oleh anak ruju
dalam merawat serta menemani orang tuannya kelak, sehingga hal ini bisa
diartikan juga bahwasanya dasar praktik pembagian warisan anak ruju
yang mendapatkan hak berupa rumah pusaka, selain karena sebab
kebiasaan/ adat juga lebih disebabkan oleh faktor kompensasi, karena telah
merawat dan menemani orang tuanya.12
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam praktik pembagian
waris anak ruju yang berlaku di dalam masyarakat dukuhseti, selain
karena faktor keadilan, adat istiadat, juga karena ada sebab yang lain yang
sifatnya lebih vital, seperti karena sebagai bentuk rasa kasih sayang,
sebagai bentuk terima kasih dari ahli waris lain atas upaya anak ruju dalam
menemani ataupun merawat orang tuanya. Sehinnga ini yang menjadi
penyebab mengapa rumah pusaka sepenuhnya jatuh kepada anak ruju.
D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Pembagian Waris Anak
Ruju di Desa Dukuhseti
Seperti yang telah dipaparkan dipembahasan sebelumnya, bahwa
mayoritas masyarakat desa Dukuhseti dalam menyelesaikan masalah
kewarisan masih memakai hukum adat yang telah lama digunakan secara
turun-temurun. Mereka masih tetap mempertahankan hukum adat meski
pada dasarnya mayoritas masyarakatnya paham mengenai hukum Islam,
terlebih masalah hukum waris Islam.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum waris adat adalah
hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas
hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaiamana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari
12 Sukasdi, Dukuhseti 3 Desember 2018
64
pewaris kepada waris.13
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-
sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam
maupun hukum barat. Sebab perbedaanya terletak dari latar belakang alam
fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat
yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah
kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna mewujudkan
kerukunan, keselarasan, dan kedamaian dalam hidup. Di dalam hukum
waris adat sendiri tidak mengenal cara pembagian dengan hitungan ilmu
fara’id, tetapi didasarkan atas pertimbangan hukum adat, mengingat wujud
benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan14
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kewajiban bagi umat Islam untuk
menyelesaikan masalah kewarisannya berdasarkan kewarisan hukum
Islam. Hal ini bisa kita lihat dalam sebuah hadist Rosulullah SAW, yang
berbunyi :
ل س ر ال :ق ال ق اس ب ع ب أ ع اب ت ىك ه ع ض اع ر ف ان م أ ي ب ال اان س ص.واق للا
)رايسهى(للا
Artinya: “Bagikanlah harta waris di antara ahli waris menurut
Kitabullah”(HR. Muslim)
Begitu juga anjuran untuk mempelajarinya. Adapun hadist yang
mengajurkan seorang muslim untuk mempelajari masalah waris Islam
seperti yang berbunyi di dalam hadist Rosulullah berikut ini:
ههىي س ه ي ع صه ىللاه للاه ل س ةقال:قالر ير ر أ ب ي اع ه ت ع ة ي ر اأ ب ا ر
ع ز ي ء ش ي ل أ ه ى ان ع ف ص اف أ ه ع ض اع ت ي ان ف ر أ ي )رابخاري
يسهى(
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw, bersabda: “pelajarilah
fara’idh dan ajarkan kepada manusia, karena fara’idh adalah sejarah
dari ilmu dan akan dilupakan, fara’idh lah yang pertama kali dicabut dari
umatku” (HR. Bukhori dan Muslim)
13 Hilman Hadikusumo, Hukum Waris Adat, (Tanjungkarang, 1983) h. 17 14 Hilman Hadikusumo, Hukum Waris Adat, h. 19
65
Perintah tersebut berisi perintah wajib. Hanya saja perintah kewajiban itu
gugur jika apabila sebagian orang telah melaksanakan perintahnya. Akan
tetapi jika tidak ada satu orangpun yang mau melaksanakannya semua
orang Islam akan berdosa.15
Sehingga jika ditarik kesimpulan sebagaimana peneliti temukan
selama wawancara, sebab mengapa masyarakat desa Dukuhseti dalam
melaksanakan pembagian kewarisannya masih memakai hukum waris
adat, adalah karena alasan kepatuhan. Terlebih mengenai pembagian
rumah pusaka yang sepenuhnya menjadi hak anak ruju adalah atas dasar
rasa kasih sayang, juga atas dasar rasa keadilan menurut pandangan
mereka.
Banyak di antara ayat Al-qur’an yang menjelaskan mengenai
masalah kewarisan Islam tapi dilain sisi begitu juga banyak ayat Al-qur’an
maupun Hadist yang menjelaskan bahwa hukum Islam adalah hukum yang
mudah menerima segala perbedaan yang dipikul oleh manusia.
Sebagaimana firman Allah Swt, yang berbunyi:
ى ب ك ي ذ ي ر ال ر ان ي س ب ك ى ر ي ر ي ذ للاه س ان ع
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan dia tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian”(Al- Baqoroh: 185)
Penjelasan penggalan ayat di atas sangat jelas bahwa Islam tidak
memberatkan lagi membebankan terhadap umatnya, lebih-lebih jika hal itu
mengenai masalah hukum yang pada dasarnya berada diluar jalur hukum
Islam. Hal ini sejatinya juga termasuk mengenai hukum adat, atau di
dalam istilah Fiqh disebut Urf’.16
Sebagaimana bagi kalangan ulama yang
mengakuinya berlaku kaidah:
ة ان ع ك اد ح ت ي
15 Moh, Muhibbin & Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
2009), h. 9 16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranamediagrup, 2008), h. 418
66
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum”
Penyerapan adat dalam hukum Islam, dimana selanjutnya terbagi menjadi
empat:
1. Adat yang lama secara subtansial dan dalam pelaksanaannya
mengandung unsur kemaslahatan. Maksudnya dalam perbuatan itu
terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudlaratnya, atau unsur
manfaatnya lebih besar daripada unsur mudlaratnya.
2. Adat lama yang pada prinsipnya secara subtansial mengandung unsur
maslahat (tidak mengandung unsur mufsadat atau mudlarat), namun di
dalam pelaksanaanya tidak dianggap baik oleh Islam. Dimana adat
semacam ini bisa diterima dalam Islam selanjutnya mengalami
perubahan dan penyesuaian.
3. Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur
mafsadat (merusak) maksudnya, yang dikandungnya hanya unsur
perusak dan tidak ada unsur manfaatnya.
4. Adat yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena
tidak mengandung unsur mafsadat (merusak) dan tidak bertentangan
dengan dalil syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum
terserap ke dalam syara’ baik secara langsung maupun secara tidak
langsung.
Di antara keempat adat yang sudah dijabarkan, adat pertama dan
kedua diterima oleh Al-qur’an dalam arti tetap bisa dilaksanakan. Dan
sesuai waris adat yang telah berlaku di desa Dukuhseti, setidaknya adat
kedua telah mendekati secara subtansinya. Dalam artian Adat lama yang
pada prinsipnya secara subtansial mengandung unsur maslahat meskipun
dalam pandangan Islam dianggap tidak baik, akan tetapi dalam terapan
hukumnya bisa diterima.17
Hal ini sudah sesuai alasan para ulama
mengenai penggunaan mereka terhadap urf tersebut yang terdapat pada
17 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 420
67
hadist yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan Imam
Ahmad dalam musnadnya, yaitu:
ذ ع اف س ح ه س ان أ ار ي س ح للاه
Artinya: “Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai bentuk suatu
yang baik, maka yang demikian disisi Allah adalah baik”
Penggalan Hadist di atas menjelaskan bahwa, pertimbangan kemaslahatan
(kebutuhan orang banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami
kesulitan bila tidak menggunakan urf/ adat tersebut.
Selanjutnya, dalam salah satu asasnya hukum waris Islam
menjelaskan, mengenai adanya kesamaan hak di antara laki-laki dan
perempuan mengenai pembagian harta warisan. Ini bisa kita lihat di dalam
Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 7, yang mengimplementasikannya ke
dalam asas keadilan berimbang, yang secara jelas menganjurkan dalam
setiap pembagian harta waris harus senantiasa terdapat keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seorang dengan
kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya,
mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-
masing (kelak) dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.18
Maksudnya ialah perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli
waris harus berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing
terhadap keluarga. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab keluarga,
mencukupi keperluan hidup dan istrinya. Tanggung jawab itu merupakan
kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan
apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau
tidak.
Hal ini tentu bisa kita hubungkan dengan praktik pembagian waris
anak ruju yang menurut tokoh adat maupun ulama desa Dukuhseti, mereka
menganggap sudah memenuhi unsur adil. Adil dalam hal ini tentu tidak
18 Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, Juz II, (Cairo : Mustafa Al-Babiy), h. 109
68
serta merta berfokus pada hitungan saja, akan tetapi adil dalam bentuk
artian luas, seperti penggalan pendapat ulama dan tokoh adat, berikut:
“Terkait warisan yang didapatkan anak ruju, yakni berupa rumah pusaka,
tidak dapat ditampik bahwa posisinya adalah sebagai ahli waris yang
diuntungkan, selain karena sudah menjadi kebiasaan umum, yakni
penempatan rumah pusaka pada anak ruju tidak lebih dikarenakan sudah
menjadi aturan waris adat yang umum dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat Dukuhseti. Dan hal ini sudah di anggap menjadi sesuatu yang
lumrah dan dianggap jadi bagian yang adil. Meski pada akhirnya anak ruju
sebagai penerima rumah pusaka, ia tidak serta merta akan lepas dari
tanggung jawabnya untuk merawat orang tua jika satu di antaranya masih
hidup. Mengingat posisi anak ruju yang sudah dibebani tanggung jawab
yang begitu besar. boleh jadi peruntukan rumah pusaka terhadap anak ruju
adalah salah satu bentuk apresiasi kepadanya. Sehingga tidak ada hal yang
perlu dikuatirkan, karena pokok tujuan praktik pembagian warisan anak
ruju ini lebih didasarkan kepada tuntutan aturan yang sudah berlaku yang
selama ini”
Tentu saja hal ini sesuai penjelasan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang terdapat pada pasal 183, bahwa pembagian warisan dapat
diselesaikan dengan cara perdamaian. Pasal 183 tersebut berbunyi:
“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”
Pasal tersebut menampung kebiasaan dalam masyarakat yang sering
membagi harta warisan atas dasar kesepakatan atau perdamaian. Boleh
jadi, praktik semacam ini banyak dilakukan sebagian masyarakat yang
lebih menempatkan kerukunan keluarga sebagai sesuatu yang diutamakan.
Memahami penjelasan di atas jika ditarik kesimpulan maka, sudah
menjadi hal yang lumrah jika pemahaman konsep waris masyarakat desa
Dukuhseti tidak seperti pemahaman konsep waris pada umumnya. Apalagi
69
jika hal ini dikaitkan pada konsep waris Islam. Tentu saja hal ini akan
menuai kontrapuduktif, mengingat konsep pembagiannya yang jomplang,
dimana 2:1 menurut konsep waris Islam, sedangkan bagian sama ratanya
menurut konsep waris adat. Terlebih mengenai peruntukan rumah pusaka
yang sepenuhnya menjadi hak milik anak ruju tanpa ada pembagian yang
sama rata atas harta berupa rumah pusaka itu.
Dalam agama Islam kita sering dihadapakan pada hal semacam ini,
dimana pada suatu kasus tertentu jika ditemukan hal yang bertentangan
dengan hukum Islam tentu ada sebuah jalan untuk menyelelaraskannya.
Hal ini tentu juga berlaku terhadap praktik waris anak ruju yang ada di
desa Dukuhseti, dimana dalam pelaksanaanya tentu sudah mempunyai
alasan-alasan tersendiri. Meski terkadang alasan itu kontra terhadap
ketentuan hukum Islam. Anjuran agama Islam kepada hambanya untuk
berlaku baik, ini dapat kita jumpai dalam piranti hukum-hukum Fiqh,
seperti Maslahah Mursalah dimana tujuan dari kaidah ini adalah setiap
perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka
biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan.
Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia mengandung
kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada hukum syara’ dalam
bentuk larangan. Imam Al-Ghazali mengumukakan, bahwa pada
prinsipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudlaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.19
Akhirnya
tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang manusia selain bertawakal,
serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah swt.
19 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Pamulang, Logos Publishing House, 1996) h. 114
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan pembahasan skripsi ini bab demi bab, berikut
ini penulis uraikan kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah,
yaitu:
1. Praktik kewarisan dalam masyarakat desa Dukuhseti pada umumnya
merupakan praktik kewarisan yang menganut sistem parental, dimana
sistem pewarisan ini menganut pertalian darah dilihat dari kedua sisi,
bapak dan ibu serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama
penting bagi persekutuan ini. Sistem pertalian ini umumnya terjadi di
Jawa. Sekilas memang tampak bahwa praktik pewarisan yang terjadi di
desa Dukuhseti adalah praktik pewarisan adat secara umum, namun
dalam kenyataannya ada salah satu praktik dimana pembagian rumah
pusaka sepenuhnya adalah hak anak ruju, serta pembagiannya mutlak
seluruhnya adalah hak milik anak ruju.
2. Pada umumnya, praktik kewarisan yang berlaku di desa Dukuhseti
merupakan praktik kewarisan adat, dimana dalam praktik
pembagiannya adalah sama rata, baik untuk ahli waris laki-laki
maupun perempuan. Akan tetapi ada satu pembagian yang berbeda,
dimana rumah pusaka sepenuhnya adalah hak anak ruju. Alasan
dibalik peruntukan rumah pusaka kepada anak ruju ini adalah karena
sebab adat turun-temurun, kasih sayang, dan terakhir adalah sebab
perawatan terhadap orang tua kelak, jika di antaranya masih hidup.
Para tokoh adat maupun ulama umumnya satu suara terhadap praktik
kewarisan ini, dan mereka menganggap bahwa praktik ini merupakan
praktik yang sudah adil, meski berbeda konteks terhadap konsep waris
Islam, akan tapi substansi praktik kewarisan ini sudah mendekati
konsep kewarisan Islam pada umumnya. Mengingat kemaslahatan
yang ditimbulkan dari praktik kewarisan anak ruju ini.
71
3. Praktik kewarisan Adat anak ruju yang berlaku di desa Dukuhseti
secara filosofis adalah mengenai masalah keadilan, dimana keadilan
yang tidak hanya berdasarkan jumlah angka saja, melainkan juga
keadilan dalam bentuk kasih sayang, kita semua tentu sangat setuju
bahwa tujuan utama perbedaan hal terdapat alasan yang baik,
contohnya adalah praktik pembagian rumah pusaka terhadap anak ruju
yang berlaku di desa Dukuhseti ini.
4. Meski praktik pembagian waris anak ruju ini bertentangan terhadap
sistem kewarisan Islam, akan tetapi pada akhirnya semua bisa di
terima. Melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
desa Dukuhseti, yang mana di dalam praktik pembagian warisan anak
ruju ini semua pihak ahli waris sudah menerima, dan Islam tidak
mengingkari kebaikan itu.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, bahwasanya agama tidak serta
merta mendelegemasikan kehendaknya harus seperti ini dan itu, akan
tetapi lebih kearah bagaimana suatu kejadian itu tidak mengundang sebuah
kerusakan ataupun kemudlaratan. Sehingga manusia yang menjalaninya
akan merasakan kebaikannya.
B. Saran
1. Di sarankan agar dalam proses pembagian waris anak ruju ini tidak
menimbulkan kerugian ataupun perpecahan di antara ahli waris yang
lain. Karena tujuan dari warisan sendiri adalah menghindarkan hal
yang bersifat menimbulkan perpecahan ataupun permusushan di antara
ahli waris.
2. Mengenai pembagian waris sebaiknya dilakukan dengan aturan yang
baik dan benar, juga tidak menyalahi aturan yang telah disepakati,
serta menjamin keadilan. Sehingga diharapkan mendatangkan
kebaikan bagi semua.
3. Diharapkan bagi masyarakat desa Dukuhseti, untuk lebih bijak dalam
menyikapi praktik pembagian waris anak ruju. Kemudian dalam
72
pelaksanaanya dilakukan dengan cara yang bijak,serta menjunjung
nilai serta asas-asas keadilan demi terciptanya suasana yang damai.
DAFTAR PUSTAKA
Aldizar, A, Faturrahman. 2004. Hukum Waris. Komite Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Al-Azar Mesir. Jakarta: Senayan Abadi Publishing
Ash- Shiddiqy, Hasby, T.M. 1967. Fiqih Mawarits, Jakarta : Bulan Bintang
Budiono, R. 1999. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Citra Aditya Bakti
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah
Creswel, JW. 2013. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Edisi Ketiga Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Daradjat, Z. 1995. Ilmu Fiqh Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Dawud, A. Sunanu Abi Dawud, Juz II, Cairo : Mustafa Al-Babiy
Gulthom, ER. 2010. Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta : Literata
Haroen, N. 1996. Ushul Fiqh 1, Pamulang, Logos Publishing House
Hadikusumo, H. 1983. Hukum Waris Adat, Tanjungkarang
KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Madani. 2014. Hukum Kewarisan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Muhibbin, M, Wahid, A. 2009. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Sinar Grafika
Mertokusumo, S. 1986. Mengenal Hukum (suatu pengantar). Yogyakarta : Liberty
Mahadi, 1991. Uraian Singkat Tentang Hukum Adat. Bandung : Alumni
Mustari PS. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta : PT. Kharisma
Putra Utama
Nugraheni, BD, Ilhami, H. 2014. Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian, cet. III. Jakarta: Ghalila Indonesia
Oemarsalim. 1998. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : PT Asdi Mahasatya
Suma, MA. Keadilan Hukum Waris Islam. 2013. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suma, MA. 2013. Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan Konteks.
Jakarta : RajaGrafindo Persada
Sudiyat, I. 1981. Hukum Adat sketsa asas, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta Soekamto
Soerjono. 1983. Hukum Adat Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Soerojo, W. 1994. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : Gunung Agung
Sutrisno, S. 2006. Filsafat dan Ideoligi Pancasila, Yogyakarta
Syarifuddin, A. 2008. Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranamediagrup
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil, selaku salah satu sesepuh di desa
Dukuhseti, pada Tanggal 09 Oktober 2018.
Wawancara dengan Bapak Ali Mahfudh, selaku ketua ta’mir Masjid Baitul Qadim Desa
Dukuhseti, pada Tanggal 12 Oktober 2018.
Wawancara Pribadi Dengan Sukardi, Dukuhseti 1 Desember 2018.
Wawancara Pribadi Dengan Bronto, Dukuhseti 5 Desember 2018.
Wawancara Pribadi Dengan Panijan, Dukuhseti 12 Desember 2018.
Wawancara Pribadi Dengan Modin Kasdi, Dukuhseti 1 Desember 2018.
Wawancara Pribadi Dengan Ali Mahfud, Dukuhseti 1 Desember 2018.
Zamzami, M. 2013. Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Indonesia. Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup
Zakiyuddin, B. 2007. Islam melawan kapitalisme, Yogyakarta : Resist book
Wawancara dengan Kiai Ali Mahfudz (1 Desember 2018)
Wawancara dengan Bapak Sukasdi (3 Desember 2018)
Wawancara dengan Bapak sukardi (Kepala Desa Dukuhseti)