BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Flatfoot atau pes planus adalah suatu keadaan berkurangnya ataupun
hilangnya lengkung medial longitudinal telapak kaki sehingga menyebabkan
seluruh bagian dari telapak kaki tersebut menyentuh tanah. Flatfoot dapat bersifat
fisiologik atau flexible flatfoot dan patologik atau rigid flatfoot. Perlu diketahui,
bahwa semua anak terlahir dengan flatfoot, namun secara perlahan seiring dengan
bertambahnya usia pada masa kanak-kanak, lengkung medial longitudinal telapak
kaki akan mulai terbentuk, biasanya pada usia sekitar 5 atau 6 tahun.1,2,3
Flatfoot atau pes planus pada umumnya tidak menyebabkan gangguan dan
secara umum dapat membaik tanpa membutuhkan penanganan; jarang sekali
kasus yang membutuhkan penanganan lebih lanjut. Meski begitu, flatfoot atau pes
planus menyebabkan kekhawatiran bagi para orang tua terkait dengan tampilan
kaki yang abnormal serta timbulnya rasa sakit dan ketidakmampuan anak untuk
berjalan normal ketika dewasa kelak. Akibatnya, flatfoot atau pes planus menjadi
penyebab tersering terjadinya kunjungan ke praktisi ortopedik pediatrik.3,4
Insidensi dari flatfoot atau pes planus tidak diketahui secara pasti, namun
keadaan ini seringkali terjadi. Prevalensi dari flatfoot akan menurun seiring
dengan bertambahnya usia. Prevalensi flatfoot pada kelompok anak berusia 3
tahun adalah sebesar 54% dan pada kelompok anak berusia 6 tahun sebesar 24%.
Sebagian besar anak akan menunjukkan perkembangan normal dari telapak kaki
secara utuh pada usia 12 tahun.5,6
Pada keadaan tertentu, flatfoot dapat menimbulkan gejala seperti rasa sakit
yang bahkan dapat berkembang hingga dewasa, dan menyebabkan rasa sakit atau
tidak nyaman bagi penderitanya, serta dapat mengakibatkan kelainan gaya
berjalan. Oleh karena itu, penting kiranya untuk dapat mengevaluasi secara dini
flatfoot dengan atau tanpa gejala, serta bersifat fisiologik atau patologik, sehingga
dapat dilakukan tindakan intervensi sesegera mungkin.3,7
1
I.2. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan referat ini, diharapkan dapat menambah
dan meningkatkan pengetahuan penulis beserta pembaca mengenai flatfoot atau
pes planus.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Istilah flatfoot atau pes planus merupakan suatu terminologi untuk
menggambarkan suatu keadaan berkurangnya ataupun hilangnya lengkung medial
longitudinal telapak kaki sehingga menyebabkan seluruh bagian dari telapak kaki
tersebut menyentuh tanah. Keadaan ini dapat bersifat fisiologik yang dikenal
dengan flexible flatfoot dan patologik yang dikenal dengan rigid flatfoot.1,2
II.2. Epidemiologi
Walaupun insidensi dari flatfoot atau pes planus tidak diketahui secara
pasti, namun keadaan ini seringkali terjadi dan faktanya adalah keadaan ini
menjadi salah satu penyebab tersering terjadinya kunjungan ke praktisi orthopedik
pediatrik. Prevalensi flatfoot akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Saat berusia 2 tahun, sebesar 94% anak-anak mengalami flatfoot dan pada usia 10
tahun, hanya sebesar 4% yang mengalami keadaan tersebut. Prevalensi flatfoot
pada kelompok anak berusia 3 tahun adalah sebesar 54% dan pada kelompok anak
berusia 6 tahun sebesar 24%. Sebagian besar anak akan menunjukkan
perkembangan normal dari telapak kaki secara utuh pada usia 12 tahun.3,4,5
II.3. Anatomi
Struktur kaki didasarkan atas bagian penyusun pokoknya, termasuk
ligamen dari tujuh tulang tarsal, lima tulang metatarsal, dan lima digiti. Masing-
masing tulang tarsal memiliki gambaran bentuk dengan permukaan artikular yang
komplek, gambaran osifikasi, pertumbuhan sentripetal, dan hubugan dengan
tulang-tulang yang berdekatan melalui ligamentum tipis.8
Tulang-tulang kaki dipertahankan posisinya oleh ligamen-ligamen, dimana
persendian dari kaki sendiri tidak memiliki kestabilan intrinsik. Ligamen-ligamen
pada kaki yang berperan penting adalah ligamen interosseous, plantar
kalkaneonavikular, plantar kalkaneokuboid, dan ligamen kalkaneokuboid internal.
Ligamen interosseous merupakan kondensasi dari kapsula artikular antara talus
3
dan kalkaneus, yang melibatkan aspek posterior, medial, dan anterior dari sendi
subtalar. Ligamen kalkaneonavikular adalah ligamen yang luas dan tebal, yang
menghubungkan tepi anterior sustentakulum talae kalkaneus ke permukaan
plantar navikular. Ligamentum ini menghubungkan kalkaneus ke navikular dan
menyokong ujung talus. Ligamen kalkaneonavikular ini diperkuat oleh tendon
tibialis posterior pada permukaan medial plantarnya. Ligamentum interosseous
membentuk suatu sumbu rotasi pada sendi subtalar, sedangkan ligamentum
kalkaneonavikular menyokong ujung talus pada saat posisi berdiri. Ligamentum
kalkaneokuboid dan kalkaneonavikular berperan untuk menstabilkan persendian
antara hindfoot and midfoot, yang dikenal dengan sendi Chopart. Ketiga
cuneiforms dan metatarsal dihubungkan oleh serangkaian ligamen plantar dan
dorsal yang kuat dan tipis. Metatarsal distabilisasi oeh ligamentum intermetatarsal
di bagian proksimal. Pada bagian distal, metatarsal dihubungkan oleh berkas
fibrosa tranversal diantara kepala metatarsal, yang dikenal dengan ligamentum
metatarsal tranversal.8
Lengkungan longitudinal kaki dibentuk oleh kombinasi dari semua tulang
tarsal dan metatarsal. Struktur tersebut mendistribusikan beban secara merata pada
kaki saat posisi berdiri, yang memungkinkan beban terdistribusi pada kalkaneus,
serta pada ujung metatarsal. Tendon tibialis memerlukan sedikit tekanan untuk
dapat mempertahankan posisi berdiri. Basmajian dan Stecko menunjukkan bahwa
hampir tidak ada aktivitas elektromiografi pada otot kaki dan pergelangan kaki
ketika beban fisiologis diberikan pada kaki plantigrade dalam posisi berdiri.
Mereka menyimpulkan bahwa kompleks tulang-ligamen menentukan ketinggian
lengkungan longitudinal, sedangkan otot menjaga keseimbangan, mengakomodasi
kaki di permukaan yang tidak rata, melindungi ligamen dari stres, dan mendorong
tubuh ke depan. Mann dan Inman mengkonfirmasi teori ini.8
Jari-jari kaki terdiri dari tulang falangeal yang distabilkan oleh ligamen,
yang mana hanya memungkinkan terjadinya gerakan fleksi dan eksensi pada
persendiannya. Setiap sendi memiliki permukaan berbentuk silinder pada bagian
proksimal dan permukaan cekung pada bagian distal. Tendon terinsersi pada
falang medial dan distal, dengan otot-otot intrinsik bertindak melenturkan sendi
metatarsal phalangeal (MP), berfungsi baik pada keadaan sehat.8
4
Selain struktur tulang dan ligamentum, perlu dipertimbangkan pula
otot-otot intrinsik maupun ekstrinsik yang mempengaruhi kompleks ini.
Otot-otot ekstrinsik memiliki asal di atas pergelangan kaki, yakni termasuk
tibialis anterior, tibialis posterior, halusis longus ekstensor, ekstensor
digitorum komunis, fleksor halusis longus, fleksor digitorum komunis, dua
otot peroneal, dan kompleks gastrocsoleus. Otot-otot intrinsik kaki yang
paling utama adalah plantar dan dapat dibagi menjadi empat lapisan.
Lapisan yang paling superfisial meliputi abductor halusis, fleksor
digitorum brevis, dan abductor digiti minimi. Lapisan kedua adalah plante
kuadratus dan lumbrikalis. Lapisan ketiga adalah fleksor halusis brevis,
halusis adduktor, dan fleksor digiti minimi brevis. Lapisan keempat
meliputi interosei. Otot-otot intrinsik pada bagian dorsal adalah otot
ekstensor digitorum brevis yang berasal dari kalkaneus lateral bagian
distal dan ligamen sendi yang berdekatan. Keseimbangan antara semua
otot-otot ini sangat penting untuk fungsi yang tepat serta menghindari
terjadinya deformitas cavus. Kompleks gastrocsoleus berperan sebagai
otot plantar fleksor yang kuat. Peran tersebut bertentangan dengan peran
otot tibialis anterior dan otot ekstensor jari-jari kaki. Otot tibialis anterior,
bagaimanapun juga, merupakan supinator dari kaki depan, terkecuali
dinetralkan oleh otot longus peroneus; otot tibialis anterior akan
mengakibatkan deformitas dengan supinasi forefoot dan bunion dorsal.
Otot posterior tibialis mengakibatan hindfoot varus dan deviasi medial dari
forefoot, terkecuali jika diimbangi oleh otot-otot peroneal. Fungsi otot
yang kompleks namun sinergis akan menghasilkan suatu keadaan yang
terkoordinasi, serta aktivitas yang efisien. Namun, ketidakseimbangan
terkait keadaan patologis akan mengakibatkan deformitas.8
II.3. Perkembangan Normal Kaki pada Anak-Anak
Meskipun berukuran kecil, anatomi kaki bayi yang baru lahir sangatlah
kompleks, yang terdiri dari 26 sampai dengan 28 tulang. Anatomi kaki dapat
dibagi menjadi tiga daerah anatomi, yakni hindfoot atau rearfoot (talus dan
kalkaneus); midfoot (tulang navikular, tulang kuboid, dan tiga tulang runcing),
5
dan forefoot (metatarsal dan falang) (Gambar 1). Semua anak terlahir dengan
flatfoot. hampir setiap kaki anak awalnya memiliki bantalan lemak besar di dalam
lengkungan telapak kakinya, yang mana bantalan lemak tersebut secara perlahan
akan menurun seiring dengan pertumbuhan mereka. Lengkungan longitudinal
pada telapak kaki tidak ditemukan pada saat lahir, namun akan perlahan-lahan
berkembang selama masa kanak-kanak, biasanya pada usia sekitar lima atau enam
tahun. Hal tersebut merupakan proses yang terjadi sepanjang pertumbuhan dan
tidak terpengaruh oleh ada atau tidak adanya factor pendukung eksternal.3
Terkadang lengkungan telapak kaki tersebut membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk mencapai bentuknya, dan normalnya lengkungan kaki
berkembang dalam dekade pertama kehidupan, Namun, hal tersebut biasanya
tidak menimbulkan masalah. Flexible flatfoot dianggap sebagai manifestasi dari
kelemahan konstitusional yang mempengaruhi semua ligamen dan sendi, dan jika
lengkungan kaki tampak tidak normal, maka hal tersebut dapat terjadi sebagai
akibat tegangan beban tubuh. Kebanyakan anak dengan flatfoot dapat mencapai
koreksi parsial secara spontan.3
6
Gambar 1. Struktur tulang dan pengelompokkan dari kaki manusia dewasa.
II.5. Klasifikasi & Etiologi
Flatfoot dapat diklasifikasikan menjadi fisiologik dan patologik. Flatfoot
yang bersifat fisiologik, dikenal dengan flexible flatfoot, ditandai dengan
lengkungan yang normal ketika tidak menyokong beban tubuh dan lengkungan
yang mendatar saat sedang menyokong beban tubuh (dalam keadaan berdiri).
Keadaan ini seringkali tampak selama dekade pertama kehidupan dan dapat
bersifat simtomatik ataupun asimtomatik. Sebagian besar penyebab dari keadaan
ini adalah kelemahan yang berlebihan dari kapsula sendi dan ligamen yang
berakibat hilangnya lengkungan tarsal ketika harus menyokong beban tubuh.
Faktor lain yang diduga turut berkontribusi pada flatfoot ini adalah kelebihan
berat badan, obesitas, laki-laki, serta penggunaan sepatu sebelum anak berusia 6
tahun.2,4
Flatfoot yang bersifat patologik, atau dikenal dengan rigid flatfoot,
ditandai dengan lengkungan yang terfiksasi, artinya tidak dapat
dimodifikasi oleh ada atau tidaknya beban tubuh yang disokong. Keadaan
ini merupakan suatu deformitas kongenital dengan berbagai macam
penyebab dasar dan seringkali mengakibatkan rasa sakit dan keterbatasan
dalam melakukan aktivitas. Tatalaksana yang diberikan pada rigid flatfoot
ini biasanya berhubungan erat keadaan patologi dasarnya, seperti
congenital vertical talus, tarsal bars, idiopathic short Achilles tendon, and
accessory scaphoid bone.2
II.6. Manifestasi Klinik
Flexible flatfoot pada anak-anak hampir tidak pernah menimbulkan
permasalahan. Anak-anak dengan flexible flatfoot pada umumnya
asimtomatik. Jika keadaan flexible flatfoot tersebut bertahan hingga usia
dewasa muda, beberapa mungkin akan mengalami rasa sakit yang ringan
di sepanjang bagian bawah kaki. Flexible flatfoot mungkin saja baru
menimbulkan gejala ketika mencapai usia dewasa muda. Gejala-gejala
tersebut berkembang ketika kontraksi dari tendon achiles membatasi
7
pergerakan dorsofleksi pergelangan kaki secara penuh, yang kemudian
memindahkan tekanan atau gaya tersebut pada bagian midfoot, tekanan
ataupun gaya tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada
persendian tarsal. Pasien mengeluhkan rasa nyeri yang tidak jelas pada
lengkungan medial dan pergelangan kaki.3
Pada pemeriksaan fisik, kaki memiliki bagian bawah yang
mendatar, dan valgus kalkaneus akan tampak pada posisi berdiri (Gambar
2) . Ketika pasien berdiri dengan menggunakan ujung kakinya, kalkaneus
sedikit membalik, namun tidak secara penuh (Gambar 3). Dorsofleksi
pergelangan kaki dibatasi kurang dari 5 derajat untuk kontraksi tendon
achiles. Pergerakan normal dari subtalar dan tarsal tranversus akan
menurun hingga mencapai 50%.3
Pasien dengan koalisi tarsal mengalami nyeri yang tajam dan tiba-
tiba, dengan onset yang akut pada lengkungan telapak kaki, pergelangan
kaki, dan midfoot. Pasien ini beresiko lebih sering mengalami ankle
sprains sekunder untuk membatasi pergerakan subtalar.3
Gambar 2. Flexible flatfoot. Tumit dalam kondisi valgus, dengan takanan beban tubuh dipindahkan pada kolum medial kaki. Terjadinya kompensasi dengan abduksi forefoot sebagai hasil dari rusaknya midfoot mengarah pada tanda “too many toes” (tanda panah). Normalnya jari-jari kaki lateral tidak tampak pada pemeriksaan dari belakang.
8
Gambar 3. A. Sewaktu pada posisi berdiri, tumit mengarah pada kondisi varus, dan lengkungan telapak kaki akan terlihat, yang menandakan fleksibilitas dari flatfoot. ; B. Tumit pada kondisi
valgus dan lengkungan telapak kaki mendatar selama menopang beban tubuh II.7. Pemeriksaan Fisik
Mengingat bahwa rendahnya lengkungan medial longitudinal yang
terjadi pada masa awal kehidupan bayi merupakan kondisi yang hampir
terjadi secara universal, dan keadaan ini akan mengalami perbaikan
dengan sendirinya seiring dengan pertumbuhannya, maka secara umum
cukup sulit untuk mengatakan keadaan ini sebagai suatu kondisi yang
patologik. Namun begitu, pada beberapa kasus, perbaikan dari rendahnya
lengkungan medial longitudinal mungkin tidak terjadi secara spontan, dan
mengakibatkan timbulnya gejala-gejala yang cukup signifikan.
Kesulitannya adalah untuk membedakan suatu deformitas akibat flatfoot
yang patologik dari bentuk perkembangan normalnya. Pemeriksaan umum
sebaiknya meliputi penilaian terhadap ada tidaknya kelemahan ligamen,
begitu juga penilainan terhadap deformitas torsional dan angular. Perlu
diketahui bahwa deformitas yang terjadi terkait dengan flatfoot memiliki
kejadian yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan deformitas valgus
pada sendi lutut dan kelemahan ligamen. Secara umum, suatu keadaan
flexible flatfoot akan kembali pada posisi normalnya disertai dengan
adanya lengkungan longitudinal pada saat posisi duduk atau ketika kaki
tidak sedang menopang berat tubuh. Ketika berdiri dengan menggunakan
jari-jari kaki, lengkung longitudinal akan terbentuk dan ujung hindfoot
menjadi varus dengan adanya plantar fleksi dari hindfoot.8
9
Penilaian terhadap kaki pada posisi tidak sedang menopang berat
badan, dengan pasien berlutut di atas sebuah kursi, akan memperlihatkan
bahwa hindfoot akan pada posisi netralnya disertai dengan deformitas
supinasi dari forefoot. Pada saat posisi berdiri, pengangkatan dari ibu jari
(in the Jack toe-raise test) akan menghasilkan peninggian dari lengkung
longitudinal oleh karena adanya efek katrol dari fasia plantar. Dorsofleksi
pergelangan kaki pada keadaan ekstensi pada sendi lutut dan dengan
hindfoot sedikit inversi sebaiknya dilakukan untuk menilai adanya
ketegangan dari tendon achiles, sebagaimana hal tersebut merupakan suatu
kondisi patologik yang seringkali terjadi terkait dengan timbulnya rasa
sakit pada deformitas flatfoot. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah
pola kulit di sisi plantar, adanya kalusitis pada ujung talus akan
berhubungan dengan gejala dan derajat beratnya deformitas flatfoot.8
PEMERIKSAAN FISIK PADA FLATFOOT9
Penyebabnya terjadinya kelemahan ligament harus dievaluasi. Deformitas angular pada ektremitas bawah harus diperhatikan. Anak-anak dengan
valgus fisiologik pada sendi lutut (usia 3 - 5 tahun) seringkali mengalami flatfoot terkait dengan mengecilnya sendi pergelangan kaki. Kondisi tersebut biasanya akan berubah ketika valgus membaik secara spontan.
Pemeriksaaan neurologis sebaiknya dilakukan menyingkirkan adanya peningkatan tonus otot (misalnya flatfoot spastic), atau keadaaan neuromuskular lainnya.
Pemeriksaan dari kaki harus mencakup : Heel cord flexibility. Dengan sendi lutut ekstensi dan kaki dalam posisi
inversi, maka kwantitas dari dorsofleksi pergelangan kaki dapat dinilai. Callus pattern. Normalnya, harus ada kalus pada plantar tumit dan pada
ujung metatarsal pertama, dan secara difus pada metatarsal lainnya. Adanya peningkatan kalus, kemerahan, kerusakan kulit pada lengkungan atau medial ibu jari mengindikasikan adanya postur planovalgus pada saat berjalan.
Subtalar motion. Keadaan ini dapat diperiksa dengan melakukan inversi dan eversi kaki sementara hindfoot dalam posisi yang tetap. Aternatif lainnya, pasien diminta untuk berjalan dengan menggunakan tepi medial dan lateral kakinya.
Arch rest (non-weight bearing) dan dengan mengangkat jari kaki. Keadaan flexible flatfoot memiliki posisi yang normal pada saat duduk, dan ketika jari diangkat. Sewaktu jari kaki diangkat, tumit akan tampak dalam kondisi varus. Hal tersebut tidak tampak pada keadaan rigid flatfoot dengan koalisi tarsal.
Specific areas of pain. Adanya kondisi ini mungkin mengarah pada diagnosis lainnya, seperti osteokondrotis atau accessory navicular.
10
Gambar 4. In the Jack toe-raise test. Peninggian dari lengkung longitudinal oleh karena adanya efek katrol dari fasia plantar.
II.8. Temuan Radiologi
Pemeriksaan radiografi pada kasus kelainan flatfoot tidak
digunakan secara umum untuk eveluasi rutin. Pada kasus-kasus yang
berat, rangkaian dari radiografi lateral akan membantu untuk menentukan
arah kelainannya. Namun perlu diingat bahwa temuan pada pemeriksaan
radiografi ini tidak dapat digunakan untuk menentukan indikasi terapi.
Pemeriksaan radiografi harus dinilai pada keadaan kaki sedang
menyokong berat badan, dan diambil dari aspek anteroposterior, lateral,
dan oblik pada foto polos.8,7
Radiografi sisi lateral pada flatfoot akan menunjukkan Meary
ankle, yang mana megindikasikan beratnya suatu deformitas flatfoot.
Adanya lengkungan yang terlokalisir antara navicular dan cuneiform
pertama, memiiki implikasi yang signifikan untuk terapi. Ditemukannya
C-Sign pada radiografi lateral, dikatakan lebih spesifik untuk mendiagnosa
flatfoot daripada koalisi subtalar.8
11
Gambar 5. Weight bearing lateral radiograph. The calcaneal pitch (CP) and the talus-horizontal angle (T-H) merupakan cara pengukuran terbaik untuk menilai kelainan valgus pada hindfoot. The talus-first-metatarsal angle (T-1MT) yang dikenal sebagai the
Meary angle.
Gambar 6. Flatfoot. A. Radiografi lateral dalam posisi berdiri.Adanya talonavikular yang lentur dan plantar fleksi yang relatif dari talus, menunjukkan adanya kontraktur tendon Achilles. ; B.
Radiografi anteroposterior dalam posisi berdiri menunjukkan adanya eversi midfoot dan hindfoot serta keadaan valgus.
Skanning dengan menggunakan computed tomography (CT) scan,
berguna untuk menyingkirkan adanya koalisi tarsal. Adanya deformitas
unilateral pada kaki harus menjalani pemeriksaan neurologik yang tepat,
MRI dapat diindikasikan untuk menyingirkan adanya tethered cord,
lipomeningocelle, dan sebagainya.9
II.9. Tatalaksana
Secara umum, flatfoot yang tidak menimbulkan rasa nyeri
(asimptomatik) tidak membutuhkan tatalaksana khusus. Flexible flatfoot
pada anak-anak hampir tidak pernah menimbulkan permasalahan dan
flexible flatfoot yang asimptomatik jarang sekali membutuhkan suatu
tindakan intervensi; bahkan tidak terdapat bukti yang mengindikasikan
12
bahwa pemberian terapi pada masa awal dapat mencegah berkembangnnya
flexible flatfoot yang bersifat simtomatik pada masa dewasa. Adapun
tatalaksana dari flatfoot ini dibagi menjadi 2, yakni10 :
A. Terapi Konservatif
Pada kasus-kasus hypermobile (flexible) flatfoot, tidak ada terapi yang
diindikasikan pada pasien anak yang asimtomatik. Edukasi serta jaminan rasa
aman mengenai kondisi tersebut, tetaplah menjadi hal yang utama.9,10
Sepatu ortopedik, termasuk dengan berbagai macam modifikasi tumit,
cetakan lengkungan tumit, dan ortosis lainnya, serta penyokong lengkungan
medial, secara tradisional telah dikenal sebagai salah satu metode terapi;
walaupun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa modifikasi tersebut efektif.
Meskipun beberapa penelitian berpendapat bahwa metode terapi ini dapat
mengembalikan lengkungan longitudinal pada keadaan normal dan mengurangi
tekanan yang bersifat patologik pada area kaki yang menopang beban tubuh,
namun penelitian dengan metode kontrol gagal untuk menunjukkan pengaruh
terapi modifikasi ini terhadap perkembangan ataupun pengembalian dari lengkung
longitudinal.10
Pada kasus flatfoot dengan gejala, penyokong lengkungan serta ortosis
mungkin memiliki manfaat bagi penderitnya. Gejala-gejala tipikalnya adalah
seperti rasa nyeri dan lelah pada lengkunan medial, serta keram di malam hari.
Sebagai tambahan, untuk latihan peregangan dan pelurusan otot-otot, sepatu yang
didesign untuk running memiliki kegunaan untuk menyokong tumit dan
lengkungan longitudinal dan pemakaian sepatu inipun lebih dapat diterima secara
luas.7
Jika terjadi kontraktur pada tendon achiles, maka peregangan secara
manual dapat dilakukan baik oleh orang tua maupun oleh anak itu sendiri, jika
13
anak sudah cukup mengerti dan kooperatif terhadap tindakan terapi tersebut.10
Gambar 7. Latihan untuk mengobati flatfoot. A. Peregangan manual dengan sendi lutut ekstensi dan inversi dari hindfoot. Pengulangan beberapa kali dalam sehari dapat dianjurkan. ; B.
Peregangan secara pasif dari surae triceps. Perhatikan bahwa kaki dalam kondisi inversi, sendi lutut dalam kondisi ekstensi dan tumit tetap harus menyentuh lantai
B. Terapi Pembedaan
Adapun indikasi terapi pembedahan pada pasien dengan flatfoot adalah
sebagai berikut.10
14
1. Adanya gejala-gejala yang tidak dapat ditelusuri dan tidak responsif terhadap
penggunaan sepatu dan ortotik modifikasi.
2. Ketidakmampuan dari penderita dalam memodifikasi suatu aktivitas yang
menimbulkan nyeri.
3. Pasien dengan kalus talonavikular dan peregangan dari lengkungan medial
yang membatasi aktivitas sehari-hari akibat rasa nyeri yang ditimbulkannya.
Adapun berbagai tindakan prosedur pembedahan yang dapat
dilakukan untuk terapi pada flatfoot, adalah sebagai berikut.10
1. Arthroereisis
2. Heel Cord Lengthening
3. Subtalar Fusion
4. Lateral Column Lengthening
5. Imbrication of Talonaviculocuneiform Complex
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah flatfoot atau pes planus merupakan suatu terminologi untuk
menggambarkan suatu keadaan berkurangnya ataupun hilangnya lengkung medial
longitudinal telapak kaki sehingga menyebabkan seluruh bagian dari telapak kaki
tersebut menyentuh tanah. Keadaan ini dapat bersifat fisiologik yang dikenal
dengan flexible flatfoot dan patologik yang dikenal dengan rigid flatfoot.
. Flatfoot yang bersifat fisiologik, dikenal dengan flexible flatfoot, ditandai
dengan lengkungan yang normal ketika tidak menyokong beban tubuh dan
lengkungan yang mendatar saat sedang menyokong beban tubuh (dalam keadaan
berdiri). Keadaan ini seringkali tampak selama dekade pertama kehidupan dan
dapat bersifat simtomatik ataupum asimtomatik.
Flatfoot yang bersifat patologik, atau dikenal dengan rigid flatfoot,
ditandai dengan lengkungan yang terfiksasi, artinya tidak dapat dimodifikasi oleh
ada atau tidaknya beban tubuh yang disokong. Keadaan ini merupakan suatu
deformitas kongenital dengan berbagai macam penyebab dan seringkali
mengakibatkan rasa sakit dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas.
Secara umum, flatfoot yang tidak menimbulkan rasa nyeri tidak
membutuhkan tatalaksana khusus. Flexible flatfoot pada anak-anak hampir tidak
pernah menimbulkan permasalahan dan flexible flatfoot yang asimptomatik jarang
sekali membutuhkan terapi. Pada rigid flatfoot, terapi yang diberikan biasanya
berhubungan erat keadaan patologi dasarnya, seperti congenital vertical talus,
tarsal bars, idiopathic short Achilles tendon, and accessory scaphoid bone.
Adapun tatalaksana flatfoot ini dibagi menjadi 2, yakni terapi konservatif dan
terapi pembedahan.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Harris EJ, Vanore JV, Thomas JL, et al. Diagnosis and treatment of pediatric
flatfoot. J Foot Ankle Surg. 2004;43(6):341-373.
2.
Enrrique, V. A., Serran, R. F., Posadaad, J. R., Molano, A. C., & Guevara, O. A. (2012). Prevalence of flatfoot in school between 3 and 10 years. Study of two different populations geographically and socially. Columbia Medica .
3. Mortazavi, S. J., & Espandar, R. (2007). Flatfoot in Children : How to
Approach ?
4. Luhmann SJ, Rich MM, Schoenecker PL. Painful idiopathic rigid flatfoot in
children and adolescents. Foot Ankle Int. 2000;21(1): 59-66.
5. Pfeiffer M, Kotz R, Ledl T, Hauser G, Sluga M. Prevalence of Flat Foot in
Preschool-Aged Children. Pediatrics. 2006;118(2):634-639.
6. Garcia-Rodriguez A, Martin-Jimenez F, Carnero-Varo M, Gomez-Gracia E,
Gomez-Aracena J, Fernandez-Crehuet J. Flexible flat feet in children: a real
problem? Pediatrics. 103(6):e84.
7.
Yeager, D., & Baronofsky, H. (2010). Evaluation and Surgical Management of Fexible Pediatric Flatfooot. Orthotics & Biomechnics .
8. Morrissy, R. T., & Weinstein, S. L. (2006). Lovell's & Winter Pediatric
Orthopaedics (6th ed.). Lippincott Williams & Wilkins.
9. Giovanni, C. D., & Greisberg, J. (2007). Foot & Ankle Core Knowledge in
Orthopaedics. Elsavier.
10. Herring, J. A. (2008). Tachdjian's Pediatric Orthopaedics (4th ed.). Elsavier.
17
18