PERLINDUNGAN TANAMAN
dengan INSEKTISIDA DAN ANTIVIRAL NABATI
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap: i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PERLINDUNGAN TANAMAN
dengan INSEKTISIDA DAN ANTIVIRAL NABATI
Dr. Wuye Ria Andayanie
Dr. Wahidin Nuriana
Netty Ermawati, Ph.D.
PERLINDUNGAN TANAMAN DENGAN INSEKTISIDA DAN ANTIVIRAL NABATI
Wuye Ria Andayanie
Wahidin Nuriana Netty Ermawati
Desain Cover :
Nama
Sumber : Link
Tata Letak :
Haris Ari Susanto
Proofreader : Haris Ari Susanto
Ukuran :
xvi, 190 hlm, Uk: 15.5x23 cm
ISBN : No ISBN
Cetakan Pertama :
Bulan 2019
Hak Cipta 2019, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2019 by Deepublish Publisher All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]
v
PRAKATA
Perubahan iklim akan menimbulkan dampak pergeseran pola
distribusi spatial dan pola distribusi geografis inang karena adanya
zona agroklimat. Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan
akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim
kemarau semakin memberikan kondisi yang kondusif untuk
perkembangan dan penyebaran hama dan virus pada tanaman.
Perlindungan tanaman telah diketahui sampai sekarang sinonim
dengan penggunaan pestisida kimia. Hal ini tidak sepenuhnya
benar, karena sekarang konsep ini sudah berubah secara cepat
untuk mendukung komoditas pertanian yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan.
Perlindungan tanaman dengan insektisida dan antiviral
nabati memegang peranan lebih besar untuk pengelolaan jasad
pengganggu. Hal ini perlu dieksploitasi lebih luas saat ini karena
kenyataan pada praktek tidak sebanding dengan penggunaan
pestisida kimia. Perlindungan tanaman dengan insektisida dan
antiviral nabati merupakan buku ajar yang diperlukan dalam mata
kuliah wajib Dasar-dasar Perlindungan Tanaman dan Pengelolaan
Jasad Pengganggu serta Lingkungan Hidup pada Fakultas
Pertanian. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian, publikasi,
pengalaman penulis, kajian pustaka selama mengampu Dasar-
dasar Perlindungan Tanaman dan Pengelolaan Jasad Pengganggu
serta Lingkungan Hidup.
Buku ini mencakupi cukup banyak materi dengan tujuan
memberi wawasan yang memadai untuk perlindungan tanaman
terhadap hama dan virus. Buku ini ditulis dengan konsep lebih
dari sekedar buku pengantar, namun penulis telah mencoba
membatasi materi pada tataran yang dapat diikuti oleh mahasiswa
vi
S-1 sekaligus menyediakan landasan yang cukup bagi mahasiswa
pascasarjana, peneliti serta umum untuk memperluas wawasan
terhadap fenomena alam yang terjadi saat ini. Saran maupun kritik
terhadap buku ini sangat diharapkan sebagai bagian proses
penyempurnaan, untuk itu penyusun mengucapkan banyak
terimakasih.
Penyusun berharap buku ini dapat memberikan manfaat bagi
para mahasiswa Fakultas Pertanian khususnya dan peneliti serta
masyarakat yang berkecimpung di bidang perlindungan tanaman
dan lingkungan hidup pada umumnya sebagai bagian proses
pendidikan dan pencerahan bangsa.
Madiun 14 April 2019
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................ xiv
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Dasar Pikiran ................................................................ 1
B. Tujuan dan Arti Perlindungan Tanaman ................... 1
C. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi ........................... 4
D. Dinamika Perkembangan Hama dan Penyakit
Tanaman ....................................................................... 6
E. Permasalahan dan Tantangan Perlindungan
Tanaman ....................................................................... 8
F. Kecenderungan Langkah-langkah
Perlindungan Tanaman ............................................. 10
G. Rangkuman................................................................. 12
H. Daftar Pustaka ............................................................ 13
I. Pelatihan ..................................................................... 15
BAB II. SERANGGA SEBAGAI HAMA TANAMAN .............. 16
A. Dasar Pikiran .............................................................. 16
B. Perkembangbiakan Serangga .................................... 16
C. Metamorfosa Serangga .............................................. 21
D. Serangga Hama sebagai Populasi ............................. 27
E. Faktor Penyebab Terjadinya Hama .......................... 34
F. Cara-cara Kerusakan oleh Serangga Hama .............. 41
G. Serangga-serangga Perusak Tanaman ...................... 42
H. Rangkuman................................................................. 51
viii
I. Daftar Pustaka ............................................................ 53
J. Pelatihan ...................................................................... 54
BAB III. SERANGGA SEBAGAI VEKTOR VIRUS
TUMBUHAN ..................................................................... 56
A. Dasar Pikiran .............................................................. 56
B. Penularan dan Penyebaran Virus Tumbuhan
Melalui Vektor ............................................................ 56
C. Hubungan Antara Serangga Vektor dan Virus
Tumbuhan ................................................................... 60
D. Rangkuman ................................................................. 70
E. Daftar Pustaka ............................................................ 72
F. Pelatihan ...................................................................... 73
BAB IV. VIRUS SEBAGAI PENYEBAB PENYAKIT
TANAMAN ....................................................................... 74
A. Dasar Pikiran .............................................................. 74
B. Komposisi Asam Nukleat dan Protein
Penyusun Virus Tumbuhan ....................................... 74
C. Morfologi dan Struktur Virus .................................... 82
D. Infeksi Virus dan Sintesa Virus ................................. 88
E. Replikasi Asam Nukleat Virus .................................. 93
F. Mekanisme Penterjemahan RNA Virus .................. 101
G. Penggabungan Asam Nukleat dan Protein
Menjadi Virion .......................................................... 101
H. Gejala yang Disebabkan Virus Tumbuhan ............. 102
I. Fisiologis Tumbuhan yang Terserang Virus .......... 113
J. Pengimbasan Penyakit Virus Tumbuhan ............... 117
K. Rangkuman ............................................................... 120
L. Daftar Pustaka .......................................................... 121
M. Pelatihan .................................................................... 123
ix
BAB V. INSEKTISIDA NABATI ................................................ 125
A. Dasar Pikiran ............................................................ 125
B. Sejarah dan Perkembangn Insektisida Nabati ....... 126
C. Potensi Tumbuhan sebagai Sumber
Insektisida Nabati .................................................... 127
D. Mekanisme Insektisida Nabati dalam
Melindungi Tanaman .............................................. 136
E. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida
Nabati ........................................................................ 152
F. Kendala dan Strategi Pengembangan
Insektisida Nabati .................................................... 154
G. Rangkuman............................................................... 155
H. Daftar Pustaka .......................................................... 157
I. Pelatihan ................................................................... 159
BAB VI. ANTIVIRAL NABATI ................................................... 160
A. Dasar Pikiran ............................................................ 160
B. Penggunaan Ekstrak Tanaman sebagai
Antiviral .................................................................... 160
C. Mekanisme Pertahanan Secara Alami
terhadap Virus dengan Ekstrak Tanaman.............. 164
D. Aktivitas Antiviral ................................................... 169
E. Rangkuman............................................................... 176
F. Daftar Pustaka .......................................................... 177
G. Pelatihan ................................................................... 178
BAB VII. PENUTUP ........................................................................ 179
GLOSARIUM .................................................................................... 180
INDEKS ............................................................................................. 186
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Faktor dalam untuk berkembangbiak
serangga .......................................................................... 17
Gambar 2. Metamorfosa Ametabola (tidak ada
metamorfosa jelas) ......................................................... 24
Gambar 3. Metamorfosa sederhana (metamorfosa
Hemimetabola) ............................................................... 24
Gambar 4. Metamorfosa sempurna (metamorfosa
Holometabola) ................................................................ 26
Gambar 5. Metamorfosa bertingkat (Paurometabola) ................... 27
Gambar 6. Skematis dari kepadatan populasi hama ..................... 27
Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi kepadatan
populasi serangga hama dan dampaknya
pada tanaman serta manusia ........................................ 29
Gambar 8. Grafik ambang ekonomis untuk pengambilan
keputusan pengendalian hama sesuai dengan
konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) ................. 33
Gambar 9 Serangga vektor virus paling dominan. A:
kutu daun (Myzuz persicae); B. wereng
(Circulifer tenellus); C. Trips (Frankliniella
occidentalis); D. Trips (Frankliniella fusca); E.
kutu putih (Bemisia tabaci) ............................................. 57
Gambar 10. Penularan virus oleh serangga dari sumber
infeksi (kolom pertama) pada tumbuhan yang
kemudian dijajagi atau dimakan oleh
serangga (Bos, 1990). ...................................................... 60
Gambar 11. Bagian mulut dan cara makan aphid. A:
diagram aphid yang sedang makan; B: kepala
aphid yang dipencet dan alat mulutnya; C.
xi
diagram bagian mulut pada irisan melintang
(Bos, 1990)....................................................................... 67
Gambar 12. Struktur asam ribonukleat (Ribonucleic acid =
RNA) dan komponen-komponen (atas) serta
pasangan basa (bawah) (Bos, 1983). ............................. 77
Gambar 13. Transkripsi RNA kurir (mRNA) dan DNA
dalam inti serta terjemahan ke dalam protein
pada ribosom dan sitoplasma (Bos, 1983). ................... 79
Gambar 14. Bentuk dan ukuran dengan lipoprotein
sebagai amplop pada virus tumbuhan
(Matthews, 1992). ........................................................... 83
Gambar 15. Struktur helix dari subunit yang berhubungan
dengan partikel RNA Tobacco mosaic virus
(kiri) dan isometrik partikel Turnip yellow
mosaic virus (kanan) (Bos, 1983). ................................... 85
Gambar 16. Partikel virus berbentuk tongkat kaku (rigid
rod) pada Tobacco mosaic virus (TMV) (atas);
berbentuk tongkat lentur (Flexious Rod) pada
Soybean mosaic virus (SMV) dan Cowpea mild
mottle virus (CPMMV) (bawah) (Bos, 1983).................. 86
Gambar 17. Partikel virus berbentuk ikosahedral dari Bean
golden mosaic virus (Matthews, 1992). ........................... 87
Gambar 18. Struktur Rhabdovirus berbentuk basili
dengan mikrograf elektron (Bos, 1983) ........................ 88
Gambar 19. Mekanisme multiplikasi virus RNA Tobacco
mosaic virus (Paolella, 1997 dalam Yuwono,
2005) ................................................................................ 96
Gambar 20. Organisasi genom dari Cauliflower mosaic
virus (CAMV) (Bos, l983) .............................................. 99
Gambar 21. Gejala mosaik pada daun (A) dan biji (B)
kedelai serta bercak lokal pada daun
xii
Chenopodium amaranticolor (C) yang terinfeksi
Soybean mosaic virus (Andayanie et al., 2014) .............. 105
Gambar 22. Gejala bantut pada tanaman kedelai terinfeksi
Soybean stunt virus ........................................................ 109
Gambar 23. Gejala bercak lokal pada tanaman
Chenopodium amaranticolor. A: tanaman C.
amaranticolor sehat; B: yang terinfeksi
Soybean mosaic virus .................................................. 110
Gambar 24. Diagram hubungan virus-inang dan keadaan
eksternal (Boss, 1983) ................................................... 118
Gambar 25. Struktur senyawa phytol ............................................. 142
Gambar 26. Struktur molekul asam anakardat, kardanol,
kardol dan 2-metil-kardol ........................................... 145
Gambar 27. Persentase peletakan telur kutu kebul pada 72
jam setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu
mete ............................................................................... 150
Gambar 28. Hinggapan kutu kebul (A. dugesii) pada
pengujian antifeedant .................................................... 151
Gambar 29. Persentase hinggapan kutu kebul (B. tabaci)
setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete ............ 152
Gambar 30. Pola pita protein pada inducer terpilih
berdasarkan hasil elektroforesis
menggunakan gel poliakrilamid (SDS- PAGE
10%). (Inducer protein banding pattern was
chosen based on results using polyacrylamide gel
electrophoresis (SDS-PAGE 10%) (Gunaeni et
al., 2018). (1)Tanaman cabai + pagoda (2)
tanaman cabai + pagoda + virus kuning
keriting (3) tanaman cabai + tapak dara (4)
tanaman cabai + tapak dara + virus kuning
keriting (5) tanaman cabai + nimba (6)
tanaman cabai + nimba + virus kuning
xiii
keriting (7) tanaman cabai + beluntas + virus
kuning keriting (8) tanaman cabai + beluntas
(9) tanaman cabai sehat, dan (10) tanaman
cabai terinfeksi virus kuning keriting ........................ 167
Gambar 31. Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai
merah yng diinduksi oleh ekstrak tanaman
(Gunaeni et al., 2015) .................................................... 168
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Proyeksi produksi pangan dunia tahun 2050 ..................... 4
Tabel 2. Spesies dari ordo Orthoptera sebagai serangga
perusak tanaman ................................................................. 48
Tabel 3. Spesies dari ordo Hemiptera sebagai serangga
perusak tanaman ................................................................. 48
Tabel 4. Spesies dari ordo Homoptera sebagai serangga
perusak tanaman ................................................................. 49
Tabel 5. Spesies dari ordo Lepidoptera sebagai serangga
perusak tanaman ................................................................. 50
Tabel 6. Spesies dari ordo Diptera sebagai serangga
perusak tanaman ................................................................. 51
Tabel 7. Serangga sebagai vektor virus tumbuhan......................... 59
Tabel 8. Tipe hubungan serangga vektor dan virus
tumbuhan ............................................................................ 61
Tabel 9. Virus tumbuhan yang ditularkan secara
nirpersisten .......................................................................... 62
Tabel 10. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara
persisten ............................................................................... 64
Tabel 11. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara semi
persisten ............................................................................... 65
Tabel 12. Sifat penularan pada setiap tipe hubungan antara
virus dan vektor .................................................................. 66
Tabel 13. Jenis dan fungsi gen pada kelompok Potyvirus ............... 97
Tabel 14. Ekspresi dn fungsi hayati protein CaMV ........................ 100
Tabel 15. Daftar tanaman untuk insektisida nabati ........................ 134
Tabel 16. Waktu penjuluran proboscis selama berada pada
sumber ekstrak .................................................................. 140
Tabel 17. Jumlah individu predator dan parasitoid telur
wereng kapas yang tertarik pada minyak atsiri
xv
dari daun kapas, batang dan daun jagung, dan
daun teh hitam. dalam uji dengan pilihan di
laboratorium menggunakan tabung X ............................ 141
Tabel 18. Hasil uji aktivitas antifeedant dari ekstrak kental
n-heksana .......................................................................... 143
Tabel 19. Famili, senyawa aktif dari spesies tumbuhan
yang mempunyai sifat menghambat aktivitas
makan, serta organisme sasaran yang
menunjukkan efek penghambatan makan ..................... 144
Tabel 20. Total kandungan phenolic, flavonoid and tannin
dari ekstrak kulit biji jambu mete .................................... 145
Tabel 21. Senyawa bioaktif dari ekstrak kulit biji jambu
mete ................................................................................... 146
Tabel 22. Persentase peletakan telur kutu kebul ............................ 147
Tabel 23. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji
jambu mete terhadap kejadian penyakit pada
tanaman kedelai ................................................................ 171
Tabel 24. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji
jambu mete terhadap intensitas penyakit pada
tanaman kedelai ................................................................ 172
Tabel 25. Potensi ekstrak kulit biji jambu mete sebagai
penginduksi terhadap infeksi CPMMV .......................... 173
xvi
1
BAB I.
PENDAHULUAN
A. DASAR PIKIRAN
Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan perubahan iklim
gobal serta pola tanam pada musim kemarau merupakan salah satu faktor
penghambat produksi komoditas pertanian. Di lain pihak, kebijakan
kedaulatan pangan, pangan diproduksi secara agroekologi, multikultur dan
sistim pertanian berkelanjutan, sehingga keberlanjutan dan faktor
lingkungan menjadi hal utama. Fluktuasi suhu dan kelembapan udara yang
semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
hama dan virus tanaman, sehingga menyulitkan dalam pengelolaannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, pengelolaan hama dan virus dengan pestisida
kimia sering tidak dapat dihindarkan, bahkan menjadi pilihan utama.
Pada pembahasan ini akan dijelaskan tujuan dan arti perlindungan
tanaman dan dinamika perkembangan hama dan penyakit tanaman serta
kecenderungan langkah-langkah perlindungan tanaman. Setelah selesai
membaca dan memahami pembahasan ini diharapkan para pembaca atau
mahasiswa dapat mengerti peran penting perlindungan tanaman, hambatan
dalam peningkatan produksi, serta menyebutkan komponen pengelolaan
hama dan penyakit tanaman yang ramah lingkungan.
B. TUJUAN DAN ARTI PERLINDUNGAN TANAMAN
Kegiatan perlindungan tanaman mempunyai tujuan untuk
melindungi, mencegah, atau menghindari agar tanaman kita agar tidak
menderita suatu gangguan, kerusakan, kematian, kemerosotan hasilnya
atau memperkecil kerugian yang ditimbulkannya. Perlindungan tanaman
meliputi segala kegiatan perlindungan terhadap kerusakan pertanaman
mulai dari tanam sampai diterima konsumen. Usaha perlindungan tanaman
dapat dilakukan sebelum, pada saat dan sesudah terjadi serangan jazad
pengganggu. Perlindungan tanaman mempunyai hubungan erat dengan
masalah ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Usaha perlindungan
2
tanaman harus menguntungkan. Apabila suatu usaha perlindungan
tanaman tidak akan dapat menguntungkan, misalnya apabila tingkat
serangan jasad pengganggu telah melampaui batas toleransi, maka lebih
baik tidak dilakukan usaha perlindungan tanaman. Oleh karena itu,
perlindungan tanaman harus memiliki prinsip untuk memperkecil kerugian
dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mencegah
atau mengurangi sekecil mungkin kerugian, atau bahkan sama sekali
meniadakan kerugian tersebut.
Kegiatan perlindungan tanaman perlu dilakukan secara teratur agar
produksi pangan tidak terganggu. Hal ini karena pola curah hujan sering
mengalami perubahan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim
ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan naiknya
permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Las, 2007).
Perubahan iklim mempunyai dampak terhadap pola curah hujan dan
temperatur ekstrim, salinisasi lahan pertanian dengan irigasi, dan
kebutuhan keseluruhan untuk mempertahankan atau meningkatkan
produktivitas komoditas pertanian terutama di lahan sub-optimal. El Nino
dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim. El
Nino adalah peristiwa memanasnya temperatur air permukaan laut dan
menyebabkan terjadinya musim kemarau yang panjang. La Nina
merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina adalah kondisi cuaca yang
normal kembali setelah terjadinya gejala El Nino. La Nina mengakibatkan
angin dengan banyak uap air, sehingga sering terjadi hujan lebat dan
kemungkinan terjadinya banjir sangat besar (Budianto, 2001). El Nino
menyebabkan peningkatan patogen dari kelompok virus dan vektor virus
serta hama pada tanaman. Hal ini karena musim kemarau yang panjang
dan temperatur tinggi. La Nina menyebabkan peningkatan patogen dari
kelompok jamur dan bakteri. Hal ini karena kelembaban yang tinggi
dengan angin yang membawa uap air.
Menurut Las & Irsal (2007 dalam Irianto 2008) peningkatan
temperatur di atmosfir akan meningkatkan transpirasi dan konsumsi air,
percepatan pemasakan biji, penurunan mutu hasil serta berkembangnya
beberapa organisme pengganggu tanaman. Perubahan iklim mempunyai
dampak terhadap degradasi lahan pertanian dan penurunan produktivitas
lahan akibat salinitas. Cekaman kekeringan pada tanaman akan meningkat
3
dengan adanya perubahan iklim global. Cekaman kekeringan
menyebabkan meningkatnya polong hampa akibat terhambatnya proses
fisiologi dan metabolisme unsur hara, berkurangnya hasil fotosintesis dan
transportasi fotosintat. Hal ini menyebabkan tanaman mudah terinfeksi
oleh penyakit. Kondisi ini diantisipasi dengan penemuan varietas-varietas
unggul untuk lahan kering dan beriklim kering serta salinitas tinggi (Hipi
et al., 2014; Ardiansyah et al., 2014). Cekaman kekeringan 50% terhadap
ketersediaan air akan menurunkan hasil biji, misalnya kedelai varietas
Cikuray, Panderman, Burangrang, Tidar, dan Wilis berturut turut 62,6%,
52,8%, 41,7%, 64.0% dan 47,6% (Suhartina, 2007). Selain itu upaya
pernah dilakukan untuk mengatasi ledakan kutu kebul sebagai vektor virus
tanaman kedelai dengan sprinkler dan musuh alami. Meskipun upaya ini
semakin sulit dilakukan, jika kondisi ekstrim terus berkelanjutan
(Balitkabi, 2014).
Penyakit virus kedelai merupakan contoh yang fenomenal. Lima
tahun lalu, Cowpea Mild Mottle Virus (CPMMV) bukan merupakan
penyakit yang penting (Andayanie et al., 2011). Data Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian juga menunjukkan
hal yang serupa. Hebatnya lagi penyakit tersebut juga ditemukan di dataran
tinggi. Epidemi penyakit virus kedelai salah satunya ditentukan oleh
dinamika populasi serangga vektor, yaitu kutu kebul (Bemisia tabaci).
Temperatur yang tinggi dan kemarau yang panjang mendukung
perkembangan kutu kebul. Hingga saat ini belum ada penelitian mendalam
tentang faktor penyebab ledakan penyakit ini di Indonesia. Meskipun
varietas-varietas kedelai telah banyak yang dilepas ke petani.
Daya produksi suatu pertanaman terletak antara dua batas teoritik
yaitu: daya produksi yang primitif dan daya produksi maksimum, diantara
keduanya terletak daya produksi ekonomi. Selama periode 2009−2050,
produktivitas pertanian di negara berkembang diperkirakan menurun
sekitar 9−21%, sedangkan di negara maju dampaknya bervariasi antara
penurunan 6−8%, tergantung dampak yang saling menutupi dari tambahan
karbon di udara akibat pemanasan global terhadap fotosintesis. Meskipun
demikian, produksi pangan dunia akan mengalami peningkatan sekitar
34,5%, jika dilihat dari perkembangan teknologi pada proses produksi dan
4
pasca panen, sehingga tahun 2050 diperkirakan produksi bahan pangan di
dunia meningkat 51,5% (Tabel 1).
Tabel 1. Proyeksi produksi pangan dunia tahun 2050
C. ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN EKOLOGI
Anggapan bahwa perlindungan tanaman identik dengan penggunaan
pestisida saja dapat dihilangkan. Perlindungan tanaman berdasarkan
pertimbangan kepada segi ekonomi, ekologi dan sosiologi diharapkan
dapat dipahami oleh masyarakat petani. Sistim pengendalian berbeda
dengan pemberantasan, yaitu bahwa pengendalian mengandung maksud
menekan populasi atau intensitas serangan sampai batas yang tidak
merugikan secara ekonomis. Dalam sistim pengendalian ini pertimbangan
ekonomis dan ekologis serta sosiologis nampak jelas.
Aspek sosial, perlindungan tanaman diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan per kapita masyarakat petani atau produsen pertanian. Teknik-
teknik pelaksanaan perlindungan tanaman sebagai pengetahuan baru
diharapkan masyarakat mudah mendapatkan. Semua fasilitas penggunaan
metode pengendalian dan tersedianya sarana-sarana pengendalian di
daerah yang berdekatan dengan petani, merupakan pertimbangan
sosiologis dalam sistem pengendalian. Sistem pengendalian ini diharapkan
metode yang dipergunakan dapat diterima atau dikerjakan oleh petani
(farmer acceptance). Oleh karena itu semua metode pengendalian harus
cukup sederhana, mudah dilakukan, murah, aman, dan menggunakan
fasilitas-fasilitas yang tersedia.
Pertimbangan ekonomis dalam sistim pengendalian yaitu adanya
usaha menekan populasi atau intensitas serangan jasad pengganggu sampai
5
batas tertentu yang tidak menimbulkan kerugian ekonomis. Ini berarti
bahwa biaya pengendalian yang dikeluarkan relatif murah, karena tidak
menekan populasi atau intensitas serangan serendah-rendahnya. Menurut
teori pengendalian penekanan populasi atau mengurangi intensitas
serangan serendah-rendahnya, apalagi sampai nol adalah tidak ekonomis.
Penekanan populasi atau mengurangi intensitas serangan cukup hanya
sampai batas toleransi atau batas yang tidak merugikan secara ekonomis
saja.
Perlindungan tanaman dengan pertimbangan ekologi berusaha untuk
menjaga kelestarian lingkungan. Prinsip pengendalian yang dianut
bukanlah semata-mata pemberantasan atau pembasmian. Teknik-teknik
pengendalian dalam perlindungan tanaman merupakan usaha menekan
populasi dan mengurangi intensitas serangan jasad penganggu saja, tetapi
sekaligus memperhatikan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu bentuk perlindungan tanaman berupa usaha pengedalian
dan bukan pemberantasan.
Dalam sistim pengendalian konsep monitoring terhadap populasi
atau tingkat serangan selalu dilakukan. Monitoring ini akan dapat
memberikan informasi status dari hama atau penyakit, apakah
membutuhkan tindakan pengendalian atau tidak. Menjaga atau memelihara
tingkat populasi atau tingkat serangan selalu di bawah batas”ambang
ekonomi” dengan melakukan tindakan-tindakan pengendalian selain
penggunaan pestisida atau bercocok tanam yang baik, menanam varietas
tahan dan lain-lain, merupakan usaha yang sering dilakukan dalam sistem
pengendalian.
Di daerah tropika belum ada data yang lengkap tentang kerugian
pertanaman karena jasad pengganggu. Di negara Asia yang menghasilkan
bahan pangan lebih banyak daripada Eropa dan Amerika. Hal ini karena
sebagian besar negara Asia mempunyai iklim tropis negara Asia, sehingga
dapat ditanami sepanjang tahun. Namun demikian hama dan penyakit
selalu dijumpai sepanjang tahun, jika terjadi epidemi atau eksplosi
pengganggu akan mudah terjadi kelaparan.
6
D. DINAMIKA PERKEMBANGAN HAMA DAN
PENYAKIT TANAMAN
Perkembangan hama dan penyakit tanaman sangat dipengaruhi oleh
dinamika faktor iklim. Perubahan iklim mempunyai implikasi terhadap
munculnya ras, strain, biotipe, genome baru dari penyakit dan vektor yang
mempengaruhi tanaman kedelai dan berdampak menimbulkan risiko baru
terhadap ketahanan pangan. Oleh karena itu, saat musim hujan petani
disibukkan oleh penyakit dari kelompok jamur dan bakteri. Sedangkan
pada musim kemarau disibukkan oleh penyakit virus dan vektornya serta
hama tanaman.
Pengaruh tidak langsung melalui kelembaban dan embun yang
dihasilkan dari bantuan angin, karena angin akan berpengaruh terhadap
tingkat kelembaban di suatu daerah. Pengaruh langsung, angin berperan
sebagai penyebar hama dan spora serta pelukaan pada bagian tanaman,
sehingga memudahkan masuknya penyakit. Angin dapat membawa hama
dan spora dari penyakit tanaman tidak terhitung banyaknya dengan
menempuh jarak yang jauh. Bahkan angin yang sangat lemahpun dapat
menyebarkan serangga aphid dan mengangkut spora sebagai sumber
inokulum ke sekitarnya.
Penyakit virus kedelai merupakan contoh yang fenomenal. Lima
tahun lalu, Cowpea Mild Mottle Virus (CPMMV) bukan merupakan
penyakit yang penting (Andayanie et al., 2011). Data Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian juga menunjukkan
hal yang serupa. Hebatnya lagi penyakit tersebut juga ditemukan di dataran
tinggi. Epidemi penyakit virus kedelai salah satunya ditentukan oleh
dinamika populasi serangga vektor, yaitu kutu kebul (Bemisia tabaci).
Temperatur yang tinggi dan kemarau yang panjang mendukung
perkembangan kutu kebul. Hingga saat ini belum ada penelitian mendalam
tentang faktor penyebab ledakan penyakit ini di Indonesia. Meskipun
varietas-varietas kedelai telah banyak yang dilepas ke petani.
Semangun (2004), terjadinya suatu penyakit tanaman akan
dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu tanaman inang yang rentan
(susceptible host), patogen yang virulen serta kondisi lingkungan yang
sesuai. Apabila ketiga faktor tersebut tercapai maka penyakit tanaman
akan muncul. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan
7
penyakit di antaranya temperatur rendah yang dapat meningkatkan
intensitas penyakit, kelembaban dan curah hujan yang tinggi cenderung
meningkatkan intensitas serangan penyakit. Hal ini mengindikasikan
bahwa faktor lingkungan merupakan faktor penting dalam mendukung
terjadinya penyakit tanaman. Pengaruh perubahan iklim akan sangat
spesifik untuk masing masing penyakit.
Ekspresi gejala beberapa penyakit karena virus tergantung dari
temperatur. Dinamika lingkungan biotik juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor iklim. Oleh sebab itu, subsektor tanaman pangan seperti kedelai
merupakan salah satu yang menerima dampaknya. Perubahan iklim global
yang sulit diprediksi, keberadaan musuh alami dan cara pengelolaan
penyakit mempunyai pengaruh terhadap keberadaan dan dinamika
penyakit (Garrett, 2006). Beberapa faktor menunjukkan
ketidakseimbangan kondisi antara penyakit dan tanaman inang serta
musuh alami sebagai berikut:
1. Tanaman akan mengalami tekanan/stress karena perubahan iklim
dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
2. Serangga mikroba termofilik (menyukai kondisi panas) lebih
diuntungkan dengan makin panjangnya musim panas/kemarau dan
meningkatnya temperatur.
3. Hama yang bukan penyebab utama gangguan (minor) pada
pertanaman berubah menjadi hama yang utama
4. Akibat peningkatan temperatur, distribusi geografis serangga vektor
penyakit virus pada tanaman kedelai menjadi meluas sehingga
memperluas insidensi penyakit.
5. Kekeringan yang terjadi pada musim kemarau dapat meningkatkan
serangan hama dan jamur penyebab penyakit yang sangat tergantung
tekanan/stress yang dialami inangnya.
6. Peningkatan konsentrasi CO2 di udara mengakibatkan meningkatnya
fekunditas dan agresiveness patogen.
Pemantauan terhadap dinamika perkembangan jasad pengganggu
merupakan upaya yang perlu direalisasi sebagai upaya antisipasi
perubahan iklim global. Peningkatan pemahaman agroekosistim untuk
pengelolaan penyakit pada tanaman perlu dilakukan oleh petani, sehingga
lebih jeli mengamati dan menyikapi perubahan yag terjadi pada hama dan
8
penyakit tanaman. Oleh karena itu pendekatan sistem pengendalian hama
dan penyakit tanaman dengan bahan nabati dapat digunakan sebagai
alternatif pemakaian pestisida kimia Langkah ini sebagai upaya
mengoptimalkan sumberdaya hayati yang berlimpah di Indonesia,
sehingga perlu kerjasama antara petani, peneliti, pemerintah dan perguruan
tinggi.
E. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
PERLINDUNGAN TANAMAN
Permasalahan perlindungan tanaman menjadi penting juga karena
begitu banyaknya jenis organisme dapat berstatus sebagai Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT). Dalam hal ini digunakan istilah 'dapat
berstatus', bukan 'tergolong' sebagai OPT, karena OPT merupakan sebutan
yang diperoleh oleh suatu organisme hanya jika organisme tersebut
merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tanaman.
Kemampuan untuk menjadi OPT merupakan kombinasi antara sifat-sifat
yang diwariskan (genetik) dan sifat-sifat yang berkembang karena faktor
lingkungan.
Permasalahan ini menjadi lebih berat bagi Indonesia, bukan hanya
karena laju peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, melainkan juga
karena kebijakan pembangunan pertanian yang belum disertai dengan
strategi perlindungan tanaman yang jelas sebagaimana yang telah dimiliki
oleh negara-negara maju. Selain itu, perubahan iklim global (global
climate change) semakin menjadikan permasalahan jasad pengganggu
semakin pelik ke depan. Consentrasi CO2 atmosfer meningkat dari periode
pra-industri sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada 2005. Selama 8000
tahun sebelum industrialisasi, meningkat hanya sebesar 20 ppm, tetapi
sejak 1759 konsentrasi CO2 meningkat menjadi hampir 100 ppm. Laju
peningkatan tahunan konsentrasi CO2 hasil pengukuran selama 1960-2005
yang besarnya 1,4 ppm/tahun meningkat menjadi 1,9 ppm/tahun selama
1995-2005. Peningkatan konsentrasi CO2 tersebut juga disertai dengan
peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca lainnya seperti CH4, SO2,
N2O, dan CFC. Peningkatan CO2 dan gas-gas rumah kaca ini merupakan
penyebab meningkatnya radiative forcing menjadi 1.66 ± 0.17 W/m2 yang
berakibat pada terjadinya peningkatan suhu global yang kemudian diirngi
9
pula dengan perubahan pola presipitasi global. Peningkatan konsentrasi
CO2, temperatur udara, dan pola presipitasi tersebut tentu saja akan
mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dinamika populasi, dan
bahkan pemencaran OPT. Peningkatan CO2 diperkirakan akan
berpengaruh terhadap gulma daripada golongan OPT lainnya karena
gulma, khususnya gulma yang mempunyai jalur fotosintetik C3, mampu
lebih memanfaatkan CO2 daripada tanaman. Sementara itu, peningkatan
temperatur akan mendorong jenis-jenis gulma penting di kawasan tropika
dataran rendah menjangkau kawasan sub-tropika dan kawasan tropika
dataran tinggi. Hal ini menyebabkan petani Australia bagian Selatan dan di
kawasan tropika dataran tinggi, misalnya, harus menghadapi jenis-jenis
gulma baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Hal yang sama
diperkirakan juga akan terjadi pada binatang hama maupun patogen,
sebagaimana misalnya pemencaran kutu loncat jeruk asia (Diaphorina
citri) yang akan diprediksi akan mencapai Australia bagian Selatan.
Sementara itu, pengaruh perubahan pola presipitasi terhadap Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) diperkirakan akan sangat berkaitan dengan
perubahan pola budidaya tanaman yang dilakukan sebagai tanggapan
terhadap perubahan pola presipitasi yang terjadi di suatu kawasan.
Proses pemencaran OPT yang sebelumnya terjadi lambat
diperkirakan akan meningkat bukan hanya karena perubahan iklim
melainkan juga oleh globalisasi. Globalisasi dicirikan antara lain oleh
meningkatnya arus orang dan barang dalam waktu sangat cepat melintasi
jarak yang sebelumnya memerlukan waktu lama untuk melintasinya.
Peningkatan arus orang dan barang tersebut akan disertai pula dengan
meningkatnya peluang disertai OPT, terutama dari negara-negara maju
yang mendominasi ekspor.
Pola tanam dari beberapa tanaman secara terus menerus akan
meningkatkan masalah terhadap OPT. Padi mendominasi di kawasan Asia
dan 75 % tumbuh dalam kondisi tadah hujan. Selain itu kisaran antara
kondisi pola tanam dan sistim usaha tani pada hamparan yang luas dengan
kultivar yang secara genetik homogen juga dikembangkan sejak lama.
Kondisi ini lebih besar keanekaragaman untuk terjadinya resistensi
alamiah terhadap jasad pengganggu, tetapi kultivar baru yang homogen
10
tersebut diperkenalkan secara cepat, sehingga gangguan jasad pengganggu
juga sangat kompleks.
F. KECENDERUNGAN LANGKAH-LANGKAH
PERLINDUNGAN TANAMAN
Tanaman di wilayah tropika seperti Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan hama. Pola tanam, beberapa tanaman ditanam secara terus menerus
karena iklim yang mendukung. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya
hama, penyakit, dan gulma. Sistim bertani ini menyebabkan terjadinya
tekanan ekologi, sehingga timbul jasad pengganggu baru. Selain itu
munculnya kultivar baru yang homogen yang secara cepat dan luas akan
menyebabkan jasad pengganggu sangat kompleks. Oleh karena itu
pengeterapan teknologi modern di bidang pertanian akan menyebabkan
perubahan kehidupan hama dan penyakit tumbuhan.
Perubahan lingkungan maupun pergeseran pola bertanam dan lain
sebagainya dari suatu daerah pada suatu saat mengakibatkan pergeseran
status hama dan penyakit tumbuhan. Guna mengurangi kerusakan tanaman
sebelum panen (pra-harvest) maupun sesudah panen (post harvest), maka
hama dan penyakit perlu dikendalikan dengan baik. Upaya monitoring
terhadap jasad pengganggu jarang dilakukan oleh petani. Petani lebih
banyak menggunakan insektisida dalam pemberantasan hama, sehingga
perlindungan tanaman mempunyai sinonim dengan penggunaan pestisida
kimia.
Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan berbagai hama dalam arti luas (jasad pengganggu) dan
cida: membunuh. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7
tahun l973, difinisi pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
jasad renik dan virus yang digunakan untuk mencegah hama dan penyakit
yang merusak tanaman atau hasil pertanian serta rerumputan. Meskipun
demikian, penggunaan pestisida kimia mempunyai kelemahan, khususnya
dampak bahan kimia untuk ekosistim dan produk pertanian. Penggunaan
pestisida kimia juga menyebabkan munculnya OPT dan strain baru yang
lebih ganas dari penyakit serta biotip baru dari hama. Hal tersebut
mengakibatkan faktor penghambat populasi hama secara hayati tidak dapat
bekerja secara maksimal dan populasi hama mengalami peningkatan.
11
Selain itu praktek penggunaan bahan kimia yang berlebihan juga
mempengaruhi kandungan bahan organik tanah, sehingga kekeringan
sedikit saja telah membuat lengas tanah terkuras habis dan berdampak
terhadap luas tanam dan produktivitas tanaman. Oleh karena itu pestisida
kimia dapat digunakan hanya sebagai usaha suplemen.
Langkah simultan harus dilakukan untuk mencapai kedaulatan
pangan, antara lain petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan
kerugian, seperti kekeringan dan ledakan jasad pengganggu karena
perubahan iklim global. Penggunaan bahan nabati sebagai pengganti bahan
kimia perlu dieksploitasi lebih luas untuk perlindungan tanaman. Banyak
jasad pengganggu dapat dikendalikan dengan ekstrak dari bahan nabati.
Kecenderungan menggunakan bahan nabati secara konsisten bertambah
dan terbukti dalam program penelitian lembaga nasional maupun
internasional. Selain itu beberapa kemungkinan langkah penting untuk
menghindari masalah jasad pengganggu kaitannya dengan varietas unggul
berangka hasil tinggi adalah:
a. Pengembangan tanaman melalui pemuliaan ketahanan dan rekayasa
genetika;
b. Aplikasi konsep multigalur;
c. Menghindarkan introduksi terhadap lingkungan yang baru, tanpa
pengujian adaptif;
d. Modifikasi cara-cara berproduksi;
e. Rotasi tanaman, tanaman campuran dan higiene;
f. Pemupukan yang seimbang dan pengelolaan air;
g. Stabilisasi angka hasil;
h. Integrasi sistim pengelolaan jasad pengganggu dengan
pengembangan varietas unggul berangka hasil tinggi;
i. Surveilan untuk hama dan penyakit;
j. Pengendalian hayati;
k. Integrasi penelitian, penyuluhan, dan latihan:
l. Kebijakan nasional tetang varietas unggul berangka hasil tinggi.
Penggunaan varietas tahan dalam rangka usaha pengendalian hama
dan penyakit, merupakan pencegahan secara dini atau seawal mungkin
sebelum terjadi serangan. Pada daerah-daerah banyak serangan hama atau
penyakit tertentu, penggunaan varietas tahan perlu dianjurkan. Namun
12
demikian, gen yang resisten dan memiliki ekonomi tinggi memerlukan
waktu lama untuk memindahkan. Tidak semua tanaman di dalam satu
spesies akan sama mudahnya diserang oleh patogen tertentu, dan
kerentanan atau ketahanan yang dimiliki tanaman bisa diturunkan.
Kenyataan ini merupakan dasar untuk perkembangan ketahanan, dan untuk
penggunaan varietas tahan. Dalam hubungannya dengan upaya melindungi
tanaman dari serangan OPT, ketentuan di atas tentunya sangat menentukan
pemilihan jenis dan teknologi perlindungan tanaman yang merupakan
sebagian dari proses produksi pertanian.
Konsep perlindungan tanaman secara terpadu, yang memadukan
berbagai komponen pengendalian dan menempatkan penggunaan pestisida
sebagai upaya terakhir harus diterapkan dengan ketat. Riset-riset untuk
menemukan berbagai teknologi pengendalian yang dapat dipadukan satu
sama lain, contohnya penggunaan agensia hayati yang antagonis terhadap
OPT, pemanfaatan pestisida botani, sistem monitoring OPT, penggunaan
mulsa, bahan hijauan, dan lain-lain perlu terus digalakkan. Hal ini karena
di negara berkembang, kebutuhan insektisida kimia untuk tanaman lebih
besar daripada kelas lain, seperti pestisida, fungisida dan herbisida.
Kemudahan cara aplikasi dan keberhasilan secara cepat insektisida kimia
lebih menjamin keberhasilan dibandingkan dengan cara lain. Praktik
penggunaan insektisida dari ekstrak bahan nabati dan kaitannya dengan
varietas unggul berangka hasil tinggi tidak mempunyai kemampuan
sebanding dengan insektisida kimia. Meskipun banyak bukti dengan
pengendalian non kimiawi dapat memainkan peranan yang lebih besar
untuk pengendalian jasad pengganggu.
G. RANGKUMAN
Perlindungan tanaman mempunyai peranan yang sangat penting dan
tidak dapat dipisahkan dari usaha peningkatan produksi tanaman atau
produksi pertanian. Dengan demikian, perlindungan tanaman mempunyai
peran untuk menjamin kepastian hasil dan memperkecil resiko berproduksi
suatu tanaman, karena walaupun langkah-langkah lainnya dari budidaya
suatu tanaman sudah dilakukan, seperti penggunaan varietas unggul, cara
penanaman, pemupukan, pengairan, penyiangan, pemanenan dan pasca
13
panen telah dilaksanakan dengan baik, tetapi pengendalian OPT diabaikan,
maka apa yang diberikan tidak berarti atau hilang.
Perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan dan dipercepat oleh
berbagai aktivitas manusia yang berdampak cukup luas terhadap faktor
kehidupan, termasuk pertanian. Fluktuasi temperatur dan kelembapan
udara yang semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan organisme pengganggu tanaman. Petani mempunyai
kecenderungan terhadap penggunaan pestisida kimiawi untuk mengatasi
tanaman yang terserang hama dan penyakit. Penggunaan bahan kimia
termasuk pestisida akan meningkatkan jumlah emisi gas rumah kaca.
Apabila pemanasan global tidak terkendali, maka ke depan resiko
terjadinya kekeringan dan serangan hama dan penyakit dapat berakibat
buruk di bidang pertanian, termasuk usaha tani semakin besar.
Strategi pengendalian hama dan penyakit diperlukan untuk jangka
pendek dan menengah serta jangka panjang. Selain itu antisipasi
perubahan iklim global perlu diarahkan untuk penggunaan varietas tahan
dan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu pada tanaman dengan
memanfaatkan insektisida dan antiviral sebagai alternatif pemakaian
pestisida kimia. Dampak perubahan iklim terhadap hama dan penyakit
tanaman diharapkan petani sebagai pelaku usaha dalam bidang pertanian
untuk mewaspadai sebelum terjadi serangan jasad pengganggu tersebut
terutama pada musim kemarau, sehingga ada tindakan pencegahan untuk
mengurangi peningkatan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman
dengan tindakan pengendalian yang ramah lingkungan.
H. DAFTAR PUSTAKA
Andayani W.R., Y.B. Sumardiyono, S. Hartono & P. Yudono. 2011.
Incidence of soybean mosaic disease in East Java Province. J.
Agrivita 33 (1): 15−21.
Andayanie W.R. 2016. Pengembangan Produksi Kedelai Sebagai Upaya
Kemandirian Pangan di Indonesia. Penerbit Mitra Wacana Media.
Jakarta,hlm 18.
Ardiansyah M., L. Mawarni & N. Rahmawati. 2014. Respon pertumbuhan
dan produksi kedelai hasil seleksi terhadap pemberian asam
14
askorbat dan inokulasi fungi mikoriza arbuskular di tanah salin. J.
online Agroteknologi 2(3): 948-954.
Badan Litbang Pertanian. 2015. Panduan inventori Gas Rumah Kaca dan
mitigasi perubahan iklim sektor pertanian.
www.litbangpertanian.go.id. Diakses 11 September 2015.
Balitkabi. 2014. Kutu kebul Bemisia tabaci: Aleyrodidae hama penting
pada tanaman kedelai. Kumpulan informasi teknologi pertanian.
Boer. 2002. Analisis Resiko Iklim Untuk Produksi Pertanian. Jurusan
Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.
Budianto AI. 2001. Pengaruh Perubahan Iklim Global Terhadap Negara
Kepulauan Indonesia, dalam Rajagukguk, E dan Ridwan K,
Jakarta.
Garrett K.A. 2006. Climate Change Effects on Plant Disease: Genomes to
Ecosystems. Annu. Rev. Phytopathol. 44:489–509.
Hipi A., N. Herawati, Y. Sulistyawati & Sudarto. 2014. Karakter
agronomis tujuh varietas unggul kedelai di lahan kering beriklim
kering. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi tahun 2014. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang. Kementerian
Pertanian. Hal: 149−160.
Intergovernmental Panel on Climate Change,1995. Climate Change 1994.
IPCC. Cambridge University Press. London.
Irianto S.G. 2008. Perubahan iklim dan ketahanan pangan: Dampak dan
strategi antisipasi. Makalah Seminar Nasional di Fak. Pertanian
Universitas Brawijaya: Pemanasan global strategi mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim di Indonesia. 31 Januari 2008. 14 hlm. .
Kementerian Pertanian. 2013. Konsep strategi induk pembangunan
pertanian 2013−2015. Pertanian Bioindustri Berkelanjutan. Solusi
Pembangunan Pertanian Masa Depan (B. Pasaribu et al. Perumus).
Biro Perencanaan Kementerian Pertanian. 184 hlm.
Kumpulaninfopertanian.blogspot.co.id/2014/10/kutu-kebul-bemisia-tabaci-
aleyrodidae.html.
Las & Irsal. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim. Balai
Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Jakarta.
15
Mudiarso D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi
Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm 11.
Setyanto P. 2004. Methane Emission and it‟s mitigation in rice field under
different management practices in Central Java. Thesis. Program
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Suhartina, Purwantoro, N. Nugrahaeni & A. Taufiq. 2014. Dering 1:
varietas unggul baru kedelai toleran kekeringan dengan potensi
hasil tinggi. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi tahun 2014. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang.
Kementerian Pertanian. Hal: 28−36.
I. PELATIHAN
1. Jelaskan mengapa perubahan iklim mempengaruhi kerentanan
sektor pertanian.
2. Jelaskan alasan mengapa penggunaan pestisida dan pupuk dari
bahan kimia mempengaruhi kerentanan tanaman terhadap hama dan
penyakit.
3. Jelaskan aspek sosial, ekonomi dan ekologi yang mempengaruhi
untuk perlindungan tanaman.
4. Jelaskan mengapa perubahan iklim mempunyai implikasi terhadap
munculnya ras, strain, biotipe, genome baru dari penyakit
5. Jelaskan perlunya pemantauan terhadap dinamika perkembangan
penyakit digunakan sebagai antisipasi perubahan iklim global.
6. Sebutkan paling sedikit 5 langkah penting untuk menghindari
masalah jasad pengganggu kaitannya dengan varietas unggul
berangka hasil tinggi.
7. Jelaskan permasalahan dan tantangan perlindungan tanaman dewasa
ini.
8. Jelaskan langkah-langkah perlindungan tanaman yang saat ini
dilakukan oleh petani.
16
BAB II.
SERANGGA SEBAGAI HAMA TANAMAN
A. DASAR PIKIRAN
Indonesia mempunyai keanekaragaman serangga yang berlimpah.
Keanekaragaman ini disebabkan tanaman selalu ada sepanjang tahun.
Namun tidak semua serangga mempunyai manfaat pada tanaman dan
kepentingan manusia secara ekonomi. Oleh karenanya, hama didifinisikan
sebagai organisme yang tidak diharapkan pada petanaman pertanian. dan
merusak tanaman, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi karena
menurunnya produksi tanaman secara kualitas dan kuantitas serta tidak
diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia. Definisi tersebut
mengandung pengertian, jika binatang merusak tanaman, tetapi tidak
menimbulkan kerugian ekonomi, tidak dapat dikatakan sebagai hama.
Pada pembahasan ini akan dikaji perkembangan serangga hama
tanaman sebagai populasi dan faktor penyebab terjadinya serangga hama
serta cara-cara kerusakan yang dilakukan serangga hama. Setelah
membaca dan memahami bagian ini, diharapkan pembaca atau mahasiswa
dapat mengerti faktor yang berpengaruh terhadap kepadatan populasi
serangga hama dan dampaknya pada tanaman serta manusia.
B. PERKEMBANGBIAKAN SERANGGA
Semua serangga berkembangbiak dari telur. Serangga muda menetas
dari telur yang telah diletakkan (ovi-position). Serangga-serangga ini
dinamakan serangga ovipar. Beberapa telur dari serangga sudah
berkembang di dalam tubuh betina dan menghasilkan serangga-serangga
muda yang hidup. Serangga-serangga tersebut dinamakan serangga
vivipar. Faktor dalam yang mempengaruhi kemampuan untuk berkembang
biak serangga disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.
17
Gambar 1. Faktor dalam untuk berkembangbiak serangga
Faktor luar atau lingkungan mempengaruhi tempat hidup serangga
sering menjadi pembatas peningkatan populasi. Faktor luar ini terdiri atas:
a) Faktor abiotik (fisik) antara lain, temperatur, kelembaban, cahaya,
curah hujan dan angin.
b) Faktor biotik antara lain: Kompetitor dan musuh alami serta agen
hayati.
c) Faktor makanan: kuantitas dan kualitas.
Perkembangbiakan serangga digolongkan menjadi beberapa stadia
sebagai berikut:
1. Telur serangga
Telur serangga dilindungi oleh kulit (chorion). Chorion ini
mempunyai tebal yng bervariasi dan warnanya serta dihasilkan oleh sel-
selepitelim follikel dari ovariol yang terdiri atas lipoprotein atau tidak
mengandung kitin. Chorion ini mempunyai satu lubang kecil (micropyle)
untuk masuknya sperma ke dalam sel telur. Tiap telur mempunyai satu inti,
yang terletak dalam protoplasma telur. Protoplasma mengandung masa
kuning telur. Protoplasma dilapisi oleh membrane vitellin. Sperma ini
dapat membuahi sel telur. Kebanyakan telur serangga sangat kecil dan
agak sukar dilihat, kecuali jika diletakkan dalam jumlah besar. Telur
serangga paling besar mempunyai ukuran 1 cm panjangnya dengan
diameter 3 mm. Forister et al. (2006) menyatakan bahwa kematangan telur
dari ordo Lepidoptera berbeda-beda karena strukturnya yang berbeda.
Telur kadang-kadang memiliki lapisan interior yang tipis dan ada yang
tebal sehingga tidak semua telur dari ordo Lepidoptera dapat bertahan
hidup pada lingkungan tertentu dalam siklus hidupnya, contoh telur
Nyctemera coleta berwarna putih kekuningan dengan ukuran 0,181-0,336
18
mm. Rata-rata telur N. coleta berumur 3-4 hari, tetapi dapat mencapai
umur 7 hari, untuk kemudian menetas menjadi larva instar pertama.
Serangga menghasilkan jumlah telur yang bervariasi, seperti halnya
bentuk dan ukuran telur. Satu serangga betina dapat meletakkan satu telur
saja, seperti aphis betina dan dapat meletakkan satu juta telur pada kondisi
ekstrim, seperti spesies Isoptera (rayap). Umumnya rata-rata jumlah telur
kurang lebih seratus butir. Semua telur dapat diletakkan dalam waktu yang
sama, seperti pada ngengat (Lepidoptera), atau telur diletakkan hanya
beberapa butir sehari selama beberapa hari, seperti pada kutu pengisap
darah. Lalat rumah (Musca domestica) telur-telur dihasilkan 2−7
kelompok, yang masing-masing terdiri atas 125 telur dengan jarak waktu
2-5 hari. Oviposisi atau peletakkan telur memiliki kejadian dengan
beberapa cara, misalnya satu telur dilindungi oleh penutup telur atau
kapsul atau tertutup oleh bermacam-macam jenis bahan atau terletak di
dalam tanah atau di dalam jaringan tanaman. Serangga-serangga pemakan
tanaman pada umumnya meletakkan telur-telur di dalam atau pada
tanaman tersebut yang menjadi makanan serangga muda. Serangga-
serangga ini disebut parasit dan meletakkan telur-telur di dalam telur,
dalam larva, kepompong atau serangga dewasa dari serangga-serangga
yang lain.
2. Embriologi
Inti sel telur (2n) setelah pembuahan akan membelah beberapa kali
dan inti-inti saling bergabung (daughter nuclei) disebarkan pada
protoplasma. Inti-inti tersebut bergerak menuju kea rah tepi sitoplasma dan
membentuk suatu lapisan (blastoderm). Lapisan sel ini menghasilkan
embrio. Embrio ini digolongkan ke dalam tiga tingkat, yaitu: a) tingkat
protopod; b) tingkat oligopod; c) tingkat polypod.
3. Larva
Bentuk larva dapat sangat berbeda dengan bentuk dewasanya,
misalnya ulat dan kupu-kupu yang sangat berbeda bentuknya. Larva
umumnya memiliki organ khusus yang tak terdapat pada bentuk dewasa
dan juga tidak memiliki organ tertentu yang dimiliki pada bentuk dewasa.
Suatu tahapan hidup disebut larva apabila dalam bentuk itu memiliki
aktivitas yang tinggi (khususnya dalam bergerak dan mencari makanan).
19
Tidak semua serangga memiliki bentuk yang disebut larva, karena hanya
mereka yang menempuh jalur metamorfosis penuh (holometabola) yang
memiliki bentuk larva. Serangga yang hanya menjalani metamorfosis tidak
penuh (hemimetabola) bentuk mudanya disebut nimfa (nympha).
Larva dari serangga digolongkan ke dalam larva serangga
Holometabola atau Endopterygota dan larva serangga Hemimetabola atau
Exopterygota. Serangga-serangga yang termasuk kelompok Holometabola
disebut juga metamorfosa sempurna dan mempunyai bermacam-macam
larva sebagai akibat dari embriogenesa. Larva atau serangga muda
mempunyai bentuk yang berbeda dengan serangga dewasa. Larva serangga
Hemimetabola mempunyai perbedaan dengan serangga pada sayap dan
genitalia dan dalam keadaan tidak sempurna. Rudimen sayapnya tidak
ditemukan pada larva pertama, tetapi pada instar kedua dan selanjutnya
sudah ada sayapnya kecil yang menjadi lebih besar setiap kali berganti
kulit. Fase ini kadang-kadang disebut nimfa, tetapi sekarang lebih banyak
disebut larva saja. Perkembangan larva Hemimetabola ini biasanya terjadi
secara bertahap. Larva serangga Hemimetabola mempunyai tipe
metamorfosa langsung atau metamorfosa tidak sempurna atau
metamorfosa hemimetabol. Instar pupa tidak dijumpai, kecuali pada
superfamily Coccoidea (Homoptera) dan ordo Thysanoptera.
Larva pada tanaman sering merugikan secara ekonomi karena daya
makannya yang tinggi. Berbagai macam ulat merupakan hama penting
pada tanaman pertanian. Sejumlah larva lalat memakan atau menggerek
daun, buah, serta titik tumbuh batang sehingga menurunkan hasil dan
kualitas produk. Uret adalah hama yang sulit diatasi karena memakan akar
tumbuhan dari bawah permukaan tanah dan memiliki kemampuan jelajah
yang tinggi.
Serangan larva Nyctemera sp. dan Paliga sp. dari ordo Lepidotera.
Kedua larva tersebut menyerang daun sambung nyawa sehingga
pertumbuhannya terhambat. Serangga dari ordo Lepidoptera umumnya
bersifat polifag, tetapi pada stadium larva yang bersifat herbivora,
merupakan hama karena merusak daun di berbagai pertanaman termasuk
tanaman obat (Greeney et al., 2010; Balfas dan Willis, 2009).
Keberhasilan kolonisasi dari ordo Lepidoptera tergantung pada habitat
yang sesuai, dalam hal ini ketersediaan sumber pakan pada stadium larva
20
(Vane-Wright dan de Jong, 2003). Kedua ulat tersebut menyerang tanaman
sambung nyawa sepanjang tahun baik pada musim kemarau maupun
musim hujan, dengan intensitas serangan tertinggi terjadi pada akhir
musim kemarau hingga awal musim penghujan. Larva kedua serangga ini
menyerang tanaman sejak di pembibitan hingga pada tanaman dewasa.
Kedua larva tersebut memiliki siklus hidup yang berbeda, meskipun
memiliki stadium yang sama. Siklus hidup larva N. coleta lebih panjang
dibandingkan dengan larva P. auratalis dengan rata-rata 24 hari,
sedangkan P. auratalis memiliki stadium pupa terlama yaitu rata-rata 13,1
hari. Stadium larva N. coleta dan P. auratalis merupakan stadium yang
mengakibatkan intensitas kerusakan tertinggi pada tanaman sambung
nyawa.
4. Pupa atau kepompong
Semua serangga Holometabola atau Endopterygota pupa merupakan
instar serangga, diantara instar-instar larva dan imago yang relatif inaktif.
Nama pupa ini dipakai untuk instar dalam siklus hidup serangga
exopterygota yang holometabol, seperti Thysanoptera dan jenis janta pada
Coccoidea (Homoptera). Selama stadium pupa, serangga tidak makan dan
tidak bergerak. Pupa serangga akan mengeluarkan cairan pencernaan untuk
menghancurkan tubuh larva dan menyisakan sebagian sel saja. Sebagian
sel itu kemudian akan tumbuh menjadi dewasa menggunakan nutrisi dari
hancuran tubuh larva. Proses kematian sel disebut histolisis, dan
pertumbuhan sel lagi disebut histogenesis.
Tipe pupa digolongkan sebagai berikut:
a) Pupa dectius atau pupa bebas mempunyai madibel yang relatif kuat
dan dapat bergerak. Mandibel ini membuat serangga lepas dari
kokon atau sel pupa. Tipe pupa ini primitif dan selalu exarat, yaitu
alat mulut, sayap, kaki dan antenna pupa ini lepas dari tubuh, dan
bisa dipakai untuk bergerak, misalnya Edopterygota dan
Lepidoptera yang primitif.
b) Pupa tak dectius (adectious pupae) mempunyai mandible-mandibel
tidak dapat digunakan untuk melepaskan diri dari kokon atau sel
pupa (mandible-mandibel tidak digerakkan).Pupa ini digolongkan
menjadi dua tipe yaitu pupa tak dectius exarat (bebas) dan pupa tak
dectius obtect (tidak bebas).
21
Pupa yang obtect mempunyai alat-alat tambahan yang lekat pada
tubuh dengan cairan yang terjadi pada pergantian kulit larva yang terakhir.
Tipe pupa coarctat merupakan tipe tak dectius, tetapi terbungkus oleh
puparium. Puparium merupakan kulit lama yang keras pada instar larva
terakhir. Kulit tersebut menjadi keras dan lepas sama sekali dengan rongga
di dalamnya. Puparium mempunyai bentuk silindris dan tidak ada tanda-
tanda menunjukkan perkembangan hidup serangga yang ada di dalamnya.
Puparium ini mempunyai fungsi sama dengan kokon dan sel pupa
serangga yang lain, contohnya dari golongan Diptera atau lalat.
Pupa P. auratalis inaktif selama 2 minggu kemudian berubah
menjadi imago. Pada stadium ini meskipun pupa tidak aktif memakan daun
tetapi banyak daun yang rusak akibat saliva yang dikeluarkan pada saat
larva beralih memasuki stadium pupa untuk merekatkan sisi-sisi
permukaan daun. Pada stadium ini ditemukan banyak semut, karena cairan
saliva yang mengeras ditumbuhi banyak embun madu, tetapi pupa tetap
aman dari predator semut di dalam kepompongnya (Rismayani &
Rohimatun, 2017).
5. Kokon
Kokon akan melindungi pupa. Kokon dibuat oleh instar larva
terakhir dan mempunyai lapisan khusus yang terbentuk benang sutera atau
bahan-bahan lain yang dilekatkan dengan benang-benang dari bahan
tersebut. Kokon dan sel pupa terdapat pada pupa Lepidoptera, misalnya
Bombyx mori dan beberapa spesies Coleoptera. Penetasan dari kokon atau
sel dapat terjadi dengan beberapa cara antara lain: a) serangga membuat
lubang dalam kokon dengan mandible-mandibel (pupa dectius) atau
dengan duri-duri pada bagian pupa tersebut (pupa tak dectius); b)
serangga-serangga mempunyai pemotong kokon, khususnya terdapat pada
kepala; c) serangga dewasa mempunyai gelembung kepala yang dapat
dikembangkan ke luar dengan bantuan cairan tubuh (darah). Gelembung
ini disebut ptilinum atau cephalic sac yang menekan puparium.
C. METAMORFOSA SERANGGA
Perubahan-perubahan selama serangga-serangga berkembang dari
telur sampai dewasa disebut metamorfosa. Pada serangga primitif dibagi
dalam tiga tingkatan, yaitu: telur, muda dan dewasa. Serangga
22
Exopterygota (sayap luar tubuh larva) pada kelompok Exopterygota
jugamempunyai tiga tingkatan yaitu: telur, larva (nimfa) dan dewasa.
Serangga Endopterygota (sayap dalam tubuh larva) mempunyai empat
tingkatan, yaitu: telur, larva, pupa dan dewasa. Perubahan-perubahan ini
diikuti oleh pertumbuhan tubuh dan pergantian kulit (ecdysis). Proses
pergantian kulit ini disebabkan karena pembentukan integument atau kulit
baru di bawah integument yang tua. Pembentukan integument baru ini,
integument tua menjadi pecah-pecah dan mengelupas. Sisa-sisa
integument mengelupas (exuviae). Perkembanga tubuhnya dimungkinkan
sebelum terjadi integument baru yang terbentuk menjadi keras dan tidak
elastis. Interval waktu ecdysis disebut stadium, dan umur serta bentuk
serangga selama satu stadium disebut instar.
Hormon mempunyai peranan dalam metamorphosis, meliputi proses
pengelupasan kulit larva, dan pembentukan pupa pada serangga
holometabola, dan pengelupasan kulit nimfa pada serangga hemimetabola
(Saunders, 1980). Hormon yang berperan dalam metamorfosis terdiri dari
atas tiga macam yaitu, hormon otak, hormon molting (ekdison), dan
hormon juvenil (Spratt, 1971). Hormon otak disebut juga ecdysiotropin,
disimpan didalam corpora cardiace, sedangkan hormon molting (Ekdison)
dihasilkan oleh kelenjar protoraks, yaitu suatu segmen pada tubuh
serangga yang mempunyai pasangan kaki terdepan dari ketiga pasangan
kaki terdepan serangga, oleh karena itu maka hormon ini juga dinamakan
hormon protoracic gland atau disingkat menjadi PGH, hormon juvenil
(JH) dihasilkan oleh corpora allata, yaitu sepasang kelenjar endokrin yang
terletak di dekat otak (Spratt, 1971, Saunders, 1980, Balinsky, 1981).
Secara berkala sel-sel neurosekretori didalam otak menggunakan
suatu hormon otak (Ecdysiotropin), hormon ini merangsang kelenjar
protoraks untuk menghasilkan ecdyson. Selanjutnya ecdyson ini
merangsang pertumbuhan dan menyebabkan epidermis menggetahkan
suatu kutikula baru yang menyebabkan dimulainya proses pengelupasan
kulit (molting). Jika otak dari larva tersebut dibedah secara mikro, maka
ecdyson tidak akan dihasilkan lagi dan sementara itu pertumbuhan dan
proses pengelupasan kulit terhenti. Selain oleh pengaruh ecdyson, maka
proses pengelupasan kulit dan pertumbuhan juga dipengaruhi oleh hormon
juvenil, selama terdapat hormon juvenil rangkaian pengelupasan kulit yang
23
terjadi dibawah pengaruh ecdyson itu hanyalah akan menghasilkan bentuk
stadium tidak dewasa saja. Jika konsentrasi hormon juvenil relatif lebih
tinggi daripada ecdyson maka akan merangsang perkembangan larva, dan
mencegah proses pembentukan pupa, namun mencegah proses
pembentukan larva. Jika suatu serangga mengelupas kulitnya tanpa adanya
hormon juvenil maka hewan tersebut akan berdiferensiasi menjadi bentuk
dewasa. Ecdyson secara kontinu dihasilkan sampai pengelupasan kulit
menjadi dewasa, ecdyson berperan merangsang sintesa Ribo nucleic acid
(RNA) dan protein yang diperlukan pada proses pembentukan kepingan
kepingan imaginal. Pada serangga dewasa tidak terdapat ecdyson untuk
pengelupasan kulit, karena kelenjar-kelenjar protoraknya sudah mengalami
degenerasi setelah metamorfosis, namun corpora allata akan
menggetahkan hormon juvenil kembali setelah pengelupasan kulit
pendewasaan. Hormon juvenil ini akan mempengaruhi metabolisme
protein dan lemak,serta membentuk protein-protein vitelogenik
(Saunders,1980).
Berdasarkan metamorfosa pada serangga mempunyai empat
kemungkinan:
1. Metamorfosa ametabola (tidak ada metamorfosa jelas)
Golongan serangga ini sejak menetas (instar pertama) bentuknya
telah menyerupai serangga dewasa (tidak bermetamorfosis), hanya
ukurannya saja yang bertambah besar. Serangga muda dan serangga
dewasa hidup dalam habitat dengan jenis makanan yang sama. Contoh
serangga yang tidak metamorfosis, antara lain ordo Thysanura (kutu buku
atau rengget atau ngenget) Metamorfosa ini dijumpai pada kelompok
Apterygota dan sering disebut serangga primitif. Serangga ini tidak
mempunyai sayap, misalnya Lepisma saccharina (ordo Thysanura).
Serangga muda makan, bertambah besar ukurannya melalui beberapa kali
pergantian kulit (sampai 60 kali), dan akhirnya mencapai stadium
reproduktif (dewasa) yang tidak mempunyai sayap, tanpa mengalami
perubahan bentuk. Stadium-stadium hidupnya terdiri atas: telur, muda,
dewasa (imago) (Gambar 2).
24
Gambar 2. Metamorfosa Ametabola (tidak ada metamorfosa jelas)
2. Metamorfosa hemimetabola
Metamorfosa hemimetabola sering disebut metamorfosa sederhana.
Metamorfosa ini dijumpai pada kelompok Exopterygota, suatu subdivisi
dari Pterygota (serangga bersayap). Nimfa serangga golongan ini
mengalami beberapa modifikasi, seperti adanya insang trachea, tungkai
untuk merangkak dan menggali, tubuh harus dapat berenang, alat mulut
harus dapat mengambil makanan di dalam air, dan lain-lain. Habitat nimfa
berbeda dengan habitat imago. Nimfa tergolong serangga akuatik (hidup di
dalam air), sedangkan imagonya adalah serangga aerial. Contoh serangga
golongan hemimetabola adalah ordo Odonata (capung, belalang). Stadium
hidupnya terdiri atas: telur, larva (nimfa) dan imago (Gambar 3).
Gambar 3. Metamorfosa sederhana (metamorfosa Hemimetabola)
25
Sifat-sifat dari metamorfosa yaitu: a) setelah nimfa keluar dari telur,
nimfa itu telah mempunyai bentuk yang hampir sama dengan yang dewasa
pada garis besarnya, dan hidup serta makan seperti serangga dewasa, tetapi
nimfa berbeda dengan serangga dewasa (imago); b) nimfa makan, berganti
kulit dan melengkapi sayapnya secara bertingkat dan bakal-bakal sayap
dapat dilihat dari luar. Tiap tahapan diantara pergantian kulit disebut
instar. Banyaknya instar dipengaruhi oleh spesiesnya, bisa terdapat 8-17
instar. Nimfa bisa memerlukan waktu dari mulai 4 minggu sampai dengan
beberapa tahun untuk terus berkembang sampai cukup besar untuk berubah
menjadi dewasa. Serangga dewasa fase ditandai telah berkembangnya
semua organ tubuh dengan baik, termasuk alat perkembangbiakan serta
sayapnya. Metamorfosa ini tidak mempunyai stadium pupa.
3. Metamorfosa holometabola
Metamorfosa holometabola ini sering disebut metamorfosa
sempurna. Serangga muda yang mengalami perkembangan holometabola
disebut "larva". Bentuk larva amat berbeda dengan imago. Jenis makanan,
perilaku, dan habitatnya pun biasanya berbeda dengan imago. Sebelum
menjadi imago, larva akan berkepompong terlebih dahulu. Perubahan
bentuk luar dan dalam terjadi dalam tingkat pupa (kepompong) (chrysalis).
Sayap berkembang secara internal menjadi fase dewasa atau fase
perkembangbiakan. Beberapa contoh serangga yang mengalami
perkembangan holometabola, antara lain ordo Lepidoptera, Coleoptera,
Diptera, dan Hymenoptera.
Sifat-sifat dari metamorfosa yaitu: a) kebanyakan serangga tersebut
pada stadium muda (larva) mempunyai kebiasaan hidup berbeda dari
stadium dewasa, misal larva-larva nyamuk hidup di air, tetapi imagonya di
udara; atau larva makan jaringan daun tanaman, tetapi imago mengisap
nektar bunga; b) larva tumbuh dan ganti kulit beberapa kali sampai
perkembangan larva sempurna (instar larva terakhir). Setelah itu larva
ganti kulit dan mempunyai bentuk pupa. Instar pupa ini hampir tidak
bergerak sama sekali. Selama stadium pupa perubahan bentuk menjadi
dewasa terjadi di dalam kulit pupa. Ganti kulit akhir, kulit pupa
ditinggalkan dan bentuk sempurna tercapai dengan mengembangkan sayap
sampai ukuran yang semestinya melalui pengerasan kutikula serta
26
perkembangan warna menurut pola yang semestinya. Stadium hidupnya
terdiri atas: telur, larva, pupa, imago (Gambar 4).
Gambar 4. Metamorfosa sempurna (metamorfosa Holometabola)
4. Metamorfosa bertingkat (Paurometabola)
Serangga yang tergolong paurometabola mengalami perubahan
secara bertahap. Setiap pergantian kulit (ecdysis), ukuran tubuhnya
bertambah besar. Bakal sayap tumbuh secara bertahap, makin lama makin
besar, dan akhirnya menyerupai sayap serangga dewasa. Serangga muda
disebut "nimfa" (nymph), dan serangga dewasa disebut "imago". Baik
nimfa maupun imago hidup dalam habitat yang sama, dengan jenis
makanan yang sama pula. Contoh serangga yang mengalami metamorfosis
bertingkat, antara lain ordo Orthoptera (belalang, anjing tanah, jangkrik,
kecoak, dan lain-lain), ordo Thyasanoptera (thrips), ordo Homoptera (kutu
daun, wereng, dan lain-lain), dan ordo Hemiptera (kepik, walang sangit,
dan lain-lain). Stadium hidupnya terdiri atas: telur, nimpha, imago
(Gambar 5).
27
Gambar 5. Metamorfosa bertingkat (Paurometabola)
D. SERANGGA HAMA SEBAGAI POPULASI
Populasi didefinisikan sebagai sekumpulan individu dengan ciri-ciri
yang sama (spesies) yang hidup di tempat dan waktu yang sama dan waktu
yang sama serta memiliki kemampuan bereproduksi diantara sesamanya.
Kepadatan populasi secara skematis disajikan pada Gambar 6. di bawah
ini.
Gambar 6. Skematis dari kepadatan populasi hama
Suatu spesies serangga tidak pernah mempunyai wujud hama, akan
tetapi populasi tertentu suatu spesies serangga dapat mempunyai status
28
hama. Kebanyakan spesies serangga yang hidup pada tanaman akan
mengalami perkembangan populasi serta merugikan tanaman, sehingga
menjadi hama. Populasi hama di alam mempunyai sifat dinamis atau selalu
berubah-ubah. Hal ini karena dipengaruhi oleh kelahiran, kematian,
imigrasi, emigrasi. Menurut Triharso (l994), suatu populasi mempunyai
sejumlah ciri yang tidak dipunyai oleh individu, misalnya:
Serangga akan mengalami sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang
tindih antar generasi. Kejadian tumpang tindih menyebabkan
perkembangan umur menjadi heterogen. Populasi jasad pengganggu yang
kontinyu tanpa sinkronisasi, laju pertumbuhan populasi tidak dapat
dihambat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi antara lain:
1) faktor fisik, seperti cuaca dingin, panas dan hujan dapat berpengaruh
sangat kuat terhadap kecepatan pertumbuhan populasi dan kematian; 2)
faktor biologi, misalnya migrasi, musuh alami (parasit, predator), penyakit.
Populasi kadang-kadang dibedakan menjadi bagian populasi,
misalnya pada serangga: populasi telur, larva, pupa, kepompong dan
imago. Bagian populasi dari jenis yang sama dapat menjadi bermacam-
macam sebagai reaksi dari faktor luar yang sama. Suatu populasi serangga
dapat kehilangan individu oleh karena tertiup angin, tercuci oleh hujan,
atau karena mati sendiri. Serangga sering mengalami tarikan oleh angin
(drift) pada populasi yang sangat padat sehingga migrasi, misalnya
belalang (Locusta migratoria). Individu yang hilang tertiup angin, tercuci
hujan kadang-kadang dapat berinisiatif membuat populasi baru.
Populasi hama akan menimbulkan luka (injury) dan kerusakan
(damage) secara fisiologis pada tanaman. Penyimpangan fisiologis pada
tanaman akan menyebabkan pertumbuhan tidak normal dan kehilangan
hasil (kuantitas dan kualitas).
29
Beberapa hal yang menentukan status dari hama ialah:
a. Binatang perusak tanaman tersebut dapat menurunkan produksi
tanaman secara kualitas maupun kuantitas.
b. Binatang perusak tanaman tersebut bersaing terhadap kepentingan
manusia.
c. Binatang perusak tanaman tersebut menjadi masalah dalam usaha
pertanian.
Bebarapa faktor mempengaruhi kepadatan populasi serangga hama
dan dampaknya pada tanaman serta manusia, seperti tersaji pada Gambar
7.
Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi serangga hama dan
dampaknya pada tanaman serta manusia
Pada lingkungan (habitat) yang normal spesies-spesies tersebut tidak
pernah berada di dalam jumlah yang berlimpah, akan tetapi populasinya
tetap berada pada tingkatan yang rendah. Hal ini karena dipertahankan
oleh parasit dan predator. Serangga dapat berkembang dan membentuk
populasi yang sangat tinggi antara lain disebabkan oleh:
a. Kebanyakan binatang-binatang fitofag adalah oligofag, khususnya
serangga. Serangga-serangga hidup dari satu atau beberapa family
tanaman. Oleh karena itu penanaman monokultur akan memberikan
situasi makanan yang ideal untuk binatang-binatang tersebut.
30
b. Pada satu pertanaman serangga fitofag bertemu dengan serangga
fitofag lain dengan pilihan makan yang sama, sehingga fauna pada
pertanaman yang baik menjadi rusak.
c. Serangga mempunyai reproduction potential (jumlah betina yang
dihasilkan oleh satu betina) yang tinggi dan sering tidak
dipertimbangkan saat melakukan pengendalian hama. Potensial ini
mempunyai kisaran antara 50−100 atau lebih serangga. Selain itu
pemberantasan dengan bahan kimiawi merusak musuh alami dan
pemberian zat nitrogen yang tinggi memperhebat pembiakan
serangga-serangga yang makan krop.
Peningkatan suatu populasi serangga hama dengan metode “
sampling” dapat diketahui fluktuasi jumlah dari generasi ke generasi
berkisar pada tingkat kepadatan tertentu (density level). Oleh karena itu
perlu memahami konsep Aras Ekonomi, Aras luka ekonomi dan ambang
ekonomi untuk tindakan pengendalian yang ramah lingkungan, sehingga
populasi hama fluktuasinya tidak bertambah tinggi dan secara ekonomi
menguntungkan.
1. Kerusakan Ekonomi
Luka (injury) dan kerusakan (damage) perlu diketahui untuk
memahami konsep Aras Ekonomi. Luka (Injury): adalah setiap bentuk
penyimpangan fisiologi tanaman sebagai akibat adanya aktifitas hama
untuk hidup, berada dan makan pada tanaman tersebut. Luka tanaman
dapat mengakibatkan kerusakan. Luka karena penyebab mekanik tidak
termasuk penyakit, akan tetapi merupakan kerusakan (injury), karena
sifatnya tidak berkesinambungan (discontinue), misalnya daun yang
dimakan serangga atau dimakan ternak. Kerusakan adalah setiap
pengurangan kuantitas atau kualitas hasil yang diharapkan sebagai akibat
gangguan. Kerusakan lebih terpusat pada tanaman dan respon tanaman
terhadap pelukaan oleh hama. Umumnya pengurangan kuantitas disertai
pengurangan kualitas.
Penilaian ekonomi untuk pengurangan kuantitas dan kualitas
tergantung pada situasi pertanaman dan pasar. Ditinjau dari segi ekonomi,
kerusakan tanaman adalah ketidak mampuan tanaman untuk memberikan
hasil yang cukup kualitas maupun kuantitasnya, misalnya:
31
1. Bunga tulip terinfeksi virus mosaik menyebabkan terbentuknya
berbagai warna yang indah dengan belang-belang pada kelopak
bunga. Meskipun mengalami proses fisiologi yang tidak normal,
tetapi harganya lebih mahal dari bunga yang normal. Fenomena
infeksi tersebut digemari manusia dan dikomersilkan
2. Kelapa kopyor (Cocos nucifera L var. Kopyor) harganya lebih
mahal dibandingkan dengan yang normal
Bunga tulip yang belang dan kelapa kopyor tersebut ditinjau dari
segi biologi adalah terganggu, karena mengalami proses fisiologi yang
tidak normal, akan tetap ditinjau dari segi penanamannya (ekonomi)
dianggap tidak terganggu karena memberikan keuntungan yang lebih
besar.
Konsep Aras Ekonomi didasarkan pada pengamatan OPT dengan
melihat jenis OPT, stadia OPT, tingkat kepadatannya, tingkat serangannya
dan fase pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengamatan ini dapat dilihat
besarnya tingkat kerusakan yang akan terjadi sehingga dapat diputuskan
tindakan pengendalian yang akan dilakukan. Oleh karena kerusakan atau
kerugian yang terjadi pada tanaman akibat serangan hama sangat
ditentukan oleh populasi hama yang menyerang, sehingga kerusakan
merupakan fungsi dari populasi. Penggunaan pestisida kimia organik
sintetik hanya dapat dibenarkan apabila populasi OPT sudah di atas
Ambang Ekonomi.
Stern et.al. (1959) cit. Untung (2010) menyatakan Kerusakan
Ekonomi adalah tingkatan kerusakan tanaman akibat serangan hama yang
membenarkan adanya pengeluaran biaya untuk tindakan pengendalian
secara buatan dengan pestisida. Tindakan pengendalian dapat dibenarkan
apabila jumlah biaya pengendalian lebih rendah dari pada besarnya nilai
kehilangan potensial yang diderita tanaman karena adanya populasi hama.
2. Aras Luka Ekonomi (ALE)
Aras Luka Ekonomi (ALE) adalah keadaan dimana kepadatan
populasi terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi. Menurut
Mumford dan Norton (1982) cit. Untung (2003) bahwa dasar konsep Aras
Ekonomi adalah konsep Titik Impas (Break Even Concept) dalam
pengendalian hama. Pada titik impas ini terjadi kerusakan ekonomi yaitu
32
pada ALE, sehingga apabila dilakukan pengendalian hama di atas titik
impas masih akan menguntungkan. Sebaliknya apabila dilakukan di bawah
titik impas maka hanya akan merugikan petani karena besarnya nilai
kehilangan hasil yang diselamatkan lebih rendah daripada biaya
pengendalian yang dikeluarkan.
3. Ambang Ekonomi (AE)
Konsep Ambang Ekonomi muncul dan berkembang karena pada
waktu itu masyarakat (petani) mempunyai kecenderungan untuk
menggunakan insektisida secara berlebihan tanpa menggunakan dasar
yang rasional. Insektisida digunakan secara terjadwal menurut umur
tanaman secara ekonomi dengan alasan preventif tetapi tidak efisien dan
mengandung risiko besar bagi kualitas lingkungan, oleh karena itu perlu
ditetapkan landasan ekonomi dan ekologi yang dapat digunakan untuk
memutuskan kapan dan di mana pestisida harus digunakan. Ambang
Ekonomi (AE) merupakan istilah yang sudah dikenal dan digunakan untuk
pengambilan keputusan pengendalian hama sesuai dengan konsep
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT).
Menurut Stern dkk. (1959) cit. Untung (2010) AE merupakan
kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk
mencegah terjadinya peningkatan populasi berikutnya yang dapat
mencapai Aras Luka Ekonomi (ALE). Konsep AE lebih menekankan
aspek pengambilan keputusan kapan dan di mana petani harus
menggunakan pestisida agar tindakan tersebut efektif menurunkan
populasi hama dan mencegah kerugian lebih lanjut serta meningkatkan
keuntungan usaha tani. ALE lebih menekankan aspek perhitungan
ekonomi, biaya, manfaat, untung rugi dari tindakan pengendalian hama
dengan menggunakan pestisida. Jadi jelas bahwa AE merupakan Aras
Keputusan Tindakan Pengendalian. Ambang Ekonomi secara konsepsi
letaknya harus di bawah garis Aras Luka Ekonomi (ALE), hal ini karena
apabila populasi hama telah mencapai garis AE kemungkinan populasi
akan meningkat terus sehingga dapat melewati garis AE. Oleh karena itu
agar populasi hama tidak mencapai ALE harus diadakan tindakan
pengendalian pada aras populasi di garis AE. Grafik Ambang Ekonomis
disajikan pada Gambar 8 di bawah ini.
33
Gambar 8. Grafik ambang ekonomis untuk pengambilan keputusan pengendalian
hama sesuai dengan konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Penentuan AE dan ALE adalah AE harus di bawah ALE, hal ini
dimaksudkan agar petani masih mempunyai waktu untuk menanggapi
perubahan yang terjadi di lapangan. Misalnya apabila dari perhitungan
diketahui ALE dari larva penggerek batang padi adalah 5 larva/rumpun
maka dapat kita tentukan nilai AE adalah 4 larva/rumpun tanaman.
Penentuan Ambang Ekonomi suatu OPT didasarkan pada : jenis
OPT, yaitu apabila OPT tersebut merupakan OPT utama maka nilai AE
cukup tinggi, misalnya hama Wereng (Nephotettix virescens) nilai
Ambang Ekonominya adalah 5 nimfa pertunas pada saat tidak ada
serangan penyakit Tungro, jika ada serangan Tungro maka1nimfa
pertunas; jenis tanaman yaitu menyangkut nilai ekonomi tanaman, apakah
dipanen daunnya, bunganya, buahnya, akarnya atau keseluruhan tanaman.
Ambang Ekonomi untuk setiap OPT berbeda karena setiap OPT secara
biologi dan ekologi tidak sama. Ada OPT menyerang tanaman pada fase
pembibitan, fase pertumbuhan vegetatif dan fase generatif pada saat
pengisian bulir dan polong. Ada pula OPT yang menyerang sepanjang
umur hidup tanaman. Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat
mempengaruhi nilai Ambang Ekonomi dari OPT, artinya tanaman yang
memiliki nilai ekonomi tinggi akan memiliki nilai ambang ekonomi yang
tinggi pula.
34
4. Monitoring Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Monitoring OPT adalah suatu kegiatan mengamati dan mengawasi
perkembangan setiap OPT dan komponen-komponen penyusun
agroekosistem. Monitoring OPT mempunyai manfaat yaitu:
a. Menilai situasi hama dan menentukan macam aktivitas dari hama.
b. Mengambil keputusan untuk upaya pengendalian dengan penentuan
nilai Ambang Ekonomi dari OPT, sehingga sedikit saja terjadi
kenaikan populasi suatu OPT akan cepat diantisipasi dengan
melakukan pengendalian yang dianggap cocok untuk kondisi
demikian.
c. Memprediksi masalah hama sebelum terjadi
d. Meningkatnya kesadaran aktivitas hama, termasuk perubahan dalam
populasinya
e. Up-to-date informasi mengenai kesehatan tanaman
f. Data dapat digunakan untuk membandingkan wabah hama dan
penyakit dari musim ke musim
g. Mendeteksi dini masalah hama, menghasilkan ketersediaan lebih
opsi manajemen
Monitoring perlu dilakukan pada daerah-daerah yang berpotensi
meledaknya suatu populasi hama, terutama untuk hama-hama utama dan
hama potensial yang mudah meledak poplasinya apabila kondisi
mendukung. Monitoring dapat dilakukan secara terjadwal yang dilakukan
sejak tanam sampai menjelang panen. Monitoring ditujukan untuk
mengawasi dinamika populasi hama, sehingga apabila terjadi kenaikan
populasi hama mendekati Aras Ambang Ekonomi petani sudah bisa
menentukan keputusan pengendalian yang akan dilakukan.
E. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA HAMA
Faktor-faktor penyebab terjadinya hama pada tanaman sebagai berikut
1. Faktor manusia
Manusia merupakan faktor penyebab terjadinya hama karena:
a. Manusia menyebarluaskan tanaman ke seluruh dunia (introduksi
tanaman baru). Populasi hama sifatnya dinamis. Jumlah tersebut
bisa naik, bisa turun, atau tetap seimbang, tergantung keadaan
lingkungannya. Bila suatu tanaman dipindahan ke daerah lain yang
35
berbeda iklim dengan kondisi lingkungan cocok, populasi hama
berembang pesat. Pada suhu optimum, kemampuan hama untuk
berkembang biak sangat besar dan kematian amat sedikit,
menyebabkan terjadi peledakan hama.
b. Manusia menanam tanaman secara monokultur dan tanaman itu
genetis homogen. Berkurangnya keragaman genetik pada tanaman
tertentu menyebabkan cara tanam yang cenderung sama setiap
waktu (monokultur). Dengan cara tanam tersebut berakibat tanaman
menjadi rentan terhadap serangan hama dan terjadilah peledakan
populasi hama apabila tidak dikendalikan dengan benar.
c. Manusia melakukan penanaman terus-menerus tanpa diikuti dengan
penerapan pola tanam di suatu lahan produksi, sehingga
mengakibatkan peledakan populasi hama terutama karena makanan
untuk hama tersedia sepanjang waktu. Terlebih jika tanaman
tersebut tidak diselingi oleh tanaman lain yang resisten terhadap
serangan hama, maka perkembangbiakan hama menjadi pesat.
d. Manusia tidak memperhatikan masa tanam untuk melakukan usaha
tani tertentu, karena apabila menanam tanpa diatur masa tanam
ataupun jangka waktunya, menyebabkan terjadinya gangguan akibat
serangan hama. Penanaman yang terlalu cepat atau terlambat
umumnya akan menimbulkan masalah serangan hama tertentu,
namun sebaliknya keterlambatan penanaman dapat menghindari
serangan hama tertentu. Jadi dalam hal fenologi umur tanaman
dengan serangan hama perlu dipelajari secara kasus per kasus.
Serangan hama yang lebih banyak terjadi sewaktu musim kemarau
terjadi pada tanaman kubis. Penanaman padi, masa tanam pertama
mempunyai kecenderungan bagus, baik hasil maupun tanaman,
sebab pada masa tanam pertama, tanah yang kering pada musim
kemarau dan membuat virus penyakit dan hama tanaman padi mati.
Sedangkan untuk masa tanam kedua, tanaman padi tidak sebagus
masa tanam pertama karena kondisi tanah maupun cara pemupukan
membuat virus penyakit kembali berkembang.
e. Manusia membuka lahan di daerah yang mempunyai organisme
yang berpotensi sebagai hama.
36
2. Perubahan lingkungan
Struktur dan kelembaban tanah berpengaruh besar terhadap
kehidupan hama, begitu pula unsur hara. Apabila dalam suatu tanah
berstruktur gembur dengan kandungan bahan organik tinggi, kelembaban
cukup, serta tersedianya unsur hara yang juga diperlukan bagi hama
(khususnya hama yang seluruh atau sebagian hidupnya di dalam tanah)
maka mendukung perkembangbiakan hama dengan pesat dan terjadilah
peledakan populasi hama. Selain itu serangga tergolong hewan yang
berdarah dingin (poikilotermal) temperatur badannya naik turun mengikuti
temperatur lingkungannya. Kisaran temperatur untuk kehidupan serangga
berkisar 15−45°C, contoh Myzus sp 15,4−33,7°C temperatur optimum 28,4
°C. Serangga dapat dibedakan 5 daerah (zone)
1) Daerah temperatur maksimum; daerah temperatur dimana serangga
tidak lagi dapat bertahan/menyesuaikan diri akibatnya serangga
mati: (≥45°C).
2) Daerah temperatur tinggi inaktif (zone estivasi) yaitu daerah
temperatur dimana serangga masih bertahan tetapi tidak lagi aktif
/bergerak dan tidak mati karena fisiologis organ-organ di dalam
tubuhnya masih bekerja. gejala yang demikian disebut estivasi atau
diapause yang berarti tidur atau istirahat: (38−45°C), jika temperatur
menurun sampai titik tertentu maka serangga itu akan aktif kembali
dan selanjutnya hidup secara normal.
3) Daerah temperatur optimum/efektif yaitu daerah suhu dimana
serangga hidup secara normal serta segala aktivitas berlangsung
secara optimal (26−33°C).
4) Daerah temperatur rendah inaktif (zone hibernasi) yaitu daerah
temperatur dimana serangga masih dapat bertahan hidup tetapi tidak
lagi aktif maupun bergerak dan tidak mati karena organ didalam
tubuh masih bekerja. Gejalanya disebut hibernasi, jika temperatur
meningkat sampai titik tertentu maka serangga aktif kembali dan
hidup secara normal: (15−26 °C).
5) Daerah temperatur minimum yaitu daerah temperatur dimana
serangga tidak dapat bertahan maupun menyesuaikan diri sehingga
mati karena kedinginan (4 °C). Serangga yang memiliki kisaran
37
temperatur luas di golongkan serangga eurythermal dan yang
memiliki kisaran temperatur sempit di sebut steno thermal.
Kelembaban udara, cahaya, curah hujan, angin juga mempengaruhi
kehidupan serangga. Begitu juga dengan kelembaban, bila kelembaban
sesuai dengan kebutuhan hidup hama, hama tersebut cenderung tahan
terhadap suhu-suhu ekstrem dan menyebabkan perkembangan telur
menjadi lebih cepat. Kelembaban udara juga mempengaruhi: 1)
pertumbuhan dan perkembangan serangga (optimum 80−90%); 2)
perkembangbiakan (reproduksi) serangga; 3) aktivitas serangga. Cahaya
mempengaruhi terhadap aktivitas serangga karena beberapa serangga
tertarik pada gelombang cahaya tertentu, misalnya lipas. Curah hujan
mempengaruhi: 1) perilaku serangga karena ada serangga berdiapause
pada musim kerig; 2) terpaan air hujan dapat menghanyutkan serangga
kecil, contoh kutu daun; 3) hujan lebat dapat menyebabkan tanah
terendam, sehingga serangga-serangga tanah mati. Angin akan
mempengaruhi terhadap pemencaran serangga-serangga kecil, misalnya
kutu daun dan wereng.
Pada ekosistim alami, serangga hama memperoleh makanan terbatas
dan musuh alami berperan aktif, sehingga populasi menjadi rendah.
Tanaman monokultur menyebabkan serangga populasinya bertambah
cepat tanpa dapat diimbangi oleh musuh alami, contoh kumbang kentang
Colorado (Leptinotarsa deceilineata Say.) yang hidup diberbagai tanaman
famili Solanaceae liar di hutan- hutan, populasi masih rendah. Ketika
hutan dibuka dan diubah menjadi kebun kentang maka populasinya
meningkat dengan cepat dan menjadi hama kentang yang sangat
merugikan.
3. Perpindahan tempat
Angin mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hama terutama
dalam proses penyebaran hama tanaman, contohnya kutu daun (Aphid).
Aktivitas perpindahan (migrasi) hama yang terjadi dapat secara aktif
dengan tenaga sendiri, ataupun pasif dengan bantuan angin, terbawa
barang yang dikirim antar negara, terbawa kendaraan dan lain sebagainya.
Setelah sampai di tempat yang baru hama-hama tersebut membentuk
asosiasi yang baru dengan inangnya. Bila inangnya tidak memiliki daya
38
tahan alamiah dan tidak terdapat musuh alami yang efektif, maka populasi
hama tadi dapat berkembang sehingga menjadi wabah, contohnya hama
kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) pertama kali ditemukan di
daerah Bogor sekitar bulan Maret 1986, hanya dalam beberapa bulan saja
dilaporkan sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan
berkembang menjadi wabah yang mematikan sampai ratusan ribu pohon
lamtoro.
Kutu loncat di Indonesia tumbuh cepat sekali sehingga ratusan
hektar tanaman lamtoro diserang karena:
a. Serangga hama dapat berpindah tempat secara aktif maupun pasif.
b. Perpindahan tempat secara aktif pada imago dengan cara terbang
atau berjalan.
c. Secara pasif dilakukan oleh faktor lain seperti; tertiup angin atau
terbawa pada tanaman yang dipindahkan oleh manusia.
d. Di tempat yang baru populasi serangga ini bertambah dengan cepat
bila faktor lingkungan mendukungnya.
4. Aplikasi insektisida kimia secara tidak bijaksana
Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana menyebabkan
permasalahan hama semakin kompleks, banyak musuh alami yang mati
sehingga populasi serangga bertambah tinggi. Pengendalian terhadap hama
seringkali menggunakan pemakaian pestisida dengan dosis yang tidak
tepat. Kelebihan atau kekurangan dosis dapat berakibat merugikan
manusia. Bila terjadi kelebihan dosis, hama atau penyakit memang akan
musnah, tetapi tanaman juga akan musnah. Sedangkan bila kekurangan
dosis, akan menyebabkan hama atau penyakit bertambah kebal dan dan
keturunannya pun akan bertambah kebal pula (resurgensi), sehingga
terjadilah peledakan populasi hama dan munculnya hama sekunder apabila
penanganannya tidak tepat.
Dari banyaknya populasi hama yang ada, biasanya terdapat individu
yang memiliki sifat genetik tahan terhadap jenis pestisida tertentu.
Individu-individu yang tahan terhadap pestisida tersebut akan
berkembangbiak menjadi populasi hama. Hal ini sering dikenal dengan
istilah resistensi, yaitu kondisi dimana terdapat populasi hama yang tidak
dapat dikendalikan oleh pestisida yang di awal seharusnya berfungsi untuk
membunuh populasi hama tersebut. Selain itu pestisida juga dapat
39
merubah fisiologi tanaman misalnya ada jenis pestisida yang merangsang
pertumbuhan kuncup dan bunga dan menyebabkan berkembabiaknya hama
tanaman tertentu.
Di Indonesia, terdapat beberapa jenis hama yang bersifat resisten
terhadap pestisida, seperti hama kubis Plutella xylostella, hama
kubis Crocidolomia pavonana, hama penggerek umbi
kentang Phthorimaea operculella, dan ulat grayak Spodoptera litura.
Beberapa hama tanaman padi juga ada yang resisten terhadap jenis
pestisida tertentu, seperti wereng coklat (Nilaparvata lugens), hama
walang sangit(Nephotettix inticeps) dan ulat penggerek batang (Chilo
suppressalis). Bahkan, ketiga jenis hama tersebut mengalami peningkatan
ketahanan terhadap pestisida. Petani terdorong untuk semakin sering
melakukan penyemprotan pestisida, bahkan menambah dosisnya. Padahal,
penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat kembali meningkatkan
peningkatan populasi hama. Dalam hal ini, cara kerja pestisida hampir
sama dengan cara kerja antibiotik.
Pada tahap awal, penggunaan pestisida kimia memang cukup
berhasil untuk menekan populasi hama. Namun, dalam periode tertentu,
hama dapat meningkat karena pestisida juga mengakibatkan matinya
musuh alami hama. Kondisi pestisida sebagai racun yang berspektrum luas
dan membunuh musuh alami hama, seperti polinator, burung, ikan, dan
musuh alami lainnya dikenal dengan resurgensi. Selain karena matinya
musuh alami hama, resurgensi hama juga dapat disebabkan oleh jenis-jenis
pestisida tertentu yang justru memacu peningkatan telur serangga hama.
Hal ini telah dibuktikan oleh International Rice Research Institute (IRRI)
terhadap hama wereng coklat (Nilaparvata lugens).
5. Status hama
Pada suatu ekosistem pertanian ada serangga yang setiap tahun
merusak tanaman sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar, ada
serangga yang populasinya tidak begitu tinggi tetapi merugikan tanaman
pula bahkan ada serangga yang populasinya sangat rendah dan kerusakan
yang diderita tanaman kurang diperhitungkan. Status hama
dikategorikan sebagai: a) Major pest / Main pest / Key pest; b) Secondery
pest / Potensial pest; c) Migratory pest.
40
Hama utama (major pest) selalu ada, sehingga perlu dikendalikan
secara teratur. Biasanya ada satu atau dua species serangga hama utama di
suatu daerah. Hama utama untuk tiap daerah dapat sama atau berbeda
dengan daerah lain pada tanaman yang sama. Sebagai contoh hama utama
pada tanaman padi dapat berupa wereng coklat, penggerek batang, ganjur
karena serangga hama tersebut dapat menimbukan kerugian yang cukup
besar sehingga diperlukan strategi pengendaliannya.Hama ini populasinya
paling tinggi bila dibandingkan dengan hama sewaktu-waktu atau
potensial (secondary pest). Hama sewaktu-waktu dan potensial merupakan
golongan yang sedikit banyak populasinya dikendalikan oleh faktor-faktor
lingkungan. Hama sekunder menyebabkan kerusakan tanaman sangat
kecil/kurang berarti tetapi sewaktu-waktu populasinya dapat meningkat
dan akan menimbulkan kerusakan ekonomi pada tanaman. Sebagai contoh
serangga hama belalang yang memakan daun padi biasanya terjadi pada
tanaman, padi, setempat-setempat. Hama migratory bukan berasal dari
agroekosistem setempat tetapi datang dari luar secara periodik yang
mungkin menimbulkan kerusakan ekonomi. Sebagai contoh belalang
kembara atau Locusta migratoria yang datang secara periodik dan
memakan berbagai tanaman sepanjang wilayah yang dilalui dengan
populasi yang sangat tinggi.
Pengelolaan hama perlu dikendalikan jangan sampai statusnya
meningkat menjadi hama utama. Namun demikian dengan penggunaan
pestisida, petani mungkin merasakan populasi hama semakin berkurang.
Namun di balik itu, ada hal lain yang menjadi masalah. yakni munculnya
hama baru yang sebelumnya tidak menjadi masalah setelah populasi hama
lama terkendali. Jenis hama tertentu dapat dikendalikan oleh musuh alami.
Penerapan pestisida pada tanaman pertanian, musuh alami hama justru
mematikan, sehingga muncul hama-hama baru yang tidak terkendali,
contohnya, hama wereng cokelat. Wereng cokelat sendiri baru ditemukan
pada tahun 1970-an, dimana terdapat pemakaian insektisida berjadwal,
penanaman tanaman terus-menerus, adanya tanaman sukulen karena
tingginya dosis pupuk N, dan matinya musuh alami wereng tersebut.
41
F. CARA-CARA KERUSAKAN OLEH SERANGGA HAMA
Perilaku serangga yang berperan sebagai hama tanaman tidak
terlepas dari kerusakan yang ditimbulkannya pada tanaman itu sendiri.
Kerusakan yang ditimbulkan tersebut berkaitan erat dengan bentuk alat
mulut yang dimilikinya. Jenis atau bentuk alat mulut serangga akan
menentukan jenis makanan dan macam kerusakan yang ditimbulkannya.
Serangga-serangga hama mengganggu dan merusak tanaman yang
hidup dan tanaman yang bermanfaat, dengan:
a) Memakan daun-daun, tunas-tunas, batang-batang, akar-akar, kulit
kayu dan buah tanaman.
b) Mengisap cairan dari daun, batag, akar dan buah.
c) Menggerek atau melubangi kulit kayu, batang atau cabang-cabang,
menggerek dalam buah-buah, biji-bijian atau jaringn daun diantar
kedua permukaan daun (leaf miners).
d) Menyebabkan bengkak pada tanaman (gall insects).
e) Menyerang akar dan bagian-bagian tanaman dalam tanah dengan
cara-cara yang tersebut di atas (serangga tanah, misalnya uret, kutu
akar, tenggerek).
f) Meletakkan telur di dalam tanaman (belalang daun, Tettigonidae;
Diptera).
g) Mengambil bagian-bagian tanaman untuk membuat sarang dan
tempat berlindung (ulat-ulat, Lepidoptera).
h) Membawa serangga-serangga lain ke tanaman dan membiarkan
serangga itu menetap pada tanaman tersebut (semut membawa kutu
daun).
i) Menyebarkan organisme penyebab penyakit (jamur bakteri,
protozoa dan virus).
Serangga-serangga hama dapat merusak dan menurunkan nilai
bahan simpanan dengan cara:
a) Merusak bahan simpanan sebagai makanannya.
b) Menyebabkan kontaminasi bahan tersebut dengan sekresi,
mengeluarkan kotoran telur dan serangga-serangga yang mati.
c) Menambah tenaga kerja dan ongkos sortasi, membungkus dan
pengawet makanan.
42
G. SERANGGA-SERANGGA PERUSAK TANAMAN
Perilaku serangga sebagai hama sangat berkaitan dengan kerusakan
yang diakibatkan oleh serangga tersebut. Pada dasarnya jenis kerusakan
pada tanaman oleh serangga hama sangat erat kaitannya dengan tipe alat
mulut dari serangga hama itu.
1. Serangga-serangga memakan bagian-bagian luar tanaman
antara lain:
a. Kerusakan disebabkan serangga-serangga penggigit dan
pengunyah.
Alat mulut seperti ini digunakan untuk memotong atau
menggigit dan mengunyah makanan padat, dicirikan dengan adanya
mandibula yang kuat. Bagian mulut serangga menunjukkan
kemampuan adaptasi dengan cara mengambil makanan. Suatu cara
primitif dan penting pada serangga-serangga untuk mendapatkan
makanan dengan menggigit dan mengunyah bagian luar tanaman.
Serangga-serangga ini dinamakan serangga pengunyah (chewing
insect), sebagai contoh ulat-ulat dari Lepidoptera, belalang,
kumbang dan larvanya. Semua serangga dengan sayap depan atau
elytra pada tingkat yang belum dewasa mempunyai alat mulut tipe
ini. Secara struktural alat makan jenis ini terdiri dari:
a) Labrum, berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam
rongga mulut.
b) Epifaring, berfungsi sebagai pengecap.
c) Mandibel, berfungsi untuk mengunyah, memotong, atau
melunakkan makanan.
d) Maksila, merupakan alat bantu untuk mengambil makanan.
Maxila memiliki empat cabang, yaitu kardo, palpus, laksinia,
dan galea.
e) Hipofaring, serupa dengan lidah dan tumbuh dari dasar rongga
mulut.
f) Labium, sebagai bibir bawah bersama bibir atas berfungsi
untuk menutup atau membuka mulut. Labium terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu mentum, submentum, dan ligula. Ligula
terdiri dari sepasang glosa dan sepasang paraglosa.
43
Identifikasi berdasarkan gejala serangannya yakni dengan
memperhatikan tipe alat mulut menggigit dan mengunyah maka
akan ditemukan bagian tanaman yang hilang, apakah dimakan,
digerek atau digorok. Alat mulut ini dikontrol dengan pemberian
racun, sehingga dapat menggugurkan daun tanaman, membuat
lubang kedalaman pada makanannya, contohnya ordo Coleoptera,
Orthoptera, Isoptera, dan Lepidoptera.
b. Kerusakan disebabkan serangga-serangga penusuk dan
pengisap
Serangga-serangga penusuk dan pengisap mempunyai dua
mandibular dan dua maksila memanjang, seperti rambut yang
berakhir pada ujung untuk mengisap. Bagian-bagian ini disebut
stilet. Stilet ini digunakan untuk menusuk dan membuat luka serta
paruhnya (proboscis) berfungsi sebagai sarung pengaman untuk
membuat siku ke atas, apabila stilet masuk lebih dalam.
Scotinophara (Heteroptera) mempunyai alat mulut menusuk
mengisap. Alat mulut yang paling menonjol adalah labium, yang
berfungsi menjadi selongsong stilet. Stilet mempunyai jumlah empat
dan sangat runcing yang berfungsi sebagai alat penusuk dan
mengisap cairan tanaman. Keempat stilet berasal dari sepasang
maksila dan mandibel ini merupakan suatu perubahan bentuk dari
alat mulut serangga pengunyah. Serangga hama dengan tipe alat
mulutnya menusuk dan mengisap gejala serangan yang ditimbulkan
yaitu pada bagian tanaman akan ditemukan bekas tusukan stilet
yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna atau perubahan
bentuk pada bagian tanaman yang diserangnya. Stilet tidak
meninggalkan lubang yang tampak, akan tetapi pengisapan cairan
mengakibatkan bintik-bintik kecil berwarna perak karena thrips,
Thysanoptera; berwarna coklat atau merah (kepinding /bugs); daun
menjadi keriting (kutudaun, kepinding); deformasi buah; daun layu
dan menjadi coklat dan mematikan seluruh tanaman (kutu daun,
serangga kepik, kepinding). Serangga-serangga tersebut dijumpai
dari ordo Hemiptera dan Thysanoptera (thrips). Serangga ordo
Hemiptera mengisap cairan floem keluar dari pembuluh tapis (sieve
tube). Serangga mengeluarkan ludah dan mencampurnya dengan
44
cairan tanaman sebelum diisapnya. Eksresi ini mengeluarkan banyak
gula, sehingga menarik semut-semut.
Alat mulut penusuk dan pengisap dijumpai pada serangga
seperti aphid, wereng, kutu perisai, kutu daun. Serangga ini
menusuk sel-sel epidermis dan mengisap cairan sel di dalamnya.
Cairan pada jaringan ayak juga dihisapnya, meskipun serangganya
masih tetap berada di luar tanaman.
Luka pada tanaman disebabkan oleh serangga penusuk dan
pengisap antara lain perubahan warna, atau perubahan bentuk pada
bagian tanaman yang diserang, seperti penggulung daun, menjadi
lemah dan mengeringnya ranting-rating. Daun sering ditutupi
dengan ekskresi (honey dew) dan jamur hitam tumbuh di atasnya,
sehingga menghalangi fotosintesa normal daun tersebut.
c. Kerusakan disebabkan serangga-serangga pemarut dan
pengisap
Tipe alat mulut ini diwakili oleh tipe alat mulut lebah madu
Apis cerana (Hymenoptera, Apidae) merupakan tipe kombinasi
yang struktur labrum dan mandibelnya serupa dengan tipe alat mulut
menggigit mengunyah, tapi maksila dan labiumnya memanjang dan
menyatu. Glosa merupakan bagian dari labium yang berbentuk
memanjang sedangkan ujungnya menyerupai lidah yang berbulu
disebut flabelum yang dapat bergerak menyusup dan menarik untuk
mencapai cairan nektar yang ada di dalam bunga. Hama ini meraut
jaringan hingga keluar cairan, cairan ini kemudian dihisap paruh
konikal. Jaringan yang terserang cenderung berwarna putih atau
belang yang kemudian tampak mengerut.
Serangga-serangga tungau (thrips) dan kutu kebul memiliki alat
mulut pemarut dan pengisap dengan paruh konikal pendek dan tiga
stilet yang bergerak masuk dan keluar untuk memarut jaringan,
sehingga keluar cairan. Cairan ini diisap melalui paruh konikal.
Jaringan yang terserang oleh hama ini cenderung berwarna putih
atau belang dan tampak mengarat. Oleh karena itu thrips dapat
dikendalikan melalui racun yang ditempatkan pada permukan
tanaman dan akan ditelan bersama cairan atau juga melalui racun
kontak.
45
2. Kerusakan tanaman oleh serangga-serangga pemakan bagian
dalam tanaman
Kebanyakan serangga-serangga sangat merugikan, jika makan
bagian dalam jaringan pada sebagian fase atau seluruh fase pengrusakan.
Serangga-serangga tersebut berhasil masuk ke dalam tanaman dan
meletakkan telur-telurnya ke dalam jaringan tanaman, atau dengan
memakan bagian tanaman yang dipakai sebagai jalan setelah penetasan
telur. Lubang-lubang yang dimasuki serangga tersebut selalu kecil.
Lubang-lubang yang besar sering dilihat pada buah, batang, biji atau
cabang, ranting tanaman dan menunjukkan serangga telah keluar dan
bukan merupakan tempat serangga tersebut masuk. Serangga-serangga
pemakan bagian di dalam tanaman digolongkan: 1) penggerek pada kayu,
batang dan kayu teras; 2) ulat-ulat pada buah dan biji-bijian; 3) penggerek
daun (leaf miners); 4) serangga pembentuk gal.
Pendugaan atau penghitungan pengaruh hama terhadap kerusakan
tanaman dan kehilangan hasil karena serangan hama dapat dilakukan
dengan menghitung atau mengukur luka atau gejala yang ditinggalkan atau
diakibatkan oleh hama antara lain seperti:
1) Keseluruhan tanaman. Penghitungan jumlah atau % tanaman
mati/busuk atau yang menunjukkan gejala serangan hama tertentu.
2) Daun. Kerusakan daun, lubang gerekan dan gejala daun lainnya
diukur dengan luas defoliasi, pengurangan berat kering daun.
Metode pendugaan kerusakan oleh hama dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
1) Batang dengan penghitungan: jumlah atau persen puru, sundep,
beluk; jumlah lubang keluar; panjang lubang gerekan; luka potongan
batang oleh ulat.
2) Buah dan benih dengan penghitungan: jumlah lubang atau luka di
buah; jumlah atau persen buah rusak, seperti terserang Penggerek
Buah Kakao (PBK) dan Penggerek Buah Kopi (PBKo).
3) Akar dengan penghitungan: panjang, berat kering atau volume
perakaran yang terserang hama; luas kerusakan umbi seperti pada
tanaman kentang.
46
Pengendalian serangga-serangga tersebut sangat sulit dilakukan,
karena kebanyakan insektisida tidak dapat mencapai serangga tersebut,
segera setelah serangga tersebut masuk ke dalam jaringan tanaman.
Meskipun kebanyakan pada sebagian siklus hidup serangga ini mempunyai
fase hidup di luar jaringan tanaman. Cepat atau lambat serangga tersebut
akan berkembang untuk hidup bebas, terutama serangga-serangga yang
telah dewasa.
3. Ordo serangga penting sebagai hama tanaman
1) Identifikasi serangga belum dewasa
a. Serangga mempunyai bantalan sayap tetapi tidak berfungsi dan
mata majemuk kadang-kadang berwarna sangat cerah.
Serangga mempunyai bentuk dan kelengkapn serupa dengan
dewsa. Kaki biasanya besar, dua kuku pada tarsus. Alat
mulutnya seperti induknya mengunyah atau menusuk da
mengisap, contohnya nimfa dan naiad.
b. Serangga tidak mempunyai sayap atau bantalan sayap dan tidak
ada mata majemuk, tubuhnya lunak, kulit tipis, kadang-kadang
berambut, abdomen tiga atau empat kali lebih panjang dari
kepala dan toraks. Alat mulut mempunyai tipe mengunyah dan
kebiasaannya selalu berbeda dengan yang dewasa, contohnya
larva.
c. Serangga mempunyai kaki dan bantalan sayap terbungkus
dalam membrane ekstra dan tidak pernah dipergunakan untuk
bergerak. Serangga tidak aktif, kecuali untuk membelit
abdomen dalam beberapa bentuk apabila diganggu. Bentuk dan
perlengkapan seperti serangga dewasa. Serangga sering
terbungkus dalam cocon, puparium atau tanah, contohnya pupa.
2) Identifikasi larva yang penting untuk pertanian
a. Serangga mempunyai kaki torasik, tetapi tanpa kaki pelengkap
(proleg) abdomen yang terdiri atas:
a) Kepala menyolok, kadang tertekan, mulut terarah ke muka
tau ke bawah, tidak ada daerah adfrontal., contoh larva
Coleoptera (kumbang).
47
b) Kepala biasanya globular, mempunyai daerah adfrontal,
mulut terarah ke bawah, alat pemintal dekat ujung labium,
contoh Lepidoptera (ngengat, kupu-kupu).
b. Serangga mempunyai kaki torasik dan kaki pelengkap abdomen
yang terdiri atas:
a) Beberapa pasang kaki pelengkap dengan sabit yang halus,
lebih dari satu pasang mata sederhana atau tidak ada pada
setiap sisi kepala, contohnya larva Lepidoptera.
b) Kaki pelengkap biasanya enam atau delapan pasang, tidak
mempunyai sabit yang halus, satu pasang mata sederhana
atau tidak ada pada tiap sisi kepala. Lrva Hymenoptera
(lalat gergaji).
c. Serangga tidak mempunyai kaki torasik dan kaki pelengkap
serta kepala menonjol yang terdiri atas:
a) Serangga mempunyai labium dengan proyeksi alat
pemintal median, contoh larva Lepidoptera
b) Serangga mempunyai tubuh pendek, biasanya berbentuk
U, ada sepasang spirakel pada setiap segmen abdominal
utama, contoh larva Coleoptera (Curculios).
d. Serangga tidak mempunyai kaki torasik, kepala tidak meonjol
yang terdiri atas:
a) Serangga mempunyai abdomen dengan beberapa pasang
spirakel, tidak ada antenna. Tubuh agak meruncing pada
kedua ujungnya. Uret kuning atau putih, lunak terdapat
lilin, contoh larva Hymenoptera (lebah, semut).
b) Serangga mempunyai abdomen dengan satu pasang
spirakel terletak pada ujung yang tumpul. Ujung kepala
meruncing. Alat mulut terdiri atas sepasang sabit, contoh
larva Diptera (lalat).
Beberapa contoh spesies dan ordo serangga perusak tanaman
disajikan pada Tabel berikut ini.
48
Tabel 2. Spesies dari ordo Orthoptera sebagai serangga perusak tanaman
Tabel 3. Spesies dari ordo Hemiptera sebagai serangga perusak tanaman
49
Tabel 4. Spesies dari ordo Homoptera sebagai serangga perusak tanaman
50
Tabel 5. Spesies dari ordo Lepidoptera sebagai serangga perusak tanaman
51
Tabel 6. Spesies dari ordo Diptera sebagai serangga perusak tanaman
H. RANGKUMAN
Perkembangan suatu individu serangga dimulai dari telur dan
menunjukkan perbedaan bentuk sampai menjadi individu dewasa.
Serangga tidak hanya dipelajari dari penampilannya saja, tetapi juga dari
perkembangbiakan hingga menjadi populasi serangga yang merusak
tanaman, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi karena menurunnya
produksi tanaman secara kualitas dan kuantitas. Oleh karenanya serangga
ini disebut serangga hama. Selain itu titik kelemahan dan kekuatannya
dalam siklus hidupnya perlu diketahui, karena serangga mempunyai
berbagai kemampuan adaptasi dengan lingkungan . Serangga hama dapat
menyerang secara internal dengan jalan mengisap dan secara eksternal
dengan jalan menggigit dan mengunyah.
Perkembangan serangga primitif dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
telur, muda dan dewasa. Serangga Exopterygota (sayap luar tubuh larva)
pada kelompok Exopterygota mempunyai tiga tingkatan yaitu: telur, larva
(nimfa) dan dewasa. Serangga Endopterygota (sayap dalam tubuh larva)
mempunyai empat tingkatan, yaitu: telur, larva, pupa dan dewasa.
Perubahan-perubahan ini diikuti oleh pertumbuhan tubuh dan pergantian
kulit (ecdysis). Proses pergantian kulit ini disebabkan karena pembentukan
integument atau kulit baru di bawah integument yang tua. Pembentukan
integument baru ini, integument tua menjadi pecah-pecah dan mengelupas.
52
Sisa-sisa integument mengelupas (exuviae). Perkembangan tubuhnya
dimungkinkan sebelum terjadi integument baru yang terbentuk menjadi
keras dan tidak elastis. Interval waktu ecdysis (stadium), dan umur serta
bentuk serangga selama satu stadium disebut instar. Serangga-serangga
akan mengalami perubahan (metamorfosa) untuk berkembang dari telur
sampai dewasa. Berdasarkan metamorfosa pada serangga mempunyai
kemungkinan:1) ametabol (tidak ada metamorfosa jelas); 2) hemimetabola
(metamorfosa sederhana); 3) holometabol (metamorfosa sempurna); 4)
hipermetamorfosa.
Manusia merupakan faktor penyebab terjadinya hama karena:1)
manusia menyebarluaskan tanaman ke seluruh dunia (introduksi tanaman
baru); 2) manusia menanam tanaman secara monokultur, seringkali
tanaman-tanaman itu genetis homogeni; 3) membuka lahan di daerah yang
mempunyai organisme yang berpotensi sebagai hama. Pada ekosistim
alami, serangga hama memperoleh makanan terbatas dan musuh alami
berperan aktif, sehingga populasi menjadi rendah. Faktor manusia
mempunyai peranan, sehingga musuh alami tidak aktif. Oleh karena itu,
konsep Aras Ekonomi, Aras luka ekonomi dan ambang ekonomi perlu
dipahami untuk tindakan pengendalian yang ramah lingkungan, sehingga
populasi hama fluktuasinya tidak bertambah tinggi dan secara ekonomi
menguntungkan. Suatu spesies serangga tidak pernah mempunyai wujud
hama, akan tetapi populasi tertentu suatu spesies serangga dapat
mempunyai status hama. Faktor-faktor-faktor penyebab terjadinya hama
pada tanaman perlu diketahui, sehingga status dari hama tidak meningkat
menjadi hama utama.
Serangga-serangga hama mengganggu dan merusak tanaman yang
hidup dan tanaman yang bermanfaat karena dapat menyerang secara
internal dengan jalan mengisap dan secara eksternal dengan jalan
menggigit dan mengunyah. Identifikasi berdasarkan gejala serangannya
yakni dengan memperhatikan tipe alat mulut menggigit dan mengunyah
maka akan ditemukan bagian tanaman yang hilang, apakah dimakan,
digerek atau atau digorok, sedangkan kalau tipe alat mulutnya menusuk
dan mengisap maka pada bagian tanaman akan ditemukan bekas tusukan
stilet yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna atau perubahan
bentuk pada bagian tanaman yang diserangnya.Selain itu cara serangga
53
makan dan apa yang dimakan dapat menentukan tipe perlakuan
pengendalian yag efektif terhadap serangga tersebut. Pengelolaan hama
perlu dikendalikan jangan sampai statusnya meningkat menjadi hama
utama. Namun demikian dengan penggunaan pestisida, petani mungkin
merasakan populasi hama semakin berkurang. Namun di balik itu, ada hal
lain yang menjadi masalah. yakni munculnya hama baru yang sebelumnya
tidak menjadi masalah setelah populasi hama lama terkendali. Jenis hama
tertentu dapat dikendalikan oleh musuh alami. Penerapan pestisida pada
tanaman pertanian, musuh alami hama justru mematikan, sehingga muncul
hama-hama baru yang tidak terkendali.
I. DAFTAR PUSTAKA
Balfas R. & M. Willis. (2009) Pengaruh Ekstrak Tanaman Obat terhadap
Mortalitas dan Kelangsungan Hidup Spodoptera litura F.
(Lepidoptera, Noctuidae). Bul Littro. 20 (2), 148– 156.
Balinsky B.I. 1981. An introduction to Embryology. 5th ed sunders college
publishing. Philadelphia.
David B.V., Ananthakrishnan T.N. 2006. General and Applied
Entomology. India New Delhi: Mc Graw- Hill.
Forister M.L., J.A. Fordyce, C.C. Nice, Z. Gompert & A.M. Shapiro. 2006.
Egg Morphology Varies among Populations and Habitats along A
Suture Zone in the Lycaeides idas-melissa Species Complex.
Annals of the Entomological Society of America. 99 (5), 933–937.
Greeney H.F., T.R. Walla & R.L. Lynch. 2010. Architectural Changes in
Larval Leaf Shelters of Noctuana haematospila (Lepidoptera:
Hesperiidae) between Host Plant Species with Different Leaf
Thicknesses. Zoologia. 27 (1), 65– 69.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Kalshoven L.G.E. & P.A. van der Laan.1981. Pests of Crops in Indonesia.
Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve
Kurnia S. F. 2012. Analisis pengaruh faktor iklim terhadap tingkat
serangga hama wereng coklat (Studi Kasus: Kabupaten
Karawang). Skripsi, Bogor, Departemen Geofisika dan
Meteorologi, FMIP Institut Pertanian Bogor.
54
Mc Maugh T. 2007. Pedoman surveilensi organisme pengganggu
tumbuhan di Asia dan Pasifik. Alih bahasa oleh Andi Trisyono.
ACIAR Monograph No. 119a, 192p.
Program Nasional PHT. 1991. Kunci Determinasi Serangga, Yogyakarta.
Penerbit KANISIUS.
Rismayani & Rohimatun. 2017. Siklus hidup larva Nyctemera coleta dan
Paliga auratalis sebagai hama pada tanaman daun sambung nyawa
(Gynura procumbens). Bul. Littro, 28(1): 89−96.
Saunders J.W.Jr .1980. Developmental Biology. Patterns Problems
Principles. Macmillan Publishing Co. Inc, New York.
Sembel D. T. 2012. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman, Yogyakarta,
Penerbit ANDI.
Spratt N.T.Jr.1971. Developmental Biology. Wadsworth Publishing
Company, Inc. Belmont.
Triharso. 1994. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada
University Press.
Untung K. 2010. Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman. Jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian UGM: Yogyakarta.
Vane W.R.I. & R. de Jong R. 2003. The Butterflies of Sulawesi. Annotated
Checklist for a Critical Island Fauna. Invertebrate Systematics. 18
(3), Leiden, Zoo.Verh.
Wirakusumah S. 2003. Dasar-dasar Ekologi bagi Populasi dan
Komunitas. Jakarta:UI-Press.
J. PELATIHAN
1. Jelaskan mengapa faktor luar atau lingkungan mempengaruhi
tempat hidup serangga dan sering menjadi pembatas peningkatan
populasi
2. Jelaskan mengapa larva serangga hama merugikan secara ekonomi.
Sebutkan contohnya.
3. Sebutkan paling sedikit 2 macam hormon dalam metamorfosa dan
jelaskan peranan dalam metamorfosa.
4. Jelaskan dengan grafik ambang ekonomis untuk pengambilan
keputusan pengendalian hama sesuai dengan konsep Pengelolaan
Hama Terpadu (PHT).
55
5. Mengapa monitoring terhadap hama perlu dilakukan, terutama di
daerah-daerah yang berpotensi meledaknya populasi hama.
6. Jelaskan mengapa terjadi peledakan populasi hama di suatu daerah.
7. Mengapa penerapan pestisida pada tanaman pertanian justru
mematikan musuh alami hama, sehingga muncul hama-hama baru
yang tidak terkendali.
8. Jelaskan mengapa pengelolaan hama perlu dikendalikan jangan
sampai statusnya meningkat menjadi hama utama.
9. Secara umum, dijumpai faktor yang berpengaruh terhadap
meningkatnya populasi serangga sebagai hama. Sebutkan dan
jelaskan pengaruh tersebut !.
10. Pada dasarnya jenis kerusakan pada tanaman oleh serangga hama
sangat erat kaitannya dengan tipe alat mulut dari serangga hama itu.
Sebutkan dan jelaskan kerusakan pada tanaman dan tipe alat mulut
dari serangga yang menyebabkan kerusakan tersebut.
56
BAB III.
SERANGGA SEBAGAI VEKTOR VIRUS
TUMBUHAN
A. DASAR PIKIRAN
Serangga merupakan vektor paling penting menularkan virus
tumbuhan. Ordo Homoptera menempati 70% dari jumlah vektor. Serangga
membantu pemencaran dan perkembangan virus tumbuhan. Interaksi
biologi virus tumbuhan dan serangga mempunyai peranan dalam strategi
pengelolaan kesehatan tanaman. Selain itu luka karena serangga
merupakan jalan masuk untuk jamur, dan bakteri penyebab penyakit
masuk ke jaringan tanaman.
Pada bagian ini akan dibahas penularan dan penyebaran virus
tumbuhan melalui serangga serta hubungan antar serangga vektor dan
virus tumbuhan. Setelah membaca dan memahami Bab III, diharapkan
pembaca atau mahasiswa dapat:(1) mengerti cara penularan dan
penyebaran virus tumbuhan melalui vektor; 2) peranan serangga
membantu pemencaran dan perkembangan virus tumbuhan; 3) mengenal
interaksi biologi virus tumbuhan dan serangga sebagai vektor.
B. PENULARAN DAN PENYEBARAN VIRUS
TUMBUHAN MELALUI VEKTOR
Vektor merupakan penyebar virus tumbuhan yang penting di
lapangan. Sebagian besar virus tumbuhan menyebar dari tanaman satu ke
tanaman lain melalui vektor. Penularan dan penyebaran virus tumbuhan
yang paling penting dilakukan oleh serangga. Serangga merupakan vektor
virus tumbuhan yang paling dominan dari ordo Homoptera. Serangga kutu
daun, wereng, trips dan kutu daun paling dominan menularkan virus
tumbuhan (Black et al., 1991). Beberapa serangga vektor paling dominan
menyerang tumbuhan tersaji pada Gambar 9.
57
Gambar 9 Serangga vektor virus paling dominan. A: kutu daun (Myzuz
persicae); B. wereng (Circulifer tenellus); C. Trips (Frankliniella
occidentalis); D. Trips (Frankliniella fusca); E. kutu putih (Bemisia tabaci)
Filum Arthropoda dan filum nematoda ditemukan sebagai vektor
virus tumbuhan, masing-masing 94% dan 6%. Serangga menempati 99%
dari Filum Arthropoda. Ordo Homoptera dari Famili Aphididae (kutu
daun) mempunyai peranan paling penting. Leafhopper (wereng) dari famili
(Cicadelidae atau Jassidae, Delphacidae dan Membracidae), kutu putih
(Aleyrodidae), mealybugs (Pseudococcidae), ordo Acarina dari famili
Eriophydae, kelas Arachnida juga mempunyai peranan penting sebagai
vektor virus tumbuhan. Spesies-spesies dari ordo Hemiptera, trips
(Thysanoptera) dan kumbang (Coleoptera) serta Orthoptera juga
mempunyai fungsi sebagai vektor virus tumbuhan, tetapi tidak terlalu
penting. Beberapa serangga mempunyai peranan sebagai vektor virus
tumbuhan terdiri atas:
a) Ordo Homoptera, misal: wereng coklat (Nilaparvata, anggota
Familia Delphacidae) vektor penyakit virus pada tanaman padi; kutu
kebul (Bemisia, anggota Familia Aleyrodidae) vektor penyakit virus
pada tanaman tembakau, tomat, terung, cabai, kacang-kacangan, dll;
green planthopper (Siphanta acuta, anggota Familia Flatidae);
Paracoccus burnerae (Planococcidae) vektor penyakit virus pada
tanaman pisang (Muturi et al. 2013); wereng hijau (Nephotettix,
anggota Familia Cicadellidae) vektor penyakit tungro pada tanaman
padi; Aphid beberapa anggota dari Familia Aphidoidae merupakan
vektor tidak kurang dari 250 virus penyakit berbagai tanaman
pangan seperti virus mosaik, ring spot, virus penyebab tanaman
kerdil.
58
b) Ordo Diptera, misal beberapa penggerek daun dari Familia
Agromyzidae yang merupakan vektor virus mosaik pada berbagai
tanaman buah dan sayur.
c) Ordo Hemiptera, misal walang sangit (Leptocorisa oratoria,
anggota Familia Alydidae); True bugs anggota Familia Piesmatidae
vektor virus yang menyebabkan daun keriting.
d) Ordo Thysanoptera, misal trip (beberapa anggota dari
Familia Thripidae) merupakan vektor virus penyebab penyakit pada
berbagai tanaman pangan.
e) Ordo Hymenoptera, misal semut (beberapa anggota Familia
Formicidae) yang berasosiasi dengan hama Homoptera. Beberapa
Homoptera seperti mealy bugs dan aphid dipindahkan oleh semut
dari satu tanaman ke tanaman yang lain serta memperoleh
keuntungan dari “madu” yang disekresikan oleh Homoptera,
sedangkan Homoptera mendapatkan perlindungan dan terbantu
dalam penyebarannya.
f) Ordo Coleoptera, virus yang terbawa kecil peluangnya untuk
menetap dan penularannya jarang. Namun demikian Turnip Yellow
Mosaic Virus (Tymovirus), Cowpea Mosaic Virus (Comovirus)
ditularkan oleh ordo Coleoptera, meski belum jelas penularannya.
Leafhopper sampai saat ini diketahui ada 150 spesies sebagai vektor
virus tumbuhan dan 90 % hanya menularkan satu macam virus, sedangkan
sisanya dapat menularkan 2−4 virus tumbuhan. Saat ini diketahui ada 75
macam virus tumbuhan disebarkan oleh leafhopper, lebih dari 40
diantaranya dapat disebarkan oleh hanya satu vektor masing-masing,
beberapa dapat disebarkan oleh 2 sampai 4 vektor. Virus ini menyebabkan
gangguan pada phloem. Virus ini tidak disebarkan melalui sap, kecuali
Potato Yellow Dwarf Virus. California Aster Yellow Virus dapat
disebarkan oleh 22 vektor dan virus penyebab Piece‟s disease pada anggur
disebarkan oleh 25 vektor. Kebanyakan vektor leafhopper membutuhkan
feeding periode satu sampai beberapa hari sebelum dapat menularkan virus
dan biasanya vektor tersebut mengandung virus seumur hidupnya.
Biasanya dibutuhkan waktu inkubasi satu sampai dua minggu sebelum
leafhopper tersebut dapat menularkan virus. Semua virus mempunyai sifat
sirkulatif (circulative). Virus sirkulatif masuk dalam tubuh vektor, menuju
59
ke usus dan haemolimfe kemudian menetap serta dikeluarkan lagi melalui
kelenjar saliva (ludah) dan cairan liur dalam mulutnya. Beberapa
diantaranya, virus mempunyai sifat memperbanyak diri di dalam tubuh
vektor (virus propagatif) dan vektor tidak kehilangan daya infeksinya
setelah menginokulasi tanaman sehat atau ketika terjadi ganti kulit, bahkan
ada virus yang dapat ditularkan ke generasi berikutnya (transovarial
passage). Strain satu virus mungkin mempunyai jenis vektor yang berbeda,
misalnya Barley Yellow Dwarf Virus ditularkan oleh aphis. Virus
tumbuhan hanya dapat disebarkan oleh satu jenis serangga, walaupun
seekor serangga dapat mengandung lebih dari satu virus pada waktu yang
sama (Tabel 7).
Tabel 7. Serangga sebagai vektor virus tumbuhan
Virus mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat apabila berada
dalam serangga yang sama dan menimbulkan proteksi silang satu sama
lain. Seekor serangga dapat menyebarkan satu atau lebih stilet borne virus
dan satu atau lebih virus sirkulatif secara bersama-sama atau sendiri.
Beberapa virus hanya dapat ditularkan bila virus tersebut berada bersama-
sama dengan suatu virus lain. Umumnya virus tumbuhan hanya sedikit
berpengaruh terhadap kesehatan dan reproduksi pada vektornya dan vektor
tersebut jarang sekali sampai menjadi sakit, kecuali Peach Wester X
60
disease dapat menyebabkan penyakit pada vektornya Callodonus
montanus yang akhirnya vektor tersebut mati.
C. HUBUNGAN ANTARA SERANGGA VEKTOR DAN
VIRUS TUMBUHAN
Hubungan antara vektor dan virus tumbuhan didasarkan pada retensi
virus dan keberadaan virus dalam vektor atau memperbanyak diri dalam
tubuh vektor. Ternyata terdapat hubungan-hubungan yang berbeda antara
virus dan vektornya, khususnya mengenai lamanya vektor tetap infektif
setelah meninggalkan tumbuhan sakit. Cara-cara penularan virus oleh
serangga dan perbedaan hubungan biologi antara virus dan vektor
disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Penularan virus oleh serangga dari sumber infeksi (kolom pertama)
pada tumbuhan yang kemudian dijajagi atau dimakan oleh serangga
(Bos, 1990).
Probabilitas terjadinya inokulasi atau insidensi tanaman sakit virus
tular serangga akan meningkat sesuai dengan jumlah inokulum awal dan
tingkat populasi serangga. Interaksi antara virus, vektor dan tanaman akan
61
berpengaruh terhadap pemencaran dan suksesi virus. Interaksi tersebut
dapat berupa kompetisi biologi langsung antar inang, antar vektor, virus di
dalam tanaman maupun tubuh serangga vektor yang akan berakibat pada
perubahan laju penularan, perilaku dan dinamika populasi. Berdasarkan
keberadaan virus dalam tubuh vektor dikelompokkan menjadi tular stilet
(stiletborne) dan sirkulatif. Tipe hubungan serangga vektor dan virus
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Tipe hubungan serangga vektor dan virus tumbuhan
1. Retensi virus dalam vektor
Sifat retensi virus atau lama virus tumbuhan bertahan di dalam
tubuh vektor dikelompokkan menjadi tiga yaitu nirpersisten, semipersisten,
dan persisten.
1) Penularan nirpersisten
Serangga vektor lebih banyak menularkan virus secara
nirpersisten bila dibandingkan dengan virus yang ditularkan secara
semipersisten dan persisten. Aphid sering menularkan virus dari dan
ke dalam parenkim inang. Gen yang terdapat pada genom tumbuhan
mengendalikan penularan virus tumbuhan oleh aphid secara
genetika. Ekspresi gen menghasilkan protein 50 kDA dan berfungsi
sebagai helper untuk penularan virus tumbuhan oleh aphid. Selain
itu, asam amino (asam aspartate-alanin-glisin) pada kapsid potyvirus
mempunyai fungsi sebagai signal penularan virus tumbuhan oleh
aphid. Virus belang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Vektor hanya menularkan virus terbatas pada stilet atau saluran
cerna depan (forgut borne) vektor. Pada umumnya, virus dapat
ditularkan secara mekanis. Derajad interaksi biologi antara virus
62
dengan vektornya lemah, sehingga vektor menjadi inaktif sesudah
pengambilan virus. Satu jenis virus dapat ditularkan oleh berbagai
spesies serangga atau sebaliknya. Oleh karena itu virus nirpersisten
mempunyai kekhususan vektor yang rendah atau dapat ditularkan
oleh beberapa spesies vektor dalam family yang sama. Cucumber
mosaic virus disebarkan oleh banyak jenis aphid, sedang jenis
tunggal seperti Myzuz persicae dan Aphis gossypii dapat
menyebarkan beberapa jenis virus. Namun demikian jenis Aphid
yang berbeda dapat berbeda besar dalam efisiensi penularannya.
Sampai saat ini, telah diketahui 250 jenis virus yang dapat
ditularkan secara nirpersisten melalui vektor kutu daun. Virus dalam
genus Potyvirus, Carlavirus, Caulimovirus, Cucumovirus dan
Fabavirus ditularkan oleh kutu daun. Virus tersebut mempunyai
bentuk tongkat dan isohedron; virus DNA dan RNA; genom
monopartite, dipartite, tripartide. Beberapa contoh virus
nirpersisten disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Virus tumbuhan yang ditularkan secara nirpersisten
Virus yang ditularkan secara nirpersisten mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a) Proses penularannya memerlukan waktu akuisisi dan waktu
inokulasi yang pendek (beberapa detik hingga beberapa menit)
dan tidak memerlukan periode laten dalam vektor. Oleh karena
itu, periode makan untuk menularkan data dilakukan segera
setelah periode makan akuisisi.
b) Vektor akan kehilangan kemampuan menularkan virus dalam
waktu singkat (4 jam). Meskipun demikian, kendati sangat
jarang, daya tular dapat bertahan sampai 40 jam, apabila vektor
63
tidak dapat mencapai tanaman sesudah memperoleh virus. Oleh
karena itu pelaparan sebelum akuisisi virus akan meningkatkan
efisiensi penularan oleh vektor.
c) Cara penularan sering disebut sebagai proses mekanik
kontaminasi stilet dan virus disebut “terbawa stilet”. Daya tular
dari vektor hilang pada saat pergantian kulit, jika serangga
melepaskan eksoskeletonnya termasuk bagian mulut. Penularan
biasanya mempunyai kekhususan yang rendah dan sering
dilakukan oleh Aphids secara tidak teratur merupakan pemakan
dan pengkoloni pertanaman, karena hanya dilakukan
penjajagan pada tanaman yang enak.
2) Penularan persisten
Penularan persisten mempunyai hubungan spesifik yang erat
antara virus dan vektor. Virus tertentu dipancarkan oleh jenis vektor
tunggal atau biotipe, dan individu dapat berbeda efisiensinya
sebagai vektor contohnya kutu kebul (Bemisia tabaci). Virus diisap
oleh vektor dan masuk ke dalam saluran cerna, kemudian dalam
usus tengah (midgut) menembus sel epitelium beredar dalam
haemolymph dan akhirnya sampai pada kelenjar saliva. Virus
dengan vektornya mempunyai spesifitas kuat dan memerlukan
waktu inokulasi serta inokulasi virus yang panjang. Hal ini
menunjukkan hubungan biologi yang akrab antara virus dan vektor.
Virus ini ditularkan melalui stilet, kemudian masuk ke dalam alat
pencernaan serangga vektor dan ke dalam darah, kelenjar ludah, ke
ludah, dan melalui stilet masuk ke dalam tanaman sehat. Oleh
karena itu, penularan ini mempunyai kaitan dengan pengambilan
virus melalui saluran pencernaan, penembusan dinding usus,
sirkulasi dalam cairan tubuh (haemolymph), dan kontaminasi
melalui ludah. Serangga pembawa virus tetap infektif (inokulatif)
pada pengisapan berikutnya sesudah mengalami periode laten.
Daya tular tidak menyebabkan hilang pada pergantian kulit
serangga dan virus dalam haemolymph terdeteksi. Pengambilan
virus ini dilakukan setelah waktu pengisapan lama (penetrasi)
selama ± 15 menit untuk mencapai floem (buluh tapis). Umumnya
virus dijumpai terbatas pada floem atau berasosiasi erat dengan
64
floem tumbuhan terinfeksi da inokulasi virus ini tidak dapat
ditularkan secara mekanis. Daya tular vektor akan menyebabkan
virus bertahan selama virus infektif dalam vektor, meskipun ini
tergantung pada jumlah virus yang ditelan oleh vektor, sebagai
contoh Beet curly top virus yang ditularkan oleh Circuliver tenellus.
Persistensi akan mempunyai ketahanan sampai mati, jika virus
memperbnyak diri dalam tubuh vektor, seperti kombinasi virus dan
wereng, misalnya Rice dwarf virus dalam Nephotettix cincticeps dan
Clover wound tumor virus dalam Agallia constricta.
Penularan virus dibedakan dalam bentuk sirkulatif dan
propagative. Virus sirkulatif masuk dalam tubuh vektor, menuju ke
usus dan haemolimfe kemudian menetap sampai dapat dikeluarkan
lagi melalui kelenjar saliva (ludah) dan cairan liur dalam mulutnya,
sedangkan virus propagatif memperbanyak diri dalam tubuh vektor
Mikoplasma memperbanyak diri dalam tubuh wereng dan bersifat
persisten. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara persisten tersaji
pada Tabel 10.
Tabel 10. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara persisten
Virus yang ditularkan secara persisten mempunyai sifat
transtadial. Virus tersebut di dalam tubuh serangga vektor dapat
mengadakan replikasi dan berasosiasi dengan floem, sehingga
kisaran inangnya spesifik. Selain itu, pemindahan transovarial
beberapa virus tumbuhan melalui telur serangga ditemukan pada
wereng, seperti Rice dwarf virus dan Wheat striate mosaic virus.
Virus ini mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam populasi
tanpa dapat mencapai inang tumbuhan yang rentan. Beberapa
serangga vektor akan menderita penyakit, seperti virus serangga.
65
Penularan persisten mempunyai kemampuan satu individu vektor
dapat untuk menginfeksi sejumlah besar tumbuhan dan bertindak
sebagai penyemprot virus yang terbang dan bukan dengan menusuk
melalui stilet, sehingga tidak bisa ditularkan melalui sap.
3) Penularan secara semi persisten
Proses penularan semi persisten merupkan bentuk penularan
antara penularan persisten dan nirpersisten. Virus yang ditularkan
secara semi persisten mempunyai ketahanan yang lebih lama di
dalam tubuh vektor. Masa retensinya lebih lama dibandingkan
dengan virus yang ditularkan secara nirpersisten (12 hingga 24 jam)
dan tidak mempunyai periode laten, contohnya proses penularan
Beet yellow virus, Clover yellow virus, Strawberry mottle virus, Vein
banding virus. Berdasarkan ketidakmampun virus tumbuhan
melakukan sirkulasi dalam vektor, penularan virus secara semi
persisten sama dengan nirpersisten. Namun, berdasarkan kemam-
puan penularan yang relatif lama (3−4 hari), virus semi persisten
lebih menyerupai virus persisten. Beberapa virus tumbuhan yang
ditularkan secara semi persisten tersaji pada Tabel 11.
Tabel 11. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara semi persisten
Kebanyakan virus dapat ditularkan secara mekanik, meskipun
sering mengalami kesukaran. Pengambilan virus dilakukan oleh
serangga melalui floem dengan waktu penetrasi yang panjang, dan
tidak ada periode laten dan virus dapat bertahan selama beberapa
hari. Daya tular virus akan menghilang saat pergantian kulit dari
serangga. Hal ini dikaitkan dengan pengambilan virus bersama
makanan dan adsorbsi ke dalam lapisan tenggorok (pharynx),
selanjutnya pengelakan perlahan-lahan dari lapisan tenggorok atau
bagian usus depan, dan akan lepas saat pergantian kulit. Oleh karena
itu virus semi persisten memperlihatkan kekhususan vektor yang
66
lebih tinggi dibandingkan dengan virus nirpersisten. Perbedaan sifat
penularan nirpersisten dan semipersisten disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Sifat penularan pada setiap tipe hubungan antara virus dan vektor
Inokulasi pada tumbuhan dilakukan melalui penyemburan atau
eksresi pada permukaan makan berturut-turut. Proses adsorbsi ditunjukkan
melalui ketergantungan penularan virus atau strain yang tidak ditularkan
dengan hadirnya strain-strain lain atau virus yang tidak sekerabat yang
dapat ditularkan. Infeksi campuran dari Barley yellow virus akan dibalut
oleh protein lain strain (heterologous encapsidation= penyalutan
heterolog). Salut protein mempunyai tanggung jawb untuk sifat spesifik
vektor. Mekanisme berbeda akan melibatkan virus pembantu yang tidak
sekerabat untuk keperluan penularan, misal Carrot red leaf virus yang
persisten oleh Cavariella aegopodii.
2. Keberadaan virus dalam vektor
Keberadaan virus dalam vektor dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1) nirsirkulaatif terdiri atas: nirpersisten dan semipersisten; 2) sirkulatif
(persisten) terdiri atas: sirkulatif dan sirkulatif propagatif.
67
1) Hubungan nirsirkulatif
Keberadaan virus dalam tubuh vektor mempunyai hubungan
nirsirkulatif, jika virus hanya terdapat pada alat mulut vektor atau
tular stilet (stilet borne). Kebanyakan serangga penular virus
tumbuhan mempunyai alat mulut penusuk dan pengisap, contohnya
aphid. Serangga ini mempunyai paruh atau rostrum yang
karakteristik dan merupakan modifikasi bibir bawah atau labium
dengan alur dorsal yang didalamnya terdapat stilet sebagai alat
penusuk. Stilet merupakan perpanjangan rahang atas (maxillary) dan
rahang bawah (mandibular) mempunyai bentuk langsing tetapi
kaku. Stilet membentuk berkas yang pasangan luarnya stilet rahang
bawah dan pasangan dalamnya stilet rahang atas. Stilet rahang atas
ditahan oleh alur dan gigi serta mengandung saluran untuk makanan
dan ludah. Penetrasi stilet dilakukan dengan menjulurkan stilet
rahang bawah dan rahang atas secara bergiliran serta dibantu oleh
sekresi ludah dari ujung stilet yang menggumpal dalam jaringan
tumbuhan untuk membentuk sarung disekitar stilet. Bagian mulut
dan cara makan aphid disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Bagian mulut dan cara makan aphid. A: diagram aphid yang sedang makan; B: kepala aphid yang dipencet dan alat mulutnya; C.
diagram bagian mulut pada irisan melintang (Bos, 1990)
68
Penjajagan pengambilan sampel cairan sel tanaman dilakukan
antara sel epidermal atau asal masuk saja ke dalam epidermis.
Pengambilan makanan yang sesungguhnya dilakukan dari jaringan
floem. Seekor aphids memerlukan beberapa menit dan kadang-
kadang beberapa jam untuk mengadakan penetrasi antara sel-sel
tanaman dan bukan menembus untuk akhirnya mencapai floem.
Seekor aphid memerlukan beberapa menit dan kadang-kadang
beberapa jam untuk mengadakan penetrasi ke dalam sel tanaman
dan bukan menembus sel-sel untuk akhirnya mencapai floem.
Serangga wereng lebih kuat melakukan hal tersebut dalam beberapa
menit. Cairan di dalam floem mengalir di bawah tekanan, sehingga
mudah masuk ke dalam saluran makanan serangga.
Thysanoptera mempunyai cara yang lebih sederhana untuk
makan. Serangga ini membuat luka terbuka pada sel-sel epidermis
untuk mengerat dan mengisap makanan. Tungau Eriophyd sering
dijumpai bersembunyi di antara rambut-rambut daun dan dalam
kuncup. Kebanyakan mempunyai gerakan bersifat pasif, misalnya
dibantu oleh angin. Tungau mempunyai stilet yang kecil untuk
menusuk sel-sel epidermis dan mempunyai dua bantalan pada ujung
rostrum yang membantu membawa ludah sampai stilet dan
mengisap cairan tumbuhan.
2) Hubungan sirkulatif
Virus yang ditularkan secara persisten atau virus sirkulatif
mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Virus mempunyai waktu makan akuisisi yang relatif lebih lama.
Walaupun beberapa kutu daun dapat menularkan virus persisten
setelah makan akuisisi selama 20 menit. Penular makin efektif
setelah diberi periode makan akuisisi selama 6−24 jam.
b. Vektor setelah mendapatkan virus, vektor dapat menularkan
virus sedikitnyaa satu minggu, bahkan dapat menularkan virus
selama hidup vektor.
c. Vektor dapat menularkan virus setelah berganti kulit
(transtadial) dan melalui anaknya (transovarial).
Virus sirkulatif dikelompokan dalam dua kategori yaitu:
69
(1) Propagatif, jika di dalam tubuh vektor virus dapat
memperbanyak diri.
(2) Non propagatif, jika di dalam tubuh vektor virus tidak dapat
memperbanyak diri.
Virus persisten, seperti kutu kebul (Bemisia tabaci Gennital)
akan mengisap tanaman kedelai dan masuk ke dalam saluran cerna
serta dalam usus tengah (midgut) menembus sel epitelium.
Selanjutnya virus beredar dalam hemolimph dan kontaminasi ludah,
akhirnya sampai pada kelenjar saliva. Hal ini menyebabkan
serangga pembawa virus ini tetap infektif atau inokulatif pada
pengisapan berikutnya sesudah mengalami periode laten. Daya tular
tidak hilang pada pergantian kulit serangga dan adanya virus dalam
haemolymph dapat dideteksi. Daya tular vektor bertahan selama
virus infektif tetap tersedia dalam vektor dan sangat bergantung
pada jumlah virus yang ditelan. Spesifitas antara virus dengan
vektornya kuat. Perlu waktu akuisisi dan inokulasi virus yang
panjang. Vektor makin efektif setelah diberi periode makan akuisisi
selama 6−24 jam. Setelah mendapatkan virus, vektor dapat
menularkan virus dalam kurun waktu satu minggu, bahkan dapat
menularkan virus selama hidup vektor. Menurut Sumardiyono
(2002) waktu akuisisi yang panjang ini dibedakan antara lain:
1) Virus melakukan replikasi dalam tubuh vektor.
2) Virus tidak melakukan replikasi, tetapi beredar lebih dahulu
dalam tubuh vektor,
Umumnya virus terbatas pada floem atau berasosiasi erat
dengan floem tumbuhan yang terinfeksi, dan inokulasi virus
demikian secara mekanik atau melalui cairan tidak mungkin
dilakukan. Penularan persisten, satu individu dapat menginfeksi
sejumlah besar tumbuhan, sehingga bertindak sebagai penyemprot
virus yang terbang dan bukan sebagai penyuntik dengan jarum,
seperti penularan non persisten.
Pada epidemi penyakit virus pada tanaman kedelai yang
ditularkan oleh serangga merupakan model matematika
konvensional. Salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian
70
dalam mengkaji epidemiologi penyakit virus dilakukan melalui
penularannya Jeger et al., cit Jeger & Spence, 2001). Analisis
keefektifan roguing tanaman sakit dan penurunan populasi vektor
menunjukkan bahwa roguing hanya efektif untuk pengelolaan
penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan secara nir
persisten, jika kepadatan populasi vektor relatif rendah.
Pengembangan permodelan di atas mempertimbangkan migrasi
serangga dan memberikan petunjuk bahwa laju pertambahan
tanaman sakit sebagai fungsi dari kepadatan serangga inokulatif,
jumlah tanaman yang dikunjungi vektor per satuan waktu dan
probabilitas terjadinya penularan oleh serangga migran.
Perkembangan penyakit berdasarkan mekanisme penularan virus.
Kerapatan populasi serangga vektor yang rendah dan tidak ada
vektor migran akan menyebabkan insiden penyakit tertinggi pada
virus semi persisten dan persisten atau sirkulatif. Insidensi penyakit
tertular virus kelompok propagatif dan sirkulatif sangat dipengaruhi
oleh vektor longevity, lamanya akuisisi dan inokulasi virus oleh
vektor. Mobilitas vektor tidak mempengaruhi kelompok propagatif
(Madden et al., 2000).
D. RANGKUMAN
Vektor merupakan penyebar virus tumbuhan yang penting di
lapangan. Sebagian besar virus tumbuhan menyebar dari tanaman satu ke
tanaman lain melalui vektor. Vektor mengisap isi sel tumbuhan sakit
bersama dengan virusnya dan menginokulasikan ke tumbuhan sehat yang
diisapnya kemudian. Serangga merupakan vektor virus tumbuhan yang
paling dominan dari ordo Homoptera. Serangga kutu daun, wereng, trips
dan kutu daun paling dominan menularkan virus tumbuhan. Virus
tumbuhan hanya dapat disebarkan oleh satu jenis serangga, walaupun
seekor serangga dapat mengandung lebih dari satu virus pada waktu yang
sama. Virus mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat apabila berada
dalam serangga yang sama dan menimbulkan proteksi silang satu sama
lain. Namun demikian, seekor serangga dapat menyebarkan satu atau lebih
stilet borne virus dan satu atau lebih virus sirkulatif secara bersama-sama
atau sendiri. Keberadaan virus dalam tubuh vektor mempunyai hubungan
71
nirsirkulatif, jika virus hanya terdapat pada alat mulut vektor atau tular
stilet (stilet borne). Hubungan antara vektor dan virus tumbuhan
didasarkan pada retensi virus dan keberadaan virus dalam vektor atau
memperbanyak diri dalam tubuh vektor. Probabilitas terjadinya inokulasi
atau insiden penyakit oleh virus tular serangga akan meningkat sesuai
dengan jumlah inokulum awal dan tingkat populasi serangga. Interaksi
antara virus, vektor dan tanaman akan berpengaruh terhadap pemencaran
dan suksesi virus. Interaksi tersebut dapat berupa kompetisi biologi
langsung antar inang, antar vektor, virus di dalam tanaman maupun tubuh
serangga vektor yang akan berakibat pada perubahan laju penularan,
perilaku dan dinamika populasi. Penularan persisten mempunyai hubungan
spesifik yang erat antara virus dan vektor. Virus tertentu dipancarkan oleh
jenis vektor tunggal atau biotipe, dan individu dapat berbeda efisiensinya
sebagai vektor contohnya kutu kebul (Bemisia tabaci). Penularan persisten
mempunyai hubungan spesifik yang erat antara virus dan vektor. Virus
diisap oleh vektor dan masuk ke dalam saluran cerna, kemudian dalam
usus tengah (midgut) menembus sel epitelium beredar dalam haemolymph
dan akhirnya sampai pada kelenjar saliva. Selanjutnya virus beredar dalam
hemolimph dan kontaminasi ludah, akhirnya sampai pada kelenjar saliva.
Hal ini menyebabkan serangga pembawa virus ini tetap infektif atau
inokulatif pada pengisapan berikutnya sesudah mengalami periode laten.
Daya tular tidak hilang pada pergantian kulit serangga dan adanya virus
dalam haemolymph dapat dideteksi. Daya tular vektor bertahan selama
virus infektif tetap tersedia dalam vektor dan sangat bergantung pada
jumlah virus yang ditelan. Virus dengan vektornya mempunyai spesifitas
kuat dan memerlukan waktu inokulasi serta inokulasi virus yang panjang.
Serangga vektor lebih banyak menularkan virus secara nirpersisten bila
dibandingkan dengan virus yang ditularkan secara semipersisten dan
persisten.
Kebanyakan serangga penular virus tumbuhan mempunyai alat
mulut penusuk dan pengisap, contohnya aphid. Vektor hanya menularkan
virus terbatas pada stilet atau saluran cerna depan (forgut borne) vektor.
Pada umumnya, virus dapat ditularkan secara mekanis. Derajad interaksi
biologi antara virus dengan vektornya lemah, sehingga vektor menjadi
inaktif sesudah pengambilan virus. Sampai saat ini, telah diketahui 250
72
jenis virus yang dapat ditularkan secara nirpersisten melalui vektor kutu
daun. Virus dalam genus Potyvirus, Carlavirus, Caulimovirus,
Cucumovirus dan Fabavirus ditularkan oleh kutu daun. Pada epidemi
penyakit virus pada tanaman kedelai yang ditularkan oleh serangga
merupakan model matematika konvensional. Salah satu faktor yang perlu
mendapat perhatian dalam mengkaji epidemiologi penyakit virus
dilakukan melalui penularannya. Analisis keefektifan roguing tanaman
sakit dan penurunan populasi vektor menunjukkan bahwa roguing hanya
efektif untuk pengelolaan penyakit yang disebabkan oleh virus yang
ditularkan secara non persisten, jika kepadatan populasi vektor relatif
rendah.
E. DAFTAR PUSTAKA
Basu A.N & B.K. Giri. 1992. The Essential of Viruses, Vectors, Plant
Diseases. Wiley Eastern Limited Bombay. 242 p.
Black L.L., S.K. Green, G.L. Hartman & J.M. Poulos. 1991. Pepper
Diseases: A field Guide. Asian Vegetables Research and
Development Center.98 p.
Bos L. 1990. Pengantar Virology Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press. Hal. 40−49.
Gibbs A. & B. Harrison. 1980. Plant Virology: The principles. Edward
Arnold, London
Harris F.K. & K. Maramorosch. 1980. Vektor of Plant
Pathogen. Academic press.
Harrison B.D. 1983. Epidemiology of Plant Virus Disease. Black Well
Scientific Publication. Oxford.
Hidayat P., Hendrival & Nurmansyah. 2011. Keanekaragaman dan
kelimpahan musuh alami Bemisia tabaci (Gennadius) (hemiptera:
Aleyrodidae pada tanaman cabai merah di Kecamatan Pakem,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. J. Entomol.
Indon 8(2): 96−109.
Madden L.V., M.J. Jeger & F. Van den Bosh. 2000.A theoretical
assessment of the effects of vector-virus transmission mechanism
on plant virus disease epidemics. Phytopathology 90: 576−594.
73
Mc Cornack B.P., D.W. Ragsdale & R.C. Venette. 2004. Demography of
soybean Aphis (Homoptera: Aphididae) at summer temperatures.
J. Economic Entomology 97: 854−865.
Muturi S.M., F.N. Wachira, L.S. Karanja, M.C. Wambulwa & E.
Macharia, 2013. Paracoccus burnerae (Homoptera;
Planococcidae) as a vector of banana streak virus. Journal of
Experimental Biology, 1, p.5.
Saleh N. 2007. Sistim produksi kacang-kacangan untuk menghasilkan
benih bebas virus. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 2(1): 56−78.
Spence, N.j. 2001. Virus-Vector in Plant Virus Disease Transmission and
Epidemiology. In Jeger M.J. & N.J. Spence. 2001. Biotic
interaction in plant pathogen interation.CABI Publishing.: 15−26.
F. PELATIHAN
1. Jelaskan cara-cara penularan virus oleh serangga dan perbedaan
hubungan biologi antara virus dan vektor.
2. Sebutkan dan jelaskan pengelompokan virus berdasarkan
keberadaan virus dalam tubuh vektor
3. Sebutkan pengelompokan penularan virus berdasarkan sifat retensi
virus atau lama virus tumbuhan bertahan di dalam tubuh vektor.
4. Berdasarkan keberadaan virus dalam vektor dikelompokkan menjadi
dua. Jelaskan pengelompokan tersebut.
5. Jelaskan perbedaan antara virus sirkulatif dan virus propagatif.
6. Jelaskan tipe mulut dari aphid dan bagaimana cara penetrasi ke
tanaman.
7. Apa yang anda ketahui tentang virus sirkulatif dan bagaimana sifat-
sifatnya serta kategori pengelompokannya.
74
BAB IV.
VIRUS SEBAGAI PENYEBAB PENYAKIT
TANAMAN
A. DASAR PIKIRAN
Virus sebagai salah satu penyebab penyakit tanaman dapat
mengacaukan sel inang. Jika sel yang ditulari rentan, maka virus akan
menetap atau infeksi dan mengikuti metabolisme inang serta
memperbanyak diri, sehingga mengakibatkan terjadinya penyakit.
Pengetahuan tentang komposisi asam nukleat dan protein penyusun serta
replikasi virus tumbuhan diperlukan untuk memahami berbagai aspek
tentang virus tumbuhan, seperti virus menginfeksi tanaman sehingga
menjadi sakit, hubungan satu virus dengan virus yang lain, dampak infeksi
virus pada pertumbuhan tanaman inang serta pengaruh lingkungan
terhadap timbulnya penyakit.
Setelah mempelajari Bab IV ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami: (1) komposisi dan morfologi serta struktur virus tumbuhan, (2)
replikasi virus tumbuhan, (3) gejala yang disebabkan oleh virus tumbuhan,
(4) fisiologi tumbuhan yang terserang oleh virus, (5) pengimbasan
penyakit virus tumbuhan.
B. KOMPOSISI ASAM NUKLEAT DAN PROTEIN
PENYUSUN VIRUS TUMBUHAN
Virus tumbuhan mempunyai wujud sub-mikroskopis dan hanya
mampu hidup serta berkembang di dalam organisme hidup lainnya,
sehingga sering menyebabkan penyakit pada tanaman. Virus tidak mampu
memperbanyak diri di luar suatu sistim selular karena tidak mempunyai
enzim untuk sitesis partikel virus baru. Partikel virus sering disebut virion
yang terdiri atas: single strand RNA (SS RNA) atau double strand RNA
(ds RNA) atau single strand DNA (ss DNA) atau double strand DNA (ds
DNA). Asam nukleat ini dibungkus oleh selubung protein atau capsid.
75
Protein sebagai mantel pelindung selama masa istirahat virus dapat
memainkan peranan penting dalam pengenalan selama berlangsungnya
infeksi. Beberapa jenis virus juga diselubungi oleh molekul gabungan
antara lemak dan protein atau lipoprotein sebagai mantel (envelop). Protein
dan asam nukleat virus terdiri atas asam amino dan nukleotida yang sama
dengan asam nukleat dan protein inang. Virus dapat dianggap sebagai
paket kecil informasi asing yang pesannya terbaca oleh inang yang rentan.
Gabungan antara asam nukleat dan protein sering disebut virion atau
nukleokapsid. Rasio bobot molekul antara asam nukleat dan kapsid sangat
khas untuk setiap spesies virus. Virus yang berbentuk simetri kubik
(isocahedron) mempunyai kandungan asam nukleat berkisar antara 15 % −
45 %. Namun virus berbentuk tongkat mempunyai kandungan asam
nukleat lebih kecil, yaitu berkisar sekitar 5 % dari bobot molekul virion.
Virus yang berbentuk basilus atau bermantel mempunyai kandungan
lemak sekitar 1 % dari bobot molekul virion.
Virion mempunyai kemampuan untuk menularkan asam nukleat dari
satu inang ke inang lain, memanfatkan enzim inang untuk memperbanyak
diri di dalam sel inang tersebut dengan pengambil alihan metabolisme sel
inang atau mengintegrasikan genomnya pada genom inang. Virus
mendekati parasit yang sempurna karena sepenuhnya bergantung pada
inangnya. Oleh karenanya virus akan mengalihkan sifat-sifat sel inang
sesuai dengan kepentingannya. Sifat virus tumbuhan sangat berbeda
dengan sifat patogen tumbuhan lain, seperti jamur dan bakteri. Hal ini
karena virus mempunyai perbedaan pada ukuran, bentuk, susunan kimia,
struktur fisik, cara-cara menginfeksi, cara memperbanyak diri, translokasi
di dalam tubuh tumbuhan inang dan cara penyebaran serta gejala pada
tumbuhan. Ukuran dan beningnya virion menyebabkan virus sulit dilihat
dengan mikroskop biasa. Namun beberapa virus dapat membuat kristal
atau struktur yang besar (inclusion bodies) dalam sel tumbuhan inang,
sehingga dapat dilihat dengn mikroskop biasa, misalnya inclusion bodies
Tobacco mosaic virus (TMV) dalam sel-sel bulu daun tembakau dan Bean
yellow mosaic virus (BYMV) dalam sel epidermis tanaman Vicia faba L.
Satu Kristal virus mempunyai banyak virion, sedangkan virion hanya
dapat dilihat dengan mikroskop electron. Hanya sedikit gejala tumbuhan
dipastikan karena virus, misalnya gejala oak leaf (menyerupai daun oak),
76
bercak-bercak klorotik dan nekrotik. Sedangkan gejaalaa lain sulit
dibedakan karena menyerupai gejala defisiensi unsur hara, mutasi,
pengaruh racun (toksin) dan sekresi serangga.
1. Susunan dan struktur asam nukleat virus
Asam nukleat (RNA dan DNA) sebagai genom virus mempunyai
peranan dalam perkembangan organisme, termasuk virus. Genom virus
terdiri atas susunan gen yang menyandi protein dan diperlukan untuk
replikasi dan menginfeksi sel inang. Genom virus memuat informasi
genetika untuk sintesis protein selubung virus. Kebanyakan virus, genom
totalnya dijumpai dalam satu molekul asam nukleat. Virus tumbuhan
mempunyai asam nukleat yang terdiri atas RNA, meskipun virus yang
menyerang alga (blue dan green alga) terdiri atas DNA. Asam nukleat
adalah rantai panjang dari polimer yang terdiri atas ratusan atau ribuan unit
nukleotida. Setiap nukleotida terdiri dari sebuah cincin yang disebut basa
dan basa ini terdiri dari gula yang mengandung 5 atom C (pada RNA
terdiri dari Ribose pada DNA terdiri dari Deoxiribosa) yang merupakan
rantai ester dengan asam phosphat. Gula dari suatu nukleotida berikatan
secara sambung menyambung dengan phosphate pada nukleotida lain,
sehingga secara sambung menyambung membentuk rantai RNA atau
DNA. RNA virus satu dari 4 basa dapat terikat pada setiap ribosom. Basa-
basa ini adalah Adenin (A), Guanin (G), Sitosin (S) dan Urasil (U). Adenin
dan Guanin adalah basa purin, sedangkan Sitosin dan Urasil adalah basa
Pirimidin. Pada DNA atom oksigen pada gugus hidroksil dari gula tidak
ada dan basa Urasil digantikan dengan basa Timin, 5 metil atau basa lain.
Struktur asam ribonukleat dan komponen serta pasangan basa disajikan
pada Gambar 12.
77
Gambar 12. Struktur asam ribonukleat (Ribonucleic acid = RNA) dan komponen-
komponen (atas) serta pasangan basa (bawah) (Bos, 1983).
Asam nukleat mungkin mempunyai untai tunggal (single strand),
seperti pada kebanyakan virus yang mengandung RNA (ssRNA) dan
beberapa virus DNA (ssDNA: Geminivirus), atau beruntai ganda (double
strand) seperti dalam beberapa virus RNA (dsRNA; Reovirus) dan
beberapa virus DNA (dsDNA: Caulimovirus). Asam nukleat untai tunggal
berbeda dengan untai ganda dalam kerapatan optik pada 260 nm. Asam
nukleat dengan pasangan basa lebih sedikit akan mengabsorbsi radiasi
ultra violet daripada kedua untai yang tidak berpasangan dan pasangan
basa paling stabil pada suhu rendah.
Urut-urutan dan frekuensi dari basa pada rantai RNA mempunyai
perbedaan dari suatu RNA dengan RNA yang lainnya, tetapi pada suatu
RNA tertentu sama terus. RNA TMV mempunyai 1900 molekul Adenin,
1680 Guanin, 1180 Sitosin, 1740 Urasil dan secara keseluruhan
78
membentuk 6500 nukleotida. Urut-urutan dari basa masih belum diketahui,
tetapi menurut penemuan terakhir bahwa susunan dari basa tersebut seperti
pada sel dalam bentuk single strand RNA. Oleh karena itu genom virus
mempunyai peranan sebagai agensia penyebab penyakit dan penentu sifat
virulen dan avirulen virus, contohnya pada TMV hibrida. Turnip yellow
mosaic virus (TYMV) selalu memproduksi selubung protein yang kosong
disamping partikel virus yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa asam
nukleat tidak menunjukkan pengaturan dari susunan protein, tetapi hanya
menentukan bentuk dan sub unit protein. Sub unit ini menentukan bentuk
dan ukuran dari selubung protein. Asam nukleat pada virus memainkan
peranan untuk menentukan kestabilan dari selubung protein dan
panjangnya.
Pada DNA kromosom maupun virus yang tersusun secara double
strand frekuensi dan urut-urutan ke empat basa dari satu strand
menentukan urut-urutan dan susunan basa pada strand pasangannya. Hal
ini karena pada saat replikasi setiap molekul Adenin hanya dapat
bergabung dengan molekul Timin yang sesuai, dan setiap molekul Guanin
hanya dapat bergabung dengan molekul Sitosin yang sesuai atau
sebaliknya, sehingga pada DNA jumlah molekul Adenin dan Timin selalu
sama, demikian juga jumlah Guanin dan Sitosin, sehingga ikatan ganda
DNA lebih stabil dan molekul DNA tersusun dalam bentuk helix. Kedua
rantai yang komplementer Purin melekat pada Pirimidin dalam kombinasi
Guanin (G) – Sitosin (S) dan Adenin (A) −Timin (T), sehingga rasio Purin
dan Pirimidin selalu 1 (Gambar 13 bawah). Kedua untai bersama-sama
membentuk untai ganda (double helix) (Watson dan Cricks, 1953), lilitan
tangga dengan pasangan basa sebagai anak tangga.
Pembelahan inti mendahului pembelahan sel dan membentuk dua
untai ganda DNA yang identik dengan aslinya (replikasi). Kedua untai
yang asli secara bertahap memisah. Tiap untai mempunyai fungsi sebagai
pola cetak dan terus menerus memperpanjang untai baru tersebut untuk
memasukkan Deoksi ribonukleotida sebagai komplemen ke dalam pola
cetak. Proses ini dibantu oleh enzim (polimerase).
Penampilan fungsi seluler, termasuk pengaturan metabolisme
merupakan proses DNA diaktifkan dan dipasangkan dengan
Ribonukleotida untuk menjadi RNA, sehingga informasi genetik dikopi
79
(transcription) menjadi molekul RNA (Gambar 13 atas). Informasi genetik
ini berfungsi sebagai RNA kurir (m RNA) untuk meninggalkan inti.
Pembacaan (translation) pesan disandikan dalam mRNA (Gambar 13
atas).
Gambar 13. Transkripsi RNA kurir (mRNA) dan DNA dalam inti serta terjemahan
ke dalam protein pada ribosom dan sitoplasma (Bos, 1983).
Molekul RNA transport (tRNA) dari kelas molekul RNA yang lebih
rendah dari 80 nukleotida membantu untuk menyusun asam-asam amino
ke dalam posisi yang tepat sesuai dengan rangkaian basa atau nukleotida di
dalam molekul mRNA. Tiga nukleotida (triplet) setiap molekul tRNA
menentukan asam amino untuk melekat. Hasil asam amino memuat
molekul tRNA dan ditarik oleh molekul mRNA pada ribosom dalam
urutan komplementer terhadap nukleotida mRNA dan bergerak sepanjang
80
rantai mRNA, ribosom menyusun asam amino menjadi nukleotida serta
membebaskan molekul tRNA. Mekanisme produksi protein, misalnya
sebagai mantel protein TMV merupakan proses yang universal. Setiap gen
menyandikan satu mRNA, sehingga menjadi protein. Protein membentuk
kelompok bangunan untuk mengkatalis satu tipe reaksi kimia.
Urutan nukleotida ditranskripsikan dari DNA inti dan diterjemahkan
ke dalam urutan asam amino protein pada ribosom. Asam amino
mempunyai lebih dari satu triplet dan bertindak sebagai tanda untuk
memulai dan menghentikan penterjemahan (translation), sehingga DNA
inti mengandung informasi genetik tersandikan yang terangkai sebagai
garis lurus untuk mengatur kimiawi sel. Sel-sel pada waktu tertentu hanya
melakukan sebagian fungsi untuk direkam ke dalam gen struktural mereka.
Ekspresi genetik diferensial ini diatur oleh gen operator dan regulator,
sehingga sangat bergantung pada keadaan sel internal dan lingkungannya.
Genom total membentuk suatu sistem yang hanya bersifat aktif.
Penguraian sandi genetik dan pengungkapan peran asam nukleat telah
menunjukkan mekanisme fenomena yang rumit dari fungsi-fungsi vital.
Penguraian sandi informasi genetik dalam urutan nukleotida DNA inti
dapat disamakan dengan informasi dalam sandi Morse. Sistem genetik
menggunakan empat sandi yaitu A, G, C dan T atau U dan dapat
menyatakan apa yang diperlukn untuk komunikasi biologi.
2. Susunan dan struktur protein virus
Protein merupakan komponen dominan dari virion yang terdiri atas
24 asam amino dan mempunyai kombinasi susunan yang berbeda beda
untuk membentuk protein virus. Selain itu mempunyai fungsi untuk
melindungi genom virus dari keruskan akibat enzim nuclease dalam
sitoplasma inang. Protein virus disusun oleh 20 jenis asam amino yaitu:
alanin (ala, A); leucine (leu, L); isoleucine (Ile, I); valine (Val, V); proline
(Pro, P); phenilalanin (Phe, P); tryptopan (Trp, W); metionin (Met, M);
glycin (Gly,G); threoni (Thr, T); tyrosin (Tyr, Y); cystein (Cys, C);
asparagin (Asn, N); glutamin (Glu, Q); asam aspartate(Asp, D); asam
glutamat (Glu, E); lysin (Lys, K); histidin (His, H); serin (ser, S); dan
arginin (Arg, R). Asam amino berikatan satu dengan lainnya membentuk
molekul polipeptida. Kandungan dan urut-urutan asam amino selalu sama
81
pada protein dari satu virus, tetapi berbeda pada jenis virus yang berbeda,
strain yang lain bahkan juga untuk virus yang lain dari jenis yang sama.
Kandungan dan urut-urutan asam amino dari beberapa virus sudah
diketahui. TMV terdiri dari 158 residu asam amino yang terdapat pada
urut-urutan yang tetap dimulai dengan N acetylcerine dan diakhiri dengan
Thionine. Berat molekul dari 158 asam amino pada setiap unit protein
TMV berjumlah 17.531. Oleh karena setiap partikel virus TMV
mempunyai berat molekul 39 juta, dimana 95 % atau 37 juta merupakan
protein, maka dengan mudah dapat dihitung setiap partikel virus
mempunyai 2100 sub unit protein.
Susunan rantai peptida membentuk sub unit protein sampai sekarang
belum diketahui, walaupun ada yang pernah membuktikan bahwa
susunannya berupa konvigurasi helix yang terpuntir. Tobacco mosaic virus
menunjukkan subunit protein seperti elipsoida yang panjangnya 70 A°
dandiameter 20−25 A°. Setiap unit mempunyai bentuk V dengan radius 40
A° untuk tempat lewat rantai RNA virus. Subunit protein tersusun dalam
sebuah helix dengan pitch berukuran 23 A° yang mengandung 161/3 sub
unit tiap belokan (43 sub unit tiap belokan). Lubang tengah dari partikel
virus mempunyai diameter 40 A° sedangkan diameter maksimum dari
partikel virus adalah 180 A°. Setiap partikel TMV terdiri dari 130 belokan
helix dari sub unit protein. Virus tumbuhan berbentuk ikosahedral, contoh
virus partikel terdiri dari kelipatan 60 dari sub unit yang asimetri dn diatur
dalam 5 atau 6 kelompok. Sub unit protein tersebut tersusun dalam 20 atau
kelipatan 20 dari sisi dan berbentuk seperti kulit keras. Asam nukleat
menyusun kulit ini, tetapi belum diketahui susunan yang tepat dari asam
nukleat tersebut.
Sebagian besar protein virus tumbuhan dengan genom ss RNA
mempunyai satu jenis subunit protein, kecuali virus Cucumovirus yang
mengandung lebih dari satu macam protein. Reovirus dan virus bermantel
lipoprotein mempunyai beberapa jenis protein penyusun protein selubung.
Beberapa asam amino selalu dijumpai pada setiap protein virus.
Sedangkan beberapa asam amino sering hanya terdapat pada beberapa
virus saja. Urut-urutan dari asam amino dijumpai pada suatu protein virus
dan diatur oleh materi genetik virus yang berupa DNA atau RNA.
Komponen protein dapat dicirikan menurut ukuran, dalam arti berat
82
partikel dan berat molekul (masa polar), misalnya melalui ultra
sentrifugasi atau elektroforesis gel poliakrilamida. Komponen protein dari
virus tumbuhan tidak terdiri dari rantai peptide tunggal melainkan terdiri
dari sub unit-unit yang mempunyai berat molekul antara 17.000−60.000.
Protein salut virus tumbuhan mengandung kurang dari 150 sampai
600 gugus asam amino dan berat molekulnya berkisar 17.000 sampai
180.000. Kebanyakan virus tumbuhan hanya mempunyai satu tipe protein,
sedang yang lain dua, seperti Cowpea mosaic virus atau tujuh, seperti
Wound tumor virus, Rhabdovirus dan Tomato spotted wilt virus biasaya
mempunyai satu atau lebih protein terglikosilasi protein. Protein ini
mempunyai rantai cabang polisakarida.
Sifat-sifat kimia fisika protein dan asam nukleat yang berbeda antara
virus atau strain virus menyebabkan metode pemurnian virus sangat
bervariasi untuk masing-masing virus, bahkan untuk strain-strain virus
yang sama. Virus ini mempunyai Optical density dari protein antara 250–
280 nm, dan asam nukleat antara 230–260 nm. Kurve absorbsi ultra violet
untuk virus murni maksimum pada 260 nm dan minimum 247 nm. Rasio A
280/260 dan A max /A min masing-masing 0,734 (0,691–0,780) dan 1,175
(1,071–1,199), bahu absorbansi spektrum Triptophan pada 291 nm
(Andayanie, 2009).
Komposisi kimia dari Soybean mosaic virus (SMV) terdiri atas
94,7% protein dan 5,3% asam nukleat. Genom Ribonucleic Acid (RNA)
terdiri dari 9588 nukleotida, dengan poly (A) pada ujung 3 dan struktur
penutup (genome-linked protein /VPg) pada ujung 5. Genom berukuran 10
kb, monopartide linear, ss RNA (+). Kandungan coat protein/CP (selubung
protein) dari virus ini sekitar 2000 subunit dari polipeptida tunggal. Berat
molekul mencapai 29,5 kDa dan mengandung 265 asam amino. Single
stranded / ss (untai tunggal) RNA mempunyai panjang antara 8,2–9,7 kb
(Lim et al., 2003; Agrios, 2005; Choi et al., 2006).
C. MORFOLOGI DAN STRUKTUR VIRUS
Struktur virus akan menampakkan secara terinci dengan mikroskop
elektron resolusi tinggi dan pengecatan negatif. Virus tumbuhan
mempunyai bermacam bentuk dan ukuran dengan lipoprotein envelopes
seperti tersaji pada Gambar 14.
83
Gambar 14. Bentuk dan ukuran dengan lipoprotein sebagai amplop pada virus
tumbuhan (Matthews, 1992).
Virus mengalami perubahan bentuk ketika berada dalam sel
tanaman inang sesuai dengan tahap replikasi virus. Semua virus berbentuk
memanjang seperti benang yang panjang, kurus dan fleksibel. Lebar
84
mempunyai ukuran 10−13 mµ dan panjang 480–1250 mµ. Kebanyakan
dari elongate virus mempunyai perbedaan panjang pada masing-masing
individu. Ukuran tersebut digunakan untuk menunjukkan ukuran terbanyak
dan kadang-kadang juga menunjukkan rata-rata dari masing-masing
individu. Kebanyakan dan mungkin semua virus mempunyai bentuk
sperikel, sebenarnya berbentuk polyhedral dengan diameter 17 mµ pada
satelit virus dan 60 mµ pada Wound tumor virus.
Suspensi virus berbagi banyak dapat diperiksa untuk partikel
berbeda panjang, seperti Tobacco rattle virus, Alfafa mosaic virus atau
untuk diameter pada Tobacco streak virus. Partikel memanjang terdapat
lobang aksial dan substruktur terpilin pada Tobacco mosaic virus dan
Tobacco rattle virus ditemukan struktur seperti kubus dengan garis
besarnya tidak teratur (Tobacco streak virus), bulat (Cauliflower mosaic
virus) atau icosahedral (Turnip yellow mosaic virus). Pengamatan langsung
telah menguatkan bukti sebelumnya tentang struktur partikel berdasarkan
difraksi sinar-X virus bentuk kristal dengan perlakuan logam berat. Kajian
ini telah digunakan untuk mengukur rincian struktural dari virus.
Tobacco mosaic virus (kelompok Tobamovirus) telah diketahui
dengan baik struktur virus diantara yang paling sederhana. Seluruh partikel
virus TMV mempunyai panjang sekitar 300 nm dan lebar 18 nm serta
berat partikel seluruhnya 39,4 x 106. Virus ini mempunyai 2.130 subunit
protein yang identik dengan susunan terpilin, masing-masing dengan berat
molekul 17.500 dan terdiri dari 158 asam amino. Puncak pilinan
mempunyai ukuran 2,3 nm dan struktur partikel berulang untuk setiap tiga
putaran pilinan. Sub unit mengelilingi lubang pusat dengan diameter 4 nm.
Untaian asam nukleat mempunyai berat molekul 2 x 106 dan mengandung
sekitar 6400 nukleotida dan mengikuti puncak pilinan serta terbenam di
antara sub unit protein 4 nm dari sumbu partikel. Untaian asam nukleat
dari TMV disajikan pada Gambar 15 (kiri). Sedangkan Turnip yellow
mosaic virus (kelompok Tymovirus) mempunyai partikel isometrik (bulat
semu) tersaji pada Gambar 16 (kanan).
Turnip yellow mosaic virus mempunyai diameter 28 nm dan
ikosahedral, yang berarti mempunyai 20 muka segitiga ekilateral. Sub unit
ke 180 mempunyai 20 muka segitiga ekilateral dan mengandung 189
gugus asam amino dalam urutan serta mengelompok di sekitar pusat inti
85
dalam 20 heksamer dalam pusat setiap muka dan 12 pentamer pada setiap
ujung dari 6 ganda lima sumbu asimetri. Kelompok ke 32 dilihat dengan
mikroskop elektron seperti tonjolan-tonjolan. Rantai RNA mempunyai
ukuran sama dengan TMV dengan berat molekul 2 x 106. Partikel yang
kosong mudah dipenetrasi oleh zat warna negatif dan bersifat tidak
infeksius. RNA subgenomik dalam jumlah kecil ditemukan dalam partikel
virus.
Gambar 15. Struktur helix dari subunit yang berhubungan dengan partikel RNA
Tobacco mosaic virus (kiri) dan isometrik partikel Turnip yellow
mosaic virus (kanan) (Bos, 1983).
Virus dengan genom berbagi, molekul asam nukleat yang berbeda
mengandung partikel yang sama (Reovirus), masing-masing dengan
mantel protein yang identik (Cucumovirus) atau berbeda (Tobravirus) atau
terdapat dalam kombinasi tertentu dalam partikel yang identik, tetapi
berbeda kerapatannya (Bromovirus). Reovirus mempunyai mantel protein
yang terdiri atas lima sampai tujuh protein dalam dua lapis dalam marga
Fiji virus. Partikel mengandung 10 (Maize rough dwarf virus) molekul ds
RNA dengan berat molekul 20 x 106. Jumlah berat yang besar ini
diperlukan untuk menyandikan pembuatan protein mantel dengan berat
molekul 58.000 sampai 160.000.
86
1. Virus tak-isometri berbentuk tongkat (rod-shaped)
Kajian difraksi sinar X menujukkan TMV berbentuk tongkat dan
susunan protein yang berulang. Kajian selanjutnya TMV dibangun oleh
sub unit protein yang tersusun secara melingkar. Virus yang berbentuk
tongkat mempunyai sub unit protein melingkar (helical array) yang terikat
pada genom virus. Genom tersebut diselubungi sub unit protein yang
tersusun secar heliks dari luar dan dan dalam (axial hole). TMV
mempunyai diameter 9 nm dan panjang 300 nm. Genom ssRNA TMV
terdiri atas 6395 nukleotida; protein selubung TMV (coat protein) terdiri
atas 2.130 sub unit protein dan setiap sub unit protein terdiri atas 158 asam
amino. TMV mempunyai struktur yang sangat stabil dan dapat bertahan
pada suhu kamar selama 50 tahun. Kestabilan TMV merupakan hasil
interaksi yang sangat kuat atara sub unit protein dan genom ssRNA
Virus tumbuhan yang berbentuk tongkat mempunyai dua bentuk
yaitu tongkat kaku (rigid rod), seperti virus dengan genus Tobamovirus
(Gambar 16 atas) dan tongkat lentur (flexious rod) seperti genus
Potexvirus dan Potyvirus (Gambar 16 bawah).
Gambar 16. Partikel virus berbentuk tongkat kaku (rigid rod) pada Tobacco
mosaic virus (TMV) (atas); berbentuk tongkat lentur (flexious rod)
pada Soybean mosaic virus (SMV) dan Cowpea mild mottle virus (CPMMV) (bawah) (Bos, 1983).
87
2. Virus isometri berbentuk ikosahedral
Gemini virus mempunyai partikel yang terdiri atas pasangan
ikosahedral, contohnya Maize streak virus, Bean golden mosaic virus dan
Beet curly top virus. Partikel Chlorosis striate mosaic virus mempunyai
110 sub unit protein dengan berat molekul 28.000 dan disusun dalam 22
unit morfologi. Kedua ikosahedral menyambung dan satu unit morfologi
pada masing-masing tidak ada. Partikel mengandung satu molekul ss DNA
dengan berat 7,1 x 105. Partikel virus berbentuk ikosahedral dari Bean
golden mosaic virus dengan mikrograf elektron disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Partikel virus berbentuk ikosahedral dari Bean golden mosaic virus
(Matthews, 1992).
Virus ini mempunyai sub unit protein dan tersusun membentuk
simetri kubik serta jumlah sub unit protein merupakan kelipatan 12. Tiga
tipe simetri kubik yang diajukan oleh Watson and Crick (1956) terdiri atas:
tetrahedral (2:3); oktahedral (4:3:2), dan ikosahedral (5:3:2). Ikosahedral
mempunyai sumbu simetri lipat-5, lipat-3, dan lipat-2. Tiga tipe virus
simetri kubik menunjukkan 12, 24 atau 60 subunit protein pada permukaan
virion. Ikosahedral dengan 20 muka yang sama. Setiap muka mempunyai
unit segitiga dan mempunyai posisi yang sama. Setiap ikosahedral
memberikan 60 struktur subunit yang identik dan merupakan subunit
terbesar serta disusun dengan posisi yang sama pada permukaan isometrik.
Beberapa virus mempunyai struktur demikian, namun virus mempunyai
protein yang lebih banyak, sehingga masing-masing sub unit tidak berada
pada lingkungan yang sama.
88
3. Virus berbentuk basili
Partikel besar Rhabdovirus mempunyai bentuk basili dengan
panjang 160-380 nm dan diameter 95 nm, misalnya Potato spindle tuber
viroid. Virus ini sering menampakkan lebih pendek dan berbentuk pelor.
RNA dan mempunyai struktur terpilin pada bagian dalam yang terdiri atas
nukleotid (N-protein). Selubung terdiri atas lapisan lipida dan dua sampai
tiga protein lain. Satu atau dua membentuk matrik (M, atau M1 dan M2)
dan satu (G) adalah glikoprotein, yang membentuk paku menonjol dengan
panjang 5 sampai 12 nm. Struktur Rhabdovirus berbentuk basili dengan
mikrograf elektron disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Struktur Rhabdovirus berbentuk basili dengan mikrograf elektron
(Bos, 1983)
D. INFEKSI VIRUS DAN SINTESA VIRUS
Infeksi virus pada tumbuhan inang mempunyai ketergantungan
dengan sintesa virus karena infeksi virus tidak akan terjadi bila virus tidak
dapat melakukan multiplikasi dalam inang. Virus tanaman memasuki sel
tanaman melalui luka mekanis atau oleh vektor atau masuk ke dalam
embrio dari biji yang terinfeksi. Setelah virus mengalami kontak dengan
sitoplasma dari sel tumbuhan yang peka maka virus tersebut menjadi
seperti melekat pada sel.
89
1. Lepasnya mantel protein
Genom virus menyusul masuknya virus ke dalam sel inang. Virus
masuk dan lepasnya mantel memerlukan tenggang waktu antara.Tahap ini
terjadi setelah proses penetrasi di mana kapsid virus baik seluruhnya
maupun sebagian dipindahkan ke dalam sitoplasma sel inang. Genom virus
terekspos dalam bentuk kompleks nukleoprotein. Tahap ini berlangsung
cukup sederhana dan terjadi selama fusi pada membran virus dengan
membran plasma untuk virus lainnya, sehingga merupakan proses
multistep yang melibatkan jalur endositosis dan membran nukleus.
Asam nukleat yang terbungkus oleh protein harus melepaskan diri
dari selubung protein untuk menimbulkan infeksi. Pelepasan protein
(uncoating) ini memerlukan waktu selama kurang lebih satu jam setelah
inokulasi. Virus-virus isometric Turnif yellow mosaic virus (TYMV) dan
Barley mosaic virus (BYMV) memerlukan waktu sepuluh menit pertama
sesudah inokulasi, sehingg mekanisme uncoating virus sangat beragam.
Protein akan melepaskan diri secara bertahap karena aktivitas enzim sel
tumbuhan dan virus sendiri tidak mempunyai ensim. Selubung protein
yang sudah terurai akan tertinggal di dalam dan terpakai untuk proses
sintesa dari sel.
Setelah asam nukleat (RNA) terlepas dari selubung protein, maka
RNA dalam sel merangsang pembentukan ensim-ensim RNA polimerase,
RNA sintesa atau RNA replikasi. Ensim ini dengan adanya RNA virus
mempunyai fungsi sebagai model dan menghasilkan RNA tambahan
(baru) dengan adanya nukleotida. RNA yang baru terbentuk nampaknya
bukan RNA virus, tetapi merupakan komplemen strain yaitu cermin atau
template dari RNA virus terbentuk dengan cara melekat pada RNA virus
asli, sehingga keduanya terbentuk RNA double strain. Kedua bagian
double strain ini segera memisah kembali dan RNA baru ini kemudian
menjadi pola untuk sintesa RNA. Bila asam nukleat dari virus tersebut
merupakan DNA double strain, maka pembentukan komplemen strain
tidak diperlukan lagi.
Asam nukleat virus yang terbentuk akan merangsang sel inang
untuk menghasilkan molekul protein sub unit protein yang akhirnya untuk
menyusun selubung protein pada virus. Sebagian dari strain RNA virus
diperlukan untuk pembentukan protein virus. Oleh karena setiap asam
90
amino pada sub unit protein dikode oleh 3 nukleotida dari RNA virus,
seperti pada Tobacco mosaic virus dengan RNA terdiri atas 6400
nukleotida dan protein 159 asam amino, maka hanya dibutuhkan 474
nukleotida untuk mengkode pembentukan asam amino dari sub unit
protein.
2. Sintesa protein
Sintesa protein pada sel yang sehat tergantung pada asam amino dan
bantuan dari ribosom. Messenger RNA dan transfer RNA. Setiap transfer
RNA mempunyai fungsi khusus untuk asam amino yang dibawa ke
messenger RNA. Messenger RNA pada nukleus menentukan jenis protein
untuk mengkode urut-urutan dari asam amino yang akan diatur. Ribosom
bergerak sepanjang messenger RNA untuk menghasilkan energi dan
mengikat asam amino untuk membentuk protein. Sebagian RNA virus
mempunyai peran sebagai messenger RNA dan memakai asam amino
ribosom dan transfer RNA dari inang untuk menghasilkan messenger RNA
sendiri. Sedangkan protein yang dihasilkan untuk selubung protein virus.
Selama sintesa virus, sebagian dari asam nukleat membentuk protein
lain. Beberapa protein ini diantaranya berupa ensim yang sudah ada dalam
sel inang maupun ensim baru untuk mempengaruhi reaksi kimia pada sel
inang, sehingga mengganggu fungsi fisiologis sel. Bila asam nukleat dan
sub unit protein virus telah dihasilkan maka asam nukleat akan tersusun
dalam sub unit protein disekitarnya dan keduanya bersatu untuk
membentuk partikel virus yang komplit (virion). Virion akan bergabung
membentuk struktur yang amorf atau inclusion bodies cristal atau larut
dalam sitoplasma atau nukleolus. Walaupun kebanyakan virus sendiri
kelihatannya terutama berada pada sitoplasma atau retikulum endoplasma.
Beberapa juga ditemukan pada nukleus, nukleolus atau kloroplas, dalam
bentuk inclusion bodies atau virion yang larut. Hal ini menunjukkan bahwa
virus atau RNA bergerak dari satu bagian sel ke bagian lain.
Supaya dapat terjadi infeksi oleh virus tumbuhan, maka virus harus
bergerak dari satu sel ke sel lainnya dan harus memperbanyak diri di
dalam sebagian besar atau semua yang dilaluinya. Pergerakan dari sel ke
sel mengikuti lubang-lubang plasmodesmta sebagai penghubung sel-sel
dan tempat retikulum endoplasma. Virus nampaknya tidak bergerak
91
melalui sel-sel parenkim, kecuali bila virus tersebut menginfeksi sel dan
bermultiplikasi di dalamnya, sehingga menyebabkan serangan dari sel satu
ke sel lain secara berantai.
3. Penyebaran dari sel ke sel
Laju peyebaran dari sel ke sel dipengaruhi oleh jenis dan umur
tumbuhan yang terinfeksi. Kecepatannya lebih tinggi dijumpai pada sel-sel
muda daripada sel-sel yang tua. Temperatur tinggi akan mempengaruhi
pergerakan virus lebih cepat dibandingkan pada temperatur rendah. Hal ini
disebabkan oleh bertambahnya aliran protoplasma dan makin cepatnya
aktifitas sel pada temperatur tinggi. Meskipun ada beberapa virus
menampakkan pergerakan terutama melalui sel-sel parenkim, tetapi
sebagian dari virus ditransportasikan secara cepat dalam jarak jauh melalui
phloem, sedikit sekali yang melalui xilem. Setelah virus masuk ke phloem,
maka virus akan bergerak dengan cepat ke arah titik tumbuh (apical
meristem) atau menuju ke tempat penimbunan bahan makanan seperti
umbi atau rhizome, contoh virus kentang diinokulasikan ke dalam daun
bagian bawah dari tanaman muda, maka virus tersebut bergerak dengan
cepat ke arah batang. Namun jika virus diinokulasikan ke tumbuhan dan
telah membentuk umbi maka 30 hari pertama virus tersebut cenderung
bergerak ke arah umbi. Hal ini menunjukkan bahwa virus pada phloem
bergerak dengan arah dan kecepatan yang sama dengan kecepatan
pergerakan hasil fotosintesa dan material di dalam phloem. Beberapa virus
dijumpai pergerakannya melalui batang dan akar yang berlawanan dengan
pergerakan transportasi makanan. Virus setelah berada di dalam phloem
akan menyebar secara sistematis ke seluruh bagian tumbuhan dan masuk
kembali ke dalam sel parenkim yang bersebelahan dengan phloem melalui
plasmodesmata.
Alfafa dwarf virus dan Phony peach virus hanya menyebar melalui
xilem. Southern bean mosaic virus juga menyebar melalui xilem, tetapi
dapat juga menyebar melalui parenkim dan phloem. Pergerakan virus dari
sel ke sel ke arah pembulum xilem yang mati membuktikan virus bergerak
melalui membran plasma karena di antara kedua macam virus tidak
terdapat plasmodesmata. Virus bergerak di dalam phloem dan xylem
92
diduga dalam bentuk virion, kecuali virus polyhedral dengan diameter
yang sangat besar.
Penyebaran virus di dalam tumbuhan dipengaruhi oleh jenis virus,
tumbuhan dan interaksi antara keduanya. Gejala local lesion menunjukkan
penyebaran virus tersebut terbatas pada daerah-daerah yang mengalami
nekrose, walaupun pada beberapa kasus local lesion dapat menjadi besar
dan akhirnya bergejala sistemik. Infeksi sistemik pada beberapa virus
ditranslokasikan melalui phloem/xilem penyebarannya terbatas pada sel-
sel parenkim di dekatnya, misalnya Potato leaf roll virus, Aster yellow
virus. Virus mosaik umumnya tidak terbatas pada jaringan, walaupun
terdapat bermacam-macam lokalisasi. Sel tumbuhan yang terserang virus
mosaik mengandung sekitar 100.000−10.000.000 partikel virus per sel.
Penyebaran secara sistematis dari beberapa virus dapat berlangsung secara
menyeluruh dan menyerang semua sel hidup.
Beberapa virus menyerang terbatas pada suatu tempat, sedangkan di
daerah lain di dekatnya bebas virus. Virus dapat menyerang jaringan apikal
meristem dan ada pula yang tidak menyerang titik pertumbuhan. Lebih
dari 100 virus menyerang tanaman inang secara sistematis dan kurang dari
100 virus diketahui dapat disebarkan melalui biji dan kurang dari 10 virus
yang disebarkan oleh biji ini dapat menginfeksi 50 persen benih tumbuhan
yang terserang. Kebanyakan virus tidak menyerang embrio yang sedang
berkembang. Hal ini karena tidak dijumpai plasmodesmata sebagai
penghubung embrio dan jaringan sekitarnya. Oleh karena itu virus tidak
dapat bertahan ke dalam megaspore mother cell atau embryo sacs. Selain
itu, virus mengalami inaktifasi selama pemasakan dan penyimpanan benih.
Penyebaran virus melalui benih dapat dijumpai jika virus pada ovole atau
pollen atau keduanya.
Struktur fisik dan kimiawi digunakan sebagai dasar untuk
memahami rangkaian kejadian setelah virus memasuki sel inang
tumbuhan. Genom virus harus dilepas sebelum melakukan replikasi.
Pembuatan mantel protein akhir untuk asam nukleat yang baru terbentuk
dalam protein virus yang disandikan dan menghasilkan partikel virus yang
resisten untuk menjamin penyebaran dan daya tahannya.
93
E. REPLIKASI ASAM NUKLEAT VIRUS
Replikasi virus merupakan proses genetika molekul yang
berhubungan dengan replikasi asam nukleat (RNA atau DNA), transkripsi
dan translasi RNA dalam sel inang. Proses replikasi virus tanaman
meliputi:
1) Pelekatan virus. Pelekatan virus (adsorpsi) merupakan proses
interaksi awal antara partikel virus dengan molekul reseptor pada
permukaan sel inang.
2) Penetrasi. Penetrasi terjadi pada waktu yang sangat singkat setelah
pelekatan virus pada reseptor di membran sel.
3) Pelepasan mantel. Kapsid virus seluruhnya atau sebagian
dipindahkan ke dalam sitoplasma sel inang. Tahap ini genom virus
terekspos dalam bentuk kompleks nucleoprotein.
4) Replikasi genom dan ekspresi gen. Proses ekspresi gen akan
menentukan semua proses infeksi virus (akut, kronis, persisten, atau
laten).
5) Perakitan. Perakitan merupakan proses pengumpulan komponen
virion di dalam sel. Selama proses ini, terjadi pembentukan struktur
partikel virus. Proses ini tergantung kepada proses replikasi di dalam
sel dan tempat di mana virus melepaskan diri dari sel.
6) Pematangan. Pematangan merupakan tahap dari siklus hidup virus
dan bersifat infeksius. Pada tahap ini terjadi perubahan struktur
dalam partikel virus yang kemungkinan dihasilkan oleh pemecahan
spesifik protein kapsid untuk menghasilkan produk yang matang.
Protease virus dan enzim seluler lainnya biasanya terlibat dalam
proses ini.
Jumlah sel inang yang mengandung enzim untuk mereplikasi atau
memperbaiki RNA hanya sedikit. Dengan demikian, gen-gen virus RNA
memiliki laju mutasi yang jauh lebih tinggi (misalnya 10-3
sampai 10-4
)
daripada virus DNA. Gen-gen virus RNA itu harus mengkodekan enzim-
enzim tersebut atau membawa serta enzim-enzim tersebut saat mengifeksi
sebuah sel inang. Asam nukleat murni Lettuce necrotic yellow virus dan
Rhabdovirus serta Wound tumor virus mengandung ssRNA, dan Reovirus
lain mengandung dsRNA tidak infeksius. Virus-virus ini membawa
traskripsi virus spesifik yang berasosiasi dengan nukleokapsid untuk
94
menghasilkan mRNA komplementer dan mensandikan protein virus
termasuk replikasi untuk genom serta menggunakan untai virus ssRNA
atau mRNA virus sebagai pola cetak untuk melengkapi genom ds RNA.
1. Replikasi virus yang mempunyai genom ssRNA
Virus RNA dengan genom beruntai tunggal yang berfungsi sebagai
mRNA disebut memiliki genom untai positif atau plus (+), yang
setidaknya mengkodekan protein-protein selubung dan enzim replikasi.
Virus RNA dengan genom untai negatif atau minus (−) memiliki DNA
yang komplementer terhadap untai genomik atau mRNA, dan karenanya
tidak dapat ditranslasikan. Virus-virus semacam ini harus mengkodekan
RNA polymerase yang bergantung pada RNA dan bisa mensintesis untai
RNA (+) dari cetakan RNA (−). Enzim tersebut harus dikemas ke dalam
virion bersama-sama genom RNA viral. Bagi semua virus-virus RNA,
kecuali Retrovirus, RNA beruntai ganda beruntai ganda selalu merupakan
perantara dalam repliksi RNA virus, bahkan jika virion infeksi hanya
mengandung RNA beruntai tunggal (ssRNA). RNA beruntai ganda
direplikasi dalam cara yang serupa dengan DNA; yaitu masing-masing
untai RNA berperan sebagai cetakan untuk membuat untai RNA
komplementer. Enzim viral yang mereplikasi RNA viral dengan cara ini
merupakan suatu RNA polymerase yang bergantung pada RNA, disebut
RNA replikase. Beberapa replikasi virus yang mempunyai genom +ssRNA
yaitu:
a. Replikasi Tobamovirus
Tobamovirus merupakan kelompok virus yang memiliki
kisaran inang luas, seperti Tobacco mosaic virus pada tanaman
tembakau, Odontoglossum ring spot virus pada tanaman anggrek,
Cucumber green mottle mosaic virus pada daun mentimun.
Replikasi asam nukleat yang paling sederhana dijumpai pada TMV
dengan satu rantai +ssRNA. Tipe +ssRNA merupakan tipe genom
yang langsung dapat berfungsi sebagai mRNA dan dalam sel
tanaman inang akan ditranslasi menjadi protein struktur dan fungsi
diperlukan dalam replikasi patogenisitas virus tumbuhan. Virus yang
mempunyai genom +ssRNA merupakan kelompok virus terbesar
95
yang menjadi patogen tumbuhan, yaitu 29 dari 35 kelompok virus
yang sudah diketahui.
Untai + menunjukkan informasi dapat langsung diterjemahkan
pada ribosom ke dalam polymerase RNA virus spesifik untuk
replikasi RNA virus. Enzim ini terikat pada induk untai mensintesis
keturunan untai yang pada gilirannya bertindak sebagai pola cetak
untuk sintesis untai+ selanjutnya. Untai ini bertindak sebagai mRNA
memproduksi mantel protein, dan untai +disatukan ke dalam virion
yang lengkap. Proses replikasi asanm nukleat dapat terjadi dalam
inti atau dalam sitoplasma bergantung pada virusnya.
Replikasi RNA TMV memerlukan cetakan dan suatu enzim
RNA polimerase yang dikendalikan oleh RNA (RNA-directed RNA
Polymerase), atau yang sering dikenal sebagai replikase. Sintesis
RNA virus selalu berorientasi 5‟→ 3‟, seperti halnya sintesis DNA,
dan dimulai dari ujung 3‟ molekul cetakan. Berbeda halnya dengan
sistem replikasi DNA, sistem replikasi RNA TMV tidak mempunyai
mekanisme reparasi sehingga virus TMV mempunyai laju mutasi
yang tinggi (Yuwono, 2005). Replikasi RNA TMV dimulai dengan
proses infeksi sel inang (daun tembakau) oleh virus TMV. RNA
virus yang masuk ke dalam sel inang selanjutnya ditranslasi
sehingga menghasilkan beberapa kopi enzim replikase dan protein
selubung. Replikase kemudian melakukan sintesis untaian
komplementer (untaian negatif (−) dengan menggunakan untaian
RNA induk (untaian +) sebagai cetakan. Sintesis untaian baru
(untaian −) dilakukan pada ujung 3‟ molekul cetakan sehingga arah
sintesis adalah dari ujung 5‟→ 3‟. Berbeda dari sistem replikasi
DNA, dalam proses replikasi RNA tidak terbentuk molekul dupleks
RNA. Untaian (−) baru yang terbentuk kemudian digunakan oleh
replikase sebagai cetakan untuk proses sintesis untaian (+). Sintesis
ini juga dimulai pada ujung 3‟ untaian (−) sehingga arah sintesis
untaian (+) juga dari 5‟→ 3‟. Untaian (+) yang terbentuk tersebut
mempunyai urutan nukleotida yang idebtik dengan urutan
nukleotida RNA virus yang pertama kali menginfeksi sel inang.
Selanjutnya, protein selubung yang disentesis pada saat terjadi
translasi RNA virus, akan mengenali bagian untaian RNA (+)
96
tertentu. Protein selubung membentuk struktur yang disebut sebagai
piringan protein. Pada waktu ujung 3‟ RNA diperpanjang, piringan
protein ditambahkan pada bagian RNA yang melipat. Dengan
semakin banyak piringan protein ditambahkan, maka ujung 5‟ RNA
akan ditarik kearah protein selubung. Dengan mekanisme demikian
maka akan terbentuk partikel virus yang berupa susunan heliks
protein yang mengelilingi genom RNA (Yuwono, 2005). Secara
skematis, mekanisme replikasi RNA TMV dapat dilihat Gambar 19.
Gambar 19. Mekanisme multiplikasi virus RNA Tobacco mosaic virus (Paolella,
1997 dalam Yuwono, 2005)
b. Replikasi Potyvirus
Berdasarkan klasifikasi virus, Potyvirus digolongkan dalam
famili Potyviridae dan merupakan kelompok virus yang penting
secara ekonomi karena juga mempunyai inang yang luas, seperti
Bean yellow mosaic virus pada tanaman kacang panjang, Soybean
mosaic virus dan Cowpea mild mottle virus pada tanaman kedelai.
Water mellon mosaic virus pada tanaman melon, Turnip yellow
mosaic virus pada tanaman sawi hijau dan kubis.
97
Ekspresi genom virus dilakukan melalui translasi poliprotein
dari genom virus tersebut. Poliprotein ini mengalami pemotongan di
dalam sitoplasma menjadi protein fungsi dan struktur sesuai dengan
gen yang disandikan. Pemotongan poliprotein dilakukan dengan
protease yang terjadi selama dan sesudah translasi. Protease juga
disandikan oleh gen yang terdapat dalam genom potyvirus.
Umumnya menyandikan empat sampai tujuh protein Jenis dan
fungsi gen pada kelompok Potyvirus disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Jenis dan fungsi gen pada kelompok Potyvirus
Secara umum, replikasi virus yang mempunyai genom RNA
beruntai tunggal (+ssRNA) terjadi melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Virion masuk ke dalam sitoplasma tanaman inang.
2) Komponen virus akan terpisah antara kapsid dan genom.
3) RNA bergabung dengan ribosom tanaman inang dan sintesis
polimerase untuk replikasi RNA.
4) Sintesis untai negatif RNA.
5) Sintesis untai positif RNA dan mRNA protein selubung
menggunakan untai negatif RNA.
6) Sintesis subunit protein selubung dalam jumlah besar.
7) Virion terbentuk melalui penggabungan antara untai positif
RNA dengan protein selubung.
8) Virion menyebar ke sel sekeliling melalui plasmodesmata.
98
c. Replikasi Cucumovirus
Berdasarkan klasifikasi Cucumovirus digolongkan dalam famili
Bromoviridae, seperti Cucumber mosaic virus pada tanaman
ketimun dan lada. Bentuk partikel isometrik memiliki genom 3 utas
RNA positif sense, yang terbagi ke dalam dua kelompok
berdasarkan serologi dan kesamaaan nukleotidanya (subgrup I dan
II). Partikel CMV ini mempunyai diameter 25 nm (Singh dan Rao,
1988; Haresh et al., 2006).
Genom Cucumovirus mempunyai tipe molekul asam nukleat
+ssRNA yang terdiri atas RNA-1, RNA-2 dan RNA-3 masing-
masing terdiri atas 3.357 nt, 3.050 nt dan 2.216 nt. Genom ini
mengkodekan lima jenis protein, protein 1a dan 2a disandikan oleh
RNA-1 dan RNA-2. Protein ini mempunyai fungsi untuk replikasi
virus. Protein 3a dan protein selubung disandikan oleh RNA-3 dan
subgenom RNA-4 yang merupakan bagian dari RNA-3. Protein ini
mempunyai fungsi untuk perpindahan virus antar sel. Protein
selubung mempunyai peran sebagai pembungkus genom atau
kapsid. Protein 2b disandikan oleh subgenom RNA-4A yang
merupakan bagian dari RNA-2 pada bagian ujung 3ʹ. Protein 2 b
mempunyai peran dalam perpindahan jarak jauh dalam jaringan
tanaman inang.
Tahapan replikasi Cucumovirus hampir sama untuk virus yang
bergenom +ssRNA yaitu:
1) Virion masuk ke dalam sel tanaman inang dan melepaskan
genom +ssRNA.
2) Kompleks replikasi virus terbentuk.
3) Translasi RNA-1 dan RNA-2 pada ribosom tanaman inang
untuk mensistesis protein yang terlibat dalam replikasi virus,
yaitu protein 1a dan 2a yang diekskresikan pada awal terjadinya
infeksi virus. Tahap ini dikenal sebagai replikase.
4) Cetakan RNA, yaitu ssRNA dari +ssRNA untuk setiap jenis
RNA (RNA-1, RNA-2, RNA-3) terbentuk.
5) ssRNA terbentuk dan selanjutnya dijadikan sebagai cetakan
dalam sintesis genom +ssRNA Cucumovirus.
99
6) Sintesis protein selubung (CP) virus. Sintesis CP terjadi pada
akhir proses infeksi virus. Pengaturan sintesis protein pada
ekspresi gen virus terjadi pada level mRNA dari protein
selubung (RNA-4).
7) Pembungkus genom, yaitu penggabungan antara subunit
protein dan RNA virus; 8) perpindahan virus dibantu oleh
protein 3a yang disandikan oleh RNA-3 dan berperan dalam
perpindahan virus dari sel ke sel.
2. Replikasi virus yang mempunyai genom ds DNA
Berdasarkan klasifikasi genus Caulimovirus digolongkan dalam
famili Caulimoviridae, seperti Cauliflower mosaic virus(CaMV) pada
tanaman Brasika. Salah satu kelompok virus tumbuhan yang mempunyai
genom untai ganda DNA (dsDNA) yang berbentuk lingkaran dan
mempunyai satu celap (gap) pada salah satu untai (strand) DNA serta dua
celah pada untai komplemen DNA, seperti Cauliflower mosaic virus. Virus
ini mengandung ds DNA yang infektif. Virus DNA sering menggunakan
polymerase inang untuk replikasinya. Celah 1 mempunyai satu untai yang
terputus (α strand) untuk transkripsi. Pada α strand tidak dijumpai satu atau
dua nukleotida dibandingkan dengan untai komplemennya. Dua untai yang
terputus pada komplemen α strand mempunyai runutan nukleotida yang
lengkap. Organisasi genom CaMV disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Organisasi genom dari Cauliflower mosaic virus (CAMV) (Bos,
l983)
100
Virus DNA sering menggunakan polimerase inang untuk
replikasinya. Virus dengan genom terbagi diperlukan untuk infeksi.
Namun demikian, partikel Tobacco rattle virus menyebabkan infeksi tidak
stabil, karena tidak terbentuk protein mantel. Hal ini tidak dialami pada
Alfafa mosaic virus dan Tobacco streak virus serta Ilarvirus. Virus ini
mempunyai tiga segmen genom. Ketiga segmen yang besar hanya infektif
bila terkait dengan segmen keempat dan terkecil atau beberapa unit protein
mantelnya mengaktivasi genom.
Transkripsi dan genom CaMV menghasilkan 8 jenis mRNA dan
masing-masing menyandikan protein yang berperan dalam patogenesis dan
replikasi CaMV. Ekspresi dan fungsi hayati protein CaMV disajikan pada
Tabel 14.
Tabel 14. Ekspresi dn fungsi hayati protein CaMV
Replikasi CaMV mempunyai dua fase, yaitu fase 1, dsDNA genom
CaMV memasuki inti, daerah tumpang tindih (overlapping) nukleotida
pada celah hilang dan fase 2, dsDNA menjadi tertutup membentuk
minikromosom. Minikromosom yang terbentuk akan digunakan oleh
enzim (RNA polymerase II) untuk sintesis RNA 19 S dan 35 S. Tahap
replikasi CaMV mempunyai beberapa tahap yaitu:
1) Virion masuk ke sitoplasma dan terjadi pelepasan sub unit protein
selubung protein selubung protein virus (uncoating).
2) Genom dsDNA masuk ke inti membentuk minikromosom.
3) DNA ditranskripsikan di dalam inti sel untuk menghasilkan RNA.
4) RNA dari dalam inti ditransfer ke sitoplasma untuk translasi protein
untuk replikasi dan pathogenesis tanaman.
5) RNA 35 S hasil transkripsi ditransfer ke sitoplasma sebagai tempat
untuk membentuk genom virus baru melalui transkripsi balik.
101
F. MEKANISME PENTERJEMAHAN RNA VIRUS
Mekanisme penterjemahan RNA virus diatur oleh asam nukleat.
Virus ssRNA seperti TMV untai + dapat langsung bertindak sebagai RNA.
Virus dengan untai RNA (Rhabdovirus), lebih dulu mRNA khusus harus
ditranskripsikan. Hal ini berlaku ds RNA, seperti Reovirus, dimana setiap
10 sampai 12 segmen genomnya dapat menghasilkan mRNA sendiri.
Meskipun produksi mantel protein mempunyai fungsi utama yang
disandikan dalam asam nukleat virus, namun hal ini memerlukan sebagian
kecil dari seluruh informasi genetik. Rata-rata mantel protein dengan 200
asam amino memerlukan asam nukleat dengan berat molekul 200.000
dalton (1.000 per triplet nukleotida untuk setiap asam amino) dan hanya
seper sepuluh rata-rata genom RNA dengan berat molekuk 2 x 106. Wound
tumor virus mempunyai tujuh protein mantel untuk disandikan dengan
genom (8 x 106). Semua virus harus disandikan untuk replikasi spesifik.
Protein tambahan virus spesifik non struktural semakin banyak ditemukan
dalam tumbuhan yang terinfeksi virus, misalnya struktur cakra potyvirus.
Struktur ini diduga mempunyai peran fungsional. Protein asing bagi inang
disandikan virus.
G. PENGGABUNGAN ASAM NUKLEAT DAN PROTEIN
MENJADI VIRION
Penggabungan asam nukleat dan protein menjadi virion terjadi
dalam sitoplasma atau dalam inti dan sering dalam masa padat elektron
yang baru terbentuk (viroplasma) atau dalam badan-badan kandungan
yang amorf tampak terlihat dengan mikroskop elektron. Penyusunan sering
dianggap sebagai proses spontan yang terjadi, dimana asam nukleat virus
dan protein spesifik bertemu. Namun, Turnip yellow mosaic virus memiliki
proses yang tidak spontan.
Virus dengan partikel besar yang terbungkus protein, seperti
Rhabdovirus memperoleh selubung dari interaksi dengan membran selular.
Nukleokapsid dari virus ini meninggalkan inti sebelum berakumulasi
dalam ruang perinuklear. Walaupun virus lain memperoleh selubung
dalam sitoplasma, misalnya retikulum endoplasmik. Virion yang masak
tidak mempunyai peran dalam sel tempat virion dihasilkan. Virion
mewakili bentuk virus yang statik dan bertindak sebagai spora virus serta
102
menjamin virus bertahan selama kondisi tidak menguntungkan, misalnya
selama pemindahan dalam sistem vascular tumbuhan atau dari tumbuhan
ke tumbuhan.
Virion yang lengkap diantara sel-sel dalam plasmodesma sering
dijumpai, akan tetapi infeksi dari sel-sel tidak harus dilakukan oleh partikel
yang utuh. Hal ini mengingat virus kekurangan protein dan viroid dapat
menyebar dalam seluruh tubuh tumbuhan. Penyeba seluruh tubuh
tumbuhan. Penyebaran setempat beberapa virus dalam tumbuhan
ditemukan mencapai kecepatan kira-kira 4−80 µm/jam. Gerakan jarak jauh
dalam tumbuhan diperkirakan kebanyakan terdapat di dalam floem dan
terjadi secara pasif bersama-sama dengan karbohidrat ke bagian tumbuhan
yang memerlukan energy, seperti akar dan organ yng sedang berkembang.
Potato virus X dan TMV kecepatannya kira-kira 0,1− 18 cm/jam
akan tetapi Beet curly top virus diangkut dengan kecepatan 35 sampai 152
cm/jam. Infeksi sistemik ditandai dengan becak-becak klorotik atau
nekrotik yang mirip dengan infeksi setempat. Produksi eksplosif
nucleoprotein virus yang bersaing dengan metabolisme normal
menyediakan komponen penghasil energi.
H. GEJALA YANG DISEBABKAN VIRUS TUMBUHAN
Tanaman yang terinfeksi virus dapat menimbulkan berbagai macam
gejala pada sebagian atau seluruh bagian dari tumbuhan. Gejala penyakit
virus disebabkan dampak infeksi virus yang nampak secara visual atau
kasat mata pada tanaman terinfeksi virus. Gejala ini dapat dilihat secara
umum atau khusus dari tanaman yang terinfeksi virus. Gejala yang paling
umum menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dari tanaman, misalnya
pengkerdilan (stunting) dan penurunan hasil serta memperpendek umur
tumbuhan. Gejala ini dapat menghasilkan keparahan ringan atau tanaman
nampak sehat, sehingga sukar dilihat secara kasat mata, virus semacam ini
disebut laten virus dan inangnya disebut symptomless carriers. Meskipun
demikian, infeksi virus pada tanaman inang tidak hanya menimbulkan satu
tipe penyakit saja karena sering menimbulkan lebih dari satu tipe, seperti
tanaman yang menunjukkan gejala kerdil bersamaan dengan gejala
nekrosis.
103
Gejala virus dipengaruhi oleh kerentanan varietas, strain virus, saat
terjadinya infeksi dan keadaan lingkungan tumbuh. Semakin muda
tanaman mulai terinfeksi, maka tanaman akan semakin rentan dan gejala
yang dihasilkan semakin parah. Tanaman terinfeksi virus tidak selalu
menampakkan gejala, sehingga gejala penyakit tidak diekspresikan pada
kondisi lingkungan tertentu. Virus kerdil kedelai mudah menyebar dengan
jangkauan yang luas karena tanaman inangnya banyak. Tanaman yang
dapat menjadi inang antara famili Polygonaceae, Chenopodiaceae,
Pedaliaceae, Leguminosae, Solanaceae, dan Compositae yang terdiri atas
Glycine max, Vigna sesquipedalis, vigna sinensis, Nicotiana tabacum,
Phaseolus vulgaris, P. radiates, Pisum sativum, Fagopyrum esculentum,
Chenopodiaceae amaranticolor, Gomphrena globosa, Sesamum indicum,
Zinnia elegans, Vicia faba dan Lathyrus odoratus (Rochan et al., l992).
Infeksi virus dimulai dari tempat masuknya virus, terutama melalui
serangga dengan alat mulutnya penusuk dan pengisap. Virus akan
memencar ke sel-sel sekelilingnya melalui plasmodesmata. Bila mencapai
jaringan pengangkutan, virus bersama asimilat masuk ke dalam pembuluh
ayak atau phloem dan menyebar secara pasif ke bagian tumbuhan melalui
asimilat, seperti akar, bagian tumbuhan yang muda dan sedang
berkembang serta buah. Selanjutnya virus kembali memasuki jaringan
prenkim dan bergerak perlahan-lahan dari sel ke sel, sehingga memencar
melaui seluruh system inang dan infeksi menjadi sistemik.
Secara ekonomi, kemunduran pertumbuhan merupakan gejala yang
lazim, sehingga dari segi ekonomi sangat penting. Kemunduran
pertumbuhan selalu menyebabkan tanaman lebih cenderung terpengaruh
oleh patogen lain dan sindrom komplek. Kematian jaringan diikuti dengan
pembusukan, meskipun pembusukan lebih sering disebabkan oleh bakteri.
Virus sebagai salah satu patogen penyebab pengurangan angka hasil atau
bahkan kehilangan total nilai pertanaman (kegagalan tanaman). Pada
beberapa infeksi laten, penurunan angka hasil dapat mencapai 15%.
Seringkali infeksi gagal menghasilkan gejala yang jelas, meskipun terjadi
perbanyakan virus dan pemencaran internal yang intensif. Tumbuhan ini
terinfeksi, akan tetapi tidak mengalami sakit, sehingga disebut tidak peka
(insensitive) atau toleran, infeksinya laten, tidak nyata atau tanpa gejala.
Banyak virus tidak membangkitkan reaksi dalam inang utamanya dan
104
dicirikan sebagai virus laten. Infeksi laten juga lazim terjadi pada
tumbuhan liar. Tumbuhan yang tidak menunjukkan gejala sebagai
pembawa virus yang tidak dicurigai, sehingga merupakan sumber infeksi
atau kontaminasi yang berbahaya.
Tumbuhan dapat mengalami sangat peka atau hipersensitif terhadap
infeksi. Setelah virus masuk, menetap, berkembangbiak dan berpindah dari
sel ke sel, sehingga sel yang terinfeksi cepat mati. Penurunan daya hidup
(vitalitas) merupakan fenomena yang terkait dan mungkin menjadi sebab
bertambahnya kerentanan dan kepekaan terhadap patogen sekunder atau
terhadap kondisi lingkungan yang merugikan, seperti kekeringan dalam
musim panas. Perubahan metabolisme sel menyebabkan pertumbuhan
tanaman yang berbeda dari tanaman yang sehat. Replikasi virus tergantung
dengan metabolisme tanaman, jika metabolisme turun, maka replikasi akan
ikut berkurang, sedangkan apabila metabolisme dalam performa yang baik,
maka virus akan bereplikasi dengan cepat. Hal ini terjadi karena sifat virus
yang parasit obligat, dimana virus membutuhkan inang tetap hidup selama
terjadi infeksi. Perubahan pada tanaman terinfeksi dapat dilihat secara
eksternal atau makroskopi pada daun dan organ tanaman yang lain,
sehingga disebut gejala luar atau gejala eksternal. Sedangkan gejala yang
hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron disebut gejala internal.
Beberapa kasus dari tanaman yang terinfeksi virus tidak menunjukkan
gejala pada kondisi lingkungan tertentu. Bila kondisi linkungan berubah
dapat menimbulkan gejala terselubung (masked symptom).
1. Gejala eksternal penyakit virus
Gejala eksternal penyakit virus mudah dikenali secara kasat mata,
tanpa harus dapat dilihat dengan mikroskop. Gejala eksternal disebabkan
oleh infeksi primer pada sel yang diinokulasi dan oleh infeksi sekunder
akibat penyebaran virus dari situs infeksi primer ke bagian lain dari
tanaman inang. Tumbuhan setelah mengalami inokulasi virus bergejala
parah, sehingga menyebabkan menyebabkan kematian, jika tumbuhan
dapat bertahan gejala akan menjadi makin ringan pada bagian tanaman
yang baru tumbuh dan menyebabkan sembuhnya tumbuhan tersebut.
Sebaliknya, gejala yang awalnya ringan makin lama dapat juga mengalami
semakin berat. Gejala eksternal penyakit terdiri atas gejala sistemik dan
gejala lokal.
105
1) Gejala sistemik
Gejala yang paling nyata dari tumbuhan terserang virus di
lapangan menampakkan pada seluruh bagian tumbuhan atau infeksi
sistemik. Gejala sistemik dikelompokkan menjadi gejala eksternal
yang kasat mata dan gejala internal. Gejala sistemik yang umum
dapat dilihat, seperti mosaik, yellow dan ring spot.
a) Gejala mosaik
Gejala mosaik dicirikan dengan daerah yang berwarna
hijau muda, kuning atau putih berselang seling dengan hijau
normal dari daun atau buah atau adanya daerah-daerah yang
berwarna putih yang berselang seling. Berdasarkan intensitas
atau pola perubahan warna, maka gejala mosaik bisa dikatakan
sebagai berikut: mottling streak, ring pattern, lime pattern, vein
clearing, vein banding, chlorotic spotting. Salah satu gejala
mosaik pada daun dan biji kedelai karena Soybean mosaik virus
(SMV) disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Gejala mosaik pada daun (A) dan biji (B) kedelai serta bercak lokal
pada daun Chenopodium amaranticolor (C) yang terinfeksi Soybean
mosaic virus (Andayanie et al., 2014)
Infeksi SMV menyebabkan gejala pada tanaman, seperti
daun permukaannya tidak rata, mengecil dengan gambaran
mosaik, menggulung ke dalam, dan tepi daun mengalami
klorosis, kadang-kadang disertai tanaman menjadi kerdil. Biji
mottle dapat dihasilkan oleh biji sehat dan infeksi virus lain
(Andayanie et al., 2011). Tanaman sehat dapat menghasilkan
biji dengan intensitas mottle yang lebih tinggi pada suhu 20oC
dibandingkan suhu 30oC. Suhu rendah akan mempengaruhi
106
ekspresi gen di hilum (Arif dan Hasan, 2000; Colyer, 2003).
Gejala biji mottle yang diakibatkan oleh infeksi SMV yaitu
warna coklat atau hitam yang berpusat di hilum biji, dan
berbentuk radial. Biji mottle disebabkan oleh akumulasi ferritin
dan anthocyanins atau leucoanthocyanins di dalam pigmen
yang berwarna coklat atau hitam. Meskipun biji terinfeksi SMV
tidak semua memperlihatkan gejala mottle, tetapi ini tergantung
dari kultivar kedelai karena ada tanaman terinfeksi tidak
menunjukkan bercak pada biji. Gejala pada biji disebabkan oleh
proses fotosintesis dan fiksasi nitrogen di dalam jaringan
tanaman terganggu. Tanaman sakit membentuk polong kecil,
rata, kurang berbulu dan lebih melengkung. Akar tanaman sakit
membentuk akar lebih sedikit dan lebih kecil. Kandungan
leghaemoglobin yang dikandung rendah, sehingga fiksasi
nitrogen berkurang. Tanaman yang terinfeksi oleh Bean peanut
mottle virus (BPMV) dan SMV secara bersamaan akan
menghasilkan gejala mottle dengan persentase yang lebih tinggi
dibandingkan infeksi oleh tunggal oleh SMV. Diantara lima
loci genetic yang independent (I, R, W, O dan T) yaitu gen
tunggal dominan (Im) mempunyai kemampuan untuk
mengontrol warna dan penyebaran pigmen yang menghasilkan
gejala mottle. Tanaman yang dipelihara pada suhu 20oC akan
menghasilkan biji dengan intensitas mottle yang lebih tinggi
dibandingkan tanaman yang dipelihara pada suhu 30oC, tetapi
suhu tidak mempengaruhi tingkat penularan SMV (Hobbs et
al., 2003).
Keanekaragaman gejala penyakit mosaik kedelai telah
muncul sejak pengamatan pada tanaman berumur 14–28 hst
dan semakin banyak keanekaragaman gejala terjadi pada
tanaman berumur 28–42 hst. Kesamaan terjadi pada tanaman
berumur 14–28 hst di semua lokasi dengan gejala daun
mengecil (Dm). Sedangkan pada tanaman berumur 28–42 hst
dengan gejala mosaik (M). Gejala pada umur 14–28 hst dan
28–42 hst di atas diikuti permukaan daun tidak rata atau
berkerut (Tr). Secara umum virus yang sama dapat
107
menghasilkan gejala yang berbeda atau gejala yang sama dapat
disebabkan oleh virus yang berbeda, sehingga tidak semua
gejala mosaik disebabkan oleh SMV. Keanekaragaman gejala
di lapangan disebabkan oleh: (1) umur tanaman saat terjadinya
infeksi, jika tanaman yang terinfeksi saat awal akan
menyebabkan ruas batang menjadi lebih pendek dan ukuran
daun menjadi lebih kecil serta lebih banyak variasi gejala yang
dihasilkan di daun; (2) virus terbawa benih dan sumber
inokulum lain yang menghasilkan gejala mosaik di lapangan
sangat beragam.
Bentuk gejala mosaik pada tanaman terinfeksi virus
mempunyai keragaman karena tergantung pada jenis
tanamannya. Tanaman monokotil ditandai dengan warna hijau
dan terang dengan membentuk strip sebagai akibat terjadi
klorosis, seperti pada daun jagung terinfeksi oleh Maize stripe
virus. Gejala klorosis diakibatkan terjadinya pengurangan
klorofil dan tidak normalnya bentuk kloroplas serta kerusakan
histologi sel daun, seperti kerusakan sel palisade dan vakuola
sel. Gejala mosaik akibat klorosis dimulai dari sepanjang tulang
daun ke seluruh bagian daun. Pada tanaman dikotil, gejala
mosaik berbentuk garis yang tidak beraturan, berwarna hijau
tua dan kuning, seperti tembakau yang terinfeksi TMV. Gejala
mosaik diawali oleh pemucatan sepanjang tulang daun (vein
clearing) atau akumulasi warna hijau sepanjang tulang daun
(vein clearing) dan dapat dijumpai pada cabang dan buah.
b) Bercak bercincin (ringspot)
Gejala bercak bercincin merupakan gejala khas pada
beberapa virus tumbuhan. Gejala pada bagian tanaman yang
terinfeksi dilingkari garis berbentuk cincin klorosis serta
nekrose dengan lingkaran terpusat dari sel yang terinfeksi.
Gejala bercak bercincin kadang dijumpai pada batang dan
cabang dengan warna cokelat dari ruas dan berkembang ke
daerah antar ruas. Pada banyak tumbuhan gejala bercak
bercincin ini kadang-kadang dapat menghilang, kemudian pada
kondisi lingkungan menguntungkan gejala muncul lagi.
108
Tanaman mempunyai kecenderungan berwarna tetap hijau
setelah tanaman yang tidak terinfeksi menua. Kebayakan virus
penyebab bercak bercincin tidak bisa ditularkan oleh aphid dan
leaf hopper, tetapi beberapa diantaraya dapat ditularkan oleh
nematoda.
c) Malabentuk daun
Perkembangan pertumbuhan yang tidak seimbang
menyebabkan terjadinya malabentuk di daun. Daun akan
mengalami kriting dan distorsi serta penggulungan akibat
perubahan sitologi sel tanaman dan berkurangnya jumlah
klorofil total daun serta penumpukan karbohidrat pada daun,
sehingga sintesis protein tanaman berkurang. Jaringan atau
organ baru mengalami pertumbuhan kecil-kecil pada daun
terutama pda tulang daun. Mala bentuk sering dijumpai pada
tanaman kedelai yang terinfeksi oleh Soybean mosaic virus dan
Cowpea mild mottle virus.
d) Bantut (stunting)
Gejala bantut menyebabkan ukuran tanaman yang
terinfeksi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman normal.
Gejala bantut sering diikuti oleh gejala sistemik yang lain.
Gejala ini dapat dilihat pada bagian tanaman, seperti daun dan
bunga, sehingga mengakibatkan berkurangnya ukuran tanaman
tersebut. Salah satu gejala bantut sering dijumpai pada tanaman
kedelai yang terinfeksi oleh Soybean stunt virus (SSV)
(Gambar 22).
109
Gambar 22. Gejala bantut pada tanaman kedelai terinfeksi Soybean stunt virus
Virus ini juga dikenal sebagai Cucumber mosaic
cucumovirus, Soybean stunt strain (CMV-SS) dan merupakan
kelompok Cucumovirus. Gejala yang ditimbulkan akibat
adanya serangan virus ini adalah mosaik pada daun dan
tanaman tidak dapat tumbuh normal (katai). Soybean stunt virus
mempunyai hubungan dengan Cucumber mosaic virus strain Y
(CMV strain Y), karena mempunyai persamaan bentuk partikel
dan reaksi serologis (Roechan, 1992).
Penyakit bantut virus menunjukkan gejala mosaik
sistemik. Gejala berkembang pada daun yang baru tumbuh
7−10 hari setelah inokulasi. Tanaman yang terserang menjadi
kerdil, daun tanaman berkeriput dengan gejala mosaik. Pucuk
tanaman melengkung dan terjadi pemucatan tulang daun yang
sedang tumbuh. Kemudian pada daun timbul belang yang
lemah disertai dengan pengerutan dan pengurangan ukuran
daun. Pada beberapa varietas gejala klorotik kadang
menghilang dan tanaman nampak pendek dan gemuk. Ukuran
biji yang terserang SSV menjadi lebih kecil, belang coklat. Ciri
yang lebih spesifik ditunjukkan oleh warna coklat melingkari
punggung biji sampai ke hilum biji. Gejala pada biji kurang
menampakkan gambaran yang jelas pada kedelai hitam dan
coklat.
110
2) Gejala lokal
Gejala lokal biasanya disertai dengan perubahan warna dari
kuning ke coklat kemudian disertai dengan penghitaman serta
terbatas pada situs infeksi primer. Gejala ini sering dicirikan oleh
luka setempat atau bercak lokal pada daun-daun tumbuhan uji yang
diinokulasi. Bercak lokal mempunyai ukuran beragam dan dapat
berup klorosis karena hilangnya atau berkurangnya klorofil atau
kematian jaringan sel inang. Virus dengan gejala nekrosis kadang
tidak dapat menyebar ke organ tanaman lain dan gejala bercak lokal
merupakan satu-satunya yang dapat dilihat. Selain itu, inokulasi
virus pada tanaman inang tidak terbatas dijumpai pada situs infeksi
primer, tetapi menyebar ke bagian lain dan menyebabkan infeksi
sekunder atau infeksi sistemik. Sel yang mengalami nekrosis hanya
pada situs infeksi primer atau reaksi hipersensitif sebagai reaksi
ketahanan tanaman terhadap infeksi virus. Gejala bercak lokal
disebabkan oleh kerusakan klorofil dan kloroplas akan
menimbulkan klorosis. Gejala bercak lokal pada tanaman
Chenopodium amaranticolor yang terinfeksi Soybean mosaic virus
disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23. Gejala bercak lokal pada tanaman Chenopodium amaranticolor. A:
tanaman C. amaranticolor sehat; B: yang terinfeksi Soybean mosaic
virus
111
Gejala nekrosis disebabkan phloem dalam berkas pembuluh
pengangkutan terjadi degenerasi (nekrosis phloem), kadang-kadang
berkembang menjadi coreng nekrotik pada tangkai daun dan batang
pada pucuk batang atau kuncup pada tangkai daun. Pucuk batang
atau kuncup mengadakan reaksi yang cepat dengan nekrosis
(nekrosis pucuk, nekrosis kuncup). Nekrosis demikian dapat terus
berlangsung dan seluruh tumbuhan akan mati dengan cepat
Beberapa gejala lain yang tidak banyak ditemukan antara lain
stunt (corn stunt), dwarf (barley yellow dwarf), penggulungan daun
(potato leaf roll), rosset (peach rosete), whitches broom (lilac
witches broom), phloem nekroses (elm phloem necrosis), enation
(pea enation mosaic), tumors (wound tumor), rubbery wood (apple
rubbery wood), pitting of stem (apple stem pitting), pitting of fruit
(pear stony pit) dan flatening dan distorsi batang (apple flat limb).
Gejala dapat juga diikuti dengan gejala lain pada bagian lain dari
tumbuhan yang sama. Selain gejala-gejala tersebut di atas dapat juga
munculnya gejala mikroskopis, misalnya kelainan histologis dan
systologis, misalnya timbulnya pembesaran jaringan atau sel, terjadi
perubahan warna, kerusakan atau nekrose sel. Kloroplas dapat
menjadi lebih kecil atau lebih sedikit pada tumbuhan yang terserang
penyakit mosaik atau yellow serta ditemukan inclusion bodies di
antara sel-sel tumbuhan.
2. Gejala internal penyakit virus
Perubahan histologi pada bagian tanaman yang terinfeksi virus
khususnya daun, daun lembaga dan cabang tanaman dapat dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu nekrosis atau kematian sel, hiperplasia atau
pertumbuhan sel yang berlebihan serta hipoplasia atau penurunan
pertumbuhan sel. Hipoplasia merupakan gejala yang muncul bersamaan
dengan gejala mosaik, penurunan jumlah klorofil, tidak berkembangnya
sel mesofil dan tidak terdapat rongga antar sel, seperti bagian daun yang
menguning pada gejala mosaik.
Badan-badan dalam sel (inclusion bodies) pada tanaman terinfeksi
virus sering mengandung partikel virus dengan susunan berbentuk kristal
atau protein yang diimbas virus atau mengandung partikel virus dengan
112
konsentrasi yang tinggi (viroplasma). Badan inklusi mempunyai bentuk
kristal tidak berbentuk atau badan X (X bodies). Struktur yang berbentuk
cakra (pinwheels) dijumpai di dalam sitoplasma. Struktur berbentuk cakra
hanya ditemukan pada infeksi virus dari genus Potyvirus. Struktur cakra
tidak mengandung virus, sehingga tidak menyebabkan infeksi pada
tanaman. Agregat berbentuk amorf, granular atau bentuk kristal dapat
mudah dideteksi dengan mikroskop cahaya dalam lapisan epidermis.
Badan inklusi dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok
sebagai berikut:
1) Kelompok 1
Inklusi berbentuk kristal tidak berbentuk, contoh amorf pada Rumex
acetosa yang terserang virus WTV (Wound tumor virus).
2) Kelompok 2
Kristal terdapat di dalam sitoplasma, jarang atau tidak pernah
terdapat inti, contoh tembakau yang terinfeksi TMV dan Vicia faba
yang terserang CVMV (Clover vein mosaic virus).
3) Kelompok 3
Kristal terdapat di inti dan sitoplasma, contoh pada Solanaceae yang
terserang Tobacco etch virus (TEV).
4) Kelompok 4
Wujud lain yang tidak biasa terdapat atau hanya dideskripsikan
sebagaian (struktur berbentuk cakra), contoh kacang tanah yang
terinfeksi Peanut stript virus (PStV).
Inklusi berbentuk kristal disebabkan TMV diekstrak utuh dan
diamati dengan mikroskop elektron, sehingga terlihat kristal tersebut
terdiri atas virion partikel virus. Pembentukan inklusi berbentuk kristal
biasanya dijumpai pada serangan virus yang berbentuk tongkat. Virus yang
berbentuk polyhedron jarang menyebabkan terbentuknya badan inklusi
berbentuk kristal. Meskipun mikro kristal pernah ditemukan dalam sel
Datura stramonium yang terinfeksi oleh Tomato bushy stunt virus
(TBSV). Badan inklusi dalam inti sel jarang ditemukan, namun infeksi
TEV pada tanaman tembakau dan BYMV (Bean yellow mosaic virus) pada
Vicia vaba atau Phaseolus vulgaris dapat menimbulkan badan inklusi
tersebut. Badan inklusi ini sering dijumpai berkelompok dalam inti atau
113
terdapat sebagai badan inklusi tunggal dalam inti. Badan inklusi ini tidak
mengandung virus.
I. FISIOLOGIS TUMBUHAN YANG TERSERANG VIRUS
Infeksi virus akan mengurangi pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman inang. Penghambatan pertumbuhan tanaman dapat disebabkan
oleh mekanisme fisiologi, antara lain:
1) Perubahan aktivitas hormon pertumbuhan tanaman.
2) Berkurangnya hasil fotosintesis dari tanaman.
3) Berkurangnya kemampuan tanaman untuk mengambil nutrisi.
Virus juga menyebabkan penurunan jumlah senyawa pengatur
pertumbuhan atau hormon dengan memperbanyak senyawa penghambat
pertumbuhan. Banyak gejala penyakit virus mengatur level endogen atau
metabolism pertumbuhan tanaman. Perubahan level hormon endogen
mengikuti infeksi virus, sehingga mengakibatkan terjadi degradasi atau
translokasi dan sintesis serta gugur daun. Infeksi virus menunjukkan
penambahan aktifitas peroksidase. Hal ini mengakibatkan terjadinya
keparahan gejala pada tanaman (Tomia, 2011).
Infeksi virus dalam sel tanaman akan mempengaruhi sintesis protein
dan asam nukleat pada tanaman. Selain itu mempengaruhi jumlah dan
bentuk sel serta organel, seperti mitokondria dan kloroplas. Oleh karena
itu, infeksi virus akan mempengaruhi metabolisme sel dan terjadinya
perubahan biokimiawi dan fisiologis dari tanaman. Gangguan metabolik
dan lain-lain dalam sel terinfeksi sering meluas ke sel-sel di dekatnya.
Infeksi pada tumbuhan yang rentan akan menyebabkan rentetan peristiwa
dan kelihatan apabila tumbuhan itu peka. Selain itu virus tumbuhan tidak
mempunyai enzim, toksin atau senyawa lain yang biasa terdapat pada
patogen. Namun demikian virus dapat menyebabkan kerusakan pada
tumbuhan. Pengaruh infeksi virus terhadap tanaman inang dapat
mempengaruhi berkurangnya laju fotosintesis tanaman inang dengan cara
mengurangi jumlah klorofil per daun atau efisiensi klorofil atau luas daun
setiap tumbuhan. Virus juga menyebabkan penurunan jumlah senyawa
pengatur pertumbuhan atau hormon dengan memperbanyak senyawa
penghambat pertumbuhan. Selain itu infeksi virus dapat mempengaruhi
peningkatan akumulasi senyawa lain, seperti fenolik , sehingga secara
114
langsung atau tidak langsung infeksi virus akan menyebabkan akumulasi
abnormal dari hasil metabolism, meskipun pada tingkatan tertentu masih
dapat ditoleransi oleh tumbuhan dan tidak sampai menyebabkan gejala.
1. Asam nukleat
Asam nukleat (RNA dan DNA) disintesis dalam inti sel,
mitokondria serta kloroplas dan mempunyai fungsi sebagai penyusun gen
untuk menyandikan protein. RNA virus merupakan faktor penyebab
terjadinya penyakit, tetapi jumlah RNA atau virion dalam jumlah besar
sekalipun belum tentu menyebabkan timbulnya gejala penyakit. RNA
ribosome (rRNA) pada tanaman terinfeksi virus mempunyai konsentrasi
beragam. Hal ini sangat dipengaruhi oleh strain virus, tanaman inang dan
lamanya tanaman terinfeksi virus. Hasil pengamatan pada tanaman
tembakau menunjukkan infeksi virus akan menurunkan sintesis rRNA
pada kloroplas, tetapi tidak mempengaruhi sintesis rRNA pada inti.
Pengaruh infeksi TMV terhadap sintesis rRNA dipengaruhi oleh umur
daun. Infeksi pada daun yang muda akan menghambat sintesis rRNA,
sedangkan pada daun yang telah tumbuh sempurna, infeksi TMV tidak
menghambat sintesis rRNA, tetapi menghambat penumpukan rRNA
kloroplas. Sintesis DNA dalam inti tidak dipengaruhi oleh ada atau
tidaknya infeksi virus, tetapi sintesis DNA dalam mitokondria dan
kloroplas dipengaruhi oleh infeksi virus. Sintesis DNA dalam kloroplas
akan menurun pada tanaman terinfeksi. Hal ini sejalan dengan
berkurangnya pembentukan kloroplas. Beberapa tumbuhan mengandung
jumlah virus lebih banyak, namun penampakan gejala lebih lemah
dibanding tumbuhan lain dengan kandungan virus lebih sedikit, bahkan
tumbuhan tersebut menjadi symtomless carier. Hal ini menujukkan bahwa
penyakit virus pada tumbuhan tidak tergantung kepada metabolisme dari
tumbuhan untuk sintesa virus, tetapi lebih tergantung kepada penyebab
yang tidak langsung dilakukan oleh virus terhadap tanaman inang.
2. Protein
Penyakit pada tumbuhan terutama disebabkan oleh protein-protein
baru disintesa dengan perantaraan virus yang merupakan senyawa aktif
(enzim, toksin). Senyawa ini dapat mengganggu metabolisme dari inang.
115
Pemakaian komponen metabolit tanaman untuk sintesis protein virus akan
mengakibatkan tanaman kahat metabolit yang secara langsung terjadi
penurunan sintesis protein tanaman. Gangguan terhadap metabolisme
dilakukan oleh senyawa aktif tersebut dengan cara:
a) Merusak permeabilitas membrane.
b) Aktivasi enzim tumbuhan, sehingga terjadi hasil akhir yang bersifat
pasif.
c) Pembelokan siklus metabolisme, sehingga siklus tersebutmengikuti
jalur yang berbeda dan akumulasi dari senyawa-senyawa hasil
metabolisme.
1) Kandungan nitrogen
Jumlah senyawa nitrogen yang bukan bagian virus tumbuhan
yang terserang akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pada
beberapa tumbuhan yang terserang oleh virus sekitar 33−65% dari
total nitrogen pada tumbuhan tersebut merupakan bagian nitrogen
yang berhubungan dengan virus. Bila tumbuhan tersebut diberi
pupuk nitrogen yang tinggi, maka jumlah total nitrogen pada
tumbuhan yang terserang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
nitrogen pada tumbuhan sehat yang dipupuk dengan jumlah
pemupukan yang sama, terutama setelah fase sintesa virus yang
cepat.
Kandungan nitrogen pada tanaman tembakau terinfeksi TMV
memperlihatkan 30% protein dalam tanaman terinfeksi berada
dalam bentuk protein virus. Kandungan nitrogen meningkat hingga
60% pada tanaman yang diberi pupuk fosfat, tetapi kahat nitrogen.
Oleh karena itu tanaman terinfeksi mengandung senyawa nitrogen
lebih rendah dibandingkan dalam tanaman sehat. Hal ini disebabkan
nitrogen lebih banyak digunakan untuk membentuk virus (Matthew,
1992). Pengaruh virus terhadap senyawa, seperti nitrogen dan
hormon serta fenol dianggap merupakan penyebab timbulnya gejala
karena nitrogen dan hormon pertumbuhan selalu berperan dalam
pertumbuhan dan differensiasi tumbuhan. Sedangkan senyawa fenol
yang sudah teroksidasi mempunyai sifat racun, sehingga dapat
menimbulkan gejala nekrose.
116
2) Poliribosom
Saat sintesis protein, ribosom mengelompok menjadi
poliribosom (polisom). Sebagian besar protein dibuat oleh ribosom
bebas akan berfungsi di dalam sitosol. Sedang ribosom terikat
umumnya membuat protein yang dimasukkan ke dalam membran,
untuk pembungkusan dalam organel tertentu seperti lisosom atau
dikirim ke luar sel. Oleh karna itu, poliribosom merupakan
kumpulan ribosom yang tidak terikat pada reticulum endoplasma.
Sintesis protein dan poliribosom mempunyai peran lebih banyak
dalam sintesis virus dibandingkan sintesis protein tanaman.
Kandungan poliribosom tanaman akan menurun sat aktivitas sintesis
virus yang tinggi saat sebelum gejala penyakit nampak.
3. Karbohidrat
Infeksi virus akan mempengaruhi fiksasi CO2 (fotosintesis) dan laju
penumpukan karbohidrat. Tanaman kentang yang terinfeksi Potato leaf
roll virus (PLRV) akan mengalami penumpukan karbohidrat pada daun
sebanyak 2−3 kali bila dibandingkan dengan tanaman normal, tetapi
mengalami penumpukan karbohidrat di dalam umbi. Hal ini karena
nekrosis dalam jaringan pembuluh ayak. Penumpukan karbohidrat dimulai
saat pembuluh ayak belum mengalami nekrosis. Perubahan permeabilitas
selaput sel dan aktivitas ensim akibat infeksi virus menyebabkan hambatan
pemindahan fotosintat dari daun ke bagian tanaman yang lain.
4. Fotosintesis tanaman
Gejala mosaik atau menguning (yellowing) pada tanaman terinfeksi
virus disebabkan karena menurunnya efisiensi kloroplas. Pada daun
terinfeksi virus akan menyebabkan perubahan bentuk dan ukuran
(malformasi), penggumpalan kloroplas serta penumpukan pati. Infeksi
virus mengakibatkan penurunan proses biokimia kloroplas dan penurunan
pigmen fotosintesis, seperti karoten dan xantofil. Infeksi virus juga
menurunkan kndungan klorofil total daun. Selama replikasi virus, CO2
pada fotosintesis tanaman normal akan menjadi karbohidrat. Namun pada
tanaman terinfeksi virus cenderung mengalami perubahan menjadi asam
organik, seperti asam amino. Infeksi virus menyebabkan jumlah dan
117
aktivitas virus akan menurunkan laju fiksasi CO2 mencapai 50%
(Goodman et al., 1986).
J. PENGIMBASAN PENYAKIT VIRUS TUMBUHAN
Virus tumbuhan tidak dapat melakukan penetrasi langsung ke dalam
tumbuhan untuk memulai infeksi, sehingga memerlukan bantuan agar
virus masuk ke dalam sitoplasma karena virus harus berada dalam sel
untuk melakukan replikasi. Oleh karena itu, virus harus dibantu oleh
serangga vektor atau melalui luka yang terjadi secara mekanis.
1. Mekanisme virus menyebabkan penyakit
Replikasi virus melibatkan organisasi sel dan metabolit inang untuk
memperbanyak virus dalam sel inang. Tiga cara virus dapat mengimbas
penyakit pada tanaman inang:
1) Penggunaan metabolisme tanaman untuk sintesis virus.
2) Penumpukan virion atau bagian dari virus.
3) Dampak dari polipeptida tak struktur khas yang disandikan oleh gen
virus.
Gejala penyakit pada tanaman inang dapat diimbas akibat
penggunaan hasil metabolisme tanaman untuk sintesis virus, sehingga
tumbuhan akan mengalami kahat metabolit, seperti asam amino, energi
(ATP), nukleotida, dan enzim. Selain itu gejala dapat diakibatkan akibat
penumpukan virion, seperti subunit selubung protein, genom virus serta
dampak dari polipeptida nonstruktur yang disandikan oleh gen virus.
2. Faktor penyebab penyakit virus
Penyakit virus dipengaruhi oleh faktor tanaman inang, virus dan
lingkungan, sehingga sering disebut segitiga penyakit. Kebanyakan jenis
tumbuhan dapat diinfeksi oleh virus dengan kisaran yang sangat luas dan
banyak diantaranya mempunyai strain yang sangat berbeda pengaruhnya
terhadap tumbuhan. Sebaliknya, beberapa virus dapat menginfeksi banyak
jenis tumbuhan dan reaksinya bergantung pada jenis tumbuhan, kultivar
dan genotip. Setiap tumbuhan dapat mengadakan reaksi yang berbeda
beda, sehingga memungkinkan untuk melakukan seleksi alami dan buatan
untuk ketahanan dan toleransi. Sebaliknya, virus juga dapat mengadakan
adaptasi dan menghasilkan genotip baru yang akan mengatasi resistensi.
118
Hal ini akan menyebabkan hubungan genetik yang dinamik antara virus
dan inang. Kepatogenan virus bergantung pada keagresifan atau
keinfektifan atau kesiagaan untuk menginfeksi dan menyerbu inang serta
memperbanyak diri di dalamnya. Predisposisi inang atau kepekaan atau
mudah sakit dipengaruhi oleh kerentananan atau kesiapan untuk menerima
virus dan membantu perbanyakan serta penyebaran internal serta kepekaan
terhadap reaksi virus. Tumbuhan dapat sangat rentan, akan tetapi tidak
peka seperti halnya pada macam-macam infeksi laten. Derajad infeksi atau
derajad menyerang bergantungpada sikap agresif virus dan kerentanan
inang, sedang beratnya gejala bergantung pada virulensi virus dan
kepekaan inang. Diagram hubungan virus-inang dan keadaan eksternal
disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Diagram hubungan virus-inang dan keadaan eksternal (Boss, 1983)
119
Faktor lingkungan mempengaruhi intensitas serangan oleh virus
terutama suhu, kelembaban udara dan sinar matahari melalui pengaruhnya
pada tanaman dan aktivitas vektor. Sinar dan suhu sering menentukan
terhadap sifat dan beratnya gejala. Gejala pada keadaan tertentu kadang
menampakan samar (tersamar= masked). Peningkatan suhu udara juga
merangsang terjadinya ledakan dan keperidian vektor, seperti Aphis
glycines dan Aphis cracivora. Intensitas serangan virus dipengaruhi oleh
populasi serangga vektor dan kondisi lingkungan. Umumnya intensitas
serangan virus lebih tinggi pada pertanaman saat musim kemarau ke II
bulan Juni-Juli-Agustus-September dibandingkan musim kemarau ke I
bulan Maret-April-Mei-Juni atau pada musim hujan. Hal ini berkaitan
dengan jumlah vektor pada musim kemarau dan tersedianya jumlah
inokulum lebih banyak pada musim kemarau ke II. Semakin tinggi suhu,
semakin singkat siklus hidup vektor, seperti B. tabaci, ini berarti populasi
serangga tersebut akan cepat meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
epidemik penyakit virus belang samar kedelai (Wiyono, 2007). Angin
kencang juga memudahkan dan mempercepat serangga vektor untuk
pindah ke tanaman lain, sehingga mempercepat penyebaran penyakit virus.
Hal ini dibuktikan pada pertanaman kedelai di berbagai propinsi seperti
Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat serta Nusa Tenggara
barat telah terserang oleh penyakit bantut kedelai.
Menurut Petzoldt dan Seaman (2010), setiap peningkatan suhu
sebesar 2oC akan mengakibatkan peningkatan satu hingga lima siklus
hidup serangga per musim. Meskipun, vektor akan mengalami
penghambatan pertumbuhan ketika terjadi suhu yang esktrim panas atau
esktrim dingin. Selain itu serangga Aphis di negara tropis melakukan
perkembangbiakan secara parthenogenesis atau tidak dengan kawin,
sehingga kelimpahan populasi dengan peningkatan suhu akibat perubahan
iklim semakin cepat. Pengaruh pemanasan global sangat berperan terhadap
timbulnya epidemi, khususnya penyakit yang disebabkan oleh virus yang
penyebarannya melalui serangga vektor, yaitu dengan adanya peningkatan
populasi serangga vektor Aphis glycines dan kutu kebul. Selain itu suhu
tinggi akan memicu aktivitas terbang serangga vektor.
Aphis craccivora, Aphis spiraecola dan Myzus persicae sebagai
vektor memerlukan kurang dari 1 menit untuk inokulasi Peanut stunt virus
120
ke tanaman kacang tanah. Hal ini karena virus tidak mempunyai periode
laten, sehingga tidak ditularkan ke keturunan afid tersebut. Oleh karena itu,
bibit dari benih terinfeksi dapat menyebarkan penyakit virus tersebut.
Meskipun penularan melalui benih pada laju yang sangat rendah. Jika virus
disebarkan melalui biji yang terinfeksi, maka virus masuk ke dalam ovule
atau berasal dari pollen yang telah diserbuki.
K. RANGKUMAN
Virus tidak mampu memperbanyak diri di luar suatu sistim selular
karena tidak mempunyai enzim untuk sitesis partikel virus baru. Sintesis
DNA di dalam inti sel tanaman tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya
infeksi virus, tetapi sintesis DNA dalam mitokondria dan kloroplas
dipengaruhi oleh infeksi virus. Partikel virus terdiri atas: single strand
RNA (SS RNA) atau double strand RNA (ds RNA) atau single strand
DNA (ss DNA) atau double strand DNA (ds DNA). Asam nukleat ini
dibungkus oleh selubung protein atau capsid. Protein sebagai mantel
pelindung selama masa istirahat virus dapat memainkan peranan penting
dalam pengenalan selama berlangsungnya infeksi.
Virus mengalami perubahan bentuk ketika berada dalam sel
tanaman inang sesuai dengan tahap replikasi virus. Bentuk virus tumbuhan
digolongkan : 1) virus tak-isometri berbentuk tongkat (rod-shaped; 2) virus
isometri berbentuk icosahedral; 3) virus berbentuk basili. Infeksi virus
pada tumbuhan inang mempunyai ketergantungan dengan sintesa virus
karena infeksi virus tidak akan terjadi bila virus tidak dapat melakukan
multiplikasi dalam inang. Pergerakan virus dari sel ke sel mengikuti
lubang-lubang plasmodesmta sebagai penghubung sel-sel dan tempat
retikulum endoplasma. Virus tidak bergerak melalui sel-sel parenkim,
kecuali bila virus tersebut menginfeksi sel dan bermultiplikasi di
dalamnya, sehingga menyebabkan serangan dari sel satu ke sel lain secara
berantai. Replikasi virus merupakan proses genetika molekul yang
berhubungan dengan replikasi asam nukleat (RNA atau DNA), transkripsi
dan translasi RNA dalam sel inang. Mekanisme penterjemahan RNA virus
diatur oleh asam nukleat.Virus ssRNA seperti TMV untai + dapat langsung
bertindak sebagai RNA. Virus dengan untai RNA (Rhabdovirus), lebih
dulu mRNA khusus harus ditranskripsikan. Hal ini berlaku ds RNA,
121
seperti Reovirus, dimana setiap 10 sampai 12 segmen genomnya dapat
menghasilkan mRNA sendiri. Penggabungan asam nukleat dan protein
menjadi virion terjadi dalam sitoplasma atau dalam inti dan sering dalam
masa padat elektron yang baru terbentuk (viroplasma) atau dalam badan-
badan kandungan yang tidak berbentuk (amorf) tampak terlihat dengan
mikroskop elektron.
Tanaman yang terinfeksi virus dapat menimbulkan berbagai macam
gejala pada sebagian atau seluruh bagian dari tumbuhan. Gejala penyakit
virus disebabkan dampak infeksi virus yang nampak secara visual atau
kasat mata pada tanaman terinfeksi virus. Infeksi virus akan mengurangi
pertumbuhan vegetative dan generatif tanaman inang. Penghambatan
pertumbuhan tanaman dapat disebabkan oleh mekanisme fisiologi, antara
lain: 1) perubahan aktivitas hormon pertumbuhan tanaman; 2)
berkurangnya hasil fotosintesis dari tanaman; 3) berkurangnya kemampuan
tanaman untuk mengambil nutrisi. Penurunan fotosintesis pada tanaman
terinfeksi virus merupakan akibat dari menurunnya efisiensi kloroplas,
sehingga pada daun yang terinfeksi virus akan terjadi malformasi atau
perubahan bentuk.
Infeksi virus mengakibatkan terjadinya degenerasi proses biokimia
kloroplas, serta penurunan pigmen fotosintesis lainnya, seperti karotien
dan xantofil. Infeksi virus juga akan menurunkan kandungan klorofil total
daun. Virus tumbuhan tidak dapat melakukan penetrasi langsung ke dalam
tumbuhan untuk memulai infeksi, sehingga memerlukan bantuan agar
virus masuk ke dalam sitoplasma karena virus harus berada dalam sel
untuk melakukan replikasi. Oleh karena itu, virus harus dibantu oleh
serangga vektor atau melalui luka yang terjadi secara mekanis.
L. DAFTAR PUSTAKA
Agrios G.N. 2005. Plant Pathology. Department of Plant Pathology
University of Florida. Fifth Edition. Elsevier Academic Press. 731-
737 p.
Akin, M.H.2006. Virologi Tumbuhan. Penerbit Kanisius.187 hal.
Andayanie W.R. & P.G. Adinurani. 2014. Seleksi galur dari populasi F4
kedelai yang tahan terhadap penyakit mosaic (Soybean mosaic
122
virus) dan berdaya hasil tinggi. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan
Tropika 14(2): 152−159.
Andayanie W.R. 2009. Kajian molekular Soybean mosaic virus (SMV)
isolat Jawa Timur. Hibah penelitian untuk mahasiswa program
Doktor. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Laporan Akhir dipublikasikan.
Andayanie W.R., Sumardiyono, Y.B., Hartono, S. & P. Yudono. 2011.
Incidence of soybean mosaic disease in East Java Province. J.
Agrivita Science. 33 (1): 15−22.
Arif M. & S. Hassan. 2000. Occurrence and distribution of Soybean
Mosaic Potyvirus in soybean crop of North West Frontier
Province, Pakistan and Characterization of Prevalent Isolates.
Pakistan Journal of Biological Science 3 (12): 2126-2130 p.
Bos L. 1983. Pengantar Virologi Tumbuhan. Terjemahan Triharso, 1990.
Gadjah Mada Press. Yogyakarta, 389 pp.
Colyer, P.D. 2003. Soybean Disease Atlas. Second Edition. Editor
Lousiana State University. Agricultural Center Lousiana.
Copyright 2003−2010. (http://cipm.ncsu.edu/ent/ssdw/soyatlas.
htm). Accessed 4 Februari 2010.
Goodman R.N, Z. Kiraly & K.R. Wood. 1986. The Biochemistry and
Physiology of Plant Disease. University of Missouri Press.
Columbia.
Haresh, P.S., R. Madhubala, A.I. Bhat. 2006. Characterization of
Cucumber mosaic virus infecting Indian long pepper (Piper
longum L.) and betel vine (Piper betle L.) in India. Indian Journal
of Biotecnology. 5 : 89 – 93.
Hobbs, H.A., G.L. Hartman, Y. Wang, C.B. Hill, R.L. Bernard, Pedersen
& W.L. Domier. 2003. Occurrence of seed coat motling in
soybean plants inoculated with Bean pod mottle virus and Soybean
mosaic virus. The American Phytopathological Society. J. of Plant
Disease 87: 1333−1335 p.
Inchima S.U., A.L. Haenni, F. Bernadi. 2001. Potyvirus protein: A Wealth
of fungtions. Virus Research, 74: 157−175.
Kim & C.W. Choi. 2006. Molecular characterization of Soybean mosaic
virus NIa protein and its processing event in bacterial expression.
123
American Journal of Biochemistry and Biotechnology. 2 (4):
148−153.
Lim, W.S., Y.H. Kim & K.H. Kim. 2003. Complete genome sequence of
the genomic RNA of Soybean mosaic virus Strain G7H and G5. J.
of Plant Pathol. 19: 171−176.
Matthews, 1992. Fundamental of Plant of Virology. In: The Plant Health
Instructor. DOI: 10.1094/PHI-1-2001-0129-01.
Petzoldt, C. & A. Seaman. 2010. Climate change effets on insect and
pathogens. Climate change and agriculture: Promoting practical
and profitable Responses. Diunduh dari http://www.cornel.edu.
Tanggal 01/12/2014.
Revers F., O.L. Gall, T. Candresse & A.J. Maule. 1999. New advances in
understanding the molecular biology of plant/Potyvirus interaction
(current review).MPMI, 12(5): 367−376.
Shaw, J.G.., A.G. Hunt, T.P. Pirone and R.E. Rhoads. L990. Organization
and Expression of Potyvirus Genes. In Pirone, T.P. and J.G. Shaw
(eds.). Viral genes and Plant Pathogenesis. Springer-Verlag. New
York. 215 p.
Tomia A. 2011. Pengaruh auksin terhadap induksi virus pada gugur daun
tanaman cabai. J. Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan
UMMU-Ternate), 4 (1): 65-68.
Yuwono, T. 2015. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada Press.
Yogyakarta. Hal. 26.
M. PELATIHAN
1. Jelaskan fungsi komponen yang paling dominan dari virion dan
sebutkan pula penyusunnya.
2. Jelaskan fungsi biologi dari makromolekul penyusun virus
tumbuhan.
3. Jelaskan beberapa tipe genom virus tumbuhn.
4. Jelaskan replikasi potyvirus yang mempunyai genom +ss RNA.
5. Jelaskan replikasi Cauliflower mosaic virus yang mempunyai
genom dsDNA.
124
6. Jelaskan faktor yang mempengaruhi gejala eksternal akibat
penyebaran virus dari situs infeksi primer ke bagian lain dari
tanaman inang.
7. Jelaskan pengaruh infeksi virus terhadap tanaman inang.
8. Apa dampak terjadi penurunan fotosintesis pada tanaman terinfeksi
virus.
9. Jelaskan cara perpindahan virus dalam tanaman inang.
10. Jelaskan tiga cara virus dapat mengimbas penyakit pada tanaman
inang.
125
BAB V.
INSEKTISIDA NABATI
A. DASAR PIKIRAN
Penggunaan insektisida sintetis secara terus menerus akan
menyebabkan munculnya biotipe baru dan pencemaran lingkungan. Oleh
karena itu diperlukan pengembangan cara pengendalian kimiawi untuk
menggunakan insektisida yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya
yaitu menggunakan ekstrak tumbuhan sebagai sarana pengendalian. Bahan
organik asal tumbuhan di Indonesia mempunyai keragaman flora yang
sangat besar. Lebih dari 400 ribu jenis tumbuhan telah teridentifikasi
bahan kimianya dan 10 ribu di antaranya mengandung metabolit sekunder
yang potensial sebagai bahan baku insektisida nabati. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan senyawa metabolit sekunder dari beberapa tumbuhan dapat
mengendalikan populasi serangga hama. Penggunaan insektisida nabati
dalam kegiatan perlindungan tanaman perlu selalu dipromosikan dan
dimasyarakatkan. Salah satu upaya pemasyarakatan tersebut adalah dengan
penyebarluasan informasi jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai
pestisida nabati, yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama.
Pada pembahasan ini akan dikaji potensi tumbuhan sebagai sumber
insektisida nabati, mekanisme insektisida nabati melindungi tanaman,
kendala dan strategi pengembangan insektisida nabati, teknik produksi
insektisida nabati formula cair organik. Aplikasi insektisida nabati dan
penyimpanan insektisida nabati. Setelah membaca dan memahami bagian
ini, diharapkan pembaca atau mahasiswa dapat mengerti tentang: 1)
perkembangan insektisida nabati dan bahan metabolit sekunder yang
potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku insektisida nabati; 2)
Prospek penggunaan insektisida nabati; 3) mekanisme kerja dari
insektisida nabati; 4) faktor penghambat untuk pengembangan insektisida
nabati; 5) kelebihan dan kelemahan insektisida nabati.
126
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGN INSEKTISIDA
NABATI
Berdasarkan catatan sejarah, insektisida nabati sebenarnya sudah
lama digunakan, misalnya penggunaan air perasan daun tembakau dan
pyrethrum sudah dipraktekan oleh petani di Perancis pada tahun 1690-an.
Perasan daun tembakau digunakan untuk mengendalikan hama kepik pada
buah persik. Tepung bunga Piretrum (Tanacetum cinerariaefolium)
digunakan sebagai insektisida yang bersifat racun saraf pada berbagai jenis
serangga dan aman untuk binatang menyusui di daerah Kaukasus-Iran
pada tahun 1800 (Chan Bacab & Pena Rodriguez 2001; Biebel et al.
2003). Abad ke 19, piretrum dari bunga krisan dan rotenon dari akar
sayuran mulai dikembangkan sebagai insektisida nabati untuk
mengendalikan kutu. Nenek moyang kita juga telah mengembangkan
insektisida nabati yang ada di lingkungan pemukimannya untuk
melindungi tanaman dari serangan pengganggunya secara alamiah. Mereka
memakai insektisida nabati atas dasar kebutuhan praktis dan disiapkan
secara tradisional.Tradisi ini akhirnya hilang karena desakan teknologi
yang tidak ramah lingkungan. Kearifan nenek moyang kita bermula dari
kebiasaan menggunakan bahan jamu (empon-empon = Jawa), tumbuhan
bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung, jenu = Jawa), tumbuhan
berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak
disukai hewan/serangga, seperti awar- awar, rawe, senthe), atau tumbuhan
lain berkemampuan khusus terhadap hama/penyakit (biji srikaya, biji
sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak, dll).
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, sejauh ini tidak
diketahui sejarah penemuan insektisida nabati dari ekstrak daun pepaya
terutama dari dimensi waktu. Namun, terdapat satu rujukan yang
menyebutkan bahwa awal mula pemanfaatan insektisida daun papaya
dimulai melalui sebuah penelitian dan pengamatan aplikasi insektisida
tersebut pada pertanaman bayam, dan dari hasil pengamatan terssbut
diketahui bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari aplikasi pestisida
ekstrak daun pepaya terhadap serangan ulat pada pertanaman bayam. Akar
tuba (Derris elliptica) telah digunakan untuk mengendalikan hama pala di
Malaysia sejak tahun 1848. Oleh karena itu sediaan insektisida dari bunga
piretrum, daun tembakau, dan akar tuba sering digunakan dalam
127
pengendalian hama sebelum tahun 1950-an. Namun, dalam kurun waktu
selanjutnya, penggunaan insektisida nabati mulai ditinggalkan setelah
ditemukannya DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroetane) sebagai hasil
samping pengolahan minyak bumi oleh Paul Herman Muller pada tahun
1940-an yang sangat efektif sebagai insektisida dan digunakan secara
meluas setelah berakhirnya perang dunia ke dua, selanjutnya
bermunculnya produk-produk insektisida kimia sintetis. Hingga tahun
1950an, insektisida berbahan dasar arsenik masih dominan. Pengendalian
dengan insektisida botani hampir dilupakan ketika produksi insektisida
kimia sudah mencapai ribuan merk dagang diseluruh dunia, sampai
terjadinya sindroma pestisida dan malapetaka akibat penggunaan
insektisida kimia yang tidak bijaksana di berbagai negara. Kepedulian
terhadap ekotoksikologi mulai muncul ketika terjadi kasus keracunan akut
di akhir abad ke 19 melalui tulisan Rachel Carson, Silen Spring yang
menggambarkan dampak pada lingkungan yang tidak menyenangkan
akibat bahan kimia. Organoklorin menjadi dominan, namun segera
digantikan oleh organofosfat dan karbamat pada tahun 1975 di negara
maju. Senyawa piretrum menjadi insektisida dominan. Herbisida
berkembang dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1960an dengan
triazin dan senyawa berbasis nitrogen lainnya, asam karboksilat, dan
glifosat.
Pengendalian dengan insektisida nabati mulai mendapat perhatian
lagi setelah konsep pertama tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
dimunculkan. Hal ini didukung oleh informasi dampak negatif akibat
penggunaan insektisida kimia dalam sebuah buku yang amat terkenal
berjudul “Silent Spring” karangan Rachel Carson. Selain itu Dr Robert van
den Bosh tahun 1978 menulis buku tentang “ The Pesticide Conspiracy”,
maka perhatian khalayak tertuju pada pertanian organik, salah satunya
dengan penggunaan alternatif untuk pengelolaan jasad pengganggu dengan
insektisida nabati.
C. POTENSI TUMBUHAN SEBAGAI SUMBER
INSEKTISIDA NABATI
Indonesia mempunyai keragaman flora yang sangat besar.
Walaupun hanya sekitar 10 ribu jenis metabolit sekunder yang telah
128
teridentifikasi, jumlah bahan kimia pada tumbuhan yang potensial sebagai
pestisida nabati diperkirakan mencapai 400 ribu jenis (Aranillewa et al.
2006). Diperkirakan ada sekitar 1.800 jenis tanaman yang mengandung
pestisida nabati yang dapat digunakan untuk pengendalian hama. Di
Indonesia, jenis tumbuhan penghasil insektisida nabati tersebar dalam 235
famili dengan 2.400 jenis tanaman. Oleh karena itu, pemanfaatan
insektisida nabati lebih prospektif untuk dikembangkan karena bahan
bakunya tersedia dan pembuatannya mudah sehingga akan cepat diadopsi
petani.
Hal pertama yang perlu diketahui untuk menilai prospek insektisida
nabati adalah potensi insektisida pada kemampuannya untuk mematikan
hama sasaran, tetapi bisa juga tingkat bioaktivitas lainnya, misalnya
pengaruh penolakan (repellency). Pelaku usahatani atau agribisnis
biasanya mencari bahan insektisida yang dapat mematikan hama sasaran
dengan cepat. Namun, pengendalian lalat buah mengandung bahan yang
bersifat sebagai repellent juga sangat bermanfaat. Bahan insektisida alami
baru harus mempunyai efektifitas pada dosis rendah atau memiliki
bioaktivitas tinggi agar mampu bersaing dengan produk insektisida sintetis
yang sudah ada di pasaran. Untuk bisa mendapatkan bahan seperti itu
diperlukan pendekatan penelitian yang tepat. Pencarian bahan insektisida
nabati dapat dilakukan melalui salah satu atau beberapa pendekatan
berikut:
a. Pengujian sejumlah besar tumbuhan atau organisme lain yang
dipilih secara acak
Sifat insektisida tanaman Ryania speciosa (Flacourtiaceae)
diungkapkan melalui pengujian yang melibatkan sekitar 2500 jenis
tumbuhan. Sediaan insektisida dari batang R. speciosa dengan bahan
aktif rianodin pernah digunakan di Amerika Serikat untuk
mengendalikan penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis.
b. Penapisan senyawa aktif dalam tumbuhan atau organisme lain
berdasarkan penggunaannya dalam pengendalian hama secara
tradisional
Azadirachtin diisolasi dari tanaman mimba yang daun dan buahnya
telah lama digunakan untuk pengendalian hama di lapang maupun di
penyimpanan di anak benua Indo-Pakistan.
129
c. Pengujian sifat insektisida bahan tumbuhan atau organisme lain
berdasarkan penggunaannya dalam pengobatan tradisional atau
pengetahuan tentang aktivitas biologi lainnya
Senyawa penghambat ekdisis plumbagin diisolasi dari tumbuhan
yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional di Afrika.
Isolasi senyawa nereistoksin dari cacing laut L. heteropoda di
Jepang diilhami oleh temuan adanya ikan-ikan yang mati keracunan
setelah memakan cacing tersebut.
d. Pengujian sifat insektisida berbagai jenis tumbuhan atau organisme
lain yang sekerabat (pencarian senyawa golongan tertentu dari
berbagai jenis tumbuhan atau organisme lain yang sekerabat)
Isolasi berbagai jenis senyawa limonoid yang bersifat insektisida
dari tanaman Meliaceae dipicu oleh keampuhan azadirakhtin dari
biji mimba. Isolasi senyawa asimisin dari tanaman Asimina triloba
(Annonaceae) telah mendorong pengujian sifat insektisida tanaman
Annonaceae lainnya. Isolasi rokaglamida (golongan benzofuran)
yang bersifat insektisida dari tanaman Aglaia odorata telah
mengilhami isolasi senyawa rokaglamida dan derivatnya dari
beberapa spesies Aglaia lainnya. Penemuan spinosin dari Sa.
spinosa (Actinomycetes) diilhami oleh penemuan avermektin dari
Actinomycetes lainnya, yaitu S. avermitilis.
e. Pengujian sifat insektisida tumbuhan atau organisme lain
berdasarkan pengamatan ekologi
Isolasi senyawa ajugarin yang bersifat menghambat makan dan
perkembangan serangga dari tumbuhan Ajuga remota (Labiatae)
diilhami oleh kenyataan bahwa tumbuhan tersebut di Afrika tidak
diserang oleh ulat grayak Spodoptera exempta, sedangkan tumbuhan
lain di sekitarnya digunduli oleh ulat tersebut.
Pendekatan digunakan, bila ekstrak disiapkan dengan pelarut
organik, konsentrasi yang digunakan pada pengujian awal hendaknya tidak
melebihi 0,5%. Ekstrak yang tidak aktif pada konsentrasi tersebut mungkin
disebabkan karena senyawa yang terkandung di dalamnya kurang aktif
atau senyawa tersebut sebenarnya cukup aktif tetapi kandungannya rendah.
Alasan kedua, senyawa aktifnya mungkin bisa digunakan sebagai model
untuk pengembangan insektisida baru, namun kemungkinan tidak berbeda
130
dengan insektisida sintetik yang lain. Ekstrak yang tidak aktif pada
konsentrasi 0,5% sebaiknya tidak diteliti lebih lanjut, karena kurang layak
secara ekonomi maupun ekologi (misal, fitotoksik dan beracun terhadap
musuh alami, terutama parasitoid telur). Jika pengujian dilakukan dengan
menggunakan senyawa murni, konsentrasi yang diuji hendaknya tidak
melebihi 5 ppm. Senyawa yang kurang aktif pada konsentrasi tersebut
(LC95 > 5 ppm) tidak akan mampu bersaing dengan produk yang sudah ada
di pasaran. Azadirakhtin dari biji mimba dan rokaglamida dari beberapa
spesies Aglaia aktif terhadap beberapa spesies serangga pada konsentrasi
di bawah 5 ppm. Ekstrak aseton dari biji Aglaia harmsiana, Dysoxylum
mollissimum dan Trichilia trijuga pada konsentrasi 0,25% dapat
mematikan larva Crocidolomia binotalis (ulat krop kubis) berturut-turut
100%, 94,7%, dan 86,6%, sedangkan pada perlakuan dengan ekstrak
etanol (fase etil asetat) kulit batang A. angustifolia, kematian larva 100%
dapat dicapai dengan konsentrasi perlakuan serendah 135 ppm. Fakta
menunjukkan bahwa peluang untuk menemukan sumber baru insektisida
nabati yang potensial masih terbuka lebar mengingat baru sekitar 10 – 15%
sumberdaya nabati di tanah air yang telah dieksplorasi sifat insektisidanya.
Bahan tanaman lain yang telah diketahui bersifat insektisida dan
telah diverifikasi potensial antara lain biji mimba, biji Aglaia elliptica dan
A. odoratissima, ranting A. odorata, biji Annona glabra (buah nona
sabrang) dan Annona squamosa (srikaya). Ekstrak bahan-bahan tanaman
tersebut dapat mematikan larva C. binotalis sampai 100% pada konsentrasi
antara 0,1 – 0,5%. Sementara itu, bahan-bahan tanaman lain yang sering
dilaporkan bersifat insektisida, tetapi setelah diverifikasi menggunakan
standar di atas ternyata kurang menjanjikan, antara lain biji sirsak (An.
muricata), biji buah nona (An. reticulata), Aphanamixis grandifolia,
Khaya spp., dan mahoni (Swietenia spp.). Bila suatu ekstrak tanaman akan
digunakan secara langsung, pengujian spesifik lokasi dengan
menggunakan standar yang mencerminkan kelayakan penggunaan di
lapang perlu dilakukan. Aktivitas ekstrak kasar bahan tanaman dari spesies
yang sama dapat beragam karena adanya keragaman genetik, perbedaan
lingkungan tumbuh dan cara perawatan tanaman.
Setelah potensi insektisida suatu bahan tanaman diketahui, hal
berikutnya yang perlu diketahui adalah keamanannya bagi organisme
131
bukan sasaran dan lingkungan. Senyawa insektisida alami mudah terurai di
alam sehingga tidak akan mencemari lingkungan (fisik), namun bahan
tersebut mungkin memiliki dampak negatif bagi organisme bukan sasaran.
Pengujian awal bahan insektisida alami biasanya dilakukan di
laboratorium. Karena itu, aspek keamanan pertama yang harus diuji adalah
fitotoksisitasnya bila bahan tersebut akan digunakan dalam pengendalian
hama pertanian. Sebagai contoh, ekstrak beberapa spesies Zingiberaceae
aktif terhadap serangga tertentu, tetapi ternyata juga fitotoksik, sehingga
penelitian tidak ditindaklanjuti.
Ekstrak kasar cenderung fitotoksik pada konsentrasi > 0,5 %, karena
ekstrak kasar biasanya juga mengandung komponen nonpolar (berwujud
minyak atau cairan pekat) yang dapat merusak lapisan lilin kutikula daun.
Sementara dalam keadaan murni, banyak senyawa aktif yang berbentuk
padatan dan tidak fitotoksik pada konsentrasi yang aktif terhadap hama
sasaran. Sebagai contoh, ekstrak biji mimba dan kulit biji jambu mete yang
mengandung minyak seringkali fitotoksik, terutama pada bagian pucuk
tanaman, tetapi senyawa aktif utamanya (azadirakhtin pada biji mimba dan
asam anakardat pada kulit biji jambu mete tidak fitotoksik pada
konsentrasi bahan aktif yang setara. Insektisida alami yang aktif terhadap
hama sasaran dan aman bagi tanaman budidaya, selanjutnya perlu diuji
keamanannya terhadap berbagai hewan bukan sasaran, seperti tikus,
kelinci, burung, dan ikan, dalam pengujian toksikologi yang telah
distandarisasi. Contoh senyawa insektisida alami yang memiliki aktivitas
tinggi dan khas terhadap serangga tetapi tidak lulus pengujian toksikologi
adalah precocene. Senyawa ini diisolasi dari tanaman Ageratum
haustonianum (Asteraceae) dan bekerja sebagai anti juvenile hormone
sehingga mengakibatkan metamorfosis yang tidak normal. Sayangnya,
senyawa tersebut dapat merusak hati dan ginjal pada mamalia, sehingga
pengembangannya sebagai insektisida dihentikan.
Kriteria berikutnya yang perlu dinilai adalah ketersediaan bahan
mentah. Di Indonesia, tumbuhan sumber insektisida jarang terdapat
melimpah di alam. Karena itu, tumbuhan sumber harus mudah
dibudidayakan dan dapat beradaptasi pada rentang kondisi tanah,
ketinggian dan iklim yang luas. Dengan demikian, lokasi areal penananam
mudah ditentukan. Tanaman mimba tidak menghasilkan buah dengan baik
132
bila ditanam di daerah Jawa Barat yang bercurah hujan tinggi, sedangkan
di Jawa Timur yang beriklim lebih kering produksi buahnya cukup baik.
Salah satu tanaman sumber insektisida yang dapat tumbuh pada kisaran
kondisi lingkungan yang luas adalah Aglaia odorata (culan).
Produksi insektisida alami secara komersial dan senyawa aktif harus
mudah diekstraksi dan diformulasikan, serta kandungan bahan aktifnya
mudah dianalisis untuk menunjang standarisasi. Pengembangan insektisida
alami lebih lanjut dapat dilakukan dengan menyintesis senyawa aktifnya
menggunakan prosedur yang ekonomis atau mengembangkan analognya.
Namun, formulasi insektisida alami dengan bahan aktif tunggal dalam hal
tertentu akan mengakibatkan dampak negatif seperti yang dapat
ditimbulkan oleh insektisida sintetik, misalnya resistensi hama terhadap
insektisida. Dampak negatif akan lebih besar bila yang digunakan adalah
analog sintetiknya, yang biasanya lebih beracun terhadap musuh alami
hama dibandingkan senyawa alamiahnya.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan senyawa metabolit sekunder
dapat mengendalikan populasi serangga hama. Sifat dan mekanisme kerja
bahan nabati tersebut dalam melindungi tanaman dapat sebagai
antifitopatogenik (antibiotik pertanian), fitotoksik atau mengatur
pertumbuhan tanaman (fitotoksin, hormon, dan sejenisnya), dan bahan
aktif terhadap serangga (hormon serangga, feromon, antifidan, repelen,
atraktan, dan insektisida). Beberapa jenis insektisida nabati cukup efektif
terhadap beberapa jenis hama, baik hama di lapangan, rumah tangga
(nyamuk dan lalat) maupun di gudang. Jenis insektisida nabati efektif
mengendalikan hama gudang di antaranya biji bengkuang, akar tuba, abu
serai dapur, kayu manis dan brotowali. Tidak hanya terbatas terhadap
hama serangga, insektisida nabati juga efektif terhadap hama keong mas,
sebagai rodentisida. Meskipun secara keseluruhan insektisida nabati tidak
dapat mempunyai peran sebagai pengganti insektisida sintetik, namun
setidaknya insektisida nabati dapat mengurangi frekuensi penggunaan
insektisida sintetik, apabila kedua insektisida tersebut dipadukan. Oleh
karena itu perlu dicari jenis tumbuhan yang bersifat meracun bagi hama
serangga agar dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati, karena
beberapa laporan hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan bahan
tersebut aman terhadap lingkungan. Penggunaan insektisida nabati dapat
133
mengurangi pencemaran lingkungan, juga lebih murah dibandingkan
dengan pestisida kimia.
Jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi dikembangkan sebagai
pestisida nabati merupakan hasil dari penggalian di beberapa daerah di
Indonesia. Tabel 15 menunjukkan beberapa jenis tumbuhan hasil
eksplorasi yang mudah diperoleh dan dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai insektisida nabati.
134
Tabel 15. Daftar tanaman untuk insektisida nabati
135
136
D. MEKANISME INSEKTISIDA NABATI DALAM
MELINDUNGI TANAMAN
Interaksi antara serangga dengan tumbuhan menyebabkan adanya
usaha mempertahankan diri sehingga tumbuhan mampu memproduksi
metabolit sekunder untuk melawan serangga hama. Kandungan zat bioaktif
pada tanaman menyebabkan aktivitas larva terhambat, ditandai gerakan
larva lamban, tidak memberikan respon gerak, nafsu makan kurang dan
akhirnya mati. Pada dasarnya, bahan alami dari tumbuhan mengandung
senyawa bioaktif, yaitu bahan alami dengan kandungan senyawa bersifat
anti-fitopatogenik (antibiotik pertanian), bersifat fitotoksik atau mengatur
pertumbuhan tanaman (fitotoksin, hormon tanaman dan sejenisnya), dan
bahan alami dengan kandungan senyawa yang bersifat aktif terhadap
serangga (hormon serangga, feromon, antifeedant, repelen, atraktan, dan
insektisida). Residu dari insektisida nabati lebih cepat hilang di alam
dibandingkan degan insektisida sintetis, sehingga aman dikonsumsi
manusia.
Pestisida nabati menjadi alternatif pengendalian hama yang aman
dibanding pestisida sintetis. Penggunaan pestisida nabati memberikan
keuntungan ganda, selain menghasilkan produk yang aman, lingkungan
juga tidak tercemar. Insektisida nabati sebagai kelompok repelen, yaitu
menolak kehadiran serangga misalnya karena bau yang menyengat,
kelompok antifidan yang dapat mencegah serangga memakan tanaman
yang telah disemprot, menghambat reproduksi serangga betina, sebagai
racun syaraf dan dapat mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh
serangga, kelompok atraktan, yakni insektisida nabati yang dapat memikat
kehadiran serangga sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa perangkap
serangga. Secara umum, mekanisme kerja insektisida nabati dalam
melindungi tanaman dari OPT yaitu secara langsung menghambat proses
reproduksi serangga hama khususnya serangga betina, mengurangi nafsu
makan, menyebabkan serangga menolak makanan, merusak perkembangan
telur, larva dan pupa sehingga perkembangbiakan serangga hama
terganggu, serta menghambat pergantian kulit. Cara kerja pengendaliannya
bisa melalui perpaduan beberapa cara ataupun cara tunggal.
Penggunaan insektisida nabati dapat dipadukan dengan musuh alami
bila bahan insektisida nabati tersebut tidak beracun untuk musuh alami.
137
Berdasarkan cara kerjanya (sifatnya), insektisida nabati digolongkan
sebagai kelompok repelen, yaitu menolak kehadiran serangga misalnya
karena bau yang menyengat, kelompok antifeedan dapat mencegah
serangga memakan tanaman yang telah disemprot, menghambat
reproduksi serangga betina, sebagai racun syaraf dan dapat mengacaukan
sistem hormon di dalam tubuh serangga, kelompok atraktan, yakni
pestisida nabati yang dapat memikat kehadiran serangga sehingga dapat
dijadikan sebagai senyawa perangkap serangga, serta kelompok insektisida
nabati yang menurunkan preferensi serangga untuk mengakses sumber
makanan. Informasi mengenai tanaman yang berpotensi sebagai bahan
penghasil insektisida nabati dan pemanfaatannya dapat membantu
masyarakat untuk memanfaatkan tanaman tersebut dalam pengendalian
PHT.
Salah satu senyawa aktif telah banyak diteliti, antara lain bahwa
pyrethrin dari kulit batang kepayang bekerja sangat cepat mengganggu
jaringan saraf serangga sehingga dapat langsung membuat pingsan
serangga, tetapi aman terhadap manusia dan hewan, namun jika tercium
(inhalasi) oleh mamalia maka akan lebih meracun, karena proses inhalasi
menyediakan lebih banyak jalur bagi pyrethrin mencapai aliran darah yang
menuju otak. Hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa pyrethrin tidak
bekerja secara sistemik namun merupakan racun kontak yang bekerja cepat
mempengaruhi sistem syaraf serangga sehingga menimbulkan gejala
kelumpuhan dan kematian. Senyawa bioaktif Pyrethrin pada tumbuhan
kepayang merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu,
sehingga pestisida ini sering disebut sebagai pestisida yang aman bagi
lingkungan. Pyrethrin cepat terurai oleh sinar matahari dan kelembaban
udara, penguraian yang lebih cepat terjadi pada kondisi asam dan basa.
Oleh sebab itu bahan yang mengandung pyrethrin tidak boleh dicampur
dengan kapur.
Daya racun pyrethrin meningkat sejalan dengan semakin
menurunnya temperatur. Zat ini menyerang simpul-simpul elektrokimia
syaraf yang merupakan suatu jaringan penghubung antara organ tubuh
(jaringan axon) seperti otot yang menerima rangsangan dari luar maupun
dari dalam. Pyrethrin pada mulanya mempengaruhi sel syaraf dan akhirnya
menggangu fungsi otot sehingga otot menjadi kejang-kejang, akhirnya
138
terjadi gejala paralisis yang diikuti dengan kematian. Namun demikian,
pengaruh pyrethrin bersifat reversibel, yaitu serangga dapat pulih kembali
apabila jumlah piretrin yang meracuni masih di bawah ambang toleransi
serangga. Pyrethrin merupakan zat yang cepat terdegredasi di alam,
khususnya apabila terkena sinar matahari sehingga zat ini tidak persisten
baik di lingkungan maupun pada bahan makanan. Sifat khas ini mungkin
akan menghambat terjadinya kasus resurgensi dan resistensi serangga
terhadap piretrin, serta mencegah terjadinya polusi terhadap lingkungan.
1. Penarik atau Perangkap Makan Serangga Hama
Senyawa kimia pada tumbuhan mempunyai peran penting untuk
serangga dalam pemilihan inang, karena serangga dapat mengenali atau
merasakan adanya senyawa kimia dalam makanannya pada konsentrasi
rendah, dan dikenal sebagai senyawa penarik (atraktan). Perangkap yang
mengandung lebih dari satu jenis atraktan (minyak daun wangi dan
minyak sereh) menarik lebih banyak lalat buah dibandingkan dengan
perangkap yang hanya mengandung salah satu jenis atraktan tersebut.
Namun demikian, minyak daun wangi mulai mengalami penurun daya
tarik terhadap lalat buah pada minggu kedua. Oleh karena itu, beberapa
cara untuk meningkatkan efektivitas atraktran sebagai salah satu teknik
pengendalian yaitu:
1. Penggunaan senyawa aktif murni dari daun yang mengandung
204lter eugenol. Saat ini 204lter eugenol sudah tersedia di pasaran
dengan nama “Petrogenol”. di lapangan menunjukkan bahwa
204lter eugenol mampu menangkap 20-1000 lalat buah setiap
minggunya untuk setiap perangkap dan mampu menurunkan tingkat
kerusakan hingga 40%. Eugenol adalah anggota dari
phenylpropanoids, banyak diekstrak dari beberapa minyak atsiri,
terutama dari cengkeh, pala, kayu manis, kemangi, dan daun salam.
2. Penggunaan beberapa jenis ekstrak tanaman yang mengandung
senyawa atraktan yang bersifat sinergis.
3. Penggunaan model perangkap berwarna kuning dan ditambah
atraktan sebagai bahan metabolit dikeluarkan oleh ekstrak tanaman
untuk menarik kehadiran parasitoid maupun predator pada suatu
pertanaman.
139
Penggunaan atraktan untuk menekan populasi lalat buah selain
terbukti efektif, juga tidak mengakibatkan dampak yang buruk bagi
lingkungan sehingga dapat dipadukan teknik pengendalian lalat buah
lainnya dalam kerangka pengendalian hama terpadu.
Kelompok senyawa yang berhubungan dengan interaksi antara
tanaman dengan serangga mendapat banyak perhatian pada beberapa tahun
terakhir ini adalah senyawa dari hijau daun (green-leaves volatile) yang
terdiri atas: C6 alkohol, aldehid dan ester yang merupakan derivat dari
lypoxygenase pathway (LOX) (Bruinsma et al., 2010). Senyawa ini
diemisikan oleh tanaman segera setelah tanaman dimakan oleh herbivor
dan dikenal sebagai herbivore-induced-plant volatiles (HIPVs) (Unsicker,
et al., 2009).
Ekstrak daun wangi (Melaleuca bracteata L.) dan daun selasih
(Ocimum sp) dapat digunakan sebagai atraktan untuk memerangkap lalat
buah. Meskipun demikian ekstrak daun wangi menunjukkan efektivitas
yang lebih tinggi sebagai atraktan. Ekstrak daun wangi dan daun selasih
dapat menangkap lalat buah masing-masing rata-rata 2,8 dan 1,3
ekor/perangkap/minggu (Shahabuddin, 2011).
Upaya pengendalian lalat buah (Bactrocera cucurbitae) juga
dilakukan dengan atraktan dari senyawa 2-pentadekanon, heneikosan,
heksadekanoat, 3-oxo-alpha-ionol dari ekstrak buah peria. Lalat buah
melakukan aktivitas seperti gelisah dan menggetarkan sayap. Hal ini
diduga lalat buah melakukan aktivitas setelah alat indera olfaktorinya
tertarik pada aroma dari bahan atraktan. Jika lalat buah (Toxotrypana
curvicauda) menjulurkan proboscis secara berulang terhadap permukaan
buah pada masa proviposisi dan buah peria sebagai atraktan oviposisi.
Perilaku lalat buah seperti mencari makanan, meletakkan telur dan
melakukan hubungan seksual akan dirangsang oleh senyawa kairomon.
Kairomon merupakan salah satu atraktan yang berasal dari buah peria dan
dapat mempengaruhi alat sensor dari serangga (Dumalang dan Lengkong,
2011). Waktu penjuluran proboscis selama berada pada sumber ekstrak
disajikan pada Table 16.
140
Tabel 16. Waktu penjuluran proboscis selama berada pada sumber ekstrak
Penggunaan atraktan untuk meningkatkan populasi predator dan
parasitoid pada pertanaman kapas akan meningkatkan peran musuh alami
sebagai faktor mortalitas biotik yang efektif. Ekstrak tanaman, terutama
yang berupa minyak atsiri, telah banyak digunakan sebagai atraktan musuh
alami, tetapi belum banyak yang menggunakannya sebagai atrak-tan
musuh alami wereng kapas. Metil eugenol merupakan komponen utama
dari minyak atsiri dari tanaman pohon wangi (Melaleuca brachteata F.
Muell). Methyl eugenol dilaporkan mempunyai aktivititas sebagai
antimikrobia (Runyoro et al., 2010). Minyak atsiri dari ekstrak daun kapas
dapat dimanfaatkan sebagai atraktan parasitoid telur wereng kapas
(Amrasca biguttulla) dari genus Anagrus. Selain itu, minyak atsiri dengan
kandungan senyawa metil eugenol juga ditemukan pada daun kemangi.
Ekstrak daun kemangi dengan konsentrasi 50 % dapat meningkatkan kerja
insektisida nabati karena dapat menarik datangnya lalat buah serta
mempengaruhi mortalitas. Rata-rata minyak atsiri dapat memerangkap
lalat buah paling banyak 26,83 ekor serangga dengan masa aktif atraktan
4,66 hari (Pasaribu et al., 2007).
Predator menunjukkan respon ketertarikan yang tidak konsisten
terhadap minyak atsiri dari ekstrak tanaman yang diuji pada uji tanpa
pilihan dan uji dengan pilihan di laboratorium. Predator dan parasitoid
telur wereng kapas yang tertarik pada minyak atsiri disajikan pada Tabel
17.
141
Tabel 17. Jumlah individu predator dan parasitoid telur wereng kapas yang
tertarik pada minyak atsiri dari daun kapas, batang dan daun jagung,
dan daun teh hitam. dalam uji dengan pilihan di laboratorium
menggunakan tabung X
Peningkatan populasi parasitoid meningkat dengan penambahan
atraktan dari ekstrak daun kapas yang terserang Anagarus biguttulla dan
daun teh hitam mencapai 176% dibandingkan kontrol.
2. Aktivitas Penghambatan atau Penolakan Makan (Antifeedant)
Senyawa hasil metabolit sekunder tumbuhan yang bersifat
antifeedant adalah senyawa yang mengakibatkan penghentian aktivitas
makan serangga secara sementara atau permanen, sehingga tanaman
pangan atau tanaman komoditi dapat terlindungi. Senyawa antifeedant
sangat spesifik terhadap serangga sasaran, karena tidak mengganggu
serangga lain, sehingga tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
organisme lain. Kriteria penentu aktivitas antifeedant adalah jumlah
hinggapan kutu kebul dewasa pada tanaman. Pengendalian serangga hama
menggunakan senyawa-senyawa yang bersifat menghambat aktivitas
makan memberikan beberapa kelebihan seperti tidak menimbulkan
resistensi, selektivitas yang tinggi, mudah terdegradasi dan relatif tidak
beracun terhadap manusia.
Secara umum, hama tanaman tidak dapat dihilangkan secara total,
tetapi perlu dilakukan upaya-upaya untuk menurunkan populasi hama
tersebut. Aplikasi senyawa-senyawa yang bersifat sebagai penghambat
aktivitas makan serangga dapat memberikan konstribusi dalam kegiatan
142
pengendalian serangga hama. Penggunaan secara praktis senyawa-
senyawa penghambat aktivitas makan serangga dapat dilakukan pada
beberapa tahap dalam budidaya tanaman seperti pembibitan, pertumbuhan
dan prapanen. Antifeedant bekerja dengan cara merangsang syaraf penolak
makan yang spesifik berupa reseptor kimia (chemoreceptor) yang terdapat
pada bagian mulut (mouthpart). Reseptor kimia tersebut bekerja bersama
reseptor kimia lainnya, dan menyebabkan gangguan persepsi rangsangan
untuk makan. Daun pangi (Pangium edule) telah diketahui memiliki
banyak manfaat, salah satunya diduga memiliki aktivitas antifeedant.
Tumbuhan pangi (Pangium sp) merupakan salah satu tumbuhan
yang mengandung beberapa senyawa kimia yaitu alkaloid, flavonoid,
saponin, tannin dan terpenoid. Penggunaan n-heksana pada proses
ekstraksi daun pangi akan diperoleh senyawa antifeedant. Senyawa phytol
diduga memiliki aktivitas antifeedant karena merupakan senyawa
penyusun yang dominan dalam daun pangi. Tumbuhan Callicarpa
Japonica memiliki aktivitas antifeedant yang dipengaruhi oleh senyawa
phytol. Struktur senyawa phytol ditunjukkan pada Gambar 25.
Gambar 25. Struktur senyawa phytol
Suatu bahan dapat dikatakan aktif antifeedant jika memiliki aktivitas
antifeedant di atas 25%, sehingga ektrak kental n- heksana dapat dikatakan
aktif antifeedant. Ekstrak n- heksana daun pangi memiliki nilai aktivitas
antifeedant sebesar 47,23%, 66,83% dan 67,72% berturut-turut pada
konsentrasi 0,1%(b/v), 5%(b/v) dan 10%(b/v). Hasil uji aktivitas
antifeedant dari ekstrak n-heksana daun pangi disajikan pada Tabel 18.
143
Tabel 18. Hasil uji aktivitas antifeedant dari ekstrak kental n-heksana
Ekstrak daun bandotan (Ageratum conyzoides L.) memiliki efek
antifeedant yang tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh senyawa metabolit
sekunder yang terkandung dalam A. conyzoides. Tanaman tersebut
memiliki kandungan senyawa alkaloid, flavanoid dan tannin yang tinggi
dan terkonsentrasi pada daun. Ekstrak ini memiliki rasa pahit dan sifat
antifeedant pada hama gudang Tribolium castaneum dan Sitophilus oryzae
sebesar 98 %. Senyawa metabolit sekunder di dalam ekstrak tanaman tsb
menyebabkan larva berkurang aktivitas makan, gangguan pertumbuhan
dan pergantian kulit, gangguan reproduksi serta gangguan sel serangga.
Cara kerja senyawa ini adalah mengganggu kerja sistem endokrin serta
mengganggu hormon tubuh serangga.
Berbagai senyawa kimia dari kelompok sesquiterpen, alkaloid,
flavonoid, terpenoid yang menunjukkan aktivitas penghambatan makan
pada berbagai spesies serangga telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi
(Tabel 19).
144
Tabel 19. Famili, senyawa aktif dari spesies tumbuhan yang mempunyai sifat
menghambat aktivitas makan, serta organisme sasaran yang
menunjukkan efek penghambatan makan
Berdasarkan pendekatan database NIST02.L yang telah terintegrasi
pada alat GC- MS, senyawa phytol diduga memiliki aktivitas antifeedant
karena merupakan senyawa penyusun yang dominan dalam daun pangi.
Senyawa yang mengakibatkan penolakan aktivitas makan disebut feeding
deterrent. Aktivitas antifeedant ekstrak daun pangi terjadi karena adanya
kandungan senyawa penghambat makan yang menutup atau mengacau
sinyal-sinyal rangsangan makan yang terdapat pada makanan.
Ekstrak A. conyzoides dapat bekerja sebagai racun kontak dan racun
perut, sehingga terjadi kematian lebih awal serta mampu menghambat fase
pupa Spodoptera litura sebesar 68% (Amelot et al., 2003; Aldywaridha,
2010). Selain itu ekstrak ini memilik efek feeding deterrent dan ovicidal
yang kuat terhadap Spilarctia oblique pada dosis 10 mg/ml (Moreira,
2007).
Senyawa bioaktif hasil dari proses ekstraksi kulit biji jambu mete
juga menghasilkan senyawa antifeedant untuk kutu kebul (Bemisia tabaci
Genn.). Penggunaan n-heksana pada proses ekstraksi kulit biji jambu mete
akan diperoleh senyawa antifeedant. Ekstrak pekat ini mengandung
145
beberapa senyawa kimia antara lain phenolic, flavonoid, tannin dan
terpenoid (Andayanie et al., 2019). Rata-rata kandungan senyawa tersebut
disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Total kandungan phenolic, flavonoid and tannin dari ekstrak kulit biji
jambu mete
Ekstrak ini juga mengandung senyawa bioaktif yang terdiri atas:
asam anakardat, kardanol, kardol dan 2-metil-kardol. Gambar 26
memperlihatkan struktur molekul asam anakardat, kardanol, kardol dan 2-
metil-kardol.
Gambar 26. Struktur molekul asam anakardat, kardanol, kardol dan 2-metil-
kardol
Senyawa bioaktif tersebut terisolasi dengan berat molekul 378 m/z
(M+) dan fragmentasi yang keluar 324, 301, 278, 252, 233, 211, 188, 125,
149, 112, 81 dan 41. Hasil identifikasi senyawa tersebut menunjukkan
struktur kimia senyawa fenolik terikat pada asam anakardat yaitu 15-
karbon (C15). Kandungan kimia tersebut menunjukkan asam anakardat
146
konsentrasi 76,93% dan 21,22% senyawa lain yang terdiri atas: Kardol
(12,75%), Kardanol (4,66%), 2-metil-Kardol (3,81%). Senyawa tersebut
merupakan senyawa fenol alam dengan ciri cincin aromatik yang berikatan
dengan gugus OH.
Asam anakardat mempunyai peranan penting untuk aktivitas
antifeedant pada B. tabaci. Senyawa antifeedant menghalangi langsung
kerja sel-sel sensorik untuk efek penolak dan menyebabkan serangga mati
kelaparan atau dehidrasi (Andayanie et al., 2019). Senyawa bioaktif dari
ekstrak kulit biji jambu mete disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Senyawa bioaktif dari ekstrak kulit biji jambu mete
Ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 0,75% dan
insektisida dengan senyawa aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50%
menyebabkan mortalitas yang tidak berbeda nyata antara perlakuan (p
<0,05) pada 24 jam setelah aplikasi. Ekstrak kulit biji jambu mete pada
konsentrasi 0,75% menunjukkan mortalitas B. tabaci yang lebih tinggi
secara signifikan daripada insektisida dengan senyawa aktif imidacloprid
pada konsentrasi 0,50% setelah aplikasi 48 dan 72 jam. Namun, aktivitas
ekstrak tidak berbeda dari ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi
1,50% dan 3,00% setelah 24 dan 48 jam aplikasi, masing-masing.
Kematian tertinggi diperoleh pada konsentrasi 6,00%. Selain itu, ada
perbedaan yang signifikan antara perlakuan (p <0,05) pada 72 jam setelah
aplikasi.
3. Aktifitas Penghambat Peletakan Telur (Anti-oviposisi)
Anti-oviposisi merupakan aktivitas dimana senyawa metabolit
sekunder berupa flavonoid yang terkandung dalam tanaman bersifat
menolak atau menutupi sinyal penarik yang terdapat dalam tanaman inang.
Ekstrak tanaman dapat mempengaruhi perilaku hama kutu kebul (Bemisia
147
tabaci Gen.) untuk menghambat peletakan telur (anti-oviposisi), seperti
pada ekstrak daun tithonia (T. diversifolia). Ekstrak kasar daun Tithonia
dan ekstrak etanol tanaman Tithonia merupakan racun kontak bagi Atta
cephalotes (Hymenoptera: Myrmicinae) (Castano-Quintana et al. 2013).
Peletakan telur mempunyai tujuan untuk mendapatkan makanan dan
tempat berlindung dengan adanya pengaruh kandungan senyawa sekunder
tanaman tersebut. Aktivitas anti-oviposisi kutu kebul memiliki korelasi
dengan aktivitas penolak makan terhadap tanaman inang dan rangsangan
makanan yang dihasilkan oleh tanaman inang. Peletakan telur (oviposisi)
kutu kebul pada daun tanaman Iler yang diaplikasi konsentrasi ekstrak
tanaman Tithonia lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan ekstrak
Tithonia.
Persentase oviposisi kutu kebul tertinggi terdapat pada konsentrasi 1
mg/l sebesar 31,67% dan terendah pada konsentrasi 0,5 mg L-1
sebesar
16,67%. Perbedaan besar persentase oviposisi menunjukkan bahwa selain
aktivitas antifeedant, ekstrak tanaman Tithonia juga memiliki aktivitas
anti-oviposisi (penghambat peletakan telur). Persentase peletakan telur
kutu kebul karena aplikasi ekstrak daun tithonia di tanaman iler disajikan
pada Tabel 22.
Tabel 22. Persentase peletakan telur kutu kebul
Jumlah telur kutu kebul pada aplikasi ekstrak Tithonia tidak semata-
mata dipengaruhi oleh penurunan peletakan telur, tetapi juga dipengaruhi
oleh kematian imago kutu kebul akibat aplikasi ekstrak tersebut. Ekstrak
Tithonia tidak membunuh kutu kebul secara langsung, tetapi mengganggu
hama tersebut pada proses metamorfosa dan penurun nafsu makan
sehingga lama-kelamaan serangga akan mati. Ekstrak tanaman Tithonia
148
dengan konsentrasi tertinggi (4 mgL-1
) masih aman untuk digunakan
sebagai insektisida nabati karena tidak bersifat fitotoksik terhadap tanaman
yang diaplikasi. Tanaman titonia memiliki kandungan senyawa bioaktif
berupa sesquiterpene lactone. Senyawa tersebut mampu membuka lapisan
lipid bilayer pada kutikula yang menyebabkan terjadinya peningkatan
cairan membran dan terganggunya permeabilitas sel otot serangga,
sehingga mengakibatkan semakin lemahnya gerakan serangga sampai
terjadinya kematian. Sesquiterpene lactone bersifat toksik dan masuk ke
dalam tubuh serangga melalui kutikula (racun kontak) dan saluran
pernafasan. Penetrasi senyawa bioaktif yang masuk melalui kutikula
kemudian bergerak menembus jaringan yang lebih dalam dan
menyebabkan gangguan metabolisme dan terjadinya hambatan kerja dalam
sistem syaraf pada serangga. Selain itu daun tithonia memiliki kandungan
senyawa flavonoid, alkaloid, dan tanin yang dapat membunuh dan juga
mencegah datangnya kutu putih pada tanaman.
Ekstrak kulit biji Anacardium occidentale toksik terhadap
Nilaparvata lugens dan Nephotettix virescens serta dapat menurunkan
produksi telur imago betina kedua jenis wereng tersebut. Secara umum
imago betina Crocidolomia pavonana lebih banyak meletakkan telur pada
kurungan dibandingkan pada tanaman yang diberi perlakuan
penyemprotan ekstrak. Jumlah telur yang diletakkan pada tanaman kontrol
juga lebih banyak dibanding jumlah telur pada tanaman perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak kulit biji A. occidentale dapat
menghambat aktivitas oviposisi imago betina C. pavonana. Jumlah telur
yang diletakkan imago C. pavonana pada kurungan di sekitar tanaman
yang diberi perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 0,29% ≈ LC₅₀
meningkat pada 4-5 hari setelah aplikasi (HSA)), begitu juga dengan
tanaman yang diberi perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 0,54% ≈ LC₉₀.
Pada tanaman yang diberi perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 0,75% ≈
LC99, tidak ditemukan sejumlah telur pada 1-8 hsa. Hal ini berbeda
dengan kontrol, imago C. pavonana dapat meletakkan telur pada tanaman
brokoli dari 4-8 HSA. Fakta tersebut berbeda dengan jumlah telur yang
dapat diletakan oleh imago betina C. pavonana di alam, bahwa imago
betina mampu menghasilkan telur sebanyak 180-320 butir selama
hidupnya. Terhambatnya aktivitas oviposisi imago C. pavonana pada
149
tanaman brokoli yang diberi perlakuan ekstrak A. occidentale, diduga
karena adanya senyawa penolak aktivitas peletakan telur (anti-oviposisi)
dari ekstrak kulit biji A. occidentale. Preferensi oviposisi C. pavonana
berkorelasi dengan intensitas dari rangsang khusus dari bagian tanaman
(Pelealu, 2004). Penyemprotan ekstrak A. occidentale pada tanaman
brokoli dapat menggagalkan fungsi rangsang khusus, sehingga proses
peletakan telur menjadi terhambat.
Terhambatnya aktivitas oviposisi imago C. pavonana pada tanaman
brokoli yang diberi perlakuan ekstrak A. occidentale, diduga karena
adanya senyawa penolak aktivitas peletakan telur (anti-oviposisi) dari
ekstrak kulit biji A. occidentale. Preferensi oviposisi C. pavonana
berkorelasi dengan intensitas dari rangsang khusus dari bagian tanaman.
Penyemprotan ekstrak A. occidentale yang melapisi tanaman brokoli bisa
menggagalkan fungsi rangsang khusus, sehingga proses peletakan telur
menjadi terhambat. Pada pengamatan hari ke-8 setelah aplikasi,
menunjukan gejala fitotoksik pada tanaman brokoli, gejala awal yang
ditimbulkan akibat pengaruh ekstrak A. occidentale yaitu terdapat bercak-
bercak nekrosis pada permukaan atas hingga bawah daun pada hari ke-3
setelah aplikasi. Gejala pada daun berlanjut membentuk bercak,
mengeriting, layu, dan pada akhir pengamatan daun tua maupun pucuk
mengering dan mati.
Ekstrak kulit biji jambu mete juga toksik terhadap kutu kebul
(Bemisia tabaci Genn.) dan larva Helicoverpa armigera. Ekstrak ini dapat
menurunkan produksi telur dari imago betina dari kutu kebul. Konsentrasi
kulit biji jambu mete (0,75%, 1,50%, 3,00% dan 6,00%) menunjukkan
persentase aktivitas oviposisi yang jauh lebih rendah daripada insektisida
dengan bahan aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50% dan kontrol
dengan air setelah 72 jam aplikasi. Namun, pada konsentrasi 6%
menyebabkan gejala fitotoksisitas pada daun kedelai. Persentase oviposisi
terendah pada ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 6,00%,
terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) dengan ekstrak kulit biji
jambu mete pada konsentrasi 0,75%, 1,50%, 3,00% (Gambar 27).
150
Gambar 27. Persentase peletakan telur kutu kebul pada 72 jam setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete
Persentase penghambatan peletakan telur kutu kebul juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persentase kematian imago
betina dan hinggapan dari kutu kebul.
4. Aktifitas Penghambat Hinggapan pada Tanaman
Beberapa ekstrak tanaman dapat digunakan untuk menghambat
hinggapan serangga hama pada tanaman, misalnya ekstrak daun Tithonia
dan kulit biji jambu mete untuk menghambat hinggapan kutu kebul
(Aleurodicus dugesii) dan kulit biji jambu mete untuk menghambat
hinggapan kutu kebul (B. tabaci Genn.) masing-masing pada tanaman iler
(Coleus artopurpureus) dan kedelai (Glycine max). Aktivitas antifeedant
menentukan terhadap jumlah hinggapan kutu kebul dewasa pada bagian
tanaman yang telah diaplikasi sesuai perlakuan. Oleh karena itu metabolit
sekunder yang terdapat dalam ekstrak daun Tithonia dan kulit biji jambu
mete mempunyai peran sebagai aktifitas penghambat hinggapan pada kutu
kebul.
Jumlah hinggapan kutu kebul pada tanaman iler akibat perlakuan
ekstrak daun Tithonia tidak menunjukkan adanya perbedaan pada hari
pertama dan kedua, tetapi pada hari ketiga perlakuan dengan konsentrasi 0
mg L-1
(kontrol) lebih tinggi daripada perlakuan dengan konsentrasi 0,5, 2,
dan 4 mg L-1
(Gambar 28).
151
Gambar 28. Hinggapan kutu kebul (A. dugesii) pada pengujian antifeedant
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hinggapan kutu kebul
(A. dugesii) pada daun yang diaplikasi berbagai konsentrasi ekstrak
Tithonia lebih rendah dibanding daun yang tidak diberi insektisida nabati
(kontrol). Perilaku tersebut menunjukkan bahwa kutu kebul menghindari
daun yang telah diaplikasi ekstrak Tithonia.
Pada pegamatan hari ke-1, populasi kutu kebul yang hinggap lebih
sedikit dibandingkan tanaman iler dengan perlakuan dengan ekstrak
Tithonia, sehingga telur yang ada pada daun juga sedikit. Semakin
bertambah umur tanaman iler, semakin tinggi populasi imago sehingga
populasi telurpun semakin tinggi. Setiap hari terdapat telur yang diletakkan
oleh imago, selama itu juga terdapat telur yang menetas sehingga populasi
imago semakin banyak. Imago kutu kebul lebih menyukai daun muda pada
kedelai. Imago berada di bawah daun baik untuk mengisap cairan daun
ataupun meletakkan telur. Telur kutu kebul berbentuk oval, biasanya
tersebar di seluruh permukaan daun. Imago betina kutu kebul mampu
bertelur hingga mencapai 300 butir dalam setiap perkembangan hidupnya.
Ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 0,75% mampu
menghambat hinggapan B. tabaci. Ekstrak tersebut juga menunjukkan
hasil yang sama dengan konsentrasi (1,50%, 3,00%, 6,00%) dan
menyebabkan hinggapan B. tabaci dewasa secara signifikan lebih sedikit
daripada insektisida dengan senyawa aktif imidacloprid pada konsentrasi
0,50% setelah 72 jam aplikasi. Persentase hinggapan kutu kebul (B. tabaci)
setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete disajikan pada Gambar 29.
152
Gambar 29. Persentase hinggapan kutu kebul (B. tabaci) setelah aplikasi ekstrak
kulit biji jambu mete
Akumulasi metabolit sekunder dari ekstrak kulit biji jambu mete
pada permukaan daun kedelai menghambat hinggapan B. Tabaci. Jaringan
daun mengandung senyawa polifenol yaitu flavonoid dan tannin
(menyebabkan antifeedant). Imago serangga tersebut dapat melakukan
kontak dengan zat pencegah makan pada tanaman, sehingga menghambat
hinggapan.
E. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN INSEKTISIDA
NABATI
Banyak senyawa insektisida asal tumbuhan yang ditemukan sejak
akhir tahun 1960-an memiliki cara kerja yang spesifik. Misal, azadirakhtin
dan senyawa lain dari tanaman Meliaceae yang menghambat aktivitas
makan dan perkembangan serangga tetapi relatif aman terhadap vertebrata.
Sediaan insektisida mimba juga telah diketahui relatif aman terhadap lebah
dan beberapa musuh alami hama. Banyak senyawa insektisida botani baru
yang lebih bersifat sebagai racun perut sehingga peluang bahan tersebut
membunuh musuh alami atau serangga berguna lain secara kontak cukup
kecil. Bila suatu insektisida botani tidak dapat menekan populasi hama
153
sasaran sampai tingkat yang tidak merugikan, dengan cukup amannya
bahan insektisida tersebut terhadap musuh alami, populasi hama residu
diharapkan dapat ditekan lebih lanjut oleh musuh alami tadi.
Dalam suatu ekstrak tumbuhan, selain beberapa senyawa aktif
utama biasanya juga terdapat banyak senyawa lain yang kurang aktif,
namun keberadaannya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara
keseluruhan (sinergi). Serangga tidak mudah menjadi resisten terhadap
ekstrak tumbuhan dengan beberapa bahan aktif, karena kemampuan
serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa
yang berbeda sekaligus lebih kecil daripada terhadap senyawa insektisida
tunggal. Selain itu, banyak senyawa tumbuhan yang memiliki cara kerja
yang berbeda dengan insektisida sintetik yang umum digunakan saat ini,
sehingga ke-mungkinan terjadinya resistensi silang cukup kecil.
Insektisida nabati merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk
yang berasal dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu. Insektisida nabati ini bisa berfungsi sebagai
penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk lainnya.
Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang
bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan
kemampuan dan pengetahuan terbatas. Jika dirasa hama sudah mulai
resisten terhadap berbagai macam pestisida yang diberikan, langkah
selanjutnya yang perlu dilakukan adalah dengan penyemprotan dengan
pestisida nabati karena mempunyai sifat yang langsung terhadap nafsu
makan dan mempu mengusir hama yang resisten walau penyemprotan
tidak akan membunuh hama.
Walaupun secara keseluruhan insektisida nabati tidak dapat berperan
sebagai pengganti insektisida sintetik, namun setidaknya insektisida nabati
dapat mengurangi frekuensi penggunaan insektisida sintetik, apabila kedua
insektisida tersebut dipadukan. Oleh karena itu perlu dicari jenis tumbuhan
yang bersifat meracuni bagi hama serangga agar dapat dibuat sebagai
bahan utama insektisida nabati, karena beberapa laporan hasil penelitian
menyatakan bahwa penggunaan bahan tersebut aman terhadap lingkungan.
Berbeda jauh dibandingkan insektisida kimiawi yang lebih banyak
merugikan petani, insektisida nabati alami sekarang lebih banyak disukai
para petani. Dampak insektisida nabati umumnya lebih besar dibandingkan
154
dengan dampak negatifnya. Hal ini karena pestisida dari nabati ini mudah
sekali untuk terurai, baik terkena panas matahari, dianginkan maupun
terkena air hujan. Hal ini menyebabkan racun akan cepat hilang. Namun
demikian penggunaan atau penyemprotan insektisida nabati harus lebih
sering dilakukan, alasan utamanya karena insektisida nabati mudah sekali
untuk terurai, namun walaupun sering digunakan atau diaplikasikan
terhadap tanaman tidak akan terjadi efek samping diantaranya tertinggal
sisa racun atau residu terhadap tanaman. Oleh karena itu insektisida nabati
mempunyai beberapa keunggulan yaitu: 1) teknologi pembuatannya
mudah dan murah sehingga dapat dibuat dalam skala rumah tangga, 2)
tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun makhluk hidup
sehingga relatif aman untuk digunakan, 3) tidak berisiko menimbulkan
keracunan pada tanaman sehingga tanaman lebih sehat dan aman dari
cemaran zat kimia berbahaya, 4) tidak menimbulkan resistensi (kekebalan)
pada hama sehingga aman bagi keseimbangan ekosistem, dan 5) hasil
pertanian lebih sehat dan bebas dari residu pestisida kimiawi.
Selain keuntungan ditunjukkan oleh insektisida nabati. Insektisida
nabati juga mempunyai kelemahan. Beberapa kelemahan pestisida nabati
adalah: 1) daya kerjanya lambat, tidak dapat dilihat dalam jangka waktu
cepat, 2) pada umumnya tidak mematikan langsung hama sasaran, tetapi
hanya bersifat mengusir dan menyebabkan hama menjadi tidak berminat
mendekati tanaman budidaya, 3) mudah rusak dan tidak tahan terhadap
sinar matahari, 4) daya simpan relatif pendek sehingga harus segera
digunakan setelah diproduksi dan ini menjadi hambatan dalam
memproduksi pestisida nabati secara komersial, 5) perlu penyemprotan
berulang-ulang sehingga dari sisi ekonomi tidak efektif dan efisien.
F. KENDALA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
INSEKTISIDA NABATI
Walaupun insektisida nabati dianggap ramah lingkungan dan
biayanya relatif murah, terdapat beberapa faktor penghambat dalam
pengembangannya. Faktor penghambat tersebut adalah: 1) kegiatan
penelitian insektisida nabati belum terpadu (penelitian terputus-putus
sehingga informasi yang dihasilkan belum dapat dijadikan dasar bagi
pengembangan selanjutnya), 2) mahalnya biaya untuk mengembangkan
155
insektisida nabati (meliputi pemilihan jasad sasaran, pemilihan jenis bahan
aktif, penyediaan bahan baku, ekstraksi, pemurnian, pembuatan formulasi,
paten, registrasi, pabrikasi dan pemasaran), 3) kebiasaan petani dalam
menggunakan insektisida sintetis (banyak petani beranggapan penggunaan
pestisida sintetis dapat menjamin keselamatan hasil tanamannya sehingga
tetap diaplikasikan meskipun tanaman tidak diserang hama), 4) rendahnya
penguasaan teknologi pembuatan insektisida nabati (mulai penyediaan
bahan baku sampai produksi dan tanaman penghasil pestisida nabati belum
dibudidayakan petani), dan 5) insektisida sintetis mendominasi pasar
karena mudah dipakai dan mudah didapat serta hasilnya segera terlihat.
Strategi pengembangan pestisida nabati dapat dilakukan dengan: 1)
penyiapan bahan baku pestisida nabati sehingga tidak bergantung pada
alam, tetapi harus sudah mulai dibudidayakan dan dimasyarakatkan agar
petani mau menanam bahan baku pestisida, 2) teknik pengolahan yang
mudah dan murah agar pestisida nabati dapat disediakan sendiri oleh
petani, 3) peningkatan pemahaman masyarakat terhadap pestisida nabati
agar tidak bergantung pada pestisida sintetis, 4) distribusi dan pemasaran
pestisida nabati ke daerah sehingga petani mudah memperolehnya pada
saat memerlukannya, 5) penelitian dan pengembangan untuk mengatasi
kelemahan pestisida nabati selain memperoleh temuan baru, dan 6)
pengembangan indikator keberlanjutan, antara lain dapat dilihat dari: a)
keuntungan petani, b) penurunan pasokan pestisida kimia sintetis, c)
rendahnya residu pestisida kimia pada tanaman, tanah, dan air, serta d)
penerimaan masyarakat terhadap pestisida nabati.
G. RANGKUMAN
Penggunaan insektisida sintetis secara terus menerus akan
menyebabkan munculnya biotipe baru dan pencemaran lingkungan. Oleh
karena itu diperlukan pengembangan cara pengendalian kimiawi untuk
menggunakan insektisida yang lebih ramah lingkungan. Bahan insektisida
nabati harus mempunyai efektifitas pada dosis rendah atau memiliki
bioaktivitas tinggi agar mampu bersaing dengan produk insektisida sintetis
yang sudah ada di pasaran. Produksi insektisida nabati secara komersial
dan senyawa aktif harus mudah diekstraksi dan diformulasikan, serta
kandungan bahan aktifnya mudah dianalisis untuk menunjang standarisasi.
156
Berdasarkan cara kerjanya (sifatnya), pestisida nabati digolongkan
sebagai kelompok repelen, yaitu menolak kehadiran serangga misalnya
karena bau yang menyengat, kelompok antifeedant dapat mencegah
serangga memakan tanaman yang telah disemprot, menghambat
reproduksi serangga betina, sebagai racun syaraf dan dapat mengacaukan
sistem hormon di dalam tubuh serangga, kelompok atraktan, yakni
pestisida nabati yang dapat memikat kehadiran serangga sehingga dapat
dijadikan sebagai senyawa perangkap serangga dan juga untuk
mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri, serta kelompok insektisida
nabati yang menurunkan preferensi serangga dalam mengakses sumber
makanan.
Residu dari insektisida nabati lebih cepat hilang di alam
dibandingkan dengan insektisida sintetis, sehingga aman dikonsumsi
manusia. Pestisida nabati menjadi alternatif pengendalian hama yang aman
dibanding pestisida sintetis. Penggunaan pestisida nabati memberikan
keuntungan ganda, selain menghasilkan produk yang aman, lingkungan
juga tidak tercemar. Penggunaan insektisida nabati dapat dipadukan
dengan musuh alami bila bahan insektisida nabati tersebut tidak beracun
bagi musuh alami. Ekstrak kulit biji jambu mete juga toksik terhadap kutu
kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan larva Helicoverpa armigera.
Konsentrasi kulit biji jambu mete (0,75%−6,00%) menunjukkan persentase
aktivitas oviposisi yang jauh lebih rendah daripada insektisida dengan
bahan aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50%. Namun, pada
konsentrasi 6% menyebabkan gejala fitotoksisitas pada daun kedelai.
Ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 0,75% mampu menghambat
hinggapan B. tabaci. Ekstrak tersebut juga menunjukkan hasil yang sama
dengan konsentrasi (1,50%, 3,00%, 6,00%) dan menyebabkan hinggapan
B. tabaci dewasa secara signifikan lebih sedikit daripada insektisida
dengan senyawa aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50% setelah 72 jam
aplikasi.
Insektisida nabati mempunyai keunggulan dan kelemahan. Hal ini
karena pestisida dari nabati ini mudah sekali untuk terurai, baik terkena
panas matahari, dianginkan maupun terkena air hujan. Hal ini
menyebabkan racun akan cepat hilang. Namun demikian penggunaan atau
penyemprotan insektisida nabati harus lebih sering dilakukan, alasan
157
utamanya karena insektisida nabati mudah sekali untuk terurai, namun
walaupun sering digunakan atau diaplikasikan terhadap tanaman tidak
akan terjadi efek samping diantaranya tertinggal sisa racun atau residu
terhadap tanaman. Walaupun insektisida nabati dianggap ramah
lingkungan dan biayanya relatif murah, terdapat beberapa faktor
penghambat dalam pengembangannya. Oleh karena itu perlu strategi untuk
pengembangan insektisida nabati.
H. DAFTAR PUSTAKA
Amelot M.E.A, M. Avendaño, L. Aubert & J. L. Avila. 2003. Repellency
and feeding deterrence activity of Ageratum Conyzoides against
the stored grain pests Tribolium Castaneum and Sitophilus Oryzae.
Active plant parts and composition. Scientific Journal CIENCIA
11(1), 61-76.
Aranillewa S.T., T. Ekrakene & J.O. Akinneye. 2006. Laboratory
evaluation of four medicinal plants as protectants againts the
maize weevil, Sitophilus zeamais (Motsch). Afr. J. Biotechnol.
5(21): 2032-2036. http://www.academic journals.org/AJB.
Biebel R., E. Rametzhofer, H. Klapal, D. Polheim & H. Viernstein. 2003.
Action of pyrethrum-based formulations against grain weevils.
Int’l. J. Pharmaceutics 256(12): 175-181.
Bruinsma M., S. van Broekhoven, E.H. Poelman, M.A. Posthumus, M.J.
Muller, J.J.A. van Loon & M. Dicke. 2010. Inhibition of
lipoxygenase af-fects induction of both direct and indirect plant
defences against herbivorous insects. Oeco-logia 162(2):393-404.
Castano Q.K., M. Lerma & C. Echeverri. 2013. Toxicity of foliage
extracts Tithonia diversivolia (Asteraceae) on Atta cepalotes
(Hymenoptera: Myrmicinae) workers. Indus Crop Prod., 44: 391-
395.
Chan-Bacab M.J. & L.M. Pena-Rodriguez. 2001. Plant natural products
with leishmanicidal activity. Nat. Products Rep. 18: 674-688.
Dubey, N.K., B. Srivastava and A. Kumar. 2008. Current status of plant
products as botanical pesticides in storage pest management. J.
Biopesticides,1(2): 182-186.
158
Dumalang S. & M.Lengkong. 2011. Perilaku kawin, uji respond an
identifikasi spesies lalat buah pada belimbing, ketapang dan peria.
Eugenia, 17(3): 192-202.
FAO. 1988. Traditional Food Plants: A Resource Book for Promoting the
Exploitation Consumption of Food Plant in Arid, Semi-arid and
Sub-humid Lands of Eastern Africa. Rome: FAO Food and
nutrition paper 42.
Kardinan A. 2011. Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal
dalam pengendalian hama tanaman menuju sistem pertanian
organik. Pengembangan Inovasi Pertanian, 4(4): 262-278.
Mahardika I.B.P., N.M. Puspawati & I. A. G. Widihati. 2014. Identifikasi
senyawa aktif antifeedant dari ekstrak daun pangi (Pangium Sp)
dan uji aktivitasnya terhadap ulat kubis (Plutella Xylostella).
Jurnal Kimia, 8(2): 213-219.
Moreira M. D., M. C. Picanço, L. C. D. A. Barbosa, R. N. C. Guedes, M.
R. Campos, G. A. Silva & J. C. Martins. 2007. Plant compounds
insecticide activity against Coleoptera pests of stored products.
Pest agropec.bras., Brasília 42(7): 909−915.
Nurindah D.A., Sunarto, Sujak, N. Asbani & A.M. Amir. 2011.
Pemanfaatan Ekstrak Tanaman untuk Atraktan Predator dan
Parasitoid Wereng Kapas. Buletin Tanaman Tembakau, Serat &
Minyak Industri, 4(1): 21-31.
Pasaribu B.M., R. Astuti, Azwana, Maimunah & H. Zahara. 2007.
Pengaruh Metil Eugenol dari Bahan Tanaman Selasih Terhadap
Perkembangan Populasi Serangga Pada Tanaman Cabe Merah
Organik. Makalah Pada Temu Teknis Pejabat Fungsional
Departemen Pertanian. Bogor, 21-22 Agustus 2007.
Runyoro D., O. Ngassapa, K. Vagionas, N.A. Grai-kou & I.K. Chinou.
2010. Chemical composition and antimicrobial activity of the
essential oils of four Ocimum species growing in Tanzania. Food
Chemistry, 119: 311-316.
Shahabuddin. 2011. Efektivitas ekstrak daun selasih (Ocimum Sp.) DAN
DAUN WANGI (Melaleuca bracteata L.) sebagai atraktan lalat
buah pada tanaman cabai. J. Agroland, 18 (3) : 201- 206.
159
Susanti D., R.Widyastuti
& A. Sulistyo. 2015. Aktivitas antifeedant dan
antioviposisi ekstrak daun tithonia terhadap kutu kebul. Agrosains,
17(2): 33-38.
Unsicker S.B., G. Kunert & J. Gershenzon. 2009. Protective perfumes: the
role of vegetative vo-latiles in plant defense against herbivores.
Current Opinion in Plant Biology, 12(4):479-485.
I. PELATIHAN
1. Jelaskan tanaman yang menjadi awal sejarah dari insektisida nabati
dan mengapa orang meninggalkan insektisida nabati, meskipun
insektisida nabati mempunyai prospek yang sangat cerah.
2. Sebutkan beberapa pendekatan untuk pencarian insektisida nabati.
3. Ap perbedaannya penggunaan ekstrak kasar dan murni dari bahn
tanaman untuk segi fitotoksisitas pada tanaman.
4. Jelaskan mekanisme insektisida nabati untuk melindungi tanaman
dari serangan hama.
5. Sebutkan dan jelaskan penggolongan insektisida berdasarkan cara
kerjanya. Berikan pula contoh.
6. Sebutkan beberapa cara untuk meningkatkan efektivitas atraktran
sebagai salah satu teknik pengendalian.
7. Apa manfaat penggunaan senyawa penghambat dari ekstrak
tanaman. Sebutkan senyawa tersebut.
8. Bagaimana melakukan pencarian bahan insektisida nabati.
9. Sebutkan keunggulan dan kelemahan insektisida nabati.
10. Sebutkan kendala dan strategi untuk pengembangan insektisida
nabati.
160
BAB VI.
ANTIVIRAL NABATI
A. DASAR PIKIRAN
Usaha pengendalian virus pada tanaman telah banyak dilakukan
dengan pengendalian populasi vektornya dengan insektisida, dan
penggunaan penghalang fisik, serta varietas resisten tetapi keberhasilan
ketiga cara ini belum konsisten. Sejauh ini tanaman resisten terhadap virus
tidak mencukupi untuk pertanaman di lapangan. Bahkan beberapa tanaman
tidak memiliki sumber gen tahan untuk virus-virus tertentu. Meskipun
demikian, ekstrak nabati dapat mengaktifkan ketahanan tanaman untuk
mengendalikan serangan virus sebagai salah satu cara pengendalian virus
secara nabati dan mempunyai kelebihan dibandingkan pengendalian
dengan penggunaan pestisida.
Setelah mempelajari Bab VI ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami: (1) Penggunaan ekstrak tanaman sebagai antiviral; 2)
mekanisme Systemic Acquired Resistance (SAR) dalam pertahanan
tanaman; 3) hubungan reaksi hypersensitif dengan tanaman yang terinfeksi
virus; 4) peranan asam salisilat sebagai penghambat pergerakan sistemik
virus; 5) induksi ketahanan dengan ekstrak tanaman.
B. PENGGUNAAN EKSTRAK TANAMAN SEBAGAI
ANTIVIRAL
Tanaman akan mempertahankan diri terhadap serangan patogen.
Pertahanan tanaman dapat dilakukan secara fisik dan kimia. Ketahanan
tanaman terinduksi adalah fenomena dimana terjadi peningkatan ketahanan
tanaman terhadap infeksi oleh patogen setelah terjadi rangsangan.
Ketahanan ini merupakan perlindungan tanaman bukan untuk
mengeliminasi patogen tetapi lebih pada aktivitas dari mekanisme
pertahanan tanaman. Ketahanan terinduksi dikategorikan sebagai
perlindungan secara biologi pada tanaman dimana tanaman adalah target
metode ini bukan patogennya. Induksi resistensi atau imunisasi atau
161
resistensi buatan adalah suatu proses stimulasi resistensi tanaman inang
tanpa introduksi gen-gen baru. Induksi resistensi menyebabkan kondisi
fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan atau
menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang.
Pengendalian virus tanaman sukar dilakukan karena virus mudah
tersebar melalui vektor dan mempunyai kisaran inang yang luas serta
belum ada virusida. Penyakit virus pada tanaman sering dilakukan dengan
pestisida untuk menekan populasi vektor virus, sanitasi, penggunaan
vaksin CARNA 5, dan penggunaan varietas tahan. Penggunaan pestisida
mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, manusia, dan sumber
daya hayati serta tidak efektif. Pengendalian virus tanaman yang relatif
mudah adalah menggunakan varietas tahan. Beberapa tantangan dalam
mendapatkan varietas tahan adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan satu varietas tanaman yang tahan, dan tidak efektifnya sifat
ketahanan terhadap satu patogen dikarenakan timbulnya ras-ras baru yang
lebih virulen. Dalam mendapatkan varietas yang tahan, para pemulia
tanaman lebih banyak mengoptimalkan gen-gen ketahanan. Sedangkan
gen-gen pertahahan yang dimiliki oleh tanaman yang tahan maupun rentan
belum dimanfaatkan.
Upaya pengendalian dengan pengaktifan gen pertahanan dari
tanaman merupakan salah satu cara pengendalian virus secara hayati dan
mempunyai kelebihan dibandingkan pengendalian dengan menggunakan
pestisida. Aktifitas gen pertahanan dapat dipicu dengan menggunakan agen
penginduksi. Ketahanan penyakit terimbas merupakan proses ketahanan
aktif yang tergantung pada penghalang fisik atau kimia tanaman inang dan
diaktifkan oleh agensia biotik atau abiotik (agensia pengimbas) untuk
dapat melindungi tanaman terhadap patogen. Ketahanan terimbas
merupakan daya peningkatan pertahanan yang dikembangkan tanaman
karena adanya rangsangan yang sesuai. Ketahanan sistemik dari suatu
tanaman dapat diaktifkan dengan menginduksi gen-gen ketahanan yang
terdapat di dalam tanaman. Pemanfaatan substansi antivirus dari ekstrak
tanaman dilaporkan mampu untuk mengendalikan beberapa virus karena
mengandung Ribosome inactivating proteins (RIPs) dan juga merupakan
salah satu agen yang dapat menginduksi ketahanan sistemik suatu
tanaman.
162
Pada umumnya, ketahanan terimbas adalah ketahanan sistemik. Hal
ini terjadi karena daya pertahanan ditingkatkan tidak hanya pada bagian
tanaman yang terinfeksi, tetapi juga pada jaringan terpisah tempat yang
tidak terinfeksi. Oleh karena bersifat sistemik, ketahanan terimbas
umumnya dirujuk sebagai SAR (Systemic Acquired Resistence). Akan
tetapi, ketahanan terimbas tidak selalu ditampakkan secara sistemik, dapat
juga ditampakkan secara setempat (Locally Acquired Systemic = LAR),
meskipun keaktifannya sama terhadap beragam tipe patogen tanaman.
Beberapa ciri SAR antara lain, SAR diperoleh setelah inokulasi
dengan necrotizing patogen, Hipersensitive Reaction, atau aplikasi dari
beberapa bahan kimia untuk menghadapi serangan pathogen,
membutuhkan asam salisilat sebagai molekul sinyal pada tanaman dan
disertai dengan induksi pathogenesis related protein. Semua tanaman
mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan serangan patogen. Hal
ini karena tanaman mempunyai pertahanan mekanis dan kimia yang dapat
mencegah infeksi. Selain itu, ketahanan tanaman terbentuk karena
mekanisme agensia pengendali hayati yang mampu menurunkan jumlah
sisi infeksi dan membatasi pertumbuhan patogen selama tahap infeksinya.
Mekanisme tersebut gagal ketika tanaman diinfeksi oleh patogen virulen
karena patogen mencegah adanya reaksi ketahanan atau menghindari
pengaruh pengaktifan ketahanan. Apabila mekanisme ketahanan dapat
dipacu lebih dulu sebelum adanya infeksi patogen tanaman, maka penyakit
dapat dikurangi. SAR membutuhkan asam salisilat sebagai molekul
singnal dalam tubuh tumbuhan. Induce systemic Resistence (ISR)
melibatkan ekspresi gen terpisah dari PR protein sedangkan SAR
melibatkan induksi dari gen pathogenesis related protein (PR protein)
yaitu suatu protein yang mampu menghambat perkembangan penyakit
tanaman. SAR tergantung pada tanaman dan elisitor patogen, ketahanan
akan muncul pada periode tertentu dengan mengkorespondensikan waktu
yang dibutuhkan untuk akumulasi PR-protein (dan transkripsi) dan
produksi asam salisilat pada tanaman inang. SAR membutuhkan akumulasi
asam salisilat atau PR-protein dalam sistem regulasi.
Terdapat sedikitnya dua komponen utama yang berperan dalam
mekanisme SAR, yaitu gen penanda molekuler SAR dan asam salisilat
(salicylic acid). Telah diketahui bahwa penanda tersebut kemudian disebut
163
sebagai gen SAR. Hasil analisa terhadap protein yang kemudian disebut
sebagai protein SAR diklasifikasikan sebagai PR protein Gen yang
mengekpresikan SAR dihubungkan secara kolektif dengan gen SAR dan
termasuk beta 1,3 glukanase, PR-1 protein, kitinase dan osmotin-like
protein.SAR juga dikarekterisasi oleh hubungan akumulasi kordinasi
mRNA yang mengkode satu set gen SAR. Ekpresi dari gen ini terdiri dari
14 family gen yang berhubungan dengan banyak gen yang mengkode PR
protein yang juga termasuk kriteria yang dapat dihubungkan SAR dengan
berbagai respon ketahanan.
Keberadaan peningkatan salicylic acid yang berhasil dideteksi pada
bagian daun sistemik dan floem tanaman menunjukan bahwa komponen
kimia tersebut berperan sebagai system signal SAR. Salicylic acid adalah
komponen yang dibutuhkan dalam jalur signal transduksi untuk induksi
SAR, suatu bentuk peningkatan ketahanan tanaman melawan patogen
berspektrum luas. Penggerak untuk sintesis SA dan induksi SAR adalah
pengenalan dari invasi mikroorganisme oleh gen penghasil resistensi.
Seringkali pengenalan ini disertai oleh respon hipersensitif, suatu bentuk
kematian sel inang secara cepat pada bagian sekitar titik masuk patogen.
Penggunaan ekstrak tumbuhan merupakan salah satu upaya yang
perlu dikaji untuk mendapatkan salah satu cara yang dapat mengendalikan
virus. Mekanisme pertahanan secara alami, Systemic activated resistance
(SAR) atau ketahanan sistemik terinduksi (KST) pada tanaman membantu
untuk melindungi tanaman tersebut dari serangan penyakit. Usaha untuk
menjadikan tanaman memperoleh KST disebut sebagai imunisasi tanaman.
Ketahanan sistemik terinduksi dapat dipicu oleh agen biologis seperti
mikroorganisme nonpatogenik, bahan organik tertentu, atau dengan bahan
kimia. Ketahanan sistemik terinduksi (KST) adalah fenomena yang paling
sering dipelajari karena merupakan bentuk perlindungan jangka panjang.
Masa kini banyak beredar secara komersial bioactivator untuk
mendayagunakan SAR menjadi sistem perlindungan tanaman, salah satu
bahan kimia yang dapat mengaktifkan gen pertahanan tanaman (plant
activator) adalah Benzotiadiazol. Bioactivator ini tidak secara langsung
dapat mengatasi serangan patogen dan tidak bersifat sebagai fungisida atau
insektisida. Namun dapat merangsang terbentuknya pertahanan tanaman
secara sistemik yang memungkinkan tanaman tidak terinfeksi patogen.
164
Plant activator benzotiadiazol 1% yang dicampur dengan mancozeb 48%
dengan konsentrasi 2,5 dan 5 g/l dapat menekan penyakit antraknos pada
cabai sebesar 90-96%. Plant activator yang diproduksi CIBA tahun 1991
dengan nama dagang Acibenzolar-s Methyl telah dibuktikan ampuh dalam
mengendalikan berbagai penyakit penting pada tanaman cabai, tomat, dan
kentang.
C. MEKANISME PERTAHANAN SECARA ALAMI
TERHADAP VIRUS DENGAN EKSTRAK TANAMAN
Perlakuan ekstrak bunga pukul empat mampu menekan Bean
common mosaic virus (BCMV). Hal ini kemungkinan karena senyawa
aktif bunga pukul empat (Mirabilis jalapa) yang disebut sebagai protein
antivirus dan dikenal sebagai Ribosome inactivating protein (RIPs). RIPs
juga terdapat pada ekstrak akar dan daun M. jalapa dan disebut sebagai
Mirabilis antiviral protein (MAP). MAP dapat mencapai daerah aktif
ribosom terlebih dahulu sehingga dapat mencegah infeksi virus pada tahap
awal sebelum virus mengalami deenkapsidasi.
Gen pengendali pertahanan tubuh tanaman merupakan gen yang
terdapat pada tanaman baik yang mempunyai sifat resisten atau rentan.
Gen ini mengatur sintesis senyawa-senyawa yang disintesis tanaman
sebagai respons terhadap rangsangan (elicitor) atau pemicu (inducer) oleh
patogen atau faktor-faktor lain. Ketahanan sistemik terinduksi dapat juga
dipicu/dirangsang oleh ekstrak tumbuhan. Kemampuan ekstrak daun
menekan virus menunjukkan bahwa tanaman ini mengandung inhibitor
virus dan memiliki aktivitas antiviral atau virus inhibitor. Virus inhibitor
mengandung zat untuk mencegah infeksi virus yang terdapat pada sap
bahan tanaman tertentu. Beberapa bahan ekstrak tanaman mampu
menginduksi respons pertahanan tanaman yang sistemik terhadap virus.
Beberapa tanaman seperti bunga pukul empat (M. jalapa Linn.), bayam
duri (Amaranthus spinosus Linnaeus.), pagoda (Clerodendrum japonicum
Lhunb.), beluntas (Pluchea indica (L). Less.), iler/jawer kotok (Coleus
scutellarioides, Linn, Benth.), kenikir (Tagetes erecta L.), nimba
(Azadirachta indica A. Juss.), sirsak (Annona muricata, Linn.), dan tapak
dara (Catharantus roseus L.), kulit biji jambu mete (Anacardium
occidentale L.) berpotensi menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang
165
merupakan analog dengan asam salisilat yang bersifat sebagai antioksidatif
seperti senyawa alkaloid, flavonoid, fenol, steroid, dan terpenoid
(Vardhana 2011, Andayanie et al., 2019). Senyawa turunan asam salisilat
yang terkandung dalam ekstrak daun pagoda diduga dapat berperan dalam
menginduksi teraktifkannya systemic acquired resistance melalui jalur
asam salisilat-phenyl propanoid (Vogt, 2010). Asam salisilat merupakan
komponen kunci dari jalur sinyal transduksi yang mengaktivasi gen
ketahanan terhadap berbagai macam jamur, bakteri dan virus secara
sistemik. Peranan asam salisilat adalah sebagai penghambat pergerakan
sistemik virus secara tidak langsung melalui pembuluh tanaman inang,
sehingga sifatnya menunda gejala penyakit. Senyawa ini diduga dapat
menurunkan intensitas warna gejala bercak kuning dan malformasi serta
meningkatkan jumlah lesio lokal pada tanaman inang. Genom tanaman
mempunyai reseptor dan mengenali virus yang masuk ke dalam sel
tanaman, sehingga menyebabkan respon ketahanan terhadap tanaman.
Ketahanan sistemik yang diperoleh tersebut memberikan sinyal
pertahanan pada tempat patogen berada. Sinyal ini mempunyai sifat
sistemik dan bergerak dalam floem. Pada tempat terjadinya infeksi, asam
salisilat dan PR-Protein (pathogenesis related protein) terakumulasi sangat
banyak. Peningkatan akumulasi asam salisilat merupakan bentuk reaksi
cepat dari tanaman untuk melawan infeksi virus, yaitu dengan
memobilisasi metabolit sekunder. Hal ini ditunjukkan dengan kadar asam
salisilat pada daun tembakau yang sebelumnya diinokulasi CMV
meningkat sebanyak 70 kali dibandingkan sebelum diinokulasi CMV.
Asam salisilat (SA) mempunyai peran sebagai molecule system
signal dan menginduksi pembentukan pathogenesis related (PR) protein
serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Chen et
al. 2010). Oleh karena itu asam salisilat sebagai penghambat pergerakan
sistemik virus secara tidak langsung melalui pembuluh tanaman inang
sehingga sifatnya hanya menunda gejala penyakit dan merupakan reseptor
yang akan terbentuknya PR protein. Kondisi ini dan tidak aktifnya gen
pertahanan apabila tidak ada rangsangan patogen (infeksi) maka
manipulasi buatan terhadap sistem pertahanan tersebut diharapkan untuk
menginduksi timbulnya pertahanan tanaman. Gen pertahanan mengatur
sintesis senyawa-senyawa metabolit sekunder, yang hanya efektif jika ada
166
serangan patogen. Gen-gen pertahanan sering terlambat berfungsi atau
produk yang disintesisnya tidak mencapai jumlah yang cukup untuk
melawan patogen. Gen-gen pertahanan memerlukan waktu yang cukup
supaya efektif untuk mengekspresikan diri. Gen pertahanan untuk menjadi
aktif perlu adanya faktor penginduksi.
Menurut Gautam & Stein (2011), asam salisilat merupakan
komponen kunci dari jalur sinyal transduksi untuk mengaktivasi gen
ketahanan terhadap berbagai macam jamur, bakteri dan virus secara
sistemik. Ketahanan sistemik yang diperoleh tersebut memberikan sinyal
pertahanan pada tempat patogen berada. Sinyal ini bersifat sistemik dan
bergerak dalam floem. Pada tempat terjadinya infeksi, asam salisilat dan
PR-Protein (pathogenesis related protein) terakumulasi sangat banyak.
Oleh karena itu, secara tidak langsung mempunyai sifat menunda gejala
penyakit melalui pembuluh tanaman inang. Elbeshehy (2017) juga
melaporkan aktivitas antiviral langsung berinteraksi dengan partikel virus
pada awal infeksi dan memblok asam nukleat untuk menghentikan
replikasi virus. Oleh karena itu asam salisilat merupakan senyawa penting
bagi tanaman berperan dalam proses pertahanan terhadap patogen.
Tanaman cabai yang diberi perlakuan ekstrak tanaman dan di
diinfeksi virus kuning keriting mempunyai pita protein yang lebih tebal
dibandingkan dengan yang hanya diberi ekstrak saja. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh adanya respons tanaman terhadap ekstrak tanaman dan
virus kuning keriting. Pada tanaman cabai sehat tidak tampak adanya pita
protein, sedangkan pada tanaman yang terinfeksi virus kuning keriting
yang diakibatkan oleh virus gemini (kontrol positif) pita protein tanaman
terinfeksi lebih tipis dibandingkan tanaman cabai diberi perlakuan ekstrak.
Ekspresi pita menjadi lebih tipis diduga terjadi karena adanya penurunan
akibat aktivitas gen-gen pengkode protein tertentu pada tanaman yang
terinfeksi virus kuning keriting. Ketebalan pita protein menunjukkan
konsentrasi protein tersebut, protein dengan intensitas yang lebih tebal
memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. PR-Protein berpengaruh pada
pencegahan, multiplikasi, penyebaran, dan lokalisasi virus pada jaringan
yang diinduksi. Hasil analisis SDS-PAGE terlihat ada perbedaan pola pita
protein antara tanaman yang diberi perlakuan ekstrak dan diinfeksi virus
kuning keriting (Gambar 29).
167
Gambar 30. Pola pita protein pada inducer terpilih berdasarkan hasil
elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid (SDS- PAGE 10%).
(Inducer protein banding pattern was chosen based on results using
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE 10%) (Gunaeni et
al., 2018). (1)Tanaman cabai + pagoda (2) tanaman cabai + pagoda
+ virus kuning keriting (3) tanaman cabai + tapak dara (4) tanaman
cabai + tapak dara + virus kuning keriting (5) tanaman cabai +
nimba (6) tanaman cabai + nimba + virus kuning keriting (7) tanaman cabai + beluntas + virus kuning keriting (8) tanaman cabai
+ beluntas (9) tanaman cabai sehat, dan (10) tanaman cabai
terinfeksi virus kuning keriting
Hasil analisis kandungan protein pada tanaman cabai terlihat ekstrak
daun pagoda dan tapak dara memberikan hasil yang terbaik dalam
menginduksi ketahanan tanaman cabai terhadap virus kuning keriting.
Mekanisme penginduksi ketahanan tanaman oleh ekstrak tanaman
terhadap virus adalah disebabkan oleh protein berukuran 34 kDa dalam
ekstrak daun C. japonicum (pagoda) dapat berfungsi sebagai agen
penghambat virus, penghambat replikasi, dan sebagai protein penghambat
virus. Pada C. roseus (tapak dara) mempunyai senyawa aktif bersifat
antimikrobial dengan kandungan gula terlarut serta protein yang dominan
dalam peningkatan produksi tanaman.
Analisis kandungan asam salisilat dilakukan pada ekstrak pagoda
dan tapak dara dengan menggunakan alat HPLC diperoleh waktu retensi
yang hampir sama antara sampel cabai merah yang diinduksi ekstrak
tanaman yaitu 10,85 menit dengan standar asam salisilat yaitu 10,57 menit.
Sampel tanaman cabai yang diuji tersebut mengandung asam salisilat.
Analisis kualitatif diperoleh dengan menghitung perbandingan luas puncak
standar asam salisilat. Hasil analisis kandungan asam salisilat sampel
168
tanaman cabai merah yang diberi perlakuan induksi ekstrak tanaman
memperlihatkan perbedaan dengan tanaman cabai tanpa induksi (kontrol).
Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai dapat dilihat pada (Gambar
30).
Gambar 31. Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah yng diinduksi
oleh ekstrak tanaman (Gunaeni et al., 2015)
Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah yang diinduksi
dengan ekstrak tanaman mencapai 2,49–3,79 µg/g atau 53,99–134,38%
ternyata sudah mampu mengaktifkan ketahanan tanaman cabai merah
terhadap virus kuning keriting. Kandungan asam salisilat pada tanaman
cabai merah yang diinduksi ekstrak tanaman diduga berasal dari senyawa -
senyawa yang terkandung dalam ekstrak tanaman yang dapat
meningkatkan kandungan asam salisilat dalam tanaman cabai. Untuk
tanaman sehat yang tidak diinduksi (kontrol sehat) terlihat kandungan
asam salisilat lebih rendah (1,51 µg/g) dibandingkan tanaman yang
terinfeksi virus kuning keriting (1,62 µg/g).
Penyebaran virus terhambat jika menginduksi Hipersensitive
reaction (HR) efek yang tergantung pada satu atau lebih mekanisme yang
diatur oleh asam salisilat. Pembatasan virus tidak hanya disebabkan oleh
terperangkapnya sel-sel mati atau sekarat. Sebagai contoh, partikel viable
dari Tobacco mosaic virus (TMV) tetap ada dalam sel yang masih hidup di
pinggiran lesio HR selama hampir 2 minggu setelah induksi nekrosis.
Tanaman tembakau memiliki gen resistensi N untuk mengekspresikan
protein fluorescent hijau (GFP). Pengamatan mikroskopi dari fluoresensi
169
lesio HR yang diinduksi oleh TMV mengungkapkan bahwa ekspresi GFP
(dan karena itu ekspresi gen virus) terjadi dalam sel hidup yang berdekatan
dengan tepi lesi. Bukti tambahan menunjukkan bahwa kematian sel dalam
HR tidak dapat menjelaskan lokalisasi virus berasal dari studi induksi HR
oleh Cucumber mosaic virus (CMV) dan Cauliflower mosaic virus
(CaMV). Ini menunjukkan bahwa urutan gen virus yang bertanggung
jawab untuk induksi kematian sel berbeda untuk mengkondisikan
resistensi terhadap penyebaran virus.
Asam salisilat menginduksi penghambatan replikasi virus mosaik
Alfalfa (AlMV) dalam protoplas kacang tunggak. Beberapa penelitian
menemukan bahwa akumulasi dari TMV RNA, protein mantel dan viral
RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) aktivitasnya dihambat oleh asam
salisilat dalam daun yang diinokulasi dari tembakau tipe-nn geno (yaitu
yang rentan TMV). Ditemukan juga bahwa akumulasi RNA virus Potato
virus X (PVX) dihambat di lokasi inokulasi pada tanaman tembakau yang
diperlakukan asam salisilat, sehingga menghambat replikasi virus.
Penghambatan replikasi virus bukan satu-satunya efek antivirus yang
disebabkan oleh asam salisilat. Pengamatan situs infeksi TMV. Protein
fluorescent hijau dan studi replikasi TMV di protoplas menunjukkan
bahwa resistensi yang diinduksi asam salisilat terhadap TMV dihasilkan
dari penghambatan baik replikasi virus dan pergerakan virus melalui
plasmodesmata yang menghubungkan sel yang berdekatan. Penghambatan
replikasi terjadi pada sel mesofil, sementara pembatasan pergerakan sel ke
sel terjadi pada lapisan sel epidermis. Hal ini mengindikasikan tanaman
yang terinfeksi virus ternyata kandungan asam salisilatnya meningkat.
Peningkatan akumulasi asam salisilat merupakan bentuk reaksi cepat dari
tanaman untuk melawan infeksi virus, yaitu dengan memobilisasi
metabolit sekunder. Oleh karena itu peran asam salisilat sebagai
penghambat pergerakan sistemik virus secara tidak langsung melalui
pembuluh tanaman inang sehingga sifatnya hanya menunda gejala
penyakit.
D. AKTIVITAS ANTIVIRAL
Ketahanan sistemik tanaman dapat diaktifkan dengan pemanfaatan
agens penginduksi untuk menginduksi gen-gen ketahanan yang terdapat di
170
dalam tanaman. Senyawa aktif berupa protein di dalam ekstrak tanaman
sebagai agen penginduksi dapat menyebabkan tanaman lain menjadi imun
terhadap virus. Aktivitas antivirus dari ekstrak tumbuhan dan bahan kimia
sintetis mengandung senyawa inhibitor yang berinteraksi dengan partikel
virus pada tahap awal infeksi dan memblokir pembebasan asam
nukleatnya, sehingga terjadi penghentian penggandaan virus. Aktivitas
antivirus dari produk termasuk ekstrak tumbuhan dan bahan kimia sintetis
terhubung ke komponennya yang dapat bertindak langsung melalui
interaksi dengan partikel virus pada tahap awal infeksi dan memblokir
pembebasan asam nukleatnya yang akhirnya dapat menyebabkan
penghentian penggandaan virus.
Senyawa dari ekstrak penginduksi dapat bertindak secara tidak
langsung sebagai pemicu menginduksi agen resistensi sistemik pada
tanaman terhadap virus. Ekstrak penginduksi seperti: bunga pukul empat
(M. jalapa Linn.), bayam duri (Amaranthus spinosus Linnaeus.), pagoda
(C. japonicum Lhunb.), beluntas (Pluchea indica (L). Less.), iler/jawer
kotok (Coleus scutellarioides, Linn, Benth.), kenikir ( Tagetes erecta L.),
nimba (Azadirachta indica A. Juss.), sirsak (Annona muricata, Linn.), dan
tapak dara (C. roseus L.), kulit biji jambu mete (Anacardium occidentale
L.) efektif mengurangi konsentrasi virus pada tanaman indikator dan
tanaman inang serta keterbelakangan perkembangan gejala virus.
Perlakuan aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete dengan berbagai
konsentrasi memberikan kemampuan yang berbeda untuk menginduksi
ketahanan pada tanaman kedelai terhadap CPMMV. Pengamatan terhadap
kejadian penyakit dan intensitas penyakit dilakukan sejak awal gejala
bercak kuning jelas secara visual nampak pada tanaman uji saat 21 HSI.
Gejala menampakkan bercak kuning samar, kemudian berkembang
menjadi bergejala bercak kuning jelas dan agak mosaik tergantung aplikasi
ekstrak kulit biji jambu mete sebagai penginduksi terhadap infeksi
CPMMV. Perlakuan ekstrak kulit biji jambu mete dengan konsentrasi
(0,75 %; 1,50 %) pada pra-inokulasi CPMMV dan konsentrasi (0,75 %;
1,50 %; 3,00 %) pasca inokulasi CPMMV menampakkan gejala bercak
kuning jelas dan tidak berkeriput pada daun saat 21 HSI. Gejala ini
nampak lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pada kontrol positif.
Perlakuan kontrol positif menunjukkan gejala bercak kuning sangat jelas
171
dan agak mosaik, kemudian berkembang menjadi mosaik sangat parah
sampai akhir pengamatan, sehingga sebagian tanaman mati. Kemampuan
ekstrak menekan virus menunjukkan bahwa ekstrak kulit biji jambu mete
mengandung inhibitor virus dan memiliki aktivitas antiviral. Pengaruh
aplikasi induksi ekstrak kulit biji jambu mete terhadap kejadian penyakit
(KP) pada tanaman kedelai disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji jambu mete terhadap
kejadian penyakit pada tanaman kedelai
Inokulasi ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 6,00% di
dalam sap CPMMV ke tanaman kedelai tidak menunjukkan perkembangan
kejadian penyakit dan intensitas penyakit saat 21 HSI. Persentase kejadian
penyakit sejak 28 HSI pada perlakuan ekstrak kulit biji jambu mete pada
konsentrasi (3,00%; 6,00%) dengan pra-inokulasi CPMMV dan perlakuan
pencampuran ekstrak kulit biji jambu mete pada masing-masing
konsentrasi 3,00% dan 6,00% dengan sap CPMMV tidak mengalami
peningkatan dan gejala nampak konsisten sesuai dengan bertambahnya
umur tanaman sampai 49 HSI. Selain itu, persentase intensitas penyakit
sejak 28 HSI tidak menunjukkan peningkatan pada perlakuan di dalam
172
campuran ekstrak kulit biji jambu mete pada masing-masing konsentrasi
(3,00 %; 6,00 %) di dalam sap CPMMV.
Tabel 24. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji jambu mete terhadap
intensitas penyakit pada tanaman kedelai
Induksi ketahanan dengan ekstrak kulit biji jambu mete tidak
membuat tanaman tidak terserang sama sekali, tetapi untuk meningkatkan
ketahanan dari tanaman terhadap CPMMV dengan menghambat
perkembangan penyakit. Hal ini diduga karena bekerjanya gen pertahanan
secara sistemik, sehingga menghambat perkembangan intensitas serangan
pada tanaman kedelai. Gen-gen pertahanan tanaman memerlukan induser
dan waktu yang cukup supaya efektif untuk mengekspresikan diri.
Intensitas serangan akan menunjukkan semakin rendah dengan semakin
rendahnya skor keparahan penyakit. Aktivitas antiviral dari ekstrak kulit
biji jambu mete diduga berperan untuk mengaktifkan ketahanan sistemik
terinduksi (KST) terhadap CPMMV. Menurut Andayanie et al (2011) dan
Gunaeni et al. (2015), kejadian penyakit dan intensitas penyakit mosaik
kedelai mempunyai hubungan dengan waktu infeksi, umur tanaman saat
terinfeksi dan lingkungan serta induksi ketahanan dengan berbagai
perlakuan eksternal.
173
Ekstrak kulit biji jambu mete mengandung asam anakardat (6-
pentadecylsalicylic acid) sebesar 76,93% sebagai senyawa bioaktif yang
merupakan turunan dari asam salisilat (Andayanie et al., 2019). Ekstrak
daun pagoda juga mempunyai senyawa turunan asam salisilat dan berperan
untuk Systemic Acquired Resistance (SAR) melalui jalur asam salisilat-
phenil propanoid. Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah
yang diberi inducer tanaman pagoda dan tapak dara lebih tinggi
dibandingkan tanaman yang terinfeksi oleh virus keriting. Asam salisilat
memicu terbentuknya Pathogenesis Related protein (PR protein) dan
mencegah multiplikasi, penyebaran serta lokalisasi virus (Vogt, 2010;
Kristyaningrum et al., 2015; Gunaeni et al., 2015). Saat ini belum ada
laporan ekstrak kulit biji jambu mete mampu mengaktifkan gen-gen
pengendali pertahanan pada tanaman sebagai reaksi terhadap infeksi
patogen. Namun demikian beberapa aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete
sebagai inducer mempunyai potensi sebagai penginduksi ketahanan
terhadap CPMMV pada tanaman kedelai. Hal ini ditunjukkan dari potensi
ekstrak kulit biji jambu mete dan aplikasinya sebagai penginduksi terhadap
infeksi CPMMV mempunyai nilai Area under diseases progress curve
(AUDPC) yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif atau
tanaman hanya diinokulasi CPMMV tanpa perlakuan ekstrak. Semakin
tinggi nilai AUDPC semakin rendah persentase penghambatannya secara
lokal dan sistemik (Tabel 25).
Tabel 25. Potensi ekstrak kulit biji jambu mete sebagai penginduksi terhadap
infeksi CPMMV
174
Penghambatan secara lokal pada tanaman indikator (Chenopodium
amaranticolor) dan sistemik pada tanaman inang dari ekstrak kulit biji
jambu mete mempunyai nilai rata-rata, masing-masing 74,83% dan
56,35%. Perlakuan ekstrak pra- inokulasi CPMMV pada konsentrasi
(3,00%; 6,00%) dan pasca inokulasi CPMMV pada konsentrasi 6,00%
serta pencampuran dengan sap CPMMV pada konsentrasi (1,50%; 3,00%;
6,00%) mempunyai persentase penghambatan lokal dan sistemik di atas
rata-rata. Hal ini menunjukkan perlakuan tersebut mampu menginduksi
ketahanan terhadap CPMMV pada tanaman kedelai. Selain itu perlakuan
pencampuran ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 6,00% di
dalam sap CPMMV mempunyai nilai AUDPC terendah (5,25) dan
persentase penghambatan lokal dan sistemik tertinggi masing-masing
sebesar 97,85% dan 85,21%. Nilai AUDPC ini diikuti oleh perlakuan
ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 1,50% di dalan sap
CPMMV dan ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi (6,00% dan
3,00%) dengan pra inokulasi CPMMV masing-masing sebesar 32,29;
39,82; 50,44. Ekstrak kulit biji jambu mete dengan konsentrasi 3,00% akan
mempunyai aktivitas daya hambat, jika diberikan sebelum terjadi infeksi
virus dan tidak menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman kedelai di
lapangan. Daya hambat terhadap infeksi CPMMV lebih tinggi pada
konsentrasi yang lebih pekat, tetapi ekstrak kulit biji jambu mete dengan
konsentrasi 6,00% menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman kedelai.
Substansi aktivitas antiviral dari ekstrak tanaman banyak diakui
sebagai protein dasar. Protein-protein tersebut secara tidak langsung
mempunyai hubungan dengan pencegahan infeksi virus, melainkan
memicu sistim metabolisme tanaman untuk mensintesis protein baru dan
digunakan untuk menghambat virus. Selain itu ribosom inang digunakan
dalam fungsi uncoat dan sintesis replikase pada tahap awal infeksi virus
menjadi tidak aktif oleh protein tanaman. Inaktivasi ribosom inang oleh
protein akan menyebabkan aktivitas antiviral, sehingga aktivasi ribosom
harus berlagsung sebelum terjadi replikasi virus. Jika virus telah
melakukan replikasi maka aktivitas antiviral tidak mempunyai efektivitas
untuk menghambat virus. Protein dasar dari daun Clerodendrum
aculeatum dalam reaksi ketahanan membuktikan stimulasi suatu protein 34
± 1kDa yang secara alami terdapat dalam jumlah yang sangat rendah,
175
namun jika protein yang sangat rendah ini terakumulasi di dalam sel inang
akan menyebabkan sel inang terlindung dari infeksi virus. Perlakuan
dengan ekstrak C. aculeatum dapat mengimbans aktivitas antiviral
sistemik pada tanaman yang rentan diperlukan waktu 5−30 menit
tergantung dari inangnya. Penghambatan sistemik dari antiviral alami
mempunyai dua mekanisme, yaitu: 1) substansi penghambat
ditranslokasikan ke seluruh organ tanaman; 2) mekanisme penghambat
mengimbas ketahanan tanaman atau organ tanaman tempat situs infeksi
terjadi.
Kandungan protein meningkat pada tanaman yang terinfeksi virus
karena peningkatan aktivitas RNA synthesizer atau RNA polimerase.
Senyawa bioaktif sebagai protein antivirus ini dikenal sebagai Ribosome
inactivating protein (RIPs) dan juga menyebabkan kandungan protein
yang tinggi pada tanaman dibandingkan dengan tanaman yang terinfeksi
virus. Senyawa ini merupakan salah satu agen yang dapat menginduksi
ketahanan sistemik suatu tanaman. RIPs juga terdapat pada ekstrak akar
dan daun M. jalapa dan disebut sebagai Mirabilis antiviral protein (MAP).
Mirabilis Antiviral Protein (MAP) pada bunga pukul empat dan Celosia
cristata protein (CCP) pada jengger ayam diduga bersifat antivirus. MAP
dan CCP dapat mencapai daerah aktif ribosom terlebih dahulu sehingga
dapat mencegah infeksi virus pada tahap awal sebelum virus mengalami
deenkapsidasi (Vivanco et al. 1999).
Mekanisme penekanan virus tumbuhan oleh ekstrak tanaman
disebabkan oleh induksi ketahanan dan kandungan protein antivirus serta
kandungan senyawa bioaktif dalam tanaman seperti flavonoid, terpenoid,
coumarin, tanin, quercetin, saponin dan fenol. Menurut Jassim & Naji
(2003), senyawa flavonoid dan caumarin bekerja menghalangi sintesis
RNA, senyawa terpenoid dan saponin menghambat sintesis DNA, senyawa
tannin dan fenol menghambat replikasi RNA dan DNA virus, sedangkan
quercetin mampu menghambat enzim transkriptase dan polimerase.
Akumulasi senyawa fenolik dan turunannya dapat dianggap sebagai
mekanisme pertahanan atau sebagai reaksi hipersensitif untuk memperoleh
respon resistensi sistemik yang terkait dengan perubahan dalam reaksi
metabolisme sel. Flavonoid mengganggu interaksi protein selubung dan
176
reseptor inang yang penting dalam replikasi Potato virus X dan Tomato
bushy stunt virus.
E. RANGKUMAN
Pengendalian virus tanaman sulit dilakukan karena virus mudah
tersebar melalui vektor dan mempunyai kisaran inang yang luas serta
belum ada virusida. Usaha pengendalian virus pada tanaman dilakukan
dengan insektisida untuk menekan populasi vektornya dengan insektisida,
dan penggunaan penghalang fisik, serta varietas resisten tetapi
keberhasilan ketiga cara ini belum konsisten. Upaya pengendalian dengan
pengaktifan gen pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara
pengendalian virus secara hayati dan mempunyai kelebihan dibandingkan
pengendalian dengan menggunakan pestisida. Upaya pengendalian dengan
pengaktifan gen pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara
pengendalian virus secara hayati dan mempunyai kelebihan dibandingkan
pengendalian dengan penggunaan pestisida. Aktifitas gen pertahanan dapat
dipicu dengan menggunakan agen penginduksi dari ekstrak bahan
tanaman.
Semua tanaman mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan
serangan patogen. Hal ini karena tanaman mempunyai pertahanan mekanis
dan kimia yang dapat mencegah infeksi. Selain itu, ketahanan tanaman
terbentuk karena mekanisme agens induksi mampu menurunkan jumlah
sisi infeksi dan membatasi pertumbuhan patogen selama tahap infeksinya.
Pemanfaatan substansi antivirus dari ekstrak tanaman untuk dilaporkan
mampu mengendalikan beberapa virus karena mengandung Ribosome
inactivating proteins (RIPs) dan juga merupakan salah satu agen yang
dapat menginduksi ketahanan sistemik suatu tanaman. Gen pengendali
pertahanan tubuh tanaman merupakan gen yang terdapat pada tanaman
baik yang mempunyai sifat resisten atau rentan. Gen ini mengatur sintesis
senyawa-senyawa yang disintesis tanaman sebagai respons terhadap
rangsangan (elicitor) atau pemicu (inducer) oleh patogen atau faktor-faktor
lain. Ketahanan sistemik terinduksi dapat juga dipicu/dirangsang oleh
ekstrak tumbuhan. Kemampuan ekstrak daun menekan virus menunjukkan
bahwa tanaman ini mengandung inhibitor virus dan memiliki aktivitas
antiviral atau virus inhibitor.
177
Asam salisilat merupakan komponen kunci dari jalur sinyal
transduksi yang mengaktivasi gen ketahanan terhadap berbagai macam
jamur, bakteri dan virus secara sistemik. Peranan asam salisilat adalah
sebagai penghambat pergerakan sistemik virus secara tidak langsung
melalui pembuluh tanaman inang, sehingga sifatnya menunda gejala
penyakit. Senyawa ini diduga dapat menurunkan intensitas warna gejala
bercak kuning dan malformasi serta meningkatkan jumlah lesio lokal pada
tanaman inang. Genom tanaman mempunyai reseptor dan mengenali virus
yang masuk ke dalam sel tanaman, sehingga menyebabkan respon
ketahanan terhadap tanaman.
F. DAFTAR PUSTAKA
Andayanie W.R., W. Nuriana & N. Ermawati. 2019. Phytochemicals,
bioactive compounds and antifeedant activity of cashew nut
(Anacardiaceae) shell extract against Bemisia tabaci (Hemiptera:
Aleyrodidae). Acta Agriculturae Slovenica. Accepted.
Andayanie W.R., Y.B. Sumardiyono, S. Hartono & P. Yudono. 2011.
Incidence of soybean mosaic disease in East Java Province. J.
Agrivita 33(1): 15−22.
Chen H., Z. Zhang, K. Teng, J. Lai, Y. Zhang, Y. Huang, Y. Li, L. Liang,
Y. Wang & C. Chu. 2010. „Up-regulation of LSBI/GDU3, Effects
gemini virus infection by activating the salicylic acid pathway‟,
Plant Journal 62: 12−13.
Gautam P. & J. Stein. 2011, „Induction of systemic acquired resistance to
Puccinia sorghi in corn‟, International Journal of Plant Pathology
2(1): 43−50.
Gunaeni N., A.W. Wulandari & A. Hudaya. 2015. Pengaruh bahan ekstrak
tanaman terhadap Pathogenesis Related Protein dan asam salisilat
dalam menginduksi resistensi tanaman cabai merah terhadap virus
keriting. J. Hort. 25 (2): 160−170.
Jassim S.A.A. & M.A. Naji. 2003. Novel antiviral agents: a medicinal
plant perspective. J. Appl. Microbiol. 95(3): 412–427.
Kristyaningrum V.T., M. Martosudiro & Hadiastono. 2015. Ekstrak bayam
duri (Amaranthus spinosus L.) sebagai penginduksi ketahanan
178
tanaman cabai besar (Capsicum annum L.) terhadap infeksi
Cucumber Mosaic Virus (CMV). J. HPT Tropika 3(1); 61−66.
Vardhana H. S. 2011. In vitro antibacterial activity of Amaranthus
spinosus root extracts. International Research J. Pharmacophore
2(5):266−70.
Voght T. 2010. Phenylpropanoid biosynthesis (Review article). Molecular
Plant 3(1): 2−20.
G. PELATIHAN
1. Apa yang anda ketahui tentang ketahanan terimbas dan bagaimana
hubungannya dengan kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus,
berikan contohnya.
2. Jelaskan ciri dari Systemic Acquired Resistence (SAR) dan
perbedaannya dengan Locally Acquired Systemic = LAR.
3. Apa yang anda ketahui tentang bioactivator dan perbedaannya
dengan insektisida dan fungisida. Berikan contohnya.
4. Bagaimana mekanisme pertahanan secara alami terhadap virus
dengan ekstrak tanaman.
5. Jelaskan hubungan reaksi hypersensitif dengan tanaman yang
terinfeksi virus.
6. Apa peranan asam salisilat sebagai penghambat pergerakan sistemik
virus.
7. Induksi ketahanan dengan ekstrak kulit biji jambu mete tidak
membuat tanaman tidak terserang sama sekali, tetapi untuk
meningkatkan ketahanan dari tanaman terhadap Cowpea mild mottle
virus (CPMMV) dengan menghambat perkembangan penyakit.
8. Jelaskan aktivitas antivirus dari ekstrak kulit biji jambu mete.
179
BAB VII.
PENUTUP
Penggunaan bahan nabati secara konvensional umumnya berupa
formula padat untuk pengendalian hama dan sedikit laporan digunakan
untuk pengendalian virus tanaman. Meskipun demikian, pemanfaatan
bahan nabati semakin diperlukan dan menunjukkan kemempanannya untuk
mengatasi hama dan virus tanaman. Bahan nabati tidak terbatas
penggunaannya, tidak terbatas produksinya, dan tidak terbatas aplikasinya.
Semua dapat diterapkan, semakin banyaknya hama dan virus pada
beragam tanaman, dan semakin ketatnya persaingan memasuki pasar
bebas, khususnya masyarakat ekonomi sean (MEA), semakin pentingnya
menjaga mutu atau kualitas produk pertanian, agar dapat bersaing di pasar
bebas.
Belajar dari banyaknya produk pertanian yang ditolak di pasar bebas
karena adanya residu pestisida atau bahan kimia (toksin), maka sudah
saatnya beralih kepada pemanfaatan bahan nabati untuk pengendalian
hama tanaman. Selain itu, upaya pengendalian dengan pengaktifan gen
pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara pengendalian virus
dengan pemanfaatan senyawa bioaktif dari ekstrak tanaman mempunyai
kelebihan dibandingkan pengendalian dengan penggunaan pestisida.
Aktifitas gen pertahanan dapat dipicu dengan menggunakan agen
penginduksi dari ekstrak bahan tanaman.
Semoga pengetahuan tentang hama dan virus tanaman serta senyawa
bioaktif dari bahan nabati dapat digunakan sebagai cara atau teknik
pengendalian hama dan virus tanaman yang aman, murah dan mudah.
180
GLOSARIUM
A
Ambang ekonomi- Kerapatan patogen atau intensitas penyakit yang bila
dilampaui nilai kerugian tanaman (tanpa usaha pengelolaan) akan
melebihi biaya pelaksanaan pengelolaan; economic threshold.
Asam amino- Bahan penyusun protein. Dikenal 20 asam amino yang
umum dan terangkai dengan urutan tertentu yang menentukan sifat
protein; Amino acid.
Asam nukleat- Senyawa bersifat asam yang mengandung pentosa, fosfor
dan basa pirimidin dan purin. Asam nukleat menentukan sifat
genetic organisme; nucleic acid.
Azadirachtin- Senyawa kimia yang termasuk ke dalam kelompok
limonoid, merupakan metabolit sekunder yang dijumpai dalam biji
mimba.
B
Biotipe- Isolat yang berbeda dalam sifat –sifat biokimianya, misal pada
bakteri Pseudomonas solanacearum
Bercak- Gejala penyakit berupa bagian yang terbatas yang warnanya
berbeda dengan sekitarnya. Ada yang memakai istilah becak atau
noda.
C
CARNA 5 - RNA yang bukan bagian dari genom CMV dan membutuhkan
CMV sebagi helper untuk replikasi contagium vivum fluidum:
cairan kotor yang membawa penyakit.
D
DDT- Dichloro Diphenyl Trichloroetane
E
ELISA- Enzyme liked immunosorbent assay; suatu uji menggunakan
antibody dan perubahan warnauntuk mengidentifikasi
181
El-nino- Fenomena dari perubahan iklim global akibat meningkatnya suhu
pada permukaan air laut di Pasifik Timur.
F
Fitofag- Serangga yang memakan tanaman.
Fitotoksisitas- Sifat meracun tumbuhan yang dimiliki oleh bahan bioaktif
untuk mengendalikan jasad pengganggu.
Fungisida- Bahan kimia yang digunakan untuk membunuh jamur,
G
Gejala- Kenampakan pada tumbuhan inang sebagai reaksi terhadap
serangan jasad pengganggu.
Gejala lokal- Gejaala yng terbatas pada bagian tumbuhan yang terinfeksi.
Gejala sistemik- Gejala yang merata pada seluruh tubuh tumbuhan.
Gen- Satuan pembawa sifat baka yang terdapat dalam sel. Antara lain
tanaman mempunyai gen yang menentukan ketahanan terhadap
penyakit tertentu.
Genom- Molekul asam nukleat dari suatu virus yang dapat berupa asam
nukleat tunggal (monopartite), dua (bipartite), tiga (tripartite) atau
lebih (multipartite)
H
Hama- Binatang yang merusak dan menimbulkan masalah pada tanaman
serta merugikan secara ekonomi.
Herbisida- Bahan kimia yang digunakan untuk membunuh gulma atau
rumput-rumputan.
I
Imago- Stadium serangga dewasa
Infeksi laten- Infeksi yang patogennya tidak berkembang terus, patogen
dorman untuk sementara waktu, dan baru berkembang setelah
tumbuhan menurun ketahanannya.
182
M
Metabolit sekunder- Senyawa organik yang tidak secara langsung terlibat
di dalam pertumbuhan, perkembangan, atau reproduksi normal
suatu organisme.
Metamorfosis- Perubahan/perkembangan biologi yang terjadi pada diri
makhluk hidup berawal dari telur hingga menjadi dewasa secara
sempurna.
Mosaik- Gejala penyakit, umumnya pada daun, yang terjadi karena
terganggunya pembentukan klorofil di tempat-tempat tertentu dan
menyebabkan terjadinya belang hijau tua dan hijau muda dengan
pola mosaik serta bentuk daun sedikit berubah.
N
Nekrosis- Kematian jaringan setempat, berbatas jelas, berwarna gelap.
K
Ketahanan terimbas- Ketahanan tanaman yang diperoleh dari inokulasi
jamur, bakteri, virus, ekstrak tanaman.
Klorosis- Gejala penyakit yang terjadi karena kurang berkembangnya
klorofil pada bagian tanaman tertentu (biasanya daun). Bagian
yang biasanya berwarna hijau tua menjadi hijau muda, kuning
bahkan putih.
Kokon- Lapisan khusus yang melindungi pupa.
L
La-nina- Pola iklim yang ditandai oleh menurunnya temperatur (lebih
dingin) pada permukaan air laut di sepanjang khatulistiwa (daerah
ekuatorial) Samudera Pasifik.
Larva- Stadium hidup binatang tertentu antara embrio dan binatang
dewasa.
LD50- Lethal Dose 50% atau dosis mematikan tengahan, merupakan
jumlah suatu senyawa yang dicerna yang membunuh 50% sampel
uji; dinyatakan dalam mg/kg atau milligram senyawa per kilogram
berat badan; nama umum: toksin, dosis mematikan.
183
LC95- Lethal Concentration 95% atau konsentrasi yang mematikan 95%
serangga yang diberi perlakuan.
P
Parasit- Jasad hidup pada atau di dalam jasad hidup lainnya dan
memperoleh makanan dari jasad hidup tersebut.
Parasitoid- Suatu organisme yang menghabiskan bagian nyata sejarah
hidupnya melekat pada atau di dalam organisme inang tunggal
dalam hubungannya dengan parasite, akan tetapi, tidak seperti
parasite sejati, parasitoidakhirnya mensterilkan atau membunuh
dan kadang-kadang memkan inangnya.
Patogen- Penyebab penyakit.
Patogenisitas- Kemampuan mikroorganisme untuk menyebabkan
penyakit.
Pemberantasan- Mematikan seluruh organisme pengganggu tanaman
(OPT) yang ada baik yang sedang tumbuh maupun alat
reproduksinya, sehingga populasi OPT sedapat mungkin ditekan
sampai nol.
Pengendalian atau pengelolaan- Melindungi tanaman dengan mengelola
OPT yang menganggu tanaman, maupun tanaman itu sendiri,
sedemikian rupa sehingga kerusakan yang ditimbulkan oleh OPT
tidak sampai menimbulkan kerusakan ekonomis atau merugikan.
Penyakit- Penyimpangan perkembangan tumbuhan yang mempengaruhi
fisiologi dan mengurangi nilai ekonomi dan estetikanya.
Periode laten- Waktu setelah makan akuisisi sampai vektor dapat
menularkan virus.
Perlindungan tanaman- Segala upaya untuk mencegah kerugian pada
budidaya tanaman yang diakibatkan oleh jasad pengganggu.
Pestisida- bahan kimia yang digunakan untuk membunuh jasad
pengganggu.
Polifag- Patogen atau hama yang dapat menyerang bermacam-macam
tumbuhan; mempunyai banyak tumbuhan inang.
ppm- Part per million, satu bagian perjuta.
Predator- Jasad hidup yang memangsa jasad hidup lainnya.
184
Proteksi silang- Hambatan superinfeksi suatu strain virus akibat imbas
ketahanan dari infeksi virus sebelumnya.
Pupa atau kepompong- Salah satu stadium kehidupan serangga tidak
makan dan tidak bergerak.
O
Oligofag- Hama yang memakan dua jenis tanaman.
Oviposisi- Peletakkan telur serangga.
R
Rentan- Tidak mempunyai kemampuan untuk menaahan pengaruh
patogen tertentu, atau faktor yang merusak; susceptible.
Resisten- Tanaman yang dapat menekan atau menghambat perkembangan
penyakit virus.
Resurgensi- Peristiwa peningkatan populasi hama sasaran lebih tinggi
daripada tingkat populasi sebelumnya sehingga jauh melampaui
ambang ekonomi setelah diberikan pestisida tertentu.
Roguing- Proses pemeriksaan kondisi tanaman di lapangan dan
pembuangan tanaman yang tidak dikehendaki, misalnya karena
terserang penyakit dan hama.
S
Strain- Keturunan dari sat isolasi tunggal dalam biakan (kultur) murni;
satu isolat. Juga sekelompok isolat yang mirip satu sama lain; satu
ras untuk virus tanaman; sekelompok isolat virus yang mempunyai
persamaan dalam kebanyakan antigennya.
V
Vein banding- Klorosis yang terjadi pada daging daun (jaringan di antaara
tulang-tulang daun). Jaringan di sekitar tulang daun (vein) tampak
seperti jalur-jalur (bands) berwarna hijau tua.
Vektor - Agensia, pada umumnya serangga yang menularkan virus.
Virion- Zarah virus komplit yang mengandung asam nukleat dan protein
selubung.
185
Virus- Suatu parasit obligat yang terdiri dari asam nukleat (nucleic acid)
dan protein.
Virus sirkulatif propagatif- Virus persisten dan dalam tubuh vektor virus
dapat memperbanyak diri.
186
INDEKS
A
Ageratum haustonianum · 131
Aglaia elliptica · 130
Aglaia harmsiana · 130
Aglaia odorata · 129, 132
Alfafa dwarf virus · 91
Alfafa mosaic virus · 84, 100
Amaranthus spinosus Linnaeus ·
164, 170
Ambang ekonomi · 180
An. muricata · 130
Anacardium occidentale · 148, 164,
170
Anagarus biguttulla · 141
Annona glabra · 130
Annona squamosa · 130
Antifeedant · 141, 142
Antiviral · 175
Aphanamixis grandifolia · 130
Aphis cracivora · 119
Aphis glycines · 119
Aphis spiraecola · 119
Aras Ekonomi · 30, 31, 52
Aras luka ekonomi · 30, 52
Area under diseases progress curve
· 173
Asam anakardat · 146
Asam nukleat virus · 89
Asam salisilat · 165, 169, 173, 177
Aster yellow virus · 92
Atraktan · 132, 136, 137, 138, 139,
140, 141, 156, 158
Azadirachta indica A. Juss · 164,
170
B
Bactrocera cucurbitae · 139
Barley mosaic virus (BYMV) · 89
Bean common mosaic virus
(BCMV) · 164
Bean golden mosaic virus · 87
Bean peanut mottle virus · 106
Bean yellow mosaic virus (BYMV)
· 75
Beet curly top virus · 64, 87, 102
Beet yellow virus · 65
Bromoviridae · 98
Bromovirus · 85
C
California Aster Yellow Virus · 58
Callicarpa Japonica · 142
Callodonus montanus · 60
Carlavirus · 62, 72
Carrot red leaf virus · 66
Catharantus roseus L. · 164
Cauliflower mosaic virus · 84, 99,
123, 169
Caulimoviridae · 99
187
Caulimovirus · 62, 72, 77, 99
Cavariella aegopodii · 66
Celosia cristata protein (CCP) ·
175
Chenopodiaceae · 103
Chenopodiaceae amaranticolor ·
103
Chlorosis striate mosaic virus · 87
Chlorotic Spotting · 105
Circuliver tenellus · 64
Clerodendrum aculeatum · 174
Clerodendrum japonicum Lhunb ·
164
Clover vein mosaic virus · 112
Clover wound tumor virus · 64
Clover yellow virus · 65
Coleus scutellarioides, Linn, Benth
· 164, 170
Compositae · 103
Cowpea Mild Mottle Virus
(CPMMV) · 3, 6
Cowpea Mosaic Virus · 58
Crocidolomia binotalis · 130
Crocidolomia pavonana · 39, 148
Cucumber green mottle mosaic
virus · 94
Cucumber mosaic virus · 62, 98,
109, 122, 169
Cucumber mosaic virus (CMV) ·
169
Cucumber mosaic virus strain Y ·
109
Cucumovirus · 62, 72, 81, 85, 98,
109
D
Datura stramonium · 112
DNA · 62, 74, 76, 77, 78, 79, 80,
81, 87, 89, 93, 94, 95, 99, 100,
114, 120, 175
Dysoxylum mollissimum · 130
E
Elicitor · 164, 176
Embrio · 18
Eugenol · 138, 158
F
Fabavirus · 62, 72
Fagopyrum esculentum · 103
Feeding Deterrent · 144
Fiji virus · 85
Fitotoksik · 130, 131, 132, 136,
148, 149
Fitotoksisitas · 181
Flexious Rod · 86
G
Genom · 76, 80, 82, 86, 89, 92, 98,
100, 165, 177, 181
Glycine max · 103, 150
Gomphrena globosa · 103
H
Helicoverpa armigera · 149, 156
188
Hipersensitive Reaction · 162
I
Ikosahedral · xi, 81, 84, 87
Ilarvirus · 100
Imago · 151, 152, 181
Inclusion Bodies · 75, 90, 111
Induce systemic Resistence (ISR) ·
162
Inducer · 167
Inhibitor · 164, 170, 171, 176
Insiden Penyakit · 70, 71
Intensitas serangan · 119, 172
J
Jasad Pengganggu · 2, 4, 5, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, 15, 28, 127, 181,
183
Juvenile Hormone · 131
K
Kardanol · 146
Kardol · 146
ketahanan sistemik terinduksi
(KST) · 163, 172
Khaya spp · 130
Kokon · 21, 182
kulit biji jambu mete · xii, xv, 131,
144, 145, 146, 149, 150, 151,
152, 156, 164, 170, 171, 172,
173, 174, 178
Kutu Kebul (Bemisia tabaci) · 3, 6,
63, 71
L
Larva · 18, 19, 20, 182
Lathyrus odoratus · 103
Leguminosae · 103
Lettuce necrotic yellow virus · 93
Locally Acquired Systemic LAR ·
162, 178
M
Maize rough dwarf virus · 85
Melaleuca bracteata L · 139, 158
Mirabilis antiviral protein (MAP) ·
164, 175
Mirabilis jalapa · 164
Mottling Streak · 105
Myzus persicae · 119
N
Nephotettix cincticeps · 64
Nicotiana tabacum · 103
Nilaparvata lugens · 39, 148
Nimfa · 24, 25
Nir-Persisten · xiv, 61, 62, 65, 66,
71, 72
Nir-Sirkulaatif · 66
Nukleotida · 75, 76, 78, 79, 80, 82,
84, 86, 89, 90, 95, 99, 100, 101,
117
189
O
Ocimum sp · 139, 158
Odontoglossum ring spot virus · 94
Oktahedral · 87
Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT) · 8, 9, 34
Ovicidal · 144
Oviposisi · 18, 184
P
P. radiates · 103
Pangium edule · 142
Pathogenesis Related Protein ·
162, 165, 166
Peach Wester X disease · 60
Peanut stript virus · 112
Pedaliaceae · 103
Pemberantasan · 183
Pengendalian · 11, 32, 38, 46, 127,
141, 161, 176, 183
Persisten · xiv, 61, 63, 64, 65, 66,
68, 69, 70, 71, 72, 93, 138, 185
Phaseolus vulgaris · 103, 112
Phony peach virus · 91
Pisum sativum · 103
Pluchea indica (L). Less · 164, 170
Polygonaceae · 103
Potato leaf roll virus · 92, 116
Potato spindle tuber viroid · 88
Potato virus X · 102, 169, 176
Potato Yellow Dwarf Virus · 58
Potexvirus · 86
Potyvirus · 62, 72, 86, 96, 97, 112,
122, 123
Protein Fluorescent Hijau (GFP) ·
168
Protein virus · 80
Pupa · 20, 21, 184
Pyrethrin · 137, 138
R
Reovirus · 77, 81, 85, 93, 101, 121
Repelen · 132, 136, 137, 156
Replikasi virus · 93, 94, 99, 104,
117, 120
Resurgensi · 184
Rhabdovirus · 82, 88, 93, 101, 120
Ribosome inactivating proteins
(RIPs) · 161, 176
Rice dwarf virus · 64
Rigid Rod · xi, 86
Ring Pattern · 105
RNA · 23, 62, 74, 76, 77, 78, 79,
81, 82, 85, 88, 89, 90, 93, 94,
95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,
114, 120, 123, 169, 175, 180
Roguing · 184
S
Semi Persisten · xiv, 65, 70
Sesamum indicum · 103
Sirkulatif · 58, 59, 61, 64, 66, 68,
70, 73, 185
Solanaceae · 37, 103, 112
Southern bean mosaic virus · 91
190
Soybean mosaic virus · 82, 86, 96,
105, 108, 110, 122, 123
Soybean stunt strain · 109
Soybean stunt virus · 108, 109
Strawberry mottle virus · 65
Swietenia spp · 130
Systemic Acquired Resistance
(SAR) · 160, 173
T
Tagetes erecta L. · 164, 170
Tanacetum cinerariaefolium · 126
Tetrahedral · 87
Tithonia · 147, 150, 151, 157
Tobacco etch virus · 112
Tobacco mosaic virus (TMV) · 75,
86, 168
Tobacco rattle virus · 84, 100
Tobacco streak virus · 84, 100
Tobamovirus · 84, 86, 94
Tobravirus · 85
Tomato bushy stunt virus · 112, 176
Tomato spotted wilt virus · 82
Toxotrypana curvicauda · 139
Trichilia trijuga · 130
Turnip yellow mosaic virus · 78,
84, 85, 96, 101
V
Vein banding virus · 65
Vein Clearing · 105, 107
Vektor · 56, 61, 62, 68, 69, 70, 71,
72, 184
Vicia faba L. · 75
Vigna sesquipedalis · 103
Virus · 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65,
68, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 76,
81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88,
89, 90, 91, 92, 93, 94, 99, 100,
101, 103, 109, 110, 112, 113,
117, 120, 121, 122, 164, 178,
185
W
Water mellon mosaic virus · 96
Wheat striate mosaic virus · 64
Wound tumor virus · 82, 84, 93,
101, 112
Z
Zingiberaceae · 131
Zinnia elegans · 103