Biota Vol. 15 (2): 192−198, Juni 2010
ISSN 0853−8670
Perilaku Harian Buaya Muara (Crocodylus porosus, Schneider 1801) di Pusat
Penyelamatan Satwa Jogja
Daily Behaviour of Saltwater Crocodile (Crocodylus porosus, Schneider 1801) in Jogja
Animal Rescue Center
Purwo Setio I.1, A. Fanani Muharromi
2, Subekti Prihantono
2, Tony Febri Qurniawan
2*, A.
Prima Nugraha2 dan Rury Eprilurahman
3
1 Pusat Penyelamatan Satwa Jogjakarta. Sedangsari, Pengasih, Kulonprogo, Yogyakarta
2 Kelompok Studi Herpetologi, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3 Laboratorium Taksonomi Hewan, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
E-mail: [email protected]; [email protected] *Penulis untuk korespondensi
Abstract
The aim of this research was to find out the daily behaviour of Crocodylus porosus in Jogja
Animal Rescue Center (PPSJ). The daily behaviour included feeding habit, social behaviour,
basking and movement. This research was using Focal Animal Sampling Method and observed
for four months. As individual targets were male and female dominant of C. porosus, Monti and
Bunda. The Runs test showed that the behavior of C. porosus had a pattern in daily activities.
Based on Mann-Whitney U test, both male and female of C. porosus did not have any difference
in feeding habit (U=16; n1= 6; n2=6; p>0,05), social behaviour (U=29; n1= 8; n2=8; p>0,05),
basking (U=12; n1= 5; n2=5; p>0,05) and movement (U=16; n1= 6; n2=6; p>0,05).
Key words: Behaviour, daily activity, Crocodylus porosus, Monti and Bunda, PPSJ
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku harian buaya muara (Crocodylus porosus) di Pusat
Penyelamatan Satwa Jogja. Perilaku harian yang diamati meliputi kebiasaam makan, perilaku
sosial, berjemur, dan pergerakan. Penelitian ini menggunakan metode Focal Animal Sampling
dan diamati selama empat bulan. Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah buaya muara
(Crocodylus porosus) jantan dan betina dominan. Berdasarkan hasil tes Runs yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa perilaku Crocodylus porosus membentuk pola aktifitas harian.
Sedangkan berdasarkan uji U Mann-Whitney menunjukkan bahwa kedua buaya tersebut
(jantan maupun betina) tidak memiliki perbedaan dalam kebiasaan makan (U=16; n1=6; n2=6;
p>0,05), perilaku sosial (U=29; n1=8; n2=8; p>0,05), basking (U=12; n1=5; n2=5; p>0,05) dan
pergerakan (U=16; n1=6; n2=6; p>0,05).
Kata kunci: Perilaku, aktifitas harian, Crocodylus porosus, Monti dan Bunda, PPSJ
Diterima: 12 Agustus 2009, disetujui: 10 Juni 2010
Pendahuluan
Crocodylus porosus atau disebut juga
buaya muara merupakan salah satu dari tujuh
jenis buaya yang hidup di Indonesia. Buaya jenis
ini tersebar di seluruh perairan Indonesia mulai
dari Pulau Sumatra hingga Pulau Irian Jaya
(Iskandar, 2000). Secara morfologi, Neil (1946)
dan Weeb et al., (1978) dalam Gans (1985)
mengatakan bahwa pada individu dewasa warna
tubuh buaya muara lebih gelap daripada saat
masih remaja. Bagian ventral tubuhnya berwarna
kuning gading kecuali di bagian ekor yaitu abu-
abu. Ukuran maksimal pada individu jantan
mampu mencapai 5−6 m, sedangkan individu
betina memiliki kisaran 2,5−3 m. Kematangan
seksual pada buaya muara biasanya dicapai pada
umur 10 tahun. Individu jantan mampu
mencapai ukuran tubuh kurang lebih 3,2 m.
Berbeda dengan individu jantan, individu betina
memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil pada
saat matang seksual yaitu kurang lebih 2,2 m.
Setio et al.,
193 Biota Vol. 15 (2), Juni 2010
Habitat buaya muara umumnya di wilayah
perairan payau, tetapi terkadang juga ditemukan
di sungai air tawar dan rawa (Britton, 2002).
Saat ini buaya muara semakin sulit ditemukan
hidup di alam bebas. Berdasarkan data IUCN
(2008) populasinya di dunia terus menurun dan
dimasukkan kedalam satwa yang terancam
punah, sedangkan berdasarkan CITES tergolong
Apendiks I. Di Indonesia, perburuan dan
eksploitasi buaya muara dari alam telah dilarang
oleh Pemerintah dan Negara melalui PP No.7
dan 8 tahun 1999. Penelitian serta usaha
penyelamatan telah giat dilakukan dalam rangka
mencegah punahnya buaya ini, salah satunya
adalah penelitian mengenai perilaku buaya.
Buaya muara merupakan salah satu jenis
reptil yang memiliki perilaku unik dan menarik.
Perilaku buaya dan jumlah individu dalam suatu
populasi dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan buaya itu sendiri (Britton, 2002;
Poletta et al., 2008). Tiap perilaku buaya
dipengaruhi oleh faktor kenyamanan habitat
yang merupakan tempat buaya berinteraksi
dengan lingkungannya. Terdapat dua macam
lingkungan yaitu alam bebas dan buatan manusia
seperti penangkaran. Pada dua habitat yang
berbeda tersebut salah satu perilaku buaya yang
terpengaruh pada umumnya adalah keaktifan
buaya itu sendiri. Oleh karena itu, mempelajari
dan mengamati perilaku harian buaya muara di
penangkaran sangat menarik untuk diteliti guna
memberikan informasi kepada pihak terkait
dalam memberikan kebijakan perawatan satwa
buaya muara yang lebih baik. Dalam tahap ini
yang dipelajari adalah pola perilaku buaya jantan
dominan (Monti) dan betina dominan (Bunda)
yang terdapat di Pusat Penyelamatan Satwa
Jogja.
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret−Juni 2007 di kandang buaya Pusat
Penyelamatan Satwa Jogja. Sebelum dilakukan
pengamatan perilaku, terlebih dahulu dilakukan
pengamatan inisiasi selama tiga hari untuk
menentukan jenis perilaku yang akan diamati
dan waktu pengamatan. Pengamatan dilakukan
pada pagi, siang, sore, dan malam hari.
Pengambilan Data
Metode yang digunakan adalah metode
deskriptif dengan teknik Focal Animal Sampling
(Altman, 1973). Obyek yang diamati adalah
seekor buaya jantan dominan yang bernama
Monti dan seekor buaya betina dominan yang
bernama Bunda. Perilaku keduanya masing-
masing dicatat tiap menit. Data yang diambil
adalah data perilaku berjemur/istirahat, perilaku
sosial, bergerak dan kebiasaan makan serta data
parameter lingkungan berupa suhu udara.
Analisis data perilaku harian dilakukan
secara deskriptif dan analisis statistik non-
parametrik (Siegel, 1992) menggunakan uji
statistik U Mann-Whitney dan Runs. Uji statistik
U Mann-Whitney dilakukan untuk mengetahui
apakah frekuensi perilaku harian Monti dan
Bunda memiliki frekuensi perilaku yang sama
ataukah berbeda. Uji statistik Runs dilakukan
untuk mengetahui apakah kejadian perilaku yang
dilakukan merupakan kejadian yang bersifat
kebetulan dan acak ataukah membentuk suatu
pola perilaku harian tertentu.
Hasil dan Pembahasan
Pada bulan Maret−Juni 2007 telah
dilakukan pengamatan perilaku Monti (buaya
jantan dominan) dan Bunda (buaya betina
dominan) meliputi perilaku berjemur/istirahat,
sosial, bergerak dan kebiasaan makan. Berikut
ini merupakan tabel persentase perilaku harian.
Monti dan Bunda.
Jumlah total waktu pengamatan Monti
sebanyak 46.690 menit, sedangkan Bunda
sebanyak 44.560 menit. Perilaku yang banyak
terlihat pada Monti adalah bergerak,
berjemur/istirahat, sosial dan makan. Adapun
perilaku yang dilakukan Bunda berturut-turut
adalah bergerak, berjemur/istirahat, makan dan
sosial.
Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa
untuk Monti lebih banyak melakukan perilaku
sosial daripada makan sedangkan Bunda lebih
banyak makan daripada memperlihatkan
perilaku sosial. Hal tersebut disebabkan Monti
merupakan jantan dominan sehingga
dominasinya akan tampak terlihat dalam
perilaku sehari-harinya, sedangkan Bunda
walaupun juga termasuk dalam betina dominan
Perilaku Harian Buaya Muara
Biota Vol. 15 (2), Juni 2010 194
tetapi dominasi dari betina dominan cenderung
terlihat saat pemilihan letak sarang untuk
menempatkan telurnya, pada saat penelitian
belum memasuki saat perkembangbiakan buaya
sehingga dominasi buaya betina dominan
cenderung tidak terlihat.
Berdasarkan uji statistik U Mann-Whitney
tidak terdapat perbedaan aktivitas perilaku
berjemur/istirahat, sosial, bergerak dan
kebiasaan makan antara Monti dan Bunda.
Meskipun terbukti tidak terdapat perbedaan
frekuensi perilaku berjemur/istirahat, sosial,
bergerak dan kebiasaan makan di antara
keduanya, hasil uji statistik Runs menunjukkan
bahwa frekuensi perilaku yang dilakukan
keduanya membentuk suatu pola perilaku harian
tertentu.
Parameter Lingkungan
Parameter fisik yang diukur berupa suhu
lingkungan disajikan pada Tabel 2. Pada
dasarnya suhu lingkungan menjadi variabel
dominan yang berpengaruh terhadap pola dan
frekuensi perilaku harian buaya (Pérez dan
Escobedo-Galvánn, 2009). Suhu berpengaruh
sebagai faktor pembatas dan reproduksi serta
mengatur aktivitas enzim dalam metabolisme,
khususnya nafsu makan dan proses pencernaan
(Piña dan Larriera, 2002). Perubahan suhu yang
besar akan menyebabkan perubahan pada pola
perilaku buaya. Berdasarkan Tabel 2, suhu rerata
tertinggi terukur pada bulan Juni yaitu 29,5oC,
sedangkan suhu terendahnya yaitu 28oC. Suhu
yang tinggi pada bulan Juni menyebabkan
frekuensi perilaku buaya menjadi lebih banyak
di perairan daripada di daratan.
Perilaku Bergerak
Perilaku bergerak berhubungan erat
dengan keadaan lingkungan dan juga ketahanan
tubuh karena perilaku bergerak mempunyai
dampak langsung terhadap kemampuan
menangkap mangsa, kemampuan untuk
menjelajah dan juga perilaku sosial pada
binatang (Elsworth et al., 2003; Soendjoto et al.,
2006).
Hasil penelitian yang dilakukan terlihat
melalui uji U Mann Whitney (U=16; n1= 6;
n2=6; p>0,05) bahwa tidak terdapat perbedaan
frekuensi perilaku bergerak pada jenis kelamin
yang berbeda. Berikut tabel frekuensi perilaku
bergerak Monti dan Bunda (Tabel 3).
Tabel 1. Frekuensi perilaku harian Monti dan Bunda (dalam %).
Individu Bergerak Berjemur/Istirahat Makan Sosial
Monti 88,41 7,37 1,54 2,68
Bunda 92,21 5,03 1,46 1,3
Tabel 2. Parameter rata-rata suhu udara dari bulan Maret-Juni 2007 (dalam
oC).
Minggu ke Maret April Mei Juni
I 28 28 28,5 29,5
II 28 28,5 29 28
III 28.5 29 28,5 29,5
IV 28,5 28,5 29 29
Tabel 3. Frekuensi perilaku bergerak Monti dan Bunda (dalam %).
No. Jenis Perilaku Monti Bunda
1 Berenang 24,2 18,86
2 Menyelam 35,2 38,7
3 Ambil nafas 40,41 42,25
4 High walk 0 0
5 Galloping 0 0,05
6 Belly crawl 0 0,12
7 Belly run 0,2 0.02
Setio et al.,
195 Biota Vol. 15 (2), Juni 2010
Pengamatan terhadap perilaku bergerak
buaya dibedakan dalam dua macam perilaku
yang berbeda, yaitu perilaku bergerak yang
dilakukan di perairan dan perilaku bergerak di
daratan. Hal ini disebabkan buaya merupakan
hewan yang bersifat semi-akuatik. Pada hewan
yang bersifat semi-akuatik dalam kesehariannya
selain berada di lingkungan perairan juga sering
berada di lingkungan daratan. Di antara kedua
lingkungan tersebut perilaku buaya di perairan
lebih penting daripada perilaku bergerak di
daratan karena berbagai macam kebiasaan buaya
seperti menangkap mangsa, reproduksi, dan
interaksi sosial terjadi di dalam air.
Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi
perilaku bergerak di perairan yang paling sering
dilakukan adalah mengambil nafas/muncul
kepermukaan air. Proses pernafasan pada buaya
sangat khas karena dipengaruhi oleh struktur
jantungnya (Farmer dan Carrier, 2000). Dengan
perilaku sering mengambil nafas/muncul
kepermukaan air maka konsumsi oksigen (O2)
akan meningkat sehingga penghasilan panas
internal juga akan meningkat. Hal tersebut
menunjukkan bahwa buaya yang sudah dewasa
memiliki tingkat metabolisme yang tinggi.
Selain itu kemungkinan perilaku sering
mengambil nafas atau muncul ke permukaan air
juga berguna untuk menghemat energi yang
digunakan serta untuk mengurangi panas yang
berlebih (Piña dan Larriera, 2002).
Dari pegamatan ternyata buaya Monti
akan berenang dengan bagian tubuh dorsalnya
terlihat, kemungkinan ini merupakan perilaku
dominansi supaya jantan lain mundur dari
hadapan jantan dominan tersebut. Kecepatan
berenang pada buaya juga akan meningkat
seiring dengan bertambahnya panjang tubuh
buaya (Elsworth et al., 2003). Selain itu juga
berhasil diamati lamanya menyelam buaya
dominan selama pengamatan paling lama adalah
80 menit. Adapun untuk perilaku bergerak di
darat yang sering digunakan adalah belly run.
Hal ini disebabkan pada buaya dominan
memiliki ukuran tubuh yang besar dan berat
sehingga tidak terlalu sering mengangkat
tubuhnya.
Perilaku Makan
Hasil penelitian yang dilakukan terlihat
melalui uji U Mann Whitney (U=16; n1=6; n2=6;
p>0,05) bahwa tidak terdapat perbedaan
frekuensi perilaku makan antara Monti dan
Bunda. Penjelasan rinci frekuensi perilaku makan
Monti dan Bunda disajikan dalam dalam Tabel 4.
Buaya memiliki otak paling berkembang
dibandingkan reptil lainnya. Mereka dapat
mempelajari pola dan kebiasaan mangsa
(Morpurgo et al., 1993). Pada buaya dewasa
kemampuan ini telah berkembang sehingga
Monti dan Bunda dapat mengingat jam makan
mereka. Pemberian pakan dengan treatment rutin
akan menyebabkan buaya menjadi terbiasa untuk
tidak menangkap mangsanya dengan strategi
tertentu. Pemberian pakan aritmik bertujuan agar
buaya tidak mengingat kapan ia akan diberi
makan sehingga buaya terbiasa hidup mencari
makan dengan oportunis seperti saat di habitat
alaminya.
Dari jenis makanan yang dimakan,
ternyata untuk Bunda lebih aktif mencari makan
dari pada Monti, dengan memakan kelelawar
yang banyak terbang di sekitar kandang, ikan
dan katak. Perilaku Bunda saat makan ternyata
juga lebih sering dengan strategi menerkam tiba-
tiba mangsanya di perairan. Bunda menunggu
mangsa dalam air dan berkamuflase dengan mata
telinga dan nostril tetap di permukaan air lalu
menerkam mangsa ketika lengah untuk
kemudian ditarik masuk ke dalam air hingga
tenggelam. Pada Monti strategi memangsanya
dengan menyelam dan menerkam tiba-tiba, lalu
mangsa di lempar ke udara (dengan bantuan
gravitasi) dan perlahan mangsa pun ditelan. Gigi
yang tajam, otot perut dan asam pencernaan
yang kuat membuat buaya tidak perlu menguyah
makanannya.
Jenis pakan yang diberi oleh pihak PPSJ
antara lain yaitu ayam dan itik. Pada saat
pemberian pakan, terlihat bahwa jantan dominan
mendapatkan kesempatan makan pertama kali.
Monti selalu terlihat menyerang buaya yang
berusaha mendekati sumber makanan.
Perilaku Berjemur/Istirahat
Hasil penelitian yang dilakukan terlihat
melalui uji U Mann Whitney (U=12; n1= 5; n2=5;
p>0,05) bahwa tidak ada perbedaan frekuensi
perilaku berjemur/istirahat antara Monti dan
Bunda. Penjelasan frekuensi perilaku berjemur/
istirahat Monti dan Bunda disajikan dalam Tabel
5.
Perilaku Harian Buaya Muara
Biota Vol. 15 (2), Juni 2010 196
Buaya merupakan hewan yang bersifat
ektotermik dan poikilotermik sehingga berjemur
merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh
buaya untuk mengoptimalkan metabolisme dan
mengintegrasikan antara lingkungan, perilaku,
dan fungsi seluler supaya dapat berjalan
semestinya (Cooper, 2002; Soendjoto et al.,
2006). Buaya mendapatkan panas yang berasal
dari lingkungan dengan tiga mekanisme yaitu
radiasi, konveksi dan konduksi. Lamanya
berjemur dari tiap-tiap jenis akan berbeda. Hal
tersebut berkaitan dengan ukuran tubuh serta
suhu lingkungan saat itu. Selain itu, terdapat
perbedaan suhu tubuh pada saat menyelam
dalam air dan pada saat melakukan berjemur.
Pada saat menyelam suhu tubuh adalah 22−26oC
sedangkan apabila melakukan aktivitas
basking/berjemur suhu tubuhnya dapat mencapai
40−45oC (Seebacher dan Murray, 2007). Untuk
buaya yang berukuran besar tentu saja akan
membutuhkan waktu berjemur yang lebih lama.
Perilaku berjemur buaya umumnya
dilakukan di daratan dan apabila telah
mendapatkan panas tubuh yang cukup akan
kembali ke perairan untuk mengurangi panas
yang berlebih. Selain itu dapat juga dengan cara
membuka rahangnya. Buaya meningkatkan suhu
tubuh dengan cara mengalirkan darah melalui
kulit yang telah hangat supaya membawa panas
ke pusat tubuh (Ross, 1989).
Berdasarkan hasil pengamatan perilaku
berjemur, dapat dilihat bahwa perilaku berjemur
atau istirahat pada buaya dominan yang ada di
PPSJ lebih sering dilakukan di permukaan air.
Hal tersebut disebabkan sebagian besar tepian
kandang sebelah barat yang biasanya digunakan
untuk berjemur buaya banyak ditumbuhi oleh
putri malu (Mimosa sp.), pisang (Musa sp.) dan
kersen (Muntingia sp.) sehingga lokasi tersebut
tidak dapat digunakan untuk berjemur.
Perilaku Sosial
Hasil penelitian yang dilakukan terlihat
melalui uji U Mann Whitney (U=29; n1= 8;
n2=8; p>0,05) bahwa tidak terdapat perbedaan
frekuensi perilaku sosial pada jenis kelamin yang
berbeda. Berikut Tabel frekuensi perilaku sosial
Monti dan Bunda.
Buaya memiliki suatu hierarki dominansi
baik itu populasi yang terdapat di alam liar
maupun populasi yang terdapat di dalam
penangkaran. Suatu individu yang dominan
ditentukan dari ukuran dari buaya tersebut.
Apabila buaya tersebut memiliki ukuran yang
paling besar, individu buaya tersebut merupakan
individu buaya yang paling dominan (Morpurgo
et al., 1993). Individu jantan yang dominan
memiliki kekuasaan dalam mengontrol
kesempatan kawin, perolehan makanan dan
ruang gerak, sedangkan individu betina
cenderung memperlihatkan dominansinya saat
melakukan pemilihan letak sarang (Ross, 1989).
Berdasarkan pengamatan dapat dilihat
bahwa baik Monti maupun Bunda perilaku sosial
yang paling besar frekuensinya adalah
dominansi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
perkelahian. Perkelahian pada buaya dapat
terjadi ketika dalam wilayah kekuasaan buaya
dominan tersebut dimasuki oleh buaya lain.
Hanya individu tertentu yang boleh masuk
wilayahnya. Dari hasil pengamatan ada saatnya
buaya menyendiri, karena menjaga wilayahnya
atau kalah dalam persaingan.
Dari hasil pengamatan juga tercatat Monti
dan Bunda beberapa kali melakukan vokalisasi
pendek. Diperkirakan vokalisasi tersebut untuk
menggertak serta untuk memanggil anaknya.
Perilaku sosial berupa vokalisasi memanggil
anaknya serta menjaga sarang menunjukkan
parental care yang dilakukan oleh Bunda.
Tabel 4. Frekuensi perilaku makan Monti dan Bunda (dalam %).
Jenis Perilaku Monti Bunda
Berburu dengan
Diam di permukaan 0 0
Menyelam 20,83 25,81
Menerkam tiba-tiba 20,83 30,65
Menerkam di
Bagian kepala 16,67 14,52
Bagian ekstremitas 0 0
Tempat makan di
Daratan 20,83 0
Perairan 20,83 29,03
Setio et al.,
197 Biota Vol. 15 (2), Juni 2010
Tabel 5. Frekuensi perilaku berjemur/istirahat Monti dan Bunda (dalam %).
Jenis Perilaku Monti Bunda
Tempat berjemur di
Permukaan air 52,38 58,93
Bawah kanopi 4,46 0,89
Tanah terbuka 19,64 4,46
Kegiatan dengan
Membuka mulut 0 0
Menutup mulut 23,51 35,71
Tabel 6. Frekuensi perilaku sosial Monti dan Bunda (dalam %).
Jenis Perilaku Monti Bunda
Intraspesifik
Berkelahi 8 0
Vokalisasi 12,8 8,78
Dominansi 66,4 43,86
Menjaga sarang 4,8 22,8
Menjaga anak 0 17,54
Dengan manusia
Menyerang 0 7
Lari/menghindar 4,8 0
Diam 3,2 0
Simpulan dan Saran
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa perilaku buaya dominan memperlihatkan
perilaku yang lebih kompleks. Selain itu ternyata
tidak terdapat perbedaan perilaku harian antara
buaya jantan dominan dan betina dominan.
Beberapa pola perilaku yang dilakukan buaya
jantan dominan yaitu bergerak,
berjemur/istirahat, sosial dan makan. Adapun
pola perilaku buaya betina dominan yaitu
bergerak, berjemur/istirahat, makan, dan sosial.
Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu
dilakukan pengamatan perilaku berbiak buaya
yaitu antara bulan September sampai Januari.
Selain itu juga perlu diteliti perilaku pada buaya
juvenil dan remaja supaya dapat dipelajari
perkembangan dan perbedaan perilaku buaya
berdasarkan usia.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih dan penghargaan
yang tinggi kepada Sugihartono selaku direktur
PPSJ, Kholis Munawar dan Didik R. selaku
pengurus PPSJ serta kepada rekan-rekan
Kelompok Studi Herpetologi (Onny N.,
Mahardika S.H., Marhani Hasna P., Tyas, I.G.A.
Ayu Ratna P., Faiz Amali, Rizki Eka S.) atas
segala bantuan dan dukungan.
Daftar Pustaka
Altmann, H. 1973. Observational Study of Behavior:
Sampling Methods. Behavior, 49: 227−267.
Britton, A. 2002. Crocodylus Porosus (Scneider, 1801).
http://www.flmnh.ufl.edu/cnch/csp-cpor.htm.
27/05/2008.
Cooper, K.E. 2002. Molecular Biology of
Thermoregulation: Some Historical
Perspectives on Thermoregulation. J. Appl.
Physiol. 92: 1717−1724.
Elsworth, G.F., Seebacher, F. dan Franklin, C.E. 2003.
Sustained Swimming Performing in Crocodiles
(Crocodylus porosus): Effects of Body Size and
Temperature. J. of Herpetology, 37: 363−368.
Farmer, C.G. dan Carrier, D.R. 2000. Respiration and Gas
Exchange During Recovery from Exercise in
the American Alligator. Short Communication.
Respiration Physiology, 120: 81−87.
Gans, C. 1985. Biology of Reptilia. John Wiley & Sons,
Inc.: New York. Pp 335−344.
Perilaku Harian Buaya Muara
Biota Vol. 15 (2), Juni 2010 198
Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura & Buaya Indonesia &
Papua Nugini. PALMedia Citra. Bandung. Pp.
157−159.
IUCN. 2008. Red list of Threatened Species. http://www.
iucnredlist.org. 27/05/2008.
Morpurgo, B., Gyaryahu, G. dan Robinzon, B. 1993.
Aggressive Behaviour in Immature Captive
Nile Crocodiles, Crocodylus Niloticus, in
Relation to Feeding. Physiology & Behavior, 53
(6): 1157−1161.
Neill, W.T. 1946. Notes on Crocodylus novae-guineae.
Copeia. 1: 17−20.
Pérez, O. dan Escobedo-Galánn, A.H. 2009. Potential
Effects of El Niño-South Oscillation (ENSO) on
Growth of the American Crocodile, Crocodylus
Acutus (Crocodylia: Crocodilydae) in Captivity.
J. of Thermal Biology, 34: 14−16.
Piña, C. dan Larriera, A. 2002. Caiman Latirostris Growth:
the Effect of a Management Technique on the
Supplied Temperature. Short Communication.
Aquaculture, 211: 387−392.
Poletta, G.L., Larriera, A. dan Siroski, P.A. 2008. Broad
Snouted Caiman (Caiman Latirostris) Growth
Under Different Rearing Densities. Short
Communication. Aquaculture, 280: 264–266.
Ross, C.A. 1989. Crocodiles and Alligators. Facts on Files.
New York. Pp. 76–153.
Seebacher, F. dan Murray, S.A. 2007. Transient Receptor
Potential Ion Channels Control
Thermoregulatory Behaviour in Reptiles. Plos
One, 2 (3): e281.
Siegel, B. 1992. Statistik Non-parametrik untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. PT. Gramedia Utama. Jakarta.
Soendjoto, M.A., Hadi, S.A., Muhammad, B., Heru, S.
2006. Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis
larvatus wurmb) di Hutan Karet Kabupaten
Tabalong, Kalimantan Selatan. Biota, XI (2):
101−109.
Weeb, G.J.W., Hollis, G.J. dan Manolis, S.C. 1991. Feeding
Growth, and Food Conversion Rates of Wild
Juvenile Saltwater Crocodiles (Crocodylus
porosus). J. of Herpetology 25: 460–470.