i
PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU
(MANGROVE) DI NUSA LEMBONGAN
I KETUT SUNDRA
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
ii
KATA PENGANTAR
Mangrove merupakan vegetasi pantai yang tumbuh dikawasan daerah pasang
surut yang memiliki substrat berlumpur. Yang secara alami tumbuh mulai dari arah surut
maksimum/zona depan sampai dengan pasang maksimum /zona paling belakang yang
berbatasan dengan daratan. Sejalan dengan berbagai aktivitas manusia maka ekosistem
mangrove yang memiliki multi fungsi baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial-
budaya kini banyak mengalami kerusakan ekosistem baik sifat sementara maupun
tetap/permanen. Dengan demikian pengelolaan hutan bakau/mangrove di Indonesia
umumnya atau bali khususnya segera dilakukan dengan beragai upaya untuk
mengembalikan fungsi ekosistem mangrove seperti pada fungsi sebelumnya.
Penelitian terhadap Pengelolaan Hutan Bakau/Mangrove di Pulau Lembongan Kabupaten
Kelungkung ini merupakan suatu langkah antisipasi dalam upaya mengetahui tingkat
kesetabilan ekosistem mngrove di Pulau Lembongan. Namun penelitian ini masih jauh
dari sempurna sehingga diharapkan adanya suatu keritik dan saran untuk melengkapi
kesempurnaan penelitian penelitian berikutnya.
Denpasar, Juli 2018
Peneliti
iii
DAFTAR ISI
Teks Hal
JUDUL ....................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ....................................................... 2
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 4
2.1 Hutan Mangrove .............................................. 4
2.2 Potensi Hutan Mangrove .............................................. 5
2.3 Pengelolaan Ekosistem Manrove Secara
Berkelanjutan .............................................. 6
2.3.1 Latar Belakang Pengelolaan .............................................. 6
2.3.2 Kebijakan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove .............................................. 7
2.3.3 Prinsip-Prinsip Dasar Konsep
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
.............................................. 8
2.3.4. Karakteristik Habitat Hutan Mangrove .............................................. 9
BAB III. METODELOGI .............................................. 11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 11
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................. 11
3.3 Cara Pengambilan Data .............................................. 11
3.4 Analisis Data .............................................. 11
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 13
4.1 Hasil .............................................. 13
4.2 Pembahasan .............................................. 15
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 17
5.1 Kesimpulan .............................................. 17
5.2 Saran .............................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .............................................. 19
iv
DAFTAR TABEL
Teks Hal
Tabel 1. Jenis jenis mangrove sejati dan mangrove asosia
yang diketemukan di Nusa Lembongan dengan
berbagai fungsinya.
...................................
13
Tabel 2 Hasil analisis vegetasi mangrove sejati dan
mangrove asosiasi di Nusa Lembongan
...................................
14
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakam ekosistem yang secara karakteristik tumbuh
dominan pada wilayah pesisir yaitu daerah pasang surut, daerah lumpur bergaram
termasuk daerah estuary (daerah muara sungai) disepanjang daerah tropis dan sub tropis.
Ditinjau dari letak habitatnya, hutan bakau atau mangrove tumbuh pada daerah peralihan
antara laut dan darat (ecoton). Dengan spesifikasi tumbuhnya hutan bakau ini sehingga
tumbuhan bakau memiliki multi fungsi, baik secara fisik, ekologis, ekonomis maupun
memiliki nilai kearifan lokal baik dari segi budaya, sosial dan agama. Disamping fungsi
penting, secara morfologi hutan bakau mudah dikenali dengan ciri spesifik perakarannya,
seperti pada jenis Prapat (Sonneratia alaba) dan Api-api (Avicennia marina) dicirikan
dengan adanya akar nafas , jenis Bakau (Rhyzophora mucronata) memiliki akar tunjang
dan jenis Lindur (Bruguiera gymnorrhyza) dengan tipe akar lutut.
Berbagai tipe perakaran khas yang dimiliki hutan bakau tersebut merupakan
habitat potensial dan strategis untuk kehidupan berbagai jenis biota laut antara lain jenis
ikan, udang, kerang dan kepiting baik untuk keperluan mencari makan (feeding area),
perkawinan (breeding area ), bertelur/memijah (nursery ground), membesarkan anak
(spawning ground) dan tempat berlindung dari serangan predator. Demikina pula hutan
bakau yang memiliki buah-buahan yang khas dan bisa dimakan, sehingga di wilayah ini
dapat hidup berbagai satwa liar misalnya berbagai jenis burung (Aves), serangga (Insecta)
dan Reptilia (jenis biawak). Sedangkan dari fungsi fisik, hutan bakau yang memiliki
berbagai tipe perakaran adalah cukup potensial untuk melindungi intrusi/peresapan air
laut masuk kedaratan, mencegah abrasi/erosi pantai, dan dapat melindungi kerasnya
angin yang berembus dari laut ke daratan, serta menetralkan bahan pencemar yang
berasal dari daratan maupun dari laut.
Berbagai fungsi alami yang dimiliki hutan bakau sehingga banyak dimanfaatkan
oleh manusia terutama untuk kepentingan ekonomi. Pemanfaatan hutan bakau yang
cukup potensi untuk dikembangkan oleh manusia terutama untuk tambak, baik tambak
udang dan bandeng. Disamping itupula, kawasan pantai yang memiliki hutan mangrove
adalah memiliki topografi datar dan mampu untuk menahan gelombang air laut sehingga
2
cukup potensi untuk pengembangan rumput laut maupun biota pantai lainnya seperti
tripang, berbagai jenis Molusca (kerang-keranan) dan udang.
Pulau Nusa Lembongan dengan luas wilayah 1012 Ha, yang memiliki luas hutan
202 Ha. Dari luasan ini hanya mencapai 19,8 % dari luas total wilayah. Berdasarkan SK.
Menhutbun Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditetapkan bahwa luas yang
ditetapkan sebesar 30 % dari luas total wilayah. Dengan demikian untuk memenuhi
target tersebut seharusnya hutan di Nusa lembongan mencapai 306 Ha. Dengan demikian
perlu dilakukan penambahan kawasan hutan seluas 104 Ha. Mengingat topografi wilayah
Nusa Lembongan yang berbukit-bukit dan memiliki tanah kurang subur, sehingga potensi
pengembangan wilayah hutan lebih difokuskan pada wilayah pesisir yaitu pengembangan
hutan mangrove. Mengingat pula kawasan mangrove sebagai benteng penahan lajunya
ombak, penahan abrasi dan penahan intrusi air laut sehingga keadaan ini memberikan
kontribusi yang besar untuk pengembangan rumput laut, yang merupakan primadona
mata pencaharian bagi masyarakat Lembongan dan sekitarnya.
Pada akhir akhir ini Nusa Lembongan merupakan wilayah yang dikembangkan menjadi
daerah tujuan wisata maka penduduk lokal secara berangsur angsur terjadi alih profesi
dari masyarakat petani (Petani rumput laut, peternak) menjadi massyarakat pariwisata.
Sejalan dengan berkebangnya pariwisata di Nusa Lembongan maka akan diikuti oleh
perkembangan infrastruktur berupa pembangunan sarana pariwisata baik hotel, restauran,
rumah makan, penginapan dan sebagainya. Dengan demikian keberadaan ekosistem
pesisisr termasuk hutan mangrove terjadi ancaman yang dapat mengganggu
ekosistemnya. Sehingga langkah langkah pengelolaan hutan mangrove di Nusa
Lembongan sangat diperlukan oleh masyarakat setempat dan Pemerintah Kabupaten
Kelungkung untuk melestarikan ekosistem mangrove, serta tetap menahan laju
perekembangna pariwisata melalui suatu kontrol terhadap peraturan maupun adat istiadat
lokal.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah bertujuan untuk
a. Mengetahui tingkat Komposisi hutan mangrove di wilayah Nusa lembongan
b. Mengetahui pola penyebaran mangrove di Nusa lembongan.
3
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat dipergunaan sebagai pedoman dalam
upaya pengelolaan dan pemantauan secara berkala terhadap pengelolaan hutan mangrove
di Pulau Lembongan secara berkesinambungan melalui program jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang, yang dapat menunjang pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan (sustainable development).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Vegetasi Mangrove
Vegetasi mangrove merupakan vegetasi yang berkembang di daerah pantai yang
berair tenang dan terlindung dari pengaruh ombak yang besar, dan eksistensinya
tergantung adanya aliran air laut dan air tawar dari darat (Anonim, 1984). Dipandang
dari segi habitusnya, vegetasi magrove merupakan komponen tumbuhan yang
didominasi oleh golongan pohon, yang memiliki tingkat keanekaragaman jenis sedikit,
atau cenderung homogen (Samingan, 1971). Tingkat homogenitas perkembangan
vegetasi mangrove, karena dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor yang tergolong
ekstrim yaitu
a. Faktor edafik (tanah), merupakan medium tumbuh vegetasi mangrove yang tergolong
tidak menguntungkan bagi tumbuhan air. Pengaruh pasang surut air laut secara
periodik mengakibatkan kondisi tanah jenuh akan air, sehingga kondisi tanah
cenderung bersifat anaerobik. Pada habitat yang ekstrim seperti ini hanya beberapa
jenis tumbuhan saja yang mampu tumbuh, antara lain jenis Avicennia nitida dan
Sonneratia caseolaris, yang memiliki akar udara atau pneumatofora, untuk menyerap
oksigen dari udara melalui lenti sel pada saat air laut surut (Soegiarto, 1986).
b. Salinitas, merupakan faktor pembatas utama bagi tumbuhan selain mangrove, karena
salinitas air laut secara normal mencapai 35 %, terdiri dari garam-garam basa (NaCl),
yang memiliki tekanan osmosis tinggi sehingga mudah mengalami plasmolisis,
menyebabkan tanaman menjadi mati (Ewusie, 1990). Adapun jenis mangrove yang
adaptif terhadap salinitas tinggi adalah Rhizophora mucronata, sedangkan jenis
Bruguiera gymnorrhiza, kurang toleran terhadap salinitas tinggi sehingga tumbuh pada
bagian zone belakang, lebih dekat dengan daratan atau adanya pengaruh air tawar dari
daratan (Anonim, 1991).
c. Pasang surut air laut, lebih berpengaruh terutama pada anakan (seedling) mangrove.
Tinngginya pasang surut air laut lebih disebabkan adanya perubahan profil pantai,
seperti adanya reklamasi, seperti yang dilakukan di Pulau serangan akan mengubah
pola arus, sehingga secara morfologis dan fisiologis akan berpengaruh terhadap
perkembangan habitat mangrove (Darsidi, 1991)
5
2.2. Potensi Hutan Mangrove
Menurut Darsidi (1991), hutan mangrove mempunyai potensi yang besar terutama
dari aspek ekologis dan ekonomis. Potensi ekologis terutama dalam mendukung
eksistensi lingkungan, seperti: penahan angin, penahan intrusi air laut, penahan abrasi
pantai, pengendali banjir, penetralisir polutan, dan sebagai tempat hidup, pemijahan,
perkawinan dan mencari makan dari berbagai jenis biota dari laut dan estuari. Sedangkan
potensi ekonomis adalah berupa produk yang berkaitan dengan keuangan. Salah satu
produk mangrove yang bersifat ekonomi adalah kayunya, baik untuk pulp, bahan kertas,
kayu lapis dan sebagainya( Darsidi, 1991). Ditinjau dari potensi budaya dan agama
(Hindhu), maka jenis buta-buta (Exoecaria agalocha) merupakan jenis mangrove yang
kayu keringnya berbau harum, sehingaa sebagai alternatif pengganti kemenyan atau
cendana sebagai asep (api suci), tetapi jenis ini termasuk dilindungi.
Pentingnya keberadaan hutan mangrove di daerah peisisIr sudah diyakini secara
luas di Indonesia, namun pengelolaan dan pemanfaatannya sampai saat ini belum
berdasarkan atas data dasar yang komprehensif dari sumberdaya mangrove tersebut,
sehingga banyak hutan mangrove yang terdegradasi bahkan hilang sama sekali. Oleh
karena itu kurangnya data dan pengetahuan mengenai ekosistem mangrove merupakan
masalah utama yang penting di Indonesia umumnya dan Bali khususnya . Fenomena
kerusakan hutan mangrove semakin meluas dan masih sebagai issue-issue berkaitan
dengan pembangunan wilayah pesisir yang dilakuan dari berbagai bidang, sehingga
seringnya terjadi konversi kawasan mangrove untuk pemanfaatan lainnya, seperti: untuk
tambak, pemukiman, pariwisata, industri dan kepentingan pemerintah. Disamping
itupula belum adanya kejelasan tat ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir,
sehingga banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kegiatan pembangunan (Ewusie, 1990).
Berdasarkan data dari Kanwil Dephutbun Propinsi Bali tahun 2000, luas hutan
mangrove di Bali mencapai 2.177,50 Ha. Dari luas tersebut hutan mangrove di Nusa
Lembongan mencapai 202,0 Ha atau 9,27 % , semuanya termasuk hutan lindung. Dari
data ini keberadaan hutan mangrove di Nusa Lembongan masih tergolong baik. Tetapi
berkaitan dengan globalisasi pembangunan yang semakin mengarah ke wilayah pesisir
dan menyikapi pelaksanaan Undang-Udang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
sehingga keberadaan hutan mangrove sebagai benteng pertahanan wilayah pesisir,
6
dipandang sebagai obyek pengelolaan pembangunan dari segala sektor khususnya dunia
pariwisata. Oleh karena itu sistem pembinaan dan pengelolaan hutan mangrove akan
mengacu pada norma hutan mangrove yang lestari dalam lingkungan wilayah pesisir
secara optimal. Hal ini akan mendasari pelaksanaan pemulihan fungsi dan peranan hutan
mangrove serta kelembagaan masyarakat di dalamnya dalam upaya pengendalian dampak
pembangunan wilayah pesisir di Desa Lembongan ini.
2.3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara berkelanjutan
2.3.1. Latar Belakang Pengelolaan
Dengan pesatnya pembangunan di Bali umumnya dan di Nusa Lembongan
khususnya yang lebih banyak mengarah ke wilayah pesisir, terutama pembangunan yang
mengarah kepentingan ekonomi atau kesejahtraan manusia, seperti pembangunan di
bidang pariwisata (hotel, restauran), maupun di bidang perikanan ( tambak), dan usaha-
usaha pertanian lainnya (pengembangan lahan rumput laut). Kegiatan-kegiatan tersebut
sering tidak terkontrol sehingga banyak melakukan penebangan terhadap hutan
mangrove.
Secara nasional luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 seluas 4.251,011
Ha, (Ditjen Intag, Dephut 1002), kemudian setelah tahun 1993 tercatat luas hutan
mangrove menjadi 3.771,493 Ha. Dengan demikian selama 12 tahun hutan mangrove
berkurang 11,2 %. Berdasarkan data tersebut untuk menjaga kelestarian hutan mangrove
tersebut perlu dilakukan pengelolaan secara berkesimbungan. Akan tetapi untuk hutan
mangrove di Bali tahun 1984 tercatat seluas 1.950 Ha, kemudian tahun 1999 tercatat
seluas 2.177 Ha atau mengalami peningkatan luas sebesar 227 Ha atau 10,42 %. Hanya
saja luasan ini merupakan luas kawasan hutan mangrove yang telah banyak dipinjam
pakai untuk berbagai kepentingan terutama hutan mangrove di TAHURA Ngurah Rai
Denpasar. Berdasarkan Data Statistik Dephutbun Propinsi Bali tahun 1999, luas hutan
mangrove khususnya di kawasan TAHURA RTK. 10 Ngurah Rai, yang tidak bervegetasi
seluas 256 Ha, yaitu dipinjam pakai seluas 176 Ha dan kawasan kosong bekas tambak
seluas 80 Ha. Sedangkan untuk kawasan mangrove di Nusa Lembongan seluas 202 ha
masih tergolong baik. Tetapi luasan tersebut baru memenuhi 19,8 % dari luas total
daratan. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, target
7
yang harus dipenuhi minimal 30 %. Dengan demikian perlu ada penambahan kawasan
hutan seluas 104 Ha untuk mencapai target minimal 30 % atau 306 Ha.
Berdasarkan kondisi geografis Pulau Nusa Lembongan dengan struktur tanah
dengan dasar gamping, dan solum tanah tipis, sehingga arah pengembangan kawasan
hutan lebih terarah pada hutan mangrove. Dari latar belakang tersebut untuk
mempertahankan luas bahkan meningkatkan jumlah tersebut maka perlu pengelolaan
secara berkesinambungan dengan melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, LSM
maupun masyarakat. Hal ini lebih terfokus lagi dengan menyikapi Undang-Undang
No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, dimana masyarakat dan LSM berperan
penting sebagai stekholder dalam hal pengelolaan lingkungan, khususnya lingkungan
pesisir..
2.3.2. Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam hal pengelolaan mangrove:
a. Pengelolaan ekosistem mangrove harus merupakan bagian integral dari pengelolaan
wilayahpesisisr secara terpadu.
b. Pengelolaan ekosistem mangrove harus berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian
hasil dan kelestarian fungsi.
c. Pemanfaatan sumberdaya mangrove harus dilaksanakan seefektif dan seefisien
mungkin, sehingga meminimalkan dampak negatif terhada ekosistem lain di
sekitarnya.
d. Perlunya pembatasan ijin dari pemerintah terhadap proyek-proyek yang akan
dibangun di wilayah pesisir yang akan berdampak besar terhadap komponen-
komponen ekosistem.
e. Pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan harus dilaksanakan secara
terpadu dan serasi antara tujuan pemerintah (top down) dengan tujuan masyarakat
bawah (bottom up)
f. Konsep pengelolaan ekosistem mangrove harus bersifat fleksibel untuk
mengakomodir perubahan-perubahan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi
lingkungan setempat.
g. Pengelolaan ekosistem mangrove hrus ditunjang oleh peraturan-peundangan yang
tegas dan konsisten (Anonim. 1999)
8
2.3.3 Prinsip-Prinsip Dasar Konsep Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Prinsip-perinsip dasar yang mengacu pada konsep pengelolaan ekosistem
mangrove harus didasarkan pada konsep konservasi. Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pengelolaan yang didasarkan pada konsep konservasi yaitu mengacu pada 3 ketentuan
pokok yaitu:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan, yakni perlindungan terhadap keseluruhan
proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati.
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Dari tiga konsep diatas dapat dijadikan rambu-rambu untuk menangkal
kehilangan hutan mangrove. Akibat pengurangan luas hutan mangrove tersebut akan
terkait dengan kehilangan habitat potensial bagi kebutuhan biota perairan, baik untuk
keperluan mencari makan, untuk kawin, memijah dan mebesarkan anak. demikian pula
untuk satwa yang hidup pada tajuk pohon seperti berbagai jenis burung, insekta, maupun
mammalia.
Untuk itu sangatlah penting bahwa proyek penelitian secara hati-hati,
direncanakan dan dilaksanakan, setelah itu hasil penelitian disusun sebagai dokumen
sehingga secara langsung dan praktis dapat dijadikan informasi dan pedoman tentang
sistem pengelolaan mangrove di Pulau Lembongan khususnya dan di Bali umumnya.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang tersusun dari sumberdaya alam
yang dapat diperbaharui, tetapi sangat rawan terhadap gangguan terutama gangguan
manusia. Untuk menjaga kerusakan sumberdaya mangrove secara berlebihan maka
hutan mangrove di Nusa Lembongan perlu dijadikan sumberdaya yang terlindungi. Dan
untuk menyeimbangkan ketiga aspek fungsi hutan mangrove yaitu aspek ekologi, sosial
dan ekonomi, maka dalam pengalokasian dan pengelolaannya perlu diterapkan sistem
pemintakatan atau zonasi, meliputi:
1. Zona Inti : zona/kawasan yang tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan manusia
(bebas dari gangguan manusia), sehingga vegetasi yang tumbuh betul-betul alami, dan
sekaligus tempat kehidupan berbagai biota maupun satwa mangrove seperti: udang,
kepiting, ikan, termasuk berbagai jenis burung, reptilia dan insekta
9
2. Zona Pengelolaan : suatu mintakat yang dikelola oleh manusia, sehingga
sumberdayanya dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan konsep pemanfaatan secara
lestari (dapat dipulihkan kembali). Konsep ini tentu didasari perencanaan dan
pengelolaan secara hati-hati, sehingga kerusakan ekosistem dapat ditekan sekecil
mungkin. Contoh pemanfaatnya: untuk penelitian, pendidikan.
3. Zona pengembangan/pemanfaatan : zona yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia dalam hal menunjang kesejahtraan rakyat. Pemanfaatan ini
untuk kepentingan tambak atau untuk pengambilan hasil hutan (buah, getah). Jadi
zone ini merupakan pengembangan alternatif yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama, tetapi tetap dibawah pengawasan Instansi (Dinas Kehutanan)
maupun masyarakat adat.
2.3.4. Karakteristik Habitat Hutan Mangrove
Menurut Bengen (1999), karakteristik penyebaran hutan mangrove tergantung
oleh berbagai faktor lingkungan. Berdasarkan perbedaan kondisi substrat sebagai habitat
mangrove sangat terkait dengan jenis mangrove yang tumbuh diwilayah/zona tersebut.
Berdasarkan perbedaan kondisi substrat pada habitat mangrove mulai dari Zone terdepan
(yang berhadapan dengan laut) sampai dengan habitat yang berbatasan dengan daratan
maka Bengen (1999) membedakan habitat mangrove di Indonesia dalam 4 zona yaitu
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada substrst lumpur berpasir yang kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
3. Zona berikutnya merupakan habitat berlumpur keras didominasi oleh Bruguiera spp.
4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
10
Gambar 1. Fungsi Hutan Mangrove dalam Rantai Makanan
11
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian yaitu pada kawasan hutan mangrove di Pulau Lebongan ,
Kabupaten Kelungkung Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan , mulai dari bulan Maret
sampai April 2018
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat berupa : tali plastik (untuk garis utama, dan untuk garis transek), patok
besi. kertas, gunting, sasak, meteran. Sedangkan bahan yang dipakai berupa: tumbuhan
mangrove pada zone depan, zone tengah maupun belakang.
3.3 Cara Pengumpulan data
Data primer diperoleh dengan melakukan pengukuran terhadap semua jenis
vegetasi mangrove , mulai dari zone depan, tengan dan belakang. Metode pengukuran
dilakukan dengan metode transeks (tanpa plot). Dimana garis utama direntangkan dari
zone paling depan (berbatasan dengan laut).
3.4. Analisis Data
Data-data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis beberapa parameter
sebagai berikut ( Hardjosuwarno, 1989):
a. Frequensi = Banyaknya titik tempat jenis terdapat
Banyaknya titik pada seluruh transek
b. Densitas = Jumlah individu suatu jenis
Jumlah titik yang diteliti
Total basal area jenis yang terdapat pada seluruh titik yang diteliti
c. Dominansi =
Jumlah titik pada seluruh garis transek
Frequensi suatu jenis d. Frequensi relatif = x 100 % Total frequensi seluruh jenis
Densitas suatu jenis e. Densitas relatif = x 100 % Total densitas seluruh jenis
12
Dominansi suatu jenis
f. Dominansi relatif = x 100 % Total dominansi seluruh jenis
g. Nilai penting (Importance value) suatu jenis = Frequensi relatif + densitas relatif +
dominansi relatif
h. Index Diversitas Shannon : H = - X2 ( ni/N) log (ni/N )
Keterangan.
H = Indeks Diversitas Shannon (Krebs, 1973 )
Ni = Nilai penting suatu jenis
N = Total nilai penting seluruh jenis
i. Pola penyebaran Jenis , dinyatan dengan rumus = V/M. V= Varian
M= Mean/rata-rata
X2 - ( X )
2 Keterangan
N X = Jumlah individu setiap jenis N – 1 N = Jumlah jenis yang ditemukan
X X = Rata rata jenis yang ditemukan
Jika V/M = 1 Pola penyebaran vegetasi bersifat Acak
Jika V/M < 1 Pola penyebaran vegetasi bersifat seragam
Jika V/M > 1 Pola penyebaran vegetasi bersifat megelompok
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Jenis jenis vegetasi yang diketemukan di kawasan hutan mangrove lembongan
terdiri dari 2 katagori yaitu mangrove sejati (true mangrove) yaitu jenis mangrove yang
betul betul tumbuh di habitat pasang surut air laut dengan substrat berlumpur asin yang
memiliki kadar salinitas tinggi mulai dari zone terdepan (dekat dengan laut) sampai ke
daratan dan mangrove asosiasi yaitu jenis jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi
dengan salinitas atau dikenal dengan mangrove pendamping.
Jenis jenis tersebut seperti tercantum pada Tabel 1 dan 2. Adapun jenis mangrove sejati
yang diketemukan di Nusa Lembongan terdiri dari 13 jenis yang memiliki berbagai
fungsi Sedangkan mangrove asosiasi diketemukan 12 jenis. Jenis jenis tersebut seperti
tercantum pada Tabel 1. Sedangkan hasil Hasil analisis vegetasi mangrove sejati dan
mangrove asosiasi di Nusa Lembongan dapat tersaji pada Tabel 2
Tabel 1. Jenis jenis mangrove sejati dan mangrove asosia yang diketemukan di Nusa
Lembongan dengan berbagai fungsinya. No Nama
Lokal
Nama
Ilmiah
Fungsi Keterangan
1 2 3 4
1
Bakau
Rhyzophora
stylosa
Kayu untuk pulp, kayu bakar, tiang rumah. Air buah
dan kulit akar yang muda dapat dipakai untuk mengusir
nyamuk.
Mangrove
sejati
2 Bakau Rhyzophora
apiculata
Kayunya baik untuk kayu bakar, arang, chips dan kayu
konstruksi
Mangrove
sejati
3 Lindur,
Tanjang
Bruguiera
gymnorrhiza
Kayunya untuk arang dan kayu bakar. Tanin (getah)
dan kulit batang yang muda sebagai penyedap ikan
yang masih segar. Pneumatophore (akar ) dapat untuk
ditumbuhkan secara vegetatif.
Mangrove
sejati
4 Tingi,
Mentigi
Ceriop tagal Kulit batang untuk zat pewarna/pengawet alat-alat
tangkap nelayan(jaring, jala), dan industri batik.
Kayunya berlualitas untuk kayu lapis. Kulit untuk obat
tradisional.
Mangrove
sejati
5 Prapat/
Pedada
Sonneratia
alba
Buahnya dapat dimakan mentah, daunnya untuk pakan
ternak, cairan buah untuk kosmetika (penghalus kulit).
Mangrove
sejati
6 Api-api,
Sia-sia
putih,
Avicennia
marina
Daun muda untuk sayur, pollen (serbuk sari) penghasil
madu yang dapat menarik lebah madu untuk
diternakkan, abu kayunya baik untuk bahan dasar
sabun cuci.
Mangrove
sejati
7 Api-api Avicennia
officinalis
Biji dapat dimakan setelah dicuci dan direbus.
Mangrove
sejati
8 Sia-sia, Api-api
Avicennia
alba
Daun muda untuk pakan ternak, biji yang direbus dapat
dimakan, kulit buah untuk obat tradisional, zat (resin
dari buah) yang dikeluarkan dapat untuk mencegah
Mangrove
sejati
14
kehamilan.
9 Teruntun,
kacangan
Aegiceras
corniculatum
Untuk kayu bakar, kulit dan bijinya dapat sebagai
racun ikan.
Mangrove
sejati
10 Buta-buta Exoecaria
agalocha
Getah beracun dapat dipakai untuk meracun ikan,
kayunya mengandung zat pembersih, dapat sebagai
bahan korek api, kayu yang kering berbau harum dapat
sebagai pengganti kemenyan untuk pasepan (asep) saat
upacara agama
Mangrove
sejati
11 Kedukduk,
saman sigi,
Lumnitzera
racemosa
Kayunya untuk tiang, papan. Daun yang direbus dapat
sebagai obat sariawan.
Mangrove
sejati
12 Nipa/
Buyuk
Nypa
fruticans
Daun bermanfaat untuk atap, di bali bermanfat untuk
sarana banten, buahnya yang masih muda untuk kolang
kaling, yang tua untuk manisan, untuk gula merah.
Mangrove
sejati
13 Banang
Banang
Xylocarpus
granatum
Kayu baik untuk papan dan ukiran. Akarnya untuk
bahan kerajinan/hiasan, untuk industri pensil. Kulit
bantang yang direbus untuk obat diarhe. Buahnya yang
berminyak dapat untuk minyak rambut tradisional.
Mangrove
sejati
14 Jeruju,
Daruju
Acanthus
ilicifolius
Buah Jeruju baik untuk menyembuhkan bisul, jerawat,
dan kurap.
Mangrove
asosiasi
15 Bogem,
Keben
Barringtonia
asiatica
Buah dan biji bisa untuk gangguan mata merah,
katark, myopia (mata minus). Buah keben juga bersifat
farmakologis untuk anti bakteri, anti jamur dan
analgesik
Mangrove
asosiasi
16 Camplung,
Nyamplung,
Callophylum
inulipolium
Kayunya baik untuk papan, getahnya mengandung
mengandung minyak tamanu Ekstrak buahnya untuk
minyak nabati,
Mangrove
asosiasi
17 Widuri,
Medori,
Biduri
Calotrophis
gigantea
Bunganya mengandung fuscharin, kalotropin saponin
adalah baik untuk obat radang lambung, sakit gigi,
meradan bisa ular, mencegah penyakit lepra, nyeri otot
Mangrove
asosiasi
18 Kambingan,
Akar tuba
Derris
trifolia
Dunnya mengandung deguelin, elliptone, retenon yang
efektif sebagai racun ikan ,baik sebagai pestisida nabati
pengendali ulat daun, kutu, tungau dan hama keong.
Mangrove
asosiasi
19 Waru
lengis
Hibiscus
tilliaceus
Kayunya untuk kayu bakar, bahan bangunan, Daunnya
untuk obat sakit di persendian, ekstarak daun untuk
sesak nafas, panas dalam, batuk dan TBC.
Mangrove
asosiasi
20 Katang-
katang,
Ipomoea
pes-caprae
Selain sebagai penahan abrasi dan intrusi air laut,
daunnya bermanfaat sebagai peredam sariawan,
mempercepat penuaan bisul, memperlancar kencing.
Mangrove
asosiasi
21 Pandan Pandanus
tectorius
Daun kering untuk anyaman tikar, untuk kerajinan tas,
topi. Untuk kesehatan tubuhun, penyakit kulit,
melancarkan saluran kencing, obat gatal. Obat panu,
kurap dan kudis.
Mangrove
asosiasi
22 Gegabusan Scaepola
taccada
Mangrove
asosiasi
23 Ketapang Terminalia
catappa
Daunnya sebagai bahan dasar pembuatan tinta,
penyamak kulit, Bijinya bisa sebagai bahan dasar kue,
Buah biji ketapang untk membantumenutunkan
kolesterol dalam darah.
Mangrove
asosiasi
24 Waru lot Thespenia
populnea
Kayunya ringan sebagai papan, kulit kayunya sebagai
serat, daun dan buah sebagai obat penurun panas.
Mangrove
asosiasi
25 Legundi,
Ligundi
Vitex ovata Ekstrak daun obat penurun diarhe, obat cacing,
mencegah eksim pada kulit, daun untuk mencegah
pusing, masuk angin dan sebagainya.
Mangrove
asosiasi
14
Tabel 2 Hasil analisis vegetasi mangrove sejati dan mangrove asosiasi di Nusa Lembongan
No Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah
terdapat
Frequensi .
Relatif %)
Densitas
Relatif (% )
Dominansi
relatidf (% )
Indeks Nilai
Penting ( % )
Indeks
Diversitas
1 Bakau Rhyzophora stylosa 33 8,266 17,547 30,233 56,046 0,1384
2 Bakau Rhyzophora apiculata 35 7,665 24,439 19,532 51,413 0,2291
3 Lindur, Tanjang Bruguiera gymnorrhiza 40 7,442 13,601 16,758 37.801 0,1021
4 Tingi, Mentigi Ceriop tagal 20 6,303 7,400 8,205 21,908 0,0535
5 Prapat/ Pedada Sonneratia alba 45 4,612 7,506 9,700 21,818 0,0680
6 Api-api, Sia-sia putih, Avicennia marina 35 4,149 4,803 6,202 15,154 0,0940
7 Api-api Avicennia officinalis 31 4,240 1,101 2,125 7,466 0,0300
8 Sia-sia, Avicennia alba 20 2,618 3,307 2,181 8,106 0,0230
9 Teruntun, kacangan Aegiceras corniculatum 37 3,311 2,173 0,049 5,533 0,0047
10 Buta-buta Exoecaria agalocha 45 3,565 2,240 1,010 6,815 0,0048
11 Kedukduk, saman sigi, Lumnitzera racemosa 25 2,545 0,250 0,016 2,811 0,0290
12 Nipa/Buyuk Nypa fruticans 40 2,052 0,225 0,015 2,322 0,1112
13 Banang Banang Xylocarpus granatum 47 2,433 0,315 0,130 2,881 0,1124
14 Jeruju, Daruju Acanthus ilicifolius 50 1,112 0,221 0,101 1,430 0,0211
15 Bogem, Keben Barringtonia asiatica 32 0,577 0,312 0,115 1,004 0,0231
16 Camplung, Nyamplung, Callophylum inulifolium 25 1,002 0,411 0,253 1,666 0,0342
17 Widuri,Medori, Biduri Calotrophis gigantea 40 0,995 0,311 0,221 1,527 0,0234
18 Kambingan, Akar tuba Derris trifolia 45 1,225, 0,461 0,331 2,017 0,0211
19 Waru lengis Hibiscus tilliaceus 50 1,012 0,511 0,412 1,935 0,0312
20 Katang-katang, Ipomoea pes-caprae 60 0,551 0,671 0,423 1,645 0,0221
21 Pandan Pandanus tectorius 55 0,667 0,464 0,322 1,453 0,0332
22 Gegabusan Scaepola taccada 35 0,767 0,551 0,328 1,646 0,0112
23 Ketapang Terminalia catappa 40 1,231 1,233 0,433 2,897 0.0365
24 Waru lot Thespenia populnea 20 0,992 0,445 0,233 1,670 0,0336
25 Legundi, Ligundi Vitex ovata 30 0,322 0.442 0,212 0,976 0,0112
98,798 99,113 99,461 297,372 2,1442
15
Pola Penyebaran jenis
X2 - ( X )
2 37177-855625
N = 25 = 0,299 N – 1 24
X 37
Jadi V/M = 0,299 V/M < 1 bersifat Seragam
Jadi Pola Penyebaran Jenis mangrove di Pulau Nusa Lembongan bersifat seragam
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan terhadap identifikasi vegetasi mangrove
di Pulau Lembongan diketemukan 25 jenis, terdiri dari 13 jenis tergolong mangrove sejati
(true mangrove) atau jenis jenis mangrove yang bersifat eksis atau mampu tumbuh dan
beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim yaitu daerah pasang surut air laut mulai dari
habitat dengan substrat berpasir sampai ke arah daratan dengan substrat lumpur asin yang
padat, dan 12 jenis tergolong mangrove asosiasi yaitu jenis tumbuhan yang mampu
tumbuh pada habitat yang mengandung garam. Tetapi jenis jenis ini tumbuh di daratan
bebasa terhadap pasang surut ( Tabel 1). Semua jenis mangrove baik yang mangrove
sejati maupun mangrove asosiasi selain memiliki fungsi ekologis, ekonomis juga
berfungsi sebagai bahan dasar obat untuk penyembuhan berbagai macam penyakit.
Sedangkan hasil analisis vegetasi Mangrove sejati dan mangrove asosiasi di Pulau
Lembongan diktemukan 25 jenis terdiri dari 13 jenis mangrove sejati dan 12 jenis
mangrove asosiasi (Tabel 1 dan 2). Dari 25 jenis tersebut yaitu 23 jenis tergolong pohon
dan 2 jenis tergolong semak dan ada 5 jenis yang memliliki nilai penting tinggi
(INP > 20 %) yaitu bakau (Rhyzophora stylosa) dengan INP = 56,046 %, Bakau
(Rhyzophora apiculata) indek INP = 51,413%, Lindur, Tanjang (Bruguiera
gymnorrhyza) , INP = 37.801, Mentigi ( Ceriop tagal) (INP = 21,908 %), dan Pidada
(Sonneratia alba ( INP = 21,818 % ). Satu jenis yang memiliki nilai penting sedang (<10
INP <20 %) yaitu Api api (Avicennia marina), dan 19 jenis lainnya termasuk jeis yang
memilililki nilai penting rendah (INP< 10 %). Secara keseluruhan vegetasi bakau di
Pulau Lembongan baik yang sejati dan yang asosiasi memiliki nilai penting sebesar
297,372 % . Hal ini menyatakan komunitas mangrove sejati telah eksis serta mampu
berdaptasi dengan lingkungannya. Hanya saja mangrove asosiasi masih banyak
16
mengalami gannguan terutama dari masyarakat sehingga semua jenis mangrove asosiasi
(12 jenis) memiliki nilai penting rendah. Hasil analisis terhadap Keanekaragaman jenis
berdasarkan Indeks Diversitas = 2, 1442 . Ini merupakan nilai yang lebih besar dari 1,5
Menurut Bengen (2001) hal ini merupakan komunitas mangrove sejati baik tingkat pohon
dan anakan dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan dan mampu membentuk
ekosistem yang setabil (homeostasis).
Bila diperhatikan dari pola penyebaran jenis vegetasi mangrove di Pulau
lembongan baik mangrove sejati dan asosiasi dengan hasil perhitungan V/M = 0,299. Ini
menunjukkan pola penyebaran vegetasi tergolong seragam . Menurut Samingan (1995)
tingkat keseragaman jenis ditentukan oleh kondisi lingkungan terutama substrat sebagai
tempat tumbuh vegetasi dan keadaan pasang surut air laut. Pulau Lembongan termasuk
pulau kecil dengan luas 6150 Ha, tanah kering tektur tanah berkapur dan tidak ada
sungai yang mengalir seperti biasanya dengan airan air yang jauh dari hulu ke hilir. Akan
tetapi di Nusa lembongan hanya ada Mata air yang banyak dimanfaatkan penduduk untuk
mandi cuci dan air minum. Dengan demikian tidak ada muara sungai sebagai pasokan air
tawar dan mengendapkan lumpur sebagai sarat utama pertumbuhan mangrove.
Pertumbuhan mangrove secara mengelompok di Nusa Lembongan akibat ombak laut
yang tenang tertahan oleh Nusa Ceningan sehingga demikian pula di sebelah timur yang
berbatasan dengan Nusa Penida sehingga Desa Jungut Batu memiliki arus laut yang
tenang menyebabkan mangrove dapat tumbuh dengan baik dan bersifat mengelompok.
Sama halnya dengan perbatasan antara Pulau Lembongan dengan Pulau Ceningan juga
dapat tumbuh bakau dengan baik dan mengelompok. Berdasarkan kondisi seperti itu
hasil analisis penyebaran bakau di Nusa Lembongan (V/M = 0, 299 ) termasuk
mengelompok.
17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.
Dari hasil penelitian terhadap vegetasi hutan bakau ( Mangrove) di Pulau
Lembongan dapat disimpulkan
a. Jenis tumbuhan mangrove yang diketemukan di Pulau Lembongan berjumlah 25 jenis
terdiri dari 13 jenis mangrove asli (true mangrove) dan 12 jenis mangrove asosiasi.
Dari 25 jenis mangrove yang diketemukan terdiri dari 5 jenis memiliki nilai penting
tinggi yang semuanya dari jenis mangrove sejati yaitu Bakau (Rhyzophora stylosa,
INP = 56,046%), Bakau kurap (Rhyzophora apiculata, INP = 51,413%),Tanjang
(Bruguiera gymnorrhiza, INP = 37,801%), Mentigi ( Cerioph tagal, INP= 21,908%)
dan Prapat/Pidada ( Sonneratia alba, INP= 21,818 % , satu jenis yaitu Apia pi
(Avicennia marina) miliki nilai penting sedang , dan 19 jenis memiliki nilai penting
rendah.
b. Hasil analisis vegetasi mangrove di Pulau Lembongan baik mangrove sejati dan
asosiasi secara keseluruhan memeiliki nilai penting sedang (INP= 297,372 %) yang
memiliki tingkat pertumbuhan yang mantap dan setabil.
c. Tingkat keanekaragam jenis mangrove di Pulau Lembongan tergolong seragam dan
Pola pertumbuhan tergolong mengelompok.
d. Menjaga kesetabilan ekosistem Mangrove di Pulau Lembongan perlu dikelola secara
kontinyu dan berkelanjutan.
5.2 Saran
Untuk mencapai sasaran hutan mangrove di Pulau Lembongan mencapai ekosistem
yang setabil serta sebagai penunjang pariwisata alam maka dapat disarankan :
a. Ekosistem hutan Mangrove di Jungut Batu, Tanjung Kotal dan Perbatasan Pulau
lembongan dan Pulau Ceningan sebagai habitat yang baik pertumbuhan hutan bakau
perlu dikelola dengan baik dengan cara dilakukan reboisasai secara kontinyu oleh
masyarakat bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Pertanian serta pemerintah
daerah Kabupaten Kelungkung.
b. Perlu meingkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan penebangan secara
liar terhadap pohon bakau dan jangan membuang sampah ke laut terutama sampah
18
plastik yang sangat mudah menutupi permukaan akar pensil dari pidada
Sonneratia alba) dan akar lutut dari tanjang (Bruguiera gymnorrhyza) yang
mengganggu proses penyerapan oksigen saat fotosintesis, sehingga berpengaruh
terhadap metabolisme dan berpotensi terjadi kematian.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1984. Laporan Telaah Tata Guna Ekosistem Mangrove Pantai Utara Jawa
Barat. M.A.B - LIPI dan Perum Perhutani.
Anonim 1999. Undang Undang RI No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahanan Daerah.
Jakarta
Anonim, Undang undang No 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Sekretris jendral
Departemen Kehutanan dan Perkebunan . Jakarta
Anonim. 1990. Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Deprtemen
Kehutanan dan Perkebunan Jakarta
Bengen, 1999. Pengelolaan Hutan Mangrove . Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Darsidi, A.1991. Perkembangan Pemanfaatan HUtan Mangrove di Indo- nesia
Ewusie J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Membicarakan Alam tropika Afrika,
Asia, Pasifik dan Dunia Baru. ITB Bandung.
Hardjosuwarno, S. 1989. Ekologi Tumbuhan. Catatan Kuliah Pada Fakultas Biologi
UGM Jilid I. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.
Krebs, J.C. 1978. Ecology. The Experimentals Analysis of Distribution and
Abundance. Harper & Row Publisher, New York.
Mardani, N. K. 1989. Pengaruh Proyek Pengelolaan Sampah Terhadap Kelestarian
Kualitas Perairan Pantai Sanur-Benoa, Bali. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.
Samingan, T. 1971. Tipe-Tipe Vegetasi (Pengantar Dendrologi). Bagian Ekologi
Tumbuhan, Fak. Pertanian IPB, Bogor.
Soegiarto, A. 1986. The Mangrove Ecosystem in Indonesia. It,s Problem and Manage-
ment. In : Coastal and Tidal Wetlands of the Austra lian Monsoon Region.