8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Berikut ini dikemukakan beberapa penelitian mutakhir sebelumnya yang
mengangkat topik yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut
ditinjau lalu dibandingkan dengan penelitian ini sehingga tampak sejauhmana
penelitian ini penting bagi dunia pendidikan dan mendesak untuk dilakukan.
Hirano dalam makalahnya The Importance of Learning and Teaching
Communicative Writing: To End the Primacy Battle between Writing and Speaking
(2010) memaparkan bagaimana keterampilan menulis dalam pengajaran dan
pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Di samping itu, juga
menunjukkan betapa pentingnya untuk mentransformasikan aktivitas menulis belaka
menjadi aktivitas menulis komunikatif dalam pembelajaran bahasa Inggris. Hirano
mengemukakan bahwa guru dalam mengajarkan bahasa Inggris hanya menekankan
terjemahan sebagai aktivitas menulis yang paling utama. Walaupun metode
grammar-translation sangat banyak dikritisi, metode tersebut tidak sepenuhnya
menghilang atau tidak digunakan lagi. Selain itu, dijelaskan juga bahwa ketika orang
Jepang menggunakan bahasa asing, mereka harus mengetahui perbedaan dan
persamaan pola gagasan bahasa tersebut dengan bahasa Jepang, yang membuat
menulis komunikatif menjadi sulit. Penelitian Hirano tersebut hanyalah penelitian
9
deskriptif yang menjelaskan teori-teori ataupun penelitian-penelitian sebelumnya
berkenaan dengan keterampilan menulis dan pembelajaran menulis komunikatif.
Tentu saja terdapat perbedaan yang cukup besar antara penelitian ini dan penelitian
Hirano karena penelitian ini akan menunjukkan bagaimana penerapan WCA dalam
RPP pada pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Hal
tersebut menunjukkan bahwa penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang
berbeda dan baru karena lebih memberikan konstribusi nyata pada suatu proses
pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hirano.
Penelitian Zubadiah (2011) berjudul “Penerapan Pendekatan Komunikatif dalam
Pembelajaran bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara pada
Siswa Kelas III SDN Pisangcandi 2 Malang”. Penelitian Zubadiah merupakan
penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran keterampilan berbicara dari
segi keberanian, keaktifan, kelancaran, intonasi, dan keruntutan dalam melakukan
percakapan, dan diksi. Apabila dibandingkan dengan penelitian ini, penelitian ini
selain memfokuskan pada pengajaran keterampilan berkomunikasi juga menitik-
beratkan pada keterampilan menulis dan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar
dari bahasa Inggris. Artinya, penelitian ini tidak hanya melihat dari segi pengajaran,
tetapi juga dari segi kelinguistikan. Dengan kata lain, bila dibandingkan dengan
penelitian Zubadiah, penelitian ini tidak hanya bermanfaat dari aspek pengajaran,
tetapi juga dari aspek linguistik. Penelitian ini diharapkan akan menjadi inspirasi bagi
10
peneliti lain yang tertarik tidak saja pada dunia pendidikan, tetapi juga peneliti yang
tertarik pada linguistik.
Penilitian Pratiwi (2012) berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan
Metode Debat Plus dalam Proses Pembelajaran Bahasa Inggris pada Siswa Kelas XI
IPA SMA Pariwisata Kerha Wisata Denpasar”. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pengunaan metode debat plus dapat meningkatkan keterampilan
berbicara bahasa Inggris berupa peningkatan dari segi pelafalan dan pemilihan kosa-
kata hingga sebesar 25% setelah dilakukan dua tahap siklus penelitian. Perbedaan
antara penelitian ini dan penelitian Pratiwi adalah pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan komunikatif, sedangkan penelitian Pratiwi
menggunakan metode debat plus. Di samping itu, penelitian yang dilakukan Pratiwi
hanya mencermati peningkatan keterampilan berbicara siswa dari segi pelafalan.
Penelitian ini dirasakan dapat memberikan sumbangan yang lebih tepat sasaran
dibandingkan dengan penelitian Pratiwi. Dikatakan demikian karena penelitian ini
menerapkan pendekatan komunikatif dengan WCA untuk meningkatkan kemampuan
berkomunikasi yang dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari dan kemampuan
tata bahasa Inggris siswa.
Penelitian berikutnya oleh Rahayu (2012) dengan judul “Penerapan Pendekatan
Kontekstual dalam Peningkatan Kompetensi Menulis Karangan Deskriptif pada
Siswa Kelas VIII SMP Harapan Mulia Denpasar TP 2011/2012.” Dalam penelitian
itu Rahayu menyimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran keterampilan menulis karangan deskriptif dapat meningkatkan
11
kompetensi menulis karangan deskriptif siswa yang ditunjukkan dengan tingkat
ketuntasan 67,86% pada siklus I dan 100% pada siklus II. Penelitian Rahayu
menitikberatkan pada peningkatan kompetensi menulis yang terbatas hanya pada
menulis karangan deskriptif. Di pihak lain penelitian ini tidak hanya difokuskan pada
peningkatan kemampuan menulis dalam hal ini penguasaan tata bahasa Inggris, tetapi
juga kemampuan siswa dalam memproduksi suatu ujaran yang tepat dari situasi
komunikasi yang diberikan. Inilah yang menunjukkan salah satu keunggulan
penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu.
Keunggulan lain penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Rahayu adalah
penelitian Rahayu menggunakan pendekatan kontekstual, sedangkan penelitian ini
menggunakan WCA. Artinya, tidak hanya terdapat konteks yang tercakup di
dalamnya, tetapi juga kompetensi menulis secara umum, yaitu penggunaan tata
bahasa Inggris yang tepat menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini.
2.1 Konsep
Terdapat beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep
tersebut akan memberikan batasan terhadap terminologi teknis yang ditemukan dalam
penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini seperti
berikut.
12
2.1.1 Written Communicative Activity
Berikut dipaparkan beberapa definisi tentang WCA.
1) Written communicative activity (WCA) adalah aktivitas menulis yang tidak hanya
menekankan pada ketepatan suatu tata bahasa, tetapi juga pada penggunaan
aktivitas tersebut yang ditujukan pada keberadaan pembaca atau pendengar untuk
menggunakan kemampuan performatif guna mencipatakan komunikasi yang
bermakna (Widdowson, 1978).
2) Written communicative activity (WCA) adalah aktivitas, ketika pembelajar perlu
mengekspresikan diri melalui bahasa yang merupakan kriteria paling penting
untuk menyeleksi, menilai, dan mengorganisasikan bahasa yang diajarkan dalam
proses belajar mengajar (Abbs dan Freebairn, 1980).
3) Written communicative activity (WCA) adalah aktivitas dalam proses pengajaran
bahasa yang dirancang atas pertimbangan untuk menghasilkan siswa yang mampu
berkomunikasi (communication output) (Harmer, 1986: 47).
Dari beberapa definisi tentang WCA oleh para ahli di atas, penelitian ini
menggunakan pendapat Harmer (1986). Pendapat Harmer dipilih karena paling
relevan dengan penelitian ini yang mengintegrasikan antara keterampilan menulis dan
keterampilan berbicara siswa, yakni pemahaman konteks komunikasi bahasa Inggris,
sehingga mampu menggunakan bahasa Inggris yang tepat sesuai dengan konteks
komunikasi yang diberikan. Di samping itu, pandangan Harmer dilengkapi dengan
beberapa contoh WCA yang dapat diterapkan dalam pengajaran bahasa. Hal tersebut
dipaparkan lebih terperinci pada landasan teori.
13
Berdasarkan definisi-definisi WCA di atas, dapat dikatakan bahwa konsep
operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep tentang perancangan
WCA. Perancangan WCA adalah perancangan suatu aktivitas menulis komunikatif
yang disesuaikan dengan pembaca atau pendengar (target audience) (Widdowson,
1978).
2.1.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Setelah suatu silabus disusun, maka dalam suatu proses balajar mengajar
dirancang suatu rencana pelaksanaan pembelajaran yang dikenal dengan RPP.
Adapun definisi-definisi tentang RPP adalah sebagai berikut.
1) Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran
tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih yang dikembangkan secara terperinci
dari suatu materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus untuk
mengarahkan kegiatan pembelajaran siswa dalam upaya mencapai kompetensi
dasar (KD) (Nasution, 1989).
2) Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan
prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu
kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam
silabus (PP No. 19, Tahun 2005, pasal 20).
3) RPP adalah rencana operasional kegiatan pembelajaran setiap kompetensi dasar
atau beberapa kompetensi dasar (KD) dalam setiap tatap muka di kelas (Sudjana,
1988).
14
Dari definisi-definisi tentang RPP di atas, maka batasan terhadap terminologi
teknis yang digunakan dan berkaitan dengan penelitian ini adalah definisi RPP oleh
Nasution. Definisi tersebut dipilih karena paling relevan dengan penelitian ini.
2.2 Landasan Teori
Sejumlah pandangan para ahli digunakan sebagai landasan teori, yaitu landasan
berpikir yang bersumber dari beberapa teori yang diperlukan sebagai tuntunan untuk
memecahkan permasalahan seperti yang telah dipaparkan pada rumusan masalah
penelitian ini. Adapun teori-teori yang digunakan sebagai landasan teori dalam
penelitian ini adalah teori pembelajaran dan pengajaran bahasa (Brown, 1987).
Menurut Brown (1987), pengajaran tidak dapat didefinisikan secara terpisah dengan
pembelajaran. Pengajaran memfasilitasi dan memandu pembelajaran sehingga
memudahkan pembelajar untuk mempersiapkan kondisi dalam proses pembelajaran.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori-teori pengajaran dan pembelajaran
bahasa yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: prosedur identifikasi kesalahan data produksi pembelajar bahasa
asing (Corder, 1971), tata bahasa Inggris (Murphy, 1985), jenis-jenis WCA dalam
pengajaran bahasa (Harmer, 1983), dan teori perbaikan dalam WCA (Byrne, 1988).
2.3.1 Prosedur Identifikasi Kesalahan Data Produksi Pembelajar Bahasa Asing
Prosedur identifikasi kesalahan data produksi pembelajar bahasa asing adalah
suatu prosedur yang dikemukakan oleh Corder yang terdapat pada teori pembelajaran
15
dan pengajaran bahasa (Brown, 1987). Prosedur identifikasi kesalahan data produksi
pembelajar bahasa asing digunakan sebagai landasan teori untuk memecahkan
permasalahan yang pertama dan ketiga penelitian ini, yaitu untuk mengetahui tingkat
kemampuan pemahaman konteks komunikasi bahasa Inggris siswa kelas X IPA 3 dan
X IPA 4 SMA Negeri 2 Denpasar.
Prosedur identifikasi kesalahan data produksi pembelajar bahasa asing digunakan
dalam menganalisis data hasil pengamatan dan prates yang diberikan kepada siswa
pada tahap awal penelitian ini. Dari hasil analisis tersebut, dapat diketahui sejauh
mana tingkat kemampuan penguasaan konteks komunikasi siswa kelas X IPA 3 dan
X IPA 4 SMA Negeri 2 Denpasar sebelum penerapan WCA. Dalam penelitian ini hal
tersebut termasuk rumusan permasalahan yang pertama. Selain itu, pada tahap akhir
penelitian prosedur ini juga digunakan untuk mengetahui kemampuan penguasaan
konteks komunikasi siswa kelas X IPA 3 (KE) dan X IPA 4 (KP) SMA Negeri 2
Denpasar setelah penerapan WCA yang merupakan rumusan permasalahan yang
ketiga dalam penelitian ini.
Prosedur ini merupakan sebuah model yang digunakan untuk mengenali ujaran
salah dan janggal dalam sebuah bahasa asing ataupun bahasa kedua. Dalam model
ini, dibedakan antara kesalahan terbuka dan kesalahan tertutup. Ujaran-ujaran yang
tidak gramatikal digolongkan ke dalam kesalahan terbuka. Ujaran-ujaran yang benar
secara gramatikal, tetapi tidak dapat ditafsirkan dalam konteks komunikasi
digolongkan ke dalam kesalahan tertutup (Corder, 1971).
16
Menurut model Corder, baik dalam kesalahan terbuka maupun tertutup, jika
penafsiran yang masuk akal bisa dibuat untuk suatu kalimat, harus dibentuk ulang
kalimat dalam bahasa sasaran, kemudian rekonstruksi itu dibandingkan dengan
kalimat janggal semula, lalu dijelaskan perbedaan-perbedaannya. Jika bahasa pertama
pembelajar diketahui, model itu menunjukkan penggunaan terjemahan sebagai sebuah
kemungkinan indikator interferensi bahasa asal sebagai sumber kesalahan.
Berikut ditampilkan bagan model prosedur identifikasi kesalahan dalam data
produksi pembelajar bahasa asing.
17
Berikut dipaparkan contoh-contoh ujaran janggal pembelajar yang dimasukkan
ke prosedur Corder untuk dianalisis kesalahannya.
(1) “Does John can sing?”
Langkah pertama dalam menganalisis ujaran ini adalah menjawab pertanyaan A
dalam model Corder. Dari ujaran (1) di atas tampak bahwa ujaran tersebut tidak tepat
dalam tata bahasa sehingga alur analisis menuju pilihan ‘tidak’. Sehubungan dengan
itu, kalimat tersebut digolongkan ke dalam kalimat janggal terbuka. Selanjutnya, alur
menuju pertanyaan C. Dari pertanyaan itu, ujaran (1) dapat diberikan penafsiran yang
masuk akal dalam konteks itu. Selanjutnya, alur analisis beranjak pada tahap D, yakni
merekonstruksi ujaran (1), sehingga tersusun baik menjadi “Can John sing?” Tahap
berikutnya – sesuai dengan tahap E, ujaran (1) dibandingkan dengan ujaran hasil
rekonstruksi sehingga ditemukan bahwa ujaran (1) mengandung kata bantu do yang
bisa diterapkan untuk hampir semua verba, tetapi tidak untuk modal (can).
Secara singkat, alur analisis ujaran (1) sesuai dengan prosedur identifikasi
kesalahan dalam data produksi pembelajar bahasa asing dapat diilustrasikan seperti
berikut ini.
“Does John can sing?” A Tidak C Ya D (“Can John sing?”) E
(ujaran “Does John can sing?” dibandingkan dengan “Can John sing?” ditemukan
bahwa ujaran “Does John can sing?” mengandung kata bantu do yang bisa diterapkan
untuk hampir semua verba, tetapi tidak untuk modal ‘can’) KELUARAN2
18
(2) “I saw their department”
Langkah pertama dalam menganalisis ujaran ini adalah menjawab pertanyaan A
dalam model Corder. Dari ujaran (2) di atas tampak bahwa ujaran tersebut tepat
dalam tata bahasa sehingga alur analisis menuju pilihan ‘ya’. Selanjutnya, alur
menuju pertanyaan B. Dari pertanyaan itu ujaran (2) tidak dapat diberikan penafsiran
yang normal menurut kaidah bahasa sasaran (bahasa Inggris) dan tidak masuk akal
dalam konteks itu, maka alur analisis menuju pilihan ‘tidak’ sehingga ujaran tersebut
digolongkan ke dalam kalimat janggal tertutup.
Selanjutnya, alur menuju pertanyaan C. Dari pertanyaan itu ujaran (2) tidak dapat
diberikan penafsiran yang masuk akal dalam konteks itu, sehingga alur analisis
beranjak pada pilihan ‘tidak’ kemudian ke pertanyaan F. Dalam hal ini bahasa ibu
pembelajar diketahui, yakni bahasa Indonesia. Tahap berikutnya berlanjut ke tahapan
G. Ujaran (2) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yakni “Saya melihat bagian
mereka” dan dari terjemahan tersebut, penafsiran yang masuk akal dalam konteks
tersebut dimungkinkan. Ujaran dalam bahasa pertama diterjemahkan kembali ke
bahasa sasaran untuk menghadirkan kalimat yang dibentuk ulang. Alur selanjutnya ke
tahap E sehingga ditemukan perbedaan bahwa (i) dalam bahasa sasaran (bahasa
Inggris) – dikaji dari struktur urutan kata, possessive adjective (their) muncul
sebelum nomina dan atau objek dalam ujaran tersebut (department). Berbeda dengan
bahasa pertama, kata ‘bagian’ (nomina-objek) muncul sebelum kata ‘mereka’. (ii)
dalam ujaran (2) walaupun tidak ditemukan kata keterangan waktu, konteks ujaran
tersebut adalah kejadian pada masa lampau. Hal itu dicermati dari kata saw yang
19
merupakan verba bentuk II yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan
sesuatu yang telah lampau. Namun, pada bahasa Indonesia, kata ‘melihat’ tidak dapat
memberikan informasi kepada para petutur atau pembaca bahwa kalimat tersebut
terjadi pada masa lampau meskipun penafsiran yang masuk akal diperoleh dari
konteks ujaran tersebut.
Secara singkat, alur analisis ujaran (2) sesuai dengan prosedur identifikasi
kesalahan dalam data produksi pembelajar bahasa asing dapat diilustrasikan seperti
berikut ini.
“I saw their department” A Ya B Tidak (konteksnya adalah sebuah
percakapan tentang lingkungan kerja) Kalimat janggal tertutup C Tidak F
Ya (bahasa Indonesia) G (Saya melihat bagian mereka) Ya “I saw their
department” E dalam bahasa sasaran (bahasa Inggris) – dikaji dari struktur
urutan kata, possessive adjective (their) muncul sebelum nomina dan atau objek
dalam ujaran tersebut (depatment). Berbeda dengan bahasa pertama, kata ‘bagian’
(nomina-objek) muncul sebelum kata ‘mereka’. (ii) dalam ujaran (2) walaupun tidak
ditemukan kata keterangan waktu, konteks ujaran tersebut adalah kejadian pada masa
lampau. Hal itu dicermati dari kata saw yang merupakan verba bentuk II yang
digunakan dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan sesuatu yang telah lampau.
Namun, dalam bahasa Indonesia kata ‘melihat’ tidak dapat memberikan informasi
kepada para petutur atau pembaca bahwa kalimat tersebut terjadi pada masa lampau
meskipun penafsiran yang masuk akal diperoleh dari konteks ujaran tersebut
KELUARAN2.
20
Dari pemaparan contoh di atas, dapat dikatakan bahwa data yang diperoleh dari
hasil observasi terhadap proses belajar mengajar di dalam kelas dan hasil prates yang
diberikan siswa dianalisis berlandaskan prosedur oleh Corder (1971) tersebut.
Dengan demikian, akan tampak sejauhmana kemampuan penguasaan konteks
komunikasi siswa sebelum penerapan WCA dalam RPP yang digunakan, seperti
rumusan permasalahan yang pertama pada penelitian ini. Di samping itu, prosedur ini
pun digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari KE pada tahap akhir
penelitian untuk mengetahui kemampuan penguasaan tata bahasa Inggris dan konteks
komunikasi siswa kelas X IPA 3 (KE) dan X IPA 4 SMA Negeri 2 Denpasar (KP)
setelah penerapan WCA, seperti rumusan permasalahan yang ketiga. Dari hasil
analisis tersebut, akan tampak sejauh mana variabel bebas (penerapan WCA dalam
RPP) berpengaruh terhadap hasil pascates pada KE dan KP.
2.3.2 Tata Bahasa Inggris
Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa WCA merupakan aktivitas yang
tidak hanya dapat melatih keterampilan komunikatif siswa, tetapi juga berguna untuk
melatih penguasaan tata bahasa yang dipelajari oleh siswa. Sehubungan dengan itu,
teori tentang tata bahasa Inggris juga digunakan sebagai landasan teori untuk
menjawab permasalahan yang pertama dan ketiga dalam penelitian ini. Tata bahasa
Inggris digunakan sebagai landasan teori untuk dapat menganalisis penguasaan siswa
terhadap tata bahasa Inggris sebelum dan sesudah diterapkan WCA dalam penelitian
ini.
21
Adapun tata bahasa Inggris yang digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian
ini merujuk pada teori tata bahasa Inggris oleh Murphy (1985) seperti berikut ini.
1) Tenses Present
(1) Simple Present
Tom memilki kebiasaan.Dia makan malam setiap hari. (He eatsevery day)Dia sudah makan malam setiap harisejak dia kecil.Dia makan malam setiap hari bulanlalu. Dia makan malam kemarin. Diaakan makan malam besok. Diamungkin akan makan malam hampirsetiap hari hingga akhir hidupnya.
× × × × × × × × ×
× = makan malam
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan hal-hal pada umumnya,
sesuatu yang terjadi sepanjang waktu atau terus-menerus, menyatakan sesuatu
yang benar secara umum, menyatakan seberapa sering suatu kegiatan dilakukan,
dan untuk membuat suatu saran.
Contoh: Nurses look after patients in hospital.
I work in a bank.
The earth goes round the sun.
Why don’t you go to bed early?
22
Untuk kalimat tanya dan negasi seperti di bawah ini.
Contoh: Do I/we/they/you work?
Does she/he/it work?
I/we/they/you don’t work.
(2) Present Continuous
Pukul 7:00 malam ini, Tom memulaimakan malamnya. Sekarang jam 7:15.Tom sedang dalam percakapan melaluitelpon dengan Mary karena Marymenghubunginya.“Nanti aku telpon kembali ya.Aku sedang makan malamsekarang.(I’m eating dinner rightnow)”Artinya, Tom sedang makan malamketika Mary menelpon.
7:00× × ×
7:15Mary
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan sesuatu yang terjadi pada
saat percakapan berlangsung dan situasi yang sementara.
Contoh: He’s playing tennis.
I’m living with some friends until I can find a flat.
23
(3) Present Perfect Simple
Tom selesai makan malam pukul 7:30.Sekarang pukul 8:00 dan ibunya masukke dapur dan berkata, “Apa yang kamuingin makan untuk makan malam?”Tom menjawab,“Terima kasih,bu tapi saya sudahmakan.”(Thanks, Mom. But I have alreadyeaten dinner).
7:00-7:30makan malam
× ×
8:00Ibu
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan hal atau peristiwa yang
masih memiliki hubungan dengan masa sekarang dan untuk memberikan
informasi baru atau sesuatu yang baru-baru ini terjadi.
Contoh: I’ve lost my key. (= I haven’t got it now)
Ow! I’ve burnt myself.
24
(4) Present Perfect Continuous
Tom mulai makan malamnya pukul7:00. Sekarang pukul 7:15.Tom sudah makan malam selama 15menit tapi dia belum selesai.(He has been eating dinner for 15minutes but he hasn’t finished yet)Artinya, makan malamnya telahberlangsung selama 15 menit.
7:00mulai makan
× ×
15 menit7:15
Sekarang
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan suatu tindakan atau kejadian
yang dimulai pada waktu lampau dan telah berakhir beberapa saat lalu, untuk
menyatakan atau bertanya tentang berapa lama sesuatu telah terjadi pada kasus ini
kejadian tersebut dimulai pada waktu lampau dan masih berlangsung atau baru
saja selesai, dan untuk menyatakan sesuatu yang terjadi berulang-ulang pada
suatu periode waktu.
Contoh: You’re out of breath. Have you been running?
It has been raining for two hours.
How long have you been smoking?
25
2) Tenses Past
(1) Simple Past
Tom biasanya makan malam di rumah.Tapi kemarin Dia makan malam disebuah restauran(He ate dinner at a restaurant)
×
× = makan malamTenses jenis ini digunakan untuk membicarakan suatu hal yang terjadi pada
masa lampau.
Contoh: Mr. Edward died ten years ago.
I was angry because Tom and Ann were late.
(2) Past Continuous
Minggu lalu Tom pergi ke sebuahrestauran. Dia mulai makan jam 7:00.Jam 7:15 Mary datang ke restaurantersebut, melihat lalu menyapa Tom.Makanan Tom masih di depannya. Diabelum selesai makan. Artinya, ketikaMary datang, Tom sedang makan.(when Mary walked into the restaurant,Tom was eating dinner)”
7:00 7:15 selesaiMary makan
26
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan suatu kejadian yang telah
terjadi sebelumnya, tetapi belum selesai (kemungkinan telah selesai atau belum
selesai).
Contoh: Tom was cooking the dinner = Dia masih memasak, tetapi tidak
diketahui dia sudah selesai atau belum.
Tom cooked the dinner = Dia sudah selesai memasak.
(3) Past Perfect
Kemarin Tom masak sendiri pukul 7:00dan selesai pukul 7:30.Pukul 8:00 ibunya masuk ke dapur danberkata, “Apa yang kamu ingin makanuntuk makan malam?”Tom menjawab,“Terima kasih,bu tapi saya sudahmakan.”(Thanks, Mom. But I had alreadyeaten dinner).
7:00-7:30makan malam
×
8:00ibu
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan sesuatu yang terjadi pada
masa lampau. Tenses ini merupakan bentuk lampau dari present perfect.
Contoh: Present Perfect: I’m not hungry. I’ve just had lunch.
Past Perfect: I wasn’t hungry. I’d just had lunch.
27
(4) Past Perfect Continuous
Minggu lalu Tom pergi ke sebuahrestauran. Dia mulai makan jam 7:00.Jam 7:15 Mary datang ke restaurantersebut, melihat lalu menyapa Tom.Makanan Tom masih di depannya. Diabelum selesai makan. Artinya, ketikaMary datang, Tom sedang makan.(when Mary walked into the restaurant,Tom had been eating dinner)”
7:00mulai makan
15 menit7:15Mary
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan suatu hal yang terjadi
sebelum suatu hal lain terjadi.
Contoh: They had been playing football for half an hour when there was a
terrible storm.
28
(3) Tenses Future
(1) Will (Simple)
Tom makan malam kemarin.Tom makan malam setiap hari.Dia akan makan malam besok(He will eat dinner tomorrow).
×
× = makan malam
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan hal-hal berikut.
- Suatu hal yang akan dilakukan dan keputusan untuk melakukannya terjadi
pada saat pembicaraan terjadi: Oh, I’ve left the door open. I’ll go and shut it.
- Menawarkan sesuatu: That bag looks heavy. I’ll help you with it.
- Persetujuan atau penolakan terhadap sesuatu: I’ve asked John to help me but
he won’t. = will not.
- Janji untuk melakukan sesuatu: I’ll pay you back on Friday.
- Menanyakan kesediaan seseorang untuk melakukan sesuatu: Will you shut
the door, please?
(2) Going to
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan suatu hal yang sudah
diputuskan sebelumnya untuk dilakukan.
Contoh: I’m going to repair it tomorrow.
29
(3) Future Continuous
Tom akan mulai makan malamnya pukul7:00 nanti malam.Tom memerlukan 30 menit untukmenghabiskan makanannya.Artinya, ketika Mary tiba malam ini, Tomsedang makan.(when Mary arrives tonight, Tom will beeating dinner)”
7:00× × ×
7:15Mary
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan suatu hal yang akan terjadi
pada saat suatu hal lain sedang terjadi pada masa mendatang.
Contoh: You’ll recognize her when you see her. She’ll be wearing a yellow
hat.
30
(4) Future Perfect
Besok Tom akan mulai makanmalamnya pukul 7:00 dan selesai pukul7:30.Pukul 8:00 ibunya akan masuk kedapur.Tom akan sudah selesai makan ketikaibunya masuk ke dapur(Tom will already have eaten dinnerby the time his mother walks into thekitchen).
7:00-7:30makan malam
× ×
8:00ibu
Tenses jenis ini digunakan untuk membicarakan sesuatu yang telah terjadi
pada masa mendatang.
Contoh: We’re late. I expect the film will already have started by the time we
get to the cinema.
2.3.3 Jenis-jenis Aktivitas Komunikatif Tertulis (Written Communicative Activity)
dalam Pengajaran Bahasa
Untuk dapat menjawab rumusan permasalahan yang kedua, jenis-jenis WCA
penting dijadikan landasan teori dalam penelitian ini. Jenis-jenis WCA diperlukan
dalam perancangan RPP yang menggunakan WCA sehubungan dengan metode
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian dalam RPP
31
tersebut. Jenis-jenis WCA dalam pengajaran bahasa yang digunakan sebagai landasan
teori dalam penelitian ini merujuk pada teori pengajaran dan pembelajaran bahasa
oleh Harmer (1983).
Adapun jenis-jenis WCA dalam pengajaran bahasa Inggris adalah sebagai berikut:
1) Penyampaian Instruksi (relaying instruction)
Tipe ini merupakan aktivitas berkelompok yang dapat dilakukan siswa dalam
kelas pada saat proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Pada
aktivitas ini siswa memiliki informasi yang diperlukan untuk dapat disampaikan
kepada siswa lainnya dalam suatu penugasan. Siswa yang memiliki informasi
tersebut diharapkan mampu membuat siswa atau kelompok lainnya untuk
mempresentasikan penugasan yang sama seperti informasi yang dimiliki dengan
cara memberikan atau menyampaikan instruksi tertulis kepada mereka. Contoh:
membuat model/percontohan, memberikan petunjuk arah/lokasi, menulis kalimat
perintah, dan menulis pesan.
2) Pertukaran Surat (exchanging letters)
Dalam tipe ini setiap siswa menulis surat, kemudian akan menerima sebuah surat
balasan dari siswa lainnya. Contoh: menulis surat undangan, menulis untuk kolom
agoni, surat keluhan pelanggan, dan menulis surat lamaran pekerjaan.
3) Permainan Menulis (writing games)
Adapun contoh permainan menulis yang dapat digunakan dalam aktivitas
komunikai tertulis ini adalah menjelaskan dan mengidentifikasikan sesuatu.
32
4) Kelancaran Menulis (fluency writing)
Tujuan aktivitas ini adalah membuat siswa untuk dapat menulis sebanyak
mungkin dalam suatu durasi waktu yang diberikan. Dari hasil penelitian, aktivitas
ini tidak saja menghasilkan siswa yang mampu menulis dalam kuantitas yang
cukup banyak, tetapi juga terdapat peningkatan secara kualitas dari tulisan-tulisan
siswa. Contoh dari aktivitas tipe ini adalah cerita bergambar.
5) Pengonstruksian Cerita (story construction)
Tujuan aktivitas ini adalah memberikan informasi yang tidak lengkap kepada
siswa yang harus dilengkapi dengan siswa lainnya dengan tujuan menyatukan
sebuah naratif menjadi satu kesatuan yang utuh. Contoh: menulis suatu kasus dan
menulis cerita beruntun.
6) Menulis Laporan dan Iklan (writing reports and advertisement)
Contoh aktivitas ini adalah menulis siaran berita, menulis brosur untuk turis,
menulis iklan, dan menulis kuesioner tentang merokok.
2.3.4 Perbaikan dalam WCA
Selain jenis-jenis WCA, perbaikan (correction) dalam WCA (Harmer, 1983)
juga digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan
permasalahan yang kedua. Hal ini disebabkan oleh penerapan WCA dalam RPP
bahasa Inggris memerlukan suatu penilaian terhadap kemampuan siswa dalam
mencapai kompetensi-kompetensi dasar yang tercantum pada RPP tersebut sehingga
diperlukan prosedur-prosedur perbaikan hasil kerja siswa dalam prosesnya.
33
Dalam perbaikan hasil WCA yang dilakukan oleh siswa, guru kemungkinan akan
membutuhkan waktu berkali-kali dalam menilai keakuratan tulisan siswa, bahkan
memerlukan waktu yang lebih banyak lagi jika menyangkut perbaikan terhadap isi
tulisan. Pengoreksian dalam hal ini dapat dilakukan tidak saja oleh guru, tetapi juga
oleh siswa. Jika guru mengoreksi, perlu memperhatikan isi tulisan dan menunjukkan
kepada siswa bagian mana dari pekerjaan mereka yang berhasil menyampaikan
maksud dan bagian mana yang kurang berhasil menyampaikan maksud mereka. Pada
perbaikan yang dilakukan oleh siswa, guru dalam hal ini berfungsi sebagai sumber,
dalam arti guru dapat membantu siswa yang bertugas mengoreksi jika mereka tidak
dapat menemukan kesalahan pada tulisan siswa lain yang diperiksa (Harmer, 1983).
Pada tahap pemroduksian tulisan yang akurat, prosedur perbaikan dapat terdiri
atas dua tahapan yang mendasar, yaitu seperti berikut.
1) Menunjukkan kesalahan
Pada tahap ini guru dapat mengindikasikan kepada siswa bahwa mereka telah
membuat suatu kesalahan. Jika siswa mengerti terhadap petunjuk yang diberikan oleh
gurunya, mereka akan mampu mengoreksi dirinya sendiri dan pengoreksian tersebut
akan berguna bagi mereka sebagai suatu proses pembelajaran.
Terdapat beberapa teknik untuk menunjukkan kesalahan atau kekeliruan, antara lain
sebagai berikut.
(1) Pengulangan
Guru dapat meminta siswa untuk mengulangi apa yang telah diujarkannya
dengan cara mengatakan “again.” Namun, terkadang dengan teknik ini, siswa
34
tidak mengerti maksud guru yang secara tidak langsung menyatakan bahwa siswa
tersebut telah melakukan kekeliruan. Penerapan teknik ini cenderung
menimbulkan kesalahpahaman pada siswa yang menganggap bahwa guru tidak
mendengarkan apa yang baru saja telah diucapkan. Dengan demikian, akan
diperoleh respons yang kurang memuaskan dari siswa dengan pengulangan ujaran
yang sama persis dengan apa yang baru saja telah diujarkan.
(2) Penggemaan
Guru dapat menggemakan apa yang telah diujarkan siswa dengan intonasi
kalimat tanya. Ini mengindikasikan bahwa apa yang telah diujarkan keliru secara
tata bahasa ataupun isinya. Contohnya: “Flight 309 GO to Paris?” atau dengan
cara “Flight 309 go?”
(3) Penyangkalan
Guru dapat secara langsung memberitahukan siswa bahwa respons atau ujaran
mereka salah atau keliru dan meminta mereka untuk mengulanginya lagi. Teknik
ini mungkin akan membuat siswa menjadi tidak terdorong secara positif jika
dibandingkan dengan dua teknik sebelumnya.
(4) Mempertanyakan
Guru dapat bertanya “Is that correct?” kepada siswa lainnya saat seorang
siswa mengujarkan suatu ujaran yang salah. Ini akan menjadi keuntungan bagi
siswa lainnya sehubungan dengan membuat mereka tetap fokus dan
memperhatikan saat temannya sedang mengujarkan suatu ujaran. Namun, tentu
35
saja dapat membuat siswa yang melakukan kesalahan menjadi pusat perhatian
akan kesalahan yang telah dibuatnya di depan teman-temannya.
(5) Pengekspresian
Beberapa guru mengoreksi ujaran yang tidak tepat dari siswanya dengan
ekspresi tertentu atau gerak tubuh tertentu. Ini akan menjadi ketidaknyamanan
bagi siswa apabila siswa tersebut menganggap bahwa ekspresi atau gerak tubuh
yang diberikan guru merupakan sesuatu yang menunjukkan bentuk penghinaan
terhadap siswa.
2) Menggunakan teknik-teknik perbaikan
Pada umumnya, menunjukkan kesalahan yang dilakukan siswa dapat diatasi
dengan siasat dan pertimbangan. Proses pengoreksian oleh siswa sendiri diharapkan
menjadi bagian penting dan berguna dari proses pembelajaran. Menunjukkan
kesalahan seharusnya ditunjukan dengan sikap yang positif, bukan sebagai cercaan
bagi siswa yang melakukan kesalahan (Harmer, 1983). Terkadang menunjukkan
kesalahan saja tidak cukup, maka seharusnya guru menggunakan beberapa teknik
pengoreksian seperti yang dipaparkan di bawah ini. Jika siswa tidak mampu
memperbaiki sendiri kesalahan yang dilakukannya, maka guru dapat menggunakan
satu dari beberapa teknik berikut ini.
(1) Siswa memperbaiki siswa
Guru dapat meminta siswa lain yang dapat memberikan respons yang tepat.
Contohnya: guru dapat bertanya apakah ada yang dapat ‘membantu’ siswa yang
membuat kesalahan. Jika siswa lainnya dapat memberikan respons atau informasi
36
yang tepat, maka hal itu akan bagus untuk dirinya karena telah merasa dihargai.
Namun, bila teknik ini digunakan secara terus-menerus, siswa yang melakukan
kesalahan akan merasa dipermalukan.
(2) Guru memperbaiki siswa
Ini dilakukan bila guru merasa bahwa kesalahan yang dilakukan siswa dalam
ujarannya cukup banyak dan mendasar. Dalam hal ini, guru harus menjelaskan
ulang bagian tersebut untuk membuat informasi yang diterima siswa menjadi jelas
dan dapat dipahami. Pada tahap ini teknik ini berguna untuk penugasan yang
memerlukan keakuratan yang berfokus pada ketepatan tata bahasa (Harmer,
1983).
Cara seorang guru dalam memberikan masukan untuk keterampilan menulis akan
tergantung pada jenis penugasan tertulis yang diberikan kepada siswa dan hasil yang
diharapkan oleh guru tersebut. Berikut adalah teknik-teknik dalam memberikan
masukan untuk penugasan tertulis (written feedback techniques) (Byrne, 1988).
1) Pemberian respons (responding)
Salah satu cara untuk memberikan masukan pada penugasan tertulis adalah
memberikan respons kepada siswa terhadap apa yang telah dikerjakannya. Respons
yang diberikan dapat berupa apa yang telah mampu dikembangkan siswa dan apa
yang mungkin dapat ditingkatkan lagi dari siswa tentang kemampuannya menulis dan
unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Teknik ini membutuhkan waktu yang cukup
lama karena dirancang secara khusus untuk situasi yang mengharuskan siswa untuk
37
berkonsultasi dengan guru dan mengkaji respons guru sebelum mengulang lagi untuk
menulis sebuah versi baru dari tulisan sebelumnya.
2) Pengodean (coding)
Pengodean digunakan untuk membuat masukan atau pengoreksian lebih rapi,
tidak terlalu ‘mengintimidasi’ siswa, dan sangat membantu guru dibandingkan
dengan pemberian tanda dan komentar acak.
Pengodean yang digunakan dalam pemberian masukan pada penelitian ini
mengacu pada pengodean yang digunakan Byrne dalam buku Teaching Writing
Skills, seperti berikut ini.
38
Tabel 2.1 Pengodean Penugasan Tertulis
SIMBOL ARTI CONTOH
S Pengejaan yang tidak tepat(incorrect spelling)
S SI recieved jour letter.
WO Urutan kata yang tidak tepat(wrong word order)
WOAlways I am happy here.
T Tata bahasa yang tidak tepat(wrong tense)
If he will come, it will be toolate.
C Ketidaksesuain subjek denganverba (concord, subject, and verbdo not agree)
CTwo policemen has come.
WF Bentuk yang tidak tepat (wrongform)
WFThat table is our.
S/P Ketidaktepatan bentuk tunggal danjamak (singular and plural formwrong)
SWe need more informations.
Suatu kata, kata penunjuk, dansebagainyaterlupakan/ditanggalkan(something has been left out)
They said was wrong.
[ ] Suatu kata, kata penunjuk, dansebagainya tidak diperlukan(something is not necessary)
[ ]It was too much difficult.
?M Ketidakjelasan arti/maksud(meaning is not clear)
The view from here is very?M
suggestive.
NA Penggunaan yang tidak tepat (theusage is not appropriate)
NAHe requested me to sit down.
P Ketidaktepatan tanda baca(punctuation wrong)
P PWhats your name
(Byrne, 1988)
39
Byrne (1988) dalam Teaching Writing Skills menyatakan bahwa kekeliruan yang
kerap kali dilakukan pembelajar pada penugasan tertulis adalah berkenaan dengan
pengejaan (spelling), urutan kata yang tidak tepat (wrong word order), tata bahasa
yang tidak tepat (wrong tense), suatu kata atau kata penunjuk terlupakan/ditanggalkan
(something has been left out), ketidakjelasan arti/maksud (meaning is not clear), dan
penggunaan kata yang tidak tepat (the usage is not appropriate). Makadaripada itu,
hasil penelitian ini hanya memaparkan jumlah kekeliruan yang diproduksi siswa
hanya untuk enam poin di atas. Pemaparan terperinci tentang kekeliruan tersebut
dapat dilihat pada bab selanjutnya pada penelitian ini (bab IV).
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode campuran yang merupakan penggabungan
pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pada setiap fase proses penelitian
dengan metode campuran pendekatan kualititatif dan pendekatan kuantitatif
digunakan sebagai pedoman mengumpulkan dan menganalisis data (Sanjaya, 2013).
Penjelasan lebih terperinci tentang metode campuran dipaparkan pada bab berikutnya
(bab III).
Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi yang dilakukan
peneliti, sedangkan data kuantitatif diperoleh melalui pemberian prates dan pascates
kepada siswa-siswi kelas X SMA Negeri 2 Denpasar. Dalam penelitian ini terdapat
dua kelompok subjek penelitian, yakni siswa-siswa kelas X pada dua kelas yang
berbeda (kelas X IPA 3 dan X IPA 4). Kelompok atau siswa kelas X IPA 3 disebut
40
kelompok eksperimen (KE), sedangkan siswa kelas X IPA 4 disebut kelompok
kontrol atau kelompok pembanding (KP). Fungsi kelompok pembanding adalah
untuk meyakinkan apakah pengaruh yang didapat dalam variabel-variabel terikat
(kemampuan berkomunikasi siswa dan penguasaan tata bahasa) itu benar-benar
pengaruh dari variabel bebas (penerapan WCA dalam RPP) atau bukan. Untuk teknik
pemilihan dua kelas tersebut sebagai subjek penelitian dipaparkan secara terperinci
pada bab III (metode dan teknik pengumpulan data).
Sebelum diberikan perlakuan (treatment) berupa penerapan WCA dalam RPP
bahasa Inggris, baik KE maupun KP, diberikan prates sebagai tes awal untuk
mengetahui kemampuan berkomunikasi siswa dan penguasaan tata bahasa Inggris
siswa. Data yang didapat dari hasil prates tersebut dianalisis seperti yang telah
dipaparkan pada landasan teori pada bagian sebelumnya. Selanjutnya, dihitung rerata
(T1) untuk KE dan KP. Tahap berikutnya adalah perlakuan (penerapan WCA dalam
RPP) untuk KE saja. Setelah itu pascates diberikan untuk kelompok eksperimen (T2e)
dan kelompok kontrol sebagai kelompok pembanding (T2p). Tahap berikutnya adalah
perhitungan rerata hasil pascates (T2) untuk tiap-tiap kelompok. Kemudian dicari
selisih atau perbedaan dua rerata itu (T2e - T1e) dan (T2p – T1p). Dari hasil
perhitungan tersebut, perbedaan-perbedaan yang muncul dibandingkan untuk
menentukan apakah perlakuan yang diberikan (penerapan WCA dalam RPP)
berkaitan dengan perubahan yang lebih besar pada KE.
Prates dan pascates pada penelitian ini dapat dilihat pada bagian lampiran. Desain
prates dan pascates penelitian ini adalah sebagai berikut.
41
Tabel 2.1 Desain Prates dan Pascates
Perlakuan (X)KE Prates KE (T1e) (X) Pascates KE (T2e)KP Prates KP (T1p) (X) Pascates KP (T2p)
(Sanjaya, 2013)
Adapun alur model penelitian ini adalah sebagai berikut.
Kualitatif Hasil observasiData Analisis Deskriptif
Kuantitatif Hasil pratesHasil pascates
Bagan 2.1 Alur Penelitian
Berdasarkan desain penelitian dan alur penelitian serta beberapa teori yang
dijadikan landasan dalam penelitian ini, dirancang sebuah model penelitian untuk
pelaksanaan penelitian ini. Model penelitian merupakan abstraksi antara teori dan
permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar (bagan) sebagai
berikut ini.
42
Bagan 2.2 Model Penelitian
Penerapan WCA dalam RPP bahasa Inggris dalam Upaya Peningkatan PenguasaanTata Bahasa dan Konteks Komunikasi Siswa Kelas X SMA N 2 Denpasar
- Tata bahasa- Pemahaman konteks
komunikasi bahasaInggris sebelumpenerapan WCA
Penerapan WCAdalam RPP
- Tata bahasa- Pemahaman konteks
komunikasi bahasaInggris setelahpenerapan WCA
Metode Penelitian: Metode CampuranPenggabungan pendekatan kuantitiatif danpendekatan kualitatif sebagai pedoman untukmengumpulkan dan menganalisis data (Sanjaya,2013).
Metode dan Teknik Pengumpulan Data:Metode Observasi NonpartisipasiTeknik Random Sederhana (Sanjaya, 2013)
Metode dan Teknik Analisis Data:Metode CampuranTeknik Analisis Deskriptif Kualitatif, AnalisisKuntitatif (Perhitungan Statistik Sederhana)(Sanjaya, 2013)
Metode dan Teknik Penyajian Hasil AnalisisData:Formal dan Informal
Teori Pengajaran danPengajaran Bahasa
(Brown, 1987)
Hasil Penelitian
43
Dari bagan tersebut, dapat dijelaskan bahwa langkah-langkah penelitian ini
berpangkal dari topik penelitian, yaitu penerapan WCA dalam RPP bahasa Inggris
bagi siswa kelas X SMA Negeri 2 Denpasar.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
campuran (Sanjaya, 2013), yaitu gabungan antara pendekatan kuantitiatif dan
pendekatan kualitatif dalam setiap fase penelitian sebagai pedoman untuk
mengumpulkan dan menganalisis data (Sanjaya, 2013). Pendekatan kualititatif
digunakan dalam mengumpulkan data kualitatif yang berupa hasil observasi pada
kelas KE dan KP. Di samping itu, juga digunakan untuk menganalisis data secara
deskriptif. Di pihak lain, pendekatan kuantitiatif digunakan untuk menganalisis data
kuantitatif yang berupa hasil prates dan hasil pascates pada KE dan KP. Pendekatan
kuantitatif pada penelitian ini berpedoman pada penelitian eksperimen yang
merupakan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui dan menjelaskan hal-hal yang
terjadi pada suatu variabel terikat (kemampuan penguasaan tata bahasa dan
pemahaman konteks komunikasi bahasa Inggris) manakala diberikan suatu perlakuan
(penerapan WCA dalam RPP bahasa Inggris) tertentu. Variabel terikat pada KE dan
KP dianalisis sebelum dan sesudah diberikan perlakuan (penerapan WCA dalam
RPP) meskipun perlakuan hanya diberikan pada KE.
Dari metode penelitian tersebut, digunakan beberapa teori sebagai landasan untuk
menganalisis rumusan permasalahan penelitian ini seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya. Teori tentang prosedur identifikasi kesalahan data produksi pembelajar
bahasa (Corder, 1971) dan tata bahasa Inggris (Murphy, 1985) digunakan sebagai
44
landasan teori untuk menjawab rumusan permasalahan yang pertama dan ketiga
penelitian ini. Pada tahap awal penelitian diadakan observasi terhadap proses belajar
mengajar untuk mengetahui tingkat kemampuan pemahaman konteks komunikasi dan
tata bahasa Inggris sebelum penerapan WCA, yaitu dengan pemberian prates kepada
siswa. Proses belajar mengajar di kelas yang dijadikan subjek penelitian dicatat dan
diobservasi. Hasil observasi tersebut merupakan data kualitatif dalam penelitian ini.
Prates diberikan untuk mengetahui rentangan tingkat pemahaman konteks
komunikasi dan penguasaan tata bahasa Inggris siswa sebelum penerapan WCA.
Setelah data diperoleh dilakukan analisis terhadap data-data tersebut. Setelah itu,
penelitian dilanjutkan pada tahapan berikutnya, yakni penerapan WCA dalam RPP
bahasa Inggris pada KE. Jenis WCA yang dipilih disesuaikan dengan topik pelajaran
yang sedang dipelajari pada setiap kelas dan tingkat penguasaan konteks komunikasi
serta tata bahasa Inggris siswa.
Rumusan permasalahan yang kedua dirampungkan dengan teori pengajaran
bahasa mengenai jenis-jenis WCA dalam pengajaran bahasa (Harmer, 1983) dan teori
perbaikan dalam WCA (Harmer, 1983). Teori-teori tersebut digunakan untuk
merancang WCA yang tepat – yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan
penguasaan konteks komunikasi dan tata bahasa Inggris siswa untuk diterapkan pada
RPP yang digunakan di kelas X IPA 3 (KE).
Tahapan penelitian berikutnya adalah melakukan tes berupa pascates untuk
mengetahui perbedaan tingkat pemahaman konteks komunikasi dan penguasaan tata
bahasa Inggris siswa kelas X IPA 3 (KE) dan X IPA 4 (KP) setelah penerapan WCA.
45
Perbedaan ini dikaji untuk menentukan apakah perlakuan yang diberikan (penerapan
WCA dalam RPP) kepada KE berkaitan dengan perubahan pada tingkat pemahaman
konteks komunikasi dan penguasaan tata bahasa Inggris yang lebih besar pada KE
dibandingkan dengan KP.
Selain menggunakan landasan-landasan teori tersebut, tahapan-tahapan penelitian
juga mengacu pada pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Di
samping itu, juga metode penelitian yang digunakan sehingga dihasilkan sebuah RPP
yang menerapkan WCA pada metode pembelajaran.