Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
*) Pusat Pengembangan Energi Nuklir-BATAN 227
**)Pusat Pengembangan Teknologi Keselamatan Nuklir-BATAN
PEMETAAN SPASIAL KONDISI RADIOAKTIVITAS ALAM
TERESTRIAL DI SEMENANJUNG MURIA, JAWA TENGAH
Heni Susiati
*) dan Pande Made Udiyani
**)
ABSTRAK
PEMETAAN SPASIAL KONDISI RADIOAKTIVITAS ALAM TERESTRIAL DI SEMENANJUNG MURIA, JAWA TENGAH. Pemetaan spasial radioaktivitas alam terestrial
telah dilakukan di Semenanjung Muria. Tujuan dari pemetaan ini adalah membangun data tingkat
radiasi latar terrestrial Semenanjung Muria, Jawa Tengah, pada radius 80 km dari Ujung Lemah
Abang. Lemah Abang adalah lokasi yang diusulkan untuk PLTN pertama di Indonesia. Pemetaan
radioaktivitas alam terestrial di Semenanjung Muria diolah dengan menggunakan aplikasi SIG
dengan menggunakan program "Arc View". Hal ini berdasarkan data yang dikumpulkan dari
pengukuran yang menggunakan detektor survey meter sintilasi NaI (Tl). Hasil analisis yang
diperoleh menunjukkan bahwa paparan radiasi Rerata adalah 3,3688 - 11,8772 mikro Rontgen /
jam, dosis individu 3. 10-4
- 9.10-4
mSv orang /tahun, dan dosis kolektif adalah 0,8584 - 4,9415
Org.Sv /tahun.
Kata kunci: spasial, radioaktivitas, terestrial, SIG.
ABSTRACT
SPATIAL MAPPING OF TERRESTRIAL NATURAL RADIOACTIVITY AT MURIA
PENINSULA, CENTRAL JAVA. Spatial mapping of terrestrial natural radioactivity has been
carried out at Muria Peninsula. The objective of this mapping is establishing base line data on the
background radiation level of terrestrial Muria Peninsula , Central Java, in the area of 80 km
radius from Ujung Lemah Abang. Lemah Abang is the proposed site of the first Indonesian
Nuclear Power Plant. Mapping of terrestrial natural radioactivity in Semenanjung Muria was
drawn by using the GIS application “Arc View”. This was based on data collected using a NaI(Tl)
scintillation detector survey meter. The analysis result showed that averaged radiation exposure
was 3,3688 - 11,8772 mikro Rontgen/ hour , individual doses was 3E-4 – 9E-4 mSv/ year, and
collective doses was 0,8584 - 4,9415 Man.Sv/ year.
Key words : spatial, radioactivity, terrestrial, GIS.
PENDAHULUAN
Penggunaan data spasial dirasakan
semakin diperlukan untuk berbagai
keperluan seperti penelitian, pengembangan
dan perencanaan wilayah, dan manajemen
sumberdaya alam. Pengguna data spasial
merasakan minimnya informasi mengenai
keberadaan dan ketersediaan data spasial
yang dibutuhkan. Penyebaran (diseminasi)
data spasial yang selama ini dilakukan
menggunakan media yang telah ada yang
meliputi media cetak (peta), cd-rom, dan
media penyimpanan lainnya dirasakan
kurang mencukupi kebutuhan pengguna.
Pengguna diharuskan datang dan melihat
langsung data tersebut pada tempatnya (data
provider). Hal ini mengurangi mobilitas dan
kecepatan dalam memperoleh informasi
mengenai data tersebut
Berkaitan dengan setiap pelaksanaan
pembangunan nasional di segala bidang
harus berwawasan budaya, sosial ekonomi
dan lingkungan diperlukan perencanaan
yang mantap dengan dukungan data dari
berbagal sumber terkait. Untuk itu
diperlukan pengolahan dan analisis data
yang handal, cepat dan akurat, sehingga
dapat dihasilkan informasi sebagai masukan
dalam pengambilan keputusan pelaksanaan
pembangunan itu sendiri. Penanganan
pengelolaan data untuk keperluan ini
diperlukan suatu sistem yang dapat
mengelola sekaligus data yang menerangkan
lokasi (spatial data) dan juga data yang
menerangkan lokasi itu sendiri (attribute
data). Teknologi Sistem Informasi Geografis
dibuat dan dirancang untuk memecahkan
permasalahan ini[1]
.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
228
Keputusan Pemerintah Indonesia
untuk memasukkan PLTN ke dalam
Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2005 –
2025 sebagai energi alternatif untuk
memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa,
Bali dan Madura dapat dipahami karena
selain Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) menghasilkan daya listrik yang
berlimpah dibandingkan sumber energi
lainnya, PLTN adalah juga penghasil energi
yang bersih karena tidak mengeluarkan
emisi gas-gas beracun ke lingkungan
disamping kebutuhan lahan dan pemakaian
bahan bakar yang relatif sedikit
dibandingkan sumber energi yang lain untuk
daya yang sama.
Rencana pembangunan PLTN
pertama di Indonesia diharapkan dapat
bermanfaat besar bagi masyarakat dan
prosesnya dapat berlangsung secara
berkelanjutan (sustainable development).
Pembangunan PLTN maupun instalasi
pendukungnya tidak boleh lepas dari
kebijakan nasional di bidang lingkungan
hidup yakni pelestarian lingkungan
dilaksanakan berdasarkan konsep
pembangunan berkelanjutan dengan visi
pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi
dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini
tanpa mengurangi potensi pemenuhan
aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang.
Telah banyak dilakukan penelitian
sehubungan dengan material yang
digunakan atau limbah yang dihasilkan
mengandung zat radioaktif. Material yang
digunakan ataupun limbah yang dihasilkan
dari kegiatan tersebut dapat digolongkan
sebagai TENORM (Technologically
Enhanced Naturally Occuring Radioactive
Materials). Radionuklida yang terkandung
di dalam TENORM adalah U-238, Th-232,
Th-228 bersama dengan anak luruhnya Ra-
226, Ra-228, Rn-222, Rn-220, Pb-210, Po-
210, dan K-40. Pemakaian sandblasting
pada beberapa industri dan limbah dari
industri non nuklir seperti PLT Batubara,
Pupuk, ataupun Industri penambangan pasir
besi ataupun minyak dll. akan meningkatkan
paparan radioaktivitas lingkungan sehingga
dapat menimbulkan potensi bahaya paparan
baik bagi pekerja, masyarakat sekitar dan
lingkungan. Untuk melindungi para pekerja
dan anggota masyarakat maka paparannya
harus dikontrol[3]
.
Sehubungan dengan rencana
pembangunan PLTN Muria di Jepara dan
telah beroperasinya PLTU Batubara
Tanjungjati yang lokasinya tidak jauh (6
km) dari tapak PLTN), base line
radioaktivitas lingkungan terestrial di daerah
tersebut perlu diketahui. Kondisi
radioaktivitas lingkungan ini sangat
diperlukan sebelum PLTN dibangun, apalagi
saat ini PLTU Batubara Tanjungjati telah
beroperasi[2]
.
Secara umum, kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan pembangunan dan
penggunaan teknologi nuklir selalu memiliki
potensi dampak dan risiko radiasi. Sesuai
dengan Kepmen Lingkungan Hidup No. 11
Tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/
atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup
pada bidang pengembangan Nuklir maka
untuk pembangunan instalasi nuklir yang
masuk dalam daftar lampiran keputusan
tersebut seperti reaktor daya/ PLTN adalah
termasuk jenis usaha yang harus dilengkapi
dengan AMDAL[4]
.
Dalam studi AMDAL rencana
pembangunan PLTN di Jepara telah banyak
dilakukan penelitian untuk mendukung
penyusunan database yang berkaitan dengan
kondisi rona awal daerah tapak tersebut
sebelum proyek PLTN beroperasi. Data
yang diperoleh dilakukan evaluasi dengan
sistem informasi geografis sehingga
informasi yang diperoleh akan lebih
sistematis dan informatif karena meliputi
cakupan wilayah studi yang cukup luas[2]
.
Dalam makalah ini disajikan peta
radioaktivitas lingkungan terestrial di
kabupaten Jepara dan sekitarnya. Dari
makalah ini diharapkan dapat diperoleh
gambaran tingkat radioaktivitas terestrial.
Aplikasi SIG untuk pemetaan radioaktivitas
lingkungan akan memberikan informasi
yang cukup baik. SIG dengan cakupan lahan
yang cukup luas sangat membantu pekerjaan
yang erat kaitannya dengan bidang-bidang
spasial dan geo-informasi. Dalam kaitannya
dengan rencana pembangunan PLTN di
Muria maka kondisi radioaktivitas
lingkungan perlu dipetakan sejak sebelum
proyek PLTN mulai konstruksi. Tujuan dari
makalah adalah menyajikan peta tingkat
radioaktivitas terestrial berbasis SIG dan
dapat digunakan sebagai data pembanding
(awal) guna mengetahui dampak
pembangunan di masa depan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
229
Gambar 1. Daerah Penelitian[7]
METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam studi
ini adalah berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG) untuk mengolah data
spasial daerah penelitian. Daerah penelitian
meliputi daerah Jepara dalam radius 80 km
dari calon tapak PLTN Muria seperti pada
Gambar 1. Wilayah penelitian mencakup 9
kabupaten yaitu: Kabupaten Jepara,
Grobongan, Blora, Rembang, Pati, Kudus,
Demak, Semarang, dan Kendal. Jarak radius
paling dekat dari tapak adalah Jepara, ke
arah timur tapak Kabupaten Rembang dan
Blora, ke arah Barat adalah Kabupaten
Semarang dan Kendal, dan ke arah Selatan
Kabupaten Demak, Kudus dan Pati.
Data dasar yang dimasukkan dalam
SIG diperoleh dari 2 (dua) sumber, yaitu
data lapangan berupa data dasar paparan
radioaktivitas alam pada terestrial dari
pengukuran lapangan secara langsung
(insitu) menggunakan Carbon Survey
dengan detektor NaI(Tl) [5][6]
dan data peta
khususnya Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
untuk daerah Jawa Tengah[7]
.
Kegiatan aplikasi menggunakan
beberapa perangkat lunak, yaitu:
- Arc View sebagai alat bantu untuk proses analisis aplikasi spasial (ruang)
- Microsoft Word dan Excel sebagai alat dalam penyusunan laporan dan
proses perhitungan data atribut.
Tahapan kerja dari proses SIG adalah
sebagai berikut:
- Pengumpulan dan pemasukan data - Penyusunan data base - Analisis - Penerapan aplikasi dan produk
keluaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian diperoleh data
paparan radioaktivitas alam total yang
ditampilkan pada Tabel 1. Dari data Tabel 1,
paparan radiasi terbesar dari 9 kabupaten
daerah penelitian adalah Jepara, dan paparan
radiasi kabupaten lainnya dengan urutan dari
terbesar ke terkecil sebagai berikut: Jepara >
Pati > Demak > Kudus > Rembang > Blora
> Grobogan > Semarang > Kendal.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
230
Tabel 1. Paparan Radioaktivitas Alam di Kabupaten Jepara dan Radius 80 km
Kabupaten
Paparan
(µR/ jam)
Dosis Individu
(Sv/ tahun)
Dosis Kolektif
(mSv orang/ tahun)
Min. Maks. Rerata Min Maks Rerata Min. Maks. Rerata
Jepara 8,259 14,211 11,877 0,6 1,1 0,9 0,318 15,139 4,941
Kudus 5,283 11,634 9,193 0,4 0,9 0,7 0,318 10,093 3,880
Pati 4,162 13,878 9,202 0,3 1,1 0,7 0,329 8,945 2,081
Rembang 5,162 9,891 7,513 0,4 0,8 0,6 0,114 4,899 1,181
Grobogan 3,121 8,955 6,244 0,2 0,7 0,5 0,507 10,222 2,018
Blora 3,191 8,994 5,149 0,2 0,7 0,4 0,141 2,349 0,858
Demak 4,717 11,971 7,207 0,4 0,9 0,6 0,634 12,164 2,237
Kendal 2,899 4,117 3,368 0,2 0,3 0,3 0,266 1,914 0,946
Semarang 4,524 6,914 5,411 0,3 0,5 0,4 0,238 14,803 3,653
Radiasi alamiah memberikan
sumbangan yang terbesar pada penerimaan
radiasi oleh manusia. Unscear 1988
melaporkan bahwa Rerata setiap orang di
dunia menerima dosis radiasi alamiah
sebesar 2,4 mSv/ tahun (setara dengan 4
µR/jam). Penerimaan dari radiasi alam
mencapai ± 76,58 % dari penerimaan total
radiasi yang diterima manusia. Dosis
serapan Rerata yang berasal dari bumi akibat
penyinaran radiasi alam adalah sebesar 4
µR/jam untuk paparan radiasi gamma[8][9]
.
Paparan radiasi tertinggi 14,2110 µR/ jam
setara dengan 1,09052 mSv/ tahun di daerah
Sekuro, Srobyong, Sumawal, Kecamatan
Mlonggo, dan Kecamatan Batealit di
Kabupaten Jepara, dan paparan yang hampir
sama terdapat di kabupaten Kudus, Demak,
dan Pati. Paparan radiasi terendah 2,1428
µR/ jam setara dengan 0,16443 mSv/ tahun.
Paparan Rerata 7.9414 ± 2.6941 µR/ jam
setara dengan 0,6094 mSv/ tahun, lebih
rendah dari batasan paparan yang ditetapkan
untuk masyarakat umum sebesar 5 mSv/
tahun (BAPETEN, 1999)[10]
.
Data dosis kolektif Rerata yang
diperoleh dari perhitungan dari banyaknya
paparan radiasi yang dikalikan dengan data
penduduk, diperoleh data dengan urutan dari
terbesar ke terkecil dengan urutan sebagai
berikut: Jepara > Kudus > Semarang >
Demak > Pati > Grobogan > Rembang >
Kendal > Blora. Jadi besarnya dosis kolektif
selain tergantung pada besarnya paparan
radiasi, besarnya jumlah penduduk juga
sangat menentukan. Dari hasil pengukuran
paparan radiasi, Semarang menempati
urutan ke delapan namun karena jumlah
penduduknya cukup besar, besarnya dosis
kolektif menempati urutan ke tiga.
Berdasarkan pengolahan data
berbasis SIG seperti yang tercantum di atas
maka diperoleh hasil daerah dengan
konsentrasi radioaktif dalam bentuk peta
distribusi paparan yang dapat ditampilkan
Gambar 2. sebagai berikut:
Secara visual berdasarkan peta
spasial dari pengolahan data paparan
radioaktivitas terestrial menunjukkan bahwa
Rerata konsentrasi radioaktivitas terestrial di
daerah sebelah Utara Gunung Muria adalah
lebih tinggi daripada kondisi radioaktivitas
terestrial di daerah sebelah Selatannya.
Namun demikian hasil pengukuran dan
analisis terhadap radioaktivitas lingkungan
di daerah calon tapak PLTN Jepara (sampai
radius 80 km), yang meliputi sembilan
Kabupaten di Jawa Tengah menghasilkan
tingkat radioaktivitas di bawah batas yang
diijinkan oleh BAPETEN sebagai badan
regulator tenaga nuklir di Indonesia[10]
.
Hasil pemetaan distribusi
konsentrasi paparan radioaktivitas
lingkungan terestrial tersebut dapat
menghasilkan informasi yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam
pengambilan keputusan dalam program
pembangunan PLTN di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
231
Gambar 2.a
Gambar 2. b.
Paparan (mikro R/ jam)0 - 55 - 99 - 1111 - 1313 - 1414 - 15
Jumlah Penduduk (orang)
0 - 50005000 - 70007000 - 80008000 - 10000
10000 - 1500015000 - 2000020000 - 2700027000 - 34000
U
U
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
232
Gambar 2.c
Gambar 2.d
Gambar 2. Peta Tingkat Radioaktivitas Alam dan Distribusi Penduduk
di Daerah Kabupaten Jepara dan sekitarnya
Dosis Individu (mSv/ tahun)0 - 0.00070.0007 - 0.00080.0008 - 0.00090.0009 - 0.0010.001 - 0.00150.0015 - 0.002
Dosis Kolektif (mSv/ tahun)0 - 44 - 77 - 1010 - 1212 - 1414 - 16
U
U
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
233
Pengukuran radioaktivitas
lingkungan meliputi konsentrasi zat
radioaktif alam yang terdapat di suatu
daerah, yang mencakup sinar kosmik dan
bahan radioaktif yang dikandung kerak
bumi. Pencemaran yang berasal dari sumber
alami ini, juga akibat kegiatan manusia yang
menyebabkan terlepasnya ke lingkungan.
Radioaktivitas alam di lingkungan
dipengaruhi oleh tiga nuklida radioaktif
alam yang terkandung di kerak bumi yaitu
Th-232 dan U-238 beserta nuklida
turunannya, serta nuklida K-40. Waktu
paruh nuklida ini sangat panjang, sehingga
akan selalu ada di muka bumi.
Penggunaan lahan untuk hutan
mempunyai konsentrasi dan paparan radiasi
terendah, karena dari sektor ini paparan dan
konsentrasi hanya berasal dari alam[11]
.
Kegiatan industri menghasilkan paparan
radiasi tergantung dari jenis industri dan
penggunaan bahan bakarnya. Pemakaian
sandblasting pada beberapa industri dan
limbah dari industri non nuklir seperti PLT
Batubara, pupuk, ataupun industri
penambangan pasir besi ataupun minyak dll.
akan meningkatkan paparan radioaktif
lingkungan sehingga dapat menimbulkan
potensi bahaya paparan baik bagi pekerja,
masyarakat sekitar dan lingkungan.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa peneliti, yang salah
satunya menyimpulkan bahwa radioaktivitas
alam mempunyai korelasi yang erat dengan
keadaan geologi setempat, dan penggunaan
lahan oleh manusia[11]
, maka data paparan
radioaktivitas ini dapat digunakan sebagai
dasar untuk mengetahui aspek-aspek rona
lingkungan awal dalam rencana
pembangunan PLTN di Muria. Data ini juga
dapat digunakan sebagai data pembanding
dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi
radioaktivitas lingkungan di kemudian hari.
Secara visual berdasarkan peta
spasial dari pengolahan data paparan
radioaktivitas terestrial menunjukkan bahwa
Rerata konsentrasi radioaktivitas terestrial di
daerah sebelah Utara Gunung Muria adalah
lebih tinggi daripada kondisi radioaktivitas
terestrial di daerah sebelah Selatannya.
Namun demikian hasil pengukuran dan
analisis terhadap radioaktivitas lingkungan
di daerah calon tapak PLTN Jepara (sampai
radius 80 km), yang meliputi sembilan
Kabupaten di Jawa Tengah menghasilkan
tingkat radioaktivitas di bawah batas yang
diijinkan oleh BAPETEN sebagai badan
regulator tenaga nuklir di Indonesia[10]
.
Hasil pemetaan distribusi konsentrasi
paparan radioaktivitas lingkungan terestrial
tersebut dapat menghasilkan informasi yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam
pengambilan keputusan dalam program
pembangunan PLTN di Indonesia.
Pengukuran radioaktivitas
lingkungan meliputi konsentrasi zat
radioaktif alam yang terdapat di suatu
daerah, yang mencakup sinar kosmik dan
bahan radioaktif yang dikandung kerak
bumi. Pencemaran yang berasal dari sumber
alami ini, juga akibat kegiatan manusia yang
menyebabkan terlepasnya ke lingkungan.
Radioaktivitas alam di lingkungan
dipengaruhi oleh tiga nuklida radioaktif
alam yang terkandung di kerak bumi yaitu
Th-232 dan U-238 beserta nuklida
turunannya, serta nuklida K-40. Waktu
paruh nuklida ini sangat panjang, sehingga
akan selalu ada di muka bumi.
Penggunaan lahan untuk hutan
mempunyai konsentrasi dan paparan radiasi
terendah, karena dari sektor ini paparan dan
konsentrasi hanya berasal dari alam[11]
.
Kegiatan industri menghasilkan paparan
radiasi tergantung dari jenis industri dan
penggunaan bahan bakarnya. Pemakaian
sandblasting pada beberapa industri dan
limbah dari industri non nuklir seperti PLT
Batubara, pupuk, ataupun industri
penambangan pasir besi ataupun minyak dll.
akan meningkatkan paparan radioaktif
lingkungan sehingga dapat menimbulkan
potensi bahaya paparan baik bagi pekerja,
masyarakat sekitar dan lingkungan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti, yang salah satunya
menyimpulkan bahwa radioaktivitas alam
mempunyai korelasi yang erat dengan
keadaan geologi setempat, dan penggunaan
lahan oleh manusia[11]
, maka data paparan
radioaktivitas ini dapat digunakan sebagai
dasar untuk mengetahui aspek-aspek rona
lingkungan awal dalam rencana
pembangunan PLTN di Muria. Data ini juga
dapat digunakan sebagai data pembanding
dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi
radioaktivitas lingkungan di kemudian hari.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ISSN 1410-6086
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK
234
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dan
analisis aplikasi Sistem Informasi Geografis,
maka dapat disimpulkan:
- Teknologi SIG merupakan alat bantu penting dalam pelaksanaan pemetaan
secara spasial hasil penelitian yang
mencakup daerah yang sangat luas.
- Tingkat radioaktivitas di daerah sebelah Utara Gunung Muria memiliki tingkat
konsentrasi lebih besar dibanding
wilayah sebelah Selatan Gunung Muria.
- Data spasial kondisi radioaktivitas ini sangat penting sebagai instrumen dalam
melakukan monitoring kondisi
lingkungan dan membantu pengambilan
keputusan dalam merencanakan
DAFTAR PUSTAKA
1. WIJARNAKO, A., Aplikasi SIG, BAKOSURTANAL, 2005.
2. SUSIATI, H., YARIANTO SBS., MAURITZ LT., Aplikasi SIG dalam
Evaluasi Dampak Lingkungan Rencana
Pembangunan PLTN di Ujung
Lemahabang, Muria Jepara, Prosiding
Seminar Nasional Diversifikasi Sumber
Energi untuk Mendukung Kemajuan
Industri dan Sistem Kelistrikan
Nasional, Jurusan Teknik UNS, ISBN
979-498-333-0, Surakarta, 2007.
3. FIRNANDUS, D., FITRIA SANDRA, dan VERONIKA TUKA, Penentuan
Risko Radiologik dari Kegiatan
Sandblasting, Prosiding Seminar
Keselamatan 2007 BAPETEN, ISSN
ANONIM, Kepmen Lingkungan Hidup
No. 11 Tahun 2006.
4. PANDE, M. U., Sebaran Zat Radioaktif di Lingkungan dan
Hubungannya dengan perilaku petani
dalam penggunaan pupuk di Pulau
jawa, Disertasi, IPB, Bogor, 2002.
5. AHMAD, TR., Environmental Terresterial Gamma Radiation Dose
and Its Relationship with Soil
6. Type and Underlying Geological Formations in Perufian District,
Malaya, J Appl. Radiat. Isot., 1997.
7. ANONIM. Peta Rupa Bumi Jawa Tengah (Bakosurtanal), 2002.
8. EISENBUD M., The Natural Radiation Environment. Health Physic.
Rad. Protect. J. , 1993.
9. THAYIB, M.H., Radioekologi, Pusat Pendidikan dan Latihan, Badan Tenaga
Atom Nasional, Jakarta, 1992.
10. ANONIM, Ketentuan Keselamatan Kerja, SK No.1/ 1999 Ka. BAPETEN,
Jakarta, 1999.
11. PANDE, M. U., Analisis Cluster Terhadap Radioaktivitas Alam Tapak
Reaktor dan Instalai Nuklir di Pulau
Jawa, Prosiding Seminar Nasional ke –
13 Teknologi dan Keselamatan PLTN
serta Fasilitas Nuklir, ISSN: 0854-
2910, Jakarta, 2007.