TANTANGAN PEMBANGUNAN DUNIA PENDIDIKAN DALAM USAHAPENGETASAN KEMISKINAN PEDESAAN DI PROVINSI RIAU1
Oleh:
H.M.Rizal Akbar, S.Si M.Phil2
DR. Sivapalan Selvadurai3
1. PENDAHULUAN
Pembangunan pendidikan sudah sepantasnya sejalan dengan upaya pengetasan
kemiskinan, karena orientasi dari pembangunan pendidikan pada intinya adalah
melepaskan satu masyarakat dari belenggu kebodohan. Masyarakat yang belum terbebas
dari kebodohan akan dengan mudah pula diterpa oleh kemiskinan, kemelaratan,
keterbelakangan dan bahkan penjajahan.
Miskin dan bodoh adalah masalah sosial, meskipun terkadang yang kelihatan
dipermukaanya ujud seperti masalah personal. Padahal miskin dan bodoh itu adalah
masalah kebijakan sehingga kemiskinan dan kebodohan tidak mungkin bisa teratasi
bilamana tidak ditemukan satu kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. Pemikiran ini
penting untuk dipahami dalam konteks pembangunan pendidikan, terutama kaitannya
dengan upaya pengentasan kemiskinan.
Selain itu pemahaman yang sempurna tentang pembangunan juga sangat
diperlukan. Pada masa ini, pandagan masyarakat dan pelaku pembangunan sendiri
terhadap pembangunan masih sangat prakmatis. Mereka memaknai pembangunan dari
terminologi asalanya yakni “bangun”. Akibatnya kesan atas orientasi kebendaan lebih
menonjol bila dibandingkan dengan kesan bukan kebendaan. Prakmatisme matrealistik ini
menyeret kepada pemisahan diantara “praktik dengan teorinya”, sehingga pembangunan
1 Disampaikan pada seminar bilateral pendidikan Riau dan Malaysia di Universiti Kebangsaan Malaysia2 Ketua Fraksi Gabungan Baru DPRD Prov. Riau, Kandidat PhD Sains Pembangunan UKM3 Pensyarah PPSPP-FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia
2
lebih identik dengan kerja-kerja teknis, praktis serta memenuhi tuntutan rutinitas yang
disokong hanya dari pengalaman saja. Sehingga dalam ruang itu ilmu pengetahuan
kurang mendapat tempat, karena dianggap sulit dan terkesan lamban. Ungkapan yang
terkenal dalam kontek ini adalah “takperlu banyak teori, yang penting kerja”. Bagi level
pelaksana teknis, slogan ini mungkin akan sangat bermanfaat. Tapi apa jadinya kalau
selogan ini digunakan juga oleh para pembuat kebijakan dan penyusun perencanaan
pembangunan.
Pada keadaan seperti itulah pembangunan pendidikan provinsi Riau
diperbincangkan. Pendidikan yang seyokyanya berfungsi sebagai transpormasi sosial,
sebagai satu-satunya harapan bagi keluarga miskin untuk memperbaiki masa depannya.
Namun mereka harus tunduk dengan kenyataan bahwa pendidikan kita hari ini prakmatis
dan matrealis sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh mekanisme pasar. Artinya
keluarga mana yang menginginkkan pendidikan anaknya berkualitas maka mereka harus
mengeluarkan biaya yang besar. Sementara bagi keluarga miskin yang tidak memiliki
kemampuan mereka harus dapat menerima kenyataan bahwa anak-anak mereka hanya
menerima pendidikan dengan seadanya (filem laskar pelangi mungkin secara visual akan
sangat jelas menggambarkan fenomena ini). Fenomena dimana dunia pendidikan yang
harus tunduk dengan kebutuhan pasar itu secara radikal dapat dikatakan bahwa hari ini
pendidikan kita telah masuk dalam jebakan kapitalisme pendidikan.
Ini adalah sebuah krisis yang lebih bahaya dari krisis kewangan global yang
sedang dirasakan saat ini. Karena krisis pendidikan akan berdampak kepada pembentukan
peradaban dimasa hadapan. Desa dimasa dahulu tempat dimana moralitas dan religius
ditumbuhkan kembangkan , kini lupus oleh arus komuikasi. Sehingga surau, ustad dan
para alim ulama tidak lagi menjadi sumber informasi dan pengetahun. Artinya pendidikan
informal yang humanis itu sudah hampir terkikis dari fenomena masyarakat pedesaan kita
hari ini. Sementara pendidikan formal yang diharapkan sebagai transpormasi menuju
modernisasi pula masih jauh dari standar pendidikan yang modern. Akhirnya desa terus
tertinggal baik secara ekonomi mahupun sosial.
3
Kerisauan akan mundurnya kawasan pedesaan itu, kini semakin ramai
dibicarakan. Bahkan isu akan kemunduran kawasan pedesaan itupun menaiki pentas
tertinggi dalam ranah perpolitikan daerah. Buktinya pada masa pilihan raya Gubernur dan
wakil Gubernur Riau pada bulan September 2008 yang lalu, dari ketiga pasangan
kandidat, ketiga-tiganya menjadikan isu keterbelakangan desa sebagai ikon perjuangan.
Ketiga kandidat meskipun berbeda dalam kepentingan politik namun sama dalam
menetapkan isu simpatik. Desa memanglah tempat yang tak pernah lekang dengan cerita
tentang kenestapaan dan kesengsaraan.
Bila kita simak apa yang diperbincangkan oleh para kandidat itu terhadap
keterbelakangan kawasan pedesaan di Riau itu, dapat disimpulkan bahwa mereka hampir
sama dalam sebuah kesimpulan bahwa kebijakan terpenting yang harus diambilkira dalam
penanggulangan keterbelakan pedesaan itu adalah pembangunan ekonomi. Beragam
pendekatan mereka utarakan, mulai dari pendekatan sistem melalui pembenahan
birokrasi, keberpihkan, sampailah kepada pendekatan komuniti melalui program ekonomi
kerakyatan.
Sesungguhnya, adapun yang menjadi ciri utama atas keterbelakangan pedesaan itu
adalah ujudnya kemiskinan dalam bilangan yang cukup besar berbanding kawasan
perkotaan. Selain Masalah kemiskinan, Masalah rendahnya sumberdaya manusia adalah
sesuatu yang sangat serius dihadapi oleh masyarakat di kawasan pedesaan. Rendahnya
sumberdaya manusia dan kemiskinan adalah dua isu yang saling balas berbalas. Karena
miskin, seorang anak tidak akan dapat mengecap pendidikan yang layak, dan disebabkan
oleh rendahnya sumberdaya manusia, maka seseorang tidak dapat menaikan taraf hidup
diri dan keluarganya.
Perbincangan akademik yang mengaitkan diatara usaha pengetasan kemiskinan
dengan peningkatan sumberdaya manusia sesungguhnya sudah merupakan isu lama.
Namun, perbincangan itu selalu mengarah kepada satu pikiran bahwa sumberdaya
manusia harus dapat menyokong modal kapital gunak ujudnya pertumbuhan.
Pertanyaannya adalah apakah pikiran ini dapat kita jadikan landasalas dalam
4
pembangunan pedidikan di Riau? Faktanya adalah bahwa pembangunan pendidikan kita
masih tertatih-tatih diatas titian dasar. Artinya saat ini kita masih disibukan dengan
masalah wajib belajar baik 9 tahun mahupun 12 tahun yang sedang di programkan diknas.
Dalam keadaan seperti itu akan lebih tepat bila kita azamkan bahwa pendidikan kita hari
ini harus menjadi modal insan dalam menuju kemandirian personalitinya dan berguna
dalam pembentukan komunitasnya.
Untuk itu kertas kerja ini mencuba membentangkan tentang pembangunan dunia
pendidikan di Provinsi Riau, kaitannya terhadap usaha pengentasan kemiskinan pada
kawasan pedesaan, melalui tela’ah akademik dalam konteks sains pembangunan.
2. PENDEKATAN TEORI PEMBANGUNAN
Konsep pembangunan telah menjadi bahasa dunia. Keinginan bangsa-bangsa di dunia
untuk mengejar bahkan memburu masa depan yang lebih baik mengikut keadaan dan
caranya masing-masing telah melahirkan pelbagai pengertian yang berkaitan dengan
konsep pembangunan (development). Ndraha (1990:2-13) memberikan pengertian
bahawa pembangunan bertalian rapat dengan konsep pertumbuhan, rekonstruksi,
modenisasi, westernisasi, perubahan sosial, pembebasan, pembaharuan, pembangunan
bangsa, pembangunan nasional, pengembangan, kemajuan, perubahan terancang dan
pembinaan.
Sementara itu apa yang selalu menjadi indikator pembangunan di Riau sampai
hari ini, bahwa pembangunan dilihat dari perspektif ilmu ekonomi. Dari perspektif itu,
istilah pembangunan (development) secara tradisional diertikan sebagai kapasiti daripada
satu perekonomian nasional/ daerah yang keadaan-keadaan ekonomi mulanya lebih
kurang bersifat tetap dalam kurun waktu cukup lama untuk menciptakan dan
mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto/pendapatan daerah
bruto atau PDB/PDRB (produk domistik bruto/produk domestik regional bruto)nya pada
tingkat, katakanlah 5 pratus hingga 7 pratus, atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu
memang memungkinkan (Todaro,2000:17)
5
Seperti apa yang terjadi di provinsi Riau saat ini bahwa pertumbuhan ekonomi
tinggi berbanding daerah lain yakni lebih kurang 8%, namun disatu sisi kemiskinan dan
ketimpangan kehidupan masih sangat menonjol. Untuk itu indikator ekonomi saja terasa
belum berkesan dalam menggambarkan keberhasilan pembangunan. Dalam ranah teori
pebangunan berikutnya, pendekatan ekonomi mendapat tantangan dari tokoh-tokoh
ilmuwan pembangunan. Hal itu disokong adanya fakta bahawa pada tahun 1950 dan
1960, pada masa banyak diantara dunia-dunia ketiga berhasil mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup sebahagian
besar penduduknya. Keadaan yang terjadi adalah ketimpangan pendapatan yang cukup
tinggi ditambah dengan angka penganguran yang semakin membesar, sehingga pada 1970
pembangunan ekonomi mengalami redefenisi (Todaro,2000).
Akibat daripada pengalaman kegagalan pembangunan ekonomi tersebut, maka
para pakar pembangunan mula untuk mencuba merumuskan kembali hakikat
pembangunan yang sesungguhnya. Profesor Dudley Seers dalam Todaro (2000)
mengajukan serangkaian pertanyaan mendasar mengenai makna pembangunan. Adapun
pertanyaannya adalah: Pertanyaan-pertanyan mengenai pembangunan satu negara yang
harus diajukan adalah: Apa yang terjadi dengan kemiskinan penduduk di negeri itu?
Bagaimana dengan tingkat pengangguran ? Apakah perubahan-perubahan berarti yang
berlangsung atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan? Jika ketiga-tiga
masalah tersebut selama periode tertentu sedikit banyak sudah teratasi, maka tidak
diragukan lagi bahawa periode tersebut memang merupakan periode pembangunan bagi
negara tersebut.
Sehubungan dengan hakekat pembangunan diatas, meningkatkan mutu sumber
manusia dipandang sebagai kunci terhadap pembangunan yang dapat menjamin kemajuan
ekonomi dan kestabilan sosial. investasi harus diarahkan bukan saja untuk meningkatkan
physical capital stock tetapi juga human capital stock dengan mengambil keutamaan pada
usaha meningkatkan mutu pendidikan, kesihatan dan gizi (Tjokroamidjojo, 1995:44-45).
Sejalan pula yang dikemukakan Mcclelland (dalam Budiman 1995:23) dengan
konsepnya The need for Achievement (n-Ach) iaitu keperluan atau sokongan untuk
6
berprestasi. Manusia dengan n-Ach yang tinggi, memiliki keperluan untuk berprestasi,
mengalami kepuasan bukan kerana mendapatkan upah dari hasil kerjanya, tetapi kerana
hasil kerjanya dianggap sangat baik.
Schumacher (dalam Tjokroamidjojo 1995:47) mengemukakan pula bahawa
pembangunan tidak mulai daripada barang-barang, tetapi mulai daripada manusia dengan
pendidikan, organisasi dan disiplinnya. Setiap negara yang memiliki tingkat pendidikan,
organisasi dan disiplin yang tinggi pasti mengalami keajaiban ekonomi.
Dengan demikian perbaikan mutu sumber manusia akan memberikan inisiatif-
inisiatif dan sikap kewiraswastaan, akan tumbuh pula lapangan-lapangan kerja baru,
dengan demikian produktiviti nasional akan meningkat. Tampak kiranya bahawa salah
satu tujuan dari pendekatan pengembangan sumber manusia adalah tumbuhnya
wiraswasta, yang peranannya dalam pembangunan memang diakui sudah sejak lama.
Raepke (dalam Tjokroamidjojo 1995 :45) menyatakan suatu bangsa akan berkembang
secara ekonomi, apabila bangsa tersebut mempunyai wiraswasta-wiraswasta yang
mempunyai kebebasan dan motif-motif yang menyokongny untuk mengambil keputusan
yang bersifat kewiraswastaan, yang sebetulnya bererti mengadakan inspirasi, iaitu
mewujudkan gagasan-gagasan baru dalam praktek.
Pendekatan teori diatas, memberikan kerangka pemikiran secara falsafi bahwa
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah tidaklah boleh hanya semata-mata diukur
dari seberapa jauh pertumbuhan ekonomi diraih. Namun Pembangunan baru dapat
dinyatakan berjaya bilamana berkurangnya angka kemiskinan dan penganguran secara
siknifikan serta terciptanya pemerataan baik antara kaya dan miskin mahupun antara kota
dan desa.
Pendekatan teoritik diatas juga melandaskan bahwa pembangunan penddikan
adalah modal dasar dalam pembangunan kesejahteraan. Karena manusia yang memiliki
sumberdaya yang handal akan lebih mampu menggapai cita-cita pembangunan.
Disamping itu salah satu unsur terpenting sebagai strategi pembangunan pedesaan adalah
melakukan pembenahan pendidikan dikawasan pedesaan.
7
3. KONDISI KEMISKINAN DAN PENDIDIKAN PEDESAAN DI RIAU
Keadaan sebenar yang sedang dihadapi masyarakat di kawasan pedesaan perlu dijelaskan
baik secara kuantitatif mahupun kwalitatif. Berikut ini kita akan mencuba
membentangkan keadan sebenar masyarakat pedesaan di provinsi Riau terutama yang
berkaitan dengan kemiskinan dan pendidikan. Data yang banyak digunakan pada kertas
kerja ini masih banyak menggunakan data tahun 2004 ke bawah, sehingga tentu kurang
memuaskan dari sisi ketepatan data dengan kondisi sebenar. Namun paling tidak paparan
data kuantitatif berikut dapat menginspirasikan kita kepada keadaan sebenar pedesaan
yang sampai saat ini belum terjadi perubahan secara siknifikan.
Keadaan yang sangat penting utuk di paparkan adalah menyangkut kemiskinan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BAPPENAS (2004) mendefinisikan
kemiskinan sebagai keadaan dimana seseorang atau sekumpulan orang, lelaki dan
perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak asas untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak asas masyarakat desa antara lain,
terpenuhinya keperluan makanan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air
bersih, pertanahan, sumber alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan sosio-politik, sama
ada bagi perempuan ataupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak asas masyarakat
miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain;
pendekatan keperluan asas (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income
approach), pendekatan kemampuan asas (human capability approach).
Di Indonesa secara am kemiskinan banyak ditemukan di kawasan pedesaan.
Laporan Bank Dunia tahun 1990 (dalam Todaro 2000) memperlihatkan bahawa, 73%
masyarakat Indonesia berada di pedesaan dan dari jumlah itu, 91% adalah miskin.
Sementara di Malaysia hanya 62% penduduknya hidup di desa dan dari jumlah itu 80%
adalah miskin, Di Filipina 60% penduduknya hidup di desa dan dari jumlah itu 67%
adalah miskin. Keadaan perbandingan kemiskinan di antara kota dan desa di Indonesia
secara jelas tergambar dari jadual di bawah ini :
8
Jadual 1
Peratusan dan perkembangan jumlah
penduduk miskin desa dan kota 1976-1999
Desa KotaTahun Penduduk miskin
(juta orang)(%) Penduduk miskin
(juta orang)(%)
19761978198019811984198719901993199619981999
44.238.932.831.325.720.317.817.215.331.925.1
40.433.428.426.521.216.414.313.812.325.720.2
10.08.39.59.39.39.79.48.77.2
17.612.4
38.830.829.028.123.120.116.813.49.721.915.1
Sumber; Badan Pusat Statistik, 1996-1999.
Sementara itu, pengukuran angka kemiskinan di Provinsi Riau pada amnya
dilakukan dengan menggunakan dua pendataan iaitu angka kemiskinan yang dihitung
oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dan BPS (Biro Pusat
Statistik). Berdasarkan data daripada BKKBN, pengukuran kemiskinan dibahagikan
dalam 2 kategori iaitu penduduk pra-sejahtera dan sejahtera I4.
Keadaan penduduk pra-sejahtera dan sejahtera I di Provinsi Riau kerana alasan
ekonomi dan bukan ekonomi menunjukkan trend yang berfluktuasi, dimana pada tahun
1998 angka kemiskinan sebesar 33.13%. Akibat pengaruh krisis kewangan, angka
kemiskinan di Provinsi Riau mengalami peningkatan yang cukup tinggi, pada tahun 1999
angka kemiskinan mencapai 42.25% dan pada tahun 2000 naik menjadi 44.25%. Angka
4 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 1994 mengembangkanbeberapa indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan mempergunakannindikator ekonomi, sosial, kesihatan, dan gizi. Hasil kajian terhadap indikator-indikator tersebutmemetakan kesejahteraan keluarga dalam beberapa tingkatan sebagai berikut: Keluarga PraSejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, dan Keluarga Sejahtera III Plus. Keluargayang masuk ke dalam ketegori miskin adalah keluarga Pra Sejahtera dan keluarga Sejahtera.
9
kemiskinan tersebut kembali mengalami penurunan menjadi 41.57% pada tahun 2001 dan
40.05% pada tahun 2002. Ini bererti sejak tahun 2000 ke tahun 2002 terdapat
pengurangan penduduk miskin sebanyak 4.2% atau lebih kurang 222,000 orang. Namun
pada tahun 2003 jumlah keluarga miskin di Riau bertambah lagi menjadi 41.31% dengan
23.47 % alasan ekonomi dan 17.84 % dengan alasan bukan ekonomi. Peningkatan jumlah
keluarga miskin pada tahun 2003 disebabkan oleh arus migrasi dari daerah tetangga
(Sumatra barat dan Sumatra utara) akibat meningkatnya perekonomian Riau di era
otonomi daerah (Lapoan Pertanggungjaaban Gubnur Riau 2003).
Selanjutnya angka kemiskinan dari data BPS berdasarkan bancian penduduk
nasional tahun 2002, yang diukur menurut keperluan makanan sebesar 2,100 kalori per
kapita, angka kemiskinan di Provinsi Riau pada tahun 1998 berjumlah 15.23% daripada
total penduduk, bila dibandingkan dengan tahun 2002 sebesar 13.67% menunjukkan
kecondongan menurun yang disebabkan oleh situasi kondusif lapangan pekerjaan setelah
kegawatan ekonomi (Lapoan Pertanggungjaaban Gubnur Riau 2003)..
Berdasarkan pendataan penduduk keluarga miskin provinsi Riau tahun 2004
(Balitbang Riau, 2004) diketahui bahawa jumlah penduduk provinsi Riau adalah
sebanyak 4,525,225 orang dengan 977,288 rumah tangga. Dari jumlah tersebut diketahui
pula sebanyk 1,008,321 (22.28%) orang dinyatakan miskin dan 231,508 (23.68%) rumah
tangga miskin dengan garis kemiskinan Rp198,075 per orang sebulan untuk daerah
perkotaan dan Rp164,921 per orang sebulan untuk daerah pedesaan. Data selengkapnya
di tuangkan pada jadual 3. Malangnya laporan ini tidak memisahkan kemiskinan antara
kawasan kota dan desa.
Data yang memisahkan diantara kemiskinan desa dan kota, hanya di tampilkan
pada Master Plan Riau (2002). Pada laporan itu dinyatakan bahawa, sebagai
perbandingan pada tahun 1999 Garis kemiskinan Riau adalah Rp 94.000 setipa orang
setiap bulan untuk daerah perkotaan dan Rp 91.000 setiap orang setiap bulan untuk
daerah pedesaan. Angka tersebut, sama dengan garis kemiskinan rasmi di Jawa Barat,
tetapi biaya hidup bagi masyarakat miskin sebenarnya lebih tinggi di Riau. Harga beras
10
lebih mahal Rp. 300/kg di Pekanbaru dibandingkan dengan Bandung pada tahun 2000.
Harga-harga makanan juga mengalami peningkatan selama tahun 1996 sampai tahun
2000, dengan 7% lebih tinggi di Pekanbaru dibandingkan dengan Jawa Barat. Perbezaan
dengan Jawa Barat dan, misalnya, dengan Sumatera Barat adalah kemiskinan meningkat
dua kalilipat di daerah perkotaan di dua provinsi ini, yang disebabkan oleh dampak
pertama krisis kewangan, sementara itu garis kemiskinan di daerah perkotaan Riau hanya
mengalami peningkatan sebesar 50%. Di pedesaan Sumatra Barat dan Riau, peningkatan
kemiskinan jauh lebih kecil, seperti terlihat pada jadual 2.
Krisis kewangan tahun 1997, ternyata tidak memperburuk keadaan kemiskinan di
kawasan pedesaan di Riau. Sebahagian desa di kawasan pesesir di Riau bahkan
menganggap krisis ini sebagai suatu masa kejayaan ekonomi. Keadaan ini biasanya
dirasakan oleh petani-petani kelapa, petani karet, dan kumpulan nelayan. Krisis kewangan
ini menguntungkan bagi mereka karena harga jualan keluaran komoditi ini adalah
barangan ekspor dimana transaksinya menggunakan USD, sehingga harga wang rupiah
jatuh, terjadi peningkatan nilai tukaran terhadap rupiah yang berlipat ganda.
Jadual 2Peratusan penduduk dibawah garis kemiskinan
PROVINSI Peratusan Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan1996 1999
Riau – BandarRiau – PedesaanSumatera Barat-BandarSumatra Barat – PedesaanJawa Barat – BandarJawa – Pedesaan
6.3 %16.0%9.4 %10.0 %11.7%10.6%
9.1 %17.0 %18.3 %11.2%21.2%18.5%
11
Jadual 3Jumlah dan Peratusan Rumah Tangga/Penduduk Miskin, Provinsi Riau 2004
KABUPATEN/KOTA
Jumlah RT2004
(ruta)
JumlahPenduduk
2004
(orang)
Rumah tanggaMiskin
2004
(ruta)
Penduduk MiskinMiskin
2004
(orang)
Peratusanrumah tangga
Miskin2004(%)
PeratusanPenudukMiskin2004(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)243,768Kuantan Sengingi
Indragiri HuluIndragiri HilirPelalawanSiakKamparRokan HuluBengkalisRokan HilirPekanbaruDumai
56,92366,793
136,38551,32064,127
113,92176,452
126,08192,296
148,53245,418
296,712624,450220.,887286,245532,453340,732637,103440,894704,517215,783
16,76421,34046,23510,06413,33130,62617,87829,57721,15516,158
8,340
66,92093,297
199,49740,63162,715
122,50471,006
140,46395,93276,84138,515
29.4532.4433.9019.1620.7926.8823.3723.4622.9210.8818.36
27.4531.4431.9518.3921.9123.0120.8422.0521.761.91
17.85
Jumlah 977,288 4.543,584 231.468 1,008,321 23.68 22.28Badan Penelitan dan Pengembangan Prov Riau, 2004
15
Jadual 4Kemiskinan Desa dan Kota di Riau tahun 2004
Untuk melihat komposisi kemiskinan diatas kota dan desa di Riau pada tahun
2004, dapat terlihat dari jadual 4 diatas. Jadual di atas memperlihatkan bahawa pada
tahun 2004 lebih kurang 3,077,272 (68%) orang penduduk provinsi Riau hidup di
kawasan desa. Daripada jumlah tersebut, sebanyak 840.307 orang adalah miskin atau
sebesar 27.31% dari jumlah penduduk yang hidup di kawasan desa. Bila jumlah angka
kemiskinan di kawasan desa itu dibandingkan dengan jumlah kemiskinan keseluruhan
di Riau (1,008,321 orang) maka 83% orang miskin adalah di kawasan pedesaan.
Apakah benar bahwa salah satu penyebab kemiskinan itu adalah karena
rendahnya tingkat sumberdaya manusia, berikut ini dipaparkan keadaan pendidikan di
kawasan pedesaan. Keadaan pendidikan masyarakat khasnya pedesaan di Riau boleh
digambarkan mengikuti jadual di bawah ini. 4.4% pada tahun 1999 dan 3.5% pada
tahun 2002 masyarakat yang masih buta hurup. Sementara itu angka lama sekolah
juga meningkat dari rata-rata 7.3 tahun pada tahun 1999 menjadi rata-rata 8.3 tahun
pada tahun 2002. Masyarakat yang putus sekolah dan keikutsertaan sekolah juga
terjadi peningkatan, namun sangat lambat pergerakan perubahannya.
Desa Kota
No Kabupaten/Kota Penduduk Miskin Penduduk Miskin
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %1 Kuantan Singingi 238,698 9792% 66,777 27.98% 5,070 2.08% 143 2.82%2 Indragiri Hulu 281,660 94.93% 91,235 32.39% 15,052 5.07% 2,062 13.70%3 Indragiri Hilir 576,783 92.37% 190.,596 33.04% 47,667 7.63% 8,901 18.67%4 Pelelawan 174,265 78.89% 36,168 20.75% 46,622 21.11% 4,463 9.57%5 Siak 206,392 77.04% 55,151 26.72% 61,494 22.96% 7,564 12..30%6 Kampar 459,410 86.28% 116,691 25.40% 73,083 13..72% 5,813 7,.95%7 Rokan Hulu 290,345 85.21% 68,302 23.52% 50,387 14.79% 2,704 5.37%8 Bengkalis 396,306 62.20% 115,705 29.20% 240,797 37.80% 24,758 10.28%9 Rokan Hilir 342,659 77.72% 80,182 23,.40% 98,235 22.28% 15,750 16,.03%
10 Pekanbaru 55,.086 7.82% 7,606 13.81% 649,431 92.18% 69,235 10.66%11 Dumai 5,.668 2..80% 11,894 21.37% 160,115 74.20% 26.,621 16.63%12 Provinsi Riau 3.07,.272 68.00% 840,307 27.31% 1,447,953 32.00% 168,014 11.60%
16
Jadual 4Partisipasi Pendidikan Orang Miskin Di Riau
TAHUNINDIKATOR
1999 2002
Buta Huruf (%) 4.4 3.5Lama Sekolah (thn) 7.3 8.3Putus Sekolah SD- SMP (7-15) SMU/K (16-18) PT(19-24 tahun)
2.611.213.9
1.97.46.9
Keikutsertaan Sekolah 7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-24 tahun
96.385.253.49.4
96.884.553.98.8
Data : BPS Riau 2002
Sementara itu, keadaan pendidikan keluarga miskin di desa digambarkan pula
oleh jadual 5 di bawah ini. Kepala keluarga miskin dengan belatar belakang
pendidikan yang sangat rendah terdapat di kabupaten Kuantan Singingi (63%), diikuti
dengan Indragiri Hilir (61%) dan Pelalawan (57%), yakni tidak menamatkan sekolah
dasar dan atau hanya menamatkan sekolah dasar. Terdapat rata-rata 39 persen
daripada kepala keluarga miskin di Provinsi Riau hanya menamatkan SLTP, serta
rata-rata hanya 11% sahaja kepala keluarga miskin yang menamatkan SLTA. Data ini
boleh memberikan gambaran bahawa terdapat hubungan yang erat antara kemiskinan
dengan rendahnya latar belakang pendidikan kepala keluarga di Provinsi Riau.
17
Jadual 5Keadaan Pendidikan Keluarga miskin di Riau
Pendidikan FormalKepala Keluarga
Pendidikan FormalAnggota KeluargaNo Kabupaten
T.T SD - SD SLTP SLTA T.T SD- SD SLTP SLTA
1 KuantanSingingi
63% 31% 6% 50% 44% 6%
2 IndragiriHulu
40% 46% 14% 36% 47% 17%
3 IndragiriHilir
61% 34% 5% 71% 23% 6%
4 Pelalawan 57% 30% 13% 39% 44% 17%
5 Kampar 39% 48% 13% 35% 33% 32%
6 RokanHulu
44% 44% 12% 57% 25% 18%
Purata 51% 39% 11% 48% 36% 16%
Sumber: BPPM Prop. Riau – UIR (2003)
Daripada Jadual 5 di atas terlihat bahawa anggota keluarga pada keluarga
miskin pedesaan juga memiliki latar belakang pendidikan yang berbeza-beza. Latar
belakang pendidikan anggota keluarga miskin pedesaan terendah terjadi di Kabupaten
Indragiri Hilir (71%) diikuti dengan Rokan Hulu (57%) dan Kuantan Singingi (50%)
yakni tidak menamatkan sekolah dasar dan atau hanya menamatkan sekolah dasar
sahaja. Di samping itu, purata 36% anggota keluarga miskin pedesaan di provinsi
Riau yang menamatkan SLTP dan purata 16% yang menamatkan SLTA. Data ini
dapat memberikan gambaran tentang ancaman keberlanjutan kemiskinan di pedesaan
Riau pada masa mendatang.
Di Kabupaten Indragiri Hilir, kepala keluarga miskin di desa yang memiliki
latar belakang pendidikan sangat rendah 61%, manakala anggota keluarganya 71%
berpendidikan sangat rendah, ini menunjukkan di masa hadapan jumlah keluarga
miskin di Indragiri Hilir dari perspektif pendidikan akan tetap bertambah. Data yang
sama pula terjadi di Kabupaten Rokan Hulu, iaitu 44% kepala keluarga miskin
18
berpendidikan sangat rendah, diikuti dengan peningkatan angka 57% yang terjadi
pada anggota keluarganya.
Jadual 6
Penyebab Kemiskinan di Riau(Akses Pendidikan)
Sarana PendidikanNo Kabupaten
Sampel DesaMiskin TK SD SMP Pesantren SMU
1 Kuansing 22 2 15 3 0 02 Inhu 16 0 18 5 0 13 Inhil 16 0 17 4 1 04 Pelalawan 15 0 15 3 0 05 Kampar 14 0 17 4 2 16 Rohul 15 0 14 2 0 1
Purata 16.34 0.33 16.00 3.50 0.50 0.50Sumber: BPPM Prop. Riau – UIR (2003)
Rendahnya pendidikan, khasnya masyarakat pedesaan di Riau ternyata sangat
berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini, sangat memungkinkan karena
mengingat sangat terbatasnya sarana pendidikan di kawasan pedesaan. Jadual di atas
menunjukan dengan jelas kekurangan sarana pendidikan yang terjadi di beberapa desa
miskin di provinsi Riau. Di Kuansing, daripada 22 sampel desa miskin yang diambil,
ternyata hanya ada 2 buah taman kanak-kanak, 15 buah sekolah dasar, 3 buah sekolah
menengah pertama dan tidak ada sekolah menengah atas. Ini ertinya tidak semua desa
di Kabupaten tersebut memiliki Sekolah Dasar, sekolah menengah pertama, apatah
lagi sekolah menengah atas.
Dari keadaan kemiskinan dan pendidikan pedesaan Riau yang dipaparkan di
atas, terlihat bahwa pedesaan kita masih berada dalam keadaan miskin dan
kemiskinan itu akan tetap bertahan bahkan berpotensi untuk berkembang bilamana
pemerintah baik provinsi mahupun kabupaten/kota tidak teat dalam merumuskan
kebijakan pengetasan kemiskinan dan pembangunan dunia pendidikan. Untuk itu,
berikut akan di bentangkan sekilas tentang kebijakan pembangunan pendidikan yang
kaitannya dengan pengentasan kemiskinan kawasan desa.
4. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KAWASAN PEDESAAN
19
Di provinsi Riau selama otonomi daerah dijalankan pembangunan sektor pendidikan
juga telah menghabiskan biaya pembangunan yang cukup besar. Sebagai contoh, pada
tahun 1998-2000 dana yang alokasi untuk pembangunan semua sektor yang terkait ke
dalam usaha peningkatan sumber manusia sebesar Rp 99.67 milyar lebih. Dalam
Renstra priode 2001-2003 anggaran pembangunan di sektor pendidikan ini
ditargetkan sebesar 30.69% dari total anggaran pembangunan.
Menurut Saleh Djazid (2003)5 , bahawa buruknya sistem pendidikan yang ada
di provinsi Riau selama ini disebabkan oleh kelalaian pada hampir 15 tahun
sebelumnya. Seandainya landasan dasar pendidikan 15 tahun yang sebelumnya, sudah
memiliki master plan yang kuat, tentu hasilnya bukan seperti yang ada sekarang ini.
Bertolak dari keadaan itu menurutnya harus segera merumuskan master plan
pendidikan dan menciptakan sekolah-sekolah yang berkualiti dengan bentuk Sekolah
Menengah Am (SMU) plus.
Selain membangun SMU plus, pada masanya Saleh Djzaid juga memberikan
perhatian pembangunan dalam bidang pendidikan ini dengan melaksankan
pembangunan Fakulti Perubatan Universiti Riau yang menghabiskan biaya sebesar
Rp.29.8 Miliyar sementara itu dalam bidang kebudayaan pula dia telah membangun
Gedung Teater Bandar Seni Raja Ali Haji yang menelan biaya Rp.56 milyar,
pembangunan pusat kegiatan olahraga juga mendapat bahagian pembiayaan yang
besar pada masanya iaitu menelan biaya sebesar Rp. 89.8 milyar.
Semua projek-projek itu dibangun di bandar Pekanbaru. SMU plus dan Fakulti
Perubatan sebagai simbol atas kepedulian pemerintah terhadap keadaan pendidikan
masyarakat ternyata hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga yang berpenghasilan
tinggi. Sementara keluarga-keluarga miskin di desa tidak tersentuh dengan
pembangunan pendidikan tersebut. Keadaan dimana terbatasnya kualiti dan kuantiti
guru, bangunan-bangunan dan fasiliti sekolah yang sangat memprihatinkan serta
mahalnya biaya pendidikan merupakan fenomena yang tetap wujud pada masyarakat
di pedesaan di Riau.
5 Saleh Djazid adalah Gubernur Riau tahun 1998-2003.
20
Keadaan kemunduran masyarakat khasnya kawasan pedesaan Riau akan
pendidikan, pada masa Rusli Zainal6 dijawab melalaui empat pendekatan. Pertama,
Menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Kedua, Meningkatkan kualiti pendidikan
mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga ke Perguruan Tinggi. Ketiga,
Meningkatkan fasiliti pendidikan guna mengejar perbaikan di dunia pendidikan.
Keempat, meningkatkan kesesuaian diantara dunia pendidikan dengan dunia kerja
(Dahril 2004).
Namun pada masanya Rusli pun kebijakan pembangunan pendidikan yang
berorientasi kepada kawasan pedesaan masih jauh dari harapan. Sesuai dengan hasil
kajian Rizal Akbar (2007) matlamat kebijakan yang dirumuskan (sesuai dengan
Restra 2004-2008) pada bidang pendidikan ternyata sebahagian besar kebijakan
pembangunan pendidikan yang tidak memiliki kejelasan orientasi. Dan hanya
sebahagian kecil saja yang benar-benar terfokus kepada desa. Artinya perumusan
kebijakan pendidikan dimasa tersebut belum mengakomodir desa sebagai target
pembangunan.
Kemunduran pendidikan masyarakat Riau dinyatakan oleh pemerintah Riau
bahawa lebih kurang 4 juta lebih penduduk Riau 55.76% yang hanya menamatkan
pendidikan dasar (SD), 18.45% yang menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), 23.35% yang menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan hanya
3.44% yang menamatkan Pendidikan Tinggi (PT). Adapun keadaan terparah adalah di
kawasan terpencil dan daerah pesisir serta aliran sungai yang ada di Riau. Mengenai
guru pula dikatakan bahawa keperluan guru provinsi Riau adalah sebesar 7,708.
Sementara guru yang tersedia adalah sebanyak 5,276 orang. (Renstra 1998-2003)
Kebijakan pembangunan dalam sektor pendidikan di provinsi Riau ini sudah
selayaknya untuk diubahsuaikan kembali mengingat tidak selari dengan permasalahan
masyarakat khususnya di kawasan pedesaan. Kekeliruan terbesar yang dihadapi oleh
pemerintah Riau dalam menetapkan kebijakan pendidikan adalah ketika
pembangunan pendidikan tidak dihubungkaitkan dengan upaya penghapusan
kemiskinan dan memajukan pembangunan kawasan desa di Riau.
6 Rusli Zainal ialah Gubernur Riau tahun 2003-2008 dan pada pilihan raya gubernur dan wakilgubernur 22 Sept 2008 yang lalu belia kembali terpilih menjadi Gubernur Riau untuk kali kedua.
21
Dengan demikian, pembangunan pendidikan seharusnya diupayakan tidak
hanya penyediaan fasiliti dan guru sahaja. Tetapi lebih penting daripada itu penguatan
kurikulum pendidikan yang bersesuaian dengan keperluan masyarakat dalam
melepaskan dirinya dari kemiskinan adalah sangat diperlukan. Karena sistem
pendidikan pada dasarnya hanya mencerminkan dan menghasilkan, bukannya
mengubah struktur-setruktur sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat dimana
sistem tersebut berada, maka setiap program ataupun serangkaian kebijakan yang
hendak dirancang untuk meningkatkan kesesuaian sistem pendidikan terhadap
keperluan-keperluan pembangunan harus melibatkan dua hal utama:
1. Rombak kembali sistem insetif dan sinyal-sinyal sosial ataupun ekonomi
luaran yang berada di luar sistem pendidikan, yang sentiasa justeru mampu
menentukan jangkauan, struktur, dan orientasi permintaan individu
terhadap pendidikan serta munculnya tanggapan politik dalam bentuk
penyediaan tempat-tempat dan fasiliti sekolah oleh pemerintah.
2. Ubah kembali unsur-unsur dalam atau yang berada di dalam sistem
pendidikan itu sendiri, melalui penyelesaian subjek-subjek pelajaran
(terutama untuk kawasan pedesaan), perbaikan struktur pembiayaan oleh
pemerintah dan individu, penyempurnaan metode seleksi dan promosi,
serta peningkatan kualiti penilaian jabatan atau posisi pekerjaan atas dasar
tingkat pendidikan.
Kesenjangan pembinaan sumber manusia yang wujud berupa keterbatasan
kesempatan memperoleh pendidikan dan keterampilan merupakan bentuk lain
daripada ketimpangan distribusi atau kepemilikan asset-asset berharga dalam
masyarakat. Oleh karena itu, harus dirumuskan dan menerapkan kebijakan demi
memperluas kesempatan memperoleh pendidikan (bagi wanita, terutama sekali bagi
pria) yang merupakan salah satu cara efektif guna meningkatkan potensi penghasilan
penduduk. Pelaboran dalam modal manusia ini sebagai strategi utama untuk
mengurangi kemiskinan telah dipromosikan secara luas (bersama -sama dengan
percepatan pertumbuhan ekonomi) oleh Bank Dunia dalam berbagai laporanya
mengenai kemiskinan, khususnya dalam Word development Repot 1998 / 99.
22
Dalam konteks ini kebijakan pembangunan pendidikan guna pengetasan
kemiskinan di kawasan pedesaan, merujuk kepada pandangan Todaro (2000) ada
dua bahagian kebijakan yang dapat dilaksanakan : Pertama, Kebijakan-kebijakan di
luar sistem pendidikan, dan Kedua, kebijakan-kebijakan dalaman sistem pendidikan.
Kebijakan di luar sistem pendidikan, menurutnya terdiri daripada tiga
bahagian. Pertama, penyesuaian atas pelbagai ketidak seimbangan. Kebijakan ini
berusaha untuk memudahkan upaya penyempurnaan sistem pendidikan agar sesuai
dengan kepentingan-kepentingan pembangunan. Kedua, pengubahan pola pengaturan
pekerjaan berdasarkan ijazah. Kebijakan ini berusaha untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang dialamai oleh mensyaratkan khasnya tentang jawatan. Sehingga
majikan dalam menetapkan satu jawatan, tidak lagi mempersyaratkan dengan graduan
yang tinggi. Ketiga, pencegahan pengurasan intelektual. Kebijakan ini dapat sahaja
dilakukan oleh pemerintah dengan membatasi kepada tenaga kerja terdidik untuk
bekerja di luar negeri. Kerana dengan demikian pelaboran pada pendidikan yang
dilakukan oleh pemerintah akan menjadi tidak bererti apabila ramai tenaga-tenaga
profesional yang tidak mengembangkan pengetahuannya di negara sendiri (Todaro
2000).
Kebijakan dalaman sistem pendidikan, menurutnya tebahagi kepada empat
kebijakan. Pertama, anggaran pendidikan. Kebijakan ini menuntut secara politis
profesional diantara keperluan penganggaran pendidikan dengan keperluan untuk
pelaboran yang memberikan kesempatan kerja kepada para pencari kerja. Di samping
itu, kebijakan ini juga lebih diarahkan pada pengangaran yang lebih besar kepada
pendidikan dasar dan bukan sebaliknya kepada pendidikan tinggi. Dengan demikian,
memungkinkan semua anak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan demi
mendapatkan pengalaman yang lebih sesuai dengan bidang-bidang pekerjaaan,
khasnya di kawasan pedesaan. Kedua, Subsidi. Kebijakan subsidi juga harus
dilakukan secara profesional yang harus disesuaikan dengan keperluan pembangunan.
Subsidi yang berlebihan kepada pendidikan tinggi sebaiknya segera di hentikan.
Subsidi seharusnya diarahkan kepada masyarakat miskin yang benar-benar
23
memerlukan sehingga mengurangi beban biaya tinggi7 yang mereka hadapi. Ketiga,
Penyesuaian kurikulum sekolah dasar dengan keperluan-keperluan pembangunan
desa. Kebijakan ini mengarahkan kepada kurikulum yang bersesuaian dengan
keperluan masyarakat di pedesaan. Hal ini disebabkan oleh selama ini kurikulum
pendidikan formal lebih kepada mempersiapkan pelajar untuk melanjutkan
kependidikan formal yang lebih tinggi. Keempat, kuota (jatah). Kebijakan ini
menginginkan kesempatan diantara pelajar yang berasal dari keluarga kaya dan
pelajar dari keluarga miskin secara seimbang dapat ditampung dalam sistem
pendidikan.
7 Ada dua biaya yang muncul dalam permasalahan pendidikan. Pertama biaya sosial,adalah biaya oportunitas yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk perluasanpendidikan tinggi yang mahal tentunya pemerintah akan membangun satu pendidikantinggi dari menghabiskan anggran pembangunan yang tidaklain bersumber dari pajak yangdiperoleh dari masyarakat. Kedua biaya pendidikan individu, iakitu biaya yang dekeluarkanatau dikorbankan oleh seorang pelajar dan keluarganya. Biaya individu inilah yangmembedakan diantara seorang kaya dengan miskin. Keluarga miskin menjadikan anaknyasebagai salah satu factor produksi, sehingga apabila anaknya kesekolah maka ada satufactor produksi yang hilang dan harus digantikan dengan tenaga yang lain tentu akanmenambah kos (misalnya menjaga dagangan kepasar, menggarap sawah, memeliharaternak dll). Sementara itu keluarga kaya tidak menjadikan anaknya sebagai factorproduksi, sehingga tidak ada biaya yang mereka keluarkan disaat anaknya pergikesekolah. Karena mereka tidak melibatkan anaknya dalam sumber ekonomi keluarga.Dengan itu biaya pendidikan untuk keluarga kaya dan miskin, meskipun telah disubsiditetap saja membebankan kepada keluarga miskin.
24
RUJUKAN
Arif Budiman, Dr. 1995. Teori pembangunan dunia ketiga. Jakarta: PT GramediaUtama.
Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG) Riau. 2004. Pendataanpenduduk/keluarga miskin provinsi Riau 2004. Pekanbaru: Badan Penelitiandan Pengembangan Provinsi Riau.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. (BKKBN) 1999
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I Propinsi Riau. 1998. PropinsiRiau dalam membangun. Pekanbaru : Pusat Informasi dan Publikasi KantorBAPPEDA Riau.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Riau. 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2004.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau.2004. Draft revisi rencanastrategi provinsi Riau tahun 2004-2008.
Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2003. Sensus Pertanian 2003.
Badan Promosi dan Investasi Provinsi Riau. 2005. Buku statatistik investasi Riau.
Bryant, C & Louise G.W. 1982. Manajemen pembangunan untuk negaraberkembang. Terjemahan Rusyanto L. Simatupang. Jakarta : LP3ES.
Budiman, Arief. 1996. Teori pembangunan dunia ketiga. Jakarta : Gramedia.
Cahamhuri Siwar, Abdul Hamid Jaafar & Ahmad Mad Zin. 1995. Industri desasemenanjung Malaysia. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Friedmann, J. 1981. The active community in rural development : National Policiesand Experiences. Nagoya : Maruzen Asia.
Garna, Judistira K. 1992. Teori-teori perubahan sosial. Bandung : PascasarjanaUniversitas Padjadjaran.
Grace,A,J,Rumagit. 2002. Alternatif model pembangunan ekonomi Indonesiamenghadapi era globalisasi.http:/rudy.tripod.com/sem2_012/grace_rumagit.htm (17 Mei 2002)
Hanafiah, T. et. al. 1982. pendekatan wilayah terhadap masalah pembangunanperdesaan. Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hanafiah, MNA, ed .al. 2003. Fakta-fakta untuk membangun Riau 2003-2008.
25
Hairi Abdullah.et.al. 1984. Kemiskinan dan Kehidupan golongan pendapatan rendah.Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Morris, D & Adelma. 1973. Measuring condition of the world’s poor : the physicalquality of life index. New York : Pergamon.
Ndraha, Taliziduhu . 1990. Pembangunan masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Nor Aini Haji Idris & Chamhuri Siwar. 2003. Kemiskinan bandar dan sektortidakformal di Malaysia. Bangi: Penerbit Univesiti Kebangsaan Malaysia.
Riau. 2002. Bernama Riau Dalam Angka
Riau. 2003. Bernama Riau Dalam Angka In Figures.
Riau. 2003. Bernama Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Riau.
Riau. 2004. Bernama Riau Dalam Angka In Figures.
Riau. 2005. Bernama statistik ekonomi-keuangan daerah. Pekanbaru: Bank IndonesiaPekanbaru.
Riau. Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat (BPPM). 2004.Pemberdayaan Desa Untuk Penanggulangan Kemiskinan di Riau.
Rizal Akbar . 2007. Bangkit dari keterblakangan. Pekanbaru: LPNU Press.
Rusli, Sumardjo & Yusman Syankat 1996. Pembangunan dan fenomena kemiskinankasus profil propinsi Riau. Jakarta : Grasindo.
Sajogyo. 2002. Pertanian dan Kemiskinan. (atas talian).http/www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_5.htm (1 Maret 2002).
Tengku Dahril. 2004. Pemerintah laksankan empat konsep pembangunan pendidikandi Riau. Buletin WWW.BANGRUSLI.NET. Edisi 2/XI/2004.
Terry, G.R. 1975. Principles of management. Georgetown, Ontario : Irwin-DorseyLimited.
Tjokroamidjojo, Bintoro & Mustopadidjaja, AR.. 1993. Kebijaksanaan danadministrasi pembangunan. Jakarta : LP3ES.