Halaman 1 dari 26
NOTA PEMBELAAN (PLEIDOOI) PRIBADI ATAS NAMA TERDAKWA
Ir. GALAILA KAREN KARDINAH alias KAREN AGUSTIAWAN Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita
semua.
Pertama-pertama saya panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Illahi Rabbi yang
telah memberikan nikmat sehat sehingga saya dapat menghadiri persidangan
yang sangat penting dalam sisa-sisa kehidupan saya ke depan. Pada
kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa
bagi yang menjalankannya, semoga ibadah kita di bulan suci Ramadhan ini
diterima oleh Allah SWT. Aamiin…
Yang mulia Majelis Hakim, yang saya hormati Bapak-bapak Jaksa Penuntut
Umum, Penasihat Hukum, teman-teman dari Pertamina dan Exxon Mobil, serta
rekan-rekan media, yang selalu setia mengikuti jalannya persidangan ini,
khususnya kepada suami tercinta Prof. Dr. Herman Agustiawan, anak-anak saya
Jemmy, Nadia, Dimas, Ruci, Dariel, cucu saya Katya beserta kakak-kakak saya,
terima kasih atas atensi, empati dan waktu yang diluangkan, baik selama masa
persidangan maupun saat saya menjalani kehidupan di rumah tahanan selama
hampir sembilan bulan.
Saya ingin memulai pembelaan atau Pledoi saya dengan menceritakan sedikit
tentang karir saya di bidang Industri Migas. Setelah lulus dari ITB pada tahun
1983, saya memulai karir saya di sebuah perusahaan Amerika pada tahun 1984
di Mobil Oil Indonesia (MOI) sebagai Geophysicist. Pada tahun 1988-1991 saya
Halaman 2 dari 26
mendapat tugas kerja (working assignment) ke Mobil Oil Dallas, sekaligus
mendampingi suami saya yang sedang tugas belajar Program Doctoral (S3) di
Dallas Texas, Amerika.
Saya bekerja di MOI selama 13 tahun hingga 1997, namun saya terus berkarir di
berbagai perusahaan migas swasta asing (Landmark, Halliburton dll). Kemudian
pada tahun 2004 saya memilih untuk menjalankan usaha sendiri dengan harapan
memiliki banyak waktu luang untuk anak-anak dan keluarga saya. Keputusan ini
saya buat, karena saya yakin bahwa menjadi seorang ibu dari anak-anak saya
merupakan pekerjaan yang mulia, sedangkan karir di dunia Migas hanya
merupakan pekerjaan sampingan yang saya lakukan untuk menunjang keluarga.
Dengan keyakinan tersebut, tak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya
untuk menjadi Pejabat Negara atau Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang
merupakan BUMN terbesar di Indonesia.
Ternyata Allah SWT berkehendak lain, pada bulan Desember 2006 saya diminta
untuk menjadi Staf Ahli Bidang Hulu Direktur Utama PT Pertamina (Persero)
yang pada saat itu dijabat oleh Bapak Arie Soemarno. Setelah menjadi Staf Ahli
sekitar setahun, saya diminta mengikuti Fit & Proper Test untuk posisi Direktur
Hulu PT Pertamina (Persero) dan dinyatakan lulus, dan saya dilantik pada
tanggal 5 Maret 2008. Belum genap setahun, kemudian saya diminta untuk
mengikuti proses seleksi yang sama untuk jabatan Dirut PT Pertamina (Persero).
Saya pun lulus dari seleksi tersebut dan dilantik menjadi Dirut PT Pertamina
(Persero) pada tanggal 5 Februari 2009.
Mungkin banyak yang tidak percaya bahwa pada awalnya saya menolak jabatan
Dirut PT Pertamina tersebut, karena saya masih berkeyakinan bahwa pekerjaan
utama saya adalah menjadi seorang ibu dan isteri. Saya sadar jika saya menjadi
Dirut dari BUMN terbesar di Indonesia tersebut, waktu saya sebagai ibu dan isteri
akan menjadi sangat terbatas.
Halaman 3 dari 26
Kendati demikian, saya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut dengan
pertimbangan bahwa saya ingin memajukan BUMN ini dan membawanya Go
international. Harapannya, jika Pertamina maju, maka hasilnya pun dapat
dinikmati oleh generasi saat itu dan generasi di masa-masa berikutnya, termasuk
generasi anak-anak dan cucu-cucu saya. Keinginan tersebut akhirnya saya
gunakan sebagai dasar strategi saya dalam memimpin Pertamina yaitu:
“Aggressive Upstream and Profitable Downstream.”
Pertamina berupaya untuk melakukan ekspansi bisnis hulu dan menjadikan
bisnis sektor hilir migas menjadi efisien dan menguntungkan. Untuk mencapai
perusahaan yang berkarakter aggressive upstream and profitable downstream
perlu dibangun tata kelola perusahaan yang sesuai dengan standar Global best
practice, serta dengan mengusung tata nilai korporat yang telah dimiliki dan
dipahami oleh seluruh unsur perusahaan (Board of Director, Board of
Commisioner, dan seluruh pegawai Pertamina), yaitu Clean, Competitive,
Confident, Customer Focus, Commercial and Capable.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Yang dimaksud dengan Aggressive Upstream adalah Pertamina harus berani
mengambil peluang investasi di sektor hulu migas, baik di dalam maupun di luar
negeri, guna menjamin kelancaran pasokan migas nasional untuk jangka
panjang. Sedangkan Profitable Downstream adalah Pertamina harus mencari
laba yang sebesar-besarnya dari seluruh kegiatan bisnis hilir, agar Pertamina
dapat menjalankan strateginya, termasuk strategi aggressive upstream tersebut.
Strategi di atas adalah bahwa bisnis hilir dijadikan sebagai penunjang bisnis hulu
Pertamina. Hal ini karena bisnis hulu migas merupakan bisnis yang penuh
dengan “ketidakpastian” (uncertainty). Artinya, sampai saat ini masih belum ada
Halaman 4 dari 26
satu jenis teknologi pun yang secara pasti dapat menjamin keberadaan
cadangan migas di bawah permukaan tanah atau di dasar laut.
Perkenankan saya memberikan sedikit pemahaman, bahwa bisnis hulu migas
sejatinya adalah mencari potensi migas yang dapat dikembangkan dan
diproduksi dengan mengambil risiko yang tinggi. Hal ini karena tidak ada jaminan
bahwa suatu blok migas pasti akan menghasilkan. Ibarat sebuah perumpamaan:
Pebisnis di bidang hulu migas adalah “Petani” dan bukan “Pedagang”.
Sebagaimana Yang Mulia ketahui, meskipun seorang Petani telah menanam
benih terbaik dengan menggunakan pupuk yang paling mutakhir sekalipun,
namun tidak ada jaminan bahwa Petani tersebut akan memanen hasilnya
dengan baik. Berdasarkan kenyataan tersebut, seorang Petani memiliki dua
pilihan:
1. Melakukan investasi dengan membeli benih dan pupuk dengan harapan
akan berhasil panen dan siap menanggung risiko apabila gagal panen; atau
2. Tidak melakukan apa-apa, alias pasrah, sehingga Petani tersebut tidak akan
mendapatkan apa-apa.
Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan untung-rugi dalam dunia hulu
migas, sebagaimana telah dipertontonkan berkali-kali dalam persidangan ini oleh
para Saksi dan Ahli, adalah merupakan sesuatu yang sangat “ganjil” bagi para
praktisi dan pebisnis hulu migas. Dalam seluruh kegiatan eksplorasi, perusahaan
migas tidak mengenal istilah Kerugian. Dalam pembukuan, seluruh biaya
eksplorasi diklasifikasikan sebagai expenses (biaya/pengeluaran), tidak
diklasifikasikan sebagai loss (kerugian). Jika bisnis hulu migas harus selalu
meraih keuntungan, dan jika tidak untung lantas dikatakan sebagai kerugian,
maka perusahaan yang berbisnis di hulu migas akan memilih untuk tidak
melakukan apa-apa. Jika hal ini terjadi, maka pada akhirnya Indonesia akan
semakin tergantung terhadap negara asing dalam pemenuhan kebutuhan migas
bangsanya.
Halaman 5 dari 26
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Walaupun bisnis hulu migas adalah bisnis yang penuh dengan uncertainty,
namun “keyakinan” bertambah jika telah mendapat sertifikasi oleh lembaga
independen terkait kandungan migas di bawah permukaan tanah melalui
pendekatan Sosciety of Petroleum Engineers – Petroleum Resources
Management System (SPE – PRMS). Di dunia ini hanya ada beberapa lembaga
independen yang diberi lisensi untuk mensertifikasi cadangan di dunia, antara
lain: RISC, Gaffney and Cline, Ryder Scott, D and M dan Beicip. Namun
demikian, seperti telah disebutkan di atas, sertifikasi itupun bukan merupakan
suatu jaminan 100% keberadaan migas di bawah permukaan tanah atau di dasar
laut.
Setiap blok migas diawali dari blok eksplorasi. Kesimpulan sementara apakah
suatu blok migas mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut (dikenal
sebagai temuan atau discovery) dilakukan setelah dilakukan survei seismik dan
pemboran “wildcat”, dan analisa Geologi, Geofisika & Reservoir (GGR) sebagai
best engineering practice
Aset hulu migas yang paling ideal untuk Pertamina adalah aset yang memiliki
tiga kriteria fase pengembangan, yaitu: (i) Sudah berproduksi, (ii) Ada temuan
atau discovery dan (iii) Ada upside potential atau eksplorasi. Aspek lainnya yang
perlu dipertimbangkan adalah aspek kebijakan fiskal, kemudahan berbisnis,
kepastian hukum dan kestabilan politik dari negara setempat. Blok BMG telah
memenuhi kriteria untuk tiga fase pengembangan migas tersedut karena alasan-
alasan berikut:
1. Blok Basker sudah memproduksi minyak
2. Blok Manta dan Gummy sudah ada “temuan” atau discovery, dan
3. Terdapat upside potential “eksplorasi” di Chimaera.
Halaman 6 dari 26
Selain itu, BMG terletak di Gippsland yang menyumbang produksi Migas sebesar
40% dari total produksi Australia. Sehingga wajar apabila selain Pertamina,
beberapa perusahaan migas besar dunia lainnya seperti Exxon, BHP, Santos,
Emperor, Apache, BP, Esso, Bass Strait Oil Company dan yang terakhir Cooper
juga tertarik pada Gippsland. Di samping itu, Australia juga merupakan negara
yang memenuhi kriteria/aspek lainnya yang juga dijadikan pertimbangan seperti
kondisi finansial, kepastian hukum, dsb.
Untuk meminimalisasi risiko dalam mengakusisi blok hulu migas, umumnya
suatu perusahaan akan masuk sebagai minoritas dan bukan sebagai operator
(non-operator) terlebih dahulu. Hal ini guna mempelajari medan operasi sambil
menjalin hubungan baik dengan stakeholders setempat. Setelah merasa
“nyaman” dengan pengoperasian aset tersebut, kemudian dilakukan ekspansi
dengan menambah persentase Participating Interest (PI) dari co-ventures yang
lain, sehingga bisa menjadi majority dan akhirnya menjadi operator. Ini adalah
best industry standard yang dilakukan oleh perusahaan migas pada umumnya.
Namun, meskipun menjadi minority, hak dari minority tetap dilindungi dalam
Joint Operating Agreement (JOA), yaitu dengan adanya fasilitas Sole Risk.
Dalam BMG, setelah diputuskannya Fase Pemberhentian Operasi (Non-
Production Phase: NPP) oleh pihak majority, Pertamina sebagai minoritas
sebenarnya masih bisa melakukan sole risk, yaitu secara individu melakukan
pengembangan blok lainnya di Blok Manta dan Gummy maupun di Chimaera.
Namun hal tersebut tidak diusulkan oleh Manajemen PT Pertamina Hulu Energi
(PHE) selaku pemegang PI kepada Operator/Anzon. Meskipun saya tidak
BOLEH menyalahkan kebijakan PHE tersebut, saya tetap menyayangkannya
karena saat ini Manta gas field dan Sole gas field akan menjadi pemasok gas
utama di daratan East dan South East Australia. Dan apabila pada waktu itu
dilakukan sole risk oleh PHE, mungkin saat ini saya tidak akan berada di sini
membacakan Pledoi ini.
Halaman 7 dari 26
“Saya hanya ingin mengingatkan para hadirin yang hadir hari ini di sini dan
siapapun yang kebetulan membaca Pledoi saya, bahwa nanti pada saat Manta
dan Chimaera mulai berproduksi dan dipublikasikan, mohon diingat bahwa pada
hari ini tanggal 29 Mei 2019, ada “seseorang” yang telah berupaya keras untuk
mengibarkan SANG SAKA MERAH PUTIH di Gippsland, namun tak berdaya
karena dinyatakan bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum. Orang tersebut sangat
berharap, nanti pada saat sudah berproduksi ada seberkas keadilan bagi dirinya
dengan diberi kesempatan untuk membuka kembali kasus ini.”
Faktanya, kini Akuisisi PI di Blok BMG malah dituduh merugikan keuangan
negara. Saya dituduh melakukan tindak pidana korupsi, dan bahkan Tim saya
telah di-vonis dengan hukuman yang sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai
dengan fakta-fakta persidangan. Padahal akuisisi ini semata-mata dilakukan
dalam rangka ekspansi guna mengembangkan perusahaan menjadi lebih besar,
agar dikenal sebagai perusahaan yang mumpuni secara internasional. Akuisisi
ini tidak dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau pihak/perusahaan lain,
mengingat Karen Agustiawan sebagai profesional tidak pernah kenal, apalagi
bersepakat dengan para pihak pemilik BMG. Selain itu, pembelian PI atau
akuisisi adalah sesuatu hal yang biasa dalam dunia bisnis hulu migas.
“Saya yakin semua hadirin dan semua pihak, termasuk bapak-bapak JPU jika
jujur terhadap hati nuraninya, akan sependapat bahwa sungguh tidak masuk akal
jika saya sengaja melanggar ketentuan untuk menguntungkan pihak/korporasi
lain, dan merugikan perusahaan yang selama ini saya telah bekerja keras
menumbuh-kembangkannya menggunakan segala kemampuan dan
pengalaman yang saya miliki, sekalipun harus berkorban meninggalkan keluarga
sendiri.”
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Halaman 8 dari 26
Setelah pulang dari Sidang Penuntutan dari JPU pada hari Jumat, 24 Mei 2019,
saya banyak merenung dan bertanya pada diri sendiri “Ada apa dengan BMG
ini?” Mengapa saya bertanya demikian, karena (misalnya) di dalam tuntutan
masih dipermasalahkan Evita Tagor seolah-olah telah bersaksi bahwa Akuisisi
PI Blok BMG harus mengacu kepada Tata Kerja Organisasi (TKO) dan Tata Kerja
Individu (TKI), padahal tidak! Perkenankan Yang Mulia saya memutar kembali
rekaman persidangan terkait hal tersebut ………. (Perdengarkan rekaman!)
Yang Mulia, ini hanyalah sebuah contoh rekaman yang saya miliki, dan masih
banyak lagi. Pada dasarnya, seluruh tuntutan JPU pun sudah terpatahkan sesuai
dengan fakta persidangan, dan KAMI MEMILIKI SEMUA REKAMANNYA, MULAI
DARI AWAL SAMPAI AKHIR PERSIDANGAN. Tidak bisa dan tidak boleh fakta
persidangan diambil sepenggal-penggal sehingga menjadi tidak utuh atau tidak
lengkap. Jika fakta persidangan dipenggal-penggal, maka bukan lagi fakta tapi
lebih cocok disebut HOAX. Agar keadilan dapat ditegakan seadil-adilnya, ijinkan
saya untuk membagikan seluruh rekaman persidangan ke media lokal maupun
asing. Menurut hemat saya, pelanggaran terhadap fakta persidangan bukan
hanya akan “membunuh karakter” (Character Assassination) bagi setiap pencari
keadilan di persidangan, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
terhadap Hak Azazi Manusia.
“Berbagai kejanggalan tersebut telah membuat saya berpikir dan bertanya-tanya,
siapa sebetulnya sponsor utama “Kasus BMG” ini? Dan apa motifnya? Politik
atau Uang atau kedua-duanya? Atau hanya dendam pribadi karena urusan
saudara yang tidak dipenuhi permintaannya?” Mudah-mudahan para hadirin,
utamanya para awak media yang hadir di sini, paham siapa tokoh-tokoh yang
dimaksud.”
Halaman 9 dari 26
Mengacu kepada tuntutan Bapak-bapak JPU yang terhormat, ada beberapa hal
yang menyebabkan saya berada di sini sekarang, yaitu:
1. Keputusan BUMN terkait Good Corporate Governance
Pertanyaan saya kepada JPU: Siapa yang dianggap lebih Good Corporate
Governance (GCG), yang tunduk kepada Board Manual atau yang sama
sekali tidak pernah membaca Board Manual? Dan apakah Bapak-bapak
JPU tahu bahwa GCG Direksi tahun 2009 justru mendapatkan nilai lebih
tinggi ketimbang Komisaris. Penilaian inipun dilakukan oleh Pihak
Independen.
2. Risalah Rapat Direksi (RRD) Pertanyaan saya, apakah JPU mengetahui bahwa PT Pertamina (Persero)
saat itu sedang mencoba melakukan upaya go international, karena sudah
tertinggal jauh oleh muridnya sendiri, yaitu Petronas. Kalau tidak tahu,
lantas mengapa tidak mencari tahu agar “kebenaran” bisa terungkap secara
objektif? Sudah barang tentu, sebagai perusahaan yang mau go
international harus menghormati segala perjanjian internasional.
Apakah masih kurang jelas yang telah disampaikan oleh Prof. Nur Basuki
Minarno dalam kesaksiannya sebagai Ahli, bahwa “karena business nature
Pertamina, maka Direksi sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) pasal 12
ayat 2 diberi keleluasaan, bahwa tidak semua keputusan dilakukan dalam
Rapat Direksi sehingga tidak perlu ada dalam RRD.” Hal ini pun sesuai
dengan UU PT pasal 92 ayat 2, bahwa Direksi dapat melakukan tindakan
yang dianggap tepat dalam menjalankan perseroannya. Lantas kenapa
sekarang Business Judgement Rule Direksi dapat di-challenge atau
ditantang oleh JPU? Di mana letak kebebasan Direksi dalam hal bertindak
yang dianggap “tepat” tersebut?
Halaman 10 dari 26
3. Tidak Ada Persetujuan Komisaris
Yang Mulia, mungkin masih segar dalam ingatan kita. Dalam persidangan,
kedua saksi Umar Said dan Humayun Bosha menyampaikan bahwa
persetujuannya hanya untuk Pelatihan SDM Pertamina dalam mengikuti
bidding internasional dan tidak untuk menang. Pernyataan ini diakui oleh
Umar Said dalam BAP-nya tanggal 30 Mei 2017 No 6, dan BUKAN saya!
Adalah tragis jika “kualifikasi” Komisaris BUMN terbesar di Indonesia
dengan mudah bisa memutarbalikan fakta dan diterima oleh JPU. Kedua
komisaris di atas berpikiran bahwa sebuah Perusahan Minyak Nasional
(National Oil Company) seperti Pertamina BOLEH ikut tender akuisisi blok
hulu migas di Luar Negeri hanya untuk main-main. Dengan kata lain,
Pertamina diibaratkan sebagai perusahaan pendamping dalam tender
untuk pengadaan barang dan jasa yang umum terjadi di negeri kita.
Memorandum tanggal 30 April 2009 dari Komisaris sangat jelas bahwa
persetujuan tersebut dalam rangka membalas memorandum Direksi No.
517/C00000/2009-S0 tanggal 22 April 2009. Janganlah beralibi bahwa
bidding bukan untuk akuisisi, karena kesaksian para Ahli, yakni: Bapak
Hilmi Panigoro dan Hadi Ismoyo juga menekankan tidak ada akusisi yang
hanya sampai bidding. Dalam memorandum Dirut tanggal 22 April 2009 No.
517/C00000/2009-S0 tersebut pun jelas dalam paragraf pertama yaitu
untuk akuisisi PI Blok BMG. Lantas siapa yang salah jika Komisaris tidak
teliti membaca surat Dirut? Dalam Lampiran memorandum tanggal 22 April
2009 ada Surat dari Citi yang menyampaikan bahwa “Binding Offers for
Acquisition of a Participating Interest in BMG”. Artinya, bidding ini bersifat
mengikat (Binding).
Yang Mulia Majelis Hakim,
Mengapa Komisaris yang “lalai” membaca justru tidak duduk di sini
menggantikan saya? Apakah ini yang selama ini dikenal dengan istilah
“target operasi atau tebang pilih?” Karena kasus ini terkesan sudah
MENARGETKAN orang-orang tertentu sesuai dengan PESANAN. Saya
Halaman 11 dari 26
yakin di dalam hati nurani para peserta persidangan ini, sudah tahu atas
pesanan atau perintah siapa yang dimaksud. Memorandum persetujuan
Komisaris tanggal 30 April 2009 adalah persetujuan “TUNGGAL” yang
dibutuhkan untuk akuisisi. Artinya, persetujuan cukup SATU kali, dan bukan
hanya sampai penandatanganan Sales Purchase Agreement (SPA) saja,
tetapi juga sampai dengan pembentukan anak perusahaan sebagai
pengelola, sesuai dengan AD pasal 11. c.
4. Melanggar TKO dan TKI Investasi Beberapa kali dalam persidangan saksi-saksi telah menyampaikan bahwa
Tata Kerja Organisasi (TKO) dan Tata Kerja Individu (TKI) adalah pedoman
untuk menyusun RKAP dan RJPP yang sifatnya rutin (routine). Perlu
dipahami bahwa akuisisi yang disebut dalam TKO dan TKI bukan untuk
Akuisisi Migas yang merupakan investasi non-routine, karena pedoman
Akuisisi Migas baru ada pada tahun 2011. Yang menjadi Pedoman untuk
Akuisisi Migas sebelum tahun 2011 adalah: (i) SK 230 yang ditandatangani
oleh Direktur Hulu Sukusen Samarinda pada bulan Desember 2007, (ii) SK
10 yang ditandatangani oleh seluruh Direksi pada bulan Januari 2009 dan
(iii) Best Industry Standard. Yang diambil dari TKO dan TKI sesuai dengan
kesaksian Direksi dalam persidangan ini adalah hanya “Parameter
Investasi” saja. Dan parameter inipun sudah digunakan dalam perhitungan
analisa investasi Blok BMG.
5. Merugikan Keuangan Negara Beberapa Ahli, baik Dr. Dian Puji Simatupang maupun Irmansyah MAcc.,
CA, CPA, AAP telah memberikan kesaksiannya secara jelas apa itu arti dari
KEUANGAN NEGARA. Keuangan Pertamina adalah keuangan negara
yang DIPISAHKAN. Artinya, bukan APBN tapi sudah menjadi keuangan
milik PERSEROAN. Mungkin yang hadir di sini banyak yang tidak tahu,
bahwa pemerintah RI TIDAK PERNAH memberikan MODAL AWAL ke
Pertamina. Modal awal yang diakui oleh Pemerintah RI adalah justru NILAI
ASET Pertamina sendiri yang dibukukan di tahun 2003 sebesar Rp 84,5
Halaman 12 dari 26
Triliun. Saya yakin Kantor Akuntan Publik Drs. Soewarno di Ciputat pun,
karena keterbatasan pengetahuannya, tidak mengetahui hal tersebut.
Yang mulia Majelis Hakim, kalau tidak ada Modal Awal dan Penambahan
Modal dari pemerintah yang dialokasikan dalam APBN setiap tahunnya,
lantas dimana letak dakwaan “merugikan keuangan negara?” Sungguh
aneh bukan! Pertamina yang tumbuh dan berkembang tanpa modal dari
Pemerintah, hanya dengan modal awal berupa aset yang dimiliki, tapi tiba-
tiba dituduh “MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA?” Dengan kata lain,
pemerintah yang tidak pernah mengucurkan modal usaha setiap tahunnya
melalui APBN, tapi mendapatkan banyak manfaat seperti dividen, pajak,
CSR dan lain-lain.
6. Memperkaya Roc Oil Company Ltd. Yang mulia, masih ada dalam catatan saya ketika mengajukan permohonan
Eksepsi tanggal 7 Februari 2019. Salah satu eksepsi tersebut adalah Roc
Oil Company (ROC) Ltd. yang telah dianggap menerima keuntungan oleh
JPU tidak pernah diperiksa secara pro justisia. Adapun bantahan JPU pada
tanggal 14 Februari 2019 yaitu; “Status perkara masih dalam proses
pemeriksaan untuk menentukan pihak-pihak lain yang akan diminta
pertanggungjawaban.”
Jelas bahwa dalam bantahannya JPU secara tidak langsung telah
MENGAKUI bahwa dakwaannya tidak cermat, karena kurangnya para
pihak atau tidak lengkap untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan. Faktanya,
setelah semua Saksi dan Ahli dari JPU dihadirkan ke persidangan, pihak
atau korporasi yang dianggap telah diuntungkan tersebut TIDAK PERNAH
DIPERIKSA, terlebih DIHADIRKAN ke persidangan. Pertanyaannya,
bagaimana menghitung kerugian keuangan negara kalau tidak pernah
dibuktikan secara PASTI dan NYATA berapa kerugiannya dan siapa yang
telah diuntungkan? Di samping itu, seandainya pihak yang diuntungkan
tersebut (ROC Ltd.) benar adanya (padahal tidak), apakah keuntungannya
Halaman 13 dari 26
tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum? Hukumnya siapa? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut tentunya JPU harus memeriksa dan
menghadirkan ROC Ltd. sehingga bukan hanya menjadi lebih fair tapi juga
menjadi terang-benderang siapa yang dirugikan, berapa dan siapa yang
diuntungkan? Dengan tidak diperiksanya pihak yang dituduh telah
diuntungkan tersebut maka dakwaan dan tuntutan JPU TIDAK TERBUKTI
di persidangan.
Keenam poin di atas, bahkan seluruh proses akuisisi PI Blok BMG termasuk
“penyusutan nilai dalam pembukuan” (impairment) yang dilakukan oleh PHE,
kepada Direksi sudah diberikan “Pelunasan dan Pembebasan Tanggungjawab”
(Release and Discharge) dari Pemegang Saham pada Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) Tahun Buku 2009. Sehingga, seluruh tuntutan dari JPU terkait
Due Dilligence, Flare Gas, Floating Production Storage and Offloading (FPSO)
dan sebagainya, yang saya tidak bisa sebutkan semuanya di sini, sudah
mendapatkan Release and Discharge dari Pemegang Saham.
Lantas, jika JPU masih mempersalahkan Direksi, apakah ini berarti bahwa
Penegak Hukum memiliki “kompetensi” dana tau “kekuasaan” yang lebih tinggi
dari RUPS atau Pemegang Saham? Jika memang demikian, maka yang perlu
duduk di sini adalah Pemegang Saham Pertamina dan bukan Direksi. Saya
hanya ingin mengingatkan kembali pernyataan Prof. Nur Basuki Minarno, bahwa
pada saat Direksi sudah mendapatkan Release and Discharge, maka
tanggungjawab Direksi sudah berpindah ke Pemegang Saham, dan itu sudah
diserahkan oleh Direksi ke Pemegang Saham tertanggal 31 Des 2010. Alangkah
menjadi sangat lucu apabila sidang ini menghadirkan kedua institusi pemerintah
yang sedang berperkara.
“Saya memohon kepada yang mulia Majelis Hakim untuk dapat melihat realita
yang terjadi di Blok BMG Australia dan bertanya: Di mana letak korupsinya? Di
mana letak pelanggaran hukumnya? Di mana letak penyalahgunaan
wewenangnya? Siapa yang telah merugikan keuangan negara? Dan yang paling
penting, di mana dan mohon dibuktikan letak niat jahat atau mens rea saya?”
Halaman 14 dari 26
Selama hampir SEMBILAN bulan saya ditahan dan mendiskusikan masalah ini
dengan berbagai pihak dari seluruh kalangan masyarakat di dalam maupun luar
negeri, baik itu para praktisi dan aparat di bidang Hukum, Politik, Keuangan,
Pegiat Korporasi, Akademisi, dan berbagai profesi bidang keahlian lainnya.
SAYA BELUM PERNAH MENDENGAR ATAU MENEMUKAN ADA YANG
BERPENDAPAT BAHWA SAYA PATUT DIHUKUM. Justru sebaliknya, yaitu
pemerintah Indonesia seharusnya memberikan PENGHARGAAN (Reward)
kepada saya. Banyak yang mengatakan bahwa kasus ini sebenarnya telah
“DIREKAYASA” untuk MENGHUKUM saya, entah karena alasan apa. Hal yang
sama juga diungkapkan oleh teman-teman media, rekan-rekan lainnya yang
hadir dalam persidangan saya hari ini.
Kendati demikian, perih hati saya selama persidangan ini karena satu-satunya
pihak yang TELAH MENUDUH SAYA TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI, adalah justru yang dapat MENENTUKAN NASIB SAYA.
Namun demikian yang mulia Majelis Hakim,
“Saya masih yakin dan percaya serta berbesar hati bahwa ini BUKAN merupakan
suatu “persengkongkolan” antar instansi, sebagaimana yang telah dicurigai oleh
publik dan media massa selama ini.”
Yang Mulia, perlu saya sampaikan di sini bahwa Pertamina setelah menjadi
Persero di tahun 2003 TELAH dan HARUS tunduk kepada UU PT dan AD PT
Pertamina (Persero). Di tahun 2006, Pertamina memulai perjalanannya menjadi
suatu Korporasi yang seutuhnya dengan program “Transformasi”. Guna
menunjang program tersebut, pada tahun 2008 telah diterbitkan Board Manual sebagai penjabaran dari Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate
Governance) yang mengacu kepada Anggaran Dasar Pertamina. Board Manual
merupakan naskah kesepakatan antara Direksi dan Komisaris yang bertujuan:
1. Menjadi rujukan/pedoman tentang tugas pokok dan fungsi kerja masing-
masing organ;
Halaman 15 dari 26
2. Meningkatkan kualitas dan efektivitas hubungan kerja antar organ; dan
3. Menerapkan azas-azas GCG yakni, transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan fairness (kewajaran).
Tentunya dengan Board Manual diharapkan adanya hubungan yang harmonis
antara Direksi dan Komisaris, sehingga Visi dan Misi perusahaan yang telah
ditetapkan dapat tercapai. Namun ini semua tidak akan tercapai apabila salah
satu organ TIDAK TUNDUK, atau bahkan TIDAK MENGETAHUI adanya Board
Manual sebagaimana diakui oleh Anggota Komisaris yang dijadikan Saksi Kunci
oleh JPU dalam membuat dakwaan dan tuntutannya. Di samping itu,
penggiringan opini bahwa Direksi harus me-review due dilligence dan Sale Purchase Agreement (SPA) menjadi sesuatu yang MENGGELITIK dalam
persidangan ini. Karena terkait investasi hanya ada dua pasal dalam Board
Manual yang mengatur tugas Direksi terkait hal tersebut yaitu:
1. Secara kolektif kolegial menetapkan persetujuan proyek investasi sesuai
kewenangan Direksi, memantau dan melakukan koreksi terhadap
pelaksanaannya. Dalam persidangan tanggal 25 April 2019 secara aklamasi
Direksi menyetujui Investasi PI BMG dalam rapat 17 April 2009 (referensi:
Board Manual, Pasal 3.1.7).
2. Direktur Hulu memberikan Prioritas peluang investasi serta menetapkan
Anggaran Pembelanjaan kapital dan Operasi Kegiatan Usaha sesuai
persetujuan Direksi (referensi: Board Manual, Pasal 3.2.3.7). Hal ini yang
menjadikan dasar Direktur Hulu dapat menyampaikan bid atau penawaran
tertanggal 1 dan 11 Mei 2009, sesuai dengan otoritas expenditure yang
mencapai USD 100 juta, pertumbuhan anorganik (non-routine) sudah
disetujui dalam RKAP 2009 yang juga sudah disetujui oleh Pemegang
Saham, dan persetujuan Komisaris tanggal 30 April 2009. Bahkan perintah
pembayaran oleh Direktur Hulu pun mengacu kepada Dokumen SPA
tertanggal 27 Mei 2009. Artinya, bukan atas “MAU-MAUNYA” sendiri Direktur
Hulu yang pada saat itu saya rangkap.
Halaman 16 dari 26
Terlebih lagi Saksi Dr. Waluyo sebagai Mantan Direktur SDM dalam persidangan
yang sama telah menegaskan bahwa system Completed Staff Work (CSW) telah
dijalankan sejak tahun 2008. CSW berarti bahwa Wewenang dan Tanggung Jawab Dibagi Habis Ke Semua Staf dalam Organisasi PT Pertamina (Persero).
Adapun tujuan dibuatnya Board Manual 2008 adalah agar PT Pertamina
(Persero) dapat dinilai oleh Pihak Independen terkait penerapan GCG dalam
perusahaan. Penilaian tersebut merupakan bagian yang vital dari laporan
Tahunan kepada Pemegang Salam dalam RUPS.
Mungkin Yang Mulia dan para hadirin masih ingat bagaimana citra PT Pertamina
di masa lampau, yang ditengarai sebagai sarang para PENYAMUN. Untuk
mengubah citra buruk tersebut, saya perlu melakukan TEROBOSAN agar dunia
internasional melihat perubahan tata kelola di pertamina yang akhirnya dapat
membuka PELUANG BISNIS BARU.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Komisaris Utama (yang juga Mantan Panglima) dan Direktur Utama pada saat itu
paham betul bahwa GCG ini dipantau oleh Pemegang Saham. Sehingga tidak
heran bila terdapat sebuah pasal dalam Board Manual yakni Pasal 4.2 terkait
“PERTEMUAN INFORMAL” yang sifatnya TIDAK MENGIKAT, dan TIDAK
DAPAT DIJADIKAN DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN.
Tujuan utamanya adalah apabila Direksi diintervensi oleh anggota Komisaris
secara lisan atau tidak tertulis, maka sekali lagi bahwa hal tersebut adalah tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan.
Sehingga, jika dikatakan oleh saksi Umar Said di persidangan bahwa pertemuan
informal tersebut telah “MENJIWAI” persetujuannya, maka pendapat atau
Halaman 17 dari 26
pernyataan ini sungguh amat Tidak Berdasar, Ngawur dan Terkesan Tidak
Paham Makna dan Tujuan dibuatnya Board Manual.
Kemudian pertanyaannya, “Apabila kepada Yang Mulia dihadapkan dua pilihan:
mempercayai keterangan yang melanggar Board Manual atau mempercayai
keterangan yang tunduk terhadap Board Manual, keterangan manakah Yang
Mulia akan pilih?” Mungkin bagi orang yang tidak memiliki “agenda” lain,
pertanyaan tersebut akan sangat mudah untuk dijawab. Saya amat sangat
berharap bahwa Yang Mulia Majelis Hakim pun tidak mengalami kesulitan untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
Yang mulia Majelis Hakim, selanjutnya ijinkan saya menyampaikan apa yang
menjadi catatan saya selama persidangan, sebagai berikut:
1. Seluruh Direksi secara aklamasi MENYETUJUI investasi PI di Blok BMG
Australia dalam Rapat 17 April 2009, sebagaimana fakta persidangan
tanggal 25 April 2019;
2. Persetujuan Komisaris adalah TUNGGAL dan FINAL sejak 30 April 2009
sampai dengan pembentukan Anak Perusahaan, termasuk penandatangan
SPA dan diakui oleh Direksi serta Tim Legal Pertamina, sesuai fakta
persidangan tanggal 25 April 2019;
3. Seluruh temuan Due Dilligence tanggal 17 April 2009 telah dimitigasi dan
diindemnifikasi dalam SPA dan JOA, kecuali ketidakpastian (uncertainty)
dalam bisnis hulu Migas dan cuaca (yang merupakan alasan terjadinya NPP)
oleh tim Legal Pertamina. Hal ini diungkapkan oleh seluruh Saksi Bagian
Legal PT Pertamina (Persero) pada persidangan (fakta persidangan) tanggal
25 April 2019; Sekali lagi saya tekankan di sini bahwa terjadinya NPP tidak ada hubungannya dengan temuan Deloitte, Baker McKenzie dan atau Persetujuan Komisaris.
4. Tuduhan Harga Akuisisi Kemahalan adalah TIDAK BENAR dan TIDAK
BERDASAR. Hal ini terbukti dari tiga Lembaga Independen Internasional
yang menyatakan harga Pertamina lebih rendah, yaitu: JP Morgan Asia
Halaman 18 dari 26
Pacific Equity Research (30%), UBS Investment Research (25%), Macquarie
Research Equities harga Pertamina harga wajar pasar;
5. Dinamika dengan Komisaris timbul karena Komisaris Tidak Tunduk kepada
Board Manual dan Tidak Mematuhi prinsip-prinsip GCG. Inipun sudah diakui
oleh saksi Humayun Bosha bahwa belum pernah membaca Board Manual
sampai kasus PI BMG ini diajukan ke persidangan pada tanggal 11 April
2019;
6. Karena Komisaris tidak tunduk kepada Board Manual dan melakukan
intervensi dengan menyuruh divestasi secara tertulis, maka Komisaris-lah
yang mengakibatkan Pertamina tidak ada lagi di Gippsland Australia bagian
selatan. Dengan kata lain, jika JPU menuntut adanya kerugian keuangan
negara, maka yang paling layak dimintakan pertanggungjawaban adalah
Dewan Komisaris, karena Memorandum Dewan Komisaris tanggal 23 Juni
2009 terkait divestasi Tidak Pernah Dicabut. Pertanyaannya, mengapa
Komisaris sebagai penyebab utama hilangnya kesempatan bisnis di
Gippsland, dianggap benar di mata Hukum? Apakah tidak menjadi perhatian
JPU bahwa salah satu Komisaris, Humayun Bosha, diberhentikan di bulan
Mei 2010 oleh RUPS? Mengapa? Apakah tidak terlintas bahwa hal tersebut
terjadi karena yang bersangkutan telah gagal paham terkait seluruh aturan
dan etika korporasi yang terdapat di Persero saat itu? Dan kemudian
menyusul pemberhentian anggota Komisaris lainnya, yakni Umar Said. 7. Terkait permohonan maaf Dirut PT Pertamina (Persero) kepada Komisaris
yang menjadi salah satu hal yang diuraikan dalam dakwaan yang
disampaikan di persidangan, bukanlah hal prinsipil dan bukan juga
pengakuan bahwa saya dan direksi bersalah, melainkan permintaan maaf
tersebut merupakan etika ketimuran, apalagi kepada kolega atau mitra yang
lebih tua. Permintaan maaf tersebut saya lakukan semata-mata hanya untuk
mengikuti saran dari saksi Umar Said. Hal ini seperti yang dikatakannya
dalam persidangan tanggal 11 April 2019, bahwa yang bersangkutanlah
yang meminta saya untuk bersurat meminta maaf kepada komisaris. Saya
pikir hal itu suatu kebaikan, sehingga saya tidak melihat masalah jika saya
Halaman 19 dari 26
lakukan demi hubungan baik, dan bentuk takzim saya kepada kolega yang
lebih senior.
8. Walaupun tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana hanya berada
di tahun 2009 – 2010 sebagaimana tercantum di dalam Surat Dakwaan,
namun saya memperhatikan bahwa surat perintah withdrawal dari Dirut
Pertamina (Persero) ke Dirut PHE menjadi barang bukti Jaksa Penuntut
Umum. Pertanyaan: MENGAPA ADA BARANG BUKTI YANG
TERPENGGAL-PENGGAL? Saya mempunyai barang bukti yang sangat
lengkap, mulai dari permohonan divestasi oleh Dirut PHE kepada Direktur
Hulu saat itu, sampai dengan permohonan dari Direktur PIMR kepada Direksi
Korporat terkait divestasi yang dibatasi oleh waktu dan bila batas waktu
habis, maka harus dilakukan withdrawal. Hal ini telah disetujui oleh seluruh
Direksi, Dewan Komisaris dan Kementrian BUMN. APAKAH SAYA SELAKU
DIRUT MEWAKILI PERSEROAN MELANGGAR KEWENANGAN
BERSURAT KE PHE SETELAH MENDAPAT SELURUH PERSETUJUAN
TERSEBUT DI ATAS? Dalam Pledoi ini saya lampirkan secara utuh dan
lengkap seluruh dokumen terkait divestasi sampai dengan withdrawal. Selain
itu, kronologi singkat dari mulai proses investasi akuisisi PI Blok BMG sampai
dengan keputusan divestasi/withdrawal, akan terlihat bahwa peran saya
sangat minim dan sesuai dengan tupoksi sebagai Direktur Utama merangkap
sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Hulu.
9. Setelah membaca tuntutan, saya ingin bertanya kepada JPU, “Apakah
pernah membaca seluruh dokumen SPA dan JOA, serta memahami semua
isi dari kedua dokumen tersebut?” Karena dalam akuisisi PI Blok BMG ini,
kedua dokumen tersebut merupakan dokumen “sakral” untuk semua pihak.
Jika memang TIDAK PERNAH DIBUKA, DIBACA dan DIPAHAMI, tidak
heran Yang Mulia, tuntutan 22 temuan Deloitte dan 4 dari Baker Mckenzie,
masih saja dituduhkan oleh JPU kepada saya bahwa saya telah
mengabaikan temuan-temuan tersebut.
10. Seluruh kegiatan investasi PI BMG di tahun 2009 dan withdrawal di tahun
2013 telah mendapatkan persetujuan RUPS, dan telah memperoleh Acquiet
Halaman 20 dari 26
Et de Charge (pelunasan dan pembebasan tanggung jawab) tanpa catatan
khusus.
11. Bahwa pembelian PI Blok BMG bukan merupakan ranah pidana dan bukan
merupakan suatu kejahatan terlihat dari sikap dan penilaian Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2012 yang telah melakukan
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terkait akusisi PI Blok BMG.
BPK sangat paham akan konsep “petani” dan bukan “pedagang” dalam
bisnis Hulu Migas yang sifatnya “uncertainty” di atas, dan oleh BPK tidaklah
dijadikan permasalahan.
12. Di dalam tuntutan JPU, banyak sekali dokumen resmi Persero yang tidak
dijadikan bahan pertimbangan tuntutan dikarenakan oleh sesuatu hal yang
saya tidak pahami. Beberapa diantaranya adalah:
a. Board Manual
b. SK 230
c. SK 10
d. Laporan PDTT BPK, April 2012
e. SPA
f. JOA
g. Pertemuan Komisaris dengan Wadirut tertanggal 26 Mei 2009,
meskipun dalam rapat tersebut dibahas Blok BMG, namun tidak ada
permintaan Komisaris untuk pembatalan penandatanganan SPA.
h. Kelengkapan Dokumen Divestasi dan Withdrawal PI Blok BMG
“Padahal jika JPU betul-betul ingin mencari kebenaran dan bukan pembenaran, maka Yang Mulia, seharusnya seluruh dokumen tersebut dijadikan bahan pertimbangan.”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan dan
tindakan saya selama menjadi Direktur Utama Pertamina (Persero) merupakan
bagian dari aksi korporasi. Sehingga muncul kembali pertanyaan besar, yakni:
Halaman 21 dari 26
“Di mana saya telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertindak di luar kewenangan saya sebagai Dirut Pertamina, sehingga karenanya telah merugikan keuangan negara dan saya harus meratap dalam tahanan yang sudah berjalan hampir sembilan bulan, serta harus berpisah dengan keluarga, kerabat dan handai tolan?”
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Banyak lagi fakta-fakta persidangan, karena memang sifatnya yang terbuka dan
direkam, serta diterjemahkan dan sudah didengar oleh para pegiat Hulu Migas
secara nasional maupun internasional. Mereka berpendapat bahwa KASUS
BMG INILAH YANG PERTAMA KALI ADA DI DUNIA, BAHWA BISNIS HULU
MIGAS YANG SIFATNYA “UNCERTAINTY” DAPAT DIKRIMINALISASI SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA KORUPSI.
Jika hal tersebut dibenarkan, maka janganlah bermimpi bahwa Pertamina akan
menjadi Singa Asia melampui Petronas Malaysia, apabila pemahaman Bisnis
Hulu Migas saja tidak ada. Dan jangan bermimpi bahwa Pertamina akan menjadi
suatu perseroan yang besar mengalahkan Temasek Singapura, apabila
pemahaman terkait laporan Keuangan Konsolidasi Tahunan dan Acquit Et de
Charge oleh RUPS saja tidak memiliki makna dan tidak berkekuatan hukum yang
pasti. Terakhir, Indonesia jangan bermimpi bisa Mandiri Energi kalau harus selalu
tergantung pada impor sebagai akibat dari tata kelola pemerintahan dalam
bidang migas tidak memiliki kepastian hukum.
Yang Mulia Majelis Hakim, tanpa bermaksud menyombongkan diri, ijinkan saya
menyampaikan keberhasilan saya sebagai Dirut PT Pertamina (Persero) periode
2009 – 2014 sebagai berikut (USD 1 = Rp. 10.000):
1. Pajak yang Disetor: Rp. 309,19 Triliun
2. Dividen yang Disetor: Rp. 45,02 Triliun
Halaman 22 dari 26
3. Total Pendapatan: USD 367,1M (Rp. 3671 Triliun).
4. Total Keuntungan Bersih: USD 13,2 Miliar (Rp. 132 Triliun).
5. Penambahan nilai aset
2008: USD 26,7M (Rp. 267 Triliun)
2014: US$ 50,7 (Rp. 507 Triliun).
Kenaikan Nilai Aset: Rp. 240 Trilun (dalam waktu 5 tahun)
6. Masuk Peringkat 122 & 123 dalam Fortune Global 500 Company (2012 &
2013).
7. Pencapaian Tingkat GCG: 2009 (83.56%) ; 2014 (94%)
8. Tercatat di Dunia sebagai CEO Pertama Wanita di Perusahaan Migas dan
Masuk Rekor MURI.
9. Asia 50 Most powerfull Business Women Versi Forbes 2012.
(Referensi: Laporan PT Pertamina Persero 2009 -2014)
Dengan segala kerendahan hati, saya mohon yang Mulia berkenan
membandingkan prestasi saya tersebut di atas dengan Dirut-dirut sebelum
maupun sesudah saya. Seluruh keberhasilan di atas, tentunya telah memberikan kontribusi yang sangat positif untuk negeri dan bangsa ini, dan dapat dijadikan pertimbangan yang Mulia dalam membuat putusan untuk
kasus ini. Bahwasanya tidak semua keputusan saya dapat membuahkan hasil
yang sesuai dengan harapan, namun secara overall atau keseluruhan dengan
Business Judgement matang yang saya peroleh selama karir saya di Industri
Migas, justru Pertamina menjadi lebih maju dan namanya menjadi lebih harum di
dunia selama kepemimpinan saya.
Sebelum menutup pledoi ini, ingin saya sajikan salah satu illustrasi bagaimana
pihak luar berkomentar terkait apa yang menimpa diri saya. Beliau adalah salah
satu CEO Konsultan Migas terbesar dunia, dan berikut adalah bunyi suratnya
kepada anak saya yang bungsu, Dariel:
---------- Forwarded message ---------
From: McCreery, John <[email protected]>
Halaman 23 dari 26
Date: Thu, Apr 25, 2019 at 7:50 AM
Subject: Personal
To: [email protected] <[email protected]>
Cc: [email protected] <[email protected]>
Dear Dariel,
I just wanted to send you an email to say how sorry I was to hear about your
mother’s ongoing trail and detention in Indonesia. I know it must be very
distressing and upsetting for her and all of your family.
Could I ask you to pass on my message of support to your mother at this difficult
time? I have always and continue to hold her in the highest professional regard
and it was always a privilege to meet with her. Please be reassured that I know,
as many of us outside Indonesia do, that she always acted in the best interests of Pertamina and was a breath of fresh air for the organization.
With best wishes – take care.
John
John McCreery Partner Bain & Company, Inc. | One Houston Center, 1221 McKinney Street, Suite 3600 | Houston, TX 77010 | United States Tel: +1 857 277 3637 Web: www.bain.com | Email: [email protected]
Yang Mulia, kata-kata “breath of fresh air” atau “menghirup udara segar” malah
dianggap sebagai koruptor di negaranya sendiri. Sungguh tragis,
“Saya tidak tahu apakah saya salah satu yang tidak diinginkan untuk menjadi Warga Negara Indonesia atau ada alasan lain. Mengingat pihak di luar Indonesia lebih bisa mengapresiasi saya sebagai seorang profesional.”
Halaman 24 dari 26
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saya tidak pernah berkeinginan untuk
menjadi Dirut PT Pertamina (Persero). Sesungguhnya, keluarga saya semuanya
agak “keberatan” ketika saya mengambil jabatan ini mengingat saya satu-
satunya wanita dalam keluarga karena saya memiliki tiga anak laki-laki.
Saya juga teringat ketika salah satu anak saya sedih karena social media twitter
di mana terdapat komentar-komentar negatif terkait saya, yakni pada saat
Program Transformasi Minyak Tanah ke LPG karena pada saat itu banyak
tabung LPG yang meledak akibat kurangnya penyuluhan. Tentunya yang Mulia
dapat membayangkan betapa beratnya untuk anak saya yang pada saat itu
masih remaja mendengar dan melihat cacian yang terkasar dilontarkan kepada
ibunya dalam suatu platform atau media yang dapat diakses oleh publik.
Oleh karena kondisi di atas, tidak lama setelah saya menjabat sebagai Dirut,
seluruh anak saya memilih untuk tinggal di luar negeri agar tidak ter-ekspose
kepada hal-hal tersebut. Hampir selama tiga tahun terakhir saya menjabat
sebagai Dirut, saya harus berpisah negara dengan anak-anak saya. Bukan
hanya tidak bisa memperhatikan kehidupan kesehariannya, tetapi juga saya tidak
mampu menghadiri acara wisuda mereka karena kesibukan dalam menjalankan
tugas-tugas sebagai Dirut Pertamina.
“Pengorbanan tersebut saya lakukan demi kebaikan negara dengan harapan hasilnya (kelak) dapat dinikmati oleh bangsa ini.”
Pada September tahun 2014 saya memutuskan untuk berhenti karena saya
menyadari bahwa anak saya yang paling kecil sudah hampir tamat SMA, dan
selama ini dia harus tumbuh tanpa adanya sosok ibu yang utuh. Saya baru
Halaman 25 dari 26
menyadari bahwa saya telah melalaikan pekerjaan utama saya, dan saya perlu
kembali fokus pada pekerjaan utama saya yang sangat mulia tersebut.
Yang Mulia, silahkan cek publikasi-publikasi yang ada, bahwa benar adanya
saya mengundurkan diri, dan bukan diberhentikan! Ini merupakan yang
pertama yang pernah terjadi dalam sejarah PT Pertamina (Persero). Oleh
karenanya, sangat mengusik hati saya ketika kasus BMG ini sampai naik ke
persidangan, apalagi ketika saya dituduhkan melakukan tindak pidana korupsi.
APABILA SAYA PERNAH MELAKUKAN KORUPSI, SAYA TIDAK AKAN
MENGUNDURKAN DIRI DARI JABATAN DIRUT PERTAMINA, AGAR DAPAT
MELAKUKAN LAGI DAN DAPAT TERLINDUNGI DARI APARAT PENEGAK
HUKUM MENGINGAT JABATAN TERSEBUT SANGAT DEKAT DENGAN
KEKUASAAN.
Tidak lama mengundurkan diri dari Pertamina untuk mengerjakan pekerjaan
mulia sebagai ibu, saya kembali diusik dengan adanya berbagai jenis
pemeriksaan dari Kejaksaan Agung. AKHIRNYA PADA TANGGAL 24
SEPTEMBER 2018 SAYA HARUS DIPISAHKAN LAGI DARI KELUARGA SAYA
DAN MENJADI TAHANAN KEJAKSAAN AGUNG UNTUK KASUS YANG
LEMAH DAN DIPAKSAKAN INI.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup, saya yakin dan percaya di dalam hati yang Mulia tahu bahwa
mengacu kepada fakta persidangan saya TIDAK BERSALAH. Saya bermohon
keberanian yang Mulia untuk mengambil putusan tersebut, karena penyelidikan
dan penyidikan telah dilakukan oleh para jaksa yang saya yakini tidak memahami
baik secara Teknis maupun karakter Bisnis Hulu Migas. Yang Mulia, diperlukan
pengetahuan dan pengalaman yang memadai serta waktu yang relatif lama
untuk memahami dengan benar terkait hal-hal Teknis dan Bisnis Akuisisi Hulu
Migas.
Halaman 26 dari 26
Mengingat usia saya yang sudah memasuki senja, dan seluruh pengorbanan
yang saya dan keluarga saya berikan untuk negara selama ini, berikanlah saya
kesempatan untuk dapat kembali kepada keluarga dan menjalankan pekerjaan
utama saya sebelum saya dipanggil untuk menghadap ke Allah SWT.
Oleh karena pengadilan ini adalah tempat mencari keadilan, bukan ketidakadilan
apalagi penghukuman, maka dengan alasan ini pula saya mohon sudilah kiranya
Majelis Hakim MENOLAK TUNTUTAN Jaksa Penuntut Umum dengan
menyatakan bahwa TUNTUTAN TERSEBUT BUKAN UNTUK KEADILAN,
MELAINKAN UNTUK PENGHUKUMAN, sehingga Dakwaan JPU TIDAK
TERBUKTI secara sah dan meyakinkan.
Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah saya uraikan secara rinci di atas,
sekali lagi saya memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Persidangan ini
agar berkenan MEMBEBASKAN saya, Karen Agustiawan, dari semua tuntutan
JPU.
Demikian Pembelaan dari saya. Atas perhatian dan kebijaksanaan Yang Mulia
saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan berkah, rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semua. Aamiin Ya Rabbal Alamin…
Wassalamualaikum Warahmatullahih Wabarokatuh.
Jakarta, Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI,
29 Mei 2019
Hormat saya,
Karen Agustiawan