1
NEW LEX MERCATORIA: KE ARAH UNIFIKASI HUKUM
DALAM JUAL BELI BARANG SECARA INTERNASIONAL
(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,
ISSN: 0854-7254, Vol. VI No. 11, Januari - April 2000, h. 54-63)
Abdul Rokhim1
Abstrak
Pada dasarnya dalam suatu perdagangan, termasuk dalam perdagangan barang
secara internasional, para pihak yang terlibat menghendaki agar transaksi yang mereka
lakukan berjalan lancar, efisien, dan memberikan kepastian hukum. Untuk itu para pihak
umumnya menghendaki adanya suatu model kontrak yang “standar” atau “unified”
dalam transaksi dagang internasional. Dalam kontrak dagang internasional, masing-
masing pihak tunduk pada ketentuan hukum negaranya sendiri, akibatnya seringkali
terjadi kesulitan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, ke depan perlu ada hukum
baru yang mengatur unifikasi hukum dalam jual beli barang secara internasional.
Kata kunci: New Lex Mercatoria; Unifikasi Hukum
1. Pendahuluan
Jual beli barang secara internasional (international sale of goods) merupakan
bagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan Internasional. Jual beli
barang secara internasional itu terjadi, manakala transaksi tersebut dilakukan antara para
pihak (penjual dan pembeli) yang berada di lintas negara yang berbeda (transborder
transaction). Oleh karena itu, dalam setiap transaksi perdagangan internasional selalu
terkait lebih dari satu sistem hukum nasional. Persoalan hukum (legal issue) yang muncul
dalam kaitan ini adalah hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi tersebut.
Persoalan hukum yang demikian ini termasuk ke dalam bidang Hukum Perdata
Internasional (HPI) yang sebenarnya merupakan bagian dari Hukum Nasional.2
Meskipun suatu kontrak bisnis (dagang) internasional itu dikuasai oleh bidang
hukum yang dikenal dengan nama HPI, namun tidaklah berarti bahwa di seluruh dunia
hanya berlaku satu HPI saja. Tiap-tiap negara yang berdaulat memiliki sistem hukum
nasional sendiri yang mengatur hubungan hukum internasional,3 termasuk di bidang
hukum perdagangan internasional. Dengan perkataan lain, dalam perdagangan
internasional masing-masing negara memiliki kedaulatan hukum sendiri. Persoalan
kedaulatan hukum di antara masing-masing negara inilah yang sebenarnya menjadi pokok
pangkal kesulitan dalam kontrak jual beli barang secara internasional. Oleh karena dalam
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
2 Peter Mahmud Marzuki, Hukum Perdagangan Internasional, Bahan Kuliah Program Studi
Ilmu Hukum Pascasarjana Unair, Surabaya, 1997, h. 1.
3 Setiawan, Beberapa Catatan tentang Kontrak Bisnis Internasional: Penyelesaian Sengketa,
Bahan Seminar Ikadin Cab. Surabaya, 7 Juni 1997, h. 2.
2
transaksi jual beli secara internasional itu terdapat unsur-unsur asing, baik yang
disebabkan oleh subyek kontrak (para pihak) maupun obyek kontrak (barang) yang
memang berada di negara lain. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi terhadap
kemungkinan berlakunya hukum nasional yang berbeda-beda terhadap transaksi yang
mereka lakukan, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak asing
yang melakukan perjanjian jual beli barang secara internasional.
Dengan mengacu pada persoalan hukum yang demikian itu, maka muncul
pemikiran baru di kalangan ahli hukum perdagangan internasional yang menolak
penerapan HPI dalam transaksi dagang internasional dan sekaligus mengusulkan kaidah-
kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku umum dan diterima di
semua negara. Pemikiran para ahli hukum perdagangan internasional yang menghendaki
berlaku keseragaman (unifikasi) hukum dalam perdagangan internasional tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa pada dasarnya ada kesamaan-kesamaan pranata
hukum yang secara universal dapat diterima oleh semua negara di bidang perdagangan
internasional. Kesamaan-kesamaan pranata hukum tersebut, menurut Goldstaijn,
didasarkan atas tiga dalil (proposisi) yang fundamental, yaitu:
(1) the principle of authonomy of the parties will;
(2) that the contract must be faithfully performed (Pacta Sunt Servanda);
(3) the use of arbitration.4
Prinsip otonomi para pihak atau yang lazim juga disebut asas kebebasan
berkontrak mengandung arti bahwa pada dasarnya setiap orang secara hukum diberikan
kebebasan untuk membuat suatu perjanjian (kontrak) dengan orang lain, termasuk dengan
orang yang tempat usahanya berada di negara yang berbeda atau lintas negara
(transborder). Mereka secara otonom dapat menentukan atau mengatur sendiri bentuk-
bentuk atau syarat-syarat (isi) perjanjian sesuai dengan kesepakatan (konsensus) di antara
para pihak yang terlibat dalam perjanjian (contractants). Dengan adanya perjanjian itu,
berarti para pihak telah menciptakan hukum sendiri. Konsekuensinya, mereka secara
hukum terikat untuk melaksanakan perjanjian itu dengan “itikad baik” (good faith; goede
trouw)5 sesuai dengan prinsip hukum yang dikenal dalam Hukum Romawi “Pacta Sunt
Servanda” (vide, pasal 1338 BW).
Selanjutnya, tentang arbitrase (perwasitan) dalam perdagangan internasional,
sebenarnya merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang baru dapat dilakukan
apabila para pihak dalam perjanjian tersebut terlebih dahulu bersepakat untuk melakukan
hal itu dalam perjanjian yang telah mereka buat. Dengan perkataan lain, arbitrase itu ada
dan dapat dipergunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa dagang
(internasional), apabila hal itu telah diperjanjikan sebelumnya berdasarkan prinsip
4 C.M. Schmitthoff, The Unification of International Trade, dalam Chia-Jui Cheng (ed), Select
Essays on International Trade Law, Martinus Nijhoff Publishers, 1988, h. 223.
5 Dalam perkara Gateway v. Arton Holdings Ltd. (1991), 106, NSR (2d) 180 (S.C.) di Kanada,
itikad baik melahirkan tiga pertanyaan. Pertama, apakah doktrin tersebut semata-mata mengenai
ketidakpastian dan moralisme hukum? Kedua, apakah doktrin itikad baik tersebut adalah teori hukum
kontrak yang terkait dengan teori hukum kontrak neoklasik? Dan ketiga, apakah doktrin ini adalah “rule of
law” atau “rule of interpretation”? Baca, Erman Radjagukguk, Hukum Kontrak Internasional dan
Perdagangan Bebas, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 2, 1997, h. 7.
3
“Pactum de Compromittendo”.6 Penggunaan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa dagang internasional ini sebenarnya merupakan suatu terobosan atau jalan
keluar dari mekanisme penyelesaian sengketa yang pada umumnya dilakukan melalui
pengadilan. Penggunaan lembaga arbitrase ini lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan
praktis-ekonomis. Sebab, bukankah pada umumnya penyelesaian sengketa dagang yang
dilakukan melalui jalur pengadilan, di samping prosedur rumit, biayanya mahal,
waktunya lama, serta belum tentu diadili oleh hakim-hakim profesional yang benar-benar
menguasai seluk-beluk perdagangan. Hal-hal yang demikian itu tentu saja sangat
merugikan para pedagang. Oleh karena itulah dalam praktek jual beli barang secara
internasional lazim digunakan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketa dagang
yang mereka hadapi.
Di samping ketiga dalil tersebut di atas, kesamaan-kesamaan pranata hukum
dalam praktek jual beli barang secara internasional sudah lazim digunakan Letter of
Credit (L/C) atau Bankers Commercial Credit dalam sistim pembayaran, syarat-syarat
Cost, Insurence, and Freight (C.I.F), Free on Board (F.O.B.), Bill of Lading (B/L), dan
lain-lain. Dengan demikian, dalam perdagangan internasional sangat diperlukan adanya
suatu “uniform rule” yang otonom dan dapat diterima secara universal. Ketentuan yang
universal ini oleh Schmitthoff dinamakan sebagai Hukum Perdagangan Internasional
Modern (The Modern of International Trade Law) atau yang lazim disebut dengan istilah
“New Lex Mercatoria”.7
2. New Lex Mercatoria
New Lex Mercatoria sebenarnya merupakan perwujudan kembali atau
“reinkarnasi” dari Lex Mercatoria atau Merchant(ile) Law yang lahir dan dipraktekkan
pada abad pertengahan. Kemudian, pada abad ke-17 sampai ke-19, Lex Mercatoria itu
telah diterima dan dimasukkan ke dalam hukum nasional negara-negara di Eropa,
misalnya Perancis, Inggris, Belanda, dan Jerman. New Lex Mercatoria bukanlah cabang
dari Hukum Internasional Publik (Ius Gentium), dan ketentuan hukum ini berlaku dan
diterapkan di berbagai negara berdasarkan toleransi dari negara-negara yang berdaulat.
Nex Lex Mercatoria terdiri dari norma-norma hukum, praktek-praktek dan kebiasaan
yang dinyatakan dalam teks-teks otoritatif yang dihimpun oleh organisasi-organasi
internasional, seperti International Chamber of Commerce (ICC), The Council of Mutual
Economic for Europe, dan International Institute for Unification of Private Law.
New Lex Mercatoria, menurut Bertold Goldman, adalah “a set of general
principles and customary rules spontaneously referred to or elaborated in the framework
of international law, without reference to a particular national system of law”.8
Ketentuan hukum yang diciptakan oleh masyarakat internasional ini sifatnya otonom,
terlepas dari sistem hukum nasional manapun. Ketentuan hukum itu, menurut
Schmitthoff, berisi prinsip-prinsip umum dalam hubungan hukum (transaksi)
perdagangan internasional. Oleh karena itu, hubungan-hubungan hukum dalam
6 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995, h. 305.
7 C.M. Schmitthoff, op. cit., h. 221.
8 Lihat Ietje K. Andries, Unifikasi dan Kodifikasi Hukum Perdagangan Internasional Khususnya
Jual Beli Barang secara Internasional, Seri Dasar Hukum Ekonomi 7, ELIPS, 1998, h. 34.
4
perdagangan yang diakui oleh New Lex Mercatoria ini melibatkan negara-negara yang
berbeda (the body of rules governing commercial relationships of private law nature
involving different countries).9
Ketentuan baru dalam perdagangan internasional yang lahir pada akhir abad ke-20
ini ditandai dengan munculnya semangat unifikasi hukum dalam perdagangan
internasional secara global. Pemikiran yang melatarbelakangi semangat ini dipelopori
antara lain oleh Schmitthoff pada tahun 1957, yang kemudian banyak didukung oleh para
ahli hukum dari berbagai negara. Meskipun banyak ahli hukum perdagangan internasional
yang mendukung New Lex Mercatoria, namun ada juga yang meragukan keabsahan dan
efektivitasnya. Terlepas dari perbedaan ilmiah tersebut, sebagai suatu bidang hukum yang
mandiri (otonom), New Lex Mercatoria ternyata kini telah banyak diterapkan dan diakui
oleh masyarakat internasional di banyak negara maupun lembaga-lembaga arbitrase.
3. Sumber Hukum New Lex Mercatoria
Menurut Schmitthoff, sumber-sumber hukum dari New Lex Mercatoria terdapat
dalam International Legislation dan International Commercial Custom.10
International Legislation adalah kaidah-kaidah hukum yang diterima dan disetujui
oleh negara-negara yang berdaulat, biasanya dalam bentuk: (1) konvensi-konvensi
internasional, seperti konvensi internasional tentang Bill of Lading (Hague Rules) yang
diubah oleh Brussels Protocol 1968 dan (2) Model Law, seperti Uniform Law on
International Sale yang disponsori oleh konferensi internasional di Den Haag 1964.
Sedang, International Commercial Custom adalah kebiasaan-kebiasaan dan
praktek internasional di bidang perdagangan yang dibentuk oleh organisasi-organisasi
internasional, seperti Incoterms 1980 dan Uniform Custom and Practice for Documentary
Credit 1974 yang disponsori oleh International Chamber of Commerce (ICC).
Menurut O. Lando, unsur-unsur dalam New Lew Mercatoria dapat ditemukan
dalam berbagai sumber hukum, yaitu:
(1) Public International Law, seperti: International Convention on Settlement of
Investment Disputes 1995 dan Viene Convention on the Law of Treaties 1969;
(2) Uniform Laws, seperti: Convention on Contracts for International Sale of Goods
1980;
(3) The General Principles of Law, seperti: pacta sunt servanda, good faith, ribus sic
stantibus;
(4) The Rules of International Organizations, misalnya berbentuk produk-produk hukum
yang dihasilkan oleh International Chamber of Commerce (ICC), The United
Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), dan The
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT);
(5) Customs and Usages, seperti: Incoterms dan Uniform Customs and Practices for
Documentary Credits;
(6) Standard Form Contracts, seperti: General Conditions for the Supply of Plan and
Machinery for Export, yang dibuat oleh Komisi Ekonomi Eropa (The Economic
Commission for Europe) dan kontrak baku yang dibuat oleh Bank Dunia;
(7) Reporting of Arbitral Awards.11
9 Ibid.
10
C.M. Schmitthoff, op. cit., h. 223.
5
11
Ietje K. Andries, op. cit., h. 35-36.
6
4. Konvensi Jual Beli Barang secara Internasional
Sebagaimana dikatahui bahwa pada tahun 1964 telah berhasil dibentuk dua
konvensi tentang jual beli secara internasional, yaitu The Uniform Law on the
International Sale of Goods dan The Uniform Law on the Formation of Contracts for the
International Sale of Goods. Maksud dari kedua konvensi ini adalah mengurangi
kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan yang disebabkan oleh adanya
keanekaragaman sistem hukum dalam perdagangan internasional. Pada tahun 1980, kedua
konvensi tersebut telah direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi
The United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods
(selanjutnya disingkat CISG).
Konvensi jual beli barang secara internasional (CISG) ini, menurut Sudargo
Gautama, merupakan suatu model kontrak dimana para pihak dapat menggunakannya
tetapi dapat juga mengesampingkannya12
(vide, pasal 6 CISG), jika memang hal itu
dikehendaki oleh para pihak. Dengan demikian, berarti berlakunya konvensi tersebut
sepenuhnya tergantung kepada kesepakatan atau perjanjian di antara para pihak yang
melakukan transaksi dagang internasional. Dengan perkataan lain, para pihak diberikan
kebebasan untuk menggunakan model kontrak menurut konvensi tersebut atau
mengesampingkan berdasarkan ketentuan atau syarat-syarat perjanjian yang mereka
tetapkan sendiri berdasarkan “asas kebebasan berkontrak” atau “prinsip otonomi
kehendak” dalam suatu perjanjian yang memang diakui secara universal. Hal ini berarti
bahwa kaidah hukum dalam CISG itu merupakan norma hukum yang sifatnya mengatur
(regelen recht) atau hukum pelengkap (aanvullen recht), dan bukan merupakan ketentuan
hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht). Hal ini membawa konsekuensi bahwa
berlakunya konvensi tersebut semata-mata bergantung pada kehendak atau pilihan bebas
dari para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian. Dengan demikian, jika mereka
tidak menghendaki berlaku ketentuan yang ada dalam CISG, maka kaidah hukum
konvensi tersebut tidak dapat dipaksakan berlakunya.
Meskipun daya berlakunya CISG itu bergantung pada kehendak bebas dari para
pihak yang melakukan transaksi dagang secara internasional, namun mengingat
banyaknya kendala hukum dalam melakukan transaksi dagang internasional yang dialami
oleh para pihak jika digunakan hukum negara masing-masing pihak, maka ada baiknya
apabila konvensi ini dapat diterima oleh semua negara secara universal agar terdapat
unifikasi hukum di bidang jual beli (barang) secara internasional.
Persoalannya, bagaimana ruang lingkup berlakunya CISG 1980? Dalam hubungan
ini, pasal 1 ayat (1) CISG menggariskan bahwa:
This convention apllies to contracts of sale of goods between parties whose places of
business are in different states:
(a) when the states are contracting states; or
(b) when the rules of private international law lead to the application of the law of a
contracting states.
Berdasarkan ketentuan tersebut, berarti meskipun transaksi bisnis itu dilakukan
oleh para pihak yang tempat usahanya berada di negara yang berlainan, namun hal itu
tidak secara otomatis mereka dapat memberlakukan konvensi ini. Mereka baru dapat
12
Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980, h.
246.
7
menggunakan konvensi ini apabila negara masing-masing pihak dalam kontrak tersebut
termasuk negara peserta konvensi atau negara yang menandatangani konvensi tersebut.
Bila syarat pertama ini tidak terpenuhi, maka syarat alternatif yang memungkinkan
diberlaku-kannya konvensi tersebut, yaitu peraturan Hukum Perdata Internasional (HPI)
dari negara masing-masing pihak menyebabkan berlakunya hukum dari suatu negara
peserta. Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa Indonesia bukanlah negara peserta
konvensi tersebut, dan hingga saat ini negara kita juga belum meratifikasi konvensi
tersebut. Dengan demikian, saat ini kita belum bisa menggunakan konvensi tersebut
dalam melakukan jual beli barang lintas negara.
Hal lain yang perlu saya kemukakan adalah bahwa konvensi ini hanya berlaku
terhadap kontrak jual beli yang oyeknya “barang” (sale of goods) dan tidak berlaku
terhadap transaksi “jasa” secara internasional. Padahal seperti dikatahui bahwa hubungan
dagang secara internasional itu tidak selalu dalam bentuk jual beli barang, tetapi termasuk
juga dalam bentuk jasa-jasa, misalnya berupa bantuan teknis atau manajerial, pinjaman
dana (loan; credit), dan lain-lain.
Di samping itu, menurut pasal 2 CISG, konvensi ini tidak berlaku terhadap jual
beli:
a. barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga, kecuali
penjual setiap saat sebelum atau pada waktu penyelesaian kontrak, tidak mengetahui
atau tidak seharusnya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah untuk keperluan
tersebut di atas;
b. melalui lelang (by auction);
c. melalui eksekusi atau karena wewenang hukum (on execution or otherwise by
authority of law);
d. obligasi, saham, “investment securities”, kertas berharga atau uang;
e. kapal, kendaraan terapung, atau pesawat terbang (of ships, vessels, hovercraft or
aircraft);
f. listrik (of electricity).
Kiranya perlu ditekankan bahwa konvensi ini lebih banyak mengatur tentang
pembentukan kontrak penjualan dan hak-hak serta kewajiban penjual dan pembeli. Tidak
tercakup di dalamnya tentang sahnya kontrak dan akibat dari kontrak atas harta milik di
dalam barang-barang yang dijual itu (pasal 4 CISG). Meskipun demikian, konvensi ini
juga mengatur tentang upaya-upaya hukum apabila terjadi pelanggaran kontrak (breach of
contract), baik oleh penjual (pasal 45 s.d. 52) maupun pembeli (pasal 61 s.d. 65). Di
samping itu, konvensi ini juga mengatur tentang risiko-risiko terhadap kehilangan atau
kerusakan barang-barang (pasal 66 s.d. 70); pembayaran bunga atas keterlambatan
pengambilan atau pembayaran barang-barang (pasal 85 s.d. 88).
Adapun hak dan kewajiban penjual dan pembeli menurut konvensi tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Kewajiban penjual (yang secara a contrario sekaligus merupakan hak pembeli):
a. menyerahkan barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaiamana diperlukan dalam
kontrak (pasal 30);
b. jika penjual tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang di tempat yang
ditentukan, maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada
pengangkut pertama untuk diserahkan kepada pembeli (pasal 31 sub a);
8
c. penjual harus menyerahkan barang-barang:
- pada tanggal yang ditentukan;
- dalam jangka waktu yang telah ditentukan;
- dalam jangka waktu yang wajar (reasonable) setelah pembuatan kontrak (pasal
33);
d. penjual harus menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak
ketiga, kecuali jika pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut
(pasal 41).
2. Kewajiban Pembeli (yang secara a contrario merupakan hak penjual):
a. pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan
peraturan-peraturan (pasal 53-54);
b. jika pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat tertentu, maka
pembeli harus membayarnya di tempat dimana penyerahan barang dan dokumen
dilakukan (pasal 57 ayat 1);
c. pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam
kontrak (pasal 59);
d. jika waktu pembayaran tidak ditentukan secara pasti maka pembeli harus
membayarnya ketika si penjual menempatkan barang-barang di tempat
penyimpanan si pembeli (pasal 59 ayat 1);
Jika kita cermati ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewajiban penjual
dan pembeli sebagaimana yang diatur dalam konvensi (CISG) di atas, maka ternyata
banyak kesamaannya dengan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban penjual dan
pembeli sebagaiamana yang diatur dalam Buku III Bagian Kedua dan Ketiga BW yang
berlaku di negara kita yang nota bene merupakan kodifikasi hukum yang berasal dari
Civil Law System. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Civil Law System dalam
konvensi internasional tersebut, di samping tentunya ada beberapa ketentuan dalam CISG
yang diadopsi dari kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek dalam perdagangan
internasional yang lazim dipergunakan dalam Common Law System. Dalam hubungan ini,
Jonathan A. Eddy mengatakan:
The CISG strikes a balance between traditional common law rules in this
area (which as a practical matter are reasonably close to civil law rules in
terms of the results reached on particular facts), and the stance of more
recent Amarican legislation (the Uniform Commercial Code), which is
more willing to find a contract has been formed in ambiguous
circumstances.13
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya substansi CISG 1980 merupakan
“perkawinan” dari kedua sistem hukum tersebut, yakni common law dan civil law.
5. Kesimpulan
Pada dasarnya dalam suatu perdagangan, termasuk dalam perdagangan
internasional, para pihak yang terlibat di dalamnya sangat menghendaki agar transaksi
yang mereka lakukan berjalan lancar, efisien, dan memberikan kepastian hukum. Karena
13
Jonathan A. Eddy, Law and Practice of Transnational Sales, Seri Dasar Hukum Ekonomi 7,
ELIPS, 1998, h. 12
9
itulah mereka umumnya menghendaki adanya suatu model kontrak yang “standar” atau
“unified” dalam transaksi dagang internasional yang bentuk dan isinya sama-sama
diketahui dan disepakati oleh para pihak (penjual dan pembeli).
Oleh karena dalam kontrak dagang internasional itu masing-masing pihak tunduk
pada ketentuan hukum negaranya sendiri yang mungkin saja belum sama bahasa yang
mereka gunakan, mata uang yang mereka pakai, dan kultur serta kebiasaan-kebiasaan
mereka, maka seringkali terjadi kesulitan atau kendala hukum dalam pelaksanaan jual
beli barang secara internasional. Apalagi, kalau terjadi pelanggaran kontrak oleh salah
satu pihak atau ada risiko yang menyebabkan suatu kontrak tidak dapat dilaksanakan
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya
konflik hukum yang biasanya disebabkan oleh adanya interpretasi yang berbeda atau
karena adanya perbedaan sistem atau norma hukum yang berlaku di masing-masing
contractans. Ketidakpastian hukum ini, tentu saja, sangat merugikan para pedagang
dalam lalu lintas bisnis internasional. Oleh karena itulah, perlu adanya ketentuan baru
dalam perdagangan internasional (New Lex Mercatoria) yang lebih menjamin adanya
kepastian hukum.
Kepastian hukum dalam perdagangan internasional ini diharapkan dapat dicapai
manakala para pihak tunduk pada ketentuan hukum yang sama (unifikasi hukum). Dan
unifikasi hukum dalam perdagangan internasional ini dapat diciptakan, antara lain
melalui konvensi hukum internasional, khususnya di bidang perdagangan internasional.
Menyadari betapa pentingnya konvensi tersebut, maka pada tahun 1980 telah ada
konvensi PBB yang mengatur tentang kontrak jual beli barang secara internasional (CISG
1980) yang memungkinkan adanya penyeragaman penggunaan ketentuan hukum bagi
para pedagang secara universal. Ironisnya, hingga kini Indonesia belum meratifikasi
konvensi tersebut, padahal tidak lama lagi kita akan memasuki era perdagangan bebas
(free trade era)!
10
DAFTAR BACAAN
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995.
Andries, Ietje K., Unifikasi dan Kodifikasi Hukum Perdagangan Internasional
Khususnya Jual Beli Barang secara Internasional, dalam Seri Dasar Hukum
Ekonomi 7, ELIPS, Jakarta, 1998.
Eddy, Jonathan A., Law and Practice of Transnational Sales, dalam Seri Dasar Hukum
Ekonomi 7, ELIPS, Jakarta, 1998.
Peter Mahmud Marzuki, Hukum Perdagangan Internasional, Bahan Kuliah Program
Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Unair, Surabaya, 1997.
Radjagukguk, Erman, Hukum Kontrak Internasional dan Perdagangan Bebas, dalam
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 2, Jakarta, 1997.
Schmitthoff, C.M., The Unification of International Trade, dalam Chia-Jui Cheng (ed),
“Select Essays on International Trade Law”, Martinus Nijhoff Publishers, 1988.
Setiawan, Beberapa Catatan tentang Kontrak Bisnis Internasional: Penyelesaian
Sengketa, Bahan Seminar Ikadin Cab. Surabaya, 7 Juni 1997.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980.
11
12
13