INTEGRATED RURAL ACCESSIBILITY PLANNING (IRAP)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Infrastruktur Berkelanjutan Kelas B
Disusun oleh
Kusumaning Ayu Maharani
115060600111036
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2013
A. Pengertian IRAP
Pada tahun 1999, International Labour Organisation (ILO) bersama dengan lembaga-
lembaga pemerintah di negara-negara tertentu di benua Afrika dan Asia melalui Program
Pengembangan Kesempatan Kerja dan Pengentasan Kemiskinan di Daerah Perdesaan, telah
terlibat secara aktif dalam mengembangkan kerangka perencanaan yang ditujukan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan sistem transportasi, khususnya di wilayah pedesaan. Hasil
kegiatan ini adalah suatu pendekatan yang disebut sebagai Integrated Rural Accessibility
Planning (IRAP).
IRAP adalah metode yang mengintegrasikan berbagai sektor (multisektor), termasuk
manusia dan sistem transportasi serta pola perjalanan yang telah ada. IRAP digunakan dalam
proses identifikasi dan prioritasi perencanaan kebutuhan pembangunan wilayah pedesaan
dengan mempertimbangkan kapasitas penduduk perdesaan dalam memenuhi/memperoleh
kemudahan akses ke kebutuhan dasar dan fasilitas pelayanan ekonomi lainnya.
IRAP merupakan suatu upaya untuk mengembangkan prosedur perencanaan yang
mampu menjawab kebutuhan akses riil dan transportasi penduduk perdesaan serta merupakan
pelengkap bagi prosedur perencanaan transportasi konvensional. Intervensi melalui proses
perencanaan berkaitan dengan perbaikan akses penduduk. Ini berarti memperbaiki mobilitas
penduduk atau menyediakan jasa yang lebih dekat dengan penduduk untuk mengurangi
permintaan akan transportasi. Perbaikan mobilitas dapat dicapai melalui perbaikan jaringan
jalan yang menghubungkan penduduk dengan jaringan jalan utama, perbaikan jaringan jalan
sekunder, jalan setapak dan transportasi air dan atau perbaikan jasa transportasi. Penyediaan
jasa yang dekat dengan penduduk dapat dilakukan melalui peningkatan distribusi dan kualitas
jasa, seperti memperbanyak penyediaan air, pembangunan sekolah dan pusat kesehatan,
peningkatan sistem pemasaran dan penyediaan jasa pendukung pertanian dan aktivitas
perekonomian lainnya.
Kebutuhan akses perdesaan dan permasalahan transportasi tidak sama di dalam suatu
negara. Oleh karena itu, identifikasi perlu tidaknya intervensi untuk meningkatkan mobilitas
penduduk atau mengurangi permintaan mereka akan transportasi akan lebih efektif apabila
dilakukan pada tingkat lokal dengan didasarkan pada pemahaman kondisi setempat. Untuk
itu, IRAP telah dikembangkan menjadi alat perencanaan tingkat lokal yang dapat digunakan
pada seluruh tingkatan baik desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan nasional. Penerapan
IRAP di tingkat lokal juga memberikan kesempatan bagi penduduk untuk berpartisipasi
secara efektif.
B. Fungsi IRAP
Metode analisis IRAP digunakan untuk mengetahui struktur/indeks aksesibilitas
pelayanan yang ada dalam suatu wilayah perencanaan, seberapa banyak jumlah fasilitas
pelayanan yang ada, berapa besar fungsi dan jumlah penduduk yang dilayani serta berapa
besar frekuensi keberadaan suatu fungsi dalam suatu wilayah perencanaan.
C. Kelebihan IRAP
Metode IRAP memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode yang lain, yaitu:
1. Prosedur dari metode yang digunakan sederhana
2. Dapat diterapkan pada lingkup wilayah desa sampai provinsi dengan kapasitas data
dan SDM terbatas
3. Pengambil kebijakan dapat dengan mudah menentukan prioritas wilayah dan sector
yang harus mendapatkan prioritas utama penanganan, serta kegiatan prioritas yang
dibutuhkan.
D. Tujuan IRAP
Tujuan dari Integrated Rural Accessibility Planning (IRAP) untuk sebuah daerah yaitu
untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat, di mana dengan aksesibilitas yang meningkat
akan meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat dan mempermudah masyarakat untuk
memperoleh kebutuhan dasar mereka.
E. Langkah-langkah IRAP
IRAP fokus pada lingkup rumah tangga dan mengukur kebutuhan akses dalam
kaitannya dengan waktu dan usaha yang dikeluarkan untuk mendapatkan akses. Minimnya
akses mengakibatkan banyak waktu dan usaha dikeluarkan oleh masyarakat pedesaan untuk
memperoleh akses bahkan akses sangat sulit didapat karena jauhnya jarak dan minimnya
sistem transportasi.
Langkah-langkah perencanaan melalui metode IRAP yaitu:
1. Pengumpulan dan pengolahan data
Langkah pertama bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan terkait akses
masyarakat mengenai mobilitas penduduk dan lokasi pelayanan dan fasilitas. Lembaga dan
pemerintah dilibatkan dalam proses ini sebagai penyedia data dan informasi. Masing-masing
individu dari masyarakat dilatih untuk melakukan survei dan mengolah data. Data yang
dikumpulkan berupa data sekunder (seperti jumlah penduduk dan hasil pertanian) dan data
primer. Dalam skala rumah tangga, data primer yang dibutuhkan yaitu karakteristik
transportasi seperti fasilitas apa yang digunakan, tujuan bepergian, dan waktu bepergian.
Setelah data dikumpulkan, data-data yang berhasil diperoleh kemudian diolah dan dianalisa
untuk memperoleh penilaian kebutuhan transportasi dan kebutuhan aksesnya.
2. Persiapan profil aksesibilitas, indikator, dan pemetaan
Profil aksesibilitas merupakan sekumpulan informasi mengenai lokasi-lokasi pelayanan
dan fasilitas serta kesulitan masyarakat untuk mengaksesnya. Untuk menganalisanya,
digunakan Indeks Aksesibilitas. Indeks Akesibilitas merupakan fungsi dari beberapa variabel
seperti jumlah kepala keluarga, waktu rata-rata yang dihabiskan untuk mencapai
fasilitas/layanan, frekuensi perjalanan menuju fasilitas, dan variabel lain yang digambarkan
dalam skala desa. Perhitungan indeks aksesibilitas diperoleh dengan cara mengkalikan nilai
indikator dengan bobot rata-rata indikator. Nilai indikator ditetapkan berdasarkan hasil survei
kondisi eksisting prasarana di lapangan, sementara bobot indikator diperoleh dari hasil
penilaian responden berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing indikator.Selain itu,
peta juga diperlukan untuk mendapatkan gambaran profil aksesibilitas dan berguna untuk
mengidentifikasi solusi alternatif terhadap permasalahan akses.
3. Prioritasi
Semakin besar nilai Indeks Aksesibilitas, semakin buruk permasalahan aksesnya.
Wilayah-wilayah studi kemudian diurutkan dari Indeks Aksesibilitas yang paling tinggi ke
yang paling rendah. Wilayah yang memiliki Indeks Aksesibilitas paling tinggi/paling buruk
mendapatkan prioritas utama penangan akses untuk masing-masing sektornya.
4. Validasi data dan penentuan tujuan
Profil akses akan dipresentasikan dan data-data yang telah terkumpul divalidasi dalam
suatu pelatihan workshop yang diikuti oleh perwakilan masyarakat, pemerintah, lembaga
masyarakat, dan komunitas-komunitas. Dari workshop tersebut, akan ditentukan tujuan
sektoral dalam peningkatan akses. Tujuan sektoral didapat dari tujuan pembangunan nasional,
seperti semua masyarakat harus memiliki akses langsung terhadap air bersih, dalam
jangkauan kurang dari radius 500m. Tujuan sektoral harus realistis dan mudah dicapai sesuai
denan sumber daya yang ada.
5. Identifikasi strategi
Hasil dari workshop kemudian digunakan untuk mengidentifikasi langkah-langkah apa
yang harus dilakukan untuk mengefisienkan waktu dan usaha dalam memperoleh akses
pelayanan dan fasilitas. Strategi yang dibuat berhubungan dengan transportasi (infrastruktur
transportasi pedesaan, pelayanan transportasi atau transportasi murah) dan pelayanan non-
transportasi (seperti lokasi paling sesuai untuk mengakses sarana air, sekolah, rumah sakit,
dan pasar).
6. Implementasi, pengawasan, dan evaluasi
Strategi yang telah diidentifikasi kemudian diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan
pengembangan daerah untuk proses implementasi, pengawasan, dan evaluasi. Lembaga dan
pemerintah setempat juga tururt dilibatkan tidak hanya dalam proses perencanaannya, namun
juga dalam implementasi dan perawatan dari apa yang sudah direncanakan.
F. Studi Kasus : Pengembangan Transportasi Antar Wilayah di Provinsi Papua
Barat
Provinsi Papua Barat merupakan provinsi termuda di Indonesia yang merupakan hasil
dari pemekaran Provinsi Irian Jaya, dengan 9 Kabupaten dan 1 Kota. Memiliki karakteristik
wilayah bervariasi dimana sebagian wilayahnya terdiri dari jajaran pegunungan dengan
kelerengan yang curam, kepulauan dan wilayah berawa-rawa, dengan karakteristik fisik
sebagian wilayah terdiri dari tanah gambut dan tanjakan curam dengan lapisan lahan yang
sangat tipis serta sangat beresiko terhadap tanah longsor dan erosi, memiliki sejumlah lipatan
dan sesar naik (akibat interaksi antar lempeng tektonik Eurasia dan lempeng Indo-Australia
dan Pasifik) yang menyebabkan wilayahnya menjadi sangat berpotensi terhadap gempa
tektonik yang disertai dengan tsunami. Populasi penduduk Papua Barat hanya sebesar
702.202 jiwa dengan persebaran tidak merata dan tingkat kepadatan 4-12 jiwa/km2 dimana
sebagian penduduk bermukim di daerah pegunungan yang sangat terpencil dan sulit
dijangkau karena berada di daerah pedalaman terpisah oleh medan wilayah yang berat.
Kondisi wilayah yang ekstrim dengan karakteristik wilayah yang bervariasi serta
persebaran penduduk yang tidak merata menjadi kendala utama dalam penanganan
pembangunan di Provinsi Papua Barat. Pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan
kebutuhan dasar mengalami berbagai kendala terutama dikarenakan minimnya transportasi
akibat sulitnya medan wilayah. Proses pembangunan menelan biaya yang sangat tinggi akibat
tingginya biaya transport (biaya perjalanan) dan angkutan barang.
Upaya penanganan transportasi yang dilakukan selama ini belum memberikan hasil
yang maksimal. Kondisi transportasi udara dan laut yang selama ini diharapkan berperan
besar dalam mengatasi keterisolasian wilayah terkendala kondisi wilayah yang ekstrim,
minimnya prasarana serta keterbatasan sarana transportasi. Sementara strategi pengembangan
transportasi darat yang dilakukan pemerintah saat ini juga mengalami berbagai kendala akibat
kondisi karakteristis wilayah, konflik tata ruang (sebagian wilayah merupakan area cagar
alam dan hutan lindung), serta tingginya biaya operasional yang dibutuhkan untuk
pembangunan prasarana transportasi darat.
Selain berbagai permasalahan teknis tersebut permasalahan lain yang menjadi kendala
adalah tidak efisiennya penggunaan transportasi di Papua Barat akibat belum terkoneksinya
ketiga jenis moda transportasi tersebut dengan baik yang mengakibatkan masih banyak
wilayah yang tidak terlayani transportasi secara baik serta mengakibatkan kesenjangan
wilayah yang cukup tinggi.
Perhitungan Indeks Aksesibilitas diperoleh menggunakan analisis IRAP dengan cara
mengambil hasi perkalian nilai indikator dengan bobot rata-rata indikator. Nilai Indikator
ditetapkan berdasarkan hasil survey kondisi eksisting prasarana di lapangan, sementara bobot
indikator diperoleh dari hasil penilaian responden berdasarkan tingkat kepentingan masing-
masing indikator. Berikut merupakan rekapitulasi hasil perhitungan indeks aksesibilitas per
kabupaten di Provinsi Papua Barat.
Tabel 1 Hasil Perhitungan Indeks Aksesibilitas per Kabupaten di Provinsi Papua Barat
Dari hasil perhitungan diketahui nilai IA tertinggi 7,08 dan terendah 5,24 hal tersebut
memberikan gambaran bahwa terdapat kesenjangan aksesibilitas antar wilayah di Papua
Barat dengan besarnya perbedaan nilai IA.
Indeks Aksesibilitas Wilayah tertinggi diperoleh Kabupaten Raja Ampat (IA-7,08),
Kabupaten Sorong Selatan (IA-7,04) dan Kabupaten Teluk Bintuni (7,08), menunjukkan
wilayah ini memiliki aksesibilitas terburuk. Karakteristik wilayah Raja Ampat yang
merupakan kepulauan saat ini hanya dapat dicapai melalui transportasi laut dengan frekuensi,
kapasitas dan prasarana yang terbatas. Sementara Kab. Sorong Selatan akses utamanya
ditempuh melalui jalan darat dengan kondisi prasarana yang tidak memadai, transportasi laut
dan udara terbatas. Sedangkan Kab. Teluk Bintuni akses utama ke Kabupaten terdekat
ditempuh memalui jalan darat dengan kondisi prasarana tidak memadai, transportasi udara
dan laut terbatas dengan biaya yang relatif tinggi.
Adapun rekapitulasi hasil perhitungan indeks aksesibilitas per sektor di Provinsi Papua
Barat.
Tabel 1 Hasil Perhitungan Indeks Aksesibilitas per Sektor di Provinsi Papua Barat
Indeks Aksesibilitas Sektor tertinggi diperoleh sektor Mobilitas (IA-6,82), sementara
terendah diperoleh sektor Kesehatan (IA- 5,56) kemungkinan karena kurangnya tingkat
kesadaran masyarakat akan kesehatan sehingga akses ke kesehatan tidak menjadi prioritas.
Sementara Indeks Aksesibilitas sub sektor tertinggi antara lain Transportasi umum moda
udara (IA-7,52), moda laut (IA-6,86) serta akses ke Ibukota Provinsi (IA-6,74).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa wilayah yang menjadi prioritas utama
penangananan aksesibilitas adalah Kabupaten Raja Ampat, Sorong Selatan dan Teluk
Bintuni. Sedangkan sektor yang menjadi prioritas utama penanganan adalah sektor
mobilitas/transportasi, dengan sub sektor Transportasi Udara dan Transportasi Laut.
Adapun strategi yang dapat dikembangkan antara lain:
1. Integrasi perencanaan transportasi antar wilayah sesuai dengan karakteristik dan
potensi dari masing-masing wilayah
2. Pengoptimalan infrastruktur transportasi untuk menunjang pengembangan wilayah,
disesuaikan dengan daya dukung wilayahnya
3. Menggali lebih dalam potensi-potensi wilayah untuk menciptakan peluang dan
minat investasi di sektor transportasi, didukung dengan kebijakan kerjasama baik
dari pihak swasta maupun pemerintah
G. Kesimpulan
Konsep Integrated Rural Accessibility Planning ( IRAP ) berperan penting dalam
pembangunan pedesaan. Perbaikan akses masyarakat perdesaan terhadap barang-barang dan
pelayanan dasar menjadi senjata utama untuk memerangi kemiskinan, di mana masyarakat
dengan mudah dapat menjangkau fasilitas-fasilitas pelayanan dan membawa fasilitas
pelayanan tersebut lebih dekat ke masyarakat perdesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Donnges, Chris. 2001. Rural Transport and Local Government Units: How to Improve
Rural Transport for The Rural Poor?. Transport and Communications Bulletin for Asia and
the Pacific no. 71 (http://www.ilo.org/public/english/employment/recon/eiip/download/
rurtran_locgov.pdf, diakses tanggal 16 Desember 2013)
Giyarsih, Sri Rum. ____. Transportasi dan Aksesibilitas Pedesaan
(http://elisa1.ugm.ac.id/files/Sri_Rum/Ql4VqjIM/Tugas%20kelompok.rtf , diakses tanggal 16
Desember 2013)
International Labour Organisation Jakarta. 2008. Infrastructure, Poverty and Jobs:
Local Resource-based Strategies for Eastern Indonesia
(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/documents/
genericdocument/wcms_099515.pdf, diakses tanggal 16 Desember 2013)
Oktaviana, Maria Goretti, dkk. 2011. Strategi Pengembangan Transportasi antar
Wilayah di Provinsi Papua Barat. Jurnal Rekayasa Sipil, vol. 5 no. 3. ISSN 1978-5658
(http://rekayasasipil.ub.ac.id/index.php/rs/article/download/204/197, diakses tanggal 16
Desember 2013)