MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANG
MU‘TAZILĪ: AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam
sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Ita Nurul Faizah
11140331000074
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
iv
MOTTO
Memulai dengan penuh keyakinan
Menjalankan dengan penuh keikhlasan
Menyelesaikan dengan penuh kebahagiaan
v
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai teologi Mu‘tazilah, lebih khusus
mengenai tokoh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, seorang mantan Asy‘ariyyah yang
menjadi tokoh Mu‘tazilah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menjelaskan konsep melihat Allah menurut Mu‘tazilah.
Dalam pembahasan ini dijelaskan pemikiran Mu‘tazilah tentang melihat
Allah, khususnya dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār. Baginya, melihat
Allah adalah suatu hal yang mustahil. Tuhan bersifat immateri, dan tidak akan
menjadi jasmani, oleh karena itu rasio mengatakan bahwa kapan pun dan dimana
pun Tuhan tidak akan dapat dilihat dengan mata fisik. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
menolak sekaligus mengkritik Asy‘ariyyah mengenai kemungkinan melihat Allah
dengan dasar yang rasional.
Sumber primer dalam penelitian ini adalah salah satu karya Al-Qāḍī ‘Abd
al-Jabbār, yaitu Syarḥ Uṣūl al-Khamsah yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh penulis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis,
yaitu mendeskripsikan berbagai persoalan yang terkait dengan melihat Allah,
kemudian menganalisisnya dengan pendekatan teologis. Adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan kajian pustaka
(library research).
Kata Kunci: Mu‘tazilah, Melihat Allah, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Asy‘ariyyah.
vi
KATA PENGANTAR
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”
Segala Puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan
kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai segala sesuatu, di bumi
maupun di langit. Yang Maha Memudahkan segala urusan hamba-Nya. Karena
atas kuasa-Nya lah penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muḥammad SAW. yang telah memberikan tauladan bagi umat manusia dengan
perilaku qur’ānī-nya. Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk
dapat memberikan syafaat kepada umatnya.
Pada dasarnya, penulisan skripsi ini merupakan suatu respon atas
perdebatan yang terjadi pada bidang Teologi. Aspek yang pertama kali
dipersoalkan adalah tentang Tuhan. Hal ini berkaitan dengan upaya manusia
dalam memahami Tuhannya, meliputi sifat-sifat dan zat-Nya. Tuhan adalah
immateri, bersifat rohani, dan tidak akan menjadi jasmani, karena itu logika
mengatakan bahwa Dia tidak dapat dilihat dengan mata fisik di dunia. Hampir
semua aliran sepakat dengan pernyataan ini. Akan tetapi, yang menjadi persoalan
adalah apakah Tuhan dapat dilihat dengan mata fisik di akhirat nanti? Kaum
tradisionalis berpendapat bahwa melihat Tuhan dengan mata fisik di akhirat
adalah suatu hal yang mungkin, adapun bagi kaum rasionalis melihat Tuhan
dengan mata fisik saat di akhirat merupakan suatu hal yang mustahil. Oleh karena
itu, penulis menulis skripsi yang berjudul “Melihat Allah dalam Pandangan
Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār”. Semoga skripsi ini dapat dijadikan
vii
sebagai bahan pembelajaran dalam memahami sekaligus mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang turut membantu
dari awal proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada:
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dra. Tien
Rohmatin, MA. selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan Dr. Abdul
Hakim Wahid, MA. selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas
nasehat dan bimbingannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan judul
skripsi ini.
Dr. Arrazy Hasyim, MA. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi terbaik bagi
penulis. Terima kasih telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing,
menasehati, sekaligus memberikan gagasan-gagasannya kepada penulis. Sehingga
penulisan skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.
Seluruh Dosen dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan begitu banyak pengetahuan sekaligus bimbingannya selama empat
tahun ini, khususnya kepada Prof. Zainun Kamaluddin Fakih, selaku Dosen
Pembimbing Akademik penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
para pimpinan dan segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin, segenap Staf
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama Universitas Islam
viii
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut membantu penulis dalam
menemukan buku-buku referensi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Keluarga penulis, khususnya kedua orang tua penulis yang telah
membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang, perjuangan, dan
pengorbanan yang begitu luar biasa. Teruntuk Ayahanda tercinta, Almarhum
Abdul Khalim yang telah menanamkan semangat berjuang, yang tak sempat
mendampingi penulis sampai akhir penulisan skripsi ini, doa terbaik selalu penulis
panjatkan agar beliau senantiasa dilapangkan kuburnya sekaligus dijauhkan dari
azab kubur. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, āmīn.
Teruntuk Ibunda tercinta, Jami’atun, yang selalu memberikan doa terbaiknya di
setiap langkah penulis. Semoga Allah SWT. senantiasa memberikan umur
panjang, kesehatan, serta kekuatan untuk beliau dalam mendampingi dan
mendidik keempat puterinya. Kedua kakak penulis, Haniatul Mahfudhoh, S.Pd.I.
beserta suaminya Sumalik, S.Pd, dan Khumiyyatul Hikmah, S.Ag. Juga kepada
adik tersayang penulis, Roikhatus Sholikhah. Juga untuk kakak penulis, Choirur
Rozaq. Terima kasih untuk doa, semangat, dan dukungannya kepada penulis
selama proses penyelesaian skripsi ini.
Keluarga penulis di Jakarta, Bapak Roni dan Ibu Zahrotun Nikmah, Mas
Huda, dan Dek Lutfi. Terima kasih karena telah berkenan menjadi keluarga
sekaligus rumah kedua bagi penulis. Semoga Allāh SWT. senantiasa membalas
kebaikan demi kebaikan tersebut dengan balasan yang berlipat ganda.
Keluarga penulis di SIMAHARAJA (Silaturrahmi Mahasiswa Jepara di
Jakarta), para senior, kakak, adik, dan teman-teman yang tidak bisa penulis
ix
sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman, serta
dukungannya selama kurang lebih empat tahun ini kepada penulis.
Sahabat terbaik sekaligus teman seperjuangan penulis, Mashlihatuz
Zuhroh, Tutik Maesaroh, S.E. Siti Aminatun Nadlifah, S.Pd. dan Maya Maulina.
Terima kasih untuk kebersamaan dan segala hal positif yang telah diberikan
kepada penulis selama ini.
Teman-teman terbaik penulis di Aqidah dan Filsafat Islam Angkatan
2014-B, khususnya kepada Hidayanti Fadillah Tunnisa, Rostianti Soraya,
Fatmawatun, Ahmad Hujaeri, Renaldy Akbar, Dede Afrizal. Terimakasih karena
telah menjadi yang selalu ada bagi penulis selama kurang lebih empat tahun ini.
Keluarga penulis di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Al-Amaliyah,
Cirendeu. Ibu-ibu Majlis Taklim beserta adik-adik TPA Al-Amaliyah yang tidak
bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk doa, ilmu, motivasi,
kebersamaan, serta kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
Teman-teman seperjuangan penulis di Himpunan Mahasiswa Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam (HMJ-AFI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Cabang Ciputat, Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
(DEMA-FU), Forum Lingkar Pena Cabang Ciputat (FLP-C), dan teman-teman
kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) BRINGIN082 Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017, yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu. Terima kasih untuk semua ilmu dan pengalaman yang pernah
diberikan kepada penulis.
Selanjutnya, Penulis juga menyampaikan terima kasih banyak kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam menerjemahkan kitab Syarḥ
x
Uṣūl al-Khamsah untuk penulisan skripsi ini, khususnya kepada Hilman
Abdurrahman, Ahmad Iqbal Fahmi, dan Hilmi Firdaus.
Semoga Allah SWT. senantiasa membalas kebaikan demi kebaikan semua
pihak yang telah penulis sebutkan di atas, āmīn. Akhirnya, penulis berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis khususnya.
Penulis juga berharap skripsi ini dapat memperkaya khazanah keilmuan
khususnya dalam Teologi. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman
penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT. selalu membimbing
langkah kita menuju jalan yang benar dan diridhai-Nya. Āmīn yā Rabb al-
‘ālamīn.
Jakarta, 18 September 2018
Penulis
Ita Nurul Faizah
NIM. 11140331000074
xi
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط a ا
ẓ ظ b ب
‘ ع t ت
gh غ ts ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dz ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
’ ء sy ش
y ي ṣ ص
h ة ḍ ض
Vokal Pendek
Arab Latin
a أ
i إ
u ا
xii
Vokal Panjang
Arab Indonesia
ā آ
ī إِى
ū او
Diftong
Arab Indonesia
au أو
ai أي
Kata Sandang al- (ال)
Arab Indonesia
-al ال
-wa al وال
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................... iii
MOTTO ................................................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................................. xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8
F. Metode Penelitian..................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 13
BAB II SEJARAH SINGKAT ALIRAN MU‘TAZILAH
A. Lahirnya Aliran Mu‘tazilah...................................................................... 15
B. Tokoh-tokoh Aliran Mu‘tazilah ............................................................... 24
C. Lima Landasan Pokok Aliran Mu‘tazilah ................................................ 33
BAB III BIOGRAFI AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR
A. Riwayat Hidup ......................................................................................... 46
B. Kedudukannya dalam Sejarah Aliran Mu‘tazilah .................................... 49
C. Karya-karya .............................................................................................. 54
BAB IV MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANG MU‘TAZILĪ:
AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR
A. Definisi Melihat Allah.............................................................................. 59
B. Melihat Allah dalam Pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār ....................... 62
C. Kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah .............................. 69
xiv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 83
B. Saran ......................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah suatu sistem agama sekaligus sistem politik, karena persoalan
yang timbul dalam bidang politik pada akhirnya berimplikasi kepada persoalan
teologi.1 Nuansa politis dalam Islam mulai terlihat tidak lama setelah Rasulullah
Saw. wafat, yaitu pada tanggal 12 Rabī’ al Awwal tahun 11 H./ 632 M. Kaum
Anshar dan kaum Muhajirin berkumpul di suatu Balairung yang bernama Saqīfah
Banū Sa’īdah.2 Para sahabat berselisih pendapat perihal sosok yang pantas
menggantikan Nabi Muhammad Saw. sebagai khalifah (pengganti Nabi).
Dikarenakan Nabi Muhammad Saw. tidak pernah menunjuk sosok penggantinya.
Pada masa khalifah empat, perbedaan interpretasi atas teks ilāhiyyah yang
berkenaan dengan tiga aspek pokok Islam yang terdiri dari syarī’ah, aqīdah, dan
siyāsah mulai terjadi. Persoalan siyāsah (politik) menimbulkan multitafsir yang
berkembang dan bergeser ke persoalan teologi. Hal yang dipersoalkan seperti
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, persoalan orang yang
berbuat dosa besar, masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah
menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?3 Sebagaimana pertanyaan pertama
yang diajukan dalam Islam adalah: Apakah seorang Muslim tetap menjadi Muslim
1 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan,
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,1986), h. 5 2 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1995), h. 29 3 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h. 8
2
jika melakukan dosa besar? Atau, apakah iman sudah cukup atau harus dinyatakan
juga melalui perbuatan?4
Persoalan-persoalan teologi ini lah yang kemudian melahirkan aliran-
aliran teologi penting dalam Islam seperti Khawārij, Murji’ah, Mu‘tazilah,
Asy‘ariyyah, Mātūridīyah dan lain-lain.5 Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
meskipun Nabi Muhammad Saw. telah mewariskan al-Qur’an dan al-Hadis
sebagai pegangan utama umat Islam, keragaman sikap atas teks-teks keagamaan
tetap tidak bisa dihindarkan.6
Firqah-firqah tersebut disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam soal-
soal akidah (teologi) atau masalah-masalah ushūliyyah. Akidah merupakan ajaran
Islam aspek teoritis yang harus dipahami dan wajib dipercayai atau diimani.
Secara terminologis, akidah berarti ikatan tali yang kuat. Dalam konteks agama,
kata akidah biasa diartikan “kepercayaan”.7 Ilmu yang membicarakan tentang
akidah disebut ilmu tauhid.
Ḥusain Affandī al-Jasr mengatakan ilmu tauhid adalah ilmu yang
membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang
meyakinkan. Sedangkan Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ilmu tauhid adalah
ilmu yang berisi alasan-alasan dari akidah keimanan dengan dalil-dalil aqliah dan
berisi pula alasan-alasan bantahan terhadap orang-orang yang menyelewengkan
akidah salaf dan ahl al-Sunnah.8
4 Fazlur Rahman, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, (Bandung: Mizan Pustaka,
2016), h. 122 5 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h.
11 6 Hilmy Muhammadiyah, Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: Elsas,
2004), h. 8 7 Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.39.
8 H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RakaGrafindo Persada, cet. Ketiga,
1996), h. 3.
3
Ilmu tauhid disebut juga ilmu kalam yaitu ilmu yang berbicara tentang
prinsip-prinsip agama (ushūl al-dīn) yang berkenaan dengan sistem kepercayaan
agama. Dalam Islam pilar keimanan dibagi menjadi enam, yaitu iman kepada
Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir. Tujuan
ilmu kalam adalah untuk mempertahankan keyakinan agama dengan argumen-
argumen yang bisa diterima akal manusia.9
Persoalan tentang Tuhan merupakan obyek kajian yang terpenting dalam
ilmu kalam. Dalam perkembangan teologi Islam, upaya untuk memahami Allah
bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok tradisionalis dan
rasionalis. Pertama, adalah kaum tradisionalis (ahl al-ḥadīts). Dasar pertama
tradisionalisme pada masa Islam Abad Pertengahan adalah berpegang teguh
kepada ajaran-ajaran al-Qur’an, al-Hadis, dan ijma’. Al-Qur’an dan al-Hadis tidak
hanya menjadi sumber kebenaran, tetapi juga menjadi kriteria untuk menguji
segala apa yang telah dicapai oleh manusia melalui akalnya.10
Kelompok ini lebih
dekat dengan kaum Asy‘ariyyah.
Kedua, adalah kaum rasionalis yang sangat dekat dengan kaum
Mu‘tazilah. Dasar rasionalisme adalah kedudukan akal yang berada di atas wahyu.
Allah dan alam dapat diketahui dengan akal yang diciptakan oleh Allah dalam diri
manusia. Mereka berpendapat bahwa wujud Allah, keesaan-Nya, dan sifat-sifat-
Nya dapat diketahui dengan akal.11
9 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006),
h. 130. 10
Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Teologi
Islam, terj. Nuruddin Hidayat (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 19. 11
Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Teologi
Islam, h. 74.
4
Inti perdebatan antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah adalah hubungan antara
sifat-sifat dan dzāt Allah. Berkaitan dengan kewajiban untuk mengetahui adanya
Tuhan, Mu‘tazilah berpendapat bahwa kewajiban itu berasal dari akal, sementara
Asy‘ariyyah berpendapat bahwa kewajiban itu berasal dari wahyu.
Tuhan adalah immateri, bersifat rohani, dan tidak akan menjadi jasmani,
maka logika mengatakan bahwa Dia tidak dapat dilihat dengan mata kepala di
dunia. Hampir semua aliran seperti Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah sepakat dengan
pendapat ini, tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala di akhirat.
Asy‘ariyyah dalam membahas persoalan melihat Tuhan menggunakan
istilah Ru‘yah Allāh. Dimana Ru’yah berasal dari kata رؤية –رأي –يرى –رأى yang
berarti melihat, meyakinkan, mengira, menyangka.12
Kata Ru’yah bisa juga
diartikan dengan ”Annazar bil aini au bil-qalbi” (melihat dengan mata atau
dengan hati). Sehingga Ru‘yah Allāh berarti melihat Allah dengan penglihatan
mata atau penglihatan hati. Adapun Mu‘tazilah menggunakan kata idrāk.
Melihat Allah secara langsung di akhirat bagi kaum Mu‘tazilah yang
cenderung bercorak rasionalis merupakan suatu hal yang mustahil. Mayoritas
kaum Mu‘tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata (al-
Abshār) di akhirat, tetapi hanya akan diketahui melalui hati, sebab sebagaimana
pandangan Abū al-Huzail al-ru’yat bagi mereka berarti al-‘ilm.13
Pendapat ini
juga sejalan dengan Muḥammad ‘Abduh yang berpendapat bahwa Tuhan tidak
dapat dilihat dengan mata kepala. Dalam Ḥāsyiah ia jelaskan bahwa Tuhan akan
12
Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-istilah
Feqih, (Bangsri: Amtsilati, 2004), h. 205. 13
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Persamaan dan Perbedaannya
dengan Al-Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 73.
5
dilihat kelak bukan dengan mata kepala, tetapi dengan suatu daya yang ada pada
manusia ataupun daya baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin
dalam hatinya.14
Mereka yang berpegang pada akal berpendapat bahwa karena Tuhan
adalah immateri, tidak mengambil tempat dan tidak bercahaya, maka Tuhan tidak
dapat dilihat dengan mata kepala.15
Mereka berargumen bahwa suatu penglihatan
membutuhkan adanya cahaya atau sinar. Jarak antara Tuhan dan manusia juga
menentukan dapat atau tidaknya Ia dilihat. Tuhan berada jauh di belakang hijāb
(tirai) yang amat tebal, sedangkan manusia berada di depan tirai. Cahaya tidak
akan dapat menembus tirai yang amat tebal dan jauh, maka pasti manusia tidak
dapat melihat sesuatu yang berada di balik tirai yang amat tebal dan jauh. Atau
Tuhan berada amat dekat dengan manusia. Manusia tetap tidak akan dapat melihat
sesuatu yang berada amat dekat darinya.16
Adapun Asy‘ariyyah berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat di dunia,
tetapi dapat dilihat di akhirat. Sebagaimana pendapat al-Juwaini, ia mengatakan
bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, tetapi tidak sekarang sewaktu
manusia masih berada di dunia. Penglihatan itu akan menjadi kenyataan nanti di
akhirat, sewaktu manusia sudah berada di surga. Untuk melihat Tuhan di akhirat,
tidak memerlukan adanya cahaya. Meskipun misalnya tidak ada cahaya sama
14
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Tradisional Mu’tazilah, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), cetakan pertama, 1987), h. 81. 15
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h.
139. 16
Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005), h. 105.
6
sekali atau Tuhan berada amat jauh ataupun amat dekat di pelupuk mata,
semuanya tidak menjadi halangan bagi manusia untuk melihat Tuhannya.17
Dalam hal melihat Tuhan, Abū al-Hasan al-Asy’arī mengajukan argumen
bahwa yang tak dapat dilihat hanyalah sesuatu yang tak mempunyai wujud. Yang
mempunyai wujūd mesti dapat dilihat. Tuhan ber wujūd. Oleh karena itu Ia dapat
dilihat.18
Melihat Tuhan bukan merupakan hal yang mustahil, sebab melihat Allah
adalah kenikmatan yang paling utama dan hanya ada di akhirat. Pendapat ini
sesuai dengan al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijma’ yang menunjukkan atas penetapan
orang mukmin melihat Rabb mereka di akhirat dengan mata mereka.19
Sebab
melihat Allah merupakan kenikmatan yang paling dicintai bagi penghuni Surga.
Pendapat tersebut menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār tidak dapat diterima
karena menyatakan bahwa melihat Allah itu merupakan kenikmatan, berarti
Tuhan termasuk kenikmatan dan kelezatan. Anggapan seperti itu menurut Al-Qāḍī
‘Abd al-Jabbār membuat orang keluar dari agama.20
Berdasarkan konsep al-Tanzīh (penyucian) kaum Mu‘tazilah menolak
pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, sedangkan kaum Asy‘ariyyah
berdasarkan konsep kemutlakan Tuhan dan kekuasaan-Nya, mengatakan bahwa
Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut mengenai Melihat Allah dalam Pandangan Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī ‘Abd
Al-Jabbār.
17
Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 106. 18
Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 115. 19
Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, Pokok-pokok Akidah Salaf: Yang
Diikrarkan Imam al-Asy’ari, Terj. Abdurrahman Nuryaman, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 75 20
Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 147.
7
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini perlu dilakukan untuk
menghindari pembahasan yang terlalu luas. Yang dimaksud melihat Allah di sini
adalah melihat di akhirat bukan di dunia.
Dalam penelitian ini penulis membahas tentang melihat Allah dalam
perspektif Mu‘tazilah, lebih khusus dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār.
Oleh karena itu, pokok perumusan masalah yang dijadikan obyek pembahasan
dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana melihat Allah dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār?
2. Bagaimana kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan
konsep melihat Allah dalam pandangan Mu‘tazilah. Sedangkan secara khusus
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan konsep melihat Allah dalam
Pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memperkenalkan pandangan
Mu‘tazilah kepada khalayak umum serta menambah khazanah kepustakaan atau
literatur di Indonesia khususnya dalam bidang teologi tentang konsep melihat
Allah. Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat turut melengkapi
penelitian-penelitian sebelumnya.
8
E. Tinjauan Pustaka
Dari hasil pengamatan penulis di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, sudah ada beberapa penelitian sebelumnya yang menulis tentang
pemikiran Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah. Tetapi belum ada satu pun yang menulis
tentang Melihat Allah dalam Pandangan Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār.
Penelitian-penelitian tersebut antara lain:
Skripsi Nina Nurmala yang berjudul Perbuatan Baik dan Buruk menurut
Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.21
Penelitian ini fokus pada penentuan perbuatan baik
dan buruk yang tidak hanya fokus pada pengertiannya saja, tetapi apakah benar-
benar menafikan wahyu dalam teologi Mu‘tazilah misalnya, atau menafikan akal
dalam teologi Asy‘ariyyah, serta bagaimana cara menentukan apakah perbuatan
tersebut baik ataukah buruk menurut kedua aliran tersebut.
Skripsi Saefullah yang berjudul Konsep Tuhan dalam Perspektif
Mu’tazilah.22
Penelitian ini fokus pada pembahasan tentang Tuhan dalam
pandangan Mu‘tazilah.
Skripsi Kusni yang berjudul Pemikiran Mu’tazilah tentang Etika.23
Penelitian ini fokus pada etika Mu‘tazilah tentang baik dan buruk, iman dan amal
saleh, kemampuan dan tanggung jawab manusia, serta amr ma’rūf nahī munkar.
Skripsi Khumaidi yang berjudul Peranan Konsep Doktrin Ushulul
Khamsah Mu’tazilah terhadap Peradaban Islam.24
Penelitian ini membahas lima
dasar ajaran Mu‘tazilah serta peranannya terhadap peradaban Islam.
21
Nina Nurmala, Perbuatan Baik dan Buruk menurut Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah,
(Skripsi Program Studi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). 22
Saefullah, Konsep Tuhan dalam Perspektif Mu’tazilah, (Skripsi Program Studi Aqidah
Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002). 23
Kusni, Pemikiran Mu’tazilah tentang Etika, (Skripsi Program Studi Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
9
Skripsi Ade Ismatillah yang berjudul Pandangan Ignaz Goldziher tentang
Relasi antara Tuhan dan Manusia dalam Teologi Mu’tazilah.25
Tesis Machasin yang berjudul Al Qadi 'Abd Al Jabar dan Ayat-ayat
Mutasabihat dalam Al-Qur’an: Pembahasan tentang Kitab Mutasabih Al-
Qur’an.26
Kesimpulan dari pembahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan
sebagai berikut: Dalam memecahkan persoalan ayat-ayat yang dianggapnya
mutasabihat, Abd al-Jabbar mendasarkan pada pengertian logis dari bentuk
lahiriah ayat itu dan penakwilan yang logis. Kelogisan dalam kedua hal itu diukur
dengan hukum-hukum kebahasaan dan logika. Kalau dikaitkan dengan kenyataan
bahwa hanya ada dua jenis dalil dalam ilmu kalam – dalil naqli dan dalil akal,
maka kedua hukum itu dapat disebut dengan dalil akal, walaupun orang dapat
mengatakan bahwa hanya logikalah yang disebut dengan itu.
Tesis Ermita Zakiyah yang berjudul Aspek Paham Mu’tazilah dalam
Tafsir Al-Kashshāf tentang Ayat-Ayat Teologi (Studi Pemikiran Al-
Zamakhshary).27
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa prinsip teologi
Mu’tazilah tentang al-Ushūl al-Khamsah tidak semua bisa tercover dalam tafsir
al-Kashshāf yang mempunyai naz’ah Mu’tazili, hal ini dikarenakan pendekatan
teologi Mu’tazilah berasal dari aviliasi filsafat barat walaupun terkadang al-
Zamakhsharī juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dalam menafsirinya.
24
Khumaidi, Peranan Konsep Doktrin Ushulul Khamsah Mu’tazilah terhadap Peradaban
Islam, (Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002). 25
Ade Ismatillah, Pandangan Ignaz Goldziher tentang Relasi antara Tuhan dan Manusia
dalam Teologi Mu’tazilah, (Program Studi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007). 26
Machasin, Al Qadi 'Abd Al Jabar dan Ayat-ayat Mutasabihat dalam Al-Qur'an:
Pembahasan tentang Kitab Mutasabih Al-Qur'an, (Tesis Program Studi Ilmu Agama Islam
Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). 27
Ermita Zakiyah, Aspek Paham Mu’tazilah dalam Tafsir Al-Kashshāf tentang Ayat-Ayat
Teologi (Studi Pemikiran Al-Zamakhshary), (Tesis Program Studi Tafsir Hadits Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel)
10
Penelitian Ikmal Fahad, Program Studi Magister Pemikiran Islam Program
Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul Pemikiran
Abū al-Hasan al-Asy’ari tentang Asma’ dan Sifat Allah. Yang menjadi fokus
dalam penelitian ini adalah pemikiran Abū al-Hasan al-Asy’arī dan Asy‘ariyyah
tentang Asmā’ dan Sifāt Allah serta apa yang melatarbelakangi dan membedakan
keduanya. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan adanya ketidaksesuaian dalam
penisbatan Asy‘ariyyah kepada Abū al-Hasan al-Asy’arī.
Skripsi Sutiknyo, Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Al-Kasb dalam
Pandangan Abū Hasan al-Asy’ari. Pemikiran ini memfokuskan pada pemikiran
Asy’ari, yang dengan latar belakang Mu‘tazilah pendukung kebebasan kehendak
manusia, dan berganti dengan pemahaman bahwa manusia seluruhnya ditentukan
oleh nasb yang ditentukan oleh Allah.
Skripsi Wawan ‘Aunillah Kamil, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Kejuruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Tauhid Perspektif al-
Qadhi Abd al-Jabbar. Fokus dalam penelitian ini adalah membahas salah satu
ajaran dasar Mu‘tazilah, yaitu Tauhid dari sudut pandang Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār.
Skripsi Fitrotul Azizah, Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Konsep
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan Abū Ḥasan al-Asy‘ari terhadap Sifat Tasybīh.
Penelitian ini menjelaskan konsep tasybīh dalam pandangan kedua tokoh tersebut.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār hendak
memurnikan ke-Esa-an Tuhan dengan menjauhkan segala persepsi bahwa Dia
memiliki sifat, yaitu Tuhan disamakan dengan manusia seperti mempunyai
11
tempat, anggota tubuh, dan sifat lainnya. Adapun Abū Ḥasan al-Asy‘ari
mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat sebagaimana jelas termaktub dalam al-
Qur’an.28
F. Metode Penelitian
1. Sumber Data Penelitian
Penelitian ini merupakan Library Research (Studi Kepustakaan) yang
menggunakan sumber data primer dan sekunder. Adapun sumber data primer
dalam penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār yaitu
kitab Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah. Adapun data sekunder yang akan digunakan
dalam penelitian ini yaitu buku-buku lain yang berkaitan dengan tema
pembahasan pada penelitian ini.
Penulisan skripsi ini pun mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007 serta buku Pedoman Penulisan Skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara
untuk penulisan transliterasi mengacu pada jurnal Ilmu Ushuluddin yang
diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan), yaitu
penelitian yang didasarkan pada sumber-sumber yang tertulis. Bahan-bahan
pustaka tersebut diperlukan sebagai sumber ide dalam menggali suatu pemikiran
atau gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk melakukan deduksi dari
28
Fitrotul Azizah, Konsep Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan Abū Ḥasan al-Asy‘ari terhadap
Sifat Tasybīh, (Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018).
12
pengetahuan yang sudah ada, sehingga kerangka baru dapat dikembangkan.
Penelitian ini juga bersifat deskriptis-analisis yaitu dengan mendeskripsikan
secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian
menganalisis setiap masalah untuk memperoleh pemahaman secara komprehensif.
Penelitian deskriptif dilakukan untuk tujuan mendeskripsikan apa adanya suatu
variabel, gejala, atau keadaan, bukan untuk menguji hipotesis.29
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini termasuk penelitiaan library research (Studi
Kepustakaan), maka teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah
dengan mencari literatur atau referensi yang ada di perpustakaan, baik
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas
Ushuluddin, perpustakaan umum, maupun perpustakaan pribadi yang
menyediakan referensi yang berkaitan dengan tema yang diangkat pada penelitian
ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini dikumpulkan
dan diklarifikasi berdasarkan relevansi terhadap pembahasan penelitian ini.
Selanjutnya dibaca dan diteliti, dan dimasukkan pada pembahasan penelitian yang
diangkat.
4. Teknik Analisis Data
Setelah membaca dengan teliti semua buku yang berkaitan dengan tema
pembahasan, penulis memberikan tanda khusus pada bagian-bagian yang penting
untuk mempermudah dalam memahami data yang akan dipaparkan. Kemudian
penulis mulai menganalisis data yang telah terkumpul dengan menggunakan
29
Andi Prastowo, Memahami Metode-metode Penelitian, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
cet. Pertama, 2011), h. 204.
13
analisis kualitatif, yaitu sebuah prosedur penilaian yang menghasilkan data berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.
Karena penelitian ini merupakan studi kepustakaan maka metode yang
digunakan adalah metode analisis dan sintesis. Metode analisis yaitu jalan yang
dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan mengadakan perincian
terhadap obyek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu obyek tertentu
dengan jalan memilah-milah antara pengertian satu dengan pengertian-pengertian
yang lainnya.30
Sedangkan metode sintesis merupakan metode yang dipakai untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan dengan cara mengumpulkan atau
menggabungkan.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar pembahasan dalam skripsi ini dibagi menjadi lima bab,
dengan uraian sebagai berikut:
Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Secara garis besar bab ini
bertujuan sebagai landasan teoritis metodologis dalam penelitian.
Bab kedua: Sejarah Singkat Aliran Mu‘tazilah. Bab ini berisi pembahasan
mengenai sejarah lahirnya aliran Mu‘tazilah, biografi tokoh-tokoh aliran
Mu‘tazilah dan lima landasan pokok aliran Mu‘tazilah.
Bab ketiga: Biografi Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār. Bab ini menjelaskan tentang
riwayat hidup Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Kedudukan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dalam
Sejarah Aliran Mu‘tazilah, serta karya-karyanya.
30 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1997), hlm. 59
14
Bab keempat: Melihat Allah dalam Pandangan Seorang Mu‘tazilī: Al-Qāḍī
‘Abd Al-Jabbār. Merupakan bab inti yang berisi penjelasan tentang definisi
melihat Allah, konsep melihat Allah dalam pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār,
serta kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah yang dijelaskan di
dalam kitabnya, yaitu Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah.
Bab kelima: Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab terakhir yang berisi
kesimpulan dari skripsi, serta saran untuk penulisan skripsi yang lebih baik di
masa yang akan datang.
15
BAB II
SEJARAH SINGKAT ALIRAN MU‘TAZILAH
A. Lahirnya Aliran Mu‘tazilah
Kata Mu‘tazilī ( معتزلي ) dengan men-ḍammah-kan mim, men-sukun-kan
‘ain muhmalah, men-fatḥaḥ-kan ta’ dengan titik dua di atasnya, meng-kasrah-kan
za dan lam di akhir, merupakan penyandaran terhadap kata i‘tazala1ل يعتز –عتزل ا )
عتزالا ) yang berarti menyendiri, mengasingkan diri.2 Kata Mu‘tazilah di sini
maksudnya adalah golongan Mu‘tazilah (معتزلة : فرقة).
Term ini dapat dijumpai di dalam al-Qur’an:
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru
selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, Mudah-mudahan aku
tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.”3
Kata i‘tazala ( عتزالا ) pada ayat di atas diartikan dengan menjauhkan diri
atau mengasingkan diri.4
Kalimat, “Dan aku akan menjauhkan diri darimu” merupakan ucapan
Nabi Ibrāhīm kepada orang tuanya dan seluruh masyarakat penyembah berhala.
Nabi Ibrāhīm meninggalkan kaumnya dengan menegaskan bahwa beliau juga
akan meninggalkan “Apa yang kamu seru selain Allah”.5
1 Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet.1, h.
77. 2 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-istilah
Feqih, (Bangsri: Amtsilati, 2004), h. 407. 3 Q.S. Maryam: 48.
4 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 407.
5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Vol. 8,
(Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h. 201.
16
Di dalam surat yang lain, kata i‘tazala ( عتزالا ) juga diartikan dengan
dikeluarkan darinya.
“Dan jika kamu tidak beriman kepadaku Maka biarkanlah aku (memimpin
Bani Israil)".6
Dijelaskan dalam Tafsir Yūsuf ‘Alī, ayat tersebut diartikan dengan “Jika
kamu tidak beriman kepadaku, tinggalkanlah aku.” Sehingga dapat dipahami,
“Kalau kamu tidak percaya kepadaku, setidak-tidaknya pergilah menurut caramu
sendiri; jangan menambah-nambah dosa dengan berusaha menindas aku dan
wahyu kebenaran yang aku bawa. Biarkanlah aku.”7
Kata i‘tazala ( اعتزال ) artinya adalah pisah8 atau pemisahan (االنفصال) dan
dikeluarkan (التنحي).
Istilah Mu‘tazilah diberikan kepada kelompok yang muncul di awal abad
kedua dalam Islam yang bermanhaj atas dasar akal secara ekstrim dalam
membahas persoalan aqidah Islamiyah. Oleh karena itu, mereka disebut kaum
rasionalis Islam karena dalam pembahasan, mereka banyak menggunakan akal.9
Mereka adalah sahabat-sahabat Waṣīl bin ‘Aṭā’ al-Ghazāl (w. 131 H) yang
memisahkan diri dari majlis al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H). Kaum Mu‘tazilah
adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada kaum Khawārij dan Murji’ah.
6 Q.S. Ad-Dukhān: 21.
7 Abdullah Yūsuf ‘Alī, Tafsir Yūsuf ‘Alī: Tafsir Qur’ān 30 Juz: Teks, Terjemahan dan
Tafsir, Terj. ‘Alī Audah, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. 3, 2009), h. 1294. 8 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 485.
9 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan,
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,1986), h. 40.
17
Aliran I‘tizal atau Mu‘tazilah awalnya lahir di Basrah (Irak).10
Kota
Basrah saat itu merupakan pusat ilmu dan peradaban Islam, sekaligus tempat
peraduan beragam kebudayaan asing dan tempat pertemuan dari berbagai agama.
Saat itu pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah di bawah kepemimpinan
Hisyām bin ‘Abd al Mālik (101-125 H.). Pada masa Bani Umayyah, aliran
Mu‘tazilah pada awalnya tidak mendapat dukungan maupun pertentangan dari
penguasa Bani Umayyah. Tetapi belakangan aliran Mu‘tazilah mendapat
dukungan dari Yazīd bin Wālid, salah seorang pemimpin Bani Umayyah yang
menganut ajaran Mu‘tazilah.
Aliran Mu‘tazilah mulai berkembang di Ibukota Baghdad, sebagai pusat
kedudukan Kekhalifahan, di bawah kepemimpinan Bisyr al Mu‘tamir (wafat 210
H./ 826 M.). Aliran Mu‘tazilah baru menghebohkan pemikiran keislamannya pada
masa Bani ‘Abbasiyyah dengan masa yang cukup panjang.11
Khalifahah al-
Ma’mūn bin Hārun al-Rāsyid (198-218 H./ 813-833 M.) mengangkat aliran
Mu‘tazilah sebagai madzhab resmi Negara untuk menggantikan aliran Sunni.12
Khalifahah al-Ma’mūn bin Hārūn al-Rāsyid bahkan memaksa para ahl al-Fiqh
dan ahl al-Ḥadīts untuk mengikuti ajarannya. Sebagian ulama mengikuti
ajarannya hanya sebagai taqiyyah (tindakan penyelamatan diri) karena takut,
bukan karena meyakininya.
Para ulama berbeda pendapat tentang awal kemunculan aliran Mu‘tazilah.
Sebagian berpendapat bahwa aliran Mu‘tazilah muncul sebagai respon dari
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawārij dan Murji’ah.
10
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982), h. 15. 11
Muḥammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos,
1996), h. 149. 12
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.16.
18
Pendapat ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Waṣīl bin ‘Aṭā’ (80 H./
699 M. - 131 H./ 748 M.) serta temannya ‘Amr ibn Ubaid (w. 144 H.) dan al-
Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H./ 728 M.) di Basrah. Peristiwa tersebut bermula dalam
lingkungan halaqah13
seorang ulama terbesar dan sufi terkenal di Basrah, yaitu al-
Imām al-Ḥasan al-Baṣrī. Diantara muridnya yang terbesar dan tercakap ialah
Waṣīl bin ‘Aṭā’. Belakangan sang murid memisahkan diri (I‘tizal) dari halaqah
gurunya dan membangun halaqah sendiri.14
Pada suatu hari, seorang peserta pengajian bertanya kepada al-Ḥasan al-
Baṣrī mengenai pendapatnya tentang status mukmin yang berdosa besar.
Sebagaimana yang diketahui kaum Khawārij memandang mereka kafir.
Sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Di saat al-Ḥasan al-
Baṣrī masih berpikir untuk menjawab, secara spontan salah seorang peserta
pengajian yang bernama Waṣīl bin ‘Aṭā’ memberikan jawaban. Ia berpendapat
bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar maka statusnya tidak lagi mukmin
sempurna namun juga tidak kafir sempurna. Dia berada di antara dua posisi yang
disebutnya al-Manzilah bayn al-Manzilataīn (tempat di antara dua tempat).
Sesudah mengemukakan pendapat tersebut, Waṣīl bin ‘Aṭā’ langsung
meninggalkan forum pengajian al-Ḥasan al-Baṣrī dan diikuti oleh temannya yang
bernama ‘Amr ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain di
dalam masjid tersebut. Melihat tindakan Waṣīl dan temannya itu, al-Ḥasan al-
Baṣrī pun berkata: I‘tazala ‘Anna Waṣīl (Waṣīl telah memisahkan diri dari kita).
Sejak saat itu, Waṣīl dan teman-temannya disebut kaum Mu‘tazilah. Peristiwa
13
Halaqah adalah suatu sistem belajar dalam dunia Islam sepanjang Zaman Tengah
dengan duduk berkelompok mengelilingi sang Guru-Besar. Lihat Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran
I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.15. 14
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.16.
19
yang diceritakan di atas dinilai oleh banyak ahli sejarah sebagai faktor utama
penyebab lahirnya aliran Mu‘tazilah.15
Dalam versi yang lain, al-Baghdadi menjelaskan bahwa Waṣīl bin ‘Aṭā’
dan temannya ‘Amr ibn Ubaid diusir oleh al-Ḥasan al-Baṣrī dari majelisnya
karena mereka berbeda pendapat tentang masalah qadar dan orang mukmin yang
berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari al-Ḥasan al-Baṣrī. Oleh
karena itu, mereka disebut sebagai kaum Mu‘tazilah sebab mereka memisahkan
diri dari pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berdosa
besar.16
Tāsyī Kubrá Zādah menceritakan bahwa Qatādah Ibn Da’amah Al-Sadūsī
(w. 117/ 118 H.) pada suatu hari masuk ke Masjid Basrah dan menuju ke majelis
‘Amr ibn Ubaid. Ia mengira bahwa majelis tersebut adalah majelis al-Ḥasan al-
Baṣrī. Setelah mengetahui bahwa majelis tersebut bukan majelis al-Ḥasan al-
Baṣrī, ia bergegas berdiri meninggalkan tempat tersebut dan berkata: “Ini kaum
Mu‘tazilah.” Sejak saat itu, kata Tāsyī Kubrá Zādah, mereka disebut kaum
Mu‘tazilah.17
Adapun al-Mas’ūdī memberikan keterangan lain, bahwa mereka disebut
kaum Mu‘tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan
mukmin dan bukan pula kafir. Mereka mengambil posisi di antara kedua posisi itu
(al-Manzilah bayn al-Manzilataīn). Menurut versi ini, mereka disebut kaum
15
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Ilmu
Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, h. 88. 16
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40. 17
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 90.
20
Mu‘tazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (tidak
masuk) golongan mukmin dan kafir.18
Ahmad Amin (1886-1954), seorang ahli pikir Mesir yang terkenal dengan
teori barunya memaparkan bahwa nama Mu‘tazilah sudah terdapat sebelum
adanya peristiwa Waṣīl dengan al-Ḥasan al-Baṣrī dan sebelum timbulnya
pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Sebutan Mu‘tazilah ketika itu
merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dalam pertikaian-
pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn ‘Affan dan ‘Alī Ibn Abī
Ṭālib. Mereka menjauhkan diri dari kelompok yang saling bertikai, dan hanya
menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata. Secara khusus sebutan Mu‘tazilah
ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut peperangan, baik perang Jamal
antara pasukan ‘Alī Ibn Abī Ṭālib dengan pasukan Āisyah, maupun perang Siffīn
antara pasukan ‘Alī Ibn Abī Ṭālib melawan pasukan Mu’āwiyah. Kedua
peperangan ini terjadi karena persoalan politik.19
Al-Tabarī umpamanya menyebut
bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’d sampai di Mesir sebagai Gubernur dari ‘Alī Ibn Abī
Ṭālib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu
golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i‘tazalat ilā Kharbita). Dalam
suratnya kepada khalīfah, Qais menamai mereka “mu’tazilīn”, al-Tabarī
menyebut nama “Mu‘tazilīn”, sedangkan Abū al-Fidā’ memakai kata “al-
Mu‘tazilah” sendiri.20
Kata i‘tazala dan Mu‘tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum
peristiwa Waṣīl dengan Ḥasan al-Baṣrī, yaitu oleh golongan yang tidak mau turut
campur dalam urusan politik yang terjadi di zaman mereka. Apabila Mu‘tazilah
18
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 41. 19
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 89. 20
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42.
21
pertama muncul berkaitan dengan masalah politik, maka Mu‘tazilah yang kedua,
yang muncul satu abad kemudian, lebih disebabkan karena persoalan agama
semata. Mu‘tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan filsafat
ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.21
Menurut al-Nasysyār, golongan
Mu‘tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu
pengetahuan dan ibadat, dan bukan dari golongan Mu‘tazilah yang dikatakan
merupakan aliran politik.22
Mu‘tazilah inilah yang kemudian menjadi salah satu
aliran Kalam dalam pemikiran Islam.23
C.A. Nallino, seorang orientalis Italia berpendapat bahwa golongan
Mu‘tazilah kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu‘tazilah
pertama. Golongan Mu‘tazilah kedua merupakan lanjutan dari golongan
Mu‘tazilah pertama.24
Ahmad Amin selanjutnya juga berpendapat bahwa sebab-sebab dinamakan
Mu‘tazilah yaitu:
1. Dinamakan Mu‘tazilah karena Waṣīl bin ‘Aṭā’ dan ‘Amr ibn Ubaid
memisahkan diri dari majelis taklim yang dipimpin oleh Ḥasan al-Baṣrī di
masjid Basrah. Waṣīl bin ‘Aṭā’ memisahkan diri secraa fisik (I‘tazala) dari
pengajian Ḥasan al-Baṣrī. Orang yang memisahkan diri dinamakan
Mu‘tazilah.
2. Dinamakan Mu‘tazilah karena pendapat mereka menjauhi pendapat lain yang
sedang berkembang waktu itu. Waṣīl bin ‘Aṭā’ berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir (al-Manzilah bayn al-
21
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42 22
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 43. 23
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 89. 24
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42
22
Manzilataīn). Pendapat tersebut telah menjauhi atau memisahkan dengan
pendapat golongan lainnya. Jumhur ulama mengatakan tetap mukmin,
Khawārij mengatakan kafir, adapun Ḥasan al-Baṣrī berpendapat bahwa orang
tersebut tetap mukmin namun fasik.
3. Dinamakan Mu‘tazilah karena pelaku dosa besar berada antara mukmin dan
kafir, sama halnya memisahkan diri atau menjauhkan diri dari orang mukmin
yang sempurna.
Ketiga pendapat tersebut berdasarkan pada peristiwa Waṣīl bin ‘Aṭā’ dan
Ḥasan al-Baṣrī dalam pengajian di masjid Basrah. Peristiwa tersebut menurut
Ahmad Amin murni bertema agama, bukan politik.25
Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai siapakah yang memberi
nama Mu‘tazilah. Apakah nama tersebut diberikan oleh pihak luar atau oleh kaum
Mu‘tazilah sendiri. mereka yang berpendapat bahwa nama Mu‘tazilah diberikan
oleh pihak luar menggunakan peristiwa keluarnya Waṣīl dari pengajian al-Ḥasan
al-Baṣrī sebagai dasar atas pendapatnya. Di mana dari al-Ḥasan al-Baṣrī muncul
perkataan “i‘tazala ‘anna” (Waṣīl menjauhkan diri dari kita).26
Perkataan tersebut
menunjukkan bahwa nama Mu‘tazilah muncul atau diberikan oleh pihak lain,
bukan dari Waṣīl sendiri.
Kaum Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah menamakan mereka dengan kaum
Mu’attilah yaitu golongan yang menafikan sifat Tuhan. Mereka berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri pada zat. Selain itu,
ada pula yang menjuluki dengan istilah kaum al-Qadariyah, karena mereka
menganut paham free will dan free act, yaitu paham yang meyakini bahwa
25
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 26
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40.
23
manusia memiliki kebebasan berkehendak dan kemampuan berbuat. Selain itu ada
pula yang menamakan dengan al-Wa’īdiyah, karena mereka mengajarkan paham
bahwa ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak taat pasti berlaku.27
Kaum Mu‘tazilah sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl
al-‘Adl wa Ahl al-Tauḥīd, yaitu golongan yang mempertahankan keadilan dan
Keesaan Murni Tuhan. Sebutan ini lebih mereka sukai karena bersumber dari dua
ajaran pokok yaitu al-‘Adl dan al-Tauḥīd.28
Adapun jika melihat kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu‘tazilah, dapat
dijumpai keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa mereka sendirilah
yang memberikan nama itu kepada golongan mereka. Al-Qāḍī Al-Qāḍī ‘Abd al-
Jabbār misalnya, yang mengatakan bahwa kata-kata i‘tazala yang terdapat di
dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar. Dengan
demikian, kata Mu‘tazilah mengandung arti pujian.29
Pada awalnya kaum Mu‘tazilah tidak suka dengan sebutan itu. Ahmad
Hanafi mengatakan bahwa nama Mu‘tazilah tidak mereka senangi karena bisa
disalahtafsirkan oleh lawan-lawan mereka untuk dijadikan bahan ejekan. Tapi
karena sebutan itu telah melekat pada mereka, mereka pun menerima sebutan
tersebut. Mereka mulai membuat alasan-alasan kebaikan atas sebutan itu untuk
menutup kelemahan yang dirasakan oleh mereka.30
Hal tersebut dilakukan dengan
maksud untuk menghalang-halangi lawannya yang menyalahgunakan sebutan
tersebut.
27
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44. 28
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 90. 29
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44. 30
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 91.
24
Mengacu pada awal munculnya nama Mu‘tazilah, maka dapat disimpulkan
bahwa pemberian nama tersebut berasal dari pihak luar, yaitu berasal dari ucapan
Ḥasan al-Baṣrī, bukan dari kaum Mu‘tazilah sendiri.
B. Tokoh-tokoh Aliran Mu‘tazilah
Dari segi geografisnya, aliran Mu‘tazilah dibagi menjadi dua. Yaitu aliran
Mu‘tazilah yang berpusat di kota Basrah sebagai kota kelahirannya, dan aliran
Mu‘tazilah yang berpusat di kota Baghdad yang merupakan ibukota
pemerintahan. Oleh karena itu, berbicara mengenai tokoh-tokoh yang berpengaruh
terhadap aliran Mu‘tazilah harus melihat keduanya. Aliran Mu‘tazilah yang
berpusat di Basrah lebih dahulu muncul dibanding dengan aliran Mu‘tazilah yang
berpusat di Baghdad. Aliran Mu‘tazilah Basrah dianggap sebagai yang pertama-
tama mendirikan aliran Mu‘tazilah, adapun aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih
banyak mengambil persoalan yang telah dibahas oleh aliran Basrah kemudian
diperluas pembahasannya dengan memanfaatkan pendapat para filsuf.31
Aliran
Mu‘tazilah Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan,
sedangkan aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran
Mu‘tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan Khalifahah-Khalifahah.
Tokoh-tokoh besar yang termasuk ke dalam aliran Basrah adalah: Waṣīl
bin ‘Aṭā’ (w. 131 H./ 748 M.), ‘Amr ibn Ubaid (w. 143 H./ 762 M.), Abu Abū al-
Hudzail al-‘Allāf (w. 235 H./ 850 M.), Mu’ammar ibn ‘Abbād (w. 286 H./ 900
M.), Abu Ishāq al-Naẓẓām (w. 220 H./ 835 M.), Abū Utsman al-Jāhidz (w. 252
31
Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar: Mutasyabih al-Qur’ān: Dalih Rasionalitas al-
Qur’ān, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 14.
25
H./ 867 M.), Abū ‘Alī al-Jubbā’ī (w. 299 H./ 912 M.), dan muridnya Abū Ḥasan
al-Asy’arī (w. 322 H./ 935 M.)32
Adapun tokoh-tokoh besar pada aliran Baghdad adalah: Bisyr ibn
Mu’tamir (w. 210 H./ 826 M.), Abū Musá al-Mirdār, Aḥmad ibn Abī Dāwud,
Tsumāmat ibn al-Asyras, Ja’far ibn Ḥarb, Abū Ja’far al-Iskāfi, Isá ibn al-Haitsam,
dan Abū Hussain al-Khayyāṭ. Kemudian pada masa berikutnya, tokoh besar
lainnya yang tak kalah penting adalah Al-Qāḍī Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan al-
Zamakhsyarī.
Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai tokoh-tokoh aliran
Mu‘tazilah:
1. Waṣīl bin ‘Aṭā’ (80-131 H./ 699-748 M.)
Nama lengkapnya adalah Abū Ḥudzaifah Waṣīl bin ‘Aṭā’ al-Ghazzāl al-
Atsagh.33
Ia adalah seorang mawla (bukan-Arab) berketurunan darah Iran yang
lahir di Madinah al Munawwarah dan menetap di Basrah. Di sana lah ia
mendalami agama Islam sejak kecil. Ia lahir pada masa pemerintahan Khalifahah
Abdul Malik ibn Marwan (65-86 H./ 684-705 M.) dari Daulah Umayyah dan
wafat pada masa pemerintahan Khalifahah Marwan II (127-132 H./ 744-750
M.).34
Ia dikenal sebagai pembangun aliran Mu‘tazilah yang mempelopori
perkembangan alam pikiran dalam dunia Islam. Karenanya, ia diberi gelar
kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu‘tazilah wa Qadīmuhā, yang berarti
32
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.16. 33
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: al-Husna Zikra, 1995), cet. VI, h.
69. 34
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
191.
26
pimpinan sekaligus orang tertua dalam Mu‘tazilah.35
Ia adalah salah seorang
murid al-Ḥasan al-Baṣrī. Karyanya yang masih bisa dijumpai sampai sekarang
adalah Rasāil (Himpunan Risalat) di dalam permasalahan Ilāhiyāt dan al-
Siyāsiyāt (Politika) yang menjadi tumpuan pembahasan ahli-ahli ilmu pada
zamannya.36
Para pengikut Waṣīl bin ‘Aṭā’ disebut al-Waṣīliyyah. Orang yang menjadi
pengikut Waṣīl bin ‘Aṭā’ di antaranya adalah ‘Amru ibn Ubaid. Ajaran al-
Waṣīliyyah terdiri dari empat pokok, yaitu:37
Pertama, menolak adanya sifat-sifat Allah seperti Ilmu, Qudrāt, Irādāt,
dan Hayāt. Menurutnya sifat itu tidak ada pada Allah seperti keadaan Allah Maha
Mengetahui dan Maha Kuasa, sifat tersebut sebenarnya adalah zat-Nya, keduanya
adalah istilah bagi zat yang qadim. Kedua, tentang takdir.Allah adalah hakim yang
adil, karenanya tidak mungkin dapat disandarkan kepada-Nya keburukan dan
kezaliman, tidak mungkin Allah menghendaki dari manusia sesuatu yang
bertentangan dengan apa yang diperintah-Nya. Mustahil Allah menyiksa manusia
terhadap perbuatan yang bukan dari manusia sendiri. Karena manusia itulah yang
melakukan perbuatannya sendiri, perbuatan baik maupun buruk.38
Ketiga, tentang manzilataīn (berada antara dua tempat). Waṣīl berpendapat
bahwa orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan juga bukan
kafir. Keempat, tentang orang yang terlibat dalam peperangan Jamal dan Ṣiffīn.
Menurutnya salah satu kelompok jelas berbuat fasik demikian juga berlaku bagi
35
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 36
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
191. 37
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Manusia, Terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), h. 40. 38
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 40.
27
orang yang saling mengutuk (li’an), namun tidak diketahui dengan persis
kelompok yang mana. Karena itu minimal hukuman yang dikenakan kepada
kedua kelompok itu adalah persaksiannya tidak diterima seperti tidak diterima
persaksian dua orang yang saling mengutuk.39
2. ‘Amru ibn Ubaid (90-140 H./ 699-757 M.)
‘Amru ibn Ubaid lahir pada masa pemerintahan Khalifahah Walid I (86-96
H./ 705-715 M.) dari Daulah Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan
Khalifahah al-Manṣūr (136-158 H./ 754-775 M.) dari Daulah ‘Abbāsiyyah. Ia
adalah sahabat Waṣīl Ibn ‘Aṭā’. Bersama Waṣīl ia ikut ber-i’tizal (memisahkan
diri) dari halaqah gurunya, yaitu al-Ḥasan al-Baṣrī.40
Ia juga turut mendalami dan
mengembangkan lima prinsip ajaran Mu‘tazilah. Sehingga bisa dikatakan, bahwa
‘Amr dan Waṣīl adalah pembangun aliran Mu‘tazilah.
3. Abū al-Hudzail al-‘Allāf (135-236 H./ 753-850 M.)
Nama lengkapnya adalah Abū al-Hudzail al-‘Allāf atau Abū Hudzail
Muḥammad ibn Hudzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-‘Allāf.41
Dalam sumber
lain ditulis nama lengkapnya adalah Abū Hudzail Hamdan ibn Hudzail al-‘Allāf.42
Lebih populer dengan sebutan al-‘Allāf karena rumahnya terletak di kampung
penjual makanan ternak (‘alāf: makanan binatang). Ia adalah seorang tokoh
Mu‘tazilah Basrah paling terkemuka pada zamannya. Ia lahir pada masa
pemerintahan Khalifah al-Saffah (132-136 H./ 750-754 M.).43
Ia masih berusia
39
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 42. 40
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
201. 41
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 42
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 42. 43
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
212.
28
lima tahun pada saat ‘Amr ibn Ubaid wafat. Ia pernah belajar kepada ‘Utsmān ibn
Khālid ibn Ṭawīl, salah seorang murid Waṣīl Ibn ‘Aṭā’.
Para pengikutnya disebut al-Hudzailiyyah. Pendukung Abū al-Hudzail di
antaranya adalah Abū Ya’kūb al-Syaham (267 H.) dan al-Adamī. Usia Abū al-
Hudzail diperkirakan mencapai seratus tahun, ia meninggal pada awal
pemerintahan khalifah al-Mutawakkil.44
4. Ibrāhīm al-Naẓẓām (185-221 H./ 801-836 M.)
Nama lengkapnya adalah Ibrāhīm bin Sayyār bin Hānī al-Naẓẓām. Lahir
dan dewasa di Bandar Basrah, oleh karena itu sering disebut al-Nazzhām al-Basri.
Kemudian wafat dalam usianya yang masih sedemikian baya, 36 tahun, pada
tahun 221 H./ 836 M. Ia dikenal sebagai tokoh Mu‘tazilah terkemuka yang
memiliki ketajaman ingatan, tinjauan yang luas, kebebasan berpikir, lancar bicara,
dan banyak mendalami filsafat. Sejarah hidupnya dikuasai oleh dua aspek, yaitu
aspek sastra dan aspek theologi.45
Ia adalah salah seorang murid dari Abū al-
Hudzail al-‘Allāf.
Al-Nazzhām banyak mempelajari buku-buku filsafat karena itu
pendapatnya mirip dengan pendapat Mu‘tazilah, hanya pada beberapa masalah
terdapat perbedaan. Para pengikut al-Nazzhām disebut al-Naẓẓāmiyyah. Di antara
para pengikutnya yaitu Muḥammad bin Syuhaib Abū Syamar, Musá bin ‘Utsmān,
al-Faḍāl al-Hadāī , dan Aḥmad bin Habiṭ.46
44
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 45. 45
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
225. 46
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 50.
29
5. Abū ‘Alī Muḥammad ibn ‘Alī al-Jubbā’ī (135-267 H.)
Nama lengkapnya adalah Abū ‘Alī Muḥammad bin ‘Abd al Wahhāb al-
Jubbā’i. Tokoh aliran Mu‘tazilah Basrah yang lahir di Jubbā, sebuah kota kecil di
Provinsi Chuzestan, Iran pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 267 H. Ia akrab
dipanggil al-Jubbā’i yang dinisbahkan kepada tempat kelahirannya, yaitu Jubbā.
Ia adalah ayah tiri sekaligus guru dari Imam Abū Ḥasan al-‘Asy’arī, tokoh utama
aliran Ahl as-Sunnah wal Jamā’ah.47
Para pengikutnya disebut al-Jubbā’īyyah.
6. Abū Ḥasan al-‘Asy’arī (260-324 H./ 873-935 M.)
Nama lengkapnya adalah Abū al-Ḥasan ‘Alī Ibn Isma’īl al-‘Asy’arī. Lahir
di Basrah pada tahun 260 H./ 873 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H./
935 M. Ia adalah murid dari Abū ‘Alī Muḥammad ibn ‘Alī al-Jubbā’ī. Awalnya ia
adalah seorang tokoh terkemuka dalam aliran Mu‘tazilah. Namun setelah menjadi
pengikut Mu‘tazilah selama 40 tahun, ia keluar dari golongan Mu‘tazilah dan
membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan nama ‘Asy’ariyyah.48
7. Bisyr ibn al-Mu’tamir (w. 226 H./ 840 M.)
Bisyr ibn al-Mu’tamir adalah tokoh pendiri aliran Mu‘tazilah di Baghdad.
Dia termasuk tokoh madzhab Mu‘tazilah yang menganut ajaran tawwalud (gerak
tak langsung) dan sangat fanatik.49
Ia termasuk generasi keempat yaitu termasuk
angkatan Ibrāhīm al-Nazzhām (w. 221 H./836 M.). Saat di Basrah, ia belajar
kepada Abū al-Hudzail al-‘Allāf (w. 236 H./850 M.). Kemudian ia berangkat ke
Baghdad dan menetap di sana. Ia adalah seseorang pembicara yang tangkas,
sehingga ia dikenal sebagai pencipta sebuah cabang ilmu baru, yaitu Ilmu
Balaghah (seni bahasa) yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: ilmu Ma’anī
47
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 92. 48
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 65. 49
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 55.
30
(permasalahan pengertian), Ilmu al-Bayān (permasalahan pengungkapan), dan
Ilmu al-Badī (permasalahan bunyi).
Tiga muridnya yang terbesar dan memiliki peranan penting bagi
perkembangan aliran Mu‘tazilah di Baghdad adalah Abū Musā al-Mudār,
Tsumāmat ibn Asyras, dan Aḥmad ibn Abī Daūd.50
Pengikut Bisyr ibn al-
Mu’tamir disebut al-Bisyariyyah.
8. Abū al-Ḥusaīn al-Khayyāṭ (w. 229 H./ 844 M.)
Nama lengkapnya adalah Abū al-Ḥusaīn bin Abī ‘Amr al-Khaiyyāt.
Seorang tokoh Mu‘tazilah aliran Baghdad yang mengarang buku al-Intişār, yaitu
sebuah buku yang berisi pembelaan untuk aliran Mu‘tazilah terhadap serangan ibn
al-Rawandī.51
Abū al-Ḥusaīn bin Abī ‘Amr al-Khaiyyāt adalah guru dari Abū
Qasim bin Muḥammad al-Ka’bi, yang juga merupakan tokoh Mu‘tazilah aliran
Baghdad.52
Salah satu pemikirannya adalah tentang masalah ma’dum (sesuatu yang
tidak dapat dijangkau melalui indera). Al-Khaiyyāt berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan materi adalah sesuatu yang dapat diketahui atau diberitahukan
adanya, sedangkan jauhar (atom) adalah bagian dari materi yang terdapat pada
sesuatu yang ma’dum (tidak ada). Dan sifat (araḍ) adalah sifat yang ada pada
sesuatu. Hal ini berlaku pada semua genus dan spesies. Katanya hitam adalah
hitam pada yang tidak ada, tidak ada sifat yang maujud atau sifat yang melekat
pada maujud yang baru. Dia menamakan yang ma’dum dengan istilah tsubūt
50
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
267. 51
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 93. 52
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 64.
31
(tetap) yang dikemukakannya untuk menolak adanya sifat Allah seperti yang
dikemukakan oleh rekan-rekannya.53
9. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
Dalam sumber-sumber Mu‘tazilah dikenal dengan nama ‘Imād al-Dīn Abū
al-Ḥasan Qāḍī al-Quḍāh al-Jabbār bin Aḥmad bin Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār al-
Hamażānī.54
Di kalangan Mu‘tazilah jika nama al-Qādhī disebut maka yang
dimaksud tidak lain adalah Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār. Diperkirakan al-Qādhī lahir
pada sekitar tahun 320 H./ 932 M. di Asabadad, sebuah kota kecil yang termasuk
daerah pegunungan Hamażānī di wilayah Khurasān, dan wafat di Ray, Teheran.
Meskipun ia hidup pada masa kemunduran Mu‘tazilah, ia tetap berusaha
mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Mu‘tazilah melalui karya-
karyanya. Di antara karyanya yang cukup populer dan berpengaruh adalah Syarḥ
Uṣūl al-Khamsah dan Al-Mughnī fī Aḥwali Wa al-Tauḥīd, yang berisi tentang
pokok-pokok ajaran aliran Mu‘tazilah dan terdiri dari beberapa jilid.
10. Al-Zamakhsyarī (467-538 H./ 1075-1144 M.)
Nama lengkapnya adalah Jār Allāh Abū al-Qasīm Muḥammad ibn
‘Umar.55
Di dalam sumber yang lain disebutkan bahwa nama lengkapnya adalah
Abū al-Qasīm Maḥmud bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawarizm Jār Allāh. Lahir
pada hari Rabu, 27 Rajab tahun 467 H56
di Zamakhsyar, sebuah perkampungan
besar di kawasan Khawarizmi (Turkistan),57
sebelah selatan lautan Qazwen, Iran.
Sebutan Jār Allāh (tetangga Tuhan) dipakai karena ia telah lama tinggal di sebuah
53
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 65. 54
Machasin, al-Qadi Abd al-Jabbar, h. 9. 55
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 93. 56
Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizalī dalam Tafsir al-Kasysyāf: Kajian Kritis
Metodologi al-Zamakhsyarī, (Yogyakarta: Maghza Vol. 1 No. 1, Januari-Juni, 2016), h. 32. 57
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS. (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 530.
32
rumah dekat Ka’bah yang ada di Makkah. Tokoh yang lebih dikenal dengan
panggilan al-Zamakhsyarī ini telah melahirkan karya tulis monumentalnya yaitu
Tafsīr al-Kasysyāf.58
Adapun yang membedakan antara aliran Mu‘tazilah Basrah dengan aliran
Mu‘tazilah Baghdad diantaranya yaitu:
1. Tokoh-tokoh Mu‘tazilah aliran Basrah lebih cenderung menghindari
amakhsyarjabatan, baik di dalam suatu pemerintahan (al-wizārat) maupun
lembaga peradilan (al-Quddhāt). Sehingga mereka lebih fokus untuk
melakukan penyelidikan dan penelitian pada bidang agama dan keilmuan,
serta lebih leluasa dalam mengemukakan pendapat tanpa harus terikat
dengan kepentingan pemerintah atau pihak lainnya. Sebaliknya, tokoh-
tokoh Mu‘tazilah aliran Baghdad justru menggunakan kesempatan untuk
menduduki jabatan-jabatan tinggi untuk mendapatkan dukungan dan
perlindungan, sekaligus memaksakannya kepada umum.
2. Aliran Mu‘tazilah Basrah dalam pergerakannya tidak bergantung pada
kekuasaan apapun. Para pemukanya menyebarkan paham yang dianutnya
tanpa pemaksaan dan kekerasan, melainkan hanya dengan menunggu
keinsafan dan kesadaran umat untuk mengikutinya. Adapun aliran
Mu‘tazilah Baghdad dalam menyebarkan pahamnya, maka lebih
cenderung memaksa dengan kekuasaan yang dipegangnya. Bahkan para
pengusanya yang sangat ambisius tidak segan untuk melakukan kekerasan
agar masyarakat mengikuti pahamnya.59
58
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 93. 59
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
265.
33
3. Tokoh-tokoh aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih banyak dipengaruhi oleh
filsafat dibandingkan dengan aliran Mu‘tazilah Basrah, sehingga
mempengaruhi pola pikir keduanya ke arah rasional dan liberal.60
Meskipun memiliki karakteristik yang berbeda, secara umum keduanya
tetap menggunakan corak rasional dan liberal dalam memahami serta
memecahkan persoalan-persoalan teologi.
C. Lima Landasan Pokok Aliran Mu‘tazilah
Kaum Mu‘tazilah dalam menetapkan akidah lebih berpegang pada logika,
mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Mereka menghadapkan
semua masalah kepada akal. Mereka menerima apa yang dapat diterima oleh akal,
dan menolak apa yang tidak dapat diterima oleh akal. Mu‘tazilah menggunakan
metode logika murni yang tidak menyimpang dari naṣ al-Qur’an. Pemikiran kaum
Mu‘tazilah juga banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang dianggap memiliki
keserasian dengan pemikiran mereka. Kaum Mu‘tazilah mempelajari filsafat
untuk dijadikan senjata dalam mengalahkan serangan para filosof dan pihak
lainnya.61
Lima ajaran dasar yang menjadi landasan kaum Mu‘tazilah dikenal dengan
nama Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah (lima landasan pokok). Lima ajaran tersebut
diberi urutan sesuai dengan pentingnya kedudukan tiap dasar, yaitu: al-Tauḥīd, al-
‘Adl, Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd, al-Manzilah bain al-Manzilataīn, dan al-‘Amr bi al-
Ma’rūf wa al-Nahī ‘an al-Munkar. Seseorang dianggap sebagai Mu‘tazilī
(pengikut atau penganut Mu‘tazilah) apabila sudah mengakui dan menerima
60
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h. 70. 61
Mawardy Hatta, Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 94.
34
kelima dasar tersebut, tidak hanya sebagian saja.62
Kelima landasan pokok
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Al-Tauḥīd
Al-Tauḥīd (Kemahaesaan Tuhan) adalah dasar ajaran Islam yang pertama
dan yang paling utama yang menjadi ajaran terpenting bagi kaum Mu‘tazilah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mereka selalu menyebut
golongan mereka sendiri sebagai Ahl al-‘Adl wa Ahl al-Tauḥīd, yaitu golongan
yang mempertahankan keadilan dan Keesaan Murni Tuhan.
Tuhan menurut kaum Mu‘tazilah akan benar-benar Maha Esa hanya
apabila Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tiada satupun yang mirip atau
serupa dengan Dia. Oleh karena itu, kaum Mu‘tazilah menolak paham
anthropomorphisme, yaitu menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-
Nya.63
Atau, penggambaran ataupun konsepsi tentang Tuhan, atau tentang
kedewaan, dengan atribut-atribut kemanusiaan (representation or conception of
God, or of a god, with the human attributes).64
Dalam mengesakan Tuhan, kaum Mu‘tazilah juga menolak beatific vicion,
yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.
Satu-satunya sifat Tuhan yang tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah sifat
qadim, yang berarti tidak mempunyai permulaan. Oleh karena itu, tidak ada yang
lain selain dari Allah yang boleh bersifat qadim. Paham ini yang mendorong kaum
Mu‘tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang berdiri
62
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 53. 63
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 54. 64
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
20.
35
sendiri di luar zat Tuhan.65
Apa yang disebut sifat Tuhan menurut Waṣīl bin ‘Aṭā’
bukanlah sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zat Tuhan, tetapi sifat yang
merupakan esensi Tuhan.
Peniadaan sifat-sifat bagi Tuhan oleh kaum Mu‘tazilah bukan berarti
Tuhan tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, tidak mendengar, tidak
melihat, dan lain sebagainya. Akan tetapi bagi mereka, Tuhan tetap Maha
Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan
sebagainya sebagai esensi Tuhan. Mereka memandang sebagian dari sifat-sifat
Tuhan sebagai esensi Tuhan (sifat zatiah), dan sebagian lagi sebagai perbuatan-
perbuatan Tuhan (sifat fi’liah). Dengan tauhid kaum Mu‘tazilah ingin menyucikan
diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk (tanzih).66
Abū Ḥasan al-‘Asy’arī67
di dalam karyanya Maqalāt al-Islāmiyyīn
halaman 155 menjelaskan ke-Esa-an Allah menurut pendirian aliran Mu‘tazilah
sebagai berikut:68
“Allah itu Esa. Tiada satupun yang mirip dengan-Nya. Bukan tubuh dan
bukan bayangan. Bukan materi dan bukan bentuk. Bukan daging dan
bukan darah. Bukan diri dan bukan unsur. Tidak punya warna, rasa, bau,
panas, dingin, kering, basah, panjang, lebar, tinggi. Bukan paduan dan
bukan pisahan. Bukan bergerak dan bukan diam. Bukan terbagi, hingga
tidak punya paroh maupun bagian, tidak punya bagian tubuh maupun
anggota tubuh. Bukan punya jurusan, hingga bukan kanan, kiri, depan,
belakang, atas, bawah. Tidak dilingkung tempat dan tidak dibatasi tempo.
Tidak tertangkap oleh indera manusia. Tidak dapat dibandingkan dengan
manusia. Ia adalah azali dan terdahulu dari segala kebaruan. Ada sebelum
kejadian. Ia senantiasa tahu dan kuasa dan hidup dan tetap senantiasa
begitu. Ia tak dapat disaksikan biji mata dan tak dapat ditangkap oleh
pandangan, dan seterusnya...”
65
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 54. 66
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 55. 67
Awalnya merupakan seorang tokoh terkemuka pada aliran Mu‘tazilah, namun
belakangan ia memisahkan diri dan mendirikan aliran al-Kalām (Asy‘ariyyah), lihat Joesoef
Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h. 28. 68
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
27.
36
Pendirian aliran Mu‘tazilah tentang Al-Tauḥīd (Kemahaesaan Tuhan)
adalah filsafat yang berlandaskan keagamaan. Karena dalam menyusun
pemikirannya mereka tetap berpangkal pada ayat-ayat al-Qur’an. Menurut mereka
ayat-ayat yang mutasyābihāt itu wajib ditakwilkan.69
Dalam persoalan Tauḥīd,
pendapat mereka berpangkal pada Surah al-Ikhlās ayat 1 (Allah itu Esa) dan Surah
al-Syūrá ayat 11 (Tiada satupun yang mirip dengan-Nya).70
2. Al-‘Adl
Ajaran pokok yang kedua adalah al-‘Adl (Keadilan Tuhan). Dalam
pemikiran kalam pengertiannya bergantung pada pandangan tentang apakah
manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat atau tidak,
artinya manusia dalam keadaan terpaksa. Para teolog memiliki pandangan yang
berbeda-beda mengenai hal ini.
Al-Tauḥīd membahas tentang keunikan diri Tuhan, sedangkan al-‘Adl
membahas tentang keunikan perbuatan Tuhan. Dapat dipahami bahwa hubungan
tauhid dengan hakikat ketuhanan dari sisi Dia sebagai dzat mutlak, adapun
hubungan keadilan dengan perbuatan ketuhanan dari sisi hubungan-Nya dengan
manusia. Dengan al-Tauḥīd kaum Mu‘tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari
sifat-sifat makhluk, sedangkan dengan al-‘Adl kaum Mu‘tazilah ingin menyucikan
perbuatan Tuhan dari perbuatan makhluk.71
Aḥmad Hanafi menggambarkan prinsip keadilan Tuhan menurut
Mu‘tazilah sebagai berikut:
“Semua perbuatan Tuhan bersifat adil dan tidak ada satupun perbuatan
Tuhan yang dapat dikatakan salah atau zalim, Tuhan menurut mereka
69
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 39. 70
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
28. 71
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 55.
37
tidak berbuat suatu perbuatan kecuali ada tujuan dan hikmahnya bagi
manusia, sebab perbuatan yang tidak ada tujuannya dan hikmahnya adalah
perbuatan yang ngawur, hal ini sama sekali tidak layak bagi Tuhan. Orang
yang bijak dapat mengambil manfaat perbuatannya untuk dirinya sendiri
atau memberi manfaat kepada orang lain.oleh karena Tuhan tidak perlu
mengambil manfaat untuk diri-Nya sendiri, maka perbuatan-perbuatan-
Nya dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada manusia. Dengan
demikian alam semesta ini berjalan menurut tujuan yang telah ditentukan
Tuhan. Gerakan bintang, pergantian siang dan malam,gunung berapi, dan
bencana alam, semua mempunyai tujuan, yaitu untuk kebaikan manusia di
dunia. Timbulnya berbagai macam keburukan yang tidak dapat diketahui
tujuannya oleh manusia bukan berarti Tuhan menghendaki keburukan-
keburukan tersebut bagi manusia, melainkan disebabkan oleh
ketidakmampuan akal manusia itu sendiri untuk mengetahui tujuan-tujuan
tersebut.”72
Keadilan Tuhan menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār erat hubungannya
dengan hak. Sehingga keadilan diartikan dengan memberi seseorang akan haknya.
Tuhan Maha Adil, berarti bahwa segala perbuatan Tuhan adalah baik, Tuhan tidak
dapat berbuat buruk, dan tidak dapat melupakan kewajiban-kewajiban-Nya
terhadap manusia. Tuhan tidak akan memberi beban yang tidak dapat dipikul
manusia, oleh karena itu Tuhan memberi daya kepada manusia untuk memikul
beban-beban yang diberikan kepadanya, dan memberikan upah atau hukuman atas
perbuatan manusia. Tuhan wajib memberikan pahala bagi pelaku perbuatan baik,
dan wajib pula memberikan hukuman bagi pelaku perbuatan buruk. Tuhan
bersifat Maha Sempurna, oleh karena itu hanya Tuhan yang berbuat adil, Tuhan
tidak bisa berbuat zalim dalam memberi hukuman. Wajib bagi Tuhan
mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Keadilan
menghendaki Tuhan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap
manusia.73
72
Ahmad Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), h. 143. 73
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 125.
38
Keadilan Tuhan erat kaitannya dengan permasalahan Kodrat Ilahi.
Berkaitan dengan hal ini, Aliran Mu‘tazilah berpendirian: “Tidak semua gerak
laku manusia itu diciptakan Ilahi!.” Dr. Ahmad Amin dalam Ḍuhaul Islami Jilid
III Cetakan 1964 halaman 53-54 mengemukakan beberapa alaspikiran aliran
Mu‘tazilah, di antaranya yaitu:74
“Jika manusia itu bukan menciptakan sendiri setiap gerak-gerak sadar
niscaya gugur al-Taklīf (tanggung jawab) atas dirinya. Jika ia sendiri tidak
memiliki kekuasaan untuk berbuat dan tidak berbuat niscaya tidaklah
tertelan oleh akal bahwa kepadanya dijatuhkan perintah: Buat! atau
Jangan Buat!. Kemudian, jika ia sendiri tidak memiliki kekuasaan apapun
atas gerak-lakunya, niscaya terhadap dirinya tidaklah dapat dikenakan
pujian, celaan, pahala, siksa. Sehingga niscaya pengutusan seseorang Nabi
maupun Rasul tidak akan ada gunanya.”
Sejalan dengan alaspikiran itu, aliran Mu‘tazilah berpendirian bahwa: (1)
Allah mengarahkan makhluk-Nya kepada suatu tujuan dan berkehendakkan
kebajikan senantiasa bagi makhluk-Nya. (2) Allah tidak berkehendak kejahatan,
jangankan memerintahkannya. (3) Allah tidak menciptakan gerak-laku hamba-
Nya, yang baik maupun yang jahat. Kemauan manusia adalah bebas hingga
manusia itu sendiri yang menciptakan gerak-lakunya, sehingga mereka
bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.75
Alaspikiran berdasarkan akal tersebut diperkuat dengan alaspikiran
berdasarkan Nash yang dapat dijumpai dalam al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”76
Di dalam surat yang lain disebutkan:
74
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
83. 75
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
63. 76
Q.S. Al-Ra‘du: 11.
39
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”77
Aliran Mu‘tazilah berpegang pada prinsip bebas pada manusia hingga
setiap gerak-sadar (harkat-ikhtiariat) yang dilakukannya adalah ciptaan kodratnya
sendiri, bukan langsung ciptaan kodrat Ilahi. Sebab kemauan bebas yang
dimilikinya itulah manusia dibebani al-Taklīf (tanggung jawab) atas setiap gerak-
laku dan sikap hidup. Di situlah terletak dan tercermin Keadilan Ilahi atas setiap
imbalan jasa dan dosa yang diperbuat manusia.78
3. Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd
Ajaran dasar yang ketiga adalah Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd (janji dan
ancaman). Ajaran ini memiliki hubungan dengan ajaran yang kedua. Tuhan
disebut adil karena Dia menjanjikan pahala kepada orang yang berbuat baik (taat).
Adapun sebaliknya, Tuhan mengancam orang yang berbuat buruk (maksiat)
dengan siksaan.79
Janji dan ancaman Tuhan bersifat pasti, Tuhan mustahil
mengingkari janji-Nya.
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār berpendapat bahwa ancaman dan siksa yang
ditetapkan Tuhan bagi orang yang berbuat buruk adalah benar, dan harus
dilaksanakan. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar dan tidak
bertaubat akan masuk dan menetap di dalam neraka untuk selama-lamanya. Di
dalam Q.S. An-Nisā ayat 14 terdapat ungkapan mengenai hal ini:
77
Q.S. An-Nisā’: 123. 78
Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
85. 79
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 56.
40
“Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.”80
Ayat ini menjelaskan tentang kewarisan. Setelah menjelaskan rincian
bagian-bagian untuk masing-masing ahli waris (pada ayat-ayat sebelumnya),
Allah memberi dorongan, peringatan, serta janji dan ancaman dengan menegaskan
bahwa bagian-bagian yang ditetapkan di atas, itu adalah batas-batas Allah yakni
ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak boleh dilanggar. Siapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan mengindahkan batas-batas itu dan ketentuan-ketentuan-Nya
yang lain, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah
keberuntungan yang besar (ayat 13). Bukan keberuntungan yang semu atau
sementara seperti kemegahan duniawi. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan
rasul-rasul-Nya dengan mempersekutukan-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia
kekal di dalamnya, dan yang mendurhakai Allah tapi tidak mempersekutukan,
maka baginya siksa yang menghinakan, setimpal dengan sikap mereka
melecehkan ketentuan Allah dan meremehkan orang-orang yang mereka halangi
hak-haknya.81
80
Q.S. An-Nisā: 14 81
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Vol. 2,
(Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h. 350.
41
Adapun janji pemberian pahala bagi orang yang taat juga merupakan
sebuah kepastian yang tidak dapat diingkari. Dalam teks yang lain:
“Sesungguhnya Al-Qurān ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mukmin
yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang
besar.”82
Allah menganugerahkan manusia potensi untuk taat dan durhaka, dan
masing-masing akan memperoleh sesuai pilihannya. Jika baik maka kebaikannya
untuk pelakunya sendiri, dan jika buruk pun demikian. Ayat ini berfungsi sebagai
pelepasan kecemasan melalui pernyataannya bahwa kitab suci ini memberi
petunjuk yang lebih lurus dari kitab Banī Isrā’īl83
, selanjutnya pada ayat ini juga
disebutkan berita gembira bagi orang-orang beriman.
Kaum Mu‘tazilah sependapat apabila seorang mukmin meninggal dalam
keadaan berbuat taat dan bertobat ia memperoleh ganjaran pahala karena yang
dimaksud dengan hari akhirat ialah hari menerima ganjaran. Dan apabila seorang
yang meninggal tidak bertobat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, ia akan
kekal di dalam neraka, namun siksaannya lebih ringan dari siksaan orang yang
kafir. Di dalam Mu‘tazilah masalah ini disebut Al-Wa‘d wa al-Wa‘īd.84
82
Q.S. Al-Isrā’: 9 83
Dikisahkan pada ayat-ayat sebelumnya tentang turunnya kitab suci kepada Nabi Mūsá,
untuk menjadi petunjuk bagi Banī Isrā’īl, akan tetapi mereka tidak mengindahkannya sehingga
terjadi bencana atas mereka sebagaimana digambarkan ayat-ayat sebelumnya, maka hal ini tentu
saja menjadi peringatan bagi umat Islam sekaligus menimbulkan kecemasan bagi umat Nabi
Muḥammad Saw. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-
Qur’ān, Vol. 7, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h. 418. 84
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 39.
42
4. Al-Manzilah bain al-Manzilataīn
Al-Manzilah bain al-Manzilataīn (posisi diantara dua posisi) adalah
landasan keempat yang merupakan ciri khas kaum Mu‘tazilah. Mereka
berpendapat bahwa posisi orang yang berbuat dosa besar berada di tengah-tengah
antara orang kafir dan mukmin. Ajaran keempat ini erat hubungannya dengan
keadilan Tuhan. Pelaku dosa besar dalam pandangan Mu‘tazilah tidak bisa disebut
kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muḥammad. Tetapi tidak
juga disebut mukmin karena imannya tidak lagi sempurna.85
Iman dalam pandangan Mu‘tazilah tidak cukup hanya melalui pengakuan
(hati) dan ucapan (lisan) saja, tetapi juga harus dibuktikan dengan perbuatan-
perbuatan. Oleh karena itu, seorang pelaku dosa besar tidak bisa disebut beriman,
ia tidak bisa masuk Surga dan tidak mesti pula masuk Neraka. Mereka seharusnya
ditempatkan di luar surga dan neraka. Akan tetapi karena di akhirat tidak ada
tempat selain surga dan neraka, maka pelaku dosa besar harus dimasukkan ke
dalam salah satu tempat ini. Oleh karena itu, pelaku dosa besar dimasukkan ke
neraka, tetapi dengan siksaan yang lebih ringan dari orang kafir. Hal ini
menunjukkan bahwa ajaran Al-Manzilah bain al-Manzilataīn dalam paham
Mu‘tazilah merupakan suatu keadilan.86
Sejarah telah nenunjukkan bahwa landasan keempat ini merupakan ciri
kaum Mu‘tazilah. Mereka menganggap bahwa pelaku dosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mereka berada pada keadaan di antara dua
keadaan (antara kafir dan mukmin). Waṣīl bin ‘Aṭā’ mengatakan:
“Sesungguhnya iman adalah sifat kebaikan jika terkumpul dinamai orang
mukmin, berarti nama pujian. Adapun fasik tidak terkumpul padanya sifat-
85
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 56. 86
Harun Nasution, Teologi Islam, h.57.
43
sifat kebaikan dan tidak berhak menyandang nama pujian maka tidak
dinamakan mukmin, namun juga tidak kafir. Karena persaksian dan
seluruh amal-amal kebaikan ada di dalamnya tidak ada sisi (alasan) untuk
mengingkarinya. Pelaku dosa besar menyerupai orang mukmin dalam
aqidahnya dan tidak menyerupainya dalam perbuatannya, dan menyerupai
orang kafir dalam perbuatannya dan tidak menyerupainya dalam
perbuatannya (maksudnya adalah aqidahnya, maka dia berada pada
keadaan di antara dua keadaan.”
Waṣīl bin ‘Aṭā’ berpendapat bahwa Pelaku dosa besar jika mati sebelum
bertaubat maka ia termasuk ahli neraka, ia kekal di dalamnya. Kelompok di
akhirat hanya ada dua, yaitu: sekelompok di surga dan sekelompok lainnya di
neraka. Akan tetapi azab mereka diringankan dan tingkatan mereka di atas
tingkatan orang-orang kafir.87
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār berpendapat seorang yang berbuat dosa besar
disebut fasik karena melihat bahwa Syariat Islam memposisikan mukallaf dalam
dua kategori. Pertama, mukallaf yang berhak menerima pahala yang terdiri
daridua kelompok; penerima pahala yang besar (al-Ṭawāb al-‘Aḍīm), baik dari
kalangan malaikat maupun manusia seperti para Nabi, dan penerima pahala yang
berada di bawah kelompok pertama, yaitu para mukmin yang bertaqwa dan
beramal ṣālih. Kedua, mukallaf yang menerima siksa dari Allah yang juga terdiri
dari dua kelompok; penerima siksaan berat (al-Iqāb al-‘Aḍīm) yaitu orang-orang
kafir (Munafik, Murtad, Yahudi, Majusi), dan penerima siksaan di bawah
kelompok mereka yaitu fasik.88
87
Ermita Zakiyah, Aspek Paham Mu‘tazilah dalam Tafsir Al-Kasyāf tentang Ayat-ayat
Teologi: Studi Pemikiran Al-Zamakhsharī, (Tesis Program Studi Tafsir Hadits: IAIN Sunan
Ampel, 2013), h. 50. 88
Ermita Zakiyah, Aspek Paham Mu‘tazilah dalam Tafsir Al-Kasyāf tentang Ayat-ayat
Teologi, h. 52.
44
5. Al-Amr bi al-Ma’rūf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar
Landasan pokok aliran Mu‘tazilah yang terakhir yaitu Al-Amr bi al-Ma’rūf
wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (perintah berbuat baik dan melarang berbuat jahat).
Ajaran ini diungkapkan di dalam al-Qur’an:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rūf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”89
Ma‘rūf berarti segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah,
sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Dalam sebuah tafsir dijelaskan, kalaulah tidak semua anggota masyarakat
dapat melaksanakan fungsi dakwah, maka hendaklah ada di antara kamu – wahai
orang-orang yang beriman – segolongan umat yakni kelompok yang pandangan
mengarah kepadanya untuk diteladani dan didengar nasehatnya, yang mengajak
orang lain secara terus menerus tanpa bosan dan lelah kepada kebajikan yakni
petunjuk-petunjuk Ilahī, menyuruh masyarakat kepada yang ma‘rūf yakni nilai-
nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat mereka, selama hal
itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilāhiyah, dan mencegah mereka dari
yang munkar, yakni yang dinilai buruk dan diingkari oleh akal sehat masyarakat.
Mereka yang mengindahkan tuntunan ini dan yang sungguh tinggi lagi jauh
89
Q.S. Āli Imrān: 104
45
martabat kedudukannya, itulah orang-orang yang beruntung, mendapatkan apa
yang mereka dambakan dalam kehidupan dunia dan akhirat.90
Ajaran kelima ini dianggap sebagai kewajiban bukan hanya bagi kaum
Mu‘tazilah, tetapi juga oleh seluruh golongan umat Islam lainnya. Yang
membedakan antar golongan tersebut adalah tentang pelaksanaannya. Apakah
perintah dan larangan tersebut cukup dijalankan dengan penjelasan dan seruan
saja, atau perlu juga diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan? Kaum Khawārij
memandang bahwa untuk melaksanakan kewajiban tersebut perlu menggunakan
kekerasan. Sedangkan kaum Mu‘tazilah berpendapat bahwa cukup dengan seruan,
tetapi jika perlu dengan kekerasan. Sejarah mencatat bahwa mereka pernah
menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.91
Mereka tidak
segan-segan menggunakan kekerasan terhadap golongan lain bahkan golongan
Islam sendiri yang dianggap menyeleweng. Menurut kaum Mu‘tazilah orang yang
dianggap menyalahi pendirian mereka adalah sesat dan harus dibenarkan.92
90
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Vol. 2,
(Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002), h.162. 91
Harun Nasution, Teologi Islam, h.57. 92
Ahmad Hanafi, Theologi Islam, h. 45.
46
BAB III
BIOGRAFI AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR
A. Riwayat Hidup
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dalam sumber-sumber Mu‘tazilah dikenal dengan
nama ‘Imād al-Dīn Abū al-Ḥasan Qāḍī al-Quḍāh al-Jabbār bin Aḥmad bin ‘Abd
al-Jabbār al-Hamaẓānī.1 Ada juga yang mengatakan bahwa nama lengkapnya
adalah ‘Abd al-Jabbār bin Aḥmad bin al-Ḵalīl bin ‘Abd Allāh Abū al-Ḥasan al-
Hamazānī al-Asadābādī atau ‘Abd al-Jabbār bin Aḥmad bin al-Ḵalīl bin ‘Abd
Allāh saja.2 Tidak ada kesepakatan mengenai nama lengkapnya. Di kalangan
Mu‘tazilah jika nama al-Qāḍī disebut maka yang dimaksud tidak lain adalah Al-
Qāḍī ‘Abd al-Jabbār.
Diperkirakan al-Qāḍī lahir pada sekitar tahun 320 H./ 932 M. Tidak ada
juga keterangan yang pasti mengenai tahun kelahirannya. Perkiraan tersebut
didasarkan pada keterangan yang mengatakan bahwa ia meninggal pada tahun 415
H./ 1025 M. di usianya yang sudah lebih dari 90 tahun. Keterangan yang lain juga
menyebutkan bahwa ia mengaku sudah belajar hadis dari Muḥammad bin Aḥmad
bin ‘Umar al-Zi’baqī, seorang ulama hadis dari Basrah yang meninggal pada
tahun 333 H. Diperkirakan ia meninggal pada usia 95 Qamariyah atau 93
Syamsiyah.3
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār lahir di Asabadad, sebuah kota kecil yang
termasuk daerah pegunungan Hamażānī di wilayah Khurasān. Oleh karena itu, ia
1 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 9. 2 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:
Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, Disertasi S3 Program Studi Ilmu Agama Islam
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, (IAIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 1994), h. 11. 3 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 10.
47
dinisbahi dengan al-Hamaẓānī dan al-Asadābādī. Al-Qāḍī mempunyai semangat
yang cukup tinggi meskipun ia lahir dari keluarga yang miskin. Machasin dalam
bukunya menyebutkan tidak kurang dari sepuluh nama guru Al-Qāḍī ‘Abd al-
Jabbār. Al-Qāḍī memulai pendidikan pertamanya di kota kelahirannya, kemudian
ia juga belajar di Qazwin, sebuah kota kecil yang terletak di dekat kota Asadabad.
Beberapa gurunya adalah seorang penghafal Hadis, al-Zubair bin ‘Abd al-Wāḥid
(w. 347 H./ 958 M.) dan Abū al-Ḥasan bin Salmah al-Qaṭṭān (w. 345 H./ 956
M.).4
Al-Qāḍī kemudian belajar ke Hamażān yang merupakan kota terbesar di
wilayah itu. Di sana ia belajar kepada beberapa gurunya, diantaranya adalah Abū
Muḥammad ‘Abd al-Raḥmān bin Ḥamdān al-Jallāb dan Abū Bakar Muḥammad
bin Zakariyyā. Keduanya adalah seorang ahli hadis. Setelah itu, ia melanjutkan
belajarnya ke Isfahan. Sejauh ini diketahui bahwa dalam bidang fiqih Al-Qāḍī
menganut mazhab Syafi’ī, sedangkan dalam bidang akidah ia menganut mazhab
Asy’arī.5
Sekitar tahun 346 H./ 957 M. al-Qāḍī pergi ke Basrah. Saat itu Basrah
merupakan salah satu pusat pengkajian keislaman yang besar, dengan aliran
Mu‘tazilah yang cukup dominan. Di situlah al-Qāḍī berpindah mazhab dari
Asy’arī ke I‘tizal. Pergantian madzhab ini turut dipengaruhi oleh kedekatannya
dengan gurunya yang bernama Abū Isḥāq ‘Alī bin ‘Ayyāsy, seorang murid
sekaligus penerus tokoh Mu‘tazilah aliran Basrah yang cukup terkenal, yaitu Abū
Hāsyim ‘Abd al-Salām bin Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb Muḥammad al-
4 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 11. 5 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 11.
48
Jubbā’ī.6 Setelah itu, al-Qāḍī pergi ke Baghdad untuk belajar kepada Abū ‘Abd
Allāh al-Baṣrī, salah seorang murid Abū Hāsyim. Ia adalah tokoh Mu‘tazilah yang
digelari al-Mursyid dan terkenal dengan kezuhudannya.7
Al-Qāḍī meninggalkan Baghdad pada permulaan tahun 360 H dan menuju
Rāmahurmuz, Khuziztan. Di kota kecil yang menjadi salah satu kubu Mu‘tazilah
ini ia mengajar di masjid Abū Muḥammad al-Rāmahurmuzi. Ia juga mulai
mendiktekan bukunya yang terbesar yaitu al-Mugnī fī Abwāb al-Tauhīd wa al-
‘Adl.8
Setelah sekitar lima tahun, ia diangkat menjadi Qādhī al-Qudhāh oleh
wazir Bani Buwaih di Rayy, yaitu al-Sāḥib Ibn ‘Abbās.9 Dengan jabatan tersebut
ia berhak mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim di wilayahnya.
Awalnya, wilayah kekuasaannya adalah Rayy, Qazwin, Suhraward, Qum, Sāwah,
dan sekitarnya. Kemudian wilayah tersebut diperluas sehingga mencakup Jurjān,
Tabristān, dan sekitarnya. Ia tetap memegang jabatannya sampai diberhentikan
oleh Fakhr al-Daulah,10
tidak lama setelah Ibn ‘Abbād meninggal.
6 Putera Abū ‘Alī Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb Muḥammad al-Jubbā’i, tokoh
Mu‘tazilah paling utama pada generasi kedelapan. Lihat Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār:
Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an, h. 11. 7 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 11. 8 Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 12. 9 Yaitu Abū al-Qāsim Ismā’il bin ‘Abbād bin al-‘Abbās bin ‘Abbād bin Aḥmad bin
Idrīs,seorang wazir dan sastrawan. Lahir di Istakhr pada tahun 326 H./ 938 M. dan wafat di Rayy
pada 385 H./ 995 M. Lihat Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih
Rasionalitas al-Qur’an, h. 13. 10
Yaitu Abū al-Ḥasan ‘Alī bin al-Ḥasan, putera ketiga dari Rukn al-Daulah al-Buwaihī
(pendiri Daulah Buwaihī di Iran Tengah). Lahir pada tahun 341 H./ 952 M. dan wafat pada tahun
387 H./ 997 M. Lihat Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih
Rasionalitas al-Qur’an, h. 13.
49
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār tinggal di Rayy dalam waktu yang cukup lama. Ia
menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mendiktekan bukunya sampai
meninggal dunia pada tahun 415 H./1025 M.11
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa perpindahan madzhab Al-
Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, yaitu dari aliran Asy’ariyyah ke aliran Mu‘tazilah
kemungkinan besar disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
berpindah ke Basrah sekitar tahun 346 H./ 957 M, saat itu kondisi Basrah cukup
didominasi oleh aliran Mu‘tazilah. Mengingat aliran Mu‘tazilah pertama kali lahir
di Basrah. Setelah pada tahun 827 M. al-Ma’mun mengakui aliran Mu‘tazilah
sebagai madzhab resmi yang dianut negara. Agama raja adalah agama rakyat.
Dengan begitu, para penguasa dengan leluasa dapat menggunakan kekuasaannya
untuk memaksa orang-orang agar memakai prinsip-prinsip yang dianutnya.
Kedua, karena kedekatannya dengan gurunya yaitu Abū Isḥāq ‘Alī bin ‘Ayyāsy,
seorang murid sekaligus penerus tokoh Mu‘tazilah aliran Basrah yang cukup
terkenal, yaitu Abū Hāsyim ‘Abd al-Salām bin Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb
Muḥammad al-Jubbā’ī.
B. Kedudukannya dalam Sejarah Aliran Mu‘tazilah
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār merupakan tokoh yang sangat penting dalam
sejarah Mu‘tazilah dengan pemikirannya yang dituangkan dalam karya-karyanya.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Mu‘tazilah adalah sebuah
aliran yang lahir di Basrah dengan tokoh utamanya yaitu Waṣīl bin ‘Aṭā’ dan
‘Amr ibn ‘Ubaid.12
11
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 13. 12
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 14.
50
Dalam perkembangannya, aliran ini terbagi menjadi dua cabang besar
yang dikenal dengan Mu‘tazilah aliran Basrah dan Mu‘tazilah aliran Baghdad.
Kedua cabang dari aliran Mu‘tazilah ini memiliki fokus perhatian yang berbeda.
Aliran Mu‘tazilah yang berpusat di Basrah lebih banyak menaruh perhatian pada
pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Tokoh utama aliran
Mu‘tazilah cabang Basrah adalah Abū al-Hudzail al-‘Allāf. Adapun aliran
Mu‘tazilah yang berpusat di Baghdad dengan tokoh utama Bisyr bin al-Mu’tamir
lebih menaruh perhatian pada penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip
kepercayaan tersebut dengan memanfaatkan hubungan yang dekat dengan
kekuasaan khalifah ‘Abbāsiyah. Aliran Mu‘tazilah Baghdad lebih memperluas
persoalan yang sudah pernah dibahas oleh aliran Basrah. Aliran ini juga lebih
banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno.13
Aliran Mu‘tazilah cukup berkembang di bidang teori berkat jasa besar
khalifah al-Ma’mun yang mendirikan Baīt al-Ḥikmah untuk penerjemahan karya-
karya filsafat Yunani kuno.14
Al-Ma’mun menggunakan kekuasaannya untuk
memaksa orang-orang agar memakai prinsip-prinsip aliran Mu‘tazilah. Pada akhir
masa pemerintahannya ia melaksanakan miḥnah, yaitu pengujian atas para hakim,
apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran
Mu‘tazilah. Bagi mereka yang tidak percaya bahwa al-Qur’an diciptakan dan
mempercayai akan kekadimannya akan dipecat. Karena bagi kaum Mu‘tazilah
tidak ada yang qādim selain Allah. Kepercayaan terhadap adanya yang qādim
selain Allah adalah syirik. Seorang hakim mestilah bebas dari syirik. Kepercayaan
13
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:
Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 17. 14
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 14.
51
ini kemudian muncul ke ruang politik sehingga pada akhirnya diberlakukan tidak
hanya untuk para hakim, tetapi juga untuk para saksi di pengadilan dan juga para
pemimpin masyarakat.15
Kebijaksanaan tersebut kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu al-
Mu’taṣim (218 H./ 833 M. – 227 H./ 847 M.) dan lebih keras lagi oleh al-Wātsiq
(227 H./ 842 M. – 232 H./ 847 M.) Aḥmad bin Abī Du’ād adalah salah seorang
tokoh besar Mu‘tazilah aliran Baghdad yang memiliki peran yang cukup besar
dalam melaksanakan miḥnah ini. Ia adalah teman dekat al-Ma’mūn, pada tahun
217 ia memegang jabatan Qaḍī al-Quḍāh, menggantikan Yaḥyā bin Aktsam.
Jabatan tersebut ia pegang pada masa al-Mu’taṣim dan al-Wātsiq. Jatuhnya aliran
Mu‘tazilah ditandai dengan meninggalnya al-Wātsiq, yang kemudian digantikan
oleh al-Mutawakkil (232 H./ 847 M- 247 H./ 861 M.).16
Pada masa pemerintahannya, al-Mutawakkil menghentikan pelaksanaan
miḥnah dan tidak lagi menggunakan prinsip-prinsip aliran Mu‘tazilah sebagai
prinsip pemerintah. Ia menganggap bahwa pelaksanaan miḥnah telah membuat
para ahl al-Ḥadis, kaum ahli fiqih, dan kaum Syi’ah Rafiḍah menderita. Keadaan
ini mendorong Abū ‘Alī al-Jubbā’ī dan puteranya, Abū Hāsyim untuk melakukan
konsolidasi kekuatan Mu‘tazilah. Dalam keadaan sulit seperti ini, sudah pasti
hanya aliran Basrah yang dapat bertahan. Sedangkan aliran Baghdad tidak bisa
lagi bertahan karena kekuasaan tidak lagi akrab dengn mereka.17
15
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 15. 16
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:
Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 19. 17
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 16.
52
Setelah mereka berdua berhasil melakukan konsolidasi, Abū Ḥasan al-
Asy’arī (269 H./ 873 M. – 324 H./ 935 M.) justru muncul sebagai musuh besar
aliran Mu‘tazilah. Sebelumnya ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam aliran
Mu‘tazilah. Namun setelah menjadi pengikut Mu‘tazilah selama 40 tahun, ia
keluar dari golongan Mu‘tazilah dan mendirikan aliran ‘Asy’ariyyah.18
Sejak saat
itu, aliran Mu‘tazilah sempat menghilang dalam waktu yang cukup lama.
Pada abad keempat Hijriyah, dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran
Mu‘tazilah bangkit kembali khususnya di Persia. Dengan bergandengan tangan
dengan kaum Syi’ah, banyak pemikir Mu‘tazilah dari aliran Basrah yang muncul.
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah tokoh Mu‘tazilah yang terbesar pada periode
kebangkitan kedua. Ia merupakan penerus aliran Basrah setelah Abū ‘Alī al-
Jubbā’ī dan Abū Hāsyim. Meskipun namanya tidak sebesar tokoh-tokoh
sebelumnya seperti Abū al-Hudzail bin al-‘Allāf, al-Jāḥiẓ, al-Naẓẓām, dan Bisyr
bin al-Mu’tamir, Al-Qāḍī sangat berjasa dalam memberikan pengetahuan yang
lengkap tentang Mu‘tazilah melalui karya-karyanya.19
Pemikiran Al-Qāḍī dalam buku-bukunya dianggap tidak lain adalah
pemikiran-pemikiran guru-gurunya. Tetapi, karena pemikiran guru-gurunya tidak
ada yang sampai kepada kita, kedudukan Al-Qāḍī menjadi sangat penting dalam
menyampaikan pemikiran-pemikiran tersebut. Murid-muridnya tidak ada yang
melebihinya baik dalam kemasyhuran maupun dalam kemampuan merumuskan
teologi Mu‘tazilah. Tetapi karya-karyanya tidak dapat dilupakan dalam sejarah
18
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, h.
65. 19
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 17.
53
aliran Mu‘tazilah, karena buku-buku mereka masih bisa kita baca sampai
sekarang.20
Di antara murid-muridnya tersebut yaitu Abū Rāsyid Sa’īd bin
Muḥammad al-Nīsābūrī. Ia adalah penerus kepemimpinan Mu‘tazilah di Rayy
setelah Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār meninggal yang semula menganut aliran Baghdad.
Tetapi ia kemudian menganut aliran Basrah setelah berguru kepada Al-Qāḍī. Ia
diperkirakan lahir pada sekitar pertengahan abad keempat Hijriah di Nisapur dan
meninggal setelah tahun 415 H. (Tahun meninggalnya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār).
Beberapa karyanya adalah Ziyādat al-Syarh, al-Masā’il fī al-Khilāf bain al-
Baṣriyyīn wa al-Bagdādiyyīn, dan fragmen dari Dīwān al-Uṣūl.21
Muridnya yang lain yaitu Abū Muḥammad al-Ḥasan bin Aḥmad bin
Mattawaih (w. 469 H./1076 M.). Beberapa karyanya yang sampai kepada kita
adalah al-Tadzkirat fī Laṭīf al-Kalām. Selain itu, ia juga mengumpulkan apa yang
didiktekan oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dalam satu buku yang disebut al-Majmū’
fī al-Muḥiṭ bi al-Taklīf atau al-Muḥiṭ bi al-Taklīf saja.
Masih banyak lagi murid-muridnya yang lain, jumlahnya diperkirakan
lebih dari 30 orang. Ibn al-Murtadha dalam kitabnya yang berjudul Thabaqāt al-
Mu‘tazilah, menempatkan mereka pada generasi kesebelas dan keduabelas
(terakhir) pada aliran Mu‘tazilah.22
20
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:
Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 21. 21
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 18. 22
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 18.
54
C. Karya-karya
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār telah melahirkan banyak tulisan dalam berbagai
bidang dari ilmu Kalām, Fiqih, Tafsīr, dan Hadis sampai cara berdebat dan
berbagai nasehat. Al-Ḥakīm al-Jusyamī dalam bukunya yang berjudul Syarḥ
‘Uyūn al-Masā’il menyatakan bahwa Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār telah menghasilkan
tulisan yang tidak kurang dari 400.000 lembar. Namun, sebagian besar tulisan itu
telah hilang. Hanya sedikit yang sampai kepada kita, dan lebih sedikit lagi yang
dapat kita baca sekarang baik secara utuh maupun sebagian.23
‘Abd al-Karīm ‘Utsmān dalam kata pengantar yang ditulisnya untuk buku
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār yang berjudul Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah (h. 20-23)
mengumpulkan 59 judul buku Al-Qāḍī yang didapatinya tersebut dalam berbagai
buku karya orang lain. Dalam buku lain, ia menambahkan lagi buku-buku lain
dari karya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār sehingga jumlahnya menjadi 69 buah. Buku-
buku tersebut ia rincikan sebagai berikut: ilmu al-Qur’an, 2 judul buku dalam
bidang Hadis dan sejarah Nabi Muḥammad Saw, 2 judul buku dalam serba-serbi
nasehat, 6 judul buku dalam uṣūl al-fiqh, 1 judul buku dalam bidang fiqih mazhab
Syafi’ī, 2 judul buku dalam bidang bidang perbedaan paham dan cara berdebat, 1
judul buku biografi tokoh Mu‘tazilah, 45 judul buku dalam bidang ilmu Kalām
dan Uṣūl al-Dīn, dan 5 judul buku dalam bidang-bidang lain.24
Dari jumlah tersebut, sembilan judul buku sudah diterbitkan baik secara
utuh maupun sebagian, sedangkan empat judul buku ditemukan dalam bentuk
23
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 19. 24
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:
Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 25.
55
manuskrip yang tersimpan di Vatikan dan British Museum. Empat naskah tersebut
yaitu:25
1. Amālin fī al-Ḥadīs atau Naẓm al-Fawā’id wa Taqrīb al-Murād lil Rā’id.
Naskah ini terdapat di Vatikan dengan nomor 1177 dan di British Museum
dengan nomor 577.
2. Al-Ikhtilāf fī Uṣūl al-Fiqh, naskah ini terdapat di Vatikan dengan nomor 1100.
3. Al-Khilāf bain al-Syaikhain Abī ‘Alī wa Abī Hāsyim, naskah ini terdapat di
Vatikan dengan nomor 1100.
4. Mas’alatun fī al-Ghaibah, naskah ini terdapat di Vatikan dengan nomor 1028.
Adapun buku-buku Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār yang sudah diterbitkan
diantaranya yaitu:26
1. Al-Mughnī fī Abwāb al-Tauḥīd wa al-‘Adl. Buku ini ditulis oleh Al-Qāḍī ‘Abd
al-Jabbār selama dua puluh tahun (360-380 H.)27
. terdiri dari 20 bagian yang
membahas tentang ajaran Mu‘tazilah yang terpenting yaitu Keesaan Allah (al-
Tauḥīd) dan Keadilan Allah (al-‘Adl). Kedua pokok tersebut dibahas Al-Qāḍī
secara lebih mendalam dan luas dibanding dengan tiga ajaran pokok lainnya:
al-Wa’d wa al-Wa’īd (Janji dan Ancaman Allah), al-Manzilah bain al-
Manzilataīn (Suatu tempat di antara dua tempat, atau antara Surga dan
Neraka), dan al-‘Amr bi al-Ma’rūf wa al-Nahī ‘an al-Munkar (Mengajak
kepada perbuatan baik dan mencegah perbuatan yang tidak baik). Ketiga
pokok ini dimasukkan ke dalam judul kumpulan yang membahas wahyu.
25
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 20. 26
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 20. 27
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 25.
56
2. Faḍl al-I‘tizāl wa Ṭabaqāt al- Mu‘tazilat wa Mubāyanatuhum li Sā’ir al-
Mukhālifīn. Merupakan sebuah buku pengantar umum bagi paham Mu‘tazilah
yang berisi beberapa penjelasan mengenai beberapa ajarannya dan
kesalahpahaman lawan-lawannya. Buku ini juga berisi tentang biografi tokoh-
tokoh Mu‘tazilah yang dimulai dari generasi pertama, yaitu para sahabat Nabi
Muḥammad Saw. sampai generasi kesepuluh, yaitu generasi sebelum Al-Qāḍī
‘Abd al-Jabbār itu sendiri.
Buku ini diterbitkan dalam bentuk satu buku yang mengumpulkan dua karya
orang lain, yakni bab “Zikr al- Mu‘tazilah” dari buku Maqālāt al-Islāmiyyīn,
karya Abū al-Qāsim al-Balkhī dan bagian yang berisi biografi generasi
kesebelas dan keduabelas dari Mu‘tazilah yang diambil dari buku Syarḥ ‘Uyūn
al-Masā’il, karya al-Hākim al-Jusyamī. Buku ini diterbitkan pada tahun 1974
oleh al-Dār al-Tūnisiyyat li al-Nasyr.28
3. Al-Muḥīṭ bi at-Taklīf atau al-Majmū’ fī al-Muḥīṭ bi at-Taklīf. Buku ini
merupakan buku besar yang terdiri dari empat bagian. Buku ini ditemukan
bukan dalam versi yang dibuat oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār sendiri,
melainkan dalam versi yang dibuat oleh muridnya, yaitu al-Ḥasan al-
Mattawaih. Buku ini membahas tentang pokok Keesaan dan Keadilan Tuhan.
Bagian pertama dari buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun 1965 oleh al-Dār
al-Misyriyyah li al-Ta’līf wa al-Tarjamah. Kemudian bagian kedua diterbitkan
pada tahun 1986 di Beirut oleh Dār al-Masyriq. Bagian ketiga sudah selesai
diedit namun belum diedit, sedangkan bagian keempat belum diedit.
28
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār dan Ayat-ayat Mutaŝābihāt dalam al-Qur’ān:
Pembahasan tentang Kitab Mutaŝābih al-Qur’ān, h. 28.
57
4. Tanzīh al-Qur’ān ‘an al-Matā’in. Buku ini berisi penjelasan mengenai ayat-
ayat al-Qur’an yang dapat dianggap oleh lawan sebagai ayat yang
mengandung kelemahan. Di dalam buku ini Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
mempertahankan beberapa ajaran Mu‘tazilah dengan mengambil argumentasi
dari al-Qur’an. Topik-topik dan cara pembahasan dalam buku ini tidak jauh
berbeda dari pembahasan yang terdapat dalam buku Mutasyābih al-Qur’ān.
Menurut Marie Bernand, Tanzīh al-Qur’ān ‘an al-Matā’in merupakan
semacam ringkasan saja dari Mutasyābih al-Qur’ān. Hal ini dikarenakan
sebagian besar dari topik-topik dalam Tanzīh al-Qur’ān sudah dibahas secara
lebih mendalam dalam Mutasyābih al-Qur’ān. Buku ini pertama kali
diterbitkan di Kairo oleh al-Mathba’at al-Jamāliyyah pada tahun 1329 H.29
5. Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah. Buku ini secara panjang lebar membahas tentang
lima ajaran pokok Mu‘tazilah. Kelima ajaran pokok tersebut yaitu: al-Tauḥīd
(Keesaan Allah), al-‘Adl (Keadilan Allah), al-Wa’d wa al-Wa’īd (Janji dan
Ancaman Allah), al-Manzilah bain al-Manzilataīn (Suatu tempat di antara dua
tempat, atau antara Surga dan Neraka), dan al-‘Amr bi al-Ma’rūf wa al-Nahī
‘an al-Munkar (Mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah perbuatan
yang tidak baik). Maktabat Wahbah, Kairo menerbitkan satu versi dari buku
ini yang dibuat oleh seorang murid Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Qawām al-Dīn
Mankadīm Aḥmad bin al-Ḥusain bin Abī Hasyīm al-Ḥusainī Syasydīw, hasil
suntingan ‘Abd al-Karīm ‘Utsmān, pada tahun 1384 H./ 1965 M.30
29
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 23. 30
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 23.
58
6. Tasbīt Dalā’il al-Nubuwwah. Buku ini berisi tentang pembuktian atas
kenabian Muḥammad Saw. Buku ini diterbitkan oleh Dār al-‘Arabiyyah,
Beirut, dalam dua jilid, hasil suntingan ‘Abd al-Karīm ‘Utsmān.
7. Mutasyābih al-Qur’ān. Buku ini telah diterbitkan dalam dua jilid oleh Dār al-
Turāts, Kairo, pada tahun 1969, hasil suntingan ‘Adnān M. Zarzūr. Buku ini
oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār disebut dengan dua nama. Pada al-Mughnī jilid
XVIII:94, ia menyebutnya Mutasyābih al-Qur’ān, sedangkan pada jilid XX/
2:258 ia menyebutnya dengan Bayān al-Mutasyābih fī al-Qur’ān. Buku ini
ditulis di sela-sela penulisan Al-Mughnī fī Abwāb al-Tauḥīd wa al-‘Adl. Buku
ini membahas ayat-ayat mutasyābihāt di dalam al-Qur’an yang berkenaan
dengan masalah-masalah keakidahan.31
8. Kitāb al-Uṣūl al-Khamsah. Risalah ringkas ini diedit dan diterbitkan oleh
Daniel Gimaret melalui artikelnya “Les Uṣūl al-Hamsa du Uṣūl ‘Abd al-
Ğabbār” dalam Annales Islamologique, no. 15/ 1979, halaman 47-96.
9. Al-Mukhtatsar fī Uṣūl al-Dīn. Risalah ini diedit dan diterbitkan oleh
Muḥammad ‘Ammārah dalam Rasā’il al-‘Adl wa al-Tauḥīd, halaman 197-
282.
31
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, h. 29.
59
BAB IV
MELIHAT ALLAH DALAM PANDANGAN SEORANG
MU‘TAZILĪ: AL-QĀḌĪ ‘ABD AL-JABBĀR
A. Definisi Melihat Allah
Melihat Allah bagi kaum Asy‘ariyah disebut dengan istilah Ru‘yah Allāh.
Ru’yah berasal dari kata رؤية –رأي –يرى –رأى yang berarti melihat, meyakinkan,
mengira, menyangka.1 Kata Ru’yah bisa juga diartikan dengan ”Annazar bil aini
au bil-qalbi” (melihat dengan mata atau dengan hati). Adapun Allah adalah nama
Tuhan yang paling banyak disebut di dalam al-Qur’an yaitu sebanyak 2799 kali.
Lafal jālālah (lafal kemahaagungan) itu berasal dari akar kata “ilāh” (yang
disembah), yang dihilangkan “jamzah” –nya dan diganti dengan “alif” dan
“lam” sehingga ditulis “Allāh”. Nama ini khusus sebagai nama al-Bārī Ta’ālā
(Tuhan Maha Pencipta Mahatinggi). Itulah nama Tuhan yang sesungguhnya dan
merupakan totalitas nama Tuhan yang mencakup segenap nama-Nya yang lain.2
Sehingga Ru‘yah Allāh bisa diartikan dengan melihat Tuhan dengan penglihatan
mata atau penglihatan hati. Adapun kaum Mu‘tazilah menggunakan istilah idrāk
(kemampuan melihat).
Kata rā’a (رأى) berarti naẓara (نظر), yaitu melihat.3 Term ini dapat
dijumpai di dalam al-Qur’an:
1 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-istilah
Feqih, (Bangsri: Amtsilati, 2004), h. 205. 2 Muslim Rahmatullah, Kajian Tematik Al-Qur’ān tentang Ketuhanan, (Bandung:
Penerbit Angkasa, 2008), h. 4. 3 Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 643.
60
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.”4
Kata naẓara ilā pada ayat tersebut menurut Al-Juwainī berarti melihat
dengan mata fisik. Adapun Mu‘tazilah mengartikannya dengan menunggu
(intiẓār) atau mendekat (taqarrub). Al-Juwainī menolak pendapat tersebut dengan
menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab, kata naẓara mempunyai beberapa arti.
Apabila kata naẓara dimaksudkan untuk menunggu atau mendekat, pemakaiannya
tanpa ṣilah (penghubung).5 Seperti yang disebutkan dalam salah satu surat:
"Tunggulah Kami supaya Kami dapat mengambil sebahagian dari
cahayamu.”6
Apabila arti kata naẓara yang dimaksudkan adalah berpikir, maka kalimat
harus menggunakan ṣilah (penghubung) dengan huruf fī. Selanjutnya apabila kata
naẓara dimaksudkan untuk penanda kasihan (taraḥḥum), maka ṣilah
(penghubung) yang digunakan adalah li. Akan tetapi, jika yang dimaksudkan arti
melihat dengan mata fisik, maka ṣilah (penghubung) yang digunakan adalah ilā,
sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Qiyāmah ayat 22-23, kata naẓara harus
berarti melihat dengan mata fisik.7
Pendapat itu pun ditolak oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, dengan mengatakan
bagaimana mungkin mereka bisa mengatakan, bahwa naẓara harus berarti
melihat? Orang Arab membedakan antara naẓara dengan rā’a. Mereka
mengatakan, نظرت الى الهالل فلم أره (naẓartu ilā al-hilāli falam arahu) yang artinya
4 Q.S. Al-Qiyāmah: 22-23.
5 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005), h. 106. 6 Q.S. Al-Ḥadīd: 13.
7 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 107.
61
Aku memandang bulan, tetapi aku tidak melihatnya. Ucapan tersebut tidak bisa
berarti رأيت الهالل فما رأيته (ra’aitu al-hilāla famā ra’aitu) yaitu Aku melihat bulan,
tetapi aku tidak melihatnya. Mereka menjadikan ru’yah (melihat) sebagai tujuan
akhir dari memandang. Mereka juga mengatakan نظرت حتى رأيت Jika naẓara
berarti rā’a, maka kalimat di atas akan berarti رأيت حتى رأيت (Aku malihat sampai
aku bisa melihat). Hal ini menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah tidak mungkin.
Kata naẓara ilā bisa diartikan menunggu atau menanti-nanti,8 seperti yang
disebutkan di dalam al-Qur’an:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai Dia berkelapangan.”9
Dapat dipahami bahwa maksud ayat tersebut adalah, ketika ia menemukan
kesulitan, ia menunggu-nunggu kemudahan. Jadi yang dimaksud dalam Surat al-
Qiyāmah ayat 22-23 menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah “Orang-orang yang
mempunyai wajah-wajah itu menanti-nanti nikmat Tuhannya.”10
Selanjutrnya, kaum Asy‘ariyah menanggapi pendapat tersebut dengan
mengatakan bahwa surga bukanlah tempat untuk menanti-nanti, karena menanti
merupakan siksaan batin dan penuh dengan ketidakpastian. Al-Qāḍī ‘Abd al-
Jabbār membantah pendapat ini dengan mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi
apabila yang dinantikannya tidak pasti dan meragukan. Akan tetapi, nikmat Tuhan
di surga adalah sesuatu yang pasti datang dan meyakinkan, sebab itu tidak akan
menimbulkan siksaan batin.11
8 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 107.
9 Q.S. Al-Baqarah: 280.
10 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 108.
11 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 108.
62
Sebagaimana Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Al-Zamakhsyarī dalam tafsir al-
Kasysyāf nya juga menafsirkan lafaẓ naẓirah (melihat) kepada makna al-
Tawaqqu’ wa al-Raja (menunggu/ mengharapkan). Surat al-Qiyāmah ayat 22-23
sebenarnya berbicara tentang kemampuan manusia untuk melihat Allah pada hari
kiamat. Akan tetapi, al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan ayat ini dipengaruhi oleh
salah satu prinsip mazhab Mu‘tazilah yang dianutnya, yaitu prinsip al-Tauḥīd.
Dalam prinsip tersebut kaum Mu‘tazilah menolak adanya tajsīm (penyerupaan
terhadap sifat makhluk). Hal ini berimplikasi pada penafsiran bahwa melihat
Tuhan adalah suatu hal yang mustahil. Oleh sebab itu, kata naẓirah yang
bermakna melihat, ia palingkan maknanya kepada makna yang lain, yaitu
mengharap. Dengan penafsiran seperti ini, ia telah menafsirkan ayat al-Qur’an
tanpa menyalahi prinsip dasar mazhab mu‘tazilah. Metode ini digunakan untuk
melegitimasi madzhabnya dengan menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an agar sesuai
dengan madzhabnya.12
B. Melihat Allah dalam Pandangan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang secara sepintas memberikan pengertian
bahwa Allah bertempat, yang mengisyaratkan bahwa Dia mempunyai mata,
wajah, dan tangan. Ini memberi konsekuensi bahwa Dia adalah jisim atau wujud
materi, karena yang dapat mengambil tempat hanyalah jisim. Dikatakan bahwa
setelah menciptakan untuk manusia semua yang ada di bumi, Allah استوى على السماء
yang berarti “duduk di atas langit”, sementara duduk hanya dapat berlaku untuk
jisim. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Dia berpindah dari bumi ke langit,
padahal pindah hanya dapat terjadi pada wujud materil. Pengertian seperti ini
12
Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizalī dalam Tafsir al-Kasysyāf: Kajian Kritis
Metodologi al-Zamakhsyarī, (Yogyakarta: Maghza Vol. 1 No. 1, Januari-Juni, 2016), h. 38.
63
tidak diterima oleh kaum Mu‘tazilah, dan karenanya Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
menerangkan bahwa pengertian seperti itu salah. Hal ini terkait dengan
penolakannya terhadap kemungkinan melihat Tuhan.13
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pemahaman seperti itu dan menjelaskan
bahwa ayat tersebut mestilah dipahami dengan: Allah menciptakan untuk kita apa-
apa yang ada di bumi, lalu Dia menciptakan untuk kita juga langit-langit dan
menjadikannya sama; sehingga dengan penciptaan-Nya, menjadi sempurnalah
nikmat-nikmat-Nya atas kita dari segi-segi yang tak terhitung banyaknya.14
Ayat lain yang menyatakan bahwa Allah ada di langit dan di bumi.15
Oleh
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dijelaskan bahwa secara harfiah ayat ini memberi
pengertian bahwa Allah ada di langit dan di bumi dalam waktu yang sama. Ayat
ini sebagai bukti bahwa Tuhan bukan jisim, karena mustahil jisim ada dalam dua
tempat yang berbeda pada waktu yang sama. Penyebutan bahwa Allah ada di
langit dan di bumi sekaligus, berarti bahwa Dia tidak menjadikan langit dan bumi
sebagai tempat bagi-Nya, karena hal itu mustahil bagi sesuatu yang bisa
bertempat. Oleh karena itu, ayat ini harus ditakwilkan dengan pengertian bahwa
Allah menjadikan langit-langit dan bumi sebagai wadah (zarf) bagi pengaturan
dan kekuasaan-Nya serta pengelolaan-Nya atas keduanya sesuai dengan
kehendak-Nya. Dia ada dimana-mana. Maksudnya, bahwa tak sesuatu pun yang
13
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 131. 14
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 132. 15
“dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui
apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu
usahakan.” Q.S. Al-An’ām: 3.
64
lepas dari pengetahuan-Nya. Karena pengetahuan-Nya meliputi kedunya (di langit
dan di bumi).16
Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa orang dapat bertemu dengan Allah
dan akan kembali kepada-Nya.
“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”17
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak jika ayat tersebut dipahami dengan Allah
berada dalam tempat tertentu untuk dapat terjadi pertemuan dengan-Nya dan
kembali kepada-Nya. Pemahaman seperti ini memberi konsekuensi bahwa Dia
tentu hanya dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan tempat itu, dan
hanya dapat berbuat di situ. Dia pun pasti membutuhkan tempat yang azali. Ini
semua merupakan ketidakbenaran pendapat lawan.18
Lalu, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengajukan alasan dari penolakannya dari
segi kebahasaan, bahwa kata ظن -يظن –ظن (menduga, mengira, menyangka)19
yang dipakai tidak mengharuskan bahwa yang terjadi adalah seperti itu,
sebagaimana para penafsir al-Qur’an yang menakwilkannya dengan
“mengetahui”.20
Ayat tersebut bermaksud: mereka tahu bahwa mereka akan
bertemu dengan pahala yang dijanjikan kepada mereka dan bahwa mereka akan
kembali kepada suatu waktu yang di dalamnya tiada yang memiliki segala perkara
selain Allah. Pada yang terakhir ini Allah menyebutkan diri-Nya, sedangkan yang
dimaksudkan adalah perbuatan-Nya. Pertemuan bukanlah berdekatan sehingga
16
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 136. 17
Q.S. Al-Baqarah: 46. 18
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 134. 19
Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 383. 20
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 133.
65
dapat melihat. Orang buta seringkali bertemu dengan orang lain, manakala dia
mendengar pembicaraannya, meskipun tidak melihatnya dan terkadang ia pun
berada dalam tempat yang jauh.21
Mengenai ayat-ayat yang menunjukkan penyerupaan Allah dengan
makhluk dengan adanya wajah, mata, dan tangan bagi Allah, Al-Qāḍī ‘Abd al-
Jabbār menjelaskan bahwa jika kata wajah dipakai sehubungan dengan sesuatu
yang tidak terbagi menjadi bagian-bagian, maka yang dimaksud adalah zatnya.
Mengenai penisbatan wajah kepada Tuhan, terdapat salah satu ayat yang
menyatakan bahwa: “dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah.”22
Kata wajah ditakwilkan dengan Zat-
Nya,23
sehingga yang dimaksud dengan wajah Allah adalah kekuasaan Allah yang
meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui
perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
Adapun mengenai penisbatan mata dan tangan kepada Allah, Al-Qāḍī
‘Abd al-Jabbār menempuh cara yang sama untuk menolak penisbatan tersebut.
Mata Allah tidak dapat dipahami menurut pengertian lahiriah, yang dimaksud
dengan mata Allah adalah penglihatan batin dan pengetahuan yang diberikan
Allah. Sedangkan penisbatan tangan kepada Allah dapat diartikan dengan
pemberian atau nikmat. Terbukanya tangan Allah melambangkan bahwa Dia
Maha Pemurah. Selain itu, tangan Tuhan dapat juga dipahami dengan kekuasaan-
Nya24
21
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 134. 22
Q.S. Al-Baqarah: 115. 23
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 139. 24
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 143.
66
Penolakan-penolakan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār di atas berkaitan dengan
penolakannya terhadap kemungkinan melihat Tuhan. Dia menolak pandangan
yang menyatakan bahwa di hari Kiamat nanti sebahagian wajah berseri-seri
melihat Tuhan mereka, sebagaimana yang dikatakan lawan Mu‘tazilah dengan
menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dasar pemikirannya:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri; kepada
Tuhannyalah mereka melihat.25
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pendapat tersebut dengan beberapa
alasan. Pertama, kata نظر pada ayat tersebut tidak berarti melihat (رأى), karena
kata ini jika dikaitkan dengan العين (mata) berarti usaha untuk melihat (طلب الرؤية),
sebagaimana jika dikaitkan dengan القلب (hati) maka artinya adalah usaha untuk
tahu (طلب المعرفة). Seperti yang dikatakan orang Arab, "نظرت إلى شيء فلم أره النظر”
(Aku berusaha untuk melihat sesuatu tetapi aku tidak melihatnya). Hakekat النظر
adalah mengarahkan biji mata ke arah sesuatu untuk melihatnya, maka jika
demikian keadaannya, pastilah Tuhan yang dilihat itu berada pada suatu arah. Hal
ini menunjukkan bahwa Allah jisim, karena berada pada arah tertentu. Karena ini
tidak dapat diterima, maka pastilah kata ربها (Tuhan mereka) itu ditakwilkan
dengan pahala yang diberikan Tuhan.26
Selanjutnya, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār memaparkan bahwa alasan kedua
dari penolakannya adalah, kata نظر kadang dipakai untuk pengertian ينتظر –انتظر-
,(berharap-harap, menunggu-nunggu, menanti) انتظار27
terkadang dipakai untuk
pengertian mengarahkan mata ke suatu obyek untuk melihatnya, selain itu kadang
25
Q.S. Al-Qiyāmah: 22-23 26
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 143. 27
Taufiqul Hakim, Kamus At-Taufiq, h. 644.
67
dipakai juga untuk pengertian berpikir dengan hati untuk memperoleh
pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa pengertian lahiriah dari ayat itu tidak
mesti menunjuk kepada apa yang dimaksudkan oleh lawan.28
Alasan ketiga, Allah menghendaki keseluruhan manusia, bukan bagian
tertentu darinya, ketika Dia menyebut kata وجوه. Dibuktikan dengan pernyataan
pada ayat sesudahnya yang menyatakan bahwa wajah-wajah yang lain mengira
akan ditimpakan kepada mereka malapetaka amat dahsyat.29
Pengaitan kata الظن
(mengira) dengan wajah tidak lazim, maka yang dimaksudkan adalah manusia
pemilik wajah itu. Sehingga ayat ini bersifat mujmal (global, tidak terperinci),
oleh karena itu, pengertian lahiriahnya tidak dapat dipakai sebagai dalil begitu
saja.30
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār juga menambahkan alasan penolakan melihat
Tuhan yang berkaitan dengan permintaan Nabi Musá kepada Tuhan untuk
melihat-Nya.31
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengatakan bahwa ayat ini tidak dapat
dijadikan dasar kemungkinan melihat Allah. Sebaliknya, oleh orang-orang
Mu‘tazilah ayat ini justru dijadikan alasan penolakan melihat Allah, karena
jawaban Allah terhadap permintaan Nabi Musá adalah bahwa dia tidak akan
melihat-Nya. Sebagaimana yang diceritakan pada ayat tersebut, bahwa Allah
28
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 144. 29
“dan Wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan
ditimpakan kepadanya malapetaka yang Amat dahsyat.” Q.S. Al-Qiyāmah: 24-25. 30
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 144. 31
“dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman:
"Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka
setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan
aku orang yang pertama-tama beriman". Q.S. Al-A’rāf: 143.
68
meminta Nabi Musá untuk melihat gunung, jika gunung itu tetap pada tempatnya,
barulah dia dapat melihat-Nya. Ternyata yang terjadi adalah gunung itu hancur
setelah Allah menampakkan Diri-Nya (تجلى) kepadanya. Allah menyatakan bahwa
Dia menghukum mereka dengan menurunkan petir ketika mereka mengatakan,
“Hai Musá, perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”32
kepada Musá.
Allah menurunkan petir sebagai hukuman atas perkataan mereka yang salah,
karena Allah tidak menghukum atas kebenaran.33
Pada ayat yang lain disebutkan:
“bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya.”34
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengatakan bahwa jika yang dimaksud dengan
kata زيادة (tambahan) pada ayat tersebut adalah melihat Tuhan di akhirat, maka hal
ini tidak dapat diterima. Sebab jika tambahan yang dimaksudkan adalah melihat
Tuhan, maka tambahan ini justru lebih besar dari yang ditambahi. Selain itu,
menyatakan bahwa melihat Allah adalah merupakan sebuah kenikmatan, akan
memberi konsekuensi bahwa Tuhan termasuk obyek kesenangan dan keinginan;
Dia termasuk kenikmatan dan kelezatan. Pemahaman seperti ini menurut Al-Qāḍī
‘Abd al-Jabbār membuat orang keluar dari agama.35
32
“ahli kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab
dari langit. Maka Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu.
mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada Kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir
karena kezalimannya,”Q.S. An-Nisā’: 153. 33
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 146. 34
Q.S. Yūnus: 26. 35
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 147.
69
Mengenai penolakan Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terkait kemungkinan melihat
Allah, ada ayat yang jelas-jelas menyatakan bahwa Allah tidak dapat ditangkap
dengan penglihatan. Pernyataan ini dapat dijumpai di dalam al-Qur’an:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha
mengetahui.”36
Ayat ini berarti bahwa Allah tidak dapat dilihat, karena kata اإلدراك disertai
penyebutan البصر menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah melihat dengan
penglihatan (mata fisik). Ayat ini bersifat umum tanpa ada pengecualian, maka
bagaimana pun dan kapan pun Allah tidak dapat dilihat dengan mata fisik atau
dengan penglihatan yang lain.37
C. Kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah
Bagi kaum Mu‘tazilah, yang wajib dinegasikan dari Allah Swt. adalah
melihat-Nya (Ru’yah). Ini merupakan masalah yang bertentangan di antara kaum
Mu‘tazilah dengan Asy‘ariyyah yang tidak meyakini takyīf (cara) dalam persoalan
ru’yah.38
Dalam memperdebatkan persoalan ini, baik kaum Mu‘tazilah maupun
kaum Asy‘ariyyah tidak hanya menggunakan dalil akal, tetapi juga menggunakan
dalil-dalil dari al-Qur’an untuk mempertahankan pendirian masing-masing.
Kaum Mu‘tazilah berpendapat bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat dengan
mata fisik dan menolak argumen-argumen yang bertentangan sebagaimana yang
diyakini oleh kaum Asy‘ariyyah. Akan tetapi, dalam hal ini kaum Mu‘tazilah
tidak sampai mengkafirkan orang-orang yang berselisih dengannya. Pernyataan
36
Q.S. Al-An’ām: 103. 37
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 147. 38
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), h.
232.
70
ini dapat dijumpai di dalam kitab Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, yaitu Syarḥ Uṣūl al-
Khamsah:
ولهذا لم نكفر من خالفنا فى هذه المسألة لما كان الجهل بأنه تعالى اليرى اليقتضى جهال بذاته وال
بشئ من صفاته39
“Dijelaskan di sini, bahwa salah satu di antara kita mungkin mengetahui
bahwasanya alam semesta ini mempunyai Pencipta yang bijak, tidak
terpikir olehnya apakah dia melihat-Nya atau tidak. Karena inilah kita
tidak mengkafirkan orang yang berselisih dengan kita dalam masalah ini,
karena ketidaktahuan bahwa Allah Swt. memang tidak terlihat dan Dia
tidak membutuhkan ketidaktahuan itu baik secara zat-Nya ataupun segala
sesuatu dari sifat-sifat-Nya. Inilah alasan kita, seperti yang disebutkan
dalam ayat ini (Ya Tuhanku, Tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku
dapat melihat-Mu) yang menjadi permintaan Nabi Musa kepada diri-Nya,
karena Dia tidak harus terlihat dalam keadaan apapun.”40
Tuhan bersifat immateri, oleh karena itu logika mengatakan bahwa Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata fisik. Ini adalah pendapat kaum Mu‘tazilah. Al-
Qāḍī ‘Abd al-Jabbār mengatakan bahwa Tuhan tidak mengambil tempat dan
dengan demikian tidak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang
mengambil tempat. Jika Tuhan dapat dilihat dengan mata fisik, Tuhan juga akan
dapat dilihat sekarang di alam ini. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat
melihat Tuhan di alam ini.41
Adapun sebaliknya, kaum Asy‘ariyyah berpendapat bahwa Tuhan akan
dapat dilihat oleh manusia dengan mata fisik di akhirat nanti. Tuhan berkuasa
mutlak dan dapat mengadakan apa saja. Adapun akal manusia lemah dan tidak
selamanya sanggup memahami perbuatan dan ciptaan Tuhan. Apa saja,-
sebagaimana dipahami oleh Harun Nasution,- sungguhpun itu bertentangan
39
Karena inilah kita tidak mengkafirkan orang yang berselisih dengan kita dalam masalah
ini, karena ketidaktahuan bahwa Allah Swt. memang tidak terlihat dan Dia tidak membutuhkan
ketidaktahuan itu baik secara dzat-Nya ataupun segala sesuatu dari sifat-sifat-Nya. Lihat Al-Qāḍī
‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 233. 40
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 233. 41
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan,
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,1986), h. 139.
71
dengan pendapat akal manusia, dapat dibuat dan diciptakan Tuhan. Dengan
demikian, melihat Tuhan yang bersifat immateri dengan mata fisik tidaklah
mustahil.42
Pendapat Harun Nasution tentang itu perlu dikritisi.
Asy‘ariyyah memperkuat pendapatnya dengan mengajukan argumen
bahwa yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud. Yang
mempunyai wujud pasti dapat dilihat. Tuhan berwujud, oleh karena itu pasti dapat
dilihat. Tuhan melihat apa yang ada dan dengan demikian melihat diri-Nya juga;
jika Tuhan melihat diri-Nya, maka ia juga akan dapat membuat manusia bisa
melihat-Nya.43
Adapun golongan yang sepaham dengan Asy‘ariyyah dalam hal ini
diantaranya adalah kaum Maturidiyah. Mereka berpendapat bahwa Tuhan dapat
dilihat karena Dia mempunyai wujud. Al-Bazdawī juga berpendapat bahwa Tuhan
dapat dilihat, sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan
tidak terbatas.44
Di antara dalil al-Qur’an yang diajukan kaum Mu‘tazilah untuk
memperkuat argumennya adalah:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.”45
Ayat ini telah membuktikan bahwa Allah Swt. menyangkal kemampuan
melihat terhadap diri-Nya sendiri. Ayat ini merupakan pujian untuk diri-Nya
sendiri. Penolakan untuk memuji diri-Nya merupakan sebuah bukti kekurangan,
42
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 139. 43
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140. 44
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140. 45
Q.S. Al-An‘ām: 103.
72
dan kekurangan bagi Allah dalam keadaan apapun tidaklah diperbolehkan.46
Tegasnya, ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat. Adapun
kaum Asy‘ariyyah memahami ayat ini dengan pengertian bahwa Tuhan tidak
dapat dilihat di dunia, tetapi dapat dilihat di akhirat.47
Karena melihat Allah
merupakan kenikmatan yang paling utama dan hanya ada di akhirat. Menurut
mereka, ayat ini juga mengandung makna bahwa Allah tidak dapat dilihat oleh
orang kafir.48
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjelaskan terkait ayat ini bahwa kemampuan
melihat (idrāk) jika dikaitkan dengan baṣār tidak bisa kecuali ru’yah, karena yang
melihat itu tidaklah mampu melihat jika dia mendapati keadaannya sebagai
seorang yang mampu melihat (mudrik). Kata idrāk jika dikaitkan dengan
penglihatan maka dia tidak mampu kecuali penglihatan seperti apa yang telah
disebutkan.49
Konteks ayat ini secara keseluruhan adalah pujian-pujian bagi Allah Swt.
Sebagian berkata bahwa unsur pujiannya adalah yang Qadim tidak dapat dilihat di
dunia ataupun di akhirat, seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang Mu‘tazilah.
Ada juga yang mengatakan bahwa unsur pujiannya adalah dia tidak terlihat di
dunia, dan sebagian yang lain juga mengatakan bahwa unsur pujiannya adalah
yang tidak disa dilihat dengan panca indera ini dan bisa dilihat dengan bantuan
indera yang lain. Sehingga benar bahwa ayat ini bertujuan untuk memuji Allah
Swt. sebagimana yang dikatakan kaum Mu‘tazilah. Penjelasan tentang ini lebih
lanjut dapat ditemukan di dalam kitab Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār:
46
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 233. 47
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 142. 48
Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, Terj. Abū Fahmi, ( Jakarta: Gema
Insani Press, 1993), 41. 49
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 234.
73
“Bila dikatakan: pujian seperti apa yang tidak melihat Zat yang Qadim,
padahal ia berisi sejumlah hal; kematian dan banyak yang lainnya dari
yang ada? maka kami menjawab: tidak akan ada pemujian jika hanya
berdasarkan bahwa Dia tidak terlihat, namun pemujian lahir karena adanya
yang melihat dan yang tidak, Dan tidaklah dilarang sesuatu untuk menjadi
pujian disandingkan dengan sesuatu yang lain agar menjadi pujian.
Demikian juga tidak ada pujian dalam proses penafian unsur teman dan
anak (bagi Allah) di samping kenyataan bahwa Allah adalah Zat tanpa
cela/ cacat yang hidup, maka itu menjadi pujian (bagi-Nya), demikian
pujian dalam kenyataan bahwa tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya, di
samping kenyataan bahwa segala yang tidak ada itu menyertai-Nya, hal itu
kemudian menjadi pujian karena beberapa hal lainnya; yaitu bahwa Allah
Zat yang Maha Berkehendak, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha
Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Ada. Kesimpulannya, bahwasanya
pemujian bisa berlaku ketika terjadinya ikatan antara Dia dengan zat-zat
yang lain, sedangkan ikatan tidak akan terjadi kecuali dengan apa yang
sudah kami katakan. Karena zat-zat terbagi dalam beberapa bagian; ada
yang melihat dan yang dilihat seperti satu dari kita, ada juga yang tidak
melihat dan juga tidak terlihat seperti yang tidak ada, begitu juga ada yang
dilihat tapi tidak bisa melihat beserta benda-benda, ada juga yang tidak
terlihat namun dia melihat seperti yang Qadīm Swt. Maka dari itu benar
adanya pujian sebagaimana firman-Nya: dia memberi makanan namun
tidak diberi makanan.”50
Kaum Asy‘ariyyah mengatakan bagaimana mungkin sesuatu hal itu bisa
menjadi pujian jika sesuatu yang bukan terpuji itu digabungkan dengan yang
terpuji. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjelaskan bahwa tidak ada larangan untuk hal
itu. Sebagai contoh, Allah Swt. berfirman: “Tidak mengantuk dan tidak tidur”.
Kalimat tersebut awalnya bukanlah kalimat yang mengandung pujian, kemudian
menjadi pujian ketika digabungkan dengan firman-Nya yang lain, “Allah, tidak
ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang terus-menerus mengurus
(makhluk-Nya).” Demikian juga jika dikatakan bahwa “Allah Swt itu ada”,
kalimat itu tidak mengandung pujian. Akan tetapi, ketika disandingkan dengan
kalimat yang lain seperti “Tidak ada yang mendahului-Nya”, hal ini menjadi
pujian bagi-Nya.51
50
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h.. 237. 51
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 237.
74
Selanjutnya, jika dikatakan bahwa sesuatu yang bukan pujian dibolehkan
menjadi sebuah pujian dengan menyandingkan kepada selainnya, maka sama saja
tidak ada larangan yang bodoh menjadi hal yang dipuji karena disandingkan
dengan keberanian dan kekuatan hati, sehingga seseorang boleh memuji orang
lain bahwa ia bodoh, kuat hati, dan pemberani. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjawab
ini di dalam kitabnya:
“Sesungguhnya posisi yang mencerminkan kekurangan dalam perkataan
kita, yaitu bodoh, cacat ataupun yang lainnya, tidak bertentangan
kegunaannya, tidak berubah pula keadaannya baik dengan sandingan
atapun tidak. Tapi, mengakibatkan kekurangan dengan segala keadaan
yang sama, baik digabungkan dengan yang lainnya ataupun tidak, dan
bukanlah seperti itu cara menilai mana yang bukan pujian dan
kekurangan, hanya saja hal itu tidak dilarang untuk menjadi sebab lahirnya
pujian dengan unsur yang lain sebagaimana yang telah kami sebutkan.”52
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menambahkan penjelasannya mengenai hal ini,
bahwa sesungguhnya sesuatu yang bukan pujian, jika disandingkan kepada
sesuatu yang terpuji, dan menghasilkan keterikatan, maka ia akan menjadi pujian.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ikatan itu sendiri adalah dia melihat tetapi
tidak terlihat. Pujian ini merujuk kepada zat, karena pujian terbagi menjadi dua.
Pertama, merujuk kepada diri-Nya sendiri (zat-Nya), dan yang kedua merujuk
kepada perbuatan-Nya. Adapun yang merujuk kepada zat terbagi menjadi dua.
Pertama, merujuk kepada ketetapan-Nya, seperti: Maha Berkehendak, Maha
Mengetahui, Maha Hidup, Maha Mendengar, dan Maha Melihat. Yang kedua,
merujuk kepada penyangkalan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa Dia tidak membutuhkan, tidak bergerak, dan tidak menetap. Sedangkan
yang merujuk kepada perbuatan juga terbagi menjadi dua. Pertama, merujuk
kepada ketetapan, seperti Allah Maha Memberi Rezeki, Maha Baik, dan Maha
52
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 238.
75
Mulia. Kemudian yang kedua merujuk kepada penyangkalan seperti Dia tidak
mendzalimi dan tidak berbohong.53
Dengan demikian, menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, posisi firman Allah
yang berbunyi “Dia tidak bisa dicapai dengan penglihatan mata” wajib dilihat dari
dua bagian itu. Ayat ini tidak bisa menjadi bagian dari kelompok yang merujuk
pada perbuatan, karena Allah Swt. tidak berbuat apapun sehingga Dia tidak
terlihat. Dan suatu objek tidak perlu dikatakan tidak melihat hingga ada perbuatan
yang mendorongnya untuk tidak terlihat. Karena sesungguhnya banyak hal yang
tidak terlihat meskipun tidak melakukan sesuatu seperti tidak ada dan seperti
kebanyakan yang tidak esensial. Sesuatu tidak akan terlihat karena memang sebab
internal tidak terlihat karena zat-Nya, bukan karena Dia melakukan sesuatu. Jika
memang benar seperti itu, maka benar bahwa pemujian semacam ini merujuk
kepada zat internalnya seperti yang sudah dikatakan.54
Dikatakan bahwa, jika proses penyangkalan pujian merujuk kepada zat-
Nya, maka ketetapan-Nya adalah kekurangan. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
menjelaskan, hal ini karena jika ketetapan-Nya bukan merupakan kekurangan,
maka penyangkalan-Nya juga bukan merupakan pujian. Sebagaimana
penyangkalan Mengantuk dan Tidur manakala menjadi pujian, itu merupakan
ketetapan cacat. Sampai ada yang mengatakan bahwa Allah Swt. Tidur, ini juga
menjadi kelemahan atau kekurangan-Nya. Selanjutnya, jika Allah Swt. belum
terlihat, maka Dia tidak terlihat dalam bentuk zat-Nya. Jika Dia terlihat, maka
Allah Swt. harus keluar dari zat-Nya dan ini merupakan sebuah kekurangan.
Mengenai hal ini, tidaklah lazim bagi kita untuk mengetahui secara rinci letak
53
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 238. 54
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 239.
76
kekurangan jika melihat Allah, melainkan secara umum. Sesungguhnya Allah
Swt. dipuji karena adanya penyangkalan atas kemampuan melihat zat-Nya, dan
jika penyangkalan itu menjadi pujian pada zat, maka hal ini sama saja menjadi
kekurangan.55
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak jika yang dimaksud dari firman Allah
Swt. yang berbunyi “Dia tidak bisa dicapai dengan penglihatan mata” adalah
orang yang melihat, sehingga makna yang sama terkandung dalam firman Allah
Swt. “Sedangkan Dia bisa mencapai semua penglihatan itu” agar
penyangkalannya selaras dalam penetapannya. Hal ini meniscayakan Allah Swt.
melihat diri-Nya sendiri karena Dia termasuk dari yang mampu melihat. Setiap
orang yang berkata bahwa Dia melihat diri-Nya sendiri, maka yang lain pun bisa
melihat-Nya. Selanjutnya, Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjelaskan mengenai hal ini
di dalam kitabnya:
“Sesungguhnya Allah Swt. sekalipun Dia mampu melihat, maka hanya
melihat apa yang layak dilihat, sedangkan diri-Nya tetap mustahil untuk
dilihat, sebagaimana yang sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa Allah
Swt. dipuji dengan sebuah pujian yang kembali pada Zat-Nya karena Dia
tidak mampu direngkuh oleh penglihatan, namun jika penyangkalan (nafi’)
tersebut dimaknai kembali kepada Zat-Nya, maka proses isbat (penetapan)
-Nya menjadi cacat (kurang). Kekurangan/ cacat dalam diri-Nya tidak
diperbolehkan. Maksud firman Allah Swt. “Dia tidak bisa dicapai dengan
penglihatan mata” adalah orang yang melihat dengan mata, demikian juga
dalam firman-Nya “Sedangkan dia mampu mencapai semua penglihatan
itu”, maka makna dalam maksud yang kamu sampaikan itu haruslah
selaras dengan ketetapannya, dan Allah bukan orang yang melihat dengan
mata (seperti manusia), maka apa yang kamu katakan itu tidaklah lazim.”56
Kaum Asy‘ariyyah memahami firman Allah “Dia tidak bisa dicapai
dengan penglihatan mata, sedangkan Dia mampu melihat semua penglihatan itu”
adalah umum untuk di dunia dan akhirat, maka firman-Nya “Wajah-wajah (orang-
55
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 239. 56
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 241.
77
orang mukmin) pada hari itu berseri-seri; kepada Tuhannyalah mereka melihat”57
ini khusus saat di akhirat nanti, dan sebenarnya yang umum itu dibawa dari yang
khusus, seperti layaknya yang membatasi dibawa dari yang dibatasi juga. Mereka
berdalil dengan ayat ini sebagai pembukaan bahwa Allah memang dapat dilihat
dengan mata fisik saat di akhirat nanti. Maka Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menanggapi
ini dengan mengatakan:
“Bahwa sesuatu yang umum itu dibangun dari yang khusus jika
memungkinkan pengkhususannya, dan ayat ini tidak menghasilkan
pengkhususan, karena Allah Swt. menjadi terpuji karena penyangkalan
bahwa Dia terlihat dalam bentuk zat-Nya, jika hal ini disangkal maka
Allah ada kekurangan, dan kekurangan bagi Allah tidak diperbolehkan
dalam segi apapun. Selanjutnya, sesungguhnya ayat ini menjadi khusus
jika memang diinformasikan bahwa Allah memang terlihat dalam keadaan
apapun, dan ayat ini tidak menceritakan demikian, karena kata “al-Naẓar”
bukan bermakna melihat. Inilah jawaban atas hal ini jika mereka
mengkaitkannya dari segi ini.”58
Kemudian Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menambahkan bahwa dalam ayat ini
tidak terdapat bukti bahwasanya wajah-wajah itu melihat-Nya di hari kiamat
nanti, dan begitu juga dengan kata “al-Naẓar” yang bermakna “al-Ru’yah”, dalil
akan hal itu tidak ditemukan di dalam ayat ini. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
mengatakan kepada mereka:
“Bagaimana bisa diketahui bahwa “al-Naẓar” bermakna “al-Ru’yah”?
dan diketahui bahwasanya mereka mengatakan: نظرت الى الهالل فلم أره (saya
memandang hilal, namun saya tidak melihatnya), jika salah satu di antara
dua hal tadi adalah final, maka kalam mereka tidak konsisten atau
bertentangan, dan turunlah posisi perkataan mereka: رأيت الهالل فما رأيته
(saya melihat hilal namun saya tidak melihatnya), ini konyol dan
merupakan ketidakkonsistenan yang parah. Selanjutnya, sesungguhnya
mereka menjadikan kata “al-Ru’yah”sebagai puncak dari “al-Naẓar”,
mereka mengatakan: saya memandang sampai saya melihat, jika ssalah
satu dari dua hal ini adalah final, maka salah satu darinya berada dalam
posisi yang menjadikan salah satunya sebagai tujuan bagi dirinya sendiri,
57
Q.S. Al-Qiyāmah: 22-23 58
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 242.
78
dan ini tidak boleh, maka daripada ini tidak dibenarkan juga jika dia
berkata : saya melihat sampai saya melihat.”59
Kata al-Naẓar pada ayat ini menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār bermakna
“menunggu”, seakan-akan Allah Swt. berkata: wajah-wajah mereka di kala itu
berseri-seri karena hadiah yang diberikan Tuhan mereka yang sudah ditunggu-
tunggu. Kata al-Naẓar bermakna penantian atau menunggu telah diindikasikan di
dalam firman Allah Swt. “Maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh
kemudahan.” Disebutkan di sini bahwa kata al-Naẓar disambungkan dengan ilá,
yang dimaksudkan di sini adalah menunggu.60
Adapun menurut Kaum Asy‘ariyyah kata naẓara dalam ayat tersebut tidak
bisa berarti memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berpikir. Juga tidak bisa
berrati menunggu, karena wujuh (muka atau wajah) tidak dapat menunggu, yang
menunggu ialah manusia. Oleh karena itu kata naẓara pastilah berarti benar-benar
melihat dengan mata fisik,61
bukan dengan makna yang lain seperti; i’tibar
(menunjukkan tanda kebesaran-Nya), ta’aṭṭuf (melihat karena iba), atau intiẓār
(menunggu). Mereka menolak pengertian tersebut dengan menjelaskan bahwa;
Tidak mungkin Allah menghendaki makana naẓar dalam ayat tersebut dengan
makna i’tibar (menunjukkan tanda kebesaran-Nya), karena akhirat bukan lagi
tempat untuk melakukan i’tibar. Kata naẓar juga tidak dapat diberi makna ta’aṭṭaf
(melihat karena iba), karena tidak mungkin makhluk melihat Tuhannya dengan
iba. Kata naẓar tidak dapat diberi makna intiẓār (menunggu atau penantian),
karena jika kata naẓar itu dikaitkan dengan kata “wajah” maka maknanya adalah
59
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 243. 60
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 246. 61
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140.
79
melihat dengan dua mata yang terletak pada wajah.62
Selain itu, kata naẓar dalam
arti menunggu tidak membutuhkan kata ilá. Penambahan kata ilá dalam konteks
kalimat yang mengandung pengertian “menunggu" tidak lazim dalam bahasa
Arab.63
Mereka berkata atas ta’wil ini, bahwa sesungguhnya ayat ini disebutkan
untuk ahli Surga, bagaimana bisa dia bermakna menunggu? Sedangkan menunggu
itu bagian dari kemurungan dan kesukaran, mengakibatkan keributan dan
kekacauan. Mengenai hal ini, mereka menyebutkan perumpamaan bahwa
menunggu itu mewariskan kepucatan, dan menunggu itu sama saja dengan
kematian yang menyedihkan, keadaan seperti ini tidak boleh bagi seorang
penghuni Surga. Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menjawab:
“Bahwasanya menunggu tidaklah menghendaki keributan dalam hidup
dalam keadaan apapun, melainkan itu akan terjadi jika orang yang
menunggu terlalu fokus terhadap apa yang dia tunggu, dan dia menjadi
sebuah jenis yang dia tidak sadar kapan dia akan lepas dari hal itu, apakah
dia terlepas dari itu atau tidak, sesungguhnya dia dan keadaan ini berada
dalam kesedihan dan penyesalan, namun jika dia meyakini bisa
mencapainya, maka tidak akan ada kemurungan dan penyesalan itu,
khususnya ketika dalam penantiannya dia dalam hidup yang nyaman.
Tidakkah kalian melihat ketika orang berada di meja makan yang di
atasnya bermacam makanan yang lezat, dia memakannya dan merasakan
kelezatan itu karenanya? Dia memandang ke jenis makanan yang lain dan
yakin bisa mendapatkannya, maka sungguh dia tidak akan berada dalam
kemurungan dan kesukaran, akan tetapi dia dalam kondisi bahagia yang
berlipat-lipat, sampai disajikan kepadanya makanan dan tidak berselera
kepada makanan itu. Begitu pula keadaan penghuni surga, mereka tidak
akan berada dalam kemurungan dan kesedihan jika mereka yakin
mencapai apa yang mereka tunggu dalam keadaan apapun.”64
Dalil lain yang dikemukakan oleh Asy‘ariyyah untuk mendukung
kemungkinan melihat Tuhan adalah:
62
Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 36. 63
Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 37. 64
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 248.
80
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-
kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap
di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala
Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau
dan aku orang yang pertama-tama beriman".65
Ayat tersebut menceritakan Nabi Musá yang meminta supaya Tuhan
memperlihatkan diri-Nya. Jika Tuhan tidak dapat dilihat, menurut Asy‘ariyyah,
Nabi Musá tidak akan meminta supaya Tuhan memperlihatkan diri-Nya.
Seterusnya ayat ini mengatakan bahwa Nabi Musá akan melihat Tuhan, jika bukit
Sinai tetap pada tempatnya. Membuat bukit Sinai tetap pada tempatnya termasuk
dalam kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan menurut Asy‘ariyyah bisa
dilihat.66
Seandainya melihat Tuhan adalah sesuatu yang mustahil sebagaimana
anggapan Mu‘tazilah, dan Nabi Musá tidak mengetahui hal tersebut, sedangkan
para pengikut Mu‘tazilah mengetahui, berarti pengikut Mu‘tazilah lebih
mengetahui tentang hakikat Allah dibandingkan Nabi Musá. Anggapan seperti ini
telah keluar dari kaidah Islam.67
Kaum Mu‘tazilah menolak pendapat ini dengan mengajukan beberapa
alasan berikut. Permintaan melihat Tuhan sebenarnya bukan datang dari Nabi
65
Q.S. Al-A’rāf: 143. 66
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 141. 67
Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 39.
81
Musá sendiri, akan tetapi dari para pengikutnya yang belum juga mau percaya.
Permintaan ini dimajukan Nabi Musá untuk mematahkan kekerasan kepala
mereka. Tuhan dalam ayat ini telah menegaskan lan tarānī (sekali-kali engkau
tidak akan dapat melihat-Ku). Dengan kata lain, Tuhan tidak akan dapat dilihat.68
Argumen Asy‘ariyyah yang lain adalah, Allah Swt. mampu menjadikan
bukit tersebut tetap pada tempatnya, artinya Dia mampu terhadap sesuatu perkara
yang seandainya Dia lakukan, maka Nabi Musá pasti akan dapat melihta-Nya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Allah Swt. mampu memperlihatkan diri-Nya pada
hamba-Nya. Seandainya Allah memustahilkan diri-Nya bisa dilihat, tentu ia akan
menghubungkan firman-Nya dengan sesuatu yang mustahil terjadi. Namun,
karena Dia menghubungkannya dengan “tetapnya bukit di tempatnya seperti sedia
kala,” dan hal itu adalah sesuatu yang mampu dilakukan Allah, maka melihat
Allah adalah suatu keniscayaan.69
Ayat ini justru dijadikan oleh Mu‘tazilah sebagai alasan penolakan melihat
Tuhan karena jawaban Allah terhadap permintaan Nabi Musá itu adalah bahwa ia
tidak akan melihatnya. Allah menyuruh Nabi Musá untuk melihat gunung, jika
gunung itu tetap pada tempatnya, barulah ia dapat melihat-Nya. Ternyata gunung
itu hancur setelah Allah menampakkan diri-Nya (تجلى) kepadanya. Dengan
demikian, Nabi Musá tidak akan dapat melihat-Nya. Karena kata yang dipakai
untuk menegasikan di sini adalah لن yang memberikan penafian di masa yang
akan datang, sehingga yang dimaksud bukan hanya pada saat itu saja Nabi Musá
tidak dapat melihat Tuhan, melainkan selamanya.70
68
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 141. 69
Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Pokok-pokok Ajaran Dien, h. 40. 70
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 145.
82
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pendapat Asy‘ariyyah dengan
mengatakan bahwa permintaan tidak menunjukkan apakah yang diminta boleh
terjadi atau tidak, karena yang diminta itu berbeda-beda keadaannya. Ada jawaban
berupa perbuatan, ada yang berupa perkataan. Ada orang yang mengajukan
permintaan untuk membuktikan bahwa ia sudah mencurahkan tenaga agar orang
tempat ia meminta melakukan sesuatu, walaupun ia tahu orang itu tak akan
melakukannya. Bisa juga, orang mengajukan permintaan untuk meyakinkan orang
lain yang mendengarnya bahwa yang diminta itu tidak mungkin dilakukan.71
Apa yang tidak dilihat dibagi kepada yang tidak melihat karena larangan
dan kepada yang tidak melihat karena mustahil melihat-Nya. Allah Swt. ada
dalam posisi tidak bisa dilihat karena mustahil untuk melihat-Nya bukan karena
larangan. Larangan untuk melihat Allah Swt. adalah tinggi, dan Allah Swt. kalau
Dia terlihat Diri-Nya maka kita bisa melihat-Nya sekarang. Bagi Al-Qāḍī ‘Abd al-
Jabbār persoalan ini adalah larangan yang tidak mungkin bisa terbantah.72
Sehingga bagaimanapun dan kapanpun Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata
fisik maupun dengan penglihatan lain.73
71
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 145. 72
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah, h. 261. 73
Machasin, Al-Qāḍī ‘Abd Al-Jabbār, h. 147.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaum Asy‘ariyah dalam membahas persoalan melihat Allah menggunakan
istilah Ru‘yah Allāh. Adapun kaum Mu‘tazilah menggunakan istilah idrāk
(kemampuan melihat). Akan tetapi yang dimaksud oleh keduanya adalah sama,
yaitu melihat Allah. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kemampuan
melihat Allah adalah melihat Allah menggunakan mata fisik saat di akhirat.
Melihat Allah menurut Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār adalah suatu hal yang
mustahil, karena Tuhan bersifat immateri, oleh karena itu rasio mengatakan
bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat dengan mata fisik. Jika Tuhan dapat dilihat
dengan mata fisik saat di akhirat, Tuhan juga akan dapat dilihat sekarang di alam
ini. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.
Allah Swt. tidak bisa dilihat karena mustahil untuk melihat-Nya.
Bagi Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār persoalan melihat Tuhan adalah larangan
yang tidak mungkin bisa terbantah. Sehingga bagaimanapun dan kapanpun Tuhan
tidak akan dapat dilihat dengan mata fisik maupun dengan penglihatan lain. Allah
tidak akan terlihat karena memang sebab internal tidak terlihat karena zat-Nya,
bukan karena Dia melakukan sesuatu. Jika Allah terlihat, maka Dia harus keluar
dari zat-Nya dan ini merupakan sebuah kekurangan.
Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār menolak pendapat-pendapat kaum Asy‘ariyyah
yang mengatakan bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang mungkin saat di
akhirat. Kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah
84
mengenai persoalan ini terlihat relevan dengan menggunakan dalil naqli dan juga
dalil aqli. Sebagian kritik Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār terhadap Asy‘ariyyah
mempunyai dasar yang cukup rasional seperti yang dijelaskan di dalam kitabnya
yang berjudul Syarḥ Uṣūl al-Khamsah. Akan tetapi, dalam menafsirkan ayat al-
Qur’an, tidak semua argumen yang diajukan oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār untuk
menolak pendapat Asy‘ariyyah terlihat masuk akal. Hal ini kemungkinan besar
karena seseorang dalam menafsirkan suatu ayat pasti dipengaruhi oleh
madzhabnya. Oleh karena itu, suatu aliran pasti akan menafsirkan ayat al-Qur’an
tanpa menyalahi prinsip dasar madzhab yang telah dianutnya. Seperti yang
dilakukan oleh Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār, yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
cara menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an agar sesuai dengan madzhab yang
dianutnya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam memahami pemikiran Al-Qāḍī ‘Abd al-
Jabbār dengan mengaji salah satu karyanya yang berjudul Syarḥ Uṣūl al-Khamsah
masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman penulis. Sehingga diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam
mengenai tema tersebut. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1995.
Abrahamov, Binyamin. Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam
Teologi Islam. Terj. Nuruddin Hidayat. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2002.
‘Alī, Abdullah Yūsuf. Tafsir Yūsuf ‘Alī: Tafsir Qur’ān 30 Juz: Teks, Terjemahan
dan Tafsir. Terj. ‘Alī Audah. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. 3,
2009.
Asmuni, H.M. Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: PT. RakaGrafindo Persada, cet.
Ketiga, 1996.
Al-Asy’ari, Abul Hasan. Pokok-pokok Ajaran Dien, Terj. Abu Fahmi, Ibnu
Marjan. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.
Hakim, Taufiqul. Kamus At-Taufiq (Arab – Jawa – Indonesia): Disertasi Istilah-
istilah Feqih. Bangsri: Amtsilati, 2004.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam. cet. VI. Jakarta: al-Husna Zikra, 1995.
_____ Theologi Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996.
Hatta, Mawardy. Aliran Mu‘tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam.
Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013.
Humaira, Dara dan Khairun Nisa. Unsur I’tizalī dalam Tafsir al-Kasysyāf: Kajian
Kritis Metodologi al-Zamakhsyarī. Yogyakarta: Maghza Vol. 1 No. 1,
Januari-Juni, 2016.
86
Ilhamuddin. Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi Persamaan dan Perbedaannya
dengan Al-Asy’ari. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Ismatillah, Ade. Pandangan Ignaz Goldziher tentang Relasi antara Tuhan dan
Manusia dalam Teologi Mu’tazilah. Program Studi Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Al-Jabbār, Al-Qāḍī ‘Abd. Syarḥ Uṣūl al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah,
1996.
Jamrah, Suryan A. Studi Ilmu Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2014.
Kartanegara, Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan,
2006.
Khumaidi. Peranan Konsep Doktrin Ushulul Khamsah Mu’tazilah terhadap
Peradaban Islam. Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
Al-Khumais, Muhammad bin Abdurrahman. Pokok-pokok Akidah Salaf: Yang
Diikrarkan Imam al-Asy’ari. Terj. Abdurrahman Nuryaman. Jakarta: Darul
Haq, 2006.
Kiswati, Tsuroya. Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
Kusni. Pemikiran Mu’tazilah tentang Etika. Skripsi Program Studi Aqidah
Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Machasin. al-Qadi Abd al-Jabbar: Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-
Qur’an. Yogyakarta: LkiS, 2000.
87
_____ Al Qadi 'Abd Al Jabar dan Ayat-ayat Mutasabihat dalam Al-Qur'an:
Pembahasan tentang Kitab Mutasabih Al-Qur'an. Tesis Program Studi Ilmu
Agama Islam Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Muhammadiyah, Hilmy Sulthan Fatoni. NU: Identitas Islam Indonesia. Jakarta:
Elsas, 2004.
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Tradisional Mu‘tazilah. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). cetakan pertama, 1987.
_____ Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia,1986.
Nurmala, Nina. Perbuatan Baik dan Buruk menurut Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.
Skripsi Program Studi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Prastowo, Andi. Memahami Metode-metode Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, cet. Pertama, 2011.
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS. Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013.
Rahman, Fazlur. Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban. Bandung: Mizan
Pustaka, 2016.
Rahmatullah, Muslim. Kajian Tematik Al-Qur’ān tentang Ketuhanan. Bandung:
Penerbit Angkasa, 2008.
Razak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
88
Saefullah. Konsep Tuhan dalam Perspektif Mu’tazilah. Skripsi Program Studi
Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002.
_____ Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān. Vol. 7.
Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002.
_____ Tafsir al-Miṣbāḥ: Peran, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān. Vol. 8.
Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2002.
Asy-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah
Umat Manusia,.Terj. Asywadie Syukur. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003.
Sou’yb, Joesoef. Peranan Aliran I‘tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran
Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1997.
Zahrah, Muḥammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos,
1996.
Zakiyah, Ermita. Aspek Paham Mu’tazilah dalam Tafsir Al-Kashshāf tentang
Ayat-Ayat Teologi (Studi Pemikiran Al-Zamakhshary). Tesis Program
Studi Tafsir Hadits Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel, 2013.