7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
1/24
SKENARIO KASUS
Seorang wanita, 61 tahun, mengeluhkan nyeri mulut dan sakit saat membuka mulut
sejak 4 bulan lalu. Dari Puskesmas, telah mendapat obat amoksisilin dan larutan kumur
betadin, namun nyeri mulut tidak sembuh dan semakin memburuk hingga memaksanya
berkonsultasi pada beberapa dokter. Telah mendapatkan obat antara lain antibiotik, antijamur,
dan antiradang topikal, yang tidak menyebabkan kesembuhan. Odinofagi mengakibatkan
penurunan berat badan hingga 6 kg. Tidak ada lesi yang sama pada genital maupun mata.
Pasien memiliki riwayat hipotiroidisme, hipertensi, glaukoma, dan diabetes mellitus tipe 2,
yang kesemuanya sudah dalam pengawasan dokter penyakit dalam. Penampilan umum pasien
sehat, meski merasa stress. Tanda vital dalam batas normal. Ekstraoral tampak sebagian
vermilion bawah eritematus dan pada beberapa tempat mengalami erosi, perdarahan titik
(pin-point bleeding) dan krusta. Intra-oral tampak adanya ulkus dangkal berdiameter 20 mm
pada mukosa pipi bilateral setinggi linea alba, tertutup lapisan putih kekuningan. Tepi ulkus
tidak teratur namun tidak ada indurasi, di sekelilingnya tampak beberapa area erosi dan
abrasi. Gingiva tepi regio anterior atas dan bawah tampak eritematus dengan sebagian erosi
dan beberapa area tampak adanya epithelial sloughing. Mukosa palatum pada ah-line tampak
eritematus, sedangkan pada lateral dan ventral lidah terdapat beberapa ulkus dangkal dengan
diameter 5 mm. Pada kulit bahu dan punggung tampak adanya lesi erosif dan krusta, uji
Nikolsky pada kulit menunjukkan hasil negatif. Hasil biopsi ulkus mulut menunjukkan celah
intraepitel suprabasal, akantolisis, dan sebukan sel radang ke dalam jaringan ikat dibawahnya.
Pada pemeriksaan DIF (direct immunofluorescence), terlihat deposit IgG dan fraksi
komplemen C3 pada zona interseluler epitel.
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
2/24
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar BelakangBegitu banyak penyakit oral yang memiliki manifestasi oral yang serupa sehingga
menjadi sukar menentukan diagnosis dan tidak menutup kemungkinan menjadikan
seorang dokter salah menentukan diagnosis. Hal ini tentu dapat menjadi suatu hal yang
membahyakan baik bagi pasien juga bagi dokter itu sendiri. Penyakit vesikobulosa dan
ulseratif merupakan salah satu penyakit yang seringkali muncul di oral. Dengan
mengetahui macam-macam penyakit yang bisaa dijadikan difensial diagnosis dapatmembantu para calon dokter dalam menetapkan diagnosis pastinya. Pemfigus bulgaris
merupakan salah satu penyakit vesikobulosa yang
II. Tujuan- Memahami etiologi, perjalanan penyakit, dan golden standard pemeriksaan serta
rencana perawatan terhadap suatu penyakit.
- Mampu mengaitkan suatu tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan suatupenyakit mulut.
III. Manfaat
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
3/24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Lesi Vesikulobulosa dan ulkusLesi dermal diklasifikasikan berdasarkan penampakan klinis seperti ulkus, vesikel
maupun bulla. Penyakit ulseratif atau vesikulobulosa di dalam rongga mulut memiliki
penampakan klinis yang hampir sama. Mukosa oral yang tipis menyebabkan vesikel dan
bula mudah pecah sehingga terbentuk ulser. Keparahan ulser dipicu dengan adanya
trauma (gigi dan makanan) dan infeksi sekunder oleh flora mulut. Faktor ini dapat
menyebabkan lesi memiliki penampakan spesifik pada mukosa oral.
Vesikel adalah suatu benjolan berisi cairan, berbatas jelas dalam epidermis yang
kurang dari 1 cm diameternya. Cairan vesikel umumnya terdiri atas limfe atau serum,
tetapi juga dapat berisi darah. Dinding epitel dari vesikel adalah tipis dan akhirnya akan
pecah, karenanya trerjadi suatu ulkus atau scar. ( Bricker et all, 1994).
Bulla adalah suatu vesikel yang diameternya lebih dari 1 cm. Kondisi ini terjadi dari
pengumpulan cairan dalam pertemuan epidermis-dermis atau celah pada epidermis.
Ulkus adalah suatu luka terbuka dari kulit atau jaringan mukosa yang menperlihatkan
disintegritas dan nekrosis jaringan yang sedikit demi sedikit. Ulkus meluas melaluilapisan basal dari epitel dan kedalam dermisnya, karena jaringan parut dapat
mempengaaruhi penyembuhannya. Ulkus-ulkus biasanaya sakit dan sering kali
memerlukan terapi obat topical agar terapi efektif.
II. Nikolskiy signNikolsky sign dinamai dari dermatologis Russia Piotr Vasiliyevich Nikolskiy yang
mendeskripsikannya pada tahun 1894.Nikolskiy sign yang positif menunjukkan
pembelahan intraepidermal dan membedakan lepuh intraepidermal dari lepuh
subepidermal. Tanda ini merupakan patognomonik dari pemfigus dan staphylococcal
scalded skin syndrome.Nikolsky sign juga bisa dielisitasi pada ichthyosis bullosa of
Siemens (yang jarang terjadi), di mana ia dinamakan sebagai `mauserung phenomenon'. .(
James et all, 2005)
Tanda ini dielisitasi dengan memberikan tekanan lateral dengan menggunakan ibu
jari atau fingerpad pada kulit pada tonjolan tulang (bony prominence). Hal ini akanmenyebabkan tekanan penggeseran yang akan memisahkan lapisan atas epidermis dari
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
4/24
lapisan bawah epidermis.Penghapus (rubber eraser) atau sebarang objek tumpul yang
bisa mencengkeram kulit dengan utuh juga bisa digunakan. Nikolsky sign juga bisa
dielisitasi pada mukosa oral dengan menggunakan penghapus atau swab kapas. .( James
et all, 2005)
Penyebab tersering:
Kondisi autoimun (Pemphigus vulgaris) Infeksi bakteri (Scalded skin syndrome) Toxic drug reaction(Toxic epidermal necrolysis)
Nikolskiy sign memberikan hasil positif pada fase aktif atau progresif penyakit
pemfigus. Bila tanda ini menjadi negatif pada pasien yang menerima terapi
imunosupresif, hal ini memnunjukkan berakhirnya fase akut dari penyakit tersebut.
Namun demikian, kemunculan kembali saat pengobatan menunjukkan terjadinyaflare-up.
Pasien ini akan memerlukan peningkatan dosis imunosupresan atau pemberian obat baru.(
James et all, 2005)
III. DIF (Direct Immunoflourescence)Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan flouresens.
Pemeriksaan ini dinamakan direct immunoflourescence (DIF). DIF menunjukan
deposit antibody imonureaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF
biasanya menunjukan IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam
maupun sekitar lesi.(Hert, 2005)
IV. AkantolisisAkantolisis adalah proses hilangnya jembatan antar sel pada sel-sel keratinosit
terutama pada stratum spinosum sehingga menyebabkan terbentuknya rongga.
V. UlkusUlkus merupakan lesi yang terbentuk oleh kerusakan lokal dari seluruh
epidermis dan sebagian atau seluruh korium di bawahnya.
VI. Pemphigus Vulgarisa. Definisi
http://www.umm.edu/ency/article/000882.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/000851.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/000851.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/000882.htm7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
5/24
Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimmune berupa bula yang bersifat
kronik, dapat mengenai membran mukosa maupun kulit dan ditemukannya antibodi
IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel keratinosit, menyebabkan
timbulnya suatu reaksi pemisahan sel-sel epidermis diakibatkan karena tidak adanya
kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini disebut akantolisis dan akhirnya
terbentuknya bula di suprabasal (Domonkos et al, 2000).
b. EpidemiologiPemphigus vulgaris tersebar di seluruh dunia, dapat mengenai semua ras,
frekuensi hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemphigus vulgaris merupakan
bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70 % dari semua kasus pemphigus, biasanya
pada usia 5060 tahun dan jarang pada anak-anak (Domonkos et al, 2000).
c. PrognosisPrognosis dari pemphigus tergantung pada usia penderita, onset dari gejala
serta waktu pengobatan pertaa dilakukan, perluasan lesi serta dosis dari kortikosteroid
yang digunakan untuk mengontrol penyakit tersebut. Sebelum dilakukan pengobatan
dengan kortikosteroid, angka kematian akibat pemphigus ini cukup timggi yaitu 75%
pada tahun pertama. Namun sekitar 5-10% diakibatkan dari efek samping terapi yangdilakukan (Lagha et al, 2005).
d. DiagnosisDiagnosis pemphigus vulgaris dapat ditegakkan melalui tindakan biopsi pada
kulit penderita. Oleh karena beberapa lesi vesikulobulosa dan ulserasi memiliki
tampilan yang serupa, seperti Pemphigoid, Lichen planus tipe erosif dan Erythema
multiforme, maka penegakan diagnosis tidak hanya didasarkan pada pemeriksaan
klinis. Untuk memastikan diagnosis Pemphigus vulgaris diperlukan pemeriksaan
histopatologi, dengan karakteristik berupa cleftintra epitel atau akantolisis suprabasal
dan sel epitel membulat, dikenal dengan Tzanck cells( rezeki,2009). Selain itu
penegakkan diagnosis dari pemphigus vulgaris ini dapat dilakukan dengan
pemeriksaan patologi dan tes immunofluorescene (Lagha et al, 2005). Dimana dengan
pemeriksaan immunofluorescene direct, pemphigus vulgaris menunjukkan endapan
antibodi IgG, C3 di substansi interselluler epidermis. Komplemen C3 tersebut
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
6/24
merupakan ciri-ciri bahwa lesi tersebut merupakan lesi yang masih dini (Malcolm et
al, 1993).
e. Gambaran klinisLesi awal dari pemphigus vulgaris ini biasanya tersembunyi dan terlokalisasi.
Lesi yang terdapat pada mulut akan membentuk ulcer yang menyakitkan dan adanya
sensasi seperti terbakar. Hal ini yang akan mempengaruhi penurunan nafsu makan
pada penderita. Kulit akan terserang setelah beberapa minggu ataupun beberapa bulan
setelah lesi pada mukosal itu tampak, dengan penampakan suatu lesi yang lunak
dengan cairan di dalamnya. Lesi yang lunak ini mudah pecah dan akan membentuk
erosi yang didukung oleh epidermal ring. Penekanan pada kulit yang sehat akan
menyebabkan bula atau erosi berpindah, hal ini yang disebut dengan Nikolskys sign.
Walaupun tanda ini disarankan untuk mendiagnosis pemphigus, namun tanda ini
tidaklah spesifik dan terkadang tidak menunjukkan hasil (Lagha et al, 2005).
f. PatogenesisAntibodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglein 3 pada
permukaan sel keratinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya plasminogen
activator sehingga merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin yang terbentuk
menyebabkan kerusakan desmosom sehingga terjadi penarikan tonofilamen dari
sitoplasma keratinosit, akibatnya terjadi pemisahan selsel keratinosit (tidak adanya
kohesi antara sel-sel) proses ini disebut akantolisis. Kemudian terbentuk celah di
suprabasal dan akhirnya terbentuk bula yang sebenarnya (Burton & Rook, 1998).
g. TerapiTerapi yang dilakukan pada penderita pemphigus vulgaris ini tergantung dari
elemen dari prognosis yang berpengaruh, seperti perluasan lesi dan level antibodi.
Perawatannya diberikn dalam 2 fase, dimana fase pertama adalah loading phase yang
berfungsi untuk mengontrol penyakit. Fase yang kedua adalah maintenance phase
dimana akan dibagi lagi menjadi consolidation dan treatment tapering. Perawatan
mendasar dari pemphigus ini terdiri dari kortikosteroid baik lokal maupun sistemik.
Terapi kortikosteroid lokal digunakan pada kasus dimana PV tidak meluas dan lesi
hanya terbatas pada kavitas oral. Kortikosteroid juga dapat diresepkan pada pasta gigi
sebagai ointment atau mouthwash. Hal ini sebagai monoterapi atau terapi tambahan
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
7/24
dari pearawatan sistemik. Terapi kortikosteroid intralesu akan mempercepat
pembentukkan jaringan parut dari lesi atau dapat juga digunakan untuk mengobati lesi
yang persisten. Injeksi sublesional dapat diberikan setiap 7-15 hari dan perawatan
dihentikan apabila setelah 3 kali injeksi namun tidak mnunjukkan hasil apapun.
Pembentukkan jaringan parut ini diiringi dengan atrofi mukosal dan kutaneus, yang
merupakan kekurangan dari perawatan ini. Terkadang pasien diberikan terapi
tambahan dengan aplikasi topikal dari tracolimus. Jika pasien mempunyai lesi
ekstraoral atau lesi oralnya sudah meluas maka kortikosteroid sistemik diberikan
secepatnya. Dosis awal yang diberikan tergantung dari kekronisan dari lesi dan
keparahan penyakit. Aplikasi harian dari prednison 0,5-2 mg/kg sangat
direkomendasikan. Dosisnya dapat dikurangin sampai dosis terapeutik tergantung dari
responnya dan dapat diberikan satu dosis pada pagi hari untuk mengurangi efek
sampingnya (Lagha et al, 2005).
VII. Pemfigoid Bulosaa. Definisi
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang
tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan
mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi.Namun presentasinya dapat
polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit,
di mana bula biasanya tidak ada.(1)
Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen
komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan
antibodi IgG yang terikat pada basement membrane zone.(2,3)
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di
lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran
basal. Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen
hemidesmosomal pemfigoid bulosa dan ini menangkap sel-sel peradangan
(kemotaksis).(3)
Tidak ada akantolisis dan tidak ada tanda-tanda nikolsky. (Lynch dkk, 1994)
b. Insiden dan Epidemiologi
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
8/24
Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid
bulosa jarang terjadi pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis
kelamin yang memiliki kecenderungan menderita pemfigoid bulosa. Insiden
pemfigoid bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.(2)
c. EtiologiEtiologinya adalah autoimunitas, tetapi penyebab yang menginduksi autoantibodi
masih belum diketahui (3), namun beberapa hal yang diduga berpotensi menyebabkan
penyakit tersebut diantaranya : Sinar UV, terapi radiasi, obat-obatan terapi seperti
furosemide,ibuprofen, agen anti inflamasi nonsteroidal, captopril,penicillamine, dan
antibiotik (Stanley et al, 2008)
d. PatofisiologiPemfigoid bulosa merupakan penyakit autoimun yang menyerang pada stratum
basalis. Stratum basalis terdiri atas sel sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal
pada perbatasan dermo epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel
berbentuk kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel basal dalam membran
basalis, terdapat hemidesmosom. Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel sel
basalis dengan membran basalis.(2,3)
Pemfigoid bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun seluler
dan humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.(5) Antigen
pemfigoid bulosa merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal,
diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal membrane zone) epitel
gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan
membran basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.(3)
Terdapat dua jenis antigen pemfigoid bulosa yaitu dengan berat molekul 230kD
disebut PBAg1 (pemfigoid bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan
PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan dari pada PB180.(3)
Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula
subepidermal terjadi melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi komplemen,
perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan eosinofil), dan pembebasan berbagai
kemokin dan protease, seperti metaloproteinase matriks-9 dan neutrofil elastase.(1)
http://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofenhttp://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofenhttp://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofenhttp://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofen7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
9/24
Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigoid
bulosa terjadi dalam lamina lusida, di antara membran basalis dan lamina densa.
Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament
dan hemidesmosom.(2)
Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi terhadap
antigen pemfigoid bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik
komplemen. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi
sel mast. Produk-produk sel mast menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui
mediator seperti faktor kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan
protease sel mast mengakibatkan pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh,
eosinofil, sel inflamasi dominan di membran basal pada lesi pemfigoid bulosa,
menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2, yang
mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula.(2)
e. DiagnosaGambaran Klinis
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit pemfigoid bulosa bisa polimorfik. Dalam fase prodromal
penyakit non-bulosa, tanda dan gejala cenderung tidak spesifik, seperti rasa gatal
ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau
urtikaria, serta ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu hingga
bulan. Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda
penyakit.(1)
Fase Bulosa
Tahap bulosa dari pemfigoid bulosa ditandai oleh perkembangan vesikel dan
bula pada kulit normal atau pun tampakan eritematus yang bersamaan dengan
urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola
melingkar. Bula tampak tegang, diameter 14 cm, berisi cairan bening, dan dapat
bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi
seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur
anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Tidak ada akantolisis dan tidak
ada tanda-tanda nikolsky yang positif. (16)
Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi serta miliar meskipun gambaran ini jarang. Keterlibatan mukosa
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
10/24
mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus
dan daerah anogenital lebih jarang terkena. (1)
Lesi kuli t
Eritema, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.
Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang
eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat
lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola
serpiginosa dan arciform.(2)
Tempat Predil eksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah. (2)
Pemeriksaan Laboratorium
Pemfigoid bulosa harus dibedakan dengan pemfigus, dermatosis linear IgA,
eritema multiform, erupsi obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa.
Penderita harus melakukan biopsi kulit dan titer antibodi serum untuk
membedakannya. Biopsi sangat penting untuk membedakan penyakit-penyakit ini
karena mempunyai prognosis yang tidak sama.(3,9)
f. HistopatologiKelainan awal pada pemfigoid bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan
dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah
eosinofil.(9)
g. ImunologiPada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun
seperti pita di BMZ (Base Membrane Zone).(3)
Pewarnaan Immunofluorescence langsung (DIF) menunjukkan deposit IgG,
dan biasanya juga C3, dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler
dari epidermis.(3)
h. Diagnosis BandingPemfigus Vulgaris (PV) kebanyakan menyerang pada usia remaja dan dewasa.
Erosi dan ulkus yang akut pada mukosa mulut antara 70-80% dari kasus.
Umumnya lesi dapat muncul berbagai ukuran pada kulit yang normal. Lesi ini
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
11/24
bisa terdapat di seluruh tubuh, namun umumnya lesi ini muncul pada orang
dengan posisi berbaring dimana terjadi tekanan dan gesekan sama halnya
punggung, pantat dan kaki. Lesi mudah terjadi ruptur yang dapat menyebabkan
erosi yang lebih luas dan krusta. Lesi ini akan menimbulkan sensasi nyeri jika
tersentuh. Ketika lesi ini tertekan secara terus-menerus, cairan akan keluar ke
perifer di sekitar lesi pada kulit yang normal (lesi phenomenadiffusion atau false
Nikolskys sign). Erosi pada mulut dan mukosa esofagus dapat menyebabkan
disfagia. Ketika erupsi telah terjadi, kelainan elektrolit terjadi yang dimana
menyebabkan cairan tubuh menghilang (hipoproteinemia), hal ini bisa berbahaya
jika terjadi infeksi sekunder. (11)
i. Penatalaksanaan- Kortikosteroid umumnya diberikan secara oral maupun injeksi, dosis
prednison 40 - 80 mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis diturunkan
perlahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat disembuhkan dengan
kortikosteroid saja.(3,12)
- Jika pengobatan kortikosteroid belum menunjukkan perbaikan, dapatdipertimbangkan pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan
kortikosteroid untuk mengurangi efek samping dari kortikosteroid itu sendiri.
Obat sitostatik merupakan terapi adjuvan karena bersifat imunosupresif. Yang
termasuk obat ini adalah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat, dan
mikofenolat mofetil. Obat yang lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup
bermanfaat dan tidak begitu toksik seperti siklofosfamid. Dosisnya 50-150 mg
sehari atau 1-3 mg/kgBB. Obat sitostatik sebaiknya diberikan jika dosis
prednison mencapai 80 mg. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison
diturunkan lebih dulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara bertahap.
Efek sampingnya di antaranya menekan sistem hematopoetik dan bersifat
hepatotoksik. Mikrofenolat mofetil juga dikatakan lebih efektif daripada
azatioprin karena efek toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2x1 g sehari.(2,3)
- Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti pemfigus,dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis
awal 20 - 40 mg prednison atau setara harus secara bertahap dikurangi ke
jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga
berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
12/24
penelitian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita
dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi
dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita harus
menanggung efek samping obat tersebut.(3)
- Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untukmengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada pemfigoid
bulosa.(2)
Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimunitas , oleh karena itu
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek
samping kortikosteroid sistemik sehingga harus dikombinasikan untuk
mengurangi efek sampingnya.(3)
j. PrognosisPemfigoid bulosa umumnya memberikan respon yang baik jika diobati, tetapi
kebanyakan pasien yang telah berhenti beberapa tahun namun penyakit ini
kembali setelah pengobatan berhenti. Usia tua dan kondisi umum yang buruk telah
terbukti secara signifikan mempengaruhi prognosis. Secara historis, dinyatakan
bahwa prognosis pasien dengan pemfigoid bulosa jauh lebih baik dari pasien
dengan pemfigus, terutama pemfigus vulgaris dengan pemfigoid bulosa dimana
tingkat mortalitasnya sekitar 25% untuk pasien yang tidak diobati dan sekitar 95%
untuk pasien dengan penyakit pemfigus vulgaris saja tanpa pengobatan. Dalam
beberapa dekade terakhir, beberapa penelitian di Eropa pada kasus pemfigoid
bulosa menunjukkan bahwa dengan perawatan, pasien pemfigoid bulosa memiliki
prognosa seburuk penyakit jantung tahap akhir, dengan lebih dari 40% pasien
meninggal dunia dalam kurun 12 bulan. Dari studi terbaru, kemungkinan bahwa
penyakit penyerta dan pola praktek (penggunaan kortikosteroid sistemik dan / atau
obat imunosupresif) juga mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan mortalitas
penyakit ini. (1,12,13,14,15)
VIII. Mucous Membrane Pemphigoid (MMP)a. Definisi
Merupakan penyakit kronik yang tidak biasa yang dapat menyebabkan bulla
dan erosi yang menyakitkan. Lesi ini jarang tersebar luas dan perkembangannya
lambat. Desquamative gingivitis dapat menjadi manifestasinya. Bulla yang utuh
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
13/24
tidak selalu terlihat. Kehancuran erosi meninggalkan ulcer dengan garis tepi yang
jelas. Erosi yang lebih lanjut dapat tumbuh tidak jauh dan proses ini dapat
bertahan selama setahun atau lebih. Lesi tersebut membatasi dalam daerah mulut
untuk waktu yang sangat panjang dan tidak pernah melibatkan tempat lain
(Cawson & Odell, 2008).
MMP adalah penyakit autoimun kronis subepitel yang mempengaruhi selaput
lendir pasien di atas usia 50, sehingga lecet mukosa, ulserasi, dan selanjutnya
jaringan parut (Burket, et al, 2008).
Mucous membrane pemphigoid adalah penyakit kronis yang tidak umum
terjadi pada masyarakat, yang berupa bulla dan membentuk erosi serta
menimbulkan rasa sakit. Mucous membrane pemphigoid adalah penyakit
autoimun yang idiopatik dan tidak menular. Mucous membrane pemphigoid
biasanya menyerang orang tua dengan perbandingan prevalensi pria berbanding
wanita adalah 1:2 (DeLong dan Burkhart, 2008).
MMP merupakan penyakit autoimun subhepitelial yang kronis yang terjadinya
2x lebih besar pada wanita daripada pria dan menyerang membran mukosa
seseorang dengan usia pada umumnya di atas 50 tahun yang menyebabkan
timbulnya bulla, ulcer, dan juga lesi (Greenberg, dkk, 2008).
b. Etiologi dan PatogenesisLesi utama MMP terjadi ketika autoantibodi diarahkan terhadap protein di
zona membran basalis, bertindak dengan komplemen (C3) dan neutrofil, yang
kemudian menyebabkan perpecahan subepitel dan pembentukan vesikula (Burket,
et al, 2008).
MMP adalah kelainan tipe autoimun, secara imunologi digolongkan menurut:
1. Pengendapan immunoglobulin dan komponen komplemen pada epitel basement
membrane zone (BMZ), menunjukkan bahwa antibody diatur berlawanan dengan
membran dasar.
2. Sirkulasi autoantibodi kepada komponen BMZ
3. Endapan pada epitel BMZ yang secara klasik pada jenis IgG (97%) with C3
(78%), tapi terkadang IgA (27%) atau IgM (12%). Tambahan ini menunjukkan
bahwa hal ini merupakan kelompok berbagai macam jenis kelainan.
(Scully, 2004)
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
14/24
Patogenesis penyakit ini adalah antibody menyerang membrane basal dan
melemahkan perlekatan jaringan ikat. Pembentukan bulla terjadi pada area
subepitel diantara jaringan ikat dan membrane basalis. Pada dasar bulla terdapat
sel-selinflamasi (DeLong dan Burkhart, 2008).
Pada MMP terdapat lesi bulosa subepitel dengan lapisan sel basal utuh di atap.
Pada submukosa pada lesi awal menunjukkan peradangan minimal. antigen target
MMP adalah heterogen dan biasanya diterjemahkan ke lamina lucida. DIF
menunjukkan distribusi basement linear IgG, komplemen fraksi 3, dan IgA (IgA
linear penyakit) (Eversole, 2011).
MMP tampaknya disebabkan oleh antibodi yang menargetkan membran basal
dan menyebabkan melemahnya lampiran ke jaringan ikat yang mendasari. pada
penyakit ini, pembentukan bula terjadi di daerah subepitel antara jaringan ikat dan
membran basal. histologi menunjukkan gangguan, dengan pemisahan lapisan sel
basal dari jaringan ikat yang mendasari (DeLong and Burkhart, 2008 ).
Bagian khas dari MMP :
1. Menyerang wanita dan biasanya usia tua
2. Mukosa mulut sering terserang pertama kali
3. Keterlibatan mata dapat menyebabkan scarring dan kebutaan
4. Keterlibatan kulit sedikit atau tidak pernah
5. Tidak aktif, bukan penyakit yang menyebabkan kematian
6. Bulla mulut merupakan subepitel dan terlihat utuh
(Cawson & Odell, 2008)
Pada MMP jinak, gangguan bulosa menunjukkan bula oral yang luas pada
basis eritematosa. symblepharon terlihat melintasi konjungtiva palpebral dan
bulbar (Eversole, 2011).
Terbentuk bulla pada area subepitelial antara jartingan ikat dan juga membran
basali. Kemudian terjadi pemisahan antara keduanya sehingga tampak terbentuk
celah. Hal ini karena peruibahan komplemen C3 dan neutrofil oleh karena
antibodi yang melawan protein di membrana basalis (Greenberg,dkk, 2008).
c. ManifestasiPada ekstraoral, penyakit ini dapat menyerang membrane mukosa lain,
contohnya pada kulit, hidung, uretra, dan esophagus. Bulla biasanya short-lived,
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
15/24
cepat pecah dan mengalami deskuamasi, kemudian meninggalkan bekas yang
eritematus (Cawson dan Odell, 2008).
Lesi mata adalah karakteristik pada MMP, dan ketika dilakukan pemeriksaan
oral biopsi ditemukan bula subepitel, diagnosis klinikopatologi dapat diperoleh
dengan pasti (Eversole, 2011).
Bula oral berkembang secara perlahan dan bervariasi dalam ukuran, mereka
adalah runcing/tegang atau plak seperti agar-agar. Deskuamasi gingiva juga sering
ditemukan. lesi mata ditemukan pada kedua conjunctivas palpebral dan bulbar dan
cenderung sembuh dengan membentuk jaringan parut (Eversole, 2011).
Conjungtiva adalah bagian kedua yang paling sering terserang mucous
membrane pemphigoid dan dapat berkembang menjadi adesi dan luka antara
bulbar dan palpebral conjungtiva yang disebut symblepharon. Lesi juga dapat
menyerang mukosa genital, menyebabkan nyeri atau sakit serta disfungsi seksual.
Terhadap laring, dapat mengakibatkan sakit atau nyeri, serak, sulit bernapas,
sedangkan pada faring dapat menyebabkan dysphagia, yang dapat menuntun
kepada kelemahan dan kematian pada bebrapa kasus. Biasanya terdapat lesi kulit
pada kepala dan leher, pada 20 sampai 30% pasien (Greenberg, dkk, 2008).
Rongga mulut dan conjunctivas adalah situs disukai, meskipun faring, lesi
dubur, dan vagina yang hadir di sebagian dari salah satu pasien (Eversole, 2011).
Pada intraoral, penyakit ini biasanya membuat jaringan mukosa eritematus,
jaringan gingiva memerah dan biasanya terjadi gingivitis deskuamatif, jaringan
mudah terkelupas, dan meninggalkan bekas yang sakit, eritema, ataupun
permukaan yang ulseratif (Cawson dan Odell, 2008).
Pada oral, lesi gingiva desquamative yang terjadi menyerupai lesi pada erosive
lichen planus dan pemphigus, sehingga lebih baik dilakukan biopsy dan
pemeriksaan histologist dan DIF untuk menentukan diagnosis yang benar. Lesi
dapat muncul sebagai vesikel dari gingiva atau mukosa oral, namun biasanya
muncul sebagai erosi yang non-spesifik, menyebar lebih lambat dari pemphigus,
danself-limiting (Greenberg, dkk, 2008).
d. Pemeriksaan PenunjangDiagnosis diperkuat dengan biopsi dan mikroskop immunofluoresence, namun
lebih disukai untuk didapatkan vesikel atau bulla yang utuh. Dikarenakan
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
16/24
kemungkinan resiko untuk melihat, pemeriksaan ocular penting jika perubahan
pada awal diduga di dalam mata (Cawson & Odell, 2008).
Secara histologi, MMP digolongkan menurut pemisahan junctional pada epitel
BMZ memberikan kenaikan ke pecahan sub-basilar sebagai bentuk lain dari
pemphigoid. Kemungkinan besar patogenesisnya termasuk
pengambilan complement-mediated pada leukosit, dengan yang dihasilkan sitokin
dan enzim leukosit melepaskan dan memisahkan sel basal dari BMZ (Scully,
2004).
Apabila dilakukan uji Nikolsky pada penyakit ini, maka akan didapatkan
harga yang positif. Selain itu, diagnosis juga dapat dipastikan dengan biopsy
(Cawson dan Odell, 2008).
e. Treatment/ ManajemenMenejemen MMP tergantung dari keparahan dari gejala dan tempat yang
terlibat. Ketika lesi berbatas pada oral mukosa, menggunakan kortikosteroid
sistemik hanya dipertimbangkan untuk periode singkat waktu keparahan pecahnya
sampai pembentukan toxic berkurang terapi dapat diganti. Kecuali pemphigus,
MMP merupakan penyakit fatal yang jarang dan penggunaan steroid sistemik
jangka panjang untuk lesi oral involvement merupakan indikasi yang jarang.
Pasien dengan lesi oral yang ringan dirawat dengan topikal dan itralesional
steroid. Desquamative gingivitis dapat dirawat dengan steroid topikal pada soft
dental splint yang menutupi gingiva, meskipun klinisi menggunakan steroid
topikal pada area mukosa yang luas memonitor pasien karena efek samping
candidiasisdan efek absorbsi sistemik. Ketika topikal dan intralesional steroid
tidak berhasil, gunakan tetracycline, doxycycline, atau minocycline lebih
membantu dalam mengontrol desquamative gingivitis dan lesi oral lainnya. Saat
terdapat lesi oral yang parah, dengan keterlibatan conjunctiva dan laryngeal,
dapsome terapi direkomendasikan sebagai pilihan selanjutnya sebelum
mempertimbangkan steroid sistemik jangka panjang atau terapi obat
immunosuppresive. Karena dapson menyebabkan hemolysis dan
methemoglobinemia, defisiensi glukosa-6-phosphate dehydrogenase
dikesampingkan dan hemoglobin pasien harus dimonitor. Efek samping yang
jarang pada dapson lainnya adalah dapson hypersensitivity syndrome, penyakit
idiosinkratik dengan karakteristik demam, lymphadenopathy, skin eruptions, dan
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
17/24
kadang-kadang dengan keterlibatan liver. Pasien resisten dapson dirawat dengan
kombinasi kortikosteroid sistemik dan obat-obatan immunosuppresive, khususnya
terdapat resiko kebutaan dari keterlibatan conjunctiva atau kerusakan laryngeal
dan esophageal yang berarti. Terapi dosis tinggi intravena telah ditunjukkan pada
beberapa kasus terapi adjuvant efektif pada pasien yang resisten terhadap terapi
konvensional, meskipun kontrol percobaan belum selesai.
MMP terbatas pada mukosa mulut yang kekerasannya cukup atau lembut
sebaiknya diobati dengan dapsone sebagai pengobatan pertama dalam steroid
sistemik. Meskipun demikian, efek samping dapat membatasi pengobatan.
Penyakit ringan dapat dengan efektif dapat dikendalikan dengan kortikosteroid
topical. Dosisnya kecil dan tanpa efek sistemik. Keterlibatan mata minor juga
bereaksi terhadap dapsone, tetapi penyakit mata yang parah membutuhkan
immunosuppresi yang besar dengan steroid dan azathioprine, cyclophosphamide
atau mycophenylate mofetil (Cawson & Odell, 2008).
MMP terkait dengan epiligrin telah dilaporkan membawa risiko yang lebih
tinggi dari asosiasi dengan keganasan, namun bukti untuk ini tidak konklusif.
Penelitian lebih lanjut diperlukan mengenai kemungkinan asosiasi pemfigoid
dengan keganasan, dan dokter harus mempertimbangkan rujukan untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan pada pasien yang baru didiagnosis MMP
(Greenberg,dkk,2008).
IX. Dermatitis Hepertiformisa. Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) atau dikenal juga sebagai Morbus Duhring
merupakan suatu penyakit vesikobulosa autoimun yang berhubungan dengan gluten-
sensitive enteropathy (GSE). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Louis
Duhring pada tahun 1884, yang ditandai dengan papul dan vesikel, plak, urtikaria,
eritematous dan kelompok ekskoriasi pada daerah ekstensor, siku, lutut, bokong dan
punggung yang terdistribusi secara simetris (Kariosntono, 2000).
b. EpidemiologiDermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring) ini bisa terjadi pada semua umur,
termasuk anak-anak. Namun paling sering dijumpai pada dekade 2 4 yaitu usia 20
tahun hingga 40 tahun (Amiruddin , 2003).
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
18/24
c. Etiologi dan PatogenesisDermatitis herpetiformis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
deposit IgA pada papilla dermis yang dicetuskan melalui proses imunologis,
melibatkan infiltrasi neutrofil dan aktivasi komplemen. Teori menyebutkan bahwa
dermatitis herpetiformis adalah hasil respon imunologik dari paparan kronik pada
sel mukosa gastrointestinal oleh bahan gluten dengan aktivasi bertahap pada sel
endotel pembuluh darah kulit dan sel-sel inflamasi, termasuk neutrofil (Miller ,
2007).
Adanya autoantibodi terhadap epidermal transglutaminase (TGase),
memegang peranan penting pada patogenesis pasien dermatitis herpetiformis.
TGase adalah suatu enzim yang dihasilkan pada dinding sel selama diferensiasi
keratinosit. Selain pada epidermis, enzim transglutaminase juga dihasilkan pada
berbagai jaringan tubuh lainnya, termasuk pada saluran pencernaan (Miller, 2007).
d. Gejala KlinisLesi awal dari DH adalah papul eritematous, plak urtikaria atau lebih sering
dengan bentuk vesikel yang berkelompok yang muncul pada beberapa tempat,
bisa juga lesinya muncul tidak berkelompok. Bentuk vesikel lebih sering
ditemukan pada telapak tangan, bisa disertai dengan perdarahan. Jika berlangsung
lama akan disertai hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Pasien bisa datang hanya
dengan lesi krusta, jika lesi-lesi primer sudah tidak muncul lagi atau hilang. Gejala
klinis DH sangat bervariasi mulai dari rasa sensasi terbakar yang berat dan gatal
yang sangat hebat (Siregar ,2004).
e. PrognosisPenyakit ini dapat berlangsung lama dengan proses eksaserbasi dan remisi.
10% penderita akan mengalami remisi.
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
19/24
BAB III
MIND MAP
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
20/24
BAB IV
PEMBAHASAN
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
21/24
BAB V
KESIMPULAN
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
22/24
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin DM. Dermatitis Herpetiformis. Dalam :Amiruddin DM, editor. Ilmu Penyakit
Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUH; 2003.p.337-43.
Andrews. Clinical Dermatology. Diseases of the Skin. 10th ed: Saundres; 2006.
Wojnarowska F, Venning VA, editors. Rooks Textbook of Dermatology Vol. II, 8thEd.
Oxford: Blackwell Publishing Company; 2010. Page 40.32-40.33.
Berman K, Zieve D. Atlanta Center for Dermatologic Disease. [may 2011; cited 2012 27
Februari]; Available from: http:// MedlinePlus Medical Encyclopedia.mht.
Lynch dkk. 1994.Burket Ilmu Penyakit Mulut, Edisi 8. Binarupa Aksara: Jakarta.
Borradori L, Bernard P. Bullous pemphigoid in Bolognia. In: Jorizzo JL, Rapini JL,
editors. Dermatology. 2nd ed: Mosby. chapter. 29.
Bricker S.L., Langlais R.P.,Miller, C.S., 1994, Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment
Planning, 2nd edition, Lea & Febiger a Waverly Company, USA.
Bullous Pemphigoid. American Osteopathic College of Dermatology [cited]; Available
from: http://www.aocd.com/index.html/ed.
Burket L. W, Greenberg M. S, et al. 2008. Burkets Oral medicines, 11th Ed. BC Decker Inc : India.
Burton JL and Rook. 1998. Bullous Eruption in :Textbook of Dermatology. 6th edition.
Blackwell Science.
Cawson RA, Odell EW. 2008. Cawson's Essential of Oral Pathology and Oral Medicine. Elsevier:
Philadelphia.
DeLong L, Burkhart N W. 2008. General and Oral pathology for Dental Hyginiest. Lippincott William
and Wilkins: Philadelphia.
Djuanda A.Pemfigoid Bulosa. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2010. p. 210-1.
Domonkos AN, Arnold HN, Odom RD. 2000. Chronik Blistering Dermatoses in Andrews
Disease of the skin. 7thedition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Eversole Lewis R. 2011. Clinical Outline of Oral Pathology: Diagnosis and treatment, 4th Ed. Peoples
Medical Publishing House : USA.
Greenberg MS, Glick M, and Ship JA. 2008. Burkets Oral Medicine, eleventh edition. BC Decker Inc:
Ontario.
Habif T. Clinical Dermatology. A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed:Mosby; 2003.
7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
23/24
Hert M, ed. Autoimmune disease of the skin: pathogenesis,diagnosis,management. 2nd revised
edition.Austria : Springer-verlag Wien; 2005;60-79.
James, William; Berger, Timothy; Elston, Dirk (2005) Andrews' Diseases of the Skin:
Clinical Dermatology (10th ed.). Saunders. Page 16. ISBN 0-7216-2921-0.
John RS.Pemphigus in Freedberg. In: Eisen, Wolff, Austen, Goldsmith, Katz SI, leditors.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
Kariosntono H. Dermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring). Dalam: Harahap M, editor.
Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.p.139-41.
Lagha NB, et al. 2005. Phemphigus Vulgaris: A Case-Based Update. J Can Dent Assoc.
71(9):667-72.
Malcolm AL, Vemon JB, Martin SG. 1993.Ilmu Penyakit Mulut: Diagnosis dan Terapi. edisi
kedelapan Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara.
Miller, Jami. Dermatitis herpetiformis. eMedicine. [serial online] 2007 mei. [citied
September 20]. Available from URL http://www.eMedicine.com
Opeola M, Clerk BKD. Dermatology for Skin of Color. New York: McGraw-Hill; 2009.
Bullous Pemphigoid. Histopatology [Feb 2010; cited 2012 27 Februari]; Available from:
http://www.google.com/histopatology.html
Scully, C.M. 2004.Oral and Maxillofacial Diseases, 3rd Ed. Taylor and Francis: United Kingdom.
Shimizu H, editors. Shimizu Textbook of Dermatology. Japan: Hokkaido University
Press; 2007.
Siregar RS. Dermatitis Herpetiformis. Dalam : Hartono H, editor. Saripati Pennyakit Kulit
Jakarta: EGC;2004.p.196-7
Swerlick AR, Korman JN. Bullous Pemphigoid. ; 2007 [updated 2007 04 May 2007; cited
2012 27 Februari ]; Available from: www.nature.com/jid/journal/v122/n5/index.html.ed
Bernard P, Ziar R.RiskFactors for Relapse in Patient with Bullous Pemhigoid in ClinicalRemission. [may 2009; cited 2012 27 Februari]; Available from:
http://www.archderm.ama-assn.org.
Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
6th ed. New York: McGraw-Hill; 2007.
Zillikens D, Kasperkiewicz M. The Pathophysiology of Bullous Pemphigoid [July 2007;
cited 2012 27 Februari]; Available from: http:// www.google.co.id/Clinic Rev AllergImmunol
http://www.emedicine.com/http://www.archderm.ama-assn.org/http://www.archderm.ama-assn.org/http://www.emedicine.com/7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS
24/24
Recommended