MAKALAH
PEMETAAN GEOLOGI DAERAH BANJARSARI DAN SEKITARNYAKECAMATAN BOBOTSARI, KABUPATEN PURBALINGGA
JAWA TENGAH
Oleh :
Willson Chani Simanjuntak
H1F008004
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Geologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari bumi pada umumnya
dan gejala-gejala yang ada didalamnya pada khususnya. Pengertian dari kata “bumi” bukan
berarti hanya fisik dari bumi saja yaitu material penyusun bumi dan bentuk dari bumi itu
sendiri, tetapi juga proses-proses yang terjadi pada bumi sebagai acuan berpikir akal sehat
(logika) terhadap terbentuknya bumi sampai sekarang. Proses-proses tersebut baik yang
terjadi di dalam maupun di permukaan bumi merupakan alasan dilakukannya suatu penelitian
sebagai suatu pembelajaran untuk mengetahui kehidupan yang pernah ada di bumi ini dan
evolusinya.
Pemetaan geologi adalah bagian dari pembelajaran dalam bentuk kegiatan pendataan
informasi-informasi geologi permukaan dan menghasilkan suatu bentuk laporan
berupa peta geologi yang dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran dan susunan
batuan (lapisan batuan), serta memuat informasi gejala-gejala struktur geologi yang
mempengaruhi pola penyebaran batuan pada daerah tersebut. Untuk memperoleh data-data
geologi tersebut dibutuhkan pemahaman baik mengenai karakteristik batuan pada suatu
lapisan batuan dengan pemeriaan maupun gejala-gejala alam sebagai pengontrol rona muka
bumi.
Pada studi tertentu kegiatan pemetaan geologi ini dapat berguna untuk menentukan
suatu potensi-potensi yang ada di suatu daerah penelitin. Penentuan potensi ini dapat
diidentifikasi baik berdasarkan keberadaan batuan-batuan yang ada, maupun struktur
pengontrol untuk tersingkapnya suatu potensi geologi yang ada, misalnya rembesan minyak
bumi, mineral-mineral ekonomis, potensi mata air, bahkan potensi terhadap mitigasi tanah
longsor suatu daerah tertentu.
Tingkat ketelitian dan nilai dari suatu peta geologi sangat tergantung pada informasi-
informasi pengamatan lapangan dan skala peta. Skala peta tersebut mewakili intensitas dan
kerapatan data singkapan yang diperoleh. Tingkat ketelitian peta geologi ini juga dipengaruhi
oleh tahapan eksplorasi yang dilakukan. Pada tahap eksplorasi awal dengan skala peta 1 :
25.000 sudah cukup memadai, pada tahap prospeksi dengan skala peta 1 : 10.000 dan pada
tahap penemuan pada umumnya akan semakin detail dengan skala peta geologi samapai 1 :
2.500. Dalam kegiatan penelitian ini dilakukan suatu pengambilan data lapangan dengan
cakupan wilayah dan kerapatan kontur yang termasuk pada tahapan eksplorasi awal dengan
skala 1 :25.000.
I.2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang menjadi acuan dalam pemahaman lebih lanjut
mengenai daerah penelitian agar tersampaikannya tujuan dari pembuatan makalah ini, antara
lain ;
1. Bagaimanakah kondisi geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi pada daerah
penelitian?
2. Bagaimanakah sejarah geologi daerah penelitian?
3. Potensi-potensi geologi yang terdapat didaerah penelitian?
I.3. Maksud dan Tujuan
Suatu kegiatan penelitian sudah seharusnya memiliki bentuk pernyataan terhadap
pelaksaan suatu pertanggungjawaban yang dibebankan baik berupa maksud maupun tujuan
dari kegiatan penelitian ini. Adapun maksud dari penelitian ini antara lain sebagai
pertanggungjawaban terhadap pemenuhan nilai dalam mata kuliah Praktek Kerja Lapangan
(PKL), dan dapat mengaplikasikan prinsip dan metode-metode yang telah dipelajari baik
dalam perkuliahan sebelumnya maupun yang sudah didapat dalam mata kuliah geologi
lapangan untuk pembuatan pemetaan geologi permukaan.
Bentuk lain dari suatu pernyataan seperti yang disebutkan diatas mencakup tujuan dari
kegiatan penelitian ini antara lain ;
1. Menentukan dan menggambarkan bentuk muka bumi daerah Banjarsari dan sekitarnya
sebagai akibat dari aktivitas geologi.
2. Menentukan dan menggambarkan suatu kenampakan penyebaran batuan yang
diidentifikasikan berdasarkan variasi litologi yang mengacu pada analisis stratigrafi
dengan kenampakan kolom stratigrafi dan kedudukan perlapisan batuan pada daerah
penelitian.
3. Melakukan analisis struktur geologi berdasarkan keberadaan shear fracture, tension,
breksiasi, microfold, gores garis (striasi), maupun kelurusan geomorfologi yang
terdapat pada daerah penelitian.
4. Menentukan dan menggambarkan potensi-potensi geologi baik berupa potensi positif
(misalnya ; potensi mata air, potensi tanah merah dll) maupun potensi negative
(misalnya ; potensi tanah longsor, potensi banjir dll) yang terdapat di daerah penelitian
sebagai acuan untuk pengembangan lebih lanjut terhadap daerah banjarsari dan
sekitarnya.
I.4. Lokasi Penelitian
Daerah Banjarsari dan sekitarnya berada di wilayah Kecamatan Bobotsari, Kabupaten
Purbalingga- Jawa Tengah. Banjarsari terletak ± 15 km atau sekitar 25 menit ke arah utara
dari pusat kota Purbalingga.
Lokasi pemetaan yang berada di Purbalingga terletak pada koordinat 7° 16' 36” - 7°
18' 45” LS dan 109° 21' 55” - 109° 23' 35” BT atau dalam UTM 319700 oE – 322700 oE
dan 9191250 oN – 9195250 oN.
Pemetaan dilakukan dengan luasan daerah 4 x 3 km2. Di sebelah utara batas-batas
daerah pemetaan meliputi desa Limbasari di sebelah utara, desa Jambudesa di sebelah timur,
desa Gandasuli di sebelah selatan, serta desa Karangduren di sebelah barat. Akses menuju
daerah pemetaan ditempuh melalui kendaraan menuju pos-pos yang telah ditentukan, waktu
yang ditempuh dari kampus Teknik Unsoed – Purbalingga zona-zona± 25-35 menit.
Gambar 1.1. Peta administrasi kabupaten Purbalingga (sumber : Pemerintah provinsi Jawa
Tengah.go.id 2011
1.5. Batasan Masalah
Suatu pemetaan satuan batuan didaerah penelitian dengan karakteristik geologi pada
formasi Tapak (Tpt) Banjarsari dan formasi Lava G. Slamet (Qvls) Pekuncen. Dengan
pendalaman stratigrafi berdasarkan korelasi ruang dan waktu geologi dalam konsep
lithostratigrafi yang didukung dengan bukti analisis laboratorium dan geomorfologi dengan
keberadaan struktur geologi yang mengontrol daerah penelitian yang terangkum dalam
pembahasan sejarah geologi pada daerah penelitian.
I.6. Hasil yang diharapkan
Pemetaan yang nantinya akan di lakukan di daerah Banjarsari dan sekitarnya, kec.
Bobotsari, kab.Purbalingga, Jawa Tengah, diharapkan nantinya dapat mengetahui satuan
batuan yang ada, struktur geologi yang ada, umur geologi menurut analisa mikropaleontologi,
sejarah geologi, serta potensi geologi daerah penelitian guna pengembangan berbasis
pembangunan daerah.
Gambar 1.2. Lokasi daerah penelitian (Sumber ; FrailBehind.com 2011)
berdasarkan peta topografi Bobotsari-karangmoncol
1.7. Peneliti Terdahulu
Beberapa penulis terdahulu yang dijadikan sebagai acuan oleh penulis adalah :
1. R.W. Van Bemmelen, 1937, yang menuliskan hasil penelitian geologi di daerah
Karangkobar dengan judul Toleichting Bij Blad 66 (Karangkobar) dan dalam bukunya yang
berjudul The Geology of Indonesia, Vol. IA (1949) membahas urutan-urutan Stratigrafi
Pegunungan Serayu Utara.
2. P. Marks, 1957, yang menuliskan pembahasan mengenai statigrafi regional Pegunungan
Serayu Utara dalam buku Statigraphic Lexicon of Indonesia.
3. S. Asikin, Lukman K, dan Hengky Uneputty, 1987 menyusun laporan yang berjudul
Tatanan Stratigrafi dan Posisi Tektonik Cekungan Jawa Tengah Utara Selama Jaman Tersier.
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
Untuk mengetahui dan memahami secara detail mengenai daerah penelitian
sebelumnya maka perlu diketahui geologi regionalnya sebagai acuan terhadap berbagai aspek
yang ada di daerah penelitian nantinya. Pemahaman awal terhadap Geologi regional meliputi
fisiografi, stratigrafi regional, dan struktur regional daerah Jawa bagian tengah.
II.1. Fisiografi
Indonesia merupakan zona pertemuan lempeng tektonik aktif di Dunia, ketiga
lempeng tersebut adalah lempeng Eurasia di sebelah timur, lempeng Pasifik di sebelah barat
dan lempeng Indo-Australia di sebelah Selatan.Interaksi lempeng tersebut adalah penunjaman
lempeng samudera ke bagian bawah kerak benua. Kerak samudera mempunyai densitas yang
lebih besar dan memungkinkan untuk menyusup ke bagian bawah lempeng benua
dikarenakan adanya gaya dorong yang berasal dari zona pemekaran samudera (spreading
centre). Pertemuan antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia merupakan salah
satu aktivitas tektonik di Indonesia yang membentuk pulau jawa.
1. Zona pantai utara jawa tengah mempunyai kesamaan dengan zona sepanjang pantai utara
jawa, menerus mulai dari ujung barat di Banten hingga ke Rembang di Jawa Tengah yang
kemudian muncul terputus-putus di Jawa Timur (Tuban dan Surabaya). Dataran ini
merupakan tempat akumulasi sedimen-sedimen Kuarter hasil erosi pegunungan di
selatannya.
2. Zona di Selatan dataran pantai utara Jawa tengah disebut sebagai Zona Pegunungan
Serayu Utara. Zona ini merupakan kemenerusan Zona Bogor di bagian barat yang
merupakan endapan-endapan laut tersier yang terlipat-lipat (Zona antiklinorium) dengan
beberapa intrusi Tersier akhir dan Kuarter.
3. Memanjang di bagian tengah Jawa Tengah adalah zona depresi tengah yang merupakan
kemenerusan zona bandung di bagian Barat, yang kemudian menerus sebagai Zona solo
kearah Timur. Di Jawa Tengah, zona ini mempunyai lebar terbatas yang diapit oleh
pegunungan Serayu utara dan Selatan.
4. Pegunungan Serayu Selatan adalah pegunungan lipatan yang dipisahkan oleh zona Depresi
Tengah dari pegunungan Serayu Utara. Pegunungan ini terangkat lebih tinggi dan tererosi
lebih intensif sehingga memunculkan batuan dasarnya, yaitu kompleks mélange
Karangsambung di Kabupaten Kebumen, zona ini sebanding dengan pegunungan Bayah
di Jawa Barat.
5. Zona paling Selatan merupakan Zona dataran pantai selatan, dan merupakan suatu depresi
Jawa Tengah yang tergeser ke selatan. Zona ini merupakan suatu depresi yang sangat jauh
berbeda dengan daerah selatan di Jawa Barat dan Jawa Timur yang merupakan zona
pegunungan selatan dengan ciri suatu pleateau yang tererosi, namun demikian, diantara
dataran alluvial selatan, menyembul suatu pegunungan yang relative tersendiri dan
terpisah diantara dataran, dan dinamakan pegunungan karangbolong. Di Jawa bagian
Tengah , zona pegunungan Selatan yang dikenal pula sebagai zona yang didominasi oleh
formasi andesit Tua yang sangat mempengaruhi morfologi di Jawa Barat dan Timur, di
Jawa Tengah hanya muncul sebagai pegunungan kecil terisolir di kelilingi oleh dataran
alluvial disekitarnya.
Secara regional wilayah penelitian terletak di dalam zona fisiografi Pegunungan
Serayu Selatan bagian barat. Jalur ini memanjang dari Majenang sampai Pegunungan
Manoreh di daerah Kulon Progo (Van Bemmelen, 1949). Daerah kegiatan meliputi desa
Gandasuli, Pekuncen, Banjarsari, Lumpang, Karamalang. Secara administratif termasuk ke
dalam Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah dengan ibukota kabupaten di
Purwokerto. Kabupaten Purbalingga berbatasan di sebelah selatan dengan kabupaten
Kebumen, di sebelah barat dengan kabupaten Banyumas, di sebelah utara dengan kabupaten
Pemalang dan sebelah timur kabupaten Banjarnegara.
II.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah Banjarsari dan sekitarnya yang merupakan bagian dari
cekungan Banyumas umumnya terdiri dari batuan sedimen yang termasuk kedalam beberapa
formasi batuan, yakni :
1. Formasi Halang (Tmph) : Batupasir andesit ,konglomerat tufaan dan napal bersisipan
batupasir di atas bidang perlapisan batupasir terdapat bekas bekas cacing Foramnifera
kecil menunjukan umur Miosen Akhir di lembar sebelahnya hingga Pliosen Tebal
sekitar 800m.
2. Anggota Batugamping Formasi Tapak : Lensa-lensa batugamping tak berlapis
berwarna kelabu kekuningan.
3. Formasi Tapak (Tpt) : Batupasir berbutir kasar berwarna kehijauan dan konglomerat
setempat breksi andesit di bagian atas terdiri dari batupasir gampingan dan napal
berwarna hijau mengandung kepingan moluska Tebal sekitar 500m.
4. Batuan hasil Gunung api Tak Teruraikan (Qvs) : Breksi gunung api, lava dan tufa.
Penyebarannya membentuk suatu dataran dan perbukitan
5. Lava G.Slamet (Qvls) : lava andesit ,berongga,terutama di lereng Timur.
6. Endapan Lahar Gunung Slamet (Qls) : Lahar dengan bongkahan batuan gunungapi
bersusunan andesit – basalt, bergaris tengah 10 – 50 cm, dihasilkan oleh Gunung
Slamet Tua pada Kala Holosen. Sebarannya meliputi daerah datar.
7. Aluvium (Qa) : kerikil,pasir ,lanau dan lempung sebagai endapan sungai dan
pantai.Tanda-tanda titik –titik menunjukkan undak sungai.Tebal hingga 150 m.
Berdasarkan peta geologi Purwokerto-Tegal dengan urutan stratigrafi yang terlihat
dari kenampakan kolom stratigrafi oleh sumber Pusat Peneltian Dan Pengembangan Geologi
1996 (Djuri,dkk,1996) maka cakupan formasi batuan yang ada pada daerah penelitian
meliputi formasi lava G.Slamet (Qvls), lahar G.Slamet (Qls), dan formasi Tapak (Tpt).
II.3. Struktur Regional
Struktur geologi yang dijumpai adalah lipatan, sesar, dan kekar. Pada umumnya
struktur tersebut dijumpai pada batuan yang berumur Kapur hingga Pleosen. Di beberapa
tempat struktur lipatan dan sesar tercermin dan tampak jelas pada bentuk bentang alamnya
seperti yang terdapat di Karang Sambung. Di tempat lain bentuk struktur hanya dapat
diketahui dari pola bentuk sebaran batuan atau ditafsirkan dari pengukuran lapisan di
lapangan.
Struktur geologi sebagai akibat dari aktivitas tektonik yang terjadi di Pulau Jawa
sangat dipengaruhi oleh subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng Mikro Sunda.
Berdasarkan berbagai macam data (data foto udara, penelitian lapangan, citra satelit, data
magnetik, data gaya berat, data seismik, dan data pemboran migas) dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya di pulau Jawa ada 3 (tiga) arah/pola kelurusan struktur dominan dari yang
berumur tua sampai muda yaitu pola Meratus, pola Sunda, dan pola Jawa.
Arah yang pertama adalah arah Timurlaut-Baratdaya (NE-SW) yang disebut dengan
Pola Meratus. Pola struktur dengan arah Meratus ini merupakan pola dominan yang
berkembang di Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994) terbentuk pada 80 sampai 53
juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).
Arah yang kedua adalah pola struktur yang dijabarkan oleh sesar-sesar yang berarah
utara-selatan. Arah ini diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan
Sunda, dan Cekungan Arjuna. Pola ini disebut dengan Pola Sunda. Pola Sunda berarah utara-
selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal).
Arah yang ketiga adalah arah barat-timur yang umumnya dominan berada di dataran
Pulau Jawa dan dinamakan dengan Pola Jawa. Pola Jawa berarah barat-timur (E-W)
terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu dan diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Baribis dan
sesar-sesar di dalam Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949op.cit. Pulunggono dan
Martodjojo, 1994).
Sujanto (1975) membuat peta pola struktur Jawa Tengah berdasarkan interpretasi Foto
ERTS-1 menyatakan bahwa pola umum struktur sesar di Jawa Tengah adalah barat laut-
tenggara dan timur laut-barat daya dan beberapa pola struktur sesar mempunyai arah barat-
timur.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Suatu kegiatan penelitian perlu dilakukan rangkaian atau tahapan-tahapan proses
dalam pelaksanaannya. Proses yang dilakukan dalam penelitian berkaitan dengan pemetaan
geologi meliputi metode survey yang berlaku baik metode pemetaan geologi permukaan
maupun pemetaan geologi bawah permukaan. Pada kegiatan penelitian ini dilakukan dengan
metode survey berupa pemetaan geologi permukaan. Metode survey yang dilakukan meliputi
pengambilan data mencakup data litologi, geomorfologi, struktur geologi, potensi geologi,
dan lain-lain.
III.1. Tahapan Persiapan
Dalam tahap persiapan yang dilakukan adalah dengan pembuatan proposal dan
melengkapi persyaratan-persyaratan yang diperlukan. Selain pembuatan proposal kegiatan
serta persyaratan yang harus dipenuhi, pembuatan peta sebagai data lokasi penelitian juga
dibuat disini. Mencari peta dan data yang mendukung pemetaan tersebut mulai dikerjakan
dari bulan oktober.
III.2. Tahapan Pendahuluan Penelitian
Dalam tahap studi pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari geologi regional
(Jawa Tengah) secara umum dan khususnya geologi daerah penelitian meliputi data fisiografi,
stratigrafi, dan struktur geologi regional yang dapat diambil dari laporan-laporan berupa
paper-paper, studi referensi, dan data sekunder lainnya untuk mendapatkan gambaran umum
tentang daerah penelitian mengenai lokasi dan penyebaran batuan, hubungan stratigrafi antar
satuan batuan yang ada, serta stuktur geologi yang ada.
III.3. Peralatan yang digunakan
1. Peralatan Lapangan
Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan data lapangan antara lain ; Peta dasar skala 1 :
25.000, Peta Geologi Regional skala 1 : 100.000, Kompas geologi, GPS Garmin 76CSX, Palu
geologi, Loupe, Larutan HCl 0,1 N, Pita ukur 50 m dan 5 m, Kantong sample, Alat tulis (buku
catatan lapangan, pensil, pensil warna, busur derajat, karet penghapus, dan lainnya), Kamera,
dan lainnya.
2. Peralatan Laboratorium
Alat-alat yang umumnya digunakan untuk analisis mikrofosil (dimiliki dan
dioperasikan oleh pihak laboratorium Tekmira Bandung dan laboratorium Petro Mineral
Bandung) adalah :
a) Lumpang besi dan mortir.
b) Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Natrium Hidroksida (NaOH).
c) Ayakan Tyler 60, 80, dan 120 mesh.
d) Oven.
e) Cawan, tempat fosil, kuas, jarum, dan lem.
f) Mikroskop binokuler.
g) Alat tulis dan alat gambar.
h) Kamera.
Alat-alat yang digunakan untuk analisis petrografi sayatan tipis adalah :
a) Penyayat batuan (dimiliki dan dioperasikan oleh laboratorium Petro Mineral Bandung,
dan laboratorium Tekmira Bandung)
b) Mikroskop polarisasi dan lampu (dioperasikan oleh laboratorium Petro Mineral
Bandung, dan laboratorium Tekmira Bandung, dianalisis oleh peneliti di laboratorium
Tekmira dan laboratorium Petrografi Teknik Geologi Unsoed)
c) Komparator mika ataupun gips
d) Diagram klasifikasi petrografi batuan
e) Alat tulis dan alat gambar dan kamera
III.4. Pengambilan Data Lapangan
Pada tahap penelitian lapangan yang dilakukan adalah melakukan pengambilan data
lapangan berdasarkan peta lintasan yang telah direncanakan sebelumnya. Pengambilan data
ini berupa pengambilan contoh batuan atau sample yang selanjutnya akan dilakukan
penelitian atau dianalisis di laboratorium dan pengambilan data geologi seperti pengukuran
Strike/Dip perlapisan, pengukuran data struktur, plotting lokasi penelitian, pencatatan,
pengambilan foto dan pengamatan geomorfologi. Tahapan ini sangat penting untuk
memperoleh data yang akan digunakan untuk menguji hipotesa dan interpretasi yang
dilakukan tahap sebelumnya.
Selain itu dalam tahap ini juga dilakukan pengukuran penampang stratigrafi.
Penampang stratigrafi merupakan gambaran urutan lapisan batuan secara vertikal dari daerah
yang dilakukan penelitian. Secara umum tujuan dari pengukuran penampang stratigrafi
adalah :
1. Mendapatkan data litologi detail dari urutan-urutan suatu satuan stratigrafi seperti
formasi, kelompok, anggota dan sebagainya.
2. Mendapatkan data ketebalan yang diteliti dari setiap satuan stratigrafi atau lapisan yang
menjadi objek penelitian.
3. Mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan dan urutan-
urutan sedimentasi serta kandungan jenis fosil dalam arah vertikal secara detail untuk
menafsirkan lingkungan pengendapan.
III.5. Tahap Analisis Pengolahan Data
Pada tahap ini dilakukan analisis dan pengolahan data yang dilakukan di laboratorium.
Dalam analisis dan pengolahan data ini meliputi laboratorium dan studio pengolahan data.
Adapun analisis yang dilakukan pada tahap ini :
III.5.1. Analisis Geomorfologi
Analisis geomorfologi ini dilakukan dengan kombinasi acuan pengklasifikasian
bentuk muka bumi berdasarkan klasifikasi geomorfik Van Zuidam (1985) diantaranya
klasifikasi bentang alam, kelerengan dan pola aliran sungai dan klasifikasi Budi Brahmantyo,
2006.
Dalam penamaan dari tiap cakupan geomorfologi atau yang disebut “penamaan satuan
geomorfologi” disusun dengan tiga-empat kata dan diklasifikasikan berdasarkan geometri
atau bentuk (seperti dataran, lembah, bukit/perbukitan, punggungan, gunung/pegunungan)
kemudian genetik morfologi sebagai hasil rekaman dari struktur geologi yang telah terjadi
ataupun proses geologi lainnya (misalnya aktivitas vulkanik) seperti ; homoklin, sinklin,
antiklin, blok sesar) serta nama geografis cakupan daerah penelitian. Berikut merupakan
bagian-bagian dari pengklasifikasian oleh Van Zuidam (1985).
1. Morfografi
Morfografi, berasal dari dua kata yaitu morfo yang berarti bentuk dan graphos yang
berarti gambaran, sehingga memiliki arti gambaran bentuk permukaan bumi. Aspek
morfografi dilakukan dengan cara menganalisis peta topografi, berupa pengenalan bentuk
lahan, yang tampak dari tampilan kerapatan kontur, ketinggian absolut sehingga dapat
menentukan perbukitan atau pedataran. Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta
topografi atau foto udara, pola pengaliran berhubungan erat dengan jenis batuan, struktur
geologi, kondisi erosi dan sejarah bentuk bumi. Howard (1967, dalam Van Zuidam, 1988)
membagi pola pengaliran menjadi dua yaitu, pola pengaliran dasar dan pola genetik sungai.
Dalam hal ini Davis membagi menjadi 4 tipe genetik sungai, yaitu Konsekuen, Subsekuen,
Resekuen, dan Obsekuen. Keberadaan sungai – sungai tua yang pada saat ini memotong
semua struktur dan diduga menjadi arah kemiringan lereng pertama kali adalah sungai
Konsekuen. Selanjutnya Resekuen sama seperti konsekuen tetapi pada topografi yang baru,
Subsekuen mengikuti jurus lapisan batuan, sedangkan Obsekuen yang berlawanan dengan
kemiringan batuan maupun lereng. Adapun pembagian pola aliran sungai sebagai berikut :
1. Pola Dendritik : Perlapisan batuan sedimen yang relative datar atau peket batuan
kristalin yang tak seragam dan memiliki ketahanan terhadap pelapukan. Secara
regional daerah aliran memiliki kemiringan landau, jenis pola pengaliran membentuk
percabangan menyebar seperti pohon rindang.
2. Pola Parallel : Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng sedang sampai
agak curam dan dapat ditemukan pada daerah bentuk lahan perbukitan yang
memanjang. Sering terjadi pola peralihan antara pola dendritic dengan parallel ata
trellis. Bentu lahan perbukitan yang memanjang dengan pola pengaliran parallel
mencerminkan perbukitan tersebut dipengaruhi oleh perlipatan.
3. Pola Trellis : Batuan sedimen yang memiliki kemiringan perlapisan (dip) atau terlipat.
Batuan vulkanik atau batuan metasedimen derajat rendah dengan perbedaan
perlapukan yang jelas. Jenis pola pengaliran biasanya berhadapan pada sisi sepanjang
aliran subsekuen.
4. Pola Rectangular : Kekar atau sesar yang memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki
perulangan lapisan batuan, dan sering memperlihatkan pola pengaliran yang tidak
menerus.
5. Pola Radial : Daerah vulkanik kerucut (kubah) intrusi dan sisa-sisa erosi.Pola
pengaliran radial pada daerah vulkanik disebut sebagai pola pengaliran multiradial.
6. Pola Anular : Struktur kubah kerucut, cekungan dan kemungkinan retas (stocks).
7. Pola Multibasinal : Endapan berupa gumuk hasil longsoran dengan prbedaan
penggerusan atau perataan batuan dasar. Merupakan daerah perakan tanah,
vulkanisme, pelarutan batugamping dan lelehan salju (permafrost).
2. Morfometri
Morfometri, merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan sebagai aspek
pendukung dari morfografi dan morfogenetik sehinga klasifikasi kualitatif akan semakin tegas
dengan angka-angka yang jelas. Variasi nilai kemiringan lereng yang diperoleh kemudian
dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam (1985),
Dimana,
n = jumlah kontur yang memotong diagonal jaring
Ci = interval kontur (meter)
D = diagonal grid, Skala 1 : 25.000
3. Morfogenetik
Morfogenetik, adalah proses / asal – usul terbentuknya permukaan bumi, seperti
bentuklahan perbukitan/pegunungan, bentuk lahan lembah atau bentuk lahan pedataran.
Proses yang berkembang terhadap pembentukan permukaan bumi tersebut yaitu proses
eksogen dan proses endogen.
Berdasarkan penjelasan di atas dalam pengklasifikasian dan penamaan satuan
geomorfologi, khususnya dalam penamaan menurut morfogenetiknya hanya dijelaskan
mengenai hasil rekaman dari proses-proses baik eksogen maupun endogen secara umumnya
saja, dan kemudian untuk penjelasan lebih detail lagi dapat dijelaskan dalam klasifikasi
menurut Budi Brahmantyo, 2006.
III.5.2. Analisis Stratigrafi
Pada daerah penelitian analisa sementara dilakukan secara megaskopis. Pembagian
satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak resmi, yaitu penamaan satuan batuan
didasarkan pada ciri fisik batuan yang dapat diamati dilapangan, meliputi jenis batuan,
keseragaman gejala litologi dan posisi stratigrafinya (Sandi Stratigrafi Indonesia, pasal 15).
Sedangkan penentuan batas penyebaran satuannya harus memenuhi persyaratan Sandi
Stratigrafi Indonesia 1996 : pasal 17.
Ada tiga macam sentuh stratigrafi, yaitu :
1. Selaras, yaitu sedimentasi berlangsung menerus tanpa gangguan dari satuan stratigrafi
yang berada di bawah lapisan tersebut.
2. Tidak selaras, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh pengangkatan.
3. Diasterm, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh erosi atau tidak
adanya pengendapan. Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang
paling dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan
dilakukan secara megaskopis yang meliputi warna batuan baik warna segar maupun
warna lapuknya, ukuran butir, bentuk butir, kemas, pemilahan, kekerasan, mineral
tambahan, struktur sedimen, kandungan fosil dan lain-lain.
III.5.3. Analisis Data Biostratigrafi
Analisis biostratigrafi dilakukan untuk mengetahui umur dan lingkungan pengendapan
batupasir dan batulempung daerah penelitian. Penentuan umur relatif batuan sedimen daerah
penelitian dilakukan dengan menggunakan zona selang, dimana kehadiran organisme
penunjuk digunakan sebagai batas kisaran umur relatif sebagaimana yang tercantum dalam
Sandi Stratigrafi Indonesia (1996, Pasal 38).
Kemudian untuk menentukan umur didasarkan pada biozonasi Blow (1969)
lingkungan pengendapan didasarkan pada Tipsword et al. (1966 dalam Pringgoprawiro, 1999)
dan didukung dari perhitungan Pelagic Rasio menurut Grimsdale dan van Morkhoven (1955
dalam Pringgoprawiro, 1999) dan Bollie dan Saunders (1985).
III.5.4. Analisis Data Petrografi
Suatu penamanaan batuan berdasarkan karakteristik penyusun batuan tersebut
dilakukan berdasarkan klasifikasi batuan beku, menurut Williams (1982) dan klasifikasi
batuan sedimen klastik Pettijohn (1975) serta batuan sedimen karbonat menurut Dunham
(1982).
III.5.5. Analisis Struktur Geologi
Perlu dilakukan interpretasi topografi untuk melihat indikasi struktur geologi yang
meliputi interpretasi Citra Landsat, kerapatan garis kontur, kelurusan sungai, kelurusan
punggungan, pola pengaliran sungai dan sebagainya. Semua indikasi yang telah ditemukan
direkonstruksikan bersamaan dengan rekonstruksi pola jurus batuan yang akan menghasilkan
jenis, arah dan pola struktur geologi yang berkembang di daerah tersebut yang kemudian
dituangkan dalam Peta Pola Jurus. Untuk umurnya ditarik berdasarkan kesebandingan
regional atau berdasarkan umur satuan litologi yang dilaluinya. Kenampakan sebagai hasil
proses structural geologi yang dihasilkan meliputi, lipatan, kekar (Hobs, 1976, dalam
Haryanto, 2003), dan sesar menurut Anderson, 1951 dalam Sitter, 1956, Moody dan Hill
(1959 dalam Asikin, 1977), dan Rickard (1972 dalam Haryanto, 2003).
II.5.6. Analisis Sejarah Geologi
Analisis sejarah geologi bertujuan untuk menguraikan suatu seri kejadian
geologi yang disusun secara berurutan berdasarkan kejadiannya, dimulai dari yang pertama
terbentuk hingga yang terakhir ataupun yang sekarang sedang terjadi.
III.6. Tahap Pembuatan Peta
Peta dibuat berdasarkan data pengamatan geologi permukaan beserta analisisnya. Peta
tersebut terdiri dari beberapa peta yang merupakan modifikasi terhadap peta dasar. Peta yang
dibuat diantarannya:
1. Peta Geologi
Dapat dilihat pada LAMPIRAN A
2. Peta Geomorfologi
Dapat dilihat pada LAMPIRAN B
3. Peta Lintasan Geologi
Dapat dilihat pada LAMPIRAN C
4. Peta Potensi Sumberdaya Geologi
Dapat dilihat pada LAMPIRAN D
III.7. Tahap Penyajian Laporan
Tahap akhir dari pelaksanaan pemetaan geologi lanjut adalah penyusunan laporan
yang dilakukan dalam dua proses penulisan, yaitu :
1. Pembuatan laporan yang meliputi bab satu, dua, dan tiga, dilakukan sebelum
pelaksanaan pekerjaan di lapangan sebagai data untuk keperluan pengajuan proposal
PKL (Praktek Kerja Lapangan).
2. Pembuatan laporan yang meliputi bab empat, lima, dan enam yang menguraikan
tentang hasil pemetaan, pembahasan, dan kesimpulan, lampiran berupa analisis
laboratorium, peta lintasan, peta geomorfologi berdasarkan Standar Nasional Indonesia
Penyusunan Peta Geomorfologi nomor 13-6185-1999 ICS 07.060, dan peta geologi
berdasarkan Standar Nasional Indonesia Penyusunan Peta Geologi nomor 13-4691-
1998 ICS 07.060, kolom stratigrafi serta peta potensi sumberdaya dan bencana geologi.
Laporan ini dibuat sesudah melakukan pekerjaan lapangan.
III.8. Diagram Alir Penelitian
Studi KepustakaanPenyusunan Proposal PKL
Analisis Peta Geologi, Peta Topografi dan Citra Satelit
TAHAP PERSIAPAN
PembuatanPeta Geologi
TAHAP PENYUSUNAN
LAPORAN PKL
Pembuatan Kolom
Stratigrafi
Pembuatan Peta Geomorfologi
Pembuatan Peta Lintasan
Analisis Petrografi
TAHAPAN PENGOLAHAN DATA
Analisis Micropaleontologi
TAHAPAN ANALISIS LABORATURIUM
Analisis Struktur Geologi
PengamatanGeomorfologi
Survey Akhir Lokasi
Penelitian
Pengukuran Kedudukan, Analisis Sebaran dan Pengambilan Contoh
Batuan
TAHAP PENGAMBILAN DATA
Gambar 3.1. Diagram alir penelitian
BAB 1VGEOLOGI DAERAH PENELITIAN
4.1 GEOMORFOLOGI4.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi
Analisis kondisi geomorfologi daerah Banjarsari dan sekitarnya berdasarkan
pada pengamatan peta kontur, citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM), dan
pengamatan langsung di lapangan, menunjukkan bentang alam bergelombang yang relatif
rendah, terdiri dari perbukitan dan lembah. Titik tertinggi yaitu ± 233 mdpl berada di bagian
utara (desa Watutumpang), sedangkan titik terendah yaitu ± 120 mdpl berada di bagian
selatan (desa Banjarsari).
4.1.2 Analisis Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai
Pada daerah Banjarsari dan sekitarnya memiliki sungai-sungai dengan pola aliran
paralel dan dendritik karena terdiri atas batuan dengan resistensi seragam dan pada
kemiringan (Howard, 1967 op.cit. Bloom, 1998). Terdapat dua sungai besar yang membagi
dua zona pada daerah penelitian (Gambar 4.1), yaitu sungai Klawing dan sungai Tuntung
yang pada bertemu menjadi satu aliran sungai yang disebut sungai Klawing. Sungai-sungai
tersebut tergolong dalam jenis sungai menuju tua pada tahapan geomorfiknya, terlihat dari
bentuk sungai yang berbentuk “U”, erosi lateral lebih dominan, dan memilki dataran banjir
yang cukup luas dan juga memiliki arah aliran yang searah dengan kemiringan lereng awal
dan struktur utama sehingga digolongkan ke dalam sungai dengan tipe genetik konsekuen
(Davis, 1875) (Gambar 4.2). Menurut Davis, sungai – sungai dewasa-tua yang saat ini
memotong semua struktur dan diidentifikasikan tercipta pada saat pertama kali terbentuk
adalah sungai konsekuen. Sungai Balamoyang yang berada di bagian utara daerah penelitian
bertipe genetik resekuen, Berdasarkan tahapan geomorfiknya sungai ini tergolong dalam jenis
sungai stadia dewasa terlihat dari bentuk dinding sungai yang berbentuk relatif “U”, memiliki
karakteristik arus sungai yang kecil sampai tenang, serta material bawaan atau fragmen
lepasan yang relatif berukuran kerikil sampai kerakal. Pada cabang sungai Brakas yang
berada di bagian timur laut daerah penelitian memiliki arah aliran yang sejajar dengan jurus
lapisan batuan sehingga digolongkan ke dalam sungai dengan tipe genetik subsekuen (Davis,
1875), dan pada bagian selatan daerah penelitian terdapat sungai pedondong yang memilki
tipe aliran sungai yang sama dengan arah kemiringan lereng awal yaitu bertipe konsekuen
(Davis, 1875). Pada bagian barat daerah penelitian terdapat sungai Dawuban yang mengalir
dari barat ke timur juga terdapat sungai dengan tipe aliran yang sama seperti pada sungai
pedondong.
4.1.3 Satuan Geomorfologi
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan penulis mengklasifikasikan cakupan
geomorfologi daerah penelitian menurut kombinasi klasifikasi Van Zuidam (1985) dan Budi
Brahmantyo (2006) menjadi tiga satuan geomorfologi berdasarkan karakteristik
morfologinya yang dikontrol oleh faktor litologi, struktur, maupun proses-proses geomorfik
seperti pelapukan, pelarutan, erosi, dan pengendapan. Ketiga satuan geomorfologi tersebut
antara lain adalah Satuan Perbukitan Homoklin Lumpang, Satuan Perbukitan Aliran Lahar
Pekuncen, dan Satuan Dataran Aluvial Banjarsari. Keunikan dalam pembagian satuan
geomorfologi daerah penelitian ini yaitu keberadaan dari suatu satuan batuan yang telah
diklasifikasikan mewakili cakupan satuan geomorfologi daerah penelitian pula.
Gambar 4.1. Peta geomorfologi daerah banjarsari dan sekitarnya
4.1.3.1 Satuan Perbukitan Homoklin Lumpang
Penamaan morfometri “Perbukitan” satuan ini berdasarkan kenampakan topografi berupa
tinggian-tinggian dengan titik tinggi berbeda-beda (dengan kemiringan lereng 18 – 23%)
yang memiliki arah kemiringan lapisan batuan penyusun relatif sama yaitu “Homoklin”
N95oE/45oSE sebagai acuan penamaan morfogenesanya.
Satuan ini meliputi 45% daerah penelitian, yang ditandai dengan warna ungu sesuai
kaidah aspek genetik bentuk asal lahan struktural pada peta geomorfologi (Van Zuidam,
1985). Satuan ini mempunyai ketinggian minimum pada titik 100 mdpl dan ketinggian
maksimum pada titik 234 mdpl dengan kemiringan batuan berkisar 35o-45o. Litologi pada
satuan ini terdiri dari batulempung dan batupasir berukuran butir sedang. Stadia sungai pada satuan
geomorfolgi ini tergolong kedalam sungai dewasa, terlihat dari sungai yang ada pada satuan
geomorfologi ini relatif lebar berbentuk “U” (Gambar 4.4), dengan tebing relatif landai yang terdiri
dari batuan dasar.
Tipe genetik sungai pada satuan ini didominasi oleh tipe resekuen karena searah
dengan kemiringan batuan pada level topografi akhir (Davis, 1875) yang ada pada daerah
penelitian dan juga subsekuen karena arah aliran sungainya searah dengan arah jurus batuan
serta konsekuen yang pola alirannya searah dengan arah kemiringan lereng yang pertama kali
terbentuk. Pola aliran sungai pada satuan geomorfologi ini adalah parallel.
4.1.3.2 Satuan Perbukitan Aliran Lahar Pekuncen
Penamaan morfometri “Perbukitan” pada satuan ini mengacu pada kenampakan
topografi berupa tinggian dengan titik tinggi yang berbeda-beda (kemiringan berkisar 15o –
20o), sedangkan untuk penamaan morfogenesanya mengacu pada batuan penyusun yang
merupakan batuan hasil aktivitas volkanik berupa aliran lahar yang berasal dari G.Slamet.
Adapun penamaan “Aliran Lahar” secara lebih detail berdasarkan klasifikasi Budi
Brahmantyo (2006).
Satuan ini meliputi 35% daerah penelitian, yang ditandai dengan warna coklat sesuai
kaidah aspek genetik pada peta geomorfologi (Van Zuidam, 1985).Satuan ini mempunyai
ketinggian minimum pada titik 90 mdpl dan ketinggian maksimum pada titik 227 mdpl.
Litologi pada satuan ini terdiri dari satuan. Stadia sungai pada satuan geomorfolgi ini
tergolong ke dalam sungai muda, dimana sungai yang ada pada satuan geomorfologi ini relatif sempit
berbentuk huruf “V” (Gambar 4.15), dengan tebing terjal yang terdiri dari batuan dasar. Tipe
genetik sungai pada satuan ini didominasi oleh tipe konsekuen yang pola alirannya searah
dengan arah kemiringan lereng yang pertama kali terbentuk. Pola aliran sungai pada satuan
geomorfologi ini adalah rectangular.
4.1.3.3 Satuan Dataran Aluvial Banjarsari
Satuan ini meliputi 20% daerah penelitian, yang ditandai dengan warna coklat sesuai
kaidah aspek genetik pada peta geomorfologi (Van Zuidam, 1985).Satuan ini mempunyai
ketinggian minimum pada titik 80 mdpl dan ketinggian maksimum pada titik 90 mdpl.
Daerah penelitian dicirikan oleh pola kotur yang sangat renggang yang menunjukkan
bahwa daerah penelitian merupakan dengan slope yang sangat landai yaitu sekitar 0o – 2o
(Kategori “Dataran” menurut Van Zuidam, 1985). Stadia sungai pada satuan geomorfolgi ini
tergolong kedalam sungai dewasa-tua, dimana sungai yang ada pada satuan geomorfologi ini
relatif lebar berbentuk huruf “U”, berkembangnya proses meandering pada bagian selatan
sungai Klawing . ketebalan mencapai tebal 1,5 meter.
4.2 STRATIGRAFI
Gambar 4.2. Kolom stratigrafi umum(Tanpa Skala) daerah penelitian
4.2.1 Satuan Batulempung
4.2.1.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batulempung meliputi 45% dari luas daerah penelitian ditandai dengan warna
hijau pada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebarannya dimulai dari bagian tengah hingga
bagian timur daerah penelitian dengan pola penyebaran berarah W-E. Jurus atau penyebaran
lapisan dari satuan ini umumnya berarah W-E antara N80oE-N95oE dengan kemiringan yang
relatif miring, berkisar antara 15-40°. berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, tebal
satuan ini mencapai >1550 meter.
4.2.1.2 Ciri Litologi
Satuan batulempung ini tersusun atas batulempung, batupasir berukuran sedang-halus,
dan batugamping (wackstone). Pembentukkan dari batulempung sisipan batupasir tersebut
tersusun berulang secara selaras dan kemudian terjadi penebalan lapisan dan perubahan
ukuran butir yang semakin besar pada batupasir ke arah selatan pada daerah penelitian, namun
masih tetap didominasi oleh lapisan batulempung. Pada bagian utara pada satuan
batulempung ini terdapat litologi batugamping yang keberadaannya pada dua lokasi saja dan
tidak menerus.
Secara megaskopis, ciri litologinya adalah batulempung berukuran butir (<1/256mm),
berwarna abu – abu kecoklatan, britle, dan karbonat kuat sampai lemah dengan kenampakan
kondisi lapuk sedang.
Analisis microskopis pada satuan batulempung ini dilakukan dengan conto sampel
batuan yang diambil pada stasiun pengamatan WL3.22 dan WL3.33.
Berdasarkan analisis petrografi sampel WL3.22 (batulempung) batuan ini dinamakan
Wackestone (klasifikasi Dunham, 1962) berada pada umur Miosen Tengah (N14-15) dan di
lingkungan pengendapan Neritik Tengah (30-100 m). Sedangkan pada conto sampel WL3.33
pada litologi batupasir diatas dinamakan Wackestone (klasifikasi Dunham, 1962) berada
pada umur Miosen Akhir (N15-16) di lingkungan pengendapan Neritik Tengah (30-100 m),
selain itu juga terdapat hasil analisis fosil pada batulempung (sampel WL3.28) berada pada
umur Miosen Akhir (N17-18) di lingkungan pengendapan Neritik Tepi (0-30 m).
4.2.1.4 Lingkungan Pengendapan
Analisis mikrofosil foraminifera kecil bentonik yang terdapat pada conto batuan di
pada stasiun WL3.22, WL3.28, dan WL3.33 menunjukkan bahwa satuan batulempung
diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik Tepi atau pada lingkungan laut dangkal
hingga transisi awal.
4.2.1.5 Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan ini dengan satuan di bawahnya tidak dapat diketahui karena tidak
tersingkap di daerah penelitian, sedangkan hubungan dengan satuan breksi yang berada di
atasnya adalah tidak selaras dengan kontak berupa keberadaan breksi dengan tebal sekitar 1-
1,5 meter menempel pada dinding batulempung sisipan batupasir yang telah memiliki
kemiringan (dip) ke arah selatan.
4.2.2 Satuan Breksi
4.2.2.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan breksi yang meliputi 35% dari luas daerah penelitian ditandai oleh warna
coklat pada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebaran satuan ini berada di utara-selatan satuan
breksi hingga batas kontak ketidakselarasan (angular unconformity) dengan satuan aluvial di
bagian tengah daerah penelitian, dengan pola penyebaran secara horizontal cenderung ke arah
selatan. Perhitungan ketebalan satuan tidak dilakukan pengukuran penampang stratigrafi
dikarenakan pada litologi ini tidak dijumpai kedudukan batuan dan berada di atas satuan
batulempung secara horizontal. Namun, berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, tebal
satuan ini mencapai <150 meter.
4.2.2.2 Ciri Litologi
Satuan ini terdiri dari 2 litologi yaitu breksi monomik (terdiri dari satu jenis fragmen
batuan berukuran kerikil sampai kerakal dan aliran lahar.
Secara umum ciri megaskopis breksi ini yang diamati di lapangan terdiri dari breksi
monomik, warna coklat kehitaman, fragmen andesite (abu-abu), memiliki matriks berupa
pasir sedang-kasar, bentuk bulat tanggung, serta memiliki kemas terbuka. Pada fragmen
breksi ini telah mengalami masa transportasi yang cukup jauh dilihat dari kenampakan
permukaan fragmen yang telah mulai membulat tanggung.
Berdasarkan hasil analisis petrografi pada conto sampel WL2.11 dengan penjabaran
berdasarkan matriks dan fragmen pada breksi didapat matriks dengan penamaan petrografi
yaitu Lithic Arenite (klasifikasi Pettijohn, 1975). Dan Fragmen dengan penamaan
petrografis Andesite (klasifikasi William, 1982). Pada bagian selatan satuan breksi ini
terdapat litologi aliran lahar yang pelamparannya tidak terpetakan dikarenakan sedikitnya
singkapan yang ditemukan dan dibatasi oleh batas kapling yang telah ditentukan, Namun
adapun penjelasan mengenai hasil analisis pada conto sampel WL1.3 pada litologi ini antara
lain ; penamaan petrografi yaitu Pyroxene Andesite (klasifikasi Williams, 1982).
4.2.3.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan batuan ini tidak dapat diketahui umur absolutnya dikarenakan tidak
ditemukannya bukti fosil baik plantonik sebagai penentu umur batuan maupu bentonik
sebagai penentu lingkungan pengendapan dari batuan ini.
Penentuan umur dan lingkungan pengendapan hanya dapat dijelaskan berdasarkan
klasifikasi peneliti terdahulu terhadap penentuan formasi batuan suatu wilayah tertentu yang
mencakup daerah penelitian. Satuan ini tergolong dalam cakupan formasi aliran lahar
G.Slamet berdasarkan karakteristik litologinya dan formasi ini dihasilkan oleh Gunung
Slamet Tua pada Kala Holosen (Djuri,dkk,1996) dengan lingkungan pengendapan darat.
4.2.3.5 Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan ini dengan satuan di atasnya yaitu satuan alluvial adalah tidak
selaras dengan kontak berdasarkan batas pertemuan satuan breksi dengan endapan dataran
banjir berupa dataran persawahan.
4.2.4 Satuan Endapan Aluvial
4.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan endapan aluvial yang meliputi 20% dari luas daerah penelitian ditandai dengan
warna abu-abu pada Peta Geologi (Lampiran A). Penyebaran satuan ini berada di sepanjang
sungai besar dan sebagian sungai kecil yang berada di bagian selatan daerah penelitian dalam
arah N-S. Satuan ini tersingkap dengan baik terutama di sepanjang S. Klawing dan S.
Tuntung. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketebalan satuan ini
diperkirakan > 5 meter.
4.2.4.2 Ciri Litologi
Satuan Endapan Aluvial tersusun oleh material lepas-lepas hasil pelapukan batuan
yang lebih tua. Material lepas tersebut berukuran kerikil hingga bongkah, bongkah berbentuk
menyudut tanggung-membundar, terdiri dari fragmen-fragmen yang didominasi oleh batuan
beku dan batuan sedimen, antara lain batulempung, batupasir, dan andesit.
4.2.4.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan
Satuan Endapan Aluvial berumur Resen karena proses pengendapannya masih terus
berlangsung hingga sekarang dan pada lingkungan darat berupa sungai. tepatnya pada Sungai
Klawing dan Tuntung di selatan satuan.
4.2.4.4 Hubungan Stratigrafi
Tidak diperoleh data umur berkaitan dengan hubungan stratigrafi satuan ini dengan
yang lainnya, karena Satuan Endapan Fluvial tidak memiliki kesebandingan stratigrafi
dengan satuan-satuan resmi yang telah dibuat oleh peneliti sebelumnya. Hubungan satuan
ini dengan satuan di bawahnya adalah tidak selaras, ditandai oleh terbentuknya bidang
atau permukaan erosional.
4.3 STRUKTUR GEOLOGI
Pola struktur geologi yang berkembang di daerah Banjarsari dan sekitarnya termasuk
ke dalam Pola Jawa. Pola kelurusan bukit dan lembah pada citra SRTM (Gambar 4.27) yang
menunjukkan bahwa pola kelurusan yang dominan adalah Barat laut – Tenggara ( N3110E –
N3200E). Berdasarkan peta interpretasi Citra SRTM juga menunjukkan adanya pola kelurusan
lain di daerah Banjarsari yaitu berarah Timur laut – Barat daya ( N210E – N300E).
Struktur geologi yang berkembang di daerah Banjarsari dan sekitarnya terdiri dari
sesar-sesar mendatar berarah NW-SE. Bukti-bukti awal yang dapat dijadikan sebagai acuan
adalah hasil analisis kelurusan dari peta kontur dan citra SRTM untuk menginterpretasikan
keberadaan jalur zona lemah yang berkembang di daerah penelitian. Data lapangan yang
diperoleh menunjukkan adanya struktur-struktur tersebut antara lain berupa zona hancuran,
data kekar gerus (shear fracture), breksiasi (zona hancuran)/kelurusan sungai, dan kedudukan
lapisan beserta sebarannya.
Gambar 4.3. Peta interpretasi kelurusan citra SRTM
Data-data yang diambil dari lapangan tersebut kemudian diolah dengan menggunakan
perangkat lunak Dips. Penamaan sesar dilakukan berdasarkan klasifikasi ganda (Rickard,
1973 op.cit. Harsolumakso, 1997). Penamaan struktur diambil dari nama sungai, desa, atau
bukit tempat ditemukannya bukti jalur sesar tersebut.
Sesar Menganan Turun Banjat
Sesar Menganan Turun Banjat berada di bagian utara-barat daerah penelitian,
memanjang dari ujung barat laut - hingga tenggara dengan arah umum NW-SE.
Hasil pengolahan data shear fracture berdasarkan klasifikasi Rickard (1972) dengan
mengkombinasikan besar kemiringan bidang sesar dengan besar sudut pitch. Hasil kinematika
menunjukan pergerakan dominan sesar tesebut adalah sesar strike slip (sesar Geser) dengan
besar pitch 180. Selain itu, hasil analisis kinematika arah tegasan menunjukkan arah tegasan
dominannya adalah berarah utara – selatan (N-S).
Berdasarkan hasil analisa struktur dengan data kekar, arah kelurusan sungai, maupun
interpretasi arah tegasan (N-S) yang ada maka dapat ditemukan arah gores garis sebagai
lintasan pergerakan sesar yang diinterpretasikan sebagai dominan sesar geser (Strike slip)
berupa Sesar Menganan Turun. Penentuan jenis sesar ini ditentukan berdasarkan klasifikasi
Rickard (1972) dengan Acuan sebagai berikut :
1. Pitch sebesar 18o,
2. Netslip N28OE/272ONW
3. Bidang sesar N117OE/40OSW
4. σ1 sebesar N297oE/53ONE,
5. σ2 sebesar N160OE/20OSW,
6. σ3 sebesar N28OE/35OSE.
Keberadaan sesar dibuktikan dengan adanya gaya yang bekerja (N-S sampai NE-SW)
terhadap kenampakan morfologi-morfologi yang terbentuk pada daerah penelitian.
4.4 SEJARAH GEOLOGI
Sejarah geologi daerah Banjarsari dan sekitarnya terkait dengan bentukan
geomorfologi daerah penelitian merupakan suatu rekaman dari hasil proses-proses geoogi
yang terjadi secara menerus dengan acuan skala waktu geologi. Urutan dari proses geologi
yang dimodelkan oleh penulis pada daerah penelitian terhitung sejak awal Kala Miosen
Tengah hingga Resen. Pada daerah penelitian ditempati oleh Formasi Tapak, kemudian secara
tidak selaras diatasnya hadir Formasi Lahar G.Slamet dan Lava G.Slamet.
Pada awal Kala Miosen Tengah (N15), daerah penelitian merupakan paparan (Neritik
Tengah) dan berdasarkan referensi regional pada keberadaan Formasi Tapak yang ada
menyatakan bahwa pada waktu ini terjadi proses pengangkatan (Djuri,dkk,1996), ditandai
dengan diendapkannya satuan batulempung karbonatan sampai keterdapatan batugamping
setempat secara lateral pada saat proses pengangkatan berlangsung. Proses pengangkatan pada
kala Miosen Tengah hingga Miosen Akhir terjadi sampai batas lingkungan pengendapan
Neritik Tepi. Pada selang waktu yang panjang dari pembentukan satuan batulempung pada
Formasi Tapak hingga diendapkannya satuan breksi secara tidak selaras diatasnya, terjadi
proses pengangkatan lanjutan mencapai suatu perubahan lingkungan pengendapan yaitu
lingkungan Darat (Gambar 4.32). Rekaman Geomorfologi yang terbentuk akibat proses
pengangkatan dengan arah gaya N-S dan pengaruh struktur geologi yang bekerja menjadi
bukti pembentukkan kemiringan lapisan satuan batulempung.
Pada kala pleistosen mulai berkembang proses pergerakan lempeng yang
menyebabkan munculnya gaya endogen sehingga menyebabkan terdeformasinya suatu
lapisan batuan membentuk suatu perlipatan-perlipatan dan juga jalur-jalur sesar. Pada kala ini,
di daerah penelitian terjadi sesar dengan arah tegasan N-S berdasarkan kelurusan-kelurusan
morfologi yang mengacu pada pola struktur Jawa (N-S).
Pergerakan lempeng yang terus berkembang terbukti bahwa pada kala Holosen dengan
lingkungan pengendapan darat, kemudian terjadi aktivitas volkanik yang berasal dari
G.Slamet menghasilkan material-material piroklastik berupa aliran lava dan lahar mengikuti
pola aliran horisontal diatas satuan batulempung pada Formasi Tapak tersebut. Proses
pelapukan yang intensif kemudian membuat suatu aliran lahar dari aktivitas volkanik tersebut
pecahan-pecahan batuan (Andesit). Pecahan-pecahan tersebut kemudian tertransport cukup
jauh (tekstur fragmen/pecahan yang mulai membundar) dan terendapkan secara tidak selaras
(angular unconfirmity) membentuk breksi (Gambar 4.34) diatas satuan batulempung.
Ketidakselarasan yang terjadi dibuktikan dengan keberadaan kontak satuan batulempung yang
telah memiliki kedudukan batuan dengan satuan breksi diatasnya membentuk sudut
(Angular). Dan proses akhir pada kala Resen yang terjadi pada daerah penelitian adalah
diendapkannya endapan alluvial (Gambar 4.35) juga secara tidak selaras diatas satuan
batulempung dan breksi. Struktur geologi yang terjadi pada daerah penelitian sebagai akibat
dari pergerakan lempeng mengakibatkan terbentuknya struktur sesar-sesar geser. Struktur
sesar yang terjadi pada daerah penelitian terdapat pada kelurusan sungai di desa Banjat berupa
sesar dekstral turun banjat (Lampiran A).
Berdasarkan proses-proses pengendapan material-material klastik maupun piroklastik
diatas dengan kehadiran struktur geologi yang mengontrol rona bentuk muka bumi pada
daerah penelitian, maka dapat dilihat secara keseluruhan kenampakan geomorfologi daerah
penelitian.
4.5 POTENSI GEOLOGI
Potensi geologi merupakan kondisi dari suatu lingkungan yang memiliki sumber daya
belum terdeteksi baik atau buruknya yang kemudian dipandang dari sisi ilmu geologi dapat
dilakukan suatu pengembangan dan pemberdayaan dari sumber daya tersebut. Secara umum
potensi geologi dalam suatu daerah penelitian dibedakan menjadi dua kategori yaitu potensi
geologi positif dan negatif. Kategori yang pertama adalah potensi geologi yang dapat
menimbulkan bencana alam yang bersifat ancaman untuk lingkungan sekitar maupun manusia
itu sendiri yang disebut potensi geologi negatif, seperti pada daerah penelitian berupa bencana
alam tanah longsor (Amblesan) dan banjir. Sedangkan kategori yang kedua lebih bersifat
positif karena dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan warga sekitar, pada derah
penelitian seperti pemanfaatan air untuk kebutuhan sehari-hari warga, dan pemanfaatan tanah
merah yang sangat berguna untuk menambah penghasilan warga sekitar.
4.5.1 Potensi Sumber Daya Geologi
4.5.1.1 Mata air
Titik-titik mata air ini terletak pada batuan breksi yang berkarakteristik kemas terbuka,
memiliki matriks pasir sedang – kasar dan secara keseluruhan, kondisi batuan telah
mengalami proses pelapukan yang cukup kuat ditandai dengan keberadaan vegetasi yang
cukup merata di atas batuan tersebut dan fragmen-fragmen batuan yang mulai lepas. Pada
daerah penelitian, keberadaan mata air ini digunakan sebagai tampungan sumber air bersih
yang kemudian dapat diolah untuk kebutuhan sehari-hari oleh warga setempat.
4.5.1.2 Pemanfaatan Soil
Pada daerah penelitian, tanah merah berada di bagian utara tepatnya di desa Brakas
bagian selatan (LAMPIRAN D). Tanah merah bila mengalami tekanan, maka ia akan segera
padat, merapat, massive, dan stabil. Sehingga tanah merah identik dengan tanah urugan
karena cocok sebagai bahan stabilisasi tanah yang tugasnya meredam ketidakstabilan di suatu
tempat. Selain digunakan sebagai tanah urugan, tanah merah ini juga digunakan sebagai
bahan bangunan yang oleh warga dimanfaatkan untuk membuat batubata.
4.5.2 Potensi Rawan Bencana Geologi
Zona dengan simbol geologi salah satunya merupakan zona rawan bencana longsor,
dimana pada zona tersebut mempunyai pola kelerengan yang cukup terjal dengan
karakteristik batuan dasar yang mendukung dan terdapat zona rawan banjir pada sungai besar
di daerah penelitian, hal diatas menunjukan daerah tersebut harus dilakukan mitigasi bencana
geologi untuk meminimalisir dampak bancana geologi, seperti dilakukan penyuluhan
mengenai bencana geologi dan dilakukan mitigasi struktural pada daerah dengan kelerengan
yang terjal.
4.5.2.1 Bencana Tanah Longsor
Daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring merupakan daerah
rawan terjadi gerakan tanah. Kelerengan dengan kemiringan lebih dari 20o memiliki potensi
untuk bergerak atau longsor, namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring punya potensi
untuk longsor tergantung dari kondisi geologi yang bekerja pada lereng tersebut (Khadiyanto,
2010).
Pada daerah penelitian zona rawan bencana longsor di perbukitan Karanglo Dua
bagian utara daerah penelitian mencakup beberapa lokasi dengan karakteristik batuan yang
sama yaitu keterdapatan batupasir berukuran butir sedang – kasar dan di bawahnya
batulempung pada kemiringan 35-40o dan keduanya telah mengalami proses pelapukan yang
cukup intensif (Gambar 4.39). Menurut interpretasi penulis terhadap keberadaan dua litologi
di atas merupakan fakta kemungkinan terjadinya bencana longsor, karena dalam hal ini
batupasir dengan karakteristik butirnya dan kondisi yang lapuk akan lebih mudah bergerak
pada kondisi kemiringan batuan yang cukup terjal dan didukung oleh hadirnya lapisan
batulempung di bawahnya sebagai bidang gelincir. Adapun analisis terhadap jenis longsor
pada daerah penelitian merupakan jenis longsor translasi yaitu suatu pergerakan massa tanah
dan batuan pada bidang gelincir pada kemiringan lereng relative rata sampai bergelombang
landau. Menurut Van Zuidam (1983) daerah perbukitan dengan kemiringan yang curam
berpotensi mengalami tanah longsor. Gerakan tanah akibat material yang lepas serta tidak
adanya dinding penahan untuk menanggulangi bencana longsor menjadi faktor yang
mempercepat terjadinya gerakan tanah. Adapun mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan
membangun dinding penahan pada lereng-lereng yang relatif terjal dan perlunya kesadaran
bagi warga sekitar untuk memelihara keberadaan vegetasi yang ada sebagai penahan
persediaan air tanah pengontrol.
4.5.2.2Bencana Banjir
Pada Lampiran D zona dengan simbol berwarna biru muda merupakan zona rawan
bencana banjir, dimana bentuk rupa bumi dari wilayah tersebut relatif datar dan berada pada
dataran randah, dan merupakan daerah yang di aliri beberapa sungai.
Potensi bencana ini bisa terjadi di daerah aliran sungai terutama sungai Klawing dan
Tuntung yang terdapat di bagian tengah - selatan daerah penelitian. Sungai Klawing sebagai
sungai dengan stadia dewasa - tua memiliki bagian - bagian yang memungkinkan terjadinya
proses sedimentasi yaitu bagian sungai yang tingkat erosi lateralnya mulai berkurang dan
intensitas pengendapannya bertambah karena berkurangnya energi transportasi. Oleh karena
itu, potensi ini bisa terjadi di daerah sekitar Sungai Klawing.
BAB V
KESIMPULAN
1) Daerah Banjarsari dan sekitarnya merupakan daerah yang cukup datar dengan
karakteristik pola kontur renggang yang dominan membentuk bentang alamnya seperti
saat ini.
2) Berdasarkan analisa peta topografi, peta citra udara dan pengamatan langsung
dilapangan, daerah pengamatan di bagi menjadi dua satuan geomorfologi, Penamaan
satuan geomorfolgi ini paling sedikit mengikuti prinsip tiga kata, atau paling banyak
empat kata bila ada kekhususan, yang terdiri dari bentuk / geometri / morfologi,
genesa morfologis/ dan morfografi (geografi) daerah penelitian.
Penamaan satuan geomorfologi pada wilayah pemetaan dareah Banjarsari dan
sekitarnya merunut pada kombinasi klasifikasi (Van Zuidam, 1985) dan Budi
Brahmantyo, 2006.
Satuan geomorfologi pada wilayah pengamatan ini adalah sebagai berikut :
Satuan Perbukitan Homoklin Lumpang
Satuan Perbukitan Aliran Lahar Pekuncen
Satuan Dataran Alluvial Banjarsari
3) Satuan batuan pada daerah pengamatan ini di bagi menjadi tiga satuan batuan, dimana
satuan batuan tersebut di kelompokan berdasarkan karakteristik batuan, arah atau jurus
dan kemiringan batuan, serta interpretasi dan penafsiran berdasarkan data lapangan
yang didapatkan, dimana satuan batuan berurutan dari tua-muda yaitu satuan
batulempung, satuan breksi, dan satuan endapan aluvial.
4) Berdasarkan hasil analisa fosil maka disimpulkan umur batuan pada daerah
pengamatan ini adalah berkisar antara N15-N18 atau pada kala miosen tengah-pliosen
awal dengan lingkungan pengendapan pada zona neritik tengah-neritik tepi.
5) Berdasarkan analisa kinematika maka disimpulkan sesar yang terjadi dan didapatkan
pada daerah pengamatan ini yaitu sesar menganan turun Banjat.
6) Berdasarkan hasil dari pengamatan pada daerah penelitian, maka dapat disimpulkan
bahwa daerah penelitian ini mempunyai potensi dibidang penambangan bahan galian
golongan C, yaitu tanah merah yang dimanfaatkan untuk pembuatan batubata, serta
potensi untuk pengelolaan air bersih dari singkapan air tanah yang ada untuk
pengembangan dibidang pertanian maupun untuk keperluan kehidupan sehari-hari.
7) Daerah pengamatan mempunyai pola-pola kontur yang cukup bervariasi, dimana pola-
pola kontur tersebut diinterpretasikan sebagai pengaruh dari aktivitas tektonik
terhadap kemiringan lapisan dan karakteristik hubungan antarlapisan batuan , hal ini
mengakibatkkan daerah penelitian memiliki beberapa potensi rawan bencana geologi
seperti banjir dan longsor, maka dari itu disarankan untuk dilakukannya mitigasi
bencana geologi pada daerah penelitian untuk mengurangi dampak bencana geologi.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin S, Handoyo A, Prastistho B, Gafoer S. 1992. Geologi Lembar Banyumas,
Jawa Tengah. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Asikin, Sukendar. 1977.Dasar - Dasar Geologi Struktur. Bandung : ITB.
Asikin, Sukendar. 2006 . Geologi Struktur Indonesia. Bandung : Lab. Geologi
Dinamis-Geologi ITB.
Bemmelen, R. W. Van. 1949. The Geology of Indonesia, col. I A : General
Geology of Indonesia and Adjacement Archipelago. Martinus Nijhoff. The
Hague.
Blow, W.H. 1969. Late Middle Eocene to Recent Planktonik Foraminiferal.
Biostratigraphy. Geneva : ICPM.
Bolli, H.M. dan Saunders. J.B. 1985. Low Latitude Planctonic Foraminifers.
Cambridge University Press.
Chabibie.A, dkk.2005. Buku Panduan Praktikum Geomorfologi.
Semarang : Undip.
Djuri, M, dkk. 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa Skala
1 : 100.000. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Endarto, Danang.2005. Pengantar Geologi Dasar. UNS Press: Surakarta
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia.
Indonesia : Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Lobeck, A.K., 1953. Geomorphology, an Introduction to the Study of
Landscape. McGrawHill, New York.
Pettijohn, F.J. 1975. Sedimentary Rocks And Row. Harper: New York
Pringgoprawiro, Harsono & Rubiyanto Kapid.1999. Foraminifera-Pengenalan
Mikrofosil dan Aplikasi Biostratigrafi. Bandung:ITB.
Pulunggono A dan Martodjojo S. 1994. Perubahan Tektonik Paleogen-Neogen
Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceeding Geologi dan
Geoteknik Pulau Jawa.
Standar Nasional Indonesia. Penyusunan Peta Geologi. 13-4691-1998 ICS 07.060.
Standar Nasional Indonesia.Penyusunan Peta Geomorfologi.13-6185-1999 ICS
07.060.
Suharwanto, J.Soesilo.1993. Petrografi Batuan Beku, Metamorf, dan
Sedimen. Yogyakarta : FTM UPN ”Veteran”.
Sukamto, R, dkk. 1996. Peta Geologi Indonesia Skala 1 : 5.000.000.
Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Suryono, Sugeng.S.2002. Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional.
Yogyakarta : UGM.
Suyatno.Y, Dr.Ir. Yustinus. 2002. Petrografi. Bandung : ITB.
Williams, Howell et.al. 1955. Petrography – An Introduction to the Study of Rocks in Thin
Section. San Francisco: W.H. Freeman and Company.
Zuidam, Van. R.A. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorfologic
Mapping. Smits Publishers The Hague Netherland. 442h.
Sumber – Sumber Lain:
http://waterforgeo.blogspot.com/2011/03/geologi-pulau-jawa.html .
Kamis,13 Maret 2012. 20:33:11
http://www.scribd.com/doc/22454753/Metode-Survey.
Kamis, 21 Maret 2012. 20:50:15