FISIOLOGI RESPIRASI
Respirasi mencakup dua proses yang berkaitan, yaitu respirasi eksternal dan respirasi
internal. Respirasi eksternal atau pernapasan pulmoner adalah suatu proses yang merujuk
pada mekanisme pertukaran gas O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh
(Sherwood 2011). Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner (Pearce
2011):
1. Ventilasi pulmoner atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan
udara luar.
2. Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dengan kapiler darah paru
3. Transpor oksigen dan karbon dioksida ke dan dari jaringan perifer sehingga oksigen dapat
mencapai semua bagian tubuh (Guyton 2009)
4. Pertukaran oksigen dan karbondioksida antara jaringan dan darah melalui proses difusi
menembus kapiler sistemik (Sherwood 2011)
Proses kedua adalah respirasi jaringan atau respirasi internal. Proses ini merujuk pada
proses-proses metabolik intrasel yang dilakukan di dalam mitokondria, yang menggunakan
oksigen dan menghasilkan karbondioksida selagi mengambil energy (ATP) dari molekul
nutrien (Sherwood 2011).
A. Mekanika Pernapasan
Udara cenderung mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah dengan tekanan
rendah (menuruni gradient). Gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer secara bergantian
berbalik arah saat bernafas sehingga memungkinkan udara mengalir masuk dan keluar. Tiga
tekanan penting dalam ventilasi pulmoner (Sherwood 2011)
1. Tekanan atmosfer
2. Tekanan intra-alveolus atau intraparu
3. Tekanan intrapleura (tidak terjadi pertukaran udara di sini karena tidak ada
komununikasi langsung antara rongga pleura dan paru atau atmosfer. Kantung pleura
tertutup tanpa lubang)
Karena udara mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan, maka tekanan intra-
alveolus harus lebih kecil dari tekanan atmosfer saat inspirasi. Demikian juga tekanan intra-
alveoulus harus lebih besar dari tekanan atmosfer saat ekspirasi. Tekanan intra-alveolus dapat
berubah dengan mengubah volume paru (Hukum Boyle: pada suhu konstan, tekanan yang
ditimbulkan suatu gas akan berbanding terbalik dengan volumenya).
Permulaan Inspirasi
Otot-otot pernapasan berada dalam keadaan lemas, tidak ada udara yang megalir dan
tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Pada pernapasan tenang normal,
kontraksi diafragma (dipersarafi N. Phrenicus) dan musculus intercosta external menarik
permukaan bawah paru ke bawah sehingga rongga thorax membesar (Guyton 2009). Sewaktu
rongga thorax membesar, volume paru akan meningkat sehingga menurunkan tekanan intra-
alveolus karena jumlah molekul udara di dalam paru lebih besar.
Permulaan Ekspirasi
Sebelum akhir inspirasi, volume di dalam paru meningkat sehingga tekanan intra-
alveolus menurun. Terjadi perbedaan tekanan antara intra-alveous terhadap atmosfer
sehingga udara mengalir keluar. Pada akhir inspirasi , diafragma melemas, otot ekspirasi
(musculus intercostal internal) melemas , recoil elastik paru, dinding thorax dan struktur
abdomen menekan paru. Aliran udara yang keluar akan terhenti ketika tekanan intra-alveolus
telah sama dengan tekan atmosfer (Sherwood 2011).
Memmler’s The Human Body in Health and Disease,10th ed.
B. Pertukaran Gas
Udara atmosfer total adalah 760 mmHg di permukaan laut. Tekanan yang ditimbulkan
oleh gas tertentu berbanding lurus dengan persentase gas tersebut dalam campuran udara
total. Komposisi oksigen dalam atmosfer adalah 21% maka tekanan atmosfer oksigen (PO2)
adalah 160 mmHg. Tekanan yang ditimbulkan oleh masing-masing gas dalam suatu
campuran gas di udara dikenal sebagi tekanan parsial (Sherwood 2011). Gas-gas yang larut
dalam cairan darah atau cairan tubuh menimbulkan tekanan parsial. Semakin besar tekanan
parsialm semakin banyak gas terlarut.
Pada saat respirasi, terdapat gradient tekanan parsial antara udara alveolus dan darah
kapiler paru. Sama halnya juga gradien tekanan parsial pada kapiler sistemik dan jaringan
sekitar. Pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida intrasel sama prinsipnya dengan respirasi
pulmoner, yaitu prinsip menuruni gradien konsentrasi.
Pada alveolus, komposisi udara tidak akan sama dengan atmosfer. Udara yang masuk dari
atmosfer ke saluran napas melalui nasal akan dilembabkan dan dihangatken terlebih dahulu
sehingga udara akan jenuh dengan H2O. Kelembapan ini akan menimbulkan tekanan parsial
gas-gas yang terinspirasi menjadi menurun (Guyton 2009). Dalam udara lembap PH2O = 47
mmHg, sehingga PN2 = 563 mmHg dan PO2 = 150 mmHg (Tekanan udara tersebut harus
sama dengan atmosfer sehinngga PH2O + PN2 + PO2 = 760 mmHg)
Selain itu, yang menyebabkan ketidaksamaan komposisi udara alveolus dan atmoser
adalah PO2 alveolus lebih rendah dari PO2 atmosfer akibat percampuran dengan udara lama
yang tersisa di paru. Kurang dari 15% udara di alveolus adalah udara segar pada akhir
inspirasi. Akibat pelembapan dan pertukaran udara alveolus yang rendah, maka PO2 alveolus
rerata adalah 100 mmHg (Sherwood 2011).
Situasi sama tetapi terbalik akan terjadi pada karbondioksida. Karbondioksida akan terus-
menerus diproduksi oleg jaringan sebagai produk sisa metabolisme dan secara tetap
ditambahkan ke darag di tingkat kapiler sistemik. Di kapiler paru, karbondioksida akan
berdifusi menuruni gradien tekanan parsialnya. Hanya saja, tekanan parsial karbondioksida
lebih kecil, yaitu 40 mmHg.
Saat melewati paru, oksigen akan berdifusi ke dalam darah dan karbondioksida akan
berdifusi keluar darah dan kembali ke paru dengan menuruni gradien tekanan parsial.
Pertukaran gas di paru-paru
C. Transpor Gas
Oksigen diangkut terutama dalam keadaan berikatan dengan hemoglobin ke kapiler
jaringan. Di dalam jaringan, oksigen akan dipakai untuk bereaksi dengan bahan makanan
untuk mendapatkan energy (ATP) dan juga menghasilkan karbondioksida. Karbondioksida
ini kemudian akan masuk ke kapiler jaringan dan diangkut kembali ke paru.
1. Transpor oksigen dalam darah
Sekitar 97% oksigen diangkut ke jaringan dalam keadaan terikat dengan Hb secara
kimiawi, sisanya diangkut ke jaringan dalam kadaan larut di dalam cairan plasma dan
sel. Hb berikatan dengan oksigen jika PO2 tinggi. Ketika darah melewati kapiler paru
dengan PO2 tinggi (100 mmHg), Hb akan menyerap banyak oksigen. Sewaktu
melewakit kapiler jaringan, PO2 akan menurun (40 mmHg) sehingga Hb akan
membebaskan sejumlah besar oksigen yang kemudian akan kembali berdifusi menuju
paru-paru (Guyton 2009)
2. Transpor karbondioksida dalam darah
Sekitar 70% karbondioksida diangkut dalam ion bikarbonat (HCO3-) sedangkan 23%
terikat bersama Hb dan protein plasma, sisanya 7% larut dalam cairan darah (Guyton
2009)
Transpor dalam bentuk HCO3-
Karbondioksida adalah hasil metabolisme dari pemakaian oksigen yang
direaksikan dengan zat-zat makanan. Energi yang dihasilkan akan disimpan tubuh
sebagai ATP sedangkan karbondioksida akan larut dalam air di sel darah merah
dengan membentuk H2CO3 (asam karbonat). Reaksi ini dikatalis oleh enzim
karbonat anhydrase. Secara parsial asam karbonat ini akan terpecah menjadi ion
hydrogen dan ion karbonat. Ion hydrogen ini akan bereaksi dengan Hb sedangkan
ion karbonat akan berdifusi ke dalam plasma dan ion klorida akan berdifusi ke sel
darah merah untuk menggantikan tempat ion karbonat (chloride shift).
Transpor dalam ikatan Hb dan plasma darah
Beberapa molekul karbondioksida (23%) dapat bereaksi langsung dengan Hb
dengan membentuk senyawa karboaminohemoglobin (HbCO2). Kombinasi ini
adalah reaksi reversibel yang merupakan ikatan longgar yang mudah dibebaskan
ke alveolus ketika PCO2 lebih rendah dari kapiler jaringan.
Pengangkutan oksigen ke jaringan.
Mentransport oksigen melalui 5 tahap, yaitu sebagai berikut :
1. Tahap I. Oksigen atmosfer masuk ke dalam paru – paru dan pada waktu kita menarik
napas, tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mm Hg. Dalam alveoli, komposisi
udara berbeda dengan komposisi atmosfer. Tekanan parsial O2 dalam alveoli 105 mm
Hg.
2. Tahap II. Darah mengalir dari jantung menyjy paru – paru untuk mengambil oksigen
yang berbeda dalam alveoli.
3. Tahap III. Oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan keseluruh
tubuh. Ada 2 mekanisme peredaran oksigen dalam darah yaitu oksigen yang larut
dalam plasmma darah yang merupakan bagian terbesar dan sebagian terkecil oksigen
yang terikat dalam hemoglobin dalam darah.
4. Tahap IV. Sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa melalui
cairan interstisial terlebih dahulu.
5. Tahap V. Tekanan parsial oksigen dalam sel kira – kira antara 0 - -20 mm Hg.
Proses transportasi oksigen.
Pencampuran gas dalam hukum dalton. Udara pernapasan bukanlah gas tunggal tetapi
gas campuran antara molekul nitrogen (N2), paling banyak 78,5 % dari total atmosfer molekul
gas ; molekul oksigen 21 % ; molekul air 0,5 % ; dan molekul CO2 0,04 %. Tekanan atmosfer
760 mm Hg merupakan efek perpaduan yang melibatkan setiap tipe molekul. Pada saat
perpaduan ini, konsentrasi tiap gas merupakan total tekanan. Perbandingan ini di kenal
sebagai hukum dalton.
PN2 + PO2 + PH2O + PCO2 = 760 mmHg
Pengaruh kenaikan curah jantung pada sirkulasi paru.
Selama bekerja berat aliran darah melalui paru meningkat sampai 4 kali lipat. Aliran ekstra
ini ditampung melalui 2 cara, yaitu sebagai berikut :
1. Dengan meningkatkan jumlah kapiler yang terbuka sampai 3 kali.
2. Dengan meregangkan semua kapiler dan meningkatkan kecepatan aliran. Kecepatan
aliran pada setiap kapiler lebih dari 2 kali liapt.
Pertukaran cairan kapiler paru.
Dinamika pertukaran cairan melalui kapiler paru secara kualitatif sama dengan dinamika
cairan pada jaringan prifer. Namun secara kuantitatif terdapat perbedaan.
1. tekanan kapiler paru cukup rendah, kurang dari 7 mm Hg, jika dibandingkan dengan
tekanan kapiler fungsional pada jaringan prifer, 17 mm Hg.
2. tekanan cairan interstesial dalam paru sedikit lebih negaif dari pada tekanan cairan
interstesial di jaringan subkutan prifer.
3. kapiler paru lebih mudah dilalui oleh molekul protein sehingga tekanan osmotik
koloid pada cairan intersetial paru kira – kira 14 mm Hg. Yaitu kurang daru separo
tekanan osmotik koloid di jaringan prifer.
4. dinding alveolus sangat tipis dan epitel alveolus yang menutupi permukaan alveolus
sangat lemah sehingga sel – sel setiap tekanan positif dalam ruang interstesial yang
lebih besar dari tekanan atmosfer (lebih dari 0 mmHg) menyebabkan cairan melimpah
dari ruang interstesial ke dalam alveolus.
D. Kontrol Pernapasan
Pola bernapas yang ritmik dihasilkan oleh aktivitas saraf yang siklik ke otot-otot
pernapasan. Kontrol saraf respirasi melibatkan tiga komponen (Sherwood 2011):
1. Faktor yang menghasilkan irama inspirasi atau ekspirasi bergantian
2. Faktor yang mengatur besar ventilasi (Kecepatan dan kedalaman bernapas) untuk
kebutuhan tubuh
3. Faktor yang memodifikasi aktivitas pernapasan untuk tujuan lain (untuk bicara atau
maneuver batuk dan bersin)
Modifikasi ini dapat bersifat volunter, misalnya kontrol pernapasan saat berbicara, atau
involunter, misalnya manuver pernapasan yang terjadi pada saat batuk atau bersin.
Pusat kontrol pernapasan yang terletak di batang otak bertanggung jawab untuk
menghasilkan pola bernapas yang berirama. Pusat kontrol pernapasan primer, pusat
pernapasan medulla (medullary respiratory center), terdiri dari beberapa agregat badan sel
saraf di dalam medulla yang menghasilkan keluaran ke otot pernapasan. Selain itu, terdapat
dua pusat pernapasan lain yang lebih tinggi di batang otak, di pons, yaitu pusat apnustik dan
pusat pneumotaksik. Pusat-pusat di pons ini mempengaruhi keluaran dari pusat pernapasan
medula. Bagaimana pastinya berbagai daerah ini berinteraksi untuk menciptakan ritmisitas
bernapas masih belum jelas, tetapi faktor-faktor berikut diduga berperan.
1. Neuron inspirasi dan ekspirasi di pusat medulla
Kita bernapas secara berirama karena kontraksi dan relaksasi berganti-ganti otot-otot
pernapasan, yaitu diafragma dan otot antariga eksternal, yang masing-masing dipersarafi oleh
saraf frenikus dan saraf interkostalis. Badan sel dari serat-serat saraf yang membentuk saraf-
saraf tersebut terletak di korda spinalis. Impuls yang berasal dari pusat medulla berakhir di
badan sel neuron motorik ini. Pada saat diaktifkan, neuron-neuron motorik ini kemudian
merangsang otot-otot pernapasan, sehingga terjadi inspirasi; sewaktu neuron-neuron ini tidak
aktif, otot-otot inspirasi melemas dan terjadi ekspirasi. Pusat pernapasan medulla terdiri dari
dua kelompok neuron yang dikenal sebagai kelompok pernapasan dorsal dan kelompok
pernapasan ventral.2
Kelompok respirasi dorsal (dorsal respiratory group, DRG) terutama terdiri dari neuron
inspirasi yang serat-serat desendensnya berakhir di neuron motorik yang mempersarafi otot-
otot inspirasi. Saat neuron-neuron inspirasi DRG membentuk potensial aksi, terjadi inspirasi;
ketika mereka berhenti melepaskan muatan, terjadi ekspirasi. Ekspirasi berakhir saat neuron-
neuron inspirasi kembali mencapai ambang dan melepaskan muatan. Dengan demikian, DRG
pada umumnya dianggap sebagai penentu irama dasar ventilasi.2
DRG memiliki interkoneksi penting dengan kelompok respirasi ventral (ventral
respiratory group, VRG). VRG terdiri dari neuron inspirasi dan neuron ekspirasi, yang
keduanya tetap inaktif selama bernapas tenang. Daerah ini diaktifkan oleh DRG sebagai
mekanisme overdrive (penambah kecepatan) selama periode pada saat kebutuhan akan
ventilasi meningkat. Selama bernapas tenang, tidak ada impuls yang dihasilkan di jalur-jalur
desendens dari neuron ekspirasi. Hanya selama ekspirasi aktif, neuron-neuron ekspirasi
merangsang neuron motorik yang mempersarafi otot ekspirasi. Selain itu, neuron inspirasi
VRG, apabila dirangsang oleh DRG, memacu aktivitas inspirasi saat kebutuhan akan
ventilasi meningkat.2
Pengaruh pusat pneumatik dan apnustik
Pusat pneumotaksik mengirim impuls ke DRG yang membantu ‘mematikan’/swith off
neuron inspirasi, sehingga durasi inspirasi dibatasi. Sebaliknya, pusat apnustik mencegah
neuron inspirasi dari proses switch off, sehingga menambah dorongan inspirasi. Pusat
pneumotaksik lebih dominan daripada pusat apnustik.2
Refleks Hering-Breuer
Apabila tidal volume besar (lebih dari 1 liter), misalnya ketika berolahraga, refleks
Hering-Breuer dipicu untuk mencegah pengembangan paru berlebihan. Reseptor regang paru
(pulmonary stretch reflex) yang terletak di dalam lapisan otot polos saluran pernapasan
diaktifkan oleh peregangan paru jika tidal volume besar.
1. Pengatur besarnya ventilasi
Seberapapun banyaknya O2 yang diesktraksi dari darah atau CO2 yang ditambahkan ke
dalamnya di tingkat jaringan, PO2 dan PCO2 darah arteri sistemik yang meninggalkan paru tetap
konstan, yang menunjukkan bahwa kandungan gas darah arteri diatur secara ketat. Gas-gas
darah arteri dipertahankan dalam rentang normal secara eksklusif dengan mengubah-ubah
kekuatan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan penyerapan O2 dan pengeluaran
CO2.
Pusat pernapasan medula menerima masukan yang memberi informasi mengenai
kebutuhan tubuh akan pertukaran gas. Kemudian pusat ini berespons dengan mengirim
sinyal-sinyal yang sesuai ke neuron motorik yang mempersarafi otot-otot pernapasan untuk
menyesuaikan kecepatan dan kedalaman ventilasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut. Dua sinyal yang paling jelas untuk meningkatkan ventilasi adalah penurunan PO2
arteri dan pengikatan PCO2 arteri. Kedua faktor ini memang mempengaruhi tingkat ventilasi,
tetapi tidak dengan derajat yang sama dan melalui jalur yang sama. Juga terdapat faktor
ketiga, H+, yang berpengaruh besar pada tingkat aktivitas pernapasan.
2. Ventilasi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan
kebutuhan pasokan O2 atau pengeluaran CO2
Kecepatan dan kedalaman bernapas dapat dimodifikasi oleh sebab-sebab di luar
kebutuhan akan pasokan O2 atau pengeluaran CO2. Refleks-refleks protektif, misalnya bersin
dan batuk, secara temporer mengatur aktivitas pernapasan sebagai usaha untuk mengeluarkan
bahan-bahan iritan dari saluran pernapasan. Inhalasi bahan iritan tertentu sering memicu
penghentian ventilasi. Nyeri yang berasal dari bagian lain tubuh secara refleks merangsang
pusat pernapasan (sebagai contoh, seseorang ‘megap-megap’ jika merasa nyeri). Modifikasi
bernapas secara involunter juga terjadi selama ekspresi berbagai keadaan emosional,
misalnya tertawa, menangis, bernapas panjang, dan mengerang.
Modifikasi yang dicetuskan oleh emosi ini diperantarai oleh hubungan-hubungan antara
sistem limbik otak (yang bertanggung jawab untuk emosi) dan pusat pernapasan. Selain itu,
pusat pernapasan secara refleks dihambat selama proses menelan, pada saat saluran
pernapasan ditutup untuk mencegah makanan masuk ke paru.
Manusia juga memiliki kontrol volunter yang cukup besar terhadap ventilasi. Kontrol
bernapas secara volunter dilakukan oleh korteks serebrum, yang tidak bekerja pada pusat
pernapasan di otak, tetapi melalui impuls yang dikirim secara langsung ke neuron-neuron
motorik di korda spinalis yang mempersarafi otot pernapasan. Kita dapat secara sengaja
melakukan hiperventilasi atau pada keadaan ekstrim yang lain, menahan napas kita, tetapi
hanya untuk jangka waktu yang singkat. Perubahan-perubahan kimiawi yang kemudian
terjadi di darah arteri secara langsung dan secara refleks mempengaruhi pusat pernapasan
yang kemudian mengalahkan masukan volunter ke neuron motorik otot pernapasan. Selain
bentuk-bentuk ekstrim pengontrolan pernapasan tadi, kita juga mengontrol pernapasan untuk
melakukan berbagai tindakan volunter, misalnya berbicara, bernyanyi, dan bersiul.
Beberapa nervus yang terlibat dalam mengendalikan respirasi
Kompensasi sistem respirasi, kardiovaskular, darah, dan syaraf dalam
mempertahankan homeostasis:
a) Sistem respirasi
Peningkatan ventilasi paru: Perubahan system respirasi; pajanan PO2 yang
rendah akan segera merangsang kemoreseptor arteri sehingga terjadi peningkatan
ventilasi alveolus. Peningkatan ventilasi paru ini akan menghilangkan sebagian besar
karbondioksida, sehingga PCO2 turun, dan meningkatkan pH cairan tubuh (semakin
basa/H+ berkurang). Penurunan kadar H+ ini akan dikompensasi oleh ginjal dengan
menurunkan kadar ion bikarbonat, termasuk pada cairan serebrospinal. Penurunan pH
di sekeliling neurokemosensitif di pusat pernapasan ini akan meningkatkan aktivitas
pusat tersebut dalam menstimulasi pusat pernapasan.
Peningkatan kapasitas difusi paru. Peningkatan kapasitas difusi akan terjadi
pada tempat yang tinggi. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan volume darah
kapiler paru, yang menyebabkan pelebaran kapiler dan peningkatan luas daerah
tempat oksigen berdifusi ke dalam darah. Peningkatan volume udara paru, juga akan
menyebabkan antarmuka kapiler-alveolus meluas. Bagian terakhir yang menyokong
adalah peningkatan tekanan darah arteri paru, yang akan mendorong darah untuk
melewati lebih banyak kapiler alveolus.
b) Kardiovaskular
Peningkatan vaskularisasi jaringan perifer. Perubahan system kardiovaskular
dan sirkulasi; segera setelah mencapai suatu tempat tinggi, curah jantung akan
meningkat, dan kemudian akan turun kembali menjadi normal seiring dengan
terjadinya hematokrit darah, sehingga jumlah oksigen yang diangkut ke dalam
jaringan kembali normal. Adaptasi sirkulasi yang lain adalah peningkatan jumlah
pertumbuhan sirkuler yang bersirkulasi secara sistemik di jaringan non-paru, yang
disebut sebagai peningkatan kapiler jaringan.
c) Darah
Peningkatan jumlah sel darah merah. Hipoksia merupakan rangsangan utama
yang akan menyebabkan peningkatan produksi sel darah merah. Produksi eritropoietin
dirangsang oleh hipoksia jaringan ginjal yang disebabkan oleh perubahan takanan O2
atmosfir, penurunan kandungan O2 darah arteri, dan penurunan kandungan
hemoglobin. Eritropoietin akan merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi
dan maturasi sel-sel darah merah.
d) Saraf
Jika aliran darah ke otak tidak mencukupi untuk memenuhi jumlah oksigen
yang diperlukan, mekanisme defisiensi oksigen untuk menimbulkan vasodilatasi, akan
menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat mengembalikan aliran darah otak dan
transport oksigen ke jaringan otak sampai mendekati normal. Jadi, mekanisme
pengaturan aliran darah setempat pada otak ini hampir sama dengan yang terjadi pada
pembuluh darah koronaria, di otot-otot rangka dan sebagian besar area sirkulasi tubuh
lainnya.
2. HIPOKSIA
Hipoksia adalah kekurangan O2, di tingkat jaringan. Istilah ini lebih tepat
dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai bahwa benar-benar tidak ada O2 tertinggal
dalam jaringan.
Hipoksia merujuk kepada kondisi kurangnya O2 di tingkat sel. Terdapat empat kategori
umum hipoksia:
1. Hipoksia hipoksik ditandai oleh rendahnya PO2 darah arteri disertai oleh kurang
adekuatnya saturasi Hb. Hal ini disebabkan oleh (a) malfungsi pernapasan yang
menyebabkan kurang memadainya pertukaran gas, dicirikan oleh PO2 alveolus yang
normal tetapi PO2 arteri berkurang, atau (b) berada diketinggian atau lingkungan yang
menyesakkan dimana PO2 atmosfer berkurang hingga PO2 alveolus dan arteri juga
berkurang
2. Hipoksia anemic adalah berkurangnya kapasitas darah mengangkut O2. Hal ini dapat
terjadi karena (a) penurunan jumlah sel darah merah, (b) berkurangnya jumlah Hb di
dalam sel darah merah, atau (c) keracunan CO. pada semua kasus hipoksia anemic,
PO2 arteri normal tetapi kandungan O2 darah arteri lebih rendah daripada normal
karena berkurangnya ketersediaan Hb.
3. Hipoksia sirkulasi terjadi jika darah beroksigen yang dialirkan ke jaringan terlalu
sedikit. Hipoksia jaringan mungkin terbatas di daerah tertentu karena spasme atau
sumbatan pembuluh darah. Atau tubuh dapat mengalami hipoksia sirkulasi secara
umum akibat gagal jantung kongensif atau syok sirkulasi. PO2 dan kandungan O2
arteri biasanya normal tetapi darah beroksigen yang mencapai sel terlalu sedikit.
Pada Hipoksia histotoksik, penyaluran O2 ke jaringan normal tetapi sel tidak dapat
menggunakan O2 yang tersedia.
Penyebab:
Di dalam tubuh manusia terdapat suatu sistem kesetimbangan yang berperan dalam
menjaga fungsi fisiologis tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Salah satu proses
adaptasi yang dilakukan oleh tubuh manusia adalah beradaptasi terhadap perubahan
ketinggian yang tiba-tiba. Jika seseorang yang bertempat tinggal di Jakarta dengan ketinggian
0 km dari permukaan laut (dpl) pergi dengan pesawat terbang ke Mexico City dengan
ketinggian 2,3 km dpl, maka setelah tiba di Mexico City akan merasa pusing, mual, atau rasa
tidak nyaman lainnya.
Oleh karena itu, kasus Hypoxia ini tidak terjadi pada penduduk setempat yang sudah
terbiasa hidup di daerah dataran tinggi tersebut dan bagi pendaki gunung diperlukan pos-pos
pemberhentian agar tubuh selalu dapat beradaptasi secara baik terus-menerus.
Kesetimbangan Pengikatan Oksigen oleh Hemoglobin
Keadaan tersebut dapat dijelaskan berdasarkan sistem reaksi kesetimbangan pengikatan
oksigen oleh hemoglobin:
Hb(aq) + O2(aq) ↔ HbO2(aq)
HbO2 merupakan oksihaemoglobin yang berperan dalam membawa oksigen ke seluruh
jaringan tubuh termasuk otak. Tetapan kesetimbangan dari reaksi tersebut adalah:
Kc = [HbO2] / [Hb][O2]
Pada ketinggian 3 km, tekanan parsial gas oksigen sekitar 0,14 atm, sedangkan pada
permukaan laut tekanan parsial gas oksigen sebesar 0,2 atm.
Kesetimbangan akan bergeser ke kiri
Berdasarkan azas Le-Chatelier, dengan berkurangnya gas oksigen berati
kesetimbangan akan bergeser ke kiri, dan berakibat kadar HbO2 di dalam darah menurun.
Akibat yang ditimbulkan dari keadaan tersebut, suplai oksigen ke seluruh jaringan akan
berkurang. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya rasa mual dan pusing, serta perasaan
tidak nyaman pada tubuh.
Kondisi tersebut akan mengakibatkan tubuh berusaha beradaptasi dengan
memproduksi hemoglobin sebanyak-banyaknya. Dengan meningkatnya konsentrasi
hemoglobin akan menggeser kembali kesetimbangan ke kanan dan HbO2 akan meningkat
kembali seperti semula. Penyesuaian ini berlangsung kurang lebih 2-3 minggu.
Dari penelitian, diketahui bahwa kadar hemoglobin rata-rata penduduk yang
bertempat tinggal di dataran tinggi akan memiliki hemoglobin lebih tinggi daripada penduduk
yang bertempat tinggal di dataran rendah.
Peningkatan konsentrasi hemoglobin terjadi 1-2 hari pertama pendakian dan terus
meningkat sampai beberapa minggu disebabkan oleh peningkatan viskositas darah.
Selanjutnya hipoksia akan merangsang produksi eritropoetin dari aparatus jukstaglomerular
ginjal dan hati sehingga produksi hemoglobin akan meningkat.
Petunjuk adanya hipoksia dan hipoksemia:
Gas darah / Sistem Temuan Laboratorium/ Tanda Klinis
Gas darah arteri PaO2 : 80-100 mmHg (normal)
60-80 mmHg (Hipoksemi ringan)
40-60 mmHg (Hipoksemia sedang)
<40 mmHg (Hipoksemia berat)
SaO2 : 95%-97% (normal)
<90% (dapat mengindikasikan hipoksemia)
pH : 7,35-7,45 (normal)
<7,35 (asidemia)
>7,45 (alkalemia)
PaCO2 : 35-45 mmHg (normal)
>45 mmHg (Hipoventilasi)
<35 mmHg (Hiperventilasi)
Sistem Pernapasan Tacypnea, menurunnya volume tidal, dyspnea, menguap mengunakan
otot-otot pernapasan tambahan, lubang hidung melebar.
Sistem saraf pusat Sakit kepala (akibat vasodilatasi cerebral)
Kekacauan mental, tingkah laku yang aneh, gelisah
Mudah terangsang, ekspresi wajah cemas, berkeringat
Rasa mengantuk yang dapat berlanjut menjadi koma jika hipoksia
berat.
Sistem
kardiovaskular
Mula-mula takikardia; kemudian bradikardia jika otot jantung tidak
cukup mendapat O2.
Peningkatan tekanan darah yang diikuti dengan penurunan tekanan
darah jika hipoksia tidak diatasi; disritmia
Kulit Sianosis pada bibir, mukosa mulut, dan dasar kuku.
Hypoxic responses
• Respirasi
– ↑ rate
• Kardiovaskular
– ↑ rate dan stroke volume.
– Pulmonary vasoconstriction and cerebral vasodilatation (increases PA
pressure)
• Hematologi
– ↑ red blood cell mass dan plasma viscosity
– O2 Hb disosiasi kurva bergeser ke kiri untuk meningkatkan afinitas untuk O2
(pengiriman ke jaringan kurang)
Kadang orang yang berdiam terlalu lama di tempat tinggi, namun tubuh kurang bisa
beradaptasi dengan baik, akan terjadi gejala berikut:
1. Sel darah merah dan hematokrit meningkat tinggi sekali
2. Tekanan arteri pulmonalis meningkat, bahkan melebihi peningkatan normal yg terjadi
selama aklimatisasi
3. Jantung sisi kanan sangat membesar
4. Tekanan arteri perifer menurun
5. Terjadi gagal jantung kongesif
Kematian sering terjadi, kecuali pasien segera dipindahkan ke tempat rendah
Penyebab peristiwa-peristiwa tersebut mungkin tiga hal, yaitu: Pertama, massa sel
darah merah menjadi terlalu besar sehingga viskositas darah meningkat beberapa kali lipat;
peningkatan viskositas darah ini akan menurunkan aliran darah jaringan sehingga
pengangkutan oksigen juga berkurang. Kedua, arteriol paru mengalami vasokonstriksi akibat
hipoksia paru. Hal ini terjadi akibat mekanisme konstriksi akibat sebagai reaksi terhadap
hipoksia, yang secara normal terjadi dengan tujuan mengalihkan aliran darah dari alveoli
rendah oksigen ke alveoli tinggi oksigen. Tetap, karena semua alveoli sekarang berada dalam
keadaan rendah oksigen, semua arteriol mengalami konstriksi, tekanan arteri pulmonalis
meningkat hebat, sehingga terjadilah payah jantung kanan. Ketiga, spasme arteriol alveolus
mengalihkan banyak aliran darah ke pembuluh paru nonalveolar, menyebabkan banyak aliran
darah paru memintas ke pembuluh darah yang oksigenasinya rendah, dan hal ini akan lebih
mempersulit keadaan. Jika proses adaptasi terus-menerus gagal, sehingga penderita
kekurangan oksigen secara berat, maka dampak terparah yaitu timbulnya kematian. Jadi
penderita harus segera diberikan oksigen atau dibawa ke tempat yang lebih rendah untuk
pulih kembali.
Aliran darah pulmoner
Hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah jantung, frekuensi
jantung dan tekanan darah sistemik. Efek ini akibat perangsangan simpatis sistem
kardiovaskular yang menyebabkan perangsangan kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi
paru. Selain itu mungkin juga merupakan akibat langsung efek hipoksia miokardium yang
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner Peningkatan curah jantung,
vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf simpatis pembuluh darah menyebabkan
peningkatan tekanan arteri pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan
hipertensi pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan.
Pada ketinggian tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara
linear, menjadi 50% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30%
dari nilai permukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest).Seiring dengan
penurunan PO, tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi. Hipoksia
juga akan menyebabkan vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi
pulmoner dan high altitude pulmonary oedema (HAPE). Selain itu ketinggian juga dapat
menyebabkan gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain
sickness (CMS).Insidens HAPE bervariasi antara 0,01% - 15%. Laki-laki dan perempuan
dapat menderita HAPE, walaupun laki-laki muda lebih mempunyai risiko. Orang Tibet dan
Sherpa mempunyai proteksi genetik terhadap HAPE walaupun pernah dilaporkan terjadi
pada populasi ini. Pendakian cepat pada ketinggian menyebabkan perubahan fisiologik dan
kelainan paru sehingga diperlukan penanganan yang tepat.Udara mengandung 78,08 %
nitrogen, 0,03 % CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas ini bersama-sama
mempunyai tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan barometer. Tekanan
tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya, sehingga tekanan oksigen
sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer berkurang menjadi 493
mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan dengan permukaan laut,
dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91 mmHg atau turun sebesar 40
%. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan berkurangnya saturasi
oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan oksihemoglobin dalam darah tergantung
pada tekanan parsial oksigen dalam alveoli.
Di tempat tinggi karbondioksida diekskresi terus-menerus dari darah ke alveoli,
begitu juga air akan menguap ke dalam udara inspirasi dari permukaan alat pernapasan,
Kedua gas ini akan mengencerkan oksigen di dalam alveoli, sehingga menurunkan kadar
oksigen. Tekanan uap air di dalam alveoli teteap 47 mm Hg selama suhu tubuh normal, tidak
bergantung pada ketinggian. Lain halnya dengan karbondioksida, selama berada di tempat
yang sangat tinggi Pco2 alveolus turun dari 40 mmHg ( nilai di permukaan laut ) ke nilai yang
lebih rendah. Sedangkan untuk PO2 di alveolus 104 mm Hg (nilai di permukaan laut) menjadi
60 mm Hg pada ketinggian 3200 meter. Pada seseorang yang teraklimitisasi, maka
ventilasinya akan meningkat sampai lima kali lipat, sehingga perubahannya tidak terlalu
berarti. Saturasi oksigen arteri akan sangat menurun pada ketinggian tertentu.
Bila Po2 alveolus diturunkan sampai 60 mm Hg, saturasi oksigen hemoglobin arteri
masih 89 persen, yaitu hanya 8 persen dibawah saturasi normal sebesar 97 persen.
Selanjutnya jaringan masih mengeluarkan kira-kira 5 mililiter oksigen dari setiap 100
mililiter darah yang melalui jaringan tersebut. Untuk mengeluarkan oksigen PO2 darah vena
turun menjadi 35 mm Hg , hanya 5 mm Hg dibawah normal sebesar 40 mm Hg . Dengan
demikian PO2 jaringan hampir tak berubah, walaupun PO2 alveolus secara nyata menurun
dari 104 mm Hg menjadi 60 mm Hg.
Pada dasarnya tubuh akan mengadakan adaptasi pada daerah tinggi, sehingga
seseorang yang secara tiba-tiba berada pada daerah tinggi akan mengalami beberapa
perubahan fisiologis demi mengembalikan homoeostasis.
- Peningkatan ventilasi paru (peran kemoreseptor arteri) Kenaikan ventilasi paru yang
mendadak pada saat kita naik ke tempat tinggi akan menghilangkan sejumlah besar karbon
dioksida, sehingga PCO2 turun, dan meningkatkan pH cairan tubuh. Semua perubahan itu
akan menghambat pusat pernapasan batang otak dan dengan demikian melawan efek PO2
yang rendah untuk merangsang pernapasan menggunakan kemoreseptor pernapasan perifer di
badan karotid dan badan aortic. Namun efek hambatan ini perlahan-lahan akan hilang dalam
waktu dua sampai lima hari, sehingga pusat pernapasan dapat mengadakan respons maksimal
terhadap rangsangan kemoreseptor sebagai akibat dari hipoksia, dan ventilasi meningkat
sekitar lima kali normal. Penyebab hilangnya hambatan ini dipercaya terjadi terutama karena
adanya penurunan kadar ion bikarbonat dalam cairan serebrospinal sebagaimana dalam
jaringan otak. Perubahan-perubahan tersebut akan menurunkan pH cairan di sekeliling
neuron kemosensitif di pusat pernapasan, dengan demikian akan meningkatkan aktivitas
pusat tersebut dalam menstimulasi pernapasan.
- Peningkatan jumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin Hipoksia (kekurangan
oksigen dalam jaringan) merupakan rangsangan utama yang menyebabkan peningkatan
produksi sel darah merah. Namun jika hanya dalam beberapa hari, belum ada peningkatan
berarti. Setelah terpajan berminggu-minggu dan tubuh telah mengadakan adaptasi, hematokrit
akan meningkat hingga 60, dan kadar Hb dari nilai normal 15g/dl dapat meningkat menjadi
20g/dl.
- Peningkatan kapasitas difusi Kita ingat bahwa kapasitas difusi normal untuk oksigen
ketika melalui membrane paru kira-kira 21 ml/mm Hg/menit, & kapasitas difusi ini dapat
meningkat sebanyak 3 kali lipat di tempat tinggi. Sebagian dri peningkatan ini disebabkan
oleh peningkatan volume darah kapiler paru, yg menyebabkan terjadinya pelebaran kapiler &
peningkatan luas daerah permukaan tempat oksigen berdifusi ke dalam darah. Sebagian lagi
disebabkan oleh peningkatan volume udara paru, yg mengakibatkan antarmuka (interface)
kapiler-alveolus lebih meluas lagi. Bagian yg terakhir menyokong ialah peningkatan tekanan
darah arteri paru; tenaga ini akan mendorong darah utk melalui lebih banyak kapiler alveolus
daripada dalam keadaan normal, terutama bagian atas paru, yg pada keadaan biasa perfusinya
buruk.
- Perubahan system sirkulasi perifer (Peningkatan kapilaritas jaringan) Segera setelah
mencapai tempat tinggi, curah jantung seringkali meningkat sampai 30 persen, tetapi
kemudian turun kembali menjadi normal dalam hitungan minggu seiring terjadinya
peningkatan hematokrit darah, jadi jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tubuh perifer
tetap dalam kisaran normal.
- Adaptasi sirkulasi yang lain ialah peningkatan jumlah pertumbuhan kapiler yang
bersirkulasi secara sistemik di jaringan non paru, yang disebut sebagai peningkatan
kapilaritas jaringan (atau angiogenesis). Hal ini terutama terjadi pada binatang yang lahir dan
dibiakkan di tempat tinggi, dan kurang nyata efeknya pada binatang yang baru berada di
tempat tinggi setelah umurnya cukup tua.
Peningkatan kapilaritas akan terlihat sangat nyata pd jaringan aktif yg terpajan
hipoksia kronik. Contoh, kepadatan kapiler dlm otot ventrikel kanan meningkat secara
bermakna akibat hipoksia & beban kerja yg berat, yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal
pada ketinggian.
Sesak napas (dispnea) ,terasa melayang, dan susah tidur terjadi karena hiperventilasi
yang terjadi di paru-paru. Pada saat terpapar Po2 yang rendah secara mendadak, akan
merangsang kemoreseptor arteri sehingga meningkatkan ventilasi alveolus menjadi maksimal
1,65 kali di atas normal. Kenaikan ventilasi paru yang mendadak akan menghilangkan
sejumlah besar karbondioksida, akibatnya Pco2 turun (hipokapnia). Efek dari berkurangnya
karbondiaksida dalam dalam adalah terjadi alkalosis respiratorik. CO2 dapat bereaksi dengan
air untuk membentuk asam karbonat (H2CO3), asam karbonat kemudian dipecah menjadi ion
H+ dan ion bikarbonat (HCO3-). Kekurangan CO2 akan menyebabkan kurangnya ion H+
sehingga pH naik.Turunnya pH tubuh menghambat pusat pernapasan di medulla oblongata
dan melawan efek dari turunnya Po2. Efek ini akan menghambat perangsangan pernapasan
dengan menggunakan kemoreseptor pernapasan perifer di badan karotid dan aortik. Efek ini
akan hilang setelah beberapa hari karena penurunan kadar ion bikarbonat dalam cairan
serebrospinal sebagaimana dalam jaringan otak. Hal ini akan menurunkan kembali pH cairan
di sekitar neuron kemosensitif di pusat pernapasan. pH ini dikontrol juga oleh ginjal sebagai
kompensasi dari alkalosis respiratorik, caranya yaitu dengan menurunkan sekresi H+ dan
meningkatkan ekskresi bikarbonat. Turunnya pH ke arah normal secara bertahap akan
membuang efek inhibisi pernapasan dan membuat ventilasi meningkat sekitar lima kali
normal (hiperventilasi). Susah tidur terjadi karena jantung berdebar-debar akibat efek dari
kemoreseptor pernapasan perifer di badan karotid dan badan aortik. Penyebab sakit kepala
bisa disebabkan oleh aktivitas otak yang abnormal, yang dipicu oleh stress, makanan tertentu,
faktor lingkungan, atau sesuatu yang lain. Saat ini sebagian besar ahli medis percaya
serangan sakit kepala itu dimulai di otak, dan melibatkan berbagai jalur saraf dan bahan
kimia. Perubahan tersebut mempengaruhi aliran darah di otak dan jaringan sekitarnya.
Posisi tubuh sangat berpengaruh terhadap frekuensi pernapasan. Pada tubuh yang
berdiri, otot-otot kaki akan berkontraksi sehingga diperlukan tenaga untuk menjaga tubuh
tetap tegak berdiri. Untuk itu diperlukan banyak O2 dan diproduksi banyak CO2. Pada posisi
tubuh berdiri, frekuensi pernapasannya meningkat.Pada posisi duduk atau tiduran, beban
berat tubuh disangga oleh sebagian besar bagian tubuh sehingga terjadi penyebaran beban.
Hal ini mengakibatkan jumlah energi yg diperlukan untuk menyangga tubuh tidak terlalu
besar hingga frekuensi pernapasannya juga rendah.
Selain itu sesak napas juga dipengaruhi oleh peningkatan faktor kerja pernapasan. Jika
kemampuan mengembang dinding toraks atau paru menurun sedang tahanan saluran napas
meningkat, maka tenaga yang diperlukan oleh otot pernapasan guna memberikan perubahan
volume serta tenaga yang diperlukan kerja pernapasan akan bertambah. Hal ini berakibat
kebutuhan oksigen juga bertambah atau meningkat. Jika paru tidak mampu memenuhi
kebutuhan oksigen, akhirnya akan menimbulkan sesak napas.
Acute Mountain Sickness adalah kondisi yang sering dialami pada 4-72 jam pertama
pada ketinggian di atas 2000 m. Hal ini disertai dengan gejala-gejala misalnya sakit kepala,
mudah tersinggung, susah tidur, pusing, mual, tak ada nafsu makan dan muntah. Berat gejala-
gejala tersebut bagian terbesarnya tergantung pada kecepatan pendakian. Acute Mountain
Sickness (AMS) dapat diminimalkan bila pendakian dari ketinggian rendah (<1500 m) ke
ketinggian sedang (>2000 m) berlangsung lambat meliputi beberapa hari, asupan cairan dan
karbohidrat dalam tata-gizi ditingkatkan dan program latihan diatur pada tingkat yang ringan.
Biasanya penyakit itu hanya berlangsung untuk 2-3 hari. Acetazolamide (Diamox = sejenis
diuretika) terbukti dapat meminimalkan kejadian PGA (Sutton et al. 1979).
Selain itu, pada penderita hipoksia diketahui juga mengalami:
1. Tachypneu
Tachypneu adalah pernapasan yang sangat cepat. Pada kasus ini, sesak napas
(tachypneu) disebabkan karena terjadinya hipoksia pada pons dan medulla oblongata yang
mengatur sistem pernapasan. Kadar O2 menurun mengakibatkan hiperventilasi (mempercepat
frekuensi pernapasan) yang menyebabkan tachypneu.
2. Sianosis
Sianosis adalah perubahan warna kulit menjadi biru yang disebabkan oleh adanya
deoksihemoglobin dalam pembuluh darah superfisial. Molekul hemoglobin berubah warna
dari biru menjadi merah bila berikatan dengan oksigen di kedua paru. Jika terdapat lebih dari
50g/L deoksihemoglobin dalam darah maka kulit akan tampak kebiruan (Ganong, 1999)
Perubahan warna kulit dan membrane mukosa menjadi kebiru-biruan (sianosis)
adalah gejala yang sering diakibatkan dari hipoksia (Paulman et al 2010). Sianosis timbul
apabila terjadi penurunan penyampaian oksigen karena rendahnya tekanan parsial oksigen di
atmosfer dan rendahnya curah jantung.
Mekanismenya berawal dari vena yang bersaturasi rendah (rendah kadar oksigen)
kembali ke paru dan tidak mendapat oksigen selama perjalanan di pembuluh darah baru.
Maka darah yang keluar dari arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial
oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. Bila semua darah vena bersaturasi rendah
melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka P0 2
= PAO2 sehingga tidak ada gradien antara tekanan oksigen alveolar dengan tekanan oksigen
dalam vena pulmonalis. Kadar oksigen yang ada sekarang tidak memadai untuk dibawa ke
semua sistem tubuh sehingga pasokan menuju jaringan tidak dipenuhi. Oksigen yang normal
dalam tubuh akan berikatan dengan Hb dan membentuk oksihemoglobin (HbO2).
Oksihemoglobin inilah yang membuat darah menjadi merah. Sehingga ketika pasokan
oksigen yang berikatan dengan Hb sedikit, tidak terlihat warna merah pada pembuluh kapiler.
Sering terjadi pada bagian-bagian tubuh yang memiliki banyak pembuluh darah superfisial di
bagian ekstrimitas (kuku jari) dan bibir.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta : EGC.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hall, John E. 2009. Fisiologi Kedokteran Ed. 11. Jakarta: EGC
Pearce, Evelyn C. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Weibel, E. R. (1963). In Academic Press. Morphometry of the human lung. p. 151. ISBN 3-
540-03073-5.
Hansen, J. E.; Ampaya, E. P.; Bryant, G. H. and Navin, J. J. (1975). "The Branching Pattern
of Airways and Air Spaces of a Single Human Terminal Bronchiole". Journal of Applied
Physiology 38 (6): 983–989.
C. Michael Hogan. 2011. Respiration . Encyclopedia of Earth . Eds. Mark McGinley & C. J.
cleveland. National council for Science and the Environment. Washington DC