LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA
Disuusun Guna Memenuhi Tugas Keperwatan Profesi Ners Stase Pediatrik
Dibimbing Oleh : Siti Arifah, S.Kep., M.kes
Disusun Oleh :
Arifia Purwanti J.230.145.051
Dyah Isna Romadhoni J.230.145.052
Hanifa Nur Afifah J.230.145.053
Maulana Rian Krisandi J.230.145.073
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari broniolus terminalis yang mencangkup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan kondisi jaringan paru dan gangguan
pertukaran udara setempat (Dahlan, 2010).
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus terisi
dengan cairan dan sel radang dengan atau tanpa disertai infiltrasi sel radang
ke dalam dinding alveoli dan rongga intestinum (Alsagaff & Mukthy, 2009).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (alveoli) sehingga dapat menganggu proses pernafasan penderita
dengan adanya sesak nafas maupun infeksi yang akan menyetai dari
pneumonia (Wilson, 2006).
B. ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi
dan radiasi. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama
disebabkan oleh bakteri, bakteri yang menyebabkan pneumonia adalah
streptococus pneumoniae, Haemophilus influenza dan staphylococus aureus
(Said, 2008).
Menurut Rudolph, 2007 penyebab pneumonia juga dapat diklasifikan
sebagai berikut :
1. Bakteri
Streptococus pneumoniae, streptokokus grup A, Haemophilus
Influenza dan staphilococus aureus.
2. Jamur Hisptoplasma capsulatum, Coccidioides immitis,
Aspergillus, Blastomyes dermatitis, Cryptococus.
3. Virus
Respiratorik Sensitisial Virus (RSV), Virus Parainfluenza,
Adenovirus, Rhynovirus, Virus Influenza, Virus Varisella dan
Rubella.
4. Kimiawi
Aspirasi hidrokarbon alifatik
C. PATOFISIOLOGI
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal
dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel (Betz,
2013).
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu,
atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran
nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran
nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan
sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi
virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif
jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau
intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat
pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan
fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah.
Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan
kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi
menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion
missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia.
Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada
kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana
eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan
dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke
kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.
Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan
perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al.,
2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema
antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
D. Pathway
l
Virus, jamur, bakteri, protozoa
Daya tahan saluran pernapasan yang terganggu
Aspirasi
Obstruksi mekanik saluran pernapasan
Peradangan pada bronkus menyebar ke parenkim paru
Terjadi konsolidasi dan pengisian rongga alveoli oleh eksudat
Edema trakeal/faringeal
Peningkatan produksi sekat
Penurunan jaringan efektif paru dan
kerusakan membran alveolar-
kapiler Batuk produktif Sesak napas Penurunan
kemampuan batuk efektif
Sesak napas, penggunaan otot bantu napas, pola napas tidak efektif
Pola nafas tidak efektif
Bersihan jalan napas tidak efektif
Nyeri dada
Frekuensi nafas meningkat
Infeksi meluas
Makrofag akan mengeluarkan
pirogen dan endogen
Hipotalamus
Mempengaruhi syaraf fagus
Hipertermi
Peningkatan asam lambung
Konsolidasi jaringan paru
Gangguan pertukaran gas
(Bennete & Betz, 2013)
E. KLASIFIKASI
Secara klinis, pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer
maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis
pneumonia dikenal sebagai berikut (WHO, 2014).
1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu
atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai
pneumonia bilateral atau “ganda”.
2. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat
oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam
lobus yang berada didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis.
3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding
alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.
Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen
penyebabnya, virus, atipikal (mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi
asing (Rudolph, 2007).
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial.
Terlihat pada anak dari semua kelompok umur, sering dikaitkan dengan
ISPA virus, dan jumlah RSV untuk persentase terbesar. Dapat akut atau
berat. Gejalanya bervariasi, dari ringan seperti demam ringan, batuk
Kurang volume cairan
Badan lemas
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Mual, muntah
Penurunan keinginan untuk minum
sedikit, dan malaise. Berat dapat berupa demam tinggi, batuk parah,
prostasi. Batuk biasanya bersifat tidak produktif pada awal penyakit.
Sedikit mengi atau krekels terdengar auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama
di musim gugur dan musim dingin, lebih menonjol di tempat dengan
konsidi hidup yang padat penduduk. Mungkin tiba-tiba atau berat. Gejala
sistemik umum seperti demam, mengigil (pada anak yang lebih besar),
sakit kepala, malaise, anoreksia, mialgia. Yang diikuti dengan rinitis,
sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada awalnya batuk bersifat tidak
produktif, kemudian bersputum seromukoid, sampai mukopurulen atau
bercak darah. Krekels krepitasi halus di berbagai area paru.
3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan pneumonia
streptokokus, manifestasi klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-
organisme individual menghasilkan gambaran klinis yang berbeda.
Awitannya tiba-tiba, biasanya didahului dengan infeksi virus, toksik,
tampilan menderita sakit yang akut , demam, malaise, pernafasan cepat
dan dangkal, batuk, nyeri dada sering diperberat dengan nafas dalam,
nyeri dapat menyebar ke abdomen, menggigil, meningismus.
Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia,
pneumonia dapat diklasifikasikan (Maitra & Kaumar, 2011).
1. Usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat
dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada
usia 2 bulan – 1 tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada
usia 1-5 tahun 40 x/menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa dapat
disertai dengan demam, tetapi tanpa terikan dinding dada bagian
bawah dan tanpa adanya nafas cepat.
2. Usia 0 – 2 bulan
a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
nafas cepat yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian
bawah dan tidak ada nafas cepat.
F. TANDA DAN GEJALA
Menurut Supariasa, 2006 tanda dan gejala pneumonia adalah sebagai
berikut:
1. Demam, sering tampak sebagai tanda infeksi yang pertama. Paling
sering terjadi pada usia 6 bulan – 3 tahun dengan suhu mencapai 39,5 –
40,5 bahkan dengan infeksi ringan. Mungkin malas dan peka rangsang
atau terkadang eoforia dan lebih aktif dari normal, beberapa anak bicara
dengan kecepatan yang tidak biasa.
2. Anoreksia, merupakan hal yang umum yang disertai dengan penyakit
masa kanak-kanak. Seringkali merupakan bukti awal dari penyakit.
Menetap sampai derajat yang lebih besar atau lebih sedikit melalui
tahap demam dari penyakit, seringkali memanjang sampai ke tahap
pemulihan.
3. Muntah, anak kecil mudah muntah bersamaan dengan penyakit yang
merupakan petunjuk untuk awitan infeksi. Biasanya berlangssung
singkat, tetapi dapat menetap selama sakit.
4. Nyeri abdomen, merupakan keluhan umum. Kadang tidak bisa
dibedakan dari nyeri apendiksitis.
5. Sumbatan nasal, pasase nasal kecil dari bayi mudah tersumbat oleh
pembengkakan mukosa dan eksudasi, dapat mempengaruhi pernafasan
dan menyusu pada bayi.
6. Keluaran nasal, sering menyertai infeksi pernafasan. Mungkin encer
dan sedikit (rinorea) atau kental dan purulen, bergantung pad tipe dan
atau tahap infeksi.
7. Batuk, merupakan gambaran umum dari penyakit pernafasan. Dapat
menjadi bukti hanya selama faase akut.
8. Bunyi pernafasan, seperti batuk, mengi, mengorok. Auskultasi
terdengar mengi, krekels.
9. Sakit tenggorokan, merupakan keluhan yang sering terjadi pada anak
yang lebih besar. Ditandai dengan anak akan menolak untuk minum dan
makan per oral.
G. FAKTOR RESIKO PNEUMONIA PADA ANAK
Faktor resiko sebab terjadinya pneumonia diantara adalah sebagi berikut :
1. Status gizi buruk, menempati urutan pertamam pada risiko pneumonia
pada anak balita, dengan tiga kriteria antopometri yaitu BB/U, TB/U,
BB/TB. Status gizi yang buruk dapat menurunkan pertahanan tubuh baik
sistemik maupun lokal juga dapat mengurangi efektifitas barier dari
epitel serta respon imun dan reflek batuk.
2. Status ASI buruk, anak yang tidak mendapat ASI yang cukup sejak lahir (
kurang 4 bulan) mempunyai risiko lebih besar terkena pneumonia. ASI
merupakan makanan paling penting bagi bayi karena ASI mengandung
protein, kalori, dan vitamin untuk pertumbuhan bayi. ASI mengandung
kekebalan penyakit infeksi terutama pneumonia.
3. Status vitamin A, pemberian vitamin A pada anak berpengaruh pada
sistem imun dengan cara meningkatkan imunitas nonspesifik, pertahanan
integritas fisik, biologik, dan jaringan epitel. Vitamin A diperlukan dalam
peningkatan daya tahan tubuh, disamping untuk kesehatan mata,
produksi sekresi mukosa, dan mempertahankan sel-sel epitel.
4. Riwayat imunisasi buruk atau tidak lengkap, khususnya imunisasi
campak dan DPT. Pemberian imunisasi campak menurunkan kasusu
pneumonia, karena sebagian besar penyakit campak menyebabkan
komplikasi dengan pneumonia. Demikian pula imunisasi DPT dapat
menurunkan kasus pneumonia karena Difteri dan Pertusis dapat
menimbulkan komplikasi pneumonia.
5. Riwayat wheezing berulang, anak dengan wheezing berulang akan sulit
mengeluarkan nafas. Wheezing terjadi karena penyempitan saluran nafas
(bronkus), dan penyempitan ini disebabkan karena adanya infeksi. Secara
biologis dan kejadian infeksi berulang ini menyebabkan terjadinya
destruksi paru, keadaan ini memudahkan pneumonia pada anak.
6. Riwayat BBLR, anak dengan riwayat BBLR mudah terserang penyakit
infeksi karena daya tahan tubuh rendah, sehingga anak rentan terhadap
penyakit infeksi termasuk pneumonia.
7. Kepadatan penghuni rumah, rumah dengan penghuni yang padat
meningkatkan risiko pneumonia dibanding dengan penghuni sedikit.
Rumah dengan penghuni banyak memudahkan terjadinya penularan
penyakit dsaluran pernafasan.
8. Status sosial ekonomi, ada hubungan bermakna antara tingkat
penghasilan keluarg dengan pendidikan orang tua terhadap kejadian
pneumonia anak.
(Suryadi, 2009)
H. KOMPLIKASI PNEUMONIA
Kelompok orang yang lebih berisiko mengalami komplikasi
pneumonia adalah manula, anak-anak, dan orang yang memiliki penyakit
lain, misalnya diabetes. Beberapa jenis komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Infeksi Darah
Infeksi darah yang dikenal dengan istilah septikemia adalah salah
satu komplikasi pneumonia yang serius. Selain demam dan tekanan darah
rendah, gejala septikemia juga dapat meliputi, detak jantung yang cepat,
napas yang meningkat, demam, serta kulit yang terasa dingin, lembap,
dan pucat. Infeksi darah ditangani dengan antibiotik dosis tinggi melalui
infus.
Saat darah Anda terinfeksi, infeksi dapat menyebar ke bagian
tubuh lain seperti selaput rongga perut (peritonitis), selaput otak
(meningitis), persendian (artritis septik), dan selaput jantung
(endokarditis).
2. Abses Paru
Sebagian besar abses paru ditemukan pada pasien pneumonia
yang sebelumnya telah mengidap penyakit lain atau yang kecanduan
minuman keras. Abses paru adalah ruang penuh nanah yang tumbuh di
jaringan paru-paru. Indikasi abses paru meliputi batuk dengan dahak
berbau tidak sedap dan pembengkakan pada jari tangan serta kaki.
Antibiotik sering digunakan untuk mengobati abses paru dan
biasanya diawali dengan pemberian infus antibiotik, lalu tablet antibiotik
selama maksimal enam minggu. Walau sebagian besar pasien akan
merasa lebih baik dalam 3-4 hari, sangat penting bagi Anda untuk
menghabiskan antibiotik agar infeksi tidak kambuh.
3. Pleurisi
Pleurisi adalah peradangan pada pleura yaitu dua lapis selaput
yang berada di antara paru-paru dan rongga dada. Tetapi cairan juga
terkadang bisa memenuhi ruang di antara dua selaput pleura dan kondisi
ini disebut efusi pleura. Cairan ini mengakibatkan tekanan pada paru-
paru hingga penderita sulit bernapas. Komplikasi ini dapat terjadi sekitar
50 persen dari jumlah pasien pneumonia yang menjalani perawatan di
rumah sakit. Efusi pleura biasanya bisa pulih sendiri jika pneumonia
sudah diobati.
Kondisi ini terjadi saat cairan penyebab efusi pleura terinfeksi
oleh bakteri dan menjadi nanah. Cairan yang terinfeksi ini biasanya
dikuras menggunakan jarum atau pipa halus. Dalam kasus-kasus lebih
serius, operasi dibutuhkan untuk mengeluarkan nanah dan mengobati
bagian selaput pleura serta paru-paru yang rusak.
(Betz.2007)
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit, umumnya pneumonia bakteri didapatkan leukositosis dengan
predominan polimorfonuklear. Leukopenia menunjukkan prognosis
yang buruk.
b. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-100.000/mm.
Protein di atas 2,5 g/dl dan glukosa relatif lebih rendah dari glukosa
darah.
c. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus meningkat dan
dapat menyokong diagnosa.
d. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.
2. Pemeriksaan mikrobiologik
a. spesimen: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau
sputum darah, aspirasi trachea fungsi pleura, aspirasi paru.
b. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau
aspirasi paru.
3. Pemeriksaan imunologis
a. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepat
b. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap kuman
penyebab.
c. Spesimen: darah atau urin.
d. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis, ELISA,
latex agglutination, atau latex coagulation.
4. Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap
mikroorganisme penyebab pneumonia.
a. Pneumonia pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari
infiltrasi ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata
(bronkopneumonia) kedua lapangan paru atau konsolidasi pada satu
lobus (pneumonia lobaris). Bayi dan anak-anak gambaran konsolidasi
lobus jarang ditemukan.
b. Pneumonia streptokokus, gambagan radiologik menunjukkan
bronkopneumonia difus atau infiltrate interstisialis. Sering disertai efudi
pleura yang berat, kadang terdapat adenopati hilus.
c. Pneumonia stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas pada
permulaan penyakit. Infiltrat mula=mula berupa bercak-bercak,
kemudian memadat dan mengenai keseluruhan lobus atau hemithoraks.
Perpadatan hemithoraks umumhya penekanan (65%), < 20% mengenai
kedua paru.
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan Pneumonia pada anak menutu Rudolph, 2007 adalah sebagai
berikut :
1. Perhatikan hidrasi.
2. Berikan cairan i.v sekaligus antibiotika bila oral tidak memungkinkan.
3. Perhatikan volume cairan agar tidak ada kelebihan cairan karena seleksi
ADH juga akan berlebihan.
4. Setelah hidrasi cukup, turunkan ccairan i.v 50-60% sesuai kebutuhan.
5. Disstres respirasi diatasi dengan oksidasi, konsentrasi tergantung dengan
keadaan klinis pengukuran pulse oksimetri.
6. Pengobatan antibiotik:
a. Penisillin dan derivatnya. Biasanya penisilin S IV 50.000 unit/kg/hari
atau penisilil prokain i.m 600.000 V/kali/hari atau amphisilin 1000
mg/kgBB/hari . Lama terapi 7 – 10 hari untuk kasus yang tidak terjadi
komplikasi.
b. Amoksisillin atau amoksisillin plus ampisillin. Untuk yang resisten
terhadap ampisillin.
c. Kombinasi flukosasillin dan gentamisin atau sefalospirin generasi
ketiga, misal sefatoksim.
d. Kloramfenikol atau sefalosporin. H. Influensa, Klebsiella, P.
Aeruginosa umumnya resisten terhadap ampisillin dan derivatnya.
Dapat diberi kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari aatu sefalosporin.
e. Golongan makrolit seperti eritromisin atau roksittromisin. Untuk
pneumonia karena M. Pneumoniae. Roksitromisin mempenetrasi
jaringan lebih baik dengan rasio konsentrasi antibiotik di jaringan
dibanding plasma lebih tinggi. Dosis 2 kali sehari meningkatkan
compliance dan efficacy.
f. Klaritromisin. Punya aktivitas 10 kali erirtomisin terhadap C.
pneumonie in vitro dan mempenetrasi jaringan lebih baik.
K. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Aktivitas / istirahat
a. Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
b. Tanda : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
2. Sirkulasi
a. Gejala : riwayat gagal jantung kronis
b. Tanda : takikardi, penampilan keperanan atau pucat
3. Integritas Ego
a. Gejala : banyak stressor, masalah finansial
4. Makanan / Cairan
a. Gejala : kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM
b. Tanda : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering
dengan turgor buruk, penampilan malnutrusi
5. Neurosensori
a. Gejala : sakit kepala bagian frontal
b. Tanda : perubahan mental
6. Nyeri / Kenyamanan
a. Gejala : sakit kepala, nyeri dada meningkat dan batuk,
myalgia, atralgia
7. Pernafasan
a. Gejala : riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea,
pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran
nasal
b. Tanda : sputum ; merah muda, berkarat atau purulen
c. Perkusi ; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi
pleural
d. Bunyi nafas : menurun atau tak ada di atas area yang terlibat
atau nafas Bronkial
e. Framitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
f. Warna : pucat atau sianosis bibir / kuku
8. Keamanan
a. Gejala : riwayat gangguan sistem imun, demam
b. Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar,
kemerahan, mungkin pada kasus rubela / varisela
9. Penyuluhan
a. Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol
kronis
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif - berhubungan proses inflamasi, penurunan
ekspansi paru
2. bersihan jalan nafas tidak efektif - berhubungan dengan sekresi sekret
berlebih, infeksi
3. Hipertermi berhubungaam demham proses penyakit
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi-ventilasi, perubahan membran kapiler-alveolar
M. INTERVENSI KEPERAWATAN
No DX
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam, bersihan jalan nafas efektive. Dengan kriteria hasil :1. Suara nafas
bersih/vesikuler2. Sputum hilang 3. Tidak ada suara
nafas tambahan (Gergling dan Ronchi)
4. Irama nafas teratur5. RR: 30-60x/Menit
1. Observasi pernafasanR/ mengetahui kondisi pernafasan klien untuk menentukan tindakan selanjutnya
2. Lakukan Auskultasi pada paru-paruR/ mengetahui adanya sumbatan pada jalan nafas
3. Monitor vital sigh setiap 1 jamR/mengetahui perubahan pola nafas yang disebabkan adanya sembatan jalan nafas
4. Lakukan suction jika sputum berlebihanR/ mengeluarkan sekret yang tertahan di dalam paru
5. Kolaborasi pemberian terapi nebulizerR/ membantu agar sputum tidak kental
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan masalah pola nafas tidak efektive dapat teratasi dengan kriteria hasil :1. Pernafasan
teratur/reguler2. RR 30-60 kali per
menit3. Irama nafas teratur4. Suara nafas
vesikular5. Tidak ada retraksi
dinding dada
1. Observasi vital signR/ mengetahui adanya peningkatan pernafasan
2. Kaji frekuensi, pola nafas, kedalaman dan irama pernafasanR/ mengetahui karakteristik pola nafas klien
3. Kaji penggunaan otot bantu pernafasanR/ dengan adanya penggunaan otot bantu pernafasan menunjukan kompesasi tubuh dalam pemenuhan oksigen
4. Monitor aliran oksienR/memantau kelancaran masuknya oksisen ke dalam paru
5. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasiR/memastikan ET tidak lepas dan tidak tertekan
6. Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen dan pemantauan ventilatorR/ tetap menjaga kadar oksigen dalam ventilator
4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam gangguan pertukaran gas
1. Obsevasi kadar oksigen dalam darah setiap 1 jamR/ mengetahui penurunan atau peningkatan oksigen dalam darah
teratasi dengan kriteria hasil :1. Ph darah arteri
normal2. Tidak terjadi
sianosis3. PO2 : 83,0-108,0
mmhg4. Respiratory rate: 30-
60 kali permenit5. SPO2: >95%6. Tidak ada dyspnea7. Klien mampu
bernafas spontan
2. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah setiap 3 hariR/ untuk mengetahu perubahan hasil BGA untuk menindaklanjuti hasil BGA
3. Pantau adanya sianosisR/ sianosis menunjukan aliran darah ke perifer berkurang
4. Kolaborasi dalam pemberian oksigenR/ membantu memperlancar pasokan oksigen didalam darah
5. Kolabroasi dalam pemberian koreksi BGAR/ mencegah tingkat keparahan dari hasil BGA
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam masalah hipertermi dapat tertasi dengan kriteria hasil :1. Suhu tubuh dalam
batas normal 36-37˚C
2. HR : 80-150 kali permenit
3. RR : 25-50 kali permenit
4. Leukosit 4.5-14.5 juta
1. Observasi vital sign secara berkalaR/ untuk mengetahui perubahan suhu tubuh, respiratori dan kecepatan nadi
2. Monitor perubahan warna kulitR/ perubahan warna kulit dapat menunjukan peningkatan suhu tubuh
3. Monitor peningkatan angka leukositR/ memantau adanya tanda-tanda infeksi
4. Lakukan kompres air hangat pada aksila dan lipatan pahaR/ membantu penurunan panas dengan cara non farmakologi
5. Edukasi kepada keluarga tentang peningkata suhu tubuh yang terjadiR/ agar keluarga tidak mengalami kecemasan
6. Edukasi kepada keluarga cara mengompres R/ agar keluarga dapat melakukan kompres secara mandiri
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antipiretik dan antibiotikR/ Membantu proses penyembuhan dengan pengobatan farmakologi
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E. (2010). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Betz, Cecily. L. (2007). Pediatric Nursing Reference, sixth edition. California: Mosby Elsevier
Dahlan Z. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Muscari. (2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi (2009-2011). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Rudolph. (2007). Buku Peditria Rudolph Edisi 20. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Said M.2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI
Suryadi dan Yuliani. (2009). Praktek klinik Asuhan Keperawatan Pada Anak . Jakarta: Sagung Seto
Supriasa Rahmdahani. 2013. Diagnosis Pneumonia Pada Anak. Bandung : Pustaka Pelajar
Wilkinson, Ahern. (2014). Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC edisi 9. Jakarta: EGC
Recommended