i
KONSEP KELUARGA DAN KEBEBASAN BERAGAMA
DALAM MASYARAKAT MADRAIS
(Studi Kasus pada Masyarakat Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh:
Rita Hardianti
NIM. 1110032100015
PROGRAM STUDI
STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1413 H/2017 H
ii
iii
iv
v
Motto
Berangkat dengan penuh keyakinan,
Berjalan dengan penuh keikhlasan,
Konsisten dalam dalam kebaikan, dan ikhlas menjalani
kehidupan.
Jadilah seperti Gunung Ciremai yang tinggi menjulang
namun tak pernah pongah, yang memberi manfaat bagi orang
lain. Karena itu, Jadilah orang yang diperhitungkan dan
bermanfaat bagi orang lain.
vi
ABSTRAKSI
Rita Hardianti
KONSEP KELUARGA DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM
MASYARAKAT MADRAIS
(Studi Kasus pada Masyarakat Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan)
Pesatnya perkembangan teknologi informasi terutama media sosial tak dapat
dipungkiri telah melahirkan perubahan besar hampir di semua sisi kehidupan,
termasuk kehidupan sosial dan keagamaan. Terutama dengan munculnya media
sosial, telah membuat perubahan sosial dapat dilakukan dengan cepat. Sayangnya,
tidak semua yang berkembang melalui internet dan sosial media bisa cocok dan
diterima dengan baik. Karena internet dan media sosial ternyata juga memilik i
wajah gandanya (jenus faced), yang selain membawa dampak baik, juga membawa
dampak yang buruk terhadap perubahan sosial.
Institusi keluarga sebagai insistusi sosial terendah dan seharusnya yang paling
kuat dalam menopang solidaritas, kebhinekaan dan toleransi kemudian berada pada
persimpangan jalan ketika menghadapi perubahan sosial yang terjadi saat ini.
Institusi keluarga tak lagi memegang peran penting dalam mengajarkan pentingnya
toleransi, keberagaman dan kerukunan, sehingga mengancam kebebasan beragama
dalam institusi sosial yang lebih luas.
Di tengah kondisi sosial yang sangat mengkhawatirkan tersebut, penting
kiranya untuk belajar bagaimana kemudian sebuah masyarakat di kaki Gunung
Ciremai, Kelurahan Cigugur ternyata mampu memertahankan kearifan lokalnya.
Mereka tidak larut dalam arus perubahan yang begitu deras, dan berhasil
menjinakkan kehidupan sosialnya.
Masyarakat Kelurahan Cigugur, yang kemudian dalam penelitian ini disebut
sebagai Masyarakat Madrais penulis lihat mampu menjaga keyakinannya tentang
harmoni atau keseimbangan menjalankan kehidupan, lebih jauh lagi memahami
konsep keluarga dan kebebasan beragama. Ajaran kepercayaan dan penghayatan
kepada Tuhan Yang Maha Esa mereka jadikan sebagai pendorong, penggerak dan
pengontrol bagi tindakan para pemeluknya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-
nilai kebudayaan dan ajarannya. Dan yang terpenting dari apa yang diyakini oleh
masyarakat Madrais adalah bahwa pola interaksi penganut kepercayaan dan
penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan warga sekitar harus terjalin
dengan baik, sehingga saling menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan
antar umat beragama terjalin dengan baik.
vii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesa ikan
skripsi ini. Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada junjungan kita yakni Nabi
Muhammad saw., keluarga, sahabat dan para pengikutnya yag senantiasa berkorban
menyebarkan dakwah kepada seluruh umat.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata
1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Membahas
dan menyusun skripsi ini bukan hal yang mudah, dibutuhkan semangat,
kesungguhan dan kerja keras serta keikhlasan dalam menjalani setiap rintangannya.
Di samping itu penulis juga banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan
bimbingannya dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai
dengan apa yang diharapkan. Dengan penuh hormat penulis menyampaikan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuludd in
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, M.A., Selaku Ketua Prodi Studi Agama-
Agama.
viii
3. Ibu Dra. Halimah Mahmudy, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Studi Agama-
Agama yang sudah banyak membantu penulis dalam mengurus semua
keperluan skripsi sampai selesai.
4. Ibu Dra. Hermawati, MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan serta
koreksi yang sangat berarti dalam kelancaran penulisan skripsi ini dan
dengan sabar memberikan masukan berupa pikiran, kritikan maupun saran
yang sangat baik, serta dorongan dan membantu menyelesaikan masalah
penulisan dalam menyusun skripsi.
5. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu
yang diberikan bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para
pimpinan dan staf perpustakaan utama maupun perpustakaan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Penulis haturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua
orangtua, Ibunda tercinta yang telah mendidik penulis dengan kasih sayang
yang tulus, yang saat itu masih bisa menemani penulis saat penelit ian.
Namun takdir berkehendak lain, ibunda pergi lebih cepat sebelum penelit ian
ini rampung. Semoga ibunda ditempatkan di tempat yang paling mulia di
sisi-Nya. Alluhmmagfirlaha Warhamha Wa afiha Wa’fuanha. Untuk
Ayahanda tercinta, penulis haturkan terimakasih untuk kasih sayangnya
yang diberikan kepada penulis, terimkasih telah mengajarkan arti
kemandirian hidup.
ix
7. Untuk keluarga kecilku; suami dan anakku tersayang, Maruf Muttaqien dan
Adeeva Martha Yara terima kasih sudah menjadi teman hidup penulis dan
memberikan motivasi dan perhatian yang tulus kepada penulis. Terimakas ih
atas kesabarannya dalam memberikan dukungan dan semangat buat penulis.
8. Kakak dan adikku tersayang Rini Setiani dan Rian Hardiana terima kasih
do’a dan dukungannya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini,
serta semua keluarga besar yang ada di Bogor dan Kuningan. Terimakas ih
atas do’a dan dukungannya selama ini.
9. Teman–teman IMM Cabang Ciputat, terimakasih atas dukungan dan
kebersamaan semasa menjalankan roda organisasi.
10. Teman – teman seperjuangan Studi Agama–Agama Angkatan 2010, yang
telah menjalani waktu bersama selama di bangku perkuliahan. Terutama
untuk sahabatku; Elita Karlina, Fatma Utami Zauharoh, Ita Siti Nurhalimah,
dan Haikal Rahmatullah.
11. Penulis juga haturkan terima kasih kepada Direksi TVMU, Ibu Retno
Intani, Bapak Edy Kuscahyanto, Bapak Gatot Triyanto, Bapak Arief
Hidayat Thamrin, dan Bapak Brillianto, yang sudah memberikan toleransi
dan semangat untuk secepatnya menyelesaikan tugas akhir skripsi.
12. Segenap karyawan PT. TVMU SURYA UTAMA, terima kasih atas semua
dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan atas semua bantuan
baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
x
skripsi ini. Mudah–mudahan Allah Swt. membalas semua kebaikan yang telah
diberikan. Amin
Jakarta, 19 Juni 2017
Penulis,
Rita Hardianti Nim. 1110032100015
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ........................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
MOTTO ...................................................................................................... v
ABSTRAKSI .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
D. Kegunaan Penelitian .......................................................................
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................
F. Kerangka Teori ...............................................................................
G. Metodologi Penelitian .....................................................................
H. Sistematika Penulisan .....................................................................
1
5
5
6
6
7
12
15
BAB II KONSEP KELUARGA MENURUT MASYARAKAT
MADRAIS ..................................................................................................
18
A. Pengertian dan Konsep Keluarga ....................................................
B. Fungsi Keluarga Dalam Masyarakat ...............................................
C. Keluarga Menurut Pandangan Masyarakat Madrais .......................
D. Landasan Berkeluarga dalam Pikukuh Tilu ....................................
E. Seren Taun dan Peran Perempuan dalam Keluarga ........................
18
25
30
36
41
BAB III KEBEBASAN BERAGAMA ..................................................... 45
A. Pengertian Kebebasan Beragama ...................................................
B. Landasan Kebebasan Beragama .....................................................
45
48
xii
C. Perkembangan Kebebasan Beragama dalam Masyarakat Madrais 54
BAB IV ANALISA HUBUNGAN KONSEP KELUARGA DAN
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASYARAKAT MADRAIS ..
60
A. Cigugur Sebagai Miniatur Pluralisme .............................................
B. Analisis Hubungan Konsep Keluarga dan Kebebasan Beragama ..
60
66
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 76
A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran ............................................................................................... ..
76
78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Derasnya arus modernisasi terkadang membuat kita larut dalam mimpi
tentang kemajuan masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Menghadirkan
harapan baru lalu sejenak menghapus noda “ketertinggalan zaman”. Mimpi
tersebut juga terkadang membutakan mata, mengadopsi apa pun dari hasil
modernisasi tanpa memberikan catatan kritis.
Padahal, selain menghadirkan harapan kemajuan, dunia baru juga seringka li
menimbulkan ancaman krisis. Inilah yang disebut dengan janus face, atau wajah
ganda dunia baru yang dilahirkan oleh kemajuan teknologi informasi. Ini karena
di balik kekaguman dan terfasilitasinya kebutuhan manusia oleh teknologi
informasi dan komunikasi, tersimpan potensi ekstrem yang berbahaya.1Keluarga
sebagai institusi terendah dalam relasi sosial, merupakan yang paling
mengkhawatirkan di era ini. Terutama soal seksualitas, reproduksi dan
perkawinan. Dalam perjalanan selanjutnya, persoalan di level terendah dalam
relasi sosial ini lalu berakibat panjang pada kebebasan beragama.2
1Muhamad Sulhan, Kutukan “Janus” bagi Media di Indonesia: Mencoba Membaca Fenomena
Pasca Demo 411 Jakarta, (Tempo: 14-20 November, 2016). 2Anthony Giddens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita,
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001), h. 52-53.
2
Belum lagi dengan sejumlah fenomena di seputar dunia teknologi informas i
dan komunikasi yang ternyata ikut mengubah tatanan kehidupan kita. Mulai dari
fenomena jejaring sosial, yang sedikit banyak telah mengubah model hubungan
sosial masyarakat kita, hingga pesatnya perkembangan aplikasi dan alat
komunikasi, yang selain merangsang hasrat kepemilikan atasnya, juga
melemahkan solidaritas sosial masyarakat.
Dalam perkembangan terakhir, pesatnya perkembangan dunia baru terutama
media sosial telah berhasil membuat sekat-sekat perbedaan menjadi rapuh.
Kebhinekaan yang selama ini terjaga selama puluhan tahun, malah mulai
tercerai-berai,Meningkatnya konflik baik di media sosial maupun dunia nyata,
telah merusak tatanan masyarakat, melemahkan solidaritas sosial, dan
mengabaikan arti penting kebebasan serta kerukunan beragama.
Sekilas, memang terasa tidak ada kaitan antara konsep keluarga dan
kebebasan beragama dalam kehidupan sosial kita. Padahal, keduanya saling
terkait satu sama lain. Agama selama ratusan tahun telah menjadi sponsor utama
dalam mempertahankan apa yang di atas tadi penulis sebut sebagai nilai-nila i
institusi sebuah keluarga. Baik terkait seksualitas, reproduksi, perkawinan dan
termasuk cara keberagamaan yang diajarkan dalam keluarga. Awalnya nilai-
nilai institusi keluarga tersebut terpelihara dengan baik, namun belakangan sejak
revolusi internet dan terutama perkembangan media sosial yang kian tak
terbendung secara perlahan melemah. Seperti kuda liar yang dikekang di istalnya
dalam waktu yang cukup lama, lalu ketika gerbang istal itu terbuka, maka kuda-
kuda itu pun segera berhamburan menuju padang savana.
3
Institusi keluarga di era modern dapat kita saksikan hampir telah kehilangan
semua nilai-nilainya tersebut, semakin hari ia semakin rapuh. Terkait kebebasan
beragama, hilangnya peran seksualitas dan reproduksi dalam institusi keluarga
ternyata juga diikuti oleh hilangnya peran keluarga dalam mengajarkan
pentingnya toleransi, kerukunan, dan kebebasan beragama. Secara formal, era
modern memang telah banyak mengubah kehidupan masyarakat secara posit if,
namun di sisi lain kemajuan teknologi ternyata gagal menghadirkan sikap
toleransi kosmopolitan dalam menghadapi fundamentalisme, baik agama
maupun pasar (neoliberalism).
Fundamentalisme tidak mampu menyediakan ruang dialog untuk melewati
tahapan ini. Doktrin agama yang kita kenal tentang perilaku sosial masyarakat
lebih sering dikaitkan secara historis dengan sejarah masa silam, dibandingkan
alasan lain yang lebih rasional, yang memberikan solusi lain yang lebih mungkin
diterima masayarakat modern. Pada akhirnya, kehidupan sosial kita tidak
mampu dijinakan, dan malah lepas kendali (run a way).3
Sepertinya, memang tidak ada cara lain untuk menjinakkan kehidupan sosial
kita saat ini. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh para psikolog Jungian,
yang membaca kesalahan besar Michel Fouchalt dan Sigmund Freud ketika
menyimpulkan psikopatologi masyarakat modern. Yaitu tidak adanya diskusi
lebih lanjut tentang cinta dan romantisme atau apa yang kita kenal dengan
harmony (keseimbangan) dalam masyarakat demokratis.4
3Giddens, Runaway World, h. 49. 4Hisyam A. Fachri, Tarot Psikologi: Menemukan Jati Diri, Konseling, dan Hipnosis Terapan
(Jakarta: Gagas Media, 2010), h. 24.
4
Oleh karena itu, penting kiranya kita belajar dari Masyarakat Madrais yang
dalam studi ini akan secara khusus penulis teliti terkait keyakinan tentang
harmoni atau keseimbangan menjalankan kehidupan, lebih jauh lagi memahami
konsep keluarga dan kebebasan beragama. Madrais, sebutan untuk masyarakat
yang terletak di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan ini, bersandar pada
pendirinya yakni Madrais atau Pangeran Sadewa Alibasa yang melahirkan dan
menggerakkan kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena tidak mendapat kepuasan baik dari ajaran Islam yang diberikan
kepadanya maupun dari ajaran Ngelmu Cirebon yang diterimanya. Kepercayaan
dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh Madrais
mendasarkan pada sistem keyakinan yangmenggunakan landasan keyakinan
yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah. Ajaran kepercayaan dan
penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dijadikan sebagai pendorong,
penggerak dan pengontrol bagi tindakan para pemeluknya untuk tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajarannya.
Dan yang terpenting dari apa yang diyakini oleh Masyarakat Madrais adalah
bahwa pola interaksi penganut kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dengan warga sekitar harus terjalin dengan baik, sehingga saling
menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan antar umat beragama terjalin
dengan baik. Di samping itu, gotong-royong, bantu-membantu, atau
bekerjasama dalam segala aktivitas dan kegiatan sosial juga terjalin dengan baik
5
diwarnai dengan kehidupan yang harmonis dan bisa berkembang sampai
sekarang.5
Satu hal yang menarik dari apa yang diyakini dan dipraktikkan dalam
Masyarakat Madrais adalah bahwa keluarga dalam Masyarakat Madrais
memberi kebebasan kepada anggotanya untuk menganut agama yang berbeda.
Inilah bentuk kebebasan beragama yang ingin penulis telusuri. Dan oleh karena
itu penulis memberi judul penelitian skripsi ini dengan “Konsep Keluarga dan
Kebebasan Beragama Masyarakat Madrais: (Studi Kasus Masyarakat
Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan).”
B. Rumusan Masalah
Agar tidak menjadi sebuah masalah yang rumit, penulis membatasi
permasalahan yang diteliti dalam field reaserch ini, yaitu bagaimana hubungan
konsep keluarga dengan kebebasan beragama dalam Masyarakat Madrais.
Adapun rumusan masalahnya adalah: Bagaimana hubungan konsep keluarga dan
kebebasan beragama dalam Masyarakat Madrais?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan konsep
keluarga dan kebebasan beragama serta upaya-upaya dalam mempertahankan
5Lihat Nuhrison M Nuh, Paham Madrais/Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur Kuningan:
Studi tentang Ajaran dan Pelayanan Hak -Hak Sipil, Jurnal Harmoni Volume x, Nomor 3, Juli-
September 2011.
6
identitasnya serta respon masyarakat di Kelurahan Cigugur, Kabupaten
Kuningan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Pengembangan Ilmu
Kebebasan beragama di dalam keluarga Masyarakat Madrais telah
menimbulkan kerukunan dalam masyarakat penganut kepercayaan Madrais.
Antara satu sama lain saling berdampingan dalam masyarakat yang harmonis
dan saling kerjasama. Dalam hal ini penulis berusaha ingin membahas tentang
bagaimana konsep keluarga dengan kebebasan beragama yang ada pada
kepercayaan Masyarakat Madrais.
2. Bagi Masyarakat
Studi ini dapat membantu masyarakat untuk menanamkan arti penting
kebebasan beragama dalam level institusi sosial terendah atau keluarga.
Sehingga pengarusutamaan (mainstreaming) kebebasan beragama dalam
kehidupan masyarakat dapat berjalan lebih efektif.
E. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian ilmiah terkait Masyarakat Madrais memang telah
dilakukan beberapa peneliti di sejumlah lembaga maupun Universitas. Hanya
saja yang fokus pada konsep keluarga dan kebebasan beragama belum ada.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan misalnya:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Nuhrison M Nuh, lalu dipublikasikan dalam
Jurnal Harmoni terbitan Puslitbang DEPAG RI tahun 2010 dengan judul
“Paham Madrais/Adat karuhun Urang (AKUF) di Cigugur Kabupaten
7
Kuningan: Studi tentang ajaran dan Pelayananan hak-hak sipil. Penelitian ini
berusaha menelusuri apa dan bagaimana sebetulnya masyarakat Madrais
menjalankan keyakinannya. Lalu bagaimana respon para tokoh agama dan
pemerintah setempat terhadap keberadaan mereka. Bagaimana pula mereka
mendapatkan hak-hak sipilnya.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Iwan Ahenda dalam skripsinya dengan
judul“Madrais dan Kerukunan Umat Beragama”. Hasil penelitian ini lebih
umum terhadap kerukunan beragama dalam Masyarakat Madrais.
F. Kerangka Teori
Secara umum pengertian konsep dapat dirumuskan sebagai representasi
abstrak dan umum tentang sesuatu. Sebagai representasi abstrak dan umum,
konsep merupakan suatu hal yang bersifat mental. Karena itu, melalui dan dalam
konsep kita mengenal, memahami, dan menyebut objek yang kita ketahui.6
1. Pendekatan Konseptual Keluarga
Dalam kajian ilmu sosial tentang keluarga, para peneliti dan para analis
keluarga menerapkan beragam pandangan dan pendekatan mengena i
keluarga. Idam-idaman yang dianut oleh para ilmuwan pengkaji keluarga
adalah bahwa akhirnya teori akan dirumuskan, yang dapat menjelaskan
setiap aspek dari fenomena-fenomena dalam bidang keluarga. Setiap
pengkaji keluarga, seperti halnya para pakar ilmu lainnya, bertitik tolak dari
asumsi-asumsi tertentu, konsep-konsep tertentu dan pendekatan-pendekatan
6J. Sudarminta, Epistemologi dasar (Yogyakarta: Penerbit Kanis ius, 2002), h. 87.
8
yang menurut anggapan mereka paling tepat digunakan dalam upaya
memberi penjelasan tentang fenomena yang dikaji, dalam
mengorganisasikan berbagai unsur yang tercakup di dalamnya. Kerangka-
kerangka seperti itu dinamakan kerangka konseptual.
Dalam penelitian ini, penulis menguraikan secara ringkas beberapa
kerangka konseptual yang dipilih dengan pertimbangan bahwa kerangka
konseptual inilah yang paling banyak digunakan. Kerangka konseptual yang
penulis pilih tersebut adalah fungsional-struktural, interaksionis dan
pendekatan konflik.7
a. Pendekatan Fungsional Struktural
Dalam kerangka pikir fungsional-struktural, masyarakat dipandang
sebagai suatu sistem yang dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian
atau subsistem yang saling berhubungan. Pendekatan fungsiona l-
struktural berfokus pada hubungan timbal balik antara seluruh anggota
keluarga dan apakah mereka dapat menjalankan fungsi masing-mas ing
dengan baik.
Struktur mengacu pada bagaimana sebuah keluarga dapat diurus,
bagaimana sikap dan aturan dapat diatur, dan bagaimana masing-
masing anggota keluarga dapat berinteraksi satu sama lain. Sementara
fungsional, mengacu pada bagaimana hasil atau konsekuensi dari
keberadaan sebuah keluarga, itulah tujuan sebuah keluarga yang
memiliki peran penting bagi anggota keluarga dan masyarakat secara
7T.O. Ihromi, ed., Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 269.
9
lebih luas. Dengan kata lain, fungsional adalah apa yang telah dilakukan
sebuah keluarga atau apa alasan dari keberadaan sebuah keluarga.8
b. Pendekatan Interaksionis
Pendekatan interaksionis atau pendekatan interaksi simbolik,
adalah kerangka pemikiran yang banyak digunakan pada masa ini.
Pendekatan ini memperoleh pendorong dari buah-buah pemikiran
sejumlah filusuf dan sosiolog seperti George Simmel, William James,
Charles Harton Cooley dan George Herbert Mead. Sebelum munculnya
karya mereka ini umumnya diterima bahwa tingkah laku dipahami
berdasarkan seperangkat insting yang khas ada pada manus ia.
Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan para penulis seperti Simmel
dan Cooley tersebut menimbulkan anggapan bahwa kelakuan manus ia
tidaklah dibatasi oleh perangkat insting yang telah berkembang secara
evolusioner, tetapi manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan
dan memanipulasi simbol-simbol dan untuk berpikir secara bebas dan
kreatif. Karena hal tersebutlah maka individu- individu memilik i
kemampuan memberi makna kepada gejala-gejala yang ditemukan
dalam lingkungan dan untuk membagi bersama makna-makna itu
dengan orang lain. Makna-makna tersebut atau lambang- lambang yang
dimiliki bersama, telah dipelajari melalui interaksi dengan orang lain
dan memperoleh makna dan paling berarti dalam unit keluarga.
8Vicky R. Browden, Children and Their Families: The Continum of Care (China: Wolter
Klower Health, 2010), h. 19.
10
Menurut pendekatan interaksionis, faktor yang menentukan dalam
upaya untuk memahami perilaku keluarga adalah kajian terhadap
interaksi antara para anggota keluarga dan interpretasi apa yang para
individu bersangkutan berikan pada interaksi tersebut. Karena para
anggota keluarga secara terus-menerus saling mempengaruhi, maka
keluarga adalah suatu unit sosial yang senantiasa bertumbuh, berubah
dan bersifat dinamis.
Dalam kerangka pendekatan ini, fokus utama adalah pada interaksi
manusia. Melalui proses interaksi inilah terjadi komunikasi antara dua
orang atau lebih yang memungkinkan terjadinya modifikasi pada
perilaku dari semua pihak yang terlibat. Manusia belajar untuk
berinteraksi secara efektif melalui pengambilan peranan (role taking)
dan memainkan peranan (role playing).
c. Pendekatan Konflik
Dalam pandangan beberapa pakar penganut pemikiran yang
mengkaji keluarga, konflik dalam keluarga umumnya dianggap sebagai
ancaman bagi stabilitas keluarga. Lain halnya dengan pendekatan
konflik karena baginya konflik dianggap sebagai suatu akibat yang
wajar, yang alamiah dari terjadinya interaksi manusia. Karena
pandangan semacam itu, maka dalam kajian keluarga yang
menggunakan pendekatan ini terdapat penekanan pada manajemen
konflik dan alokasi kekuasaan dan sumber daya dalam keluarga.9
9T.O. Ihromi, ed.,Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, h. 276-278.
11
2. Kebebasan Beragama
Pengertian bebas adalah keadaan dimana bebas campur tangan dari pihak
luar.10 Sementara kebebasan beragama adalah prinsip yang menyokong
kebebasan individu atau masyarakat untuk mengamalkan agama atau
kepercayaan secara tertutup atau terbuka.
Secara umum model kebebasan beragama dapat berupa internal dan
eksternal: Internal dalam arti memberi keleluasaan penuh setiap saat bagi
setiap individu, untuk menggali atau mendalami keyakinan-keyakinan atau
agama lain dan membuat pilihan pribadi untuk menganut, melepaskan,
menolak secara terbuka yang diinginkan. Sementara eksternal berarti
kebebasan pribadi baik secara individu ataupun dalam masyarakat bersama
orang lain. Di depan umum atau ruang yang bersifat pribadi untuk
menyatakan agama lewat ajaran, pengalaman, ibadat dan ketaatan terhadap
aturan-aturan agama.11
Sayyed Husein Nasr, seorang sufi dan ilmuwan Iran, memilah dua mod el
kebebasan beragama: Pertama, kebebasan menjadi (freedom to be), yang
ditandai oleh pengalaman keberadaan diri yang asali berkaitan dengan
mistikisme yang kepedulian utamanya adalah kebebasan pribadi, bukan
kebebasan poiltis. Kebebasan pribadi adalah kebabasan mutlak (absolute or
10Arif Budiman, Kebebasan Negara Pembangunan (Jakarta: Alvabet, 2006), h. 114. 11Bahia Tahzib-Lie, ed., Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 432.
12
infinite freedom), yang terdapat di dalam kehidupan spiritual, yang juga
disebut sebagai kebebasan moral (kebebasan menentukan sendiri tanpa
hampatan sebab-sebab eksternal), atau kebebasan batin pada pikiran dan
imaginasi.
Kedua, kebebasan bertindak (freedom to act) yang ada dalam batas-batas
yangdipaksakan oleh realitas eksternal kepada manusia. Prinsip kebebasan
beragama dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur'an, seperti surahal-
Baqarah [2] ayat 256 (tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun [109]
ayat1-6 (pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus, [10] ayat 99
(larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, [4] 64
(himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai
kalimatun sawa’); dan al-Mumtahanah, [60] ayat 8-9 (anjuran berbuat baik,
berlaku adil, dan menolong orang-orang non-Muslim yang tidak memusuhi
dan tidak mengusir mereka).12
G. Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian bertujuan untuk menemukan
data yang valid, dan analisa yang rasional. Sehingga dari penelitian tersebut
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun metodologi penelit ian
yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
1. Objek Kajian
12Musdah Mulia, Pengertian Umum Kebebasan Beragama, lihat
http://www.megawatiinstitute.org/megawati-institut/opini-musdah-mulia/44-opini-musdah-
mulia/88-pengertian-umum-kebebasan-beragama.html diakses pada 30 Oktober 2014.
13
Yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah masyarakat madrais
di kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan-Jawa
Barat.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian karya tulis ini adalah penelitian lapangan (field research).
3. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Riset
penelitian yang bersifat deskriptif-analitik. Yaitu untuk membuktikan
kebenaran yang sesungguhnya sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Data
dianalisa dengan segala kekayaan maknanya sedekat mungkin dengan
wujud transkipnya. Deskripsi laporan penelitian seringkali berisi kutipan-
kutipan dan bermaksud untuk memberikan bentuk dalam narasi situasi
objek kajian atau pandangan tentang subjek yang dikaji.13
4. Data Penelitian
Data penelitian dipilih berdasarkan jenis data yang telah ditentukan
sebelumnya. Sumber data bisa berasal dari sumber primer dan sekunder.
Sumber primer artinya data diperoleh langsung dari responden atau
pengamatan langsung pada obyek penelitian. Sedangkan sumber data
sekunder diperoleh dari pihak ketiga, informan atau data dokumen resmi,
majalah, koran, buku, hasil penelitian sebelumnya dan internet.
5. Teknik Pengumpulan data
13Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 21.
14
Pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, merupakan
langkah yang penulis tempuh sebagai bekal untuk melakukan penelitian di
lapangan. Studi kepustakaan ini berupa pendalaman materi seperti
pengenalan awal tentang masyarakat Madrais di Kelurahan Cigugur,
konsep keluarga masyarakat Sunda dan model penelitian yang akan
digunakan.
Teknik wawancara dan interview. Metode ini dilakukan untuk
mengumpulkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan tanya jawab
secara lisan, yang terdiri dari dua orang atau lebih yang merupakan
anggota Masyarakat Madrais dan tokoh masyarakatnya.
Observasi, tujuan dari metode ini yaitu untuk mengumpulkan data-data
yang diperoleh dari penelitian terhadap masyarakat yang diteliti. Serta
untuk mengetahui konsep keluarga dan kebebasan beragama yang diyakini
masyarakat Madrais.
Dokumentasi, tujuannya adalah untuk mengumpulkan data-data dari
beberapa dokumen seperti buku, kitab suci, surat kabar majalah, jurnal dan
lain sebagainya.14
6. Pendekatan Penelitian
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini penulis akan menggunakan
pendekatan sosiologis. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui
14E. Zaenal Arifin, Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 58.
15
bagaimana sebetulnya konsep tentang keluarga dalam masyarakat Madrais
terbentuk, lalu bagaimana pula mereka bisa memberikan kebebasan
kepada anggota keluarganya untuk memilih agamanya masing-masing.
7. Analisis Data
Analisa data yang penulis gunakan adalah deskriftif analitik, yaitu metode
yang digunakan dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis data-
data yang menjadi hasil pengkajian dan pendalaman atas bahan-bahan
penelitian. Kemudian, data-data yang berbentuk bahasa ini dianalisas i
sesuai dengan tujuan penelitian sehingga menghasilkan kesimpulan. 15
Dengan menguraikan (deskriptif) dan menganalisa (analitik), penulis
berharap dapat memberikan gambaran secara maksimal atas objek
penelitian (permasalahan) yang dikaji. Hasil dari analisis data disajikan
dalam bentuk narasi.
H. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan ini, penulis membagi pembahasannya menjadi empat
bagian. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman dalam
pelaksanaannya yakni:
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penelitian
15Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), h. 342.
16
D. Kegunaan penelitian
E. Tinjauan Pusataka
F. Kerangka Teori
G. Sistematika Penulisan
Bab II: Konsep Keluarga
Bagian ini berisi tentang pembahasan secara umum tentang konsep keluarga.
Bagaimana sebetulnya agama-agama menjelaskan tentang konsep keluarga.
Dan apa saja fungsi keluarga dalam masyarakat.
Bab III: Kebebasan Beragama
Bagian ini secara khusus akan mengurai bagaimana sesungguhnya kebebasan
beragama itu. Lalu apa saja landasan yang mendasari kebebasan beragama.
Termasuk perkembangan paling mutakhir terkait tema ini dalam masyarakat
kita.
Bab IV: Analisa Konsep Keluarga dan Kebebasan Beragama dalam
Masyarakat Madrais
Bagian ini merupakan inti dari pembahasan penelitian. Dimana penulis akan
mengelaborasi konsep keluarga dan kebebasan beragama dalam masyarakat
Madrais. Betulkah Masyarakat Madrais memberi kebebasan secara penuh
kepada anggota keluarganya untuk memilih agamanya masing-masing? Dan
17
yang terpenting tentu saja apa sebetulnya yang melandasi adanya keyakinan
tersebut.
Bab V: Penutup dan Kesimpulan
Dalam bagian ini penulis akan menarik beberapa kesimpulan terkait tema di
atas.
18
BAB II
KONSEP KELUARGA DALAM MASYARAKAT MADRAIS
A. Pengertian dan Konsep Keluarga
Sebagai unit terkecil dalam sistem sosial, keluarga memiliki peranan yang
sangat penting dalam membentuk budaya dan perilaku seseorang. Dari
keluargalah pendidikan kepada individu dimulai, tatanan masyarakat yang baik
diciptakan, budaya dan perilaku yang toleran dapat ditanamkan. Mengingat arti
penting keluarga tersebut, maka menjadi penting untuk mengetahui secara lebih
detail tentang pengertian dan konsep keluarga yang diyakini secara umum oleh
masyarakat.
Secara umum, pengertian keluarga mungkin dapat kita lihat dalam Oxford
Dictionary, dimana keluarga dikatakan sebagai a group consisting of two parents
and their children living together as a unit, atau sebuah kelompok yang terdiri
dari dua orangtua dan anak-anak yang hidup bersama sebagai satu unit.Atau
yang didefinisikan oleh World Healt Organization (WHO), dimana keluarga
merupakan anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian
darah atau perkawinan.
Hampir senada dengan yang dikemukakan dalam kamus Oxford maupun
menurut WHO, Professor Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa keluarga
merupakan lingkungan dimana beberapa orang masih memiliki hubungan darah
dan bersatu. Lebih lanjut, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa keluarga pun
kemudian ada yang lazim disebut sebagai keluarga batih (nuclear family), yaitu
19
sekelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta abak-anaknya yang
belum menikah. Selain itu, terdapat pula istilah keluarga luas (extended family),
dan komunitas (community).16
Secara lebih lengkap pengertian keluarga disajikan oleh Fitzpatrick, dimana
pengertian keluarga ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu
pengertian keluarga struktural, pengertian keluarga secara fungsional, dan
pengertian keluarga secara intersaksional. Berikut ini masing-mas ing
penjelasannya:
1. Pengertian Keluarga secara Struktural: Keluarga didefenisikan
berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang
tua, anak, dan kerabat lainnya. Defenisi ini memfokuskan pada siapa yang
menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian
tentang keluarga sebagai asal-usul (families of origin), keluarga sebagai
wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih
(extended family).
2. Pengertian Keluarga secara Fungsional: Keluarga didefenisikan dengan
penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi- fungsi psikososia l.
Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak,
dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu.
Defenisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
16Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak
(Jakarta: Rineka Cipta), h. 23.
20
3. Pengertian Keluarga secara Transaksional: Keluarga didefinisikan
sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-
perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family
identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa
depan. Defenisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan
fungsinya.17
Dalam konteks masyarakat Indonesia, pengertian terkait keluarga dapat
ditelusuri misalnya menurut Ki Hajar Dewantara, dimana kata keluarga
menurutnya berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu kawula
dan warga yang berarti hamba dan anggota. Secara bebas dapat diartikan bahwa
keluarga merupakan anggota hamba atau warga saya. Artinya, setiap anggota
dari kawula merasa sebagai kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan
dirinya juga merupakan bagian dari warga lain secara keseluruhan.18
Sementara menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami
istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Terakhir adalah pengertian keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), dimana keluarga merupakan dua orang atau
lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada tuhan,
17Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konfli k dalam
Keluarga(Jakarta: Prenada Media Group), h. 5. 18Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 176.
21
memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan
masyarakat serta lingkungannya.
Dari sekian banyak pengertian yang dikemukakan para ahli maupun institus i
mengenai keluarga, ada satu catatan penting yang harus diperhatikan dalam
memformulasikan konsep tentang keluarga yaitu konteks budaya. Dan salah satu
penjelasan terkait pentingnya konteks budaya tersebut adalah sebagaimana
disinggung oleh Jefrey Hill dalam menjelaskan konsep keluarga kulit hitam atau
keluarga Amerika keturunan Afrika. Hill, menguraikan bahwa keluarga adalah
rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau
menyediakan terselenggaranya fungsi- fungsi instrumental mendasar dan fungs i-
fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu
jaringan. Jaringan tersebut selain terdiri dari kerabat yang masih memilik i
hubungan darah juga mencakup kerabat fiktif, seperti sahabat kelaurga. Menurut
Hill, keluarga Amerika keturunan Afrika bercirikan keluarga batih, berbeda
dengan keluarga Amerika keturunan Eropa yang bercirikan keluarga inti.19
Formulasi Hill tentang konsep keluarga tersebut tampaknya berkesesuaian
dengan konsep keluarga dalam masyarakat Indonesia yang memaknai keluarga
tidak terbatas pada keluarga inti saja, melainkan juga keluarga batih. Dalam
masyarakat Jawa terdapat dua istilah yang digunakan untuk menyebut bagian
dari suatu jaringan keluarga, yaitu waris dan batih. Istilah waris digunakan untuk
menyebut anggota jaringan yang masih memiliki hubungan darah, misalnya
19E. Jefrey Hill, The Effect of Parental Supportive Behaviors on Life Satisfaction of Adolescent
Offspring, Journal of Marriage and Family Vol. 57, No. 3 (Aug., 1995), pp. 813-822 dipublikasikan
oleh National Council on Family Relationshttp://www.jstor.org/stable/353934 diakses pada 18
Agustus 2014.
22
tunggal mbah, tunggal buyut, dan tunggal canggah. Adapun batih digunakan
untuk menyebut anggota jaringan yang masih memiliki kedekatan karena
hubngan perkawinan, misalnya keluarga besan, atau karena kesamaan
pengalaman historis, misalnya seperantauan, sepondokan.20
Demikian pula dalam masyarakat Sunda, dimana pengertian keluarga
memiliki jaringan yang sangat luas. Selama ada ikatan perkawinan (afinity) dan
pertalian ikatan darah (consanguinity) baik dari pihak ayah maupun ibu disebut
dulur urang(saudara kita) danwargi(keluarga) atau baraya deukeut (saudara
dekat) dan baraya jauh (saudara jauh).21 Dalam masyarakat Sunda perkawinan
dipandang bukan hanya terjalinnya hubungan dua manusia, yakni suami-is tr i,
melainkan terjalinnya pula hubungan kekerabtan antara dua kerabat yang berasal
dari pihak istri dan kerabat dari pihak suami.
Ada beberapa istilah dalam masyarakat Sunda yang menunjuk kepada
pengertian jaringan hubungan kekerabatan, yaitu kulawarga (keluarga), warga,
dulur (saudara), baraya (saudara), saderek (saudara), kulawedet, bondoroyot,
golongan. Kulawarga (kulawargi dalam basa lemes) mengandung pengertian
keluarga inti atau keluarga batih dalam istilah antropologi, yaitu terdiri atas
orangtua dan anak-anaknya, kadang-kadang ditambah dengan anak angkat,
pembantu, atau orang lain yang diakui sebagai anggota keluarga. Hubungan
yang paling intim dan paling deket terjadi dalam Kulawarga. Sementara warga
memiliki seluruh kekerabatan yang tertentu karena keturunan dan perkawinan
yang menetap di satu lokasi tertentu. Dulur atau sadulur berarti saudara kandung;
dulur tere adalah saudara seayah atau saudara seibu; dulur misan atau dulur
20Lestari, Psikologi Keluarga, h. 6 21 A. Suryadi, Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema (Jakarta: Alumni, 1985), h. 152.
23
sabrayna adalah saudara sekakek atau saudara senenek; dulur misan mindo
adalah saudara satu buyut. Pengertian baraya sama dengan saderek, yaitu
saudara dalam pengertian luas, seluruh anggota kekerabatan, baik karena
keturunan maupun karena perkawinan, serta baik yang menetap di satu desa
tertentu maupun yang menetap di luar desa. Kulawedet, bondoroyot, dan
golongan mempunyai pengetian yang hamper sama dengan baraya dan saderek
hanya salam hal ini menunjuk kepada pangkal tokoh tertentu, jadi lebih
cenderung kekerabatan berdasarkan keturunan. Dewasa ini, kulawedet,
bondoroyot, atau golongan sering disejajarkan dengan ungkapan dalam bahasa
Indonesia sebagai keluarga besaryang terdiri dari 7 turunan atau generasi. Untuk
keturunan dari atas ke bawah, strukturnya dimulai dari kolot, embah, buyut, bao,
janggawareng, udeg-udeg, dan gantungsiwur. Sedangkan untuk keturunan dari
bawah ke atas, dimulai dari anak, incu, buyut, buyut, bao, janggawareng, udeg-
udeg, dan gantungsiwur.22
Sebagai catatan terkait luasnya jaringan tersebut, Masyarakat Sunda
memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya, namun terdapat larangan menik ah
dengan sesama keluarga batih, selain itu dianjurkan untuk tidak menikah dengan
saudara dekat, agar persaudaraan makin luas dan kalau ada penyakit tidak mudah
diturunkan. Pepatah sunda mengatakan, “lamun nyiar jodo kudu sawaja
sabeusi”, artinya dalam mencari jodohharus sesuai dan cocok.
22Ukun Suryaman, Tempat Pemakaian Istilah Klasifikasi Kekerabatan pada Orang Jawa dan
Sunda dalam Susunan Masyarakat (Bandung: Penerbit Universitas), h.9.
24
Secara umum, ada dua belas macam fungsi sosial segala macam kelompok
kekerabatan masyarakat manusia. Ke-12 macam fungsi sosial kelompok
kekerabatan dimaksud adalah:
1. Menampung kebutuhan manusia akan hubungan intim, mesra, dan
emosional;
2. Menatalaksanakan kehidupan rumah tangga;
3. Kesatuan dalam mata pencaharian hidup;
4. Mengasuh dan mendidik angkatan berikutnya;
5. Menguasai harta milik kelompok yang bersangkutan;
6. Menguasai hak milik atau hak ulayat atas sejumlah tanah;
7. Melaksanakan gotong royong;
8. Melindungi dan member bantuan kepada warga dalam keadaan darurat;
9. Melaksanakan upacara-upacara kelompok;
10. Membina rasa identitas kelompok, kekuasaan, dan gengsi;
11. Memelihara norma-norma dan adat tradisional;
12. Mengerahkan kekuatan politik.23
Bila dihubungkan dengan macam-macam kelompok kekerabatan yang
adadalam masyarakat Sunda pedesaan seperti tersebut di atas, maka fungs i-
fungsi sosial itu dikaitkan sebagai berikut. Kulawarga mempunyau dan
menjalankan fungsi yang paling banyak dan paling efektif, yaitu 11 macam
fungsi, hanya fungsi nomor 12 tidak dapat ditampung oleh kulawarga. Dulur
juga dapat menjalankan banyak fungsi, hanya fungsi nomor 1 dan nomor 12
tidak dapat ditampung oleh kelompok kekerabatan ini. Bondoroyot hanya dapat
menjalankan fungsi nomor 7,8,9,10 dan 11. Jadi fungsi yang dapat diembannya
23Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.159.
25
lebih terbatas. Fungsi sosial yang dapat dilaksanakan oleh kelompok
kekerabatan warga ialah fungsi sosial nomor 7,8,10, dan 12 kelompok
kekerabatan baraya dapat menjalankan fungsi sosial nomor 8,9,10, dan 11.24
B. Fungsi Keluarga dalam Masyarakat
Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga berperan penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Peranan tersebut menggambarkan seperangkat
perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam
posisi dan situasi tertentu.
Menurut para ahli, keluarga memiliki banyak fungsi penting dalam
kehidupan masyarakat. Secara umum, fungsi-fungsi tersebut dapat
dikelompokkan dalam 3 fungsi pokok keluarga dalam kehidupan masyarakat;
Asih, adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan
kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh berkembang
sesuai usia dan kebutuhannya; Asuh, adalah menuju kebutuhan pemeliharaan
dan perawatan semua anggota keluarga agar kesehatannya selalu terpelihara,
sehingga diharapkan menjadikan mereka individu yang sehat baik fisik, mental,
dan sipiritual; Asih, adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap
menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya. 25
Bila diuraikan secara umum, maka paling tidak fungsi-fungsi keluarga
dalam masyarakat adalah sebgai berikut:
24Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (Bandung: Pustaka Jaya,
2014), h.183. 25Nasrul Effendy, Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Jakarta: EGC, 1998), h.
36.
26
1. Fungsi reproduksi
Dalam keluarga, anak-anak merupakan wujud dari cinta kasih dan
tanggungjawab suami istri untuk meneruskan keturunannya. Karena itulah
reproduksi atau melanjutkan keturunan merupakan fungsi dari institus i
keluarga. Dengan adanya reproduksi, manusia bisa mempertahankan
kelangsungan hidup dan mempertahankan garis silsilah. Fungsi reproduksi
menyangkut aktivitas seksual antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri).
Hanya dengan perkawinanlah fungsi keluarga dapat dilakukan dengan sah
tanpa adanya penyalahan aturan, norma, budaya sosial dan tentu saja sehat.
Dengan demikian, reproduksi tanpa adanya perkawinan akan
mendatangkan banyak kesulitan dan kerugian di kemudian hari. Karena
fungsi reproduksi cenderung mengalami perubahan karena adanya program
keluarga berencana, peraturan yang membatasi kepemilikan anak lebih dari
dua. Semakin sulitnya fasilitas perumahan yang layak, semakin banyak
perempuan yang memilih berkarir dulu, lalu menikah di usia yang tidak
produktif.
Di era modern, terutama saat manusia mulai menemukan alat-alat
kontrasepsi, mendorong terjadinya pemisahan antara seksualitas dan
reproduksi, telah membawa implikasi luar biasa terhadap perubahan di
wilayah seksualitas yang kemudian berdampak pada institusi perkawinan dan
keluarga. Muncul apa yang disebut Anthony Giddens sebagai seksualita s
27
plastis” (plastic sexuality), yaitu sejenis seksualitas tak terpusat yang terbebas
dari kebutuhan-kebutuhan reproduksi26.
Fenomena ini merupakan sesuatu yang krusial bagi perubahan cara
pandang masyarakat terhadap fungsi reproduksi keluarga dalam kehidupan
masyarakat. Dimana seksualitas kemudian tak lagi dipandang sebagai sebuah
kenikmatan yang hanya dapat dialami dengan melakukan pernikahan, namun
bisa saja dengan cara-cara lain. Dengan kata lain, keintiman atau seksualita s
hanyalah sebentuk negosiasi transaksional dari ikatan-ikatan personal oleh
orang-orang yang setara.27
Sementara pemahaman akan kedudukan anak sebagai generasi penerus,
menempatkan fungsi reproduksi sebagai salah satu fungsi keluarga dalam
menjaga keberlangsungan sistem sosial yang lebih luas. Hal tersebut sesuai
dengan teori perkembangan konsep diri Erikson, bahwa seorang individu
dewasa memiliki keinginan untuk berketurunan (sense of generativity).28
Lebih lajut, dalam teori tahapan perkembangan ala psikoanalis asal Jerman
ini mengatakan bahwa, sense of generativity merupakan rasa peduli yang
lebih dewasa dari sekadar kepuasan diri sendiri. Bila dengan keintiman
seseorang terlibat dalam hubungan dimana ia mengharapkan suatu timbal
balik dari pasangannya, maka dengan generativity seseorang tidak
26Anthony Giddens, Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta, dan Erotisme dalam
masyarakat Modern (Tangerang: Penerbit Fresh Book, 2004), h.ix. 27Ratna Batara Murni, Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global (Yogyakarta: LKIS,
2005), h. 33. 28Euis Sunarti, Mengasuh dengan Hati: Tantangan yang Menyenangkan (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2004), h. 267.
28
mengharapkan balasan. Pada tingkat tertentu, para orangtua bahkan tidak
keberatan untuk menderita atau meninggal demi keturunannya.29
2. Fungsi Afektif
Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan
segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan
orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan
psikososial anggota keluarga.
Menurut Friedman (1986), definisi fungsi afektif keluarga dalah fungs i
internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasah
dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung. Fungsi
afektif ini merupakan sumber kebahagiaan da;am keluarga. Keluarga
memberikan kasih sayang dan rasa aman. Sementara perhatian di antara
anggota keluarga, membina kedewasaan kepribadan anggota keluarga dan
memberikan identitas keluarga.
Lebih lanjut Friedman mengidentifikasi fungsi afektif keluarga yaitu:
a. Memberikan perlindungan psikologis
b. Menciptakan rasa aman
c. Mengadakan interaksi
d. Mengenal identitas individu
3. Fungsi Sosialisasi
29Lebih lanjut lihat http://www.learning-theories.com/eriksons-stages-of-development.html
diakses pada 29 Oktober 2014.
29
Fungsi sosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan melatih anak untuk
berkehidupan social sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan
dengan orang lain di luar rumah.
4. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi, yaitu keluarga berfungs untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan
individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
5. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan,
Yaitu untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas
keluarga di bidang kesehatan.
Dengan berubahnya pola hidup agraris menjadi industrialisasi, fungsi
keluarga dikembangkan menjadi:
a. Fungsi ekonomi, yaitu keluarga diharapkan menjadi keluarga yang
produktif yang mampu menghasilkan nilai tambah ekonomi dengan
memanfaatkan sumber daya keluarga.
b. Fungsi mendapatkan status social, yaitu keluarga yang dapat dilihat dan
dikatagorikan strata sosialnya oleh keluarga lain yang berada di
sekitarnya.
c. Fungsi pendidikan, yaitu keluarga yang memilki peran dan
tanggungjawab yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya untuk
menghadapi kehidupan dewasanya
d. Fungsi sosialisasi bagi anaknya, yaitu orangtua atau keluarga diharapkan
mampu menciptakan kehidupan social yang mirip dengan luar rumah.
e. Fungsi pemenuhan kesehatan, yaitu keluarga diharapkan dapat memnuhi
kebutuhan kesehatan yang primer dalam rangka melindungi dan
pencegahan terhadap penyakit yang mungkin dialami keluarga.
30
f. Fungsi religious, yaitu keluarga merupakan tempat belajar tentang agama
dan mengamalkan ajaran agamanya
g. Fungsi rekreasi, yaitu eluarga merupakan tempat untuk melakukan
kegiatan yang dapat mengurangi ketegangan akibat berada di luar rumah.
h. Fungsi reproduksi, dalam artian bukan hanya mengembangkan
keturunan, tetapi juga merupakan tempat mengembangkan fungs i
reproduksi secara universal (menyeluruh), diantaranya; seks yang sehat
dan berkualitas, pendidikan seks bagi anak, dan yang lain.
i. Fungsi afeksi, yaitu keluarga merupakan tempat yang utama untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial sebelum anggota keluarga berada di
luar rumah.30
C. Keluarga Menurut Pandangan Masyarakat Madrais
Masyarakat Madrais merupakan masyarakat yang multi agama,31 hal itu
jelas dapat dilihat dari keragaman keagamaan yang dianut oleh masyarakat
Madrais.32 Meski begitu, tidak berarti Masyarakat Madrais memiliki potensi
konflik yang tinggi. Sebaliknya, Masyarakat Madrais adalah masyarakat multi
agama yang telah sejak lama mampu hidup rukun dan harmonis.
Menurut Gumirat Barna Alam, Penerus Pangeran Djatikusuma,
keharmonisan dalam Masyarakat Madrais yang telah terjalin cukup lama bertitik
30Suprajitno, Asuhan Keperawatan Keluarga (Jakarta: EGC, 2003), h. 12-15. 31Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, merupakan salah satu yang
terletak di kaki Gunung Ciremai dan berjarak sekitar 30 km dari Kota Cirebon. Kelurahan Cigugur
termasuk wilayah administrative Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kuningan dengan luas
wilayah 300 Ha. Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km kea rah Barat dari pusat kota
Kuningan. Lokasinya berada di kaki Gunung Ciremai sisi Timur dengan ketinggian sekitar 660
meter di atas permukaan laut, terletak pada koordinat 108027’15” BT dan 5058’8” LS, luas
wilayahnya adalah 300,15 hektar. 32Penduduk di Kelurahan Cigugur memiliki keyakinan yang beragam. Bila di tempat lain di
Jawa Barat Islam biasanya sangat dominan, namun di Cigugur jumlah penganut agama lainnya tak
kalah banyak. Islam (4.068), Katholik (2.657), Protestan (216), Hindu (3), Budha (8), Lain-lain (155).
31
tolak pada hukum adikodrati, yang telah dikehendaki oleh Tuhan kepada
manusia Sunda. Titik tolak ini kemudian meniscayakan para penganut adat
untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya,
diciptakan sebagai manusia. Lebih lanjut menurut Gumirat, keharmonisan
tersebut terbingkai lantaran leluhurnya terutama Kyai Madrais menekankan
adanya 5 faktor atau 5 unsur kehidupan, yaitu: unsur cinta kasih, silsilah
kekeluargaan, lalu karena ada silsilah kekeluargaan maka manusia pun
dianugerahkan memiliki tata krama, lalu tata krama itu direalisasikan dengan
budi daya, dan budi bahasa, terakhir manusia pun dapat memilah dan memilih
mana yang baik dan mana yang buruk atau dikenal dengan Wiwaha Yuda Na
Raga (“Ngaji Badan” membaca dan memahami sebuah tatanan [ekosistem/tubuh
secara utuh]).33
Dalam pelaksanaannya, keyakinan akan adanya 5 unsur kehidupan tersebut
kemudian menjadi dasar pandangan hidup dari masyarakat Madrais secara
umum. Lebih lanjut, unsur-unsur kehidupan tersebut menjadi semacam tuntunan
untuk membentuk sistem sosial yang termanivestasi dalam sistem kekerabatan
masyarakat sunda.
Seperti halnya sistem kekeraban di Tatar Sunda lainnya, sistem kekerabatan
dalam masyarakat Madrais, bersifat parental, garis keturunan ditarik dari piha k
ayah dan ibu bersama. Kesamaan lainnya, adalah posisi ayah yang bertindak
sebagai kepala keluarga, dan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat.
33Wawancara Penulis dengan Gumirat Barna Alam pada 29 November 2016.
32
Menurut R. Bell (1979) ada 3 jenis hubungan dalam keluarga: pertama
kerabat dekat (conventional kin), yang terdiri dari individu yang terikat dalam
keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami
istri, orangtua-anak, dan antarsaudara (siblings). Kedua, kerabat jauh
(discretionary kin), yang terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga
melalui hubungan darah, adopsi dan perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih
emah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh terkadang tak menyadari
adanya hubungan kekerabatan tersebut. Ketiga, orang yang dianggap kerabat
(fictive kin), seseorang dianggap anggota kerabat karena ada hubungan khusus,
misalnya hubungan antar teman akrab.34
Sementara menurut Profesor Harsojo, di tanah Sunda, bentuk keluarga yang
terpenting adalah keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family). Kecuali
keluarga batih ada pula kelompok kerabat sekitar keluarga batih itu, yang masih
sadar akan hubungan kekerabatannya, sering bertemu dalam forum yang cukup
intens, misalnya kawinan, khitanan, kematian, halal bihalal dan sebagainya.35
Sistem kekerabatan ini mengakui dan menghargai kerabat keturunan dari
kedua belah pihak orangtua. Sistem ini pun dilatarbelakangi oleh pandangan dan
sikap masyarakat Cigugur terhadap pandangan martabat yang sama sebagai
manusia antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian tidak tertutup
kemungkinan adanya suatu pandangan hak dan kewajiban yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini biasanya terjadi dalam masalah pewarisan dan
34Evelyn Sulaeman, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 91. 35A. Suryadi, Masyarakat Sunda Budaya dan Problem (Jakarta: Penerbit Alumni, 1985), h.
152.
33
keluarga yang didasarkan pada agama dan kepercayaannya masing-mas ing
berdasarkan hukum waris yang dipedomaninya.
Seorang anggota keluarga pada masyarakat Madrais membedakan pola
tingkah lakunya (sikap) dan bentuk penghormatan berdasarkan tingkatan
bahasanya sesuai dengan hubungan kekerabatan dan perbedaan statusnya.
Terhadap kerabat atau keturunan langsung mereka biasanya menyebut dengan
sebutan dulur teges atau dulur deuheus (bermakna ‘saudara dekat’), sedangkan
kerabat yang lebih jauh disebut dengan dulur ti gigir atau ‘baraya’ (bermakna
‘saudara jauh’).
Pengertian kerabat dalam masyarakat Cigugur sangat luas, selama ada
hubungan ikatan perkawinan dan ikatan darah baik dari pihak ayah maupun ibu.
Panggilan kerabat yang dimaksud adalah “sadulur”, “baraya”, atau “wargi” ini
menunjukan sebagai suatu kesatuan keluarga besar dari nenek moyang yang
sama. Istilah lain dalam sistem kekerabatan masyarakat yang menunjukan
ukuran jumlah sebagai keluarga besar adalah “sabondoroyot”, yang artinya
keturunan yang ditarik dari tujuh turunan ke bawah atau ke atas.36
Dalam hal ini kekerabatan orang Sunda mengenal adanya 7 susunan atau
generasi, baik ke atas maupun ke bawah. Susunan tersebut dapat kita lihat di
bawah ini: 7 susunan keturunan atau generasi orang Sunda:
Ke atas: 1. Kolot 2. Embah (eyang)
3. Buyut 4. Bao
5. Jangga Wareng 6. Udeg-Udeg 7. Kait Siwur (gantung siwur)
Ke bawah:
1. Anak
36Ahyat Susana, ed., Cigugur Miniatur Pluralisme (Bogor: LPKN, 2013), h. 21-22.
34
2. Incu (Putu)
1. Buyut 2. Bao 3. Jangga Wareng
4. Udeg-Udeg 5. Gantung Siwur (kait)37
Selanjutnya, sikap kekerabatan yang nampak dan menunjukkan kesatuan
kerabat yang dekat secara ikatan darah, terwujud manakala ada hajatan berupa
pesta perkawinan atau khitanan dan kematian. Biasanya kerabat dekatlah yang
paling banyak berperan dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Hal ini terjadi atau
dilakukan karena kalau diantara kerabat dekat tersebut tidak ikut terlibat dalam
salah satu dari kegiatan atau peristiwa itu tanpa alasan yang jelas, maka dianggap
sudah merenggangkan tali kekeluargaan atau persaudaraan.
Berkumpulnya anggota keluarga pada waktu-waktu tertentu seperti
Lebaran, Natal, selain pada hari-hari seperti ulang tahun, perkawinan atau
kematian, menunjukkan pentingnya hubungan dalam keluarga. Bagi masyarakat
Amerika, hari Natal dan Thanksgiving, merupakan masa untuk berkumpulnya
anggota keluarga luas. Sedang bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat
sunda, lebaran atau dalam konteks masyrakat madrais seren tahun misalnya
merupakan masa untuk bertemu dengan kaum kerabat.38
Dalam Masyarakat Cigugur terdapat posisi sesepuh yang penting, biasanya
berperan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dan sekaligus
memimpin upacara-upacara penting keluarga yang dihadiri oleh saudara atau
37Siti Maria, dkk.,Sistem Keyakinan pada Masyarakat Kampung Naga dalam Mengelola
Lingkungan Hidup (Jakarta: Depdikbud RI, 1995), h. 25-26. 38Sulaeman, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, h. 90.
35
tetangga, seperti upacara pernikahan atau khitanan. Sesepuh menjadi penting
juga dalam keluarga atau masyarakat. Dalam hal ini sesepuh dapat menjadi
penengah sekaligus pemersatu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut atas
dasar kebaikan bersama.
Oleh karena itu, seorang sesepuh memiliki peranan yang sangat penting dan
berarti. Sesepuh dalam masyarakat Cigugur bisanya dipegang oleh seorang
pemimpin agama (pastur, pendeta, atau ustadz), tokoh masyarakat (yang
dituakan atau dianggap tokoh karena status sosial, pekerjaan atau aktivitas sosial
yang tinggal di masyarakat), tokoh adat yang berwawasan luas serta disegani
oleh warganya (sesepuh masyarakat AKUR yaitu Pangeran Djatikusumah, yang
saat ini digantikan oleh puteranya Gumirat Barna Alam).39
Luas dan pentingnya sistem kekerabatan dalam masyarakat Sunda,
membuat masyarakat Madrais menganggap institusi keluarga sebagai entitas
yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial. Keduanya saling terkait
satu sama lain. Mereka memandang keluarga memiliki peranan yang sangat
penting dalam membentuk budaya dan perilaku. Dari keluargalah pendidikan
kepada individu dimulai, tatanan masyarakat yang baik diciptakan, budaya dan
perilaku sehat dapat lebih ditanamkan. Oleh karena itu, keluarga memiliki posisi
yang strategis untuk dijadikan sebagai unit pelayanan kesehatan, pendidikan,
dan tentu saja penanaman keyakinan/agama.
39Susana, ed., Cigugur Miniatur Pluralisme, h. 23.
36
D. Landasan Berkeluarga dalam Pikukuh Tilu
Konsep yang utama dimana kita bisa melihat landasan berkeluarga bagi
bagaimana Masyarakat Madrais adalah dari bagaimana mereka menjalankan
kehidupan dan ajarannya, yaitu Ajaran Karuhun Urang (AKUR). Pandangan
atau tuntunan dasar yang diajarkan Kyai Madrais disebut dengan pikukuh tilu.
Pikukuh berarti peneguh dan tilu berarti tiga, jadi pikukuh tilu artinya “tiga
peneguh yang menjadi landasan hidup manusia untuk mencapai kesempurnaan
sebagai manusia”.
Ajaran Madrais sampai sekarang diturunkan kepada warga melalui cara (1)
piwulang, pitutur (petuah), 2) panggeuing, pepeling (peringatan), dan 3) tarekah
(kegiatan simbolik) yang dilakukan dalam upacara-upacara adat. Gumirat Barna
Alam menyebutnya dengan proses getok tular, atau dari mulut ke mulut. Mereka
melaksanakan ajarannya dikarenakan telah merasakan akan kebaikan ajaran ini,
serta “gaduh rasa rumasa kana takdir jeung kamurahan Gusti” (menerima segala
takdir kemurahan Tuhan). Hal prinsip penganut penghayat adalah bahwa dalam
peribadatan tidak menggunakan tata cara dari luar bangsanya termasuk bahasa
peribadatan menggunakan bahasa setempat.40 Penulis satu kata dengan
Koentjaraningrat bila konsep-konsep kepercayaan masyarakat Sunda termasuk
masyarakat Madrais di Cigugur tidak menutup kemungkinan terdapatnya unsur
asing. Dimana ajarannya yang kental dengan hasil budi daya karuhun (leluhur;
nenek moyang) mungkin mengandung unsur pesantren (Islam). Ini karena
Madrais sendiri sejak dahulu memang seorang santri, dan ahli dalam
40Wawancara Penulis dengan Emalia Djatikusumah, 14 November 2016.
37
mempelajari berbagai agama. Walaupun mereka sendiri seringkali menyebut
bahwa kitab yang digunakan mereka terutama adalah aji titis tulis kitab bayat.
Artinya semua aspek kehidupan jasmani-rohani manusia dan alam raya inilah
kitab suci yang dibacanya. Meski demikian tidak menutup kemungkinan mereka
membaca pula tulisan-tulisan yang disebut aji tulis yang tersurat dalam berbagai
ajaran (terutama ajaran Islam).
Menurut keterangan dari para warga penghayat adat karuhun urang, pikukuh
tilu meliputi: Ngaji badan, Mikukuh/iman kana tanah, Madep ka ratu-raja 3-4-5-
lilima 6. Ngaji badan atau ngaji diri sendiri berarti manusia harus menyadari
bahwa secara anatomis wujud badan manusia terdiri dari dua puluh unsure
Kudratullah (kodrat Allah). Sementara mikukuh/iman kana tanah berarti teguh
kepada tanah tumpah darah, dan madep ka ratu-raja 3-4-5 lilima 6 mengandung
pengertian singkat bahwa manusia memiliki sir, rasa, pikir yang harus selaras
antara tekad, ucapan dan kelakuan (lampah).41
Manusia memiliki rasa, perasaan dan pikiran yang kemudian akan
melahirkan budi pekerti serta nilai-nilai moral kemanusiaan. Sebutan manusia
dibedakan menjadi dua, yaitu “jalma” dan “manusa”. Disebut sebagai jalma
karena menjelma (ngajalma) atau berwujud sebagai suatu makhluk, disebut
manusa karena kodrat dan cirinya yang harus melaksanakan hidup dengan cara
kemanusiaan.
Perilaku dan tindakan yang dituntut adalah perilaku yang senantiasa
memakai cara dan ciri manusia serta bangsanya. Cara dan ciri manusia meliputi
41Susana, ed.,Cigugur Miniatur Pluralisme, h. 42.
38
sikap welas asih terhadap sesama, tata krama, undak usuk, budi daya, budi
bahasa, dan wiwaha yudha nagara. Sedangkan cara dan ciri bangsa adalah
proyeksi dari keagungan dan keesaan Tuhan sebagai Sang Pencipta dengan
segala cipta karsa dan keragaman yang ada berusaha menjaga serta melestarikan
karakteristik bangsa dan nilai-nilai kemanusiaannya.
Ngaji badan terdiri dari dua kata, yaitu “ngaji” dan “badan”. Ngaji berarti
memahami atau mengoreksi dan ‘badan’ berarti segala sesuatu yang dapat
dilihat, diraba, dan dirasakan oleh panca indera. Ngaji badan berarti mampu
mengoreksi atau memahami apa saja yang ada di sekitar kita, mampu merasakan
apa yang dirasakan oleh orang lain seperti pepatah-petitih Sunda yang
berkembang di kalangan warga penghayat dan masyarakat Cigugur, “Ulah sok
nyiwit batur lamun urang ngarasa yen diciwit teh nyeri” (jangan suka mencubit
orang lain kalau kita merasa bahwa dicubit itu sakit). Pepatah tersebut memilik i
makna bahasa sebelum kita mencubit atau menyakiti orang lain harus terlebih
dahulu merasakan bagaimana rasanya dicubit atau disakiti orang lain. Intinya
dalam setiap melakukan tindakan, manusia harus memikirkan dahulu akibatnya,
sebab akibat yang akan diperoleh bergantung kepada yang telah dilakukannya.
Melalui ngaji badan atau ngaji diri ini, manusia akan dapat menyadari dan
selalu bisa untuk mengoreksi dirinya agar tetap berada dalam sifat-sifat
kemanusiaannya, hidup rukun bersama yang lainnnya, berinteraksi dengan apa
saja yang berada di sekitarnya oleh panca indera maupun apa saja yang kita
makan dan kita minum.
39
Sadar kekuatan yang hakiki tidak dimiliki oleh manusia, melainkan dimilik i
oleh Tuhan Yang Maha Agung. Manusia hanya memiliki rasa, kehendak dan
keinginan saja, sementara yang terjadi adalah ketentuan Tuhan. “Teu aya daya
pangawasa iwal ti pangersa gusti nu maha suci”, yang berarti bahwa tiada daya
dan upaya kecuali atas kehendak-Nya. Manusia harus bisa kembali kepada
kodratnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial, dan makhluk budaya.
Mituhi atau iman kana tanah berarti teguh untuk taat kepada tanah tumpah
darahnya dalam hal ini bangsanya. Artinya, agar kita selaku manusia yang
diciptakan Tuhan sebagai bagian dari suatu bangsa harus mampu mengha rga i
dan menghormati serta mencintai bangsanya. Menghargai dalam pengertian
bahwa kita harus bisa memelihara, memakai serta melestarikan cara dan cirri
budaya bangsa sendiri. Adanya suatu bangsa adalah kehendak-Nya dan adanya
perbedaan anatara satu bangsa dengan bangs lainnya merupakan kehendaknnya
juga. Cara dan cirri angsa merupakan perwujudan menyembah dan
melaksanakan perintah Tuhan sebab hidup manusia serta ketentuannya
senantiasa diatur kehendak-Nya.42
Tuntunan selalunjutnya adalah Madep Ka Ratu Raja yang merupakan aspek
penting bagi suatu kepercayaan atau keyakinan diri atas kodrat atau takdir yang
diberikan Tuhan. Ratu Raja terdiri dari enam kelompok, yaitu ratu raja tilu (3),
ratu raja dua (2), ratu raja opat (4), ratu raja lima (5), ratu raja lilima, dan ratu
raja genep. Madep Ratu Raja Tilu (3) adalah berbakti kepada tiga unsur dalam
diri pribadi (sir, rasa, pikir) yang disimbolkan dengan sultan (niat; sir), sinubun
42Susana, ed., Cigugur Miniatur Pluralisme, h. 47.
40
(yang merasakan), dan pangeran (akal; pikir). Madep Ratu Raja Dua (2) adalah
berbakti dan mengimani adanya takdir hidup berpasangan: ibu-bapak, siang-
malam, suka-duka, jasmani-rohani, dan sebagainya. Madep Ratu Raja Opat (4)
adlah tingkah laku yang dilakukan empat anggota badan (dua tangan dan dua
kaki). Madep Ratu Raja Lima (5) adalah kesadaran mengenai keberadaan lima
panca indera yang terpancar dalam perilaku. Panca indera harus selalu
diperhatikan supaya hidup terkontrol dalam sifat kemanusiaan. Madep Ratu Raja
Lilima adalah kesadaran keberadaan lima bangsa di dunia sebagai takdr atau
kodrat TUhan, yaitu terdapatnya bangsa kulit putih (Eropa), kulit kuning (Cina),
kulit hitam (Negro), kulit merah (Indian), dan sawo matang (Melayu). Setiap
bangsa harus menjungjung hukum kodrat Tuhan, jangan sampai mencampur-
campurkan bangsa itu, karena masing-masing telah diberi tempat.
Mencampurkan di antara kelima bangsa tersebut, berarti melanggar kodrat
Tuhan. Madep Ratu Raja Genep (6) adalah satu kesatuan utuh dan sempurna dari
berbagai unsur wujud manusia dan alam raya. Kodrat yang telah diberikan
Tuhan pada dasarnya terdiri dari dua macam, yaitu kodrat sebagai manusia, dan
kodrat kebangsaan atas tempat masing-masing manusia. Sebagai manusia maka
dia mempunyai tata cara (adat) dan ciri (tanda) kebangsaan masing-mas ing.
Dalam ajaran madrais keduanya disebut dengan cara ciri manusa dan cara ciri
bangsa. Dalam cara ciri manusa terdapat lima aspek yang merupakan tuntutan
kemanusiaan (manusia yang mengenal kebaikan), yaitu: welas asih (sifat cinta
kasih), undak-usuk (tata tertib berbahasa), tatakrama (aturan pergaulan), budi
daya-budi basa (perilaku; budi pekerti), wiwaha yuda na raga (pertimbangan
41
untuk melakukan segala perbuatan). Dalam cara ciri bangsa terdapat lima aspek
pula yang merpakan ciri khas masing-masing bangsa, yaitu mengenai rupa
(bentuk, wajah), basa (bahasa), aksara (huruf), adat (kebiasaan), dan
kabudayaan (kebudayaan; hasil kreativitas manusia).43
E. Seren Taun dan Peran Perempuan dalam Keluarga
Konsep utama lainnya dimana kita bisa melihat bagaimana masyarakat
Madrais melihat keluarga juga ada pada Upacara Seren Taun. Upacara ini
merupakan budaya syukuran adat pasca panen serta memohon berkah dan
perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk tahun yang akan datang.
Seren Taun yang diselenggarakan setiap tanggal 22 bulan Rayagung dalam
perhitungan tahun Saka, sebagai bulan terakhir menjelang pergantian tahun.
Angka 22 menunjuk 20 unsur tubuh manusia (seperti darah, tulang, atau
sumsum), sedangkan angka 2 menggambarkan jenis kelamin manusia (pria-
wanita).
Upacara adat Seren Taun merupakan tradisi adat masyarakat Sunda yang
berupaya mempertahankan tradisi Sunda, yang dilaksanakan terutama oleh para
penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa komunitas
adat Sunda Wiwitan. Namun demikian dalam pelaksanaannya mulai dari
persiapan dan pelaksanaannya melibatkan berbagai komponen masyarakat dari
berbagai daerah di Jawa barat dan berbagai pihak yang berbeda keyakinan.
43Budi Susanto, ed.,Sisi Senyap Politik Bising (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 187.
42
Inti perayaan Seren Taun (pergantian tahun) bersyukur kepada yang ilahi
atas hidup dan kehidupan yang sudah diterima dalam tahun yang segera berakhir,
dan menyatakan kegembiraan atas datangnya tahun baru. Maka Seren Taun bisa
disejajarkan dengan Thanks Giving Day (upacara syukuran), yang dikenal di
Barat, atau pesta panen di tempat lain di Indonesia. Perasaan syukur yang
dilahirkan dalam upacara seperti Seren Taun, Thanks Giving Day atau pesta
panen merupakan dorongan psikologis orang-orang religious, dan bukan
merupakan ritus sebuah agama.
Tidak ada rumusan doa khusus dalam upacara Seren Taun di Cigugur,
kecuali kata-kata spontan luapan terima kasih. Geus mustari nya indung, dina
ieu Seren Taun, Rayagung, di lembur orang Cigugur, hurip ahung, hung ayung
(sudah waktunya ya ibu, persembahan hasil bumi tahun ini. Di bulan Rayagung,
di desa kami Cigugur, hung ahung, hung ahung).44
Di dalam rentetan perayaan acara Seren Taun, ada satu acara yang
menggambarkan bagaimana sesungguhnya Masyarakat Madrais melihat
keluarga terutama peran perempuan. Yaitu Tari Buyung yang ditampilkan dalam
Upacara Seren Taun, menggambarkan kesetimbangan ajaran Sunda Karuhun
dalam relasi maskulinitas dan feminitas dalam diri manusia, serta kaitannya
dengan tata laku kehidupan sehari-hari. Tarian ini melukiskan dan dilhami dari
ciri khas Desa Cigugur. Yakni kebiasaan mengambil air dengan buyung (sejenis
alat yang terbuat dari logam maupun tanah liat yang digunakan perempuan desa
44Nana Gumilang, Seren Taun: Pesona Budaya dan Refleksi Rohani Masyarakat Cigugur
(Bogor: LPKN, 2013), h. 12.
43
mengambil air di sungai, danau atau kolam). Kebiasaan ini sudah lama berakar
kuat dan menyatu dengan perilaku masyarakatnya yang suka menolong, hidup
bergotong-royong tanpa memandang latar belakang status sosial maupun
kepercayaan mereka.45
Gerakan-gerakannya menggambarkan para gadis menjunjung kendi di atas
kepala sehabis mandi bersama, bercengkerama dengan sebayanya, serta
mengambil air di pancuran. Gerak-gerik ini, mengingatkan para penghayat dan
umat manusia pada umumnya apa makna yang tersirat melalui air, buyung dan
manusia. Ajaran kesetimbangan Karuhun Sunda tentang Tuhan, manusia dan
alam terlukis begitu estetisnya dalam beberapa formasi, Jala Sutra, Nyakra
Bumi, Bale Bandung, Medang Kamulan, dan Nugu Telu.
Selain Tari Buyung, Upacara Seren Taun, yang dirayakan tiap tahun, juga
memperlihatkan nilai kesetimbangan tersebut. Juga penghormatan terhadap
Sunan Ambu atau Pwah Aci Sahyang Asri (pada daerah agararis lainnya dikenal
dengan sebutan Dewi Sri) sang penyedia kehidupan. Kemudian dianalogikan
pada sosok perempuan yang juga menyediakan rahimnya bagi kelahiran putra-
putri penerus bangsa. Pada upacara inilah kisah-kisah klasik pantun Sunda
dituturkan, dan di antaranya kisah perjalanan Pwah Aci dilantunkan.
Sikap yang diperlihatkan perempuan dalam masyarakat Cigugur merupakan
refleksi dari konstruk yang berkembang bahwa konsepsi perempuan sunda
Karuhun berpijak pada kesetimbangan antara maskulinitas dan feminitas, jadi
tidak ada hambatan pada tingkat ajaran spiritual yang mengekang aktivitas dan
45Wawancara Penulis dengan Emalia Djatikusuma, 14 November 2016.
44
ruang gerak perempuan, melainkan proses saling melengkapi yang kemudian
melahirkan harmonisasi yang utuh.
Figur feminin yang dalam tradisi mereka disebut “Sunan Ambu” (the
mother of earth) diyakini bertugas untuk membangun fungsi harmonisas i
kondisi yang saling berhadapan. Pada energi feminin akan melahirkan “eros”
yang bersifat toleransi, keindahan, pengertian, persaudaraan dan
kesinambungan. Untuk mengimbangi energi maskulin yang menghasilkan
“thanatos”, yang bersifat: semangat kompetisi, ambisi, dominasi dan kekuatan.
Sinergitas dari kedua energi itulah yang seharusnya dimiliki secara utuh yang
kemudian melahirkan keseimbangan pada diri manusia, baik itu laki- laki
maupun perempuan. Maka tidak ada pemilahan peran sosial dan struktural yang
diskriminatif dalam komunitas mereka, yang ada adalah pembagian peran yang
proporsional yang saling melengkapi yang pada akhirnya mewujudkan harmoni
alami. Perbedaan tidaklah menjadi penghalang, namun menjadi bumbu dan
dinamika sosial masyarakat Madrais di Cigugur.46
46Anisa Rahmawati Djaelanie, Seni Siasat dan Perempuan Adat Cigugurartikel diakses
darihttp://www.desantara.or.id/2008/05/seni-siasat-perempuan-adat-cigugur/pada 21 April 2017.
45
BAB III
KEBEBASAN BERAGAMA
A. Pengertian Kebebasan Beragama
Agama adalah suatu kepercayaan atau paham yang mempercayai adanya
Tuhan. Setiap manusia memiliki kepercayaan yang berbeda tentang adanya
Tuhan. Setiap manusia berhak memilih atau menganut agama yang dipercayai,
kebebasan beragama adalah hak setiap orang.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa,
kebebasan beragama (freedom of religion or freedom of belief) adalah prinsip
yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat untuk memanivestas ikan
agama atau kepercayaannya dalam bentuk pengajaran, praktik, ibadah, maupun
ketaatannya. Termasuk kebebasan untuk mengubah pilihan agama dan
kepercayaan.47
Dalam sebuah negara yang menerapkan prinsip kebebasan beragama,
agama-agama lain bebas dilakukan dan tidak menghukum atau menindas
pengikut kepercayaan dari agama lain. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18).
Konvernsi Internasional Hak Sipil dan Politk mengakui hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan (Pasal 18).
47“Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Pasal 18.
46
Definisi hak kebebasan beragama secara formal terdapat dalam DUHAM,
tepatnya dalam Pasal 18 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan
agama, dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau
kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat
dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.”
Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak kebebasan beragama yang terdiri
dari hak untuk beragama, hak untuk berganti agama, hak untuk mengamalkan
agama dengan cara mengajarkannya, melakukannya baik secara sendiri ataupun
kelompok dan di tempat umum atau tempat pribadi.
Pada tahun 1993 Komite HAM PBB dan sebuah badan independen yang
terdiri dari 18 orang ahli menjelaskan agama atau keyakinan sebagai:“ Theistic,
non-theistic and atheistic belief, as well as the right not to profess any religion
or belief.” Definisi tersebut telah menjelaskan bahwa agama atau keyakinan
dapat berbentuk ketuhanan, non ketuhanan, tidak bertuhan dan tidak mengakui
sama sekali agama atau keyakinan tertentu. Pengertian yang diberikan Komite
HAM PBB tersebut tentu saja bermakna positif maupun negative, seperti yang
dirumuskan oleh Sir Alfred Denning seperti dikutip M. Tahrir Azhary:
“freedom of religion means that we are free to worship or not to worship
to affirm the existence of god or to deny it, to believe in Chirstian religion
or any religion or in none, as we choose”48
48M.Tahrir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Prenada
Media Group, 2010), h. 69.
47
Baik pengertian yang dikeluarkan PBB maupun Amerika Serikat tentu saja
bersifat sangat liberal. Karena kebebasan beragama diartikan bebas
berkeyakinan dalam bentuk apa pun, berketuhanan ataupun tidak berketuhanan.
Hal ini berbeda dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di negara kita
Indonesia.
Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan negara menjamin kebebasan
beragama dan kepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan dalam Pasal
28I UUD 1945 dunyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun. Ketentuan tersebut kembali diperkuat dalam Pasal 22
UU No.39/1999 tentang Ham. Bahwa setiap orang memiliki kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihan sendiri. Setiap orang dengan
begitu mempunyai kebebasan, baik secara individu atau dalam masyaarkat,
secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di
dalam pengajaran dan peribadatannya.
Menurut Azhari, Indonesia yang merupakan negara hukum Pancasila
memiliki ciri-ciri, antara lain (1) ada hubungan yang erat antara agama dan
negara; 2) bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; 3) Kebebasan beragama
dalam arti positif; 4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta
5) asas kekeluargaan dan kerukunan.49 Dalam negara hukum Pancasila, dengan
demikian tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara, baik secara
49Azhary, Negara Hukum, h. 97-98.
48
mutlak maupun secara nisbi. Hal ini karena akan bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945.
B. Landasan Kebebasan Beragama
Hak dan kebebasan beragama serta berkeyakinan merupakan salah satu hak
asasi manusia yang bersifat mutlak sebagai wujud dari hak asasi manusia yang
paling inti. Karena itu sering dikatakan bahwa, hak dan kebebasan beragama
merupakan hak asasi yang bersifat non-derogable rights, yaitu hak asasi manusia
(HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, hak-hak yang termasuk dalam
non-derogable rights ini diatur dalam pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yang meliputi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.”
Bila melihat UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU
HAM), terutama pasal 4, dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud
dengan ‘dalam keadaan apapun’ termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata,
dan atau keadaan darurat.
Dalam kesepakatan internasonal, sesungguhnya tidak semua aspek hak dan
kebebasan beragama serta berkeyakinan berada dalam wilayah hak yang tidak
49
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Hal ini
dinyatakan daam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi dengan
UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) dinyatakan sebagai berikut:
“Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan
mendasar orang lain.”
Kesepakatan internasional dengan demikian sangat jelas mengakui
keberadaan pembatasan yang dilakukan oleh negara terhadap hak dan kebebasan
beragama. Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya, negara diperbolehkan untuk
membatasi hak yang ditetapkan melalui undang-undang dengan dasar beberapa
kalusul pembatasan.
Selanjutnya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universa l
Declaration of Human Rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, misalnya
terdapat ketentuan tentang pembatasan HAM. Pasal 29 Ayat (2), yang
menyatakan:
In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to
such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing
due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of
meeting the just requirements of morality, public order and the general
welfare in a democratic society.
(dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang hanya patuh
kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk
tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan
50
orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum,
dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis).
Demikian juga dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the
Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Rligion
and Belief) Tahun 1981, pada Pasal 1 Ayat (3) juga dinyatakan sebagai berikut:
Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such
limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety,
order, health, or morals, or the fundamental rights and freedoms of others.
(Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya atau
kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin
keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral
atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain).
Di Indonesia sendiri, dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama ada
pada konstitusi, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
51
Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Dalam perjalanannya, dengan mengacu pada konstitusi, dilakukanlah
amandemen dengan mengadopsi poin-poin di atas kedalam pasal 28 J Ayat (2)
UUD 1945, yang menyatakan sebagai berkut:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.50
Dengan demikian, hak asasi manusia tidaklah berdiri tanpa adanya
pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 seperti disebutkan
sebelumnnya, diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang
lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak
tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang.
Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada
pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Landasan hukum selanjutnya yang mendasari kebebasan beragama adalah
UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU ini dapat dikatakan
sebagai payng dari segala regulasi yang mengatur tentang hak asasi manusia di
Indonesia. Selain mengatur tentang berbagai macam hak dasar warga negara,
UU ini juga menegaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.
50Ainul Yaqin, Hak dan Kebebasan Beragama Serta Berkeyakinan Dalam Perspektif
Kesepakatan Internasional artikel dalam http://inpasonline.com/hak-dan-kebebasan-beragama-
serta-berkeyakinan-dalam-perspektif-kesepakatan-internasional/, diakses pada 5 Juli 2017.
52
Pasal yang mengatur secara khusus tentang hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan adalah pasal 22 yang berbunyi “setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”, dan “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Sesuai dengan UUD 1945, hak ini tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, namun boleh dibatasi oleh undang-
undang. Pembatasan ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.51
Landasan lainnya yang patut disandarkan terkait alasan kenapa kita harus
mengembangkan paham kemajemukan dan menegakkan kebebasan beragama
secara serius adalah bahwa masalah ini merupakan problem universal, bukan
semata-mata problem negara-negara di belahan dunia seperti Eropa dan
Amerika, tapi juga problem masyarakat kita, Indonesia.
Sejarah mencatat, bila problem kebebasan beragama memang telah terjadi
sejak lama, terutama ketikanegara dan agama di satu sisi dan agama-agama di
sisi lain terus mengalami ketegangan dalam konteks negara-bangsa. Bahkan dari
istilah kebebasan beragama sendiri (freedom of religion/faith/belief, liberte de
conscience, al-hurriyah al-diniyyah) menjadi problem penting bahkan setelah
Revolusi Perancis 1789.52
51Pasal 28 ayat (4) berbunyi “perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. 52Muhammad Ali, Mengapa Membumikan Paham Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di
Indonesia makalah disampaikan pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, pada 19 Juli 2006 di Jakarta.
53
Sejarah panjang problem kebebasan beragama tersebut tentu saja dapat
menjadi pelajaran sangat berharga bagi bangsa Indonesia, dan terutama bagi
Muslim di Indonesia adalah untuk menggali teks-teks kitab, sejarah, teladan
orang-orang baik, dan bahan-bahan modern untuk membangun pemikiran yang
cocok dan tepat bagi masyarakat Indonesia modern.53
Apalagi seperti dijelaskan Jamal al-Banna dalam Al-Ta’addudiyah fi al-
Mujtama al-Islamy dan Muhammad Sachedina dalam the Islamic Roots of
Democratic Pluralism (20001), bahwa al-Qur’an adalah fondasi otentik bagi
pluralisme. Al-Qur’an mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit,
kemajemukan suku-suku dan bangsa-bangsa, penciptaan segala sesuatu
berpasang-pasangan dan tidak tunggal, mengakui perbedaan kapasitas dan
intelektualitas manusia, mengajak berlomba dalam kebajikan, membiarkan
sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat ibadah lainnya untuk
beridiri kokoh, memperhatikan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia (dengan
segala kompleksitas dan kemajemukan di dalamnya), mengakui kebebasan
berkeyakinan (untuk beriman atau tidak), untuk masuk dan keluar agama
tertentu.54
Al-Qur’an telah menjelaskan tentang adanya persaudaraan hanafiyah
samhah dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam konsep al-Qur’an, penganut
agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah saudara seiman dan sebapak, Ibrahim,
53Nurcholish Madjid, Kemungkinan Menggunakan Bahan-Bahan Modern untuk
MemahamiKembali Pesan Islam” dalam Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1998)
, h. 60. 54Gamal Al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’addudiyah fi al-Mujatama
al-Islamy, Taufik Damas (Bekasi Timur: Menara, 2006), h. 14-21.
54
meskipun mereka saling berselisih dalam sejarahnya. Agama-agama mereka
adalah satu dan berasal dari satu Tuhan. Lebih luas lagi bahkan, selain Yahudi
dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut keberagamaan yang
benar, yang tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan.55
C. Perkembangan Kebebasan Beragama dalam Masyarakat Madrais
Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi merupakan tonggak
penting bagi kehidupan kebebasan beragama di Indonesia hingga sekarang. Bagi
masyarakat muslim misalnya, reformasi menjadi momentum untuk
‘kebangkitan’ Islam di Tanah Air. Kenapa demikian? Karena di masa sekarang
identitas keislaman yang tak tunggal dapat mencuat ke permukaan—sesuatu
yang tentu saja mustahil terjadi pada masa Orde Baru berkuasa.56
Hal ini tentu saja berkat diamandemennya UUD 1945, terutama pasal 28 a
dan 28 c yang memberi kebebasan pada Hak Asasi Manusia, termasuk dalam
kepercayaan. Adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja dengan demikian
tidaklah cukup; sebab yang terpenting adalah komunitas-komunitas itu
diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai
sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua,
perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai,
dilindungi serta dijamin eksistensinya.57
55Surah al-Hujurat [49]: 13 56Siti Musdah Mulia, dalam buku “Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai
Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi” (Jakarta: Kompas 2009), h. 350. 57Azyumardi Azra, Dari Harvard Hingga Makkah(Jakarta: Penerbit Republika, 2005), h. 21.
55
Momentum reformasi dan amandemen UUD 1945 juga memberi angin
segar kepada para penganut kepercayaan lokal di Indonesia. Hal ini karena
kepercayaan lokal dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu seringkali menjadi
polemik. Akibatnya kepercayaan lokal yang ada di Indonesia sebagai
keniscayaan dari tradisi keberagamaan memunculkan ambiguitas mengena i
kategori kepercayaan lokal sebagai agama atau etnik. Kulminasi dari adanya
polemik ini kemudian berpengaruh terhadap hak dan kewajiban sebagai warga
negara Indonesia.58
Satu abad berlalu, reformasi semakin membuahkan perubahan yang berarti.
Posisi kepercayaan lokal kemudian diatur negara dalam wewenang Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan. Kepercayaan lokal pun kemudian dianggap
sebagai bagian dari pluralitas Indonesia yang harus dilestarikan nilai-nila inya
serta tidak diabaikan hak-hak pemeluknya sebagai warga negara. Para penghayat
kepercayaan lokal seperti masyarakat Madrais di Cigugur-Kabupaten Kuningan
mulai dapat menghirup udara segar kembali dan muncul di depan publik. Hal ini
seperti diberitakan Harian Kompasketika meliput acara Seren Taun Desember
2010. Kompas menuliskan sebagai berikut:
Perayaan seren taun di kampung adat Cigugur, Kuningan, bukan
sekadar pesta sekdekah bumi, melainkan perwujudan toleransi masyarakat
yang tidak tersekat batasan apa pun. Kegitan budaya ini juga menjadi salah
satu bentuk pelestarian kearifan lokal. Puncak pergelaran adat yang
dirayakan tiap 22 Rayagung ini merupakan manifestasi rasa syukur
58Arbi Mulya Sirait dkk., dalam buku “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia”
(Jurnal Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 1, Juni 2015).
56
penduduk agraris Sunda atas limpahan kesejahteraan yang selama ini
mereka peroleh.
Sejak Setelah itu, publik pun mulai tahutentang apa, siapa, dan dimana
masyarakat Madrasis berada. Pada akhir abad ke-19 di daerah Cigugur
Kabupaten Kuningan muncul suatu gerakan sosial/keagamaan yang dipimpin
oleh seorang tokoh bernama Muhammad Rais (Madrais). Madrais adalah anak
dari Pangeran Gebang yang bernama Alibassa Koesoemawidjajaningrat dari
Keraton Gebang yang menikah dengan perempuan bernama Kastewi, seorang
keturunan dari Tumenggung Jayadipura dari Lebakwangi.59
Setelah Madrais lahir pada tahun 1832, Kastewi tinggal di rumah seorang
Kuwu Desa Cigugur bernama Ki Sastrawadhana. Hanya saja, karena tidak lahir
dalam Keraton Pagebangan melainkan lahir jauh dari keluarga ayahnya, maka
Madrais disebut oleh beberapa kalangan keraton Cirebon sebagai
putra bunian artinya putra yang disembunyikan. Saat Madrais dititipkan ke
Kuwu Desa tersebut nama Sadewa diubah menjadi Taswan.Sejak lahir hingga
berusia 10 tahun Taswan atau Sadewa hidup dan tinggal di Cigugur.60 Pada saat
berusia 10 tahun, ia dibesarkan oleh kakek dari ibunya yang merupakan guru
mengaji dari Lebakwangi. Pada saat Madrais tinggal di tempat kakeknya itulah
ia mendapatkan nama Muhammad Rais yang kemudian lebih sering disingkat
59Hal ini tertulis dalam arsip surat dari Pangeran Keraton Kanoman Cirebon yang bernama
Hoedajabrata pada 1 September 1922 yang dikirimkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Lihat
(Afschriften Mailrap geheim no 1925/ 8 dan ANRI, 1981: 207-208). 60Wawancara dengan Gumirat Barna Alam pada 29 November 2016 di Cigugur. Dan pernah
disebutkan oleh Anto Widyo Nugrahanto dalam wawancara dengan Djatikusumah pada 20
November 2011.
57
menjadi Madrais.61 Ketika dewasa, Madrais mulai mengembara untuk belajar ke
beberapa pesantren di sekitar Cirebon. Madrais mulai mengembara pada usia 10
tahundan berpindah pindah pesantren dalam beberapa tahun. Jadi ketika Madrais
ikut dalam keluarga kakek dari ibunya yang merupakan guru mengaji itulah
Madrais telah memulai pengembaraannya. Pengembaraan Madrais terjadi saat
usianya baru menginjak sepuluh tahun. Jika Madrais dilahirkan pada 1832 maka
pada 1842 pengembaraan itu mulai dilakukan.62
Menurut seorang peneliti ajaran Madrais W. Sraathof, Madrais mulai keluar
dari pesantren karena merasa mendapatkan ilham atau pulung yang merupakan
dorongan untuk mengembara sambil menjalankan puasa. Pulung tersebut
kemudian mendorong Madrais untuk berkeliling mengunjungi dusun-dusun
terutama tempat-tempat yang dikenal karena kesaktiannya. Sejak saat itu
Madrais lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu kebatinan.63
Tahun 1869, Madrais terlibat dalam peristiwa kerusuhan di Tambun Bekasi
. Ia disebut Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon. Saat itu para petani Tambun
mengalami kemelaratan karena selalu diperas para tuan tanah. Madrais yang
datang dari Cirebon menyatakan bahwa tanah-tanah yang terletak diantara
Sungai Citarum hingga Sungai Cisadane adalah tana-tanah rakyat warisan dari
leluhur mereka. Masyarakat kemudian mendukung Madrais dan hari
pemberontakan ditentukan 5 April 1869 dan akan menyerang daerah Tambun.
61Tentang nama Muhammad Rais ini telah diungkapkan oleh Djatikusumah kepada KH E.Z.
Muttaqien pada Januari 1983 (Tempo, 29 Januari 1983: 26) 62Strathof dalam Anto Widyo Nugrahanto, “Sejarah Singkat Gerakan Sosial Madrais di
Cigugur” 63W. Straathrof, dalam Basis Majalah Kebudayaan Umum edisi April XX/7: 202.
58
Sebelum sempat meletus, pemberontakan tersebut kemudin dapat digagalkan
oleh pemerintah Kolonial.
Rakyat mendukung Madrais dan hari pemberontakan ditentukan 5 April
1869 dan akan menyerang daerah Tambun. Akan tetapi, pemberontakan itu
kemudian dapat ditumpas oleh Pemerintah Kolonial. Beberapa orang yang
terlibat dalam rencana pemberontakan tersebut kemudian dihukum mati.64
Sejak terlibat dalam peristiwa tersebut, Madrais hidup berpindah-pindah
dengan menyembunyikan identitas dirinya. Oleh karena itu, ia tercatat
mengganti namanya beberapa kali. Ketika mengunjungi pesantren-pesantren di
Jawa Timur misalnya ia pernah memakai nama Gusti Ahmad.65
Akhirnya madrais mengakhiri pengembaraannya dan pulang ke Cigugur
untuk melangsungkan pernikahan. Setelah menikah ia tinggal di rumah yang
sekarang menjadi Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur.66 Sejak saat
itu, sedikit demi sedikit masyarakat mulai mempercayainya dan memutuskan
untuk menjadi pengikutnya. Bahkan pada tahun 1985 telah terbentuk komunitas
pengikut ajaran Madrais di Cigugur untuk mendirikan pesantren dan
mengajarkan agama Islam dan menyebarkan pandangan-pandangannya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, peran Madrais lebih banyak sebagai
guru kebatinan daripada mengajarkan Agama Islam. Madrais bahkan lebih
terkenal sebagai Kyai Madrais. Sejak menetap di Cigugur, pandangan-
64Mulyawan Karim dalam Kompas, edisi 23 April 2009: halaman 26. Lihat juga “Bekasi, Titik
Awal Pemberontakan Jawara Betawi” dalam
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160621115414-20-139762/bekasi-titik-
awalpemberontakan-jawara-betawi/ diunduh pada Selasa, 21/06/2016. 65Wawancara dengan Gumirat Barna Alam pada 29 November 2016. 66Djatikusumah dalam Kompas, 2 Juni 1997.
59
pandangan Madrais memang mulai memperoleh wujud yang lebih jelas sebagai
sebuah ajaran kebatinan. Bahkan, dari Desa Cigugur Madrais mulai
menyebarkan ajaran dan pandangannya. Dan mulai banyak orang tersentuh oleh
nasehat-nasehatnya.67 Karena kecenderungan inilah Madrais sampai harus
bersitegang dengan Kyai Mad (Muhammad) Tohir. Karena mengkritik Madrais,
Kyai Mad Tohir mengatakan Madraishanyalah anak haram dari Pangeran
Gebang yang tidak berhak memimpin shalat karena shalatnya menjadi tidak sah.
Dari situ Madrais merasa tidak lagi nyaman menjadi seorang muslim.
Kian hari, pengikut Madrais bertambah banyak. Tak hanya di Cigugur,
namun juga di beberapa desa di Kuningan bahkan hingga keluar Kuningan.
Karena mulai kewalahan melayani para pengikutnya, Madrais pun mengangkat
pembantu-pembantunya yang disebut dengan badal. Para badal tersebut
kemudian membantu mencari dan mengumpulkan pengikut Madrais. Para
pengikut Madrais semakin bertambah banyak bahkan dari luar kuningan,
terutama setelah dibukanya praktik pengobatan. Lalu, sedikit demi sedikit
muncullah apa yang dinamakan Gerakan Sosial Madrais yang berpusat di
Cigugur.
67W. Straathof dalam Basis1971: 204
60
BAB IV
ANALISA HUBUNGAN KONSEP KELUARGA
DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASYARAKAT
MADRAIS
A. Cigugur sebagai Miniatur Pluralisme
Bagi masyarakat Madrais, ajaran serta tuntunan-tuntunannya telah
meninggalkan suatu keyakinan dan kebenaran dalam hati sanubari mereka yang
paling dalam. Sehingga dalam realitas kehidupan mereka senantiasa berusaha
untuk taat dan menjalankan dengan benar tentang hal-hal yang telah didawuhkan
leluhurnya, yakni keyakinan bagaimana menjalani hidup yang benar serta
memelihara cara-ciri manusia dan budaya bangsanya.
Dengan berpegang pada ajaran Madrais, Masyarakat Cigugur dapat
merasakan sikap toleran yang tinggi terhadap kenyataan perbedaan kepercayaan.
Hal ini terbukti dengan tidak ada masalah besar yang menyangkut SARA di
daerah ini. Bukan merupakan hal yang aneh bila dalam satu keluarga terdapat
beberapa kepercayaan. Hal ini dapat dicontohkan pada keluarga Paseban yang
bermacam-macam penganut, serta demikian pula pada keluarga inti pemimpin
pengayat, putra-putranya ada yang menganut penghayat, Islam, Katolik, dan
Bethel. Mereka memegang prinsip sapangartosan (satu pengertian) meskipun
tidak sapangangkenan (satu pengakuan kepercayaan/agama); dan meskipun
61
sewing-sewangan (masing-masing dalam kepercayaan, namun tidak ewang-
ewangan (terpecah-pecah; apriori) dalam hidup bermasyarakat dan berbudaya.
Anak pertama Pangeran Djatikusuma adalah seorang Pendeta Kristen
Protestan (Cirebon), anu kadua Katolik (Jakarta), putera katilu Muslim
(Kuningan) carogena muslim tapi tos pupus, kaopat simkuring sunda wiwitan
(Kuningan), kalima sunda wiwitan (Jakarta).68
Untuk saat ini, keluarga Paseban atau pimpinan adat masyarakat Madrais yakni
Keluarga Pangeran Djatikusuma dan Emalia Wigarningsih menganut kepercayaan
yang berbeda-beda. Anak pertama mereka adalah seorang Pendeta Kristen Protestan
di Cirebon, lalu yang kedua adalah seorang Katolik dan tinggal di Jakarta. Anak
ketiga mereka adalah seorang muslim dan tinggal di Kuningan (sudah almarhum),
sementara anak keempat mereka adalah Gumirat Barna Alam, yang seorang
penghayat sunda wiwitan dan didaulat menggantikan sang ayah lantaran sakit yang
berkepanjangan. Terakhir, anak kelima mereka adalah juga penganut sunda wiwitan,
tinggal di Jakarta.69
Demikian juga dengan keluarga Bapak Kento (60 tahun) dan Bapak Ukar (50
tahun), kedua pemuka adat Masyarakat Madrais ini juga memberi kebebasan kepada
anak-anaknya untuk memilih agamanya masing-masing. Bapak Kento memiliki dua
putera (1 laki-laki dan 1 perempuan) yang keduanya memilih untuk menjadi
penganut Katolik. Sementara Bapak Ukar, kedua anaknya untuk sementara
mengikuti dirinya yang seorang muslim. Tentu bukan karena paksaan, namunlebih
karena lingkungan tempat tinggalnya yang lebih banyak menganut agama Islam.
68Wawancara dengan Gumirat Barna Alam 69Kecuali anak laki-laki yang merupakan jejer, penerus, sehingga keyakinannya tak bisa diubah.
Meski sebagai jejer, tapi tentu tidak boleh memiliki sifat yang umaing, merasa paling benar, harus bisa
mengayomi semuanya.
62
Kerukunan dalam masyarakat Madrais itu seumpama hitungan ““5+5=10,
6+4=10, 7+3=10”. Semua mutlak benar! Jumlahnya mutlak 10, seperti
masyarakat Madrais yang walaupun berbeda paham, beda agama, beda aliran
tapi berusaha satu pengertian, yaitu menyembah kepada Allah yang maka kuasa.
“Saya 4 bersaudara, saya anak pertama muslim, adik saya yang ke-dua
ikut Sunda Wiwitan, yang ke-tiga dan ke-empat Kristen. Jadi kami dalam
keluarga ada tiga agama tapi ya rukun rukun, kita tetap bersaudara.70
Seperti disampaikan sebelumnya, bahwa menurut Gumirat Barna Alam,
kebebasan untuk memilih kepercayaan dalam masyarakat AKUR, bersandar pada
paham pangeran Madrais yang bertitik tolak pada hukum adikodrati, yang telah
Tuhan berikan kepada manusia Sunda. Itu tak lain, karena ajaran Kyai madrais
menitikberatkan agar manusia Sunda dapat menerima karsa dan merasakan serta
harus mampu bersyukur akan nikmat yang dianugerahkan sang maha pencipta;
syukur karena telah diciptakan sebagai manusia.
Oleh karena itu, ajaran Pak Madrais itu menekankan pada 5 faktor atau 5 unsur
cinta kasih; adanya silsilah kekeluargaan, oleh karena struktur silsilah kekeluargaan
makanya manusia dianugerahkan memiliki tatakrama. Kemudian tatakrama itu
direalisasikan dengan budi daya dan budi bahasa. Itulah karakteristik manusia sunda.
Terakhir, adalah manusia dapat memilih dan memilah mana yang baik dan mana
yang buruk atau dikenal dengan Wiwaha Yuda Na Raga (“Ngaji Badan” membaca
dan memahami sebuah tatanan /ekosistem/tubuh secara utuh).
70Wawancara dengan Bapak Ukar (penghayat beragama Islam), 29 November 2016.
63
Terkait hal itu, maka manusia Sunda perlu memerangi ajakan atau keinginan
dari saudara yang 4, yang menyatu dalam tubuh; unsur tanah, api, angin dan air. Itu
harus dikendalikan oleh ruh manusianya sendiri agar supaya dapat melaksanakan
wiwaha yuda na raga. Karena ruh tidak mandiri disebabkan 4 unsur tersebut.
“Bila dalam Islam itu ada insan, sufiyah, lawamah, dan mudmainnah.
Betapa agungnya makna yang tersirat dari Islam itu sendiri. Nama Islam itu
sesungguhnya perwujudan konkrit yang diciptakan oleh sang maha pencipta
dengan keberadaan ciptaannya berupa alam raya dan alam raga, alamul
akbar dan alamul asgar.”71
Secara umum, mayarakat Madrais memandang kebebasan beragama seperti
halnya dengan cara pandang dalam menghayati jasad manusia. Jasad itu plural yang
diciptakan Allah Swt., tidak hanya satu unsur di dalamnya, tapi multi unsur.
Bagaimana fungsi otak tengah, otak kiri dan fungsi otak kanan. Kelenjar hipopesa,
sel-sel butir darah merah, bagaimana fungsi empedu. Itu merupakan keharmonisan
hidup yang tercermin dalam wujud manusia. Karena wujud manusia itu plural, dalam
cara pandang atau wordviewnya, cara hidupnya atau human lifenya bahwasanya
memandang kehidupan keanekaragaman hayati itu sama juga dengan kita bercermin
ke dalam diri sendiri.
Masyarakat Madrais juga meyakini, bahwa hakikat kebesaran Allah itu juga ada
pada jasad tersebut; bermacam unsur bersemayang dalam diri, dan ditemani oleh
saudara yang lain. Ini sudah memperlihatkan kebhinekaan, sudah akbar,
kemahabesaran Allah itu bisa kita rasakan dalam wujud jasad dan alam raya. Bahwa
71Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 21 November 2016.
64
Allah telah menciptakan resonansi suara, menciptakan jutaan getaran suara di
atmosfer.
“Allah menciptakan satu nafas kehidupan, tapi menyatu. Suka
tidak suka, nafas yang terhirup itu terdiri dari nafas-nafas makhluk
lainnya. soal nafas tidak bisa mengindari keterkaitan dengan nafas
makhluk lainnya. Kata orang sunda, Uteuk tongo walang taga
ronggogodongan pucuk daun kembang buah beuti pun itu masih satu
nafas. Nafas yang dikeluarkan daun-daun pun terhirup oleh kita.
kemahatunggalan sang khalik itu disitulah, terkandung pada nafas yang
diciptakan oleh Allah Swt.”72
Selanjutnya, Masyarakat Madrais memiliki falsafah hidup meski tak
sekeyakinan tapi kita harus sepengertian. Tidak sepengakuan maksudnya dalam tata
cara ibadah memang berbeda, ataupun dalam penyebutannya, itu tidak menjadi
sebuah persoalan yang serius. Karena kita sepengertian, kita mengerti akan
kemahabesaran Allah.
Lebih jauh di dalam sistem keluarga, dimana sebelum membentuk mahligai
keluarga masyarakat manusia Sunda mengalami fase perjaka dan gadis. Dari awal
itulah mereka berusaha melakukan pendidikan sebelum lahir, benih-benih janin
kehidupan yang telah dikaruniakan kepada manusia. Hakekat pendidikan sebelum
lahir itu adalah kita harus menjaga akhlak sebagai manusia yang baik, agar supaya
memori otak itu menghendaki senantiasa berucap dan bersikap baik kepada sesama.
Kalau kita jaga perilaku dan memori otak itu dengan baik, tentunya akan
menghasilkan buah spermatosa ovum yang baik. Itu yang dikatakan pendidikan
72Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 29 November 2016.
65
sebelum lahir, sebelum adanya akad nikah/pra nikah. Karena nasehat dari leluhur,
‘indung lanjang, bapak bujang urang geus aya’. Anak, benih itu sudah ada di dalam
jasad. Maka jagalah benih-benih kehidupan itu agar tidak terkontaminasi baik dari
unsure makanan ataupun unsur unsure-unsur saudara yang 4 tadi. Bagaimana
caranya? yaitu selalu membuang unsur-unsur itu melalui nafas yang dikeluarkan.
Dalam masyarakat Madrais juga ada penanaman keyakinan sejak usia dini, dan
menjadi tanggungjawab orangtua masing-masing. Sementara pendidikan formalnya
diselenggarakan di SMP Trimulya.
“Trimulya yangmemiliki makna tiga kemuliaan; seperti manusia bisa
menyeimbangkan keberadaan naluri, rasa, dan pikir. Keseimbangan id,
ego dan super ego. Saleresna mah istilah santi oge berasatl dari dua
suku kata; san itu tina bahasa Belanda ‘kendali’, tri itu tiga (naluri,
rasa, dan pikir).”73
Terkait pilihan ini, memang tak dapat dipaksakan. Sejak SD hingga SMP anak
mereka bergaul dengan lingkunganya masing-masing, lalu mereka mulai
menemukan satu dua hal yang mereka pahami dan terima. Ini lantaran masyarakat
adat tidak boleh bersilang pendapat hanya karena beda pengakuan, sebab yang utama
adalah sapengertian. Sebab lainnya juga karena tujuan memilih satu agama adalah
untuk ketenangan, agar bisah repeh dan rapih, bisa tahu mana yang baik dan mana
yang buruk.
“Simkuring teu tiasa lamun cai mah ngalir terus, margi lamun cai
dibendung mah sanes janten manfaat tapi janten musibah.”74
73Wawancara dengan Gumirat Barna Alam (Penghayat yang berkeyakinan sunda wiwitan),
29 November 2016. 74Wawancara dengan Bapak Kento, 21 November 2016.
66
Salah satu pengajaran kepada anak yang dilakukan para orangtua penghayat
AKUR misalnya adalah, “anaking hidep sing nyaah ka sasama,” dikasih nasehat
sambil menyusui. Sesama ummat Allah, karenanya sang bunda memberikan aliran
positif, maka ke air susu pun mengalir ke dalam si putera sebuah energi yang positif.
Para penghayat juga meyakini adanya pengaruh apa yang mereka makan.
Makanya, para orangtua seringkali menyarankan untuk mengurangi daging-
dagingan yang sifatnya hewani. Ini karena faktor makanan juga memiliki pengaruh
yang besar bagi kehidupan. Bukan ruhnya tapi yang terkena adalah jiwanya, suara
maupun cahaya yang ada di hati. Sehingga ruh terselimuti asap tebal.
Seren taun juga menjadi simbol pengajaran leluhur tentang fungsi keluarga.
Dimana bapak-bapak nanggung rengkong itu menjadi simbol bahwa tanggungjawab
membina keluarga ada di pundak para bapak. Lalu, menyunggi pare dina sirah
nganggo nampan, (nyuhun padi di atas kepala), menyimbolkan bahwa tugas ibu itu
memohon kepada yang maha kuasa, juga menyimbolkan bahwa benih-benih padi itu
ada di pundak generasi penerus.75
B. Analisis Hubungan Konsep Keluarga dan Kebebasan Beragama
Ada beberapa ajaran Madrais yang akan penulis paparkan sebagai upaya untuk
sedikit memahami bagaimana konsep ajaran keluarga dalam ajaran Madrais begitu
relevan dengan kebebasan beragama di Indonesia dengan cara meneliti langsung di
lapangan maupun wawancara dengan beberapa masyarakat yang ada di lingkungan
Cigugur Jawa Barat.
75Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 29 November 2016.
67
1. Pandangan Pangeran Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat atau Kyai
Madrais dalam “Pikukuh Tilu” mengenai keluarga, Madrais memaparkan
bahwa:
Kelompok sosial anu pangleutikna tapi ngabogaan daya kakuatan
anu gede. Hiji kulawarga anu ngabiasakeun dina kaayaan tata
krama hade moal boa buahna oge hade, sabalikna hiji kulawarga
dina kaayaan kurang hade mindeng parasea, songong pangeusina
oge tangtu amburadul. Tatakrama di lingkungan kulawarga bisa
dijadikeun parameter pangdeuheusna pikeun kamekaran jiwa
pangeusina.
Dalam paparan tersebut dapat dilihat begitu pentingnya sistem
kekerabatan keluarga menurut pandangan Madrais. Sehingga masyarakat
Madrais menganggap institusi keluarga sebagai entitas yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan sosial. Keduanya saling terkait satu sama lain.
Mereka memandang keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
membentuk budaya dan perilaku. Dari keluargalah pendidikan kepada
individu dimulai, tatanan masyarakat yang baik diciptakan, budaya dan
perilaku sehat dapat lebih ditanamkan. Oleh karena itu, keluarga memilik i
posisi yang strategis untuk dijadikan sebagai unit pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan tentu saja penanaman keyakinan/agama. Hemat penulis
pandangan Madrais mengenai keluarga ini bisa menjadi sebuah pandangan
yang menarik untuk dikaji terlebih Madrais membebaskan dalam satu
keluarga menganut berbagai agama sesuai keyakinannya. Hal ini bisa
menjadi sebuah rujukan bagamaimana Masyarakat mampu memiliki cara
pikir yang sama yaitu memberi kebebasaan dan menghargai perbedaan
namun tetap saling tumbuh kekerabatan.
68
Dalam hal ini, Pangeran Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat
atau Kyai Madrais dalam “Pikukuh Tilu” mengatakan bahwa keluarga
adalah:
Kelompok sosial anu pangleutikna tapi ngabogaan daya kakuatan anu
gede. Hiji kulawarga anu ngabiasakeun dina kaayaan tatakrama hade moal
boa buahna oge hade, sabalikna hiji kulawarga dina kaayaan kurang hade
mindeng parasea, songong pangeusina oge tangtu amburadul. Tatakrama
di lingkungan kulawarga bisa dijadikeun parameter pangdeuheusna pikeun
kamekaran jiwa pangeusina.76
Hal penting lainnya dari apa yang diyakini oleh Masyarakat Madrais
adalah bahwa pola interaksi penganut kepercayaan dan penghayatan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dengan warga sekitar harus terjalin dengan baik,
sehingga saling menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan antar
umat beragama terjalin dengan baik. Di samping itu, gotong-royong, bantu-
membantu, atau bekerjasama dalam segala aktivitas dan kegiatan sosial juga
terjalin dengan baik diwarnai dengan kehidupan yang harmonis dan bisa
berkembang sampai sekarang.77
Walau masyarakat Sunda Cigugur berbeda-beda dalam keyakinan,
namun mereka memiliki pemahaman yang sama dalam memandang sistem
adat dan kehidupan yang mereka jalani. Dimana keluarga atau kekerabatan
menjadi ikatan paling kuat dibandingkan dengan keyakinan terhadap agama
76Kusnadi, ed.,Pikukuh Tilu: Ajaran Karuhun Urang (Bogor, LPKN, 2006), h. 76. 77Nuhrison, Paham Madrais/Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur Kuningan. Jurnal
Harmoni.
69
dan kepercayaan lainnya. Hal ini terlihat dari sikap para kepala keluarga
dalam Masyarakat Madrais yang mengedepankan semangat kekeluargaan
dan memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih agama dan
kepercayaannya masing-masing. Soerjono Soekanto mengatakan, semangat
kekeluargaan adalah semangat nilai hubungan sosial antara sesama
anggota keluarga, semangat persaudaraan, solidaritas antara sesama
kerabat, semangat kolektivisme, dan semangat komunalisme.78
Semangat kekeluargaan, juga diperlihatkan dalam upacara Seren
Tahun. Itulah sebabnya, mereka melihat upacara Seren Tahun sebagai
tradisi warisan leluhur Sunda, khususnya leluhur Sunda Cigugur. Karena
pemaknaan yang sama terhadap upacara Seren Tahun itulah, maka warga
masyarakat Sunda Cigugur merasa sadar untuk menjaga dan
mempertahankan adat Sunda. Upacara ini makin dikembangkan akhir-akhir
ini, dengan dibimbing nilai budaya bahwa ”nu penting sapangartian
sanajan teu sapangakuan”. Artinya ”yang penting satu pengertian meskipun
berbeda pengakuan”. Prinsip ini secara lebih luas menggambarkan apa yang
diyakini dan dipraktikan dalam masyarakat Madrais adalah bahwa keluarga
dalam masyarakat Madrais memberi kebebasan kepada anggota
keluarganya untuk menganut agama yang berbeda. Keyakinan ini muncul
tentu saja dari berbagai faktor, diantaranya faktor sosial, politik, ekonomi,
budaya dan pandangan hidup Kyai Madrais. Karena itu konsep-konsep
78Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 71.
70
terkait keluarga dan kebebasan beragama juga dapat dilihat dari bagaimana
masyarakat madrais memaknai dan menjalankan kehidupannya.
2. Ajaran atau prinsip sapangartosan (satu pengertian) meskipun tidak
sapangangkenan (satu pengakuan kepercayaan/agama); dan meskipun
sewang-sewangan (masing-masing dalam kepercayaan, namun tidak
ewang-ewangan (terpecah-pecah; apriori) dalam hidup bermasyarakat dan
berbudaya. Prinsip ini pada dasarnya begitu pelural mengajarkan
masyarakat atau setiap individu untuk bisa saling menghargai, memahami
dalam perbedaaan. Terutama perbedaan akan keyakinan. Prinsip ini pada
dasarnya begitu indah jika setiap orang memahami dan menjalankannya.
Keberbedaan bagi Masyarakat Madrais tidaklah menajadi persoalan
yang dibesar-besarkan. Tidak sepengakuan maksudnya dalam tata cara
berbeda, ibadahnya berbeda, maupun dalam penyebutan itu tidak menjadi
persoalan. Karena masyarakat madrais itu sapangartian, mereka mengert i
kemahabesaraan Tuhan. Tuhan itu menciptakan resonansi suara di atmosfer
secara berbeda. Para ahli bahasa menyebutnya sebagai Onomatope, atau
tiruan bunyi. Setiap bahasa di dunia ini memiliki tiruan bunyi yang sifatnya
konvensional, atau adanya kesepakan antarpemakai sebuah bahasa. Dalam
leksikografi bahasa Indonesia, kita mengenal ada kata-kata seperti
kukuruyuk. Bagi orang Jawa atau orang Jakarta, kata untuk menirukan
bunyi ayam itu sepakat dengan kata kukuruyuuk. Sementara bagi orang
Sunda, bunyi ayam tersebut sepakat disebut sebagai kongkorongok. Seperti
itulah sejatinya perbedaan mewujud.
71
Kerukunan dan kebebasan beraga dalam Masyarakat Madrais selama
ini memang tidak hanya sekadar teori, namun telah dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya saja, pernah suatu ketika seorang
pastor dari paroki sakit akibat kecelakaan tunggal di Tol Cipali. Tanpa
berpikir panjang, Gumirat Barna Alam segera menjenguknya sekaligus juga
mengucapkan selamat ulang tahun, lantaran waktu itu berbarengan dengan
ulang tahun sang pastor. Sama sekali tidak ada sekat perbedaan yang harus
dibesar-besarkan. Hubungan baik terjaga, Sang Pastor juga meresa bahagia
karena diberi selamat atas hari ulang tahunnya. Dari perbedaan bunyi untuk
menirukan sesuatu tersebut, kita dapat memahami tentang hakikat Allah itu
menciptakan kehidupan yang plural.
Sama dengan cara pandang para penghayat adat dalam menghaya ti
jasad, jasad yang diciptakan Tuhan itu bersifat plural. Tidak hanya satu
unsur dalam jasad, melainkan multi unsur. Bagaimana fungsi otak tengah,
otak kiri dan fungsi otak kanan. Kelenjar hipopesa, sel-sel butir darah
merah, bagaimana fungsi empedu; itu keharmonisan hidup manusia
bercermin pada wujudnya. Begitupun soal wujud manusia yang juga plural,
dalam cara pandang atau human life-nya bahasanya memandang kehidupan
keanekaragaman hayati itu sama dengan kita bercermin ke dalam diri.
Seperti dikatakan sebelumnya bila jasad insan saja yang bersemayam
dalam diri memiliki beragam unsur, yang menandakan kebhinekaan.
Kebhinekaan dan kemahabesaran Tuhan bisa dirasakan dalam perwujudan
jasad dan alam raya yang diciptakan Tuhan. Itulah hakikat yang diyakini
72
manusia Sunda. Bahwa agama apa pun tetaplah satu nafas. Tuhan
menciptakan satu nafas kehidupan, tapi menyatu, Suka tidak suka, nafas
yang terhirup itu terdiri dari nafas-nafas makhluk lainnya. Dan soal nafas
tidak bisa menghindari keterkaitan dengan nafas makhluk lainnya. Dalam
istilah orang-orang Sunda, “Uteuk tongo walang taga ronggogodongan pucuk
daun kembang buah beuti pun”itu masih satu nafas. Nafas yang dikeluarkan
daun-daun pun terhirup oleh kita. Disinilah terletak kemahatunggalan Sang
Khalik, terkandung pada nafas-nafas dalam agama-agama yang diciptakan oleh
Allah Swt.79 Perbedaan agama dalam keluarga bagi masyarakat Madrais
tidaklah menjadi persoalan, karena mereka memilik i falsafah hidup meski tak
sekeyakinan tapi harus sepengertian, itu prinsip hidup. Tidak sepengakuan
maksudnya dalam tata cara berbeda, ibadah berbeda, maupun dalam
penyebutannya itu tidak menjadi persoalan. Karena masyarakat Madrais
sepengertian, mengerti akan kemahabesaran.
3. Acara Seren Taunan
Pada hakikatnya, upacara adat Seren Taun yang dilaksanakan
masyarakat Madrais ini selain wujud budaya spiritual masyarakat Sunda
khususnya dalam bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga
sebagai “panggeuing” atau wujud spiritual penggugah” kesadaran bagi
setiap manusia yang harus saling “asih, asah, asuh” dengan sesama manusia
79Wawancara Penulis dengan Gumirat Barna Alam, 29 November 2016.
73
dan semua makhluk dan ciptaan Tuhan. Selain itu juga untuk membangun
kesadaran sebagai suatu bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Bila melihat pada pemaknaan nama Gedung Paseban Tri Panca Tungga l
bahwa makna penamaan gedung itu hakekat tak ubahnya seperti diri pribadi
manusia sendiri. Paseban sebagai tempat “nyebakeun” atau “penyerahan”
atau “penyerahan” artinya seperti halnya kita sebagai manusia harus
senantiasa berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tri Panca Tungga l
merupakan filosofi bahwa dalam diri manusia mengandung tiga (Tri) unsur
sipirtual berupa sir, rasa, dan pikir. Sir adalah awal mula getaran kehidupan
yang menggerakan berbagai hal dalam diri manusia. Rasa adalah bentukan
getaran sir sebagai tempat berbagai macam keinginan. Pikir adalah bentukan
getaran sir yang menimbulkan berbagai upaya yang akan dilakukan.
Panca sebagai pemaknaan bahwa adanya berbagai dorongan dari ketiga
unsur tadi diimplementasikan dakam berbagai panca inderawi yang ada
dalam diri manusia. Tunggal memiliki makna bahwa segala daya upaya
gerak dan perilaku manusia dalam kehidupannya semata-mata dilandaskan
pada kesadaran diri dalam ketunggalan bersama Tuhan Yang maha Esa.
Sehingga pelaksanaan upacara adat Seren Taun yang selalu dilaksanakan di
wilayah Paseban Tri Panca Tunggal itu diorientasikan agar setiap pelaku
kegiatan upacara berupaya untuk mencapai kesempurnaan selayaknya
sebagai manusia yang berkepribadian manusia.
Walaupun masyarakat Cigugur berbeda-beda dalam keyakinan, namun
mereka memiliki pemahaman sama terhadap upacara adat Seren Taun
74
sebagai tradisi warisan leluhur Sunda, khususnya leluhur Sunda Cigugur.
Karena pemaknaan yang sama terhadap upacara Seren Taun itulah, maka
warga masyarakat Sunda Cigugur merasa sadar untuk menjaga
mempertahankan Adat Sunda.
Upacara ini menekankan arti penting “sapangartian sanajan teu
sapangakuan”. Artinya, yang penting satu pengertian meskipun berbeda
pengakuan. Prinsip ini selalu dijunjung bersama sehingga terjadi
komunikasi yang efektif antar peserta upacara yang berbeda keyakinan.80
Dengan prinsip itupula, masyarakat Madrais di Cigugur sangat
menghargai pilihan-pilihan bebas individu maupun kelompok keyakinan di
dalam memaknai upacara adat maupun dalam memaknai keyakinan dan
agamanya. Mereka bebas memaknai dan saling mengkomunikas ikan
pemaknaan dengan kelompok lain. Pada gilirannya, masing-mas ing
individu memiliki kebebasan dalam memaknai pemaknaan, upacara,
keyakinan, maupun agamanya masing-masing.
Sebagai wujud dari kebebasan memilih keyakinan yang diberikan
keluarga kepada anak-anaknya, masyarakat Madrais sejak dini, dan bahkan
sejak dalam buaian sebetulnya telah mengajarkan arti penting kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Sejak dalam buaian, sang ibu mengajarkan
untuk menahan diri memakan makanan yang bernyawa, ini dimaksudkan
agar kelak si jabang bayi dapat mengurangi sifat kebinatangannya. Begitu
80http://www.satuharapan.com/read-detail/read/memaknai-seren-taun-rayagung-akur-sunda
diakses pada 21 April 2017.
75
juga mereka telah sejak dini mengajarkan bagaimana sejatinya saling
mengasihi, meski dalam perbedaan. Salah satu pengajaran kepada anak misalnya,
“anaking hidep sing nyaah ka sasama.” Nasihat ini disamaikan sang ibu ketika
menyusiu anaknya. “Sami tunggal ummat gusti, karena bundanya memberikan aliran
positif, maka ke air susu pun mengalir ke dalam si putra energi positif.
Sampai akhirnya, sang anak menginjak usia 7 tahun, barulah kemudian mereka
diberikan kebebasan untuk memilih keyakinannya masing-masing. Begitulah
seterusnya institusi keluarga mengalirkan energi positif dan pemahanan tentang
kebebasan beragama kepada anggota keluarganya.
Potret nyata bagaimana kemudian keluarga dalam Masyarakat Madrais
menanamkan arti penting kebebasan beragama adalah dalam keluarga Pangeran
Djatikusuma sendiri, dimana anak pertama adalah seorang pendeta Kristen Protestan di
Cirebon, lalu anak kedua beragama Katolik dan tinggal Jakarta, sementara anak ketiga
merupakan seorang muslim (almarhum), dan yang keempat adalah Gumirat Barna
Alam sendiri yang merupakan penganut sunda wiwitan.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, bila melihat UU No. 10 tahun 1992, maka salah satu fungs i
keluarga adalah membina norma/ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup
seluruh anggota keluarga. Keluarga juga dimaksudkan agar dapat
menerjemahkan ajaran dan norma agama ke dalam tingkah laku sehari-hari bagi
seluruh anggota keluarga. Pada akhirnya, keluarga juga harus memberi contoh
konkret dalam kehidupan sehari-hari dalam pengalaman ajaran agama. Dan yang
terpenting dan terkait bahasan penulis dalam studi ini, keluarga juga hendaknya
membina rasa, sikap dan praktik kehidupan beragama. Ini dimaksudkan agar
anggota keluarga terutama anak dapat menimbang rasa dan sikap untuk
menghormati kebebasan beragama. Dari beberapa contoh kasus keluarga di
Cigugur, maka dapat disimpulkan bahwa konsep keluarga, ajaran dan praktik
upacara adat dalam masyarakat Madrais telah mendukung terciptanya kebebasan
beragama. Norma adat maupun agama telah melandasi perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejak dini. Keluarga sejak dini juga
telah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lainnya untuk
hidup dan beragama secara lebih toleran dan memaksakan kepada agama
tertentu.
Kedua, dengan berpegang pada ajaran Madrais, masyarakat Cigugur atau
yang menghayati ajaran Madrais dapat merasakan rasa persaudaraan dan
77
kekerabatan yang begitu kuat serta sikap toleran yang tinggi terhadap kenyataan
perbedaan kepercayaan. Rasa persaudaraan dan kekerabatan ini terasa begitu
kuat sehingga dapat melampau ikatan persaudaraan lainnya. Kekerabatan dalam
masyarakat Cigugur sangat luas, selama ada hubungan ikatan perkawinan dan
ikatan darah baik dari pihak ayah maupun ibu mereka adalah “sadulur”,
“baraya”, atau “wargi”, yang ada dalam kesatuan keluarga besar dari nenek
moyang yang sama. Hal ini terbukti dengan tidak ada masalah besar yang
menyangkut SARA di daerah ini. Bukan merupakan hal yang aneh bila dalam
satu keluarga terdapat beberapa kepercayaan. Hal ini dapat dicontohkan pada
keluarga besar Paseban yang bermacam-macam penganut, serta demikian pula
pada keluarga inti pemimpin penghayat, putera-puteranya ada yang menganut
penghayat Islam, Katolik, Bethel. Mereka memegang prinsip sapangartosan
(satu pengertian) meskipun tidak sepangangkenan (satu pengakuan
kepercayaan/agama); dan meskipun sewang-sewangan (masing-masing) dalam
kepercayaan, tetapi tidak ewang-ewangan (terpecah-pecah; apriori) dalam hidup
bermasyarakat dan berbudaya.
Ketiga, hasil pengkajian adat (budaya) dan kepercayaan masyarakat
Cigugur bertahun-tahun sejak masa madrais sampai sekarang bisa dianggap
sebagai usaha pencarian jati diri, dan sekarang secara jelas terakumulasi dalam
aktualisasi upacara tahunan seren taun. Sekarang kegiatan mereka tampak
berjalan lancar. Namun dalam kehidupan praktis yang menyangkut masa
depannya, bukan tanpa permasalahan. Bagi mereka yang hingga kini menjadi
permasalahan adalah jalan keluarnya dari perkawinan. Mereka selalu mengeluh
78
karena kantor catatan sipil tidak pernah bisa mencatat perkawinan mereka,
dengan alasan mereka tidak menganut agama resmi seperti diatur pemerintah.
Meski hal ini telah sering diperjuangkan mereka, namun hal ini tetap tidak
membuahkan hasil.Warga penghayat tetap kukuh tidak bisa dibohongi,
meskipun misalnya dengan cara hanya sebagai syarat saja untuk dituliskan nama
salah satu agama resmi di KTP. Selama ini kolom agama di KTP mereka diisi
dengan “jero kurung setrip” (dalam kurung tanda setrip, yaitu [-])artinya mereka
tidak menganut salah satu agama resmi versi pemerintah.
B. Saran
Melihat toleransi dan kerukunan beragama yang tercipta dalam masyarakat
Cigugur, maka penting kiranya untuk menjadikan masyarakat Cigugur sebagai
miniature pluralisme. Dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih
agama sesuai denga keyakinan dan pengalaman batinnya masing-mas ing.
Bahkan sejak dini, anak dan anggota keluarga lainnya telah diberikan
pemahaman tentang arti penting kebebasan beragama.
Masyarakat adat Cigugur sebagai warga negara yang memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya dalam hal ini tidak
mendapatkan haknya. Padahal selama ini mereka telah menjalankan amanah UU
dan Pancasila untuk senantiasa menjaga kerukunan dan menghormati kebebasan
beragama. Masyarakat manapun seharusnya mendapatkan hak dan kewajiban
yang sama, tetapi mereka tidak mendapatkannya. Perkawinan mereka yang tidak
menggunakan tata cara lima agama resmi itu tidak dicatat oleh pemerintah, baik
79
KUA mapun kantor Catatan Sipil. Adanya surat keterangan yang dikelurkan
oleh dua lembaga itu sangat penting, sebab hal ini tidak hanya akan menyangkut
masa karier seseorang, tetapi menyangkut pula masa depan anak-anaknya.
Penting kiranya agar pemerintah memberikan solusi agar perkawinan yang
dilakukan dalam masyarakat Cigugur dapat dicatatkan secara resmi dan tidak
dibedakan dengan penganut kepercayaan lainnya.
Kiranya masyarakat sekitar dan masyarakat Indonesia secara lebih luas
dapat terus belajar dari apa yang dipraktikan masyarakat Cigugur di Kabupaten
Kuningan, tentang arti penting menjaga kerukunan dan kebebasan beragama
baik dalam keluarga, maupun institusi sosial lainnya yang lebih tinggi.
Ke depan, penting untuk mencarikan solusi untuk menyelesaikan persoalan
yang selama ini dialami masyarakat Madrais di Desa Cigugur, ataupun tempat-
tempat lainnya, agar masa depan anak cucu mereka juga secerah anak-anak
lainnya di Tanah Air. Toleransi dan kerukunan yang mereka bangun, terlepas
dari tendensi apa pun yang mendasarinya, layak mendapat apresiasi setinggi-
tingginya. Terutama dalam kondisi masyarakat kita saat ini, dimana sekat
perbedaan kian berhadap-hadapan.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Anderson, Benedict. In the Spectre of Comparisons; Nationalism, Southeast Asia
and the World, New York: Verso, 1998.
Arifin, Zaenal. Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta: Grasindo, 2008.
Azra, Azyumardi. Dari Harvard Hingga Makkah. Jakarta: Penerbit Republika,
2005.
Browden, Vicky R. CHILDREN AND THEIR FAMILIES: The Continuum of Care,
China: Wolter Klower Health, 2010.
Budiman, Arif. Kebebasan Negara Pembangunan, Jakarta: Alvabet, 2006.
Christoper, Simon. Moral Sosial Aktual dalam Presfektif Iman keristen, Kanisius
Yogyakarta: 2000.
Darmawijaya, St. Mengarungi Hidup Berkeluarga, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1994.
Effendy, Drs. Nasrul. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998.
Ekadjati, Edi S. KEBUDAYAAN SUNDA: Suatu Pendekatan Sejarah, Bandung:
Pustaka Jaya, 2014.
Eminyan, Sj, Maurice. Teologi keluarga, Kanisius. Yogyakarta: 2001.
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001.
Gilarso, SJ, Drs. T. (editor). MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI; Pembinaan
Persiapan Berkeluarga, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
Gumilang, Nana. SEREN TAUN: Pesona Budaya dan Refleksi Rohani Masyarakat
Cigugur. Bogor: LPKN, 2013.
81
Hadiwardoyo MSF, Purwa. Perkawinan dalam Tradisi Katolik , Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1998.
Ihromi, T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor, 1999.
Keluarga Sukinah dalam Agama Hindu, Surabaya: Penerbit Paramita, 2003.
Kitab Sarasamuccaya 242 .
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta, Djambatan,
2007.
Kusnadi, Ed. PIKUKUH TILU: Ajaran Karuhun Urang. Bogor, LPKN, hal. 76
Lestari, Sri. PSIKOLOGI KELUARGA: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga, Jakarta: Prenada Media Group. 2010.
Madjid, Nurcholish. “Kemungkinan Menggunakan Bahan-bahan Modern untuk
Memahami
Maria, Siti dkk. Sistem Keyakinan pada Masyarakat Kampung Naga dalam
Mengelola Lingkungan Hidup. Jakarta: Depdikbud RI, 1995.
Mubarak, Ahmad. Psikologi Keluarga, Jakarta: PT Wahana Aksara Prima, 2009.
Mulia, Siti Musdah. Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut
70 Tahun Djohan Effendi, Jakarta: Kompas 2009.
Murni, Ratna Batara. DEMOKRASI KEINTIMAN: Seksualitas di Era Global,
Yogyakarta: LKIS, 2005.
Soekanto, S.H., Soerjono. SOSIOLOGI KELUARGA; Tentang Ikhwal Keluarga,
Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta. 2006
Sudarminta, J. Epistemologi dasar, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002.
Suleeman, Evelyn. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor,
1999.
82
Sunarti, Euis. MENGASUH DENGAN HATI: Tantangan yang Menyenangkan,
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004.
Suprajitno, Asuhan Keperawatan Keluarga, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2003.
Suryadi, A. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problem. Jakarta: Penerbit Alumni,
1985.
Suryaman, Ukun. Tempat Pemakaian Istilah Klasifikasi Kekerabatan pada Orang
Jawa dan Sunda dalam Susunan Masyarakat, Bandung: Penerbit Universita s.
Susana ,Ahyat, dkk. (editor), Cigugur Miniatur Pluralisme. Bogor: LPKN, 2013.
Susanto, Budi, (Editor). Sisi Senyap Politik Bising. Jakarta: Penerbit Kanisius,
2007.
Tahzib-Lie (ed.), Bahia. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.
Vam Gennep,------- 1975.
Van Hear, Nicholas. New Diasporas: The Mass Exodus, dispersal, and regrouping
of migrant communities, London: ULC Press, 1998.
Nuhrison M Nuh, Paham Madrais/Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur
Kuningan: Studi tentang Ajaran dan Pelayanan Hak-Hak Sipil, Jurnal
Harmoni Volume x, Nomor 3, Juli-September 2011.
Muhammad Ali, ”Mengapa Membumikan Paham Kemajemukan dan Kebebasan
Beragama di Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Publik yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universita s
Paramadina, tgl 19 Juli 2006 di Jakarta.
Arbi Mulya Sirait dkk. Dalam “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di
Indonesia”, dalam Jurnal Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 1, Juni 2015.