1
KETENTUAN HUKUM SEBAGAI ACUAN DALAM
PELAKSANAAN PRAKTIK PERAWAT
LEGAL PROVISION AS A REFERENCE IN THE
IMPLEMENTATION OF NURSE PRACTICE
DONALD NARANTI LARENGGAM
NIM : P0907211728
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
2
KETENTUAN HUKUM SEBAGAI ACUAN DALAM
PELAKSANAAN PRAKTIK PERAWAT
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Hukum Kesehatan
Disusun dan diajukan oleh :
DONALD NARANTI LARENGGAM
Kepada
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
3
ABSTRAK
DONALD NARANTI LARENGGAM. Ketentuan Hukum Sebagai Acuan Dalam
Pelaksanaan Praktik Perawat (dibimbing oleh : Achmad Ruslan dan Harustiati
A Moein).
Penelitian ini bertujuan : (1) Mengetahui Sejauh mana Ketentuan Hukum
sebagai acuan dalam Pelaksanaan praktik perawat di Kabupaten Kepulauan
Talaud, (2) Mengetahui Penerapan Sanksi Administrasi dalam pelaksanaan
praktik perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud. (3) Mengetahui Substansi
hukum, Sosialisasi, Penegak hukum, Fasilitas dan warga masyarakat
menghambat ketentuan hukum sebagai acuan dalam Pelaksanaan praktik
perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud.
Untuk mencapai tujuan penelitian, Penelitian ini dilakukan di Kabupaten
Kepulauan Talaud dengan sampel perawat 68 orang yang diambil secara
acak sederhana (Simple Random Sampling). Metode Penelitian yang
digunakan adalah Normatif Empiris (sosiolegal) terhadap ketentuan hukum
sebagai acuan dalam pelaksanaan praktik perawat.
Hasil penelitian menunjukkan Ketentuan Hukum sebagai acuan dalam
pelaksanaan praktik perawat pengaturannya telah ada, baik dari segi
perizinan maupun kewenangannya, tetapi belum sepenuhnya menjadi acuan
yang baik bagi perawat dalam menjalankan tugas/praktiknya terutama di
daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan seperti di Kabupaten Kepulauan
Talaud yang terbatas dalam hal sumber daya manusia kesehatan,
transportasi, fasilitas dan ekonomi masyarakat. Penerapan sanksi
administrasi dalam pelaksanaan praktik perawat yang tidak sesuai ketentuan
hukum di Kabupaten Kepulauan Talaud, belum dilaksanakan secara tegas
oleh penegak hukum administrasi (pimpinan), hal itu terlihat dari tindakan
sanksi yang diberikan kepada perawat yang melanggar ketentuan hukum
praktik perawat belum maksimal. Pelaksanaan ketentuan hukum sebagai
acuan dalam pelaksanaan praktik perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud
belum sepenuhnya terlaksana dengan baik, karena terdapat faktor yang
menghambatnya, seperti : Substansi Hukum yang belum jelas dan sesuai
kondisi khusus di daerah DTPK, sosialisasi belum maksimal, penegak hukum
belum tegas, fasilitas belum memadai, keadaan masyarakat yang kurang
mendukung.
4
ABSTRACT
DONALD NARANTI LARENGGAM. Legal Provision as a Reference in the
Implementation of Nurse Practice (Supervised by: Achmad Ruslan and
Harustiati A. Moein).
The study aims to find out : (1) to what extent legal provision has
been used as a reference in the implementation of nurse practice in Talaud
Island district; (2) the application of administration sanction in the
implementation; and (3) whether legal substance, socialization, legal officers,
and citizens become obstacles in the implementation.
The research was conducted in Talaud Island district with 68 nurces
as samples. They were selected by using the simple random sampling. The
method used was the normative empirical (sociolegal) method.
The results reveal that there has been an arrangement of the use
legal provision as a reference in the implementation of nurse practice. both in
terms of licensing as well as authority. However, it has not been a good
reference for nurses in carrying out their tasks/practice especially in
underdeveloped regions, border areas, and island regions where there are
limitations in terms of health human resource, transportation, facilities, and
economy. Furthermore, administrative sanctions have not been firmly applied
by the leaders in the implementation of nurse practice. Several factors
become the obstacles in the implementation. The legal substance is not clear,
and it is not appropriately adjusted to yhe special conditions of
underdeveloped regions, border areas, and island regions. The socialitation is
not maximum, the legal officers are not firm, facilities are not adequate, and
the condition of community is not really supportive.
Keywords : legal provision, reference, nurses
5
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA ....................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................ vii
ABSTRAC ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................. 11
C. Tujuan Penelitian .................................................... 11
D. Kegunaan Penelitian ............................................... 12
E. Keaslian Penelitian ................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUTAKA
A. Hukum dan Perundang-Undangan ......................... 15
B. Pelayanan Kesehatan dan Rujukan ....................... 25
C. Keperawatan ...................... .................................... 31
D. Izin dan Kewenangan ............................................. 40
E. Kesadaran, Ketaatan, Efektivitas Hukum Dan Penegakan Sanksi Administrasi ……………………
45
F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum …………………………………………………
51
G. Malpraktik Perawat ................................................. 53
H. Kerangka Berpikir ................................................... 56
I. Definisi Operasional ................................................ 59
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ....................................................... 62
B. Lokasi dan Jenis Data Penelitian ............................ 62
C. Populasi dan Sampel .............................................. 63
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................... 64
E. Analisis Data ........................................................... 64
6
BAB IV HASIL DAN PEMBAHAAN
A. Ketentuan Hukum Sebagai Acuan Dalam Praktik
Perawat ...................................................................
65
1. Pengaturan Hukum Perizinan Praktik Perawat .. 71
2. Pengaturan Hukum Kewenangan Praktik
Perawat ..............................................................
82
B. Penerapan Sanksi Administrasi .............................. 114
1. Teguran Lisan .................................................... 117
2. Teguran Tertulis ................................................. 118
3. Pencabutan Izin Sementara atau Tetap ............ 120
C. Faktor-Faktor yang Menghambat Ketentuan
Hukum Sebagai Acuan Dalam Praktik Perawat ....
126
1. Substansi ........................................................... 127
2. Sosialisasi .......................................................... 132
3. Penegak Hukum ................................................ 134
4. Fasilitas .............................................................. 138
5. Masyarakat ........................................................ 139
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................. 142
B. Saran ...................................................................... 143
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 145
LAMPIRAN
7
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Karakteristik Responden Perawat Berdasarkan Tingkat
Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013 …...
68
2. Karakteristik Responden (Perawat) Menurut Tempat Kerja di
Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013 ……………….......
69
3. Penjatuhan sanksi kepada perawat oleh pimpinan di
Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013……………………
118
4. Penanganan laporan kesalahan praktik perawat oleh
pimpinan di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013………
121
5. Sosialisasi Ketentuan Hukum Praktik Perawat di Kabupaten
Kepulauan Talaud Than 2013 ……………………………….......
133
6. Pengawasan Pimpinan Terhadap Praktik Perawat di
Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013……………………
135
7. Keadaan Fasilitas Pendukung Pelaksanaan Praktik Perawat
di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013 …………………
138
8. Alasan Pasien/keluarga pasien (masyarakat) tidak mau
dirujuk oleh perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun
2013………………………………………………………………....
140
8
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Standart Kompetensi Perawat Indonesia Menurut PPNI
Tahun 2005 ………………………………………………………...
151
2. Surat Rekomendasi Penelitian Dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Kepulauan Talaud …………………………………..
153
3. Surat Keterangan Telah Selesai Melaksanakan Penelitian
Dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulaun Talaud…
154
9
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Donald Naranti Larenggam
Nomor Mahasiswa : P0907211728
Program Studi : S2 Hukum Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 2013
Yang Menyatakan
Donald Naranti Larenggam
10
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena berkat dan bimbingan-Nya, maka Tesis ini dapat diselesaikan.
Penulis. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
memperoleh gelar Magister di bidang Ilmu Hukum pada Program Studi
Hukum Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis
sadari tesis ini belum sempurna, karena itu saran dan masukkan dari
berbagai pihak sangat diharapkan, demi kesempurnaan tesis ini.
Selama dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak
mendapat bimbingan, arahan dan bantuan dari semua pihak. Untuk itu,
penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H.,M.H, Selaku Pembimbing I dan Dr.
Harustiati A. Moein, S.H.,M.H. sebagai Pembimbing II yang banyak
membimbing, memberi petunjuk, arahan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini.
2. Prof. Dr. dr. Abdul Kadir, Ph.D.,Sp.THT, KL (K), MARS, dan Prof. Dr. Abdul
Razak, S.H, M.H., serta Dr. Hamzah Halim, S.H, M.H., masing-masing
sebagai komisi penguji, telah banyak memberikan masukkan, petunjuk dan
saran untuk kesempurnaan tesis ini.
3. Prof. Dr. dr. Idrus Patrusi, Sp.PJK, selaku Rektor Universitas Hasanuddin
bersama Pembantu dekan dan staf telah memberikan kesempatan bagi
penulis untuk mengikuti pendidikan di Unhas Makassar
11
4. Prof. Dr. Ir. Mursalim, selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin bersama staf, yang telah memberikan kesempatan penulis
untuk mengikuti pendidikan di S2 ini.
5. Prof. Dr. Aswanto, S.H, M.Si, DFM, selaku Dekan bersama Pembantu
Dekan dan Prof. Dr. Marthen Arie, S.H.,M.H. selaku ketua Program
Magister hukum bersama seluruh staf pengajar/dosen dan pegawai di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu,
dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menempuh pendidikan S2 hukum Unhas Makassar.
Pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada :
1. Menteri Kesehatan RI. dan Wakil Menteri bersama Dirjen dan Kepala
BPPSDMK, serta staf kementerian kesehatan RI. yang telah membantu
dalam penyediaan dana tugas belajar penulis selama menempuh
pendidikan di fakultas hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara bersama staf yang telah
membantu penulis untuk tugas belajar di fakultas hukum Unhas Makassar.
3. Bupati Kepulauan Talaud dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Kepulauan Talaud, serta staf yang telah memberikan kesempatan bagi
penulis untuk tugas belajar di S2 Hukum Unhas Makassar.
4. Orang Tua penulis yang telah mendoakan, memotivasi dan membantu
penulis dalam mencapai keberhasilan selama pendidikan ini. Demikian
pula, kakak-kakak dan adik-adik, serta saudara-saudaraku yang telah
mendukung penulis selama melanjutkan studi S2 Hukum Unhas ini.
12
5. Secara khusus ucapan terima kasih dan sambil mempersembahkan Tesis
ini kepada istri tercinta dan kukasihi : Sopiah Melda Amelia Awaeh dan
Anak-anak tersayang dan kukasihi : Athalia Larenggam, Bill Awaeh
Larenggam dan Gil Maholeh Larenggam yang penuh kesabaran,
pengharapan dan kesetiaan berdoa dan menopang penulis selama
mengikuti pendidikan di S2 hukum kesehatan Unhas.
6. Teman-teman kelas Hukum Kesehatan (Reguler dan Non Reguler) dan
Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu – persatu yang telah
membantu penulis baik materil maupun moril, selama penulis menempuh
pendidikan di S2 Unhas.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan llmu pengetahuan
hukum khususnya hukum kesehatan bidang keperawatan demi pelayanan
kesehatan masyarakat yang lebih baik. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa
senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingannya kepada kita semua!.
Makassar, 2013
Penulis
Donald Naranti Larenggam
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan asas legalitas sebagai salah satu unsur Negara formal,
fungsi undang-undang sangatlah penting dan strategis serta sangat
menonjol. Asas legalitas merupakan prinsip utama dalam setiap negara
hukum, hal ini mempunyai arti bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan
dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang. Undang-Undang menjadi jantung segala aktivitas
pemerintah, sebab tanpa undang-undang pemerintah tidak boleh melakukan
suatu perbuatan (tindakan). Dasar keabsahan segenap tindakan pemerintah
adalah undang-undang sesuai dengan asas legalitas. Memang tujuan asas
legalitas adalah untuk menciptakan kepastian hukum supaya penguasa tidak
bertindak sewenang-wenang1
Seperti diketahui hukum merupakan salah satu norma sosial yang
ditujukan untuk mempertahankan ketertiban dalam hidup bermasyarakat.
Dengan demikian hukum harus secara seimbang melindungi kepentingan-
kepentingan yang ada ditengah masyarakat. Bagi para pembuat peraturan
perundang-undangan hukum yang mereka buat haruslah memperhatikan
1
Sibuea H.P, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Jakarta : Penerbit Erlangga.
14
kepentingan-kepentingan yang ada dan dapat bekerja serta berfungsi sesuai
dengan apa yang diharapkan2
Terkait dengan pengaturan kepentingan masyarakat diatas,
menurut3, Fungsi Hukum diantaranya adalah sebagai a tool of social control
dan a tool of social engenering. Fungsi hukum sebagai a tool of sosial control
dimaksudkan untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap
merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan apa sanksi atau
tindakan yang dilakukan oleh hukum, jika terjadi penyimpangan, sedangkan
fungsi hukum sebagai a tool of social engneering adalah fungsi hukum
sebagai alat pengubah masyarakat. Apabila fungsi hukum dapat berjalan
dengan baik, maka niscaya tujuan hukum pun dapat terwujud. Dalam
perkembangannya, tujuan hukum dalam masyarakat mengalami kemajuan.
diantaranya adalah sebagai ketertiban. Sebagai alat pengatur tata tertib
hubungan masyarakat hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk
kehidupan4 . Hal itu berarti, bahwa hukum dapat menjadi acuan/pedoman
dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam bidang kesehatan.
Sinkron dengan hal tersebut, Sebagai wujud pengaturan hukum
dalam bidang kesehatan adalah dibentuknya berbagai peraturan dan
perundang-undangan di bidang kesehatan. Aturan hukum tersebut,
diantaranya adalah sebagai pengaturan tentang pelaksanaan tugas dan
kewenangan tenaga kesehatan. Peraturan dan perundang-undangan
2 Soewondo S.S., 2006, Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan Indonesia : Suatu Tinjauan
Yuridis, Makasasar : PUKAP-Indonesia.
3 Ali A, 2002 (a), Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis) Jakarta : PT
Toko Gunung Agung Tbk.
4 Asikin Z, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
15
tersebut dibuat dalam rangka menjamin kualitas pelayanan dan melindungi
tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya, sehingga dapat
dicapai suatu rasa keadilan masyarakat, kepastian hukum dan kemanfaatan
bagi seluruh rakyatnya.
Ketentuan hukum tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan
tenaga kesehatan tersebut adalah dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan pada pasal 23 ayat (1) secara tegas telah
menyatakan bahwa : “Tenaga Kesehatan berwenang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan”.5 Tenaga kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI. Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 2
ayat (1-8) adalah terdiri atas : Tenaga medis meliputi; dokter dan dokter gigi,
Tenaga keperawatan, meliputi; perawat dan bidan, Tenaga farmasi meliputi ;
apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker, Tenaga gizi meliputi; Nutrision
dan dietisien,serta lainnya. 6
Perawat sebagai salah satu tenaga keperawatan hampir terdapat
pada semua sarana kesehatan yang ada, baik di kota atau di pedesaan
sekalipun. Hal tersebut, dipertegas oleh pernyataan Direktur Jenderal Bina
Upaya Kesehatan Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia pada temu
media di Jakarta tanggal 6 mei 2011 yang mengatakan bahwa perawat di
Indonesia jumlahnya paling banyak bila dibandingkan dengan tenaga
5 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
6 Peraturan Pemerintah RI. Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
16
kesehatan lainnya, sehingga perannya menjadi penentu dalam meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan baik di Puskesmas, maupun di Rumah Sakit.7
Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan
dan lindungan hukum yang jelas. Perawat harus mengetahui berbagai
konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan, karena tehadap
putusan dan tindakan professional yang dilakukan perawat memiliki
akuntabilitas terhadap putusan dan tindakan professional yang dilakukan8.
Pelaksanaan tugas dan kewenangan perawat mulai diatur dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu : pasal 23 ayat (3),
dikatakan : “Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat
wajib memiliki izin dari Pemerintah. 9 Selanjutnya secara khusus tenaga
perawat dalam melaksanakan tugasnya diatur dengan Peraturan Menteri
Kesehatan RI. Nomor : HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Dalam Permenkes tersebut dikatakan bahwa perawat dalam
melaksanakan praktik harus memiliki Surat Tanda Registrasi dan memiliki
Surat Izin Praktik Perawat (kecuali yang bertugas di Institusi Pemerintah).10
Untuk ketentuan tentang registrasi sebagaimana dalam Permenkes Nomor :
1796 tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, pasal 2 ayat (1),
7Kementerian Kesehatan RI. BPPSDMK, 2011. Perawat Mendominasi Tenaga Kesehatan
(One Line), (http://www.bppsdmk.depkes.go.id/index.php?
8 Mindyarini, 2011, Standart Profesional Dalam Praktik Keperawatan, FIK-UI, Artikel.
Available : http//regional.kompasiana.com/2011/05/12/
9UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. op.cit. hlm 155
10Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : HK.02.02/Menkes/148 /I/2010
tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
17
menyatakan “Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan
pekerjaannya wajib memiliki STR”. 11
Pelaksanaan praktik perawat juga ditegaskan pada permenkes No.
HK.02.02/Menkes/148/I/2010, yaitu : pasal 8 dan 9 yang menyatakan bahwa
perawat dalam melaksanakan praktik pelayanan kesehatan harus sesuai
dengan kewenangan yang dimilikinya, yaitu : melaksanakan asuhan
keperawatan, upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan
masyarakat, serta tindakan keperawatan komplementer. Juga perawat dapat
memberikan obat bebas dan atau obat bebas terbatas. 12
Untuk menjamin tindakan perawat di tempat dan atau daerah tanpa
tenaga kesehatan lainnya, pemerintah berdasarkan Permenkes Nomor:
HK.02.02/Menkes/148/ I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Perawat pada pasal 10 menegaskan bahwa : Dalam keadaan darurat untuk
penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat
kejadian perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangannya. Perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter dalam rangka melasanakan tugas pemerintah, dapat
melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya, dan harus
mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan untuk
dirujuk.13
11
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1796/Menkes/ PER/VIII/2011
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
12Permnkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010 loc. cit
13Permnkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010 Ibid.
18
Apabila dokter atau dokter gigi terbatas pada saat pelayanan
kesehatan, maka dapat dilakukan pelimpahan kewenangan kepada perawat.
dengan syarat sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh
perawat bersangkutan dan dilakukan dengan cara tertulis. Hal tersebut diatur
dalam Permenkes RI. Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011 tentang Izin Praktik
dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran pasal 23 ayat (1), (2), dan (3).
Aturan tentang penyelenggaraan praktik perawat yang sudah ada,
diharapkan dapat menjadi acuan atau pedoman yang baik bagi perawat
dalam pelaksanaan praktiknya. kenyataan yang terjadi, ternyata tidak
sepenuhnya sesuai dengan harapan. Disana-sini masih di dapatkan berbagai
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Perawat masih saja
melakukan kesalahan/kealpaan atau malpraktik, baik sengaja maupun tidak.
Terjadinya kesalahan/kealpaan dimaksud, sangat dipengaruhi oleh berbagai
hal yang dapat menghambat pelaksanaanya.
Realitas pelanggaran dalam pelaksanaan praktik perawat, seperti :
menurut Bangka Pos (2009), berdasarkan catatan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia Bangka Belitung dari 300 Perawat di Kota Pangkal
Pinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP. Begitu juga dalam
Tribowo, 2009 dikatakan bahwa di salah satu daerah di Jawa tengah, banyak
perawat-perawat yang membuka praktek mandiri, namun setelah ditelusuri
lebih lanjut mereka tidak memiliki SIPP.14
Berkaitan dengan program Registrasi bagi tenaga kesehatan untuk
mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR), belum ada data pasti tentang
14
Triwibowo, C. 2010. Hukum Keperawatan, Panduan Hukum dan Etika Keperawatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. hlm 62.
19
perawat yang tidak lulus uji kompetensi, karena baru dimulai pada tahun
2011. Sebagai bahan perbandingan pada tahun 2010, berdasarkan berita
dari Jakarta, Kompas pada Sabtu, 28 Agustus 2010, terdapat 27 persen
dokter tidak lulus uji kompetensi dari 27.000 dokter yang mengikuti uji
kompetensi tersebut dan perlu mengikuti ujian ulang.15 Kemungkinan hal
tersebut juga dapat dialami oleh perawat, apalagi mereka yang tidak pernah
mengikuti pendidikan dan latihan teknis fungsional keperawatan.
Penyelenggaraan praktik perawat khususnya dalam tindakan
keperawatannya, Berdasarkan Survei Depkes & WHO, 2005 : perawat di
praktek swasta : (1) melakukan diagnosa medis (92.6%); (2) tulis resep
(93.1%); (3) memberikan pengobatan (97.1%); (4) melakukan pre-natal
periksa (70.1%) dan tindakan postnatal16. Penelitian FKM UI dalam Rivai
(2008), di 2 (dua) Puskesmas kota dan desa ditemukan 92% perawat
melakukan diagnosis medis dan 93% membuat resep.17 Begitu juga dalam
Penulusuran di media on line Pada tahun 2011 terdapat 6 dugaan kasus
malpraktek perawat, tetapi sebut saja terdapat di Wawurejo Kabupaten tegal,
terdapat 5 orang meninggal dunia karena dugaan malpraktik oleh perawat.18
Berbagai faktor dapat saja berpengaruh atau menjadi hambatan
terhadap pelaksanaan hukum. Begitu juga dalam pelaksanaan aturan praktik
perawat, tentu ada isu dan kemungkinan faktor yang sama dapat
15
Kompas, 2011. 27 Persen Dokter Tidak Lulus Uji Komptensi (One Line),(http://haelth.
kompas.com/, diakses 30 Desember 2011.
16 PP PPNI, 2012, Naskah Akademik Undang-Undang Keperawatan,
ppnimks.files.wordpress.com/.../ruu-keperawatan-problematika.pdf
17 Triwibowo, C. op. cit. hlm. 60
18 Administrator, 2011. Dugaan Malpraktek, 5 Nyawa Melayang, (On Line).
(http://epaper.radartegal.com/ , diakses 16 Desember 2011).
20
menghambat pelaksanaannya. Misalnya : Untuk faktor pengaturan hukum,
rumusan dan relevansi aturan pelaksanaan praktik perawat, ada kebutuhan
tenaga keperawatan yang belum terakomodir di dalamnya. Sehingga
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) saat ini terus mendesak
Pemerintah dan DPR, untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang.
Diantara beberapa alasan PPNI, yaitu: Penyelesaian masalah
kesehatan masyarakat di pedesaan telah memerlukan intervensi medis,
tetapi kompetensi perawat yang ditempatkan di pedesaan terbatas pada
intervensi keperawatan, Tidak jelasnya pengaturan kewenangan dan metode
pelimpahan wewenang di Puskesmas, Kontroversi kewajiban Perawat
menolong Gawat Darurat (di pidana) disisi lain tidak boleh menyimpan obat,
dan lain sebagainya.19
Kemungkinan Faktor berpengaruh berikutnya adalah kurangnya
penegakan hukum dari pihak pemerintah dan organisasi profesi terhadap
para perawat yang ada. Hal ini juga terkait dengan faktor sarana atau
fasilitas. Terungkap pada dua orang responden yang bertugas di Puskesmas
Melonguane Kabupaten Kepulauan Talaud, bahwa selama ini belum pernah
ada sosialisasi, pengawasan dan atau penindakan terkait aturan praktik
keperawatan. Masyarakat, juga sangat mempengaruhi pelaksanaan praktik
perawat yang tidak sesuai dengan aturan. Menurut20, alasan masyarakat
memanfaatkan pelayanan pengobatan pada praktik perawat di Kota
19
PP PNI, Op. Cit.
20 Ahmad A.K, 2012, Aspek Hukum Pelaksanaan Tindakan Medik Oleh Perawat Di Kota
Makassar, (Tesis) : Program Pasca Sarjana Unhas, Makassar.hlm 145.
21
Makassar, meliputi : Faktor ekonomi (relatif terjangkau oleh masyarakat
miskin), lebih mudah diakses, penilaian masyarakat; gangguan kesehatan
masih ringan, masyarakat percaya perawat mampu menyembuhkan
penyakitnya.
Hal lain juga adalah sosialisasi peraturan perundang-undangan
sangat berperan penting. Awalnya memang Kesadaran hukum masyarakat
merupakan hasil optimal dari keseluruhan proses sosialisasi hukum. Untuk
sampai pada tahap tahu hukum dalam kapasitas pengertian dan aneka
ragam pemahaman sudah banyak dan meluas dikalangan masyarakat.
Tetapi untuk tahu peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini
sebagai hukum positif yang mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara masih belum banyak, terlebih lagi warga masyarakat yang sampai
pada tahap paham materi perundang-undangan masih langka.21.
Pelaksanaan praktik keperawatan oleh perawat yang tidak sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan jelas akan sangat merugikan
pihak penerima layanan dan perawat itu sendiri. Apabila ada yang komplein
atau malah mempersoalkan secara hukum, akan berakibat hukum terhadap
perawat itu sendiri. Salah satu contoh adalah Misran, seorang perawat yang
di pidana dengan isi vonis PN Tenggarong tersebut : (1)“Terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena membuka praktik
kefarmasian tanpa disertai keahlian dan kewenangan yang melanggar pasal
82 ayat 1 huruf b juncto pasal 63 ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
21
Martini, 2007, Hubungan Karakteristik Perawat, Sikap, Beban Kerja, Ketersediaan Fasilitas
Dengan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan Di Rawat Inap BPRSUD Salatiga, (Tesis) Semarang
: Universitas Diponegoro. hlm. 69.
22
tentang Kesehatan, (2) “Dijatuhi pidana penjara 3 bulan potong masa
tahanan, ditambah denda Rp 2 juta dengan subsider 1 bulan kurungan22.
Dewasa ini potensi untuk mempersoalkan segala sesuatu yang
dianggap tidak sesuai dengan yang diharapkan atau lebih-lebih secara nyata
melanggar aturan, kemungkinannya sangat besar. Seiring dengan kemajuan
Ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebebasan perss. Masyarakat menjadi
lebih aktif dan kritis dalam menanggapi berbagai persoalan yang terjadi,
termasuk dalam hal pelayanan kesehatan oleh tenaga perawat. Perawat
dalam praktiknya apabila terjadi kesalahan, sangat besar kemungkinan
dibeberkan lewat media massa atau dilaporkan sampai ke ranah hukum
karena melakukan malpraktik keperawatan (secara pidana, perdata dan atau
administrasi).
Demi terjaminnya pelaksanaan tugas praktik perawat ke depan,
diperlukan evaluasi terhadap pengaturan hukum dan hal-hal terkait.
Landasan hukum berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan
kebijakan dalam penyelenggaraan praktik keperawatan dengan realitas yang
terjadi dalam manifestasinya untuk menjadi suatu ketentuan hukum praktik
perawat yang menjadi acuan dalam pelaksanaan praktik perawat di daerah
tertinggal, perbatasan dan kepulauan yang sarat dengan komplikasi
permasalahan di bidang kesehatan, perlu pengkajian yang lebih mendalam
dan komprehensif.
22
PPNI Kota Bontang, 2011, Perjuangan Perawat Misran (1), (http://ppnibontang.blogspot.com/) diakses tgl : 24/4/2013.
23
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Sejauh manakah Ketentuan Hukum menjadi acuan dalam Pelaksanaan
praktik perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud?
2. Bagaimanakah Penerapan sanksi administrasi dalam pelaksanaan
praktik perawat yang tidak sesuai ketentuan hukum praktik perawat di
Kabupaten Kepulauan Talaud?
3. Bagaimanakah substansi hukum, sosialisasi, petugas menegakkan,
fasilitas dan masyarakat mempengaruhi ketentuan hukum sebagai
acuan dalam Pelaksanaan praktik perawat di Kabupaten Kepulauan
Talaud?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui sejauh mana Ketentuan Hukum sebagai acuan dalam
Pelaksanaan praktik perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud
2. Mengetahui Penerapan sanksi administrasi dalam pelaksanaan praktik
perawat yang tidak sesuai ketentuan hukum praktik perawat di
Kabupaten Kepulauan Talaud
3. Mengetahui substansi hukum, Sosialisasi, petugas menegakkan,
Fasilitas dan masyarakat mempengaruhi ketentuan hukum sebagai
acuan dalam Pelaksanaan praktik perawat di Kabupaten Kepulauan
Talaud.
24
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teori
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan Ilmu Hukum Kesehatan (khususnya hukum
keperawatan) dalam rangka pengaturan pelaksanaan praktik perawat
bagi pelayanan kesehatan masyarakat. Disamping itu juga, akan
menjadi bagian pengalaman dan menambah wawasan penulis tentang
hukum keperawatan tersebut.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini kiranya dapat memberikan masukan dan saran kepada
pengambil kebijakan di bidang kesehatan dalam penyusunan
kebijakan tentang izin dan kewenangan, serta kompetensi tenaga
perawat dimasa mendatang. Khusus bagi tenaga perawat dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam pelayanan
kesehatan agar lebih professional dan sesuai aturan. kepada praktisi
hukum (Jaksa, Hakim, Pengacara) dalam menangani persoalan
tentang malpraktik keperawatan harus lebih arif dan bijaksana, agar
tidak berdampak buruk bagi pelayanan kesehatan masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti tentang penelitian
yang sudah dilakukan terkait dengan penelitian ini adalah :
1. Judul : Aspek Hukum Pelaksanaan Tindakan Medik Oleh Perawat Di Kota
Makassar pada Tahun 2012. Penelitian dilakukan oleh Abdul Kadir Ahmad
25
(Tesis Pada Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin). Penelitian
tersebut membahas tentang Aspek Hukum pelaksanaan tindakan medik
oleh perawat dan Alasan masyarakat memanfaatkan pengobatan praktik
perawat23.
Perbedaan dalam penelitian ini adalah : Membahas tentang ketentuan
hukum sebagai acuan dalam pelaksanaan praktik perawat, penerapan
sanksi administrasi dalam pelaksanaan praktik perawat, serta faktor yang
menghambat ketentuan hukum sebagai acuan dalam pelaksanaan praktik
perawat di Kabupaten kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara.
2. Judul : Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Perawat Yang Melakukan
Tindakan Medik Dalam Rangka Menjalankan Tugas Pemerintah Terutama
Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2052/Menkes/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran (Study Kasus Di Puskesmas Kota Palu). Penelitian dilakukan
oleh Edita Diana Tallupadang. Tesis pada Program Pasca Sarjana
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Tahun 2012. Penelitian
tersebut membahas tentang ketentuan perlindungan hukum dan
pertanggungjawaban hukum perawat dalam menjalankan tugas
pemerintah dikaitkan dengan Permenkes No. 2052/Menkes/PER/X/ 2011
tentang Izin Praktik Kedokteran dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran24
23
Ahmad A.K, 2012, Aspek Hukum Pelaksanaan Tindakan Medik Oleh Perawat Di Kota Makassar pada Tahun 2012, Tesis : (Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin), Makassar Tahun 2012.
24 Tallupadang, E.D, 2012, Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Perawat Yang Melakukan
Tindakan Medik Dalam Rangka Menjalankan Tugas Pemerintah Terutama Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Study Kasus Di Puskesmas Kota Palu), (http://eprints.unika.ac.id/694/1/10.93.0062_
Edita_Diana_Tallupadang.pdf), (up date : 25/4/2013).
26
Perbedaan dengan penelitian ini : Tidak sebatas tindakan medis saja
berdasarkan Permenkes No. 2052/Menkes/PER/X/ 2011 tentang Izin
Praktik Kedokteran dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, tetapi tentang
pengaturan hukum (Izin dan Kewenangan Perawat) dalam pelaksanaan
praktik perawat, penerapan sanksi administrasi dan faktor yang
menghambat ketentuan hukum sebagai acuan dalam praktik perawat.
27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Dan Perundang-Undangan
1. Kaidah Hukum dan Legalitas Hukum
Kaidah Hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang
menentukan bagaimana manusia seyogyanya berperilaku, bersikap
di dalam masyarakat agar kepentingan orang lain terlindungi 25 .
Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun
dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Olehnya itu pertanyaan
tentang hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya
tidak mungkin satu. Berbagai kesulitan untuk merumuskan hukum,
tidak berarti kita tidak perlu mendefinisikan hukum26.
Defenisi Hukum menurut 27 adalah sebagai suatu entitas dalam
kehidupan sosial yang dibentuk untuk menjadi standar penilaian
terhadap tingkah laku atau perbuatan subjek hukum (orang dan
badan hukum) dari aspek lawful dan anlawful atau legal dan illegal
untuk mewujudkan suatu nilai-nilai kehidupan tertentu yang menjadi
ratio legisnya.
25
Azikin Z, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. hlm 26-27.
26 Ali A, 2002, (a) Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis) Jakarta : PT
Toko Gunung Agung Tbk
27 Ruslan A, 2010, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia, Yogyakarta : Rangkang Education.
28
Sedangkan kaidah hukum, menurut28 cirri-cirinya adalah :
1. Sumbernya dari masyarakat yang diawali oleh suatu otoritas
tertinggi dan terorganisir.
2. Sanksinya bersifat eksternal, dalam wujud gantirugi perdata,
denda, kurungan penjara sampai hukuman mati.
3. Isinya ditujukan mutlak pada sikap lahir.
4. Bertujuan untuk ketertiban masyarakat.
5. Daya kerjanya mengharmoniskan hak dan kewajiban.
Di dalam Negara Hukum dapat diciptakan peraturan perundang-
undangan dan peraturan kebijakan sebagai sarana untuk melakukan
perubahan sosial atau sebagai sarana pembangunan guna mencapai
tujuan Negara. Peraturan perundang-undangan berdasarkan asas
legalitas, sedangkan peraturan kebijakan dibentuk berdasarkan asas
diskresi hukum yang melengkapi asas legalitas29.
Dalam hukum Administrasi Negara legalitas berarti setiap perbuatan
atau keputusan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan
undang-undang. Apabila dengan alasan “keadaan darurat”, maka
harus dapat dibuktikan dan apabila tidak terbukti maka perbuatan
tersebut dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)30.
28
Ali A. (a) Op.Cit. hlm 42.
29 Razak A, 2005, Peraturan Kebijakan Sebagai Instrumen Pemerintahan, JUrnal Ilmu
Hukum Amanna Gappa-Volume 13 No. 2 Juni 2005
30 Masriani Y.T., 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.
29
Menurut Carl Joachim Fredrich dalam 31, menyatakan bahwa legalitas
memiliki perbedaan dengan legitimasi. Legalitas Hukum berdasar
pada kesesuaiannya dengan hukum positif, sedangkan legitimasinya
bersandar pada kebenaran.
2. Hukum Sebagai Acuan Perilaku
Telah dikatakan sebelumnya, bahwa Kaidah Hukum lazimnya
diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana
manusia seyogyanya berperilaku, bersikap di dalam masyarakat agar
kepentingan orang lain terlindungi32. Kata seyogyanya berperilaku,
bersikap mengandung makna bagaimana seharusnya seseorang
berperilaku, bersikap. Itu dapat berarti bahwa hukum itu sebagai
penuntun/pembimbing bagi seseorang untuk bersikap dan
berperilaku.
Hukum Menurut Harold J.B dan William G (1972) adalah merupakan
pedoman tingkah laku sebagai perwujudan ideal dari kebudayaan
manusia yang bersifat abstrak33. Kata pedoman menurut34 berarti
alat untuk menunjukkan arah, hal (pokok) yg menjadi dasar
(pegangan, petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan
sesuatu.
31
Ilyas A, 2010 (b), Berbagai Konsep Tentang Hukum Sebagai Suatu Konsep, Jurnal Ilmu
Hukum ammana gappa. Vol.18 Nomor 2, Juni 2010.
32 Azikin Z, Op. Cit. hlm. 26-27.
33 Endang Kusuma Astuti, 2010, Analisis Hukum Interaksi Dokter Dengan Pasien Dalam
Pelayanan Medis, JUrnal Ilmu Hukum Amanna Gappa – Volume 18 No. 2, Juni 2010. hlm. 260.
34 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2012, Edisi Revisi (one Line).
(http://kbbi.web.id/pedoman. diakses : 11 mei 2013.
30
Kata acuan menurut35 berarti : cetakan (kue, peluru). sedangkan
dalam bahasa Inggris acuan sama reference. Referense juga dapat
berarti rekomendasi atau pedoman. Berdasarkan pengertian-
pengertian diatas, maka kaidah hukum dapat dikatakan juga sebagai
pedoman atau acuan seseorang dalam melakukan sesuatu
(berperilaku) yang sepantasnya untuk dapat melindungi kepentingan
orang lain dan dirinya sendiri. Hal itupun sesuai dengan tujuan hukum
menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang baik36.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Secara teoritis, konsep perundang-undangan inhernt atau tidak dapat
dilepaskan eksistensinya dengan sejumlah aspek hukum yang
memungkinkan perundang-undangan dapat berdimensi fungsional
terutama mewujudkan nilai atau tujuan hukum (kepastian,
kemanfaatan dan keadilan). Demikian beberapa aspek hukum
tersebut, dapat menjiwai setiap produk perundang-undangan baik
dari segi the procedure of law dan the content of law. Selain itu,
aspek-aspek hukum tersebut, menjadi unsur kognitif teori peundang-
undangan.37.
Undang-Undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan
pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar
35
Ibid.
36 Marzuki P.M, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
37 Ruslan A, 2010, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia, Yogyakarta : Rangkang Education.
31
atas hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat dari
suatu aturan hukum dan adanya kepastian hukum. Sedangkan
Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan
terjemahan dari weetelijke regeling. Kata weeteijk berarti sesuai
dengan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan
undang-undang dan bukan dengan undang, sehubungan dengan
kata dasar undang-undang, maka terjemahan weetelijke regeling
ialah peraturan perundang-undangan.38
Peraturan perundang-undangan menurut D.W.P. Ruiter terdapat 3
Unsur, yaitu :
1) Norma Hukum (rechtsnormen).
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
mengandung salah satu sifat-sifat sebagai berikut : a. Perintah
(gebod), b. larangan (verbod), c. Pengizinan (teostemming), dan
d. Pembebasan (vrijstelling).
2) Berlaku ke luar (naar buitn werken); Maksudnya norma hanya
tertuju kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya
maupun antara rakyat dan pemerintah.
3) Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruimezing) ;
orang biasanya membedakan kategori norma antara yang
umum dan individual, dan antara yang abstrak dan konkrit.39
38
Yuliandri, 2010, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. hlm 25.
39 Ruslan A,Op.Cit. hlm 37-38.
32
Menurut 40 , Norma hukum yang masuk dalam kategori atau
kualifikasi Peraturan Perundang-Undangan adalah norma
hukum yang memenuhi secara integral Sembilan karakteristik
dasar sebagai berikut :
1) Mengatur perilaku para subjek hukum yang bersifat
imperatif dalam pengertian perintah untuk melakukan
sesuatu yang lazim disebut kewajiban atau perintah untuk
tidak melakukan sesuatu yang lazim disebut larangan
disertai ancaman sanksi (perdata dan/atau pidana dan/atau
administratif), serta yang bersifat fakultatif;
2) Berlaku ke dalam dan keluar dalam rangka pemenuhan hak
asasi manusia;
3) Bersifat mengikat (mengikat umum atau impersonal dari
subjeknya);
4) Objek yang diaturnya bersifat abstrak dan/atau konkrit;
5) Melembagakan suatu tatanan nilai-nilai hukum tertentu yang
bersifat intrinsik;
6) Menentukan atau memastikan segi waktu keberlakuannya,
yaitu bersifat terus menerus atau untuk waktu tertentu saja
tapi tidak einmaghlig;
7) Menentukan atau memastikan segi tempat keberlakuannya,
yaitu bersifat teritoriastik;
8) Menentukan atau memastikan mekanisme atau prosedur
pembentukannya sesuai dengan dasar pembentukannya
33
yang di dalamnya memuat pula organ
pelaksana/penegaknya; dan
9) Menentukan dan memastikan dasar validitas
pembentukannya dari norma hukum yang membentuknya
(aspek hirarkis), serta dana penegakannya41.
4. Fungsi Hukum/Perundang-Undangan
Fungsi hukum itu sendiri, menurut Ali A (2002) terdiri dari :
1. sebagai a tool of social control; fungsi hukum untuk menetapkan
tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan
terhadap aturan hukum dan apa sanksi atau tindakan yang
dilakukan oleh hukum, jika terjadi penyimpangan.
2. sebagai a tool of social engineering; adalah fungsi hukum sebagai
alat pengubah masyarakat.
3. sebagai symbol; fungsi hukum yang mencakupi proses-proses
dimana seseorang menerjemahkan atau menggambarkan suatu
istilah yang sederhana tentang perhubungan sosial serta
fenomena-fenomena lainnya yang timbul dari interaksi dengan
orang lain.
4. sebagai a political instrument; hukum sebagai alat politik.Hukum
tidak mungkin dipisahkan dari politik.
5. sebagai integrator; hukum berfungsi sebagai mekanisme integrasi
terhadap kepentingan warga masyarakat, berlaku baik baik pada
saat konflik maupun sesudah konflik42.
41
Ruslan A, Ibid. hlm 40-41
34
Fungsi peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan
dalam, 43 ada dua kelompok utama fungsi peraturan perundang-
undangan, yaitu :
1. Fungsi Internal :
a) Fungsi penciptaan hukum (rechtschepping), yaitu : melahirkan
sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi
melalui beberapa cara diantaranya : melalui keputusan hakim
(yurisprudensi), kebiasaan dalam paktik kehidupan masyarakat
atau Negara, peraturan perundang-undangan, doktrin dll.
b) Fungsi Pembaharuan hukum, yaitu : Mengganti peraturan
perundang-undangan yang sudah ada.
c) Fungsi Integrasi, yaitu : Pembaharuan sistem hukum nasional
adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum
(Barat, adat, agama dan nasional), dalam satu tatanan yang
harmonis satu sama lain.
d) Fungsi Kepastian hukum, yaitu : peraturan perundang-
undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi
daripada hukum kebiasaan dan hukum adat atau hukum
yurisprudensi.
2. Fungsi Eksternal;
a) Fungsi Perubahan, yaitu sebagai sarana rekayasa sosial (law as
a tool of social engineering) adalah peraturan perundang-
42
Loc. cit.
43 Ruslan A, Op. Cit. hlm 57-61.
35
undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong
perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial maupun
budaya.
b) Fungsi Stabilisasi, yaitu : Peraturan perundang-undangan di
bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan merupakan
kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas
masyarakat.
c) Fungsi kemudahan, yaitu : sebagai sebagai sarana untuk
mengatur berbagai kemudahan (fasilitas) peraturan yang berisi
insentif seperti keringanan pajak dll.
5. Kekuatan Berlakunya Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang telah memiliki kekuatan mengikat sejak
diundangkannya di dalam lembaran Negara. Tetapi lain lagi dengan
kekuatan berlakunya undang-undang, karena yang dimaksudkan
adalah berlakunya undang-undang secara operasional. Sudikno
Mertokusumo dalam,44 mengemukakan adanya 3 macam kekuatan
berlakunya suatu undang-undang :
a) Kekuatan berlaku yuridis (juristiche Geltung), setiap undang-
undang secara langsung memiliki kekuatan berlaku secara yuridis
jika seluruh persyaratan formal untuk terbentuknya suatu undang-
undang, telah terpenuhi.
b) Kekuatan berlaku sosiologis (seziologische Geltung), berlakunya
undang-undang itu telah merupakan kenyataan di dalam
44
Ali A, (a) Op. Cit. hlm 114-115.
36
masyarakat. Lebih lanjut kekuatan berlakunya undang-undang
dalam masyarakat ada 2 acam :
(1) Teori kekuatan (machttheorie), bahwa berlaku secara
sosiologis, jika dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas
diterima atau tidak oleh warga masyarakat.
(2) Teori pengakuan (anerkennungstheorie), bahwa berlaku secara
sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat.
c) Kekuatan berlaku filosofis (filosofische Geltung), Undang-undang
barulah mempunyai kekuatan berlaku secara filosofis, jika kaidah
hukum yang tercantum di dalam undang-undang itu sesuai dengan
cita-cita hukum (rectsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi
(uberpositiven werte) di Indonesia adalah Pancasila, serta cita-cita
menuju masyarakat adil dan makmur.
6. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan
Untuk hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia saat ini
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dikatakan bahwa :
Pasal 7 (1) Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peratuan Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peratura Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
37
Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain seagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.45
B. Pelayanan Kesehatan dan Rujukan
1. Upaya Pelayanan Kesehatan
Pengertian pelayanan kesehatan banyak macamnya. Menjabarkan
pendapat levey dan Loomba (1973), maka yang dimaksud dengan
pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Syarat pokok
pelayanan kesehatan yang baik, yaitu :
1. Tersedia dan berkesinambungan; Artinya semua jenis
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak
45
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
38
sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah
pada setiap saat dibutuhkan.
2. Dapat diterima dan wajar; Artinya pelayanan kesehatan tidak
bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
3. Mudah di capai; Artinya pelayanan kesehatan dicapai oleh
masyarakat. Ketercapaian maksudnya adalah dari sudut lokasi.
4. Mudah di jangkau; Artinya pelayanan kesehatan muda
dijangkau dari sudut biaya.
5. Bermutu; Artinya tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan, memuaskan pemakai jasa dan sesuai
dengan kode etik, serta standart yang telah ditetapkan.46
Pelayanan kesehatan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan pasal 53 mengatakan bahwa :
(1).pelayanan kesehatan perorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan dan keluarga,
(3) pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien disbanding kepentingan lainnya.47
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan atau tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat.
46
Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi Ketiga. Binarupa Aksara. Jakarta. hlm. 38-39
47 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. op.cit hlm 168
39
Fasilitas pelayanan kesehatan berupa Rumah Sakit, Puskesmas dan
Jaringannya, serta klinik/praktek Mandiri. dalam rangka pelayanan
kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan rumah sakit umum
(kelas: A, B, C, D) dan rumah sakit khusus (Kelas : A, B, dan C).
diklasifikasikan berdasarkan fasilitas kemampuan pelayanan rumah
sakit.48
Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat lainnya adalah bentuk
rawat jalan klinik mandiri, terdiri dari klinik mandiri sederhana, seperti
praktek dokter umum, dokter spesialis, bidan dan klinik mandiri
institusi, seperti praktek berkelompok, poliklinik, BKIA, puskesmas.49
Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab satu atau sebagian wilayan
kecamatan. Puskesmas dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dibantu oleh jaringannya, yaitu : Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling dan Poskesdes.50
3. Azas Rujukan
Mekanisme hubungan kerja yang memadukan satu strata pelayanan
dengan strata pelayanan kesehatan lain salah satu diantaranya
dikenal dengan nama system rujukan (referral System). Adapun yang
dimaksud dengan system rujukan di Indonesia (SK. Menkes RI. No.
48
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. op.cit hlm 86-148.
49 Azwar, A. Op. Cit. hlm 77
50 Soegato, B. Kebijakan Dasar Puskesmas (Kepmenkes No. 128 tahun 2004), (One Line)
(https://docs.google.com/, diakses 30/12/2011). hlm 8
40
32 Tahun 1972) ialah suatu system penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal
balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara
vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit
yang lebih mampu atau secara horisontal dalam arti antar unit-unit
yang setingkat kemampuannya. Macam system rujukan di Indonesia
ada 2, yaitu :
1. Rujukan kesehatan : rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya
pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan
(berlaku untuk pelayanan kesehatan masyarakat). Rujukan ini
terdiri atas rujukan teknologi, sarana dan operasional.
2. Rujukan Medik : terutama dikaitkan dengan upaya penyembuhan
penyakit serta pemulihan kesehatan. Pada dasarnya berlaku untuk
pelayanan kedokteran. Rujukan ini terdiri dari rujukan penderita,
pengetahuan dan bahan-bahan pemeriksaan 51 . Untuk pelayanan
kedokteran jalur rujukannya adalah Rumah Sakit. Sedangkan untuk
pelayanan kesehatan masyarakat jalur rujukannya adalah pelbagai
kantor kesehatan.52
3. Gawat Darurat Dan Kebutuhan
Kegawatan Medik atau Gawat darurat dalam terminology hukum
disebut keadaan darurat. Istilah keadaan darurat menurut
51
Azwar Op. cit., hlm 42-43
52 Azwar Op. cit., hlm 121
41
langemeyer (effendi, 1978) hanya dipakai untuk kejadian-kejadian
dimana sifat melawan hukumnya yang hapus. Keadaan darurat
merupakan alasan penghapus pidana bagi perbuatan melawan
hukum (pasal 48 KUHP). Sehubungan dengan keadaan darurat ini di
Amerika Serikat di kenal dengan beberapa hukum kedokteran yang
disebut (Maryanti, 1988) :
a. Liability Act
Tergolong perangkat hukum yang ketat. Dikenal ketentuan
bahwa bila seorang dokter telah bersedia menerima seorang
pasien, maka ia sepenuhnya memikul tanggung jawab. Hal yang
demikian juga berlaku dalam keadaan darurat, ketika pasien
berada dalam keadaan tidak sadar.
b. Good Samaritan Law
Dalam keadaan darurat, hukum ini menggariskan bahwa
tanggung jawab dokter tidak bisa dipaksakan. Artinya undang-
undang ini memberikan imunitas kepada dokter dari tuntutan
malpraktik mengingat dokter bekerja dalam situasi kegawatan
medik, dimana tempat kejadian tidak tersedia fasilitas dan waktu
yang cukup untuk berpikir dan berkonsultasi dengan teman
sejawatnya.
c. Medico Legal Consideration
Kumpulan ketentuan sangat rumit dan masuk dalam bidang
teknis kedokteran. Tujuannya adalah untuk melindungi dokter
dari malpraktik yang tidak dapat dihindarkan. Jadi bukan karena
42
kealpaan, tetapi karena ilmu kedokterannya sendiri memang
belum dapat menjamin keberhasilan suatu praktik53
Emergensi adalah suatu kombinasi kejadian yang tak terduga yang
menuntut penanganan langsung dan segera. Emergensi
menunjukkan kepada suatu keadaan di mana pasien secara tiba-tiba
atau tak terduga menghadapi ancaman bahaya maut, sehingga
memerlukan tindakan segera untuk menyelamatkan jiwa atau
kerusakan permanen anggota tubuh.54
Sedangkan Kegawatan psikiatrik memerlukan intervensi segera untuk
mencegah kematian atau bahaya berat bagi pasien atau orang lain
dan biasanya terjadi dalam beberapa detik atau menit (jarang, dalam
jam), dan bukan dalam hari atau minggu. baik elemen waktu dan
beratnya adalah terkait.55
Unit kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
disebut dengan nama unit gawat darurat (Emergency Unit).
Keberadaan unit gawat darurat tersebut dapat beraneka macam.
Namun yang lazim ditemukan adalah yang tergabung dalam Rumah
Sakit. Pengertian gawat darurat yang dianut oleh anggota
masyarakat memang berbeda dengan petugas kesehatan. Oleh
anggota masyarakat, setiap gangguan kesehatan yang dialaminya
53
Indar H, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), Makassar.
54 Guwandi, J. 1993, Malpraktek Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. hlm 23-24
55 Kusuma, W. 1997. Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktek, Profesional Books, Jakarta-
Indonesia. hlm 56
43
dapat saja diartikan sebagai keadaan darurat, dan karena itu
mendatangi UGD untuk meminta pertolongan.56
Untuk Teori kebutuhan (necessity) mengajarkan bahwa sudah
merupakan kebutuhan manusia untuk dapat menyelamatkan dirinya
dari kematian atau dari penyakitnya . Pembenaran tindakan
emergensi sesuai teori kebutuhan ini dapat dibenarkan jika hal
tersebut merupakan yang terbaik buat pasiennya. pengertian yang
terbaik dari pandangan klien bukan dari pandangan dokter/tenaga
kesehatan.57
C. Keperawatan
1. Falsafah dan Pengertian
Falsafah keperawatan berdasarkan lokakarya Nasional bulan januari
1983 dalam Ibrahim (1988) adalah :
Perawatan merupakan bantuan, diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta
kurangnya kemauan mencapai kemampuan melaksanakan
kegiatan hidup sehari-hari.
Kegiatan dilakukan dalam upaya penyembuhan, pemulihan, serta
pemeliharaan kesehatan dengan menekankan pada upaya
56
Azwar op.cit hlm 79
57 Fuady, M. 2005. Sumpah Hipocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter). PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
44
pelayanan utama (PHC) sesuai dengan wewenang, tanggung
jawab dan etika keperawatan58.
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan professional
yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan
biopsiko-sosial spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada indivdu,
keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat ; yang mencakup
seluruh proses kehidupan59.
Defenisi Perawat menurut Elis dan Hartley (1980) adalah orang yang
mengasuh, merawat dan melindungi, yang merawat orang sakit, luka
dan usia lanjut. Sedangkan berdasakan Permenkes Nomor:
HK.02.02/Menkes/148/I/2010 pasal 1, ayat (1) : “Perawat adalah
seorang yang telah lulus pendidikan perawat di dalam maupun diluar
negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan60.
2. Fungsi Perawat
Dalam praktek keperawatan fungsi perawat terdiri dari :
Fungsi Independen; dalam fungsi ini tindakan perawat tidak
memerlukan perintah dokter. Tindakan perawat bersifat mandiri
berdasarkan kiat keperawatan.
58
Priharjo R, 2008, Konsep & Perspektif Praktik Keperawatan Profesional, Edisi 2, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
59 Taadi. 2010 Hukum Kesehatan : Pengantar Menuju Perawat Profesional, Jakarta : Buku
Kedokteran, EGC.
60 Permnkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010. op.cit. hlm 1
45
Fungsi Interdependen; tindakan perawat berdasar pada kerja
sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan.
Fungsi Dependen ; dalam fungsi ini perawat bertindak membantu
dokter dalam memberikan pelayanan medik61.
3. Kompetensi, Profesi Dan Standar Kompetensi perawat
a. Kompetensi dan Profesi
Menurut finch dan Crunkilton dalam Mulyasa (2004) bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu
tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk
menunjang keberhasilan.62
Kompetensi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (10), kompetensi
kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan
standart yang diperlukan.63
Kompetensi dibedakan dalam 2 tipe, yaitu :
1. Berkaitan dengan Soft Competency adalah kemampuan untuk
mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia, serta
membangun interaksi dengan orang lain. Contoh : Leadership,
Komunikasi hubungan interpersonal.
61
Ibid. hlm 31-33.
62 Junaidi, W. 2011. Pengertian Kompetensi (One Line), (http://wawan-
junaidi.blogspot.com/2011/07/pengertian-kompetensi.html, diakses 17/12/ 2011). hlm 1
63Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
46
2. Berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis pekerjaan,
contoh : Dokter mendiagnosa penyakit, kegiatan keperawatan.
Kompetensi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : pelatihan
pengembangan karir, imbalan berdasarkan kompetensi,
pengukuran kinerja dan evaluasi. Karena kompetensi mengukur
standart kinerja sesorang dan menunjukkan tampilan kompetennya
sesorang bekerja, secara otomatis dengan adanya kompetensi,
maka akan meningkatkan profesionalisme kinerja seseorang.64
Profesi menurut winsley (1964) adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan badan ilmu sebagai dasar untuk pengembangkan
teori yang sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru,
memerlukan pendidikan dan pelatihan yang cukup lama, serta
memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan.65
Sedangkan professional adalah orang yang menyandang suatu
jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dan ketrampilan
dari pelakunya. Melihat pengertian diatas, setiap orang harus
bekerja secara professional dan untuk professional seseorang
mutlak memiliki kompetensi.66
64
Yulia. 2011. Meningkatkan Profesionalisme PNS Kesehatan Melalui Diklat Berbasis Kompetensi (One Line), (http://www.bppsdmk.depkes.go.id/, diakses 17/12/ 2011).
65 Nuradik. 2010. Kedudukan Profesi Keperawatan Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan di
Indonesia (One Line), (http://nurad1k.blogspot.com/, diakses 25/12/2011)
66 Yulia ibid.,
47
b. Standar Kompetensi Perawat
Standar diartikan sebagai ukuran atau patokan yang disepakati,
sedangkan kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan
seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan,
keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan
atau tugas dengan standar kinerja (performance) yang ditetapkan.
Standar kompetensi perawat merefleksikan atas kompetensi yang
diharapkan dimiliki oleh individu yang akan bekerja di bidang
pelayanan keperawatan67.
4. Jenis Pendidikan Keperawatan
Pendidikan keperawatan di Indonesia mengacu kepada Undang-
undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan demikian jenis pendidikan keperawatan di Indonesia
mencakup pendidikan vokasi, akademik dan profesi;
a. Pendidikan Vokasi adalah jenis pendidikan diploma sesuai
jenjangnya untuk memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang
diakui oleh pemerintah Republik Indonesia.
b. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program
sarjana dan pasca sarjana yang diarahkan terutama pada
penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
c. Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program
sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki
67
PPNI, 2005, Standar Kompetensi Perawat Indonesia, (Avalaible : http://www.inna-
ppni.or.id).
48
pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Sedangkan
jenjang pendidikan keperawatan mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis dan doctor68.
5. Asuhan Keperawatan
Definisi Asuhan keperawatan dalam Ali Z (2002), yaitu :
a. Merupakan proses atau rangkaian kegiatan pada praktek
keperawatan yang diberikan secara langsung pada pasien di
berbagai tatanan kesehatan.
b. Dilaksanakan berdasarkan kaidah – kaidah keperawatan sebagai
profesi yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan berdasarkan
kebutuhan obyektif untuk mengatasi masalah yang dihadapi
pasien.
c. Merupakan inti pelayanan keperawatan yang berupaya untuk
membantu mencapai kebutuhan dasar melaui tindakan
keperawatan, menggunakan kiat ilmu keperawatan dalam
melakukan tindakan, memanfaatkan potensi dari berbagai
sumber69.
Tahapan – tahapan dalam proses asuhan keperawatan (Nursalam,
2002), yaitu :
a. Pengkajian : Menurut Iyer 1996 tahap pengkajian merupakan dasar
utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
68
PPNI. Op. cit. hlm .8-9.
69 Martini. Op. Cit. hlm 26.
49
kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat,
lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting.
b.Diagnosa keperawatan : Menurut Gordon 1976 diagnosa
keperawatan adalah masalah kesehatan aktual dan potensial
dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, dia mampu
dan mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan
keperawatan.
c.Perencanaan keperawatan : Merupakan langkah penentuan
diagnosis keperawatan, penetapan sasaran dan tujuan, penetapan
kriteria evaluasi, dan dirumuskan intervensi keperawatan
berdasarkan pada masalah yang ditemukan. Dalam perencanaan
strategi dikembangkan untuk mencegah, membatasi, atau
memperbaiki masalah yang ditemukan .
d. Implementasi : Merupakan pelaksanaan dari rencana keperawatan
yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
pasien secara optimal. Implementasi juga meliputi pencatatan
perawatan pasien dalam dokumen yang telah disepakati. Dokumen
ini dapat digunakan sebagai alat bukti apabila ternyata timbul
masalah hukum terkait dengan pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh rumah sakit umumnya dan perawat khususnya.
e.Evaluasi Merupakan proses terakhir keperawatan yang menentukan
tingkat keberhasilan keperawatan sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak70.
70
Martini. Op. Cit. hlm 27
50
6. Registrasi Keperawatan
Registrasi Berasal dari bahasa Inggris ‘registration’ yang memiliki arti
daftar. Registrasi merupakan proses melakukan pengisian sejumlah hal atau
memenuhi persyaratan dari suatu objek yang nantinya dibutuhkan untuk
mengikuti suatu kegiatan.
Nurachman (2000) mengatakan bahwa Registrasi keperawatan
merupakan proses administrasi yang harus ditempuh oleh seseorang
yang ingin melakukan pelayanan keperawatan kepada orang lain
sesuai dengan kemampuan atau kompetensi yang dimilikinya.
Kompetensi ini tidak dapat diterapkan apabila belum divalidasi dan
diverifikasi oleh badan yang berwenang71.
Untuk registrasi tenaga kesehatan, termasuk perawat telah diatur
dalam Permenkes Nomor 1796/ Menkes/ PER/ VIII/2011 tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes tersebut intinya mengatur :
Setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan pekerjaannya
wajib memiliki STR.
Untuk memperoleh STR, tenaga kesehatan harus memiliki ijazah
dan sertifikat kompetensi.
Ijazah dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud diatas,
diberikan kepada peserta didik setelah dinyatakan lulus ujian
program pendidikan dan uji kompetensi72.
71
Triwibowo. Op. cit. hlm 56.
72 Permenkes No. 1796/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Loc. cit.
51
7. Penyelenggaraan Praktik Perawat
Praktik keperawatan yang memenuhi kebutuhan dan harapan dapat
diselenggarakan pada semua sarana/tatanan pelayanan kesehatan,
baik di rumah sakit umum maupun khusus, Puskesmas, praktik
keperawatan di rumah (home care), praktik keperawatan
berkelompok/bersama (nursing home, klinik bersama), dan praktik
keperawatan perorangan, serta praktik keperawatan yang
mobile/ambulatory. Praktik keperawatan diselenggarakan dengan
memperhatikan keterjangkauan masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan/asuhan keperawatan dalam konteks pelayanan
kesehatan73.
Perawat dalam menyelenggarakan praktiknya harus berdasarkan
pada Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor : HK.02.02/Menkes/
148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat 74 .
Intinya kewenangan perawat adalah pada asuhan keperawatan,
perawatan komplementer dan pemberian obat bebas dan obat bebas
terbatas, serta diluar kewenangan dalam keadaan darurat.
Sebagai bahan perbandingan dengan Kewenangan Perawat, maka
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran, maka wewenang dokter sesuai
dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki adalah :
a. Mewawancarai pasien;
b. Memeriksa fisik dan mental pasien;
73 PPNI. Loc. cit.
74 Permenkes RI. No.: HK.02.02/Menkes/ 148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Perawat. Loc. cit.
52
c. Menentukan pemeriksaan penunjang;
d. Menegakkan diagnosis;
e. Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. Melakukan tindakan kedokteran dan kedokteran gigi;
g. Menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. Menerbitkan surat keterangan dokter dan dokter gigi;
i. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik
di daerah terpencil yang tidak ada apotek75
D. Izin dan Kewenangan
1. Izin
Utrecht memberikan pengertian Vergunning sebagai berikut :
Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu
perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit,
maka perbuatan administrasi Negara bersifat suatu izin (vergunning),
sedangkan menurut Sjachran Basah, Izin adalah perbuatan hukum
administrasi Negara yang bersegi satu yang mengaplikasikan
peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur
sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan76.
75
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
76 Sutedi A, 2011, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta : Sinar Grafika
53
Ada beberapa istilah yang merupakan bagian dari izin :
1. Lisensi : secara umum pengertiannya adalah membei izin,
misalnya member izin menggunakan nama.
2. Konsesi : dalam kamus bahasa mengandung pengertian
kelonggaran atau kemudahan setelah melewati proses diplomasi
atau diskusi.
3. Dispensasi : W.K. Prins mengatakan bahwa Dispensasi adalah
tindakan pemerintah yang menyebabkan suatu peraturan
perundang-undangan menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal
istimewa (relaxatio legis). menurut Ateng Syafrudin dispensasi
bertujuan untuk menembus rintangan yang sebetulnya secara
normal tidak diizinkan77.
Tujuan dan fungsi pemberian izin secara umum adalah untuk
pengendalian daripada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu
dimana ketentuannya berisi pedoman –pedoman yang harus
dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat
yang berwenang. Sesuai dengan sifatnya yang merupakan bagian
dari ketetapan , izin selalu dibuat dalam format tertulis, secara
umum memuat : kewenangan lembaga, pencantuman alamat,
substansi dalam dictum, persyaratan, penggunaan alasan dan
penambahan substansi lainnya78.
77
Ibid. hlm. 177-178.
78 Ibid. hlm. 200-204.
54
Sedangkan tujuan perizinan, Spelt dan ten Berge (1993:4-5)
dalam,79 menguraikan tujuan izin sebagai berikut :
1) Keinginan Mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-
aktivitas tertentu (misalnya mendirikan bangunan, izin HO, dll.)
2) Mencegah bahaya bagi lingkungan (misalnya izin
penerbangan, izin usaha industry, izin-izin lingkungan dll.).
3) Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin
membongkar pada monument-moumen dll.)
4) Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di
daerah padat penduduk).
5) Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-
aktivitas (izin berdasarkan “drank en horeawet”, dimana
pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya izin
bertransmigrasi, dll.).
2. Kewenangan
Menurut Prayudi dalam 80 , ada perbedaan antara pengertian
kewenangan (Authority, gezag) dan wewenang (Competence,
bevoegdheid). Kewenangan adalah :
Apa yang disebut “kekuasaan formal”, yaitu kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan legislative (diberi oleh Undang-Undang)
atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Kewenangan biasanya terdiri ada beberapa wewenang
79
Razak A. op.cit. hlm. 185.
80 Anggriani J, 2012, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Graha Ilmu. hlm. 87-88
55
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang
tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan.
Contohnya : kewenangan di bidang kehakiman atau kekuasaan
mengadili yang disebut kompetensi mengadili/yurisdiksi.
Sedangkan yang dimaksud wewenang adalah :
Kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.
Contohnya : wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat
izin dari seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan
kewenangannya tetap ditangan menteri (biasa disebut delegasi
wewenang).
Pengertian wewenang dalam arti luas adalah suatu kemampuan
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dan juga untuk berbuat atau
melakukan sesuatu. Sedangkan Menurut Ateng Syafrudin (Makalah
Orasi Ilmiah, 1983) wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan
sesuatu tindakan hukum publik. Misalnya : menandatangani/
menerbitkan surat izin dari seorang pejabat atas nama
menteri/Gubernur/Kepala Daerah, sedangkan kewenangan tetap
berada di tangan menteri/Gubernur/Kepala Daerah, dalam hal ini
terdapat pendelegasian wewenang. Jadi, di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechtsvoegheden)81.
Menurut Philipus Hajon dkk., (2009;130), Kewenangan membuat
keputusan hanya dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu dengan
Atribusi dan Delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada
81
Hijaz K, 2010, Implementasi Penyelenggaraan Kewenangan Pemerintah Daerah di
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum ammana gappa-Volume 18 Nomor 1, Maret 2010.
56
suatu jabatan, sedangkan delegasi adalah pemindahan atau
pengalihan suatu kewenangan yang ada. Juga ada yang disebut
Mandat82.
Sedangkan dalam Anggraini J (2012;89-91), sumber kewenangan
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Atribusi
Menurut Rosjidi Ranggawidjadja (1998;18) Atribusi adalah
pemberian kewenangan kepada Badan/Lembaga/Pejabat Negara
tertentu yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar
maupun pembentuk Undang-Undang. Dalam hal ini berupa
penciptaan wewenang baru untuk dan atas nama yang diberi
wewenang tesebut.
2) Delegasi
Menurut Indroharto (1999;91) Delegasi adalah pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan TUN yang
telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif
kepada badan atau pejabat TUN lainnya, atau ringkasnya
delegasi aalah pemindahan atau pengalihan suatu wewenang
dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
3) Sub Delegasi
Sub delegasi adalah pelimpahan atau pengalihan kewenangan
dan tanggungjawab kepada badan pemerintah lain. Contoh dari
82
Hadjon, P.M dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the
Indonesian Administrative Law, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. hlm 130
57
Depdagri dilimpahkan kepada Gubenur, dari Gubernur
dilimpahkan lagi kepada Kepala Dinas.
4) Mandat atau Pemberian Kuasa (Mandaatsverening)
Philipus Hadjon, Indroharto (1999;92) Mandat tidak ada sama
sekali suatu pemberian wewenang baru atau pelimpahan
wewenang dari badan atau pejabat TUN yang satu kepada yang
lain, sehingga tidak terjadi perubahan mengenai distribusi
kewenangan yan telah ada. Mandat merupakan bentuk
pelimpahan kekuasaan, tetapi tidak sama dengan delegasi,
karena Mandataris dalam melaksanakan kekuasaannya tidak
bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama si pemberi
kuasa dan yang bertanggung jawab adalah si pemberi kuasa83
E. Kesadaran, Ketaatan, Efektivitas Hukum Dan Penegakan Sanksi
Administrasi
1. Kesadaran, Ketaatan dan Efektivitas Hukum
Kesadaran Hukum menurut Krabbe dalam 84 adalah merupakan
kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang
hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan. Kesadaran
hukum ada dua macam, yaitu : Kesadaran Hukum positif adalah
kesadaran hukum yang digunakan dengan maksud baik, dan
kesadaran hukum negatif adalah kesadaran hukum yang digunakan
dengan maksud buruk.
83
Anggriani J. Op. cit. hlm 89-91. 84
Ali A (b), Op.cit. hlm 298-299.
58
Sedangkan ketaatan hukum adalah pola pikir dan perilaku yang
sejalan dengan kehendak hukum (tunduk pada hukum) terlepas
apakah setuju atau tidak dengan kehendak hukum tersebut. Derajat
ketaatan sendiri terdiri : compliance, identificiation dan internalization.
Kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga
unsur yang saling berhubungan. Kesadaran hukum dan ketaatan
hukum menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan
perundang-undangan dimasyarakat. Suatu aturan hukum atau
perundang-undangan dianggap tidak efektif berlakunya adalah : jika
sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya, dan jika
ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang
bersifat compliance atau identification85
2. Penegakan Hukum Administrasi
Penegakan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia86, berasal dari
kata “tegak” yang mengandung arti : berdiri, lurus arah keatas, dalam
arti kiasan tetap teguh, tetap tak berubah, (se) pendiri, setinggi orang
berdiri. Sementara penegakan sendiri bermakna perbuatan (hal dan
sebagainya) menegakkan.
Suharto dalam R Abdussalam menyebutkan bahwa penegakan
hukum adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat
penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan
dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku guna
85
Ali A (b), Op.cit. hlm 349.
86 WJs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1976, hlm 1031.
59
menciptakan suasana aman, damai dan tertib demi kepastian hukum
dalam masyarakat87
Dalam bidang hukum administrasi Negara, menurut P Nicolai dkk.,
dalam88, sarana penegakan Hukum Administrasi Negara berisi : (1)
Pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan
ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan
secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang
meletakkan kewajiban kepada individu, (2) Penerapan sanksi
pemerintahan. Apa yang dikemukakan Nicolai, hampir senada denga
ten Berge, seperti dikutip Philipus M Hadjon, yang menyebutkan
bahwa instrumen penegakan hukum Administrasi Negara meliputi
pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan
langkah preventif untuk melaksanakan kepatuhan, sedangkan
penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan
kepatuhan.
Untuk jelasnya tentang kedua sarana penegakan Hukum Administrasi
Negara, dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Pengawasan
Pengawasan menurut Sujamto (1986;19-20) dalam 89 adalah :
segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau
kegiatan apakah telah sesuai dengan semestinya atau tidak.
87
Machmud S, Op. Cit. hlm 292.
88 HR. Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
89 Anggriani J, 2012, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu : Yogyakarta.
60
Tujuan pengawasan dalam hal ini adalah :
1) Sebagai suatu tindakan pencegahan, agar tidak terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan .
2) Untuk mengetahui terjadinya pelanggaran-pelanggaran
terhadap peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh
administrasi Negara. Untuk itulah dipekerjakan pegawai-
pegawai yang bertugas sebagai pengawas.
Paulus E Lotulung dalam90 mengemukakan beberapa macam
pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara, bahwa ditinjau
dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontol
itu terhadap badan/organ yang dikontrol, dibedakan atas jenis
kontrol intern; berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh
badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk
dalam lingkungan pemerintah sendiri. Dan kontrol ekstern;
pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga
yang secara organisatoris/struktural berada diluar pemerintah.
b) Penerapan Sanksi
Dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan sanksi
administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan,
dimana kewenangan ini berasal dari aturan hukum Administrasi
Negara tertulis dan tidak tertulis91.
90
HR. Ridwan Op. Cit. hlm. 296. 91
HR. Ridwan Op. Cit. hlm. 298
61
Sanksi administrasi merupakan bagian penutup yang penting
dalam peraturan hukum administrasi Negara. Sanksi digunakan
atau dimaksudkan agar kewajiban – kewajiban dan larangan-
larangan bagi masyarakat yang dituangkan dalam peraturan
hukum administrasi dapat dipatuhi oleh masyarakat. Pengertian
sanksi administrative menurut Van Wijk/W Konijenbelt adalah
merupakan sarana –sarana kekuatan menurut hukum publik yang
dapat diterapkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara
sebagai reaksi terhadap mereka yang tidak menaati norma-
norma hukum TUN. Fungsi dari sanksi administratif adalah
sebagai alat pemaksa agar larangan-larangan dan kewajiban-
kewajiban yang telah ditentukan dalam peraturan-peraturan itu
ditaati oleh warga masyarakat92.
Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum
administrasi, yaitu :
1) Paksaan Pemerintah (bestuursdwang)
Berdasarkan UU Hukum administrasi Belanda, paksaan
pemerintah adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh organ
pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan,
mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada
keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang
dilakukan yang bertentagan dengan kewajiban-kewajiban yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
92
Anggriani J, Op.Cit. hlm.185-186.
62
2) Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin,
subsidi, pembayaran, dan sebagainya).
Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan berarti
meniadakan hak-hak yang terdapat dalam keputusan itu oleh
organ pemerintahan. Sanksi ini termasuk sanksi berlaku ke
belakang, yaitu sanksi yang mengembalikan pada situasi
sebelum keputusan itu dibuat.
3) Pengenaan uang paksa oleh Pemerintah (dwangsom).
Dalam Hukum Administrasi Negara, pengenaan uang paksa ini
dapat dikenakan kepada seseorang atau warga Negara yang
tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan
pemerintahan.
4) Pengenaan denda administratif (administratieva boete).
Menurut P. de Haan dkk, berbeda dengan pengenaan uang
paksa administrasi yang ditujukan untuk mendapatkan situasi
konkret yang sesuai dengan norma, yang ditujukan untuk
menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi
yang terdapat dalam hukum pajak93.
93
HR. Ridwan Op. Cit. hlm. 303-317
63
F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai
suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah
hukum. Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Penegakan
hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan,
walaupun dalam kenyataan di Indonesia adalah demikian94.
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto (2012), Faktor-
faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Di dalam tulisan ini, maka yang diartikan dengan undang-undang dalam
arti materil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat
oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Gangguan terhadap
penegakan hukum yang berasal dari undang-undang mungkin
disebabkan, karena :
Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang
94
Soerjono Soekanto,2012 (b), Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
64
belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan
untuk menerapkan undang-undang
ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.
2. Faktor Penegak Hukum
Ruang lingkup istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, karena
mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum. Secara sosiologis, maka
setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan
(role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur
kemasyarakatan (tinggi, sedang, rendah). Seseorang yang mempunyai
kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role
occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat
atau tidak berbuat. Kewajiban adalah beban atau tugas .
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan belangsung dengan lancar. Sarana atau
fasilitas tersebut, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka
mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
65
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut
tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum
tersebut. Di dalam bagian ini, secara garis besar perihal pendapat-
pendapat masyarakat mengenai hukum yang sangat mempengaruhi
kepatuhan hukumnya.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari
kebudayaan spiritual atau non material. Sebagai suatu sistem, maka
hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan. Kebudayaan
hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang
dianggap buruk (sehingga dihindari)95.
G. Malpraktik Perawat
Malpraktek atau Malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau
praktek. Mal berasal dari kata Yunani, yang berarti : buruk. Praktik (Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Purwadarminta, 1976) berarti menjalankan
perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan (profesi).
95
Ibid. hlm. 11, 18, 19,37, 45, 59
66
Jadi malpraktik berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak
lege artis, tidak tepat.96
Menurut Black’s Law Dictionary, menyebutkan : “Malpraktik adalah
setiap sikap tindak yang salah, kurang ketrampilan dalam ukuran yang tidak
wajar. Kegagalan untuk memberikan pelayanan professional dan
melakukannya pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar
oleh teman sejawat rat-rata dari profesinya di dalam masyarakat, sehingga
mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima layanan yang
memercayai mereka, termasuk di dalamnya adalah sikap tindak profesi yang
salah, kurang ketrampilan yang tidak wajar, menyalahi kewajiban profesi atau
hukum, praktik yang sangat buruk, illegal, atau sikap tindak amoral.97
Dalam taadi, 2010 dikatakan bahwa Malpraktik terdiri dari 3 bentuk,
yaitu : Malpraktik Kriminal, Malpraktik Sipil dan Malpraktik Administrasi.98
(a). Malpraktik Kriminal
Dinyatakan malpraktik criminal (criminal malpractice) jika perbuatan
tersebut memenuhi unsur aduan pidana (batin, alasan pemaaf,
hubungan batin dengan perbuatan). Dalam kriminal malpraktik dapat
berupa kesengajaan (intentional), kecerobohan (rekessness) atau
kealpaan (negligence).99
Sedangkan menurut Guwandi, 1993, dalam arti kriminal, kelalaian
menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius,
96
Hanafiah, J. dan Amir, A. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4, Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. hlm 96
97 Yunanto, A. dan Helmi. 2010. Hukum Pidana Malpraktik Medik, Andi Offset. Yogyakarta.
98 Taadi op. cit hlm 60-62
99 Taadi ibid.,
67
karena sifat yang sangat sembarangan atau sikap yang sangat acuh-tak
acuh terhadap kemungkinan timbulnya risiko yang bisa menyebabkan
orang lain terluka atau mati, sehingga bertanggungjawab terhadap
tuntutan kriminal oleh Negara.100
(b). Malpraktik Sipil.
Dikategorikan Malpraktik Sipil, jika petugas melakukan kewajibannya
(cacat janji/prestasi). Yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana
yang telah disepakati. Sofian dahlan dalam taadi, 2010. menyebutkan
beberapa tindakan yang dapat dikategorikan civil malpraktek antara lain :
1) Tidak melakukan (negative act) apa yang menurut kesepakatannya
dilakukan
2) Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan tetapi terlambat.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak harus
dilakukan.101
(c). Malpraktik Administrasi
Menurut Sofyan Dahlan (1999) disebut Malpraktik Administratif, jika
petugas melanggar hukum administrasi negara. Contoh tindakan
administrasi malpraktik :
1) Menjalankan praktik tanpa izin
100 Guwandi, J. 1993, Malpraktek Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. hlm.7
101 Taadi ibid.,
68
2) Melakukan tindakan diluar lisensi atau izin yang dimiliki.
3) Melakukan praktik dengan menggunakan izin yang kadaluarsa.102.
H. Kerangka Berpikir
Asas legalitas merupakan prinsip utama dalam setiap negara hukum,
hal ini mempunyai arti bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan
pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang. Sehingga dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan
tenaga kesehatan, temasuk perawat harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Peran ketentuan hukum pada setiap pelaksanaan
praktik perawat adalah sebagai sosial cotrol dan alat pengubah perilaku
dalam tindakan perawat, sehinga menjadikan perawat profesional dan
terhindar dari tuduhan, serta laporan malpraktik.
Praktik Keperawatan oleh perawat utamanya didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 23 ayat (1) dan (3), bahwa
setiap tenaga kesehatan diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan
kesehatan masyarakat, dan wajib memliki izin dari pemerintah. Ketentuan
tentang izin praktik dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/148/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat (pasal 8,9,10 ayat (1),(2),(3), dan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1769 Tahun 2011
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan Pasal 2 ayat (1), serta Permenkes RI.
Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011. Ketentuan Praktik Keperawatan oleh
102
Taadi ibid.,
69
Perawat berdasarkan ketiga Peraturan Menteri Kesehatan RI. diatas, yaitu :
Pada Praktik Mandiri, Perawat harus memiliki Surat Izin Praktik Perawat
(SIPP) dan Surat Tanda Registrasi (STR), sedangkan pada Praktik di Institusi
Pemerintah Perawat Harus memiliki STR saja.
Pelaksanaan praktik keperawatan oleh perawat dalam Peraturan
Menteri Kesehatan sebagaimana tersebut diatas, adalah melakukan Asuhan
Keperawatan. Juga perawat dibolehkan melakukan praktik diluar
kewenangannya dengan syarat: untuk penyelamatan nyawa paien pada saat
dokternya sedang tidak berada di tempat saat kejadian. Juga apabila perawat
yang bertugas di daerah tanpa dokter dengan mempertimbangkan
Kompetensi, kedaruratan, dan kemungkinan untuk dirujuk. Juga tentang
pelimpahan kewenangan oleh dokter kepada perawat diatur dalam
Permenkes RI. Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran pasal 23 ayat (1), (2), dan (3).
Berdasarkan kenyataan yang ada, Meskipun telah diatur tentang
praktik perawat, masih saja terjadi pelanggaran oleh perawat. Sehingga
ketentuan hukum dimaksud, belum menjadi acuan dalam pelaksanaan praktik
perawat. Juga penegakan sanksi administrasi belum maksimal sebagai alat
pemaksa dan pemberi efek jera. Hal tersebut disebakan karena substansi
hukum itu sendiri, Sosialisasi hukum, Penegak hukum, fasilitas dan
masyarakat. Untuk pelaksanaan peraturan perundangan diatas. Apabila
Ketentuan praktik perawat sebagai acuan yang responsif dalam pelaksanaan
praktik perawat dengan penerapan sanksi yang maksimal, serta faktor
penghambat dapat dihindari, maka akan menghasilkan pelaksanaan praktik
perawat yang optimal.
70
KERANGKA BERPIKIR :
X1
XY
X2
Y1
X3
KETENTUAN HUKUM
SEBAGAI ACUAN
DALAM PELAKSANAAN
PRAKTIK PERAWAT:
UU 29/2004
UU 36/2009
UU 44/2009
PP 32/1996
Permenkes : HK.02.02/148
/2010
Permenkes 2052/2011
Permenkes 1796/2011
Kepmenkes 1239/2001
Teori Perundang-
undangan
Teori Penegakan Hukum
Administrasi
Teori Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan
Hukum
Ketentuan Hukum Sebagai
Acuan Praktik Perawat
1. Pengaturan Hukum Izin
Praktik Perawat
2. Pengaturan Hukum
Kewenangan Praktik
Perawat
Terwujudnya
Pelaksanaan
Tugas Praktik
Perawat Yang
Optimal
Faktor - Faktor Yang Mem-
pengaruhi :
1. Substansi Hukum
2. Sosialisasi
3. Penegak Hukum
4. Fasilitas
5. Masyarakat
Penerapan Sanksi
Administrasi :
Teguran Lisan
Teguran Tertulis
Pencabutan Izin Sementara/ tetap
71
I. Defenisi Operasional
1. Ketentuan Hukum adalah aturan tentang pola pikir, perilaku dan
tindakan seseorang terhadap sesuatu objek/situasi yang dibuat dan
ditetapkan oleh pemerintah/pihak yang berkuasa untuk dilaksanakan
dan apabila tidak diindahkan akan mendapatkan sanksi sesuai yang
telah ditentukan.
2. Pengaturan Hukum Izin Praktik Perawat adalah suatu bentuk
pengaturan pemberian izin praktik perawat dalam peraturan
perundang-undangan dan peraturan kebijakan oleh lembaga/institusi
yang diberi kewenangan untuk itu.
3. Pengaturan Hukum kewenangan praktik perawat adalah suatu bentuk
pengaturan pemberian kewenangan praktik perawat dalam peraturan
perundang-undangan dan peraturan kebijakan oleh lembaga/institusi
yang diberi kewenangan untuk itu.
4. Acuan pelaksanaan paktik perawat adalah suatu alat untuk
mengupayakan pelaksanaan praktik perawat yang berkualitas dan
sesuai ketentuan hukum baik dari aspek perizinan maupun dalam
kewenangan tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukannya.
5. Penerapan sanksi administrasi adalah suatu upaya menerapkan
ketentuan hukum sanksi administrasi bagi perawat yang melanggar
ketentuan hukum praktik perawat dan atau ketentuan terkait lainnya,
oleh pejabat administrasi Negara khususnya pimpinan perawat.
72
6. Sanksi administrasi adalah merupakan sarana kekuatan menurut
peraturan perundang-undangan atau peraturan kebijakan yang dapat
diterapkan oleh pemerintah (pimpinan) sebagai reaksi terhadap
mereka yang tidak menaati noma-norma hukum tata usaha Negara.
7. Faktor yang menghambat praktik perawat adalah berbagai hal yang
menjadikan pelaksanaan hukum praktik perawat tidak dapat atau
kurang berlangsung sebagaimana mestinya.
8. Praktik perawat Yang Optimal adalah praktik perawat yang sejalan
dengan ketentuan hukum dan memenuhi berbagai standar pelayanan
kesehatan yang tersedia, guna menjamin hak dan kewajiban pasien
atau pihak lain dalam proses peningkatan, pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan penyakit pasien/masyarakat.
9. Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) adalah bukti tertulis yang diberikan
kepada perawat untuk melakukan praktik keperawatan secara
perorangan dan atau berkelompok.
10. Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki
sertifikat kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan.
11. Praktik Mandiri Perawat adalah praktik yang dilakukan oleh perawat
itu sendiri baik perorangan maupun kelompok.
12. Praktik Perawat di Institusi Pemerintah adalah praktik yang dilakukan
oleh perawat itu sendiri pada institusi/sarana kesehatan pemerintah
pada semua strata dan tingkatan.
73
13. Tempat Tanpa dokter adalah tempat dimana perawat sedang
melaksanakan prakteknya ada dokter, tetapi oleh satu dan lain hal
tidak berada di tempat tersebut.
14. Daerah Tanpa dokter adalah suatu daerah dimana perawat
melaksanakan praktiknya tidak ada tenaga dokter yang ditugaskan
berdasarkan peraturan yang berlaku.
15. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
16. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik
di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
17. Dokter adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di
dalam maupun diluar negeri yang diakui oleh pemerintah RI. sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
74
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Empiris. Adapun maksudnya, yaitu : untuk mengkaji kesesuaian ketentuan
hukum yang mengatur tentang Praktik perawat sebagai acuan dalam
pelaksanaan praktik perawat pada daerah tertentu, seperti : Daerah
Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan yang masih terbatas dalam hal
sumber daya dan akses wilayah yang sulit terhadap pelayanan kebutuhan
masyarakat, termasuk bidang kesehatan.
B. Lokasi dan Jenis Data Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis dalam penelitian ini
adalah di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara. Jenis data
yang diambil adalah data primer, yaitu : pada perawat yang terdapat di
sarana pelayanan kesehatan yang tersedia di seluruh wilayah kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud. Diamping data primer, terdapat
data sekunder yang merupakan acuan dalam pembahasan objek dalam
penelitian ini.
Alasan pemilihan Daerah tersebut sebagai lokasi penelitian, karena
merupakan salah satu daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan di
Indonesia yang secara geografisnya terdiri dari pulau-pulau, sehingga
terdapat berbagai kendala dalam hal akses pelayanan kesehatan baik
sarana, maupun tenaga dan penataan administrasinya. Dengan demikian
75
dapat menggambarkan keadaan yang lebih konprehensif dari permasalahan
praktik keperawatan yang sebenarnya.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh perawat yang
melaksanakan pelayanan kesehatan di Kabupaten Kepulauan Talaud
Propinsi Sulawesi Utara, yaitu : berjumlah 274 Orang.
2. Sampel
Sampel adalah contoh dari suatu populasi atau sub populasi yang
cukup besar jumlahnya dan sampel harus dapat mewakili populasi
atau sub-populasi. Untuk meneliti suatu populasi yang besar
jumlahnya terkadang tidak memungkinkan karena adanya
keterbatasan-keterbatasan tertentu, misalnya: dana, waktu, tenaga,
maka untuk melakukan generalisasi dibutuhkan sampel yang dapat
mewakili populasi.103
Menurut Suharsimi Arikunto (2005) memberikan pendapat sebagai
berikut : “..jika peneliti memiliki beberapa ratus subjek dalam populasi,
maka mareka dapat menentukan kurang lebih 25 – 30% dari jumlah
tersebut104Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah berjumlah
103
Fajar, M. dan Achmad, Y. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
104
Suharsimi Arikunto, 2005, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, hlm 117
76
25% (persen) x 274 = 68 orang perawat yang melaksanakan
tugas/praktik keperawatan di wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud.
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara
acak sederhana (Simple Random Sampling).
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan
jenis data yang diambil, yaitu :. Pengumpulan data primernnya dikumpulkan
melalui teknik Wawancara terhadap responden perawat yang merupakan
sampel penelitian. Sedangkan pengumpulan data sekundernya dilakukan
dengan cara studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum yang ada.
E. Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka dilanjutkan dengan pengolahan data,
yaitu mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum
tersebut tersusun secara runtut, sistematis, sehingga akan memudahkan
peneliti melakukan analisis. Analisis data dalam penelitian ini adalah bersifat
deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif-kuantitatif.
77
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan Hukum Sebagai Acuan dalam Pelaksanaan Praktik Perawat
Hukum dibuat untuk memberikan perlindungan kepada setiap
manusia. Filosofi perlindungan yang diberikan hukum adalah memberikan
hak dan kewajiban secara seimbang antara satu subjek hukum dan subjek
hukum lainnya. Subjek hukum Negara yang dilaksanakan oleh pejabat
administrasi Negara dalam menjalankan hak-hak Negara senantiasa
memperhatikan hak-hak warganya, sehingga tidak menimbulkan
kesewenang-wenangan105.
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berwenang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat. Tenaga perawat
dalam menjalankan tugas profesinya, diikat oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang dapat memberikan pegangan atau acuan
dalam menjalankan aktivitas (memberi pelayanan kesehatan). Perawat,
jika tidak didukung oleh ketentuan hukum berupa peraturan perundang-
undangan dan peraturan kebijakan yang menekankan pada perlindungan
hukum masyarakat dan perawat itu sendiri, maka profesi perawat akan
melakukan kesalahan-kesalahan fatal dan cenderung tidak terkontrol.
Sebagai acuan perawat dalam rangka implemetasi tugas dan
kewenangannya, maka diperlukan pengaturan praktiknya. Pengaturan itu,
105 Razak A, 2012, Peraturan Kebijakan (Beleidsregels), Republik Institute dengan
Rangkang Education Yogyakarta. hlm 161.
78
akan menjadi dasar hukum dan acuan perawat untuk menjalankan tugas
kewenangannya.
Semua pengaturan hukum baik peraturan perundang-undangan
mestinya berdasarkan landasan pemikiran dari berbagai aspek kehidupan
yang ada. Menurut Ruslan A, dalam Teori Three Pillars of Quality of Legal
Product untuk perancangan peraturan perundang-undangan bahwa
landasan pemikiran perancangan peraturan perundang-undangan adalah
landasan filosofis, yuridis, sosiologis dan politis. Landasan sosiologis
merupakan landasan yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan
kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembentukan peraturan
perundang-undangan (Perda), yaitu : ada sesuatu yang pada dasarnya
dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan106.
Mengacuh pada hal tersebut, maka dalam pembahasan ketentuan
hukum sebagai acuan pelaksanaan praktik perawat ini, akan lebih
bermakna dan komprehensif apabila di dukung oleh fakta-fakta di daerah
yang lebih kompleks permasalahan terhadap akses dan pemberian
pelayanan kesehatannya. Sebelum mengkaji lebih jauh tentang
pengaturan hukum praktik perawat, maka perlu dikemukakan tentang
karakteristik umum lokasi dan sampel yang menjadi objek dalam penelitian
ini. Hal ini dimaksudkan, agar lebih memberikan landasan bagi
pembahasan tentang pengaturan hukum praktik perawat, dimana terdapat
keadaan khusus di daerah yang perlu pertimbangan dan penyesuaian
ketentuan hukum praktik perawat. Untuk jelasnya, karakteristik umum
responden adalah sebagai berikut :
106
Ruslan A. Op. Cit. hlm 134.
79
Karakteristik Umum Responden
Secara umum karakteristik responden akan dilihat dari beberapa
aspek yang terkait erat dengan tujuan penelitian. Responden yang
diambil adalah Perawat yang bekerja di seluruh wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara.
Kabupaten Kepulauan Talaud berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI. No. 001/KEP/M-
PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal
adalah salah satu daerah tertinggal di Indonesia, Peraturan Presiden RI.
No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, 4
daerah kepulauan Talaud di tempatkan sebagai daerah terluar RI.
Secara Nasional Kabupaten Kepulauan Talaud adalah daerah yang
berbatasan laut dengan Negara Piliphina. Sehingga dalam berbagai
tindak lanjut kebijakan pemerintah khususnya bidang kesehatan,
Kabupaten Kepulauan Talaud menjadi prioritas dalam program
pembangunan kesehatan sebagai salah satu daerah Tertinggal,
Perbatasan dan Kepulauan di Indonesia.
Penelitian dilakukan pada sejumlah 68 Responden dari 274 orang
Perawat yang tersebar pada seluruh unit kerja bidang kesehatan di
Kabupaten Kepulauan Talaud. Untuk jelasnya karakteristik responden
(Perawat) dapat dilihat pada tabel dan uraian berikutnya.
80
Tabel 1. Karakteristik Responden Perawat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013
No Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
4.
5.
S1+ Ners
S1
DIV
DIII
SPK
3
5
3
37
20
3/68x100= 4,41
5/68x100= 7,36
3/68x100= 4,41
37/68x100= 54,41
20/68x100= 29,41
Jumlah 68 100
Sumber : data primer.
Berdasarkan tabel 1. diatas, ternyata dasar pendidikan perawat di
Kabupaten Kepulauan Talaud masih didominasi oleh perawat
vokasional, yaitu : DIII sejumlah 54,41% responden dan SPK sejumlah
29,41%. Masih relatif banyak perawat lulusan SPK menjadikan hal yang
dilematis dalam praktik perawat dan menjadi pekerjaan rumah bagi
Pemerintah untuk meningkatkan pendidikan perawat, sehingga
memberikan dampak pada peningkatan pelayanan kesehatan
masyarakat dan perawat dapat terhindar dari berbagai tuntutan hukum
yang merugikan perawat tersebut. Tingkat Pendidikan perawat sangat
penting, karena menurut WHO selain pembiayaan, delapan puluh
persen (80%) keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh
sumber daya manusia (SDM)107.
Disamping karakteristik responden (perawat) dilihat dari tingkat
pendidikannya, maka aspek tempat kerja perawat juga dapat
107 Agus34derajat, 2012, Untung Ruginya Bisnis Pendidikan di PT, (Avalaible :
12/4/2012 jam 11.50 wita), http://agus34derajat.wordpress.com/2012/11/25/untung-ruginya-bisnis-pendidikan-di-pt/
81
memberikan gambaran tentang tujuan penelitian secara umum. Tempat
kerja akan dpat menggambarkan keadaan sarana prasarana dan akses
rujukan, sumber daya manusia kesehatan yang belum cukup dan
keadaan ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Jelasnya karakteristik
tersebut, terdapat pada tabel 2. berikut :
Tabel 2. Karakteristik Responden (Perawat) Menurut Tempat Kerja Di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013
No Tempat Kerja Frekuensi Persentase
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dinas Kesehatan
Rumah Sakit
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Poskesdes
Praktik Mandiri
1
19
39
5
2
2
1/68x100= 1,47
19/68x100= 27,94
39/68x100= 57,35
5/68x100= 7,36
2/68x100= 2,94
2/68x100= 2,94
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer
Ket. : Unit kerja tempat praktik perawat terdiri dari : 7 unit di Perkotaan (Dinkes 1, RSUD 1, Puskesmas 2, Pustu 1, Poskesdes 1, Praktik Mandiri 1), 12 di Pedesaan (Puskesmas 7, Pustu 3, Poskesdes 1, Praktik Mandiri 1), 5 Unit di DTPK (RSB 1, Puskesmas 3, Pustu 1), sedangkan Puskesmas/ Pustu/ Poskesdes/Praktik Mandiri/ Dinkes Yang Rawat Jalan adalah 17 unit dan Rumah Sakit/Puskesmas adalah 7 Unit.
Hasil Penelitian pada tabel 2 diatas, ternyata sebagian besar
perawat bekerja di Puskesmas dan jaringannya (Pustu dan Poskesdes),
yaitu 46 (67,65%), Sedangkan di Rumah Sakit 19 (27,94%) dan 3
(4,41%) lainnya (Praktik Mandiri dan Dinas Kesehatan).
82
Perawat sebagian besar bertugas di Puskesmas dan jaringannya,
memberikan gambaran bahwa tantangan dan resiko terhadap
pelayanan kesehatan masyarakat tidak sesuai ketentuan semakin
besar. Puskesmas dan jaringannya lebih banyak berada di daerah
pedesaan, terpencil dan kepulauan yang sering kurang dari segi
fasilitas dan sumber daya manusia (dokter), akses ke tempat rujukan,
serta keadaan daya beli masyarakat dan adanya budaya pengobatan
alternatif lainnya.
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa pengaturan hukum perawat
diperlukan sebagai acuan dalam pelaksanaan praktik perawat. Hal
tersebut, sejalan yang dikatakan Hermien Hadiati Koeswadji dalam108
bahwa dalam Ilmu Pengetahuan, diantaranya hukum dapat diartikan
sebagai Undang-Undang dan /atau peraturan mengenai tingkah laku
(tertulis) yang dibuat oleh penguasa. Hukum dalam arti sebagai undang-
undang dan/atau peraturan mengenai tingkah laku inilah lazimnya
disebut sebagai hukum objektif, yaitu berupa rangkaian peraturan yang
mengatur tentang macam-macam perbuatan yang boleh dilakukan dan
dilarang, siapa yang melakukannya, serta sanksi apa yang dijatuhkan
atas pelanggaran peraturan tersebut. Untuk pengkajian tentang
pengaturan praktik perawat, akan dilihat pada segi pengaturan hukum
perizinan dan pengaturan hukum kewenangannya.
108
Machmud, S, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi dokter yang di duga melakukan Medikal Malpraktik, Karya Putra Darwati Bandung.
83
1. Pengaturan Hukum Perizinan Praktik Perawat
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan
dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat
berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan
izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau
diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang
bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan109.
Perawat merupakan suatu profesi di bidang kesehatan yang
melaksanakan tugas pelayanan kesehatan kepada masyarakat, juga
harus memiliki izin dari pemerintah. Hal tersebut dilakukan dalam
rangka mengatur dan mengendalikan pelaksanaan tugasnya, agar tidak
terjadi kesalahan yang dapat merugikan diri sendiri dan atau orang lain
yang dilayani, serta terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Pengaturan
perizinan praktik perawat tersebar pada beberapa peraturan perudang-
undangan yang berlaku. Perawat sebelum dapat melaksanakan
kewenangannya wajib memenuhi hal-hal yang diatur dalam ketentuan
perizinan praktik perawat, sebagai berikut :
1) Undang-Undang Nomor : 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada
pasal 23 ayat (1), (3) dan (5), bahwa tenaga kesehatan berwenang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan wajib memiliki izin dari
pemerintah yang diatur dalam peraturan pemerintah.
2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, pasal
13 ayat (3), bahwa Tenaga Kesehatan tertentu yang bekerja di
109
Sutedi A, Op. Cit. hlm 168
84
Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (Dalam penjelasan, salah satu tenaga
kesehatan tertentu adalah tenaga Perawat).
3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1992 tentang Tenaga
Kesehatan pada pasal 2, 3 dan 4 ayat (1), (3), Bahwa salah satu
tenaga kesehatan adalah perawat dan wajib memiliki ijazah. Tenaga
kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah memiliki
ijin dari menteri.
4) Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/148/I/ 2010
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat pasal 2 ayat (1),
(2) dan (3), bahwa Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan diluar praktik
mandiri dan/atau praktik mandiri. Perawat yang menjalankan praktik
mandiri berpendidikan minimal Diploma III (DIII) Keperawatan. Pasal
3 ayat (1), (2), bahwa Perawat menjalankan praktik wajib memiliki
SIPP, kecuali bagi Perawat praktik pada fasilitas pelayanan
kesehatan diluar praktik mandiri. Pasal 4 ayat (1), bahwa SIPP
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,SIPP berlaku
selama STR masih berlaku.
5) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796/MENKES/PER/VIII/2011
Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan pasal 2 ayat (1), (2), bahwa
tenaga kesehatan bekerja wajib memiliki STR, untuk memperolehnya
harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi.
Berdasarkan ketentuan hukum praktik perawat yang telah diuraikan
diatas, ringkasnya bahwa perawat sebelum melaksanakan praktiknya
85
harus memiliki Ijazah perawat, Lulus Ujian Kompetensi dan atau telah
memiliki Surat Tanda Registrasi dan bagi yang melakukan Praktik
Mandiri wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat dari Pemerintah
Daerah Setempat. Jika hal-hal diatas tidak dipenuhi, tetapi perawat dan
atau orang lain melakukan pekerjaan/praktik perawat dapa dianggap
sebagai malpraktik.
Ketentuan hukum yang dibuat diharapkan berfungsi menjadi acuan
yang baik dalam praktik perawat, tetapi kenyataanya tidak sesuai
harapan. Terbukti, meskipun telah ada pengaturan tentang praktik
perawat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, tetapi dilapangan
masih saja terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum dimaksud.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata masih sebagian besar perawat
yang melaksanakan praktiknya belum memiliki STR dan/SIPP (60,29%),
Sedangkan yang memiliki STR dan/SIPP (39,71%). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pelaksanaan ketentuan hukum praktik perawat
khususnya pada segi perizinan belum sepenuhnya dilakukan oleh
perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud.
Menurut110 Hak atas derajat kesehatan yang optimal sebagai HAM
eksis sebagai hak yang dijamin dan dilindungi oleh sistem hukum
Indonesia. Untuk lebih terjamin dan terlindunginya derajat kesehatan
yang optimal bagi masyarakat tersebut, maka diperlukan norma hukum
yang jelas dan mampu mengakomodir kepentingan kesehatan
masyarakat sampai ke pelosok desa sekalipun.
110
Titon S.K, 2007, Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM Di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung. hlm . 456.
86
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, ternyata ada beberapa
hal tentang perizinan perawat yang masih belum memadai
pengaturannya, apalagi pada praktik perawat di daerah yang penuh
keterbatasan dalam hal sumber daya kesehatan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan. Substansi Pengaturan hukum yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
Permenkes HK. 02.02/148/2010 pasal 2 ayat (3) dikatakan bahwa
Perawat yang menjalankan praktik mandiri, berpendidikan minimal
Diploma III (DIII) Keperawatan atau perawat lulusan SPK kebawah
tidak diperbolehkan.
Salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
menurut I.C. Van Der Vlies adalah asas materilnya, yaitu : asas
perlakuan yang sama dalam hukum (het recht
gelijkkeheidsbeginsel) 111 Perlakuan yang tidak sama atau adanya
dikotomi pada pemberian izin perawat diatas, nampaknya
diskriminatif dan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan asas hukum
dimaksud. Mengacuh pada UU No. 20 Tahun 2003 pasal 15, 18, 19
bahwa pendidikan itu ada kejuruan, vokasional, profesi, dan terdiri
dari pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Disana tidak ada
pendidikan untuk kejuruan mandiri dan tidak mandiri.
Mestinya baik praktik mandiri maupun praktik diluar praktik mandiri
konsisten bahwa hanya DIII ke ataslah yang berhak menjalankan
praktik keperawatan. tetapi jika SPK dan lainnya diperkenankan
111
Ruslan A, Op. Cit. hlm 124.
87
untuk menjalankan praktik diluar praktik mandiri, maka merekapun
berhak untuk praktik mandiri. Karena dalam pekerjaan keduanya
sama-sama memiliki kompetensi untuk tugas dan tanggung jawabnya
sebagai perawat. Hal tersebut juga dapat diberikan alasan bahwa
umumnya perawat yang lulusan SPK adalah perawat yang sudah
lulusan lama/senior atau lebih berpengalaman. Bagi yang Pegawai
Negeri Sipil umumnya telah banyak mengikuti berbagai pelatihan
teknis fungsional keperawatan. Jika alasannya, karena di Praktik
mandiri tidak ada yang mengawasinya, maka meskipun di praktik luar
mandiri, misalnya : di Puskesmas pembantu umumnya perawat
hanya sendirian sebagai petugasnya. Perawat dimaksud, terkadang
hanya lulusan SPK saja, tetapi bertanggung jawab pada semua
pelayanan di Puskesmas Pembantu tersebut.
Pada daerah yang tidak ada dokter dan terpencil, banyak perawat
lulusan SPK yang melakukan pertolongan dan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Perbandingan data perawat tahun 2011 di
Kabupaten Kepulauan Talaud berdasarkan tingkat pendidikan, yaitu :
lulusan SPK 41,8%, DIII Keperawatan 52,73%, S1 Keperawatan
2,57% dan Ners 2,89%. Sinkron dengan tersebut, pada penelitian ini
didapatkan data perawat DIII sejumlah 54,41% responden dan SPK
sejumlah 29,41%. Hal itu menunjukkan bahwa masih banya perawat
yang berpotensi melanggar hukum, jika pengaturannya seperti
dimaksud pada pasal 2 ayat (3) Permenkes 148/2010 diatas.
Ketentuan hukum harus adil dan bermoral, karena salah satu tujuan
dibuatnya hukum adalah keadilan. Itupun sejalan dikatakan Dworkin
88
dalam 112 yang menentukan bahwa suatu aturan itu merupakan
aturan hukum atau bukan adalah isi aturan itu, yaitu adakah aturan
itu memancarkan prinsip moral atau tidak.
Transisi perawat mendapatkan atau memperpanjang STR dan SIPP
belum sepenuhnya jelas, baik dari segi lamanya kepengurusan dan
toleransi waktu dan sanksi hukum terhadap aparat yang lalai dalam
mengeluarkan STR dan SIPP dimaksud.
Saat ini seringkali perawat telah mengurus STR (telah memasukkan
berkas) ke pihak yang berwenang, tetapi sering terlambat pemberian
izinnya. Akibat keterlambatan itu, perawat dapat dirugikan dan
menerima konsekwensi hukumnya. Maksudnya, ketika terjadi
sesuatu permasalahan dalam pelaksanaan praktiknya dan belum
memiliki STR atau SIPP, maka perawat tentunya akan dikatakan
melanggar peraturan atau dapat dikatakan sebagai malpraktik.
Sejalan dikatakan Taadi, disebut Malpraktik Administratif, jika
petugas melanggar hukum administrasi Negara salah satu contohnya
adalah tindakan administrasi malpraktik, yaitu menjalankan praktik
tanpa izin.113
Pengaturan hukum tentang perizinan perawat, tidak pernah
dijelaskan tentang transisi pengurusan dan atau ada toleransi waktu
berlakunya. Mestinya perlu pengaturan tentang STR atau SIPP
sementara dalam pengurusan perawat masih dapat melaksanakan
tugas/praktiknya sampai dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Di
112
Marzuki P, Op.Cit. hlm 67 113
Taadi, Op.Cit. hlm 62
89
lain pihak, para pejabat yang berwenang memproses pengurusan hal
tersebut tidak ada sanksinya. Sehingga kembali lagi, bahwa perawat
yang disalahkan.
Fakta dilapangan, Transisi perawat mendapatkan atau
memperpanjang STR dan SIPP belum sepenuhnya jelas, yaitu :
pada penelitian yang dilakukan, ternyata terdapat 7 (10,29%) dari 68
responden yang menyatakan sudah mengurus STR, tetapi belum ada
realisasinya.
Keadaan yang terjadi sebagaimana dimaksud, sebenarnya
cenderung pada masalah pelayanan publik. Pelayanan Publik di
dalam lampiran 3 Kepmenpan No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 paragraf I,
butir C adalah diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum
maupun sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-undangan 114 .
Instansi pemerintah dimaksud, berarti pihak yang berwenang
mengeluarkan izin, yaitu para aparat birokrat yang ada di jajaran
pemerintahan baik di Pusat, daerah Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Sehingga dalam hal pengurusan izin pada praktik
perawat, pihak yang berwenang adalah aparat yang ada di jajaran
Kesehatan baik Pusat maupun daerah.
Aparat pemerintah dalam mengeluarkan izin berupa STR dan SIPP
mestinya memperhatikan asas-asas umum penyelenggaraan umum
yang baik. Menurut Crince Le Roy, diantaranya adalah kepastian
114
Sutedi A, Op.Cit. hlm 18.
90
hukum (principle of legal security), asas keadilan atau kewajaran115.
Pemerintah sebaiknya dapat memberikan kepastian hukum dan
keadilan tentang status praktik perawat melalui pemberian izin secara
cepat dan proporsional. Begitu juga, pasal 3 Undang-Undang No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disebut UU KKN)
menyebutkan asas-asas yang menjadi landasan penyelenggaraan
publik, diantaranya adalah asas tertib penyelenggaraan Negara dan
asas profesionalitas 116 . Hal itu berarti, aparat yang berwenang
mengeluarkan STR dan SIPP harus tertib dan profesional dari segi
waktu dan penanganan administrasinya, mulai dari penerimaan
sampai dikeluarkannya.
Pelayanan STR dan SIPP kepada perawat itu sangat penting dan
perlu perhatian, sehingga pelayanannya harus baik. Apabila
dibiarkan, maka akan berdampak pada menurunnya pelayanan
kesehatan masyarakat sebagai suatu sub sistem pelayanan
masyarakat. Suatu sistem pelayanan masyarakat, kiranya dapat
dikatakan baik, apabila memenuhi 7 unsur, diantaranya : adanya
prosedur kerja yang praktis dan tidak berbelit-belit dan kejelasan
batas waktu penyelesaian suatu izin/pelayanan 117 Ketidakjelasan
dalam segi waktu dan proses penanganan pemberian izin (STR dan
115
Sibuea, H.P. Op. Cit hlm 158.
116 Sutedi A, Op.Cit. hlm . 18
117 Ibid,. hlm 35.
91
SIPP) pada praktik perawat diatas, dapat dikatakan sebagai
pelayanan pemerintahan yang kualitasnya belum baik.
Kelemahan pengaturan hukum yang ada, yaitu belum adanya batas
minimal dalam pemeberian izin. Menurut Sutedi, beberapa peraturan
perundang-undangan Indonesia telah mengatur tugas dan tanggung
jawab publik, namun tidak ada satu peraturan perundang-undangan
tertentu secara khusus mengatur mengenai pelayanan publik yang
berisi ketentuan minimum yang harus dipatuhi dan dipenuhi oleh
instansi pelayanan publik118.
Bertolak dari uraian diatas, maka waktu minimal dan sanksi tentang
keterlambatan pengurusan izin dalam sebuah aturan terkadang harus
ada, termasuk pada pengaturan praktik perawat. Hal itu perlu, untuk
memberikan kepastian dan keadilan bagi masyarakat, termasuk
perawat. Disamping itu, sebagai motivasi kesadaran bagi aparat
tentang tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan izin bagi
praktik perawat.
Pengaturan tentang Praktik mandiri perawat belum dilakukan
pembatasan tentang jumlah tempat dan daerah bagi perawat untuk
boleh berpraktik.
Jumlah tempat dan atau daerah penting, agar dapat dijamin kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat oleh perawat. Hal itu perlu
dilakukan pengaturan, sehingga perawat dapat fokus dan tidak terjadi
118
Ibid,. hlm 20.
92
kesalahpahaman antara perawat satu dengan perawat lain, perawat
dengan pasien atau tenaga kesehatan yang lainnya.
Perawat yang rangkap tugas bidan atau profesi lainnya dan/atau
sebaliknya, perlu diperjelas pengaturan perizinannya.
Dilapangan ternyata banyak terdapat bidan yang juga lulusan
perawat atau sebaliknya. Jika tidak dilakukan pengaturan, bisa saja ia
melakukan praktik rangkap, yaitu sebagai bidan dan sebagai perawat
sehingga tidak jelas keprofesiannya. Dalam PP No. 32 Tahun 1996
tentang Tenaga kesehatan bahkan dalam UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan sebagai rujukan maksud profesi kesehatan diatas,
tidak pernah dijelaskan tentang dapat dimungkinkan praktik rangkap
jabatan seperti dimaksud. Jika ada, maka dapat berdampak pada
pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak optimal. Selain itu, dari
segi administrasi profesi dan pertanggung jawaban etika dan
hukumnya, akan terjadi ketidakpastian. Sehingga perlu dilakukan
pengaturan tentang jabatan rangkap perawat sebagaimana
dikemukakan diatas.
Beberapa hal diatas, merupakan permasalahan yang perlu
pengaturan lagi dalam ketentuan hukum praktik perawat, agar
pelaksanaan tugas perawat dapat optimal dan hak masyarakat untuk
memperoleh derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat
terwujud. Pengaturan hukum praktik perawat mestinya dapat menjamin
masyarakat dan perawat sebagai tenaga kesehatan dalam hal
memperoleh dan memberikan hak atas derajat kesehatan masyarakat
yang optimal sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkeadilan,
93
bermanfaat dan penuh kepastian. Hal itupun, telah diamanatkan dalam
kosntitusi kita, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945 pada :
Pasal 28H ayat (1) : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 34 ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan keseatan dan fasilitas umum yang layak. Apabila hal-hal yang dikemukakan diatas, belum dilakukan
penyesuaian pengaturannya, maka ketentuan perawat tidak menjadi
acuan atau pedoman yang baik dalam praktik perawat. Ketentuan
dimaksud, akan menambah permasalahan baru dalam kaitan
penyelenggaraan praktik perawat. Sejalan dengan itu, menurut Gerald
Turkel (dalam Ahmad Ali, 1998), bahwa hukum bukan saja sekadar
dapat tidak efektif, tetapi juga sering menimbulkan masalah baru atau
memperumit masalah yang sudah ada119.
Perawat dalam hal terjadi penertiban oleh pemerintah ataupun terjadi
kesalahan praktiknya, dapat diproses secara hukum. Padahal dalam
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 27 ayat
(1) dikatakan bahwa Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan
dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya. Ketika itu terjadi, maka akan terjadi kemandekan dalam
pelayanan. Secara psikologi perawat akan merasa takut melakukan
tindakan pertolongan bagi pasien/masyarakat saat sakit, meskipun
dalam keadaan darurat atau di tempat tanpa dokter. Misalnya : pada
119
Ahmad A.K., Op. Cit. hlm 46.
94
saat perawat Misran dikatakan bersalah dalam persidangan, karena
memberikan obat label merah pada pasien di daerah yang tanpa dokter,
gaungnya telah kemana-mana dan memberikan respon perlawanan
oleh perawat. Jika hal itu berlaku, maka masyarakatlah yang akan
dirugikan juga.
2. Pengaturan Hukum Kewenangan Praktik Perawat
Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, yaitu
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-
Undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif, Kewenangan
biasanya terdiri ada beberapa wewenang dan Kewenangan adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan
terhadap sesuatu bidang pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud
wewenang adalah :Kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum
publik120.
Perawat adalah merupakan tenaga kesehatan profesional yang
mempunyai kekuasaan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan
di bidang keperawatan sesuai kompetensi dan standar profesinya.
Untuk penerapan praktik perawat tersebut perlu ketetapan (legislasi)
yang mengatur hak dan kewajiban perawat yang terkait dengan
pekerjaan profesi. Legislasi dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi masyarakat dan perawat121.
120
Anggriani J, Op. Cit. hlm 87-88
121 Praptianingsih S, Op. Cit. hlm 215
95
Berbagai pengaturan hukum praktik perawat telah dibuat oleh pihak
yang berwenang, tetapi seringkali belum dapat menjadi acuan yang baik
dalam implementasi tugas praktik perawat. Masih terdapat hal-hal yang
perlu pengaturan lagi sesuai keadaan yang ada di daerah tertentu.
Setelah gambaran singkat tentang lokasi penelitian dan karakteristik
umum responden diatas, maka perlu dilakukan pengkajian lanjut
tentang pengaturan praktik perawat yang telah ada terhadap fakta di
lapangan. Hal itu diperlukan, untuk melihat apakah pengaturan yang
ada mampu menjadi acuan pelaksanaan praktik perawat sampai di
seluruh pelosok pedesaan yang ada di Indonesia, atau masih diperlukan
pengaturan yang mempertimbangkan keadaan tertentu seperti di
Kabuapten Kepulauan Talaud sebagai Daerah tertinggal, Perbatasan
dan Kepulauan. Apalagi saat ini Perawat melalui PPNI terus mendesak
untuk segera disahkan Undang-Undang Keperawatan dengan alasan
diantaranya pengaturan yang ada belum sepenuhnya memberikan
perlindungan hukum bagi perawat utamanya mereka yang bertugas di
daerah tepencil dan terisolir.
Pengaturan hukum praktik perawat dalam peraturan perundang-
undangan dan peraturan kebijakan adalah sebagai berikut :
1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Pasal 73 ayat (2) dan (3), bahwa setiap orang dilarang memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter/dokter gigi yang telah memiliki
tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali bagi tenaga
96
kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-
undangan (salah satunya perawat).
2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 23
ayat (1), (2), bahwa Tenaga Kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan, sesuai dengan bidang
keahlian yang dimiliki. pasal 24 ayat (1), dan harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.
3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit pasal
13 : bahwa Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan
rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika
profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan
pasien.
4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/ 2010
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat pada Bab III
Penyelenggaraan Praktik pasal 8 ayat (1-7), bahwa Praktik
keperawatan dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga, ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Praktik keperawatan
dilaksanakan melalui kegiatan :Asuhan keperawatan; meliputi
pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan,
implementasi dan evaluasi keperawatan. Perawat dalam
menjalankan asuhan keperawatan dapat memberikan obat bebas
dan atau obat bebas terbatas.Pasal 10 ayat (1) bahwa Dalam
97
keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan
tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melakukan
pelayanan kesehatan diluar kewenangan. Ayat (2-7) : Bagi perawat
yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter dalam
rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan
kesehatan diluar kewenangan, dan harus mempertimbangkan
kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan untuk dirujuk.
Daerah yang tidak memiliki dokter adalah kecamatan atau
kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota. Jika telah terdapat dokter, kewenangan perawat
dimaksud tidak berlaku. Pasal 12, bahwa Perawat dalam
menjalankan praktik wajib membantu program pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
5) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011
Tentang Izin Praktik & Pelaksanaan Praktik Kedokteran Pasal 23 ayat
(1-3), bahwa Dokter atau Dokter Gigi dapat memberikan pelimpahan
suatu tindakan kedokteran atau kedokteran gigi kepada perawat,
bidan atau tenaga kesehatan tertentu lainnya secara tertulis, hanya
dapat dilakukan dalam keadaan dimana terdapat kebutuhan
pelayanan yang melebihi ketersediaan dokter atau dokter gigi di
fasilitas pelayanan tersebut dengan ketentuan ; (a) termasuk dalam
kemampuan dan ketrampilan yang telah dimiliki oleh penerima
pelimpahan ; (b) tetap dibawah pengawasan pemberi pelimpahan, (c)
pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab sepanjang
pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; (d)
98
tidak termasuk mengambil keputusan klinis sebagai dasar
pelaksanaan tindakan; dan (e) tidak bersifat terus menerus.
6) Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
94/KEP/M.PAN/11/2001 pasal 5, bahwa Unsur-dan sub unsur
kegiatan perawat yang dinilai angka kreditnya terdiri dari :
Pendidikan, Pelayanan keperawatan (Askep, pelayanan
keperawatan, tugas jaga dan siaga, tugas khusus), Pengabdian pada
masyarakat, pengembangan profesi dan penunjang pelayanan
keperawatan.
7) Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 1239/Menkes/SK/XI/ 2001
Tentang Registrasi dan Praktek Perawat pasal 15, bahwa Perawat
dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
Melaksanakan asuhan keperawatan dengan tindakan meliputi:
intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan
konseling kesehatan, dilaksanakan sesuai standar asuhan
keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi. Pelayanan
tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan
tertulis dokter.
Pasal 17, bahwa Perawat dalam melakukan praktik keperawatan
harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan
pendidikan dan pengalaman serta berkewajiban mematuhi standar
profesi. Pasal 18, bahwa Perawat dalam menjalankan praktek harus
membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Pasal 20 ayat (1), (2), bahwa Dalam
keadaan darurat mengancam jiwa seseorang/pasien, perawat
99
berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangan, ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Berdasarkan ketentuan hukum praktik perawat yang telah diuraikan
diatas, bahwa perawat setelah memenuhi persyaratan administrasi
sebagaimana yang telah uraikan sebelumnya, dapat melakukan
praktiknya. Pengaturan kewenangan diatas, Intinya bahwa perawat
dalam pelaksanaan paktiknya, melakukan asuhan keperawatan,
melaksanakan tindakan medis yang dilimpahkan oleh dokter,
melaksanakan tindakan diluar kewenangannya disaat tidak ada dokter
ditempat kejadian dalam rangka penyelamatan nyawa
seseorang/pasien, melaksanakan tindakan diluar kewenangannya di
daerah yang tidak memiliki dokter dan melaksanakan tugas dalam
rangka membantu program pemerintah untuk meningkatkan derajat
kesehatan. Jika hal-hal diatas tidak dipenuhi dan atau dilanggar oleh
perawat dan atau orang lain melakukan pekerjaan perawat tersebut,
dianggap sebagai malpraktik.
Ketentuan hukum perawat yang telah dibuat dan menjadi dasar
kewenangan praktik perawat bertujuan : agar masyarakat dan perawat
terlindungi dalam pelaksanaan praktiknya. Apalagi, Sebelumnya telah
dikatakan bahwa menurut Kurnia T.S., Hak atas derajat kesehatan yang
optimal sebagai HAM eksis sebagai hak yang dijamin dan dilindungi
oleh sistem hukum Indonesia122. Itu berarti, pengaturan hukum praktik
perawat semata-mata dapat menjamin hak masyarakat untuk
122
Kurnia, T.S., Op.Cit. hlm 456.
100
mendapatkan pelayanan kesehatan pada semua lapisan masyarakat di
mana saja ia berada dan hidup di wilayan hukum Indonesia.
Menurut H.L.A. Hart, secara konseptual salah satu fungsi hukum
adalah untuk menentukan dan menegaskan macam kelakuan tertentu
sebagai sesuatu yang boleh dilakukan dan dilarang dilakukan, tanpa
memperhatikan kehendak mereka yang dikenakan pembatasan tadi123.
Bentuk tindakan perawat adalah merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya. Tindakan yang dilakukan sejatinya harus sesuai
dengan kompetensi dan standar profesi perawat yang telah diatur
dengan ketentuan hukum perawat atau terkait lainnya. Tetapi
pelaksanaan suatu ketentuan hukum seringkali tidak sejalan seperti apa
yang tercantum dalam ketentuan hukum tersebut. Ketentuan hukum
praktik perawat yang sudah dibuat, tentunya tidak secara otomatis
dapat dilaksankan. Berbagai kendala yang dapat menghambat
pelaksanaan hukum, pasti akan ditemui oleh perawat setiap saat dan
pada situasi apapun.
Meskipun telah ada ketentuan hukum kewenangan praktik perawat
dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan
diatas, tetapi masih saja ditemukan pelanggaran-pelanggaran praktik
perawat. Terbukti, pada penelitian ini ditemukan : pada umumnya
perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud (76,47%) melaksanakan
tindakan praktiknya tidak sesuai dengan ketentuan hukum praktik
perawat yang berlaku, hanya 23,53% saja yang melakukan praktik
123
Soewondo S.S. Op. Cit. hlm 6
101
perawat yang sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tindakan Tidak
sesuai Ketentuan, Yaitu : Membuat anamnesa medis, therapy dan resep
obat keras, meracik obat, memasang infus sendiri, jahit luka kecil
sampai besar, melakukan pertolongan persalinan, memasang alat KB
(tanpa sertifikat), melakukan pemeriksaan laboratorium (tanpa
sertifikat), tidak membuat laporan asuhan keperawatan, melakukan
semua jenjang asuhan keperawatan pada pasien dan lain sebagainya.
Tindakan sesuai ketentuan : Melaksanakan Asuhan Keperawatan,
Melakukan tindakan medis sesuai ketentuan (keadaan darurat saat
tidak ada dokter ditempat/ di daerah tidak ada perawat).
Perawat melakukan kesalahan dalam praktiknya diatas, bukan
semata-mata kesengajaan atau kelalaiannya saja, tetapi lebih pada
situasi yang menuntut dia melakukan tindakan pelayanan kesehatan
dan belum dapat diakomodir permasalahan tersebut oleh peraturan
perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang ada. Diantara
permasalahan yang dihadapi perawat dalam pelayanan kesehatan di
Kabupaten Kepulauan Talaud dapat dilihat pada bagian berikutnya.
Menurut Indar (2010), dalam perspektif etika dan hukum kesehatan,
terjadinya suatu malpraktik atas dasar suatu tindakan atau tanpa
memberikan tindakan akan berkaitan dengan unsur kesengajaan atau
kelalaian dalam pemberian tindakan keperawatan. secara yuridis formal
kejadian seperti itu akan melahirkan tuntutan hukum dari pasien dan
atau keluarganya terhadap perawat berdasarkan perbuatan melanggar
102
hukum124. Hal itu berarti pelanggaran praktik perawat diatas, terancam
dapat dikatakan sebagai malpraktik perawat meskipun suatu keadaan
yang tidak dapat dapat dihindarkan oleh perawat.
Setelah dilakukan kajian, ternyata ada beberapa hal penting dan
mestinya diatur dalam ketentuan hukum praktik perawat, tetapi
kenyataannya tidak ada pengaturan hukumnya. Hal-hal itu sangat
berkontribusi dalam pelanggaran praktik perawat. Selain itu, juga
terdapat hal-hal yang sudah ada pengaturan hukumnya, tetapi belum
jelas substansinya. Untuk lebih lengkapnya kajian dimaksud adalah
sebagai berikut :
1) Perawat yang melakukan pengobatan di puskesmas yang ada
dokternya, tetapi dokternya tidak ada ditempat, sedangkan pasien
yang dilayani secara medis tidak dalam keadaan darurat.
Ketentuan hukum praktik perawat yang ada tidak mengatur tentang
keadaan diatas, padahal terjadi setiap hari pada masyarakat dan
merupakan kebutuhan mendasar. Dilain pihak perawat akan
disalahkan, karena tidak memiliki kewenangan untuk melayani
pasien. Terhadap keadaan tersebut, berdasarkan hasil penelitian
ternyata terdapat praktik perawat melakukan pengobatan di
puskesmas yang ada dokternya tetapi tidak di tempat (diluar daerah
dll), baik pasien Rawat Jalan, Rawat Inap dan Gawat Darurat
42(61,76%).
124
Indar H, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), Makassar.
103
Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 1239/Menkes/SK/XI/ 2001
Tentang Registrasi dan Praktek Perawat pasal 15 yang mengatur
tentang kewenangan perawat, belum disesuaikan terhadap
permasalahan pelayanan sebagaimana dimaksud diatas.
Selanjutnya, kewenangan perawat dalam Permenkes tersebut,
disempurnakan dengan Permenkes HK. 02.02/148/2010 pasal 10
ayat (1) dikatakan :
Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
Pasal diatas hanya membolehkan perawat melakukan tindakan jika
dalam keadaan darurat menyelamatkan nyawa pasien (Pasien sudah
sekarat). Padahal pelayanan pengobatan oleh perawat diatas, bukan
saja pasien dalam keadaan darurat saja, tetapi semua pasien yang
datang berobat baik pasien yang sakit ringan seperti flu, pilek atau
gatal-gatal bahkan yang berat dilayani dan dilakukan tindakan
perawatan dan medis oleh perawat. Sehingga redaksi pada pasal 10
ayat (1) diatas tidak tepat dengan keadaan yang terjadi.
Masih pada permenkes HK.02.02/148/2010 pasal 10 ayat (2), (4) dan
(5) dikatakan :
Bagi perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
104
Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terdapat dokter, kewenangan perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku. Maksud ketiga ayat tersebut, hanya pada daerah yang tidak ada
dokter yang ditetapkan oleh pemerintah, perawat dapat
melaksanakan kewenangan diluar asuhan keperawatan. Padahal
situasi diatas, perawat melakukan pelayanan pasien (Sakit ringan,
sedang dan berat) diluar kewenangannya atau melakukan
pengobatan. Itu berarti perawat dianggap melakukan pelanggaran
atau dapat dituduh malpraktik. Padahal jika perawat tidak melayani,
maka perawat juga akan disalahkan oleh pimpinan dan terutama oleh
masyarakat.
Perlu dikemukakan pula, bahwa dokter yang di tempatkan di daerah
terpencil umumnya adalah dokter Pegawai Tidak Tetap yang berasal
dari luar daerah asal, sehingga banyak kali mereka izin untuk ke
kampungnya atau ke mana saja dan itu memakan waktu berminggu-
minggu bahkan sampai bulannya. Belum lagi ada masalah seperti
sakit, kepengurusan perpanjangan kontrak, terlambat datang
bertugas sesuai penempatan (TMT) yang membuat kekosongan
puskesmas dari tenaga dokter, dan lain sebagainya. Sehingga
daerah itu tidak bisa dikatakan tidak ada dokternya, karena
menyatakan tidak ada dokter apabila ada surat penetapan dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten setempat.
105
Masih pada Permenkes HK.02.02/148/2010, pada pasal 10 ayat (3)
dikatakan :
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan untuk dirujuk. Pembatasan pelayanan keperawatan di daerah yang tidak ada
dokternya dengan pertimbangan pada kompetensi, tingkat
kedaruratan, serta kemungkinan untuk dirujuk menjadi polemik dalam
penerapannya, karena menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan itu dapat
diuraikan sebagai berikut :
Kompetensi : Jika mengacu pada Kompetensi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pasal 1 ayat (10), maka kompetensi adalah kemampuan kerja
setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan
dan sikap kerja yang sesuai dengan standart yang diperlukan,
jelas aspek pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai standart
masih belum dapat dikatakan memadai seperti dokter. Karena
sering perawat melakukannya berdasarkan pengalaman yang ia
dapat melalui praktiknya bersama dokter yang lain atau pelatihan-
pelatihan dan lain sebagainya. Jadi jelas kata mempertimbangkan
kompetensi pada ayat (3) tidak tepat rumusannya, jika
memberikan kemungkinan mengatasi permasalahan tidak ada
dokter ditempat sesuai dengan permasalahan yang telah
dikemukakan diatas.
Tingkat Kedaruratan : Tingkat kedaruratan yang dimaksud disini
sangat ambigu dan multi tafsir, karena tidak tegas dikatakan
106
misalnya : Darurat tingkat tinggi/akhir atau apa yang dijelaskan
dengan istilah kesehatan. Tetapi disini hanya dikatakan
mempertimbangkan tingkat kedaruratan, maksudnya tingkat
kedaruratan yang mana? Jika acuhannya pada pasal 10 ayat (1)
yaitu darurat untuk menyelamatkan nyawa seseorang/pasien atau
seperti yang dikatakan dalam125 bahwa Emergensi menunjukkan
kepada suatu keadaan di mana pasien secara tiba-tiba atau tak
terduga menghadapi ancaman bahaya maut, sehingga
memerlukan tindakan segera untuk menyelamatkan jiwa atau
kerusakan permanen anggota tubuh. Sedangkan pasien
kejiwaaan: menurut 126 Kegawatan psikiatrik memerlukan
intervensi segera untuk mencegah kematian atau bahaya berat
bagi pasien atau orang lain dan biasanya terjadi dalam beberapa
detik atau menit (jarang, dalam jam), dan bukan dalam hari atau
minggu, baik elemen waktu dan beratnya adalah terkait. Hal itu
jelas bahwa perawat dapat ditiadakan dari tuntutan hukum, jika
hanya melayani pasien yang sudah gawat/hampir mati, Bukan
semua pasien seperti yang dilakukan oleh perawat dalam point 1
tabel 5 diatas. Sehingga perawat lagi-lagi diperhadapkan pada
persoalan dilematis, antara menolong atau tidak. Disatu sisi tidak
menolong akan merasa bersalah dan takut di marah pimpinan atau
malah diamuk massa/masyarakat, disisi lain membahayakan
125
Guwandi J. Op.Cit. hlm 23-24
126 Kusuma W, Op. Cit. hlm 56
107
perawat jika terjadi sesuatu setelah melakukan tindakan pelayanan
bagi pasien yang dimaksud.
Kemungkinan Untuk Dirujuk : Kata kemungkinan untuk dirujuk
ini menjadi ambigu dan multi tafsir, karena bersifat relatif. System
rujukan di Indonesia (SK. Menkes RI. No. 32 Tahun 1972) ialah
suatu system penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap
satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam
arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih
mampu atau secara horisontal dalam arti antar unit-unit yang
setingkat kemampuannya. Macam system rujukan di Indonesia
ada 2, yaitu : 1) Rujukan kesehatan dan 2) Rujukan Medik :
terutama dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit serta
pemulihan kesehatan127. Sedangkan dalam Permenkes RI. No 001
Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan pasal 3 dikatakan bahwa Sistem rujukan pelayanan
kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan
kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal.
Sinkron dengan permasalahan pengobatan oleh perawat diatas,
berarti adalah rujukan medis dan atau perorangan. Pada kondisi
masyarakat yang ada di Daerah Tertinggal Perbatasan dan
Kepulauan seperti di Kabupaten Kepulauan Talaud yang sangat
terkendala dengan akses dan transportasi menjadi sesuatu yang
127
Azwar, Op. Cit. hlm 42-43
108
mahal dan terkadang tidak mungkin disaat kondisi tertentu. Yang
dimaksud mahal dan tidak adalah terlalu besarnya biaya yang
akan dikeluarkan apabila hanya karena sakit batuk, luka dengan 1-
3 jahitan mau mencari tempat/pusat rujukan yang mempunyai
dokter. Sedangkan terkadang tidak mungkin, yaitu di daerah
kepulauan yang tidak ada dokter, jika merujuk pasien pasti
memerlukan perjalanan melintasi laut, padahal tidak ada kapal
yang datang (kapal besar jadwalnya 1-2 minggu datang ke pulau),
dan jika memakai kapal motor laut masyarakat nelayan tidak
mungkin karena dimasa angin dan gelombang yang kencang dan
besar, maka siapakah yang dapat melakukan pengobatan pada
pasien yang datang ke Puskesmas? tentunya perawat yang mau
tidak dan terpaksa melakukannya.
Peraturan terbaru tentang rujukan kesehatan adalah Permenkes
No. 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan
Kesehatan pasal 11, dikatakan:
Pasal 11 (1) Setiap pemberi pelayanan kesehatan berkewajiban merujuk
pasien bila keadaan penyakit atau permasalahan kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
(2) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis.
Pasal 12 (1) Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien
dan/atau keluarganya. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang.
109
Pasal 11 ayat (2) diatas setidaknya telah memberikan kejelasan
tentang boleh tidaknya pasien dirujuk, yaitu dengan alasan tidak
dapat ditranportasikan atas alasan medis, sumber daya atau
geografis, meskipun pada pasal 12 ayat (1) yang mengharuskan
persetujuan dari pasien/atau keluarganya harus diperluas lagi
dengan tambahan “kecuali pasien yang memerlukan penanganan
cepat dan pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak mempunyai
keluarga di tempat, maka dapat dilakukan dengan persetujuan
orang lain yang dipercaya. Sehingga lebih jelas lagi.
Berkenaan dengan pengaturan pada pasal 11 dan 12 Permenkes
No. 001 tahun 2012 diatas, maka sebaiknya kata kemungkinan
untuk dirujuk tersebut dapat diikuti dengan penjelasan dan
ketegasan yang mengakomodir permasalahan diatas atau yang
sama halnya diatur pada permenkes tersebut.
Pembahasan pasal 10 ayat (3) diatas, hanya pada masing-masing/
berdiri sendiri saja sudah menjadi hal yang tidak mungkin dipenuhi
oleh perawat dalam menjalankan pengobatan ketika tidak ada
dokter di tempat, apalagi ketiga hal tersebut menjadi gabungan
pertimbangan dari suatu tindakan medis yang akan dilakukan oleh
perawat. rasanya menjadi mustahil. Misalnya saja, dalam hal
rujukan mungkin tidak bisa sehingga perawat dapat melakukan
tindakan medis, tetapi bagaimana ternyata secara tertulis dia
hanya lulusan SPK yang tidak mempunyai kompetensi untuk itu?
ditambah juga mungkin belum pada tingkat darurat yang segera
dalam waktu 5-15 menit tidak di tolong pasien itu akan meninggal.
110
Ketika hal diatas dijadikan patokan, maka kemungkinan akan
banyak puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Pos Kesehatan
Desa yang Notabene tidak mempunyai dokter dan hanya perawat
dan bidan saja, akan menelantarkan pasiennya. Akhirnya pada
keadaan demikian masyarakatlah yang menjadi tumbalnya, akibat
dari persoalan hukum yang tidak dapat mengakomodir setiap
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Padahal hukum dibuat
untuk memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi
manusia, sehingga dapat dicapai ketertiban, kesejahteraan dan
keadilan.
Penetapan Daerah (Kecamatan/Desa) Tanpa Dokter
Hal yang penting juga adalah tentang penetapan kecamatan atau
desa yang tidak ada dokter oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten sebagaimana dimaksud pada permenkes
HK.02.02/148/2010 pasal 10 ayat (4) dan (5). Jika daerah
dimaksud ternyata ada dokternya, tetapi tidak ada di tempat dan
tidak dilaporkan oleh Kepala Puskesmas/Pustu/Polindes kepada
Kepala Dinas Kesehatan, maka menambah kesalahan bagi
perawat dalam pelaksanaan praktik diluar kewenangannya.
Selama ini di Kabupaten Kepulauan Talaud tidak dibuat penetapan
daerah yang dimaksud oleh Kepala Dinas Kesehatan. Jangankan
daerah yang dokternya ada dan sering keluar daerah, daerah yang
nota bene tidak ada dokterpun tidak pernah dibuat surat
penetapan dimaksud. Artinya : bahwa Perawat di Kabupaten
Kepulauan Talaud melakukan praktik diluar kewenangan dengan
111
inisiatifnya sendiri. Padahal dalam Permenkes No.
HK.02.02/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan praktik
perawat pasal 9 dikatakan : Perawat dalam melakukan praktik
harus sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Keputusan Kepala Dinas Kesehatan untuk penetapan suatu
wilayah kecamatan atau desa/kelurahan sebagai daerah tanpa
dokter adalah persyaratan untuk perawat dapat menjalankan
tugasnya yang tidak sesuai kewenangan. Jadi bukan merupakan
kewenangan. Persyaratan tersebut adalah dalam rangka
meneguhkan kewenangan delegasi pada perawat sebagaimana
dikatakan dalam pasal 10 Permenkes No. Hk.02.02/148/2010
pasal 10 ayat (2). Sejalan dengan itu dikatakan Indroharto
(1999,91) delegasi adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah
ada oleh badan atau jabatan TUN yang telah memperoleh suatu
wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau
pejabat TUN lainnya128
Tidak adanya surat penetapan tersebut, disebabkan oleh kelalaian
pimpinan baik di Puskesmas/Pustu/Polindes maupun di Kepala
Dinas di Kabupaten itu sendiri. Tetapi kondisi daerah yang sulit,
dapat juga berkontribusi pada tidak adanya penetapan daerah
dimaksud, karena sering kepala dinas tidak mengetahui bahwa di
Puskesmas atau Puskesmas Pembantu sudah tidak ada
dokternya. Misalnya : dokter sudah selesai kontraknya, tetapi
belum melapor dan lain sebagainya. Mestinya penetapan tersebut,
128
Anggraini J., Op.Cit. hlm 90.
112
dapat dibuat oleh unit kerja seperti Puskesmas atau paling tidak
ada kalimat memberikan pelimpahan kewenangan kepada unit
kerja yang dibawahnya. Nampaknya penetapan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten menjadi tidak relevan, karena kondisi
wilayah yang sulit tersebut.
2) Perawat Melakukan Pertolongan Persalinan dan KB dan Perawat
Melakukan Pemeriksaan Laboratorium.
Berdasarkan Undang-Undang No. 29 Thn 2004 Tentang Praktik
Kedokteran bahwa tindakan pertolongan persalinan, KB dan
Penentuan pemeriksaan penunjang juga dapat menjadi kewenangan
dokter. Selain dokter, Permenkes Nomor : 1464/2010 pasal 10, 12
dan 13, dikatakan bahwa persalinan dan KB juga adalah merupakan
kewenangan Bidan, Untuk Pemeriksaan Laboratorium berdasarkan
Permenkes No. 37 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat dan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 370/Menkes/SK/III/2007 tentang standar Profesi
Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan, tenaga laboratorium hanya
dokter dan analis kesehatan, dan tidak diperbolehkan rangkap
jabatan.
Kenyataan dilapangan, Pertolongan persalinan dan pelayanan KB
oleh perawat sering dilakukan oleh perawat pada Puskesmas yang
ada dokter, tetapi saat itu dokter dan bidan tidak ada di tempat
(sama halnya pada pembahasan point 1 diatas). Berdasarkan
penelitian terdapat Perawat Melakukan Pertolongan Persalinan dan
KB 44 (64,71%) Responden.
113
Masalah persalinan dan KB yang ditangani oleh perawat ini, ketika
tidak ada dokter di tempat atau di daerah itu, tetapi ternyata ada
Bidan dan mungkin bidan berhalangan, Apakah bidan dapat
melimpahkan kewenangannya pada perawat? hal itupun belum
diperjelas dalam aturan kewenangan perawat maupun bidan, padahal
hal itu sering juga terjadi.
Untuk pemeriksaan laboratorium oleh perawat sama sekali belum
dijelaskan, apakah diperbolehkan perawat melakukan tindakan
dimaksud. Itupun belum jelas pengaturannya. Padahal hasil
penelitian terhadap perawat menunjukkan Perawat Melakukan
Pemeriksaan Laboratorium 31 (45,59%). Mestinya hal itu dilakukan
pengaturan, agar perawat dan atau pimpinan yang memberikan
perintah dapat mengerti tentang batas-batas kewenangan masing-
masing tenaga kesehatan. Jangan sampai tejadi sesuatu hal
dikemudian hari sebagai akibat kesalahan praktik, maka perawat
sendiri yang menanggungnya.
3) Perawat Melakukan Tugas & Fungsi sesuai Penugasan Pimpinan
(diluar Kewenangan Perawat).
Pemberian tugas diluar kewenangan tersebut, umumnya di
Puskesmas. Dari 49 (100%) responden di Puskesmas, terdapat 36
(73,47%) melaksanakan tugas rangkap jabatan. Jabatan sering
dirangkap oleh perawat utamanya di Puskesmas adalah : Juru
Imunisasi, Petugas P2-TB Paru dan Kusta, Petugas Laboratorium,
Petugas Gudang Obat dan Apotik, Petugas Gizi, Petugas KIA/KB,
dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu pula, dikatakan Rosalia
114
Sciartino (1985) bahwa peran ganda perawat di Puskesmas, yakni
menjalankan tugas-tugas pengobatan dan perawatan. Fenomena
peran ganda tersebut terus berlangsung ; telah lebih dari 20 tahun129.
Setelah ditelusuri pada ketentuan kewenangan perawat, hanya pada
Pasal 12 ayat (4) Permenkes Nomor :. HK.02.02/MENKES/148/I/
2010 yang redaksinya mendekati maksud dari penugasan rangkap
yang diberikan oleh para pimpinan puskesmas, karena Permenkes
No. 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas juga tidak
diatur tentang penugasan rangkap jabatan perawat dimaksud.
Pada pasal 12 ayat (4), dikatakan : Perawat dalam menjalankan
praktik wajib membantu program pemerintah dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Maksud dari pasal 12 ayat (4) diatas
merupakan kalimat yang tidak tepat dan jelas rumusannya, karena
yang dimaksud dengan membantu program pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan tersebut harus dipertegas lagi untuk
menunjuk pada program –program tertentu dan dalam keadaan
tertentu, serta dengan syarat dan mekanisme yang jelas pula.
Sehingga perawatpun dalam menjalankan tugasnya memperoleh
kepastian hukumnya. Jangan sampai terjadi kasus, misalnya : salah
pemberian obat, atau salah penyuntikan Vaksin dan lain sebagainya,
Perawat disalahkan karena tidak ada dasar hukumnya, tetapi
melakukan tindakan diluar kewenangan dan bukan kompetensinya.
4) Beberapa hal lain juga yang masih perlu disesuaikan dengan
pengaturan praktik perawat adalah :
129
Ahmad A.K, Op. Cit. hlm 82.
115
Bagaimanakah mekanisme pemberian kewenangan dari dokter
kepada perawat, dari bidan kepada perawat atau sebaliknya dan
atau dari profesi lain kepada perawat dan sebaliknya, baik secara
tertulis maupun tidak tertulis atau dengan memakai fasilitas
komunikasi elektronik.
Pemberian kewenangan dari dokter kepada perawat memang
telah diatur pada Permenkes No. 2052/Menkes/PER/X/2011
Tentang Izin Praktik & Pelaksanaan Praktik Kedokteran.
Dalam pemberian kewenangan yang dimaksud, dilihat dari teori
tentang kewenangan adalah merupakan kategori Mandat.
Mandat adalah merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, tetapi
tidak sama dengan delegasi, karena Mandataris dalam
melaksanakan kekuasaannya tidak bertindak atas namanya
sendiri, tetapi atas nama si pemberi kuasa dan yang bertanggung
jawab adalah si pemberi kuasa 130 . Jika dipelajari, pemberian
kewenangan kepada perawat dalam Permenkes No.
2052/Menkes/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik & Pelaksanaan
Praktik Kedokteran Pasal 23 adalah masih dalam waktu dan
situasi dokter berada dekat dengan perawat saat pelayanan,
karena dikatakan kewenangan tersebut tidak terus menerus dan
masih dalam kemampuan perawat. Sehingga hal tersebut masih
mengandung kelemahan, yaitu bagaimanakah dengan
pemberian kewenangan jarak jauh dan tidak terus menerus?
bagaimanakah jika permasalahan/kasusnya jauh dan tidak dalam
130
Anggriani J. Op. cit. hlm 89-91.
116
kemampuan perawat menurut aturan kewenangan yang ada? Hal
tersebut diatas, perlu diperjelas lagi dalam pengaturannya.
Demikian pula dengan pemberian kewenangan antar perawat
dan tenaga bidan, serta tenaga kesehatan lainnya, belum ada
pengaturan yang jelas. Padahal keadaan itu terus berlangsung di
pelayanan kesehatan.
Khusus pemberian kewenangan kepada perawat dalam
penelitian umumnya memberikan perintah secara lisan dan atau
menggunakan komunikasi elektronik (khusus daerah yang
memiliki jaringan komunikasi elektronik) sejumlah 89,47 %. yang
menyatakan dokter memberikan perintah dengan sms dan telpon
seluler. Komunikasi elektronik adalah merupakan konsekwensi
dari akibat melajunya arus globalisasi terutama kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga perubahan-
perubahan tersebut melahirkan berbagai bentuk nilai baru yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat yang sangat berbeda
dengan nilai-nilai yang berlaku sebelumnya. Kondisi seperti ini
membuat masyarakat harus mengadakan perubahan hukum
sesuai dengan tuntutan zaman131.
Menurut penulis, pemakaian komunikasi elektronik dalam rangka
pelayanan kesehatan termasuk pemberian kewenangan tindakan
kepada perawat oleh dokter atau tenaga kesehatan lain atau
sebaliknya, dapat diakomodir kedepannya. Keuntungan adanya
komunikasi elektronik tidak bisa disangkal lagi, yaitu
131
Manan A, 2009, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kenana Prenada Media. hal 76
117
mempercepat dan mempermudah informasi sampai kepada
tujuannya. Hal yang sama juga berlaku pada bidang kesehatan,
terutama dalam hal penanganan pasien oleh tenaga kesehatan.
Faktanya hampir semua perawat dan dokter yang memiliki alat
komunikasi telpon seluler pasti menggunakan untuk penanganan
pasien, sebagaimana dikemukakan diatas.
Selama ini penggunaan media elektronik berupa telpon belum
dapat diakomodir pada pengaturan hukum kesehatan. Sebagian
besar kuatir pada masalah kekuatan hukum pembuktiannya, jika
terjadi sengketa. Sebenarnya saat ini secara hukum sudah dapat
diterima pembuktian melalui media elektronik. Hal itu diatur
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi elektronik pasal 44 item B, bahwa informasi
elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti lain dalam
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sehingga dapat menjadi suatu alat komunikasi dalam pemberian
perintah/kewenangan dalam pelayanan kesehatan. Apalagi saat
ini rancangan KUHAP yang baru sementara dibahas di DPR RI.
pada pasal 175 ayat (1) item c, bahwa salah satu alat bukti yang
sah adalah bukti elektronik.
Pemberian obat oleh perawat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tentang kefarmasian dan pemberian obat,
dalam Permenkes HK.02.02/MENKES/148/I/ 2010 pasal 8 ayat
(7) dibatasi pada obat bebas dan obat bebas terbatas, tetapi
dilain pihak Permenkes Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang
118
Obat Wajib Apotek dan Permenkes 919/Menkes/PER/X/1993
tentang Kriteria Obat yang Dapat diserahkan Tanpa Resep oleh
Apoteker atau tenaga farmasi dan Peraturan Pemerintah No. 51
Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 22
memberikan kewenangan kepada dokter untuk meracik dan
menyerahkan obat ketika bertugas di daerah terpencil. Itu artinya
terjadi suatu diskriminasi dalam mengatur pelayanan pengobatan
disuatu tempat tertentu, yaitu dokter dan apoteker mendapat
kewenangan khusus, tetapi perawat tidak diberikan toleransi atau
pengecualian sama halnya dokter dan apoteker. Apalagi pasal
108 ayat (1) sebagian dibatalkan, yaitu tentang pembatasan
tenaga kesehatan yang memberikan obat pada saat keadaan
darurat, dan penjelasan pasal 108 ayat (1) UU No. 36 Tahun
2009 tentang kesehatan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
dengan putusan MK. No. 12/PUU-VIII/2010.
Padahal tercatat yang ada dipelosok pedesaan umumnya
petugas kesehatan adalah perawat. Itu dapat dibuktikan dengan
responden penelitian yang diambil dalam penelitian ini,
seluruhnya adalah perawat yang bertugas di Pustu dan
Poskesdes (hanya seorang diri sebagai tenaga kesehatan di
desanya).
Keadaan yang telah dikemukakan sebelumnya, umumnya adalah
merupakan keadaan diluar jangkauan perawat untuk tidak
melakukannya atau merupakan keadaan darurat. Dalam teori Good
Samaritan Law, dalam keadaan darurat, hukum ini menggariskan
119
bahwa tanggung jawab dokter/tenaga kesehatan (termasuk perawat)
tidak bisa dipaksakan. Artinya teori ini memberikan imunitas kepada
perawat dari tuntutan malpraktik mengingat perawat bekerja dalam
situasi darurat, dimana tempat kejadian tidak tersedia fasilitas dan waktu
yang cukup untuk berpikir dan berkonsultasi dengan teman sejawatnya.
Sehingga pemahaman tentang kedaruratan medis, tidak terlalu
disempitkan maknanya hanya pada keadaan pasien saja yang hampir
mati, tetapi lebih pada keadaan tidak ada tenaga dokter/bidan, sarana,
waktu, tenaga kesehatan yang ada perlu melakukan pelayanan kepada
masyarakat yang membutuhkan.
Maksud dari masyarakat membutuhkan, bahwa saat itu masyarakat
sudah menderita dengan penyakitnya, meskipun itu hanya penyakit
influenza, batuk atau tergores dengan pisau saja yang notabene bukan
merupakan keadaan darurat secara medis. Tetapi daruratnya pada
keadaan; dimana hanya karena batuk atau luka relatif kecil harus
menyeberang jauh ke di tempat ada dokter padahal semata-mata
tempat itu ada puskesmas. Belum lagi desakan pasien yang harus
dilayani saat itu, karena sejak zaman dulupun masyarakat tahu bahwa
perawatlah yang melakukan pelayanan kepada mereka.
Sejalan dengan itu, dalam Ahmad A.K. dikatakan bahwa
implementasi task shifting dalam bentuk pelaksanaan tindakan medik
oleh perawat di daerah terpencil telah lama berlangsung di Indonesia
dan setidaknya pernah diatur dalam UU Tenaga Kesehatan Tahun
1963. Apalagi berdasarkan rekomendasi dan resolusi bebagai badan
kesehatan Internasional, bahwa pengalihan sebagian tugas (task
120
shifting) yang secara konvensional merupakan tugas medis kepada
tenaga kesehatan non medis132.
Keadaan dimaksud, sesuai dengan yang dikatakan Azwar bahwa
Syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik diantaranya, yaitu:
Tersedia dan berkesinambungan; Artinya semua jenis pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta
keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan,
mudah di capai; Artinya pelayanan kesehatan dicapai oleh masyarakat.
Ketercapaian maksudnya adalah dari sudut lokasi, mudah di jangkau;
Artinya pelayanan kesehatan muda dijangkau dari sudut biaya133.
Sejalan dengan hal diatas, Teori kebutuhan (necessity) mengajarkan
bahwa sudah merupakan kebutuhan manusia untuk dapat
menyelamatkan dirinya dari kematian atau dari penyakitnya.
Pembenaran tindakan emergensi sesuai teori kebutuhan ini dapat
dibenarkan jika hal tersebut merupakan yang terbaik buat pasiennya.
pengertian yang terbaik dari pandangan klien bukan dari pandangan
dokter/tenaga kesehatan134.
Beberapa hal yang diuraikan diatas, sebenarnya saat ini dipersoalkan
oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Mereka mengingikan agar
pengaturan praktik perawat kewenangannya juga diberikan tindakan
medis terbatas, pertolongan persalinan dan KB, dan lain sebagainya.
Bahkan Saat ini Perawat terus berupaya agar Rancangan Undang-
132
Ahmad A.K. Op.Cit., hlm 136.
133 Azwar, A. Op. Cit. hlm 38-39
134 Fuady, M. 2005. Sumpah Hipocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter). PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
121
Undang tentang praktik keperawatan segera di sahkan menjadi
Undang-Undang. Dalam rancangan Undang – Undang tersebut pasal 4
dicantumkan tentang kewenangan perawat diantaranya adalah
melakukan pengobatan medis terbatas, persalinan normal, KB, tetapi
semua itu perlu dipertegas pengaturannya secara jelas dan tegas batas-
batasnya seandainya disahkan.
Kewenangan perawat itupun masih menjadi polemik dalam
pembahasan RUU tentang keperawatan, seperti dikatakan Poempida
(Anggota DPR RI) bahwa RUU Keperawatan yang sedang dibahas
memang masih jauh dari sempurna, saya dan rekan-rekan di komisi IX
tengah berusaha untuk memberikan defenisi yang jelas tentang profesi
perawat, pengembangan profesionalisme perawat, pendidikan
keperawatan, wewenang dan tanggung jawab seorang perawat dan
juga sanksi bagi para perawat yang melakukan malpraktik. Dengan
demikian profesi perawat akan terlindungi demi hukum dan tidak akan
dihadapkan kepada masalah dilematis, karena batasan-batasan
tanggung jawab dan wewenangnya pun terjabarkan dengan baik135.
Diakui memang pengaturan hukum tentang kewenangan perawat
yang khusus memang belum ada, semuanya mengacuh pada Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009. Umumnya hanya diatur oleh
peraturan menteri kesehatan yang notabene merupakan peraturan
135
Poempida, 2012, Sikap Kemenkes Yang Kontra RUU Keperawatan Adalah Sikap Yang Tidak Pro Kepentingan Rakyat (Available : 12/4/2012. jam 11.56 wita) (http://poempida.com/)
122
perundang-undangan paling bawah tingkatannya, dan keputusan
menteri kesehatan yang hanya sebagai peraturan kebijakan saja.
Aturan tentang praktik perawat mestinya tidak menjadi sub ordinat
dari peraturan perundang-undangan terkait lain yang dapat
mendegradasi kewenangan perawat, ketika terjadi permasalahan dan
kebuntuan penafsiran hukumnya. Menurut136 acapkali hukum yang telah
dikodifikasikan dalam suatu undang-undang yang kemudian berlaku
sebagai hukum positif terdapat konflik norm hukum (conflict of norms)
atau pertentangan dengan undang-undang lain. Dalam menghadapi
konflik norma itu, maka penegak hukum harus mempergunakan asas-
asas hukum yang universal. Salah satu asas hukum dipakai dalam
menyelesaikan konflik norma hukum adalah Lex superior derogate legi
inferiori, yaitu : Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi
mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih
rendah. Sesuai asas hukum diatas, Jika terjadi konflik norma hukum
perawat dengan hukum lainnya, maka ketentuan hukum perawat
dikesampingkan. Keadaan ini, jelas akan merugikan pihak perawat.
Jadi menurut penulis, mestinya pengaturan tentang kewenangan
perawat diatur dalam bentuk Undang-Undang. Apakah itu dalam bentuk
Undang-Undang Keperawatan atau Undang – Undang tenaga
Kesehatan. Sehingga dapat memberikan kekuatan keberlakuan hukum
secara yuridis. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan peraturan perundang-undangan pasal 7, bahwa Undang-
Undang secara hirarkhis menempati urutan ke 3 setelah UUD 1945 dan
136
Azikin Z, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo, Jakarta. hlm. 100,102.
123
Tap MPR. Adanya posisi pengaturan izin dan kewenangan perawat
dalam undang-undang, akan memberikan kepastian dan perlindungan
hukum bagi perawat atau masyarakat yang dilayaninya.
Pengaturan tentang tenaga perawat dalam undang-undang inipun,
sebenarnya telah diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan pasal 21 ayat (3) dikatakan : Ketentuan
mengenai tenaga kesehatan diatur dengan undang-undang. dalam
penjelasannya : pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang
adalah tenaga kesehatan diluar tenaga medis. Diluar tenaga medis,
berarti salah satunya adalah tenaga perawat.
Pengaturan praktik perawat mestinya mempertimbangkan keadaan-
keadaan yang jauh dan adanya keterbatasan jangkauan pelayanan
kesehatan yang komprehensif. Menurut137 , tindakan seseorang yang
mempunyai relevansi dengan hukum itulah yang diatur oleh hukum.
Tindakan yang mempunyai relevansi dengan hukum adalah tindakan
yang mempunyai kaitan dengan adanya hak dan kewajiban subjek
hukum. Pelaksanaan praktik perawat, pengaturannya telah dibuat
ketentuan hukum praktik perawat yang memberikan kewenangan
bertindak bagi para perawat dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai salah satu profesi penyelenggara pelayanan
kesehatan masyarakat di Indonesia sebagaimana dikatakan dalam
peraturan perundang-undangan terkait.
137
Marzuki. P.M., 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-4 2012, Jakarta.
124
Ketentuan hukum perawat telah dikemukakan sebelumnya, intinya
bahwa perawat sebelum melakukan tindakan praktiknya, harus memiliki
izin dari pemerintah. Selanjutnya, setelah mendapat izin Perawat
diperbolehkan melaksanakan tindakan kewenangannya, yaitu asuhan
keperawatan dan tindakan diluar kewenangan pada saat tertentu, serta
tindakan lainnya. Untuk dilaksanakan dengan baik oleh perawat, maka
ketentuan hukum praktik perawat khususnya hal-hal yang telah
dikemukakan diatas, perlu diperjelas dan disesuaikan dengan keadaan
setempat yang khusus, seperti di daerah tertinggal perbatasan dan
kepulauan Kabupaten Kepulauan Talaud, agar bermanfaat, memberikan
keadilan dan kepastian hukum.
Penyesuaian aturan dimaksud, bukan untuk menggiring pada hal
yang negatif tetapi kearah pengaturan praktik perawat yang
memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian sebagaimana
dikemukakan diatas. Jangan sampai pengaturan yang ada bukan
menyelesaikan masalah, tetapi menambah masalah baru dalam hal
pelayanan kesehatan masyarakat. Hal itu bisa saja terjadi, karena
menurut Gerald Turkel (dalam Ahmad Ali, 1998), sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa hukum bukan saja sekadar dapat tidak
efektif, tetapi juga sering menimbulkan masalah baru atau memperumit
masalah yang sudah ada138.
Menurut Lon L Fuller, bahwa tujuan pembentuk peraturan perundang-
undangan akan berhasil apabila ia sampai pada tingkat tertentu
138
Ahmad A.K., Op. Cit. hlm 46.
125
memperhatikan delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum dan
apabila itu tidak di penuhi, maka gagallah hukum disebut sebagai
hukum. Diantara delapan asas tersebut adalah peraturan-peraturan
harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti dan harus ada
kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaannya sehari-hari139. Ketika
hukum tidak mampu menangkap perkembangan dan situasi terkini
dalam masyarakat, maka hukum tersebut bukannya mengatasi masalah
tetapi menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Secara otomatis
masyarakat akan merasa tidak terlindungi oleh hukum yang ada.
Berkaitan dengan fungsi hukum untuk memfasilitasi fenomena yang
berkembang dalam masyarakat (Nonet & Selznick, 1990:161-162),
mengetengahkan teori mereka tentang tiga modalitas atau keadaan
dasar hukum dalam masyarakat, yaitu : Hukum Represif, Otonom dan
Responsif. Hukum Responsif telah menjadi perhatian yang sangat besar
dan terus menerus dari teori hukum modern yang menginginkan
pembuatan hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan
sosial, memperhitungkan secara lebih lengkap dan lebih cerdas tentang
fakta sosial yang menjadi dasar dan tujuan penerapan/pelaksanaan
hukum140. Jika ketentuan hukum praktik perawat dalam pengaturannya
bersifat responsif, maka hukum tersebut akan menjadi acuan yang baik
dalam pelaksanaan praktik perawat.
139 Ilyas A, 2010, Berbagai Konsep Tentang Hukum Sebagai Suatu Sistem, Jurnal Amanna
Gappa Volume 18 Nomor 2, Juni 2010.
140 Razak A, Op. Cit. hlm 72,74
126
B. Penerapan Sanksi Administrasi
Penerapan Hukum tidak lain adalah menerapkan peraturan hukum
yang masih umum pada suatu peristiwa yang konkret terjadi 141 . Sanksi
merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-undangan,
bahkan J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari
penegakan Hukum Administrasi Negara142.
Menurut J.J. Oosternbrink : Sanksi administrasi adalah sanksi yang
muncul dari hubungan antara Pemerintah-Warga Negara dan yang
dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga, yaitu tanpa perantara kekuasaan
peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi
sendiri. Ketika warga Negara melalaikan kewajiban yang timbul dalam
hubungan adminstrasi, maka pihak lawan (yaitu pemerintah) dapat
mengenakan sanksi tanpa perantaraan hakim.
Hal itu berarti sanksi dapat dilaksanakan oleh pimpinan unit kerja
sebagai pejabat administrasi Negara yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang ada. Pada pelaksanaan praktik perawat,
penerapan sanksi administrasi biasanya juga merupakan bagian dari
pengawasan, sehingga pengaturannya juga hampir bersamaan dengan
pengaturan penjatuhan sanksi administrasi. Terkait dengan sanksi boleh
dilaksanakan oleh pimpinan unit kerja, maka pembahasan ini akan
difokuskan pada pembahasan tentang sanksi administrasi bagi perawat yang
melakukan kesalahan dalam pelaksanaan praktiknya.
141
Zainal Asikin, Op. Cit. hlm 91.
142 Ibid,. hlm 298
127
Sanksi biasanya terdapat pada bagian akhir suatu peraturan. Secara
umum dikenal beberapa macam sanksi hukum administrasi, yaitu :
paksaan pemerintahan (Bestuursdwang), penarikan kembali keputusan
yang menguntungkan, pengenaan uang paksa oleh pemerintah
(dwangsom) dan Pengenaan denda administrasi 143 Berdasarkan
penelusuran yang dilakukan penulis pada ketentuan hukum terkait
pelaksanaan tugas tenaga perawat, maka bentuk dan jenis sanksi
administrasi bagi perawat yang melanggar aturan hukum adalah sebagai
berikut :
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 188,
mengatur bahwa Menteri dapat memberikan tindakan administratif
melalui Kepala Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota kepada tenaga
kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, Berupa
peringatan tertulis, pencabutan izin sementara dan atau izin tetap.
Peraturan Pemerintah No. 32 Thn 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 32 dan 33 dikatakan Bahwa Menteri melakukan pengawasan
terhadap tugas profesi tenaga kesehatan dan dapat mengambil
tindakan disiplin terhadap pelanggaran standart profesi tenaga
kesehatan melalui Teguran, pencabutan ijin untuk melakukan upaya
kesehatan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Permenkes RI. No.HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat; pada pasal 13 dan 14 diatur
143
Ridwan HR, Op. Cit. hlm 289,303
128
bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan
dan pengawasan dengan mengikutsertakan organisasi profesi
sehingga dapat memberikan tindakan administrasi kepada perawat
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan
praktik perawat melalui : a. teguran lisan, b. teguran tertulis; atau
pencabutan SIPP.
Keputusan Menkes No. 1239/Menkes/SK/IX/2001 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat pada pasal 37 ayat (1) dan (2) diuraikan bahwa
apabila perawat melanggar ketentuan tentang izin dan
kewenangannya, maka perawat dapat diberikan sanksi administrasi :
a) untuk pelanggaran ringan, pencabutan izin selama-lamanya 3 (tiga
bulan), b) untuk pelangaran sedang, pencabutan izin selama-
lamanya 6 (enam) bulan, c) untuk pelanggaran berat, pencabutan izin
selama-lamanya 1 (satu) tahun. Penetapan pelanggaran dimaksud,
didasarkan pada motif pelanggaran dan situasi setempat.
Mengacuh pada peraturan perundang-undangan dan peraturan
kebijakan terkait pelaksanaan tugas tenaga kesehatan (termasuk perawat)
sebagaimana telah diuraikan diatas, maka bentuk dan jenis sanksi
administrasi bagi perawat yang melakukan pelanggaran ketentuan hukum
perawat, dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
a) Teguran lisan
b) Teguran tertulis
c) Pencabutan izin sementara atau izin tetap. Pencabutan izin sementara
dapat selama 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan dan 1 (satu) tahun.
129
Penerapan sanksi bagi perawat yang melakukan pelanggaran hukum
praktik perawat di KabupatenKepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara,
selengkapnya diuraikan sebagai berikut :
1. Teguran Lisan
Teguran dalam kamus hukum oleh Yan Pramadya Puspa, bahasa
Belandanya disebut Aanmaning atau dalam bahasa Inggris disebut
Exhortation atau Bailiff’s Warning yang berarti peringatan (surat). sama
halnya dalam HIR pasal 196 menyebut surat peringatan144 Sehingga
teguran lisan sama halnya dengan peringatan lisan. Teguran lisan
dalam peraturan terkait praktik perawat sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, tidak dijelaskan secara detail. Tetapi dalam beberapa
peraturan, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No.53 Tahun 2010 Teguran Lisan adalah termasuk
dalam sanksi Ringan.
Penerapan sanksi kepada perawat yang melakukan kesalahan
praktiknya oleh pimpinannya di Kabupaten Kepulauan Talaud secara
umum dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
144
Puspa, Y.P, 2008, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa : Belanda – Indonesia – Inggris, Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.
130
Tabel 3. Penjatuhan sanksi kepada perawat oleh pimpinan di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013
No. Jenis Sanksi Jum lah
Ket.
1.
2.
3.
4.
Teguran Lisan
Teguran Tertulis
Pencabutan Izin Sementara
Pencabutan Izin Tetap
2
0
0
0
2 responden
diberikan sanksi
lisan kasusnya
telah sampai ke
kepolisian.
Jumlah 2
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 3 diatas, ternyata hanya 2 responden perawat yang
diberikan sanksi secara lisan. Itupun kasusnya telah sampai ke pihak
kepolisian. Penerapan sanksi teguran lisan bagi perawat hanya 2
responden tersebut diatas, bukan berarti hanya 2 kasus saja yang
terjadi dalam pelaksanaan praktik perawat di Kabupaten Kepulauan
Talaud, tetapi karena kurangnya pengawasan dan ketegasan dari
pimpinan perawat itu sendiri. Untuk lebih jelasnya kajian sanksi
teguran lisan ini akan diuraikan pada bagian berikutnya setelah sanksi
Pencabutan izin tetap/sementara perawat.
2. Teguran Tertulis
Di Belanda, Undang-Undang selalu mensyaratkan bahwa “terkecuali
dalam keadaan yang mendesak” suatu peringatan tertulis harus
mendahului pelaksanaan nyata dari bestuursdang. Yurisprudensi
Hakim – AROB menharuskan beberapa syarat bagi peringatan
131
tertulis/perintah tertulis, yaitu : a. Peringatan itu tidak dapat diadakan
secara tanpa ikatan. b. harus memuat perintah yang jelas. c. Harus
memuat ketentuan perundang-undangan mana yang dilanggar. d.
harus ditentukan suatu jangka waktu perintah harus dilaksanakan. e.
perintah harus ditujukan kepada yang berkepentingan. f. Eksplisit atau
mplisit harus nyata bahwa biaya-biaya dalam hal tata usaha Negara
harus bertindak, akan dibebankan pada pelanggar 145 . Sama halnya
dengan Teguran lisan, teguran tertulis juga dalam berbagai peraturan
sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah merupakan sanksi ringan.
Sanksi teguran tertulis ini biasanya dengan surat tertulis kepada pihak
pelanggarnya.
Penerapan sanksi Teguran tertulis bagi perawat yang melakukan
kesalahan di Kabupaten Kepulauan Talaud, mengacu pada tabel 3.
bagian teguran lisan sebelumnya, ternyata tidak pernah dilakukan
oleh pimpinan kepada perawat. Tidak adanya teguran tertulis bagi
perawat, bukan berarti tidak ada kesalahan/pelanggaran perawat,
tetapi pengawasan dan ketegasan pimpinan masih jauh dari yang
diharapkan. Pimpinan masih ragu-ragu terhadap tindakan yang akan
diambilnya. Untuk lebih jelasnya kajian sanksi teguran tertulis ini akan
diuraikan sekaligus pada bagian berikutnya setelah sanksi Pencabutan
izin tetap/sementara perawat.
145
Anggraini J, Op. Cit. hlm. 255
132
3. Pencabutan Izin Sementara atau Tetap
Sanksi pencabutan izin sementara atau tetap, dilihat dari jenisnya
dilihat dari jenisnya adalah tergolong pada sanksi penarikan kembali
Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan. Hal itu sesuai
dengan yang dikatakan146 bahwa Penarikan kembali keputusan yang
menguntungkan berarti meniadakan hak-hak yang terdapat dalam
keputusan itu oleh organ pemerintahan. Sanksi ini termasuk sanksi
yang berlaku ke belakang (regressieve sancties), yaitu sanksi yang
mengembalikan pada situasi sebelum keputusan itu dibuat. Ditinjau
dari segi sasarannya, termasuk dalam sanksi reparatoir (diartikan
sebagai reaksi atas pelanggaran norma yang ditujukan untuk
mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi
yang sesuai dengan hukum, dengan kata lain, mengembalikan pada
keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran.
Penerapan sanksi pencabutan izin sementara atau tetap bagi perawat
yang melakukan kesalahan praktiknya di Kabupaten Kepulauan Talaud,
tidak pernah dilakukan oleh pimpinan. Tidak adanya sanksi pencabutan
STR dan/SIPP bagi perawat, bukan berarti tidak ada
kesalahan/pelanggaran perawat, tetapi sama halnya dengan sanksi
teguran tertuli, yaitu pengawasan dan ketegasan pimpinan masih jauh
dari yang diharapkan.
146
HR Ridwan, Op. Cit. hlm .311
133
Untuk mengkaji lebih jauh lagi tentang penerapan sanksi administrasi
bagi perawat yang melakukan kesalahan praktiknya, perlu dilihat
perbandingan penanganan kasus oleh pimpinan terhadap laporan tentang
kesalahan praktik perawat. Jelasnya hal dimaksud, pada tabel 4 berikut :
Tabel 4. Penanganan laporan kesalahan praktik perawat oleh pimpinan di
Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013.
No. Penanganan Laporan kesalahan praktik perawat oleh pimpinan
Jum lah
Persentase
1.
2.
3.
Tidak Sampai ke Pimpinan
Sampai ke Pimpinan/ tidak di
Proses dan tidak di Beri Sanksi
Sampai ke pimpinan ( 2 kasus
sampai ke pihak kepolisian) Sanksi
Ringan : lisan
8
8
2
8/18x100 =44,44
8/18x100 =44,44
3/18x100 =11,12
Jumlah 18 18/18x100= 100
Sumber : data Primer.
Mengacuh hasil penelitian pada tabel 4 diatas, dari 18 responden
bermasalah/mendapat komplein dari pasien atau keluarganya, ternyata
terdapat : 8 responden (44,44%) menyatakan masalah tidak diketahui
pimpinan, 8 responden (44,44%) menyatakan sampai ke pimpinan tetapi
tidak diproses dan diberikan sanksi dan 2 responden (11,12%)
menyatakan masalahnya diberikan sanksi berupa teguran lisan,
meskipun permasalahan itu sudah diproses sampai ke pihak kepolisian.
Adapun 2 responden (11,12%) yang dilaporkan tersebut,
permasalahannya, yaitu : adanya kesalahan pemberian obat yang sudah
lewat tanggal kadaluarsanya. Untuk 18 (88,88%) kesalahan perawat dalam
134
praktik dikomplein oleh pasien dan keluarganya yang tidak diproses dan
diberikan sanksi adalah berupa : kesalahan pemberian obat, lama
pemberian obat, lama menjahit luka, lama melakukan pemasangan infus,
lama memberikan pelayanan.
Dilihat pada jumlah persentase permasalahan yang diproses dan
diberikan sanksi administrasi bagi perawat yang bermasalah atau
dikomplein oleh pasien dan atau keluarga hanya 2 kasus (11,12%),
nampaknya masih jauh dari harapan. Sebenarnya semua permasalahan
yang ada, terutama yang dilaporkan harus diproses dan diberikan sanksi
administrasi sesuai kewenangan dan peraturan perundang-undangan,
serta peraturan kebijakan yang terkait. Begitupun, ditinjau dari aspek
pemberian sanksi pada pelanggaran praktik perawat, sanksi lisan pada 2
responden perawat oleh pimpinan yang notabene kasusnya sudah sampai
pada pihak kepolisian menjadi tidak relevan dan proporsional. Menurut
penulis, mestinya diberikan sanksi administrasi yang tertulis, pencabutan
izin sementara atau lainnya, setelah diperiksa/diproses sesuai ketentuan
hukum yang ada.
Selain penanganan terhadap laporan kasus yang ditangani pimpinan
terhadap kesalahan praktik perawat, maka penerapan sanksi administrasi
akan dilihat dari segi penanganan praktik perawat yang belum memiliki
STR dan/SIPP. Tindakan sanksi terhadap pelanggaran izin perawat,
berdasarkan penelitian pada 68 responden (perawat), ternyata ada 41
responden (60,29 %) menyatakan belum memiliki STR dan/SIPP dan
tidak pernah dipanggil atau diproses dan diberikan sanksi (baik teguran
lisan, tertulis ataupun lainnya). Sebenarnya hal itu melanggar ketentuan
135
hukum administrasi, karena menurut 147 disebut Malpraktik Administratif,
jika petugas melanggar hukum administrasi Negara salah satu contohnya
adalah tindakan administrasi malpraktik, yaitu menjalankan praktik tanpa
izin. Hal itupun dikatakan dalam UU No. 36 Tahun 2009 pasal 34 ayat (2)
bahwa Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang
mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin
melakukan pekerjaan profesi. Begitu juga dalam UU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah sakit pasal 13 ayat (2) Tenaga kesehatan tertentu yang
bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Jika dilihat, jenis dan bentuk sanksi administrasi diatas, hanya
pemberian sanksi setelah diberikan izin saja. Tetapi bagaimanakah
dengan yang belum mempunyai izin dan atau izinnya sudah kadaluarsa
melaksanakan praktik keperawatan, apakah tidak akan diberikan sanksi
administrasi? atau apakah sanksinya hanya pada peringatan tertulis saja?
Hal itu nampaknya perlu dikoreksi pada pengaturan hukum tentang sanksi.
Sanksi administrasi mestinya dapat diberikan kepada yang tidak maupun
telah memiliki izin praktik keperawatan. Hal itupun dikatakan
dalam148.bahwa ketika warga Negara melalaikan kewajiban yang timbul
dalam hubungan hukum administrasi, maka pihak lawan (yaitu :
pemerintah) dapat mengenakan sanksi tanpa perantaraan hakim.
Menurut penulis, mestinya sanksi administrasi terhadap perawat yang
melakukan praktiknya tanpa STR atau SIPP/SIK dapat diberikan oleh
147
Taadi, Op.Cit. hlm 62
148 Ridwan HR, Op. Cit. hlm 299.
136
pimpinan, berupa penghentian aktivitas praktiknya ataupun diberikan
denda setelah peringatan tertulis. Hal itu dimaksudkan, agar perawat tidak
langsung dituntut secara pidana seperti orang yang benar-benar tidak
memiliki ijazah perawat, karena sanksi pidana merupakan benteng
terakhir, jika upaya hukum lain tidak bisa menyelesaikannya. Pemberian
sanksi administrasi bagi perawat yang tidak atau belum memiliki STR
dan/atau SIPP, sebenarnya menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan Pasal 188, dapat diberikan sanksi administrasi, meskipun pada
pengaturan sanksinya tidak nyata.
Pengaturan pada pasal 188 UU/36 yang mengatakan bahwa Menteri
dapat memberikan tindakan administratif melalui Kepala Dinas Provinsi
dan Kabupaten/Kota kepada tenaga kesehatan atau fasilitas pelayanan
kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini, diantaranya adalah menjawab pasal 23 ayat (3) UU 36/2009
yang mengatakan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
wajib memiliki izin dari pemerintah. Sehingga sanksi administrasi bagi
perawat yang tidak memiliki STR dan SIPP dapat diberikan, seperti
Penghentian aktivitas praktiknya sampai administrasi tersebut dapat
dipenuhi oleh perawat bersangkutan.
Terkait tindakan sanksi yang dapat diberikan pada perawat
melanggar ketentuan hukum praktik perawat, sebenarnya bagi perawat
yang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat juga mengacuh pada Peraturan
Pemerintah Nomor. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
sepanjang hal itu berkenaan dengan yang diatur dalam PP dimaksud. Hal
yang dapat dijadikan dasar terhadap penerapan sanksi administrasi bagi
137
perawat yang melanggar ketentuan hukum utamanya diatur dalam pasal 3
item 4 dikatakan setiap PNS wajib : menaati segala ketentuan peraturan
perundang-undangan, item 14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat, juga pasal Pasal 4 dikatakan Setiap PNS dilarang: 1.
menyalahgunakan wewenang. Tindaklanjut PP 53/2010 adalah melalui
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.53 Tahun 2010.
Sanksi administrasi bagi PNS yang melanggar kewajiban dan
larangan pada PP 53/2010 termasuk bentuk dan prosedurnya, secara
lengkap ada pada peraturan Kepala BKN No 21/2010. Sehingga menurut
penulis aturan tersebut dapat diharmonisasikan dengan peraturan lain
tentang sanksi bagi perawat yang menyalahi ketentuan hukum yang ada.
Intinya ketentuan sanksi dalam PP 53/2010 dan peraturan pelaksanaannya
dimaksud, hanya berlaku pada Perawat PNS saja. Bagi Perawat bukan
PNS, sepenuhnya mengacuh pada ketentuan hukum perawat yang telah
dikemukakan sebelumnya.
Lepas dari ketentuan sanksi terkait PNS dan bukan, jika Merujuk
pada tidak diberikannya sanksi pada perawat yang tidak memiliki Surat
Tanda Registrasi dan/atau Surat Izin Praktik Perawat dan tidak
diprosesnya laporan/komplein pasien terhadap perawat atas pelayanan
kesehatan yang diberikan, serta tidak proporsional dan relevannya sanksi
administrasi yang diberikan pada perawat melakukan kesalahan
praktiknya, maka tindakan sanksi administrasi terhadap perawat di
Kabupaten Kepulauan Talaud dapat dikatakan belum sepenuhnya
dilakukan secara optimal.
138
Menurut Eleanora F.N., tugas sanksi adalah merupakan alat
pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh
setiap orang dan merupakan akibat hukum bagi seseorang yang
melanggar norma hukum. Sehingga sanksi dapat sekaligus merupakan
alat preventif, dalam hal telah terjadi sesuatu pelanggaran norma akan
menjadi alat represif149.
Sinkron dengan hal dimaksud, Pemberian sanksi yang belum optimal
pada perawat, tentu akan berpengaruh pada kepatuhan terhadap
ketentuan hukum praktik perawat. Perawat akan terus melakukan
kesalahan dan mengabaikan ketentuan hukum yang ada. Sikap perawat
demikian, akan menjerumuskan perawat tersebut pada kesalahan yang
berat dan fatal. Perawat dapat dituntut secara perdata dan pidana, karena
melakukan malpraktik. Hal itu berarti, ketentuan hukum praktik perawat
tidak akan menjadi acuan yang baik dalam praktik perawat.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketentuan Hukum Sebagai Acuan
Dalam Pelaksanaan Praktik Perawat
Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negative
dan positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-
149
Eleanora FN, Op.Cit. hlm 202.
139
faktor tersebut adalah : faktor hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana
atau fasilitas, masyarakat dan kebudayaan150.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dalam pelaksanaan ketentuan
hukum praktik perawat sebagai sub sistem hukum dalam bidang kesehatan,
tentu akan dipengaruhi oleh hal-hal yang diuraikan sebelumnya. Namun pada
pembahasan saat ini, faktor-faktor yang mempengaruhi ketentuan hukum
praktik perawat sebagai acuan dalam pelaksanaan praktiknya, akan dilihat
dari segi negatif atau yang menghambat pelaksanaan hukum dimaksud.
Faktor-faktor yang mempengaruhi secara negatif (menghambat) dalam
pelaksanaan praktik perawat tersebut, uraiannya pada bagian berikut.
1. Substansi Hukum
Menurut Friedman (1987) substansi hukum adalah merupakan salah
satu unsur dalam sistem hukum yang ada. Substansi dimaksud adalah
keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum dan norma hukum),
baik yang tertulis maupun tidak tertulis151. Pengaturan hukum praktik
perawat (perizinan dan kewenangan tindakan) ternyata telah ada dalam
bebagai peraturan perundang-undangan, seperti : Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004, 36 Tahun 2009, UU No. 44 Tahun 2009,
Peraturan Pemeintah nomor 32 tahun 1996, Permenkes No.
HK.02.02/Menkes/148/I/2010, Permenkes No. 1796/2011, Permenkes
2052/ 2011 dan peraturan kebijakan seperti : Keputusan Menpan No.
94/Kep/M.PAN/11/2001, Kepmenkes No.1239/Menkes/SK/XI/2001 dan
150
Soekanto S (b), Op.Cit. hlm 8.
151 Ahmad Ali, (b), Op. Cit. hlm 226.
140
lain-lain terkait, tetapi belum seutuhnya dapat memberikan jaminan
kepada perawat dalam melaksanakan tugasnya, terutama pada situasi
yang menjadi dilematis bagi perawat, karena belum diatur secara jelas
beberapa hal sehubungan dengan perizinan dan kewenangan praktik
perawat, seperti :
Pengaturan hukum pada Permenkes No. HK.02.02/148/2010 pasal 2
ayat (3) bahwa hanya perawat lulusan DIII ke atas yang boleh praktik
mandiri, sedangkan SPK/SPR tidak dibolehkan. Kecuali praktik di luar
praktik mandiri. Padahal baik praktik mandiri dan diluar mandiri, sama
saja kompetensi yang ada dan perlu dijalankannya.
Pembahasan tentang pasal diatas, telah diuraikan sebelumnya.
Namun kali ini akan dibahas tentang kata praktik mandiri. Batasan
praktik mandiri pada pasal diatas belum terlalu jelas. Menurut
Nursalam, Model praktik perawat terdiri atas : Praktik keperawatan
Rumah Sakit, Rumah, berkelompok dan individual152. Model praktik
keperawatan rumah, berkelompok dan individual dimaksud,
sepertinya praktik keperawatan mandiri. Mandiri menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, yaitu : dalam keadaan dapat berdiri sendiri;
tidak bergantung pd orang lain. Sehingga pada praktik keperawatan
berkelompok jumlah perawatnya lebih dari satu orang, tidak bisa
digolongkan praktik mandiri.
Berdasarkan hal tersebut, perlu diuraikan lagi tentang batasan praktik
mandiri dan diluar mandiri pada Permenkes No. Hk.02.02/148/2010.
152
Nursalam, 2011, Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional, Edisi 3, Penerbit Salemba Medika (http://ners.unair.ac.id/materikuliah/BUKU-MANAJEMEN-2011.pdf)
141
Mengingat pada berbagai peraturan terkait kesehatan, tidak
dijelaskan hal itu.
Perawat melakukan praktik pengobatan di puskesmas baik rawat
jalan, rawat inap, ketika dokter tidak berada ditempat padahal secara
tertulis yuridis formal ada dokter. Pengaturan yang ada seakan tidak
memberikan ruang bagi perawat melakukan tindakan diluar tugasnya
melakukan pengobatan/praktik diluar kewenangannya, meskipun
kondisi sosialnya perawat terdesak untuk melakukan pelayanan
kesehatan berupa pengobatan. Beberapa hal yang tidak jelas dalam
Permenkes HK.02.02/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Perawat khususnya pasal 10 ayat (2), (4) dan (5), yaitu :
perawat dapat melaksanakan praktik diluar kewenangannya dengan
mempertimbangkan kompetensi, kedaruratan, kemungkinan untuk
dirujuk dan penetapan daerah tanpa dokter oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Kata diluar kewenangannya dan mempertimbangkan kompetensi,
seakan-akan menjadi berlawanan. Kewenangan yang diberikan
seyogyanya adalah berdasarkan pertimbangan kompetensi standar
yang dimilikinya. Sehingga diluar kewenangan sebenarnya menunjuk
pada luar kompetensi yang standar dimilikinya.
Hal lain yang tidak menentu bagi adalah Perawat di daerah terpencil
tidak ada dokter dan bidan melakukan pertolongan persalinan.
Ketentuan kewenangan perawat yang ada tidak memungkinkan hal
tersebut, tetapi kondisi sosial masyarakat di daerah yang tidak ada
tenaga berkompeten kecuali perawat yang umumnya berada di desa-
142
desa yang sulit kondisi wilayahnya, seperti di Kabupaten Kepulauan
Talaud adalah menjadi sesuatu yang wajib dilakukan oleh perawat
dimaksud. Ulasan lebih lengkap pada bagian pengaturan hukum
kewenangan perawat sebelumnya.
Kata wajib membantu program pemerintah dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat pada Permenkes RI No.
Hk.02.02/148/2010 pasal 12 ayat (3) dan Kepmenkes RI No.
1239/2001 pasal 18, sepertinya kata yang sangat luas dan tidak jelas.
Ketidakjelasan yang dimaksud, jika dihubungkan dengan
kewenangan dan wewenang perawat. Kata membantu berarti
memberikan bantuan kepada seseorang untuk suatu hal tertentu,
sedangkan program pemerintah meningkatkan derajat kesehatan
sangat banyak, Seperti program-program di Puskesmas; KIA/KB,
Imunisasi, Laboratorium, Apotek, bantuan bencana alam dan lain-
lainnya. Berarti membantu program pemerintah dapat saja dikatakan
memberikan bantuan pada semua program pemerintah di bidang
kesehatan untuk peningkatan serajat kesehatan masyarakat.
Tafsiran kata sebagaimana dikemukakan diatas, nampaknya berlaku
pada setiap puskesmas dan jaringannya. kenyataannya, di semua
puskesmas perawat melakukan tugas rangkap jabatan yang belum
tentu sesuai kompetensi dan kewenangannya. fakta tersebut, telah
dikemukakan pada uraian pengaturan hukum kewenangan perawat.
Perawat diberikan tanggung jawab pemegang program di
puskesmas, tetapi tidak jelas kewenangannya dalam ketentuan
hukum perawat, seperti sebagai petugas apotik, Jurim, Laboratorium,
143
dan lain sebagainya. Kondisi ini tidak terelakkan oleh perawat
utamanya di Puskesmas dan jaringannya, karena sebagai tenaga
perawat Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Tidak Tetap dan
sejenisnya di bawah perintah pimpinannya. Perawat secara
kedinasan, wajib mematuhi perintah pimpinan.
Kata “membantu program pemerintah” sebenarnya bukan menunjuk
pada suatu pemberian kewenangan secara luas. Kata dimaksud
menjadi bertentangan dengan kewenangan yang dimaksud pada
pasal sebelumnya. Mestinya kalimat dalam pasal dimaksud, dapat
saja ditambahkan dengan memberikan penjelasan yang sinkron dan
logis dengan pasal yang mengatur kewenangan perawat pada pasal
sebelumnya, disertai syarat dan mekanisme pemberian kewenangan
atau tugas dimaksud dalam kata membantu program pemerintah.
Sehingga perawat dapat memperoleh jaminan dan perlindungan
hukum dalam tugas yang diperintahkan kepadanya.
Secara lengkapnya, hal-hal yang belum jelas dan disesuaikan
pengaturan hukum (substansi) pada ketentuan hukum praktik perawat
telah diuraikan secara gamblang pada bagian pengaturan hukum izin
dan kewenangan praktik perawat. Substansi hukum dalam pengaturan
ketentuan hukum praktik perawat akan menjadi jaminan perlindungan
hukum bagi perawat dan pasien dalam proses pelayanan kesehatan
masyarakat yang berkualitas, sampai di pelosok daerah sekalipun.
Kepastian hukum dan keadilan bagi perawat sangat penting untuk
diperhatikan dalam pembuatan pengaturan praktik perawat. Sehingga
perlu ada penyesuaian dan kejelasannya terhadap kondisi yang
144
dilematis diatas. Jangan sampai akan terulang peristiwa perawat misran
yang dipidana, karena melakukan pengobatan di daerah terpencil.
Jika substansi hukum sebagaimana diuraikan diperjelas dan
dilakukan penyesuaian terhadap keadaan yang ada, niscaya ketentuan
hukum tidak akan menjadi acuan praktik perawat yang baik. Ketentuan
hukum dimaksud, malahan akan menambah kerumitan dan
permasalahan baru dalam implementasinya.
2. Sosialisasi
Kesadaran Hukum masyarakat merupakan hasil optimal dari
keseluruhan proses sosialisasi hukum 153 . Begitu juga dikatakan 154 ,
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketaatan hukum adalah
Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
Intinya bahwa untuk mendapatkan kesadaran dan ketaatan hukum
masyarakat yang baik, harus dilakukan sosialisasi hukum terhadap
target/sasaran hukum secara optimal.
Dalam rangka menilai apakah perilaku hukum perawat terhadap
pelaksanaan ketentuan hukum praktik perawat berjalan dengan baik,
maka mengacuh dari apa yang dikatakan 155 , bahwa faktor yang
mempengaruhi perilaku hukum pertama-tama, komunikasi hukum
(communication of the law) dan pengetahuan hukum (knowledge of the
law) sangatlah penting. Aneh bila dikatakan bahwa menaati atau tidak
menaati aturan, menggunakan aturan atau menghindari aturan, tanpa
153
Mantiri T, Op. Cit. hlm 69 154
Ali A, (b). Op. Cit. hlm 376 155
Ali A, (b), Op Cit. hlm 163
145
kita mengetahui sebelumnya tentang aturan yang sebenarnya. Dengan
kata lain aturan harus dikomunikasikan kepada kita, dan kita harus
memperoleh pengetahuan tentang isi aturan itu.
Untuk menilai faktor sosialisasi hukum dalam pelaksanaan ketentuan
hukum praktik perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud berjalan, maka
akan dlihat pada bagaimana sosialisasi dan pengetahuan ketentuan
hukum perawat terhadap perawat itu sendiri. Jelasnya hasil penelitian
terhadap sosialisasi hukum, dapat dilihat pada kedua tabel 7 berikut :
Tabel 5. Sosialisasi Ketentuan Hukum Praktik Perawat di Kabupaten
Kepulauan Talaud Than 2013
No. Sosialisasi ketentuan hukum perawat
jumlah Persentase
1.
2.
Belum Pernah
Pernah
59
9
59/68x100= 86,76
9/68x100= 13,24
Jumlah 68 68/68x100=100
Sumber : data primer.
Berdasarkan hasil penelitian seperti pada tabel 5 diatas, yaitu
sebagian besar (86,76%) responden menyatakan belum pernah
dilakukan sosialisasi tentang ketentuan hukum praktik perawat.
Selanjutnya, untuk lebih memastikan apakah sosialisasi tentang hukum
praktik perawat belum dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Talaud,
maka ditanyakan tentang ketentuan hukum praktik perawat kepada 68
responden, ternyata semuanya (100%) menyatakan tidak tahu tentang
ketentuan hukum praktik perawat, hal itu jelas bahwa sosialisasi hukum
tentang ketentuan hukum perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud
146
belum dilaksanakan secara baik dan optimal, bahkan masih jauh dari
harapan.
Menurut penulis, hasil sosialisasi yang kurang optimal tersebut, jelas
dapat menghambat pelaksanaan ketentuan hukum praktik perawat oleh
perawat secara baik dan optimal. Sinkron yang dikatakan156 Sosialisasi
merupakan suatu cara/mekanisme dalam proses pengendalian sosial
yang perlu dilakukan untuk menunjang fungsi hukum sebagai sosial
kontrol, agar hukum dapat mengendalikan pola tingkah laku manusia
tersebut sadar terlebih dahulu akan tahu betapa pentingnya suatu
aturan hukum.
3. Penegak Hukum
Faktor yang banyak memengaruhi efektivitas suatu perundang-
undangan, adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran,
wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam
menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun
dalam menegakkan perundang-undangan tersebut157.
Penegak hukum adalah merupakan bagian penting dalam suatu sistem
hukum. Menurut158, bahwa faktor petugas memainkan peranan penting
dalam berfungsinya hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, maka menjadi bermasalah.
156
Eleanora F.N, 2011, Hukum Sebagai Norma Sosial Dalam Masyarakat, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011. hlm 201
157 Ali A, (b), Op. Cit. hlm 379
158 Soekanto S, (a), Op. Cit. hlm 17
147
Selanjutnya, untuk kontribusi penegak hukum dalam berfungsinya
ketentuan hukum praktik perawat kali ini dipakai pada ukuran
penegakan hukum administrasi oleh pimpinan di daerah penelitian.
Jelasnya peran penegak hukum dalam berfungsi atau tidak
berfungsinya hukum praktik perawat dapat diuraikan berikut :
Tabel 6. Pengawasan Pimpinan Terhadap Praktik Perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013.
No Pengawasan oleh pimpinan Jumlah Persentase
1.
2.
Melaksanakan Pengawasan
Tidak Melaksanakan Pengawasan
39
29
39/68x100=57,35
29/68x100=42,65
Jumlah 68 68/68x100=100
Sumber : data Primer.
Berdasarkan table 6. diatas, ternyata masih banyak pimpinan yang
tidak melakukan pengawasan (42,65%) terhadap praktik perawat.
Adanya pimpinan yang tidak melakukan pengawasan, akan
memberikan peluang pada terjadinya pelanggaran/kesalahan yang
akan dilakukan oleh perawat terhadap ketentuan hukum praktik
perawat.
Selain variabel pengawasan, peran penegak hukum akan dilihat pada
bagaimana pimpinan memproses dan melakukan penerapan sanksi
administrasi terhadap perawat yang melakukan pelanggaran. Telah
dikemukakan sebelumnya bahwa tidak dilakukan proses pemeriksaan
dan atau penjatuhan sanksi pada perawat yang tidak memilki STR
dan/atau SIPP adalah menandakan lemahnya peran pimpinan selaku
148
penegak hukum dalam menegakkan ketentuan hukum praktik perawat
yang ada. Demikian juga, pada bagian penerapan sanksi administrasi
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dari 18 responden
bermasalah/mendapat komplein dari pasien atau keluarganya, ternyata
terdapat : 8 responden (44,44%) menyatakan masalah tidak diketahui
pimpinan, 8 responden (44,44%) menyatakan sampai ke pimpinan
tetapi tidak diproses dan diberikan sanksi dan 2 responden (11,12%)
menyatakan masalahnya diberikan sanksi berupa teguran lisan,
meskipun permasalahan itu sudah diproses sampai ke pihak kepolisian.
Hanya 2 responden yang diproses dan diberikan sanksi, dari 18
klaim/laporan pasien dan keluarganya menandakan tidak
profesionalnya pimpinan dalam menegakkan hukum yang ada.
Berdasarkan hal diatas, penegak hukum yang ada sebenarnya belum
sepenuhnya dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
dengan baik. Penegak hukum mestinya dalam berbagai situsi harus
mampu melakukan penindakan dan pencegahan terhadap berbagai
permasalahan baik yang diprakarsai oleh petugas atau masyarakat159.
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan
(status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi
tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi,
sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya
merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-
159
Soekanto S, (b) Op.Cit. hlm 30-33
149
kewajiban tertentu, hak tersebut merupakan peranan (role)160 Dalam
hal praktik perawat, maka pimpinan adalah merupakan status yang
penting dan mempunyai peranan dalam melaksanakan dan
menegakkan hukum yang ada. Pimpinan diharapkan mampu
memainkan peranannya sesuai kewenangan yang diberikan
berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Pimpinan seharusnya dapat
melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaksanaan
praktik perawat yang menyimpang, agar perawat dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab.
Banyaknya pimpinan yang belum melakukan pengawasan pada praktik
perawat dan tidak maksimalnya penerapan sanksi administrasi bagi
perawat, menunjukkan lemahnya pimpinan dalam menegakkan hukum
perawat yang telah ada. Mestinya pimpinan mampu melakukan langkah
pencegahan dan penindakan dengan cara memproses dan
memberikan sanksi terhadap semua kasus yang ditemuinya sendiri
melalui pengawasan ataupun yang dilaporkan masyarakat. Jika hal itu
dapat dilaksanakan, maka ketentuan hukum yang ada dapat diikuti oleh
perawat atau menjadi acuan dalam setiap pelaksanaan
tugas/praktiknya.
160
Soekanto S,(b) Op. Cit. hlm 19-20.
150
4. Fasilitas
Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan sebagai saranan untuk
mencapai tujuan. Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang
berfungsi sebagai faktor pendukung161.
Demikian juga pada pelaksanaan ketentuan hukum praktik perawat,
fasilitas/sarana prasarana memegang peranan penting untuk mencapai
tujuan pelayanan kesehatan pasien/masyarakat yang optimal sesuai
kompetensi dan standar profesi yang di miliki.
Untuk melihat bagaimana keadaan fasilitas pelayanan praktik perawat
dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Keadaan Fasilitas Pendukung Pelaksanaan Praktik Perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013
No. Keadaan fasilitas kesehatan Frekuensi Persentase
1.
2.
Belum Memadai
Sudah Memadai
49
19
49/68x100=72,06
19/68x100=27,94
Jumlah 68 68/68x100=100
Sumber : data Primer.
Hasil penelitian pada tabel 7. diatas, ditemukan 72% responden yang
menyatakan bahwa fasilitas penunjang pelaksanaan tugas
kewenangan perawat belum memadai sehingga pelayanan kesehatan
di bidang perawatan belum berjalan dengan baik. Sebaliknya hanya
27,94% yang menyatakan fasilitas sudah cukup memadai untuk
menunjang pelaksanaan praktik perawat.
161
Soekanto S, (a)., Op.Cit. hlm 17
151
Diantara fasilitas yang dikatakan belum cukup memadai tersebut, yaitu:
Persediaan Oksigen, Instrumen minor, bahan habis pakai seperti :
Infus, kassa dan kapas, penghisap lendir, Obat, Inkubator, Air Bersih,
Penerangan, Ruang Perawatan, Alat Transportasi dan lain-lain.
Fasilitas kurang mendukung dalam praktik perawat sebagaimana
disebutkan diatas, jelas akan menghambat tindakan perawat dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal itu sejalan dikatakan
dalam162 , bahwa kerapkali suatu peraturan sudah diperlukan, tetapi
fasilitas yang mendukung pelaksanaan peraturan tersebut belum
tersedia. Peraturan diadakan sebenarnya untuk memperlancar proses,
tetapi fasilitas tidak cukup, sehingga yang terjadi justru kemacetan-
kemacetan. Dengan demikian, ketentuan hukum praktik perawat yang
ada tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya atau idak lagi menjadi acuan
yang baik dalam praktik perawat tersebut.
5. Masyarakat
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap berfungsinya hukum
adalah warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan
tersebut. Berbicara mengenai warga masyarakat, maka hal ini sedikit
banyak menyangkut masalah derajat kepatuhan hukum masyarakat163.
Untuk melihat faktor masyarakat dapat menghambat ketentuan hukum
sebagai acuan praktik perawat adalah melalui indikator perawat
melakukan rujukan kepada pasien.
162
Ruslan A, Op.Cit. hlm 73
163 Soekanto, S, (a), Op.Cit. hlm 9,18
152
Pada penelitian ini didapatkan hasil, yaitu : dari 68 responden yang
ditanyakan, menyatakan pernah melakukan rujukan kepada pasien.
Tetapi dari 68 responden yang menyatakan pernah merujuk tersebut,
ternyata 28 (41,18%) responden menyatakan masyarakat (pasien dan
atau keluarganya) menolak untuk dirujuk. Alasan pasien/keluarga
pasien yang menolak untuk dirujuk oleh perawat, jelasnya akan
diuraikan seperti pada tabel 8 berikut :
Tabel 8 Alasan Pasien/keluarga pasien (masyarakat) tidak mau dirujuk oleh perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2013.
No. Alasan Pasien/Keluarga tidak Mau dirujuk oleh perawat
Jumlah Persentase
1.
2.
3.
4.
Biaya Kurang (Ekonomi)
Biaya Kurang (ekonomi) + Sulit
Transportasi
Pelayanan Di RS kurang Baik
Pasrah Saja
17
7
3
1
17/28x100=60,71
7/28x100=25
3/28x100=10,71
1/28x100=3,58
Jumlah 28 28/29x100=100
Sumber : data primer
Hasil penelitian pada tabel 8 diatas, ternyata alasan pasien/keluarga
pasien menolak untuk dirujuk menurut responden perawat adalah
sebagai berikut : kurang biaya sejumlah 17 (60,71%), Kurang biaya &
sulit Transportasi sejumlah 7 responden (25%), Pelayanan di rumah
sakit kurang baik sejumlah 3 (10,71%) dan pasrah saja sejumlah 1
responden (3,58%). Hasil penelitian bahwa perawat merujuk pasien
karena sudah bukan kewenangannya, tetapi ditolak oleh masyarakat
dengan alasan diantaranya : kurang biaya, transport yang tidak tersedia
dan mahal oleh karena medan sulit dan jauh dari pusat rujukan
153
memberikan makna ekonomi pada kepatuhan masyarakat. Jika pasien
dan keluarganya memiliki biaya yang relatif cukup, maka anjuran
perawat untuk dirujuk pasien tersebut, dapat mereka terima. Hal itupun
sesuai dengan penelitian oleh Ahmad K (2012) di kota Makassar bahwa
alasan masyarakat memanfaatkan pelayanan pengobatan pada praktik
perawat meliputi : faktor ekonomi, aksesibilitas, persepsi terhadap
masalah kesehatan dan persepsi masyarakat terhadap perawat164
Sinkron dengan alasan ekonomi tersebut, menurut Menurut 165 ,
Singkatnya analisis ekonomi terhadap hukum menyimpulkan bahwa
berapa yang harus dibayar untuk memperoleh sesuatu atau tidak
memperoleh sesuatu. Begitupun Menurut166, bahwa sebenarnya jenis
ketaatan yang paling mendasar sehingga seseorang menaati dan atau
tidak menaati hukum adalah kepentingan. Menurutnya teori ketaatan
oleh H.C. kelman dan Leopold Pospisil sebenarnya lebih tepat
dinamakan jenis-jenis kepentingan, dan faktor ekonomi sangat
mempengaruhi ketaatan seseorang, termasuk di dalamnya, keputusan
seseorang yang bertalian dengan faktor biaya atau pengorbanan, serta
keuntungan, jika ia menaati hukum. Sehingga keadaan seperti
diuraikan sebelumnya, membuat ketentuan hukum praktik perawat tidak
dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak menjadi acuan dalam
pelaksanaan praktik perawat dimaksud.
164
Ahmad A. K. Op. Cit hlm 144-145.
165 Johnny Ibrahim, 2009, Peran Hukum Ekonomi Dalam Mengatasi Krisis Sosial-Ekonomi,
Jurnal Ilmu Hkum Amanna Gappa-Vol. 17 No. 4 Desember 2009.
166 Ali A, (b), Op. Cit. hlm 349-350
154
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Ketentuan Hukum sebagai acuan dalam pelaksanaan praktik perawat
pengaturannya telah ada, baik dari segi perizinan maupun
kewenangannya, tetapi belum sepenuhnya menjadi acuan yang baik
bagi perawat dalam menjalankan tugas/praktiknya terutama di daerah
tertinggal, perbatasan dan kepulauan seperti di Kabupaten Kepulauan
Talaud yang terbatas dalam hal sumber daya manusia kesehatan,
transportasi, fasilitas dan ekonomi masyarakat.
2. Penerapan sanksi administrasi terhadap praktik perawat yang tidak
sesuai ketentuan hukum di Kabupaten Kepulauan Talaud, belum
dilaksanakan secara tegas oleh penegak hukum administrasi
(pimpinan), karena tindakan sanksi yang diberikan kepada perawat
hanya teguran lisan saja. Mestinya dapat diberikan sanksi lebih dari
teguran lisan, seperti : teguran tertulis atau pencabutan izin
sementara/tetap terhadap kasus-kasus pelanggaran ketentuan hukum
praktik perawat yang terjadi.
3. Pelaksanaan ketentuan hukum sebagai acuan dalam pelaksanaan
praktik perawat di Kabupaten Kepulauan Talaud belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik, karena terdapat faktor yang mempengaruhi
secara negatif (menghambatnya), seperti : Substansi Hukum yang
belum jelas dan sesuai kondisi khusus di daerah DTPK, sosialisasi
155
belum maksimal, penegak hukum belum tegas, fasilitas belum
memadai, keadaan masyarakat yang kurang mendukung.
B. Saran
1. Untuk lebih mengoptimalkan ketentuan hukum sebagai acuan dalam
pelaksanaan praktik perawat yang tepat dan benar, perlu dilakukan
penyesuaian ketentuan hukum praktik perawat terhadap situasi nyata
dilapangan yang tidak terelakkan dan menjadi kebutuhan masyarakat
dan perawat itu sendiri, baik dari segi pemberian izin maupun
kewenangannya.
2. Agar dapat mengendalikan dan memberikan efek jera, serta
menimbulkan kesadaran bersama untuk pentingnya pelaksanaan
praktik keperawatan sesuai ketentuan hukum yang ada, maka
diperlukan pimpinan yang memiliki kompetensi dan ketegasan dalam
pengawasan dan penerapan sanksi administrasi secara konsekwen
dan berkeadilan.
3. Perlu upaya dan kiat-kiat dari pimpinan unit kerja dan organisasi
profesi melalui perhatian dan sosialisasi yang optimal tentang
ketentuan hukum praktik perawat kepada perawat dan pimpinannya,
serta masyarakat. Perlu memberikan fasilitas yang cukup dan menjadi
kebutuhan perawat dalam pelaksanaan praktiknya, serta
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan perawat. Juga
meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan terkait langsung
dengan tugas perawat, seperti dokter, tenaga farmasi/apoteker dan
lainnya di unit kerja kesehatan mulai dari rumah sakit sampai ke
156
puskesmas pembantu dan Pos Kesehatan Desa Sekalipun, agar
perawat tidak menjadi kambing hitam dalam setiap pelayanan
kesehatan yang melanggar kewenangannya.
157
DAFTAR PUSTAKA
Ali A, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis) Jakarta : PT Toko Gunung Agung Tbk.
Ali A, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Anggriani J, 2012, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Asikin Z, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi Ketiga. Jakarta : Binarupa Aksara
Fajar, M. dan Achmad, Y. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fuady, M. 2005. Sumpah Hipocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Guwandi, J. 1993, Malpraktek Medik, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hadjon, P.M dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the Indonesian Administrative Law, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hanafiah, J. dan Amir, A. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4, Jakarta : Buku Kedokteran. EGC.
HR. Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Indar H, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), Makassar.
Kusuma, W. 1997. Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktek, Profesional Books, Jakarta-Indonesia.
Machmud, S, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi dokter yang di duga melakukan Medikal Malpraktik, Karya Putra Darwati Bandung.
Mantiri T, 2011, Dampak Penyuluhan Hukum Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Marzuki. P.M., 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-4 2012, Jakarta.
Masriani Y.T., 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.
158
Praptianingsih S, 2006, Kedudukan Hukum Prawat Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Priharjo R, 2008, Konsep & Perspektif Praktik Keperawatan Profesional, Edisi 2, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Puspa, Y.P, 2008, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa : Belanda – Indonesia – Inggris, Penerbit Aneka Ilmu, Semarang
Razak A, 2012, Peraturan Kebijakan (Beleidsregels), Republik Institute dengan Rangkang Education Yogyakarta.
Ruslan A, 2010, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Yogyakarta : Rangkang Education.
Soewondo S.S., 2006, Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan Di Indonesia : Suatu Tinjauan Yuridis, Makassar : PUKAP Indonesia.
Sibuea H.P, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Soekanto S, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta : Penerbit CV. Rajawali.
Soekanto S, 2012, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Penerbit Radjagrafindo Persada.
Subag. Kepegawaian Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud, 2013, Data Tenaga Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun 2012.
Subag. Kepegawaian Rumah Sakit Umum Daerah Talaud, 2013, Data Kepegawaian Rumah Sakit Umum Daerah Talaud Tahun 2012.
Suharsimi Arikunto, 2005, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V, Rineke Cipta, Jakarta.
Sujamto, 1996, Aspek-Aspek Pengawasan Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika
Sutedi A, 2011, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta : Sinar Grafika.
Taadi. 2010 Hukum Kesehatan : Pengantar Menuju Perawat Profesional, Jakarta : Buku Kedokteran, EGC.
WJs Poerwadarminta,1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Triwibowo, C. 2010. Hukum Keperawatan, Panduan Hukum dan Etika Keperawatan, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
Yuliandri, 2010, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
159
Yunanto, A. dan Helmi. 2010. Hukum Pidana Malpraktik Medik, Andi Offset. Yogyakarta.
JURNAL, MAKALAH, DISERTASI DAN TESIS
Administrator, 2011. Dugaan Malpraktek, 5 Nyawa Melayang, (On Line). (http://epaper.radartegal.com/).
Agus34derajat, 2012, Untung Ruginya Bisnis Pendidikan di PT, (Avalaible : 12/4/2012), http://agus34derajat.wordpress.com/2012/11/25/untung-ruginya-bisnis-pendidikan-di-pt/
Ahmad A.K, 2012, Aspek Hukum Pelaksanaan Tindakan Medik Oleh Perawat Di Kota Makassar, (Tesis) : Program Pasca Sarjana Unhas, Makassar.
Astuti E.K, 2010, Analisis Hukum Interaksi Dokter Dengan Pasien Dalam Pelayanan Medis, Jurnal Ilmu Hukum ammana gappa-Volume 18 Nomor 2, Juni 2010.
Eleanora F.N, 2011, Hukum Sebagai Norma Sosial Dalam Masyarakat, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol. 19 Nomor 2, Juni 2011.
Hijaz K, 2010, Implementasi Penyelenggaraan Kewenangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum ammana gappa-Volume 18 Nomor 1, Maret 2010.
Ilyas A, 2010, Berbagai Konsep Tentang Hukum Sebagai Suatu Konsep, Jurnal Ilmu Hukum ammana gappa. Vol.18 Nomor 2, Juni 2010.
Johnny Ibrahim, 2009, Peran Hukum Ekonomi Dalam Mengatasi Krisis Sosial-Ekonomi, Jurnal Ilmu Hkum Amanna Gappa-Vol. 17 No. 4 Desember 2009.
Junaidi, W. 2011. Pengertian Kompetensi (One Line), (http://wawan-junaidi.blogspot.com/2011/07/pengertian-kompetensi.html, diakses 17/12/ 2011). hal 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2012, Edisi Revisi (one Line). (http://kbbi.web.id/pedoman. diakses : 11 mei 2013.
Kementerian Kesehatan RI. BPPSDMK, 2011. Perawat Mendominasi Tenaga Kesehatan (One Line), (http://www.bppsdmk.depkes.go.id/index.php)
Kementerian Kesehatan. BPPSDMK, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1796/Menkes/PER/VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, (One Line), (www.bppsdmk,depkes.go,id, diakses 17 Desember 2011).
Martini, 2007, Hubungan Karakteristik Perawat, Sikap, Beban Kerja, Ketersediaan Fasilitas Dengan Pendokumentasian Asuhan
160
Keperawatan Di Rawat Inap BPRSUD Salatiga, (Tesis) Semarang : Universitas Diponegoro.
Mindyarini, 2011, Standart Profesional Dalam Praktik Keperawatan, FIK-UI, Artikel. Available : http//regional.kompasiana.com/2011/05/12/ .
Nuradik. 2010. Kedudukan Profesi Keperawatan Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia (One Line), (http://nurad1k.blogspot.com/, diakses 25/12/2011)
Nurhidayah R.E, 2005, Sistem Pengembangan Karir Perawat, Jurnal : Volume 1 Tahun 2005. Universitas sumatera Utara, Available : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../ruf-mei2005-%20(4).pd..
Nursalam, 2011, Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional, Edisi 3, Penerbit Salemba Medika (http://ners.unair.ac.id/materikuliah/BUKU-MANAJEMEN-2011.pdf)
Poempida, 2012, Sikap Kemenkes Yang Kontra RUU Keperawatan Adalah Sikap Yang Tidak Pro Kepentingan Rakyat (Available : 12/4/2012. jam 11.56 wita) (http://poempida.com/)
PP PPNI, 2012, Naskah Akademik Undang-Undang Keperawatan, ppnimks.files.wordpress.com/.../ruu-keperawatan-problematika.pdf
PPNI, 2005, Standar Kompetensi Perawat Indonesia, (Avalaible : http://www.inna-ppni.or.id).
PPNI Kota Bontang, 2011, Perjuangan Perawat Misran (1), (http://ppnibontang.blogspot.com/) diakses tgl : 24/4/2013.
Razak A, 2005, Peraturan Kebijakan Sebagai Instrumen Pemerintahan, JUrnal Ilmu Hukum Amanna Gappa-Volume 13 No. 2 Juni 2005.
Soegato, B. Kebijakan Dasar Puskesmas (Kepmenkes No. 128 tahun 2004), (One Line) (https://docs.google.com/, diakses 30/12/2011).
Tallupadang, E.D, 2012, Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Perawat Yang Melakukan Tindakan Medik Dalam Rangka Menjalankan Tugas Pemerintah Terutama Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Study Kasus Di Puskesmas Kota Palu), (Tesis) Program Pasca Sarjana Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang Tahun 2012, (http://eprints.unika.ac.id/694/1/10.93.0062_Edita_Diana_Tallupadang.pdf), (up date : 25/4/2013).
Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosialisasi (Up date : 2012 Okt). Available : http://id.wikipedia.org/wiki/sosialisasi
Yulia. 2011. Meningkatkan Profesionalisme PNS Kesehatan Melalui Diklat Berbasis Kompetensi (One Line), (http://www.bppsdmk.depkes.go.id/, diakses 17/12/ 2011).
161
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor : 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VIII/2010.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Peraturan Pemerintah Nomor : 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan;
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian;
Peraturan Presiden RI. No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek
Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat diserahkan Tanpa Resep oleh Apoteker atau tenaga farmasi
Peraturan Menteri Kesehatan No. 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas;
Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor: HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat;
Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor : 1464/Menkes/PER/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Permenkes Nomor 1796/ Menkes/ PER/ VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
Permenkes RI. Nomor 2052/Menkes/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.
Permenkes RI. No 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan.
162
Permenkes No. 37 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat;
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 94/KEP/M.PAN/11/2001 Tentang Jabatan Fungsional Perawat dan Angka Kreditnya.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktek Perawat.
Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI. No. 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 370/Menkes/SK/III/2007 tentang standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan.
Rancangan Undang-Undang Keperawatan Tahun 2013
Rancangan KUHAP.Tahun 2013
163
Lampiran 1 :
STANDART KOMPETENSI PERAWAT INDONESIA
MENURUT PPNI TAHUN 2005
B. Ranah dan Unit Kompetensi Perawat
1. Ranah Utama Kompetensi Perawat
Kompetensi perawat dikelompokkan menjadi 3 ranah utama yaitu;
a. Praktik Professional, etis, legal dan peka budaya
1) Bertanggung gugat terhadap praktik profesional
2) Melaksanakan praktik keperawatan ( SECARA ETIS DAN PEKA
BUDAYA)
3) Melaksanakan praktik secara legal
b. Pemberian asuhan dan manajemen asuhan keperawatan.
1) Menerapkan prinsip-prinsip pokok dalam pemberian dan
manajemen asuhan keperawatan
2) Melaksanakan upaya promosi kesehatan dalam pelayanan
keperawatan
3) Melakukan pengkajian keperawatan
4) Menyusun rencana keperawatan
5) Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai rencana
6) Mengevaluasi asuhan tindakan keperawatan
7) Menggunakan komunikasi terapeutik dan hubungan interpersonal
dalam pemberian pelayanan
164
8) Menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang aman
9) Menggunakan hubungan interprofesional dalam pelayanan
keperawatan/pelayanan kesehatan
10) Menggunakan delegasi dan supervisi dalam pelayanan asuhan
keperawatan
c. Pengembangan professional
1) Melaksanakan peningkatan professional dalam praktik
keperawatan
2) Melaksanakan peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan
asuhan keperawatan
3) Mengikuti pendidikan berkelanjutan sebagai wujud tanggung jawab
profesi (http://www.inna-ppni.or.id)