BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT dan LAPSUS FAKULTAS KEDOKTERAN September 2013UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
REFERAT: KESEHATAN MENTAL DAN GANGGUAN JIWA
LAPORAN KASUS:
GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK (F25.0)
Oleh :
Fakhrurrazi
110 209 0065
Pembimbing :
dr. Grace Catherine
Supervisior :
dr. Aryati Hamzy, M.Kes, Sp.KJ
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013
1
KESEHATAN MENTAL DAN GANGGUAN JIWA
I. PENDAHULUAN
Kesehatan mental lebih dari tidak adanya gangguan mental belaka. Dimensi
positif kesehatan mental ditekankan dalam definisi kesehatan menurut WHO
(World Health Organization) sebagaimana tercantum dalam konstitusi:
"kesehatan adalah keadaan lengkap fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan
bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan." Konsep kesehatan mental
meliputi emosional, psikologis, dan kesejahteraan pribadi dan sosial, merasakan
keberhasilan diri, otonomi, kompetensi, ketergantungan antargenerasi dan
pengakuan dari kemampuan untuk mewujudkan salah satu potensi intelektual dan
emosional.(1,2)
Hal ini mempengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak serta
membantu menentukan bagaimana kita menangani stres, berhubungan dengan
orang lain, dan membuat pilihan. Kesehatan mental sangat penting pada setiap
tahap kehidupan, dari masa kanak-kanak dan remaja sampai dewasa. Selama
hidup seseorang mungkin mengalami masalah kesehatan mental. Cara berpikir,
suasana hati, dan perilaku bisa dipengaruhi. Banyak faktor yang berkontribusi
terhadap masalah kesehatan mental, termasuk:(2)
Pengalaman hidup, seperti trauma atau riwayat kekerasan
Faktor biologis, seperti gen atau ketidakseimbangan kimia di otak
Riwayat gangguan mental dalam keluarga
Merawat kesehatan mental seseorang sama pentingnya dengan merawat fisik
seseorang kesehatan. Secara keseluruhan kesehatan termasuk diet yang seimbang
dan bergizi, olahraga teratur, manajemen stres, layanan kesehatan mental awal dan
berkelanjutan bila diperlukan, serta mengambil waktu untuk bersantai dan
menikmati keluarga dan teman-teman. Menemukan keseimbangan yang baik
antara kerja dan rumah adalah hal yang penting untuk menjaga kesehatan mental
dan fisik.(2)
II. DEFINISI
2
Menurut WHO, kesehatan mental adalah "keadaan kesejahteraan di mana
individu menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan yang normal
dalam kehidupan, dapat bekerja produktif dan baik, dan mampu membuat
kontribusi terhadap komunitasnya".(1,2)
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV
mendefinisikan gangguan mental sebagai "signifikan secara klinis perilaku atau
sindrom psikologis atau pola yang terjadi dalam individu dan yang terkait dengan
stres atau ketidakmampuan (yaitu, penurunan satu atau lebih fungsi bidang
penting) atau dengan meningkatnya secara signifikan risiko menderita kematian,
sakit, cacat, atau kehilangan kebebasan yang penting".(3,4)
Pada konsep “disability” dari “The International Classification of Diseases-10
(ICD-10) Classification of Mental and Behavioural Disorders” menjelaskan
bahwa gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak
digunakan sebagai komponen esensial untuk mendiagnosis gangguan jiwa, oleh
karena hal ini berkaitan dengan variasi sosial budaya yang sangat luas.(3)
Yang diartikan sebagai “disability” adalah keterbatasan/kekurangan
kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu
melakukan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan
diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang
air besar dan kecil).(3)
Dari konsep tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep
gangguan jiwa, didapatkan butir-butir:(3)
1. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa:
Sindrom atau pola perilaku
Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain dapat
berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ
tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll).
3
III. ETIOLOGI
Hingga saat ini, para peneliti belum mengetahui secara pasti penyebab
gangguan mental. Peneliti meyakini bahwa gen memegang peranan penting dalam
gangguan mental, tetapi tidak ada gen spesifik yang diketahui menyebabkan
gangguan ini. Stress diketahui memiliki peran penting dalam sebagian besar
gangguan mental, walaupun seseorang memiliki bakat gen, gangguan mental
mungkin tidak akan berkembang hingga sesuatu menyebabkan gangguan
keseimbangan pada tubuh, seperti kehilangan orang yang dicinta.(5)
Perubahan struktur otak diragukan memicu gejala psikiatrik. Volume otak,
hormon, darah, dan data fisiologis lainnya telah diperiksa dan tidak didapatkan
jawaban pasti. Peneliti berpendapat, ketidakstabilan kadar molekul otak mungkin
menyebabkan gangguan tersebut. Oleh karenanya, gangguan mental sering
dihubungkan dengan ketidakseimbangan neurotransmitter di otak.(5)
Secara umum, sumber penyebab gangguan jiwa terdapat pada penyesuaian
somato-psiko-sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pada ketiga unsur itu
yang terus-menerus saling memengaruhi, yaitu:(6)
1. Faktor-faktor somatik (somatogenik)
2. Faktor-faktor psikologis (psikogenik)
3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)
Biarpun gejala utama atau gejala yang menonjol terdapat pada unsur kejiwaan,
tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial
(sosiogenik), di psike (psikogenik), atau pun kultural (tekanan kebudayaan) dan
spiritual (tentang keagamaan). Mungkin dari salah satu unsur ada satu penyebab
yang menonjol, namun biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, tetapi beberapa
penyebab dari badan, jiwa dan lingkungan serta kultural-spiritual sekaligus timbul
atau kebetulan secara bersamaan, lalu timbullah gangguan badan atau jiwa.(6)
IV. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1993, World Bank dan World Health Organization (WHO)
menemukan metode pengukuran baru yang disebut global burden of disease.
4
Metode ini tidak terlalu memberikan fokus pada kematian, tetapi juga pada
kesakitan dengan demikian kesehatan mental menjadi salah satu masalah yang
berperan dalam global burden of disease tersebut. Tahun 2000 diperoleh data
gangguan mental sebesar 12%, tahun 2001 meningkat menjadi 13% dan
diprediksi pada tahun 2020 menjadi 15%.(7)
World Health Report (WHO) 2001 menyebutkan bahwa gangguan
meuropsikiatri merupakan penyumbang sepertiga disabilitas yang dinilai dengan
disability adjusted life years (DALYs). Meskipun gangguan jiwa mempunyai
kontribusi yang berarti, belum semua penderita yang mengalaminya memperoleh
pengobatan oleh karena masih terdapat stigma, tidak mampu berobat dan belum
semua negara memiliki kebijakan di bidang kesehatan jiwa. (7)
Dalam masyarakat umum skizofrenia terdapat 0,2-0,8% dan retardasi mental
1-3%. WHO melaporkan bahwa 5-15% dari anak-anak antara 3-15 tahun
mengalami gangguan jiwa yang persisten dang mengganggu hubungan social.
Bila kira-kira 40% penduduk Indonesia adalah anak-anak dibawah 15 tahun, dapat
digambarkan besarnya masalah (ambil saja 5% dari 40% dari katakana saja 120
juta penduduk, maka di Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak yang
mengalami gangguan jiwa). (6)
V. TANDA DAN GEJALA
Tanda (sign) adalah temuan objektif yang didapat oleh dokter, misalnya afek
meenyempit atau retardasi psikomotor pada pasien. Gejala (symptom) adalah
pengalaman subjektif yang digambarkan oleh pasien, misalnya mood depresif atau
kurang energi. Sindrom adalah kumpulan tanda dan gejala yang bersama-sama
membentuk suatu keadaan yang dapat dikenali, yang tidak terlalu jelas
dibandingkan suatu gangguan atau penyakit spesifik.(8)
Sebagian besar tanda dan gejala yang tercantum di bawah dapat dipahami
sebagai berbagai titik dalam spektrum perilaku yang berkisar dari normal sampai
abnormal. Sangat jarang terdapat tanda atau gejala yang patognomonik dalam
psikiatri. Adapun tanda dan gejala penyakit psikiatri diantaranya:(8)
I. Kesadaran: keadaan siaga.
5
A. Gangguan Kesadaran: apersepsi adalah persepsi seseorang yang
dimodifikasi oleh emosi dan pikirannya sendiri; sensorium adalah keadaan
fungsi kognitif indera khusus (terkadang digunakan sebagai sinonim
keesadaran); gangguan kesadaran paling sering disebabkan oleh patologi otak.
1. Kesadaran berkabut: kejernihan ingatan yang tidak lengkap dengan
gangguan persepsi dan sikap.
2. Somnolen: keadaan mengantuk abnormal yang sering ditemukan pada
proses organik.
3. Stupor: hilangnya reaksi dan ketidaksadaran terhadap lingkungan
sekeliling.
4. Delirium: gelisah, bingung, konfusi, reaksi disorientasi yang disertai
dengan halusinasi dan rasa takut.
5. Koma: derajat ketidaksadaran yang berat.
6. Koma vigil: koma dimana pasien tampak tidur tetapi dapat segera
dibangunkan.
7. Keadaan seperti mimpi (dreamlike state): seringkali digunakan secara
sinonim dengan kejang parsial kompleks atau epilepsi psikomotor.
8. Keadaan temaram (twilight state): gangguan kesadaran dengan halusinasi
9. Disorientasi: gangguan orientasi waktu, tempat dan orang.
10. Kebingungan: gangguan kesadaran berupa reaksi yang tidak tepat terhadap
rangsangan lingkungan; bermanifestasi sebagai gangguan orientasi
terhadap waktu, tempat, atau orang.
11. Mengantuk: keadaan siaga yang terganggu, disebabkan oleh hasrat atau
kecenderungan untuk tidur.
12. Sundowning: sindrom pada lansia yang biasanya terjadi pada malam hari,
ditandai dengan rasa mengantuk, kebingungan, ataksia, dan terjatuh akibat
sering mengalami sedasi berlebihan oleh obat; juga disebut sebagai
sundowner’s syndrome.
B. Gangguan atensi (perhatian): atensi adalah jumlah usaha yang dilakukan
untuk memusatkan pada bagian tertentu dari pengalaman, kemampuan untuk
6
mempertahankan perhatian pada satu aktivitas, kemampuan untuk
berkonsentrasi.
1. Distraktibilitas: ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian,
penarikan atensi kepada stimuli eksternal yang tidak penting atau tidak
relevan.
2. Inatensi selektif: hambatan hanya pada hal – hal yang
menimbulkan kecemasan.
3. Hipervigilensi: atensi dan pemusatan yang berlebihan pada semua
stimuli internal dan eksternal, biasanya sekunder dari keadaan delusional
atau paranoid.
4. Keadaan tidak sadarkan diri (trance): atensi yang terpusat dan
kesadaran yang berubah, biasanya terlihat pada hipnosis, gangguan
disosiatif, dan pengalaman religius yang luar biasa.
5. Disinhibisi: penghilangan efek inhibisi sehingga memungkinkan
seseorang menjadi lepas kendali.
C. Gangguan sugestibilitas: kepatuhan dan respon yang tidak kritis terhadap
gagasan atau pengaruh.
1. Folie a deux / folie a trios: penyakit emosional yang berhubungan atara
dua atau tiga orang.
2. Hipnosis: modifikasi kesadaran yang diinduksi secara buatan yang
ditandai dengan penigkatan sugestibilitas.
II. Emosi: suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik
dan perilaku yang terdiri dari afek dan mood.
A. Afek: ekspresi emosi yang terlihat, mungkin tidak konsisten dengan emosi
yang dikatakan pasien.
1. Afek yang sesuai (appropriate affect): kondisi dimana irama
emosional harmonis dengan gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang
menyertai.
2. Afek yang tidak sesuai (inappropriate affect): ketidakharmonisan
antara irama perasaan emosional dengan gagasan, pikiran atau
pembicaraan yang menyertai.
7
3. Afek yang terbatas: penurunan intensitas irama perasaan yang
kurang parah daripada afek tumpul tetapi jelas menurun.
4. Afek yang labil: perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-tiba
yang tidak berhubungan dengan stimuli eksternal.
5. Afek yang tumpul: gangguan pada afek yang dimanifestasikan oleh
penurunan berat pada intensitas irama perasaan yang diungkapkan keluar.
6. Afek yang datar: tidak adanya atau hamper tidak ada tanda ekspresi
afek, suara yang monoton, wajah yang tidak bergerak.
B. Mood: emosi yang meresap dan dipertahankan, yang dialami secara subjektif
dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain: contohnya elasi,
kemarahan, depresi.
1. Mood yang meluap-luap (expansive mood): ekspresi perasaan
seseorang tanpa pembatasan.
2. Mood eutimik: mood dalam rentang normal.
3. Mood disforik: mood yang tidak menyenangkan.
4. Mood yang meninggi (elevated mood): suasana keyakinan dan
kesayangan.
5. Mood yang iritabel: dengan mudah diganggu atau diubah.
6. Pergeseran mood (mood yang labil): osilasi antara euforia dan
depresi atau kecemasan.
7. Ektasi: perasaan kegairahan yang kuat.
8. Euforia: elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran.
9. Depresi: perasaan sedih yang psikopatologis.
10. Dukacita atau berkabung: kesedihan yang sesuai dengan
kehilangan yang nyata.
11. Aleksitimia: ketidakmampuan atau kesulitan dalam
menggambarkan atau menyadari emosi atau mood seseorang.
12. Anhedonia: hilangnya minat dan menarik diri dari semua aktivitas
rutin dan menyenangkan.
13. Ide bunuh diri: pikiran atau tindakan mengakhiri hidupnya.
8
14. Elasi: perasaan gembira, euforia, kemenangan, kepuasan diri yang
intens, atau optimisme.
15. Hipomania: abnormalitas mood yang ditandai ciri kualitatif mania
namun kurang intens.
16. Mania: keadaan mood yang ditandai dengan elasi, agitasi,
hiperaktivitas, hiperseksualitas, serta percepatan berpikir dan berbicara.
17. Melankolia: keadaan depresi berat; digunakan dalam istilah
melankolia involusional baik secara dekskriptif maupun untuk merajuk ke
suatu entitas diagnosis sendiri.
18. La belle indifference: sikap kalem yang tidak tepat atau kurang
perhatian terhadap ketidakmampuan seseorang.
C. Emosi yang lain.
1. Ketakutan: kecemasan yang disebabkan oleh bahaya yang dikenali
secara sadar dan realistik.
2. Agitasi: kecemasan berat yang disertai dengan kegelisahan motorik.
3. Kecemasan yang mengambang bebas: rasa takut yang meresap dan
tidak terpusatkan yang tidak berhubungan dengan suatu gagasan.
4. Ketegangan (tension): peningkatan aktivitas motorik dan psikologis
yang tidak menyenangkan.
5. Rasa malu: kegagalan membangun pengharapan diri.
6. Abreaksional: pelepasan emosional setelah mengingat pengalaman
yang menakutkan.
7. Panik: serangan kecamasan yang akut, episodik, dan kuat yang disertai
dengan perasaan ketakutan yang melanda dan pelepasan otonomik.
8. Apati: irama emosi yang tumpul disertai dengan pelepasan atau
ketidakacuhan.
9. Kecemasan: perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya,
yang mungkin berasal dari dalam atau luar.
10. Ambivalensi: terdapatnya secara bersama-sama dua impuls yang
berlawanan terhadap hal yang sama pada satu orang yang sama pada
waktu yang sama.
9
11. Rasa bersalah: emosi sekunder karena melakukan sesuatu yang
dianggap salah.
12. Pengendalian impuls: kemampuan untuk menahan impuls, dorongan,
atau godaan untuk melakukan suatu tindakan.
13. Inefabilitas: keadaan ekstasi yang tidak dapat dijelaskan, tidak dapat
diungkapkan, dan mustahil disampaikan ke orang lain.
14. Akateksis: kurangnya perasaan terhadap suatu objek yang biasanya
menimbulkan emosi; pada kateksis, perasaannya terhubung.
15. Dekateksis: terlepasnya emosi dan pikiran, ide, atau orang.
D. Gangguan fisiologis yang menyertai gangguan mood: tanda disfungsi
somatik (biasanya otonom), paling sering diakibatkan oleh depresi (juga
disebut sebagai tanda vegetatif).
1. Anoreksia: hilang atau menurunnya selera makan.
2. Hiperfagia: peningkatan asupan makanan.
3. Insomnia: kehilangan atau berkurangnya kemampuan untuk tidur.
a. Awal: kesulitan untuk jatuh tertidur.
b. Tengah: kesulitan tidur di malam hari tanpa terbangun dan kesulitan
untuk tidur kembali.
c. Akhir: terbangun pada dini hari.
4. Hipersomnia: tidur berlebihan.
5. Variasi diurnal: mood biasanya paling buruk pada pagi hari, segera setelah
bangun, dan membaik seiring berjalannya hari.
6. Penurunan libido: berkurangnya minat, dorongan, dan performa seks
(peningkatan libido sering dikaitkan dengan keadaan manik).
7. Konstipasi: ketidakmampuan defekasi atau kesulitan defekasi.
8. Kelelahan: rasa letih, mengantuk, atau iritabilitas yang timbul setelah suatu
periode aktivitas tubuh atau mental.
9. Pika: mengidam dan memakan bahan yang bukan makanan, contohnya cat
atau tanah liat.
10
10. Pseudosiesis: kondisi yang jarang, yaitu pasieen menunjukkan tanda dan
gejala kehamilan, seperti distensi abdomen, pembesaran payudara,
pigmentasi, terhentinya menstruasi, dan morning sickness.
11. Bulimia: lapar yang tak terpuaskan dan makan berlebih; dapat dilihat pada
bulimia nervosa dan depresi atipikal.
12. Adinamia: kelemahan dan kelelahan.
III.Perilaku motorik (konasi): aspek psikis yang mencakup impuls, motivasi,
keinginan, dorongan, insting, dan hasrat yang ditunjukkan melalui aktivitas
motorik atau perilaku seseorang.
1. Abullia: penurunan impuls untuk bertindak dan berfikir disertai
dengan ketidakacuhan tentang akibat tindakan, disertai dengan defisit
neurologis.
2. Negativisme: tahanan tanpa motivasi terhadap semua usaha untun
menggerakkan atau terhadap semua instruksi.
3. Mannerisme: pergerakan yang tidak disadari yang mendarah
daging dan kebiasaan.
4. Ekopraksia: peniruan pergerakan yang patologis seseorang pada
orang lain.
5. Katapleksi: hilangnya tonus otot dan kelemahan secara sementara
yang dicetuskan oleh berbagai keadaan emosional.
6. Otomatisme: tindakan yang otomatis yang biasanya mewakili suatu
aktivitas simbolik yang tidak disadari.
7. Hipoaktivitas (hipokinesis): penurunan aktivitas motorik dan
kognitif, seperti pada retardasi psikomotor, perlambatan pikiran, bicara
dan pergerakan yang dapat terlihat.
8. Mutisme: tidak bersuara tanpa kelainan struktural.
9. Stereotipik: pola tindakan fisik atau bicara yang terfiksasi dan
berulang.
10. Memerankan: ekspresi langsung dari suatu harapan atau impuls
yang tidak disadari dalam bentuk gerakan.
11. Mimikri: aktivitas motorik tiruan dan sederhana pada anak.
11
12. Otomatisme perintah: otomatisme mengikuti sugesti.
13. Katatonia: kelainan motorik dalam gangguan nonorganik.
a. Cerea flexibilitas (fleksibilitas lilin): seseorang dapat diatur dalam
suatu posisi yang kemudian dipertahankannya, jika pemeriksa
menggerakkan anggota tubuh pasien, anggota tubuh terasa seakan-
akan terbuat dari lilin.
b. Posturing katatonik: penerimaan postur yang tidak sesuai atau
kaku yang disadari, biasanya dipertahankan dalam waktu yang lama.
c. Luapan katatonik: aktivitas motorik yang teragitasi, tidak
bertujuan, dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal.
d. Stupor katatonik: penurunan aktivitas motorik yang nyata,
seringkali sampai tidak mobilitas dan tampaknya tidak menyadari
sekeliling.
e. Katalepsi: posisi yang tidak bergerak yang dipertahankan terus-
menerus.
f. Rigiditas katatonik: penerimaan postur yang kaku yang disadari,
menentang usaha untuk digerakkan.
g. Akinesia: tidak adanya gerakan fisik, seperti yang terdapat pada
imobilitas ekstrim pada penderita skiofrenia katatonik: juga dapat
terjadi akibat efek samping ekstrapiramidal dari pengobatan anti-
psikotik.
14. Overaktivitas.
a. Agitasi psikomotor: averaktivitas motorik dan kognitif yang
berlebihan, biasanya tidak produktif dan sebagai respon dari
ketegangan.
b. Hiperaktivitas (hiperkinesis): kegelisahan, agresif, aktifitas
destruktif, seringkali disertai patologi otak dasar.
c. Tidur berjalan: aktivitas motorik saat tidur.
d. Tik: pergerakan motorik yang spasmodik dan tidak disadari.
e. Ataksia: kegagalan koordinasi otot, irregularitas gerakan otot.
f. Polifagia: makan berlebihan yang patologis.
12
g. Akathisia: perasaan subjektif tentang tegangan motorik sekunder
dari medikasi antipsikotik atau medikasi lain yang dapat menyebabkan
kegelisahan, melangkah bolak-balik, duduk dan berdiri berulang-
ulang, dapat disalah artikan sebagai agitasi psikotik.
h. Kompulsif: impuls tidak terkontrol untuk melakukan suatu
tindakan secara berulang.
- Dipsomania: kompulsi untuk minum alkohol.
- Kleptomania: kompulsi untuk mencuri.
- Nimfomania: kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada
seorang wanita.
- Satiriasis: kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada
seorang laki-laki.
- Trikotilomania: kompulsi untuk mencabut rambut.
- Ritual: aktivitas kompulsif otomatis dalam sifat, menurunkan
kecemasan yang orisinil.
i. Tremor: perubahan gerakan secara ritmis, biasanya lebih cepat dari
satu ketukan per detik.
j. Floksilasi: gerakan mencabuti yang tidak bertujuan, biasanya pada
pakaian atau seprai, sering terlihat pada delirium.
15. Agresi: tindakan yang kuat dan diarahkan dengan tujuan yang mungkin
verbal atau fisik; bagian motorik dari afek kekasaran, kemarahan atau
permusuhan.
16. Anergia: tidak berenergi (anergi).
17. Astasia abasia: ketidakmampuan untuk berdiri atau berjalan secara normal,
meski gerakan tungkai normal dapat dilakukan pada posisi duduk atau
berbaring. Cara berjalannya aneh dan tidak mengarah ke suatu lesi organik
spesifik; terdapat pada gangguan konversi.
18. Koprofagia: memakan kotoran atau feses.
19. Diskinesia: kesulitan melakukan gerakan volunter, seperti pada gangguan
ekstrapiramidal.
13
20. Rigiditas otot: keadaan ketika otot tak dapat digerakkan; ditemui pada
skizofrenia.
21. Berputar: tanda yang terdapat pada anak autistik yang terus-menerus
berputar ke arah kepalanya yang dimiringkan.
22. Bradikinesia: kelambanan aktivitas motorik disertai penurunan gerakan
spontan normal.
23. Khorea: gerakan acak, menyentak, cepat, involunter dan tak bertujuan.
24. Konvulsi: kontraksi atau spasme otot yang hebat dan involunter.
a. Konvulsi tonik: konvulsi berupa otot yang berkontraksi dan berelaksasi
secara bergantian.
b. Konvulsi tonik: konvulsi berupa kontraksi otot yang tertahan.
25. Kejang: serangan atau awitan gejala tertentu yang mendadak, contohnya
konvulsi, hilang kesadaran, serta gangguan psikis atau sensorik; ditemui
pada epilepsi dan dapat diinduksi oleh zat.
a. Kejang tonik-klonik menyeluruh: awitan gerakan tonik-klonik pada
ekstremitas yang menyeluruh, menggigit lidah, dan inkontinensia dan
diikuti oleh pemulihan kesadaran dan kognisi secara lambat dan
bertahap; disebut juga kejang grand maldan kejang psikomotor.
b. Kejang parsial sederhana: awitan kejang iktal lokal tanpa gangguan
kesadaran.
c. Kejang parsial kompleks: awitan kejang iktal lokal dengan gangguan
kesadaran.
26. Distonia: kontraksi badan atau ekstremitas yang lambat dan tertahan, daoat
ditemui pada distonia akibat obat.
27. Aminia: ketidakmampuan untuk membuat gerakan isyarat yang dilakukan
oleh orang lain.
IV. Berfikir: aliran gagasan, simbol dan asosiasi yang diarahkan oleh tujuan
dimulai oleh suatu tugas dan mengarah pada kesimpulan yang berorientasi
kenyataan. Jika terjadi urutan yang logis, berfikir adalah normal. Parapraksis
(tergelincir dari logis yang termotivasi secara tidak disadari juga disebut
pelesetan menurut Freud) dianggap sebagai bagian dari berfikir yang normal.
14
A. Gangguan umum dalam bentuk atau proses berfikir.
1. Gangguan mental: sindroma perilaku atau psikologis yang
bermakna secara klinis, disertai dangan penderitaan atau ketidakmampuan,
tidak hanya suatu respon yang diperkirakan dari peristiwa tertentu atau
terbatas pada hubungan antara seseorang dan masyarakat.
2. Psikosis: ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan dari
fantasi. Gangguan tes realitas, dengan menciptakan realitas baru
(berlawanan dengan neurosis: gangguan mental dimana tes realitas adalah
utuh, perilaku tidak jelas melanggar norma-norma sosial, relatif bertahan
lama atau rekuren tanpa pengobatan).
3. Tes realitas: pemeriksaan dan pertimbangan objektif tentang dunia
di luar diri.
4. Gangguan pikiran formal: gangguan dalam bentuk pikiran,
malahan isi pikiran: berpikir ditandai dengan kekenduran asosiasi,
neologisme, dan konstruksi yang tidak logis; proses berpikir mengalami
gangguan, dan orang didefinisikan sebagai psikotik.
5. Berpikir tidak logis: berpikir mengandung kesimpulan yang salah
atau kontradiksi internal; hal ini adalah patologis jika nyata dan tidak
disebabkan oleh kultural atau defisit intelektual.
6. Dereisme: aktivitas mental yang tidak sesuai dengan logika atau
pengalaman.
7. Berpikir autistik: preokupasi dengan dunia dalam dan pribadi.
8. Berpikir magis: suatu bentuk pikiran dereistik; berpikir adalah
serupa dengan fase praopersional pada masa anak-anak (Jean Piaget),
dimana pikiran, kata-kata, atau tindakan mempunyai kekuatan.
9. Proses berpikir primer: istilah umu untuk berpikir yang dereistik,
tidak logis, magis. Normalnya ditemukan dalam mimpi, abnormal pada
psikosis.
15
10. Tilikan emosional: tingkat pemahaman atau kesadaran yang
mendalam yang cenderung mengarah ke perubahan kepribadian dan
perilaku yang positif.
B. Gangguan spesifik pada bentuk pikiran.
1. Neologisme: kata baru yang diciptakan oleh pasien dengan
mengkombinasikan suku kata dari kata-kata lain, untuk alas an keanehan
psikologis.
2. Word salad (gado-gado kata): campuran kata dan frase yang
membingungkan.
3. Sirkumstansialitas: bicara yang tidak langsung yang lambat dalam
mencapai tujuan tetapi akhirnya dari titik awal mencapai tujuan yang
diharapkan; ditandai dengan pemasukan perincian-perincian dan tanda-
tanda kutip yang berlebihan.
4. Tangensialitas: ketidakmampuan untuk mempunyai asosiasi
pikiran yang diarahkan oleh tujuan; pasien tidak pernah berangkat dari
titik awal menuju tujuan yang diinginkan.
5. Inkoherensi (pembicaraan yang tidak logis): pikiran yang biasanya,
tidak dapat dimengerti; berjalan bersama pikiran atau kata-kata dengan
hubungan yang tidak logis atau tanpa tata bahasa, yamg menyebabkan
disorganisasi.
6. Perseverasi: respon terhadap stimulus baru diberikan, sering
disertai dengan gagguan kognitif.
7. Verbigerasi: pengulangan kata-kata atua frase spesifik yang tidak
mempunyai arti.
8. Ekolalia: pengulangan kata-kata atau frase-frase seseorang oleh
seseorang lain secara psikopatologis, cendrung berulang dan menetap,
dapat diucapkan dengan mengejek atau intonasi terputus-putus.
9. Kondensasi: penggabungan berbagai konsep menjadi satu konsep.
16
10. Jawaban yang tidak relevan: jawaban yang tidak harmonis dengan
pertanyaan uang dipertanyakan (pasien tampaknya mengabaikan atua tidak
memperhatikan pertanyaan).
11. Pengenduran asosiasi: aliran pikiran dimana gagasan-gagasan
bergeser dari satu subjek ke subjek lain dalam cara yang sama sekali tidak
berhubungan; jika berat bicara mumngkin membingungkan (inkoheheren).
12. Keluar dari jalur (derailment): penyimpangan yang mendadak
dalam urutan pikiran tanpa penghambatan.
13. Flight of idea: verbalisasi atau permainan kata-kata yang cepat dan
terus menerus yang menghasilkan pergeseran terus menerus dari satu ide
ke ide lain; ide-ide cendrung dihubungkan, dan dalam bentuk yang kurang
parah, pendengar mungkin mampu untuk mengikutinya.
14. Asosiasi bunyi (clang association): asosiasi kata-kata yang mirip
bunyinya tetapi berbeda artinya; kata-kata yang tidak mempunyai
hubungan logis, dapat termasuk sajak dan permainan kata.
15. Penghambatan (Blocking): terputusnya aliran berpikir secara tiba-
tiba sebelum pikiran atau gagasan diselesaikan.
16. Glossolalia: ekspresi pesan-pesan yang relevan melalui kata-kata
yang tidak dipahami (jaga dikenal sebagai bicara pada lidah).
C. Gangguan spesifik pada isi pikiran.
1. Kemiskinan isi pikiran: pikiran yang memberikan sedikit informasi
karena tidak ada pengertian, pengulangan kosong, atau frase yang tidak
jelas.
2. Gagasan yang berlebihan: keyakinan palsu yang dipertahankan dan
tidak beralasan dipertahankan secara kurang kuat dibandingkan dengan
suatu waham.
3. Waham: keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan yang salah
tentang kenyataan eksternal, tidak sejalan dengan intelegensia pasien dan
latar belakang kultural, yang tidak dapat dikoreksi dengan suatu alasan.
a. Waham yang kacau (bizarre delusion): keyakinan palsu
yang aneh, mustahil, dan sama sekali tidak masuk akal.
17
b. Waham tersistematisasi: keyakinan yang palsu yang
digabungkan oleh suatu tema atau peristiwa tunggal.
c. Waham yang sejalan dengan mood: waham dengan isi
yang sesuai dengan mood.
d. Waham yang tidak sejalan dengan mood: waham dengan
isi yang tidak mempunyai hubungan dengan mood atau merupakan
mood-netral.
e. Waham nihilistik: perasaan palsu bahwa dirinya, orang
lain, dan dunia adalah ada atau berakhir.
f. Waham kemiskinan: keyakinan palsu bahwa pasien
kehilangan atau akan terampas semua harta miliknya.
g. Waham somatik: keyakinan yang palsu menyangkut
fungsi tubuh pasien.
h. Waham paranoid: termasuk waham persekutorik dan
waham referensi, kontrol, dan kebesaran (dibedakan dari ide paranoid,
dimana kecurigaan adalah lebih kecil dari bagian waham).
Waham persekutorik: keyakinan palsu bahwa pasien
sedang diganggu, ditipu, atau disiksa.
Waham kebesaran: gambaran kepentingan,
kekuatan, atau identitas seseorang yang berlebihan.
Waham referensi: keyakinan palsu bahwa perilaku
orang lain ditujukan pada dirinya; bahwa peristiwa, benda-benda
atau orang lain mempunyai kepentingan tertentu dan tidak
biasanya, umumnya dalam bentuk negatif; diturunkan dari ide
referensi, dimana seseorang secara salah merasa bahwa ia sedang
dibicarakan oleh orang lain.
i. Waham menyalahkan diri sendiri: keyakinan yang palsu
tentang penyesalan yang dalam dan bersalah.
j. Waham pengendalian: perasan palsu bahwa kemauan,
pikiran, atau perasaan pasien dikendalikan oleh tenaga dari luar.
18
Penarikan pikiran (thought withdrawal): waham
bahwa pikiran pasien dihilangkan dari ingatannya oleh orang lain
atau tenaga lain.
Penanaman pikiran (thought insertion): waham
bahwa pikiran ditanam dalam pikiran pasien oleh orang lain atau
tenaga lain.
Siar pikiran (thought broadcasting): waham bahwa
pikiran pasien dapat didengar oleh lain.
Pengendalian pikiran (thought control): waham
bahwa pikiran pasien dikendalikan oleh orang lain atau tenaga lain.
k. Waham ketidaksetiaan (waham cemburu): keyakinan
palsu yang didapatkan dari kecemburuan patologis bahwa kekasih
pasien adalah tidak jujur.
l. Erotomania: kayakinan waham, lebih sering pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki, bahwa seseorang sangat mencintai
dirinya (dikenal sebagai kompleks Clerambault- Kandinsky).
m. Pseudologis phantastica: suatu jenis kebohongan, dimana
seseorang tampaknya percaya terhadap kenyataan fantasinya dan
bertindak atas kenyataan.
4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran: pemusatan isi pikiran
pada ide tertentu, disertai dengan irama afektif yang kuat, seperti
kecenderungan paranoid, atau preokupasi tentang bunuh diri atau
membunuh.
5. Egomania: egomania adalah preokupasi pada diri sendiri yang
patologis.
6. Monomania: monomania adalah preokupasi dengan suatu objek
tunggal.
7. Hipokondria: keprihatinan yang berlebihan tentang kesehatan
pasien yang didasarkan bukan pada patologi organik yang nyata, tetapi
pada interprestasi yang realistik terhadap tanda atau sensasi fisik yang
sebagai abnormal.
19
8. Obsesi: ketekunan yang patologis dari suatu pikiran atau perasaan
yang tidak dapat ditentang, yang tidak dapat dihilangkan dari kesadaran
oleh usaha logika, yang disertai dengan kecemasan (juga dikenal sebagai
renungan).
9. Kompulsi: kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu
impuls yang jika ditahan menyebabkan kecemasan.
10. Koprolalia: pengungkapan secara kompulsif dari kata-kata yang
cabul.
11. Fobia: rasa takut patologis yang persisten, irasional, berlebihan,
dan selalu terjadi terhadap suatu jenis stimulasi atau situasi tertentu;
menyebabkan keinginan yang memaksa untuk menghindari stimulus yang
ditakuti.
Fobia spesifik: rasa takut yang jelas terhadap objek
atau situasi yang jelas (contohnya, takut terhadap laba-laba atau ular).
Fobia sosial: rasa takut akan keramaian masyarakat,
seperti takut berbicara dengan masyarakat, bekerja, atau makan dalam
masyarakat.
Akrofobia: rasa takut terhadap tempat yang tinggi.
Agrofobia: rasa takut terhadap tempat yang luas.
Algofobia: rasa takut terhadap rasa nyeri.
Ailurofobia: rasa takut terhadap kucing.
Eritrofobia: rasa takut terhadap warna merah.
Panfobia: rasa takut terhadap segala sesuatu.
Klaustrofobia: rasa takut terhadap tempat yang
tertutup.
Xenofobia: rasa takut terhadap orang asing.
Zoofobia: rasa takut terhadap binatang.
12. Noesis: suatu wahyu dimana terjadi pencerahan yang besar sekali
disertai dengan perasaan bahwa pasien telah dipilih untuk memimpin dan
memerintah.
20
13. Unio mystica: suatu perasaan yang meluap, pasien secara mistik
bersatu dengan kekuatan yang tidak terbatas.
V. Pembicaraan: gagasan, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui bahasa;
komunikasi melalui penggunaan kata-kata dan bahasa.
A. Gangguan cara bicara.
1. Tekanan bicara: bicara cepat yaitu peningkatan jumlah dan
kesulitan untuk memutus pembicaraan.
2. Kesukaan bicara (logorrhea): bicara yang banyak sekali, bertalian,
dan logis.
3. Kemiskinan bicara (poverty of speech): pembatasan bicara yang
digunakan; jawaban hanya satu suku kata.
4. Bicara yang tidak spontan: respon verbal yang diberikan hanya jika
ditanya atau dibicarakan langsung; tidak ada bicara yang dimulai dari diri
sendiri.
5. Kemiskinan isi bicara: bicara yang adekuat dalam jumlah tetapi
memberikan sedikit informasi karena ketidakjelasan, kekosongan atau
frase yang stereotipik.
6. Disprosodi: hilangnya irama bicara yang normal.
7. Disartria: kesulitan dalam artikulasi, bukan dalam penemuan kata
atau tata bahasa.
8. Bicara yang keras atau lemah secara berlebihan: hilangnya
modulasi volume bicara normal, mungkin mencerminkan berbagai
keadaan patologis mulai dari psikosis sampai depresi atau ketulian.
9. Gagap: pengulangan atau perpanjangan suara atua suku kata yang
sering, menyebabkan gangguan kefasihan bicara yang jelas.
10. Latah: gaya bicara sermpangan dan disritmik, terdiri atas seruan
spontan dan cepat.
11. Akulalia: gaya bicara tak masuk akal terkait dengan gangguan
pemahaman yang cukup bermakna.
12. Bradilalia: gaya bicara lambat yang abnormal.
13. Disfonía: kesulitan atau nyeri saat berbicara.
21
B. Gangguan Afasik: gangguan dalam pengeluaran bahasa.
1. Afasia motorik: gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan
kognitif dimana pengertian adalah tetap tetapi kemampuan untuk bicara
adalah sangat terganggu (dikenal sebagai afasia Broca).
2. Afasia sensorik: kehilangan kemampuan organik untuk mengerti
arti kata; bicara lancar dan spontan, tetapi membingungkan dan yang
bukan-bukan.
3. Afasia nominal: kesulitan untuk menemukan nama yang tepat
untuk suatu benda (juga dikenal sebagai afasia anomia dan amnestik).
4. Afasia sintatikal: ketidakmampuan untuk menyusun kata-kata
dalam urutan yang tepat.
5. Afasia logat khusus (jargon): kata-kata yang dihasilkan seluruhnya
neologistik; kata-kata yang bukan-bukan diulangi dengan berbagai
intonasi dan nada suara.
6. Afasia global: kombinasi afasia yang sangat tidak fasih dan afasia
fasih yamg berat.
7. Alogia: ketidakmampuan berbicara akibat suatu defisiensi mental
atau episode demensia.
8. Koprofasia: penggunaan bahasa yang vulgar atau kasar secara
involunter; terdapat pada gangguan Tourette dan beberapa kasus
skizofrenia.
VI. Persepsi: persepsi adalah memindahkan stimulasi fisik menjadi informasi
psikologis, proses mental dimana stimulasi sensoris dibawa ke kesadaran.
A. Gangguan persepsi.
1. Halusinasi: persepsi sensoris yang palsu yang tidak disertai dengan
stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat
interpretasi waham tentang pengalaman halusinasi.
a. Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang palsu yang
terjadi saat akan tertidur, biasanya dianggap sebagai fenomena yang
nonpatologis.
22
b. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang terjadi saat
terbangun dari tidur, biasanya dianggap tidak patologis.
c. Halusinasi dengar (auditoris): persepsi bunyi palsu,
biasanya suara tetapi juga berupa bunyi-bunyi lain, seperti musik, dan
merupakan halusinasi yang paling sering pada gangguan psikiatrik.
d. Halusinasi visual: persepsi palsu tentang penglihatan
yang berupa citra yang berbentuk (contoh: orang) dan citra yang tidak
berbentuk (contoh: kilatan cahaya), paling sering pada gangguan
organik.
e. Halusinasi cium (olfaktoris): persepsi membau yang
palsu, paling sering pada gangguan organik.
f. Halusinasi kecap (gustatoris): persepsi tentang rasa kecap
yang palsu, seperti rasa kecap yang tidak menyenangkan yang
disebabkan oleh kejang, paling sering pada ganggaun organik.
g. Halusinasi raba (taktil, haptik): persepsi palsu tentang
perabaan atau sensasi permukaan, seperti dari tungkai yang
teramputasi (phantom limb), sensasi adanya gerakan pada atau di
bawah kulit (kesemutan).
h. Halusinasi somatik (halusinasi kenestetik): sensasi palsu
tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau terhadap tubuh, paling
sering berasal dari visera.
i. Halusinasi liliput (mikropsia): persepsi yang palsu
dimana benda-benda tampak lebih kecil ukurannya.
j. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood-congruent
hallucination): halusinasi dimana isi halusinasi adalah konsisten
dengan mood yang tertekan atau manik.
k. Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood (mood-
incongruent hallucination): halusinasi dimana isinya tidak konsisten
dengan mood yang tertekan atau manik.
23
l. Halusinosis: halusinasi, paling sering adalah halusinasi
dengar, yang berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol kronis dan
terjadi dalam sensorium yag jernih.
m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh
sensasi lain.
n. Trailing phenomenon: kelainan persepsi yang
berhubungan dengan obat-obat halusinogen dimana benda yang
bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang terpisah dan tidak
kontinu.
o. Halusinasi perintah: persepsi palsu akan perintah yang
membuat seseorang merasa wajib mematuhi atau tak kuasa menolak.
2. Ilusi: mispersepsi atau misinterpretasi terhadap stimuli eksternal
yang nyata.
B. Gangguan yang berhubungan dengan gangguan kognitif dan penyakit
medis.
1. Agnosia: ketidakmampuan untuk mengenaki dan menginterpretasikan
kepentingan kesan sensoris.
2. Anosognosia: ketidaktahuan tentang penyakit,
ketidakmampuan untuk mengenali suatu defek neurologist yang terjadi
pada dirinya.
3. Somatopagnosia: ketidakmampuan untuk mengenali suatu
bagian tubuh sebagai milik dirinya sendiri.
4. Agnosia visual: ketidakmampuan untuk mengenali benda-
benda atau orang.
5. Astereonosis: ketidakmampuan untuk mengenali benda
melalui sentuhan.
6. Prosopagnosia: ketidakmampuan untuk mengenali wajah.
7. Apraksia: ketidakmampuan untuk melakukan tugas – tugas
tertentu.
24
8. Simutagnosia: ketidakmampuan untuk mengerti lebih dari
satu elemen pandangan visual pada suatu waktu untuk mengintegrasikan
bagian-bagian menjai keseluruhan.
9. Adiasokokinesia: ketidakmampuan untuk melakukan
pergerakan yang berubah dengan cepat.
10. Aura: sensasi peringatan berupa otomatisme, rasa penuh
pada perut, pipi memerah, perubahan napas, sensasi kognitif, dan keadaan
afektif yang biasanya dialami sebelum serangan kejang; suatu prodromal
sensorik yang mendahului nyeri kepala migren klasik.
C. Gangguan yang berhubungan dengan fenomena konversi dan
disosiatif: somatisasi material yang direpresi atau perkembangan gejala dan
distorsi fisik yang melibatkan otot volunteer atau organ sensoris bukan di
bawah kontrol volunter dan bukan disebabkan oleh suatu gangguan fisik.
1. Anastesia histerikal: hilangnya modalitas
sensoris yang disebabkan oleh konflik emosional.
2. Makropsia: menyatakan benda-benda tampak
lebih besar dari sesungguhnya.
3. Mikropsia: menyatakan benda-benda tampak
lebih kecil dari sesungguhnya.
4. Depersonalisasi: peranan subjektif bahwa
lingkungan adalah aneh atau tidak nyata, suatu perasaan tentang
perubahan realitas.
5. Fatigue (fuga): mengambil identitas baru pada
amnesia identitas yang lama, seringkali termasuk berjalan-jalan atau
berkelana ke lingkungan yang baru.
6. Kepribadian ganda: satu orang yang tampak
pada waktu yang berbeda menjadi 2 atau lebih kepribadian.
7. Derealisasi: perasaan subjektif bahwa
lingkungan adalah aneh atau tidak nyata, suatu perasaan tentang
perubahan realitas.
25
8. Disosiasi: mekanisme pertahanan bawah sadar
yang meliputi pemisahan seluruh kelompok proses mental atau perilaku
dari aktivitas psikis lain pada orang tersebut; dapat mencakup pemisahan
suatu ide dari nada emosional yang menyertainya, seperti yang tampak
pada gangguan konversi dan disosiasi.
VII. Daya ingat (memori): fungsi dimana informasi di simpan di otak dan
selanjutnya diingat kembali ke kesadaran.
A. Gangguan memori.
1. Amnesia: ketidakmampuan sebagian atau keseluruhan untuk
mengingat pengalaman masa lalu, mungkin berasal dari organik atau
emosional.
a. Anterograd: amnesia untuk peristiwa yang terjadi setelah
suatu titik waktu.
b. Retrograd: amnesia sebelum suatu titik waktu.
2. Paramnesia: pemalsuan ingatan oleh distorsi pengingatan.
a. Fausse reconnaissance: pengenalan yang palsu.
b. Pemalsuan retrospektif: ingatan secara tidak diharapkan
(tidak disadari) menjadi terdistorsi saat disaring melalui keadaan
emosional, kognitif, dan pengalaman pasien sekarang.
c. Konfabulasi: pengisian kekosongan ingatan secara tidak
disadari oleh pengalaman yang dibayangkan atau tidak nyata yang
dipercaya pasien tetapi tidak mempunyai dasar kenyataan, paling
sering berhubungan dengan patologi organik.
d. Déjà vu: ilusi pengenalan visual dimana situasi yang baru
secara keliru dianggap sebagai pengulangan ingatan sebelumnya.
e. Deja entendu: ilusi pengenalan auditoris.
f. Deja pense: ilusi bahwa suatu pikiran baru dikenali
sebagai pikiran yang sebelumnya telah dirasakan atau diekspresikan.
g. Jamais vu: perasaan palsu tentang ketidakkenalan
terhadap situasi nyata yang telah dialami seseorang.
3. Hipermnesia: peningkatan derajat penyimpanan dan pengingatan.
26
4. Eidetic image: ingatan visual tentang kejelasan halusinasi.
5. Screen memory: ingatan yang dapat ditoleransi secara sadar
menutupi ingatan yang menyakitkan.
6. Represi: suatu mekanisme pertahanan yang ditandai oleh pelupaan
yang tidak disadari terhadap gagasan atau impuls yang tidak dapat
diterima.
7. Letologika: ketidakmampuan sementara untuk mengingat suatu
nama atau suatu kata benda yang tepat.
8. Blackout: amnesia yang dialami oleh alkoholik tentang perilaku
selama ia minum-minum; biasanya mengindikasikan terjadinya kerusakan
otak reversibel.
B. Tingkat memori.
1. Segara (immediate): reproduksi atau pengingatan hal- hal yang
dirasakan dalam beberapa detik sampai menit.
2. Jangka pendek (recent): pengingatan peristiwa yang telah lewat
beberapa hari.
3. Jangka menengah (recent past): pengingatan peristiwa yang telah
lewat selama beberapa bulan.
4. Jangka panjang (remote): pengingatan peristiwa yang telah lama
terjadi.
VIII. Intelegensia: kemampuan untuk mengerti, mengingat, menggerakkan dan
menyatukan secara konstruktif pelajaran sebelumnya dalam menghadapi
situasi yang baru.
A. Retardasi mental: kurangnya intelegensia sampai
derajat dimana terdapat gangguan pada kinerja sosial dan pekerjaan:
1. Ringan (IQ 50 atau 55 sampai 70)
2. Sedang (IQ 35 atau 40 sampai 50 atau 55)
3. Berat (IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40)
4. Sangat berat (dibawah IQ 20 atau 25)
5. Idiot (usia mental di bawah 3 tahun)
6. Imbisil (usia mental antara 3 sampai 7 tahun)
27
7. Moron (usia mental sekitar 8 tahun)
B. Demensia: perburukan fungsi intelektual organik
dan global tanpa pengaburan kesadaran.
1. Diskalkulia (akalkulia): hilngnya kemampuan
untuk melakukan perhitungan yang tidak disebabkan oleh kecemasan
atau gangguan konsentrasi.
2. Disgrafia (agrafia): hilangnya kemampuan untuk
menulis dalam gaya yang kursif, hilangnya struktur kata.
3. Aleksia: hilangnya kemampuan membaca yang
sebelumnya dimiliki, tidak disebabkan oleh gangguan ketajaman
penglihatan.
C. Pseudodemensia: gambaran klinis yang
menyerupai demensia yang tidak disebabkan oleh suatu kondisi organik,
paling sering disebabkan oleh depresi (sindroma demensia dari depresi).
D. Pemikiran konkret: berpikir harafiah,
penggunaan kiasan yang terbatas tanpa pengertian nuansa arti, pikiran
satu-dimensional.
E. Pemikiran abstrak: kemampuan untuk mengerti
nuansa arti, berpikir multi dimensional dengan kemampuan menggunakan
kiasan dan hipotesis dengan tepat.
IX. Tilikan (Insight): kemampuan pasien untuk mengerti penyebab sebenarnya
dan arti dari suatu situasi (seperti sekumpulan gejala).
A. Tilikan intelektual: pemahaman keyakinan objektif suatu kelompok
keadaan tanpa disertai kemampuan untuk menerapkan pemahaman
tersebut dalam cara yang berguna untuk mengatasi situasi.
B. Tilikan sejati: pemahaman akan keyakinan objektif suatu situasi disertai
motivasi dan dorongan emosional untuk mengatasi situasi.
C. Tilikan terganggu: berkurangnya kemampuan untuki memahami
kenyataan objektif dari suatu situasi.
X. Daya nilai: kemampuan untuk mengkaji suatu situasi dengan benar dan
bertindak sesuai situasi tersebut.
28
A. Daya nilai kritis: kemampuan untuk menilai, melihat dan memilih
berbagai pilihan di dalam suatu situasi
B. Daya nilai otomatis: kinerja refleks di dalam suatu tindakan.
C. Daya nilai terganggu: menghilangnya kemampuan untuk mengerti
suatu situasi dengan benar dan bertindak secara tepat.
VI. PEDOMAN PENGGOLONGAN
Konsep klasifikasi penggolongan diagnosis gangguan jiwa yang merujuk pada
ICD-10 sebagai berikut:(3,10)
F00-09 Gangguan mental organik, termasuk gangguan mental simtomatik.
Gambaran utama:
Gangguan fungsi kognitif: daya ingat, daya pikir, dan belajar
Gangguan sensorium: gangguan kesadaran dan perhatian
Sindrom dengan menifestasi yang jelas dalam bidang: persepsi
(halusinasi), isi pikiran (waham/delusi), suasana perasaan dan emosi
(depresi, gembira dan cemas)
Gangguan mental simptomatik
F00 Demensia pada penyakit alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer dengan onset dini
F00.1 Demensia pada penyakit alzheimer dengan onset lambat
F00.2 Demensia pada penyakit alzheimer, tipe tak khas atau tipe
campuran
F00.9 Demensia pada penyakit alzheimer YTT
F01 Demensia vaskular
F01.0 Demensia vaskular onset akut
F01.1 Demensia multi infark
F01.2 Demensia vaskular subkortical
F01.3 Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia vaskular lainnya
F01.9 Demensia vaskular YTT
F02 Demensia pada penyakit lain YDK
F02.0 Demensia pada penyakit Pick
29
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-jakob
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
F02.3 Demensia pada penyakit Parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit Human Imunodeficiency Virus
[HIV]
F02.8 Demensia pada penyakit YDT YDK
F03 Demensia YTT
F04 Sindroma amnesia organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
F05 Deliriun bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
F05.0 Delirium, tak bertumpangtindih dengan demensia
F05.1 Delirium, bertumpangtindih dengan demensia
F05.8 Delirium lainnya
F05.9 Delirium YTT
F06 Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik
F06.0 Halusinosis organik
F06.1 Gangguan katatonik organik
F06.2 Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
F06.3 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) organik
F06.4 Gangguan anxietas organik
F06.5 Gangguan disosiatif organik
F06.6 Gangguan astenik organik
F06.7 Gangguan kognitif ringan
F06.8 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik lain YDT
F06.9 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik YTT
F07 Gangguan kepribadian dan perilaku akibat penyakit, kerusakan dan
disfungsi otak
F07.0 Gangguan kepribadian organik
F07.1 Sindroma pasca-ensefalitis
30
F07.2 Sindroma pasca-kontusio
F07.8 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit,
kerusakan dan disfungsi otak lainnya
F07.9 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit,
kerusakan dan disfungsi otak YTT
F09 Gangguan mental organik atau simptomatik YTT
F10-19 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
Dasar diagnosa:
Adanya penggunaan zat psikoaktif (baik yang diresepkan maupun
tidak)
Adanya gejala psikotik maupun tidak ada
F10 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
F11 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioida
F12 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau
hipnotika
F14 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain
termasuk kafein
F16 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogenika
F17 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap
F19 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan
penggunaan zat psikoaktif lainnya
F20-29 Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham
Pedoman diagnosa:
Gejala yang timbul yaitu gejala psikotik, semua umur
Non organik
F20 Skizofrenia
Pedoman diagnosis:
31
Gejala Mayor: (1 gejala yang jelas, 2 gejala yang kurang jelas)
Thought echo, though insertio, thought broadcasting
Waham dikendalikan
Halusinasi menetap
Waham menetap
Gejala Minor: (paling sedikit 2)
Halusinasi menetap
Arus pikir yang terputus atau mengalami sisipan
Perilaku katatonik
Gejala negativistik
Perubahan yang konsisten secara keseluruhan dari perilaku
Kurun waktu 1 bulan atau lebih
F20.0 Skizofrenia paranoid
F20.1 Skizofrenia hebefrenik
F20.2 Skizofrenia katatonik
F20.3 Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
F20.4 Skizofrenia pasca-skizofrenia
F20.5 Skizofrenia residual
F20.6 Skizofrenia simpleks
F20.8 Skizofrenia lainnya
F20.9 Skizofrenia YTT
F21 Gangguan skizotipal
F22 Gangguan waham menetap
F22.0 Gangguan waham
F22.8 Gangguan waham menetap lainnya
F22.9 Gangguan waham YTT
F23 Gangguan psikotik akut dan sementara
F23.0 Gangguan psikotik polimorfik akut tanpa gejala skizofrenia
F23.1 Gangguan psikotik polimorfik akut dengan gejala skizofrenia
F23.2 Gangguan psikotik lir-skizofrenia akut
F23.3 Gangguan psikotik akut lainnya dengan predominan waham
32
F23.8 Gangguan psikotik akut dan sementara lainnya
F23.9 Gangguan psikotik akut dan sementara YTT
F24 Gangguan waham terinduksi
F25 Gangguan skizoafektif
F25.0 Gangguan skizoafektif tipe manik
F25.1 Gangguan skizoafektif tipe depresif
F25.2 Gangguan skizoafektif tipe campuran
F25.8 Gangguan skizoafektif lainnya
F25.9 Gangguan skizoafenik YTT
F28 Gangguan psikotik non organik lainnya
F29 Psikosis non organik YTT
F30-39 Gangguan suasana perasaan (Mood [afektif])
Pedoman diagnosis:
Perubahan suasana mood/ afek ( kearah depresi maupun elasi)
Pada semua umut
Perubahan semua tingkatan aktivitas (umumnya)
Dapat disertai gejala psikotik maupun non psikotik
F30 Episode manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.2 Mania dengan gejala psikotik
F30.8 Episode manik lainnya
F30.9 Episode manik YTT
F31 Gangguan afektif bipolar
F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala
psikotik
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau
sedang
33
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa
gejala psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan
gejala psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar,kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar YTT
F32 Episode depresif
F32.0 Episode depresif ringan
F32.1 Episode depresif sedang
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psiotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan depresif berulang
F33.0 Episode depresif berulang, episode kini ringan
F33.1 Episode depresif berulang, episode kini sedang
F33.2 Episode depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
F33.3 Episode depresif berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
F33.4 Episode depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Episode depresif berulang lainnya
F33.9 Episode depresif berulang YTT
F34 Gangguan suasana perasaaan (mood[afektif]) menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) menetap lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) menetap YTT
F38 Gangguan suasana perasaaan (mood[afektif]) lainnya
34
F38.0 Gangguan suasana perasaaan (mood[afektif]) tunggal lainnya
F38.1 Gangguan suasana perasaaan (mood[afektif]) berulang
lainnya
F38.8 Gangguan suasana perasaaan (mood[afektif]) lainnya YDT
F39 Gangguan suasana perasaaan (mood[afektif]) YTT
F40-49 Gangguan Neurotik, gangguan somatoform dan gangguan yang
berkaitan dengan stres
Gejala utama:
Neurotik, somatoform dan berkaitan dengan stress
Non organik
F40 Gangguan anxietas fobik
F40.0 Agorafobia
F40.1 Fobia sosial
F40.2 Fobia khas (terisolasi)
F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya
F40.9 Gangguan anxietas fobik lainnya
F41 Gangguan anxietas lainnya
F41.0 Gangguan panik ( anxietas paroksismal episodik)
F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh
F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif
F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya
F41.8 Gangguan anxietas lainnya
F41.9 Gangguan anxietas YTT
F42 Gangguan obsesif-kompulsif
F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan
F42.1 Predominan tindakan kompulsif
F42.2 campuran tindakan dan pikiran obsesional
F42.8 Gangguan obsesif-kompulsif lainnya
F42.9 Gangguan obsesif-kompulsif YTT
F43 Reaksi terhadap stres berat dan gangguan penyesuaian
F43.0 Reaksi stress akut
35
F43.1 Gangguan stress pasca trauma
F43.2 Gangguan penyesuaian
F43.8 Reaksi terhadap stres berat lainnya
F43.9 Reaksi terhadap stress berat YTT
F44 Gangguan disosiatif [konversi]
F44.0 Amnesia disosiatif
F44.1 Fugue disosiatif
F44.2 Stupor disosiatif
F44.3 Gangguan trans dan kesurupan
F44.4 Gangguan motorik disosiatif
F44.5 Konvulsi disosiatif
F44.6 Anestesia dan kehilangan sensorik disosiatif
F44.7 Gangguan disosiatif [konversi] campuran
F44.8 Gangguan disosiatif [konversi] lainnya
F44.9 Gangguan disosiatif [konversi] YTT
F45 Gangguan somatoform
F45.0 Gangguan somatisasi
F45.1 Gangguan somatoform tak terinci
F45.2 Hipokondrik
F45.3 Disfungsi otonomik somatoform
F45.4 Gangguan nyeri somatoform menetap
F45.8 Gangguan somatoform lainnya
F45.9 Gangguan somatoform YTT
F48 Gangguan neurotik lainnya
F48.0 Neurastenia
F48.1 Sindroma depersonalisasi-derealisasi
F48.8 Gangguan neurotik lainnya YDT
F48.9 Gangguan neurotik YTT
F50-59 Sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik
Gejala khas:
36
Disfungsi fisiologi
Etiologi non organik
F50 Gangguan makan
F50.0 Anoreksia nervosa
F50.1 Anoreksia nervosa tak khas
F50.2 Bulimia nervosa
F50.3 Bulimia nervosa tak khas
F50.4 Makan berlebih yang berhubungan dengan gangguan
psikologis lainnya
F50.5 Muntah yang berhubungan dengan gangguan psikologis
lainnya
F50.8 Gangguan makan lainnya
F50.9 Gangguan makan YTT
F51 Gangguan tidur nonorganik
F51.0 Insomnia nonorganik
F51.1 Hipersomnia nonorganik
F51.2 Gangguan jadwal tidur nonorganik
F51.3 Somnambulisme
F51.4 Teror tidur
F51.5 Mimpi buruk
F51.8 Gangguan tidur nonorganik lainnya
F51.9 Gangguan tidur nonorganik YTT
F52 Disfungsi seksual bukan disebabkan oleh gangguan atau penyakit
organik
F52.0 Kurang atau hilangnya nafsu seksual
F52.1 Tidak menyukai dan tidak menikmati seks
F52.2 Kegagalan dari respon genital
F52.3 Disfungsi orgasme
F52.4 Eyakulasi dini
F52.5 Vaginismus nonorganik
F52.6 Dispareunia nonorganik
37
F52.7 Dorongan seksual berlebihan
F52.8 Disfungsi seksual lainnya, bukan disebabkan olh gangguan
atau penyakit organik
F52.9 Disfungsi seksual YTT, bukan disebabkan oleh gangguan
atau penyakit organik
F53 Gangguan jiwa dan perilaku yang berhunungan dengan masa nifas
YTK
F53.0 Gangguan jiwa dan perilaku ringan yang berhubungan
dengan masa nifas YTK
F53.1 Gangguan jiwa dan perilaku berat yang berhubungan dengan
masa nifas YTK
F53.8 Gangguan jiwa dan perilaku lainnya yang berhubungan
dengan masa nifas YTK
F53.9 Gangguan masa nifas YTT
F54 Faktor psikologi dan perilaku yang berhubungan dengan gangguan
atau penyakit YDK
F55 Penyalahgunaan zat yang tidak menyebabkan ketergantungan
F55.0 Antidepresiva
F55.1 Pencahar
F55.2 Analgetika
F55.3 Antasida
F55.4 Vitamin
F55.5 Stereoida atau hormon
F55.6 Jamu atau obat tradisional
F55.8 Zat lainnya yang tidak menyebabkan ketergantungan
F55.9 YTT
F59 Sindroma perilaku YTT yang bverhubungan dengan gangguan
fisiologi dan faktor fisik
F60-69 Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
Gajala khas
Gejala prilaku
38
Non organik
Dewasa
F60 gangguan kepribadian khas
F60.0 Gangguan kepribadian paranoid
F60.1 Gangguan kepribadian skizoid
F60.2 Gangguan kepribadian dissosial
F60.3 Gangguan kepribadian emosional tak stabil
F60.4 Gangguan kepribadian histrionik
F60.5 Gangguan kepribadian anankastik
F60.6 Gangguan kepribadian cemas
F60.7 Gangguan kepribadian dependen
F60.8 Gangguan kepribadian khas lainnya
F60.9 Gangguan kepribadian YTT
F61 Gangguan kepribadian campuran dan lainnya.
F61.0 Gangguan kepribadian campuran
F61.1 Perubahan kepribadian yang bermasalah
F62 Perilaku kepribadian yang berlangsung lama yang tidak diakibatkan
okeh kerusakan atau penyakit otak.
F62.0 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa
F62.1 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama akibat
penyakit psikiatri
F62.8 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama lainnya
F62.9 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama YTT
F63 Gangguan kebiasaan dan impuls
F63.0 Judi patologis
F63.1 Bakar patologis
F63.2 Curi patologis
F63.3 Trikotilomania
F63.8 Gangguan kebiasaan dan impuls lainnya
F63.9 Gangguan kebiasaan dan impuls YTT
39
F64 Gangguan preferensi seksual
F64.0 Transseksualisme
F64.1 Transvestisme peran ganda
F64.2 Gangguan identitas jenis kelamin masa kanak
F64.8 Gangguan identitas jenis kelamin lainnya
F64.9 Gangguan identitas jenis kelamin YTT
F65 Gangguan preferensi seksual
F65.0 Fetishisme
F65.1 Transvestisme fetishistik
F65.2 Ekshibisionisme
F65.3 Voyeurisme
F65.4 Pedofilia
F65.5 Sadomasokisme
F65.6 Gangguan preferensi seksual multipel
F65.8 Gangguan preferensi seksual lainnya
F65.9 Gangguan preferensi seksual YTT
F66 Gangguan psikologi dan perilaku yang berhubungan dengan
perkembangan dan orientasi seksual
F66.0 Gangguan maturasi seksual
F66.1 Orientasi seksual egodistonik
F66.2 Gangguan hubungan seksual
F66.8 Gangguan perkembangan psikoseksual lainnya
F66.9 Gangguan perkembangan psikoseksual YTT
F68 Gangguan kepribadian dan perilaku dan perilaku masa dewasa
F68.0 Elaborasi gejala fisik karena alasan psikologis
F68.1 Kesengajaan atau berpura-pura membuat gejala atau
disabilitas, baik fisik maupun psikologi
F68.8 Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa lainnya
YDT
F69 Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa 105
F70-79 Retardasi Mental
40
Gejala khas:
Gejala perkembangan IQ
Non organik
F70 Retardasi mental ringan
F71 Retardasi mental sedang
F72 Retardasi mental berat
F73 Retardasi mental sangat berat.
F78 Retardasi mental lainnya
F79 Retardasi mental YTT
F80-89 Gangguan perkembangan psikologis
Gejala khas:
Gejala perkembangan khusus
Onset masa kanak
F80 Gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa
F80.0 Gangguan artikulasi berbicara khas
F80.1 Gangguan berbahasa ekspresif
F80.2 Gangguan berbahasa reseptif
F80.3 Afasia yang dapat didapat dengan epilepsi (sindr landau-
kleffner)
F80.8 Gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa lainnya
F80.9 Gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa YTT
F81 Gangguan perkembangan belajar khas
F81.0 Gangguan mambaca khas
F81.1 Gangguan mengeja khas
F81.2 Gangguan berhitung khas
F81.3 Gangguan belajar campuran
F81.4 Gangguan perkembangan belajar lainnya
F81.5 Gangguan perkembangan belajar YTT
F82 Gangguan perkembangan motorik khas
F83 Gangguan perkembangan khas campuran
F84 Gangguan perkembangan pervasif
41
F84.0 Autisme masa kanak
F84.1 Autisme tak khas
F84.2 Sindroma Rett
F84.3 Gangguan desintegratif masa kanak lainnya
F84.4 Gangguan aktivitas berlebih yang berhubungan dengan
retardasi mental dan gerakan stereotipik
F84.5 Sindroma Asperger
F84.8 Gangguan perkembangan pervasif lainnya
F84.9 Gangguan perkembangan pervasif YTT
F88 Gangguan perkembangan psikologis lainnya
F89 Gangguan perkembangan psikologis YTT
F90-99 Gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada
kanak dan remaja
Gejala khas:
Gejala prilaku/emosional
Onset masa kanak
F90 Gangguan hiperkinetik
F90.0 Gangguan aktivitas dan perhatian
F90.1 Gangguan tingkah laku hiperkinetik
F90.8 Gangguan hiperkinetik lainnya
F90.9 Gangguan hiperkinetik YTT
F91 Gangguan tingkat laku
F91.0 Gangguan tingkah laku yan berbatas pada lingkungan
keluarga
F91.1 Gangguan tingkah laku tak berkelompok
F91.2 Gangguan tingkah laku berkelompok
F91.3 Gangguan sikap menentang
F91.8 Gangguan tingkah laku lainnya
F91.9 Gangguan tingkah laku YTT
F92 Gangguan campuran tingkah laku dan emosi
F92.0 Gangguan tingkah laku depresif
42
F92.8 Gangguan campuran tingkah laku dan emosi lainnya
F92.9 Gangguan campuran tingkah laku dan emosi YTT
F93 Gangguan emosional dengan onset khas pada masa kanak-kanak
F93.0 Gangguan anxietas perpisahan masa kanak
F93.1 Gangguan anxietas fobik masa kanan
F93.2 Gangguan anxietas sosial masa kanak
F93.3 Gangguan persaingan antar saudara
F93.8 Gangguan emosional masa kanak lainnya
F93.9 Gangguan emosional masa kanak YTT
F94 Gangguan fungsi sosialo dengan onset khas pada masa kanak-kanak
dan remaja
F94.0 Mutisme elektif
F94.1 Gangguan kelekatan reaktif masa kanak
F94.2 Gangguan kelekatan tak terkendali masa kanak lainnya
F94.8 Gangguan fungsi sosial masa kanak lainnya
F94.9 Gangguan fungsi sosial masa kanak YTT
F95 Gangguan ’tic’
F95.0 Gangguan ’tic’ sementara
F95.1 Gangguan ’tic’ motorik atau vokal kronik
F95.2 Gangguan campuran ’tic’ vokal dan motorik multiple
F95.8 Gangguan ’tic’ lainnya
F95.9 Gangguan ’tic’ lainnya
F98 Gangguan perilaku dan emosional lainnya dengan onset. Biasanya
terjadi setelah meninggal
F98.0 Enuresis nonorganik
F98.1 Enkoporesis nonorganik
F98.2 Gangguan makan masa bayi dan kanak
F98.3 Pika masa bayi dan kanak
F98.4 Gangguan gerakan stereotipik
F98.5 Gagap
F98.6 ’Cluttering’
43
F98.8 Gangguan perilaku dan emosional lainnya YDT dengan onset
biasanya pada masa kanak dan remaja
F98.9 Gangguan perilaku dan emosional lainnya YTT dengan onset
biasanya pada masa kanak dan remaja
F99 Gangguan jiwa YTT
44
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). Investing in Mental Health. Switzerland:
Nove Impression; 2003. p. 7.
2. Department of Health & Human Services. Community Conversations About
Mental Health Information Brief. USA: Substance Abuse and Mental Health
Services Administration (SAMHSA); 2013.p. 1, 3.
3. Maslim R. Konsep-Konsep Dasar. In: Maslim R. Buku Saku Diagnosis
Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Nuh Jaya; 2003. p.
7.
4. Trottier L. about Mental Illnesses. In: Trottier L. Understanding Mental
Illness. Missouri: Missouri State Library; 2011.p. 1.
5. Hicks WJ. Introduction. In: Hicks WJ. Fifty Signs of Mental Illness A Guide to
Understanding Mental Illness. London: Yale University Press; 2005. p. 2-3.
6. Maramis WF, Maramis AA. Penyebab Umum Gangguan Jiwa. In: Maramis
WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2nd edition. Jakarta:
Airlangga University Press; 2009. p. 158-162.
7. Idaiani S, Suhardi, Kristanto AY. Analisis Gejala Gangguan Mental
Emosional Penduduk Indonesia. Maj Kedokt Indon. 2009; 59(10): 473-474.
8. Sadock BJ, Sadock VA. Tanda dan Gejala dalam Psikiatri. In: Sadock BJ,
Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2nd edition. Jakarta EGC; 2012. p. 29-
37.
9. World Health Organization (WHO). The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders Diagnostic Criteria for Research. Geneva: WHO; 1993.
p. 24-43.
10. Maslim R. Daftar Kategori Diagnosis. In: Maslim R. Buku Saku Diagnosis
Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Nuh Jaya; 2003. p.
196-213.
45