KERAJAAN BANTEN
A. AWAL BERDIRINYA
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak
memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun
1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak
merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan
Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber
Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan
Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara
(Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan
seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang
anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan
anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan
menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat
(1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten
daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana
Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda.
Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini
dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para
ulama.
B. PUNCAK KEJAYAAN
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan
nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah
menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten
maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda
yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang
sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong
menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung
dikuasai oleh kesultanan Banten.
C. MASA KEKUASAAN SULTAN HAJI
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12
Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti
tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint
Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di
Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian
tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Lampung.
D. PENGHAPUSAN KESULTANAN
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah
kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin
dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles.
Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh
Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun
1808.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode
1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika
ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar
Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya
meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan
Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal
ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di
Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada
periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap
Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli
perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian
Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai
pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten
sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa
berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka
sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang
keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan
dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji
dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu
dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan
(Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim
pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
Sunan Gunung Jati
Sultan Maulana Hasanudin 1552 – 1570
Maulana Yusuf 1570 – 1580
Maulana Muhammad 1585 – 1590
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 – 1640
(dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh
Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.[2])
Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad 1640 – 1650
Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 – 1687
Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Aliyuddin II (1803-1808)
Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
E. MASA KEMUNDURAN KESULTANAN BANTEN
Di ujung barat Jawa, terdapat Kerajaan Banten, yang
meskipun wilayahnya lebih kecil namun memiliki kekuatan
armada dagang yang jauh lebih kuat dibandingkan Mataram.
Pada masa Sultan Ageng (1651-1683), yang dikenal dengan
sebutan Sultan Tirtayasa, Banten berhasil membangun armada
dagang dengan menggunakan model Eropa. Kapal-kapal Banten
yang menggunakan surat jalan dari orang Eropa banyak melayari
jalur-jalur perdagangan Nusantara. Bahkan, melalui hubungan
baiknya dengan Inggris, Denmark dan Cina, Banten dapat
berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, dan
Jepang. Kegiatan perdagangan Internasional jarak jauh Banten ini
tidak disukai oleh VOC yang ingin memonopoli perdagangan
lada. Akan tetapi, seperti Mataram, kemunduran Banten sendiri
disebabkan oleh munculnya konflik di dalam negeri, yang
kemudian mengundang campur tangan VOC.
Pada saat itu, putera mahkota yang baru naik tahta, yang
kemudian bergelar Sultan Haji (1682-1687), ingin menjalin
hubungan yang erat dengan VOC. Akan tetapi, kebijakan
tersebut ditentang oleh ayahnya, Sultan Tirtayasa, dan para elit
politik Muslim yang lebih militan. Pertentangan ini akhirnya
meletus menjadi konflik bersenjata.
Pada tahun 1680, Sultan Tirtayasa mengumumkan perang ketika
para pedagang Banten dianiaya oleh VOC. Sultan Haji, yang
kedudukannya semakin terjepit karena dijauhi para elit politik
dan agama Islam, akhirnya menerima semua prasyarat yang
diajukan VOC sebelum membantunya. Tuntutan VOC itu antara
lain sebagai berikut:
1) Semua perampok yang mengacaukanBataviaharus dihukum
dan VOC diberi ganti rugi.
2) Banten harus menarik kembali dukungannya terhadap para
pemberontak Mataram yang melawan VOC.
3) Banten tidak boleh lagi melakukan hubungan dagang dengan
para pedagang lain, terutama pedagang Eropa, kecuali
dengan VOC
Pada bulan Maret 1682, sebuah armada VOC di bawah
pimpinan Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar
menuju Banten. Pada saai itu, Sultan Haji berada dalam
kedudukan yang kritis karena terkepung oleh pasukan ayahnya.
Kedatangan pasukan VOC itu menyelamatkannya dan kemudian
dengan bantuan mereka Sultan Haji berbalik mengusir
pendukung ayahnya ke pedalaman. Setelah melakukan
perlawanan sengit, akhirnya pada bulan Maret 1683, Sulatan
Ageng maupun pembantunya yang bernama Syaikh Yusuf,
seorang ulama asal Makassar, tertangkap. Sultan Ageng sendiri
akhirnya dibawa keBatavia dan meninggal disana sementara
Syaikh Yusuf dibuan ke Tanjung Harapan di Afrika. Kemenangan
Sultan Haji dengan bantuan VOC ini sekaligus mengakhiri masa
kejayaan dan kemerdekaan Banten.
Meskipun demikian, perlawanan rakyat Banten masih terus
berlangsung, antara lain di bawah pimpinan Kyai Tapa dan
Ratu Bagus Buang (pewaris tahta Banten yang sempat
dibuang VOC). Mereka melancarkan perang gerilya terhadap
kepentingan VOC di Selat Sunda,Bandung, dan Buitenzorg
(Bogor), sebelum akhirnya bergabung dengan para pembentuk di
Mataram.Setelah itu gerakan mereka lenyap.
KERAJAAN MATARAM ISLAM
A. BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan
ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di
Kotagede. Awal berdirinya yaitu setelah kerajaan Demak runtuh,
kerajaan Pajang merupakan satu-satunya kerajaan di Jawa
Tengah. Namun demikian raja Pajang masih mempunyai musuh
yang kuat yang berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah
seorang yang masih keturunan keluarga kerajaan Demak yang
bernama Arya Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah
sayembara bahwa barang siapa mengalahkan Arya Penangsang
atau dapat membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di Pati dan
Mataram. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang merupakan abdi
prajurit Pajang berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Di
dalam peperangan akhirnya Danang Sutwijaya berhasil
mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Sutawijaya
adalah anak dari Ki Pemanahan, dan anak angkat dari raja
Pajang sendiri. Namun karena Sutawijaya adalah anak angkat
Sultan sendiri maka tidak mungkin apabila Ki Pemanahan
memberitahukannya kepada Sultan Adiwijaya. Sehingga Kyai
Juru Martani mengusulkan agar Ki Pemanahan dan Ki Penjawi
memberitahukan kepada Sultan bahwa merekalah yang
membunuh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan memperoleh
tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di
Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu
menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi
kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai
atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia
digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering
disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian
berhasil memberontak kepada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya
wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram
dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan
salah satu wilayah bagian dari Mataram yang beribukota di
Kotagede. Senopati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.
Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus
berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan
Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya,
berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah
pengaruhnya. Panembahan Senopati dalam babad dipuji sebagai
pembangun Mataram.
B. LETAK KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun
1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah
tenggara kota Yogyakarta, yakni di
Kotagede. Dalam sejarah Islam, Kerajaan
Mataram Islam memiliki peran yang cukup
penting dalam perjalanan secara kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini terlihat
dari semangat raja-raja untuk memperluas
daerah kekuasaan dan mengIslamkan para
penduduk daerah kekuasaannya,
keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan
kebudayaan yang bercorak Islam di jawa. Dinasti Mataram Islam
sesungguhnya berawal dari keluarga petani, begitulah yang
tertulis pada Babad Tanah Jawi. Kisahnya
Ki Gede Pamanahan mendirikan desa kecil di Alas Mentaok
(alas= hutan) yang kemudian menjadi sebuah kota yang
semakin ramai dan makmur hingga disebut Kota Gede (kota
besar). Disana lalu di bangun benteng dalam (cepuri)
yangmengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang
mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua
benteng ini juga di lengkapi dengan parit pertahanan yang lebar
seperti sungai.
Wilayah kekuasaan Mataram mencapai Jawa Barat (kecuali
Banten), Jawa Tengah, Jawa Timur, Sukadana (Kalimantan
Selatan), Nusa Tenggara. Palembang dan Jambi pun menyatakan
vasal kepada Mataram.
C. SISTEM PEMERINTAHAN MATARAM ISLAM
Setelah Panembahan Senopati meninggal kekuasaannya
digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau
Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12
tahun (1601-1613), tercatat bahwa pada pemerintahannya
beliau membangun sebuah taman Danalaya di sebelah barat
kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau meninggal di
hutan Krapyak ketika beliau sedang berburu. Selanjutnya
bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645)
Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede
dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung juga menaklukkan
daerah pesisir supaya kelak tidak membahayakan kedudukan
Mataram. Beliau juga merupakan penguasa yang secara besar-
besaran memerangi VOC yang pada saat itu sudah menguasai
Batavia. Karya Sultan Agung dalam bidang kebudayaan adalah
Grebeg Pasa dan Grebeg Maulud. Sultan Agung meninggal pada
tahun 1645
Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I.
Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya.
Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai
dengan banyak pembunuhan dan kekejaman. Pada masa
pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke
Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang
didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra
mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama
putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya)
melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di
Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit
dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II
atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan
Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk
kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya
Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan
VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian
yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang
dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Setelah Sunan Amangkuat II meninggal meninggal pada
tahun 1703, Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan
Mas (Sunan Amangkurat III). Dia juga sangat menentang VOC.
Karena pertentangan tersebut VOC tidak setuju atas
pengangkatan Sunan Amangkurat III sehingga VOC mengangkat
Paku Buwono I (Pangeran Puger). Pecahlah perang saudara
(perang perebutan mahkota I) antara Amangkurat III dan Paku
Buwana I, namun Amangkurt III menyerah dan dibuang ke Sailan
oleh VOC. Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan diganti oleh
Amangkurat IV (1719-1727). Dalam pemerintahannya dipenuhi
dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya,
dalam hal ini VOC kembali turut andil di dalamnya. Sehingga
kembali pecah perang Perebutan Mahkota II (1719-1723. Sunan
Prabu atau Sunan Amangkurat IV meninggal tahun 1727 dan
diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa
pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC.
Paku Buwana II memihak China dan turut membantu
memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang
mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura
berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku
Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC.
Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas
Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton,
hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga.
Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743)
tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk
memindahkan kraton ke Surakarta (1744). Setelah itu terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku
Buwana menugaskan Mangkubumi untuk menumpas kaum
pemerontak dengan janji akan memberikan tanah di Sukowati
(Sragen sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil tetapi Paku
Buwono II mengingkari janjinya sehingga akhirnya dia berdamai
dengan Mas Said. Mereka berdua pun melakukan
pemberontakan bersama-sama hingga pecah Perang Perebutan
Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II tidak dapat menghadapi kekuatan merea
berdua dan akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1749.
Setelah kematian Paku Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana
III. Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan
pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi
telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru
saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas
Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu
mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC
dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang
sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti
(1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi
dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang
diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan
Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada
Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu
Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku
Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan
Paku Buwana III. Raja-Raja Mataram Islam :
1) Panembahan Senopati (1584-1601 M)
2) Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1601- 1613 M)
3) Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1613-1646 M)
4) Amangkurat I (1646- 1676 M)
5) Amangkurat II dikenal juga sebagai Sunan Amral (1677-
1703 M)
6) Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M)
7) Pangeran Puger yang bergelar Paku Buwana I (1703-1719 M)
8) Amangkurat IVdikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727 M)
9) Paku Buwana II (1727-1749 M)
10) Paku Buwana III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan
oleh VOC.
11) Sultan Agung.
D. KEHIDUPAN EKONOMI MATARAM ISLAM
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram
berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan
mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan
perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena
Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam bidang
pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan.
Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah
persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya
juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping
kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang
perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi
barang ekspor karena pada abad ke-17 Mataram menjadi
pengekspor beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian
kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena
didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
E. KEHIDUPAN POLITIK MATARAM ISLAM
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar
Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada
awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah
seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh.
Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan
Mataram terwujud, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu
Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa
yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk
memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-
daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum
usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal
dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya
yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar
Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang
memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja
terbesar dari kerajaan ini. Pada masa pemerintahannya Mataram
mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani,
cakap dan bijaksana.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya
kecuali Batavia dan Banten. daerah-daerah tersebut
dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan
perkawinan antara adipati-adipati dengan putri-putri Mataram,
bahkan Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon
sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa,
Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia.
Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC
ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan
tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan
terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat
Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1
bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit
diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang
dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi
yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya
pasukan Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak
pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang
menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum
sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari
pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan
Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.
F. KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA MATARAM ISLAM
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, masyarakat
Mataram disusun berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem
tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya.
Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh
seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan
upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah
lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang
menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani
penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya
sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan
tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang
dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal
sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan.
Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan
patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari
kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di
istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar
di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada
masa Sultan Agung.Contoh lain hasil perpaduan budaya Hindu-
Budha-Islam adalah penggunaan kalender Jawa, adanya kitab
filsafat sastra gending dan kitab undang-undang yang disebut
Surya Alam. Contoh-contoh tersebut merupakan hasil karya dari
Sultan Agung sendiri. Di samping itu juga adanya upacara
Grebeg pada hari-hari besar Islam yang ditandai berupa kenduri
Gunungan yang dibuat dari berbagai makanan maupun hasil
bumi. Upacara Grebeg tersebut merupakan tradisi sejak zaman
Majapahit sebagai tanda terhadap pemujaan nenek moyang.
G. TERPECAHNYA MATARAM ISLAM
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647),
tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena
banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya,
terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan
memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di
Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan
Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral),
sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya,
kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah
barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat
III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC
mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya
Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan
internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile"
hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa
Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua
yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta
tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam
Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di
sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era
Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun
demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa
Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
H. USAHA-USAHA MATARAM ISLAM DALAM PERLUASAN
WILAYAH
Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Agung. Wilayah Mataram bertambah luas
meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.
Sultan Agung di samping dikenal sebagai raaja juga pemimpin
agama. Kehidupan beragama mendapat perhatian dan
pengembangan yang sangat pesat. Sultan Agung dikenal juga
sebagai pahlawan nasional karena perannya dalam mengusir
penjajah Belanda. Pengaruh Mataram saampai ke Palembang,
Jambi, Banjarmasin, dan ke timur sampai Gowa Makasar.
Pengaruh ini ditandai adanya hubungan kerja sama dan saling
mengirim utusan antara daerah-daerah tersebut dengan
Mataram. Kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan
Sultan Agung meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
Bidang Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah
menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang
Belanda di Batavia.
Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa. Usaha ini dimulai dengan menguasai Gresik,
Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang, Pasuruhan,
kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan
kerajaan Islam di Pulau Jawa ini ada yang dilakukan dengan
ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati
Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu
Ratu Wandansari.
Anti penjajah Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap
penjajah Belanda. Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang
Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan yang
kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami
kegagalan. Adapun penyebab kegagalannya, antara lain:
Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan
prajurit mataram. Mereka harus menempuh jalan kaki
selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan
prajurit Mataram di Batavia menjadi lemah.
Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang
dimiliki kompeni Belanda yang serba modern.
Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan
meninggal, sehingga semakin memperlemah kekuatan.
Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang
Batavia lewat laut, sedangkan Mataram lewat darat.
Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam
menghadapai Belanda tanpa bantuan Portugis.
Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak menadakan
kerja sama dengan Banten dalam menyerang Belanda.
Waktu itu mereka saling bersaing.
Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan
laut dengan angkatan darat. Ternyata angkatan laut
mengadakan penyerangan lebih awalm sehingga rencana
penyerangan Mataram ini diketahui Belanda.
Akibat penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga
rencana penyerangan ini diketahui Belanda sebelumnya.
Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:
Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan
produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di
Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan
pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang
kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik.
Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor
beras ke Malaka.
Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak
hanya menambah kekuatan politik, tetapi juga kekuatan
ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak
semata-mata tergantung ekonomi agraris, tetapi juga
karena pelayaran dan perdagangan.
Bidang Sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal
berikut:
Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara
kebudayaan asli Jawa dengan Islam. Misalnya upacara Grebeg
yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang.
Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Saampai
kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud
dan sebagainya.
Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum
tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh Hindu yang
didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah). Sejak
tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh
Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah).
Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan
baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan
Agung ini kemudian dikenal sebagai “tahun Jawa”.
Berkembangnya Kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan
seni berkembang pesat, termasuk di dalamnya kesusastraan
Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul
Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan
kenegaraan. Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra,
dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi
pekerti yang baik.
Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung
meninggal pada tahun 1645 M. Selanjutnya, Mataram pecah
menjadi dua, sebagaimana isi Perjanian Giyanti (1755) berikut:
Mataram Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah
kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di
Surakarta.
Mataram Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di
bawah kekuasaan Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di
Yogyakarta.
Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta pecah
menjadi dua yaitu Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian
Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta juga terbagi atas
Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan ini terjadi karena
campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah
kekuatan Mataram, sehingga mudah untuk di kuasai.
I. KERUNTUHAN MATARAM ISLAM
Sultan Agung tidak mempunyai pengganti yang mumpuni
sepeninggalnya. Putra mahkota sangat bertolak belakang sifat
dan kepribadiannya dengan sang ayah. Kegemarannya pada
kehidupan keduniawian telah mendorongnya ke jurang
kehancuran kerajaan. Maka dimulailah pemerintahannya sebagai
raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat I (1646-1677).
Raja ini mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan para
pendahulunya. Gaya pemerintahannya cenderung lalim, tidak
suka bergaul (terasing) dan terlalu curiga dengan semua orang.
Para pejabat di zaman pemerintahan ayahnya dihabisi dengan
bengis, entah dengan hukuman cekik sampai mati untuk
perkara-perkara yang sudah diatur (jebakan) atau dengan cara
dikorbankan menjadi memimpin armada perang ke luar
Mataram.
Hubungan antar kerabat pun tidak berjalan baik. Bahkan
dengan putra mahkotanya, Sunan Amangkurat I terlibat bersaing
dalam urusan wanita pilihan sebagai istri. Kejadian ini
memunculkan tragedi berupa tewasnya mertua dan saudara-
saudara raja. Karena putra mahkota didukung oleh kakeknya, P.
Pekik (mertua Amangkurat I) untuk menikahi seorang gadis
cantik bernama Rara Oyi, putri Ngabehi Mangunjaya dari tepi Kali
Mas Surabaya. P. Pekik berasal dari Surabaya terlibat membantu
putra mahkota yang merupakan saingan sang raja dalam
perebutan putri tersebut.
Kebengisan sunan dapat dilacak dari catatan pejabat
Belanda maupun dalam babad Jawa.Banyak kejadian tidak
masuk akal pada pemerintahannya. Pernah sang raja mengatur
pembunuhan untuk adiknya, P. Alit. Karena sang adik dihasut
para pangeran di kerajaan untuk menuntut tahta. Bahkan raja
pernah melakukan genocide terhadap lima ribu ulama.
Sifat bengis sunan ini telah menimbulkan sikap anti pati dan
ketakutan rakyatnya. Oleh sebab itu ketika terjadi serbuan dari
kelompok P. Trunajaya dari Madura, raja tidak mampu
menangkisnya. Karena rakyat bersatu padu menyerang istana.
Sunan Amangkurat I menyingkir hingga meninggal karena sakit
dalam pelariannya di Wanayasa, Banyumas utara. Konon pula,
untuk mempercepat kematiannya, putra mahkota yang kelak
menjadi Amangkurat II memberi sebutir pil racun pada sang
ayah. Amangkurat I dimakamkan di Tegalwangi, dekat dengan
gurunya yaitu Tumenggung Danupaya.
Bagaimanapun buruknya Amangkurat I, beliau tetap
mempunyai karya besar. Dalam bidang arsitektur, sunan
membuat istana baru di Plered (selatan Kuta Gede) dengan
konsep pulau ditengah laut. Pembangunan istana Mataram
tersebut dilandasi oleh sifatnya yang tidak mau kalah dengan
keberhasilan sang ayah.
Untuk pekerjaan ini, sunan mengerahkan para penduduk
hingga luar ibu kota agar membuat batu bata sebagai tembok
kraton dan membendung sungai Opak menjadi danau besar.
Utusan VOC, Rijklof van Goens mencatat bahwa ia sangat takjub
dengan kraton Plered yang seolah-olah mengapung di lautan.
Untuk mencapai alun-alun sebelum ke istana, orang harus
melewati jembatan batang yang dibangun permanen.
Wafatnya Amangkurat I, membuat Putra mahkota
mempunyai modal besar menggantikan tahta Mataram. Dengan
bekal pusaka-pusaka kerajaan, beliau berusaha mengusir
gerakan Trunajaya dengan meminta dukungan VOC. Putra
mahkota naik tahta bergelar Sunan Amangkurat II (1677-1703).
Ibu kota Mataram dipindah, bergerak ke timur di Kartasura.
Karena P. Puger (adik Amangkurat II) tetap berdiam di istana
Plered, setelah Amangkurat I wafat. Beliau berpendapat bahwa
dirinya yang berhak atas tahta Mataram. Karena dirinya yang
mendapat wahyu dari sang ayah (Amangkurat I) bukan putra
mahkota (Amangkurat II). Kejadian tersebut ketika P. Puger
menunggui ajal sang ayah.
Namun akhirnya P. Puger mengakui kekuasaan Amangkurat
II di Kartasura tahun 1680. setelah terjadi pertikaian alot.
Meskipun pada masa-masa sesudahnya, P. Puger tetap membara
semangatnya untuk mencapai tahta Mataram. Kelak akhirnya
sang pangeran bertahta sebagai Sunan Paku Buwana I.
Pemerintahan Amangkurat II (1677-1703) di Kartasura
dibangun dengan dukungan penuh VOC. Oleh karena itu, dirinya
terikat dengan segala macam permintaan VOC. Di sisi lain, sang
raja sangat melindungi para pejuang dalam melakukan
perlawanan terhadap VOC, diantaranya adalah Untung Suropati.
Ia merupakan mantan perwira VOC yang akhirnya memusuhi
resimennya karena tindakannya yang sewenang-wenang.
Ketika VOC meminta sang raja untuk menyambut Kapten
Tack di Kartasura, muncullah ambivalensinya. Meskipun Kapten
Tack ini sangat berjasa dengan berhasil membunuh P.Trunajaya
di Kediri, namun karena sifatnya yang arogan di mata sang raja,
maka Amangkurat II sangat membenci Kapten Tack. Apalagi
kedatangannya ke kraton Mataram adalah untuk mengusir
gerakan Untung Suropati.
Untuk menutupi sikap ambivalensinya, Amangkurat II
menyambut baik kedatangan Kapten Tack di depan istana
Kartasura. Namun, beliau telah mengatur siasat dengan pasukan
Suropati untuk menyamar sebagai prajurit Mataram. Tiba-tiba
terjadi huru hara di saat Kapten Tack datang di istana yang
menyebabkan dirinya terbunuh (Feb 1686). Sayang, tindakan
sunan tersebut diketahui oleh sang adik, P. Puger. Kelak beliau
menunjukkan bukti-bukti kuat kepada VOC soal keterlibatan sang
raja dalam peristiwa itu. Inilah senjata ampuh P. Puger dalam
mendongkel tahta keturunan Sunan Amangkurat II.
Dalam kehidupan seni budaya, dukungan kuat VOC telah
mempengaruhi Amangkurat II untuk menerapkan etiket Eropa di
dalam istana. Tata cara adat sembah untuk menghormat raja
mulai diubah tidak dengan cara duduk bersila, melainkan dengan
berdiri tegak lurus tangan dan kaki, topi diletakkan di lengan. Ini
berlaku bagi orang-orang Eropa. Bahkan mereka diperkenankan
duduk di bangku, bukan duduk bersila di lantai seperti layaknya
pada pejabat Mataram. Inilah revolusi sosial yang mulai berlaku
di istana Mataram.
Ketika Amangkurat II wafat, tahta Mataram masih diteruskan
oleh putra mahkota bergelar Amangkurat III (1703-1708). Raja ini
juga menggalang persahabatan dengan Untung Suropati, seperti
ayahnya. Sementara itu, di istana terjadi konflik lama. Sang
paman, P. Puger tetap ngotot menginginkan tahta. Dengan bukti-
bukti kuat keterlibatan Amangkurat II dan III soal wafatnya
Kapten Tack, maka P. Puger dinaikkan tahta sebagai raja
Mataram oleh VOC, bergelar Sunan Paku Buwana I (1704-1719).
Beliau bertahta di Semarang.
Amangkurat III diserang oleh VOC dan Sunan PB I. Beliau
melarikan diri ke Jawa Timur, akhirnya dapat ditawan VOC (1708)
kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Sunan PB I kemudian
bertahta di Kartasura. Masa-masa pemerintahannya dibayar
mahal dengan menyerahkan daerah-daerah pesisir kepada VOC.
Suatu kesalahan besar. Karena sumber pendapatan Mataram
berkurang drastis. Ianilah yang memancing konflik intern
berkepanjangan.
Kondisi kerajaan tidak pernah stabil. Para pangeran merasa
bahwa pengaruh dan kebijakan VOC sangat menancap di
Mataram. Terjadi beberapa pemberontakan yang dilakukan para
pembesar kerajaan yang tidak puas dengan kondisi
pemerintahan. Keadaan ini berlangsung terus bahkan hingga
wafatnya Sunan PB I dan digantikan sang putra dengan gelar
Sunan Amangkurat IV (1719-1726).
Catatan Belanda menunjukkan bahwa Amangkurat IV seperti
seorang raja yang telah ditinggalkan rakyatnya. Kerajaan sangat
rapuh, potensi perpecahan dan konflik intern merebak.
Bahkan hingga wafatnya, sang raja pengganti (Sunan PB II)
mewarisi kerapuhan tersebut.
Sunan PB II (1726-1749) memegang tampuk pemerintahan
dalam usia muda belia, 16 tahun. Hal itulah yang membuat sang
bunda, Ratu Amangkurat IV yang mendukung VOC melakukan
intervensi pada pemerintahannya. Sementara itu patihnya,
Danurejo sangat anti VOC.
Sebagaimana sang ayah yang mewarisi kondisi kerajaan
tidak solid, Sunan PB II pun dirongrong oleh hutang-hutang yang
harus dibayarkan kepada VOC. Bahkan kerajaan mengalami
perang besar, yaitu pemberontakan orang-orang Cina yang
semula terjadi di Batavia (1740) kemudian merembet hingga
Kartasura. Perang yang dikenal sebagai Geger Pacina ini telah
membuat sunan bersama gubernur pesisir van Hohendorff harus
melarikan diri ke Jawa Timur karena istana Mataram diduduki
kaum pemberontak.
Beruntung, VOC dapat menyusun kekuatan dan berhasil
menduduki kembali Kartasura tahun 1742. Namun kondisi istana
yang sudah poranda tidak layak sebagai ibukota kerajaan dan
paham Jawa mengatakan bahwa istana yang sudah diduduki
musuh, tidak lagi suci sebagai ibukota. Dengan dukungan VOC,
Sunan PB II membangun istana baru. Desa Sala atau kemudian
dikenal dengan Surakarta Hadiningrat terpilih dari 3 alternatif
yang diajukan dan sunan mulai mendiaminya pada 1745(1746).
Arsitek pembangunan kraton adalah adik sunan, P. Mangkubumi
(kelak bergelar Sultan HB I).
Harga mahal yang harus dibayar raja kepada VOC karena
berhasil memadamkan perang pacina adalah kesepakatan
bahwa VOC memperoleh daerah pesisir, yaitu Madura, Sumenep
dan Pamekasan. Selain itu, VOC lah yang menentukan pejabat
patih Mataram serta penguasa pesisir.
Akibat jatuhnya pesisir ke tangan VOC, para pejabat
Mataram geram. Bermunculan para pemberontak yang
merongrong istana Surakarta Hadiningrat. Diantaranya yang
terkenal adalah pasukan Raden Mas Said (1746), keponakan raja.
Untuk memadamkan pemberontakan itu, sunan mengadakan
sayembara berupa pemberian tanah Sokawati bagi yang berhasil
memadamkannya. Maka tampillah adik raja, P. Mangkubumi.
Dengan kemampuannya mengatur strategi perang dan
penguasaan medan yang jitu, akhirnya gerakan Mas Said dapat
ditumpas. Namun sunan mengampuni keponakannya itu.
Masalah timbul, ketika dalam pertemuan agung kerajaan,
langkah sunan hendak menyerahkan hadiah tanah Sokawati
kepada P. Mangkubumi dihalangi oleh patihnya, Pringgalaya dan
gubernur van Imhoff. Menurut gubernur VOC tersebut,
Mangkubumi tidak layak mendapat hadiah 4000 cacah. Seakan-
akan hendak menandingi kekuasaan raja.
P. Mangkubumi kecewa, dipermalukan dihadapan umum
oleh van Imhoff. Maka 19 Mei 1746, beliau berontak pada VOC ,
keluar dari Surakarta, lalu mendiami Sokawati dengan kekuatan
2500 kavaleri (pasukan berkuda) serta 13000 anak buah dan
punggawa yang mendukungnya. Beliau melancarkan serangan
kepada VOC di Grobogan, Juana, Demak, Jipang (Bojonegoro).
Pasukannya bertambah kuat dengan bergabungnya RM. Said,
sang keponakan yang sempat ditundukkannya. Persatuan paman
dan keponakan ini bahkan hampir menguasai istana Surakarta
(1748).
Kondisi kerajaan yang tidak stabil membuat Sunan PB II
jatuh sakit. Seakan sudah pasrah dengan kerajaannya yang tidak
solid, beliau menyerahkan Mataram kepada gubernur Baron von
Hohendorff (11 Desember 1749). Inilah kesalahan terbesar yang
dilakukan raja. Keputusan tersebut menyulut P. Mangkubumi
untuk bergerak, agar dapat menarik kembali kerajaan tetap
dalam pangkuan dinasti Mataram. Beliau mengangkat dirinya
sebagai Sunan Pakubuwana di desa Bering, Yogyakarta (12 des
1749). Tindakan ini sebagai langkah mendahului keponakannya
(putra mahkota PB II yang baru 16 tahun), yang akan dinaikkan
tahta oleh VOC sebagai Sunan PB III.
Inilah babak baru periode kerajaan Mataram terbagi dua.
P. Mangkubumi sebagai raja didampingi RM. Said sebagai
patihnya. Kedua tokoh ini merupakan dwi tunggal kekuatan yang
sulit ditembus VOC maupun Surakarta Hadiningrat dibawah PB
III. Sayang persekutuan sultan dan patihnya yang juga
merupakan menantu, akhirnya pecah di tahun 1753 akibat
benturan konflik pribadi soal tahta Mataram yang masih
dipegang Sunan PB III.
VOC yang sudah lelah dengan panjangnya peperangan,
mulai menempuh jalur perundingan. Bahkan RM. Said pernah
menulis surat ke VOC bersedia berunding dengan syarat
diangkat sebagai sunan. Rupanya VOC tidak mengindahkannya,
namun melirik pada P. Mangkubumi. VOC mendekatinya bahkan
mengganti pejabatnya yang tidak disukai P. Mangkubumi dalam
upaya perundingan, yaitu van Hohendorff. VOC
menggantikannya dengan Nicolaas Hartingh. Seorang Belanda
yang sangat mengerti tata krama Jawa, pribadi yang lebih
disukai P. Mangkubumi. Dalam hal ini Hohendorff sadar diri, ia
tidak akan bisa kontak dengan Mangkubumi dan hal tersebut
sangat merugikan VOC. Selain itu, citranya sudah buruk di
Surakarta. Oleh karena itu pengunduran diri Hohendorff
merupakan langkah maju bagi VOC guna membuka perundingan
dengan P. Mangkubumi.
Kesepakatan tercapai melalui Perjanjian Giyanti (13 Februari
1755). Menyatakan Mataram dibagi dua. Sunan PB III tetap
bertahta di Surakarta Hadiningrat dengan kekuasaan meliputi :
Ponorogo, Kediri, Banyumas. P. Mangkubumi bertahta di desa
Bering yang lebih dikenal dengan Ngayogyakarta Hadiningrat,
dengan wilayah meliputi Grobogan, Kertasana, Jipang, Japan,
Madiun. Sementara Pacitan dibagi untuk keduanya, termasuk
Kotagede dan makam Kerajaan Imogiri.
Sunan PB III yang tidak diikutkan dalam perundingan
tersebut tidak dapat berbuat banyak, hanya bisa menerimanya.
Sementara itu, RM. Said semakin kecewa karena tidak
mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu dirinya semakin
gencar melakukan perlawanan baik kepada Sultan HB I, Sunan
PB III, dan VOC.
Merasa tidak mampu menanganinya, VOC pun menawarkan
jalan damai, melalui perundingan Salatiga (1757). Dalam
perundingan tersebut Mas Said menyatakan kesetiaannya pada
raja Surakarta Hadiningrat dan VOC. Sunan PB III memberikan
tanah 4000 cacah dengan wilayah meliputi Nglaroh,
Karanganyar, Wonogiri. Sementara, Sultan HB I tidak
memberikan apa-apa. Kemudian RM. Said dinobatkan sebagai
adipati Mangkunegara I. Kerajaannya bernama Mangkunegaran.
Demikianlah kerajaan Mataram resmi terbagi dalam 3
kekuasaan yang diperintah Sunan PB III, Sultan HB I, dan
Mangkunegara I. Konflik antar pangeran mulai mereda,
keamanan relatif stabil. Namun dalam kedua perundingan yang
telah disepakati tersebut tidak dicantumkan hal pengganti tahta.
Oleh karena itu masih terbuka peluang untuk menyatukan tahta
Mataram. MN I berharap akan tahta Surakarta. Oleh karena itu,
putranya (Prabu Widjojo) dinikahkan dengan putri PB III, GKR Alit.
Meskipun dari perkawinan tersebut lahir seorang putra, Namun
harapan MN I pupus, karena PB III kemudian mempunyai putra
mahkota. Kelak putra Ratu Alit dan Prabu Widjojo bertahta
sebagai MN II.
Demikian pula upaya Mas Said menikah dengan GKR
Bendara, putri sulung HB I. Sayang sang putri menceraikannya
(1763) yang kemudian menikah dengan P. Diponegara (dari
Yogyakarta). Oleh karena itu, terputuslah harapan
Mangkunegara untuk merajut tahta Mataram dalam satu
kekuasaan tunggal. Bagaimanapun juga penyatuan Mataram
akan merumitkan VOC karena sukar mengendalikan satu
kekuatan besar di Jawa. Dengan terbagi-baginya kerajaan, maka
akan mudah bagi VOC menancapkan hegemoni dan superiornya
di Tanah Jawa.
J. PENINGGALAN KERAJAAN MATARAM ISLAM
Gerbang Makam Kotagede
Inilah gerbang masuk makam Kotagede, di sini nampak
perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam.
Masjid Makam Kotagede
Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan
masjid kuno, inilah masjid di komplek makam Kotagede yang
bangunannya bercorak Jawa.
Bangsal Duda
Di sinilah tempat peziarah mendapatkan informasi dari
jurukunci makam yang berasal dari Kraton Surakarta dan Kraton
Yogyakarta. Di tempat ini jugalah peziarah menanggalkan
pakaiannya untuk berganti pakaian peranakan jika hendak
memasuki komplek makam.
Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti
Ngaben di Bali, tetapi kalau upacara Kalang Obong ini bukan
mayatnya yang dibakar melainkan pakaian dan barang-barang
peninggalannya.
K. Peristiwa Penting di Mataram Islam
o 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram
oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan
Arya Penangsang.
o 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di
Pasargede atau Kotagede.
o 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang
mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan
sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi
Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
o 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu
Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung
Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
o 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya
sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin
Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama.
o 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan
putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan
Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan
Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa:
krapyak).
o 1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh
putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit,
kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang.
Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan
Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma".
Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar
"Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an
beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung
Senapati Ingalaga Abdurrahman".
o 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya
Susunan AmangkuratI.
o 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam
keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
o 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret.
Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik
menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan.
Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota
Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing
Ngalaga.
o 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke
Kartasura.
o 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
o 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota
diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
o 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan
sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I
(1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk
pemerintahan pengasingan.
o 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang
ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
o 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan
digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan
Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang
Tahta II (1719-1723).
o 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan
digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku
Buwono II.
o 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak.
Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
o 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil
direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh
lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan
kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat
melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh
Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan
VOC.
o 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota
baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
o 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati
ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana
menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi,
meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang
berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik
Kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan besar dan satu
kerajaan kecil.
o 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II
menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada
VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat
ditundukkan sepenuhnya pada 12 Desember 1830 di
Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai
Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15
Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota
sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
o 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan
pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah
pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura.
Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
o 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan
perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman
Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota
kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan
lain selain meratifikasi nota yang sama.
o 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai
dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan
Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi
Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang
Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-
Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama
Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
o 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said
diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan,
Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan
Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
o 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
o 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
o 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
o 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata
Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari
Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti
Pangeran Adipati Paku Alam".
o 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca
nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27
September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap
antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara
permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh
Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo,
Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan
de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/11/kerajaan-
mataram-islam.html
http://limahati.blogspot.com/2012/04/sejarah-berdirinya-
kerajaan-mataram.html
http://suwandi-sejarah.blogspot.com/2010/09/kerajaan-mataram-
islam.html
http://professorbandi.blogspot.com/2012/11/makalah-kerajaan-
mataram-islam_14.html?m=1
http://taganabanten-info.blogspot.com/2009/10/sejarah-
kesultanan-banten.html