BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Semen
2.1.1. Proses pembuatan semen
Seperti yang ditunjukkan pada diagram proses dibawah, proses
pembentukan dapat dibagi menjadi 4 komponen utama berikut : akuisisi bahan
baku dan penanganan, persiapan bahan untuk kiln, pyroprocessing, dan grinding
semen. Inti dari proses pembentukan ini terletak pada pyroprocessing.
Gambar 2.1 Cement Manufacturing and emissions (EPA, 2001).
Dari setiap proses diatas digambarkan bahwa dalam setiap proses terdapat
emisi berupa PM (Particulate Matter) dan gas. Partikulat ( PM dan PM10 ),
nitrogen oksida ( NOx ), sulfur dioksida ( SO2 ) , karbon monoksida ( CO ), dan
CO2 adalah emisi utama dalam pembuatan semen. Sejumlah kecil senyawa
6
organik volatil (SOV), amonia ( NH3 ), klorin, dan hidrogen klorida ( HCl ) juga
dapat dipancarkan dalam proses ini (EPA, 2001).
2.1.2 Polutan dari proses pembuatan semen
Terdapat empat polutan utama dari proses pembuatan semen :
2.1.2.1. PM (Particulate Matter)
Sumber PM di pabrik semen meliputi (1) penggalian dan penghancuran, (2)
penyimpanan bahan baku, (3) penggilingan dan pencampuran (dalam proses
kering saja), (4) produksi klinker, (5) setelah penggilingan dan (6) kemasan dan
pemuatan. Sumber emisi terbesar dari PM dalam pabrik semen adalah sistem
pyroprocessor yang mencakup penumpukan pada kiln dan pendingin klinker.
Seringkali, debu dari kiln dikumpulkan dan didaur ulang menjadi kiln, sehingga
menghasilkan klinker dari debu (EPA, 2001). Sumber tambahan PM adalah
penyimpanan bahan baku tumpukan, konveyor, silo penyimpanan, dan fasilitas
bongkar muat. Aturan untuk emisi dari pabrik semen portland dibuat pada 17
Agustus 1971 untuk membatasi emisi PM dari portland kiln semen 0,15 kg / Mg
(£ 0,30 / ton) pakan (basis kering), dan untuk membatasi PM emisi dari klinker
pendingin untuk 0.050 kg / Mg (£ 0,10 / ton) pakan (basis kering) (EPA, 2001).
PM dapat dibagi berdasarkan ukurannya menjadi partikel debu kasar
(diameter > 2.5-10 µm, disebut PM10), halus (diameter ≤ 2.5 µm, disebut PM2.5),
dan sangat halus (diameter < 0.1 µm, disebut PM0.1) (Mukono, 2008). PM10
berpengaruh dalam progresifitas gejala batuk produktif, dan peningkatan
keparahan obstruksi saluran nafas (Pramuansup et al, 2013). Sementara studi
eksperimental yang dilakukan pada tikus Sprague-Dawley untuk melihat efek
pajanan PM2.5 terhadap fisiologi paru, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
7
Laktat Dehidrogenase (LDH) pada Bronchoalveolar Lavage (BAL) hingga
mencapai 153% dari keadaan normal. Peningkatan LDH menunjukkan respon
inflamasi yang diakibatkan oleh peningkatan netrofil. Inflamasi tersebut
selanjutnya mendorong terjadinyapenyakit ISPA yang bermanifestasi klinis
menjadi keluhan batuk, sesak nafas, dan nafas berbunyi (Dye et al, 2001).
2.1.2.2. NOX (Nitrogen Oksida)
Nitrogen oxida dihasilkan selama pembakaran melalui oksidasi ikatan kimia dan
fiksasi termal nitrogen di udara pembakaran. Dengan meningkatnya suhu, jumlah
termal yang menghasilkan nitrogen oksida meningkat, begitu juga dengan NOX
yang dihasilkan oleh bahan bakar. Dalam pembuatan semen, NOX dihasilkan
pada zona pembakaran di kiln dan di pipa precalcining. Dalam proses
pembakaran di kiln, jenis bahan bakar dan suhu pembakaran mempengaruhi emisi
NOX yang dihasilkan. Jika suhu api tinggi dan bahan bakarnya mengandung
banyak nitrogen, NOX yang dihasilkan lebih sedikit daripada yang menggunakan
batu bara atau minyak tapi suhu api lebih rendah (EPA, 2001). Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa gejala bronkitis pada anak dengan asma
meningkat pada paparan jangka panjang terhadap NO2 (EPA, 2015). Hal ini akan
menyebabkan keluhan pernafasan berupa batuk dan sesak nafas.
2.1.2.3. SO2 (Sulfur Dioksida)
Sulfur dioksida dapat dihasilkan melalui bahan baku ataupun melalui bahan
bakar. SO2 ditentukan dari kadar volatile sulfur dalam bahan bakar, dan
diemisikan pada akhir sistem kiln ketika suhu rendah (EEA, 2013). Gas SO2 dapat
menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas bagian atas karena mudah larut dalam
air yang mengakibatkan produksi lendir meningkat serta inflamasi dinding saluran
8
nafas sehingga terjadi penyempitan saluran nafas dan bermanifestasi klinis
menjadi sesak nafas disertai dengan pemanjangan ekspirasi (Alsagaff, 2005).
2.1.2.4. CO (Karbon Monoksida)
Karbon monoksida adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, dan tak
berasa. Ia terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu
atom oksigen. Karbon monoksida dihasilkan dari pembakaran tak sempurna dari
senyawa karbon, sering terjadi pada mesin pembakaran dalam industri pembuatan
semen. Efek yang paling signifikan pada paparan CO terhadap kesehatan adalah
ikatannya yang kuat terhadap Hemgolobin (Hb). COHb mengganggu kapasitas
pembawa oksigen dari darah, meletakkan beban pada jaringan dengan kebutuhan
oksigen yang tinggi, seperti jantung dan otak. CO juga mengikat sitokrom
oksidase, yang dapat mengurangi kemampuan sel untuk memanfaatkan oksigen.
Paparan dengan karbon monoksida dapat mengakibatkan keracunan sistem saraf
pusat dan jantung. Setelah keracunan, sering terjadi efek yang berkepanjangan.
Karbon monoksida juga memiliki efek-efek buruk bagi bayi dari wanita hamil.
Gejala dari keracunan ringan meliputi sakit kepala dan mual-mual pada
konsentrasi lebih dari 100 ppm (Fierro, 2001). Paparan CO tidak secara langsung
mempengaruhi keluhan pernafasan.
2.2 Pernafasan
2.2.1. Defenisi Pernafasan
Pernafasan secara harfiah berarti pergerakan oksigen (O2) dari atmosfer
menuju ke sel dan keluarannya karbon dioksida (CO2) dari sel ke udara bebas
(Wilson, 2006). Sedangkan menurut Soemantri (2008), pernafasan (respirasi)
9
adalah gabungan aktifitas mekanisme yang berperan dalam proses suplai oksigen
ke seluruh tubuh dan pembuangan karbondioksida atau hasil dari pembakaran sel.
2.2.2. Fungsi Pernafasan
Fungsi utama paru adalah menyediakan oksigen agar diambil melalui
kapiler paru dan menyediakan sarana pembuangan karbondioksida melalui proses
difusi dengan arah sebaliknya. Keberhasilan pertukaran gas ini memerlukan tiga
sistem fungsi, yaitu ventilasi, transfer gas, dan transpor gas-darah (Harrington,
2005). Tujuan dari pernafasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
dan membuang karbondioksida (Guyton & Hall, 1997).
Pertukaran karbondioksida dan oksigen antara darah dan udara
berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan
dalamnya aliran udara timbal-balik (pernafasan), dan tergantung pada difusi
oksigen dari alveoli kedalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga
berlaku untuk gas dan uap yang dihirup. Paru-paru merupakan jalur masuk
terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara pada paparan kerja (WHO,
1995).
2.2.3. Anatomi Sistem Pernafasan
Pada dasarnya, sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara
yang menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler
alveoli, yaitu pemisah antara sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung,
faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Ketika masuk rongga hidung,
udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Partikel debu yang kasar disaring
oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel yang
10
halus akan terjerat dalam lapisan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus
ke posterior di dalam rongga hidung, dan superior di dalam sistem pernafasan
bagian bawah menuju ke faring. Kemudian partikel halus akan tertelan atau
dibatukkan keluar.
Udara mengalir dari faring menuju laring. Laring terdiri dari rangkaian
cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita suara.
Ruang berbentuk segitiga diantara pita suara (glotis) bermuara ke dalam trakea
dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah. Glotis
merupakan pemisah antara saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Trakea
disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya
kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Struktur trakea dan bronkus dianalogkan dengan
11
sebuah pohon, dan oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Trakea
bercabang pada sisi kiri dan kanannya, menjadi bronkus. Tempat percabangan
menjadi bronkus utama tersebut dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak
saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika diransang.
Bronkus utama yang terbagi atas bronkus kiri dan kanan tidak simetris.
Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebih lebar. Sebaliknya, bronkus utama
kiri lebih panjang dan lebih sempit. Cabang utama bronkus kanan dan kiri
bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis.
Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil
sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang
tidak mengandung alveoli (kantong udara).
Alveolus merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh jaringan
kapiler sehingga batas antara cairan dan gas membentuk tegangan permukaan
yang cenderung mencegah pengembangan saat inspirasi dan cenderung kolaps
saat ekspirasi (Wilson, 2006).
Namun secara fungsional, saluran pernafasan dibagi menjadi dua bagian
(Alsagaff & Mukty, 2005):
1. Zona Konduksi yang terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, serta
bronkioli terminalis.
2. Zona Respiratorik yang terdiri dari bronkioli respiratorik, sakus alveoli
serta alveoli.
2.2.4. Fisiologi Pernafasan
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi yang dapat
12
dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru. Stadium kedua, yaitu transportasi
harus ditinjau dari beberapa aspek:
1. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan.
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah.
Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi,
yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk
sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
2.3 Keluhan Pernafasan
2.3.1. Defenisi
Keluhan yang dirasakan akibat adanya gangguaan pernafasan mulai dari
hidung sampai alveoli serta organ-organ adneksnya seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura (Depkes RI, 1999)
2.3.2. Bentuk gangguan Pernafasan
Penyakit paru dapat menimbulkan tanda-tanda dan gejala umum maupun
tanda dan gejala pernafasan. Adapun tanda dan gejala pernafasan mencakup batuk,
13
sputum yang berlebihan atau abnormal, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada
(Wilson, 2006).
1. Batuk
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi
percabangan. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting
untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah. Batuk juga merupakan gejala
tersering penyakit pernafasan. Namun batuk bukan merupakan gejala yang
spesifik, dan batuk di pagi hari merupakan keluhan yang sering ditemukan
(Ringel,2012). Selain itu menurut WHO (1995), paparan jangka panjang terhadap
berbagai bahan kimia iritan dapat menyebabkan gejala-gejala bronkitis, seperti
batuk dengan atau tanpa sputum atau mengi.
2. Sputum
Sputum adalah mukus yang dibatukkan keluar karena tertimbun dalam
faring. Timbunan tersebut dapat terjadi karena mukus yang dihasilkan berlebihan,
sehingga proses normal pembersihan pada saluran pernafasan tidak efektif lagi.
Pembentukan mukus yang berlebihan dapat disebabkan karena gangguan fisik,
kimiawi, atau infeksi pada membrane mukosa.
Pembentukan sputum pada seseorang perlu dievaluasi sumber, warna,
volume, dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan
tenggorokan kemungkinan besar berasal dari sinus atau saluran hidung, dan bukan
dari saluran nafas bagian bawah. Sputum yang berwarna kekuningan
menunjukkan adanya infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk
adanya penimbunan nanah. Banyak penderita infeksi pada saluran nafas bagian
bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari, tetapi makin siang
14
menjadi kuning. Dalam hal sifat dan konsistensi sputum juga perlu diperhatikan.
Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru
akut. Sputu yang berlendir, lekat dan berwarna abu-abu atau putih merupakan
tanda bronkitis kronik. Sedangkan sputum yang berbau busuk merupakan tanda
asbes paru atau bronkiektasis.
3. Hemoptisis
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah,
atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang mengganggu kesinambungan
pembuluh darah paru dapat mengakibatkan perdarahan. Penyebab hemoptisis lain
yang sering adalah karsinoma bronkogenik, infark paru, bronkiektasis, dan abses
paru.
4. Dispnea
Dispnea atau sesak nafas adalah perasaan sulit bernafas dan merupakan
gejala utama dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar.
Seseorang yang mengalami dispnea sering mengeluh nafasnya menjadi pendek
atau merasa tercekik. Sesak nafas tidak selalu menunjukkan adanya penyakit,
sebab orang normal juga akan mengalami hal yang sama setelah melakukan
kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
5. Nyeri Dada
Nyeri yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah menyatakan
secara tidak langsung iritasi dinding dada dan/atau pleura. Nyeri dada terutama
berkaitan dengan pernafasan. Dan nyeri dada ini dapat digolongkan dengan
menggunakan templat nyeri umum; di mana, berapa lama, seberapa berat, sifat,
apa yang membuat lebih baik, dan apa yang memperburuk (Ringel, 2012).
15
2.4 Efek polutan akibat proses produksi semen terhadap Keluhan
Pernafasan
Industri semen adalah salah satu penyumbang terbesar partikel
debu/particulate matter PM terbesar terhadap polusi udara (Lei et al, 2010).
Particulate Matter yang berukuran < 10 (PM10) menyebabkan kerusakan pada
paru. PM10 hasil paparan polusi udara terhirup dan masuk ke paru-paru. PM10 yang
masuk ke jaringan paru akan di proses oleh sel-sel di paru seperti makrofag dan
sel epitel sehingga diproduksilah mediator pro inflamasi. Proses ini akan
mengeluarkan IL-8 yang merangsang keluarnya sel PMN (Polymorphonuclear)
dalam hal neutrofil sehingga terjadilah inflamasi lokal. Pada proses lanjutnya akan
disekresikan sitokin seperti GM-CSF di sum-sum tulang yang menyebabkan
pengeluaran leukosit dan platelet dan IL-6 di hati yang menyebabkan aktivasi
komplemen (Stephan, 2010). PM10 yang masuk juga menyebabkan penurunan
aktivitas silia dan fagosit, sehingga pertahanan paru yang melemah sering
menyebabkan terjadinya infeksi rekuren pada paru. Pada proses selanjutnya tubuh
mengkompensasi dengan batuk sebagai respon pertahanan diri terhadap
pengeluaran zat asing atau mikroorganisme yang masuk ke saluran pernafasan
(Price, 2005).
PM10 menyebabkan terjadinya stres oksidatif yaitu keadaan dimana jumlah
radikal bebas di tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya. Stres
oksidatif mengaktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiprotease, merangsang
pembentukan mukus, dan merangsang eksudasi plasma. Hipersekresi mukus juga
disebabkan metaplasia dengan jumlah peningkatan sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa akibat iritasi kronik karena paparan polusi udara (GOLD,
16
2013). Partikulat dengan ukuran di bawah 2,5 mikron (PM2.5) dapat secara leluasa
masuk ke dalam saluran pernapasan dan mengendap di alveoli. PM2.5 yang berasal
dari kegiatan industri biasanya mengeluarkan berbagai material logam berat dan
sulfur dioksida, diestimasikan 90% PM2.5 yang dikeluarkan di udara mengandung
SO2 (EPA, 2001). Gas SO2 dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas
bagian atas karena mudah larut dalam air yang mengakibatkan produksi lendir
meningkat serta inflamasi dinding saluran nafas sehingga terjadi penyempitan
saluran nafas dan bermanifestasi klinis menjadi sesak nafas disertai dengan
pemanjangan ekspirasi (Alsagaff, 2005).
17