1. MATERI METODE
1.1 Alat dan Bahan
Alat yang dipakai adalah blender, pisau, botol, toples, panic, kain saring, pengaduk
kayu. Sedangkan bahan-bahan yang dipakai adalah tulang dan kepala ikan, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.
1.2 Metode
1
Tulang dan kepala ikan dihancurkan
Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%
(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)
2
Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Hasil fermentasi disaring
Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit
Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 1 butir gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.
Setelah dingin hasil perebusan disaring
3
Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas %
A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -
A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -
A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -
A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -
A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -
Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam
Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental
Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat warna kecap ikan pada seluruh kelompok yang
didapatkan ialah coklat gelap. Rasa kecap ikan kelompok A2 dan A3 mendapatkan hasil
yang sangat asin didapatkan, sedangkan kecap ikan pada kelompok lain adalah asin.
Rata-rata aroma kecap ikan yang didapat adalah agak tajam. Tetapi pada kelompok A4
aroma yang didapt kurang tajam sedangkan pada kelompok A5 aroma yang didapat
sangat tajam. Penampakan kecap ikan hampir seluruh kelompok sama yaitu kental, beda
dengan kelompok A5 penampakan yang didapat adalah agak kental. Persen salinitas
kecap ikan yang didapatkan adalah negatif.
4
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan percobaan pembuatan kecap ikan. Tujuan
dari praktikum pembuatan kecap ikan ini adalah untuk mengetahui pengaruh-pengaruh
perbedaan konsentrasi enzim papain yang dipakai terhadap karakteristik kecap ikan
yang meliputi aroma, rasa, penampakan, warna, dan salinitas. Bahan yang digunakan
dalam praktikum ini yaitu tulang dan duri ikan tongkol. Ikan tongkol (Euthynnus affinis)
memiliki daging putih, tidak berbau lumpur, dan tidak terlalu amis (Ninan et al, 2004).
Selain tulang dan duri ikan, bahan lain yang dipakai yaitu garam, bawang putih, dan
gula jawa. Hal ini sudah sesuai dengan teori Hariyono et al (2005) yang mengatakan
bahwa ikan dan garam merupaka bahan utama untuk pembuatan kecap ikan.
Pada praktikum ini, ikan tongkol segar merupakan bahan utamanya. Maka dari itu untuk
menjaga kesegaran ikan, sebelum digunakan ikan tersebut disimpan di refrigerator.
Suhu pada refrigerator berkisar antara 0-2oC dan 5-7oC sehingga refrigerator mampu
mempertahankan kesegaran ikan, karena suhu rendah dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme (Jay,1986). Sebelum ikan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
surimi, ikan di-thawing terlebih dahulu. Thawing harus dilakukan secara cepat, ini
disebabkan karena apabila thawing dilakukan dalam waktu lama dapat menyebabkan
mutu bahan baku ikan segar menurun (Potter, 1978).
Pada umumnya hasil akhir kecap ikan berupa cairan berwarna coklat bening yang
dihasilkan dari hidrolisat ikan asin. Kecap ikan dapat bermanfaat untuk penambah rasa
atau dapat sebagai pengganti garam untuk masakan atau dalam industri pengolahan
pangan. Meskipun kandungan gizi kecap ikan terbatas karena memiliki kandungan
garamnya yang tinggi, namun tingginya kandungan protein dalam kecap ikan dapat
mengimbangi karbohidrat yang merupakan nutrisi terbesar yang dibutuhkan tubuh
(Ritthiruangdej& Thongchai, 2006).
Kecap ikan mudah dicerna dan diabsorbsi oleh tubuh manusia karena komposisinya
memiliki berat molekul rendah. Kelarutan kecap ikan dapat mencapai 90% di dalam air
dengan rasio nitrogen amino dan nitrogen dengan total 45%. Senyawa protein yang
5
6
terkandung dalam kecap ikan terutama dalam bentuk peptida-peptida sederhana dan
asam-asam amino (Kasmidjo, 1990).
Menurut Astawan & Astawan (1988), untuk membuat kecap ikan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dengan cara memfermentasikan dengan menggunakan garam
maupun dengan memfermentasikan secara enzimatis. Pembuatan kecap ikan dengan
fermentasi secara enzimatis ditambahan enzim, contohnya enzim papain (berasal dari
getah pepaya muda atau dari bromelin yang didapatkan dari nanas muda). Kelebihan
dari fermentasi enzim memerlukan waktu jauh lebih singkat dengan nilai protein yang
lebih tinggi. Dan kelemahan dari fermentasi kecap ikan dengan enzim adalah
mempunyai aroma dan cita rasa yang masyarakat kurang menyukainya (Astawan &
Astawan, 1988). Penambahan enzim papain berfungsi untuk mempercepat terjadinya
penguraian protein yang membuat proses pembuatan kecap ikan dapat dipersingkat
menjadi 3 hari (Afrianto & Liviawaty, 1989).
Menurut Shih et al., (2003) menyatakan bahwa kelebihan dari fermentasi dengan garam
yaitu menghasilkan cairan supernatant mengandung nitrogen terlarut (seperti protein,
peptida, dan asam amino) yang membuat kecap ikan yang semakin lama disimpan akan
semakin meningkat cita rasanya, karena protein dalam ikan mengalami perpecahan oleh
enzim dari ikan tersebut dan menghasilkan flavor yang enak. Kekurangan dari
fermentasi menggunakan garam memiliki adalah membutuhkan waktu yang cukup lama
kurang lebih 7 bulan. Prinsip fermentasi kecap ikan dengan garam yaitu penarikan
komponen-komponen ikan terutama protein oleh garam. Hal tersebut dapat terjadi
karena penambahan garam dengan jumlah tinggi dapat menyebabkan tekanan osmotik
naik dan air dari tubuh ikan akan keluar.
Hariyono et al (2005) menggunakan fermentasi dengan garam untuk membuat kecap
ikan, yaitu ikan dicuci dan dicampur garam dengan perbandingan ikan dan garam yaitu
1:1 hingga 1:5. Kemudian campuran tersebut didiamkan pada suhu ruang selama 5
bulan sampai 24 bulan. Selama proses fermentasi, ikan akan mengalami hidrolisis oleh
mikroba maupun secara enzimatik.
7
Fermentasi dengan menggunakan garam akan melibatkan bakteri halofilik. Bakteri
halofilik digunakan untuk pembuatan kecap ikan karena sifatnya yang tahan terhadap
lingkungan dengan konsentrasi garam tinggi. Contoh bakteri halofilik yaitu
Lentibacillus, Filobacillus, Tetragenococcus, Chromohalobacter. Bakteri-bakteri
tersebut dapat hidup stabil pada konsentrasi garam 3 hingga 15 %. Sedangkan bakteri
halofilik yang sangat tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi adalah Halococcus
dan Halobacterium karena justru membutuhkan konsentrasi garam tinggi (20-25%)
supaya dapat tumbuh optimal. Bakteri halofilik yang sering digunakan dalam
pembuatan kecap ikan yaitu Lentibacillus salicampi,L. jurispiscarius, L. halophilus,
Filobacillus sp. RF2-5, Halobacillus sp. SR5-3, Piscibacillus salipiscarius,
Tetragenococcushalophilus dan T. muriaticus, Halobacterium salinarum dan
Halococcus thailandensis (Tanasupawati et al, 2009)
Pada pratikum pembuatan kecap ikan ini dilakukan menggunakan cara fermentasi
secara enzim. Langkah-langkah yang dilakukan adalah pertama-tama menghancurkan
tulang ikan, duri ikan, sirip ikan, dan ekor ikan, lalu dihaluskan menggunakan blender
dan diambil sebanyak 50 gram. Tujuan dari penghancuran tulang dan duri ini adalah
membuat efektivitas ekstraksi meningkat karena rusaknya sel-sel dapat mempermudah
keluarnya senyawa flavor. Penghancuran yang praktikan lakukan menyebabkan
permukaan bahan menjadi luas sehingga rasio luas permukaan terhadap volume bahan
semakin tinggi dan menyebabkan semakin besarnya kemampuan pelepasan komponen
flavor (Saleh et al., 1996).
Tulang dan duri yang sudah dihancurkan dimasukkan ke dalam toples dan enzim papain
dalam bentuk serbuk ditambahkan ke dalam tolpes untuk kelompok A3 menambahkan
konsentrasi sebesar 0,6%, konsentrasi yang diberikan pada setiap kelompok berbeda-
beda. Setelah enzim papain dicampur praktikan melakukan pengadukan agar enzim
papai dapat tercampur dengan bahan secara merata, setelah itu diinkubasikan selama 4
hari dengan suhu ruang. Menurut Sangjindayvong et al (2009), enzim papain berasal
dari getah pepaya muda. Penambahan enzim papain bertujuan untuk mempercepat
penguraian protein yang membuat pembuatan kecap ikan menjadi singkat yaitu dengan
beberapa hari saja, seperti pada praktikum ini cukup dengan 4 hari saja (Afrianto &
8
Liviawaty, 1989). Hal ini dapat saja terjadi, karena ikatan peptida pada substrat dengan
kondisi yang memungkinkan menjadi peptide, peptone, dan asam amino yang saling
berinteraksi dipecahkan oleh enzim papain menghidrolisis protein. Peristiwa pemecahan
protein ini dapat menghasilkan ciri khas pada rasa dan aroma kecap ikan (Lay, 1994).
Akan tetapi, aktivitas enzim papain dapat saja berhenti pada suhu yang tinggi (61°C
hingga 81), karena protein sendiri rentan pada suhu tinggi (Sangjindayvong et al, 2009)
Selanjutnya hasil fermentasi enzimatik tadi ditambahkan air sebanyak 250 ml lalu
disaring dan didapatkan filtrat. Penyaringan pertama dilakukan agar jumlah filtrat yang
diambil didapatkan hasil yang maksimal. Filtrat yang dihasilkan tersebut lalu direbus
sampai mendidih selama 30 menit. Bumbu-bumbu yang meliputi 50 gram bawang
putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula jawa yang dihaluskan dan ditambahkan ke dalam
filtrat tadi selama perebusan. Penambahan bumbu-bumbu selama perebusan memiliki
tujuan untuk menambahkan aroma dan cita rasa pada kecap ikan. Semua bumbu yang
ditambahkan juga memiliki kemampuan sebagai pengawet. Penambahan garam
bertujuan untuk memberi rasa asin, sebagai pengawet, dan menguatkan rasa pada kecap
ikan. Kemampuan garam sebagai pengawet dikarenakan dengan penambahan garam
membuat Aw pada kecap ikan menurun, kelarutan oksigen menurun, dan mengganggu
membunuh mikroba karena peningkatan proton di dalam sel (Desrosier & Desrosier,
1977). Garam dengan asam glutamat yang terkandung dalam ikan ketika berinteraksi
akanmembentuk flavor yang enak. Bawang putih mengandung allicin dan alliin yang
efektif sebagai antimikroba dan dapat membantu kecap ikan menjadi lebih tahan lama
(Fachruddin, 1997). Sedangkan penambahan gula jawa membantu memberikan flavor
yang lebih spesifik pada kecap ikan dan membuat warna kecap ikan menjadi coklat
karamel serta dapat meningkatkan viskositas kecap ikan (Kasmidjo, 1990). Setelah
pencampuran tadi mendidih dan agak dingin, dilakukan penyaringan kedua yang
bertujuan agar filtrat kecap ikan tidak tercampur pengotor yang tidak diinginkan,
kemudian uji sensori yang meliputi warna, aroma, penampakan dan rasa.
Berdasarkan hasil pengamatan yang praktikan lakukan, diperoleh hasil bahwa aroma
kecap ikan dari semua kelompok sama, yaitu agak tajam, sedangkan untuk kelompok
A4 dan A5 aroma yang didapatkan adalah kurang tajam dan sangat tajam. Aroma yang
9
dihasilkan agak tajam menurut panelis disebabkan karena panelis atau orang pada
umumnya tidak menyukai dan terbiasa dengan aroma kecap ikan yang dibuat secara
enzimatis (Astawan & Astawan, 1988). Perubahan aroma dan bau pada kecap ikan
setelah fermentasi terjadi disebabkan karena senyawa-senyawa yang berperan dalam
pembentukan bau dan aroma kecap ikan antara lain 2-methylpropanal, 2-methylbutanal,
2-pentanone, 2-ethylpyridine, dimethyl trisulfide, 3-(methylthio)-proppanal, and 3-
methylbutanoic acid (Ritthiruangdej& Thongchai, 2006).
Astawan & Astawan (1991) berpendapat bahwa semakin banyak enzim papain yang
digunakan, maka semakin banyak pula protease yang menghidrolisa protein ikan
sehingga aktivitas hidrolisa semakin tinggi. Dengan tingginya aktivitas hidrolisa,
membuat aroma kecap ikan semakin tajam. Selain itu, Afrianto & Liviawaty (1989)
menambahkan bahwa semakin banyak enzim papain yang ditambahkan akan dapat
menutupi aroma amis yang dihasilkan oleh ikan karena terekstraknya senyawa yang
menimbulkan aroma yang khas pada kecap ikan. Berdasarkan teori tersebut, hasil yang
didapatkan oleh praktikan sudah sesuai dengan teori, karena aroma kecap ikan yang
paling kuat adalah aroma kecap ikan kelompok A5 dengan konsentrasi papain terbesar
dan tetapi tidak untuk aroma yang paling lemah, karena seharusnya aroma yang paling
lemah ada pada kelompok A1 dengan papain konsentrasi terendah. Ketidaksesuaian
antara praktikum yang dilakukan dengan teori yang ada kemungkinan disebabkan akibat
perbedaan lama waktu dan suhu pemanasan karena dengan semakin tinggi suhu dan
waktu pemanasan yang semakin lama akan membuat aroma menjadi tidak tajam karena
penguapan yang lebih besar terhadap senyawa volatil kecap ikan.
Untuk hasil warna kecap ikan pada seluruh kelompok adalah coklat gelap. Menurut
teori Astawan & Astawan (1991), aktivitas enzim proteolitik pada ikan dapat
menyebabkan terbentuknya cairan yang berwarna coklat. Jika penambahan enzim
papain semakin banyak, maka aktivitas protease akan semakin tinggi dan menghasilkan
cairan hasil hidrolisa semakin gelap. Hasil praktikan yang didapatkan sudah sesuai
dengan teori tersebut. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan berwarna
kekuningan hingga coklat muda. Warna kecap ikan dapat terbentuk karena terjadi reaksi
10
antara asam-asam amino dengan gula reduksi seperti glukosa, galaktosa, maltosa,
xilosa, arabinosa dan komponen gula alkohol yaitu gliserol dan manitol.
Dari praktikum yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa rasa kecap ikan yang sangat asin
didapatkan dari kelompok A2 dan A3 dan kecap ikan yang berasa asin diperoleh dari
kelompok A1, A4, dan A5. Teori dari Astawan & Astawan (1991), menyatakan bahwa
jika penambahan konsentrasi enzim semakin tinggi, maka rasa kecap ikan yang
dihasilkan akan semakin tidak tajam. Maka seharusnya rasa yang paling tajam ada pada
kelompok A1 dengan penambahan konsentrasi papain terendah dan rasa yang tidak
tajam dari kelompok A5 dengan penambahan konsentrasi papain tertinggi. Hasil
praktikum yang dilakukan ini tidak sesuai dengan teori tersebut. Hal tersebut terjadi
karena faktor yang lain. Contohnya karena penambahan bumbu yang dilakukan
praktikan dapat menambah rasa dan aroma pada kecap ikan. Rasa dan bau kecap ikan
ditentukan dengan jenis bumbu-bumbu yang ditambahkan (Astawan & Astawan, 1991).
Untuk pengukuran salinitas kecap ikan, dilakukan dengan menggunakan alat hand
refractometer. Refraktometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur indeks
bias suatu medium, baik yang zat cair, padat, maupun gas dan pada praktikum ini
digunakan untuk mengukur kadar garam (Shadily et al., 1984). Pengukuran salinitas
dilakukan dengan cara kecap ikan yang sudah matang diteteskan pada hand
refractometer, lalu dibaca skala salinitasnya. Hasil persen salinitas kecap tidak dapat
terbaca. Ketidakan dapatan membaca persen salinitas disebabkan karena pengaruh
bumbu yang praktikan tambahkan sehingga membuat kecap yang dihasilkan terlalu
kental. (Astawan & Astawan, 1991).
Afiza, et al. 2011. Yang menguji tentang tindakan protease pada ikan protein hidrolisis
selama produksi kecap ikan Malaysia, Budu, dipelajari menggunakan Valamugil seheli
dan Ilisha Melastoma sebagai substrat fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
aktivitas protease dan derajat hidrolisis Ilisha Melastoma secara signifikan lebih tinggi
(p <0,05) dibandingkan Valamugil seheli. Persentase cair (yield) dari kecap ikan yang
dihasilkan oleh Valamugil seheli secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan
dengan Ilisha Melastoma selama fermentasi dua bulan. Nilai pH dari cairan dari Ilisha
11
Melastoma adalah 5.83 dan menurun dengan waktu sementara nilai-nilai pH cairan dari
Valamugil seheli awalnya 5,68, tetapi meningkat dengan waktu.
Olubunmi, F. et al. 2010. Menyatakan bahwa saus asin merupakan cairan cokelat rasa
dihasilkan dari lemuru. Sampel A (lemuru dengan garam) dan B, yang merupakan
kontrol (lemuru hanya tanpa garam). Ember erat ditutupi dengan bantuan pita kertas,
yang digunakan untuk mengikat tepi ember sehingga mencegah masuknya udara. Ini
dimakamkan di tanah untuk meniru tangki fermentasi untuk jangka waktu tiga bulan.
Suhu lingkungan diukur dan saus sampel bulanan untuk mengukur saus pasta dan
produksi (7% dan 70% masing-masing) dengan komposisi proksimat.
Zarei, M. et al. 2012. Menyatakan bahwa mahyaveh adalah saus ikan yang difermentasi
tradisional yang banyak dikonsumsi di bagian selatan Iran, khususnya di Larestan dan
Hormozgan. Produk ini sebagian besar diproduksi sesuai dengan tradisi keluarga,
ketersediaan bahan baku, preferensi konsumen kondisi iklim daerah. Oleh karena itu,
variasi dapat dilihat pada metode produksi, proporsi bahan baku dan komposisi antara
sampel ritel dari sumber yang berbeda. Mahyaveh biasanya terdiri dari sarden
(Sardinella sp.) Atau anchovy (Stelophorus sp.), Garam, mustard (Brassica juncea) dan
air. Hal ini secara tradisional dibuat dari ikan segar atau kering, yang dipenggal, dicuci
dan dikemas ke dalam gerabah atau gelas botol bersama dengan garam dan air hangat.
Guci diperbolehkan untuk berdiri di bawah sinar matahari atau pada suhu kamar selama
25-30 hari. Campuran ikan / garam lalu tumbuk menjadi bubur, dan kasar disaring
melalui mesh stainless steel. Bagian cairan cokelat dari fermentasi ikan kemudian
dicampur dengan mustard dan rempah-rempah lainnya.
Witono, Y. et al. 2014. Menyatakan bahwa ikan Bibisan dapat dikembangkan menjadi
rasa makanan menggunakan hidrolisis enzimatik. Kombinasi "Biduri" protease dan
papain dapat mempersingkat waktu hidrolisis. Bibisan ikan hidrolisat dapat dibuat
produk turunan seperti saus ikan dan kecap ikan.
4. KESIMPULAN
Bahan utama pembuatan kecap ikan adalah ikan dan garam.
Kecap ikan dapat dibuat dengan 2 cara yaitu fermentasi garam dan fermentasi
enzimatis.
Fermentasi kecap ikan yang dilakukan praktikan menggunakan fermentasi
enzimatis.
Fermentasi kecap ikan secara enzimatis menggunakan penambahan enzim papain.
Semakin banyak penambahan enzim papain menyebabkan warna kecap ikan
semakin coklat, rasa lemah, salinitas rendah, serta aroma semakin tajam.
Waktu yang dibutuhkan fermentasi enzimatis kecap ikan lebih singkat dan nilai
protein tinggi, namun aroma dan cita rasanya kurang disukai.
Tujuan penghancurantulang dan duri untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi
flavor kecap ikan.
Warna kecap ikan yang terbentuk karena adanya reaksi asam-asam amino dengan
gula reduksi.
Aroma dan rasa kecap ikan ditimbulkan karena adanya hidrolisa protein.
Aktivitas enzim papain dapat berhenti karena suhu tinggi.
Penambahan bumbu bertujuan untuk menambah aroma dan cita rasa kecap ikan.
Aktivitas enzim proteolitik pada ikan membentuk cairan berwarna coklat.
Semarang, 23 September 2015 Asisten Dosen,
- Michelle Darmawan
Vilia Angela 12.0.0179
12
5. DAFTAR PUSTAKA
Afiza T.S. et al. 2011. Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for fish sauce production. Asian Journal of Food and Agro-Industry 4(04), 247-254.
Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Astawan M.W. & M.W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M.W & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Desroisier, N. W. (1977). The Technology of Food Preservation. AVI Publishing Company. Connecticut.
Dincer, T., S. Cakli, B. Kilinc, and S. Tolasa. 2010. Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and Veterinary Advances 9 (2): 311-315.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Hariyono, I; Yeap S.E; Kok T.N; dan Ang G.T. (2005). Use of Koji and Protease in Fish Sauce Fermentation.J Pri Ind 32: 19-29 2005/06. Singapore.
Jay, J. M. (1986). Modern Food Microbiology 3rd Edition. Van Nastrand Reinhold Company. New York.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboraturium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ninan, George; Bindu J, Jose Joseph.(2004). Properties of Washed Mince (Surimi) from Fresh and Chill Stored Black Tilapia, Oreochromis mossambicus.
Olubunmi,F. Sadiku Suleman. Ibanga Uche. Babinisi Olumide. 2010. Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. New York Science Journal
Potter, N.N. (1978). Food Science 3rd edition. AVI Publishing Company, Inc. USA.
13
14
Ritthiruangdej, Pitiporn; dan Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.) : 181 - 191 (2006).
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).
Shadily, Hasan. (1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.
Shih, I.L.; L.G. Chen; T.S. Yu; W.T. Chang; & S.L. Wang. (2003). Microbial reclamation of fish processing wastes for the production of fish sauce. Enzyme and Microbial Technology 33 (2003) 154-162.
Tri, Tap Chi Phat; dan Cn Tap.(2006). Characterization of Protease from Aspergillus OryzaeSurface Culture and Application in Fish Sauce Processing.Department of Food Technology, University of Technology, VNU-HCM.
Witono, Y. Wiwik Siti Windrati. Iwan Taruna. Asmak Afriliana. Ahib Assadam. 2014. Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from "Bibisan" Fish Hydrolyzate. American Journal of Food Science and Technology, 2014, Vol. 2, No. 6, 203-208
Zaman M.Z., Bakar F.A., Selamat J., Bakar J.. (2010): Occurrence of biogenic amines and amines degrading bacteria in fish sauce. Czech J. Food Sci., 28: 440–449.
Zarei, M. Hossein Najafzadeh. Mohammad Hadi Eskandari. Marzieh Pashmforoush. Ala Enayati. Dariush Gharibi. Ali Fazlara. 2012. Chemical and microbial properties of mahyaveh, a traditional Iranian fish sauce. Food Control 23 (2012) 511e514
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Diagram Alir
6.3. Abstrak Jurnal
15
Recommended